Upload
vanphuc
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2
tranformational leadership wherein self-efficacy serve as mediator between transformational leadership and work engagement. Referring to SCT, this study examined the relationship between transformational leadership and work engagement through mediaton of self-efficacy. 191 Bethesda Hospital Nurses participated in this study. Data were collected from Work Engagement Scale, transformational leadership scale and self-efficacy scale. Data were tested using Regression Model. The result shows that self-efficacy doesn’t mediate the relationship between transformational leadership and work engagement (R=0,066 and F=0,827; p>0,05). However, result shows that self-efficacy and transformational leadership positively related to work engagement (R=0,366 and F=14,504; p≤0,05). Keywords: Work Engagement, Transformational Leadership, Self-efficacy.
Rumah sakit memiliki peranan yang penting dalam menyediakan jasa di
bidang kesehatan. Seperti industri jasa lainnya, rumah sakit seharusnya
mengutamakan kepuasan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik.
Namun, pada kenyataannya, kualitas pelayanan di beberapa rumah sakit masih
jauh dari harapan. Berdasarkan hasil pemantauan Yayasan Perlindungan
Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pelayanan kesehatan terutama terhadap
masyarakat kurang mampu pada tahun 1998-2012 masih buruk (Rizal, 2013).
Selama kurun waktu tersebut, YPKKI menerima sekitar 700 pengaduan
masyarakat perihal buruknya pelayanan kesehatan. Dengan melihat kenyataan ini,
seharusnya manajemen rumah sakit lebih meningkatkan kualitas pelayanan
mereka.
Rumah Sakit Bethesda memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan yang
maksimal kepada para pelanggan seperti yang tercantum pada misi rumah sakit
yaitu “Mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjangkau, memuaskan customer
dengan jejaring yang luas dan mampu berkembang dengan baik (Bethesda, 2013).
Misi tersebut menjelaskan bahwa pelayanan diberikan kepada setiap orang tanpa
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
memandang latar belakang pasien. Dengan demikian, pelayanan prima adalah satu
kunci keberhasilan Rumah sakit Bethesda dalam upaya mencapai misi yang telah
ditetapkan.
Setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing. Salah satu bentuk
manifestasi dari budaya organisasi adalah nilai-nilai organisasi. Nilai-nilai yang
dianut organisasi merupakan inti dari budaya organisasi (Hofstede, Hofstede &
Minkov, 2010). Rumah Sakit Bethesda memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam falsafah rumah sakit yaitu memandang tinggi martabat setiap manusia
sebagai ciptaan Allah, memandang bahwa setiap manusia berhak memperoleh
derajat kesehatan yang baik dan memperdayakan sesama (Bethesda, 2013). Nilai-
nilai tersebut menunjukkan bahwa rumah sakit ini memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap setiap orang, baik kepada para pasien maupun pada karyawan.
Nilai-nilai ini merupakan salah satu pertimbangan penulis ketika memilih Rumah
Sakit Bethesda sebagai tempat penelitian. Nilai-nilai yang dianut oleh suatu
organisasi seperti, penghargaan, kepedulian dan kepercayaan kepada para
karyawannya diyakini mampu memfasilitasi terciptanya kondisi positif di tempat
kerja dan memfasilitasi terbentuknya keterikatan kerja (work engagement) dari
para karyawan (Sarangi & Srivastava, 2012).
Perawat merupakan salah satu ujung tombak pelayanan rumah sakit
(Savitri, 2010). Perawat saat ini tidak hanya dituntut untuk berfokus pada fungsi
biologis pasien tetapi juga aspek psikososial pasien. Mereka diharapkan tidak
hanya terampil dan pintar saja namun juga harus mampu menjalin hubungan yang
baik dengan pasien (Holloway & Watson, 2002). Dengan tingginya harapan
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
pelanggan terhadap peran seorang perawat maka dibutuhkan para perawat yang
mau bekerja melampaui tuntutan pekerjaan agar visi dan misi rumah sakit tercapai
(Salanova, Lorente, Chambel & Martinez, 2011).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya kemauan para
perawat untuk bekerja melampaui tuntutan pekerjaan. Menurut Salanova dkk.
(2011), salah satu faktor tersebut adalah work engagement (keterikatan kerja).
Keterikatan kerja sebagai bagian dari gerakan psikologi positif (Shimazu,
Schaufeli, Kosugi, Suzuki, Nashiwa, Kato, Sakamoto, Irimajiri, Amano, Hirohata
& Goto, 2008), juga diyakini berhubungan dengan hasil kinerja organisasi seperti
employee retention, produktivitas, profitabilitas, kesetiaan pelanggan dan
keselamatan kerja (Markos & Sridevi, 2010), hal ini juga berkaitan erat dengan
kinerja individu seperti kepuasan kerja, keterlibatan kerja (Ram & Prabhakar,
2011) dan juga masalah kesehatan individu (Schaufeli & Bakker, 2004).
Permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya tenaga
keperawatan. Rasio jumlah perawat dan pasien idealnya adalah 1 : 4000 (Jamadin,
2012). Lebih jauh Jamadin (2012) menjelaskan bahwa di Indonesia satu perawat
bisa melayani 10.000 pasien atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa beban kerja
perawat dalam merawat pasien melebihi standard yang ada. Jika kondisi seperti
ini dibiarkan terus menerus maka perawat akan mengalami kelelahan fisik dan
psikis yang berkepanjangan. Kelelahan fisik dan psikis ini tentunya akan
menurunkan keterikatan kerja para perawat. Dengan demikian dibutuhkan
penelitian lebih lanjut mengenai keterikatan kerja pada perawat agar pihak
manajemen rumah sakit mampu menciptakan kondisi yang positif di tempat kerja.
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
Keterikatan kerja (work engagement) diartikan sebagai kondisi psikologis
yang positif berkaitan dengan pekerjan yang ditandai dengan adanya semangat
(vigor), pengabdian (dedication) dan kekusyukan (absorption) (Schaufeli dkk.,
2002; Schaufeli, Bakker & Salanova, 2006). Batasan konsep keterikatan kerja
tersebut dapat dibedakan dengan beberapa konsep seperti, extra-role behavior,
keterlibatan kerja, komitmen organisasi dan kepuasan kerja (Leiter & Bakker,
2010). Keterikatan kerja berbeda dengan extra-role behavior, keterikatan kerja
lebih menekankan pada usaha kreatif sedangkan extra-role behavior lebih
menekankan pada usaha ekstra. Keterikatan kerja juga berbeda dengan
keterlibatan kerja, keterikatan kerja merupakan sebuah konsep yang lebih luas
dibandingkan keterlibatan kerja. Keterikatan kerja dapat dibedakan dengan
komitmen organisasi. Keterikatan kerja merupakan identifikasi karyawan terhadap
pekerjaannya sedangkan komitmen organisasi merupakan identifikasi karyawan
terhadap organisasi secara keseluruhan. Keterikatan kerja juga dapat dibedakan
dengan kepuasan kerja. Keterikatan kerja menggambarkan kondisi aktivasi
seperti, antusiasme, kewaspadaan dan kegembiraan sedangkan kepuasan kerja
menggambarkan kondisi jenuh seperti, kepuasan hati, ketenangan, relaksasi dan
ketentraman.
Keterikatan kerja memiliki dimensi semangat (vigor), pengabdian
(dedication) dan kekusyukan (absorption) (Schaufeli dkk., 2002). Semangat
ditandai dengan level energi yang tinggi dan ketahanan mental selama bekerja,
keinginan untuk menginvestasikan upaya pada pekerjaan. Pengabdian ditandai
dengan perasaan bermakna, perasaan antusias, perasaan terinspirasi, perasaan
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
bangga dan perasaan tertantang. Kekusyukan ditandai dengan keadaan
berkonsentrasi penuh dan tenggelam dalam pekerjaan, dimana individu merasa
waktu berjalan cepat dan individu sulit dipisahkan dari pekerjaannya.
Para ahli menyadari bahwa keterikatan kerja adalah konsep yang penting
untuk dipahami, sehingga mereka berusaha untuk mengkaji konsep tersebut secara
lebih mendalam. Mereka melakukan penelitian untuk mengungkap faktor-faktor
yang berkaitan dengan keterikatan kerja. Berikut ini adalah beberapa hasil
penelitian mengenai faktor-faktor tersebut.
Tabel 1. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Keterikatan Kerja
Kühnel, Sonnentag
& Bledow (2011)
Koyuncu, Burke
& Fiksenbaum (2006)
Saks (2006)
1. Iklim psikologis
2. Kontrol terhadap
pekerjaan
1. Kontrol terhadap
pekerjaan,
2. Penghargaan,
3. Pengakuan
4. Kecocokan nilai
1. Persepsi terhadap
dukungan organisasi
2. Karakteristik
pekerjaan
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi keterikatan kerja. Pada penelitian ini, penulis mengacu pada
teori Social Cognitve Theory. Berdasarkan teori tersebut faktor-faktor yang
diyakini mempengaruhi keterikatan kerja (work engagement) adalah
kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dan efikasi diri
(self-efficacy) (Salanova, Lorente, Chambel & Martinez, 2011; Salanova,
Schaufeli, Xanthopoulou & Bakker, 2010).
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Konsep kepemimpinan transformasional pada penelitian ini menggunakan
konsep dari Bass (1985). Kepemimpinan transformasional diartikan sebagai
kepemimpinan dimana pemimpin memiliki kharisma dan pengaruh untuk
membuat para pengikutnya melaksanakan lebih dari apa yang diharapkan pada
mereka di dalam pekerjaan (Avolio, Bass & Jung, 1999). Konsep kepemimpinan
transformasional dapat dibedakan dengan konsep kepemimpinan kharismatik dan
transaksional. Menurut Bass (1990), kepemimpinan transformasional meliputi
juga kepemimpinan kharismatik sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan
transformasional lebih luas dibandingkan kepemimpinan kharismatik.
Kepemimpinan transformasional juga berbeda dengan kepemimpinan
transaksional. Kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yaitu,
memiliki pengaruh yang diidealkan, memberi motivasi yang inspirasional,
memberi stimulasi intelektual dan memberi perhatian secara individual pada
bawahan (Bass & Riggio, 2006) sedangkan kepemimpinan transaksional memiliki
karakteristik yaitu, menekankan pada prinsip hadiah-hukuman (contingent
reward) dan pemimpin mengambil tindakan hanya ketika bawahan gagal
mencapai target (management by exception). Dengan demikian kepemimpinan
transformasional lebih menekankan pada prinsip pemberdayaan sedangkan
kepemimpinan transaksional lebih menekankan pada prinsip social exchange.
Kepemimpinan transformasional memiliki beberapa dimensi (Bass, 1985),
yaitu, pengaruh yang diidealkan, motivasi yang inspirasional, stimulasi intelektual
dan perhatian secara individual. Pemimpin yang memiliki pengaruh yang
diidealkan bertindak sebagai contoh yang diteladani oleh bawahannya. Pemimpin
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
yang memberikan motivasi yang inspirasional mampu memotivasi dan
menginspirasi bawahan dengan membuat pekerjaan lebih bermakna dan
menantang. Ia mampu membuat bawahan lebih mementingkan tujuan organisasi.
Stimulasi intelektual diartikan sebagai tindakan pemimpin untuk mendorong
pengikut agar lebih sensitif terhadap permasalahan dan menggunakan perspektif
baru untuk memandang permasalahan tersebut. Dimensi perhatian secara
individual meliputi tindakan pemimpin untuk memberikan perhatian khusus pada
kebutuhan masing-masing bawahan dengan bertindak sebagai mentor. Pemimpin
mampu menerima perbedaan-perbedaan individual.
Kepemimpinan transformasional diyakini memiliki hubungan positif
dengan keterikatan kerja. Penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan
transformasional secara positif dan signifikan berhubungan dengan keterikatan
kerja (Raja, 2012; Koppula, 2008; Zhu, Avolio & Walumba, 2009; Vugt, Jepson,
Hart & Cremer, 2004). Dimensi-dimensi kepemimpinan transformasional
berhubungan secara positif dengan dimensi semangat dan pengabdian (Koppula,
2008). Ketika pemimpin tranformasional menguraikan visi, misi dan nilai
organisasi pada bawahan (pengaruh yang diidealkan), hal tersebut akan membuat
bawahan merasa diperhitungkan. Pada akhirnya mereka akan penuh energi dan
bersemangat untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka (dimensi semangat).
Pemimpin yang tranformasional juga mampu menghargai kebutuhan dan perasaan
dari bawahannya (dimensi perhatian secara individual). Hal ini membuat para
bawahan memperlihatkan dedikasi (dedication) pada pekerjaan (Bycio, Hackettt
& Allen, 1995; Harter, Schmidt & Keyes, 2003). Pemimpin transformasional
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
memberi motivasi yang inspirasional dengan menetapkan tujuan yang jelas.
Pemimpin seperti ini mampu membantu bawahan untuk memahami nilai dari
kontribusi mereka pada pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan
(Crabtree, 2003). Ketika karyawan memahami bahwa kontribusi mereka
membantu pencapaian tujuan organisasi, hal tersebut akan membuat karyawan
bangga dan semakin bersemangat untuk bekerja (dimensi dedikasi). Pemimpin
yang tranformasional mampu membuat para bawahan mencoba cara baru atau
menemukan solusi permasalahan yang inovatif (stimulasi intelektual). Dengan
mengambil tindakan ini, pemimpin mendorong bawahan untuk tetap terlibat,
termotivasi dan mengalami perasaan yang lebih positif di tempat kerja.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa selain kepemimpinan
transformasional, efikasi diri juga merupakan faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja. Efikasi diri merupakan bagian dari social cognitive theory
(Ashford & LeCroy, 2010; Lenz & Shortridge-Baggett, 2002). Efikasi diri
diartikan sebagai keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk
mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan
untuk mengelola situasi yang prospektif (Bandura, 1995). Efikasi diri tidak
dihubungkan dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang tetapi
dihubungkan dengan keyakinan seseorang mengenai apa yang bisa mereka
lakukan dengan kemampuan yang mereka miliki. Penjelasan di atas
menggambarkan efikasi diri tidak bersifat umum, tetapi berhubungan dengan
situasi yang spesifik. Mengacu pada teori SCT, efikasi diri pada penelitian ini
bersifat khusus yaitu efikasi diri perawat.
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Efikasi diri berperan penting menentukan kesuksesan para perawat ketika
menjalani karir mereka. Menurut Kennedy (2013), efikasi diri pada perawat
digambarkan sebagai keyakinan diri perawat untuk memenuhi kompetensi
keperawatan yang diharapkan dari profesi mereka. Pengertian kompetensi
keperawatan di sini adalah pengetahuan, keterampilan dan penilaian yang
dibutuhkan oleh perawat untuk melaksanakan praktik keprofesian secara aman
dan etis pada situasi dan peran yang telah didesain. Keyakinan para perawat akan
kompetensi keprofesiannya diyakini dapat mendukung mereka mampu
melaksanakan tugas-tugas keperawatan dan menghadapi tantangan selama
menjalankan tugas tersebut.
Efikasi diri memiliki beberapa dimensi yaitu, tingkat kesulitan tugas, luas
bidang perilaku dan kekuatan (Bandura, 1997). Dimensi tingkat kesulitan tugas
berkaitan dengan pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki
berdasarkan perharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan
mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan
menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
Luas bidang perilaku berkaitan dengan seberapa luas bidang perilaku yang
diyakini untuk berhasil dicapai oleh individu. Beberapa pengharapan terbatas pada
bidang perilaku khusus sedangkan beberapa pengharapan mungkin menyebar
pada berbagai bidang perilaku. Kekuatan berkaitan dengan keteguhan hati
terhadap keyakinan pada diri individu bahwa ia akan berhasil dalam menghadapi
suatu permasalahan. Dimensi ini seringkali harus menghadapi rasa frustrasi, luka
dan berbagai rintangan lainnya dalam mencapai suatu hasil tertentu.
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Perkembangan efikasi diri seseorang dipengaruhi oleh empat sumber
informasi penting yaitu, pencapaian kinerja, vicarious experience, persuasi verbal
dan informasi fisiologis (Bandura, 1995). Pencapaian kinerja berkaitan dengan
pengalaman sukses atau kegagalan yang dialami seseorang. Pengalaman sukses
akan meningkatkan efikasi diri sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi
diri. Vicarious experience (observasi terhadap orang lain) merupakan sumber
perkembangan efikasi diri. Orang lain dapat menjadi contoh dan memberikan
informasi tentang tingkat kesulitan dari suatu tingkah laku. Persuasi verbal adalah
sumber yang paling sering digunakan untuk mengembangkan efikasi diri, yaitu
dengan memberikan instruksi, sugesti dan nasihat seseorang dapat membantu
orang lain untuk sukses pada tugas yang sulit. Informasi fisiologis atau informasi
pada tubuh seseorang dapat mempengaruhi estimasinya terhadap kemampuan
untuk menampilkan tingkah laku spesifik. Dalam menilai kapasitas diri sendiri,
seseorang menggunakan informasi tentang situasi fisik dan emosional.
Efikasi diri berkaitan erat dengan keterikatan kerja (Xanthopoulou,
Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2009) dan kepemimpinan transformasional.
Penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri berhubungan secara positif dan
signifikan dengan keterikatan kerja (Chaudhary, Rangnekar dan Barua, 2012;
Llorens, Schaufeli, Bakker & Salanova, 2007; Xanthopoulou, Bakker, Demerouti
& Schaufeli, 2007). Di lain pihak, penelitian eksperimental dari Kirkpatrick &
Locke (1996) membuktikan kepemimpinan transformasional mampu
meningkatkan efikasi diri bawahan.
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Efikasi diri menarik untuk diteliti karena memiliki potensi sebagai variabel
mediator. Penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri menjadi variabel mediator
hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja perorangan
(Walumba, Avolio & Zhu, 2008), kepuasan kerja (Liu, Siu & Shi, 2009) dan
positive affective well being (Nielsen & Munir, 2009) dan keterikatan kerja
(Salanova dkk, 2011). Walaupun demikian hasil penelitian lain membuktikan
bahwa efikasi diri tidak memediasi (Tims, Bakker dan Xanthopoulou, 2011)
namun memoderasi hubungan antara kepemimpinan transformasional dan
keterikatan kerja (Raja, 2012). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, penulis
lebih meyakini bahwa efikasi diri memediasi kepemimpinan transformasional dan
keterikatan kerja.
Hubungan antara kepemimpinan tranformasional dan keterikatan kerja
yang dimediasi oleh efikasi diri dapat dijelaskan melalui social cognitive theory
(SCT). Menurut teori ini, pemimpin yang memiliki gaya transformasional
bertindak sebagai model atau contoh dengan memanifestasikan tingkah laku
positif di tempat kerja. Tindakan ini merupakan vicarious experience bagi
perkembangan efikasi diri bawahan (Sivanathan, Arnold, Turner & Barling,
2004). Selain itu, pemimpin seperti ini mampu menginspirasi para pengikut dan
mendesak mereka untuk berpikir kreatif ketika menghadapi suatu masalah. Hal ini
merupakan persuasi verbal bagi perkembangan efikasi diri bawahan. Ketika
pemimpin mampu meningkatkan efikasi diri bawahan melalui vicarious
experience dan persuasi verbal maka para pengikut akan merasa mampu untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing. Sweetman &
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Luthans (2010) menjelaskan bahwa ketika individu yakin akan kompetensinya
untuk melaksanakan suatu tugas maka ia akan cenderung menjadi khusyuk dan
merasa penuh energi untuk menyelesaikan keseluruhan suatu tugas dibandingkan
terganggu/terdistraksi. Ia juga akan merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas
tersebut (dedikasi). Jadi, seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi pada
suatu pekerjaan tertentu merasa mampu mengerjakan tugas tersebut sehingga ia
akan cenderung menikmatinya dan pada akhirnya ia akan bersemangat dan sulit
dipisahkan dengan pekerjaan tersebut (engaged).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis: “Hubungan antara kepemimpinan transformasional dan
keterikatan kerja dimediasi oleh efikasi diri”.
Adapun kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Metode Penelitian
Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Variabel tergantung (Outcome) : Keterikatan Kerja
Efikasi Diri
Keterikatan Kerja Kepemimpinan Transformasional
EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/