19
NILAI-NILAI LUHUR DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL SUKU DAYAK HALONG BALANGAN Noble Values in the Traditional Expression of the Dayak Halong Balangan Tribe Hestiyana Balai Bahasa Kalimantan Selatan Jalan Jenderal A. Yani Km 32, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel Pos-el: [email protected] Abstract This study aims to describe the noble values in the traditional expression of the Dayak Halong Balangan tribe and the relevance of these noble values to people’s lives today. This study used descriptive qualitative method. The techniques used in data collection are observation, interview, and literature study. In the technique of data analysis used descriptive qualitative analysis, namely by analyzing the noble values one by one in the traditional expression of the Dayak Halong Balangan tribe and the relevance of these noble values to people’s lives today. The next stage, make conclusions from the overall results of data analysis will use informal methods, namely by describing the results of the study in the form of words or sentence descriptions. From the analysis it was found that the noble values in the traditional expression of theDayak Halong Balangan tribe include: (1) noble values related to oneself, (2) noble values relating to others or humans in social sphere, and (3) noble values related to God. Meanwhile, the relevance of these noble values to people’s lives today, which is very relevant because it becomes a social control tool. The noble values contained there in not only play a role in regulating behavior between individuals or communities, but also their relationship with God. Keywords: noble values, traditional expressions, Halong Dayak tribe Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan studi pustaka. Dalam teknik analisis data digunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menganalisis satu per satu nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini. Tahap berikutnya, membuat simpulan dari keseluruhan hasil penelitian. Selanjutnya, dalam penyajian hasil analisis data akan menggunakan metode informal, yakni dengan mendeskripsikan hasil kajian dalam bentuk kata- kata atau uraian kalimat. Dari hasil analisis ditemukan bahwa nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan, yaitu (1) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan

Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

NILAI-NILAI LUHUR DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL SUKU DAYAK HALONG BALANGAN

Noble Values in the Traditional Expression of the Dayak

Halong Balangan Tribe

Hestiyana Balai Bahasa Kalimantan Selatan

Jalan Jenderal A. Yani Km 32, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel Pos-el: [email protected]

Abstract This study aims to describe the noble values in the traditional expression of the Dayak Halong Balangan tribe and the relevance of these noble values to people’s lives today. This study used descriptive qualitative method. The techniques used in data collection are observation, interview, and literature study. In the technique of data analysis used descriptive qualitative analysis, namely by analyzing the noble values one by one in the traditional expression of the Dayak Halong Balangan tribe and the relevance of these noble values to people’s lives today. The next stage, make conclusions from the overall results of data analysis will use informal methods, namely by describing the results of the study in the form of words or sentence descriptions. From the analysis it was found that the noble values in the traditional expression of theDayak Halong Balangan tribe include: (1) noble values related to oneself, (2) noble values relating to others or humans in social sphere, and (3) noble values related to God. Meanwhile, the relevance of these noble values to people’s lives today, which is very relevant because it becomes a social control tool. The noble values contained there in not only play a role in regulating behavior between individuals or communities, but also their relationship with God. Keywords: noble values, traditional expressions, Halong Dayak tribe

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan studi pustaka. Dalam teknik analisis data digunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menganalisis satu per satu nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini. Tahap berikutnya, membuat simpulan dari keseluruhan hasil penelitian. Selanjutnya, dalam penyajian hasil analisis data akan menggunakan metode informal, yakni dengan mendeskripsikan hasil kajian dalam bentuk kata-kata atau uraian kalimat. Dari hasil analisis ditemukan bahwa nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan, yaitu (1) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan

Page 2: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

16

diri sendiri, (2) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan sesama atau manusia dalam lingkup sosial, dan (3) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan Tuhan. Adapun, relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini, yakni sangat relevan karena menjadi alat pengendali sosial. Nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya tidak hanya berperan dalam mengatur perilaku antarindividu ataupun masyarakat, tetapi juga hubungannya dengan Tuhan.

Kata kunci: nilai luhur, ungkapan tradisional, suku Dayak Halong

1. Pendahuluan

Kebudayaan merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang mengandung norma-norma, nilai-nilai atau tatanan nilai yang menjadi pedoman masyarakat pendukungnya. Koentjaraningrat (2002: 19) mengatakan bahwa kebudayaan mencerminkan bentuk dari gagasan dan karya masyarakat yang dibiasakan dengan proses belajar dan keseluruhan hasil buah masyarakatnya. Pendapat yang sama dikemukakan E.B Tylor dalam Prasetya (2004: 30) bahwa kebudayaan adalah suatu kesatuan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hukum, adat istiadat, dan kesanggupan-kesanggupan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Dengan demikian, kebudayaan merupakan hasil karya manusia untuk menciptakan segala sesuatu yang berguna bagi dirinya dan masyarakat, seperti pengetahuan dalam ungkapan tradisional dan faktor-faktor susila yang mengatur di dalamnya.

Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk sastra tradisional. Danandjaya dalam Mursalim (2017: 374) mengatakan bahwa ungkapan merupakan kata hasil pengecilan dua buah kata atau

lebih untuk menyatakan suatu hal atau maksud yang memiliki asumsi berkias dan berkonotasi.

Mitchell dalam Nurgiyantoro (2016: 163) menyatakan bahwa sastra tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Lebih lanjut, Sibarani (2012: 47) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah pelaksanaan kebudayaan secara tradisional suatu masyarakat atau komunitas yang diwariskan secara turun-temurun melalui medium lisan dari berbagai generasi. Tradisi tersebut berupa susunan kata-kata lisan maupun tradisi lisan yang bentuknya tidak murni lisan.

Hal tersebut seperti yang dikemukakan Finnegan dalam Hestiyana (2016: 208) bahwa karya dapat disebut sastra atau tradisi lisan dengan melihat ketiga aspeknya, yaitu komposisi, cara penyampaian, dan pertunjukkannya. Jadi, dalam tradisi lisan terdapat nilai-nilai yang mampu membentuk karakter masyarakat pendukungnya.

Danandjaja (2002: 22) menyatakan bahwa kajian terhadap sastra lisan bukan hanya dapat mengetahui perkembangan sastra itu saja yang merupakan khasanah budaya daerah dan nusantara, tetapi sekaligus dapat mengetahui

Page 3: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

17

kedudukan, fungsi, dan keadaan masyarakat sebagai pendukung sastra daerah atau sastra lisan tersebut.

Sastra lisan mampu menjadi tatanan nilai kehidupan masyarakat pendukungnya dan menjadi pedoman moral dalam berperilaku, seperti kehidupan suku Dayak Halong Balangan. Suku Dayak Halong disebut juga suku Dayak Balangan. Hal ini seperti yang diungkapkan Nabiring (2013: 16) bahwa suku Dayak Balangan lazim juga disebut Dayak Halong yang komunitas etniknya bermukim di wilayah Pegunungan Meratus.

Dalam kehidupannya suku Dayak Halong dikenal sebagai suku yang memiliki nilai toleransi tinggi. Hal ini seperti yang diungkapkan Hartatik (2017: 21) bahwa Halong merupakan daerah unik yang mencerminkan kehidupan masyarakat berazas Pancasila. Ada lima agama dan aliran kepercayaan yang hidup berdampingan secara damai, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kepercayaan Kaharingan atau agama leluhur.

Suku Dayak Halong juga sangat kental dengan kearifan lokalnya. Salah satunya ungkapan tradisional yang menggambarkan dan menjadi tatanan nilai-nilai kehidupan. Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luhur tersebut perlu dipahami, dihayati, dan dilestarikan dalam konteks bermasyarakat karena

merupakan suatu wujud kebudayaan yang diwariskan para leluhur.

Dalam ungkapan tradisional terkandung nilai-nilai moral yang memiliki fungsi sebagai lambang identitas budaya suku Dayak Halong. Hal inilah yang menarik dari suku Dayak Halong Balangan untuk dikaji lebih dalam. Mengingat, nilai-nilai luhur sebagai bagian dari nilai budaya yang mengajarkan cara-cara bersikap dan bertingkah laku dengan sesama, baik dengan sesama suku Dayak Halong ataupun di luar suku Dayak Halong.

Fenomena yang terjadi akibat pengaruh globalisasi hingga berdampak pada masalah budaya dan stabilitas sosial, terlihat pada sikap generasi muda. Perlahan perilaku mereka yang mulai meninggalkan tradisi budaya. Hal ini menjadi penyebab terkikisnya nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun-temurun. Apabila hal ini dibiarkan, lama-kelamaan nilai-nilai luhur tersebut akan luntur dan punah. Dengan mengungkap nilai-nilai dalam ungkapan tradisional ini dapat menjadi tatanan nilai dan pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan Mursalim (2017) berjudul “Ungkapan Tradisional Bahasa Banua di Kabupaten Berau Kalimantan Timur”. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ungkapan tradisional bahasa Banua merupakan warisan hasil pemikiran leluhur yang sudah memiliki pandangan terhadap nilai sosial, agama, moral, sejarah, pendidikan, dan nilai etika.

Page 4: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

18

Kemudian, penelitian yang terkait dengan nilai-nilai luhur dilakukan Ilyas (2019) berjudul “Nilai-Nilai Luhur dalam Pappasang Masyarakat Mandar”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa isi pappasang, antara lain mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya. Pappasang sebagai media untuk pembentukan jati diri dan menjadi salah satu landasan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para leluhur orang Mandar yang membentuk manusia yang malaqbiq yang mengenal istilah siriq dalam kehidupan, adat istiadat agar mempunyai harga diri, kehormatan, dalam perwujudan sikap.

Berbeda dengan penelitian terdahulu, penelitian ini difokuskan pada kajian nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan relevansinya terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Mengingat, nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong yang mengandung ajaran moral dan menjadi tatanan nilai kehidupan suku Dayak Halong sehingga perlu dilakukan penelitian ini.

Di samping itu, suku Dayak Halong memiliki kekayaan tradisi lisan dan salah satunya ungkapan tradisional yang patut dijaga dan dilestarikan serta diwariskan kepada generasi penerus agar tidak hilang begitu saja.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian terkait bahwa ditemukan

fakta empiriknya, yakni mulai terkikisnya nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional. Nilai-nilai luhur sebagai pedoman moral suku Dayak Halong yang terdapat di Kalimantan Selatan ataupun di daerah lain seharusnya tetap dipelihara dan terus dilestarikan. Dengan senantiasa menjaga nilai-nilai luhur dalam tradisi lisan yang terdapat dalam budaya lokal, tentunya menunjukkan kekayaan dan keberagaman wujud kebudayaan nasional.

Berdasarkan uraian terdahulu, ada dua permasalahan penting yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan? dan (2) sejauh mana relevansi nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dengan kehidupan masyarakat saat ini?

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu (1) mendeskripsikan nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan (2) mendeskripsikan relevansi nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dengan kehidupan masyarakat saat ini.

Penelitian mengenai nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan ini dapat memberikan gambaran kehidupan atau sebagai cerminan kultural suku Dayak Halong Balangan. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi sarana penanaman nilai-nilai budaya dan sumber informasi dalam rangka melestarikan sastra daerah. Selain itu, penelitian ini dapat

Page 5: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

19

menjadi bahan referensi untuk melakukan penelitian lanjutan terkait dengan nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional.

Dalam sastra terkandung gagasan, pandangan, dan nilai-nilai budaya yang pernah ada dalam masyarakat. Hal ini seperti yang dikemukakan Nurgiyantoro (2016: 169) bahwa sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, tetapi pasti muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat istiadat, konvensi, keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang estetika yang semuanya dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sastra hadir di tengah-tengah masyarakat dengan membawa nilai-nilai luhur.

Bertens (2011: 31) mengemukakan bahwa setiap masyarakat memiliki dan mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Nilai dan norma tersebut berkaitan dengan erat dengan perilaku dan moralitas individu di dalam masyarakat.

Pendapat serupa juga dikemukakan Thodorson dalam Warsito (2012: 98) bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Ketertarikan orang atau kelompok terhadap nilai relatif sangat kuat bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.

Zaimar (2015: 395) menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Misalnya, sesuatu yang benar, yang indah, atau yang baik menurut penilaian seseorang harus sesuai dengan masyarakat zamannya.

Menurut Bertens (dalam Zaimar, 2015: 395) menjelaskan bahwa untuk memahami apa yang disebut nilai, perlu dilakukan dengan perbandingan fakta. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi: semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai memiliki peranan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya nilai sering dinilai berbeda oleh setiap orang.

Nilai adalah segala sesuatu yang berharga (Koyan, 2000: 12). Nilai dapat dibedakan menjadi dua, yakni nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, nilai merupakan sesuatu yang diinginkan yang menjadi pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kehidupan masyarakat akan menjadi pedoman dalam menentukan sikap dan perilaku kita terhadap orang lain, termasuk sebagai pembentuk jati diri.

Menurut Notonegoro yang dikutip Rahayu (2018: 10) nilai dapat digolongkan menjadi tiga, antara lain

Page 6: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

20

(1) nilai material, yakni segala sesuatu yang berguna bagi jasmani dan rohani; (2) nilai vital, yakni segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melakukan aktivitas atau kegiatan; (3) nilai kerohanian yang terdiri atas: (a) nilai kebenaran yang bersumber pada akal pikir manusia atau rasio, budi, cipta; (b) nilai estetika atau keindahan yang bersumber pada rasa manusia; (c) nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada nurani manusia; dan (d) nilai religius atau ketuhanan yang bersifat mutlak dan bersumber pada keyakinan manusia.

Sjarkawi (2009: 31) membagi sifat-sifat nilai dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) nilai sebagai realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia, nilai ini tidak dapat dikenal melalui indra dan yang dapat diamati hanya objek yang bernilai; (2) nilai memiliki sifat normatif, yakni nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal; dan (3) nilai berfungsi sebagai daya dorong atau motivator dan manusia sebagai pendukung nilai.

Berkaitan dengan nilai, dalam kehidupannya manusia mengalami fase-fase yang menjadi persoalan kehidupan. Nurgiyantoro (2012: 323) menjelaskan bahwa secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia dapat dibedakan ke dalam persoalan, yaitu: (1) hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan

alam, dan (3) hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dengan demikian, nilai merupakan sesuatu yang berharga dan yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Konsep nilai-nilai luhur merupakan segala sesuatu yang dianggap baik dan benar serta menjadi ukuran dalam bertindak sehingga nilai dilekatkan pada ungkapan oleh penutur yang membedakan ungkapan tersebut dengan ungkapan yang lain. Nilai-nilai luhur ini membawa pesan positif agar senantiasa berperilaku sesuai dengan tatanan nilai, norma, dan etika.

Ungkapan tradisional merupakan perkataan atau kalimat pendek yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi sarana dalam menyampaikan nasihat serta di dalamnya terkandung nilai-nilai yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat pendukungnya. Hal ini seperti yang dikemukakan Carventes dalam Danandjaja (2002: 13) bahwa ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang.

Athaillah dalam Rahmawati (2014: 13) mengemukakan bahwa ungkapan tradisional adalah ungkapan yang dikenal oleh masyarakat pendukungnya. Ungkapan tersebut telah berkembang secara turun-temurun dengan makna dan simbol yang terkandung di dalamnya bersifat tetap dan hakikat.

Lebih lanjut, Gaffar dalam Rahmawati (2014: 14) menyatakan ungkapan tradisional adalah

Page 7: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

21

perkataan atau kelompok kata khusus yang menyatakan suatu maksud dengan kiasan yang diindahkan sehalus mungkin.

Danandjaja (2015: 82) menjelaskan bahwa bagian dari kebudayan yang disebut folklore dapat berupa ujaran rakyat, ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, dan lain-lain), teka-teki, cerita prosa seperti mite, legenda, dan dongeng (termasuk anekdot dan lelucon), nyanyian rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, kepercayaan/keyakinan rakyat, arsitektur rakyat, seni rupa dan seni lukis rakyat, musik rakyat, serta gerak isyarat (gesture). Dengan demikian, ungkapan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai-nilai luhur.

Danandjaja (2002: 32) mengemukakan peran atau fungsi ungkapan tradisional bagi suatu masyarakat, antara lain: (1) sebagai proyeksi yang mencerminkan angan-angan kelompok; (2) sebagai sistem alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak; dan (4) sebagai sistem alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma dalam masyarakat selalu dipatuhi.

Selanjutnya, Danandjaja (2002: 28) mengemukakan ciri-ciri ungkapan tradisional sebagai berikut: (1) ungkapan harus berupa satu kalimat atau ungkapan tidak cukup dengan satu kata tradisional saja dan (2) ungkapan ada dalam bentuk yang sudah standar. Dengan kata lain, ungkapan harus memiliki vitalitas atau daya hidup tradisi lisan yang

dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olahraga, dan sebagainya.

Dengan demikian, ungkapan tradisional merupakan kalimat pendek atau kelompok kata yang dikenal masyarakat serta diwariskan secara turun temurun dan mengandung nasihat, pesan, petuah, dan pedoman dalam bertingkah laku. Ungkapan tradisional bertujuan untuk menyampaikan suatu maksud dengan cara yang lebih halus menggunakan arti kiasan.

Dalam menganalisis data nilai-nilai luhur, penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan Nurgiyantoro (2012), yakni secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia dapat dibedakan ke dalam persoalan, yaitu: (1) hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan (3) hubungan manusia dengan Tuhannya.

Adapun, pemahaman mengenai ungkapan tradisional dan relevansinya dengan kehidupan saat ini akan ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Danandjaja (2002/2015).

2. Metode

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Endraswara (2013: 176) mengemukakan bahwa deskriptif kualitatif mengutamakan penggambaran data melalui kata-kata. Pendapat yang sama

Page 8: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

22

dikemukakan Semi (2012: 23) bahwa metode deskriptif adalah metode yang dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi menggunakan penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.

Berkaitan dengan objek yang akan dikaji, dalam metode ini akan dikumpulkan, diklasifikasikan, dan dianalisis data yang ditemukan sehingga diperoleh deskripsi menyeluruh mengenai nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional.

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan studi pustaka. Teknik observasi dilakukan untuk mengamati tempat penelitian. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan di Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari informan. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan kepada informan, yakni tetuha adat dan balian suku Dayak Halong, serta orang tua yang memiliki anak. Dipilihnya informan tersebut dengan asumsi bahwa mereka yang disegani dan menjadi panutan akan selalu mengayomi, terutama kepada yang lebih muda.

Teknik studi pustaka digunakan untuk melengkapi data penelitian atau referensi dari penelitian terdahulu. Dalam hal ini, penelitian yang terkait dengan nilai-nilai dalam ungkapan tradisional akan dipilih dan menjadi sumber referensi yang menunjang penelitian ini.

Taum (2011: 246) mengemukakan bahwa pada prinsipnya penelitian sastra lisan merupakan studi lapangan yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, penelitian sastra lisan perlu dipersiapkan secara matang sebelum waktu pelaksanaannya, misalnya dengan melakukan teknik studi pustaka.

Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahaminya perlu adanya analisis, yaitu menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsurnya (Suroso, dkk., 2009: 64).

Dalam teknik analisis data digunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menganalisis satu per satu nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan dan relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini.

Tahap berikutnya membuat simpulan dari keseluruhan hasil penelitian. Selanjutnya, pada penyajian hasil analisis data akan menggunakan metode informal (Sudaryanto, 2015: 241), yakni dengan mendeskripsikan hasil kajian dalam bentuk kata-kata atau uraian kalimat.

3. Hasil dan Pembahasan

Ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan merupakan salah satu kearifan tradisi yang mengandung nilai-nilai luhur sebagai warisan budaya para leluhur. Pewarisan budaya tersebut perlu dijaga dan terus dilestarikan karena menjadi pedoman dalam berperilaku

Page 9: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

23

terhadap sesama suku Dayak Halong sendiri ataupun di luar suku Dayak Halong.

Nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong mencakup nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan diri sendiri, berhubungan dengan sesama atau manusia dalam lingkup sosial, dan berhubungan dengan Tuhan serta relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini. Berikut hasil analisisnya.

3.1 Nilai-Nilai Luhur dalam

Ungkapan Tradisional Suku Dayak Halong Balangan yang Berhubungan dengan Diri Sendiri

1. Tasusuran basumbi kuing Ungkapan tradisional

tasusuran basumbi kuing “hendaklah menyadari kesalahan sendiri sebelum menyalahkan orang lain” merupakan ungkapan yang digunakan suku Dayak Halong untuk mengikis kebiasaan buruk dengan mengintrospeksi diri atau menilai diri sendiri terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dorongan menyalahkan orang lain sehingga orang tersebut akan menyadari bahwa dirinya pun tidak luput dari kesalahan.

Ungkapan tradisional ini mampu mencerminkan perilaku suku Dayak Halong yang mengingatkan pada diri sendiri bahwa seseorang akan

lebih mengetahui sikap diri sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihan.

Dengan begitu, tidak mudah menilai orang lain dari sisi buruknya saja. Dengan ungkapan tradisional ini dapat membantu mengurangi sikap ingin menang sendiri dan merasa diri paling benar.

Biasanya, ungkapan

tradisional tasusuran basumbi kuing ini diucapkan orang yang lebih tua ketika memberi nasihat kepada yang lebih muda agar senantiasa bersikap dan berperilaku baik terhadap orang lain. Ungkapan tradisional ini juga sebagai pengingat diri ketika terjadi masalah di antara suku Dayak Halong Balangan.

2. Kibit lunek saorang, wa’u ngibit ulun

Ungkapan tradisional kibit lunek saorang, wa’u ngibit ulun “jika kita merasa sakit atas perlakuan yang tidak baik kepada kita, maka begitu pula yang orang lain rasakan” merupakan ungkapan yang sering digunakan suku Dayak Halong sebagai pengingat diri.

Ungkapan tradisional tersebut mengandung nilai moral bahwa tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Sebagai manusia kita diajak untuk sebisa mungkin tidak menyakiti hati orang lain.

Page 10: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

24

Ungkapan tradisional ini juga direfleksikan dengan diri sendiri, yakni ketika kita diperlakukan dengan tidak baik atau perbuatan yang membuat kita tersinggung tentu kita akan merasa sakit hati. Hal ini juga akan dirasakan orang lain, ketika orang tersebut diperlakukan tidak baik, tidak adil, ataupun dikecewakan.

Seyogyalah, kita secara bijaksana belajar untuk bersikap baik dan hidup damai berdampingan dengan orang lain sehingga membuat hati kita menjadi tenteram.

Ungkapan kibit lunek saorang, wa’u ngibit ulun menjadi nasihat yang mengandung nilai-nilai moral. Lazimnya, ungkapan ini diucapkan orang tua kepada anaknya dan tetuha adat sebagai bentuk adat warisan para leluhur bahwa suku Dayak Halong senantiasa memiliki empati, baik terhadap keluarga ataupun orang lain.

3. Ha kapit hapau mae’ang Ungkapan tradisional ha

kapit hapau mae’ang “menjelekkan orang lain mudah, jika dia sendiri sudah dalam keadaan senang” merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyindir seseorang yang begitu mudahnya menjelek-jelekan orang lain.

Ungkapan ini menyiratkan seseorang yang selalu mengurusi urusan hidup orang lain tanpa peduli dengan urusan sendiri. Ungkapan tradisional ini mengajarkan nilai-nilai luhur bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berani mengakui kesalahannya.

Selain itu, jangan mengelak kesalahan diri sendiri dengan menyalahkan dan menjelekkan orang lain. Apalagi menunjuk orang lain sebagai pihak yang salah dan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam.

Biasanya, ungkapan tradisional ha kapit hapau mae’ang ini lebih sering ditujukan kepada perempuan yang berselisih paham. Para tokoh adat berusaha meredakan konflik dengan memanggil orang yang berselisih, lalu memberikan petuah dan nasihat ungkapan tersebut.

4. Laka sampuraka Ungkapan tradisional

laka sampuraka “sudah miskin, melarat, cacat, mempunyai tabiat yang jelek” merupakan ungkapan yang menggambarkan seseorang yang memiliki sifat atau tabiat yang tidak baik.

Ungkapan ini memberikan nilai-nilai luhur bahwa bagaimana pun keadaan kita, baik itu kaya atau miskin, hendaknya selalu

Page 11: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

25

memiliki sikap yang mulia. Tuturan laka sampuraka ini merupakan ungkapan yang sering disampaikan sebagai bentuk nasihat.

Ungkapan ini tidak hanya ditujukan kepada seseorang yang miskin dan memiliki sifat yang tidak baik saja. Akan tetapi, orang dewasa dan anak juga diberi nasihat melalui ungkapan ini.

Sifat manusia dapat diketahui dari karakternya sehari-hari. Meskipun diketahui bahwa ketika manusia terlahir ke dunia dengan membawa pembawaan baik atau buruk, lingkungan mampu mempengaruhi perkembangannya. Selain itu, manusia dapat mengontrol semua tingkah lakunya dengan menggunakan akal pikiran.

Ungkapan ini mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai luhur bahwa hendaknya kita pandai mengelola emosi dengan selalu berperilaku baik serta selalu menebarkan kebaikan kepada orang lain. Dengan begitu, kehidupan kita akan lebih berarti, baik bagi diri kita sendiri ataupun orang lain.

Ungkapan laka sampuraka ini mengandung nilai luhur yang mampu menjadi pedoman dalam bertingkah dan berperilaku. Para orang tua atau tetuha adat biasanya memberikan

nasihat kepada seseorang yang memiliki kehidupan kurang beruntung. Dengan ungkapan tradisional ini, diharapkan mereka dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

3.2 Nilai-Nilai Luhur dalam

Ungkapan Tradisional Suku Dayak Halong Balangan yang Berhubungan dengan Sesama atau Manusia dalam Lingkup Sosial 1. Bila ipander ihanga badaholo

Ungkapan tradisional bila ipander ihanga badaholo “jangan sembarangan mengeluarkan perkataan sehingga dapat menyinggung perasaan orang lain” merupakan ungkapan untuk selalu hati-hati dalam bersikap.

Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut mengingatkan seseorang agar selalu waspada dengan ucapannya yang dapat menyinggung perasaan orang lain.

Ungkapan ini memberi nasihat bahwa sebelum mengucapkan sesuatu lebih baik dipikirkan terlebih dahulu baik buruknya. Kalau kita sembarangan mengeluarkan ucapan dan membuat orang lain tersinggung hal ini tentunya akan berakibat buruk.

Sebuah ucapan dapat melukai perasaan orang lain

Page 12: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

26

sehingga dapat mengakibatkan perpecahan. Hal inilah yang membuat suku Dayak Halong selalu berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu agar orang lain tidak tersinggung dengan perkataan tersebut.

Ungkapan tradisional bila ipander ihanga badaholo ini sering kali diucapkan para tetuha adat suku Dayak Halong Balangan sebagai pengingat agar senantiasa bersikap dan berperilaku baik. Dengan ungkapan tradisional ini diharapkan keutuhan dan kebersamaan akan terus terjalin dengan baik.

2. Salajur manyalajur Ungkapan tradisional

salajur manyalajur “mengerjakan dua atau tiga pekerjaan secara bersamaan” merupakan ungkapan yang digunakan suku Dayak Halong untuk menyelesaikan dua atau tiga pekerjaan sekaligus. Dengan kata lain, sekali kita mengerjakan sesuatu maka kita akan dapat menyelesaikan pekerjaan lain.

Ungkapan ini mengajarkan kepada kita bahwa dengan mengerjakan dua atau tiga pekerjaan sekaligus tentu akan menghemat waktu. Ungkapan ini sering digunakan suku Dayak Halong ketika dilaksanakannya ritual-ritual adat, yakni mereka

bergotong-royong serta bahu-membahu dalam mempersiapkan segala keperluan ritual adat.

Ungkapan tradisional ini senantiasa diucapkan orang tua kepada anaknya serta tetuha adat kepada suku Dayak Halong agar senantiasa tolong-menolong dalam kebaikan.

3. Mararumba ta’ii Ungkapan tradisional

mararumba ta’ii “ikut-ikutan atau tidak mempunyai pendirian” merupakan ungkapan yang menggambarkan seseorang yang memiliki karakter suka ikut-ikutan orang lain, tidak punya prinsip, dan tujuan hidup.

Orang yang suka ikut-ikutan biasanya akan bingung dengan dirinya sendiri dan merasa takut dengan pendapat ataupun keadaan yang dialaminya.

Seseorang yang tidak punya pendirian selalu ingin tahu dengan masalah orang lain. Orang tersebut tidak mempunyai pegangan yang kuat sehingga hidupnya pun bergantung pada orang lain.

Ungkapan tradisional ini memberikan nilai-nilai luhur bahwa kita jangan sampai bertingkah laku yang tidak baik karena akan berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain.

Page 13: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

27

Ungkapan mararumba ta’ii sering diucapkan para orang tua kepada anaknya yang sering ikut-ikutan dalam masalah orang lain, tanpa mengetahui dengan jelas penyebabnya. Dengan diberikannya nasihat ungkapan ini, diharapkan anak sebagai generasi penerus suku Dayak Halong dapat menjaga keutuhan dan kebersamaan.

4. Sambut saluangan Ungkapan tradisional

sambut saluangan “suka menyela pembicaraan orang, saat orang belum selesai menyampaikan pendapat” merupakan ungkapan untuk menyebut seseorang yang suka menyela pembicaraan orang lain, padahal tidak diajak bicara. Seseorang yang dikatakan sambut saluangan biasanya orang tersebut asal bicara meskipun tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.

Ungkapan ini mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai luhur ketika berbicara dengan orang lain. Ketika ingin berbicara, hendaknya jangan asal menyela pembicaraan orang lain. Akan tetapi, terlebih dahulu kita harus menunggu orang lain selesai berbicara atau mengeluarkan pendapatnya.

Kalau memang tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya atau pokok

yang dibicarakan lebih baik kita diam sehingga tidak menambah permasalahan menjadi lebih buruk.

Biasanya, ungkapan tradisional sambut saluangan ini diucapkan orang tua kepada anaknya atau orang yang lebih tua kepada yang muda ketika menyela pembicaraan orang lain. Nasihat ini menjadi norma yang harus dipatuhi.

3.3 Nilai-Nilai Luhur dalam Ungkapan Tradisional Suku Dayak Halong Balangan yang Berhubungan dengan Tuhan 1. Matei rampasan

Ungkapan tradisional matei rampasan “orang yang meninggal pada usia muda karena diguna-guna” merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyebut seseorang yang meninggal dunia karena terkena parang maya atau santet.

Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang meninggal tidak wajar. Hal ini dilakukan oleh orang yang merasa tersakiti hatinya dan mengalami kekecewaan yang mendalam.

Ungkapan matei rampasan ini memberikan nilai positif bahwa kita harus menjaga sikap jangan sampai menyakiti perasaan orang lain ataupun membuat orang lain kecewa. Hal ini disebabkan seseorang yang sudah

Page 14: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

28

memendam rasa sakit hati bisa berbuat nekat.

Apabila kita yang menjadi pihak tersakiti, maka belajarlah tulus ikhlas untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jangan sampai berbuat yang tidak wajar dan menggunakan ilmu hitam sebagai pembalasan rasa sakit dan kecewa. Ungkapan ini menggambarkan cara kita berlapang dada dan belajar memaafkan dengan tulus.

Ungkapan tradisional matei rampasan ini merupakan ungkapan yang sudah mendarah daging bagi suku Dayak Halong. Para tetuha adat, balian, atau orang tua sering memberikan nasihat ini kepada yang lebih muda.

Hal ini disampaikan ketika ada pertemuan di balai adat ataupun ketika akan berlangsungnya upacara ritual adat. Dengan sering disampaikannya ungkapan ini, diharapkan masyarakat suku Dayak Halong dapat menjaga tali silaturahmi dan persaudaraan, baik dengan sesama suku Dayak Halong ataupun dengan masyarakat lainnya.

2. Pujud sumala Ungkapan tradisional

pujud sumala “orang yang melakukan hubungan di luar nikah atau zina” adalah ungkapan yang digunakan untuk menyebut seseorang

yang melanggar adat, yakni melakukan hubungan di luar nikah.

Suku Dayak Halong memaknai perbuatan zina yang dilakukan di luar nikah sebagai perbuatan terkutuk yang melanggar hukum adat. Selain mencoreng tradisi adat, perbuatan zina ini juga adalah sebuah dosa besar. Dosa yang tidak hanya ditanggung oleh si pelaku, tetapi juga masyarakat Dayak Halong. Oleh sebab itu, ungkapan pujud sumala senantiasa dijadikan petuah tetuha adat dan masyarakat Dayak Halong.

Nilai positif yang diberikan ungkapan ini bahwa harus bisa menjaga diri dan pergaulan terhadap lawan jenis. Kalau hal ini dilanggar, tidak hanya memalukan diri sendiri, tetapi pihak keluarga juga akan terpukul dan mendapat aib atas perbuatan tercela tersebut.

Ungkapan ini mengajarkan bahwa pergaulan yang salah dapat menjerumuskan hidup seseorang pada jurang kehancuran. Sudah sepatutnya dalam kehidupan menjaga diri dari perbuatan dan tingkah laku yang melanggar adat dan norma.

Apabila melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai sosial, maka bukan

Page 15: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

29

hanya kita yang akan mendapat sanksi tetapi keluarga juga akan menanggung malu atas perbuatan tersebut. Oleh sebab itu, ungkapan pujud sumala ini harus dijauhkan dari kehidupan dan keluarga.

Pujud sumala merupakan ungkapan tradisional yang menjadi tata nilai atau aturan dalam menjaga perilaku. Ungkapan ini sering dituturkan orang tua kepada anaknya atau orang yang lebih tua kepada yang lebih muda.

3.4 Relevansi Nilai-Nilai Luhur

dalam Ungkapan Tradisional Suku Dayak Halong Balangan dengan Kehidupan Masyarakat Saat Ini Di dalam ungkapan tradisional

terdapat tradisi, budaya, dan kultur masyarakat pendukungnya yang mengandung norma-norma sosial dan mencerminkan nilai tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang tidak baik.

Dengan kata lain, ungkapan tradisional memuat nilai-nilai tatanan kehidupan, nasihat, tuntutan untuk kebaikan, etika, adat istiadat, sindiran atau pun kritik yang sifatnya membangun.

Dalam ungkapan tradisional terkandung nilai-nilai luhur yang sangat relevan dalam membentuk kepribadian atau karakter masyarakat pendukungnya. Ungkapan tradisional dapat berperan sebagai dasar ataupun rambu-rambu

dalam berperilaku agar tidak melanggar norma-norma sosial.

Di samping itu, dalam kehidupan sehari-hari ungkapan tradisional mampu menuntun masyarakat agar menjadi pribadi yang lebih baik. Kehidupan masyarakat akan menjadi tenteram, hubungan sosial antarmasyarakatnya pun menjadi lebih baik lagi. Hal ini akan terwujud apabila masyarakat mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai luhur.

Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong sangat relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini karena mampu menjadi alat pengendali sosial (social control).

Nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya tidak hanya berperan dalam mengatur perilaku antar individu ataupun masyarakat, tetapi juga hubungannya dengan alam lingkungan serta hubungannya dengan Tuhan. Oleh sebab itu, penting untuk senantiasa menjaga dan melestarikan ungkapan tradisional.

Implementasi nilai-nilai luhur di dalam kehidupan suku Dayak Halong tampak pada penggunaan ungkapan yang disampaikan para tetuha adat, balian, orang tua, dan orang yang lebih tua kepada yang muda.

Para tetuha adat, balian, orang tua, dan orang yang lebih tua sering kali menggunakan ungkapan tradisional ini untuk memberi nasihat kepada masyarakat suku Dayak Halong Balangan, terutama anak muda sebagai generasi penerus.

Page 16: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

30

Konteks ungkapan tradisional sebagai bentuk kearifan lokal ini digunakan ketika adanya permasalahan yang muncul ataupun ada pelanggaran adat yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Misalnya, seseorang yang senang menyalahkan orang lain, maka orang itu akan dinasihati dengan ungkapan tradisional tasusuran basumbi kuing atau ungkapan tradisional kibit lunek saorang, wa’u ngibit ulun.

Para tetuha adat ataupun orang tua juga memberi nasihat melalui ungkapan tradisional ha kapit hapau mae’ang atau ungkapan tradisional laka sampuraka agar seseorang memiliki hati yang baik dan berperilaku sesuai dengan norma dan etika. Nilai-nilai luhur tersebut berhubungan dengan sikap dan diri sendiri.

Konteks nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan sesama atau manusia dalam lingkup sosial, yakni dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa menjaga ucapan atau perkataan. Dalam praktik komunikasi, ungkapan ini terlihat ketika ada seseorang yang tersinggung dengan ucapan orang lain sehingga akan dinasihati dengan ungkapan tradisonal bila ipander ihanga badaholo.

Ungkapan tradisional juga digunakan para tetuha adat ataupun orang tua untuk menasihati seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain, seperti ungkapan mararumba ta’ii. Ungkapan tradisional sambut saluangan digunakan ketika ada seseorang yang suka menyela pembicaraan orang,

saat orang belum selesai menyampaikan pendapatnya.

Konteks ungkapan tradisional salajur manyalajur akan digunakan ketika akan dilaksanakannya ritual adat, seperti aruh. Para tetuha adat ataupun orang tua akan mengucapkan ungkapan ini agar senantiasa mengerjakan dua atau tiga pekerjaan secara bersamaan dan tolong-menolong dalam kebaikan.

Dalam kehidupan suku Dayak Halong, efektivitas implementasi nilai-nilai luhur ungkapan tradisional terlihat juga pada nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan matei rampasan “orang yang meninggal pada usia muda karena diguna-guna. Ungkapan ini menjadi pengingat seseorang agar tidak berbuat sesuatu yang melanggar adat dan berbuat dosa.

Ungkapan tradisional pujud sumala juga sering diucapkan para tetuha adat dan orang tua agar seseorang selalu menjaga sikap dan perilaku dalam pergaulan. Mengingat, kehidupan sekarang yang mengalami perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Selain itu, pengaruh budaya luar perlahan-lahan ikut memengaruhi kehidupan suku Dayak Halong.

Dengan masuknya budaya modern tersebut, tentunya suku Dayak Halong membentengi dengan tata nilai yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku melalui ungkapan tradisional. Dengan terus menjaga dan memelihara nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional,

Page 17: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

31

maka mampu membentuk nilai-nilai karakter dan kepribadian positif masyarakat suku Dayak Halong Balangan.

Dengan demikian, eksistensi nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional sangat relevan dengan kehidupan saat ini. Hal ini tampak pada efektivitas implementasi nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sekarang. Nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional itu mampu menjadi tata nilai kehidupan suku Dayak Halong Balangan.

4. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional suku Dayak Halong Balangan antara lain: (1) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan diri sendiri, (2) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan sesama atau manusia dalam lingkup sosial, dan (3) nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan Tuhan serta (4) relevansi nilai-nilai luhur tersebut dengan kehidupan masyarakat saat ini.

Dalam nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan diri sendiri terdapat ungkapan tradisional, yaitu: (1) tasusuran basumbi kuing “hendaklah menyadari kesalahan sendiri sebelum menyalahkan orang lain”; (2) kibit lunek saorang, wa’u ngibit ulun “jika kita merasa sakit atas perlakuan yang tidak baik kepada kita, maka begitu pula yang orang lain rasakan”; (3) ha kapit hapau mae’ang “menjelekkan orang lain mudah, jika dia sendiri sudah dalam keadaan senang”; dan (4) laka sampuraka

“sudah miskin, melarat, cacat, mempunyai tabiat yang jelek”.

Kemudian, dalam nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan sesama atau manusia dalam lingkup sosial terdapat ungkapan tradisional, yaitu: (1) bila ipander ihanga badaholo “jangan sembarangan mengeluarkan perkataan sehingga dapat menyinggung perasaan orang lain”; (2) salajur manyalajur “mengerjakan dua atau tiga pekerjaan secara bersamaan”; (3) mararumba ta’ii “ikut-ikutan atau tidak mempunyai pendirian”; dan (4) sambut saluangan “suka menyela pembicaraan orang, saat orang belum selesai menyampaikan pendapat”.

Selanjutnya, nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan Tuhan terdapat ungkapan tradisional, yaitu: (1) matei rampasan “orang yang meninggal pada usia muda karena diguna-guna” dan (2) pujud sumala “orang yang melakukan hubungan di luar nikah atau zina”.

Adapun, relevansi nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional dengan kehidupan masyarakat saat ini, yakni sangat relevan karena menjadi alat pengendali sosial (social control). Hal ini tampak pada efektivitas implementasi nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sekarang. Nilai-nilai luhur dalam ungkapan tradisional itu mampu menjadi tata nilai kehidupan suku Dayak Halong Balangan.

Implementasi nilai-nilai luhur di dalam kehidupan suku Dayak Halong tampak pada konteks penggunaan ungkapan tradisional yang disampaikan para tetuha adat, balian,

Page 18: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Kelasa, Vol.15, N0.1, Juni 2020: 15—33

32

orang tua, dan orang yang lebih tua kepada yang muda.

Nasihat ini mengandung nilai-nilai luhur yang tidak hanya berperan dalam mengatur perilaku antarindividu ataupun masyarakat, tetapi juga hubungannya dengan Tuhan.

Daftar Acuan Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia,

Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti Press.

------------------------. 2015. “Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka”. Dalam Pudentia (ed.), Metodologi Kajian Tradisi Lisan, hlm.79—95. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi

Kritik Sastra. Yogyakarta: Ombak. Hartatik. 2017. Jejak Budaya Dayak

Meratus dalam Persfektif Etnoreligi. Yogyakarta: Ombak.

Hestiyana. 2016. “Fungsi Tradisi Lisan

Banjar Surung Kupak”. Dalam Telaga Bahasa, Volume 4 (2), hlm. 207—218.

Ilyas, Husnul F. 2019. “Nilai-Nilai Luhur

dalam Pappasang Masyarakat Mandar”. Dalam Pusaka, Volume 7 (2), hlm. 203—218.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koyan, I Wayan. 2000. Pendidikan Moral

Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Depdiknas.

Mursalim. 2017. “Ungkapan Tradisional

Bahasa Banua di Kabupaten Berau Kalimantan Timur”. Dalam Prosiding Seminar Internasional Riksa Bahasa XI, Penguatan Pendidikan Bahasa Indonesia pada Abad Ke-21, hlm. 374—377. Bandung: UPI.

Nabiring, Eter. 2013. Kamus Populer Dayak

Balangan. Balangan: Dewan Adat Dayak Balangan.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori

Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

----------------------------. 2016. Sastra Anak

Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prasetya, Joko T. 2004. Ilmu Budaya Dasar.

Jakarta: Rineka Cipta. Rahayu, Fia N. 2018. “Nilai-Nilai Pendidikan

Karakter dalam Tradisi Saparan di Dukuh Warak Kelurahan Dukuh Kecamatan Sidomukti Salatiga Tahun 2017”. Skripsi. Salatiga: IAIN Salatiga.

Rahmawati. 2014. Ungkapan Tradisional

Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian

Sastra. Bandung: Angkasa Jaya.

Page 19: Nilai-nilai luhur dalam ungkapan - Kemdikbud

Nilai-Nilai Luhur Dalam....(Hestiyana)

33

Sibarani, R. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Sjarkawi. 2009. Pembentukan Kepribadian

Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra Teori, Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Warsito, Tulus, dkk. 2012. Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang Studi Kasus di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Zaimar, K. S. 2015. “Metodologi Penelitian

Sastra Lisan”. Dalam Pudentia (ed.), Metodologi Kajian Tradisi Lisan, hlm. 374—409. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.