37
9 772337 940007

9 772337 940007 - Kemdikbud

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9 772337 940007

3No. 4| Th. I | September 2013

TAJUK dAfTAr isi

Berdasarkan Konferensi Tingkat Menteri Negara-negara Anggota PBB pada tanggal 17 November 1965 di Teheran, Iran, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and

Cultural Organization) menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional(International Literacy Day). Mengingat masih tingginya jumlah penduduk tuna aksara di dunia, UNESCO mencanangkan Satu Dekade Keaksaraan Persatuan Bangsa-Bangsa atau UNLD (United Nations Literacy Decade) 2003-2012.

Dekade peningkatan penduduk global ini dibagi atas lima tema, yaitu: 1) Keaksaraan dan Gender (2003-2004); 2) Keaksa-raan dan Pembangunan Berkelanjutan (2005-2006); 3) Keaksaraan dan Kesehatan (2007-2008); 4) Keaksaraan dan Pemberdayaan (2009-2010); dan 5) Keaksaraan dan Perdamaian (2011-2012). Se-jak tahun 1948 Indonesia memulai gerakan pemberantasan buta aksara secara besar-besaran, dalam kepemimpinan Presiden So-ekarno.

Pada awal UNLD, tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta ak-sara di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah itu menyusut menjadi 7,54 juta orang. Artinya, Indonesia lebih cepat melampaui target Millenium Development Goals (MDGs) yang menyepakati penu-runan 50 persen buta aksara pada tahun 2015.

Walaupun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bukan merupa-kan provinsi buta aksara, namun angka buta huruf pada kelompok usia 45 tahun ke atas di DIY cukup tinggi, yaitu 19,6 % dari total jumlah penduduk usia di atas 45 tahun. Padahal program pembe-rantasan buta huruf yang kini dikenal dengan program pendidikan keaksaraan setiap tahun diselenggarakan dan menjangkau sampai pelosok DIY.

Fenomena angka buta aksara yang cukup tinggi DIY, diduga di antara mereka pernah mengikuti sekolah pemberantasan buta huruf atau pendidikan keaksaraan pada beberapa tahun yang lalu, bahkan puluhan tahun yang lalu, tidak terpelihara dengan baik dan mereka menjadi buta huruf kembali.

Karena itulah untuk mencapai target DIY bebas buta aksara pada tahun 2015 yang melampaui target nasional yang bebas buta aksara pada tahun 2017, harus diikuti dengan program pendidikan keaksaraan yang berkelanjutan.

Program pendidikan keaksaraan dasar perlu dilanjutkan d e-ngan program keaksaraan usaha mandiri. Karena orang dewasa buta aksara yang baru saja mengikuti program pendidikan ke-aksaraan dasar masih memiliki kemampuan keberaksaraan yang rendah. Mereka ini rentan untuk buta aksara kembali. Melalui program usaha mandiri mereka diberi peluang untuk menulis dan mengkomunikasikan rancangan usaha mandiri yang dikembang-kan. (FEP)

Dunia yang Bebas Buta Aksara SALAM REDAKSI ...................................... 2TAjUK ....................................................... 3DAFTAR ISI ............................................... 3 Fokus* jadi Cerdas dan Sejahtera ala PKBM Sembada ................................ 4 * Upaya Tingkatkan Minat Baca di Era Internet ....................................... 6

* Gunungkidul Bebas Buta Aksara ........... 8* TBM Luru Ilmu Cerdaskan Generasi Liwat Literasi ....... 10PRoFIL* Sugiyono, S.Pd, Kasi Dikmas PNFI Dikpora Sleman....... 12WARTA* TBM Iboekoe Sarana Menyemai Nilai luhur ................ 14* DIY Siap Berjaya di Batam ..................... 15

* FGD Berorientasi Gender Siapkan bahan Ajar Sesuai Kebutuhan .. 16* Syawalan 1434H BPKB DIY Tingkatkan dan Pererat Persaudaraan... 17* jadikan BPKB Eksis di Masyarakat......... 18REsENsI Buku* Mentradisikan Membaca dan Menulis ... 19sEsuLuH* Wasis Basa lan Aksara jawa ................... 20* Pertempuran Dua Panglima Besar ........ 21oPINI* Budaya Instant dan Minat Baca Masyarakat ............................................ 22* Rumah Sumber Belajar bagi Anak .......... 24* Pengembangan Kemampuan Gerak Dasar Anak Usia Dini ................. 26* Menjadi Perempuan, Istri, dan Ibu ........ 28* Mengembangkan Minat Baca Sejak Dini 30CERPEN* Mas Guru Kardi ...................................... 33LENsA BPkB .......................................... 35

4 No. 4| Th. I | September 2013

Kecamatan Playen merupakan salah satu wilayah yang kaya sumber daya alam seperti la-

han pertanian, peternakan dan sum-ber air bersih. jenis tanah di daerah ini didominasi oleh asosiasi mediteran merah dan grumosol hitam dengan bahan induk batu kapur. Sehingga, meskipun terjadi kemarau panjang, partikel air masih mampu bertahan

(www.gunungkidulkab.go.id). Adanya kondisi dan jenis tanah

yang subur dapat mendukung ak-tivitas pertanian dan perkebunan warga, sehingga memberi harapan positif dalam mengatasi kekeringan dan permasalahan lingkungan. Kon-disi lingkungan tersebut oleh kelom-pok belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sembada dijadi-

kan modal kuat untuk membangun proses belajar yang fungsional bagi warganya.

Sejak berdirinya tahun 2000, rasa kepedulian kelompok tersebut terhadap lingkungan dan masyarakat telah tertanam pada sikap dan pola pikir, mulai dari warga belajar, tutor maupun pengelola lembaga. Masya-rakat merasa tergerak untuk belajar apabila materi pembelajarannya me-manfaatkan potensi lokal serta mam-pu meberikan manfaat ekonomis.

Ketua PKBM Sembada Siti Ba-

Lingkungan pedesaan di kabupaten Gunungkidul, Daerah Isti mewa Yogyakarta (DIY), dapat menjadi inspirasi bagi kegiatan pendidikan nonformal. Potensi alam yang dimiliki tiap kawasan menghadirkan ciri khas tiap kelompok belajar masyarakat.

fOKUS

Peserta PKBM Sembada didominasi kaum perempuan. (Foto icha/ Hamemayu)

Jadi Cerdas dansejahtera ala PkBM sembada

5No. 4| Th. I | September 2013

driyah mengungkapkan, warga itu menyukai kegiatan yang mudah dan bermanfaat. Seperti menanam tanam an obat hingga membuatnya menjadi jamu instan.

PKBM Sembada sebagai lemba-ga pendidikan nonformal di kecamat-an Playen, memberikan layanan dan fasilitas pelatihan dan pemberdayaan bagi masyarakat dari berbagai ren-tang usia dan latar belakang. Ada tiga kelompok warga yang belajar tentang Pendidikan Kecakapan Hidup Berbasis Lingkungan di-fasilitasi PKBM Sembada, yakni di Desa Dengok, Desa Bleberan dan Desa Getas.

Mayoritas warga belajar tersebut bermata pencaharian petani serta didominasi kaum perempuan. Sejak tahun 2010, PKBM Sembada mulai konsis-ten dengan upaya pelestarian lingkungan melalui kegiatan be-lajar masyarakat, dimana setiap ada pembelajaran selalu diinte-grasikan dengan materi lingkungan hidup.

Perpaduan antara pandidikan nonformal dan pendidikan lingkung-an tersebut mulai teraktualisasi saat ketua PKBM Sembada menerapkan strategi pengelolaan program bela-jar, Kurikulum Berbasis Lingkungan

(Kubeli), Kegiatan Belajar Berbasis Lingkungan (Kebeli) dan Kegiatan Lingkungan Berbasis Partisipatif (Lik Parti).

Perjalanan warga belajar dan tu-tor di PKBM Sembada dalam mene-rapkan pembelajaran berbasis ling-kungan ini makin didukung dengan adanya Program Pendidikan Perem-puan untuk Pembangunan Berkelan-jutan pada tahun 2011 dari Dikmas. Program ini sebagai salah satu upaya

membekali warga belajar dengan ke-terampilan pengolahan sumber daya alam yang mampu meningkatkan ke-sejahteraan kaum perempuan.

Kegiatan belajar dalam pro-gram ini disusun pengelola dan tutor menjadi bentuk pelatihan pembuat-an pupuk kompos dan pembuatan

produk jamu instan. Warga belajar program ini seluruhnya adalah kaum perempuan sebanyak 40 orang dari Desa Bleberan dan Desa Dengok yang terdaftar menjadi warga binaan PKBM Sembada. Keberlanjutan dari program ini terbentuknya kelompok usaha bersama yang dinamakan Pa-guyuban Aksara Green, yang hingga kini aktif memberikan pelatihan bagi ibu-ibu di desa serta rutin mengada-kan pertemuan bulanan setiap Ming-gu Kliwon.

Aktivitas belajar dalam nuan-sa pendidikan nonformal memberi keleluasaan bagi masyarakat untuk “menikmati” indahnya belajar. Oleh karena itu komposisi pembelajaran praktik dan diskusi menjadi lebih do-minan dalam kegiatan belajar. Seperti belajar membuat jamu instan dengan menerapkan pembelajaran tutorial, yakni belajar sambil bekerja.

Dalam kegiatan tersebut, tutor memberikan kesempatan warga be-

lajar untuk aktif mengutara-kan pendapat dan pertanya-an sambil praktik membuat jamu. Seperti yang dilakukan Ibu Saminem yang selalu men-gajukan pertanyaan saat pem-belajaran. Ia tidak malu-malu mengajukan pertanyaan baik untuk sesama warga belajar maupun tutor. Suasana itulah yang memberikan semangat dan tekad untuk terus bela-jar.

Selain melakukan aktivitas membaca, menulis dan ber-

hitung, warga belajar pun telah ikut andil dalam pelestarian lingkung an. Serta berpartisipasi aktif dalam pe-ngolahan potensi lokal guna mewuju-dkan masyarakat yang sejahtera.

(Havissah Dyah Alaini)

Kegiatan warga belajar Sembadadi Playen, Gunung­kidul, Yogyakarta.(Foto icha/ Hamemayu)

Dinamika kelompok PKBM Sembada. (Foto icha/ Hame-mayu)

6 No. 4| Th. I | September 2013

Menurut Kepala Balai Baha-sa Daerah Istimewa Yog-yakarta (DIY) Drs. Tirto

Suwondo, M.Hum, program keak-saraan dasar termasuk di dalamnya program pengentasan buta aksara dan buta bahasa telah ditangani bi-dang Pendidikan Anak Usia Dini Pen-didikan Non Formal dan Informal (PAUDNI). Taman Bacaan Masyara-kat (TBM) juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. “Memba-ca yang sesungguhnya adalah mem-buka media cetak bukan di internet. Namun tidak dapat dipungkiri masya-rakat tengah dilanda budaya visual yang menawarkan unsur hibur an dan permainan,” kata dia.

Minat baca tulis di kalangan pe-lajar dan pendidik atau guru dapat di-katakan berimbang dilihat dari karya tulis pelajar maupun pendidik dalam jurnal serta buletin yang diterbitkan masing-masing sekolah.

Upaya nyata yang dilakukan Ba-lai Bahasa DIY dalam memberikan motivasi minat baca tulis masyarakat dengan menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan bagi 100 – 150 orang untuk menghasilkan buku, jurnal, buletin, dan majalah. Agenda

tersebut melibatkan 200 – 500 orang dalam proses penerbitan.

Baru-baru ini, lanjut Tirto Suwondo, pihaknya telah membina 360 guru dan 110 sekretaris keca-matan dan desa, program ini seba-gai program tahunan dengan kuota peserta yang menyesuaikan dana APBN yang tersedia. juga menerima kunjungan siswa untuk melihat pro-ses dalam penerbitan buku, majalah, dan jurnal di bengkel jurnalistik.

Kabid PNFI Dikpora DIY Mulyati Yuni Pratiwi, M.Si., mengatakan saat ini DIY memiliki program pengen-tasan 10 ribu warga belajar keaksa-raan dasar. Hal ini berdasarkan data BPS tahun 2010 ada sekitar 76.000 penduduk DIY dbelum melek aksara terdiri atas 90 persen usia nonpro-duktif, diatas 59 tahun.

Program lanjutan, kata Yuni mengejar target bebas buta aksara dan menuntaskan bebas buta aksara ditargetkan pada tahun 2017. Sesuai Deklarasi Dakar Perserikatan Bang-sa-Bangsa(PBB) dalam 7 target Mi-llenium Development Goals (MDGs) terkait kebijakan internasional dalam pengembangan SDM.

Pendidikan keaksaraan berbeda

dengan pendidikan formal. Pendidik-an keaksaraan ketika tidak diasah yang sudah melek huruf kembali buta aksara. Sebagai upayanya, se-telah keaksaraan dasar dilanjutkan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) untuk berwirausaha sebagai Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH). Lalu diarahkan pada pemberdayaan masyarakat melalui desa vokasi. Pada tahun 2014 mendatang program KUM untuk 2800 warga belajar mendapat alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Tentang budaya baca tu-lis masyarakat, diberikan motivasi dan pengertian bahwa sebenarnya menulis itu tidak susah. Hanya soal kebiasaan. Permasalahannya, me-nulis diawali dengan membaca. Agar

Minat baca masyarakat Yogyakarta sudah tinggi. Meski sulit diukur secara signifikan karena belum ada hasil penelitian yang mendukung. Minat menulis juga sudah tinggi terbukti banyak buku, majalah, jurnal, dan penelitian yang diterbitkan pada tahun-tahun terakhir ini masing-masing sekitar 500 eksemplar. Di Yogya karta terdapat sekitar 100 penerbit tercatat dalam anggota IKAPI dan sekitar 300 - 400 penerbit bukan anggota IKAPI.

fOKUs

Upaya Tingkatkan Minat Baca di Era Internet

Mulyati Yuni Pratiwi, M.Si.

7No. 4| Th. I | September 2013

membaca menjadi sebuah kebutu-han maka perlu diberikan motivasi sedini mungkin. Berkaitan dengan Pendidik an Anak Usia Dini(PAUD), sejak mengandung, ibu sudah membi-asakan diri membaca,” tutur Mulyati Yuni Pratiwi di ruang kerjanya.

Menurut Dosen Fakultas Pendi-dikan Bahasa Indonesia UNY Dr. Ta-dkiroatun Musfiroh, minat baca dan tulis mahasiswa Indonesia mendudu-ki peringkat 41 dari 45 negara dalam 6 tahap literasi. Budaya talk active banyak ngomong sedikit membaca dan menulis masih mendominasi. Ke-sadaran membaca untuk mendapat-kan ilmu masih kurang dari 40 persen dan lebih menyukai hiburan, seperti yang ditawarkan internet.

Minat baca tulis pada pendidik dapat dianggap mencapai 50 per-sen dari harapan. Banyaknya karya tulis dosen juga tidak jauh berbeda dengan jumlah karya tulis pendidik.

Dalam menulis perlu pengetahuan, kepekaan sosial dan minat baca yang tinggi. Berbekal ide kreatif, juga men-genal metode khusus termasuk gaya bahasa melalui proses berlatih. “Bagi yang berpikir pragmatis kadang re-ward yang diperoleh tidak sebanding dengan kerja keras dan fokus pada

suatu karya tulis. Hobi menulis per-lu dibangun dengan kesabaran,” te-gas Itadz, sapaan akrab Tadkiroatun Musfiroh.

Itadz menambahkan, untuk men-dongkrak minat baca tulis di kalangan masyarakat, pertama, pada usia anak dengan adanya perpustakaan khusus untuk anak-anak dan lomba memba-ca serta menulis. Kedua, pada usia dewasa, diadakan pemberian reward misalnya saat pemilihan dimas dia-jeng baca, pembentukan komunitas baca.

Ketiga, untuk usia lanjut, perlu penerbitan surat kabar khusus lansia dengan ukuran huruf yang mudah terbaca. “Perlu melibatkan orang-orang yang mengetahui andragogi sehingga pelatihan baca tulis yang telah diberikan bagi para lansia dapat ditindaklanjuti,” kata Itadz.

(sabatina R Widiasih)

Membaca menjadi sebuah kebutuhan dapat dilakukan di perpustakaan. (Foto Ist/Hamemayu)

Dr. Tadkiroatun Musfiroh

8 No. 4| Th. I | September 2013

Angka buta aksara di Kabupa-ten Gunungkidul, pernah dinyatakan

sangat tinggi. Bahkan tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Menyadari kondisi tersebut, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Gunungkidul merasa terpanggil menyelenggara-

kan program Keaksaraan Fungsional (KF) mengacu pada Inpres Nomor

5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun

dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA).

Kepala Bidang PAUDNI Dik-pora Kabupaten Gunungki-dul, Supriyadi, M.Pd menya-

takan tujuan dari program tersebut untuk mengentaskan warga masya-rakat dari “penderitaan” buta aksa-ra. Pihaknya menggerakkan lembaga masyarakat yang peduli pada penun-tasan buta aksara sebagai ujung tom-bak pelaksana program ini yakni 54 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar di 18 wilayah kecamatan.

Dalam melaksanakan tugasnya, PKBM bekerja sama dengan UGM, UNY, UAD, organi-sasi wanita, yayasan juga ber-mitra dengan lembaga lain. Persyaratan lembaga dapat menyelenggarakan program KF, di antaranya harus memi-liki data sasaran by name, me-miliki akte pendirian, memili-ki nomor pokok wajib pajak (NPWP), serta memiliki ijin operasional yang diterbitkan oleh Dikpora Kabupaten Gu-nungkidul.

Data sasaran program KF

tahun 2006 sebanyak 47.606 orang dari total penduduk Kabupaten Gu-nungkidul yang berusia lebih dari 15 tahun sebanyak 538.469 orang. Ini berarti warga yang “menderita” buta aksara sebanyak 8,84 persen. Sasaran tersebut tersebar di 18 keca-matan dengan urutan tiga terbanyak Kecamatan Saptosari (4.321 orang), Kecamatan Semin (4.070 orang), Ke-camatan Wonosari (3.570 orang).

Persebaran lokasi sasaran pro-gram ini sebagai berikut:

Pada tahun 2006 Kabupaten Gunungkidul berhasil mengentaskan 2.620 orang melalui dana APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, maupun Perguruan Tinggi dan Lem-baga Sosial Masyarakat. Selanjutnya berturut-turut pada 2007 sampai 2009 dapat mengentaskan sebanyak 5.793 orang, 27.486 orang, 11.618 orang. Sisanya sebanyak 89 orang sudah dituntaskan pada tahun 2010.

Terbebasnya warga sasaran dari buta aksara dibuktikan dengan

keikutsertaannya dalam program KF sampai me-nyelesaikan program. Ke-giatan pembelajaran me-liputi membaca, menulis, dan berhitung serta kete-rampilan sebagai kegiatan stimulan. Setelah selesai mengikuti kegiatan pem-belajaran dilanjutkan Eva-luasi Hasil Belajar (EHB) dan mendapatkan Surat Keterangan Melek Asara (SUKMA).

Gunungkidul Bebas Buta AksarafOKUs

Peserta didik sedang mengerjakan soal Evaluasi Hasil Belajar (EHB) Keaksaraan Fungsio­nal di Pedukuhan Kenteng Mulusan Paliyan.

No. Kecamatan Jml Penduduk Jml Prosentase ( >15 th) Sasaran 1 Wonosari 60.113 3.570 5,94% 2 Paliyan 23.169 2.015 8,70% 3 Panggang 20.616 2.478 12,02% 4 Playen 42.022 2.678 6,37% 5 Patuk 22.690 1.645 7,25% 6 Nglipar 23.000 1.942 8,44% 7 Karangmojo 38.646 1.731 4,48% 8 Semin 39.449 4.070 10,32% 9 Ponjong 39.874 3.201 8,03% 10 Semanu 43.531 3.480 7,99% 11 Tepus 27.136 2.770 10,21% 12 Rongkop 23.764 2.442 10,28% 13 Ngawen 23.744 2.633 11,09% 14 Gedangsari 28.079 2.416 8,60% 15 Saptosari 27.072 4.321 15,96% 16 Tanjungsari 21.727 1.910 8,79% 17 Purwosari 14.462 1.778 12,29% 18 Girisubo 19.375 2.526 13,04% Jumlah 538.469 47.606 8,84%

9No. 4| Th. I | September 2013

Data rinci penuntasan buta ak-sara sebagai berikut :

No Tahun Jumlah yang dituntaskan 1. 2006 2.620 Orang 2. 2007 5.793 Orang 3. 2008 27.486 Orang 4. 2009 11.618 Orang 5. 2010 89 Orang

Jml 47.606 orang

Program KF dilaksanakan dalam waktu 4 (empat) bulan dengan me-nyelesaikan kegiatan pembelajaran setara dengan 144 jam pembe-lajaran. Pelaksanaan pembelaja-ran dibimbing oleh tutor dalam setiap kelompok yang berang-gotakan 10 orang yang bertem-pat tinggal saling berdekatan sehingga memudahkan dalam pembinaannya. jadwal kegiatan pembelajaran pun diambil wak-tu senggang di sela-sela mereka bekerja.

Menurut Ketua PKBM Karya Manunggal, Yaroh Isnantini, S.Sn., kegiatan pembelajaran dilak-sanakan di balai pedukuhan atau ru-mah penduduk. Melalui program ini dapat menggugah warga masyarakat dan menyadarkan mereka akan pen-tingnya pendidikan bagi dirinya dan bagi anak-anaknya. Sehingga di sam-ping mereka bisa membaca, mereka juga akan mendorong anaknya untuk

melanjutkan sekolah. Sedangkan acuan pelaksanaan

yang berfungsi sebagai kurikulumnya adalah Standar Kompetensi Keaksa-raan (SKK) yang diterbitkan oleh De-partemen Pendidikan Nasional sejak tahun 2003. Narasumber atau tutor diambilkan dari warga masyarakat sekitar. Harapannya dapat terus me-motivasi warganya dalam menjaga kompetensi yang sudah “melek ak-sara” sehingga tidak kembali menjadi buta aksara.

Salah satu tutor KF di PKBM Karya Manunggal, Sunarti, S.Pd., mengatakan warga sasaran yang di-bimbingnya sangat antusias mengiku-ti kegiatan pembelajaran. Meskipun usia mereka sudah tidak lagi muda, bahkan sampai sekarang tetap di-dampingi mengadakan pertemuan rutin setiap bulan. Pertemuan rutin tersebut diisi dengan kegiatan mem-

baca sederhana dan belajar mengu-rus arisan.

Saat ditemui di sebuah per-temuan, seorang warga yang su-dah pernah mengikuti progam KF menanyakan,”Benjang nopo angge-nipun sekolah malih, Pak?” (Kapan lagi masuk sekolah, Pak?). Kendala yang dihadapi antara lain, warga sa-saran sebagian besar sudah berusia tua. Sehingga membutuhkan kreati-vitas yang tinggi dari para tutornya. Di samping anggaran keterampilan

jumlahnya sangat terbatas.Atas perjuangan dari Pe-

merintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul dan seluruh pela-ku program KF hingga menun-taskan buta aksara, maka Bupati Gunungkidul Suharto, SH (saat itu), menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional atas kepedulian dan kinerjanya yang tinggi dalam Percepatan Pemberantasan Buta Aksara

pada tanggal 8 September 2009. Kepala Seksi Pendidikan Luar

Sekolah (PLS) Dra.Indri Prihati-ningtyas, mengatakan prestasi ini cukup membanggakan karena Gu-nungkidul sudah terbebas dari buta aksara. Untuk menjaga dan mem-pertahankan agar tidak kembali menjadi buta aksara, diselenggarakan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). juga terus menggerakkan peran para penggiat minat baca di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) untuk terus mendukung program bebas buta aksara. (Asbani)

Peserta didik sedang me ngerjakan soal Evaluasi Hasil Belajar (EHB) Keaksaraan Fungsional(Foto-foto Asbani)

Kegiatan pembelajaran dilaksanakan di rumah Sunarti di Pedukuhan Paliyan Tengah Karangduwet Paliyan.

10 No. 4| Th. I | September 2013

Tidak ingin melihat dampak buruk gempa bumi yang dapat menimpa anak-anak

di dusun, maka didirikanlah sanggar belajar yang diberi nama Sanggar Zeny Zulfy yang menjadi cikal bakal terbentuknya TBM Luru Ilmu.

Berawal dari sebuah dusun kecil yang kemudian berkembang hingga ke daerah lain, jadi tahapan berdirinya TBM Luru Ilmu dalam melayani kebutuhan literasi bagi masyarakat. Berlokasi di Dusun Gresik, Kelurahan Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Ka-bupaten Bantul, TBM Luru Ilmu berkembang pesat hingga mampu mengukir prestasi hingga tingkat nasional.

Tujuh tahun bersama masya-rakat Dusun Gresik, TBM Luru Ilmu telah mampu memberikan warna baru dalam kehidupan warga sekitar. Adanya penyediaan buku bacaan ringan maupun buku pela-jaran untuk anak-anak usia sekolah dasar, menjadi daya tarik untuk mengunjungi TBM Luru Ilmu.

Anak-anak yang biasanya bermain, setelah mereka pulang dari sekolah, lebih memilih un-tuk berkunjung ke TBM untuk membaca buku. Setiap harinya tidak kurang dari dua puluh orang datang ke TBM Luru Ilmu untuk meminjam dan membaca buku di perpustakaan. Layanan peminja-man buku sangatlah mudah untuk diakses oleh masyarakat mulai dari

anak-anak hingga orangtua. Upaya pengelola memberikan kesempatan masyarakat agar lebih dekat de-ngan lingkung an perpustakaan terus dilakukan. Salah satunya dengan pe-layanan peminjaman buku mandiri. Dimana peminjam langsung dapat memilih hingga mencatat buku yang dipinjam, sebutlah di antaranya Ane, Keke, Tami dan Andika yang datang untuk meminjam buku se-kaligus mencatatkan dirinya sebagai peminjam.

TBM Luru Ilmu menjadi salah satu forum bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan bersama beru-pa pelatihan dan kegiatan perkum-pulan lainnya. Adanya TBM tidak

Cerdaskan Generasi Lewat Literasi

Sebuah dusun di wilayah Kabupaten Bantul menjadi miniatur kehidupan masyarakat yang memiliki budaya literasi melalui kegi-atan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Semangat untuk mem-bangun desanya paska gempa bumi tahun 2006, menjadi energi bagi Sugiyono Saiful Hadi (45) untuk mendirikan sanggar kegiatan bagi masyarakat.

fOKUs

TBM Luru Ilmu

TBM Luru Ilmu di Dusun Gresik, Sumbermulyo, Bantul berkembang pesat mengukir prestasi (Foto Havissah Dyah A/ Hamemayu)

11No. 4| Th. I | September 2013

hanya tempat untuk membaca dan meminjam buku, namun menjadi wadah pemersatu masyarakat da-lam pembelajaran.

Model integrasi antara perpus-takaan dan pendidikan anak usia dini (PAUD) juga terlihat berbeda di Luru Ilmu ini. Adanya perpusta-kaan yang terpadu dengan KB Zeny Zulfy mampu memberikan pembe-lajaran kepada anak tentang cinta baca. Dimulai dari anak usia dini, pengenalan budaya cinta baca dapat dilakukan guru maupun orangtua.

Respon positif masyarakat terhadap adanya TBM Luru Ilmu,

tak menghentikan langkah Pakdhe Saiful, sapaan akrab Saiful Hadi dan pengelola lainnya untuk mengem-bangkan model layanan yang lebih menarik. “Motor Pintar” menjadi media yang kreatif untuk mengenal-kan budaya baca.

Adanya motor pintar juga mempermudah pengelola TBM Luru Ilmu untuk menjangkau masya-rakat yang jauh dari Dusun Gresik. Luasnya daerah yang telah dijangkau oleh layanan perpustakaan keliling ini memberikan timbal balik bagi lembaga yakni dikenalnya TBM Luru Ilmu oleh masyarakat luas.

Keberadaan lembaga pelayanan literasi menjadi penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kian dinamis. Pengenalan budaya cinta baca menjadi contoh yang inspiratif mengurangi dampak ne-gatif perubahan zaman. Perubahan pola belajar dan komunikasi yang praktis menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola perpustakaan untuk terus menciptakan inovasi dalam melayan i masyarakat.

(Havissah Dyah Alaini)

TBM Luru Ilmu memberikan kesempatan masyarakat agar lebih dekat de ngan lingkung an perpustakaan (Foto Havissah Dyah A/ Hamemayu)

12 No. 4| Th. I | September 2013

Pun demikian sebaliknya. Orangtua yang mendapati putra-putrinya sudah duduk di

TK nol besar atau TK B tetapi belum bisa menyebutkan huruf dan menu-liskannya, orangtua akan sangat sedih dan malu.

Kepala Seksi Pendidikan Ke-masyarakatan, Bidang Pendidikan Non Formal (PNF) Kabupaten Sle-man Sugiyono, S.Pd menyatakan, tidak dibenarkan dan tidak boleh suatu lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) mengajarkan baca tulis ataupun keaksaraan. Lembaga pra sekolah adalah suatu taman. Taman merupakan tempat bermain yang bernilaikan pendidikan. Kalaupun sekedar mengenalkan angka, hu-ruf, diperbolehkan. Tetapi melalui permainan-permainan. “PAUD ada-lah suatu taman yang menyenangkan bagi anak,” tegas dia.

Ayah tiga anak ini sangat priha-tin, ketika banyak orangtua justru menuntut putra-putrinya minta di-berikan pekerjaan rumah (PR) saat pulang dari PAUD. Anak memang diupayakan mengenal kegiatan yang “berbau” kognitif, afektif maupun psikomotorik. Semua itu untuk bekal

di tingkat lanjut. Namun penyampain-nya tetap harus dengan bermain atau melalui permainan serta lagu-lagu.

Terkait dengan tahapan perkem-bangan anak, Sugiyono memaparkan, ada saatnya anak bermain untuk pen-gembangan imajinasi pribadinya yang merupakan “zona privacy personality“. Ini merupakan tahapan kenyamanan pribadi dalam pengembangan ima-jinasi. Bila fase ini tidak terlam paui dengan baik akan mempengaruhi proses perkembangan di fase beri-kutnya.

Sugiyono, S.Pd juga mengingat-kan tentang pengertian kurikulum sebagai suatu jarak tempuh yang ha-rus dikuasai anak pada kelas dan usia tertentu. Dari pengertian tersebut, ia menandaskan, salah bagi seorang guru ataupun pamong yang membe-rikan materi membaca-menulis bagi anak yang materinya tidak sesuai dengan kurikulum. “Kurikulum ada-lah tongkat, panutan pokok yang ha-rus dipegang oleh guru juga pamong. jika guru atau pamong melanggar kurikulum, maka tentunya telah me-lakukan kesalahan,” kata dia.

Orangtua pun harus diberikan pemahaman tentang kurikulum. Pa-

renting adalah wadah tepat untuk menjembatani antara program seko-lah dengan kemauan orangtua. Diha-rapkan ada titik temu antara kuriku-lum dengan pemahaman orangtua. Sehingga anak dapat bermain sambil belajar tanpa tekanan.

Daya Rekam AnakKetika anak memasuki usia 2 - 4

tahun sudah hafal huruf ataupun ak-sara tertentu, sebenarnya anak be-lum mengerti secara sesungguhnya tentang konsep huruf atau ataupun aksara tersebut.

Pada usia tersebut, daya rekam anak sedang memasuki masa peka atau sensitif. Apa pun yang dilihat, didengar, diamati oleh anak akan terekam dengan kuat dalam memo-rinya. Para guru atau pamong harus hati-hati menyampaikan dan me-

Anak Butuh kenyamanan kembangkan Imajinasi

Saat ini banyak orangtua bangga jika putra-putrinya yang be-rusia di bawah lima tahun (balita) sudah mampu membaca dan menulis. Terlebih, jika sang buah hati baru memasuki usia taman kanak-kanak (TK) nol kecil, dan mampu menuliskan namanya sendiri. Demikian juga di kelompok bermain sudah hafal huruf dan angka. Tentu membahagiakan.

PrOfiL

Sugiyono, S.Pd (Foto Erna/ Hamayu)

Sugiyono, S.Pd, Kasi Dikmas PNFI Dikpora Kabupaten Sleman

13No. 4| Th. I | September 2013

(foto: Erna/ Hamemayu)

ngenalkan sesuatu kepada para anak asuhnya. “Bila terlanjur memberikan yang salah, segeralah meralat dan beri tahu yang tepat. jangan sampai anak terlajur mendengar dan meli-hat yang salah menjadi rekaman dan terungkap dengan salah di kemudian hari,” terang Sugiyono.

jika mendapati anak pada usia dua tahun sudah memiliki ribuan kosa kata serta kemampuan memba-ca dan menghafal, dapat dikategori-kan anak luar biasa. Yang menangani adalah lembaga khusus.

Menurutnya, saat ini sudah ter-jadi salah kaprah dalam penafsiran pemberantasan buta huruf. Masyara-kat memahami bebas buta huruf un-tuk semua usia. Padahal diperuntuk-kan bagi orang dewasa dan minimal tujuh tahun. Otomatis dibawahnya bukan termasuk sasaran pemberan-tasan buta huruf.

Di negara jepang, pada anak usia dini, justru tidak dikenalkan huruf, ak-sara apalagi kata. justru penanaman dan pembiasaan untuk mengucapkan kata maaf, tolong, juga terimakasih. Hal tersebut dilakukan agar terjadi penanaman karakter dan belum per-lu aspek yang memberatkan anak.

Ketika anak mengatakan kata, maaf, maka anak sudah ditanamkan nilai sportivitas, mengakui kesala-han dan berani mengungkapkannya

kepada pihak lain. Bukan hanya be-rani mengungkapkan kata maaf saja, tapi sikap yang harus dilakukan dan ditampilkan ketika mengungkapkan-nya.

juga saat mengucapkan terima kasih. Anak sudah diperkenalkan dengan sikap menghargai orang lain dan rendah hati. Demikian juga keti-ka mengungkapkan kata tolong anak sudah diajarkan bahwa dia tidak da-pat hidup sendiriab. Harus bekerja sama dengan orang lain dan selalu berbuat baik bagi sesama. Sayangnya di Indonesia, kurikulum PAUD atau menu pembelajaran tersebut hanya mendapatkan porsi kecil.

Lebaih lanjut Sugiyono mengung-kapkan, pamong juga terus berusa-

ha mengenalkan kata yang mampu membuat anak percaya diri dan me-rasa memiliki kemampuan. Sehingga tidak minder, misalnya pengungkapan kata sang jagoan, sang pelari. Serta janganlah pelit memberikan pujian agar anak merasa dihargai.

Pemberantasan keaksaraan yang dimaksud Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Kabupaten Sleman adalah untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia di satu wilayah. Dalam dunia pendidikan di-pengaruhi angka melek huruf. “Makin besar indeknya makin bagus. Di Ka-bupaten Sleman indeks angka melek huruf sudah 94,8 persen sedangkan target kita 99 persen,” kata dia.

(Erna Yuli Agustin)

Aplikasi pengenalan aneka dedaunan di alam terbuka. (foto: Erna/ Hamemayu)

Aplikasi pengenalan keaksaraan dengan anggota tubuh lewat pembelajaran di alam terbuka.

Pengenalan sosialisasi terhadap teman sebaya melalui permain­an berpasangan. (Foto-foto Erna/ Hamemayu)

14 No. 4| Th. I | September 2013

Perkembangan zaman yang kian maju kadang menggerus

nilai-nilai masa lampau yang dirasa kurang menarik bagi anak-anak dan orang muda sekarang. Mereka lebih senang menghabiskan sisa waktunya

dengan nongkrong, bermain kom-puter dan game elektronik lainnya.

Melihat fenomena tersebut Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Iboekoe mencoba

mengatasi persoalan dengan me-nularkan nilai-nilai luhur masa lalu kepada pemuda di sekitar kampung Patehan, Yogyakarta. Forum disku-si telah menjadi wadah setiap orang di dalamnya untuk terus mengasah, menambah dan mengembangkan ilmu serta pengetahuan.

Seringkali stereotip tidak berdaya yang melekat pada orang lanjut usia (lansia) menjadikan mereka termarji-nalkan dari sistem sosial. Mereka ter-kesan dibiarkan sendiri dan terasing dari lingkungan keluarga dan masya-rakat. Sangat disayangkan para lansia ini melewatkan waktu tanpa ada pe-nularan nilai-nilai luhur sejarah. Pa-dahal kekayaan memori sejarah yang pernah mereka alami mampu men-

jadi bahan cerita dan diskusi de-ngan sesama lansia hingga anak-anak atau cucu-cucu mereka dan generasi penerusnya.

TBM Iboekoe (dibaca: ibo-ekoe) yang dulu bermula dari komunitas pecinta buku melihat kenyataan telah terjadi gap anta-ra lansia dengan generasi muda. Kondisi lingkungan sosial juga penambah persoalan. Akibatnya hubungan komunikasi masyara-kat menjadi renggang dan terba-gi dalam kelompok-kelompok usia. Pemuda merasa komunikasi dengan lansia tidak bisa menyatu. “Obrolan mereka ga nyambung,” tutur Faiz Ah-soul, pengurus TBM Iboekoe.

Usaha yang dilakukan Iboekoe salah satunya memberikan wadah bagi lansia untuk berdiskusi. Terletak di tengah perkampungan yang dikeli-lingi rumah-rumah warga menjadikan Iboekoe sebagai akses literasi warga sekitar. Faiz Ahsoul mengutarakan, dengan lokasi tersebut membuat warga untuk mengakses TBM Iboe-koe terasa mudah. “Bayangkan bila akses TBM berada di pinggir jalan, tentu warga atau masyarakat akan sangat terbatas mengakses karena

crowded dengan lalu lalang jalan raya,” kata dia.

Disscusion group yang dicetus sebagai program literasi bagi lansia memi-liki makna penting dalam gagasannya. Kelompok-kelompok diskusi menjadi wadah bagi orang-orang di dalamnya untuk mengasah, menambah dan mengem-bangkan ilmu serta penge-

tahuan mereka. jalinan kekeluargaan juga akan terbentuk dari adanya ko-munikasi dan interaksi.

Program-program menarik dan kreatif diciptakan di TBM Iboekoe seperti siaran radio dengan nama R Boekoe (dibaca: radio buku) yang digunakan sebagai media dalam me-nyiarkan berbagai kegiatan Iboekoe dan mengajak pendengar untuk “mendengar buku”. Hal itu merupa-kan slogan dari Radio Boekoe yang memiliki arti hasil suara-suara yang direkam kemudian disimpan dalam bentuk compact disk (CD). Selain Radio Boekoe ada juga Angkringan Buku, yang ditujukan bagi generasi muda yang suka nongkrong namun tetap bisa membaca buku.

Menyambut hari keaksaraaan, TBM Iboekoe mengadakan program kearsipan. Dengan tujuan merang-kum seluruh bahan bacaan yang ada di TBM Iboekoe. Lalu, diboekoekan dalam bentuk kliping dan juga ke dalam bentuk digital lewat alat yang disebut “meja arsip”. Dengan meng-gunakan meja arsip yang digagas Gus Muh, maka akan lebih mempermu-dah pembukuan arsip-arsip penting.

(Mochamad Fatchan Chasani)

WARTA

TBM Iboekoe tempat menularkan nilai­nilai luhur.

TBM Iboekoe di kampung Patehan, Yogyakarta.

TBM Iboekoe

Sarana Menyemai Nilai Luhur

15No. 4| Th. I | September 2013

WARTA

BPKB DIY menyelenggarakan pemusatan latihan bagi pemenang lomba Apresiasi PTK-PAUDNI 2013 tingkat DIY. Acara tersebut berlangsung selama satu minggu dari tanggal 19 sampai dengan 25 Agustus 2013, di Hotel Grand Ro-sella Yogyakarta.

Pemusatan latihan dibuka kepala BPKB DIY, Drs. H. Bashiran didampingi Dra.

Emi Nurmaya selaku Kasi Pember-dayaan.

“Kenapa kita lakukan pemu-satan latihan ini, karena banyak provinsi yang sampai saat ini belum menyelenggarakan seleksi untuk apresiasi PTK-PAUDNI nasional. Kita sudah menyelenggarakan jauh-jauh hari, jadi kita punya rentang waktu yang cukup untuk melakukan persiapan,” tutur Bashiran saat pembukaan acara.

Apresiasi PTK-PAUDNI sudah dilakukan BPKB DIY Mei 2013. Pe-serta yang akan mewakili DIY pada jambore tingkat nasional dipilih dari juara pertama Apresiasi PTK-PAUDNI.

“Pemusatan latihan ini merupa-kan pemusatan latihan tahap per-tama yang menghasilkan dokumen lomba yang akan dikirim ke panitia pusat. Naskah yang sudah disetor-kan ke jakarta nantinya tidak bisa diubah lagi. Sekarang tinggal kita persiapkan dengan baik bagaimana cara mengajar dan mempresen-tasikan. Itu akan dipertajam pada pemusatan latihan tahap kedua pada September 2013,” terang Fauzi Eko Pranyono, selaku narasumber kepada peserta.

Selama satu minggu peserta akan mendapatkan berbagai materi yang berkaitan dengan penyusunan naskah lombah Apresiasi PTK-PAUDNI. Peserta dibimbing oleh para akademisi dari berbagai per-guruan tinggi di Yogyakarta serta praktisi pendidikan. Peserta juga diberikan tes psikologi. Hal terse-but bermanfaat guna menghadapi tes psikologi pada Apresiasi PTK-PAUDNI tingkat Nasional di Batam Oktober 2013 nanti.

Mempersiapkan peserta agar tampil lebih baik pada Apresiasi PTK-PAUDNI tingkat Nasional merupakan hal yang penting. Pemusatan latihan semacam ini sebagai salah satu upaya untuk memberikan yang terbaik dan mengharumkan nama DIY di kancah Nasional. (kareni Ajiningsih)

Persiapan Apresiasi PTK PAUDNI Tingkat Nasional 2013

DIY siap Berjaya di Batam

Pemusatan latihan jambore PTK­PNF Agustus 2013 (Foto Dok/ Hamemayu)

Pemusatan latihan apresiasi PTK­Paudni Berprestasi, Agustus 2013 (Foto Dok/ Hamemayu)

16 No. 4| Th. I | September 2013

Kini, memang masih banyak orangtua murid atau bahkan para pendidik Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD) merasa bin-gung bagaimana menyikapi perma-salahan gender pada anak. Berlatar persoalan itu, Balai Pe ngembangan Kegiatan Belajar (BPKB)Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menyelenggarakan focus group Discussion (FGD) bahan ajar PAUD berorientasi gender, jumat (23/8), bertempat di ruang parenting BPKB DIY.

FGD ini terkait dengan ke-giatan pengembangan bahan ajar PAUD berorientasi gender oleh pamong belajar BPKB DIY. Peserta FGD terdiri dari berbagai kalangan mulai dari pendidik PAUD, per-wakilan Sanggar Kegiatan Belajar

(SKB) kabupaten/kota serta se-jumlah orangtua peserta didik di satuan PAUD. Berbagi pengalaman dan mencari masukan merupakan tujuan utama diselenggarakannya kegiatan ini.

“Kita ingin menggali sebanyak mungkin, memperoleh masukan dari bapak dan ibu, share pe-ngalaman, bagaimana yang terjadi sebenarnya di lapangan. jangan sampai bahan ajar yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan di lapang-an,” jelas Yetti Pudiyantari kepada peserta.

Salah seorang peserta, Tri Pur-wanti mengatakan permasalahan gender memang mengena sekali. Selama ini yang sering dilakukan orangtua terhadap anak-anaknya membedakan antara laki-laki dan

perempuan. Mulai dari pemilihan permainan, pekerjaan dan berbagai hal sering dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini ditan-dai dengan munculnya berbagai permasalahan, masukan, berbagi pengalam an pribadi dari beberapa peserta.

Tim pengembang bahan ajar PAUD BPKB DIY, Yetti Pudiyan-tari, M.Pd, Bakti Riyanta serta Siti Donatirin, M.Pd sangat berharap bahwa FGD ini mampu menggali berbagai informasi dan permasalah-an yang terjadi dalam keseharian masyarakat. Berdasar hal tersebut, proses penyusunan bahan ajar akan lebih baik dan mengacu pada permasalah an yang sebenarnya.

(kareni Ajiningsih)

FGD Berorientasi Gender

Siapkan Bahan Ajar Sesuai Kebutuhan

Yetti Pudiyantari menggali masukan dari peserta Focus Group Discussion di ruang Parenting BPKB DIY, 28/8/2013.

WARTA

17No. 4| Th. I | September 2013

WARTA

Keluarga besar Balai Pe-ngembangan Kegiatan Belajar

(BPKB) Daerah Istimewa Yogya-karta (DIY) bersama seluruh

Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) se-DIY mengadakan syawalan

bertempat di ruang Aula BPKB DIY, Selasa (27/8).

Syawalan yang mengangkat tema “ Persaudaraan Meningkatkan Keberkahan”. Perhelatan ini

dihadiri seluruh karyawan yang ter-gabung dalam paguyuban BPKB dan SKB se-DIY.

Acara diawali dengan pembaca-an ayat suci Al Quran berlanjut de-ngan sambutan dari beberapa peja-bat terkait, yaitu kepala BPKB DIY, Ka Subbag Tata Usaha BPKB DIY, serta Ketua Paguyuban BPKB/SKB se-DIY.

Sejumlah mantan Kepala BPKB DIY hadir pada acara tersebut: Drs. H. Rahmadi, Anjar Rochani, SH, dan Dra. Tugini. Pada kesempatan terse-but Drs. H. Rahmadi memberikan sambutan dan tausiah mengenai hik-

mah syawalan 1434 H.Ka Subbag Tata Usaha BPKB

DIY, Dra. Lilik Suparyatin menga-takan syawalan bukan hanya ajang untuk bersilaturahmi, juga sebagai sarana untuk meningkatkan dan mempererat persaudaraan. Terle-bih kekerabatan yang sudah terjalin antar keluarga besar BPKB dan kelu-arga besar di SKB se-DIY.

Acara syawalan kali ini juga meng agendakan pelepasan Kepala BPKB DIY Drs. H. Bashiran dan Ke-pala SKB Gunungkidul Yuliarso, S.Pd yang telah memasuki masa purna bakti. Sebagai ucapan terimakasih, Ketua Paguyuban BPKB-SKB se-DIY Rr. Dwi Suwarniningsih, S.Pd me-nyampaikan kenang-kenangan kepa-da kedua pejabat tersebut.

Dalam acara tersebut seluruh peserta mengucapkan ikrar bersa-ma. Sebagai ungkapan fitri diwujud-kan dengan berjabat tangan. Syawal-an kemudian ditutup dengan ramah tamah yang diikuti seluruh tamu un-dangan. (kareni Ajiningsih)

Syawalan 1434 H BPKB DIY

Tingkatkan dan Pererat Persaudaraan

Rr. Dwi Suwarniningsih, S.Pd menyampaikan kenang­kenangan kepada Drs. H. Bashiran dan Yuliarso, S.Pd (Foto Ist/ Hamemayu)

Jabat tangan saat syawalan paguyuban BPKB­SKB se­DIY, 27 Agustus 2013 (Foto Ist/ Hamemayu)

18 No. 4| Th. I | September 2013

Suasana komplek Balai Pengem-bangan Kegiatan Belajar (BPKB) DIY yang penuh pepohonan di

sela-sela bangunannya, menjadikan lingkungan sejuk dan asri. Asupan udara segar dengan sesekali hem-busan angin yang ringan nan pelan memungkinkan setiap orang mampu belajar dan bekerja dengan tenang.

Demikian kesan pertama yang dirasakan Drs. Bambang Irianto, M.Pd, saat dipercaya menjadi Kepa-la BPKB DIY, mulai 12 September 2013. Sebelumnya, ia menjabat se-bagai Kasi SMP Bidang PLS dan Dik-das, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY.

Bambang Irianto mengawali karir di dunia pendidikan sebagai seorang guru Bahasa Inggris di SMP Negeri Tridadi, Sleman pada tahun 1981 dan SMA Negeri 1 Ngaglik, Sleman tahun 1986. “Dulu ketika jadi guru Bahasa Inggris, saya tidak hanya jadi guru inti di tingkat kabupaten, tapi juga jadi instruktur Bahasa Inggris di lingkup

DIY,” kata pria kelahiran Klaten, 11 januari 1961 tersebut.

Setelah tujuh tahun menjadi se-orang guru, tahun 1988 merupakan awal karir Bambang Irianto di ling-kungan Dikpora DIY, yakni sebagai staf kurikulum Pendidikan Menengah dan Umum (Dikmenum) di Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) DIY yang sekarang ber-nama Dikpora. Dia juga menjadi tim pengembang kurikulum.

Dua kali menjabat sebagai staf, lulusan S-1 Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini, kemudian dipercaya menjadi Ke-pala Seksi (Kasi) di sejumlah bidang di lingkungan Dikpora DIY. Tahun 2002 sebagai Kasi Data dan TI Dikpora DIY. Berlanjut pada 2008 sebagai Kasi Evaluasi Pendidikan. Kemudian pada 2011 sebagai Kasi SMP Bidang PLS dan Dikdas Dikpora DIY.

Sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan dan karir, tidak membu-atnya berhenti untuk melanjutkan

belajar. Bapak dari dua orang putri ini pun melanjutkan studi dan lulus S-2 pada jurusan Manajemen Pendi-dikan di Universitas Negeri Yogya-karta (UNY).

Saat pertama kali datang ke BPKB DIY, Bambang mengaku se-nang. Suasana sejuk, tenang merupa-kan kesan pertama yang dirasakan. Berbagai harapan untuk BPKB ke de-pan, salah satunya menjadi lebih eksis di mata masyarakat dan lebih diakui keberadaanya sebagai pusat kegiatan belajar. “Harapan saya, karyawan di BPKB harus lebih semangat bekerja. Lebih eksis di mata masyarakat, lebih dikenal luas. juga lebih diketahui ke-beradaannya. Pokoknya harus lebih semangat dan eksis,” tuturnya.

Bambang Irianto juga mengata-kan, pihaknya akan meneruskan ber-bagai program atau kegiatan yang se-lama ini sudah berjalan dengan baik. Sedangkan program kegiatan yang kurang baik akan berusaha diperbai-ki lagi. (*)

Kepala BPKB DIY, Drs. Bambang Irianto, M.Pd.

Jadikan BPkB Eksis di Masyarakat

19No. 4| Th. I | September 2013

RESENSI

“Orang yang pesimis melihat kesuli-tan dalam setiap kesempatan, orang op-timis melihat kesempatan dalam setiap kesulitan “ - Sir Winston Churchill.

MEMBACA dan apalagi menulis, bagi sebagian orang mungkin belum ter-lalu biasa. Atau bahkan ada yang berang-gapan belum atau tidak “membutuhkan” membaca dan menulis. Padahal, dengan banyak membaca dan menulis, sebenar-nya akan dapat menambah wawasan, pengetahuan dan bermanfaat bagi kehi-dupan diri sendiri maupun sesama.

Bagaimana dengan mereka yang berdinamika di dunia pendidikan, baik siswa/mahasiswa maupun guru/dosen, apakah membaca dan menulis sudah menjadi “kebutuhan”dan “budaya” yang melekat?

Selama ini ada sementara anggapan bahwa kemauan dan kemampuan mem-baca dan menulis di kalangan pendidikan belum menggembirakan. Bahkan ada se-orang sastrawan yang berpendapat bah-wa “kita adalah bangsa nol buku”.

Maksudnya, kita secara umum belum terbiasa atau membiasakan diri membaca dan apalagi menulis. Bila di-bandingkan dengan budaya membaca dan menulis di negara-negara maju, un-tuk sementara ini, kita memang masih kalah.

Lalu bagaimana jalan keluarnya? Ada rumus atau formula sederhana yang ba-rangkali dapat dimanfaatkan yakni “3 M” (mulai dari diri sendiri, mulai hal yang se-derhana, dan mulai sekarang). Maksud-nya, daripada menyuruh-nyuruh orang lain membaca, lebih baik diri sendiri yang memulai. Kemudian, buku yang di-baca juga yang sesuai dengan minat atau ketertarikannya. Terakhir, mulai saja un-tuk membaca dan nantinya menulis.

Para siswa-siswi di Sekolah Dasar (SD) Kristen Kalam Kudus, Yogyakarta sejak beberapa waktu lalu memiliki tra-

disi membaca dan menulis yang cukup kuat. Pihak sekolah suatu ketika menye-lenggarakan lomba menulis surat bagi para siswa dengan tema berbeda setiap tahunnya. Untuk tahun pertama, surat kepada mama atau ibu. Kemudian surat kepada guru dan terakhir surat kepada Tuhan.

Para siswa-siswi dengan antusi-as mengikuti lomba itu karena mereka merasa bahwa “figur” yang dituju dalam surat mereka adalah pribadi yang sudah mereka kenal yakni mama, guru dan Tuhan. Langkah berikut, pihak sekolah kemudian mendokumentasikan dan

membukukan sebagian karya pemenang lomba menulis itu dalam buku bertajuk “Penaku untuk Sang Guru” - Surat untuk Guru - Surat untuk Tuhan.

Buku yang diterbitkan oleh Bi-motry Yogyakarta (2013) ini diberi kata pengantar oleh Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Drs. R. Ka-darmanta Baskara Aji, Kepala Dinas Pen-didikan Kota Yogyakarta Drs. Edy Heri Suasana MPd, Ketua YKKI Yogyakarta Ir. Hermanto Wijaya dan Kepala SD Kalam Kudus Lily Halim, SPd.

Buku ini berisi delapan (8) tulisan surat untuk guru, 20 surat untuk Tuhan, sejarah sekolah, profil sekolah dan seko-lah dalam lensa.

Samuel Rio Nugroho menulis, bu Yani yang baik, Ibu itu seperti mamaku yang menjagaku dari pagi sampai siang. Pagi-pagi ibu sudah menungguku tiba di sekolah dengan ramah, “Selamat pagi, Sam”. Setiap pagi ibu mengajakku berdoa supaya Tuhan menjagaku di sekolah.

Dengan sabar Ibu menjelaskan pe-lajaran. Saat aku mulai bosan di kelas, Ibu mengajakku bermain di luar kelas.

Maafkan bila aku pernah berteng-kar dengan teman, ramai di kelas, lupa mengerjakan PR dan membuat Ibu jeng-kel dan marah. Tetapi seperti mamaku, Ibu hanya marah sebentar, sesudah itu Ibu lupa dengan kesalahanku dan terse-nyum lagi.

Membaca karya tulis anak-anak SD dalam bentuk surat sangat menarik. Me-reka begitu polos, sederhana dan bicara apa adanya. Dari tulisan sederhana yang kemudian dikumpulkan dan dibukukan, kiranya memberikan nilai tambah bagi siswa, sekolah maupun dunia pendidikan umumnya.

Mentradisikan membaca dan me-nulis memang perlu dimulai sejak dini, sebagaimana dilakukan oleh SD Kristen Kalam Kudus, Yogyakarta.

(Anto Mp, guru dan penulis di Yogyakarta).

MentradisikanMembaca dan Menulis

Judul Buku : Penaku untuk Sang Guru *Surat untuk Guru * Surat untuk TuhanPenulis : Siswa­siswi SD Kristen Kalam Kudus, YogyakartaPenerbit : Bimotry, Yogyakarta, 2013Tebal Buku : 120 halaman

20 No. 4| Th. I | September 2013

Sabên tanggal 8 September, aku kabèh padha ngrirayakake Hari Aksara Internasional (HAI). Dina aksara iki katêtêpake déning United Na-

tions Educational, Scientific and Cultural Organiza-tion (UNESCO) ing kalodangan Konferensi Tingkat Menteri Negara-negara Anggota PBB tanggal 17 November 1965 ing Teheran, Iran, kanthi aran In-ternational Litercy Day. Sêtêngah abad kêpungkur sing kanggo santholan ora liya saking akèhé bangsa-bangsa sak jagad sing durung mêlèk aksara walanda. Ing Indo-nesia dhéwé jaman saiki isih ana kira-kira 8,5 yuta sêdulur sing isih kapétung wuta aksara.

Surasa wuta aksara ing Daerah Istimewa Yogya-karta (DIY) mbok menawa béda. Tanpa nyélaki ana-né warga sing isih kaanggêp durung mêlèk aksara mau, pênêmu bab wuta aksara wis ora cukup mung sêkadar ora tèyèng maca-nulis-étung lan caturan basa Indonesia. Cundhuk karo pengangên-angên iki, sawêtara winasis ing babagan aksa-ran wiwit ngranggèh kahanan sing luwih dhuwur yaiku mêlèk aksara mawarna-warna. Kayata, mêlèk komputer, mêlèk internet, mêlèk sakaliring ilmu lan tek-nologi misuwur. Mula, sing sapa durung katiyasan wêrna-wêrna iku bisa kaang-gêp computer illiterate, high-tech illitera-te, lan sapanunggalané. Sabdéné, warga Ngayogyakarta racaké wis padha wasis yèn mung perkara maca-nulis-étung lan caturan kanthi basa Nasional. Amarga, Ngayogyakarta dadi salah siji punjêrin-ging pawiyatan unggul.

Gêgayutan karo bab wasis aksara warna-warna iku, aku kabèh banjur padha kèlingan antêpaning Keistimewaan Yogya-karta yaiku kabudayan, kang kaêmot ing Undang-undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewa-

an DIY; Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Bu-daya Yogyakarta; Peraturan Daerah Provinsi Dae-rah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ber-basis Budaya; Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 68 Tahun 2012 tentang Pedoman

Penerapan Nilai-nilai Luhur Budaya dalam Pengelolaan dan Penyelengga-raan Pendidikan.

Pancadan sawênéhing panalitèn taun 2006, ka-ton bocah-bocah saka kulawarga géokultur jawa wis ora baud caturan apa manèh nulis jawa, na nging tètèh basa Indonesia. Saperangan bocah ngaku isin caturan jawa lan rumangsa luwih moncèr yèn wasis basa manca. Pawadan sawêtara guru dalah wong tuwané pisan yaiku rumangsa wis ora bisa basa jawa (alus) lan nganggêp yen basa Indonesia lan basa man-ca luwih kêna kanggo nyambut gawé. Banjur basa

lan aksara jawa mung cukup dadi pen-gêrtèn ing sekolahan, nanging dudu pakulinan urip.

Pênêmu lan pênganggêp kaya mêngkono iku ora pêrlu diprinani, amarga pancèn kasunyatan padinan. Mung waé aku kabèh aja kêdlarung kèlu kêcunthêlan budi. Lamun wis ora diarêp-arêp bisa nyukupi, basa lan ak-sara jawa isih ana pêthingané yaitu pengaji sarana nggladhi budi pakêrti luhur.

Basa lan aksara jawa ora mung pêrkara trampil maca-nulis-étung lan micara, nanging magêpokan karo ba-sa-budi kang ngêmot, momot, kamot

tumprap mêmêsing jatidhiri warga Ngayogyakarta. (*)

Wasis Basa lan Aksara Jawa

SESULUH

Dening Y. Lilik Subiyanto

21No. 4| Th. I | September 2013

Beberapa hari telah berlalu tanpa kejelasan. Rupanya sikap menggantung keraton diketa-hui pihak pemberontak. Adipati Puger yang

tidak lain adalah Tumenggung Martapura kemudian mengirim surat kepada Pangeran Mangkubumi. Bu-nyi surat itu sangat santun, hormat namun cerdik, “Ada botoh hebat tanpa jago unggul, dinanti keha-dirannya ke Dusun Sukawati.”

Sebuah undangan bermakna ganda, dianggap tawaran bergabung atau sebaliknya tantangan pe-rang. Sebagai seorang senapati kerajaan, Pangeran Mangkubumi memilih yang ke-dua. Tetapi ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa perintah dari raja. Diam-diam ia kumpulkan kekuatan pendukung dan secara tidak resmi ber-pamitan meninggalkan istana. Berada dalam rom-bongan itu keluarganya sendiri dan Ibundanya yaitu B.M.A. Tejawati.

Satu tindakan yang memenuhi banyak kepentin-gan.Secara pribadi, lolosnya dari istana sepengeta-huan dan restu Sunan sehingga tidak bisa dianggap pengkhianatan terhadap raja.Sebagai pejabat istana, kepergiannya dalam rangka menunaikan tugas ne-gara.Sunan tidak perlu membuat penugasan resmi kepada Mangkubumi. Sunan akan mendapat tekanan dari pihak yang keberatan bila Mangkubumi memim-pin penumpasan pemberontak. Bagi Adipati Puger, hijrah Pangeran Mangkubumi adalah jawaban cerdas atas undangannya. Mangkubumi membuat pesan-grahan di Sukawati, tidak jauh dari pusat kedudukan Tumenggung Martapura.

Bagi Martapura, Mangkubumi adalah senapati yang akan dihadapinya sebagai lawan jika menolak bersekutu. Sebagai seorang paman, Pangeran Man-gkubumi adalah harapan masa depan Mataram yang

dikagumi. Tetapi ia masih harus membuktikan sen-diri ketangguhannya. Dengan gelisah Adipati Puger menanti kehadiran Mangkubumi di hadapannya.Ia harus mencari akal agar Mangkubumi punya alasan yang bijaksana untuk menemui dirinya.

Dugaan Martapura tidak meleset.Pangeran Mangkubumi sekali lagi cerdas menangkap pesan yang dimaksudkannya.Kemenakannya datang me-ngunjungi Martapura yang pura-pura sakit. Meng-ingat dirinya adalah panglima perang, rasa hormat

terhadap pamannya tetap tidak terlepas-kan dari kedudukannya sebagai pembe-rontak.Perjumpaan tanpa banyak kata,

namun penuh makna.Martapura kini merasa lega, kerinduan dan kebanggaan terhadap kemenakan-nya tak terkira.Mangkubumi bukanlah sekutunya. Ia benar-benar senapati tangguh Mataram yang layak menjadi lawan tanding dirinya. Sebentar lagi tinggal menguji kemampuannya.

Sampai suatu ketika para pengikutnya mende-sak agar ia segera menyerang Mangkubumi sebelum kekuatannya sempurna. Lalu pertempuran-pertem-puran dahsyatpun tak terhindarkan. Akhirnya pada pertempuran terakhir yang menentukan, Adipati Puger Martapura menjadi yakin bahwa Mangkubu-mi memang seperti yang ia duga dan ia harapkan. Akhirnya Martapura yang membawa 1.000 pasukan menyerah kepada kemenakannya yang tinggal me-miliki 100 prajurit.

Pemberontakan benar-benar padam.Pangeran Mangkubumi sekeluarga beserta Ibunda dan pasu-kannya kembali ke keraton. Patih Pringgalaya sangat kecewa.Apakah suasana kemudian menjadi tente-ram dan damai? ***

Pertempuran Dua Panglima Besar

Ketika Anda memaafkan, Anda tidak sedang mengubah masa lalu; tetapi Anda pasti mengubah masa depan [Bernard Meltzer, penyair]

KATA BERmAKNA

OPINI

Oleh Y. Lilik Subiyanto

22 No. 4| Th. I | September 2013

OPINI

Berbicara tentang buku, otomatis akan berkaitan dengan aktivitas membaca. Seperti yang kita tahu bahwa membaca adalah salah satu cara menda-

patkan ilmu, dan ilmu pengetahuan adalah cahaya akal dan hati. Apabila akal dan hati tidak memperoleh ca-haya, maka ia akan tetap berada di dalam kegelapan dan kebodohan serta tidak akan memperoleh petunjuk se-lamanya.

Kini aktivitas membaca berbenturan dengan budaya instant, salah satu konsekuensi dari ke-majuan teknologi. Minat baca warga be-lajar telah luntur digerus oleh canggihnya komputerisasi dengan berbagai fasilitas yang disajikan. Model browsing berbagai macam informasi melalui in-ternet misalnya, sekilas mengisyaratkan akan kemuda-han pencarian informasi, akan tetapi sesungguhnya hal tersebut secara tak sadar menjauhkan warga belajar dari buku.

Mereka secara tidak langsung terbiasa dengan men-gkonsumsi potongan (secuil) informasi yang dibutuhkan saja, tanpa mencermati lebih jauh runtutan informasi secara menyeluruh. Hal ini rentan munculnya kesala-han dalam memahami konsep (miskonsepsi). Kebiasaan meng ambil bagian-bagian penting saja akan membias pada sikap hidup yang serba hasil (by target), mengge-rus pada sikap hidup yang matang proses (by proses). Padahal, kematangan ilmu dan ketangguhan kepribadian seseorang itu didapatkan melalui proses yang matang pula.

Tatkala warga belajar sudah dijauhkan dari buku, maka kemunduran pendidikan menjadi hal yang tak bisa terelakkan. Banyak faktor kenapa keadaan yang mem-prihatinkan terjadi? Alasan pertama budaya yang sudah ada secara turun menurun adalah budaya cerita bukan budaya baca dan perkembangannya menuju kearah bu-

daya menonton (televisi). Kedua adalah penghasilan kebanyakan masyarakat

Indonesia masih rendah sehingga buku masih dianggap barang mahal. Ketiga adalah sistem pendidikan Indone-sia belum menunjang tumbuh kembangnya budaya baca karena orientasinya masih membaca untuk lulus bukan membaca untuk pencerahan sepanjang hidup. Keempat adalah keberadaan perpustakaan yang belum memadai. Kesan masyarakat umum tentang perpustakaan masih

dianggap sebagai tempat yang serius dan menyebalkan. Masih banyak per-

pustakaan atau lembaga sejenis hanya menjadi sekedar pelengkap bahkan sekedar bukti fisik untuk mendulang bantuan dana. Tentunya masih banyak alasan yang dapat kita daftar kalau kita ingin bicara tentang penghambat perkembangan budaya baca di Indonesia. Walaupun ter-kadang alasan tersebut tidak didasarkan pada penelitian yang memadai dan hanya didasarkan pada asumsi.

Realitas demikian kalau dibiarkan terus berjalan akan berdampak pada kualitas keilmuan generasi bang-sa mendatang. Mereka akan terbentuk menjadi orang yang sekedarnya saja, sekedar tahu, sekedar membaca, sekedar menulis dan hasilnya pun tentu saja hanya se-kedarnya saja. Kalau beberapa waktu yang lalu marak adanya plagiatisasi karya tulis, seharusnya hal itu bukan menjadi sesuatu yang dipertanyakan dan diperdebatkan lagi. Karena itu sesungguhnya merupakan mata rantai dari budaya instant yang sudah mengakar dalam gaya hidup masyarakat.

Untuk itu, demi menjaga dan meningkatkan kualitas ilmu para generasi bangsa, maka harus segera diambil suatu kebijakan secara menyeluruh dan simultan. Kebi-jakan itu tidak hanya bertumpu pada pihak lembaga pen-didikan saja, akan tetapi juga melibatkan berbagai pihak,

Budaya Instant dan Minat Baca Masyarakat

Buku adalah jendela pengetahuan. Setiap kata yang tersusun dalam setiap lembar buku mengaitkan

pesan yang sarat akan pengetahuan.

Oleh maya Veri Oktavia, S.Pd

23No. 4| Th. I | September 2013

termasuk para penerbit yang juga turut andil besar dalam menyuguhkan buku-buku bacaan yang benar-benar ber-kualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Gerakan mencintai buku sejak dini menjadi upaya aternatif yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak. Satu misal, kegiatan menyampul buku untuk pembelajaran di PAUD, atau kegiatan resensi buku dan kliping bisa dija-dikan pilihan untuk bentuk penugasan yang merupakan program sekolah selama masa liburan.

Di sisi lain, pemerintah juga bisa menawarkan kebi-jakan buku murah tanpa merugikan pihak penerbit yang dalam hal ini sebagai pelaku bisnis. Dengan begitu pe-nerbit dalam posisinya tidak merasa dirugikan sehingga dapat menciptakan suasana gerak bisnis yang sportif dan professional. Untuk kemudian buku-buku yang diterbit-kannya pun bisa menjadi sumber bacaan yang sarat in-formasi dan ilmu pengetahuan.

Para orangtua sebagai figur anak di rumah, harus memberikan dukungan penuh dalam mendongkrak minat baca anak. Rumah yang baik tidak berarti harus

penuh dengan perabot mewah, tapi bagaimana rumah itu bisa menjadi sarana anak untuk belajar menjadi lebih baik. Bagaimana bisa mengharapkan anak yang gemar membaca kalau orangtua tidak mencontohkan, atau mi-nimal tersedia buku-buku bacaan di rumah. Ironisnya, rumah yang didalamnya minim buku-buku bacaan tidak menjadi sesuatu yang memalukan dan mencemaskan bagi orangtua, tapi rumah tanpa TV dan barang elek-tronik mewah yang lain justru menjadi suatu hal yang memalukan.

Maka sudah saatnya masyarakat dikembalikan pada aktivitas yang tepat yakni membudayakan kembali gemar membaca buku. Sebagaimana orang buta membutuhkan tongkat, maka bagi para pencari ilmu, yang dibutuhkan adalah buku. Dengan begitu harapan memiliki generasi bangsa yang tangguh dalam kepribadian dan kokoh da-lam keilmuan akan bisa terwujud secara nyata. (*)

*) Maya Veri Oktavia, S,pd, pegiat gerakan Mencintai Buku Sejak Dini dan pengelola TBM Mekar Insani

Yogyakarta. Jln godean 330 guyangan Nogotirto Sleman

Minat baca masyarakat perlu terus ditumbuhkan sebagai pencerahan sepanjang hidup (Foto Ist/ Hamemayu)

24 No. 4| Th. I | September 2013

Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruang­an, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan

keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992).Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik

atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk keseha-tan keluarga dan individu. (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).

Rumah merupakan kebutuhan da-sar bagi manusia, karena rumah tidak saja sebagai tempat untuk berlindung dari panas atau hujan, tempat untuk beristirahat, untuk aktivitas kehidupan berumah tangga, bahkan mungkin juga untuk bekerja, dan untuk memberi-kan pendidikan dan pengasuhan bagi anak-anak

Rumah yang nyaman tidak harus bagus ba-ngunannya. Rumah yang sederhana dan kecil dapat menjadi rumah tinggal yang nyaman, aman dan se-hat jika ditata dengan baik. Oleh karena itu penataan rumah harus diperhatikan, sehingga menimbulkan rasa nyaman dan rasa aman dan dapat dijadikan sumber belajar bagi anak-anak.

Bagi Keluarga yang memiliki anak usia dini, sudah sepantasnya untuk memikirkan agar rumah tempat tinggal kita ramah dengan anak. Sehingga aman dan nyaman untuk bermain, dan juga tidak membatasi keleluasaan anak bermain. Sehingga kekhawatiran orangtua akan rusaknya perabotan rumah tangga yang dimilikinya tidak terjadi.

Oleh karena itu perlu dipikirkan agar perabot

rumah tangga ditata sedemikian rupa. Barang-ba-rang yang mudah pecah diletakkan pada tempat yang tidak mudah terjangkau anak. Sebaliknya me-letakkan perabot rumah tangga yang dapat dijang-kau oleh anak jika sekiranya barang tersebut dapat membantu dan mendukung kemandirian anak. Den-gan demikian suasana rumah akan ramah bagi anak, dan rumah dapat berfungsi sebagai sumber belajar bagi anak dengan melakukan akltivitas bermain dan belajar dengan aman.

Bermain adalah cara anak untuk belajar sesuatu. Dunia anak adalah bermain. Dengan bermain, anak dapat

belajar banyak hal, bereksplorasi, berimajinasi dan banyak hal lain yang bisa dipelajari anak.

Bermain dengan sukarela dan situasi yang nya-man, aman dan menyenangkan akan mudah untuk memberikan stimulan pada anak. Sehingga tumbuh kembang anak akan optimal. Belajar bukan hanya terjadi di sekolah, dalam setting kelas dan dibim-bing oleh seorang guru, tetapi bisa dilakukan dimana saja, terlebih di rumah. Karena anak lebih banyak berada di rumah, sehingga rumah memiliki potensi yang sangat besar untuk bermain dan belajar. jikalau sekolah memiliki ruang kelas, di rumah pun memiliki ruang-ruang untuk tempat belajar anak. jika sekolah memiliki guru, maka di rumah anak memiliki orang-tua, ayah, ibu, adik dan kakak serta anggota keluarga lain yang ada di rumah.

Dengan menjadikan rumah sebagai sumber be-lajar bagi anak maka, peran orangtua sebagai pen-didik pertama dan utama bagi anaknya, tentulah be-

Rumah sumber Belajar bagi Anak

Oleh Indrayati

OPINI

Rumah adalah tempat tinggal untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan an-

tar anggota keluarga. Tempat berlindung keluarga dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga sebagai

status lambing sosial (Azwar, 1996; Mukono, 2000)

25No. 4| Th. I | September 2013

nar-benar akan terwujud dan dapat bermakna bagi pendidikan anak usia dini (PAUD). PAUD berbasis rumah ini akan (1) menjadikan orangtua sebagai pendidik yang efektif bagi anaknya; (2) mendukung orangtua dalam peranannya sebagai pendidik; (3) menguatkan kemandirian dan hargadiri orangtua; dan (4) mendorong orangtua untuk menata lingkungan runah ramah den-gan anak.

Menata Rumah Ramah AnakLingkungan memiliki pengaruh

yang sangat besar pada perkemban-gan anak. Lingkungan dalam konteks kali ini adalah rumah, perlu dipersia-pkan agar memungkinkan anak dapat lebih banyak belajar, dan tercipta lin-gkungan yang ramah dengan anak.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orangtua agar dapat menciptakan lingkungan rumah yang ramah anak, pertama keamanan. Rumah yang dipenuhi dengan barang yang mudah pecah atau yang menimbulkan bahaya lainnya, memberikan pesan pada anak ”jangan sentuh” artinya anak tidak memiliki kesempatan, paling tidak berkurang, untuk bereksplorasi sehingga tidak dapat belajar dengan aktif.

Kedua, kedekatan jarak. Uashakan agar orangtua melakukan kegiatan rutin harian keluarga berdeka-

tan dengan anak bahkan sejak bayi, tentu saja dalam situasi yang aman. Anak-anak dapat mengamati dan mendengarkan sehingga mempelajari banyak hal dari orang-orang dewasa didekatnya.

Ketiga, dapat diakses. Penting bagi anak untuk dapat menjangkau benda-benda dan melakukan be-

berapa hal dengan mandiri. jika ben-da-benda diletakkan dalam jangkauan anak, maka rumah telah memberikan pesan ”aku bisa melakukan sendiri”. Hal ini melatih kemandirian anak. Hal lain yang bisa dilakukan.

Keempat, kesempatan. Belajar adalah interaksi. Anak memerlukan banyak kesempatan untuk menda-patkan pengalaman yang beragam.

Orang-orang dalam rumah seharusnya melibatkan anak dalam berbagai kegiatan keluarga dimana anak dapat berpartisipasi dengan aktif.

Hampir semua ruang didalam rumah dapat menjadikan area pembelajaran bagi anak. Faktor keamanan tetap harus menjadi syarat utama disam-ping faktor-faktor lain yang telah disebutkan di atas. Sementara untuk area pembelajaran di lingkungan rumah antara lain, ruang tamu, ruang tidur, ruang keluarga, kamar mandi, garasi, halaman rumah (samping, depan, belakang), dan tempat lain yang ada di lungkungan rumah.

Untuk kegiatan yang bisa dilakukan anak, meng-ajaknya melakukan kegiatan dengan baju-bajunya sendiri, misalnya mengelompokkan baju berda-sarkan jenis, menjodohkan berdasarkan warna, menyusun dalam tumpukan tumpukan, menebak tumpukan baju ( mana yang banyak), serta memberi label tulisan pada laci-laci baju. juga beragam aktivi-tas yang lain. Seperti menata sepatu dengan aturan tertentu. Sepatu diurutkan dari rak paling bawah berdasarkan ukuran besar/kecil dari kiri kekanan, semakin keatas semakin besar.

Ciptakan rumah tempat tinggal yang ramah bagi anak, sehingga rumah dapat menjadi sumber belajar bagai anak. (*)

penulis adalah pamong Belajar BpKB DIY

“Hampir semua ruang di dalam

rumah dapat menja-dikan area pembela-

jaran bagi anak”

26 No. 4| Th. I | September 2013

Kemampuan gerak dasar adalah kemampu-an gerak yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup. jika penguasaan kemampuan

gerak dasar baik, aktivitas keseharian yang membu-tuhkan gerakan motorik akan tampak luwes, gera-kan menjadi lebih efektif dan efisien.

Untuk dapat menguasai gerak dasar dengan baik perlu latihan, dan ini merupakan salah satu prinsip yang harus dilakukan. Berbagai alat permainan anak yang menjadi land mark lembaga PAUD seperti ayunan, tangga, papan ppapan peluncur, jembatan goyang, papan titian, bola dunia sangat bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan gerak dasar anak.

Jenis kemampuan Gerak dasarKemampuan gerak dasar mencakup tiga jenis,

yakni: gerak lokomotor, non lokomotor, dan manipu-latif. Gerak Lokomotor adalah gerakan memindah-kan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Contoh gerak lokomotor: berjalan, berlari, melompat, me-loncat, merayap, memanjat.

Sedang gerak non lokomotor adalah aktivitas yang menggerakkan anggota tubuh pada porosnya dan pelaku tidak berpindah tempat. Bentuk gerak non lokomotor seperti gerakan menghindar (dod-ging), meregangkan otot (stretching), menekuk persendian (bending), berbelok (turning), memutar (twisting), berayun (swinging), bergoyang (swaying), mendorong (pushing), menarik (pulling).

Sementara pengertian gerak manipulative ada-lah gerakan yang memerlukan koordinasi mata den-gan anggota tubuh lain untuk mensiasati tempat atau objek untuk bergerak. Ada dua klasifikasi keteram-pilan gerak manipulatif, yaitu reseptif dan propulsif. Keterampilan reseptif adalah menerima suatu objek

seperti menangkap. Sedang keterampilan propulsif memiliki ciri pengerahan gaya atau kekuatan terha-dap suatu objek seperti memukul, melempar, me-mantulkan bola atau menendang.

strategis untuk Pengembangan Gerak Dasar

Kemampuan gerak dasar strategis dikembang-kan sejak anak usia dini, karena pada usia ini anak

memiliki beberapa keunggulan, perta-ma, tubuh anak masih lentur sehingga keterampilan gerak yang dilatihkan

dengan mudah dapat dikuasai. Kedua, keterampilan gerak yang dukuasai ma-

sih terbatas, sehingga keterampilan gerak baru tidak akan banyak berbenturan keterampilan yang telah dikuasai. Ketiga, kesempatan anak lebih banyak. Anak mem9liki lebih banyak waktu untuk bermain dari pada orang dewasa karenabelummemiliki tang-gungjawab pekerjaan seperti yang dilakukan orang dewasa. Dan, keempat, anak suka pengulangan dan tidak bosan terhadap sesuatu yang diulang-ulang.

Pengembangan kemampuan Gerak Lokomotor

Bentuk-bentuk latihan gerak dengan permainan yang mengekplorasi anak untuk melakukan gerakan-gerakan, pertama, berbaring. Berbagai variasi ber-baring telentang, berbaring telungkup, berbaring miring ke kiri, berbaring miring ke kanan.

Kedua, berjalan Berbagai variasi jalan : (a) jalan ke depan; (b) jalan di tempat; (c) jalan serempak; (d) jalan menyamping; (e) jalan silang; (f) jalan ke bela-kang; (g) jalan jinjit; (h) jalan langkah panjang. Ketiga, berlari.Lari dengan rintangan, latihan reaksi dengan berlari, lari di kejar, lari mengejar, lari mendaki, lari cepat dengan mengubah arah.Latihan reaksi lari dari

Oleh Bakti Riyanta

Pengembangan Kemampuan Gerak Dasar Anak Usia Dini

OPINI

Kemampuan gerak dasar dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari, contoh berjalan, berlari, melompat,

mendorong, menarik, mengangkat, dan sebagainya.

27No. 4| Th. I | September 2013

berbagai posisi awal; lari dari posisi telentang, lari dari posisi duduk, lari dari posisi jongkok, lari dari posisi membelakangi arah lari.

Keempat, melompat (tumpuan satu kaki saat menolak). Berbagai jenis lompat dilatihkan kepada anak. lompat ke atas, lompat melewati rintangan, lompat dari satu tempat/bidang ke tempat/bidang yang lain. Dan, kelima, meloncat (tumpuan dua kaki bersamaan saat menolak). Berbagai jenis loncat dila-tihkan kepada anak. loncat ke atas, loncat melewati rintangan, loncat dri satu tempat/bidang ke tempat/bidang yang lain. Misalnya dengan permainan meni-rukan gerakan kelinci (loncat kelinci).

Pengembangan kemampuan Gerak Non Lokomotor

Bentuk-bentuk latihan gerak dengan permainan yang mengekplorasi anak untuk melakukan gerakan-gerakan, pertama, menghindar (dodging), gerakan-gerakan menghindar seperti: berdiri di tempat kepala, badan, atau kepala dan badan bergerak menghindar ke kiri ke kanan, ke depan, ke belakang. Gerakan menghindar juga dapat di lakukan dengan menggantungkan benda (bola, ban bekas, dan seba-gainya) pada ketinggian yang terjangkau tubuh anak yang dapat diayun dan anak bergerak menghindari benda yang berayun mengarah dirinya.

Kedua, Meregangkan otot (stretching). Gerakan-gerakan meregangkan lengan, kaki, tungkai, tubuh. Ketiga, menekuk (bending). Gerakan-gerakan me-nekuk persendian jari tangan, jari kaki, pergelangan tangan, siku, pangkal lengan, leher, pergelangan kaki,lutut, pangkal paha, tubuh.

Keempat, memutar (twisting). Gerakan memu-tar lengan, memutar kaki, memutar lutut, memutar pingggul. Kelima, berbelok (turning). Latihan/permai-nan hadap kanan hadap kiri, memutar seluruh tu-buh dengan kaki tetap menumpu. Keenam, berayun (swinging). Gerakan mengayun lengan, mengayun tungkai, posisi menggelantung berayun-ayun.

Ketujuh, bergoyang (swaying). Latihan menggo-yang-goyangkan badan ke kiri ke kanan ke depan ke belakang. Menggoyang-goyangkan tungkai. Per-mainan memutar holahop yang melingkar di badan. Kedelapan, mendorong (pushing). Permainan men-dorong suatu benda yang berat, berpasangan ber-hadapan dengan aba-aba saling mendorong, Dan, kesembilan, menarik (pulling). Permainan tarik tam-bang, menarik tali yang diikatkan pada pohon, anak berpasangan saling menarik.

Pengembangan kemampuan Gerak Manipulatif

Bola merupakan alat permainan yang menarik bagi anak. Ketika anak diberikan bola, tanpa diminta anak akan memainkan bola. Bola dapat dimainkan dengan dilempar, digelindingkan, dipantul-pantulkan, dipukul.

Permainan dengan bola yang berisi berbagai aktivitas gerak melempar dan menangkap bola, menggelindingkan bola, memantul-mantulkan bola, menggiring bola, menendang bola ke sasaran ter-tentu, memukul bola dengan tangan atau alat pemu-kul efektif melatih keterampilan gerak manipulatif anak.

Permainan dengan alat lain atau tanpa alat ter-masuk permainan-permainan tradisional dapat di-pergunakan sebagai media untuk mengembangkan kemampuan gerak manipulatif. Guru dengan penga-laman dan kreativitasnya dapat membuat permainan baru atau memodifikasi permainan yang sudah ada disesuaikan dengan perkembangan anak. (*)

Bakti Riyanta adalah pamong belajar BpKB DIY

Kemampuan gerak dasar anak perlu dikembangkan (Foto Erna/ Hamemayu)

28 No. 4| Th. I | September 2013

Ada sebuah cerita. Seorang perjaka yang hidupnya mulai mapan, sedang memikir-kan sosok calon istri yang ideal. Bertum-

puk literature yang pernah disantapnya ketika kuliah dan sejumlah pelatihan yang pernah dii-kutinya. Namun tak satu pun yang dapat memberinya pan-duan tentang bagaimana me-milih sosok istri yang ideal. Di antara kesibukan-nya, suatu kali dia bicara dari hati ke hati kepada ibunya perihal keinginannya untuk segera me-nikah, namun dia bingung mencari perempuan macam apa yang baik untuk diperistri. Sang ibu dengan segala pe ngalaman merasakan asam garam kehidupan, mulai bicara panjang lebar mengenai perempuan yang baik untuk dijadikan istri.

Di penghujung pembicaraan, sang ibu menan daskan, ”Camkan anakku, perempuan yang baik itu memiliki tiga sifat utama, yaitu hemat di dapur, merangsang di ranjang dan anggun di muka umum. Selain itu juga wanita yang memiliki ke-sabaran seperti sosok wa-nita yang sabar, lembut, dan keibuan. Dalam tokoh perwayangan digambarkan so-sok Sumbadra. Ada pula wanita yang memiliki sifat yang cerdas, lincah, kreatif, pemberani. Hal ini

dimiliki oleh tokoh perwayangan Srikandi. Dia sosok yang pemberani karena tiap kali Arjuna pergi bertapa, Srikandilah yang menjadi “ma-najer” seluruh urusan istana. Dan, jangan lupa ketika panah asmara sedang menghunjam dada

suami, maka segeralah istri menjadi Larasati: hangat, ro-mantis, dan menggoda. Istri

seyogyanya dengan cekatan menggandeng sua-minya mengarungi samudera asmara. Pada saat seperti inilah istri menjadi “kekasih” bagi suami-nya. Itulah dharmanya wanita, perempuan, istri, yakni menjadi Ibu, Sahabat, dan Kekasih.

Lelaki yang bahagia bukanlah mereka yang beristri dua, tiga, atau lebih, melainkan cu-kup beristri satu dengan tiga watak utama

masing-masing istri Arjuna itu. Meski tam-paknya lelaki itu hebat, perkasa, menjadi pang lima di medan laga

kehidupan, menjabat sebagai kepala rumah tangga, teta-pi sesungguhnya dia manu-sia biasa yang sama seperti perempuan. Di saat dia sa-kit, lemah badannya, sedih

hatinya, tertekan perasaanya entah karena pekerjaan atau se-

bab lain, pada saat itulah dia merindukan sentuhan kasih sayang ibunya.

Terlebih semasa

OPINI

Menjadi Perempuan, Istri dan Ibu

Oleh Endang Titik Setianingsih

Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga ada dua insan yang saling mendukung, saling melengkapi dan saling menyayangi, yakni peran laki-laki dan peran perempuan. Mereka hidup bekerja sama, saling meno-

long, menghargai serta mencintai. Demikian hidup berkeluarga.

29No. 4| Th. I | September 2013

kanak-kanak dahulu, setiap manusia merasakan kesabaran, belaian kelembutan, dan kesejukan sang ibu. Demikian juga seorang suami butuh kehadiran sosok sifat-sifat “Sumbadra”. Di saat seperti itulah, istri harus menjadi Sumbadra: membelainya, menye-jukkan hatinya, memberinya sentu-han kesabaran dan memberinya ke-kuatan. jadi, pada saat seperti ini istri menjadi “Ibu” bagi suaminya.

Apabila suami sedang punya ide-ide besar, atau barangkali memerlukan teman diskusi, ba-hkan meminta saran mengenai tugasnya, maka istri harus tampil sebagai Srikandi: cerdas, kreatif, dan siap membantu suami, bila memang diper-lukan. Ya, sebatas memberi masukan dan bantuan secara proporsional.

Pun begitu, jangan pula istri ke-bablasan menjadi “atasan” atau bahkan menjadi “majikan” bagi suaminya. Akibatnya, sering kali terdengar orang mengolok: “ka-lau si suami direktur, istrinya biasanya berlagak bak dirjen. Kalau si suami dirjen, istrinya biasanya berlagak laksana menteri, dan kalau suami menteri lagak istri bagai-kan presidennya!” Nah, agar olok-olok seperti itu ti-dak muncul , istri hendaknya menjaga betul agar perannya sebagai pendamping suami benar-benar membantu seca-ra proporsional. Tidak mem-bebani tugas suami. Pendek

kata, hendaknya para istri jangan hanya “mera-sa bisa”, tetapi juga harus “bisa merasa”. Pada saat seperti inilah, istri menjadi “sahabat” bagi

suami.Demikianlah juga bila su-

ami sedang mengalami per-masalahan yang begitu rumit,

jadilah istri yang menjadi pengayom bagi su-

ami. janganlah mudah naik pi-

tam, atau naik darah. Akan lebih baik

menjadi pen-cair suasana agar

kondisi jadi tenang dan nyaman. Kata

sabar dan kasih juga tetap terus dibang kitkan se-

hingga kebahagian dalam rumah tangga

terjaga kelangsungannya. Ada kalanya kita hidup tidak menye-

nangkan. Muncul rasa menjengkelkan, membosankan dan tidak senang. Se-baliknya, ada pula rasa yang mem-bahagiakan, empati, peduli dan pe-nuh arti. Semuanya itu harus dilalui

dengan penuh harapan dan optimis. Sehingga akan selamat dan sempurna

sampai akhir hayat. Maka, diwajibkan sa-ling menghormati agar Tuhan selalu beserta dengan kita. (*)

Endang Titik Setianingsih,S.Pd,MM, pamong Belajar Madya, BpKB DIY

30 No. 4| Th. I | September 2013

Mengembangkan Minat Baca

Sejak Dini

OPINI

Saat anak mulai belajar berdiri dan berja-lan, biasanya mulai suka nempel-nempel di tembok untuk berpegangan tangan.

Nah sekarang saatnya menambah lagi stimulus yaitu menempel aneka gambar dan huruf-huruf alfabet di tembok. Sesekali kita tunjukkan huruf apa yang ada di tembok, kita sebutkan, mungkin bisa kita nyanyikan dan gambarnya harus menarik.

jika anak tertarik dengan gambar itu bisa mendorong anak untuk mencoba bergerak mendekati gambar yang kita tunjuk. Sambil be-lajar baca, otomatis juga belajar berjalan. Selain gambar alfabet, pasang juga gambar bentuk-bentuk seperti segitiga, lingkaran dan lain sebagainya, tujuannya mengenalkan bentuk. Sehingga anak lebih peka mengenal perbedaan bentuk-bentuk huruf.

Pada tahap ini sesekali bisa juga dibacakan buku sederhana sesuai dengan peruntukkan usianya. Buku semacam itu bisa dengan mudah ditemukan di toko-toko buku. Memasuki usia tiga tahun biasanya anak-anak sudah bisa untuk

mulai diajak kerjasama, misalnya duduk tenang dan memberikan perhatiannya pada sesuatu.

jika si anak sudah bisa mulai memberikan perhatiannya bisa dikenalkan dengan metode belajar membaca yang banyak dikenalkan be-

berapa ahli saat ini. Ada banyak sekali metode membaca dengan

langkah-langkah terperinci yang bisa kita temu-kan di internet. Orang tua bisa memilih sendiri kira-kira metode mana yang lebih nyaman untuk diterapkan pada anaknya karena orang-tua yang lebih mengetahui karakeristik belajar anaknya. Agar tidak disamaratakan antara anak satu dengan yang lain.

Salah satu metode membaca dengan mengucap a-ba-ca-ba-ba. Saya merasa meto-de ini cocok untuk diterapkan pada anak usia dini. Sehari biasanya satu halaman. Kemudian semakin meningkat jika anak sudah bisa lebih lama mempertahankan perhatiannya.

jika anak sudah bisa membaca, jangan ber-henti mengajarinya lagi. Pertahankan agar anak suka membaca, dan meningkatkan keragaman

Menumbuhkan minat baca anak usia dini bukanlah hal yang mudah di zaman modern ini. Perkembangan teknologi modern telah menawarkan ragam per-mainan dan film yang jauh lebih menarik perhatian anak sehingga minat baca anak turun. Orangtua hendaknya tidak menyerah untuk mencoba dan cerdik memanfaatkan teknologi untuk membantu meningkatkan minat baca anak.

Oleh Is Kartini

31No. 4| Th. I | September 2013

buku yang dibacanya, tapi ini juga tergantung minat si anak. Beberapa anak memang suka sekali mengamati dan membolak-balik buku hingga hafal isi buku. Namun ada juga yang membaca sebentar lalu bermain motorik atau yang lain. Tidak masalah, kita hanya membe-rinya stimulus saja, hasilnya bukan kita yang menentukan.

Anak usia dini 0-6 tahun merupakan masa keemasan yang tidak boleh kita abaikan. Masa keemasan anak merupakan masa yang tepat untuk menumbuhkan minat baca anak. Anda tidak dapat mengontrol pertumbuhan otak anak Anda, tapi anda bisa mengarahkannya. Ri-set menunjukan bahwa perkembangan intelek-tual anak-anak sejak lahir hingga usia tiga tahun sama hebatnya dengan usia 4 tahun hingga 18 tahun.

Tenumbuhkan Minat Baca AnakMulailah dengan membacakan buku kepa-

da anak balita meskipun dia belum bisa baca. jika ini menjadi kebisaan orang tua, anak akan mencontoh orang tuanya. jika orang tua sering membacakan buku cerita kepada anak sejak usia dini, mereka sebenarnya telah mengenal-kan anak pada dunia lain yang mengasyikkan. Kebiasaan ini akan menentukan keberhasilan akademik mereka di kemudian hari.

Berdasarkan penelitian para ahli anak usia dua tahun yang setiap hari dibacakan buku cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK/SD dan mempunyai kemampuan bela-jar dan komunikasi 2 sampai 3 kali lebih baik ketimbang anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu. (Nicole Ni-amic, the benefits of reading to your children)

kecerdasan Anak BalitaKebiasaan membaca untuk anak balita

membuat otak berkembang baik, lebih berpi-kir rasional, memiliki wawasan lebih luas dan lebih mampu mengendalikan diri.

Di usia balita mereka sudah mulai menyu-kai cerita tentang terjadinya suatu benda, dan bagaimana cara kerjanya benda tersebut.

Konsep pengetahuan yang sebaiknya diper-kenalkan pada anak balita; umur 1-2 tahun, kenalkan tentang konsep warna, besar kecil. Saat umur 3 tahun, kenalkan tentang perbeda-an huruf dan angka. Memasuki umur 4 tahun, kenalkan anak tentang ruang dan waktu.

Usia dini merupakan masa keemasan untuk menumbuhkan minat baca anak. (Foto Praba/ Hamemayu)

32 No. 4| Th. I | September 2013

OPiNi

Pilihlah Buku yang cocok untuk anak balita. Carikan buku-buku yang memuat gambar-gambar besar dengan warna-warna yang cerah, bentuk gambar yang mudah dikenali. juga buku mudah di pegang anak. Memuat urutan abjad atau angka. Tak kalah penting, pilih bahan buku tebuat dari kertas yang tidak mudah rusak.

Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak Membaca merupakan kebiasaan baik yang

harus diajarkan kepada anak sejak dini. Mem-baca memiliki fungsi edukatif dan hiburan bagi anak. Dengan membaca, anak dapat mempe-lajari berbagai hal baru yang dapat memperlu-as wawasan mereka, mengembang kan daya imajinasi serta meningkatkan kreativitas.

Oleh karena itu orang tua harus mencari cara yang tepat untuk menumbuhkan minat baca pada anak sejak dini sesuai usia. Sejumlah langkah bisa dilakukan untuk menumbuhkan minat baca pada anak. Mulailah mengadakan kegiatan rutin membaca bersama di rumah. Kegiatan ini jika dilakukan secara teratur dapat menumbuhkan kebiasaan membaca anak dan mempererat kebersamaan dalam keluarga.

Lalu, membacakan cerita sebelum tidur

juga efektif untuk merangsang minat baca anak, khususnya bagi anak-anak yang belum biasa membaca sendiri. Isi cerita yang menarik akan merangsang imajinasi anak sehingga me-reka akan menyukai membaca buku.

Variasikan jenis buku bacaan anak sehingga anak tidak bosan dan selalu mendapat hal baru dari buku yang dibacanya. Orangtua dapat memberikan buku bacaan yang bervariasi seperti cerita fiksi, cerita ilmiah, ensiklopedia bergambar untuk anak, komik maupun majalah anak,dll. Hal ini dilakukan agar si anak tidak bosan dan selalu mendapat hal baru dari buku yang dibaca. Anda juga dapat menemukan minat anak pada bidang tertentu dengan men-gamati buku jenis apa yang menjadi kegema-rannya.

Ajak anak belanja buku di toko buku. Beri-lah kebebasan pada anak untuk memilih buku yang ia sukai sehingga mereka antusias menja-lani aktivitas ini.

jika koleksi buku anak sudah mulai banyak, ajak anak untuk membuat perpustakaannya sendiri. Hal ini dapat menumbuhkan kebangga-an tersendiri bagi anak sekaligus mengajarkan ia mengorganisir buku yang dimilikinya. (*)

Kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa langsung dimiliki semua orang.Kebebasan adalah sesuatu yang harus diraih, dan setiap orang bebas menjadi

apa pun yang mereka inginkan. [james Baldwin, aktor]

***

Kemerdekaan tanpa pembelajaran selalu berbahaya, dan pembelajaran tanpa kebebasan selalu sia-sia.

[john F Kennedy, mantan presiden AS]

KATA BERmAKNA

33No. 4| Th. I | September 2013

agi terlihat remang oleh saputan kabut. ja-lanan di kampung Mranggen masih senyap dari aktivitas warga. Hanya sesekali, terlihat

satu, dua warga kampung berjalan dengan sekeron-jot sayuran untuk dibawanya ke pasar. Tak berapa lama, sayup terdengar deru mesin motor dari ujung jalan. Kian lama terdengar semakin keras, bahkan memekakkan telinga orang yang dilaluinya, termasuk segerombol bapak-bapak yang te-ngah ngopi di warung Yu Kanti. Meski begitu, tidak ada respon yang negatif dari mereka, bahkan yang terlihat malah sapaan yang menyenangkan.

“Hati-Hati mas guru, sugeng ngayahi tugas,” sapa khas salah seorang dari gerombolan warga yang se-pertinya sudah sangat akrab dengan pengendara motor itu.

“Dari jauh sudah bisa diterka, kalau mas guru Kardi yang bakal lewat,” sahut yang lain.

Lelaki pengendara motor yang disebut mereka de ngan sebutan mas guru Kardi itu pun berhenti se-jenak, menimpali sapaan mereka dengan tak kalah akrabnya, ”Lha ya jelas to, kalau tidak ada mas guru Kardi, ya tidak rame.”

“Permisi, mongga sedaya,” pamit mas guru Kardi kemudian.

Bapak-bapak itu pun mengangguk mempersila-kan mas guru Kardi berlalu dari hadapan mereka, menyisakan kepulan asap yang keluar dari knalpot motor butut mas guru Kardi.

“Kasihan nasib guru muda itu. Kurang baik apa dia itu, koq ya masih disia-siakan dan selalu dianggap kurang oleh keluarga istrinya,” ucap seorang bapak membuka pembicaraan tentang mas guru Kardi.

“Lha iya ya, sudah dibela-belain kerja dari pagi sampai sore, masih sering saja mertuanya itu men-gumpat-umpat, di depan banyak warga lagi,” timpal yang lain terlihat menahan geram.

***Tujuh tahun menjadi guru honorer di SD Negeri

Mranggen telah memahat niat kuat di hati mas guru Kardi untuk mengabdi, mendidik anak-anak sepenuh hati. Tidak hanya anak-anak yang menjadi siswanya, tetapi siapa pun yang ingin belajar, selalu menda-pat layanan pengajaran darinya dengan tulus ikhlas. Membisniskan peran guru di kampung kecil seperti Mranggen sangatlah sulit, dan bisa jadi untung tidak didapatkan, keikhlasan malah tergadaikan.

Di sela-sela kegiatannya mas guru Kardi juga membina sebuah komunitas muda-mudi yang kegiatan

utamanya menulis. Penuh perjuangan dan tantangan yang luar biasa untuk mengajak muda-mudi kam-pung yang tak berpendidikan tinggi seperti itu. Apa-lagi, alur hidup mereka sudah teracuni oleh pikiran orangtua mereka untuk bagaimana bisa bekerja agar menghasilkan banyak uang, dan bukan untuk belajar. Sedangkan membuat karya tulis itu bukan dianggap pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Tapi kondisi itu tak menyurutkan kegigihan mas guru Kardi un-tuk terus memberi semangat dan membina mereka berdasarkan pengalamannya. Kebetulan Kardi sejak usia muda memang senang menulis, bahkan tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di media massa. Kardi Putra Rahardian, nama pena Mas Guru Kardi sudah tak asing lagi di kalangan para penulis lokal jogja. Tapi ironisnya, tak menjadikan berharga di mata keluar-ganya.

“jadi orang itu jangan sok suci, sok ikhlas, terima mengajar dan mengurusi orang sana sini tanpa ada gaji. Kelihatannya saja sibuk kerja dari pagi sampai malam, tapi kenyataannya kebutuhan anak istri tidak tercukupi,” keluh Ratinah, istri Kardi.

“Sabar dan yakinlah Bu, Tuhan tidak tidur. Siapa pun yang ikhlas membantu kesulitan orang lain, ke-sulitan kita akan terbantukan atas kekuasaan Tuhan,” ungkap Kardi

“Huh! Makan itu sabar. Lapar tidak bisa menjadi kenyang karena sabar saja, Mas” ucap Ratinah sem-bari berkacak pinggang di hadapan Kardi.

Mas Guru KardiCErPEN

Oleh mF. Oktavia

34 No. 4| Th. I | September 2013

Kalau sudah begitu, mas guru Kardi hanya bisa terdiam bungkam, agar tak terjadi pertengkaran yang semakin meruncing. Karena disadarinya gaji sebagai tenaga honorer memang sementara belum bisa membuktikan terjaminnya kesejahteraan kelu-arganya. Keikhlasan tidak bisa menjadi prasyarat tu-runnya tunjangan atau kenaikan pangkat bagi seorang guru. Karena itulah, istri dan mertuanya sangat tidak setuju dengan pekerjaan dan aktivitas Kardi selama ini.

“Sampai kapan gaji suamimu bisa membuat kamu kaya. Sepertinya jabatan jadi guru itu hebat, tapi gaji selalu mepet. Lha mbok dia disuruh daftar TKI saja, satu tahun kerja di Hongkong bisa bangun rumah magrong-magrong kayak si joko itu,” ucap mertua Kar-di pada Ratinah.

Ratinah menyuguhkan secang-kir wedang kopi pada ibunya semba-ri menjawab, “Mauku juga seperti itu, Mbok. Beberapa hari yang lalu juga sudah aku tawarkan itu, tapi mas Kardi memang keras ke-pala, tak mau bergeming dari pekerjaannya sekarang. Malah aku dibuat gelagapan de ngan nasihat-nasihatnya.”

Senyap sejenak membalut keduanya dalam pikirannya masing-masing. Hingga tergeragap keduanya saat Kardi mengucap salam.

“O ada ibu to. Sudah lama, Bu?” sapa mas guru Kardi pada mertuanya dengan penuh hormat yang tak dibuat-buat. Mbok Sri tak segera menjawab, ma-lah lebih memilih menyeruput wedang kopinya.

“Ya wis, aku pamit pulang dulu,” pamit mbok Sri kemudian. Ratinah dan Kardi menghantarkannya sampai depan rumah.

“Sampai kapan hidup seperti ini,” gumam Rati-nah. Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Rati-nah kemudian masuk ke dalam kamar. Sementara Kardi sudah di depan komputer kunonya, siap me-nuangkan isi pikirannya dalam tulisan.

***Sore itu, ada seulas senyum dari bibir Ratinah

yang sudah lama tak pernah dilihat Kardi semenjak

awal pernikahannya dulu. “Mas, aku mau belikan kalung, ya. Nanti sewak-

tu-waktu kalau butuh uang, bisa dijual lagi,” rajuk Ratinah sembari mengitung-hitung lembaran uang seratus ribuan, hadiah lomba penulisan. Istilahnya uang pembinaan.

“Terserahlah, kamu atur saja. Aku hanya memin-ta agar kita tetap menjaga kesabaran dan keyakinan

pada Allah terhadap segala urusan, termasuk dalam masalah rezeki,”

ucap bijak mas guru Kardi. Ratinah menganggguk-

angguk sembari tak berke-sudahan menimang-nimang

lembaran uang di tangan-nya.

Seminggu berlalu de-ngan sikap manis Ratinah. Dan

yang lebih membahagiakan lagi, di tiap pembicaraannya jauh dari umpa-tan dan keluhannya.

“Mas, berhentilah menimang pi-ala itu. Toh kemenang an itu tak bisa memberikan jaminan untuk meme-

nuhi kebutuhan kita. Dika belum bayar SPP, paling lambat pembayaran besok. Aku juga sudah tidak pegang uang sama sekali,” keluh Ratinah suatu pagi di hari

berikutnya.Tak ada kata yang keluar dari bibir Kardi.

Pandang annya tertuju pada piala dan piagam yang digantung di dinding, di samping piala. Tatapannya semakin redup dan kemudian terpejam.

“Andai saja piala itu sangup mendengar suara hatiku, mungkin saja dia mau menjual dirinya, demi memenuhi kebutuhan tuannya. Tapi aku tak akan pernah berprinsip seperti itu, kemuliaan ada pada diri yang tak mudah menjual diri dan menggadaikan keikhlasan hati demi materi yang tak selalu membe-rikan kebahagiaan abadi,” gumamnya di kedalaman batin yang kian terluka. (*)

MF. Oktavia, pegiat sastra anak dan

pengelola Lembaga pendidikan Anak di Yogyakarta

35No. 4| Th. I | September 2013

36 No. 4| Th. I | September 2013

Salam Hamemayu.MENINGKATKAN mutu pendidikan nonformal,

sebagaimana menjadi motto Majalah HAMEMAYU, kiranya membutuhkan komitmen, kompentensi, dan konsistensi atau formula KKK. Komitmen menjadi lokomotif dalam setiap proses belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan. Dengan komitmen yang kuat, maka pelaksanaan proses belajar mengajar itu akan berjalan lebih maksimal, dinamis dan sema ngat.

Kemudian memiliki kompetensi artinya kesedi-aan untuk menambah wawasan, pengetahuan dan ketrampilan. Di sisi lain, si pembelajar juga harus membuka “pintu” pikiran, mata, telinga, hati dan lan-gkah kemauan. Dengan demikian, dua sisi “me-ngejar” dan “meneri-ma” asupan ilmu dapat seiring sejalan.

Selanjutnya kon-sistensi adalah sebuah kemauan untuk terus menekuni proses bela-jar itu agar mempero-leh hasil yang lebih baik. Karena kalau “berhenti” dalam proses, satu sisi akan ada hal-hal yang kurang, di sisi lain merupakan pencerminan bahwa si pembelajar merasa sudah cukup belajar atau tidak perlu belajar lagi.

Dengan formula KKK itulah, kami para pengasuh majalah dwi bulanan BPKB DIY mencoba untuk me-langkah dan eksis dalam melayani pembaca di bidang pendidikan nonformal. Para pengasuh, baik yang di meja redaksi maupun tim yang bertugas “belanja

fakta dan data” di lapangan alias reporter, menga-wali proses ini dengan komitmen, kemudian belajar memiliki komitmen dan didukung dengan kesediaan untuk konsisten dalam langkah.

Sebelum melaksanakan formula KKK, kami juga coba mengimplementasikan formula NNN yang di-wariskan oleh Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewan-tara. Formula NNN itu adalah “niteni nirokke dan nambahi”. Dalam melangkah mengerjakan majalah kita ini, kami terlebih dulu “niteni” produk sejenis di bidang pendidikan, kemudian kami mencoba “nirok-ke” dan selanjutnya “nambahi” sebagai aspek inovasi atau kreativitasnya.

Demikianlah pem-baca, saat kami jum-pa di “ruang sidang redaksi” – salah satu ruang pertemuan kan-tor BPKB DIY – untuk mempersiapkan HA-MEMAYU dari satu edi-si ke edisi berikutnya, kami saling memberi dan menerima dari sisi pengetahuan, wawasan dan ketrampilan. Kece-riaan, kegembiraan dan

semangat membalut suasana pertemuan yang berse-lang dua atau tiga minggu dalam setiap bulan.

Semoga sajian tulisan fakta, opini, fiksi, aneka ru-brik khas majalah ini, serta laporan utama dan lapo-ran khusus, dapat menambah wawasan kita semua di sektor pendidikan nonformal. Selamat membaca dan menulis untuk HAMEMAYU. (*)

sALAM REDAKSI

Dinamika rapat redaksi Hamemayu di ruang sidang BPKB DIY (Foto Prb)

2

Ngatirah dan Isna dalam pelatihan bercerita “Ceritaku Membangun Karakter Anak” di TBM Mata Aksara dengan latar belakang motor keliling (Foto Eko Erghi/ Hamemayu)

37No. 4| Th. I | September 2013 35

LENSA BPKB

Cerita sukses para mantan juara Jambore PTK­PNF tingkat na­sional di hadapan calon peserta Apresiasi PTK PAUDNI Tingkat Nasional 2013.

Calon peserta Apresiasi PTK PAUDNI Tingkat Nasional 2013 melakukan latihan pernapasan.

Focus group discussion (FGD) bahan ajar berorientasi gender di BPKB DIY Agustus 2013.

Focus group discussion (FGD) bahan ajar berbudaya di BPKB DIY Agustus 2013.

Syawalan paguyuban BPKB­SKB se­DIY, 27 Agustus 2013 Syawalan organisasi mitra Dikmas tingkat DIY di BPKB DIY, 4 September 2013. (Foto-foto Dok/Hamemayu)