41
MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA Asep Supena (Dosen PLB Universitas Negeri Jakarta, e-mail:[email protected] ) Abstract; This is a summary of a comprehensive study through library and empirical research on conducting inclusive education for students with visual impairment (tunanetra). The Objective of the study is to develop an ideal model of conducting inclusive education for students with visual impairment. The study was conducted through qualitative approach. the data was collected from observations and focus group discussions with teachers and principals in special schools and regular schools in Jakarta and Bandung. The model consists of thirteen dimentions of conducting the inclusive education that include (1) model of enrollment, (2) identification and assessment, (3) curriculum, (4) learning process, (5) classroom management, (6) human resources, (7) facilities and equipment, (8) lesson plan, (9) learning resources, (10) supporting system, (11) evaluation, (12) school management, and (13) financial. Keyword: inclusive education, student with visual impairment, regular school, special school. Pendidikan adalah hak semua warga negara, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Masyarakat international yang direpresentasikan melalui badan Perserikatan Bangsa- bangsa (PBB) telah lama memiliki komitmen untuk mendorong agar semua orang mendapatkan pendidikan. Salah satu di antaranya adalah deklarasi “education for all”. untuk mempercepat perwujudan cita-cita tersebut, sudah sejak lama Indonesia mencanangkan program wajib belajar 6 tahun. Bahkan sejak tahun 90-an pemerintah telah meningkatkan cakupan program wajib belajar tersebut menjadi 9 tahun. Artinya pemerintah memiliki keinginan dan komitmen bahwa semua anak-anak Indonesia wajib mengikuti dan menyelesikan pendidikan formal sampai dengan tingkatan SMP.

MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : Asep Supena.,

Citation preview

Page 1: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Asep Supena(Dosen PLB Universitas Negeri Jakarta, e-mail:[email protected])

Abstract; This is a summary of a comprehensive study through library and empirical research on conducting inclusive education for students with visual impairment (tunanetra). The Objective of the study is to develop an ideal model of conducting inclusive education for students with visual impairment. The study was conducted through qualitative approach. the data was collected from observations and focus group discussions with teachers and principals in special schools and regular schools in Jakarta and Bandung. The model consists of thirteen dimentions of conducting the inclusive education that include (1) model of enrollment, (2) identification and assessment, (3) curriculum, (4) learning process, (5) classroom management, (6) human resources, (7) facilities and equipment, (8) lesson plan, (9) learning resources, (10) supporting system, (11) evaluation, (12) school management, and (13) financial. Keyword: inclusive education, student with visual impairment, regular school, special

school.

Pendidikan adalah hak semua warga negara, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Masyarakat international yang direpresentasikan melalui badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah lama memiliki komitmen untuk mendorong agar semua orang mendapatkan pendidikan. Salah satu di antaranya adalah deklarasi “education for all”. untuk mempercepat perwujudan cita-cita tersebut, sudah sejak lama Indonesia mencanangkan program wajib belajar 6 tahun. Bahkan sejak tahun 90-an pemerintah telah meningkatkan cakupan program wajib belajar tersebut menjadi 9 tahun. Artinya pemerintah memiliki keinginan dan komitmen bahwa semua anak-anak Indonesia wajib mengikuti dan menyelesikan pendidikan formal sampai dengan tingkatan SMP.

Sampai saat ini masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa mengikuti atau menyelesaikan pendidikan (sekolah) tingkat SMP, bahkan banyak di antaranya yang belum bisa mengikuti di tingkat sekolah dasar. Jumlah terbesar dari anak-anak Indonesia yang tidak bisa mengikuti pendidikan (tidak bersekolah) adalah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada beberapa alasan yang menyebabkan banyaknya anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah. Salah satu di antaranya adalah karena ketersediaan dan penyebaran Sekolah Luar Biasa yang belum memadai. Jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) lebih sedikit jika dibanding dengan jumlah ABK secara keseluruhan. di sisi lain, lokasi-lokasi SLB umumnya berada di tingkat kota propinsi atau kabupaten sehingga sulit untuk menjangkau anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di daerah pedesaan. Pemahaman masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus juga belum seluruhnya benar, sehingga banyak di antara ABK yang tidak didorong dan difasilitasi untuk mengikuti pendidikan.

Page 2: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

Untuk mengatasi persoalan tersebut, dalam sepuluh tahun terakhir ini pemerintah telah gencar mempromosikan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah suatu filosofi, pendekatan sekaligus strategi pendidikan dimana anak-anak dari berbagai kondisi dapat mengikuti pendidikan dalam satu lingkungan secara bersama, dengan suatu sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Dalam sistem pendidikan inklusif, anak-anak berkebutuhan khusus diberi kesempatan (difasilitasi) untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum (reguler) bersama dengan siswa-siswa lainnya yang ‘normal’. Keseriusan pemerintah mengenai pendidikan inklusif salah satunya ditunjukkan dengan dikeluarkannya perangkat aturan yang cukup operasional dan spesifik yakni Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pelaksanaan pendidikan inklusif untuk anak-anak berkelainan dan anak cerdas dan bakat istimewa.

Patut disyukuri bahwa pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Saat ini tercatat ada lebih dari 1000 sekolah secara nasional, yang dinyatakan sebagai sekolah inklusif, yang tersebar di berbagai wilayah, dengan jenjang sekolah yang bervariasi dari mulai TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Di propinsi Jawa Barat ada lebih kurang 172 sekolah inklusif, sedangkan di DKI Jakarta tercatat ada kurang lebih 164 sekolah. Perkembangan sekolah inklusif juga menunjukkan kondisi yang menggembirakan di sejumlah propinsi lainnya misalnya Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, NTB, juga Kalimantan Tengah dan Maluku Utara.

Di tengah kemajuan yang menggembirakan sebagaimana disebutkan di atas, ada satu persoalan mendasar yang sering dihadapi oleh para pelaksana pendidikan inklusif di lapangan yaitu belum memadainya pemahaman dan kemampuan guru-guru dan kepala sekolah tentang bagaimana memberikan palayanan pendidikan dan pembelajaran yang tepat kepada anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusif. Ada sejumlah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh guru dan kepala sekolah berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan inklusif, di antaranya adalah:1. Bagaimana kurikulum dan pembelajaran harus dirancang dan dilaksanakan?2. Bagaimana sarana, prasarana dan peralatan pendidikan harus disiapkan?3. Bagaimana sistem evaluasi harus dikembangkan?4. Bagaimana sistem rekruitmen siswa baru harus dijalankan?5. Bagaimana bentuk rapor, ijazah dan sistem kenaikan kelas? Dll.

Untuk menjawab persoalan tersebut, maka dipandang perlu untuk dikembangkan suatu model pelaksanaan pendidikan inklusif yang dianggap ideal sehingga dapat dijadikan rujukan oleh berbagai pihak yang terkait. Model yang dihasilkan harus mencakup penjelasan operasional dari berbagai aspek dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di antaranya tentang kurikulum, pembelajaran, sarana dan prasarana, sumber dan media pembelajaran, evaluasi, rekruitmen dan lain-lain. Karena karakteristik anak berkebutuhan khusus sangat bervariasi kondisinya baik berkaitan dengan kemampuan maupun kebutuhannya, maka model pendidikan inklusif yang dikembangkan juga seharusnya bersifat spesifik untuk masing-masing jenis hambatan. Naskah ini menyajikan tulisan tentang model pelaksanaan pendidikan

26

Page 3: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

inklusif untuk siswa tunanetra. Ini merupakan ringkasan dari hasil studi literature dan studi empirik tentang pelaksanaan pendidikan inklusif untuk siswa tunanetra.

METODETulisan ini merupakan hasil studi literatur dan studi empirik tentang

pelaksanaan pendidikan inklusif untuk siswa tunanetra. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan kecenderungan menguraikan data berdasarkan pengamatan langsung atau menterjemahkan fenomena kehidupan seseorang atau sekelompok orang. Penulis berusaha obyektif terhadap fenomena yang ada di lingkungan penyelenggara pendidikan inklusif, keluhan, luapan senang, kekesalan dari orangtua akan keberadaan anaknya merupakan data kualitatif yang dapat diuraikan dalam sebuah karya ilmiah hasil penelitian. Namun dalam penelitian ini penulis mengkaji tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk siswa tunanetra yang pengkajiannya mulai dari penerimaan siswa sampai dengan pelaksanaan pendidikan dengan kurikulumnya.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil kajian literatur tentang pelaksanaan pendidikan inklusif untuk siswa

tunanetra dapat diuraikan sebagai berikut:Penerimaan siswa baru:1. Penerimaan siswa baru tunanetra di sekolah reguler (sekolah inklusif) mencakup

dua pengertian. Pertama, penerimaan siswa baru di kelas awal (kelas 1) sebagai proses kelanjutan studi dari jenjang pendidikan sebelumnya. Kedua, penerimaan siswa sebagai pindahan dari sekolah lain, baik dari Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah reguler lainnya.

2. Pada prinsipnya, sekolah harus berupaya untuk menerima (tidak menolak) siswa tunanetra yang mendaftar untuk mengikuti pendidikan di sekolah tersebut.

3. Penerimaan siswa baru tunanetra di sekolah inklusif menggunakan beberapa standar sebagai berikut:a. Prioritas siswa yang diterima adalah siswa yang rumah tinggalnya paling dekat

dengan sekolah.b. Jumlah siswa berkebutuhan khusus dalam satu kelas (rombangan belajar) di

sekolah inklusif adalah 10% dari keseluruhan siswa yang ada di kelas tersebut. Jumlah siswa tunanetra termasuk di dalam angka 10% tersebut. Sebagai contoh, jika ada 30 siswa di suatu kelas, maka jumlah siswa ABK yang ada di kelas tersebut adalah 3 orang, termasuk salah satunya mungkin adalah tunanetra.

c. Sekolah dimungkinkan untuk menerima siswa ABK lebih dari angka tersebut, tetapi dengan mempertimbangkan kemampuan/kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan layanan pembelajaran inklusif.

d. Jika kapasitas daya tampung telah terlampoi, maka sekolah harus membantu untuk menyalurkan siswa tersebut kepada sekolah (inklusif) lain yang masih memungkinkan untuk menampung mereka.

e. Siswa tunanetra yang diterima sebagai siswa di sekolah inklusif bisa siswa yang tergolong kurang lihat (low vision) atau buta (blind).

27

Page 4: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

f. Siswa baru tunanetra yang mendaftar ke kelas 1 sekolah dasar harus memiliki usia paling rendah 6 tahun. Sedangkan yang mendaftar ke SMTP harus memiliki surat tanda tamat belajar (STTB) atau ijazah dari tingkat satuan pendidikan sebelumnya (SD).

g. Siswa baru tunanetra pindahan dari sekolah lain (SLB atau SD/SMP umum) diterima pada kelas sesuai dengan tingkatan kelas terakhir di sekolah sebelumnya, atau berdasarkan kemampuannya yang diperoleh melalui observasi/tes oleh guru, atau berdasarkan usianya.

h. Sangat dianjurkan bahwa ada surat rujukan/keterangan dari dokter mata, optalmologist, atau tenaga pendidikan khusus (ortopedagog) tentang keberadaan siswa tersebut sebagai tunanetra ketika mendaftar ke sekolah.

i. Jika tidak ada rujukan, maka guru disarankan melakukan identifikasi atau asesmen melalui wawancara dengan orang tua dan atau observasi oleh guru kepada siswa yang bersangkutan, untuk memperoleh informasi awal tentang kemungkinan adanya hambatan penglihatan (ketunanetraan) pada siswa tersebut. Cara identifikasi dan asesmen dapat dilihat pada pembahasan tentang indentifikasi.

j. Sekolah harus melakukan pencatatan (pendataan) khusus secara lengkap bagi siswa-siswa ABK yang ada di sekolahnya termasuk tunanetra.

Identifikasi, pengukuran dan asesmen:1. Identifikasi adalah proses untuk mengetahui bahwa seseorang diduga mengalami

hambatan penglihatan (tunanetra) berdasarkan suatu tanda atau indicator-inditakor tertentu. Melalui proses identifikasi, sekolah diharapkan memiliki dugaan atau perkiraan bahwa siswanya adalah tunanetra. Ada beberapa standar yang dapat dilakukan untuk keperluan tersebut:a. Jika telah tersedia surat rujukan dari dokter atau ortopedagog yang

menyatakan status ketunanetraan siswa, maka proses identifikasi tidak diperlukan lagi.

b. Jika rujukan tidak ada, maka guru dapat melakukan wawancara dan atau observasi kepada siswa yang bersangkutan atau wawancara kepada orang tuanya untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi penglihatan siswa yang bersangkutan. Beberapa indicator yang dapat dijadikan petunjuk mengenai kemungkinan adanya gangguan penglihatan di antaranya adalah: Tidak bisa melihat sama sekali atau tidak bisa melihat dengan jelas. Tidak bisa atau mengalami kesulitan untuk menemukan benda yang jatuh. Tidak bisa membaca tulisan awas dengan menggunakan matanya, atau

mendekatkan matanya ke bahan bacaan ketika membaca suatu tulisan.2. Pengukuran adalah proses untuk menetapkan secara lebih akurat mengenai jenis

dan tingkat hambatan penglihatan yang dialami oleh siswa tunanetra. Melalui proses pengukuran sekolah akan mengetahui jenis dan tingkat ketunanetraan yang mana yang dialami oleh siswanya, apakah tergolong low vision atau buta. Proses pengukuran umumnya tidak dilakukan oleh guru, tetapi dimintakan bantuan kepada tenaga ahli (dokter, dokter mata atau optalmolog). Jika tidak ada rujukan

28

Page 5: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

dari tenaga ahli, maka guru dapat melakukannya sendiri dengan menggunakan beberapa cara sebagai berikut:a. Mintalah anak untuk mengenali benda atau objek yang ditunjukkan oleh guru

dalam jarak dekat kepada mata anak, misalnya jari tangan, uang logam, uang kertas, pulpen, buku atau lainnya. Jika anak tidak bisa melihatnya sama sekali atau dapat melihat tetapi sangat tidak jelas, maka diperkirakan siswa tersebut masuk katagori buta. Jika mampu mengenalinya, misalnya mampu menyebutkan jumlah jari yang ditunjukkan oleh guru, atau menyebutkan nama dan warna benda yang ditunjukkan, maka kemungkinan dia masuk katagori kurang lihat (low vision).

b. Objek yang ditunjukkan kepada siswa juga bisa berupa gambar-gambar, misalnya gambar lingkaran, segitiga, segi empat, titik-titik dan lain-lain. Kemudian mintalah siswa untuk mengenali gambar dengan matanya dalam jarak dekat atau jarak tertentu. Jika tidak mampu mengenalinya maka diperkirakan buta, tetapi jika mampu maka diperkirakan low vision.

c. Jika siswa sudah bisa mengenal huruf maka tunjukkan sejumlah huruf dalam jarak dekat atau jarak tertentu, dan tanyakan apakah dia masih bisa mengenali huruf-huruf tersebut. Tunjukkan huruf kepada siswa dalam berbagai ukuran dan jarak. Jika siswa mampu mengenalinya maka diperkirakan masuk dalam katagori kurang lihat (low vision).

d. Jika ada rujukan dari dokter maka bisanya dokter menyebutkan derajat ketajaman penglihatan (visus) siswa dalam angka pecahan, misalnya 20/70 f, 20/100 f atau 20/200 f, dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa visus 20/70 s.d. 20/200 adalah katagori kurang lihat dan jika 20/200, 20/300 dst adalah masuk katagori buta.

3. Asesmen adalah proses pengumpulan data untuk mendapatkan gambaran secara lebih detail tentang kemampuan dan kelemahan seorang siswa, yang dibutuhkan untuk tujuan penyusunan program pendidikan/pembelajaran yang tepat. Asesmen biasanya dilakukan pada sejumlah aspek perkembangan pada anak. Misalnya asesmen untuk mengetahui tingkat penglihatan siswa, kemampuan membaca, asesmen untuk mengetahui kemampuan menulis, kemampuan matematika, kemampuan mobilitas/bergerak, kemampuan emosi, kemampuan social, kemampuan motorik dan lain-lain.

4. Untuk siswa tunanetra, asesmen terutama ditujukan untuk melihat kemampuan penglihatan siswa secara lebih detail, sehingga dapat diketahui cara atau jenis layanan belajar yang cocok untuk siswa tersebut. Misalnya, apakah siswa tersebut masih mampu menggunakan penglihatannya? Jika ya, dalam jarak berapa dan ukuran objek sebesar apa yang masih bisa dilihat oleh siswa?

5. Cara untuk mengasesmen kemampuan penglihatan siswa pada dasarnya sama dengan cara identifikasi seperti telah dijelaskan di atas. Namun ada beberapa langkah sederhana yang agak lebih detail yang bisa dilakukan oleh guru yaitu: Buatkan gambar objek visual (misalnya simbol-simbol huruf, gambar benda

geometri dll) dalam berbagai ukuran dan warna serta kekontrasan. Misalnya ukuran huruf 14, 16, 18, 24, 30, 48, 60 dst.

29

Page 6: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

Coba tunjukkan kepada siswa gambar-gambar tersebut secara bergantian dalam berbagai jarak dan ukuran tadi (misalnya jarak 10 cm, 20 cm 30 cm dst.).

Temukan atau kenali, dalam ukuran dan jarak berapa siswa dapat melihat objek tersebut secara lebih jelas. Informasi ini penting untuk memastikan bahwa siswa masih bisa dilayani dengan mengunakan tulisan awas. Lebih lanjut, informasi ini juga penting untuk menentukan jenis huruf dan jarak membaca yang dapat diberlakukan untuk siswa yang bersangkutan.

Jika siswa tidak mampu mengenalinya, maka pastikan bahwa dia mungkin harus menggunakan braille untuk keperluan membaca dan menulis.

6. Kemampuan-kemampuan yang terkait dengan aspek motorik, mobilitas (bergerak dan berpindah tempat), emosi dan sosial, dapat diakses dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap prilaku anak dalam berbagai situasi/peristiwa, baik di kelas maupun di luar kelas, termasuk informasi dari orang tuanya.

7. Jika di sekolah ada guru pembimbing khusus (GPK), maka mintalah bantuan atau kerjasama dengannya dalam melakukan asesmen.

8. Hasil-hasil asesmen dicatat atau dideskripsikan dengan menggunakan contoh format sebagai berikut:

Tabel. 1 Contoh Penulisan Deskripsi Hasil Asesmen Siswa Tunanetra

ASPEK DESKRIPSI Penglihatan Siswa mampu mengenali objek-objek visual dalam

jarak yang dekat (kurang lebih 10-15 cm), mampu mengenal beberapa warna dan dapat membaca tulisan awas dengan ukuran font 20-30 pada jarak kurang lebih 10-15 cm.

Mobilitas Siswa dapat melakukan mobilitas secara mandiri di tempat-tempat yang sudah dikenal di lingkungan sekolah. Mampu menggunakan tongkat dengan cukup baik ketika berjelan.

Emosi-sosial Mampu bergaul dengan teman-temannya secara cukup baik dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik.

Dst.

Kurikulum:Arti dan ruang lingkup kurikulum1. Kurikulum adalah seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pendidikan

dan atau pembelajaran yang didalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, konten/materi, proses dan evaluasi.

30

Page 7: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

2. Tujuan adalah seperangkat kemampuan atau kompetensi yang harus dicapai (dikuasai) oleh siswa setelah mereka menyelesaikan program pendidikan/pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Tujuan (kompetensi) yang harus dicapai oleh siswa dalam pembelajaran dapat berupa pengetahuan (kognitif), keterampilan motorik (psikomotorik) dan atau kemampuan sosio-emosional (afektif). Secara operasional, ada empat jenis rumusan tujuan pembelajaran (kompetensi) yang ada pada tingkat satuan pendidikan (sekolah) yaitu: Standar kompetensi lulusan (SKL) Standar kompetensi (SK) Kompetensi dasar (KD) Indikator keberhasilan (indicator)

3. Konten adalah isi atau materi yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, dan lain-lain.

4. Proses adalah kegiatan atau aktivitas yang harus dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses kurang lebih sama pengertiannya dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa bersama guru baik di dalam maupun di luar kelas. Proses pembelajaran biasanya terkait dengan penggunaan metode mengajar, pemakaian media pembelajaran, pengalokasian waktu, penggunaan sumber belajar, pengelolaan kelas dan lain-lain.

5. Evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui apakah para siswa telah berhasil mencapai atau menguasai kompetensi-kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran.

Kurikulum untuk siswa tunanetra dalam Kelas inklusif1. Pembahasan kurikulum pada bagian ini selanjutnya akan difokuskan pada

pengaturan tentang SKL, SK, KD, materi dan indicator. Proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran akan diatur khusus pada bagian tersendiri.

2. SKL, SK, KD, materi dan indicator untuk siswa tunanetra pada umumya sama dengan yang digunakan oleh siswa lainnya (tidak mengalami perubahan), karena siswa tunanetra secara umum tidak mengalami hambatan dalam kecerdasan.

3. Ada beberapa bagian kompetensi dan materi dalam kurikulum yang tidak mungkin atau sulit diberlakukan kepada tunanetra. Hal ini disebabkan karena indicator dan atau materi tersebut menuntut aktivitas visual dari siswa, misalnya materi tentang melukis, mewarnai, mengamati objek dengan bantuan microskop dll.

4. Untuk indicator atau materi yang sulit dilakukan oleh tunanetra sebagaimana disebutkan di atas, maka guru harus melakukan modifikasi atau penggatian terhadap materi-materi tersebut dengan materi lain yang kurang lebih sepadan. Misalnya, materi melukis diganti dengan seni membentuk atau seni baca puisi.

31

Page 8: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

Proses Pembelajaran:1. Proses pembelajaran adalah kegiatan atau aktivitas yang dilaksanakan oleh siswa

bersama guru, baik di kelas maupun di luar kelas, supaya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bisa dicapai. Proses pembelajaran dikenal juga dengan istilah “kegiatan pembelajaran” atau “pengalaman pembelajaran”. Proses pembelajaran biasanya berkaitan dengan beberapa factor di antaranya adalah: Waktu , yakni berapa lama kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan. Tempat/lingkungan , yakni dimana kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan. Di

kelas, di laboratorium, di kebun sekolah dll. Bentuk kegiatan (cara/metode) , yakni kegiatan apa yang harus dilakukan oleh

siswa dan juga guru. Misalnya, apakah siswa harus membaca, mendengarkan, mengerjakan tugas. Apakah guru akan menjelaskan, menugaskan siswa membaca, memperagakan sesuatu dll.

Alat/media, yakni alat atau media apa yang akan dilibatkan dan digunakan selama proses pembelajaran berlangsung.

Sumber dan bahan belajar , artinya sumber belajar (dan bahan ajar) apa yang akan digunakan oleh guru selama dalam proses pembelajaran. Beberapa contoh bentuk sumber belajar di antaranya adalah: buku, majalah, laboratorium, kebun sekolah, puskesmas, lingkungan masyarakat, kebun binatang dll.

2. Karena adanya hambatan penglihatan pada siswa, maka guru harus melakukan beberapa perubahan atau modifikasi terkait dengan pelaksanaan pembelajaran kepada siswa tunanetra di kelas inklusif. Beberapa petunjuk yang harus diperhatikan atau dilakukan oleh guru dalam melakukan proses pembelajaran kepada siswa tunanetra di kelas inklusif, di antaranya adalah: Tempatkan siswa tunanetra di tempat duduk yang dekat dengan guru, supaya

mereka lebih mudah mendengar penjelasan secara lisan dari guru. Hal ini penting karena tunanetra sangat membutuhkan mendengar.

Ketika guru menuliskan sesuatu di papan tulis, maka harus diikuti dengan penjelasan secara lisan, karena mereka tidak mengetahui apa yang tertulis di papan tulis, kecuali jika dibacakan.

Beri kesempatan siswa tunanetra untuk merekam (memakai recorder) ketika guru sedang mengajar, karena hasilnya akan diputar ulang ketika dibutuhkan.

Jika guru menghadirkan alat atau media pembelajaran, maka beri ilustrasi secara lisan mengenai alat tersebut.

Gunakan media atau alat-alat pembelajaran yang dapat diraba (timbul), dapat didengar, atau dapat dicium, karena cara itulah yang dapat dipahami oleh tunanetra. Misalnya peta timbul, penggaris timbul, mesin tik barille, benda-benda model, dll.

Kalau memungkinkan gunakan alat atau media pembelajaran yang asli dan konkrit untuk menghindari kesalahan dalam pemahaman konsep pada siswa tunanetra.

Beri kesempatan siswa tunanetra untuk membaca dan menulis dengan Braille. Dan beri waktu yang sedikit lebih lama karena membaca dan menulis dengan Braille membutuhkan waktu yang lebih lama.

32

Page 9: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

Jika memungkinkan, gunakan computer bicara yang dilengkapi dengan program jaws untuk membantu siswa tunanetra membaca dan menulis dengan sistem tulisan umum.

Sediakan sumber-sumber bacaan dalam tulisan Braille. Sewaktu-waktu proses pembelajaran dilakukan di ruang sumber, khususnya

untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran khusus tunanetra, misalnya belajar Braille atau belajar orientasi dan mobilitas (OM).

Manajemen kelas:1. Manajemen kelas (classroom management) adalah proses yang dilakukan oleh

guru untuk menciptakan situasi dan kondisi dalam kelas supaya memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Pengelolaan kelas dapat dilakukan berkaitan dengan dua hal yaitu (1) pengelolaan fisik kelas dan (2) pengelolaan prilaku siswa dalam di kelas.

2. Pengelolaan fisik kelas berkaitan dengan penataan atau pengaturan berbagai sarana dan alat pembelajaran yang ada di dalam kelas supaya pembelajaran lebih efektif dan efisien. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan atau dilakukan oleh guru terkait dengan pengelolaan fisik kelas dalam kelas inklusif untuk siswa tunanetra, di antaranya adalah:a. Tempat duduk siswa tunanetra disarankan tidak jauh dengan tempat guru. b. Jika ada lebih dari satu tunanetra di kelas, maka masing-masing tunanetra

seharusnya duduk dengan siswa lainnya yang umum. Hal ini penting supaya siswa yang umum sewaktu-waktu dapat diperankan sebagai tutor untuk memberikan bantuan-bantuan yang diperlukan bagi siswa tunanetra ketika belajar atau mengerjakan tugas-tugas.

c. Jika guru memberlakukan kebijakan tempat duduk yang berubah (rolling) pada setiap kurun waktu tertentu, misalnya berubah dalam setiap satu bulan, maka tidak mengapa perubahan itu juga diberlakukan pada siswa tunanetra. Ini penting untuk pembelajaran social dan ketaatan terhadap aturan. Akan tetapi perlu tetap dicermati mengenai dampaknya terhadap efektivitas dan efisiensi pembelajaran siswa tunanetra. Jika pembelajaran kepada siswa tunanetra menjadi kurang efektif karena perubahan tempat duduk, maka dapat dipertimbangkan penempatan tempat duduk yang tidak jauh dari guru.

d. Jika memungkinkan, formasi tempat duduk yang disarankan adalah berbentuk “U”, atau setengah lingkaran. Formasi ini dianggap baik karena memungkinkan interaksi yang multi arah dan pemantauan guru yang lebih merata pada semua anak.

e. Ketika ada kerja kelompok, siswa tunanetra dilibatkan dalam kerja kelompok bersama siswa lainnya. Siswa tunanetra diberi peran dan tugas dalam kelompok sesuai dengan kemampuannya. Keterlibatan dalam kerja kelompok penting untuk pengembangan aspek social dari siswa tunanetra maupun siswa lainnya.

f. Hindari penempatan benda-benda di jalur yang biasa dilewati di dalam kelas dan benda-benda berbahaya lainnya karena mungkin akan membahayakan bagi tunanetra.

33

Page 10: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

g. Jika di kelas terdapat siswa tunanetra yang tergolong low vision, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya: pencahayaaan dalam ruang harus cukup terang karena mereka sangat

membutuhkan cahaya untuk memperjelas penglihatannya. Siswa ditempatkan pada bagian kelas yang paling banyak memperoleh

cahaya, untuk membantu memperjelas penglihatannya. Warna papan tulis harus kontras dengan dindingnya, supaya mudah dilihat

oleh siswa low vision. Peralatan dan media lainnya juga harus ditampilkan dalam warna yang

jelas/nyata dan kontras sehingga mudah dikenali.h. Sirkulasi udara dan ukuran ruang kelas harus cukup memadai sehingga sehat

dan nyaman bagi siswa ketika belajar di kelas.Ketenagaan:1. Guru-guru reguler (umum) yang mengajar di sekolah inklusif harus memiliki

pemahaman tentang siswa tunanetra dan memiliki kemampuan minimal untuk memberikan layanan pembelajaran kepada mereka. Pengetahuan minimal yang harus dikuasai oleh para guru reguler mengenai tunanetra di antaranya: pengertian tunanetra, klasifikasi tunanetra, karakterik tunanetra dan kebutuhan khusus tunanetra, dan prinsip-prinsip pembelajaran umum untuk siswa tunanetra.

2. Untuk membangun pemahaman dan kemampuan para guru reguler dalam pelayanan pembelajaran siswa tunanetra, maka perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kemampuan para guru reguler di antaranya melalui: Penyediaan berbagai bahan bacaan/literature (buku, makalah, majalah,

bulletin, jurnal dll.) tentang siswa tunanetra dan pembelajarannya. Mengikuti pelatihan, penataran, seminar, lokakarya atau yang sejenis tentang

pelayanan pendidikan bagi siswa tunanetra. Observasi dan atau magang di sekolah luar biasa tunanetra (SLB/A). Pendampingan oleh Guru Pembimbing Khusus (GPK). Studi banding ke sekolah-sekolah inklusif yang telah sukses. Studi lanjut (S1 atau S2) pada jurusan pendidian luar biasa.

3. Di sekolah inkslusif harus tersedia Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berfungsi sebagai konsultan dan partner kerja bagi guru-guru regular, khususnya berkaitan dengan pelayanan pendidikan kepada siswa tunanetra. GPK adalah guru yang memiliki keahlian dan atau kualifikasi minimal pendidikan S1 pada jurusan pendidikan luar biasa (special education).

4. Menurut permen nomor 70 tahun 2009, pemerintah wajib menyediakan guru pembimbing khusus bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif (lebih lanjut lihat permen 70/2009).

5. Ada dua kemungkinan model status GPK di sekolah inklusif: Satu orang GPK bertugas secara penuh sebagai guru pembimbing khusus di

satu sekolah. Satu orang GPK bekerja sebagai guru pembimbing khusus untuk beberapa

sekolah (2-4 sekolah) yang berdekatan.

34

Page 11: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

6. Pengadaan GPK dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: pengangkatan GPK sebagai PNS oleh pemerintah, pengangakatan GPK sebagai guru honor oleh pemerintah, pengkatan GPK sebagai guru honor yang dibiayai secara mandiri oleh sekolah

bersangkutan. pemanfaatan guru SLB terdekat sebagai GPK.

7. Semua unsure ketenagaan yang ada di sekolah yakni kepala sekolah, staf administrasi, pesuruh dan semua personalia lainnya harus memiliki pemahaman yang benar tentang siswa tunanetra, supaya semua pihak memiliki sikap dan perlakukan yang positif terhadap siswa tunanetra. Oleh karena itu dibutuhkan sosialisasi kepada semua pihak.

8. Jika memungkinkan, sekolah inklusif didukung oleh tenaga ahli lain yang relevan yaitu psikolog, dokter dan tenaga terapis, baik sebagai tenaga tetap atau sebagai tenaga yang diperbantukan yang sewaktu-waktu datang ke sekolah.

Sarana, Peralatan dan Media Belajar:1. Sarana adalah kelengkapan fisik pokok yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan

pendidikan di sekolah, misalnya lahan, gedung, dan ruang-ruang kelas. 2. Peralatan belajar adalah kelengkapan yang lebih spesifik dan operasional yang

dibutuhkan untuk mempermudah kelangsungan kegiatan pembelajaran, misalnya meja, kursi, papan tulis, OHP, LCD dll.

3. Media pembelajaran adalah alat, benda atau objek yang digunakan dalam pembelajaran dengan maksud untuk memperjelas konsep-konsep atau materi yang sedang dibahas. Misalnya peta, atlas, globe, bunga ketika sedang membahas konsep bunga, gambar-gambar, model dari objek, miniature dll.

4. Sarana dan peralatan belajar umum seperti gedung, ruang kelas, kursi, dan meja secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa umum dengan siswa tunanetra.

5. Hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh sekolah terkait dengan sarana dan peralatan belajar tunanetra di sekolah inklsif adalah bahwa tidak ada unsur yang berbahaya atau berisiko terhadap keselamatan siswa tunanetra, misalnya: banyak bagian atau tempat-tempat yang berlubang, terlalu bayak tangga dan tempat-tempat yang curam tanpa disertai pagar, bentuk jendela yang menjorok ke bagian jalan yang bisa tertabrak oleh

tunanetra, bentuk tiang yang tajam yang bisa menyebabkan luka jika tertabrak, banyak peralatan yang terbuat dari kaca atau mudah pecah, instalasi listrik yang terbuka, dll.

6. Sekolah harus mengupayakan sejumlah peralatan belajar khusus yang dibutuhkan untuk kelancaran pembelajaran siswa tunanetra, di antaranya adalah: Alat tulis Braille (reglet, stilus dan kertas braille), Mesin tik Braille, Tongkat untuk keperluan mobilitas tunanetra, Computer bicara (computer yang dilengkapi dengan program jaws), Printer braille,

35

Page 12: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

Bahan bacaan (buku, majalah dll) dalam bentuk Braille, Peta dan globe timbul, Penggaris timbul, Tenis Meja khusus tunanetra, Papan catur tunanetra, dll

7. Untuk siswa tunanetra low vision, ada beberapa peralatan khusus yang harus diupayakan oleh sekolah, di antaranya adalah: bahan bacaan yang ukuran tulisannya relative besar. Alat untuk memperbesar tulisn (huruf), kaca pembesar dll.

8. Jika peralatan tersebut tidak tersedia di sekolah, maka sekolah dapat bekerjasama dengan sekolah luar biasa (SLB) terdekat untuk memperoleh atau menggunakan alat-alat tersebut.

9. Dalam proses pembelajaran, guru harus mengupayakan pengadaan dan penggunaan media pembelajaran yang diperlukan untuk memperjelas berbagai konsep secara efektif dan efisien. Ada beberapa petunjuk yang perlu dilakukan oleh guru, sbb.: Gunakan objek, situasi atau peristiwa yang asli ketika menjelaskan suatu

konsep, supaya tunanetra mendapatkan pemahaman yang benar tentang konsep tersebut. Misalnya, membawa bunga ketika sedang menjelaskan bunga, atau membawa radio ketika sedang menjelaskan radio.

Jika objek asli tidak tersedia atau tidak memungkinkan, maka gunakan objek asli yang diawetkan, misalnya harimau yang diawetkan.

Jika benda yang diawetkan tidak tersedia, maka gunakan objek tiruan dengan ukuran yang sama dengan aslinya.

Jika objek tiruan tidak tersedia, maka gunakan model (objek tiruan yang ukurannya tidak sama persis dengan aslinya). Model tiruan bisa dua kemungkinan. Pertama yang ukurannya lebih besar dari aslinya dan kedua model yang ukurannya lebih kecil dari objek aslinya. Benda-benda yang berukuran besar seperti Borobudur dapat ditampilkan dengan model yang diperkecil, sedangkan benda yang berukuran kecil seperi semut dapat ditampilkan dengan model yang diperbesar.

Jika model tidak tersedia maka guru harus menjelaskan secara lisan (verbal) tentang hakikat, sifat atau karakteristik dari objek atau konsep yang sedang dijelaskan.

Rencana pembelajaran:1. SILABUS pembelajaran untuk siswa tunanetra di sekolah inklusif pada

umumnya sama dengan silabus untuk siswa lainnya (siswa umum). Artinya sebagian besar komponen yang ada dalam silabus tidak mengalami perubahan. Berikut disajikan penjelasan lebih rinci tentang bagaimana mengembangkan silabus untuk pembelajaran siswa tunanetra di sekolah inklusif: a. Format dan komponen silabus sama dengan silabus yang umum. Dibuat

dalam bentuk matrik (table) dan mencakup 8 komponen sebagaimana dijelaskan di atas.

36

Page 13: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

b. Pada identitas/judul silabus, ditambahkan informasi tentang jenis siswa berkebutuhan khusus yang menjadi target pembelajaran.

c. Rumusan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), materi, indicator dan alokasi waktu tidak mengalami perubahan. Artinya, rumusan SK, KD, materi, indicator dan alokasi waktu untuk siswa tunanetra sama dengan yang diberlakukan untuk siswa lainnya.

d. Kegiatan pembelajaran perlu ada sedikit modifikasi. Petunjuk atau rambu-rambu tentang proses pembelajaran untuk siswa tunanetra dapat dilihat kembali pada pembahasan sebelumnya tentang proses pembelajaran. Sebagai contoh: Guru harus banyak memberi penjelasan secara lisan, termasuk setiap

sesuatu yang dituliskan di papan tulis atau alat yang dibawa ke kelas. Penempatan tempat duduk siswa tunanetra dekat dengan guru, supaya

mudah mendengar penjelasan lisan dari guru. e. Sumber dan media pembelajaran harus dimodifikasi. Penjelasan tentang hal

ini dapat dilihat kembali pada pembahasan tentang proses pembelajaran. Beberapa contoh singkat yang dapat dijelaskan di sini di antaranya adalah: Sedapat mungkin gunakan media pembelajaran yang asli (autentik) baik

berkaitan dengan objek material maupun peristiwa, supaya tunanetra mendapat pemahaman konsep yang benar.

Peralatan dan media pembelajaran harus berupa sesuatu yang dapat didengar, diraba atau dicium.

f. Evaluasi secara substansi (isi) tidak mengalami perubahan, artinya soal-soal yang diberlakukan kepada siswa tunanetra sama dengan yang diberikan kepada siswa lainnya. Akan tetapi mungkin akan ada modifikasi dalam hal cara, alat dan atau waktu pelaksanaan evaluasi. Misalnya: Siswa tunanetra menjalani evaluasi dengan menggunakan alat tulis

Braille. Atau, Soal-soal ujian dibacakan oleh anak yang melihat. Siswa tunanetra menggunakan computer bicara ketika mengikuti evluasi. Ketika ujian dengan menggunakan alat tulis Braille, mungkin waktunya

harus sedikit diperpanjang.2. Pengembangan RENCANA PELAKSANAN PEMBELAJARAN (RPP) untuk

siswa tunanetra di sekolah inklusif pada dasarnya sama dengan prosedur atau langkah dalam pengembangan silabus. Bedanya adalah bahwa RPP dibuat untuk satu atau dua pertemuan. Uraian dalam RPP juga lebih detail dibanding silabus, dan oleh karenanya format RPP dibuat memanjang ke bawah bukan dalam bentuk matrik atau table.

3. Langkah pengembangan untuk setiap komponen RPP sama dengan yang dilakukan dalam silabus. Lihat kembali di bagian silabus. Berikut disajikan contoh format umum pembuatan silabus untuk tunanetra di sekolah inklusif:

4. Ada dua model format RPP untuk pembelajaran inklusif bagi anak berkebutuhan khusus yaitu (1) model RPP terintegrasi, (2) model RPP terpisah, dengan uraian sebagai berikut:

37

Page 14: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

a. RPP terintegrasi. Model integrasi adalah model pengembangan RPP untuk siswa tunanetra yang diintegrasikan (disatukan) dengan RPP untuk siswa lainnya. Jadi, dalam model ini guru hanya memiliki satu RPP yaitu RPP umum, tetapi di dalamnya memuat catatan khusus untuk pembelajaran siswa tunanetra. Penulisan catatan khusus dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1) catatan khusus yang dibuat pada setiap komponen RPP yang mengalami modifikasi (materi, indicator, kegiatan pembelajaran, media, evaluasi) (2) catatan khusus yang dibuat secara umum pada bagian akhir dari RPP. Lihat contoh pada lampiran.

b. RPP terpisah (Individual). RPP Individual adalah model rencana pembelajaran yang dibuat khusus untuk siswa tunanetra, artinya terpisah dari RPP untuk siswa lainnya (reguler). RPP model ini sepenuhnya berisi perencanaan pengajaran untuk siswa tunanetra dan bersifat individual. Selain menyajikan 8 komponen sebagaimana RPP pada umumnya, RPP individual memiliki 2 komponen tambahan yaitu (1) identitas siswa dan (2) kemampuan siswa saat ini. Format RPP individual dapat dilihat pada contoh berikut. Contoh yang lebih detail dapat dilihat pada lampiran.

5. Karena siswa tunanetra umumnya tidak mengalami hambatan kecerdasan dan karena sebagian besar komponen RPP untuk tunanetra adalah sama dengan siswa lainnya, maka format RPP yang lazim digunakan untuk tunanetra di sekolah inklusif adalah format RPP yang terintegrasi.

6. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa guru mengembangkan RPP yang individual karena kondisi siswa menuntut seperti itu.

Sumber Pembelajaran:1. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber

untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan atau pengalaman bagi siswa. Jenis dan sifat sumber belajar sangat beragam, yang secara umum dapat dikelompokan menjadi: Sumber belajar berupa sesuatu yang tertulis (bahan tulisan), misalnya buku,

surat kabar, majalah, bulletin, paper, artikel jurnal dll. Sumber belajar berupa sesuatu yang didengar (media audio), misalnya kaset

rekaman, MP3 dll. Sumber belajar berupa sesuatu yang dilihat (media visual), misalnya VCD,

DVD, film, gambar, foto, dll. Sumber belajar berupa orang dan atau tempat yang menyediakan berbagai

informasi dan pengalaman, misalnya tenaga ahli/nara sumber, pengalaman guru, perpustakaan, museum, kebun binatang, puskesmas, rumah sakit, kebun, sawah, hutan, dll.

2. Isi dari sumber dan bahan ajar untuk tunanetra pada dasarnya sama dengan siswa-siswa lainnya. Misalnya mereka sama-sama belajar tentang topik toleransi bergama, yang sumbernya diambil dari buku paket PPKn kelas 2 SMP.

3. Karena hambatan penglihatan yang dialami oleh siswa tunanetra, maka yang perlu dimodifikasi terkait dengan sumber belajar untuk tunanetra adalah bentuk penyajiannya yang berbeda. Hal-hal yang harus dilakukan oleh guru terkait

38

Page 15: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

dengan penyajian sumber belajar untuk siswa tunanetra di kelas inklusif antaranya adalah: Gunakan sumber belajar yang disajikan dalam tulisan Braille. Caranya adalah

dengan menyalin bahan ajar biasa ke dalam tulisan Braille. Mintalah bantuan ke GPK atau SLB terdekat untuk keperluan ini.

Gunakan computer bicara sebagai sumber belajar. Computer bicara adalah perangkat computer yang telah diinstal dengan program JAWS. Dengan program ini memungkinkan komputer untuk membacakan semua informasi tertulis yang ada di monitor komputer. Dengan perangkat ini maka computer dapat membacakan semua tulisan yang ada dalam buku, majalah, paper dan lain-lain, selama soft copy dari bahan-bahan tersebut tersedia dan dimasukan ke dalam computer bicara.

Gunakan sumber dan bahan ajar yang dapat didengar, misalnya kaset rekaman, buku bicara dll. Caranya adalah: bacakan sebuah buku dan rekam dalam kaset. Kaset yang telah terisi

rekaman akan menjadi bahan belajar bagi tunanetra. beri kesempatan siswa tunanetra untuk merekam penjelasan guru waktu

mengajar di kelas. Hasil rekaman akan menjadi bahan belajar yang dapat diputar dengar jika diperlukan.

Gunakan sedapat mungkin sumber belajar yang dapat memberikan pengalaman secara langsung dan konkrit untuk siswa tunanetra, misalnya kebun sekolah, kebun binatang, kunjungan ke puskesman, kantor polisi, museum, sawah, hutan, pasar dll. Cara ini akan mengurangi kemungkinan salah konsep atau miskin konsep yang biasa dialami oleh siswa tunanetra.

Manfaatkan ruang sumber (resource room) sebagai sumber belajar untuk siswa tunanetra. Di dalam ruang sumber tersedia berbagai alat dan sarana khusus untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran khusus bagi siswa berkebutuhan khusus termasuk tunanetra. Uraian tentang ruang sumber akan ditemukan pada penjelasan berikutnya tentang sistem dukungan.

Sistem dukungan (supporting system):1. Sekolah inklusif harus memiliki minimal satu ruang sumber (resource room),

sebagai sarana pendukung terhadap kelancaran pelayanan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus termasuk tunanetra.

2. Ruang sumber (resource room) adalah sebuah ruangan di sekolah inklusif yang disediakan dan dirancang khusus untuk mendukung pelayanan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah tersebut. Sifat dan kegunaan ruang sumber adalah sebagai berikut: Ruang sumber berukuran minimal 4 x 5 m. Ruang sumber berfungsi sebagai tempat untuk memberikan layanan

pembelajaran khusus bagi siswa tunanetra, misalnya belajar Braille, orientasi mobilitas (OM), bina diri untuk melatih kemandirian siswa tunanetra, pemberian belajar tambahan (remidial teaching) dll.

Ruang sumber juga dapat digunakan untuk melakukan asesmen kepada siswa tunanetra atau pelaksanaan evaluasi belajar jika diperlukan.

39

Page 16: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

Ruang sumber sebagai kantor (tempat bekerja) guru pembimbing khusus (GPK).

Ruang sumber berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan berbagai dokumen, kepustakaan, dan atau peralatan belajar khusus untuk siswa tunanetra dan siswa ABK lainnya.

3. Sekolah inklusif harus didukung atau dibantu oleh kehadiran pusat sumber (resource center). Pusat sumber adalah suatu lembaga di luar sekolah inklusif yang memiliki misi, kemampuan, peralatan dan pengalaman dalam menangani anak berkebutuhan khusus (tunanetra).

4. Ada beberapa lembaga atau pihak yang bisa berperan atau diperankan sebagai pusat sumber, yaitu:a. Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB/A) yang terdekat atau ada di sekitar

sekolah inklusif.b. Lembaga perguruan tinggi yang memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa

(PLB) atau Pendidikan Khusus. Saat ini ada 11 perguruan tinggi yang memiliki jurusan PLB, yaitu: 1) Universitas Negeri Padang (UNP)2) Universitas Negeri Jakarta (UNJ)3) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)4) Universitas Isalam Nusantara (UNINUS)5) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 6) Universitas Sebelas Maret (UNS)7) Universitas Negeri Surabaya (UNESA)8) Universitas Negeri Malang.9) Universitas Negeri Makasar (UNM)10) Universitas Negeri Manado (UNIMA)11) Universitas Negeri Lambung Mangkurat, Kalimantan selatan.

c. Lembaga Swadaya Masyarat atau organisasi lainnya yang memiliki visi dan misi layanan kepada anak tunanetra (Misalnya yayasan Mitranetra di Jakarta).

5. Pusat sumber sebagaimana di maksud di atas, memiliki sifat dan fungsi di antaranya sebagai berikut:a. Pusat sumber sebagai tempat berkonsultasi para guru regular tentang

pelayanan pembelajaran bagi siswa tunanetra.b. Pusat sumber sebagai tempat yang menyediakan guru pembimbing khusus

(GPK)c. Pusat sumber sebagai tempat para guru regular melakukan observasi atau

magang untuk memperoleh pengalaman tentang pelaksanaan pembelajaran bagi siswa tunanetra.

d. Pusat sumber sebagai tempat melakukan asesmen siswa tunanetra jika diperlukan.

e. Pusat sumber sebagai tempat yang menyediakan berbagai sumber belajar, peralatan dan media pembelajaran khusus untuk siswa tunanetra, dimana guru regular dapat belajar dan memanfaatkannya jika diperlukan.

Evaluasi:

40

Page 17: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

Pengertian dan ruang lingkup evaluasi1. Evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan

atau prestasi yang dicapai oleh siswa tunanetra setelah menjalani proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu dalam kelas inklusif.

2. Kegiatan evaluasi untuk siswa tunanetra dalam kelas inklusif, sekurang-kurangnya mecakup empat komponen utama yaitu: (1) instrument/soal evaluasi, (2) pelaksanaan evaluasi, (3) kriteria keberhasilan, dan (5) pelaporan hasil evaluasi. instrument evaluasi berkaitan dengan penyusunan perangkat soal/butir

evaluasi (soal ujian/tes) yang akan digunakan atau diberlakukan kepada siswa tunanetra.

Pelaksanaan evaluasi berkaitan dengan cara, waktu, tempat dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan evaluasi bagi siswa tunanetra. Komponen ini berkaitan dengan pertanyaan dengan cara dan alat apa evaluasi akan dilaksanakan? berapa lama dan dimana evaluasi dilakukan?

Kriteria keberhasilan berkaitan dengan aturan atau ketentuan yang digunakan dalam menetapkan keberhasilan atau ketidak berhasilan. Misalnya alat perbandingan apa yang digunakan untuk menentukan keberhasilan belajar pada siswa tunanetra, berapa nilai prestasi minimal yang harus dicapai untuk dikatakan berhasil?

Pelaporan hasil evaluasi berkaitan dengan cara dan alat yang digunakan dalam melaporkan hasil-hasil belajar yang dicapai oleh siswa tunanetra. Pelaporan hasil evaluasi berkaitan dengan dua hal yaitu buku (1) raport dan (2) surat tanda tamat belajar dan atau ijazah.

Instrument evaluasi: Instrument (perangkat soal) evaluasi yang diberlakukan kepada siswa tunanetra

adalah sama dengan yang diberlakukan kepada siswa lainnya (umum), baik pada ujian harian, ujian akhir semester atau ujian akhir pada satuan pendidikan. Jadi, tidak ada perbedaan soal ujian antara tunanetra dengan siswa lainnya.

Penyamaan soal ujian untuk siswa tunanetra dengan siswa lainnya didasarkan kepada alasan bahwa indicator dan materi pelajaran yang diberlakukan kepada siswa tunanetra adalah sama dengan yang diberlakukan kepada siswa lainnya.

Jika karena suatu hal siswa tunanetra harus menggunakan indicator dan materi pelajaran yang berbeda dengan siswa lainnya (misalnya karena siswa tunanetra tersebut mengalami hambatan kecerdasan), maka perangkat soal ujian pun harus berbeda, karena pengembangan soal-soal ujian harus berangkat dari indicator dan materi yang telah diajarkan.

Pelaksanaan (prosedur) Evaluasi:Karena siswa tunanetra mengalami hambatan dalam penglihatan, maka cara pelaksanaan evaluasi harus dimodifikasi (dirubah) supaya sesuai dengan kondisi siswa tunanetra. Prinsip dasarnya adalah bahwa soal-soal ujian yang akan diberlakukan kepada siswa tunanetra harus disajikan dalam bentuk sesuatu yang bisa diraba (tulisan Braille) atau sesuatu yang dapat didengar. Terkait dengan hal ini, ada

41

Page 18: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

beberapa prosedur/petunjuk yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh guru pada waktu melaksanakan evaluasi untuk siswa tunanetra di sekolah inklusif:1. Sajikan soal-soal ujian dalam bentuk tulisan Braille dan beri kesempatan siswa

tunanetra untuk menjawabnya dalam tulisan Braille juga. Jadi soal-soal ujian harus diterjemahkan dahulu kepada tulisan Braille dan sediakan siswa tunanetra lembar kertas untuk menuliskan jawabannya. Ketika ujian akan dilakukan denhgan cara ini, maka ada baberapa tantangan atau catatan yang harus diperhatikan: Guru harus memiliki kemampuan baca tulis Braille. Waktu pelaksanaan ujian untuk tunanetra harus ditambah, karena membaca

dan menulis dengan Braille umumnya membutuhkan waktu lebih lama. Mintalah bantuan GPK atau ke SLB/A terdekat untuk menjalankan prosedur

ini, atau konsultasi ke perguruan tinggi terdekat yang memiliki jurusan PLB. 2. Jika cara pertama sulit dijalankan, maka pilihan lain yang dapat dilakukan adalah

dengan cara membacakan soal-soal ujian kepada siswa tunanetra dan minta siswa tunanetra untuk memberikan jawaban. Jadi, cara ini mengharuskan ada petugas yang ditunjuk oleh sekolah untuk membacakan soal ujian. Petugas yang membacakan soal harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu (1) orang yang dikenal oleh sekolah, (2) jujur (2) diperkirakan tidak memiliki pengetahuan tentang jawaban dari soal yang sedang diujikan.

3. Jika guru menempuh cara kedua yaitu dengan membacakan soal-soal ujian, maka jawaban yang dibuat oleh siswa tunanetra dapat dilakukan dalam dua bentuk: Siswa tunanetra menuliskan jawaban dalam bentuk tulisan Braille pada lembar

jawaban khusus yang disediakan untuk tulisan Braille. Cara ini menuntut guru untuk memahami tulisan Braille ketika akan membaca hasil jawaban yang dibuat oleh tunanetra.

Jawaban disampaikan oleh siswa tunanetra secara lisan, kemudian pembaca soal menulisnya pada lembar jawaban umum yang telah disediakan. Cara ini umumnya lebih mudah, praktis dan cepat.

4. Pelaksanaan ujian dengan menggunakan komputer bicara (baca kembali tentang computer bicara pada bagian pembahasan tentang peralatan). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan ketika guru akan melakukan ujian dengan menggunakan computer bicara: Pastikan bahwa ada perangkat computer yang telah diisi (dinstall) program

JAWS. Pastikan bahwa siswa tunanetra yang akan ujian telah mampu mengoperasikan

computer bicara. Soft copy (file) dari soal-soal ujian dimasukan ke dalam computer bicara,

mancakup lembar soal ujian dan bagian untuk membubuhkan jawaban. Jangan lupa beri petunjuk yang jelas tentang bagaimana siswa tunanetra harus

menjawab soal-soal ujian. Hasil ujian bisa dikoreksi langsung di monitor computer atau harus diprint

terlebih dahulu.5. Evaluasi yang dilakukan dalam bentuk tes tindakan (tes perbuatan) perlu ada

modifikasi dalam pelaksanaannya dan dalam penentuan hasilnya. Misalnya tes

42

Page 19: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

berlari, tenis meja, renang, sepak bola dan lain-lain. Jenis olah raga tertentu bahkan mungkin tidak bisa untuk diberlakukan kepada tunanetra misalnya badminton, naik sepeda dll. Untuk olah raga atau kegiatan yang tidak bisa dilakukan oleh tunanetra, maka perlu dicarikan kegiatan pengganti yang kurang lebih setara. Di bawah ini disajikan beberapa petunjuk umum tentang pelaksanaan evaluasi yang dilakukan dalam bentuk tes tindakan: Untuk lari jarak pendek atau menengah, maka siswa tunanetra harus dibantu

oleh tali yang terbentang dari garis start sampai garis finish. Tali ini berfungsi sebagai pengarah supaya tunanetra berlari dengan lurus sampai di finish.

Untuk berenang juga menggunakan tali pengarah seperti yang digunakan dalam berlari.

Sepak bola harus menggunakan bunyi-bunyian yang ditaro di dalam bolanya, supaya siswa tunanetra dapat mengetahui posisi bola dengan cara mendengarkan bunyi yang dihasilkan dari bola tersebut. Ketika bola berhenti maka bunyi pun akan berhenti, maka bola harus dilempar atau digerakan oleh wasit (wasit harus orang awas).

Tenis meja harus menggunakan jenis lapangan khusus yang dirancang untuk tunanetra.

Catur harus menggunakan peralatan catur khusus yang dirancang untuk tunanetra.

Kemampuan lari dan main catur siswa tunanetra masih mungkin untuk dibandingkan dengan kemampuan siswa yang awas. Tetapi kalau sepak bola tampaknya agak sulit kalau harus dibandingkan.

6. Pelaksanaan evaluasi untuk anak low vision mungkin bisa sama atau bisa berbeda dengan siswa tunanetra yang buta. Hal ini bergantung kepada cara yang mereka gunakan pada waktu membaca dan menulis. Jika siswa low vision menggunaan Braille untuk keperluan membaca dan menulis, maka prosedur evaluasinya sama seperti yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi, jika mereka menggunakan tulisan awas yang diperbesar, maka pelaksanaan evaluasinyapun harus menggunakan tulisan seperti itu. Pilihan cara ini harus ditawarkan kepada siswa yang bersangkutan dan atau dengan melihat kondisi kelengkapan peralatan yang ada di sekolah.

7. Dalam kondisi tertentu, tempat untuk pelaksanaan evaluasi siswa tunanetra mungkin perlu dibedakan, misalnya pengetesan dilaksanakan di ruang sumber (yakni ruangan khusus untuk pelayanan siswa berkebutuhan khusus).

Kriteria Keberhasilan:1. Penentuan keberhasilan belajar dapat dilakukan dengan dua cara:

Membandingkan hasil belajar siswa tunanetra dengan target kurikulum yang telah ditetapkan (SK, KD, materi, Indikator). Prestasi belajar yang harus dicapai oleh siswa tunanetra minimal 60% dari keseluruhan indicator keberhasilan yang harus dicapai. Target minimal pencapaian hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa mungkin bisa berbeda-beda untuk berbagai sekolah. Ada yang menetapkan 60%, 70% atau mungkin 80%

43

Page 20: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

Membandingkan hasil belajar seorang siswa tunanetra dengan hasil belajar yang dicapai oleh kelompok yang berada dalam kelasnya. Sehingga dapat diketahui posisi relative siswa tunanetra dari keseluruhan murid yang ada dalam kelasnya.

2. Penentuan keberhasilan belajar siswa tunanetra pada dasarnya sama dengan siswa lainnya. Artinya, kedua cara seperti disebutkan di atas dapat diberlakukan kepada siswa tunanetra. Pertama, hasil belajar siswa tunanetra dibandingkan dengan target-target indicator keberhasilan yang telah ditetapkan. Kedua, hasil belajar siswa tunanetra dibandingkan dengan hasil teman-temannya dalam satu kelas. Hasil-hasil evaluasi yang dicapai oleh siswa tunanetra pada dasarnya bisa dibandingkan dengan hasil-hasil evaluasi yang dicapai siswa lainnya. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan soal-soal ujian yang sama, walaupun mungkin caranya berbeda. Dengan demikian, nilai 7 yang dicapai oleh siswa tunanetra kurang lebih memiliki makna yang sama dengan angka 7 yang dicapai siswa lainnya.

3. Jika siswa tunanetra (karena suatu sebab) menggunakan kurikulum yang tidak standard dan juga menggunakan soal-soal ujian yang tidak standar, maka tentu saja hasil-hasil yang mereka capai tidak bisa dibandingkan dengan siswa lainnya. Sehingga mereka harus menggunakan criteria keberhasilan yang khusus.

4. Untuk beberapa aspek tertentu yang ujiannya dilakukan dengan tes tindakan, maka hasil-hasil yang dicapai oleh siswa tunanetra mungkin tidak bisa dibandingkan dengan siswa lainnya. Misalnya praktik laboratorium kimia atau fisika yang membutuhkan penglihatan, atau mungkin kegiatan seni seperti melukis, atau beberapa bidang olah raga yang pelaksanaannya membutuhkan banyak modifikasi, sehingga menjadi sangat berbeda dengan prosedur yang umum. Misalnya, sepak bola, bola voli, tenis meja dll.

Pelaporan Hasil EvaluasiAda dua bentuk media utama untuk melaporkan hasil belajar siswa tunanetra di sekolah inkusif yaitu buku raport dan surat tanda tamat belajar atau ijazah. 1. Raport Secara umum bentuk raport siswa tunanetra sama dengan siswa lainnya. Akan

tetapi, perlu ditambahkan sedikit informasi tentang identitas siswa sebagai tunanetra, sehingga guru, orang tua, kepala sekolah dan siapa pun yang membaca buku raport ini bisa memahami kondisi kondisi siswa pemegang raport tersebut.

Untuk beberapa aspek dari bidang studi tertentu yang dilakukan modifikasi atau penggantian materi, mungkin perlu ditambahkan informasi tentang jenis modifikasi atau materi pengganti yang diberlakukan. Misalnya, pelajaran seni rupa yang menuntut para siswa untuk melukis atau menggambar perspektif, dimana siswa tunanetra tidak mungkin melakukannya kecuali denghan modifikasi atau materi pengganti. Maka tambahkan informasi tentang perubahan tersebut, sehingga nilai yang dicantumkan dalam raport menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.

44

Page 21: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

Perlu juga ditambahkan sekilas (deskripsi umum) tentang kemampuan orientasi dan mobilitas, kemandirian serta perkembangan emosi dan sosial yang berhasil dicapai oleh siswa tunanetra.

CONTOH PENULISAN NARASI PADA RAPORT

Nama siswa : Tera AriniJenis kelamin : Perempuan Jenis hambatan : tunanetra (low vision)Kelas : IV (empat)Semester : 1

NO MATA PELAJARAN NILAI KETERANGAN1 Matematika 72 Bahasa Indonesia 83 Seni rupa 6 Seni membentuk dan relief.

Deskripsi umum kemampuan orientasi mobilitas, kemandirian, emosi dan sosial:siswa mampu melakukan mobilitas secara mandiri di lingkungan dalam sekolah. Relative diterima oleh oleh teman-temannya, kurang inisiatif dalam interaksi social.

2. Ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar dan UN Ketika akan mengakhiri program pendidikan di suatu satuan pendidikan tertentu

(SD, SMP atau SMA), siswa tunanetra mengikuti ujian nasional yang menggunakan soal berstandar nasional (UN atau USBN). Hal ini disebabkan karena para tunanetra menggunakan kurikulum yang sama dengan siswa lainnya.

Prosedur pelaksanaan ujian harus dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi siswa tunanetra (lihat kembali pembasahan tentang prosedur penilaian). Ada beberapa cara yang bisa dipilih yaitu (1) dibraille-kan, (2) dibacakan, (3) menggunakan fasilitas computer bicara.

Jika hasil-hasil ujian nasional dan hasil-hasil yang dibuat oleh sekolah telah menujukkan kelayakan untuk lulus, maka siswa tunanetra mendapatkan ijazah sebagaimana siswa umum lainnya.

Bentuk dan format ijazah sama dengan siswa lainnya. Jika tunanetra (karena suatu sebab) tidak menggunakan kurikulum yang standar,

tetapi menggunakan kurilulum yang dikembangkan sendiri oleh guru, maka mereka tidak harus mengikuti ujian nasional. Konsekuensinya mereka hanya mendapatkan surat tanda tamat belajar (lihat permen 70/2009)

Pengelolaan (manajemen) Sekolah:Ketika sekolah telah menyatakan dirinya dan atau telah melaksanakan perannya sebagai sekolah inklusif, maka perlu ada perubahan terkait dengan pengelolaan (manajemen) lembaga, di antaranya adalah:

45

Page 22: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

1. perlu ada review dan revisi terhadap rumusan visi, misi, tujuan, sasaran, program kerja dan juga struktur organisasi sekolah, sehingga peran dan fungsi lembaga sebagai sekolah inklusif tampak dalam rumusan-rumusan tersebut.

2. Berikut disajikan contoh kemungkinan rumusan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah yang mengindikasikan peran sebagai sekolah inklusif.

Contoh Kemungkinan Rumusan Visi, Misi, Tujuan dan SasaranDalam Sekolah Inklusif

VISI MISI TUJUAN SASARANMenjadi lembaga pendidikan yang unggul dan bersifat inklusif.

Menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran secara inklusif.

Atau… Memberikan layanan

pendidikan dan pembelajaran kepada semua anak tanpa membedakan kondisi dan latar belakang murid.

Menghasilkan lulusan yang bermutu secara intelektual, emosi, social dan spiritual sesuai dengan kondisi masing-masing siswa.

Menerima dan melayani anak berkebutuhan khusus sebanyak 10% dari jumlah siswa keseluruhan.

3. Sekolah perlu mengangkat satu orang atau membentuk satu tim khusus sebagai kordinator yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pelaksanaan pendidikan inklusif.

4. Orang yang ditugasi sebagai kordinator bisa wakil kepala sekolah, guru, atau guru pembimbing khusus (GPK) jika sekolah telah memiliki GPK.

5. Kordinator pendidikan inklusif bertanggung jawab langsung kepada kepala sekolah dan memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan dan kesuksesan pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolahnya. Berikut adalah salah satu kemungkinan contoh struktur organisasi sekolah inklusif:

46

Page 23: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

Gambar 2: salah satu kemungkinan model struktur organisasi di sekolah inklusif.

6. Sekolah (melalui kordinator pendidikan inklusif) perlu memiliki berbagai pedoman pelaksanaan pendidikan inklusif termasuk naskah SPM ini.

7. Sekolah (melalui kordinator pendidikan inklusif) perlu mensosialisaikan tentang system, prosedur atau strategi pelaksanaan pendidikan inklusif kepada semua guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah, sehingga semua unsure sekolah memiliki pemahaman dan kemampuan yang benar.

8. Sekolah (melalui kordinator pendidikan inklusif) harus memiliki data based (catatan) yang lengkap tentang anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolahnya. Data minimal yang harus tersedia di antaranya adalah: Identitas anak. Misalnya menyangkut nama, jenis kelamin, tempat tanggal

lahir, jenis dan level hambatan, dll. Identitas keluarga. Misalnya nama orang tua, umur, pekerjaan, status

pendidikan, status ekonomi, jumlah anggota keluarga, alamat dll. Riwayat kecacatan/hambatan. Misalnya kapan terjadinya hambatan, apa factor

penyebabnya, apa jenis dan tingkatan hambatan, adakah data hasil pengkuran dari tenaga ahli, bentuk pengobatan atau tindakan medic yang pernah dikukan, dll.

Riwayat pendidikan. Bentuk-bentuk pendidikan atau pelatihan atau terafi apa saja yang pernah dilakukan, kapan, dimana dan oleh siapa kegiatan tersebut dilakukan, bagaimana hasilnya. Jika tersedia, penting untuk menunjukkan bukti hasil pelatihan/pendidikan/ terfi yang pernah dilakukan.

9. Selain ada data based lengkap seperti disebutkan di atas, sekolah juga perlu membuat ringkasan data (rekap) tentang data siswa ABK secara keseluruhan.

10. Sekolah (melalui kordinator pendidikan inklusif) harus membuat laporan setiap akhir semester tentang pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolahnya. Hal-hal yang harus dilaporkan di antaranya tentang Jumlah dan kondisi ABK, hasil-hasil (kemajuan) yang diperoleh, berbagai kendala yang dihadapi dan solusi-solusi yang telah diupayakan, serta program ke depan.

KEPALA SEKOLAH

WAKIL KEPALA

SEKOLAH 2

WAKIL KEPALA

SEKOLAH 1

KORDINATOR INKLUSI

KEPALA TATA

USAHA

GURU GURU GURU GURU GURU GURU GURU

SISWA

47

Page 24: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

11. Sekolah (melalui kordinator pendidikan inklusif) harus memiliki alur dan prosedur umum tentang penerimaan dan penanganan ABK di sekolahnya. Berikut adalah alur dan prosedur yang harus dilakukan: Penerimaan siswa ABK di sekolah, baik pendaftaran siswa baru maupun

pindahan. Sekolah melakukan identifikasi dan atau asesmen kepada siswa ABK. Sekolah melakukan penempatan kelas untuk siswa ABK sesuai dengan umur

atau kemampuannya. Guru membuat perancangan program pembelajaran yang cocok. Melakukan evaluasi. Alur dan prosedur umum penanganan ABK sebagaimana tersebut di atas, dapat dilustrasikan dalam bentuk gambar sebagai berikut:

Gambar 3: alur dan prosedur umum penanganan ABK dalam sekolah inklusif.

Keuangan (pendanaan) Sekolah Inklusif:Pelaksanaan pendidikan inklusif memiliki dampak terhadap kebutuhan dan pengelolaan keuangan sekolah, karena penanganan anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan pembiayaan yang lebih besar di banding siswa-siswa lainnya, terutama menyangkut pengembangan sarana dan SDM. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh sekolah terkait dengan pengelolaan keuangan dalam rangka pelaksanaan pendidikan inklusif di antaranya adalah:

SISWA

PENDATAAN,

IDENTIFIKASI &

ASESMEN

PENGEMBANGAN

PROGRAM PEMBELAJARA

N

memperoleh informasi tentang data siswa:Identitas diriKeluarga.KemampuanGaya belajarKecenderungan prilaku.Emosi-sosial dll.

Informasi dari tenaga ahli Informasi dari orang tua Informasi dari guru pendamping Guru melakukan Tes, pengamatan, wawancara

TUJUAN MATERI PROSES ALAT/MEDIA EVALUASI

PENEMPATAN KELAS

EVALUASI

48

Page 25: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

Supena,Model Pendidikan Inklusif untuk ….(25-50)

1. Sekolah perlu mengalokasikan sebagian dari dananya untuk program-program terkait dengan penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif. Program-program prioritas yang perlu mendapat dukungan pendanaan dari sekolah di antaranya adalah: Pengadaan sarana dan peralatan khusus untuk pembelajaran anak berkebutuhan

khusus. Misalnya pengadaan ruang sumber, program aksesibilitas sarana, pengadaan alat dan media belajar khusus dll. (lihat pembahasan tentang sarana dan alat).

Pemberian insentif tambahan bagi guru-guru sebagai penghargaan atas kerja mereka dalam memberikan layanan kepada siswa ABK.

Pengadaan, pengangkatan atau honorarium untuk Guru Pembimbing Khusus. Dana pengembangan kompetensi guru melalui pembelian buku, majalah,

penataran, seminar, studi banding dan lain-lain.2. Sumber-sumber pendanaan yang mungkin digali atau dimanfaatkan oleh sekolah

untuk keperluan penyelenggaraan atau pengembangan pendidikan inklusif, di antaranya adalah: Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana dari komite sekolah. Bantuan dari dinas pendidikan setempat. Dana hibah atau block grant dari pemerintah melalui berbagai unit kerja

(direktorat) dan kementerian, misalnya hibah dari direktorat PSLB, direktorat TK/SD, kementrian social, kementerian kesehatan dll.

Sumber-sumber dana lain dari masyarakat baik perorangan maupu lembaga.3. Pada akhir semester atau akhir tahun, sekolah membuat laporan keuangan yang

digunakan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif. Ada dua kemungkinan model pelaporan keuangan pendidikan inklusif: Pelaporan dilakukan secara terintegrasi dengan pelaporan keuangan sekolah

secara keseluruhan. Pembuatan pelaporan khusus (tersendiri) pendaan pendidikan inklusif, jika

sumber dana berasal dari hibah atau blockgrant yang khusus tentang pendidikan inklusif.

SIMPULAN DAN SARANPelaksanaan pendidikan inklusif adalah sebuah proses panjang untuk sampai

kepada kondisi yang ideal. Ini adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Modal pertama dan utama untuk dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah adanya kemauan dan komitmen yang tulus untuk melayani siswa-siswa berkebutuhan khusus termasuk tunanetra di dalamnya. Setelah kemauan itu ada, maka akan ada semangat dan upaya untuk menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan. Lakukan diskusi dan konsultasi dengan sekolah luar biasa (SLB) terdekat, perguruan tinggi atau berbagai berbagai pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan khusus.

Hasil telaah literatur ini dapat disaran kepada (1) kepala sekolah inklusi setidaknya mampu menyerap aspirasi masyarakat terutama dalam upaya membuat kebijakan terkait dengan pelaksanaan pendidikan inklusif di lembaganya; (2) wali

49

Page 26: MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK SISWA TUNANETRA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2012,VOLUME 8, NOMOR.1

siswa setidaknya mengetahui secara jelas tentang pelaksanaan pendidikan inklusif dalam arti sekolah yang berorientasi untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

DAFTAR ACUAN

Alan J. Koening; M. Cay Holbrook (2006). Foundations of Education. Second edition. New York: AFB Press (American Foundation for the Blind).

Anne M. and Stephen Kroeger (2004). Inclusive classrooms. New Jersey: Pearson Merrill Prentice Hall.

Anita Woolfolk (2004). Educational Psychology (ninth edition, International edition). Boston: Pearson education, Inc.

Asep Supena (2008). Pelaksanaan Pendidikan Inklusif bagi Siswa Tunagrahita di Sekolah Dasar Negeri Batu Tulis Bogor. Laporan Hasil Penelitian. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Cullata, Tompkins, Werts (2003). Fundamentals of Special Education (second edition). New Jersey: Merrill Prentice Hall.

Departemen Pendidikan Nasional (2007). Statistik Persekolah PLB 2006/2007. Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan, badan Penelitian dan Pengembangan, Depdinas.

Erez, F., & Peled, I. (2001). Cognition and metacognition: evidence of higher thinking in problem solving of adolescents with mental retardation. Education and training in mental retardation and developmental disabilities, 36, 83-93.

Friend, Marilyn (2005). Special Education: Contemporary Perspectives for School Professionals. New York: Pearson Education Inc.

J. David Sminth (2006). Inklusi, sekolah ramah untuk semua (editor ahli M.Sugiarmin dan MIF baihaqi). Bnadung: penerbit Nuansa.

Paul Eggen and Don Kauchak (2004). Educational Psychology: Windows on Classrooms (sixth edition, international edition). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Tumbull, R., Turnbull, A., Shank, M., Smith, S.J. (2004). Exceptional Lives: Special Education in Today’s School. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

50