14
80 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA DI INDONESIA Parasian Simanungkalit Dewan Pimpinan Nasional Gepenta Email: [email protected] Abstract The purpose of this research is to determine the ideal model of punishment for the victims of drug users in Indonesia as a guide law enforcement in dealing with drug abuse crimes. This research is doctrinal and non-doctrinal legal. The research data used primary and secondary data. Secondary data consists of primary, secondary and tertiary legal materials.. Data collecting technique include observation, in-depth interviews, focus group discussions, distributing questionnaires, and literature. Technique of data analysis used the method of qualitative analysis and normative models of interactive analysis. The results of the research indicate that the implementation of imprisonment for the victims of drug users under the Act of Narcotics which are classified into criminal, contrary to the legal theory of victimology. Model of punishment that is expected for the victims of drug users is extrajudicial process, means all victims of drug users reported themselves to be rehabilitated. While those who do not report, the police and/ or BNN arrest, immediately deliver and turn over to rehabilitation. Keywords: victims of drug users, model of punishment, rehabilitation. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model pemidanaan yang ideal bagi korban pengguna narkoba di Indonesia sebagai pedoman aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan penyalahgunaan narkoba. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dan nondoktrinal. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara mendalam, focus group discussion, penyebaran kuesioner, dan studi pustaka. Teknik analisis data menggunakan metode analisis normatif kualitatif dan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hukuman pidana penjara bagi korban pengguna narkoba menurut Undang-Undang Narkotika yang diklasifikasi sebagai pelaku tindak pidana bertentangan dengan teori hukum tentang viktimologi. Model pemidanaan yang ideal bagi korban pengguna narkoba adalah proses di luar proses hukum yaitu semua korban pengguna narkoba melaporkan diri untuk direhabilitasi. Sementara bagi yang tidak melaporkan diri, polisi dan/atau Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penangkapan, langsung diantar dan diserahkan ke tempat rehabilitasi Kata kunci: korban pengguna narkoba, model pemidanaan, rehabilitasi. A. Pendahuluan Du nia semak in tida k kondus if denga n permasalahan sosial akibat penggunaan narkoba ilegal. Secara global, United Nation on Drugs and Crime (UNODC) memperkirakan antara 155 sampai 250 juta orang atau 3,5-5,7 persen dari penduduk dunia usia 15-64 tahun menggunakan zat terlarang setidaknya sekali pada 2008 (Parasian Simanung- kalit, 2011 : 86). Dalam hal ini, penulis memilih istilah narkotika dan psikotropika dengan sebutan narkoba, meskipun istilah narkoba tidak terdapat dalam Undang Undang. Hal tersebut dikarenakan istilah narkoba dipakai oleh instansi kepolisian dalam praktek dan lebih dikenal masyarakat secara umum. Akhir-akhir ini permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia tidak menurun, namun justru semakin kompleks. Peningkatan dimaksud terbukti dengan meningkatnya jumlah pengguna, maupun pengedar yang tertangkap, serta diungkapnya sindikasi pabrik narkoba oleh BNN yang ternyata dibangun di Indonesia. Beberapa kejadian yang disebabkan akibat penyalahgunaan narkoba juga menjadikan masyarakat merasa prihatin, seperti halnya kecelakan mobil xenia oleh Afriyani yang mengakibatkan sem bilan orang m eninggal, tertangkapnya pilot mengonsumsi sabu-sabu, serta oknum kepolisian yang diketahui sebagai pengguna narkoba. Hal tersebut merupakan beberapa contoh kasus yang meresahkan masyarakat. Sejalan semakin meningkatnya penyalah- gunaan narkoba, pemerintah telah mengupayakan menindak tegas para sindikat dan pengedar dengan memberikan hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati. Adapun bagi korban pengguna atau pecandu, pemerintah telah mengupayakan untuk

MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

80 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

MODEL PEMIDANAAN YANG IDEALBAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA DI INDONESIA

Parasian Simanungkalit DewanPimpinan Nasional Gepenta Email:

[email protected]

AbstractThe purpose of this research is to determine the ideal model of punishment for the victims of drug users inIndonesia as a guide law enforcement in dealing with drug abuse crimes. This research is doctrinal andnon-doctrinal legal. The research data used primary and secondary data. Secondary data consists ofprimary, secondary and tertiary legal materials.. Data collecting technique include observation, in-depthinterviews, focus group discussions, distributing questionnaires, and literature. Technique of data analysisused the method of qualitative analysis and normative models of interactive analysis. The results of theresearch indicate that the implementation of imprisonment for the victims of drug users under the Act ofNarcotics which are classified into criminal, contrary to the legal theory of victimology. Model of punishmentthat is expected for the victims of drug users is extrajudicial process, means all victims of drug usersreported themselves to be rehabilitated. While those who do not report, the police and/ or BNN arrest,immediately deliver and turn over to rehabilitation.

Keywords: victims of drug users, model of punishment, rehabilitation.

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menentukan model pemidanaan yang ideal bagi korban pengguna narkoba diIndonesia sebagai pedoman aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan penyalahgunaannarkoba. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dan nondoktrinal. Data yang digunakanberupa data primer dan data sekunder. Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dantertier. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara mendalam, focus group discussion,penyebaran kuesioner, dan studi pustaka. Teknik analisis data menggunakan metode analisis normatifkualitatif dan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hukuman pidanapenjara bagi korban pengguna narkoba menurut Undang-Undang Narkotika yang diklasifikasi sebagaipelaku tindak pidana bertentangan dengan teori hukum tentang viktimologi. Model pemidanaan yang idealbagi korban pengguna narkoba adalah proses di luar proses hukum yaitu semua korban pengguna narkobamelaporkan diri untuk direhabilitasi. Sementara bagi yang tidak melaporkan diri, polisi dan/atau BadanNarkotika Nasional (BNN) melakukan penangkapan, langsung diantar dan diserahkan ke tempat rehabilitasi

Kata kunci: korban pengguna narkoba, model pemidanaan, rehabilitasi.

A. PendahuluanDunia semakin tidak kondusif dengan

permasalahan sosial akibat penggunaan narkobailegal. Secara global, United Nation on Drugs andCrime (UNODC) memperkirakan antara 155 sampai250 juta orang atau 3,5-5,7 persen dari pendudukdunia usia 15-64 tahun menggunakan zat terlarangsetidaknya sekali pada 2008 (Parasian Simanung-kalit, 2011 : 86). Dalam hal ini, penulis memilih istilahnarkotika dan psikotropika dengan sebutan narkoba,meskipun istilah narkoba tidak terdapat dalamUndang Undang. Hal tersebut dikarenakan istilahnarkoba dipakai oleh instansi kepolisian dalampraktek dan lebih dikenal masyarakat secaraumum.

Akhir-akhir ini permasalahan penyalahgunaannarkoba di Indonesia tidak menurun, namun justrusemakin kompleks. Peningkatan dimaksud terbukti

dengan meningkatnya jumlah pengguna, maupunpengedar yang tertangkap, serta diungkapnyasindikasi pabrik narkoba oleh BNN yang ternyatadibangun di Indonesia. Beberapa kejadian yangdisebabkan akibat penyalahgunaan narkoba jugamenjadikan masyarakat merasa prihatin, sepertihalnya kecelakan mobil xenia oleh Afriyani yangmengakibatkan sem bilan orang meninggal,tertangkapnya pilot mengonsumsi sabu-sabu, sertaoknum kepolisian yang diketahui sebagai penggunanarkoba. Hal tersebut merupakan beberapa contohkasus yang meresahkan masyarakat.

Sejalan semakin meningkatnya penyalah-gunaan narkoba, pemerintah telah mengupayakanmenindak tegas para sindikat dan pengedar denganmemberikan hukuman berat, bahkan sampaihukuman mati. Adapun bagi korban pengguna ataupecandu, pemerintah telah mengupayakan untuk

Page 2: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 81

mengurangi dampak buruk akibat penggunaannarkoba yaitu dengan cara memberikan fasilitasrehabilitasi, baik secara medis maupun sosial. Halini dilakukan agar korban pengguna narkoba dapatkembali sembuh, menjadi manusia produktif,mampu bekerja memenuhi kebutuhan kehidupanserta keluarganya, dan menjadi generasi bangsayang sehat dan kuat.

Namun kebijakan untuk menempatkan korbanpengguna narkoba di tempat rehabilitasi tidak dapatberjalan secara baik karena masih terbentur denganketentuan Undang Undang Narkotika yang dalamhal ini korban pengguna narkoba sampai sekarangini masih diposisikan sebagai pelaku tindak pidana,akibatnya mereka tidak memperoleh perawatan danpemulihan secara maksimal karena harusmendekam di dalam penjara.

Padahal jika dicermati dengan seksama,khususnya dari perspektif medis, banyak ahliberpendapat bahwa sebenarnya para individupengguna narkoba merupakan korban sindikat ataumata-rantai peredaran dan perdagangan gelapnarkoba yang sulit melepaskan dir i dar iketergantungan. Walaupun mungkin sebenarnyapara pengguna tersebut ingin lepas dari jeratannarkoba yang membelitnya, namun karenasyarafnya sudah teracuni candu oleh zat adiktifmaka hal itu sulit dilakukan. Oleh karena itu,pengguna atau pecandu memerlukan penangananyang berbeda dari pasien pada umumnya.

Menurut perspektif yuridis, pengguna narkobatidak dapat dikategorisasikan sebagai pelakukejahatan karena sifat dasar kejahatan haruslahmenimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain(an act must take place that involves harm inflictedon someone by the actor). Pandangan inilah yangkemudian mengarahkan pada pemahaman bahwapengguna narkoba merupakan salah satu bentuk darikejahatan tanpa korban (crime without victim). Hal ituberarti apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban,maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagaikejahatan, sehingga tidak dapat dihukum.

Dalam konteks pemidanaan korban penyalah-gunaan narkoba, permasalahan muncul ketikaancaman pidana yang dirumuskan pemerintahbersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dantelah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5Tahun 1997 tentang Psikotropika (selanjutnyadisebut UU Psikotropika) dan Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yangkemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnyadisebut UU Narkotika), masih terdapat kontradiksi,kerancuan, ketidaksesuaian, dan juga keragamaandalam m enerapkan produk hukum tersebut,terutama dalam menentukan sanksinya. Di satu

sisi, pengguna narkoba dipidana penjara, di sisilain direhabilitasi. Meskipun Undang Undang telahmenyebutkan secara jelas bahwa korban penggunanarkoba berhak menjalani pengobatan dan/atauperawatan melalui rehabilitasi, namun padakenyataannya jarang sekali hakim memilihmenjatuhkan hukuman rehabilitasi. Berdasar fakta,walau diwajibkan untuk merehabilitasi tetapipemidanaan yang diterapkan terhadap korbanpengguna narkoba masih berupa pidana penjara.

Dalam perkembangannya Mahkamah Agungtelah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04 Tahun2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotikake dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosialyang menjadi pegangan hakim pengadilan negeridan pengadilan tinggi dalam memutus perkara.Selain itu, pada tahun 2011 lahir PeraturanPemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentangPelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika,memberikan jaminan kepada pecandu dan/ataukorban penyalahgunaan narkot ika untukmendapatkan pengobatan dan/atau perawatanmelalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.Kedua peraturan tersebut merupakan langkah majudalam m embangun paradigma penghentiankriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandunarkoba. Penerapan hukuman pidana (penjara) bagikorban pengguna narkoba di Indonesia terbukti tidakdapat menurunkan jumlah penyalahguna, bahkansetiap tahunnya mengalami peningkatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,maka permasalahan yang dapat dikaji adalahbagaimana model pemidanaan yang ideal bagikorban pengguna narkoba di Indonesia sebagaipedoman aparat penegak hukum dalam menanganikejahatan penyalahgunaan narkoba?

B. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan dua jenis penelitian

hukum yakni dok tr inal dan non doktrina l,menggunakan bentuk diagonistik dan preskriptif.Hukum dikonsepkan sebagai norma-norma positifdi dalam sistem perundang-undangan hukumnasional dan hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagai tampakdalam interaksi antar anggota masyarakat. Lokasipenelitian ditentukan secara purposive yaitu diPengadilan Negeri Jakarta Selatan, PengadilanNegeri Medan Sumatera Utara, Program TerapiRumatan Metadon Puskesmas Kelurahan RawaBadak Selatan Jakarta Utara, Rumah SakitKetergantungan Obat (RSKO) Halmahera HouseJakarta Timur, dan Lembaga PemasyarakatanCipinang Jakarta Timur. Data yang digunakan berupadata primer dan data sekunder. Data sekunder

Page 3: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

82 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

meliuputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier.Teknik pengumpulan data meliputi observasi,wawancara mendalam, focus group discussion,kuesioner, dan studi pustaka. Pada pendekatandoktrinal, analisis dilakukan dengan menggunakanmetode analisis normatif kualitatif, sedangkan padapendekatan non doktrinal, analisis yang dilakukandengan menggunakan analisis kualitatif yangdilakukan menggunakan model analisis interaktif.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan1. Tahapan Pemakaian Narkoba

Ada beberapa tahapan dan polapemakaian narkoba secara tidak sah, sehinggamenyebabkan ketergantungan atau kecan-duan, yang dibedakan dalam lima tahapperkembangan (Howard Abadinsky, 2008 : 240)yaitu 1) pola coba-coba (experimental use).Pada tahapan ini, pengaruh kelompok sebayamemang sangat besar seperti teman dekatatau orang lain yang menawarkan untukmenggunakan narkoba. 2) pola pemakaiansosial (social use). Pola pemakaian sosialyaitu pemakaian narkoba untuk kepentinganpergaulan dan keinginan untuk diakui olehkelompoknya. 3) Pola pemakaian situasional(situational use). Pada tahap ini biasanyapengguna akan berusaha untuk mengkonsumsisecara aktif. 4) Pola habituasi (penyalah-gunaan/abouse). Pada tahap ini pemakaianakan sering dilakukan dan umumnya padatahapan inilah terjadinya proses ketergan-tungan. 5) Pola ketergantungan (compulsivedepandent use). Pengguna tidak lagi mampumengendalikan dirinya sebab narkoba telahmenjadi pusat kehidupannya.

Sementara itu ada tiga alasan yang men-jadi motivasi seseorang menggunakan narkoba(Aaron T. Beck, 1993 : 35) : 1) anticipatorybeliefs, yakni para pelaku yang menggunakannarkoba dengan tujuan mendapatkanpengakuan dalam status tertentu. 2) relievingbeliefs, yakni para pelaku yang menggunakannarkoba untuk m enghilangkan perasaankecewa, sedih, marah, putus asa, tegang danperasaan lain yang tidak menyenangkan. 3)permissive beliefs atau facilitative beliefs,yakni para pelaku yang menggunakan narkobasebagai perbuatan yang menurut nilai-nilaiyang pelaku anut bukan merupakan perbuatanyang melanggar norma.

2. Kedudukan Korban dalam SistemPeradilan Pidana

Dalam perspektif viktomologi, terutamamengenai tipologi korban, terdapat beberapa

pendapat ahli hukum m engenai korbanpenyalahgunaan narkoba. Ditinjau dariperspektif tingkat keterlibatan korban dalamterjadinya kejahatan, pengertian korbanpenyalahgunaan narkoba menurut Ezzat AbdulFateh (dalam J.E. Sahetapy, 1995 : 14-125),termasuk dalam tipologi False Victims yaitupelaku yang menjadi korban karena dirinyasendiri.

Merujuk perspektif tanggung jawabkorban, adanya self-victimizing victims yaknipelaku yang menjadi korban karena kejahatanyang dilakukannya sendiri. Hal ini seringdinyatakan sebagai kejahatan tanpa korban(Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,2007 : 125). Akan tetapi, pandangan inimenjadi dasar pemikiran bahwa tidak adakejahatan tanpa korban. Semua atau setiapkejahatan melibatkan 2 (dua) hal, yaitu penjahatdan korban. Sebagai contoh dari self-victimiz-ing victims adalah pecandu obat bius,alkoholisme, homoseks, dan judi. Hal iniberarti pertanggungjawaban terletak penuhpada si pelaku, yang juga sekaligusmerupakan korban.

Menurut Sellin dan W olfgang, korbanpenyalahgunaan narkoba merupakan “mutualvictimization”, yaitu pelaku yang menjadikorban adalah si pelaku sendiri. Seperti halnyapelacuran, perzinahan, dan narkoba (Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 206-207).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahlihukum mengenai tipologi korban dalamperpektif viktimologi dapat dinyatakan bahwapecandu narkoba merupakan self-victimizingvictims, yaitu seseorang yang menjadi korbankarena perbuatannya sendiri. Namun, ada jugayang mengelompokkannya dalam victimlesscrime atau kejahatan tanpa korban karenakejahatan ini biasanya tidak ada sasarankorban, semua pihak terlibat (Dikdik M. AriefMansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 49-51).Selain itu, pecandu narkoba dapat jugadikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban(crime without victim). Pengertian kejahatantanpa korban berarti kejahatan ini tidakmenimbulkan korban sama sekali akan tetapisi pelaku sebagai korban. Sementara dalamkatagori kejahatan, suatu perbuatan jahatharuslah menimbulkan korban dan korban ituadalah orang lain (an act must take place thatinvolves harm inflicted on someone by the ac-tor). Artinya apabila hanya diri sendiri yangmenjadi korban maka hal tersebut tidak dapatdikatakan sebagai kejahatan.

Page 4: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 83

Tindak pidana atau perbuatan melawanhukum dilakukan oleh seseorang kepada or-ang lain, kalau tidak ada pihak lain yangmenjadi korban maka sebagaimanadiputuskan Mahkamah Konstitusi melaluiPutusan Nomor 1/PUU-IX/2011, tidaklah dapatdikatakan sebagai tindak pidana atau delik(delict) karena sifat umum tindak pidana adalahperbuatan melawan hukum yaitu perbuatanyang melanggar norma sedemikian rupasehingga mencederai kepentingan hukum or-ang lain atau membahayakan kepentingan or-ang lain. Putusan pengadilan MahkamahKonstitusi ini diambil untuk menguatkanpendapat para pakar hukum sekaligusmeyakinkan peneliti bahwa korban karenaperbuatannya sendiri bukanlah suatu tindakpidana. Dengan demikian, seseorang yangmenggunakan narkoba untuk dirinya sendiridan perbuatan tersebut tidak merugikan dan/atau menyebabkan terjadinya korban, makapengguna tersebut tidak dapat dikatagori-sasikan sebagai perbuatan kejahatan.

3. Tujuan Hukum Pidana sebagai UpayaPenanggulangan Kejahatan

Menurut Moeljatno, sebagaimana dikutipTongat (Tongat, 2008 : 14), menyatakan bahwahukum pidana adalah bagian keseluruhanhukum yang berlaku di suatu negara, yangmengadakan dasar-dasar atau aturan-aturanuntuk: a. menentukan perbuatan-perbuatanmana yang tidak boleh dilakukan, yangdilarang, dengan disertai ancaman atau sanksiyang berupa pidana tertentu bagi siapa yangmelanggar larangan tersebut; b. menentukankapan dan dalam hal-hal apa pelaku yang telahm elanggar larangan-larangan itu dapatdikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan; c. m enentukandengan cara bagaimana pidana itu dapatdilaksanakan apabila ada orang yang disangkatelah melanggar larangan tersebut.

Sifat pidana sebagai “ultimum remedium”menghendaki agar jangan menggunakanpidana sebagai sarana apabila tidak perlusekali. Sebab pidana tidak hanya dirasa tidakenak pada waktu dijalani, tetapi sesudah ituorang yang dikenai itu masih merasakanakibatnya yang berupa “cap” oleh masyarakatbahwa ia pernah berbuat “jahat”. Cap ini dalamilmu pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orangtersebut mendapatkan stigma; dan kalau tidakhilang maka ia seolah-olah dipidana seumurhidup (Soedarto : 2007 : 24).

Tujuan pidana biasa disingkat denganistilah 3R dan 1D. 3R itu ialah Reformation,

Restraint, dan Restribution. 1D ialah deter-rence yang terdiri atas individual deterrencedan general deterrence (pencegahan khususdan pencegahan umum) (Abidin Az dan AndiHamzah, 2010 : 42-43). Reformasi (reforma-tion) berarti memerbaiki atau merehabilitasipenjahat menjadi orang baik dan berguna bagimasyarakat. Restraint m aksudnya ialahmengasingkan pelanggar dari masyarakat.Restribution ialah pem balasan terhadappelanggar karena telah melakukan kejahatan.Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistemyang bersifat barbar dan tidak sesuai denganmasyarakat yang beradab.

4. Ketentuan Sanksi Pidana dan UpayaRehabilitasi

Pada dasarnya penjatuhan sanksi pidanapenjara terhadap korban pengguna narkobatidak dapat mengubah perbuatannya sebagaipengguna narkoba karena pelaku adalah or-ang yang kecanduan, menderita kesakitanyang seharusnya mendapat pengobatan danperawatan. Namun karena perbuatan tersebuttelah ditetapkan sebagai perbuatan melanggarhukum, dan telah ditetapkan dalam UndangUndang Narkotika, maka perbuatan tersebutdapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini sesuaiasas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1ayat (1) KUHP, yakni tidak dapat dipidanaseseorang kecuali atas perbuatan yangdirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu(nullum delictum nula poena sine praevia legepoenali).

Pengaturan sanksi pidana terhadappengguna narkoba bagi diri sendiri terdapatdalam Pasal 127 UU Narkotika. Menggunakannarkoba bagi diri sendiri mengandung maksudbahwa penggunaan tersebut dilakukan tanpamelalui pengawasan dokter. Penggunaannarkoba tanpa melalui pengawasan doktertersebutlah yang merupakan suatu perbuatan“tanpa hak dan melawan hukum”. Artinya,selama peraturan perundang-undanganyamasih mencantumkan ancaman pidana penjarabagi pengguna narkoba meskipun bagi dirinyasendiri maka hukuman tersebut akan selaluada. Atas dasar itulah, pengguna atau pecandunarkoba dapat dipidanakan.

Meskipun demikian, UU Narkotika jugamengatur tentang rehabilitasi bagi penggunaatau pecandu, yakni terdapat dalam Pasal 54,Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 danPasal 103. Di dalam Pasal 103 UU Narkotika,menyebutkan hakim yang memeriksa perkarapecandu narkoba dapat melakukan dua hal.

Page 5: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

84 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

Pertama, hakim dapat memutuskan untukmemerintahkan yang bersangkutan menjalanipengobatan dan/atau perawatan apabilapecandu narkoba tersebut terbukti bersalahmelakukan tindak pidana narkoba. Kedua,hakim dapat menetapkan untuk memerintah-kan yang bersangkutan menjalani pengobatandan/atau perawatan, apabila pecandu narkobatersebut tidak terbukti bersalah melakukantindak pidana narkoba.

Pecandu narkoba yang terbukti bersalahdisebutkan hakim “dapat” memutus untukmemerintahkan yang bersangkutan menjalanipengobatan dan/atau perawatan m elaluirehabilitasi. Namun demikian, dalam ketentuanPasal 54, menyebutkan pecandu narkotika dankorban penyalahgunaan narkotika “wajib”menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasisosial, maka konsekuensinya mau tidak mauputusan yang dijatuhkan haruslah memerintah-kan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.Dengan kata lain, putusan yang dijatuhkanhakim bagi pecandu atau pengguna narkobabagi diri sendiri tidak lagi mengandungmultitafsir yang terdapat dalam kata “dapat”,harusnya dibaca “wajib”.

Undang Undang Narkotika j ug amemberikan landasan hukum kemungkinanpengguna narkotika tidak d ip id an a ,sebagaimana diatur Pasal 128 ayat (2) dan (3)UU Narkotika, yang memberikan jaminan tidakdituntut pidana dengan kriteria sebagai berikut.a. Pecandu narkotika yang belum cukup

umur dan telah dilaporkan oleh orang tuaatau walinya sebagaimana dimaksuddalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntutpidana

b. Pecandu narkotika yang telah cukup umursebagaimana dimaksud dalam Pasal 55ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasimedis 2 (dua) kali masa perawatan dokterdi rumah sakit dan/atau lembagarehabilitasi medis yang ditunjuk olehpemerintah tidak dituntut pidana.

Dilihat dari ketentuan tersebut jelasbahwa pengguna narkoba tidak dipidana,karena pengguna narkoba terutama yangdalam tahap kecanduan adalah didudukkansebagai korban yang sepatutnya direhabilitasi,baik secara medis maupun sosial. Hal inisesuai Pasal 54 UU Narkotika. Sejalan denganketentuan tersebut, pada 2010, MahkamahAgung RI kembali mengeluarkan Surat Edaran(SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 TentangPenempatan Penyalahgunaan, KorbanPenyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke

dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial.Dalam Butir 3 SEMA Nomor 4 Tahun 2010disebutkan “Dalam hal hakim menjatuhkanpemidanaan berupa perintah untuk dilakukantindakan hukum berupa rehabilitasi atas diriterdakwa, Majelis Hakim harus menunjuksecara tegas dan jelas tempat rehabilitasiyang terdekat dalam amar putusannya”.

Hal tersebut berdasarkan pertimbanganbahwa:1) sebagian besar narapidana dan tahanan

kasus narkotika termasuk dalam kategoripemakai atau bahkan sebagai korban jikadilihat dari aspek kesehatan pelakusesungguhnya orang-orang yangmenderita sakit, oleh karena itumemenjarakan yang bersangkutanbukanlah langkah yang tepat karena telahmengabaikan kepentingan perawatan danpengobatan;

2) kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP)yang tidak mendukung. Dampak negatifketerpengaruhan oleh perilaku kriminallainnya dapat semakin memperburukkondisi kejiwaan dan kesehatan yangdiderita para narapidana narkotika.

Artinya, ketika hakim memeriksa kasusnarkoba dengan spesifikasi jumlah barang buktisebagaimana terdapat dalam ketentuan SEMANomor 4 Tahun 2010 maka hakim sudahseharusnya t idak ragu untuk segeramemutuskan agar menempatkan terdakwakorban pengguna narkoba di dalam lembagarehabilitasi medis dan sosial, sebagaimanadiamanatkan Mahkamah Agung kepada semuaPengadilan Negeri.

Sebagai upaya pelaksanaan rehabilitasi,selain pemerintah Indonesia mempunyai tugasdan tanggungjawab dalam menyelenggarakanupaya kesehatan bagi rakyat melaluiperpanjangan tangan dari Menteri Kesehatandan Menteri Sosial, pihak swasta juga dapatberperan aktif dalam penyelenggaraanrehabilitasi. Akan tetapi pihak swasta yangmenyelenggarakan rehabilitasi harus mengikutipedoman standarisasi yang dikeluarkan olehMenteri Kesehatan melalui KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang PedomanPenyelenggaraan Sarana Pe la ya na nRehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergan-tungan NAPZA dan Peraturan Menteri SosialNomor 56/HUK/2009 tentang Pelayanan danRehabilitasi Sosial Korban PenyalahgunaanNarkotika, Psikotropika dan Bahan AdiktifLainnya.

Page 6: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 85

Ketentuan hukum lainnya dalammenempatkan korban pengguna narkoba ditempat rehabilitasi medis dan sosial jugatertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan WajibLapor Pecandu Narkotika. Berdasarkanperaturan pemerintah tersebut memberikanjaminan kepada pecandu dan/atau korbanpenyalahgunaan narkoba untuk mendapatkanpengobatan dan/atau perawatan m elaluirehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011merupakan turunan Pasal 54 dan Pasal 55 UUNarkotika. Pasal 54 menyebutkan pecandunarkotika dan korban penyalahgunaannarkotika wajib menjalani rehabilitasi medis danrehabilitasi sosial, sedangkan Pasal 55 ayat(1) menjelaskan orang tua atau wali daripecandu narkotika yang belum cukup umurwajib melaporkan kepada pusat kesehatanmasyarakat, rumah sakit, dan/atau lembagarehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yangditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkanpengobatan dan/atau perawatan m elaluirehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal55 ayat (2) bagi pecandu narkotika yang sudahcukup umur wajib melaporkan diri ataudilaporkan oleh keluarganya kepada pusatkesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/ataulembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasisosial yang ditunjuk oleh pemerintah untukmendapatkan pengobatan dan/atau perawatanmelalui rehabilitasi medis dan rehabilitasisosial.

Menurut pengamat hukum, SimplexiusAsa, UU Narkotika hanya menempatkanpengguna narkoba sebagai pelaku tindakkriminal, termasuk keluarga dan temannya.Pengguna narkoba, menurut Simplex, berbedadengan koruptor karena pengguna narkobamelakukan kejahatan untuk dirinya sendiri.Sedangkan koruptor sudah mengambil hakorang lain. Simplex menyimpulkan, penggunanarkoba bukan pelaku tindak kriminal sehinggatidak dilakukan vonis pemenjaraan (http://www.satuportal.net).

Dikeluarkanya SEMA Nomor 4 Tahun 2010telah memberikan sebuah panduan bagi hakimuntuk menempatkan pecandu narkoba kedalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial.Adapun yang menjadi pokok pertimbanganadalah ruh atau semangat dari UU Narkotikaadalah mengakui pecandu narkoba sebagaipesakitan dan melindungi pecandu narkobadan korban penyalahgunaan narkoba tersebutdengan menempatkannya di lembaga medis

dan sosial (A.R. Sujono dan Boni Daniel, 2011:127).

Dengan menelaah penjelasan di atas,institusi dan penegak hukum di Indonesiasebaiknya mulai memilih jalur alternatif yaknimelalui vonis rehabilitasi bagi penggunanarkoba. Vonis pidana dengan pemenjaraanterhadap korban pengguna narkoba bukansolusi efektif karena pengguna narkobamerupakan korban dari kejahatan peredarangelap narkoba.

Hasil penelitian yang dilakukan penulis,menunjukkan bahwa selama penggunanarkoba di penjara para pelaku masih bisamengkonsumsi narkoba secara sembunyi-sembunyi yang di dapat secara ilega l.Sementara dari segi medis, pidana penjarabukanlah tem pat yang baik bagi prosespenyembuhan ketergantungan obat, namunjustru akan semakin menyiksa mental pelaku.Disamping tidak efektif, vonis penjara dalamperspektif manajemen penyelenggaraan negaradapat dikatakan merugikan pemerintah. Dapatdikalkulasikan, berapa dana yang harusdikeluarkan pemerintah untuk memberikankebutuhan makan bagi warga binaan narkobadi dalam lembaga pemasyarakatan. Selain itu,negara juga tidak dapat memberikan jaminantempat yang layak di lembaga pemasyara-katan. Hampir semua LP Narkotika di Indone-sia penuh sesak. Akibatnya, penghuni harusberdesak-desakan dan tidak jarang, karenakondisi yang serba minim, mudah terjadikekerasan di dalam penjara. Belum lagimengkriminalkan pengguna narkoba justrumenjadikan upaya penanggulangan penularanHIV/AIDS menjadi terhambat, dan bagipengguna akan mendapat stereotif negatif darimasyarakat ketika ke luar dari penjara.

5. Model Pemidanaan Ideal bagi KorbanPengguna Narkoba

Pada kasus penyalahgunaan narkoba diIndonesia, korban pengguna narkoba yangtertangkap menggunakan narkoba langsungdimasukkan ke rumah tahanan negara (rutan)atau sel polisi. Kemudian untuk mengem-bangkan penyidikan, korban tersebut masihtetap berada dalam rutan. Ketika dalam prosespenyidikan sudah terkumpul bukti-bukti yangmenguatkan, maka penyidik akan mengirimBerkas Acara Pemeriksaan (BAP) kepadakejaksaan untuk kemudian kejaksaanmembentuk penuntut umum yang kemudianmembuat surat dakwaan dan diajukan padapengadilan negeri. Pada saat proses ini

Page 7: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

86 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

berlangsung korban pengguna narkobadipindahkan dari rutan polri ke rutan kejaksaan,atau rutan pada lembaga pemasyarakatan (LP).Ketua pengadilan yang telah menerima suratdakwaan dari kejaksaan, kemudian memben-tuk majelis hakim yang bertugas memanggilterdakwa. Perkara tersebut kemudiandisidangkan di pengadilan negeri, dan korbanpengguna narkoba yang telah berstatussebagai terpidana langsung menja lanihukuman di LP.

Model pemidanaan, sebagaimanadijelaskan di atas, dengan cara menempatkankorban pengguna narkoba dalam tahanan(meskipun dalam ketentuan mendapat hakpengobatan/perawatan) sejat inya akanmempersulit korban pengguna narkoba untukdapat sembuh dari ketergantungan. Apalagikondisi LP yang tidak mendukung akanberdampak negatif dan semakin memperburukkondisi kejiwaan dan kesehatan yang dideritaoleh narapidana pengguna narkoba.

Penjatuhan pidana penjara kepada korbanpengguna narkoba sebelum Undang-UndangNarkotika dirubah karena telah ada terobosanhukum, maka penjatuhan sanksi pidana kepadakorban pengguna narkoba tidak dipidana penjaratetapi dalam amar putusan hakim dapatmemerintahkan untuk ditempatkan di tempatrehabilitasi. Adapun model pemidanaan yangdiharapkan yakni seseorang yang kedapatanmenggunakan narkoba bagi diri sendiri sejaktertangkap polisi atau BNN langsungdimasukkan ke tempat rehabilitasi. Selamaproses hukum berlangsung sampai penjatuhanvonis oleh mejelis hakim tetap berada di tempatrehabilitasi untuk menjalani perawatan danpemulihan ketergantungan obat.

Sebelum UU Narkotika, te r ka itkriminalisasi pengguna narkoba (Pasal 127Ayat 1 UU Narkot ika), d iubah melaluipengajuan Judicial Review ke MahkamahKonstitusi, atau lewat pengajuan perubahanUndang Undang oleh pemerintah kepadalembaga legislatif (DPR-RI), maka hakim dalammemutus perkara kasus narkoba dapatmelakukan terobosan hukum denganmencantumkan salah satu diktum dalam amarputusan untuk memerintahkan terdakwamelakukan pengobatan dan rehabilitasi. Hal inisebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal54 dan Pasal 103 UU Narkotika dan jugaberdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 danPeraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011.

Korban pengguna narkoba yang telahditangkap pihak kepolisian atau institusi

berwenang (BNN) tidak se p atu tnyadimasukkan ke dalam rutan atau sel polisi,tetapi langsung ditempatkan di tempatrehabilitas i. Adapun pada saat prosespemeriksaan perkara sejak dari tingkatpenyelidikan sampai di persidangan (criminaljustice system), korban pengguna narkobamasih tetap ditempatkan di tempat rehabilitasi.Jika dalam persidangan terbukti hanya sebagaipengguna narkoba bagi dirinya sendiri, makaseyogianya hakim memberikan vonis bebasdengan ketentuan direhabilitasi sampai benar-benar sembuh. Hal ini berlaku selama Pasal127 UU Narkotika belum diubah ataupundicabut.

Untuk menerapkan model pemidanaan,sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnyatidaklah sulit. Sebab perangkat hukum telahtersedia melalui UU Narkotika (Pasal 54,Pasal 103 dan Pasal 127 ayat (2) dan (3))maupun amanat Mahkamah Agung melaluiSEMANomor 4 Tahun 2010 ke dalam LembagaRehabilitasi Medis dan Sosial, yang menjadipegangan bagi hakim pengadilan negeri danpengadilan tinggi dalam memutus perkara.Selain itu, masih ada dua peraturan pemerintahyang mampu dijadikan landasan dalammenerapkan model yang ideal, yaitu PeraturanPemerintah Nomor 25 Tahun 2011 danPeraturan Kepala BNN Nomor 2 Tahun 2011.

6. Membangun Paradigma DekriminalisasiKorban Pengguna Narkoba

Mencermati perkembangan di beberapanegara, m uncul paradigm a baru dalammemandang pengguna/pecandu narkoba yangtidak lagi dipandang sebagai perilaku jahat(kriminal) tetapi sebagai orang yang pengidappenyakit kronis yang harus mendapatkanperawatan dan pemulihan secara bertahap.Paradigma ini selanjutnya menciptakankebijakan baru dalam menangani korbanpengguna narkoba yang tidak lagi diprosessecara hukum, tetapi langsung membawapengguna/pecandu ke pusat rehabilitasi.Dengan kata lain paradigma ini mengarah padaupaya dekriminalisasi bagi pengguna narkoba.

Penerapan hukum pidana berupa pidanapenjara bagi korban pengguna narkoba terbuktitidak berhasil, yang sesungguhnya terjadi justrusetiap tahun korban pengguna narkoba yangdijatuhi pidana penjara angkanya semakin naik.Hal inilah yang perlu dikaji ulang terkait tujuandan fungsi penerapan hukum pidana bagikorban pengguna narkoba. Faktor terpentingdalam upaya penanggulangan penyalahgunaan

Page 8: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 87

narkoba yang justru seringkali diabaikanterutama oleh aparat penegak hukum di Indo-nesia adalah adanya upaya rehabilitasi. Modelpemidanaan terhadap korban penggunanarkoba sampai sekarang ini masihmenempatkan sebagai pelaku tindak pidana(kriminal), sehingga upaya-upaya rehabilitatifsering terabaikan.

Sementara itu, jika dilihat perkembanganperlakuan bagi pecandu narkoba di beberapanegara, telah terjadi kecenderungan yangterus mengalami perubahan. Pada tahun 1980-an, tren kebijakan global mengarah padapendekatan kriminalisasi yang lebih keras,bahkan di tingkat pengguna. Dalam beberapatahun terakhir ini, pembuat kebijakan obatdunia telah berusaha untuk merumuskan danmerekomendasi kebijakan tentang bagaimanacara terbaik untuk mengelola masalah yangberhubungan dengan narkoba secara eksklusifberdasarkan alasan empiris, salah satunyadengan cara dekriminalisasi atau depenalisasiterhadap pecandu narkoba. Meskipun begitu,kedua istilah tersebut memiliki bentuk kerjaberbeda.

Pada tahun 2005, Badan PemerintahPusat Uni Eropa yang mengkoordinasikan datakebijakan obat, European Monitoring Centre forDrugs and Drug Addiction (EMCDDA),mengumumkan perbedaan definisi antara“dekriminalisasi” dan “depenalisasi” sebagaiberikut.

“Decriminalisation” comprises removal ofa conduct or activity from the sphere of crimi-nal law. Prohibition remains the rule, but sanc-tions for use (and its preparatory acts) no longerfall within the framework of the criminal law.(By contrast) “Depenalization” means relationof the penal sanction provided for by law. Inthe case of drugs, and cannabis in particular,depenalization generally signifies the elimina-tion of custodial penalties.

Singkatnya, “dekriminalisasi” berarti hanyasalah satu sanksi non-criminal (seperti dendaatau persyaratan pengobatan) yang dikenakanatau tidak ada sanksi pidana. Sementara dalamkerangka kerja “depenalisasi”, penggunaan obattetap menjadi pelanggaran pidana, tetapihukuman penjara tidak lagi dikenakan ataskepemilikan atau penggunaan bahkan ketikasanksi pidana lain (misalnya, denda, catatanpolisi, masa percobaan) tetap dimungkinkan(Glenn Greenwald, 2009:2). Dalam kerangkadekriminalisasi, penggunaan dan kepemilikanobat tetap dilarang (illegal) dan masuk dalamsasaran intervensi pihak kepolisian. Namun

“dekriminalisasi” berarti bahwa pelanggarantelah dihapus sepenuhnya dari kerangka hukumpidana dan sistem peradilan pidana.Sebaliknya, pelanggaran itu dimasukkan kedalam pelanggaran administrasi murni, yangselanjutnya diproses sebagai masalahnonkriminal.

Di beberapa negara Uni Eropa telahmengembangkan depenalisasi secara formalataupun secara de facto, khususnya untukpenggunaan pribadi atas ganja. Tetapi tidak adanegara di Uni Eropa selain Portugal yang telahsecara eksplisit menyatakan “dekriminalisasi”terhadap pecandu narkoba. Ketika negara laindi Uni Eropa mengembangkan berbagai bentukdekriminalisasi secara de facto, yang dalamhal ini menempatkan zat yang dianggap tidakterlalu berbahaya (seperti ganja) jarangmenyebabkan causa penuntutan kriminal.Portugal adalah satu-satunya negara yangsecara terang-terangan menyatakan obatterlarang “didekriminalisasikan”. Karena lebihdari tujuh tahun sejak diberlakukannya sistemdekriminalisasi di Portugal, ada banyak datayang memungkinkan untuk menilai dampak-dampaknya.

Dekriminalisasi telah menjadi semakinpopuler di Portugal khususnya sejak 2001,kecuali untuk beberapa politisi aliran kanan,sangat sedikit faksi politik domestik yangmendorong pencabutan produk hukum tahun2001 itu. Ketika ada persepsi yang meluasbahwa perubahan birokrasi perlu dilakukanterkait kerangka kerja dekriminalisasi Portu-gal agar lebih efisien dan efektif, tidak adaperdebatan tentang apak ah obat harusdikriminalisasi. Lebih penting lagi, kekha-watiran yang didengungkan oleh penentangdekriminalisasi sebelum diundangkan -daripeningkatan besar dalam penggunaan obat dikalangan anak muda sampai perubahan Lisbonmenjadi tempat berlindung bagi “wisatawanobat” tidak terjadi (Caitlin Hughes and AlexStevens, 2007: 20).

Konsensus politik yang m endukungdekr iminalisasi t idak lah mengejutkan,mengingat data empiris terkait. Data tersebutmenyebutkan bahwa dekriminalisasi tidakberpengaruh tingkat penggunaan obat di Por-tugal, yang dalam banyak kategori, sekarangtermasuk yang terendah di Uni Eropa, terutamabila dibandingkan dengan negara-negara yangmenerapkan kriminalisasi ketat.

Selain Portugal, di beberapa negara UniEropa lainnya juga telah mengadopsi sistem danparadigma yang mirip dengan dekriminalisasi

Page 9: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

88 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

secara de facto, tetapi belum secara eksplisitmenyatakan dekriminalisasi atas penggunaanobat. Spanyol misalnya, undang-undang yangditerapkan, “The Law on Protection of CitizensSecurity “ menyebutkan, seseorang yangmengonsumsi narkoba di depan umum dianggapsebagai pelanggaran serius dan dikenakansanksi administratif yang umumnya berupasanksi denda. Tetapi sanksi tersebut dapatditangguhkan jika pengguna tersebut bersediamengikuti program terapi. Selain itu, terdapatcelah hukum obat di Spanyol yaitu konsumsiobat publik dilarang, tetapi penggunaan obatsecara personal tidak dilarang. Sementara untukkasus perdagangan, Undang-Undang NarkotikaSpanyol menetapkan hukuman yang cukupberat, khususnya penjualan kepada anak-anakdi bawah usia 18 tahun, atau dalam jumlah besarmelebihi 500 dosis (over 500 doses) (http://www.drugwarfacts.org/cms/Spain).

Bentuk lain dari dekriminalisasi secara defacto telah ditetapkan di Jerman, dalam hal inipengadilan memutuskan bahwa hukumanpenjara karena pelanggaran memiliki obatterlarang dalam jumlah yang banyakberpengaruh terhadap masalah konstitusional.Sementara di Luksemburg dan wilayah lain diJerman Utara, hanya memberlakukan hukumandenda untuk penggunaan ganja (marijuana),dan kasus yang masuk ke pengadilan hanyamelibatkan perdagangan narkoba dalam jumlahbesar (http://www.ehow.com/list_6907015_german- marijuana-laws.html).

Belanda menjadi salah satu negara Eropa,bahkan dapat dikatakan sebagai negara“modern” pertama yang melegalkanpenggunaan narkoba untuk diri sendiri. Narkobamemang dilegalkan di Belanda, bahkan di KotaAmsterdam ada semacam coffee house yangisinya juga menjual ganja, dan orang-orangyang berada di dalamnya bo leh bebasmenggunakan ganja. Kebiasaan menggunakannarkoba ini disebabkan karena Belandamemiliki tradisi panjang dalam penggunaan danpemanfaatan narkoba (P Cohen, 1990: 4).

Undang-Undang Narkotik a Belanda(Opium Art) memberikan ketegasan bahwaekspor dan impor narkoba adalah kejahatanyang paling serius. Hukuman maksimal untukkegiatan ekspor dan impor hard drugs adalah12 tahun penjara dan denda Dfl. 100.000.Sedangkan hukuman maksimal untukkegiatan impor dan ekspor soft drugs adalah4 (empat) tahun penjara dan denda Dft.100.000. Residivis dapat dikenakan hukumanmaksimal 16 tahun penjara dan denda Dft.

1.000.000. Kepemilikan narkoba pada semuabagian adalah tindak pidana, namunkepemilikan yang sedikit dari jenis soft drugsuntuk penggunaan pribadi dianggap bukantindak pidana, bahkan diperbolehkan olehhukum sejak diaturnya coffee shop system.

Pada awal tahun 1980-an, diadakansebuah riset mengenai tipologi penggunaannarkoba. Riset in i kemudian memicupembangunan kebijakan narkoba Belanda.Riset tersebut melahirkan konsep normaliza-tion atau cultural integration. Konsep ini lahirdari sejarah yang m enunjukkan bahwapenggunaan narkoba ada dan bersamaandengan kebudayaan manusia. Oleh karena itupecandu narkoba tidak harus diperlakukanseperti seorang penjahat ataupun pasienketergantungan, akan tetapi h ar u sdiperlakukan secara normal seperti orang biasa(Hen Jan van Vliet, 1990:173).

Adapun Cina pengguna narkoba yang telahberada di atas 5 juta tercatat di semua tempatpengobatan di rumah sakit subdistrik ataukecamatan dan rumah sakit umum. KarenaCina tidak mengadopsi sistem pengobatanbarat, maka kebijakan yang diterapkan lebihbersifat memaksa dalam hal penghentianpemakaian narkoba. Ada tiga macam pusatrehabilitasi narkoba di China. Pertama, pusatrehabilitasi narkoba yang dikelola oleh polisi.Kedua, pusat rehabilitasi narkoba denganmelakukan kerja sosial, dan dikelola olehDepartemen Hukum. Ketiga, pusat rehabilitasinarkoba yang dikelola oleh Departem enKesehatan (Z Yongming, 1999:830). Dalampraktiknya, para pengguna narkoba akandikirim ke pusat penanggulangan narkoba, danjika terungkap menggunakan lagi akan dikirimke pusat-pusat rehabilitasi dan harusmelakukan kerja-kerja sosial.

Namun demikian, a pab ila setelahmenjalani pengobatan di rumah sakit atautempat rehabilitasi sosial dan medis, ternyatamasih menggunakan narkoba di rumah, makaharus ada pembinaan lebih lanju t daripemerintah. Mantan pecandu narkoba yangtelah sembuh dan mendapat penyuluhan,kemudian diarahkan untuk melaporkankeberadaan para pengedar atau penjual yangtelah mendatangi atau berusaha memberinyanarkoba.

Menelaah persoalan hukum pidana yangmengatur tentang narkoba terdapat juga upaya-upaya untuk mendorong penangananpengguna narkoba dalam kedudukannyasebagai korban. Sejalan dengan ketentuan ini,

Page 10: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Hungaria telah menerapkannya, yaitu apabilapengguna narkoba ter tangkap karenapenggunaan narkoba maka pengguna akandiperiksa di kantor polisi dan kemudian dokterdidatangkan untuk memeriksa apakahtersangka adalah pengguna narkoba atau tidak.Bila tersangka adalah seorang penggunanarkoba, terutama telah mencapai tahapkecanduan, maka tersangka diberikan pilihanapakah mau dipenjara atau menjalanirehabilitasi. Apabila memilih rehabilitasi, makapengguna akan dirujuk ke klinik rehabilitasiyang telah tersedia. Pada posisi demikian,para pengguna narkoba jelas diberikankesempatan untuk memilih haknya sebagaikorban.

Hal yang sama juga terjadi di Malaysia,Pemerintah Malaysia telah m enyatakannarkoba sebagai musuh nomor satu negarasejak tahun 1973 ketika hukuman matidicantumkan terhadap pelaku transaksiperdagangan narkoba. Meskipun demikian,pengguna narkoba di Malaysia terusbertambah, sebelum akhirnya pemerintahmembuat strategi menanggulangi narkoba.Sepanjang 2002, sebanyak 31.893 orangpecandu narkoba telah terdeteksi oleh pihakotoritas Agensi Dadah Kebangsaan/ADK(semacam Badan Narkotika Nasional). Datayang dirilis tahun 2003 sebanyak 26.190, tahun2004 sekitar 26.775, dan 2005 per Februarisebanyak 7.968. Adapun menurut data ADKhingga Maret 2006 terdapat 292.696 pecandunarkoba. Organisasi non-pemerintah (NGO)juga memperkirakan terdapat sekitar 350.000orang yang terlibat narkoba. Angka ini dikatakanbertambah sebanyak 1.300 pecandu narkobasetiap bulan (Datuk Seri Abdullah Bin HajiAhmad Badawi, 2003). Untuk menurunkan parapengguna, pemerintah Malaysia telah merubahstrategi dalam penanggulangan kasus pecandunarkoba yang semula memfokuskan padaaspek penegakan hukum pidana kepadapendekatan memerangi penyakit kecanduandengan cara perawatan atau rehabilitasidengan menerbitkan Akta Penagih Dadah(Rawatan dan Pemulihan) 1983 - Pindaan 1998(Mahmood Nazar Mohamed, 2003: 28).

Para pengguna narkoba (dadah) yangterbukti melakukan tindak pidana narkoba didepan pengadilan, maka hakim waj ibmemutuskan pengguna/pecandu narkobauntuk menjalani rehabilitasi. Ketentuan iniberlaku juga apabila pecandu tersebut dipidanauntuk kedua kalinya atas perkara yang samadan apabila melakukan tindak pidana narkobauntuk ketigakalinya, barulah hakim

diperbolehkan memutuskan pecandu untukdipenjara untuk menimbulkan efek jera. Negaraterakhir yang hendak m ela k uk a ndekriminalisasi pengguna narkoba adalahKolombia. RUU Dekriminalisai Penggunaannarkoba merupakan tindak lanjut dar ikeputusan Mahkamah Agung Kolombia bahwakepemilikan narkoba dalam jumlah kecilmerupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi.

Kolombia adalah negara pertama diAmerika Selatan yang memperbolehkankonsumsi narkoba untuk keperluan pribadi,ketika negara tersebut mendekriminalisasikepemilikan narkoba dalam jumlah kecil pada1994. Mantan Presiden Kolombia Alvaro Uribe,kemudian membatalkan keputusan legalisasitersebut, tetapi kemudian keputusan PresidenUribe dinyatakan tidak berlaku oleh MahkamahAgung Kolombia. RUU Narkotika Kolombiamengusulkan batas kepemilikan personalsejumlah 5 gram ganja, dan 1 (satu) gramkokain. RUU juga mengusulkan bataskepemilikan personal untuk jenis narkoba yangbelum disetujui oleh keputusan MahkamahAgung, yaitu metamfetamin dan ekstasi.

Presiden saat ini Juan Manuel Santosberulangkali m enyerukan analisa ulangkebijakan “perang terhadap narkoba” danmenyambut baik keputusan Amerika Serikatuntuk mendiskusikan kemungkinan kebijakanalternatif pada pertem uan pem bahasannarkoba bagi seluruh Amerika di Kartagena.Pada saat yang sama presiden telahmenyatakan kepada pers internasional bahwaia mendukung diskusi mengenai legalisasinarkoba (http://www.druglawreform.info/en/country-information/colombia), dan mendapatdukungan dari mantan presiden César Gaviriayang sekarang ini telah menjadi bagian darikomisi global yang pendukung dekriminalisasikonsumsi narkoba.

Ketika China, Hungaria, Malaysia, Spanyoldan beberapa negara lain termasuk Australia,telah memperlakukan pengguna narkobasebagai korban meskipun tetap diancamdengan hukuman. Tetapi bagi pengguna yangmembawa narkoba di bawah ketentuan(misalnya membawa sabu-sabu di bawah 2gram) tidak langsung dibawa ke rumah tahananpolisi, tetapi diserahkan ke pihak rehabilitasiuntuk menjalani perawatan. Apabila seseorangkedapatan menggunakan untuk kedua kalinya,pihak kepolisian memerintahkan penggunauntuk menjalani perawatan dan melakukankerja sosial di instansi-instansi pemerintah ataumembantu pekerjaan orang tua. Perawatan danpemantauan terus dilakukan, sehingga masa

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 89

Page 11: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

90 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

menjalani perawatan benar-benar mendapatperhatian.

Di Indonesia pola semacam itu belumditerapkan, korban pengguna narkoba masihdimasukkan ke dalam penjara, meskipunselama proses tahanan diperkenankan untukdirehabilitasi, namun belum menjadi solusiefektif. Sistem hukum di Indonesia harus mulaimelakukan kebijakan dengan langsungmembawa korban pengguna narkoba ketempat rehabilitasi. Apabila korban penggunanarkoba ditangkap polisi atau dilaporkan or-ang tua dan/atau wali maka mereka harusditempatkan di tempat rehabilitasi.

Namun demikian, usaha Pemerintah In-donesia menuju dekriminalisasi korbanpengguna narkoba sebenarnya telah dimulaidengan dikeluarkannya SEMANomor 7 Tahun2009 yang kemudian diganti dengan SEMANomor 4 Tahun 2010 tentang PenempatanPenyalahgunaan, Korban Penyalahgunaandan Pecandu Narkotika ke dalam LembagaRehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial,yang secara substansial kedua SEMA tersebuttidak ada perubahan. Perbedaan kedua SEMAtersebut hanya terletak pada jumlah barangbukti saja. Pemerintah juga telah mengeluar-kan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun2011.

Keluarnya SEMA Nomor 4 Tahun 2010 danPeraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011ini sebenarnya mengukuhkan bahwa pecandunarkoba adalah korban dan bukan pelakutindak kriminal, sekaligus menjadi legitimasihukum bahwa pecandu bukanlah pelaku tindakkejahatan melainkan seseorang yangmenderita sakit karena kecanduan membutuh-kan perawatan baik secara fisik maupun secarapsikologis serta membutuhkan dukungan darimasyarakat untuk dapat kembali hidup normal.

Beberapa pejabat negara seperti KapolriJenderal Timur Pradopo juga memiliki gagasanyang sama, menurutnya paradigma untukmenempatkan korban pengguna narkoba ketempat rehabilitasi sebenarnya telah lamadisuarakan dan telah ditetapkan dalamUndang-Undang Narkotika, dan dalam SEMANomor 4 Tahun 2010, tetapi dalam imple-mentasinya belum banyak dilakukan, sehinggasampai sejauh ini korban pengguna narkobamasih harus menjalani proses pengadilan. Parakorban pengguna narkoba, menurutnya tidakperlu ditangkap atau dihukum, tetapi parapengguna narkoba lebih perlu diberikanpengobatan di pusat rehabilitasi. Kalau parapengguna narkoba justru ditahan atau dihukum,

tidak akan membuat efek jera, bahkan semakinbandel (Parasian Simanungkat, 2011: iv).

Kewajiban menjalani rehabilitasi bagikorban pengguna narkoba dimaksudkan untukmengurangi jumlah pangsa pasar narkoba diIndonesia, sehingga nantinya diharapkan terjadikeseimbangan antara faktor supply dan de-mand reduction. Kebijakan dan strategi yangdilakukan pem erintah untuk mengurangipermintaan narkoba adalah dengan melakukanrehabilitasi kepada seluruh pecandu, mening-katkan imunitas masyarakat, serta meningkat-kan upaya pemberdayaan terhadap masya-rakat. Adapun strategi untuk mengurangijumlah ketersediaan narkoba dilakukan melaluiupaya pemberantasan atau penegakan hukumterhadap jaringan peredaran narkoba.

Selain itu, ketentuan dikeluarkan SEMAini juga karena umumnya pengambilankebijakan di Indonesia saat ini masihmenganut sistem public security dan belumpada tahap public health. Artinya, upaya yangdilakukan di Indonesia saat ini masih dominanterhadap bidang pemberantasan penyalah-gunaan narkoba, atau belum memfokuskanpada upaya merehabilitasi pecandu dari aspekmedis dan sosial. Keberadaan SEMA Nomor4 Tahun 2010 merupakan rujukan untukmembedakan terdakwa sebagai penyalah-guna/pecandu atau sebagai pengedar/bandardengan standar minimal barang bukti yangdidapatkan. Barang bukti hanyalah salah satualat bukti, sedangkan pembuktian minimal adadua alat bukti, jika di dalam proses peradilanterbuk ti adanya tindak peredaran yangdilakukan terdakwa meskipun barang buktinarkoba yang dimiliki di bawah minimal tentusaja sah apabila hakim menjatuhkan vonissebagai pengedar/bandar.

Dengan ketentuan tersebut duniaperadilan di Indonesia sebetulnya telahmembuka mata tentang hakikat pecandunarkoba dalam konteks ilmu hukumkhususnya viktimologi. Sesuatu yang sangatsulit dilegitimasi selama ini, sehingga selama“perang terhadap narkoba” dikumandangkanoleh pemerintah Indonesia, pecandu narkobaselalu ditempatkan sebagai kriminal, makahak-hak korban untuk mendapatkan pelayanankesehatan dan perlakuan khusus, dalam halini rehabilitasi menjadi hilang. Tantangan kedepan justru berada dalam pundak hakim untukberani memutus atau menetapkan vonisrehabilitasi terhadap pecandu dan melakukanterobosan hukum serta penemuan hukum yangtidak hanya mengacu pada undang-undang

Page 12: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 91

saja, tetapi lebih pada nilai-nilai sosial dankemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.Tantangan lain bagi pembuat kebijakan adalahapakah kekuatan surat edaran dari aspekyuridis formal mampu mendekriminalsiasipecandu kerena dari beberapa sum bermenyebutkan negara yang mendukungdekriminalisasi secara de jure mencabutsemua peraturan yang menghukum parapengguna dan dalam penanganannya tidakmemenjarakan, menuntut ataupun melakukanpenangkapan kepada pengguna. Oleh karenaitu, untuk menguatkan dan meletakkanpengguna narkoba sebagai korban, maka halpertama yang harus dilakukan oleh Pemerintahdan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indo-nesia (DPR-RI) adalah merevisi ataum enghapus pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika yang mengkriminalisasikankorban pengguna narkoba. Adanya dekriminali-sasi terhadap penyalahguna dan pecandunarkoba maka penegak hukum akan lebihfokus dalam menangkap pengedar yangmerupakan pelaku kejahatan, dan memak-simalkan program rehabilitasi bagi pecandunarkoba karena para korban penyalahgunaannarkoba tidak lagi menyembunyikan diri danmerasa takut untuk dipidanakan.

Dengan demikian, model pemidanaanterhadap korban penyalahgunaan narkobaharus berorientasi pada penyembuhan danpemulihan, baik melalui lembaga-lembagamedis (rumah sakit dan puskesmas), maupunlembaga sosial. Sehingga melahirkan modelberupa penanganan yang dapat diterapkanterhadap korban pengguna narkoba. Bentukpenanganan bagi korban pengguna narkobadapat dilakukan melalui jalur medis (instansitempat lapor) dan lewat aparat penegak hukum(law enforcement). Jalur medis dalam artianpemerintah menyediakan tempat lapor dimasing-masing provinsi, kabupaten/kotamaupun kecematan di seluruh Indonesia untukmencatat dan melaporkan adanya korbanpengguna atau pecandu narkoba kemudianmembawanya ke pusat-pusat rehabilitasi.Sementara bagi penegak hukum, kepolisiandan/atau BNN sebagai institusi yang memilikikewenangan berhak menangkap yangselanjutnya membawa langsung korban ataupecandu narkoba yang belum melapor untukberobat di tempat rehabilitasi sampai sembuh.

Berikut in i usulan format modelpenanganan korban pengguna narkoba setelahterjadinya perubahan dalam Undang UndangNarkotika.

Korban PenggunaNarkotika

TempatLapor/Pendaftaran

REHABILITASI

DitangkapPolisi

Gambar 1. Model Penanganan Korban Pengguna Narkoba

Korban pengguna narkoba dengan suka reladatang mendaftarkan diri untuk berobat ke tempatrehabilitasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.Korban pengguna narkoba yang tidak maumelaporkan diri, pihak kepolisian dan BNN berhakuntuk menangkap dan membawanya ke tempatrehabilitasi untuk berobat sampai sembuh.

Mengingat banyaknya korban penggunanarkoba yang akan direhabilitasi, maka diperlukanbiaya yang cukup besar. Pendanaan pelaksanaanrehabilitasi bagi pecandu narkoba yang tidakmampu menjadi tanggung jawab pemerintah yangmenurut Pasal 101 ayat (3) UU Narkotika, dihasilkandari harta kekayaan atau harta benda yang

Page 13: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

92 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban...

merupakan hasil tindak pidana dan hasil pencucianuang dari tindak pidana narkoba dan prekursornarkoba berdasarkan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuknegara dan digunakan untuk kepentinganpelaksanaan pencegahan dan pemberantasanpenyalahgunaan peredaran gelap narkoba danprekursor narkoba, dan sebagai upaya rehabilitasimedis dan sosial. Adanya penanganan yang baikdari pihak rumah sakit atau tempat rehabilitasi, dandidukung lingkungan yang sehat, maka korbanpengguna narkoba akan lebih cepat pulih danmampu beradaptasi kembali dengan masyarakat,dan turut serta membangun bangsa dan negara.Selain itu, upaya ini juga dimaksudkan untukmewujudkan rencana pemerintah membebaskanBangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkoba,dan peredaran gelap narkoba, sehingga tidak adalagi korban yang meninggal akibat penyalahgunaannarkoba.

D. SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

dapat ditarik simpulan bahwa dalam menanganikasus narkoba, khususnya korban maupunpecandu, hakim di Indonesia dapat dikatakan jarangsekali melakukan terobosan hukum yangmenitikberatkan pada nilai-nilai sosial dankemanusian yang hidup dalam masyarakat. Hakimdi Indonesia hanya melihat sisi pidana dalamUndang Undang tanpa melihat efek negatifkeputusan tersebut, akibatnya pidana penjara hanyadilihat sebagai pemberian efek jera bagi pelakutindak pidana. Korban pengguna narkoba menurutUndang Undang Narkotika diputus hukuman pidanapenjara karena pengguna narkoba diklasifikasisebagai pelaku tindak pidana. Hal ini bertentangandengan teori hukum tentang viktimologi (korban).Beberapa negara telah membuktikan bahwa

kebijakan dekriminalisasi memiliki pengaruhterhadap penurunan penyalahgunaan narkoba.Model pem idanaan yang ideal bagi korbanpengguna narkoba adalah proses di luar proseshukum yaitu semua korban pengguna narkobamelaporkan diri untuk direhabilitasi. Sementara bagiyang tidak melaporkan diri, polisi dan/atau BNNmelakukan penangkapan dan langsung diantar dandiserahkan ke tempat rehabilitasi.

E. SaranBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,

dan simpulan disarankan kepada pihak-fihak dibawah ini sebagai berikut.1. Pemerintah bersama DPRI-RI perlu segera

mengubah Undang Undang Narkotika,khususnya pasal-pasal yang m a sihmemposisikan pengguna narkoba sebagaipelaku kr im inal, sehingga pada masamendatang pengguna narkoba tidak lagisebagai pelaku kriminal melainkan sebagaikorban dari kejahatan peredaran narkoba.

2. Kementerian Kesehatan agar menyiapkanpusat-pusat rehabilitasi, baik berupa rumahsakit maupun puskesmas yang menanganisecara khusus korban pengguna narkoba.Selain itu, pemerintah perlu mendorongsemua komponen bangsa untuk berperan sertamendirikan tempat rehabilitasi yang dapatdijadikan rujukan bagi pengguna atau pecandunarkoba.

3. Polisi, BNN dan juga Kejaksaan agar tidakmemasukkan korban pengguna narkoba kerumah tahanan negara tetapi langsungmenempatkan ke tempat rehabilitasi untukmendapatkan pengobatan sambil menunggurevisi UU Narkotikam aupun peraturan lainnyayang mendukung kebijakan tersebut.

Page 14: MODEL PEMIDANAAN YANG IDEAL BAGI KORBAN PENGGUNA NARKOBA

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Model Pemidanaan yang Ideal bagi Korban... 93

Daftar Pustaka

Aaron T. Beck. 1993. Cognitive Therapy of Substance Abuse. New York: The Guilford Press.

Abidin Az, Andi Hamzah. 2010. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Yasrif Watampone.

Anonim. 1997. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

. 1999. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

. 2004. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

. 2006. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

. 2009. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

A.R. Sujono dan Bony Daniel. 2011. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

Dikdik M Arief Manshur dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada.

Glenn Greenwald. 2009. Drug Decriminalization in Portugal; Lessons for Creating Fairand Successful DrugPolicies. USA: Cato Institute

Hen Jan van Vliet. 1990. The Uneasy Decriminalization: A Perspective on Dutch Drug Policy. Dutch: HofstraLaw Review

Howard Abadinsky. 2008. Drug Use and Abuse: A Comprehensive Introduction. USA:. Wadsworth

Hughes Caitlin dan Alex Stevens. 2007. “The Effects of Decriminalization of Drug Use in Portugal”. The

Beckley Foundation Drug Policy Pragramme.

http://www.unodc.org/treatment/en/China_Shanghai_resource_centre.html (3 Maret 2012)

http://www.druglawreform.info/en/country-information/colombia, “Summary overview of drug-laws and legis-lation trends in Colombia”. [3 Maret 2012].

http://www.drugwarfacts.org/cms/Spain. [3 Maret 2012].

http://www.satuportal.net. [20 Juni 2011].

J.E. Sahetapy (editor). 1995. Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung : Eresco

Mahmood Nazar Mohamed. 2003. Mencegah, Merawat dan Memulihkan Penagih Dadah: BeberapaPendekatan dan Amalan di Malaysia. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd

P Cohen. 1990. Drugs as a Social Construct. Amsterdam: University of Amsterdam.

Parasian Simanungkalit. 2011. Globalisasi Peredaran Narkotika dan Penanggulangannya di Indonesia.Jakarta:Yayasan Wajar Hidup.

Soedarto. 2007. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: PT Alumni:

Tongat. 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang : UMMPress.

Yongming, Z. 1999. Anti-Drug Crusades in Twentieth Century China: Nationalism, History and State Build-ing. Lanham MD: Rowan and Littlefield.