15
Samsul Wahidin. Menguji KonfJik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah Samsul Wahidin Abstract Basically, only one legal system that sen/ednationalinterests. Yet, at this moment between Central Goverment and Local Government has tendecy to dochotomize administration law. Harmonization perspective oflegal product between Central and Local Government should be focused as interreleted components besides that the law enforcement should be impiementated in good manner. Pendahuluan Dewasa ini, ada kecenderungan mendikotomikan hukum administrasi, antara Pusat dan Daerah. Sesuai dengan komitmen terhadap Negara Kesatuan Indonesia, pada dasamya hanya ada satu sistem hukum, yaitu sistem hukum naslonal yang mengabdl kepada kepentingan naslonal. Produk hukum harus senantiasa berorientasl kepada kepentingan naslonal sebagai refleksi dari komitmen Negara Kesatuan. Di dalam refleksi hukum, produk yang dapat dinilai bermasalah di daerah adalah Peraturan Daerah. Secara kelembagaan produk ini peiiu dicermati dalam kaitannya dengan indikator teijadinya konflik peraturan perundangan balk yang sifatnya horisontal, apa lag! yang bersifat vertikal.' Pada sisi lain, sebuah produk hukum —apakah itu mengandung muatan konflik vertikal maupun konflik horisontal, harus didasarkan pada asas presumption of inno cence— dan mau tidak mau mesti ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk menyatakannya. Sebuah analisis tidak dapat dengan begitu saja —<ian secara parsial menyatakan bahwa suatu peraturan perundangan tingkat Daerah bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya 'Konflik hcrizonta! maksudnya pertentangan antar peraturan perundangan yang sejenis (misainya antara sesama Peraturan pemerintah, atausesama Keputusan Presiden, atausesama Peraturan Daerah. Konflik vertikal maksudnya antara peraturan perundangan yang tingkatannya lebih rendah dengan peraturan yang tingkalannya lebih tinggi. Untuk ini, lebih lanjut lihat misainya dalam Karl. Larenz. Methodeniehre der Rechtswissenschaft {BeiWn: Springer Verlag, 1983)

Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsul Wahidin. Menguji KonfJik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

Menguji Konflik PeraturanPerundang-undangan Pusat dan Daerah

Samsul Wahidin

Abstract

Basically, only onelegal system that sen/ednationalinterests. Yet, at this moment betweenCentral Goverment and Local Government has tendecy to dochotomize administrationlaw. Harmonization perspective oflegalproduct between Central and Local Governmentshould be focused as interreleted components besides that the law enforcement shouldbe impiementated in good manner.

Pendahuluan

Dewasa ini, ada kecenderunganmendikotomikan hukum administrasi, antaraPusat dan Daerah. Sesuai dengan komitmenterhadap Negara Kesatuan Indonesia, padadasamyahanya ada satusistem hukum, yaitusistem hukum naslonal yang mengabdlkepada kepentingan naslonal. Produk hukumharus senantiasa berorientasl kepadakepentingan naslonal sebagai refleksi darikomitmen NegaraKesatuan. Di dalam refleksihukum, produk yangdapat dinilai bermasalahdi daerah adalah Peraturan Daerah. Secarakelembagaan produk ini peiiudicermati dalam

kaitannya dengan indikator teijadinya konflikperaturan perundangan balk yang sifatnyahorisontal, apa lag! yang bersifat vertikal.'

Pada sisi lain, sebuah produk hukum—apakah itu mengandung muatan konflikvertikal maupun konflik horisontal, harusdidasarkan pada asas presumption of innocence— dan mau tidak mau mesti ada

keputusan yang mempunyai kekuatan hukumtetap untuk menyatakannya. Sebuah analisistidak dapat dengan begitu saja —<ian secaraparsial menyatakan bahwa suatu peraturanperundangan tingkat Daerah bertentangandengan peraturan perundangan di atasnya

'Konflik hcrizonta! maksudnya pertentangan antar peraturan perundangan yang sejenis (misainya antarasesama Peraturan pemerintah, atausesama Keputusan Presiden, atausesama Peraturan Daerah. Konflikvertikal maksudnya antara peraturan perundangan yang tingkatannya lebih rendah dengan peraturan yangtingkalannya lebih tinggi. Untuk ini, lebih lanjut lihat misainya dalam Karl. Larenz. Methodeniehre derRechtswissenschaft {BeiWn: Springer Verlag, 1983)

Page 2: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

(dikeluarkan oleh Pusat). Konsistensi tertiadaplembaga pengujian semestinya dicermati dantidak semata meninjau dari perspektif nonyuridis (misalnya dari sisi politis) yangmenyebabkan adanya simpulan tidak sesuaidengan hukum.

Ada konstmksi yuridis yang kiranya periudicermati. sehubungan dengan "sinyalemen"itu konstruksi formal sebagaimana diatur didalam Tap No: IIi/MPR/2000 tentang SumberHukum dan Tata Urutan PeraturanPerundangan. Ketetapan in! adalahmerupakan penyempurnaan terhadap TapNo: XX/MPRS/1966 tentang Sumber TertibHukum dan Tata Urutan PeraturanPerundangan Rl. Ketetapan ini, sesuaidengankonstruksi yuridis sistem negara Kesatuanharus dipandang sebagai refleksi pengaturanberbagai institusi, balk sosial maupunpemerintahan. Rujukan berbagai kebijakantertulis harus tetap konsisten serta konsekuenpada ketatapan ini yang dipandang sebagairefleksi aspirasi rakyat. .

Produk Pusat-Daerah

"Sehubungan dengan euforia otonomidaerah, maka untuk landasan hukumnyaadalah UU tentang Pemerintahan Daerah.Hubungan ini harus meyakini bahwa produktersebut merupakan kompromistik yang telahmengakomodasikan berbagai kepentingan.Berbagai kepentingan dimaksud khususnyaadalah antara Pusat dan Daerahyangselama

ini dalam banyak kasus disikapi secaradikotomis. Sekurangnya produk hukum yangmenjadi kesepakatan itu harus dijadikansebagai landasan terpercaya. Tidakmengartikan dan atau menafsirkan berdasarkepentingan dan motivasi yang sejatinyabertentangan dengan hukum atau asashukum. Jika hal ini yangdiiakukan, makaakanselalu teg'adi tank-menarik dan memunculkanpermasalahan baru yang sebenamya dapatdihindakan. Tentu saja antara Pusatpadasatusisi dan Daerah pada sisi lain.

Banjarmasin

Asas Penyelenggaraan PemerintahanDaerah, dengan memperbesar porsi asasdesentralisasi dalam sistem pemerintahandaerah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia mengalami pasangsurut. Hubungannya dengan permasalahanlingkungan hidup begitu penting terutamasekali untuk mencermati seberapa besarkewenangan Pemerintah Daerah di dalammasalah ini sehingga dapat diiakukanpenilaian pula apakah kewenangan tersebutmampu mengakomodasikan kebutuhan danmenjawab secara riil hal-hal yang muncul diDaerah.

Sinkronisasi^yang kiranya secaranormatifharus dijadikan sebagai patokan dalamkerangka hubungan Pusat dan Daerah adalahbahwa hakekat hubungan antara Pusat-Daerah bukan sebagai sesuatu yang bersifat

^lihat; GJ. Vlarda, Drie Typen van Rechtsvinding (Ttp: Tjeenk Willink-Zwole, 1980), him. 82 pada bagian'Marginale Toetsing" menekankan sulitnya sinkronisasi dan akibatyang akan munculjika hal ini tidak dilaksanakanterutama berhubungan dengan prinsip atau asas legalitas yang menekankan pada keharusan pegangan padahukum tertulis (peraturan pemndang-undangan).

JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 - 15

Page 3: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusaf dan Daerah

dikotomis dan oleh karena itu tidak di-

dikotomikan. Daerah bukanlah "koloni" dari

Pusat dan pemerintah Pusat tidak berstatussebagai "pangreh"^atas segala sesuatu yangada didaerah. Berdasarkerangka dalam UUD1945 sistem negara Indonesia adalahkesatuan. Berdasar perspektif ini, otorltasdasar atas segala kekuasaan harusdiposislkanpada proporsinya yaltu pada pemerintah Pusatsebagai refleksi dari Negara Kesatuan. Daerahdalam konteks ini adalah sebagai pemegangotorltas yang dilimpahkan oleh Pusat. Hal inimenjadi satu komitmen yang disarikan dariberbagai teori tentang ajaran rumah tanggadalam kerangka otonomi daerah yangsenantiasa menjadi perbincangan hangatsampai sekarang.

Ketentuan di dalam Pasal 18 beserta

amandemennya member] kesan bahwasistem Negara Kesatuan yang dijadikanpatokan dasar memberikan keleluasaankepada daerah sedemlkian besar. Bahkan didalam operasionalisaslnya, sebagaimanadinyatakan dalam Undang-Undang tentangPemerintahan Daerah (UU No. 22 Tahun1999) hanya ada 5 (lima) sektoryang menjadiurusan Pusat yaitu Moneter, Pengadilan,Pertahanan Keamanan, Hubungan LuarNegeri dan Agama. Pembatasan inisebenamyadapatdikatakan sebagaisubstansi

yang berlaku pula pada wacana negarafederasi. Tak beriebihan jika ada yangmenyatakan bahwa prinsip-prinsip dasarfederasi sudah mulai diterapkan dalamsistemPemerintahan Daerah di Indonesia.

Makna lebih operasional dari kenyataandiatas adalahharusdiakomodasikannyafaktaempirik di daerah sebagai refleksi daripengakuan atas heterogenitas masyarakat Indonesia. Tentu saja dengan tidakmeninggalkan prinsip bahwa sebagaikonsekuensi NegaraKesatuan, makaapa punyang menjadi perkecualian harus senantiasamengabdi dan diabdikan kepada keutuhanNegara Kesatuan. Pola-pola dan kebijakanyang mencerminkan "perlawanan" danpenggarisan kebijakan yang tidak didasarkanatas prinsip ini tidak perluditempuh. Termasukkebijakan yangdidasarkanpda prjnsip tn'alanderror serta kebijakan yang dilandasi olehpenafsiran yang bersifat sepihak akan tetapibertentangandengan maksuddibentuknya UUtersebut.^

Di dalam refleksi Negara yang dijadikansebagai prinsip dasar dengan label kesatuantersebut, produk peraturan perundang-undangan yang harus dijadikan sebagaiacuan adalah sebagaimana dituangkandalam Tap No:lll/MPR/2000 di atas. Secarahirarkhis dinyatakan bahwa Tata Urutan

'Djenal Hosen Koesoemahatmadja, Pemerintahan Lokal(Bandung. Alumni, 1983), him. 31 yang mengurakanfalsafah pangrehsebagai lembagayangmemimpin sementarapadapihak lain ada abdi atau yangdipimpin.Peietakan secara dikotomis in! yangkita nilai kurang tepatdenganmengingat bahwaprinsip antara pangrehdanyangdi-reh adalah sederajat

^Mlsainya konflik atauminimal ketaksamaan persepsi dalam ha! pembangunan jalan keretaapai(rea/way)yangakan menghubungkan Tanjung (Kalsel) dan Pasir (Kaltim). Pemprovdengan berpegang pada PP No. 25Tahun 2000berpendapatbahwaitukewenangannya. Kabupaten dengan dalih untuk pengembanganwilayahjuga mendalilkan adanya hakyangsama.

Page 4: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Peraturan Perundang-Undangan merupakanpedoman dalam pembuatan peraturan hukumdi bawahnya. Tata urutan tersebut merupakanrefleksi dari asas legalitas yang mendasarisetiap pengambilan kebijakan. Secaraberurutandinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Rl adalah:

Undang Undang Dasar 1945Tap MPRUU

Peratuan Pemerintah Pengganti UU (Perpu)Peraturan Pemerintah

Keputusan PresidenPeraturan Daerah.®

Dibuatnya Tap No: ill/MPR/2000 itutemyata menimbulkan kontroversi khususnyakedudukan dari Keputusan Menteri (Kepmen).Sehubungan dengan ha! tersebut. MenteriKehakiman dan HAM, Baharuddin Lopamenglrimkan surat kepada para Menteri danPImpinan Lembaga Negara Non Departemen(LPND) tertanggal 23 Februari 2001. Menkehdan HAM menyatakan bahwa kedudukanKepmen itu adalah di atas Peraturan Daerah(Perda) dan setlngkat di bawah KeputusanPresiden (Keppres). Surat bernomor:M.UM.01.06-27 Itu juga menyatakan bahwaKepmen adalah merupakan produk hukumyang sifatnya mengatur (regeling) dan bukansemata-mata berslfat Keputusan (beschiking).

Kontroversi teitiadap kedudukan Kepmenini dapat dipandang sebagai refleksi dariketidakcermatan dalam menyusun PeraturanPerundangan. Pada sisi lain juga dapatdipandang sebagai sebuah bentuk akomodasiterhadap praktik penyeienggaraan negaramelalul produk hukum yang diharapkan dapatdilaksanakan secara luwes. Namun akibat

praktisnya jelas, tank ulur kewenangankhususnya antara Pusat pada satu sisi dandaerah pada sisi lainnya —yang selama inimasih dalam tahap menemukan bentukmenjadi semakin kabur. Untuk itu dipertukankesamaan bahasa tentang dimanakahsebenamya kedudukan Kepmen dalam TataUrutan Peraturan Perundangan. Hal inipenting mengingat di dalam permasalahanlingkungan hidup banyak materi yang diaturdidalam Kepmen yang pada masa lalusenantiasa dirujuk sebagai dasar hukum untukoperasionalisasi berbagai permasalahankhususnya yang muncul di daerah.

Permasalahan berkenaan dengankedudukan Kepmen itu muncul sebab didalamTap No: XX/MPRS/1966 yang diperbaiki dandisempumakan oleh Tap No: lll/MPR/ 2000tersebut mencantumkan Kepmen sebagaisalah satu produknya. Kalau memang.penyebabnya hanya karena judulnya adalahKeputusan, dan biasanyaproduk itu merupakansebuah beschiking, mengapa ada Keppresdengan judul yang sama yaitu sama-samaKeputusan?

^Para pencermat menilai bahwa Tap No: Ill/MPR/2000 Ini banyak kejanggalannya dan tidak cermat.Misalnya pada ketentuan Rasa! 1 yangmenyatakan bahwa sumberhukum adalah sumberyang dijadikanbahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Janggalnya, sumber hukum seharusnya tidaksematamerujuk padaperundang-undangan. Tidak cermat, misalnya tidak ada produk hukum yangdikeluarkanolehlembaga Kementerian Negara. Padahalproduk hukum ini sangat penting untuk menjabarkan berbagaiproduk hukum diatasnyaterutama peraturan pemerintah danatauundang-undang.

4 JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUAR! 2003:1 -15

Page 5: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

Mencermati penafsiran menurut tatabahasa {de grammaticale of taalkundigeinterpretatie),^ dari ketentuan di dalam Tap No:III/MPR/2000 itu dapat disimpulkan bahwaKepmen memang tidak dimasukkan sebagaisalah satu produk yang bersifat regaling.Dinyatakan dalam ketentuannya bahwaPeraturan dan Keputusan Mahkamah Agung,Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, BankIndonesia, badan, Lembaga atau Komisi yangsetingkat yang dibentuk olehpemerintah tidakboleh bertentangan dengan ketentuan yangtermuat dalam Tata Urutan PeraturanPerundang-undangan (Pasal 4 ayat (2)). HalIni berarti bahwa penyebutan produk hukumdl dalam Tap tersebut sifatnya iimitatlf tidakenunsiatif.' Urut-urutan yang disebut didalamnya pun sudah"disebut secara jelas yaitumulai dari Undang-Undang Dasar 1945, TapMPR, Undang Undang, Perpu (PeraturanPemerintah Pengganti Unang Undang),Peraturan Pemerintah, Keppres (KeputuanPresiden) dan Peraturan Daerah (Perda).

Berdasarkan tata urutan yang bersifatlimitatiftersebut harus dimaknai bahwa di luarke 7 (tujuh) produk hukum sebagaimanadisebutkan berkualifikasi sebagai policy(kebijakan) yang berorientasi pada dua hal.Pertama, hanya merupakan sebuahbeschiking yang tidak boleh mengikat umumdalam arti hanyalah sebagai kebijakan yangbersifat intemal. Kedua, kalaupun merupakanbentuk produk yang bersifat pengaturan

(regaling) harus senantiasa mengacu padatata urutan (sesuai dengan klausula bahwasetiap aturan hukum yang lebih rendahtingkatannya tidak boleh bertentangan denganaturan hukum yang lebih tinggi —vide Pasal 4ayat (1)). Dengan demlkian ketujuh produk itusifatnya baku, final dan tidak boleh disimpangi.

Di dalam masalah Kepmen bertiadapandengan Keppres kiranya sudah jelas bahwakedudukan Keppres lebih tinggi dari Kepmen.Halinidisebabkan secara struktural kedudukankedudukan Menteri lebih rendah daripresiden. atau konkritnya Menteri adalahpembantu Presiden. Konsekuensinya bahwasetiapproduk hukum yang dibuat olehMenteritidak boleh bertentangan bahkan harussenantiasa merujuk padamateri yang menjadimuatan Keppres. Kalau ada pertentanganantara Keppres dengan Kepmen makaKeppres harus dijadikan sebagai patokansesuai dengan asas lex superior derogat legipriori.

Menyoal kedudukan Kepmen berhadapandengan Perda, dapat dicermati berdasarkankelembagaan. Pada masa lalu kelembagaanMenteri sebagai pembantu presidenberkedudukan lebih tinggi dari PemerintahDaerah. Menteri berkedudukan sebagai"atasan" dari Pemda, dalam arti Menteriadalah pejabat Pusat sedangkan Daerahadalah "bawahan" Pusat yang hampirsepenuhnya tergantung pada pengaturan danhal-hal yang bersifat instruktif dari Pusat.

A Pontier, Rechtsvinding (Nijmegen: AsAequI Libri, 1988), him. 22.'Umitatifartinya terstruktur, tidak dapat disimpangi —berdasar asas hukum yang dijadikan sebagai pijakan

sepedilexsuperiorderogat legiprioridan lexspecialis derogat legigenerali.DemManpu\abersMh]rafkh\sdalam arti tidak dapat disimpangi dalam hal kedudukannya berdasarkan kelembagaan yang mengeluarkanproduk. Enunsiatif artinya dapat saja disimpangi atau bersifat relalif, dengan logika hukum yang dapatdipertanggungjawabkan dalam arti berdasarkan prinsip-prinsip hukum.

Page 6: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Kendatipun ada otonomi daerah tetapipraktiknya lebih bersifat sentralistik yangditerapkan untuk dan atas nama kesatuan danpersatuan. Hal ini dapat dicermati padaberbagal praktik penyelenggaraan pemerintahan,sepierti adanya ienibaga-iembaga Pusat yangada^di daerah, pembiayaan yang besarberasaldari Pusat.

Sejalan dengan paradigma otonomidaerah yang baru berdasarkan UU No. 22Tahun 1999, konsep yang ingin diterapkanadalah bersifat fungsional dengan meletakkanhubungan Pusat dan Daerah bersifatfungsional. Pusatdan Daerah tidak diletakkanpada struktur atasandanbawahan akan tetapilebih padafungsi masing-masing. Oleh karenaitu menteri bukan atasan dari PemerintahDaerah. Kalaupun ada hubungan antaraMenteri dengan Pemerintah Daerah harusdimaknai secara fungsional —karenaKementerian adalah perangkat teknis (sesuaidengan bidang masing-masing) dari iembagaKepresidenan. Dengan demikian produkhukum dari Menteri (berupa Kepmen) tidakdapat dipandang sebagai atasan dari Perda.

Kewenangan untuk itu pun sudah dialurlebih teknis di dalam Peraturan pemerintah(PP) No. 25 Tahun 2000 —dan untukpermasalahan lingkungan hidupsebagaimana akan disebut di bawah. Olehkarena itu produk hukum berupa Kepmen tidakboleh bertentangan dengan Perda. Kalauterjadi demikian maka yang harus dijadikanpatokan adalah Perda dengan catatan tentunyabahwa Perda terebut mengacu dengan benarkepada produk hukum yang disebut oleh TapNo:.lll/MPR/2000. Harus diakui bahwa Tapitumemang mengandung kelemahan'baikstruktural maupun fungsional. Aitematif yangdapatditempuh untuk mengatasinya, pertama,

dengan memperbaiki kembali Tap No: III/MPR/2000 dengan memasukkan Kepmensebagai salah satu produk hukum —denganmateri mengakomodasikan Surat MenteriKehakiman dan HAM di atas. Secara praktisdapat dipahami karena Kepmen secarasubstansial dibutuhkan'untuk mengatur lebihlanjut delegasi wewenang yang disebut olehUndang-Undang, Peraturan Pemerintahmaupun Keppres sendiri sesuai denganlingkup kewenangan Menteri yangbersangkutan.

Kedua, secara konsisten tetap menjadikanKepmen sebagai beschiking, berarti tidak pertumerubah Tap No: lll/MPR/2000. Komitmenyang harus senantiasadipegang adalah bahwaproduk terendah yang boleh dijadikan sebagaidasar adalah Keppres. Kendatipun (mungkin)hanya bersifat seldoral akan tetapi tidak bolehmempergunakan Kepmen dan harus tetappada produk yang disebut oleh Tap No: III/MPR/2000. Dengan demikian diharapkanten/vujudnya koordinasi dansinkronisasi yanglebih baik baik dari segi materi maupun darisegi kelembagaan.

Teriepas dari kelemahan yang dijadikansebagai konstrnksi dan materi Tap No: lll/MPR/2000 di atas, diakui bahwa di dalampenyelenggaraan pemerintahan khususnyaperaturan perundang-undangan selama inimuncul kerancuan baik secara horizontalmaupun vertikal. Secara horizontal yaitudengan tidak terselenggaranya sinkronisasiantara peraturan yang selevel. Munculkecendemngan egosektoral terhadap produkhukum khususnya pada level Undang Undang.Sementara itu secara vertikal juga masihbanyak terjadi mis-sinkronisasi antaraperaturan pada tingkat Pusat dan peraturan diDaerah. Hal itu pada akhimyajuga menciptakan

JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003: 1 -15

Page 7: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

kondisi ketidakteraturan peraturan pemndang-undangan di dalam kinerja hukum.

Secara hirarkhis, telah diketahui adanyaurutan khususnya dalam ha! kewenangandalam permasalahan otonomi daerah, mulaidari DUD 1945 sampai dengan UndangUndang yaltu UU No. 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah beserta dengan UU lainyang mendukungnya. UU Itu harus dipandangsebagai pelaksanaan dari ketentuan yang adadl dalam UUD 1945 dimaksud dan karena Ituharus pula secara konsisten dijadlkan sebagaidasar pengambilan kebijakan. Tidak adaalternatif yang memungkinkan terjadinyapenyimpangan tertiadap konstmksl yuridis Inisehlngga tIdak diperlukan penafsiran yangjustru akan meruwetkan permasalahan.

Pengujian Produk Daerah

Sinkronisasi terhadap produk Daerahdengan produk dari Pusat harus didasarkanpadaketentuan yang ada didalam Tap No: III/MPR/2000. Pertama, ketentuan di dalamPasal 18UUD 1945 yang berbunyi: Pembagiandaerah Indonesia atas daerah besardan kecildengan bentuk susunan pemerintahannyadiietapkan dengan Undang Undang denganmemandang dan mengingat dasarpermusyawaratan dalam sistem pemerintahannegara dan hakasal-usul dalam daerah-daerah yang besifat Istimewa.

Penjelasan Pasal 18 di atas semakinmemperkukuh makna dari keharusanmengedepankan prinsip Negara Kesatuanpada klausula bahwa oleh karena Indonesiaitusuatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidakakan mempunyai daerah di dalamlingkungannyayang bersifat steafjuga. Hal iniberarti kendatipun makna otonomi daerah

pada dasamya adalah kemandirian akan tetapiprinsip negara kesatuan harus dikedepankan.Otonomi daerah harus tunduk pada prinsip-prinsip kesatuan yang melegalisasi otoritaspemerintahan tertinggi pada pemerintah pusatdan daerah menjadi kawasan administratifdalam arti kewenangannya tidak bolehbertentangan dengan kewenangan Pusat.

Ketentuan sebagaimana disebut di atasberlaku selama 55 tahun, yaitu sejakdiberlakukannya UUD 1945 tanggal 18Agustus 2000 saat ketentuan tersebutdiamandemen oleh MPR. Amandemen Pasal18 UUD 1945 yang dilakukan tahun 2000membawa perubahan signifikan terhadaptatanan -njan berarti pemaknaan terhadapotonomi daerah. Perubahan tersebut bahkanmendeskripsikan pada segi-segi yang dapatdikualifikasikan teknis. Pasal 18 yangmenekankan pada prinsip eenheidsstaatberhadapan dengan otonomi daerah padaPasal 18 di atas dihapus dan diganti denganketentuan sebagai berikut:1. Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi,daerah kabupaten dandaerah provinsi itudibagi ataskabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itumempunyai pemerintahan daerah, yangdiatur di dalam Undang Undang.

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerahkabupaten dan kota mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahanmenurut asas otonomi dan tugaspembantuan.

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerahkabupaten dan kota memiliki DewanPerwakilan rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalul pemilihanumum.

Page 8: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahandaerah provinsi, kabupatendan kotadipilihsecara demokratis.

5. Pemerintahan daerah menjalankanotonomi seluas-luasnya, kecuali urusanpemerintahan yang oleh Undang Undangditentukan sebagai urusan pemerintahpusat.

6. Pemerintahan DaerahberhakmenetapkanPeraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakanotonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyeienggaraanpemerintahan daerah diatur dalamUndang-Undang.

Hubungan antara Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah sebagai refieksi otonomidaerah diatur dalam Pasal 18Ayaitu;

1. Hubungan wewenang antara pemerintahpusat dan pemerintah daerah provinsi,kabupaten dan kota atau antara provinsidan kabupaten dan kota, diatur denganundang-undang dengan memperhatikankekhususan dan keragaman daerah.

2.. Hubungan keuangan, pelayanan umum,pemanfaatan sumber daya alam dansumber daya lainnya antara pemerintahpusat dan pemerintahan daerah diatur

•dan dilaksanakan secara adil dan selaras

berdasarkan undang-undang.

Pemaknaan terhadap otonomi dl atasdapat disebut sebagai "standar", sementaraada otonomi yang sifatnya khusussebagaimana diatur di dalam Pasal 18B yangmenyatakan:1. Negara mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan daerahyangbersifatkhusus atau bersifatistimewa yang

diatur dengan Undang -Undang.2. Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukumadat beserta hak-hak tradisionalnyasepanjang masih hidup dansesuaidenganperkembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Rl yang diatur dalamUndang-Undang.Sesuai dengan hirarkhi peraturan

pemndang-undangan (vide Tap No: lll/MPR/2000) dasar hukum yang harus dijadikansebagai pijakan dalam pelaksanaan otonomidaerah adalah Tap No: IV/MPR/2000 tentangRekomendasi Kebijakan dalamPenyeienggaraan Otonomi Daerah.Kendatipun dldalam Tap tentang GBHN jugadisebut adanya pembangunan daerah akantetapi untiik GBHN dipandang sebagaipetunjuk teknis bagi presiden selaku KepalaPemerintahan. Untuk dasar pijakan dalampeiaksanannya, Tap No: IV kiranya harusdijadikan sebagai penjabaran daii ketentuanPasal 18 UUD 1945.

Keluamya Tap inl didasari atas penilaianterhadap penyeienggaraan otonomi daerahyang selama ini belum dilaksanakan secarabalk dalam arti belum diberdayakan di atasprinsip keadilan dan perimbangan yangbenardalam masalah keuangan. P'enangananotonomi daerah dinilai telah gagal denganimplikasi timbulnya ketidakpuasan danketersinggungan rasa keadilan sepertitercermin dalam tuntutan untuk memisahkan

diri serta tuntutan agar otonomi daerahdilaksanakan secara benar.

TItik berat kebijakan otonomi daerah itudilaksanakan untuk sasaran tertentu yaitu:1. peningkatan pelayanan pubiik dan

pengembangan kreativitas masyarakatserta aparatur pemerintahan dl daerah.

8 JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL. 10. JANUARI2003: 1 • 15

Page 9: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

M-

Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

2. Kesetaraan hubungan antara pemerintahpusat dengan pemerintah daerah danantar pemerintah daerah dalamkewenangan dan keuangan.

3. Untuk menjamin peningkatan rasakebangsaan, demokrasi dan kesejahteaanmasyarakat di daerah.

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagikemandirian daerah.

Ketetapan ini dapat disebut sebagaibagian tak terpisahkan sekaligus sebagaipenjelas pada level kebijakan dasarterhadapTap No: XV/MPR/1998 tentangPenyelenggaraan Otonomi Daerah,Pengaturan, Pembaglan dan PemanfaatanSumber Daya Naslonal yang Berkeadilan sertaPerimbangan Keuangan Pusat dan Daerahdalam Kerangka Negara Kesatuan RepublkikIndonesia. Ketetapan ini tetap dijadikansebagai acuan dasar dan menjadl bagian integral dari pelaksanaan administrasipemerintahan dan masalah lain yang berkaiterat dengan pemberdayaan masyarakat sertapotensi yang ada dl daerah.

Tataran yuridis berikutnya setelah TapMPR adalah Undang Undang. Pada level ini,yang menjadi acuan adalah UU No. 22 Tahun1999 sebagai pengganti dari UU No. 5 Tahun1974. UU Ini adalah sebagai UU Organik dariketentuan yang disebutkan di dalam UUD1945 tentang Pemerintahan Daerah. UU Inimemberikan proteksi terhadap pelaksanaanotonomi daerah berdasarkan prinsip-prinsipyang dinilai benar berdasarkan ketentuan di

dalam Undang-Undang Dasar 1945.Pelaksanaan UU itu ditunjang pula olehperangkat UU lain seperti PerimbanganKeuangan antara Pusat dan Daerah, UUtentang Pemberantasan KKN, yangkesemuanya bertujuan untuk lebihmemberdayakan potensi yang ada di daerah.Pada tataran setelah Undang-Undang adalamPeraturan Pemerintah sebagai pelaksanaanUndang-Undang. Peraturan Pemerintah (PP)dimaksud adalah PP No. 25 Tahun 2000tanggal 6 Mel 2000 tentang KewenanganPemerintah dan Kewenangan Provinsisebagai Daerah Otonom.

Di dalam ketentuan Ini barulah adaketentuan yang mengatur masalah yangberhubungan dengan lingkungan hidupsecara lebih terinci. Permasalahan inidijadikan sebagai salah satu bidang darikewenangan Pemerintah Pusat sekaliguskewenangan Daerah (provinsi) dalam bidangyang sama. Kewenangan yang dijabarkansecara teknis di dalam PP ini berarti pulaketentuan yang ada di dalam UU telahdiaplika'sikan dalam bentuk peraturanperundangan lebih bawah sesuai denganprinsip peraturan perundangan yang bertataumtan dan berkelanjutan.®

Menurut Pasal 2 PP No. 15 Tahun 2000ini kewenangan pemerintah Pusat yangmerepresentasikan kewenangan NegaraKesatuan mencakup kewenangan dalambidang politik luar negeri, pertahanankeamanan, peradilan, moneter dan fiskal.

lihat Hans Kelsen, General Theory ofLaw and State (New York: Russel and Russe), 1954). Buku inimendeskripsikan tataran nonma-norma di dalam hukum berdasarkan prinsip piramida mulai dari grundnomi,norm sampai pada aturan teknis. Tataran ncrmatif ini dijadikan sebagai dasar di dalam penyusunan produkhukum khususnya dalam hal hirarkhi peraturan perundang-undangan. Lihat pula Padmo Wahjono.

Page 10: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

agama serta kewenangan bidang lain, in!adalahkewenangan dasar yang merefleksikanotoritas pemerintah pusatatas wllayah negarasebagai penjabaran dari ketentuan yang adadi atasnya, Begitu puia ketentuan yangdijabarkan, yaitu di datam UU jugamerefleksikan prinsip yang sama yaituketentuan yang lebih tinggi. Kewenanganbidang lain itu meliputi berbagai kebijakanyang bersifat nasional yang terinci di dalam25 (duapuluh lima) bidang.

Berdasarkan prinsip otonomi yangbermakna kemandlrian, kewenangan yangtidak disebutkan, baik kewenangan Pusatmaupun provinsi itu merupakan kewenanganKabupaten/Kota. Hakekat dari kewenanganKabupaten/ Kota adalah resldu darikewenangan yang dimiliki oleh Pusat danProvinsi. Rincian dari residu dimaksudditetapkan berdasarkan Peraturan Daerahdengan ketentuan dan prinsip-prinsip yangharus dipegang di dalam hirarkhi peraturanperundang-undangan. Di antara yangterpenting adalah bahwa peraturan yang adadibawah ti'dak boleh bertentangan denganperaturan perundangan tingkat atasnya.Bahkan peraturan perundangan yang dibawah harus merupakan jabaran dariperaturan perundangan di tingkat atasnya.®

Mencermati pada kewenangan yangmenjadi dasar kineija dari Pusat dan Provinsi

dalam otonomi daerah pada masalah-masalahlingkungan hidup misalnya, sebagaimanadisebut di atas tentu menimbulkan berbagaimasalah yang berfokus padaseal"penafsiran"atas kewenangan yang diatur. Praktiknya,kewenangan tersebut lebih sering dipandangdari sudut ekonomis. Ketika suatu urusanberkenaan dengan masalah lingkungan hidupmenguntungkan dari sisi ekonomi, akanmenjadi semacam perebutan kewenanganatas objeknya baik oleh Pusat, Provinsimaupun Kabupaten/Kota. Bahkan jugamasyarakat yang merasa paling berhak atasobjek yang akan membawa pengaruhterhadap kualitas lingkungan hidup tersebut.

Tarik ulur dari saling merasa memiliki danmerasa paling berwenang mengatur itumisalnya teijadi dalam masalah kehutanan diKalimantan Selatan pada kasus yang dikenaldengan Tukar Guling Pegunungan Meratus.Tarik ulur atas tukar guling, sebagai refieksidari eksploitasi hutan secaraterbatas oleh PIKODECO —yang dikompensasikan denganpemberian lahan di lokasi lain, menimbulkanpermasalahan khususnya soal kewenangan.Pemerintah provinsi merasa paling berwenangkarena hutan pegunungan Meratus itumembentang lintas Kabupaten. Mulai dari HuluSungai Utara, Hulu Sungai Tengah sampaike Hulu Sungai Selatan. Kabupaten yangdisebut-sebut itu pun merasa punya

®Asas lexposferiorberbunyi: lexposteriorderogatlegiprioriartinya bahwa ketentuan yang lebih rendahhams tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi tingkatannya. Prinsip ini diatur didalam Tap No; XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR tentang SumberTertib Hukum dan Tata UmtanPeraturan Perundangan Rl. Kendatipun sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Tap No: lll/MPR/2000 bukanberarti bahwa asas in! tidak berlaku. Sebab hakekatnya penuangan asas hukum di dalam peraturan pemndang-undangan hanya sebagai refieksi dari penguatan asas dalam tataran konkrel. Lihat Sudikno Mertokusumo,Penemuan Hukum (Yogyakarta. Liberty, 1996), him. 7menekankan bahwa asas hukum itu ada yang dimasukkardalam Undang Undang tetapl ada puia yang tidak sehingga menjadi asas hukum yang bersifat umum.

10 JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 - It

ff-

Page 11: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsu! Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

wewenang dan hak atas hutan yang ada diwilayahnya.

Pada sisi lain, masyarakat yang populardisebut Suku Dayak Meratus jugamerasapaling berhak atas tanah yang ditempati denganklaim yang bersifat religius, serla argumentasisosiokultural lainnya. Masyarakat setempatyang dimotori oleh puluhan LSM tidakmenginginkan, bahkan minta agar TukarGuling itu dibatalkan dan tIdak inginmenyaksikan hutannya digunduli. Merekamelakukan tindakan demonstratif, bahkandengan ancamanJ" Pusat melalui kebijakannasional sebagaimana digariskan oleh MenteriKehutanan jugamengatur masalah yangsama.

Masih banyak cdntoh lain yang jugamuncul ke permukaan di berbagai wilayahsehubungan dengan kewenangan antaraPusat dan Daerah. Kecenderunganmunculnya permasalahan Itu adalahpengelolaan sumber daya alam yangmenghasilkan pemasukan atau uang. Namunjika kewenangan itu sifatnya "kering", justru balkPusat maupun Daerah cenderung salingmelempar dan mengelak dari tanggungjawab.Pusat menyatakan itu kewenangan Daerah,sementara Daerah menyatakan itua dalah

kewenangan Pusat^'Secara normatif, manakaia muncul

pergesekan kepentingan maka konstruksiyuridis yang sebenarnya menjadi tumpuanpenyelesaian itu hanya diposisikan secararetorika. Kendatlpun secarayuridis nampak takada pertentangan kepentingan namun riilnyapertentangan itu ada, balk kewenangan dariPusat, Provinsi bahkan juga Kabupaten/Kotadan masyarakat sebagai kelompok sosial.Semua elemen itu mendasarkan dirl padaperspektif otonomi. Masalahnya adalahbagaimana menyelesaikan munculnyaperbedaan persepsi tentang kewenangantersebut atas prinsip-prinsip otonomi dengantetap berada pada koridor Negara KesatuanRl. Bukan mustahil, pemerintah Pusatmenyatakan bahwa itu kewenangannyasementara provinsi berdallh bahwa itu adalahkewenangan provinsi demikian pulapemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakatsetempat yang secara kebetulanbersinggungan langsung dengan objeklingkungan.

Kalau tidak dapatdipertemukan solusinyamaka harus kembali pada institusi pengujianyaitu harus dilakukan berdasarkan prinsip

^"^Ancaman itu ditujukan kepada siapa saja yang melakukan eksploitasi di Pegunungan Meratus bahwajiwanya terancam, dan masyarakat di sanaakan membela hutan tempat mereka hidup Itu sampai titik darahpenghablsan. Ancaman itu nampaknya membuat Gubemur gentar dan menyatakan bahwa selama inl hanyaterjadi kesalahan infbrmasi. Padahal sebelumnya Gubemur dengan keras menyatakan bahwa tukar guling itutetap akan ditlndaklanjuti sesuai dengan proses formal yang telah dilalul, sebagaimana lazimnya kebijakandaerah.

^^Kewenangan dalam bidang sosial, misalnya. Dalam beberapa kasus kecenderungan seperti itumengemuka —tetapi jugaadasisi positifhya, jika menyentuh sisi yang bersifat kemanusiaan, PusatdanDaerahjustru menunjukkan simpati, melepaskan soal kewenangan dengan kebijakan saling membantu balk Pusatmaupun Daerah.

11

Page 12: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

pengujian secara materiil (toetsingsrecht).Namun pelembagaan dari pengujian secaramateriil in! masih belum memperoleh bentukyang memuaskan/^ Akibatnya terhadapperaturan perundang-undangan yang terbit,kendatipun dimaksudkan sebagai pelaksanaandari peraturan yang ada di atas tidak mustahilsebenarnya justru bertentangan. Hanyamekanisme untuk itu yang perlu dijernihkansehingga bersifat operasional.

Kalau di dalam praktik selama in!pengambilan kebijakan itu lebih bersifat trialand errorkiranya di masa yang akan datangtidak teijadi hal demikian. Sinkronisasi, danbukan sekadar konsultasi pada forum yangsejajar kiranya menjadi sarana yang balk untukhal tersebut. Tidak perlu dan tidak harusdengan'cara yang ekstrem seperti ancamanmemisahkan diri, menuntut prosentasepembagian tertentu yang tak sesuai denganaturan. Justru dengan mengefektifkan forumsinkronisasi tersebutsegala sesuatunya dapatdiselesaikan dengan tidak menimbulkandampak masalah berikutnya.

Demikian pula ketika muncui adanyaperbedaan persepsi terhadap sebuahperaturan kiranya diselesaikan berdasar

mekanisme yang ada. Dalam ha! ini,Mahkamah Agung mempunyai kewenanganuntuk melakukan uji materiil {judicial review)sesuai dengan ketentuan yang ada.'^Ketentuan ini mengakhiri kontroversi panjangtentang tidak dapatberfungsinya lembaga HakUji Materiil (HUM) yang menyebabkanberedardan beriakunyaperaturanperundang-undangan yang sebenarnya bertentangandengan peraturan yang ada diatas,sementarahukum tak berdaya menyelesaikannya.Ketakberdayaan disebabkan oleh adanyaketentuan yang mengandung contradictio inconcepto.^* Kenyataan ini berlangsungsedemikian lama sehingga di dalam kineijalembaga peradilan hanya satu kali perkarayang diajukan dengan mengacu padaketentuan tersebut. Selebihnya banyak perkarayang kandas ketika masih berada padaprosesdalam arti pemeriksaan belum menyentuhpokok perkara.

Dengan ketentuan di dalam Tap No; ill/MPR/2000, sekurangnya ada harapan barukendatipun harapan itu kecil untuk dapattegaknya supremasi hukum dalam peraturanperundang-undangan. Dengan ketentuantersebut, ke depan diharapkan makin banyak

^^Uhat: Samsul Wahidin, Hak UjiMateriil diIndonesia {Ja^^aria: Cendana Press, 1984) yang menganailsiskinerja Hak Uji Materiil berdasarkan perkara yang ditangani oleh Pengadilan. Sejak diatumya masalah Itu didalam UU No. 14Tahun 1970 sampai tahun 83-an tidak ada satu perkara pun yang ditangani pengadilan berkaitdengan pelaksanaan Hak Uji Materiil tersebut.

"Berdasar ketentuan di daiam Tap No: lil/MPR/2000 Mahkamah Agung secara aktif dapat melakukan ujimateriil tehadap produk hukum di bawah Undang Undang dengan konsekuensi peraturan peundangan yangdinyatakan bertentangan dengan peraturan di atasnya langsung tidak beriaku. Tidak harus menunggu pencabutandari instansi pembuat produk hukum tersebut.

"Ketentuan Pasal 26UU No. 14Tahun 1970 yang mengharuskan pengujian melalul Kasasi menimbulkanpermasalahan karena Kasasi harus melalul judexfactie. Lalu apa yang harus diputus oleh/udexfecf/ejlka padaakhimya yang berharga adalah keputusan kasasi? Sementara itu kalau langsung Kasasi, bukankah untuksampai ke sanaharus melalui pemeriksaan judexfacile?

12 JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 -15

Page 13: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

masyarakat yang dapat menyalurkan rasaketidakadilan akibat dikeluarkannya kebijakandi dalam peraturan perundang-undangankhususnya pada level di bawah UndangUndang. Hal itu secara langsung akan menjadisumbangan berharga bag! tegaknyasupremasi hukum terutama pada levelinstrumen yaltu peraturan perundang-undangan. Tentu akan menjadi pelajaranbertiarga bagi para pencetus kebijakan.

Masalahnya dalam soal operasionalisasikewenangan ini, sering muncul perbedaantafsirantara (aparat) Pusatdan(aparat) daerahyang didasari oleh kepentingan serta orientasiyang masing-masing merasa benar. Apa lag!menyangkut permasalahan yangsarat dengankepentingan politik dan.ekonomi. Paradlgmayang seharusnya dikedepankan atas dasarkoordinatif sering berubah menjadi instruktif.Sementara instniksi yang dlsampalkan (olehPusat) kepada Daerah. dalam beberapaperistiwa justru tidak dilndahkan. Hal Ini yangkemudian semakin menumbuhkan friksl danbahkan memunculkan konflik kepentingan diantara Pusat dan Daerah.

Penyelesaian yang semestinyadilakukanadalah berdasarkan hukum, khususnyaperaturan perundangan yang secarakonsisten telah dipatok untuk itu. Akan tetapidisadari bahwa hukum memang hanya salahsatu instrumen. Masih ada lagi instrumen lainbalk yang berslfat administratif maupunpendekatan yang bersifat negosiasi tetapisifatnya hanya sementara. Ke depan akanmuncul permasalahan baru kalau tIdakdidasarkan atas penyelesaian secara hukum.Hal itu disebabkan bahwa pada dasarnyapenyelesaian yang dilakukan di luar hukumcenderung temporer dan dampaknya puntidak langgeng. Belum lagi pada elemen

kepastian hukum yang menjadi taruhan —yaitu terjadinya degradasi hukum manakalapenyelesaian non hukum yang ditempuh.

Memahami mengapa hal di atas dapatterjadi karena balk didaerah maupun diPusatada lembaga yang secara langsung jugamenangani permasalahan yang sejatinyasama. Sementara di Daerah pun ada lembagayang sejenis yang juga merasa punyakewenangan dalam masalah yang sama.Sebagai contoh, di dalam bidang lingkunganhidup, misalnya. Ada Bapedalda, balk ditingkat provinsi maupun Kota/Kabupaten, disamping lembaga lain yang secara strukturanimenangani permasalahan lingkungan. Belumlagi elemen dalam masyarakat yang diwakilioleh LSM dalam jumlah yang banyak danberagam. Dalam kaitan ini sangatdiperlukanadanya penanganan secara lebih terpadudalam arti setiap tindakan yang akanmempergunakan dasar-dasar kebijakanlingkungan, demikian pula untuk penggarisankebijakan pada level darah senantiasamempertiatikan hirarkhi peraturan perundangansecara konsisten dan konsekuen.

Sejatinya, yang menjadi kata kunciterhadap keberhasilan pelaksanaan danpenegakan hukum adalah konsistensi.Konsistensi ini harus menjadi komitmenaparat pelaksana mulal dari tingkat Pusatsampai ke Daerah tanpa kecuali. Secara lebihterperinci, konsistensi dimaksud meliputikonsistensi dalam hal tindakan praktis atauimplementasi dan penggarisan kebijakan.Kedua hal ini kiranya sangat penting dalamhal menciptakan sinkronisasi penangananpermasalahan lingkungan hidup, khususnyaantara Pusat dan Daerah.

Dalam hal tindakan, upaya yang seringkalidisebut sebagai terobosan kiranya tidak

13

Page 14: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

dilakukan. Hams senantiasa konsisten padaperaturan yang dibuat kendatipun hal itukemungkinan membawa kerugian materi.Namun hamssenantiasadiingat bahwakemgianlebih besar di kemudian hari, jika sebuahterobosan dilakukan akan terjadi serta hamsdibayar dengan biaya lebih mahal. Bukanhanya kemglan materi yang lebih besar akantetapijuga terdegradasinya tingkat kepercayaanterhadap hukum oleh masyarakat. Padahaltingkat kepercayaan ini adalah asset takternilai mahal serta besarnya dari kinerjapenegakan hukum di masyarakat.

Penggarisan kebijakan tersebut,khususnya di daerah hams secara konsistenberpegang pada aturan yang jeias. Kejelasanini sekurangnya tidak menimbulkanbiinterpretasi (dua penafsiran), apa lagi yangbersifat poliinterpretasi (multipenafsiran)sehingga lebih mengacaukan institusi yangdengan susah payah diciptakan. Institusidimaksud, di antaranya adalahpenyempumaan terhadap hirarkhi peraturanpemndangan sebagaimana tertuang di dalamTap No: III/MPR/2000 sehingga berbagalpermasalahan yang berhubungan dengankonflik norma, kekosongan hukum dankekaburan yang terjadi sebagai akibatketakjelasan peraturan dapat dihindarkan.

Simpulan

Perspektif sinkronisasi produk hukumantara Pusat dan Daerah —apakah produkhukum (peraturan perundangan) itumengandung pertentangan (konflik) atau tidaktergantung pada berbagai komponen yang

saling terkait. Terpenting dari itu semuaadalahbagaimana law enforcement terhadapketentuan yang berhubungan denganpengujian, dapat dilaksanakan secara baik.Ada atau tidaknya peraturan yang berpotensimengandung konflik baik vertikal maupun horizontal lebih cenderung pada sikap kritiskomponen masyarakat untuk membuktlkansesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.Konsistensi terhadap penegakan hukumadalah langkah positif dalam perspektifpenegakan hukum. Prejudice terhadapketentuan hukum yang dinilai berpotensimengandung konflik, tanpa peduli dengankinerja yang seharusnya ditempuh,merupakan indikator negatif di dalampenegakan hukum. •

Daftar Pustaka

Anonim. Webster's NewCollegiate Dictionary.USA: Tp. It

Koesoemahatmadja, RDH. PengantarkeArahSistem Pemenntahan Daerah di Indo

nesia. Bandung. Binacipta, 1979

Friedrich, CJ. Man and HisGovernment New.York: Mc Graw Hill, 1976.

Riggs, Fred.W. Administrasi Pemerintahan(tetjemahan). Jakarta. Rajawali Press,1993.

Atmosudirdjo, Prajudi. Hukum AdministrasiNegara. Bandung. Alumni, 1978.

Hadjon, Philipus M. Pengantar HukumAdministrasi, Yogyakarta. GajahmadaUniversity Press, 1995.

Pot, CW Van der. Handboek van NederlansStaatsrecht. 1953.

14 JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 - 15

Page 15: Menguji Konflik Peraturan Perundang-undanganPusat dan Daerah

Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

Sjarief, Saleh. Otonomi dan Daerah Otonom..Jakarta: Pustaka, 1953.

Istanto, Sugeng. Beberapa Segi HubunganPemerintah Pusat dan Daerah dalam

Negara Kesatuan Indonesia. Yogyakarta:Karyaputra, 1971.

Larenz, Karl. Methodenlehre derRechtswissenschaft. Berlin: SpringerVerlag, 1983.

Lubis, M. Solly. Pergeseran Garis Polltik danPerundang Undangan Mengenai

Pemerintahan Daerah. Bandung: Alumni,1975.

Viarda, GJ. Drie Typen van Rechtsvlnding.Tjeenk Willink-Zwole, 1980.

Koesoemahatmadja, Djenal HosenPemerintahan Lokal. Bandung: Alumni,1983.

Rentier, J.A. Rechtsvlnding. Nijmegen: ArsAequi Libri, 1988.

^ C)

15