42
MODEL PENGEMBANGAN SAGU DI PAPUA Yan Pieter Karafir Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua ABSTRAC Models of Sagu Production in Papua Indonesia has the largest sago area in the world. Sago areas consist of Natural sago forest an semi cultivated ones. Papua, (the Indonesian part of the Island New Guinea) is dominant sago forest region in Indonesia. Three types of sago production has been identified in Papua, Traditional micro system, improved micro system and macro, forest concession system. The fourth system which, was recently proposed is the sago plantation, by transform sago forest into sago plantation. Protection of germplasm, and research should accompany those development activities Pendahuluan Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Michiel Flach, salah satu pakar tentang tanaman sagu di dunia yang berasal dari Negeri Belanda, Indonesia memiliki luas areal sagu terluas di dunia. Dalam bukunya berjudul Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb, yang diterbitkan tahun 1997 oleh Plant Resources Institute di Roma, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini, dari luasan yang ada di

Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

MODEL PENGEMBANGAN SAGU DI PAPUA

Yan Pieter Karafir

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua

ABSTRAC

Models of Sagu Production in Papua

Indonesia has the largest sago area in the world. Sago areas consist of Natural sago forest

an semi cultivated ones. Papua, (the Indonesian part of the Island New Guinea) is dominant sago

forest region in Indonesia. Three types of sago production has been identified in Papua,

Traditional micro system, improved micro system and macro, forest concession system. The

fourth system which, was recently proposed is the sago plantation, by transform sago forest into

sago plantation. Protection of germplasm, and research should accompany those development

activities

Pendahuluan

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Michiel Flach, salah satu pakar tentang

tanaman sagu di dunia yang berasal dari Negeri Belanda, Indonesia memiliki luas areal sagu

terluas di dunia. Dalam bukunya berjudul Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb, yang diterbitkan

tahun 1997 oleh Plant Resources Institute di Roma, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1

dibawah ini, dari luasan yang ada di Indonesia sebagian besar adalah hutan sagu yang terdapat

di Tanah Papua.

Tabel 1. Luas Areal Tanaman Sagu (Metroxylon Sagu Rottb) Di Dunia dan Di Indonesia

Kawasan Hutan Sagu

(Ha)

Sagu Semi budidaya

(Ha)

Persen dari luasan

dunia

Dunia 2.250.000.- 224.000.- 100

Indonesia

- Papua

- Maluku

1.250.000.-

1.200.000.-

-

148.000.-

14.000.-

50.000.-

56.5

49

2.02

Malaysia - 45.000.- 1.81

Sumber : Flach, M (1997)

Page 2: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Perbandingan areal sagu yang dibudidayakan atau semi budidaya dengan hutan sagu,

ternyata areal hutan sagu jauh lebih luas. Kiranya hal ini yang perlu menjadi perhatian dalam

upaya pengembangan sagu di Papua.

Meskipun Indonesia memiliki areal sagu terluas di dunia, upaya-upaya untuk

pengembangan sagu, lebih khusus lagi penelitian-penelitian untuk pengembangan sagu boleh

dikatakan tertinggal, dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia. Hal ini terlihat dari hasil-hasil

penelitian mereka yang dipresentasikan dalam Simposium Sagu Internasional ke delapan, yang

diselenggarakan di Jayapura. Memang penelitian terhadap sagu selama ini lebih banyak pada

perannya sebagai bahan makanan pokok sebagian kecil masyarakat Indonesia, terutama yang

ada di Kawasan Timur Indonesia. Dalam kondisi seperti itu perhatian terhadap sagu kalah

dibandingkan dengan perhatian terhadap padi, karena beras merupakan makanan pokok

sebagian besar masyarakat Indonesia.

Perhatian terhadap sagu kiranya sudah mulai berubah. Hal ini dapat disimak dari artikel

yang ditulis Tek-Ann Chew et al, 2003 berjudul “Estimaty Enviromental Benefits of Sago

Cultiration”, yang saya kutip secara utuh dari Internet sebagai berikut :

…..Lactic acid and ethanol fermentation from sago : a new bussines concept. Sago plant fixing

carbondioxide photosyntetically and converting it to carbohydrate. In us, toxic gasoline additive methyl tet-

ester (MBTE) was found to leak from storage tank and cause ground water pollution. As Such, ethanol has

been viewed as the only substitute for MBTE and its production from corn starch is increasing rapidly. We

reckon that the sago starch is a more competitive raw material than cornstarch for ethanol production.

Environmental pollution proccess a great threat to the healthy living of human being and other wild like in

the ecosystem. Petroleum based plastics are non biodegradable and have caused significant

environmental pollution to reduce the use or petroleum based plastics, bio degradable plastics may

provide a solution. Poly Lactic Acid (PLA) which can be synthesized in to bio degradable plastics may

provide an alternative to several commonly used house hold / disposable plastics. However the current

PLA supply is low and the price hight as compared to petroleum based plastics. Nonetheless, the cost of

PLA maybe significantly reduced if a cheaper raw material coupled with a more efficient system of lactic

acid fermentation can be found. Again we see the potential of sago starch as a cheaper raw material and

the following continuous lactic acid fermentation system to revolutionize the traditional lactic production…

Dapat dikatakan bahwa dari hasil-hasil penelitian di negara lain, tanaman sagu dan

produksinya telah diangkat ke tahap industrialisasi dan produksi massal, sekaligus menawarkan

salah satu pemecahan terhadap pembagunan berwawasan lingkungan. Adalah sangat tidak

bijaksana, apabila kita sebagai insan Indonesia yang sesungguhnya dikarunai potensi sagu

terbesar secara alami, bila tidak dengan cepat bertindak meraih peluang itu.

2

Page 3: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Pelestarian Dan Perlindungan Kekayaan Jenis

Menurut peta penyebaran sagu, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Palm Sago,

A Tropical Starch from Marginal lands yang ditulis oleh Ruddle, K. et al tahun 1978, genus sagu

Metroxylon umumnya menyebar di Indonesia, Malaysia, Mindanao (Filipina), dan Papua New

Guinea. Namun di Indonesia diketahui, bahwa tanaman sagu di kebanyakan daerah, telah tinggal

sejarahnya saja, kalah dan tergusur oleh tanaman padi. Di Papua, yang merupakan daerah

dengan hutan sagu terluas di Indonesia gejala ancaman terhadap tergusurnya hutan sagu saja

tampak dengan jelas. Pembukaan tanah dalam pelaksanaan program transmigrasi telah

menghilangkan banyak areal sagu dan digantikan dengan tanaman padi. Dalam pengembangan

kota dan pemukiman penduduk, nasib yang sama dialami oleh areal-areal tanaman sagu di

sekitarnya.

Foto : H. Matanubun

3

Areal Sagu Di Sentani Tengah Kabupaten Jayapura Yang Terancam Pengembangan Kota

Kampus Universitas Negeri Pattimura di Poka Ambon, dibangun di atas areal sagu

Areal Sagu Di Sentani Tengah Kabupaten Jayapura Yang Terancam Pengembangan Kota

Page 4: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Foto : Y.P. Karafir

Foto : Y.P. Karafir

Sehubungan dengan adanya ancaman tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura

Provinsi Papua telah membuat Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian

Kawasan Hutan Sagu. Walaupun konsep PERDA tersebut belum diajukan ke DPRD untuk

mendapat persetujuan dan penetapan telah disosialisasikan kepada tokoh-tokoh adat setempat,

namun belum semua orang mengetahui mengenai hal itu. Itulah sebabnya telah dilakukan

sosialisasi ulang setelah penetapan menjadi PERDA. Disamping itu kepentingan anggota-

anggota masyarakat adat yang beraneka ragam, membuat pengawasannya menjadi sulit dan

sering terjadi penjualan areal-areal sagu oleh perorangan kepada pihak lain. Selain itu,

kabupaten-kabupaten dan kota yang lain di Tanah Papua, khususnya yang memiliki areal hutan

sagu yang luas tidak ada yang ikut membuat PERDA sejenis.

Mengenai pengenalan jenis, para peneliti tidak perlu mulai dari nol, karena masyarakat di

daerah-daerah sagu telah melakukannya dengan sangat baik. Diperlukan pengetahuan Etno

Botani untuk mengungkapkan hal itu dari masyarakat. Dalam suatu penelitian yang dilakukan

dalam rangka kerjasama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan

Pusat Studi Lingkungan Hidup UNCEN tahun 1986 di Kawasan Danau Sentani Kabupaten

Jayapura, telah diungkapkan di daerah ini sekitar 27 jenis pohon sagu terdiri dari 15 jenis yang

tidak berduri dan 12 jenis berduri, informasi yang diperoleh dari masyarakat lengkap dengan

potensi pati ciri-ciri botanisnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Itulah sebabnya

4

Bekas areal sagu yang telah menjadi sawah di Besum, Kabupaten Jayapura

Page 5: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

kawasan sagu ini, terutama yang terletak di Sentani Tengah kini banyak dikunjungi para peneliti

dari Jepang dan Malaysia. Analisis jenis di daerah-daerah sagu yang lain di Tanah Papua belum

banyak dilakukan.

Tabel 2. Daftar Nama Jenis Sagu yang Terdapat dan Tumbuh di Sekitar Danau

Sentani (dalam bahasa setempat)

No. Nama B TD M TM Produksi (Tumang)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

Yamaha I

Yamaha II

Para Yamaha

Hurena I

Hurena II

Ronde

Munggin

Pui

Isah

Eubesum

Duruna

Jepha

Otokulu

Follo

Ouw

Pane

Wani

Ninggih

Fernali

Hopolo

Jache

Hili

Dena

Wabi I

Wabi II

Yakalope

Yokulem

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

40-50

30

30-40

10

20

10

15

20

-

15-20

20-30

20-30

20-30

20-30

10-15

20-30

15-20

20-25

10-15

25-30

30-40

5-8

20

6

4

15-20

-

5

Page 6: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Sumber : Tim PSL – UNCEN, 1986. Pengembangan Ekosistem Hutan Sagu di Daerah Sentani Jayapura, Irian Jaya, Hal IV-15Keterangan :

B = Berduri M = Dimakan

TB = Tidak berduri TM = Tidak Dimakan

1 Tumang = ± 10-15 Kg.

Mengenai luas yang sebenarnya masih merupakan taksiran kasar dengan angka yang

sangat bervariasi. Taksiran kasar dari Flach (1997) menghasilkan hasil seperti disajikan dalam

Tabel berikut:

Tabel 3. Taksiran Kasar Areal dimana terdapat areal sagu bermutu tinggi di Papua

menurut Flach (1997).

Daerah Hutan Sagu (Ha) Semi Budidaya (Ha)

Bintuni 300.000.- 2.000.-

Dataran Danau-Danau 400.000.- -

Wilayah Selatan 350.000.- 2.000.-

Daerah Lain 150.000.- 10.000.-

Total 1.200.000.- 14.000.-

Penafsiran yang menurut penulis lebih mendekati kenyataan, pernah dilakukan dalam

rangka Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Darat oleh Badan

Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Dalam pengecekan kondisi di

darat dalam mencocokkan hasilnya dengan Universitas Cenderawasih khusunya Fakultas

Pertanian yang ada di Manokwari (kini sudah menjadi UNIPA). Hasil penelitian tersebut

menghasilkan data areal sagu di Papua seperti yang dikutip dari tulisan Hubertus Matanubun

dan Leo Martubongs dari Pusat Studi Ubi-Ubian dan Sagu UNIPA dan telah dipresentasikan

dalam Simposium International Sagu tahun 2005 yang lalu di Jayapura, disajikan dalam Tabel 4

berikut:

Tabel 4. Luas Sagu (Ha) pada beberapa daerah di Papua dihimpun dari Peta

Tematik BAKOSURTANAL.

No. Daerah Luas (Ha) Terdiri dari Keterangan

1. Inanwatan 579.261 489.192 Sq

9.450. Sq. H

Sq = Sagu semata

H = Hutan

6

Page 7: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

80.619. H. Sq R = Rumput/alang-alang

Sq : 100% sagu

SqH : 50%-80% sagu

H.Sq: < 50% sagu

R.Sq : < 50% sagu

2. Agats (Mimika) 493.105 7.750 Sq

49.568 Sq.H

2.912 R.Sq

3. Bintuni 86.237 79.637. Sq

6.606 Sq.h

4. Mamberamo 21.537 13.493 Sq

8.044 Sq H

5. Merauke 284.955 -

6. Pulau Salawati 6.137 -

Total 1.471.232

Ada daerah-daerah sagu yang tampaknya belum tercakup dalam data dari

BAKOSURTANAL. Seperti daerah Yapen Waropen dan daerah Kaureh di Kabupaten Jayapura.

Ada daerah yang arealnya sempit tetapi bagi penduduk setempat sangat penting sebagai

lumbung pangan penduduk setempat, yakni Sentani Tengah dan Bukisi di Kabupaten Jayapura,

areal sekitar Sungai Wosimi di Kabupaten Teluk Wondama dan Dusun Sagu di Kampung Opiaref

di Pulau Biak.

Penelitian Tentang Sagu

Bila ditelusuri bahan-bahan pustaka, terbitan orang Indonesia tentang Tanaman Sagu dan

produk-produknya dibandingkan dengan tulisan dari orang-orang bangsa lain, sebagaimana telah

dikatakan di atas, masih sangat sedikit. Hasil penelitian tentang Tanaman Sagu juga sangat

sedikit. Aspek yang diteliti juga masih terbatas pada eksplorasi jenis dan ekologi tanaman serta

teknik produksi tradisional dan aspek teknologi pangan.

Lembaga yang terlibat dalam penelitian sagu terutama Departemen Kehutanan, khususnya

Balai Penelitian Kehutanan dan Badan Pusat Pengkajian Teknologi (BPPT) dan terakhir Litbang

Pertanian, khususnya Balai Penelitian Tanaman Pangan yang ada di Papua. Hasil penelitian dari

para pakar di ketiga lembaga ini yang banyak menghasilkan tulisan-tulisan tentang sagu di

Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan yang berlokasi di Manokwari Provinsi Papua Barat telah

memasukkan penelitian sebagai salah satu program utamanya. Namun demikian, sangat sering

dilakukan mutasi sehingga peneliti yang berniat meneliti sagu ikut termutasi sehingga program-

program penelitian mereka juga menurun intensitasnya, hal yang sama dialami oleh Balai

Penelitian Tanaman Pangan di Jayapura. Di Universitas Cenderawasih, khususnya Fakultas

Pertanian telah didirikan suatu Pusat Studi yang salah satu programnya adalah Penelitian Sagu.

7

Page 8: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Pusat ini awal berdirinya tanggal 17 Februari 1988 dengan nama Pusat Studi Ubi-ubian

berdasarkan SK Rektor Universitas Cenderawasih Nomor 04/RT2L3.H/N/1988, kemudian

berganti nama menjadi Pusat Studi Ubi-ubian dan Sagu (PSUS) tanggal 1 April 1998

berdasarkan SK Rektor UNCEN Nomor 1150/PT23.H/C/1998. Ketiadaan anggaran rutin

sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan baru atas pesanan. Kini PSUS dikelola oleh

Universitas Negeri Papua (UNIPA).

Minat untuk meneliti sagu dikalangan dosen dan mahasiswa UNIPA belum banyak. Dari

skripsi mahasiswa sejak tahun1990an, banyak mahasiswa yang menulis skripsi tentang sagu dan

dari jumlah ini 13 adalah Mahasiswa bidang Kehutanan.

Upaya koleksi jenis-jenis sagu telah dilakukan oleh Badan Penelitian Tanaman Pangan di

Koya-Jayapura, yang menghimpun sekitar 61 jenis dari berbagai daerah sebaran sagu di Papua

(Adiwidjin et al, 2000). Namun keberlanjutannya mengalami nasib yang sama dengan Balai

Penelitian Kehutanan di Manokwari, yakni menurun setelah peneliti utamanya dimutasikan.

Sistem Pengelolaan Sagu di Papua

Ada dua sistem pengelolaan sagu di Papua, yaitu usaha mikro dan usaha besar. Kedua

sistem ini masing-masing dapat diperinci menjadi dua. Usaha mikro utamanya adalah cara

tradisional yang sudah berabad-abad berlaku diantara masyarakat atau komunitas pemakan

sagu. Kini telah berkembang cara usaha mikro yang dimodifikasi, yakni dengan memasukkan

teknologi baru, dan organisasi serta manajemen pemasaran yang lebih baik. Usaha makro,

umumnya perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan kini disarankan untuk

dikembangkan, yaitu mengubah hutan-hutan sagu menjadi perkebunan sagu. Keempat sistem ini

yang akan diuraikan masing-masing dalam tulisan ini selanjutnya.

1. Sistem Produksi, Distribusi Pemanfaatan Tanman Sagu Secara Tradisional

Hutan-hutan sagu bukanlah areal tidak bertujuan. Secara tradisional berlaku juga hukum

adat yang terdiri dari hak penguasaan dan hak pemanfaatan. Walaupun tidak seluruh areal

merupakan areal produksi atau areal yang secara teratur diolah, tetapi hak penguasaan tetap

ada juga pada areal yang tidak diolah, namun digunakan juga sebagai areal perburuan atau

ditebang untuk menghasilkan ulat sagu.

Di daerah-daerah sagu penduduk setempat umumnya menanam sagu pada areal yang

dekat dengan pemukiman bila ekosistemnya sesuai. Jenis-jenis yang ditanam adalah jenis yang

secara tradisional diketahui mengandung pati tinggi dan berumur agak genjah. Ada juga hutan

8

Page 9: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

sagu yang merupakan tempat mencari makan penduduk lebih dari satu kampung. Dalam hal ini

penduduk kampung-kampung tersebut telah lama hidup dalam pergaulan bersama, bahkan

berhubungan sebagai kerabat dekat sehingga diijinkan memanfaatkan areal sagu bersama.

Penduduk dari kampung-kampung yang jauh memerlukan waktu satu minggu sampai satu bulan

di areal yang disebut sebagai ‘dusun sagu’ untuk mendapatkan tepung sagu sebagai makanan

yang cukup untuk empat sampai enam bulan bahkan bisa lebih dari enam bulan.

Cara produksi tradisional sudah banyak ditulis dalam buku-buku tentang sagu (Ruddle K.

et al, 1978; Haryanto B. dan P. Pangloli, 1992). Alat pangkur tradisional menghasilkan

hancuran isi batang sagu yang masih kasar sehingga pada proses-peramasan rendemen pati

yang dihasilkan hanya 40% sampai 60% dari pati yang bias diperoleh. Di beberapa daerah

seluruh proses ini dilakukan oleh kaum perempuan misalnya di Merauke dan Mimika. Di daerah

lain seperti di Jayapura dan Waropen, serta Inanwatan, kegiatan memangkur dilakukan oleh

kaum laki-laki sedangkan proses peramasan dilakukan oleh kaum perempuan.

Sumber : Buku Palm Sago, A Tropical Starch from Marginal lands oleh Ruddle, K. et al tahun 1978

Selain tepung sagu sebagai bahan makanan, banyak bagian dari tanaman sagu yang

secara tradisional telah digunakan oleh penduduk di sekitar areal sagu. Subento J.W. (2000)

telah mengiventarisasikan hal ini dalam penelitiannya di Desa Maniwak di Kabupaten Teluk

Wondama. Hal yang sama telah dilakukan oleh Dimara P.A. (2004) di Distrik Sentani Tengah di

Kabupaten Jayapura. Selain tepung sagu, ulat sagu dan jamur sagu merupakan makanan

tambahan yang dipanen penduduk.

9

Ulat sagu sebagai hasil tambahan bahan makanan

Page 10: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)

Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)

Untuk bangunan, daun sagu dianyam menjadi atap, pelepah daun sagu digunakan sebagai

bahan dinding, dan kulit batang sagu sebagai lantai.

Foto : Y.P. Karafir

Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)

10

Jamur sagu sebagai makanan tambahan

Bangunan Sekolah Dibangun Dengan Bahan-Bahan Dari Tanaman Sagu

Rumah Penduduk di Kampung

Bahan lantai rumah dari kulit batang sagu

Page 11: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)

Secara tradisional juga sudah terjadi perdaganan secara barter dengan sagu sebagai

komoditi yang dipertukarkan. Penduduk dari pedalaman biasa menukarkan hasil kebun dengan

sagu dari penduduk di pesisir. Hal ini terjadi antara penduduk Ayamaru dengan penduduk

Teminabuan di Kabupaten Sorong Selatan. Penduduk Pulau Biak biasa berdagang barter

dengan melakukan perjalanan dengan berperahu ke daerah Pulau Yapen dan Waropen di

sebelah Selatannya dan menukar ikan asar dengan tepung sagu. Hal ini biasa dilakukan dikala

musim teduh, antara bulan April-September, sedangkan antara Oktober-April, yang dikenal

sebagai musim ombak, sering terjadi rawan pangan karena penduduk tidak melaut.

2. Model Pengembangan Dari Sistem Tradisional

Sistem kedua yang dibahas disini adalah tetap usaha mikro, tetapi dengan melakukan

modifikasi pada tindak teknologi produksi, teknis budidaya dan organisasi pemasaran. Dua kasus

yang akan diulas disini adalah program ekspor sagu dari pemda Kabupaten Jayapura.

Pada tahun 1991 Pemda Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua) mendapat bantuan

sekitar 100 unit pemangkur sagu yang dibagi ke seluruh wilayah Papua. Kabupaten Jayapura

mendapat 22 unit yang dibagikan ke daerah-daerah potensi sagu. Untuk mendayagunakan

bantuan tersebut, pada tahun 1992 dibuatlah program ekspor sagu rakyat, yang melibatkan

instansi pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat sebagai penggerak dan pelaksanaan dan

PUSKUD dan PT. Yotefa sebagai penampung dan pelaksana perdagangan. Ada sekitar tujuh

instansi yang dtugaskan dalam kegiatan ini, yakni :

1. Bappeda yang bertindak selaku koordinator, yang bertugas menghimpun

program dari tiap instansi dan mengatur pembiayaannya serta memantau kegiatan

yang dilaksanakan.

2. Bagian perekonomian sebagai wakil koordinator dan pemantau.

3. Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang bertugas memfasilitasi pembudidayaan

tanaman sagu, penyuluhan kepada kelompok tani yang menerima bantuan mesin

parut sagu, dan membentuk kelompok tani bila ada.

11

Page 12: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

4. Dinas Kehutanan bertugas untuk pendataan potensi sagu dan penelitian jenis

sagu.

5. Kantor Departemen Perdagangan bertugas mencari peluang pasar di dalam dan

di luar negeri, menerbitkan ijin ekspor, menghubungi para eksportir, mencari dan

menginformasikan harga tepung sagu di dalam dan di luar negeri, serta koordinasi

dengan PT. SUCOVINDO dalam hal persyaratan mutu.

6. Kantor Departemen Koperasi dengan tugas utama, penyuluhan untuk

meningkatkan kelembagaan, manajemen usaha dan administrasi dalam kegiatan

produksi dan pemasaran sagu. Kandep Koperasi diharapkan mempersiapkan KUD

sebagai wadah serta industri sagu (plasma). KUD diharapkan menjadi pelaksana unit

usaha processing sagu.

7. Kantor Departemen Perindustrian dengan tugas utama mengupayakan

peningkatan pengetahuan dan keterampilan perajin dalam proses pengolahan sagu

menjadi pati dengan syarat mutu yang sesuai untuk eksport, serta menerapkan sistem

pengendalian mutu terpadu kepada pengrajin dengan membentuk satuan tugas Gugus

Kendali Mutu dalam satuan produksi untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka

dalam rangka penyiapan instalansi serta industri sagu disusun program :

a. pengalokasian msien pemarut sagu

b. Pembuatan alat press smpas sagu

c. Pembuatan bak perendaman pati sagu

d. Pembuatan bak penjemuran

e. Pembuatan rumah sentra produksi dan gudang

f. Pembuatan bak perendaman batang sagu.

Selain itu disusun program pengadaan saran penunjang produksi :

a. Pengadaan genset motor tenaga penggerak

b. Pengadaan pompa air bersih’

c. Pengadaan bahan kimia untuk penjernihan/pemutihan pati sagu

d. Pengadaan drum, selang, timbangan/neraca, karung beras, dan lain

sebagainya.

Juga disusun program pelatihan tentang :

a. Proses produksi

b. Pengendalian mutu

c. Pengoperasian dan perawatan mesin/ peralatan produksi.

12

Page 13: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Ada dua perusahaan yang diminta sebagai penampung hasil yakni (1) PT. YODEFO, salah

satu anak perusahaan yang bernaung dibawah Irian Jaya Joint Development Foundation

(IJJDF)1 yang selama ini tugasnya menampung dan menawarkan biji kakao kering, kopra dan

karet rakyat, dan (2) PUSKUD Irian Jaya (kini PUSKUD PAPUA).

Dengan terbentuknya penyaluran yang baru, sistem penaungan sagu secara tradisional

seperti terlihat pada gambar 1, berubah menjadi seperti terlihat pada gambar 2.

Gambar 1. Sistem penanganan Produksi Sagu Secara Tradisional

1 3 4

Arah kegiatan fasilitator

Gambar 2. Mekanisme Baru Penanganan Sagu.

Ada perbedaan penganangan sistem pada gambar 1 dan gambar 2. Pada gambar 1, yang

dijual ke pasar lokal atau langsung kepada pedagang lokal adalah tepung sagu basah yang

diolah secara tradisional. Sedangkan pada proses di gambar 2, keterangannya adalah sebagai

berikut :

1. Petani menjual batang sagu ke KUD dengan harga sesuai dengan

kesepakatan antara KUD dan petani.

2. KUD, di Sentra produksi mengolah batangan sagu menjadi

Pati/tepung sagu sesuai prosedur dengan memperhatikan mutu ekspor dan sudah dikemas.

1 IJJDF didirikan tahun 1969 dengan dana dari Fundwi, dana PBB untuk pembangunan Irian Barat yang ketuanya dari Departemen Keuangan RI, Wakil Ketua adalah Gubernur Irian Jaya. Yayasan ini dengan semua anak perusahaannya dinyatakan bubar tahun 1996.

13

Areal Sagu Petani Konsumsi sendiri

Pasar lokal

Pedagang lokal Pasar Kabupaten

Konsumen lokal

Konsumen di Kota

Pemasaran:- Dalam

Negeri- Luar

Areal Sagu Petani

2KUD Sentra Produksi

Kandep Perind

PUSKUDPT. YODEFO

KandepKop Kandep PerdagDinas Pertanian

BappedaBag. Perekonomian

Page 14: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

3. PT. YODEFO, PUSKUD dan swasta lain, membeli tepung sagu dari

KUD, KUD dengan harga yang ditetapkan bersama.

4. PUSKUD, PT. YODEFO dan swasta lain memasarkan ke dalam atau

ke luar negeri.

Walaupun telah berhasil mengekspor sekitar 20 ton tepung sagu, tetapi sistem ini

mengalami banyak sekali kendala dan akhirnya terhenti sama sekali. Saya akan mencoba

mengulas kendala-kendala tersebut yang kiranya perlu dipertimbangkan apabila pemerintah ingin

mengembangkan produksi sagu rakyat di masa depan.

Pertama, luas areal sagu dalam hubungan dengan pilihan teknologi pengolahan.

Ternyata, mesin pemarut sagu dengan kapasitas terpasang 500 kg/jam hancuran empulur

sagu, masih terlalu besar untuk areal tanaman sagu sekitar 4.000 ha, apalagi areal tersebut

dikuasai oleh banyak yang terhimpun dalam sekitar 12 kampung. Setelah berjalan selama satu

tahunan masyarakat menghentikan karena pohon sagu tingkat masa tebang menjadi sangat

kurang dan mereka ingin mengamankan kebutuhan subsisten mereka. Selain itu mesin pemarut

cukup besar sehingga jarak KUD dan areal tebangan makin jauh dan memerlukan banyak kerja

untuk mengangkut batangan sagu ke pabrik. Sebenarnya masyarakat menginginkan mesin

pemarut yang kecil dan mudah dibawa (portable) (lihat foto). Tampaknya ada anggota

masyarakat yang memakai mesin parut kelapa dengan memodifikasi gigi parutannya.

Kedua, Pengaruh terhadap pembagian kerja antar pria dan wanita.

Secara tradisional di Kabupaten Jayapura, dalam hal panen sagu menenbang pohon sagu

berumur masak tebang, memotong-motong batang yang sudah ditebang, menguliti batang sagu

dan memangkur untuk menghancurkan empulurnya, merupakan tugas kaum laki-laki. Tugas

14

Alat Mesin Parut Untuk Menghancurkan Empulur Sagu

Page 15: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

“meramas”2 sagu dilakukan oleh kaum wanita. Introduksi gergaji rantai (Chainsaw) dan mesin

parut sagu sangat membantu kaum pria. Belum ada mesin yang dapat menggantikan tenaga

wanita untuk meramas sagu, sehingga tampaknya teknologi yang ada telah menimbulkan

ketidakadilan dari segi gender.

Mesin parut sagu bukan hanya memperpendek waktu menghancurkan empulur tetapi hasil

empulur lebih halus sehingga kadar tepung sagu yang dihasilkan bisa sampai tiga kali lebih

banyak dibandingkan bila penghancuran dilakukan secara tradisional (manual) kapasitas terpakai

dari mesin agak besar (500 kg/jam) yang diintorduksikan kepada masyarakat rata-rata 448

kg/jam (Yoku, A.E., 2001). Apabila kaum pria hanya memerlukan waktu satu jam, para wanita

memerlukan lebih dari 10 jam untuk menapis empulur yang telah hancur. Pada waktu

pelaksanaan kegiatan ini, mereka bekerja sampai jauh malam dengan memasang lampu gas.

Kandep Perindustrian pernah mencoba merancang mesin menapis sagu, tetapi hasilnya

masih kurang baik sehingga masyarakat membiarkannya terbelengkai. Adi Widjono dan Hayati

Lakuy (2000) melaporkan telah merekayasa beberapa alat-Pangkur dan alat ramas saku, alat ini

telah diuji coba di Merauke (Salor dan Onggari) dan di Jayapura (Sentani). Pangkur rantai yang

direkayasa pada saat itu, tahun 2000. di perkirakan sekitar Rp. 630.000.- Pangkur rantai Rp.

605.000,- dan pangkur gendang, sekitar Rp. 275-375 Juta karena memakai tenaga gerak dari

mesin pemotong rumput.

Ketiga, Perbedaan Harga Pokok dengan harapan yang ditawarkan oleh Eypartin.

Harga pokok per ton pada tingkat KUD pada saat itu tahun 1991 adalah Rp. 1.200.000.-

sedangkan harga yang ditawarkan oleh pedagang adalah Rp. 650.000.-. Perbedaan harga ini

disubsidi oleh pemerintah daerah sebagai tindakan mengamankan program yang telah berjalan.

Sedangkan exportir tidak mau mengambil resiko membeli dengan harga yang mahal dan menjual

dengan harga yang lebih rendah. Upaya untuk meminta bantuan ke Provinsi dan ke Pusat tidak

mendapat tanggapan, sedangkan upaya untuk mengefisiensikan seluruh proses memerlukan

waktu yang lama, misalnya dalam merekayasa mesin pangkur dan mesin peramas sagu. Hal

inilah yang merupakan salah satu sebab, mengapa usaha ini terhenti.

Keempat, Kinerja instansi pemerintah sebagai fasilitator

Program harus ditangani oleh lebih dari satu instansi untuk mencapai tujuan memerlukan

apa yang disebut sebagai penyatuan pandangan. Tanpa penyatuan pandangan, koordinasi 2 Di Papua, empulur yang telah hancur diambil oleh kaum wanita di taruh pada wadah dari pelepah sagu dan disirami air sambil diremas-remas untuk melepaskan aci dari bahan keras lain yang dengan air mengalir ke wadah penampungan. Itulah sebabnya kegiatan ini di Papua disebut meramas sagu.

15

Page 16: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

sebaik apapun tidak dapat berhasil. Anggaran bisa dialokasikan kepada setiap instansi, tetapi

tanpa penyatuan pandangan masing-masing instansi bisa menggunakannya untuk tujuan yang

berbeda-beda sesuai program instansinya. Selain penggunaan anggaran yang tidak sinkron,

keaktifan masing-masing instansi sesuai dengan alokasi tugasnya bisa menjadi kendala.

Misalnya dalam program operasi ekspor sagu rakyat di Kabupaten Jayapura, titik terlemah ada

pada konsistensi penganggaran dan pola pembinaan KUD oleh instansi Kandep Koperasi.

Penyatuan masyarakat dalam membentuk koperasi dan pembiayaan kegiatan sentra produksi

sagu dan penyelesaian masalah organisasi dan tata laksana koperasi tidak mendapat

pendampingan dan saran pemecahan secara terus menerus dan baik. Bahkan untuk

memperbaiki alat yang rusak pada mesin karena tidak ada pembinaan, dibiarkan cukup lama

sehingga memacetkan seluruh kegiatan.

Dalam hal ini disarankan bahwa dalam introduksi peralatan mekanis dalam pembangunan,

sangat memerlukan bengkel perbaikan alat yang rusak. Tanpa tindakan itu, upaya yang

dilakukan adalah ibarat membuang garam ke laut.

Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni (Tahun 2003)

Mereka tidak sadar, bahwa suatu pabrik membutuhkan supply bahan baku dalam jumlah

memadai scara terus menerus. Dalam hal ini diperlukan seorang Pembina bidang sosial ekonomi

dalam perusahaan untuk membantu dalam mengupayakan cara-cara yang efektif secara budaya.

Hal ketiga terkait dengan aspek teknis biologis dan agronomi dari tanaman sagu. Banyak

aspek mengenai pengelolaan produksi sagu yang rasanya masih perlu diteliti dan diperbaiki.

Pengaruh beraneka ragam jenis di hutan sagu jelas ada kaitan dengan tingkat produksi tepung

sagu yang juga sangat bervariasi. Dengan biaya yang sama untuk menebang dan mengangkut,

hasilnya bisa berbeda tergantung jenis yang ditebang. Selain itu penggunaan kanal atau sungai

untuk mengangkut batang-batang sagu yang ditebang ke pabrik juga dapat dipertanyakan

16

Page 17: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

efektifitasnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eko B. Supriyadi (1991), meskipun masih

perlu dikajikan beberapa kali, namun apa yang ditemukan bertolak belakang dengan apa yang

selama ini dilakukan, yakni lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap kadar tepung

dalam empulur. Bila sampai tiga hari dikanal, kadar aci dalam empulur bisa turun sebesar

43 persen.

3. Sistem Pengelolaan Sagu Pola HPH

Setelah usai pelaksanaan proyek inventarisasi sumberdaya alam oleh BAKOSURTANAL,

termasuk areal-areal hutan sagu, maka mulai tahun 1988, pemerintah, khususnya Departemen

Kehutanan memberikan Hak Pengusahaan Hutan untuk pengelolaan hutan-hutan sagu. Di

Papua, berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya pada saat itu, tahun 1991,

tercatat 10 perusahaan HPH dengan kondisi, sebagaimana tercatat pada Tabel 5.

Tabel 5. Keadaan perkembangan unit usaha HPH Sagu Tahun 1991.

No Nama

Perusahaan

No/Tgl

persetujuan

Luas Areal

(Ha)

Lokasi/Kabupaten Kegiatan

1 PT. Sagindo

Sari Lestari

663/Menhut-V/88

10-06-1988

100.000 Bintuni/Manokwari Pabrik

Sagu

sudah

berijin

2 Puskopad “A” 770/Menhut-II/88

10 – 10 – 1988

15.000 Inanwatan/Sorong survey dan

tata batas

3 Puskopad “B” 640/Menhut-V/80

10 – 9 – 1988

15.000 Agats/Merauke sda

4 PT. Tis Betawi

Internasional

725/Menhut-IV/89

05 – 06 – 1989

15.000 Belum Jelas

5 PT. Alam Guna

Utama

530/Menhut-II/89

20 – 04 – 1989

15.000 Inanwatan/Sorong Survey

6 PT. Multi

Sagata Agung

726/Menhut-IV/89

10 – 06 – 1989

15.000 Belum Jelas

7 PT. Duta

Kencana Bakti

Sentona

728/Menhut-IV/89

05 – 06 – 1989

15.000 Belum Jelas

8. PT. Budi

Sempurna Tani

724/Menhut-IV/89

05-06-1989

15.000 Belum Jelas

17

Page 18: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

9. Pt. Sekarbumi

Lestari

531/Menhut-IV/89 15.000 Belum Jelas

10. PT. Sapta

Asiari Mid –

Bast

522/3722/Set 15.000 Tahap

Rekomendasi

Sumber : Dinas Kehutanan Dati I Irian Jaya

Dari sekian banyak perusahaan yang memperoleh ijin HPH, hanya sebuah anak

perusahaan dari Djayanti Group PT. Sagindo Sari lestari dari Arandai Bintuni yang benar-benar

operasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan awal dengan masyarakat adat dilakukan

dengan baik, bahakan disepakati bahwa masyarakatlah yang menebang, dan perusahaan hanya

membeli batangan sagu dari masyarakat untuk diolah dan diambil tepungnya. PUSKOPAD “A”

yang mendapad HPH sagu di Inanwatan, Kabupaten Sorong, (sekarang; Sorong Selatan),

karena masuk lewat swasta lain dan tidak bersilahturami dengan masyarakat adapt lebih dahulu

mendapat tantangan dan akhirnya menarik diri dari daerah itu. Perusahaan HPH sagu yang lain

tidak pernah ada kabar beritanya sampai hari ini. Areal HPH PT. Sagindo Sari Lestari terdiri dari

dua unit yang tersebar menjadi empat blok tebangan, sebagaimana disajikan dahulu Peta

Gambar 3. Terutama antara sungai Sebyar dan Sungai Wiriagar, dibangun kanal-kanal untuk

mengangkut batang-batang sagu hasil tebangan ( Peta, Gambar 3).

Pada tahun 1991 Struktur biaya produksi pati Sagu adalah sebagai berikut :

a. Harga pembelian dari petani Rp. 300,- / Kg

b. Susut dan Ongkos produksi Prosessing Rp. 50,- / Kg

c. Biaya Pemasaran/ angkutan Rp. 50.- / Kg

Total Rp. 400,- / Kg

d. Harga Jual Eksport (FOB) Rp. 400,- / Kg

18

Page 19: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Peta, Gambar 3. Areal HPH PT. Sagindo Lestari.

19

Page 20: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Pada tahun 1990 telah diproduksi 478.42 ton dengan nilai jual Rp. 191.368.000.- dan tahun

1991, prouduksi 695, 55 ton dengan nilai jual Rp. 278.220.000.-. Tampaknya, tujuan produksii

bukan untuk diekspor tetapi untuk dijadikan bahan perekat dari triplek dan plywood yang

diproduksikan perusahaan lain yang bernaung di bawah Djayanti Group yang terdapat di Seram,

Maluku dan Gresik, Jawa Timur.

Perusahaan ini kini tidak beroperasi lagi dikarenakan oleh biaya operasional tidak sesuaii

dengan harga jual tepung sagu di pasaran. Selain itu, produksi makin menurun karena batangan

sagu dari masyarakat tidak di supply secara teratur. Menurut Saya ada tiga aspek yang berkaitan

dengan rendahnya kinerja PT. Sagindo Sari Lestari. Pertama, penerapan sistem HPH, kedua

masalah tenaga kerja, dan ketiga kurangnya informasi hasil penelitian teknis dan social ekonomi

untuk menunjang suatu perusahaan besar bergerak dalam bidang pengelolaan sagu.

Sistem HPH, walaupun ada keharusan menanam pohon yang ditebang, namun pada

prakteknya perusahaan biasanya membayar dana reboisasi saja. Selain itu perusahaan dibebani

dengan bermacam-macam kewajiban seperti membayar PBB dan dana bina desa secara hukum,

tidak ada jaminan kelanjutan usaha seperti yang berlaku pada perkebunan besar dimana berlaku

hak guna usaha. Jadi secara teknis agronomi dan hukum, perusahaan hanya menebang habis

dan setelah itu pindah.

Masalah tenaga kerja sangat berkaitan dengan sistem sosial budaya setempat.

Masyarakat yang hidup di daerah yang tumbuh banyak hutan sagu, berbudaya peramu. Budaya

bercocok tanam mereka masih ada pada tahap marjinal, artinya menanam tetapi tidak

memelihara secara teratur. Dari segi penggunaan waktu lebih banyak menggunakan sistem

borong, dimana bila persediaan kebutuhan sudah habis baru secara intensif mereka bekerja

menebang pohon sagu dan menokok serta meramas, setelah sudah cukup untuk beberapa bulan

mereka istirahat atau mengalihkan kegiatan ke hal lain.

4. Perkebunan Sagu

Ide untuk mengubah hutan-hutan sagu di Papua menjadi perkebunan Sagu dimunculkan

oleh Dr. Toh. S. Jong dalam lokakarya pangan spesifik lokal di Jayapura Bulan Desember tahun

2005 yang lalu. Sebagai tindak lanjut dari ide tersebut, maka dengan bantuan Pemerintah

Papua, maka pada tahun 2004 dilakukan studi kelayakan di tiga wilayah penyebaran hutan sagu,

masing-masing di daerah Waropen, di Kaureh Kabupaten Jayapura dan di Inanwatan, Kabupaten

Sorong Selatan. Hasil studi kelayakan tersebut dipresentasikan juga dalam Simposium

International Sagu ke VIII bulan Agustus 2005 di Jayapura. Harapan pada saat itu bahwa pada

symposium itu di undang juga para pengusaha yang bergerak di bidang produksi sagu. Akan

tetapi hal ini tidak terjadi, hanya peneliti-peneliti sagu saja yang hadir.

20

Page 21: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Hasil studi kelayakan tersebut berkesimpulan, bahwa berdasarkan dukungan dari

masyarakat adat, dan potensi yang ada, perkebunan sagu seperti yang ada di Kabupaten

Bengkalis Provinsi Riau dapat juga dikembangkan pada hutan-hutan sagu di Tanah Papua.

Pemikiran-pemikiran teknis seperti pengurangan pada rumpun sagu, penjarangan, penanaman

baru, pembuatan kanal dan lain-lain ada tertera dalam laporan studi tersebut yang juga

dimasukkan dalam buku Prosiding Simposium Sagu Internasional ke VIII, sehingga tidak akan

diuraikan lebih lanjut disini.

Skenario penelitian Dalam Upaya Pengembangan Sagu Di Papua

Disadari, bahwa pengembangan produksi sagu memerlukan dukungan penelitian berbagai

segi disiplin ilmu. Tiga aktivitas utama yang perlu segera dibenahi adalah perlindungan,

pemanfaatan dan pengembangan. Dari segi pengembangan dua cara yang harus makin nyata

adalah : (1) secara mikro, pengembangan dari cara tradisional dengan sentuhan teknologi biologi

dan teknologi mekanis, serta teknologi organisasi produksi dan pemasaran. (2) Secara makro,

pengembangan perkebunan sagu pada areal hutan sagu. Untuk itu perlu kajian sosial budaya

terutama yang menyangkut hak-hak pemilikan dan pemanfaatan tenaga kerja. Selain itu perlu

kajian varitas terkait dengan kemampuan menghasilkan pati, dan pemanfaatan bagian lain dari

tumbuhan sagu. Kajian teknis agronomi, mulai dari lingkungan tumbuh, pemilihan bibit,

penanaman, dan pemeiliharaan, penanganan pasca panen, penggunaan kanal, proses kerja

pabrik, kemasan dan pemasaran.

Limbongan J. , Hayati Lakuy dan Jasper Louw (2004), peneliti dari BPTP Papua

menyarankan tujuh topik penelitian dan pengkajian sagu, yaitu : (1) koleksi dan karakteristik

Aksesi Sagu Lokal Papua, (2) Penyediaan sarana produksi sagu, (3) penelitian Rehabilitasi

Hutan Sagu rakyat, (4) Kajian Alat Pangkur dan pemasaran sagu tepat guna, (5) Kajian teknologi

penyimpanan tepung sagu, dan (6) Kajian kemasan tepung sagu ekonomis, serta (7) Studi

pemasaran sagu lokal, antar pulau maupun eksport ke luar negeri.

21

Page 22: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

DAFTAR PUSTAKA

Adi Widjono, Aser Rouw dan Aminaipa, 2000. Identifikasi, Karakterisasi, dari Koleksi Jenis-Jenis

Sagu. Paper Pada Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani Irian Jaya, Maret 2000

di Jayapura.

Adi Widjono dan Hayati Lakuy, 2000. Rekayasa Pangkur dan Peramas Sagu Sederhana.

Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani Irian Jaya. Maret 2000 di Jayapura.

Ayomi, W. 1995. Studi Morfologi Sagu Berduri (Metroxylon rumphii Martius) di Daerah Waren

Kecamatan Waropen Bawah Kabupaten Daerah Tingkat II Yapen Waropen. Skripsi

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; anokwari.

Dimara, P.A. 2004. Interraksi Masyarakat Dengan Tumbuhan Sagu di Distrik Sentani Tengah

Kaupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua

Manokwari.

Dwi Rahmanto, 2000. Sifat dan Ciri Tempat Tumbuh Sagu (Metroxylon Sp) Di Desa Tandia

Kecamatan Wasior, Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Jurusan Budidaya

Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.

Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources

Institute; Rome. Promoting The Concervation an The use of Under Utilized and

neglected Crups.

Hokoyoku Marthen, 2000. Potensi Tegakan Sagu (Metroxylon Sp) Di Sentani Tengah Kecamatan

Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawsih;

Manokwari.

Irian Jaya Disc, 1984. Pentingnya Sagu Di Irian Jaya. Suatu Catatan Tentang Aspek Sosial

Budaya dan Aspek Sosial Ekonomi. Makalah Untuk Seminar Sagu Tingkat

International di Jayapura- Irian Jaya 1984.

Irtho Marthen, 2000. Identifikasi Varietas Unggul Lokal Dari Jensi Sagu (Metroxylon Sagu Rottb)

Menurut Masyarakat Asli Di Desa Rasiei, Kecamatan Wasior Kabupaten Manokwari.

Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih;

Manokwari.

22

Page 23: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Isir, Selfiana, 1995. Studi Sistem Pembibitan dan Penanaman Sagu Secara Tradisional

Masyarakat Teminabuan. Kabupaten Sorong. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas

Cenderawasih, Manokwari.

Jong, F.S., Shortcut to Sago Palm Plantations : Rehabilitation of Natural Sago Forest into

Sustainable Sago Plantations. Paper International Symposium.

Jong, F.S dan M. Flach., Techincal Cansiderations And Recommendations For The

Establishment of A Commercial Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb) Plantation;

Paper.

Judrajati, 1998. Kandungan Aci Jenis Sagu Berduri (Metroxylon Rumphii MART) Pada Tiga

Kondisi tempat Tumpuh Di Desa Tandia Kecamatan Wasior Kabupaten Dati II

Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Cenderawasih; Manokwari.

Lekitoo, K, 1998. Kandungan Aci Sagu Berduri (Metroxylon Rumphii Mart) Pada Kadar Salinitas

Tempat Tumbuh Yang Berbeda Di Desa Miei Kecamatan wasior Kabupaten Dati II

Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Cenderawasih; Manokwari.

Limbongan , J. Hayati Lakuy dan Yasper Low, 2003. Program Penelitian dan Pengakajian Sagu

Berwawasan Agribisnis dan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada

Lokakarya Nasional Pangan Specifik Lokasi, Hotel Sentani Indah Jayapura, 2-4

Desember 2003.

Mimi Munami, Paratra Sukarwo dan Andreas Rumbino, 1984. Laporan Survey Inventarisasi

Potensi Sagu Di Daerah Bintuni, Kabupaten Manokwari Irian Jaya.

BAKOSURTANAL Bekerjasama dengan UNCEN.

PEMDA KABUPATEN JAYAPURA, 1992. Program Operasi Export Sagu Rakyat. Bagian

Perekda Setwilda TK. II. Jayapura.

Renwarin, J. 1998. Identifikasi, Koleksi dan Evaluasi Kultivar Sagu Unggul Irian Jaya untuk

Menunjang Perkebunan Sagu Komersial Di Indonesia Laporan Penelitian Hibah

Bersaing VII/I Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1998/1999. Fakultas Pertanian

Universitas Cenderawasih, Manokwari.

23

Page 24: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Renyaan, S. J., H. E. I. Simbala dan Daniel Lantang, 1996. Studi awal Identifikasi Jenis Sagu Di

Desa Maribu Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura Irian Jaya. Laporan Hasil

Penelitian Program Studi Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih; Jayapura.

Ruddle, K. et al ., 1978. Palm Sago A Tropical Starch From Marginal Lands. Australian National

Universitas Press; Canberra.

Station, WR and M. Flach, 1997. The Equatorial Swamp as a Natural Resource, Marthunus

Nijhof; The Hague.

Supriyadi, E. B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci Bahan Baku Sagu Berduri Menurut Waktu

Perendaman Dalam Kanal Pada PT. Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai

Kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Budi Daya Hutan Fakultas Pertanian

Universitas Cenderawasih; Manokwari.

Susanto, J. W. 2000. Interaksi Masyarakat Dengan Tumbuhan Sagu Di Desa Maniwak

Kecamatan Wasior Kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.

Tasik, S., 2000. Pengaruh Penutupan Bekas Sayat Tunas Gantung Sagu (Metroxylon Sagu

Rottb.) Terhadap Pertumbuhan Akar Di Desa Maniwak, Kecamatan Wasior. Skripsi

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.

Tek – An Chew, et al, 2003. Estimating The Environmental Benefits of Sago Cultiration. New

Century Fermentation Research Ltd. PT. National Timber and Forest Product

(NTFP).

Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pendayagunaan Hutan Sagu

Alam di Kabupaten Jayapura. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas

Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua; Manokwari.

Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pemberdayaan Hutan Sagu

Alam menjadi Perkebunan sagu Berorientasi Agri Bisnis Berkelanjutan Di Kabupaten

Sorong Selatan. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Perkebunan

Provinsi Papua; Manokwari.

24

Page 25: Makalah Sagu _ Ir. Y. P. Karafir, M.ec

Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pengembangan Sagu Di

Provinsi Papua. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Perkebunan

Provinsi Papua; Manokwari.

Tim PSL – UNCEN, 1986. Pengembangan Hutan Sagu di Daerah Sentani Jayapura Irian Jaya.

Kerjasama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan

Pusat Studi Lingkungan Hidup UNCEN.

Weyai. S. Y. H. 2001. Pertumbuhan Tunas Kultivar Sagu (Metroxylon Sagu Rottb.) Lokal Asal

Waropen di Desemaian. Skripsi Jurusan Kehutanan, Fakultas pertanian Universitas

Cenderawasih; Manokwari.

Wyzer, V. J. 1996. Teknik – Teknik Pembibitan dan Penanaman Sagu (Metroxylon Sp)

Masyarakat Desa Tandia – Kecamatan Wasior, Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.

Yoku, A. E. 2001. Effisiensi Teknik Pengolahan Sagu Secara Semi Mekanis Di Kecamatan

Sentani Kota Kabupaten Jayapura. Kripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Cenderawasih; Manokwari.

25