Upload
zethpar
View
409
Download
0
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
1
KEBERADAAN DAN PERUNTUKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DENGAN FAUNA DAN FLORA ENDEMIK SERTA MANUSIA DI PROVINSI
PAPUA DAN PAPUA BARAT
(Existence and Designation of The Oil Palm Plantation with Endemic Fauna and
Flora and Human in West Papua and Papua Province )
ZETH PARINDING
Mahasiswa Pasca Sarjana Program Doktor pada Program Studi Konservasi
Biodiversitas Tropika , Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor 16680, P.O. BOX 168, Jawa Barat, Indonesia, Tel.
+62-251-8629150, Fax. +62-251-8629150, [email protected]
ABSTRACT
The isolation of habitat, either the shrinking of natural habitat or the land cleaning and
clearing and the diminishing of habitat quality have increased conflicts among
community, key species fauna and flora, culture and wisdom of indigenous people, and
the palm oil industry to utilize the habitat spatial and the abundance of food. This
paper was described situation in West Papua and Papua Province with the objectives
to: (1) How is the management of key species for oil palm plantation development? , (2)
How to synergize the wisdom of indigenous people in the use of nature? , and (3) How
has development of the oil palm industry with attention to the hydrological aspects of
land designation?. The success programmes has development of sustainable the palm
oil industry as follows: 1) Knowing the key species (fauna and flora) and the habitat of
an ecosystem, 2) Knowing the pattern of spread and the home range / territory of
wildlife species, 3) Avoid overlapping land use, prioritize investments in Areas of Other
Designation (AOD/APL) because there are still many who were displaced by
cooperative governance and the strengthening of social capital, 4) Investment readiness
in terms of economic (business) development schemes, governance, and social capital ,
5) There are collaborated among culture and wisdom indigenous people with
development of the palm oil industry , and 6) Reduction of industrial waste which are
environmentally friendly.
2
Key Words : Development of The Palm Oil Industry, Key Species of Fauna and Flora,
Community, Culture and Wisdom of Indigenous P eople, West Papua and
Papua Province.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumpang tindih kawasan dan pengusulan perubahan kawasan hutan dalam luasan yang
relatif besar sering kurang memperhatikan peran hutan sebagai penyangga kehidupan .
Selain itu belum tersedianya RTRW yang baru bagi propinsi papua dan propinsi papua
barat di tahun 2010, sehingga memperlambat untuk memonitor kesesuaian pemetaan
kawasan hutan didalam RTRWK /Kota dengan peta kawasan hutan didalam RTRWP
(RTRWK/Kota harus mengacu RTRWP). Hal ini dapat pula diakibatkan d engan
maraknya pemekaran wilayah meliputi Propinsi, Kota/Kabupaten, Kecamatan/Distrik,
Desa/Kampung/Dusun memberikan andil terhadap deforestasi dan juga dalil
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang be rasal dari hasil kayu, sedangkan
hasil non kayu dengan nilai jual yang tinggi seakan diabaikan dalam menunjang segala
aspek kehidupan.
Fauna dan Flora endemik yang merupakan bagian dari budaya akibat kurang arifnya
pelaksanaan pembangunan kehutanan , perkebunan, dan pertambangan, telah banyak
memberikan andil dalam merubah pola pikir ( mindset) dari sosial budaya masyarakat
asli bahwa hutan dan tanahnya adalah ibu mereka yang patut dijaga dan dimanfaatkan
secara lestari dan berkelanjutan.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam awal tahun umur produksi dari segi
ekonomi mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang ikut terlibat dalam
kegiatan perkebunan kelapa sawit tersebut, seperti dalam hal kepemilikan modal dan
penyediaan tenaga kerja. Hal-hal lain yang belum dirasakan adalah kontinyuitas dalam
meningkatkan produktifitas dalam sistem perkebunan yang intensifikasi, selama ini
pembangunan perkebunan kelapa sawit lebih banyak melakukan peningkatan
produktifitasnya dengan sistem ekstens ifikasi. Akibatnya terusiknya spesies kunci (key
species) yang dapat mengakibatkan konflik manusia dengan alam lingkungannya.
3
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengelolaan spesies kunci bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit?
2. Bagaimana mensinergiskan kearifan lokal masyarakat asli dalam pemanfaatan alam?
3. Bagaimana pembangunan perkebunan kelapa sawit memperhatikan aspek hidrologis
dan peruntukan lahan (RTRW)?
PEMBAHASAN
Pengelolaan Spesies Kunci
Keberhasilan suatu pembangunan di segala bidang dalam pemanfaatan alam
lingkungannya sangat dipengaruhi oleh bagaimana manusia memandang bahwa alam
yang diciptakan oleh Sang Pencipta harus dimanfaatkan secara arif dan bijaksana
dengan memperhatikan aspek keseimbangan. Keseimbangan alam ini terjadi karena
kearifan dari pelaku pembangunan dalam memanfaatkan alam ini dengan
mempertimbangkan aspek, berupa: menjaga (perlindungan), memelihara (pengawetan),
dan pemakaian secara lestari dan berkelanjutan (pemanfa atannya).
Berdasarkan aspek keseimbangan tersebut, baik unsur hayati dan bukan hayati dapat
mengurangi konflik manusia dan alam sekitarnya. Keberadaan spesies kunci ibaratnya
suatu rantai makanan dalam jaring-jaring makanan unsur hayati, dan unsur bukan hayati
yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Ibaratnya satu
pohon besar yang tumbuh di alam sekitarnya dapat memberikan tempat berlindung,
bermain, berkembangbiak, ketersediaan sumber air dan menciptakan iklim mikro
sekitarnya bagi flora dan fauna serta manusia.
Jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan endemik Papua dan Papua Barat yang diidentifikasi
mengalami penurunan, antara lain jenis burung cenderawasih, burung kakatua, burung
nuri kepala hitam, kasuari, kuskus, burung hantu, burung garuda irian, kuskus dan jenis
anggrek serta jenis-jenis lainnya yang belum teridentifikasi lainnya. Mengapa jenis -
jenis ini mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh pembukaan lahan dan
pemanfaatannya tidak menyisakan pohon-pohon besar lainnya yang diduga menjadi
tempat/habitat satwa dan tumbuhan tersebut dan juga hanya tempat/habitat satwa dan
4
tumbuhan itu tempat keberadaan spesies tersebut. Misalnya jenis satwa kuskus
(Dendrolagus sp) tertentu dan hewan air lainnya yang hanya dapat hidup berdasarkan
ketersediaan makanan dan habitatnya di tempat tersebut. Jenis-jenis satwa dan
tumbuhan liar yang sebagian telah disebutkan di atas selama ini bila pohon atau habitat
tempat berkembang biaknya telah ditumbuhi kelapa sawit, maka keberadaan mereka
jarang ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Demikian halnya dengan jenis satwa
yang memiliki wilayah jelajah (home range) tinggi, apabila tempat yang diadaptasinya
telah berkurang makanannya akan menjadi masalah b agi pengelola perkebunan kelapa
sawit dan masyarakat sekitarnya. Misalnya masyarakat menanam untuk kebutuhan
makanannya, suatu saat akan diserang hama atau penyakit yang tidak pernah diketahui
sejarahnya ditempat itu ada dan berkembang atau jenis hama dan penyakit yang
sebelumnya bukan merupakan top predator alami karena terputusnya suatu rantai
makanan menyebabkan terjadi perubahan top predator, yang mana top predator alami
sebelumnya telah berkurang atau bahkan dalam kurang waktu tertentu dinyatakan
hilang. Dapat dipastikan konflik manusia dengan hama babi atau ti kus yang mana babi
dapat bersaing dengan kasuari dan juga tikus yang predator utamanya adalah burung
hantu dinyatakan hilang atau berkurang menyebabkan tikus menjadi hama bagi lahan
perkebunan rakyat dan juga perkebunan kelapa sawit , dllnya.
Terkadang dalam suatu obsesi kita bangga memiliki keanekaragaman yang tinggi,
namun kita bahkan tidak peduli atau tidak memiliki rasa peduli dengan keanekaragaman
yang tinggi itu dalam suatu pola keseimbangan dalam memanfaatkan alam sekitarnya.
Kita masih dininabobokan bahwa alam masih luas dan masih menyediakan sesuatu bagi
kebutuhan hidup kita sekarang dan dapat diperbaharui. Dan juga masih banyak jenis-
jenis tumbuhan obat yang tersedia di alam yang akan hilang, yang mana mampu untuk
menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ditemukan obatnya saat ini.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang terkadang kurang memperhatikan Daerah
Aliran Sungai (DAS) ditinjau dari aspek hidrologi, kemiringan, ketinggian, kesesuaian
lahan dan juga introduksi spesies baru dan akibatnya serta pemanfaatan pestisida yang
kurang arif. Apabila pembangunannya tidak memperhatikan aspek hidrologi selain
berakibat kurangnya sumber air minum dan air bersih bagi manusia dapat pula bahan -
5
bahan dari pemanfaatan pestisida dapat mencemari sumber air bersih dan mematikan
jenis-jenis endemik berupa hewan-hewan air, misalnya ikan arwana papua
(Schleropages jardinii) yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Bahkan dengan
akumulasi yang cukup tinggi dapat berakibat secara tidak langsung terhadap
pencemaran di laut (kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dll).
Sinergitas Kearifan Masyarakat da n Pembangunan Perkebunan Kelapa sawit
Kearifan tradisional masyarakat asli papua secara keseluruhan dalam memanfaatkan
alam sekitarnya bahwa hutan adalah rumah mereka, maka rumah perlu dijaga ,
dipelihara, dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana. Karena diyakini oleh tua -tua
adat apa yang salah kita buat terhadap alam ini, maka alam akan murka dan kehidupan
akan hancur musnah. Kearifan mereka terkadang mempengaruhi cara pandang mereka
kepada alam sekitarnya, yang biasanya mereka percaya atau yakini nenek moyang
mereka atau asal muasal keturanan mereka berasal dari apa yang mereka jaga dan
pelihara yang tumbuh dan berkembang di masyarakatnya pada umumnya. Misalnya
suku malind dengan totem yang dilambangkan kanguru (Macropus agilis papuanus )
(menunjuk kepada marga Samkakai), artinya mereka percaya asal muasal marga
samkakai berasal dari hewan kanguru, maka hewan tersebut harus dijaga dari
kepunahan dan tidak boleh dimakan oleh marga tersebut dan habitatnya perlu dijaga
dengan menyediakan rumput baru sebagai makanan hewan tersebut. Salah Satu Jenis
Kanguru disajikan pada Gambar 1. Penyediaan rumput baru biasanya dilakukan
dengan kearifan mereka dengan melakukan pembakaran di awal dan akhir musim
kemarau dan juga menghindari kebakaran pada kebun atau ladang tempat t anaman
tumbuhan adat dan persediaan makanan mereka dari kebakaran besar saat puncak
musim kemarau yang ekstrim.
Pembakaran dengan kearifan tradisional yang mereka lakukan tidak sama dengan
kebiasaan dalam pembersihan lahan dan pembakaran yang dilakukan dal am pengelolaan
perkebunan kebun kelapa sawit, yang mana pembakaran tersebut bertujuan untuk
kebersihan kebun kelapa sawit. Kebun atau ladang mereka biasanya ditanami tumbuhan
adat dan persediaan makanan dan juga sumber air minum dan air bersih. Pada
6
umumnya sumber-sumber air bagi masyarakat papua sangat dilindungi baik dari hulu
hingga ke hilir bahkan muara. Aturan yang hidup dan berkembang di sekitar sumber air
tersebut tidak diperkenankan adanya pembangunan yang merusak alam sekitarnya
dengan radius tertentu. Karena biasanya air yang diambil tersebut dapat langsung
diminim dan kebutuhan makanan berupa pengolahan sagu sehingga diupayakan agak
jauh dari sumber air minum dimaksud. Sedangkan Salah Satu Ekosistem Wasur
Perwakilan Ekosistem di Kabupaten Me rauke di sajikan pada Gambar 2.
Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, apabila memperhatikan dan
memahami keberadaan dari spesies kunci dan keterpaduan kearifan masyarakat yang
telah lama hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selain itu pemanfaatan ruang
dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, diupayakan memanfaatkan lahan -lahan
tidur atau lahan kurang produktif (areal peruntukan lain (APL)) dan yang telah dikaji
kesesuaian lahannya bagi perkebunan kelapa sawit dan menggunakan pupuk alami yang
ramah lingkungan.
Pembangunan perkebunanan kelapa sawit hendaknya dalam pembangunannya di
Propinsi Papua Barat dan Papua lebih banyak berkolaborasi dengan masyarakat adat
setempat dan mempelajari serta mengakomodir kebudayaan dan kearifan tradisional
yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat adat/ masyarakat asli. Selain itu,
masyarakat adatnya atau marga pemilik hak ulayat diikutkan dalam kegiatan
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Maksudnya adalah tempat -tempat yang
merupakan daerah pemali atau dikeramatkan ole h masyarakat asli tersebut sebaiknya
tidak dirusakkan atau dihilangkan keberadaan tempat -tempat tersebut.
Keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus
memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Ketiga aspek terse but harus
sama-sama dipertimbangkan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan
pengertian bahwa bukan hanya ekologi dan ekonomi saja yang lebih penting dan
diperhatikan dengan mengabaikan sosial dan budaya masyarakat asli setempat. Perlu
7
diketahui bahwa walaupun di propinsi Papua dan Papua Barat banyak suku dan bahasa,
namun mereka hidup dengan satu tujuan bahwa alam (ibu mereka) akan terus
menyediakan kebutuhan hidup bagi mereka dan bagaimana mereka hidup untuk
menjaga, memelihara, dan memanfaatkan hasil alam tersebut secara lestari dan
berkelanjutan. Di sana ada dikenal beberapa kearifan dalam pengelolaan alam dengan
sistem sasi (penutupan dan pembukaan pemanfaatan alam berdasarkan hasil
kesepakatan adat) dengan bahasa masing-masing suku. Pembangunan perkebunan
sebaiknya menghindarkan melakukan penimbunan pada sumber-sumber air, daerah
aliran sungai kecil dan daerah tangkapan air. Bisakah pembangunan perkebunan kelapa
sawit dikelola dengan sistem intensifikasi, karena selama ini lebih banyak dila kukan
dengan ekstensifikasi. Walaupun APL yang ada saat ini masih belum banyak
dimanfaatkan, masih diperkenankankah bagi peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan
tujuan pemulihan (reklamasi) lahan dan huta n dalam setiap bidang kehidupan? Selama
ini persoalan yang timbul di masyarakat bahwa perkebunan kelapa sawit hanya mampu
menghidupkan kesejahteraan masyarakat pada awal dan usia produktif dari kelapa sawit
tersebut, namun setelah kurang produktif seperti diabaikan atau seakan -akan hilangnya
sumber mata pencaharian dan peluang kerja. Sudah adakah masyarakat asli yang
mampu mandiri mengelola kebun kelapa sawit sendiri, yang mana dengan karyanya
sendiri dapat menjadi corong untuk memajukan dan mengembangkan perkebunan
kelapa sawit tersebut secara berkelanj utan. Perlu memperhatikan kesesuaian lahan
dengan memperhatikan pasang surut air laut pada puncak pasangnya dan lahan yang
hampir sepanjang tahun dapat digenangi air (daerah yang dipengaruhi iklim/musim
musoon).
Foto Kerusakan Hutan berupa Pembabatan Hutan secara Besar-Besaran yang Terjadi di
Kalimantan, Indonesia disajikan pada Lampiran Gambar 3. Gambar tersebut
merupakan hasil foto udara yang diakukan oleh Geenpeace pada bulan Juli 2010.
Adapun menurut Greenpeace, kerusakan hutan ini diperuntukan u ntuk pembukaan lahan
kelapa sawit yang dilakukan oleh anak -anak perusahaan dari PT Sinar Mas Group di
Kalimantan. Berdasarkan foto ini dapat menegaskan bahwa tingkat deforestasi di
Indonesia yang terjadi dapat mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Bahkan m enurut State
8
of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture
Organization (FAO) angka kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,8 juta hektar/tahun.
Akibatnya, dari 133 juta ha luas hutan Indonesia, hanya 23 % saja yang masih berupa
hutan primer dan terbebas dari kerusakan.
Luas kawasan hutan Indonesia seluas 132,398 juta Ha yang berdasarkan fungsinya
dibagi kedalam :
- Hutan produksi : 82,844 juta ha
- Hutan lindung : 29,855 juta ha
- Hutan konservasi : 19,699 juta ha
Pembagian fungsi tersebut didasarkan pada topografi, curah hujan, jenis tanah dan
ketinggian tempat (hutan produksi dan hutan lindung), serta keragaman dan kekhasan
hayati dan ekosistem (hutan konservasi). Kawasan hutan tersebut dikelola dengan
prinsip kelestarian (pengelolaan lestari / SFM), dengan tujuan agar terjaminnya
kelestarian hutan serta kesejahteraan masyarakat melalui :
- Optimalisasi fungsi dalam meningkatkan daya dukung DAS.
- Terjaminnya keberadaan hutan (luas dan sebarannya),
- Meningkatkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat; serta
- Menjamin terdistribusinya manfaat secara adil dan berkelanjutan.
Dari seluruh daratan Indonesia terdapat salahs atu ekosistem yang sangat rentan, yaitu
ekosistem Gambut seluas 21,073 juta Ha, tersebar di dalam kawasan hu tan seluas ± 18
juta Ha dan sisanya seluas ± 3 juta Ha merupakan areal non kehutanan. Adapun luasan
Hutan Tetap sebesar kurang lebih 71 % dari luasan daratan Indonesia atau sebesar
132.397.729 ha. Sedangkan Penataan Ruang Kawasan Hutan Berdasarkan Fun gsi
disajikan pada Lampiran Tabel 1.
Penyediaan areal antara perkebunan yang satu dengan perkebunan sawit lainnya yang
memperhitungkan DAS dan ketersediaan tempat/habitat tempat tumbuh dan
berkembangnya spesies kunci secara alami dan memperhatikan pola seb aran (pattern of
spread) dan daerah jelajah/teritori. RTRW di papua dan papua barat dapat segera
direalisasikan sehingga peruntukan lahan dapat diakomodir dalam pembangunan segala
9
sektor dengan memperhatikan segala aspek kehidupan. Peta Penunjukan Kawasan
Hutan Propinsi Irian Jaya Tahun 2002 disajikan pada Lampiran Gambar 4.
KESIMPULAN
Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang sudah ada dan yang akan diperuntukan,
untuk meminimalisir konflik dengan alam sekitarnya diupayakan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Mengetahui spesies kunci (fauna dan flora) dan habitat dari suatu ekosistem.
2. Mengetahui pola sebar dan daerah jelajah/teritori dari jenis satwa.
3. Adanya kerjasama diantara budaya dan kearifan masyarakat asli dengan
pembangunan perkebunan kelapa sawit.
4. Telah diketahui bahwa tumbuhan atau hewan sejenisnya yang diintroduksi diketahui
tidak menyebabkan menghilangkan spesies asli setempat.
5. Penggunaan pestisida yang dihasilkan dari hasil produksi pestisida alami setempat
yang ramah lingkungan.
6. Penanggulangan limbah perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan.
7. Penimbunan tanah untuk menutupi sumber -sumber air dan jalur hidrologi (DAS) dan
daerah tangkapan air sebaiknya dihindarkan.
8. Hindari tumpang tindih pemanfaatan lahan , utamakan investasi pada APL karena
masih banyak yang terlantar melalui koperasi yang dikelola pemerintah (cooperative
governance) dan penguatan modal kemasyarakatan ( social capital).
9. Kesiapan investasi dalam skema pembangunan dari sisi ekonomi ( bisnis),
governance, dan social capital.
DDAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA
Alamendah, 2011. Gambar/Foto Kerusakan Hutan. Alamendah’s Blogs.
Alikodra, H. S. 1997. Tehnik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
Tidak Dipublikasikan
10
Allen, G.R., Unmack, P.J., & Hadiaty, R.K. 2008. Two new species of
rainbowfishes (Melanotaeniidae: Melanotaenia) from western New
Guinea (Papua Barat Province, Indonesia). Aqua, International Journal
of Ichthyology, 14 (4): 209–224.
Allen, G.R. & Renyaan, S.J. 1998. Three new species of rainbowfishes
(Melanotaeniidae) from Irian Jaya, Indonesia. Aqua, Journal of Ichthyology
and Aquatic Biology, 3 (2): 69–80
Allen, G.R. & Hadiaty, R.K. 2011. A New Species of rainbowfish
(Melanotaeniidae) from Western New Guinea (West Papua Province,
Indonesia). Fishes of Sahul, Journal of the Australia New Guinea Fishes
Association, Vol 25 (1): 602-608
BKSDA Bengkulu. 2002. Propil Kawasan Konservasi di Wilayah Bengkulu.
Conservation International. 1999. Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi
Keanekaragaman Hayati Irianjaya. Laporan akhir Conservation International.
Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2002. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Irian Jaya.
Badan Planologi Kehutanan. Bogor.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Rencana Pengelolaan TN. Wasur
(RPTNW) 1999-2024 Buku II (Data, Analisis, dan Proyeksi) . Merauke Papua
Griffiths, A.D, et al 2005. A Management Program for the Agile Wallaby ( Macropus
agilis), East Point Reserve, Darwin. January 2005.
Hadiaty, RK and Kottelat. 2009. Pangio lidi, a new species of loach from eastern
Borneo, Indonesia. Artikel Zootaxa. Magnolia Press. Vol 2171 : 65 -68.
IUCN. 2007. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org.Downloaded
16 January 2009.
Peraturan Pemerintah. 1999. PP No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa.
Primack, R.B. et al, 1989. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Universitas Negeri Papua dan Pemerintah Kabupaten Kaimana. 2007. Atlas
Sumberdaya Pesisir Kawasan Kabupaten Kaimana. Universitas Negeri Papua.
Manokwari
11
Lampiran Gambar 1. Salah Satu Jenis Kanguru
Lampiran Gambar 2. Salah Satu Ekosistem Wasur Perwakilan Ekosistem di Ka bupaten
Merauke
11
Lampiran Gambar 1. Salah Satu Jenis Kanguru
Lampiran Gambar 2. Salah Satu Ekosistem Wasur Perwakilan Ekosistem di Ka bupaten
Merauke
11
Lampiran Gambar 1. Salah Satu Jenis Kanguru
Lampiran Gambar 2. Salah Satu Ekosistem Wasur Perwakilan Ekosistem di Ka bupaten
Merauke
12
Lampiran Gambar 3. Foto Kerusakan Hutan berupa Pembabatan Hutan secara Besar -
Besaran yang Terjadi di Kalimantan, Indonesia
Lampiran Gambar 4. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Irian Jaya Tahun 2002
12
Lampiran Gambar 3. Foto Kerusakan Hutan berupa Pembabatan Hutan secara Besar -
Besaran yang Terjadi di Kalimantan, Indonesia
Lampiran Gambar 4. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Irian Jaya Tahun 2002
12
Lampiran Gambar 3. Foto Kerusakan Hutan berupa Pembabatan Hutan secara Besar -
Besaran yang Terjadi di Kalimantan, Indonesia
Lampiran Gambar 4. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Irian Jaya Tahun 2002
13
Lampiran Tabel 1. Penataan Ruang Kawasan Hutan Berdasarkan Fungsi
Sumber : Paparan Badan Planologi tanggal 10 November 2010, di manokwari
Fungsi Hutan Luas (ha) Kawasan Indonesia
Hutan Konservasi 19.698.831 14,88% 10,49%
Hutan Lindung 29.854.755 22,55% 15,90%
Hutan Produksi 82.844.143 62,57% 44,12%
Hutan Tetap 132.397.729 100,00% 70,51%
APL 55.386.922 29,49%
Total 187.784.651 100,00%