48
BAB I PENDAHULUAN Anggaran negara adalah urat nadi bagi suatu negara dalam menjalankan pemerintahan. Pengertian anggaran (budget) menurut Robert D Lee, Jr dan Ronald W Johnson adalah “A document or a collection of documents that refer to the financial condition of an organization ( family, corporation, government), including information on revenues, expenditures, activities, and purposes or goals”. Terjemahan bebas dari pengertian anggaran tersebut adalah dokumen yang menunjukkan kondisi atau keadaan keuangan suatu organisasi (keluarga, perusahaan, pemerintah) yang menyajikan informasi mengenai pendapatan, pengeluaran, aktivitas dan tujuan yang hendak dicapai. Di Indonesia anggaran negara setiap tahun disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN secara filosofi adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat sehingga penetapannya dilakukan setiap tahun dengan undang- undang. APBN pada dasarnya sebagai bentuk kepercayaan rakyat kepada pemerintah untuk mengelola keuangan negara sehingga pengelolaannya diharapkan dapat memenuhi syarat akuntabilitas (accountability), transparan (transparency), dan kewajaran (fairness). Hampir di semua negara yang berlandaskan hukum, ketentuan

makalah APBN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah APBN

BAB I

PENDAHULUAN

Anggaran negara adalah urat nadi bagi suatu negara dalam menjalankan pemerintahan.

Pengertian anggaran (budget) menurut Robert D Lee, Jr dan Ronald W Johnson adalah “A

document or a collection of documents that refer to the financial condition of an organization

( family, corporation, government), including information on revenues, expenditures,

activities, and purposes or goals”. Terjemahan bebas dari pengertian anggaran tersebut

adalah dokumen yang menunjukkan kondisi atau keadaan keuangan suatu organisasi

(keluarga, perusahaan, pemerintah) yang menyajikan informasi mengenai pendapatan,

pengeluaran, aktivitas dan tujuan yang hendak dicapai. Di Indonesia anggaran negara setiap

tahun disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN secara

filosofi adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat sehingga penetapannya dilakukan setiap

tahun dengan undang-undang. APBN pada dasarnya sebagai bentuk kepercayaan rakyat

kepada pemerintah untuk mengelola keuangan negara sehingga pengelolaannya diharapkan

dapat memenuhi syarat akuntabilitas (accountability), transparan (transparency), dan

kewajaran (fairness). Hampir di semua negara yang berlandaskan hukum, ketentuan mengenai

anggaran belanja negara ditetapkan dalam konstitusi. Di Indonesia ketentuan mengenai APBN

terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 yaitu:

1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan

negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka

dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh

Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah

Page 2: makalah APBN

3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan

belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran

pendapatan dan belanja tahun yang lalu.

APBN yang ditetapkan tiap tahun dengan undang undang mempunyai arti bahwa

terdapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat atas rancangan

APBN yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Arifin P.Soeria Atmadja pada Persetujuan

DPR atas APBN yang diusulkan pemerintah pada dasarnya adalah machtiging bukan hanya

sebagai consent dari DPR kepada Pemerintah dalam hal ini presiden. Machtiging berarti

menghendaki pertanggungjawaban pengelolaan APBN oleh presiden kepada pemberi mandat

yaitu DPR.

APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan

stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk

melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan

mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam

merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti

bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi

mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran

dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan

rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah

menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian.

Dalam penyusunan APBN terdapat tahapan dari proses perencanaan sampai dengan

pertanggungjawaban yang dikenal dengan siklus APBN. Siklus APBN meliputi tahap

Page 3: makalah APBN

perencanaan dalam bentuk RAPBN, pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN,

pelaksanaan APBN, tahap pengawasan pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang dan

pertanggungjawaban APBN. Pelaksanaan APBN secara khusus diatur dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara. Pelaksanaan APBN disamping sebagai pembiayaan

operasional pemerintahan juga mempunyai implikasi penting terhadap perekonomian negara,

mengingat fungsi APBN adalah sebagai sistem kebijakan fiskal negara. Kebijakan fiskal

adalah kebijakan dalam hal penerimaan dan pengeluaran negara. Menurut Mari’e Muhammad

kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas

pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam

APBN.

Page 4: makalah APBN

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Filosofi APBN

Pemerintah dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus memiliki rencana

yang akan dipakai sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan tugas negara termasuk

dalam hal pengurusan keuangan. Setiap tahun pemerintah menghimpun dan

membelanjakan dana triliunan rupiah melalui APBN. Sesuai UUD 1945, APBN harus

diwujudkan dalam bentuk undang-undang, dalam hal ini Presiden berkewajiban

menyusun dan mengajukan Rancangan APBN kepada DPR. RAPBN memuat asumsi

umum yang mendasari penyusunan APBN, perkiraan penerimaan, pengeluaran, transfer,

defisit/surplus, pembiayaan defisit dan kebijakan pemerintah. APBN mencakup seluruh

penerimaan dan pengeluaran yang ditampung dalam satu rekening yang disebut rekening

Bendaharawan Umum Negara (BUN) di bank sentral (Bank Indonesia).

APBN dipengaruhi dan ditentukan oleh keadaan sosial, politik, keamanan serta

keadaan ekonomi. Sejak masa kemerdekaan sampai dengan sebelum era pemerintahan

Orde Baru diakhir tahun 1960-an, fungsi APBN tidaklah bejalan dengan baik. Kebijakan

APBN defisit dijalankan selama periode waktu sebelum pemerintahan Orde Baru tidak

jelas ditunjukan mencapai suatu tujuan tertentu. Hal ini disebabkan karena tidak stabilnya

situasi sosial, politik, dan ekonomi serta keamanan. Defisit anggaran belanja yang besar

dan memuncak pada periode waktu akhir pemerintahan Orde Lama telah menimbulkan

keadaan inflasi yang sangat gawat, mencapai lebih dari 500% per tahun di tahun 1966.

Baru setelah pemerintahan Orde baru yang efektif sejak awal tahun 1970-an

fungsi APBN bisa berjalan. Pada mulanya dialami keadaan ekonomi dengan tingkat

output (produksi) nasional rendah dan dibarengi dengan adanya inflasi sangat tinggi.

Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal telah dipakai untuk mengatasinya, namun telah

Page 5: makalah APBN

mengakibatkan penurunan pengeluaran konsumsi dan investasi agregatif yang

selanjutnya telah mengakibatkan penurunan inflasi, meskipun untuk sementara masih

belum bisa menaikkan tingkat produksi nasional serta kesempatan kerja. Penerimaan

pajak yang telah digalakkan pun secara relatif kenaikan jumlahnya belum signifikan.

Penurunan secara drastis pengeluaran pemerintah telah menurunkan angka laju inflasi

secara drastis pula.

Sejauh ini prinsip APBN seimbang selalu dipertahankan karena pengalaman di

masa lampau APBN defisit akan membawa akibat terjadinya inflasi. Meskipun demikian,

volume besarnya APBN selalu bertambah besar secara riel dari tahun ke tahun.

B. Format Struktur APBN

Selama TA 1969/1970 sampai dengan 1999/2000 APBN menggunakan format

T-account. Format ini dirasakan masih mempunyai kelemahan antara lain tidak

memberikan informasi yang jelas mengenai pengendalian defisit dan kurang

transparan sehingga perlu disempurnakan. Dalam T-account, sisi penerimaan dan sisi

pengeluaran dipisahkan di kolom yang berbeda. T-account mengikuti anggaran yang

berimbang dan dinamis. Seimbang berarti sisi penerimaan dan pengeluaran

mempunyai nilai jumlah yang sama. Jika jumlah pengeluaran lebih besar daripada

jumlah penerimaan, kemudian kekurangannya ditutupi dari pembiayaan yang berasal

dari sumber-sumber dalam atau luar negeri. Versi T-account tidak menunjukan dengan

jelas komposisi anggaran yang dikelola pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini

merupakan akibat dari sistem anggaran yang terpusat. Selain itu, pada format T-

account, pinjaman luar negeri dianggap sebagai penerimaan pembangunan dan

pembayaran cicilan utang luar negeri dianggap sebagai pengeluaran rutin.

Mulai TA 2000 format APBN diubah menjadi I-account, disesuaikan dengan

Government Finance Statistics (GFS). DalamI-account, sisi penerimaan dan sisi

Page 6: makalah APBN

pengeluaran tidak dipisahkan atau dalam satu kolom. I-account menerapkan anggaran

defisit/surplus. Dengan format baru ini pinjaman luar negeri diperlakukan sebagai

utang, sehingga jumlahnya harus sekecil mungkin karena pembayaran kembali bunga

dan cicilan pinjaman luar negeri akan memberatkan APBN di masa yang akan

datang.Kronologis perubahan format APBN digambarkan sebagai berikut:

1. Pemerintahan Orde Baru

Selama pemerintahan orde baru dari TA. 1969/1970 sampai dengan TA.

1998/1999, APBN disusun berdasarkan sistem anggaran berimbang (T account)

dan diklasifikasikan menjadi dua pos besar (sisi), yaitu penerimaan dan

pengeluaran. Pada sisi penerimaan terbagi atas penerimaan dalam negeri dan

penerimaan pembangunan. Penerimaan pembangunan menurut APBN adalah

penerimaan yang berasal dari nilai lawan rupiah, bantuan, dan atau pinjaman luar

negeri. Penerimaan pembangunan tersusun atas dua komponen yaitu bantuan

program dan bantuan proyek. Bantuan program merupakan nilai lawan rupiah dari

bantuan dan atau pinjaman luar negeri dalam bentuk pangan dan bukan pangan

serta pinjaman yang dapat dirupiahkan. Sedangkan bantuan proyek adalah nilai

lawan rupiah dari bantuan dan atau pinjaman luar negeri yang digunakan untuk

membiayai proyek-proyek pembangunan.

Terdapat dua hal yang dapat ditarik dari pengertian tersebut. Pertama,

penerimaan pembangunan pada dasarnya merupakan sumber daya atau sumber

dana yang berasal dari luar negeri. Kedua, bantuan program dan bantuan proyek

terdiri atas pinjaman dan bantuan (hibah). Hal ini membawa konsekuensi

meleburnya sumber daya dan dana yang berupa hibah dan yang berupa pinjaman

(utang) sehingga tidak nampak sumber daya dan dana yang menjadi hak milik

negara khususnya pemerintah dan sumber dana yang harus dikembalikan. Yang

Page 7: makalah APBN

dapat diketahui dari sistem APBN seperti ini adalah bahwa setiap tahun pemerintah

harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan pokok pinjaman

(utang) luar negeri serta bunganya.

2. APBN TA. 1999/2000

Sejalan dengan tuntutan reformasi, pemerintahan Presiden Habibie berupaya

memperbaharui sistem APBN. Secara umum tidak banyak yang berubah namun

penyusunan APBN TA. 1999/2000 diusahakan untuk lebih transparan. APBN pada

tahun anggaran sebelumnya dinilai kurang transparan dan terkesan mengelabui

terutama pos penerimaan pembangunan. APBN TA. 1999/2000 tetap menggunakan

sistem anggaran berimbang tetapi pos penerimaan pembangunan berganti nama

menjadi penerimaan luar negeri sehingga sisi penerimaan APBN TA. 1999/2000

terdiri atas penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri.

Penerimaan luar negeri merupakan penerimaan yang berasal dari nilai lawan

rupiah pinjaman luar negeri. Penerimaan luar negeri terdiri atas dua komponen,

yaitu pinjaman program dan pinjaman proyek. Pinjaman program adalah nilai

lawan rupiah dari pinjaman luar negeri dalam bentuk pangan dan bukan pangan

serta pinjaman yang dapat dirupiahkan. Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah

dan pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek pembangunan.

Dengan klasifikasi dan pengertian tersebut, pada TA. 1999/2000 hibah luar

negeri tidak tercatat (tidak diperhitungkan) dalam APBN. Padahal pada tahun

anggaran ini sejumlah negara anggota Consultative Group on Indonesia (CGI)

memberikan komitmen hibah yang dapat dicairkan pada tahun anggaran

yangbersangkutan. Jumlah hibah pledge CGI tahun 1999 adalah sebesar USD 490

juta. Menurut Nota Keuangan dan Rancangan APBN TA. 2001 (hal. IV/31),

realisasi hibah pada TA.1999/2000 dalam bentuk in-cash sebesar Rp 50,6 miliar.

Page 8: makalah APBN

3. APBN TA. 2000

Mulai TA. 2000 (tahun anggaran transisi sebelum penyesuaian tahun

anggaran dengantahun takwim), format APBN disusun menurut standar

internasional, yaitu Government Finance Statistic (GFS). Berbeda dengan sistem

anggaran berimbang dimana pinjaman program dan proyek dimasukkan dalam pos

penerimaan, APBN dengan format GFS menggunakan sistem deficit spending

dimana pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri merupakan sumber untuk

menutup defisit anggaran dan tidak lagi diklasifikasikan sebagai penerimaan.Selain

itu dalam format baru ini secara jelas dinyatakan adanya hibah sebagai salah satu

sumber penerimaan negara. Hibah didefinisikan sebagai semua penerimaan negara

yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri dan sumbangan lembaga swasta

dan pemerintah luar negeri.

Meskipun dalam kerangka CGI terdapat negara-negara dan lembaga-

lembaga internasional yang secara konsisten (sesuai kebijakan nasionalnya)

memberikan hibah kepada Indonesia, pada APBN TA. 2000 ternyata perencanaan

penerimaan hibah ditetapkan nihil (0rupiah). Sedangkan dalam Nota Keuangan dan

Rancangan APBN TA. 2001 yang disampaikan pemerintah kepada DPR tanggal 2

Oktober 2000 (hal. IV/31), realisasi penerimaan hibah pada TA. 2000 sampai bulan

Agustus 2000 masih nihil namun diperkirakan sampai akhir tahun anggaran

diharapkan dapat terealisasi sebesar Rp 211,1 miliar. Dalam sidang CGI Februari

2000, para peserta CGI telah memberikan pledge berupa hibah sebesarUSD 510

juta.

Page 9: makalah APBN

Struktur APBN menggunakan format I-account:

C. Komponen Struktur APBN

APBN mencakup seluruh penerimaan dan pengeluaran yang ditampung dalam satu

rekening yang disebut rekening Bendaharawan Umum Negara (BUN) di bank sentral (Bank

Indonesia). Pada dasarnya semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah harus dimasukkan

dalam rekening tersebut. Secara harfiah, APBN disusun dengan mengandung dua komponen

utama yaitu :

1. Penerimaan

Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber yang meliputi dalam dan luar

negeri. Pembiayaan dari dalam negeri meliputi penerimaan pajak dan bukan pajak (PNBP).

Termasuk kedalam penerimaan pajak adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan

A. Pendapatan dan Hibah

I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Pajak

2. Penerimaan Bukan Pajak

II. Hibah

B. Belanja Negara

I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutin

2. Pengeluaran Pembangunan

II. Dana Perimbangan

III. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

C. Keseimbangan Primer

D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B)

E. Pembiayaan

I. Dalam Negeri

II. Luar Negeri

Page 10: makalah APBN

Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB), cukai dan Pajak lainnya yang merupakan sumber utama penerimaan

APBN. Selanjutnya Penerimaan Non Pajak, diantaranya penerimaan dari sumber daya

alam, laba BUMN, perbankan, privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal

negara.

2. Pengeluaran

Secara umum, pengeluaran yang dilakukan pada suatu tahun anggaran harus ditutup

dengan penerimaan pada tahun anggaran yang sama. Berbeda dengan anggaran

penerimaan negara yang diperlakukan sebagai target penerimaan pemerintah dan

diharapkan dapat dilampauinya, anggaran pengeluaran merupakan batas pengeluaran yang

tidak boleh dilampaui. Pengeluaran pemerintah sendiri terbagi menjadi belanja pemerintah

pusat dan anggaran belanja untuk daerah.

Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan

pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah

(dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan

menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang,

Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk

Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya.

Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk

kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah

meliputi dana bagi hasil yang berwujud Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana

Otonomi Khusus.

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap

Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana

pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi

Page 11: makalah APBN

salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan

kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi.Dana Alokasi Umum terdiri dari Dana Alokasi Umum

untuk Daerah Provinsi dan Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota. Jumlah

Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden. Setiap

provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan ini diatur

secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan

rumus/formulasi statistik yang kompleks, antara lain dengan variabel jumlah penduduk dan

luas wilayah yang ada di setiap masing-masing wilayah/daerah.

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Sementara itu, Dana Otonomi Khusus adalah dana perimbangan yang diberikan kepada

daerah otonomi khusus.

3. Defisit dan Surplus

Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran.

Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit, sebaliknya jika penerimaan yang

melebihi pengeluaran disebut surplus.

4. Keseimbangan

Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan

primer, dan keseimbangan umum. Keseimbangan primer adalah total penerimaan

dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga, sedangkan Kesembangan Umum

adalah total penerimaan dikurangi total pengeluaran termasuk pembayaran bunga.

Page 12: makalah APBN

5. Pembiayaan

Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber

pembiayaan yang penting saat ini adalah pembiayaan dalam negeri meliputi penerbitan

obligasi, penjualan asset dan privatisasi, dan pembiayaan luar negeri meliputi pinjaman

proyek, pembayaran kembali utang, pinjaman program dan penjadwalan kembali utang.

D. Penyusunan APBN

Proses penyusunan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu:

1. Pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR

Tahap ini diawali dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan

DPR untuk menentukan mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan

dilanjutkan dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi

penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran. Tahapan ini

diakhiri dengan finalisasi penyusunan RAPBN oleh pemerintah.

2. Pengajuan, pembahasan, dan penetapan APBN

Hal ini dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan Panitia anggaran, maupun

antara komisi dengan departemen. Hasil pembahasan ini adalah UU APBN yang

memuat alokasi dana per departemen/lembaga, sektor, sub sektor, program dan

kegiatan yang disebut satuan 3. Berdasarkan satuan 3 (alokasi dana per

departemen/lembaga, sektor, sub sektor, program dan kegiatan), Dirjen Anggaran dan

Menteri Membahas detail pengeluaran rutin berdasarkan pedoman penyusunan DIK

dan indeks satuan biaya yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Untuk pengeluaran

pembangunan, Dirjen Anggaran, Bappenas, dan Menteri teknis membahas detail

pengeluaran untuk tiap-tiap kegiatan. Apabila DPR menolak RAPBN yang diajukan

pemerintah tersebut , maka pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal

Page 13: makalah APBN

ini berarti maksimum yang dapat dilakukan pemerintah harus sama dengan

pengeluaran tahun lalu.

E. APBN Indonesia

Tahun 2010, lebih dari 12 tahun setelah krisis ekonomi Indonesia 1998, dalam catatan

anggota Badan Pekerja Komisi Anggaran Independen (BP-KAI), APBN masih sarat masalah.

Persoalan muncul dari berbagai sisi: (i) belanja sosial; (ii) penerimaan negara; (iii) beban

utang; (iv) akuntabilitas; dan (e) reformasi birokrasi. Maka, keadaan APBN Indonesia dapat

dicirikan sebagai berikut: di satu sisi masih sangat elitis dan belum memihak warga negara; di

sisi lainnya, masih belum akuntabel. Kesimpulan ini diambil oleh Komisi Anggaran

Independen (KAI) sesudah melihat dan menemukan hal-hal yang ada dalam APBN 2010

sebagaimana tampak dalam tabel berikut di bawah ini:

Aspek Indikator yang diperiksa Perkembangan/penialaian

Belanja sosial besaran alokasi kesehatan, besaran alokasi bantuan sosial, cakupan penerima belanja sosial, seberapa responsif pada pengangguran dan kemiskinan

Jumlah nominal dan proporsional masih tetap minimal, Angka nominal alokasi di 2010 menurun; Cakupan masih terbatas untuk yang miskin (targeting) bukan universal(semua warga negara Indonesia).

Penerimaan APBN rasio pajak dan non pajak terhadapPDB (Pendapatan Domestik Bruto);kebocoran penerimaan pajak (kasusmafia pajak Gayus Tambunan, dkk.)

rendah dibanding negara sebaya; rendahdibandingkan potensinya; potensi yangsebenarnya tidak diketahui; korupsiperpajakan belum diatasi secara sistemik.

Utang utang dalam negeri; cicilanpembayaran tiap tahun; perbandinganantara cicilan untuk utang denganalokasi untuk kesehatan.

utang dalam negeri terus membesar; utangterus meningkat sejak 2004; alokasipembiayaan utang 5 kali lebih besarketimbang alokasi kesehatan.

Akuntabilitas kasus-kasus korupsi danpenyalahgunaan kewenangan; hasil

belum ada perkembangan yang berarti;tingkat korupsi masih tinggi,

Page 14: makalah APBN

audit BPK; kinerja pengawasan DPR.

meluas dansistemik; korupsi terjadi pada sisi penerimaandan pengeluaran/belanja APBN; sebagianbesar Laporan Keuangan Pemerintah Pusat(LKPP) disclaimer; pengawasan BadanAkuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPRRI atas kinerja keuangan pemerintah belummaksimal

Reformasi birokrasi renumerasi di Kemenkeu, MA, BPK,Kejaksaan Agung, dan POLRI yang lebihbesar; tidak adanya targetkinerja/perubahan kinerja.

lebih sebagai pilot project ketimbang rencanastrategis; lebih menaikkan gaji (remunerasi)ketimbang pengurangan korupsi.

Secara lebih detail, uraian mengenai kelima aspek di atas dapat dibaca pada point-

point di bawah ini. Sebagaimana telah banyak diberitakan, jumlah atau volume anggaran

secara nominal semakin meningkat sepanjang 5 tahun terakhir ini, dari angka Rp. 380,3

Triliun (2005) dan pada 2010 naik menjadi Rp 1.047,7 triliun (17,5 % terhadap PDB/Produk

Domestik Bruto). Hal ini belum tentu baik karena secara proporsi, bukan nominalnya, jumlah

itu tidak banyak berubah karena volume APBN Indonesia masih berkisar di bawah 20% (dari

PDB atau ‘kue ekonomi’ atau nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara

pada periode tertentu).

Belanja Sosial

APBN adalah sumberdaya dan wewenang pemerintah. Dengan dana itu,

pemerintah dapat membangun atau memperbaiki banyak hal terutama terkait

kepentingan warganya. Dengan dana itu, pemerintah dapat menaikkan pendapatan warga

negara, menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan dan pengangguran,

menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, penyedia jaminan sosial, menolong

Page 15: makalah APBN

korban bencana alam, dan seterusnya. Maka salah satu cara dan ukuran untuk

meneropong APBN adalah dari sisi belanja sosial.

Dilihat dari belanja sosial, maka satu ciri utama dan menonjol dalam APBN

adalah anggaran rutin atau pegawai yang terus meningkat, sementara belanja sosial yang

langsung untuk publik lebih kecil dari belanja pegawai.

Tabel 1. Anggaran Belanja pemerintah Pusat(dalam triiun rupiah)

2010 %Belanja pegawai 160,4 22,1Belanja barang 107,1 14,8Belanja modal 82,2 11,3Pembayaran bunga utang

115,6 15,9

Subsidi 157,8 21,8Belanja hibah 7,2 1Bantuan sosial 64,3 8,9Belanja lain-lain 30,7 4,2

Sumber: APBN 2010

Dari komposisi tersebut, tampak bahwa alokasi belanja pemerintah pusat masih

didominasi oleh pengeluaran yang sifatnya wajib (non discretionary expenditure), yang

meliputi: belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi, dan sebagian belanja

barang. Sedangkan sisanya merupakan belanja tidak mengikat (discretionary

expenditure). Dalam hal ini belanja sosial lebih dekat masuk dalam kelompok bantuan

sosial ketimbang kelompok belanja lain.

Dalam APBN tahun 2010, alokasi anggaran bantuan sosial ditetapkan sebesar Rp

64,3 triliun atau 1,1 % terhadap PDB. Alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2010

tersebut, terdiri dari: (i) alokasi dana penanggulangan bencana alam sebesar Rp 3,0

triliun, dan (ii) alokasi bantuan sosial yang disalurkan kepada masyarakat melalui

berbagai Kementerian/Lembaga sebesar Rp 61,3 triliun. Data APBN 2010 menunjukkan

bahwa belanja sosial jumlahnya kecil dan programnya kurang sesuai dengan persoalan

yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat. Minimnya alokasi anggaran kesehatan dan

Page 16: makalah APBN

tidak adanya alokasi anggaran untuk jaminan bagi pengangguran. Dalam hal kesehatan,

data tahun 2007 menunjukkan alokasi kesehatan sebesar 2,28 %, turun hingga 1,68 %

pada tahun 2009 dan hanya sedikit naik pada tahun 2010 yang mencapai, Rp 18,0 Triliun

atau hanya 2,5 % dari APBN. Meski angkanya naik, diperkirakan hanya sekitar Rp 12,3

Triliun yang dapat dikategorikan dalam belanja sosial, yaitu untuk anggaran kesehatan

sebesar Rp 11,4 Triliun dan keluarga berencana sebesar Rp 900,9 Miliar. Dalam hal

pengangguran, angka resmi pengangguran masih relatif tinggi, mencapai 8,14 % pada

Februari 2009.

Sisi Penerimaan

Seringkali dikatakan bahwa dengan naiknya angka APBN maka secara nominal

pemerintah telah berprestasi dalam menaikkan penerimaan atau pendapatan negara.

Namun demikian, klaim prestasi harus diterima dengan hati-hati dan kritis. Memang

benar, bahwa angka-angka penerimaan atau pendapatan meningkat secara nominal, tetapi

jumlah penerimaan pada 5 tahun terakhir belum mencerminkan potensi sebenarnya. Studi

Richard Bird dan Eric M Zolt (2003) menempatkan Indonesia sebagai negara yang

memiliki tax ratio paling rendah dalam kelompok negara-negara berpenghasilan rendah,

yakni pada 12,45 %; bandingkan dengan rata-rata kelompok ini pada angka 17 %. Kini

Indonesia sudah masuk pada kelompok negara-berpenghasilan-menengah (medium

income country), yakni negara dengan pendapatan per kapita pada kisaran US$ 1.000 s.d.

US$ 17.000. Secara rata-rata, perolehan pajak di negara berpenghasilan-menengah

(medium income country) ini sebesar 22 % dari PDB (Bird dan Zort, 2003).Tahun 2010,

DPR telah mendesak pemerintah menaikkan perolehan pajak dari level 12 % PDB

menjadi 16 % PDB. Karena perolehan pajak Indonesia masih jauh di bawah Thailand dan

Srilanka yang merupakan negara lebih miskin dari Indonesia. Namun, usulan DPR ini

Page 17: makalah APBN

ternyata tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah berkilah soal metode

perhitungan tax ratio yang belum memasukkan pendapatan daerah.

Terlepas dari soal metode perhitungan, Pemerintah hanya mampu berjanji

perolehan pajak di sekitar angka 12 % dari PDB. Turun dibandingkan angka tahun 2003

sebesar 13% PDB. Pendapatan Indonesia, baik bersumber dari pajak maupun non pajak,

masih lebih rendah ketimbang sumber dan potensi yang ada, penyebabnya antara lain:

a. Miss management di pusat dan daerah

b. Tingginya korupsi baik di pusat maupun di daerah

c. Rendahnya transparansi serta akuntabilitas baik di pusat atau di daerah.

Pengecekan atas dua sumber penerimaan yakni penerimaan perpajakan dan

penerimaan negara dari sektor ekstraktif (pertambangan, minyak dan gas bumi)

memperlihatkan secara gamblang bahwa terdapat potensi besar untuk menaikkan dan

memperbesar pendapatan pemerintah. Misalnya, pemerintah daerah dalam hal

pertambangan batubara telah mengeluarkan 8,000 kuasa pertambangan batubara. Apakah

8,000 perusahaan yang memegang kuasa itu telah membayar pajak atau belum? Dan bila

sudah membayar, apakah sesuai dengan besaran kewajibannya? Bila saja kasus-kasus

“penggarongan” ala Gayus Tambunan dkk dapat diminimalisir dan dihapus, maka ratusan

triliun dapat dijadikan uang negara.

Sisi Pengeluaran

APBN juga dibebani oleh beban utang (dalam dan luar negeri) yang cukup berat.

Perkembangan utang dalam APBN, selama ini menunjukkan bahwa utang menjadi

elemen utama untuk membiayai defisit APBN. Yang beralih adalah bentuknya, sejak

tahun 2005 utang dalam negeri menjadi instrumen pengganti utang luar negeri. Menurut

data Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu (Juli 2010), pada tahun 2005 utang dalam

negeri melebihi kebutuhan untuk menutup defisit APBN. Dari Rp 14 triliun defisit APBN

Page 18: makalah APBN

(audited), pemerintah telah menarik utang dalam negeri sebesar Rp 23 triliun. Keadaan

ini masih berlangsung sampai tahun 2009. Tahun 2008 paling mencengangkan, dari

defisit APBN sebesar Rp 4 triliun, pemerintah mendulang utang dalam negeri sebesar Rp

86 triliun. Sementara, dalam APBN 2009 (realisasi), utang dalam negeri sebesar Rp 99

triliun untuk membiayai defisit Rp 87 triliun. Utang Indonesia memang terus mengalami

kenaikan. Dengan asumsi nilai rupiah 9.275 per US dollar, dalam kurun waktu antara

2004-2009 utang luar dan dalam negeri mengalami kenaikan dari Rp 1.300 trilliun

menjadi Rp 1.591 trilliun. Angka tersebut terus naik hingga menjadi Rp 1.613 trilliun per

Juni 2010. Dengan melihat postur APBN, tidak tampak ada upaya serius pemerintah

untuk mengurangi utang.

Pada tahun 2004 utang per kapita Indonesia sebesar Rp 5,8 juta per kepala, dan

pada Februari 2009 melonjak menjadi Rp 7,7 juta per kepala. Selain utang membebani

warga negara dalam hitungan rata-rata per kapita, utang juga mengurangi diskresi

pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Dari tahun ke tahun, wajib dialokasikan dana besar untuk membayar utang, sementara

pokok utang tidak kunjung habis bahkan terus bertambah. Pada tahun 2010, APBN-P

juga mengalokasikan dana sebesar Rp 105,7 triliun (9,38 % dari total pengeluaran

anggaran) untuk membayar bunga utang. Pada saat bersamaan, bandingkan dengan dana

yang dialokasikan untuk kesehatan yang turun. Alokasi belanja kesehatan hanya sebesar

Rp 17,46 triliun pada tahun 2007, turun menjadi Rp. 17,27 triliun pada tahun 2008, dan

naik sedikit menjadi 17,30 triliun pada tahun 2009. Presiden SBY sendiri pernah

melontarkan pernyataan “government is broke”, saat membuka Sidang Pleno I Himpunan

Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta pada Selasa (10/03/2009). Jika

Government is broke, mengapa terus menambah utang? Bila pemerintah hanya

mengalihkan model beli utang baru untuk menutup utang lama – seperti halnya

Page 19: makalah APBN

menggalakkan SBN untuk menutup sebagian utang luar negeri –terus mengurangi

diskresi fiskal, mengapa utang terus dilakukan? Selain itu, kiranya pemerintah perlu

mencatat tebal bahwa ketergantungan terhadap utang tidak cukup diukur dari rasio

terhadap PDB. Apalagi, bertambahnya PDB itu sendiri adalah akibat bertambahnya utang

secara signifikan (Dirjen Pengelolaan Utang, Juni 2010).

Sisi Akuntabilitas

Sejauh ini, akuntabilitas dari sistem administrasi keuangan ditopang oleh peran

dan eksistensi lembaga pengawasan keuangan yang bersifat internal (Bawasda,

Inspektorat, BPKP) dan pengawasan eksternal (BPK). Sejauh ini institusi yang diserahi

tanggungjawab atas pemeriksaan keuangan negara dinilai belum berfungsi maksimal.

Instansi pengawasan internal masih bersifat tertutup terkait hasil pemeriksaannya.

Beberapa kasus pemeriksaan keuangan bahkan menunjukan bahwa pengawas internal

tidak berfungsi untuk penguatan akuntabilitas internal instansi, akan tetapi lebih sebagai

alat justifikasi bagi praktik-praktik distorsif termasuk korupsi di internal instansi. Di

beberapa daerah, indikasi penyalahgunaan wewenang dan dugaan kerugian negara yang

ditemukan oleh instansi pengawas eksternal sering berbeda dengan temuan instansi

pengawas internal.Seperti halnya instansi pengawas internal, persoalan juga terkait

dengan kinerja dan integritas hasil pemeriksaan keuangan BPK sebagai pemeriksa

keuangan secara eksternal. Sejauh ini, hasil-hasil pemeriksaan BPK belum dapat secara

maksimal ditindaklanjuti oleh DPRD di tingkat daerah dan DPR di tingkat pusat.

Kelemahan dalam mendorong hasil pemeriksaan BPK ini kemudian melemahkan fungsi

pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi keuangan. UU No 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) mengamanatkan pembentukan alat

kelengkapan baru yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang

memperkuat peran pengawasan DPR atas kinerja keuangan pemerintah. BAKN bertugas;

Page 20: makalah APBN

(i) melakukan penelaahan temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan ke DPR; (ii)

menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana kepada komisi-komisi di DPR; (iii)

menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas

permintaan komisi; (iv) memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja

pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan; dan (v) penyajian dan kualitas laporan.

Tetapi, peran pengawasan (oversight) DPR RI belum bekerja secara maksimal. Hal ini

dapat kita lihat dari kinerja BAKN selama setahun lebih ini. Selain karena faktor

dorongan politik untuk korupsi, pengelolaan anggaran negara juga masih dinilai buruk.

Selama 3 tahun berturut-turut, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tidak

bisa diberikan pendapat oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini berarti,

pengelolaan anggaran masih jauh dari prinsip-prinsip pengelolaan sesuai dengan standar

akuntansi keuangan pemerintah. Status disclaimer juga diberikan untuk pengelolaan

keuangan yang masih bertentangan dengan aturan perundangan yang ada (kepatuhan) dan

kelayakan presentasi laporan (kepatutan). Laporan BPK terhadap LKPP juga menunjukan

masih tingginya indikasi praktek-praktek yang dapat merugikan keuangan negara.

Rekapitulasi penerapan opini atas realisasi belanja kementrian/lembaga pemerintah pusat

di tahun 2007 menunjukan jumlah lembaga yang diclaimer atau tidak-bisa-diberikan-

opini masih tertinggi (85,6%), sementara yang sudah wajar-tanpa-pengecualian baru

mencapai 11,79%.

Selama ini, proses politik anggaran di Indonesia tidak pernah dianggap penting.

Lembaga politik maupun birokrasi umumnya menerima proses perencanaan anggaran

yang sudah mengadopsi sistem perencanaan pembangunan bertingkat (Musrenbang).

Sayangnya proses ini belum dapat dikatakan telah mewakili aspirasi politik warga. Dari

berbagai riset disebutkan bahwa Musrenbang tidak lagi efektif untuk dijadikan sebagai

sarana penyerapan aspirasi masyarakat. Ini karena tidak adanya wakil warga di tingkat

Page 21: makalah APBN

kecamatan dan di tingkat kabupaten. Sehingga, proses Musrenbang sebenarnya bukan

sebuah representasi kepentingan berbasis warga akan tetapi hanya alat justifikasi proses

penganggaran untuk dapat disebut telah dilakukan secara aspiratif dan partisipastif.

Hilangnya usulan masyarakat dari proses Musrenbang hanya merupakan akibat

logis dari tidak adanya perwakilan warga. Selain itu, disebabkan oleh beberapa faktor lain

antara lain transparansi anggaran yang tersedia dan juga akuntabilitas pembangunan yang

lalu. Karena dari tingkatan desa proses ini telah terputus, sistem perencanaan

pembangunan nasional yang dikoordinasikan oleh Bappenas tidak dapat dianggap sebagai

mekanisme yang dilakukan secara bottom-up.

Korupsi anggaran secara mudah dapat dilihat dari tingginya kebocoran di sisi

penerimaan dan di sisi belanja. Korupsi di sektor penerimaan banyak menggerogoti

sektor perpajakan dan penerimaan dari sumber daya alam, terutama sektor ekstraktif.

Tingginya tingkat korupsi di sektor perpajakan, bisanya tergambar dari rasio pajak (tax

ratio). Rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia hingga saat ini

masih terlalu kecil bila dibandingan dengan negara lain. Rasio pajak (tax ratio) Indonesia

dalam APBN 2009 baru mencapai 12% dan 12,1 % di dalam RAPBN 2010. Angka ini

masih terpaut jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia yang pada periode yang sama

mencapai 25%. Dan sangat jauh di bawah negara-negara maju seperti Uni-Eropa (EU27)

yang mencapai 40%.

Penelitian Transparency International menyebutkan adanya hubungan yang

berbanding lurus antara peringkat korupsi dengan rasio pajak, dimana dalam rasio pajak

Indonesia menduduki urutan 145 di tahun 2009 dan Indeks Persepsi Korupsi 2009 yang

berada di urutan 111 dengan skor 2.8 bersama 9 negara lain dengan skor yang sama. Dari

kecenderungan ini, rasio pajak dapat menjadi petunjuk yang jelas tentang hubungan

antara tingkat kepatuhan pembayar pajak di satu sisi dengan kinerja pemungut pajak di

Page 22: makalah APBN

sisi yang lain. Di sektor ekstraktif, tingkat kebocoran anggaran sangat tinggi. Hasil kajian

Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2008 menyebutkan terdapat kebocoran

pendapatan di sektor ekstraktif dari hulu hingga hilir.

Reformasi Birokrasi

Berbagai kelemahan dan kekurangan sistemik dalam pengelolaan anggaran baik

di sisi penerimaan, belanja dan akuntabilitas tidak lain dan tidak bukan ditentukan oleh

para pelaku utama yakni (a) mereka yang memutuskan anggaran; dan (b) mereka yang

menggunakan anggaran. Dengan kata lain, yang bertanggungjawab adalah birokrasi,

mulai dari Presiden hingga Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Karena soal

keputusan dan penggunaan anggaran, sebagian besar dilakukan oleh birokrasi. Selain

birokrasi, pihak utama yang memutuskan (dan menggunakan) anggaran adalah DPR.

Fungsi anggaran DPR memang dijamin konstitusi. Konstitusi secara tegas

menyampaikan tiga fungsi DPR, yang salah satunya fungsi anggaran. Dalam konstitusi

disebutkan kekuatan fungsi anggaran DPR, apabila DPR tidak menyetujui Rancangan-

APBN yang diajukan Presiden, Pemerintah hanya dapat menjalankan APBN tahun yang

lalu. Sayangnya, wewenang tersebut belum berjalan efektif. Misalnya dalam hal kenaikan

perolehan pajak Indonesia dan Dana untuk “penyelamatan” Century. Bahkan sebaliknya,

kelembagaan DPR terlihat memanfaatkan kewenangan itu untuk berbagai kegiatan yang

royal sperti pembangunan gedung, studi banding dan sebagainya. Untuk mengatasi

rendahnya akuntabilitas dan korupsi yang sistemik, pemerintah menggulirkan reformasi

birokrasi. Namun demikian, dibanding kemajuan yang dicapai ternyata reformasi

birokrasi itu lebih banyak menggemukkan renumerasi/gaji para pejabat ketimbang hasil

lainnya. Genderang reformasi birokrasi di Indonesia dipelopori oleh Departemen

Keuangan pada tahun 2007. Pilot proyek reformasi birokrasi Depkeu, diatur melalui

Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan

Page 23: makalah APBN

290/KMK.01/2007. Atas nama reformasi birokrasi ini, pejabat dengan level eselon I atau

Direktur Jenderal di lingkungan Departemen Keuangan memperoleh remunerasi

mencapai Rp 46,9 Juta per bulannya.

Menurut UU No. 1 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan

merupakan Bendahara Umum Negara. Lalu apakah selaku bendahara Negara, Depkeu

dapat menambah penghasilan dengan mengatasnamakan reformasi birokrasi, cukup

dengan landasan yuridis keputusan internal? Dengan alasan pilot project, alih-alih

memberikan early warning, BPK sebagai auditor Negara, turut mendapat kucuran

tambahan remunerasi. Meskipun, belum ada kejelasan landasan hukum kenaikan

remunerasi di tubuh BPK ini. Tunjangan prestasi terus bergulir ke tubuh MA. Melalui

Perpres No 19 tahun 2008. Seolah tidak mau rugi, Perpres ini berlaku surut mulai

September 2007. Ketua MA mendapatkan tunjangan kinerja hingga Rp 50 Juta.

Lingkaran ini menjadi lengkap kiranya. Bendahara yang punya kuasa atas uang,

dan sang auditor anggaran serta sang hakim yang memutuskan kebenaran, semua

mendapat jatah remunerasi. Dipastikan tambahan tunjangan ini “aman”. Asumsinya,

dengan tunjangan ditambah, maka prestasi akan meningkat dan korupsi akan berkurang,

adalah tidak relevan. Hasil pemeriksaan BPK menemukan piutang pajak tahun 2007

sebesar Rp. 42,04 triliyun, tidak berhasil ditarik Depkeu. BPK juga melansir lagi-lagi

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat adalah disclaimer. Tambahan tunjangan juga tidak

berpengaruh terhadap keterbukaan MA soal uang perkara yang tidak mau diaudit.

Berdasarkan catatan FITRA, kenaikan belanja pegawai pada tahun 2008 di ketiga

lembaga ini, menyedot anggaran hingga Rp. 9,5 Trilyun dengan mengalami kenaikan

belanja pegawai di Depkeu hingga 270%, MA sebesar 230% dan BPK 163%. Pada tahun

anggaran 2009, dengung reformasi birokrasi ini mulai jauh berkurang. Tentunya,

Presiden SBY sebagai incumbent akan menjaga citranya dengan tidak mengeluarkan

Page 24: makalah APBN

kebijakan tidak populer di tahun Pemilu. Sebagai instrumen politik, kenaikan gaji

Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri sebesar 15% di tahun 2009 cukup efektif meraih simpati

pemilih ditubuh birokrasi.

Page 25: makalah APBN

BAB III

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Pengertian anggaran adalah dokumen yang menunjukkan kondisi atau keadaan

keuangan suatu organisasi (keluarga, perusahaan, pemerintah) yang menyajikan informasi

mengenai pendapatan, pengeluaran, aktivitas dan tujuan yang hendak dicapai. Di Indonesia

anggaran negara setiap tahun disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN). APBN yang ditetapkan tiap tahun dengan undang undang harus mendapatkan

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat atas rancangan APBN

yang diajukan oleh pemerintah. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,

pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Selama pemerintahan orde baru yaitu dari TA 1969/1970 sampai dengan 1999/2000

APBN disusun berdasarkan sistem anggaran berimbang (T-account) yang terdiri dari

penerimaan dan pengeluaran. Format ini dirasakan masih mempunyai kelemahan antara lain

tidak memberikan informasi yang jelas mengenai pengendalian defisit dan kurang transparan

antara dana milik negara atau dana yang merupakan utang sehingga perlu disempurnakan.

Mulai TA 2000 yaitu pada masa pemerintahan reformasi format APBN diubah menjadi I-

account, disesuaikan dengan Government Finance Statistics (GFS). APBN dengan format

GFS menggunakan sistem deficit spending dimana pinjaman dalam negeri dan luar negeri

merupakan sumber untuk menutup defisit anggaran dan tidak diklasifikasikan sebagai

penerimaan.

APBN mencakup seluruh penerimaan dan pengeluaran yang ditampung dalam satu

rekening yang disebut rekening Bendaharawan Umum Negara (BUN) di bank sentral (Bank

Indonesia). APBN disusun oleh dua komponen utama yaitu penerimaan dan pengeluaran.

Penerimaan bersumber dari dalam negeri yaitu pajak dan non pajak serta luar negeri yaitu

Page 26: makalah APBN

utang. Sedangkan pengeluaran terdiri dari belanja pemerintahan pusat, belanja daerah, Dana

Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Defisit atau surplus merupakan

selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut

defisit, sebaliknya jika penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus.

Tahun 2010, lebih dari 12 tahun setelah krisis ekonomi Indonesia 1998, dalam catatan

anggota Badan Pekerja Komisi Anggaran Independen (BP-KAI), APBN masih sarat masalah.

Keadaan APBN Indonesia dapat dicirikan sebagai berikut: di satu sisi masih sangat elitis dan

belum memihak warga negara; di sisi lainnya, masih belum akuntabel.

B. REKOMENDASI

1. Untuk Belanja Sosial

Pemerintah dan DPR perlu membalik prioritas yang ada selama ini, yakni dengan

mengutamakan alokasi untuk belanja sosial terutama untuk kesehatan, bantuan sosial dan

tunjangan pengangguran. Alokasi dana untuk Kesehatan misalnya minimal dapat dinaikan

menjadi 5-8 % dari total anggaran APBN dan APBD. Dengan kenaikan anggaran, maka

cakupan penerima Jamkesmas atau asuransi kesehatan universal Indonesia (untuk seluruh

warga negara) dapat dimulai sejalan dengan amanat UU SJSN 2004, UU Kesehatan, dan

sebagainya.

2. Untuk Aspek Penerimaan Pajak

KAI mendukung usulan kenaikan perolehan pajak hingga 16 % PDB oleh DPR

sebab hal itu layak dicapai dan dapat dilaksanakan. Tidak ada gunanya kue ekonomi

membengkak (PDB) dan pendapatan perkapita mencapai 3000 dolar per kapita bila

perolehan pajak rendah. Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu membuka potensi pajak

yang sebenarnya serta mengusulkan perluasan sumber pajak baru seperti: pajak transaksi

elektronik, pajak polusi atau pajak ekologis.

Page 27: makalah APBN

3. Untuk Pembiayaan dan Utang

KAI merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR RI untuk: Pertama,

menghentikan utang baru. Pemerintah bersama lembaga legislatif harus serius berpikir

bagaimana mengatasi problem defisit. Apakah menguatkan sumber pendanaan dalam

negeri melalui pengelolaan sumber daya alam yang mandiri, atau melakukan penghematan

dan mengurangi porsi belanja yang tidak penting (efisiensi). Bila optimalisasi sumber daya

alam yang dipilih, maka akan banyak kebijakan yang harus direvisi. Ada banyak

perundangundangan yang tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional harus

dirombak, seperti Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001, Undang-undang No. 4

Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang tidak mengatur pentingnya

DMO (Domestic Market Obligation) bagi kepentingan nasional, dan Undang-undang No.

25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di

sektor tambang hingga 95 %.

Kedua, rekayasa keuangan terhadap utang lama. Terhadap utang lama, bila

mengikuti ketentuan bunga yang berlaku, maka Indonesia akan terus mengalami

penurunan kapasitas fiskal disebabkan beban bunga utang dan cicilan pokok utang.

Rasanya sudah tidak masuk akal utang baru Indonesia berada jauh di bawah kewajiban

membayar bunga dan cicilan utang lama. Jadi, sekedar untuk “gali lubang tutup lubang”

saja, Indonesia sudah tidak mungkin mampu melunasi semua utang.

Ketiga, pemerintah harus lebih agresif melakukan negosiasi bilateral terutama

dengan Jepang. Mengapa Jepang, karena 44,4% utang luar negeri berasal dari Jepang.

Tujuan negosiasi adalah mengurangi pokok utang atau bahkan menghapus pokok utang.

Argumen geopolitik dan strategik bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk mendekati

Jepang. Bukankah argumen ini yang dalam waktu lama dipakai oleh pemerintah untuk

mendapatkan penambahan utang? Mengapa tidak bisa dipakai pula untuk mengurangi atau

Page 28: makalah APBN

menghapus utang? Dalam konteks ini, memang strategi negosiasi utang perlu

memanfaatkan faktor non teknis ekonomi.

Keempat, sebagai pengelola utang, Pemerintah ke depan juga harus

mengembangkan indikator tambahan. Outstanding utang tidak hanya dilihat dengan rasio

terhadap PDB, karena debt ratio mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang mempunyai

konsekuensi terhadap penurunan pelayanan negara terhadap masyarakat. Setiap rupiah

yang dibayarkan ke utang, sebenarnya harus didistribusikan bagi pencapaian kesehatan dan

akses pendidikan masyarakat yang bermutu.

Untuk kasus Indonesia, rasio utang semakin menunjukkan perlunya reorientasi

manajemen utang pemerintah, dengan re-fokus kepada pengurangan debt stock, bukan

pengalihan utang ke generasi mendatang dan/atau penambahan utang baru. Ini juga

membawa konsekuensi tambahan, yaitu utang baru seyognyanya tidak digunakan untuk

sisi konsumsi dalam APBN. Tapi justru lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur

seperti listrik, jalan dan komunikasi.

4. Untuk Penerimanaan dari Sektor Ekstraktif

Pemerintah dan DPR harus menetapkan target kuantitatif minimal 5 % dari PDB

untuk mendorong kenaikan penerimaan non-pajak dari sektor ekstraktif.

Pemerintah dan DPR perlu membuka data-data potensi pajak dari sector ekstraktif

dan

membandingkannya dengan angka realisasi sehingga penerimaan negara dari

perpajakan dan industri ektraktif masih dapat dioptimalkan.

Perbaikan tata kelola administrasi pajak serta penegakannya regulasi harus

mendapatkan perhatian lebih sungguh-sungguh, sehingga penerimaan negara dari

sektor ekstraktif (pertambangan, minyak dan gas bumi) akan meingkat.

Page 29: makalah APBN

Mengembangkan dan menegakkan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang

ketat, terutama mekanisme transparansi dan akuntabilitas aliran pendapatan dari

sektor ekstraktif.

Meninjau ulang kontrak karya perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif

sehingga sesuai dengan perkembangan kondisi ekonomi, politik, sosial dan

lingkungan.

5. Untuk Aspek Akuntabilitas

Penerimaan yang besar akan tiada guna apabila terjadi korupsi dan kebocoran

secara massif dan sistemik. Oleh karena itu, perlu diberlakukan sistem antikorupsi dan

integritas serta sistem akuntabilitas yang tidak tergantung angin rezim politik. Sebagai

awal dan niat baik, Pemerintah dan DPR perlu mendeklarasikan “zero corruption” dalam

pengelolaan dan penggunaan APBN dan APBD untuk 3 tahun ke depan, sebagai

permulaan untuk memulai tindakan sistemik memerangi korupsi.

Peran KPK harus kuat baik dalam hal pencegahan maupun penindakan terhadap

kasus korupsi sistemik. Presiden wajib mendukung penguatan kerja-kerja KPK sebagai

avant garde pemberantasan korupsi. Ujian yang sederhana bagi KPK adalah soal kasus

dana Bank Century, Rekening Gendut, Pengemplang Pajak dan kasus-kasus pengadaan

barang;Dalam rangka penguatan akuntabilitas, Presiden harus melakukan tindakan yang

sistematis dengan membuat target dan sasaran agar LKPP Pemerintah,

Kementerian/Lembaga lebih banyak yang tidak disclaimer (60%) lagi, sebagai bukti

pengelolaan keuangan/anggaran Pemerintah/Kementerian/ Lembaga sudah lebih baik

sesuai dengan tata kelola keuangan, standard akuntasi yang berlaku dan aturan

perundangan. Gagasan Presiden tentang pembentukan Tim Penghematan Anggaran tidak

mencerminkan upaya melakukan akuntabilitas di sisi penghematan. 3.6 Untuk Reformasi

Birokrasi "Sebetulnya, yang namanya renumerasi itu di ujung dari reformasi birokrasi”,

Page 30: makalah APBN

ujar Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Lukita Dinarsyah Tuo tentang

reformasi birokrasi dan hubungannya dengan remunerasi. Oleh karena itu, rekomendasi

yang KAI tawarkan adalah:

1) Mengefektifkan skema reward and punishment dengan pendekatan berbasis kinerja

(performance based) dalam melihat tugas dan kewenangan K/L dan aparatusnya;

2) Mencegah reformasi birokrasi hanya terpeleset/terjebak menjadi reformasi renumerasi;

3) Melakukan evaluasi reformasi birokrasi secara menyeluruh dan melibatkan multi

stakeholders dan melakukan moratorium remunerasi; (iv) mengusulkan lahirnya Tim

Evaluasi yang berisi dari unsur DPR, Pemerintah dan kelompok independen untuk

menilai kemajuan dan kelemahan program reformasi birokrasi yang telah berjalan

selama ini.

Page 31: makalah APBN

DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, Farid. 1989. Ekonomika Makro Edisi 3. BPFP. Yogyakarta.

Robert D. Lee, Jr and Ronald W. Johnson . 1978 Public Budgeting System, Second Edition,University Park Press. Baltimore.

Undang-Undang Dasar 1945, pasal 23 ayat (1) (2) (3).

Arifin P. Soeria Atmadja . 2009. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritikdan Praktik.: RajaGrafindo Persada. Jakarta.