29

Click here to load reader

Leny & Suyasa, P. T. Y. S. (2006). Keaktifan Berorganisasi Dan Kompetensi Interpersonal

  • Upload
    agung

  • View
    251

  • Download
    98

Embed Size (px)

Citation preview

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    71

    Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal

    Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

    ABSTRACT

    This research aimed to examine the relationship between the activeness in participating at students organization and interpersonal competence on college students. Subjects were students from Tarumanagara University (N = 156). A questionnaire was used to collect the data. The data were analyzed through Pearsons correlation test. The result shows that there is a positive and significant correlation between the activeness in participating at students organization and interpersonal competence on college students. Keywords: interpersonal competence, college student, organization

    Latar Belakang

    Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia

    senantiasa memiliki kebutuhan dasar untuk mengembangkan hubungan interpersonal

    yang hangat dengan sesama manusia (Baron & Byrne, 2004; Thalib, 1999). Untuk

    dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang

    memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi

    (Lukman, 2000). Kecakapan ini dikenal juga dengan istilah kompetensi interpersonal.

    Menurut Buhrmester (1996), kompetensi interpersonal merupakan kecakapan

    atau kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun, membina, dan

    memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan dengan orangtua,

    teman dekat, dan pasangan. Adanya kompetensi interpersonal ini membuat seseorang

    merasa mampu dan terampil untuk menjalin hubungan yang efektif dengan orang lain

    dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam situasi

    hubungan antarpribadi. Sebaliknya, kurangnya kompetensi interpersonal tersebut

    dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam penyesuaian diri dan terganggunya

    kehidupan sosial seseorang.

    Keberadaan kompetensi interpersonal dalam kehidupan sehari-hari sangat

    diperlukan oleh setiap individu, tidak terkecuali oleh mahasiswa. Menurut Nashori

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    72

    (2000), kompetensi interpersonal mahasiswa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

    Salah satu faktor yang turut mempengaruhi kompetensi interpersonal mahasiswa

    adalah aktivitas dan partisipasi sosial yang dijalaninya. Keikutsertaan mahasiswa pada

    berbagai kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain serta kebiasaan

    untuk hidup bersama dan mengembangkan pergaulan yang akrab akan menjadikan

    kompetensi interpersonal mahasiswa menjadi berkembang (Mahoney & Cairns, 1997;

    Mahoney, Cairns, & Farmer, 2003).

    Nashori (2000) berpendapat bahwa mahasiswa dapat memanfaatkan berbagai

    bentuk kegiatan organisasi kemahasiswaan yang tersedia di kampus untuk

    membiasakan dirinya hidup bersama dan mengembangkan pergaulan yang akrab

    dengan orang lain. Kesempatan untuk mengembangkan pergaulan yang akrab dengan

    orang lain dapat diperoleh salah satunya dengan cara aktif dalam organisasi

    kemahasiswaan.

    Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung senang

    melibatkan diri dalam pelaksanaan berbagai acara maupun kegiatan yang diadakan

    oleh organisasi kemahasiswaan tempatnya bergabung, misalnya dengan cara menjadi

    panitia maupun pengurus organisasi (Priambodo, 2000). Dalam menjalankan tugasnya

    sebagai panitia maupun pengurus organisasi, mahasiswa seringkali dihadapkan pada

    situasi kerja sama dengan orang lain. Dalam situasi kerja sama, mahasiswa harus

    mampu untuk menyesuaikan diri dengan orang yang berada dalam lingkungan kerja

    sama tersebut. Selain itu, mahasiswa juga harus mampu untuk mengatasi berbagai

    konflik antarpribadi yang mungkin muncul dalam situasi kerja sama tersebut.

    Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan untuk mengatasi konflik antarpribadi ini

    dapat berkembang seiring dengan keaktifan mahasiswa di dalam organisasi

    kemahasiswaan (Nashori, 2000). Lebih lanjut, keaktifan di dalam organisasi

    kemahasiswaan dapat menjadikan kompetensi interpersonal mahasiswa menjadi

    tumbuh dan berkembang.

    Mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik ditandai

    dengan berkembangnya kemampuan untuk berinisiatif dalam memulai hubungan

    interpersonal, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif,

    kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan untuk

    mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Buhrmester,

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    73

    Furman, Wittenberg, & Reis, 1988). Melalui berbagai pengalaman yang diperoleh

    mahasiswa seiring dengan keaktifannya dalam organisasi kemahasiswaan,

    kemampuan-kemampuan tersebut dapat semakin dikembangkan.

    Berdasarkan keseluruhan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, terlihat

    adanya fenomena hubungan positif antara keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Dalam pengertian,

    semakin tinggi tingkat keaktifan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan,

    semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya. Dengan bermaksud menguji

    fenomena yang ada, maka peneliti tertarik untuk mengungkapkan keberadaan

    hubungan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi

    interpersonal pada mahasiswa.

    Organisasi Kemahasiswaan

    Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 1999,

    organisasi kemahasiswaan adalah suatu wadah yang dibentuk untuk melaksanakan

    peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran, dan kesejahteraan

    mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan di perguruan tinggi. Berikutnya,

    organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi juga dipahami sebagai wahana dan

    sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan

    kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan

    tinggi (Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 1 ayat 1). Ada dua tujuan

    pendidikan tinggi. Pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat

    yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,

    mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau

    kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi

    dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf

    kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional (Surat Keputusan

    Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 1 ayat 2).

    Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998 pasal 1 ayat

    5 dijelaskan pula bahwa kegiatan organisasi kemahasiswaan meliputi penalaran dan

    keilmuan, minat dan kegemaran, serta upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan

    bakti sosial bagi masyarakat. Organisasi kemahasiswaan tersebut diselenggarakan

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    74

    berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan

    keleluasaan yang lebih besar kepada mahasiswa (Surat Keputusan Mendikbud No.

    155/U/1998, pasal 2).

    Menurut Joesoef (1978), organisasi kemahasiswaan merupakan wadah yang

    diharapkan mampu menampung seluruh kegiatan kemahasiswaan dan juga merupakan

    sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir atau bernalar secara teratur di luar

    perkuliahan formal, kemampuan berorganisasi, dan menumbuhkan kepemimpinan.

    Selanjutnya Joesoef (1978) menambahkan bahwa dibentuknya organisasi atau

    lembaga kemahasiswaan ini bertujuan untuk membantu mahasiswa mewujudkan

    kekuatan penalaran yang secara potensial dimilikinya, kelak apabila mahasiswa

    menerjunkan dirinya ke masyarakat setelah ia menyelesaikan studinya di perguruan

    tinggi.

    Sementara itu menurut Launa (2000), pengertian organisasi kemahasiswaan

    tidak jauh berbeda dengan pengertian organisasi pada umumnya. Menurut Launa

    (2000), organisasi kemahasiswaan kampus merupakan suatu wadah atau organisasi

    yang bergerak di bidang kemahasiswaan, yang di dalamnya dilengkapi dengan

    perangkat teknis yang jelas dan terencana seperti struktur, mekanisme, fungsi,

    prosedur, program kerja, dan elemen lainnya yang berfungsi mengarahkan seluruh

    potensi yang ada dalam organisasi tersebut pada tujuan atau cita-cita akhir yang ingin

    dicapainya.

    Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan mengenai

    organisasi kemahasiswaan, dapat disimpulkan bahwa organisasi kemahasiswaan

    adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah integritas

    kepribadian, perluasan wawasan, peningkatan kecendekiawanan, serta peningkatan

    kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran, dan kesejahteraan mahasiswa dalam

    kehidupan kemahasiswaan di perguruan tinggi, yang di dalam pelaksanaannya

    dilengkapi dengan perangkat teknis yang jelas dan terencana seperti struktur,

    mekanisme, fungsi, prosedur, program kerja, dan elemen lainnya yang berfungsi

    mengarahkan seluruh potensi yang ada dalam organisasi tersebut pada tujuan atau

    cita-cita akhir yang ingin dicapainya

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    75

    Ciri-ciri Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

    Menurut Priambodo (2000) dan Sarwono (1978), terdapat beberapa ciri yang

    melekat dalam diri mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Salah satu

    cirinya yaitu senang menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan.

    Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan hampir selalu ingin terlibat

    dalam kepengurusan harian maupun kepanitiaan berbagai kegiatan dan acara yang

    diadakan organisasinya. Mereka bersedia untuk terlibat aktif mendorong pelaksanaan

    berbagai kegiatan dalam organisasi tempatnya bergabung (Priambodo, 2000;

    Sarwono, 1978).

    Ciri selanjutnya yaitu cenderung sering duduk-duduk dan berbincang-bincang

    di ruangan atau kantor organisasi kemahasiswaan yang diikuti. Mahasiswa-mahasiswa

    yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung lebih banyak meluangkan

    waktunya untuk berkumpul di ruangan atau kantor organisasi sambil duduk-duduk

    dan berbincang-bincang dengan sesama anggota organisasi lainnya mengenai hal-hal

    yang berkaitan dengan organisasi yang diikuti maupun mengenai isu-isu yang beredar

    di lingkungan luar atau masyarakat (Priambodo, 2000).

    Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Sarwono (1978), yang

    mengemukakan bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan

    cenderung lebih banyak menggunakan waktunya untuk hal-hal yang sifatnya non-

    akademis. Mereka lebih banyak menggunakan waktu luangnya untuk berkumpul dan

    berdiskusi tentang berbagai hal yang menyangkut keorganisasian dibandingkan untuk

    memikirkan tugas-tugas perkuliahan.

    Lebih lanjut, Priambodo (2000) berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif

    dalam organisasi kemahasiswaan, khususnya yang memegang jabatan sebagai

    pemimpin, cenderung mempunyai wawasan yang luas tentang perkembangan dunia

    luar maupun tentang hal-hal yang terjadi di seputar kampus. Di samping memiliki

    wawasan yang luas, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga

    cenderung memandang segala sesuatu secara kritis (Sarwono, 1978). Mereka

    cenderung lebih peka dan lebih kritis terhadap perkembangan kejadian-kejadian di

    lingkungan luar, misalnya perkembangan keadaan politik di dalam maupun luar

    negeri (Priambodo, 2000).

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    76

    Melengkapi beberapa ciri yang telah dikemukakan sebelumnya, Sarwono

    (1978) berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan

    juga cenderung memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan

    pendapat secara efektif, serta memiliki keberanian yang lebih untuk berprakarsa dan

    mengambil resiko dalam bertindak.

    Kompetensi Interpersonal

    Kompetensi interpersonal adalah kecakapan yang memampukan individu

    untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi (Lukman, 2000). Pengertian

    yang serupa juga dikemukakan oleh Darmawan (2002) dan Thalib (1999), yaitu:

    kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk bergaul atau menjalin hubungan

    dengan orang lain secara pribadi di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah,

    tempat kerja, dan organisasi sosial lainnya.

    Buhrmester (1996) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal

    merupakan kemampuan-kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun,

    membina, dan memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan

    dengan orang tua, teman dekat, dan pasangan. Kurangnya kemampuan tersebut dapat

    mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial seseorang, misalnya menjadi pemalu,

    menarik diri, memisahkan diri dari orang lain, dan memutuskan hubungan

    (Buhrmester, 1996).

    Lebih lanjut, kompetensi interpersonal juga dipahami sebagai kemampuan

    individu untuk melakukan hubungan antarpribadi yang efektif dan untuk menuntun ke

    arah tujuan komunikasi secara berhasil (Muhammady, 2001; Nashori, 2000). Menurut

    Nashori (2000), individu yang mampu melakukan komunikasi interpersonal secara

    efektif dapat disebut memiliki kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal

    dalam konteks ini memuat berbagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang

    diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif, yaitu suatu bentuk interaksi

    yang dikarakteristikkan ketika seseorang dapat memahami orang lain dan orang lain

    juga dapat memahaminya (Sperling & Berman, 1994; Zulkarnain, Lubis, & Asmara,

    1997).

    Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis

    tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    77

    interpersonal yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan

    mengenai konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan mengenai perilaku non-

    verbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan interaksi yang

    tengah berlangsung dan dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan

    kemampuan-kemampuan lainnya (De Vito, 1997). Dalam hal ini seorang individu

    mampu untuk mengatur apakah hal yang akan dikomunikasikan itu layak untuk

    dikomunikasikan pada orang tertentu dan di lingkungan tertentu atau tidak

    (Muhammady, 2001; Nashori, 2000).

    Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan mengenai

    kompetensi interpersonal, dapat dirumuskan bahwa kompetensi interpersonal adalah

    kemampuan atau kecakapan yang diperlukan guna membangun, membina, dan

    memelihara hubungan interpersonal, agar dapat diperoleh kualitas hubungan

    interpersonal yang memuaskan, efektif, dan optimal. Adanya kompetensi

    interpersonal ini membuat seseorang merasa mampu dan terampil untuk menjalin

    hubungan dengan orang lain dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang

    mungkin muncul dalam situasi hubungan antarpribadi, terutama yang berkaitan

    dengan kesulitan dalam bergaul, seperti sikap cemas dan pemalu ketika berhubungan

    dengan orang lain, perilaku menarik diri, dan sebagainya.

    Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) menyatakan bahwa secara

    umum kompetensi interpersonal terdiri dari lima komponen kemampuan antara lain

    (a) kemampuan untuk berinisiatif, (b) kemampuan untuk membuka diri atau self-

    disclosure, (c) kemampuan untuk bersikap asertif, (d) kemampuan untuk memberikan

    dukungan emosional, dan (e) kemampuan untuk mengatasi konflik.

    Mahasiswa

    Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar di perguruan tinggi dan

    merupakan bagian dari sivitas akademika (Kansil, Soepardi, & Kansil, 1998). Pada

    umumnya, mahasiswa berusia antara 18-30 tahun. Dalam kerangka psikologi

    perkembangan, usia mahasiswa merupakan fase peralihan antara fase remaja akhir

    menuju dewasa awal (Pudjiwati, 1998). Pada masa remaja akhir, individu dituntut

    untuk lebih matang mempersiapkan diri memasuki dunia dewasa, baik secara sosial,

    material, intelektual, profesional, dan okupasional (Pudjiwati, 1998; Sarwono, 2003).

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    78

    Persiapan memasuki kehidupan dewasa, seperti persiapan berumah tangga, memasuki

    kehidupan sosial dan menjadi bagian dari masyarakat, serta mendapatkan pekerjaan,

    merupakan karakteristik utama dalam fase ini. Semuanya itu menuntut adanya

    kematangan perkembangan pribadi. Namun transisi dalam fase ini tidak selamanya

    berjalan mulus, adakalanya mengalami hambatan yang jika tidak diatasi akan

    menimbulkan kekecewaan atau bahkan kegagalan dalam perkembangan

    kepribadiannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004).

    Kompetensi Interpersonal pada Mahasiswa

    Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai

    mahasiswa, dapat diketahui bahwa memasuki usia mahasiswa, yang merupakan fase

    peralihan antara fase remaja akhir menuju dewasa awal, seorang individu dituntut

    untuk lebih matang mempersiapkan diri memasuki dunia dewasa. Salah satunya

    adalah mempersiapkan diri secara sosial. Mempersiapkan diri untuk memasuki

    kehidupan sosial yang lebih luas serta menjadi bagian dari masyarakat umum

    merupakan bagian dari tugas perkembangan yang harus dijalani mahasiswa

    (Pudjiwati, 1998; Sarwono, 2003).

    Mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas

    sebenarnya telah dimulai sejak seseorang memasuki periode remaja. Memasuki

    periode remaja, seseorang mulai mengurangi intensitasnya untuk berinteraksi dengan

    orang tua dan mulai menuju ke arah teman sebaya untuk membina hubungan yang

    lebih akrab (Buhrmester, 1996). Pada periode ini, kebutuhan dan keinginan untuk

    dapat berkomunikasi dan memperoleh teman yang banyak juga semakin meningkat.

    Remaja mulai membentuk kelompok sahabat yang memiliki minat, kesukaan, dan

    nilai-nilai yang sama serta banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan yang

    melibatkan banyak orang dan menginginkan kedekatan emosional dalam

    kelompoknya (Mastuti, 2001).

    Selanjutnya seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan sosial

    seseorang juga mengalami perubahan. Apabila pada perioda remaja, seseorang

    cenderung lebih banyak berinteraksi dengan teman yang sebaya, maka memasuki

    perioda atau usia mahasiswa, seseorang cenderung memperluas hubungan sosialnya.

    Hubungan sosial pada mahasiswa tidak hanya berorientasi pada teman sebaya,

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    79

    melainkan sudah dikembangkan pada lingkungan sosial yang lebih luas, misalnya

    dosen dan masyarakat secara umum (Sarwono, 2003). Dalam hal ini, mahasiswa

    diharapkan mampu mengembangkan hubungan interpersonal yang akrab dengan

    orang lain dan mampu mencapai tanggung jawab sosial dengan cara melibatkan diri

    pada kegiatan-kegiatan sosial, baik di kampus, di kantor, maupun di lingkungan

    umum (Pudjiwati, 1998).

    Guna mengembangkan hubungan interpersonal yang akrab dengan orang lain

    dan mencapai tanggung jawab sosial tersebut, mahasiswa membutuhkan unsur-unsur

    keterampilan yang bersifat antarpribadi atau kompetensi interpersonal. Kompetensi

    interpersonal pada mahasiswa merupakan seperangkat kemampuan dan kecakapan

    yang sangat diperlukan mahasiswa guna membangun, membina, dan memelihara

    hubungan interpersonal dengan orang lain, agar dapat diperoleh kualitas hubungan

    interpersonal yang efektif, memuaskan, dan optimal (Buhrmester, 1996). Kompetensi

    interpersonal pada mahasiswa meliputi kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan

    untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk

    memberikan dukungan emosional, serta kemampuan untuk mengatasi konflik yang

    mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Buhrmester et al., 1988). Adanya

    kompetensi interpersonal ini akan memampukan mahasiswa untuk bergaul dan

    berhubungan dengan orang lain secara efektif (Thalib, 1999).

    Mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik dapat

    mengemukakan pandangan atau gagasannya secara jelas tanpa menyakiti orang lain.

    Mereka juga biasanya mudah mendapatkan teman, mampu berkomunikasi secara

    efektif dan memberikan informasi selama berkomunikasi tanpa perasaan tegang atau

    perasaan tidak enak lainnya. Bahkan, mahasiswa yang memiliki kompetensi

    interpersonal yang baik akan mampu pula mengemukakan ide-idenya secara

    meyakinkan kepada orang lain dan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi

    dalam situasi interpersonal dengan efektif (Thalib, 1999).

    Lebih lanjut, Thalib (1999) berpendapat bahwa kompetensi interpersonal yang

    dimiliki mahasiswa akan mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan

    penyesuaian diri di lingkungan kampus. Di lingkungan kampus, seorang mahasiswa

    dituntut untuk dapat membina hubungan interpersonal dan melakukan penyesuaian

    diri. Tuntutan agar mahasiswa dapat menyesuaikan diri dan dapat membina hubungan

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    80

    dengan individu lain hanya dapat terwujud apabila mahasiswa memiliki kompetensi

    interpersonal yang cukup. Dengan adanya kompetensi interpersonal, mahasiswa akan

    dapat menyesuaikan diri dengan cepat di lingkungan kampus dan dapat terhindar dari

    isolasi sosial (Buhrmester, 1996).

    Mengingat begitu pentingnya manfaat kompetensi interpersonal bagi

    mahasiswa, saat ini banyak bermunculan kegiatan organisasi kemahasiswaan di

    lingkungan kampus, yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan kompetensi

    interpersonal pada mahasiswa. Melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan,

    mahasiswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan banyak

    orang serta untuk mengasah keterampilan bersosialisasi dan komunikasi. Selain itu,

    mahasiswa juga menjadi lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang

    dari beragam tipe kepribadian. Lebih lanjut, kemampuan mahasiswa untuk

    menyelesaikan konflik maupun untuk bersikap asertif juga dapat terlatih seiring

    dengan keterlibatan mereka pada kegiatan organisasi kemahasiswaan (Nashori, 2000).

    Dengan demikian, berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan

    sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa kompetensi interpersonal pada mahasiswa

    merupakan hal yang sangat penting guna membangun, membina, dan memelihara

    hubungan interpersonal yang memuaskan dan membahagiakan dengan orang lain.

    Adanya kompetensi interpersonal ini akan memberikan sejumlah manfaat bagi

    mahasiswa, diantaranya mudah mendapatkan teman, mampu melakukan komunikasi

    yang efektif, mampu menyampaikan perasaan dan pendapat secara proporsional,

    mampu menyelesaikan konflik, serta mampu menyesuaikan diri di lingkungan baru

    dengan baik. Lebih lanjut, kompetensi interpersonal ini dapat lebih mudah

    dikembangkan seiring dengan keterlibatan mahasiswa pada kegiatan-kegiatan sosial

    baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan umum.

    Mahasiswa yang aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan mempunyai

    kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan individu-individu lain

    dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

    Hal ini tentunya semakin memperkaya pengalaman mereka yang terlibat aktif dalam

    organisasi kemahasiswaan dalam menghadapi individu-individu dengan berbagai

    karakter kepribadian. Dengan perkataan lain, mahasiswa yang aktif mengikuti

    organisasi kemahasiswaan lebih terlatih secara sosial dan lebih kompeten dalam

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    81

    menghadapi berbagai situasi interpersonal dibandingkan dengan mahasiswa yang

    jarang atau bahkan tidak pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

    Dalam organisasi kemahasiswaan yang mengharuskan mahasiswa untuk

    berinteraksi secara langsung dengan individu-individu lain, mahasiswa dilatih untuk

    memiliki sikap inisiatif, asertif, terbuka, dan empati. Melalui kegiatan organisasi

    kemahasiswaan ini, mahasiswa didorong untuk menjadi pribadi yang aktif dalam

    berinteraksi dengan individu lain. Selanjutnya, keikutsertaan mahasiswa pada

    berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan juga akan mengembangkan keterampilan

    mereka dalam menyelesaikan konflik, baik yang terjadi dalam tubuh organisasi

    maupun konflik antarpribadi. Lebih lanjut melalui berbagai pengalaman di dalam

    organisasi kemahasiswaan, mahasiswa dapat memperoleh kesempatan yang lebih

    besar untuk mengasah kepekaan dan keterampilan bersosialisasi maupun

    berkomunikasi serta dapat mempelajari cara-cara untuk mengembangkan jaringan

    sosial, baik di dalam maupun di luar kampus, cara-cara untuk beradaptasi dengan

    lingkungan sosial, dan cara-cara untuk memelihara hubungan interpersonal yang

    hangat dengan orang lain. Selain itu melalui kegiatan kemahasiswaan, mahasiswa

    juga dibiasakan untuk hidup bersama, bekerja sama, dan mengembangkan pergaulan

    yang akrab dengan individu lain. Pengalaman-pengalaman seperti ini tentunya akan

    meningkatkan kompetensi interpersonal mahasiswa.

    Dengan demikian dapat dipahami bahwa umumnya mahasiswa yang aktif

    dalam berbagai organisasi kemahasiswaan akan memiliki kompetensi interpersonal

    yang lebih baik dibandingkan mahasiswa yang tidak aktif dalam organisasi

    kemahasiswaan. Mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan

    memiliki pengalaman dan kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi dan

    untuk memperluas jaringan pertemanan dengan individu lain. Hal ini akan membuat

    keterampilan sosial mahasiswa semakin terasah dan semakin kompeten dalam

    mengatasi situasi interpersonal sehingga mahasiswa juga menjadi lebih mampu untuk

    menyesuaikan diri dan membina hubungan interpersonal yang hangat ketika

    berhadapan dengan individu lain. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan

    sebelumnya, peneliti mengajukan hipotesis penelitian, yaitu: terdapat hubungan

    positif antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi

    interpersonal pada mahasiswa.

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    82

    METODE PENELITIAN

    Subjek

    Subjek yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 156 orang,

    teridiri dari 100 (64,1%) laki-laki, dan 56 (35,9%) perempuan. Berdasarkan data yang

    diperoleh mengenai usia, diketahui bahwa usia minimum subjek penelitian adalah 18

    tahun dan usia maksimumnya adalah 25 tahun, dengan usia rata-rata subjek penelitian

    adalah 21,08 tahun dengan standar deviasi sebesar 1,36. Selanjutnya berdasarkan data

    yang diperoleh mengenai golongan usia, diketahui bahwa subjek penelitian yang

    berada di periode remaja akhir atau yang berusia antara 18 - 21 tahun berjumlah 99

    orang (63,5%) dan subjek penelitian yang berada di periode dewasa awal atau yang

    berusia antara 22 25 tahun berjumlah 57 orang (36,5%).

    Pengukuran

    Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari

    sejumlah butir pernyataan. Kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian terdiri

    dari empat bagian. Bagian pertama berupa pengantar yang terdiri dari salam pembuka

    dari peneliti, tujuan penelitian, keterangan bahwa identitas akan dirahasiakan,

    petunjuk pengisian, dan ucapan terima kasih atas kesediaan subjek untuk bekerja

    sama sebagai penutup. Selanjutnya, bagian kedua berupa surat persetujuan yang

    menyatakan kesediaan subjek untuk dilibatkan dalam penelitian. Kemudian, bagian

    ketiga berupa data kontrol yang terdiri dari usia, jenis kelamin, fakultas/jurusan,

    semester/angkatan, IPK, organisasi kemahasiswaan yang dikuti, jabatan dalam

    organisasi kemahasiswaan, lamanya bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.

    Terakhir, berupa skala pengukuran keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan

    dan skala kompetensi interpersonal.

    Pengukuran Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan.

    Variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan diukur dengan

    menggunakan alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang dibuat

    oleh peneliti dengan mengacu pada ciri-ciri mahasiswa aktivis yang dikemukakan

    oleh Sarwono (1978) dan Priambodo (2000).

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    83

    Semakin tinggi skor total keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan,

    maka semakin tinggi pula kecenderungan subjek untuk melibatkan diri secara aktif

    dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Keterlibatan tersebut antara lain ditandai

    dengan tingkah laku seperti: (1) sering melibatkan diri menjadi ketua organisasi, ketua

    panitia, koordinator, maupun anggota panitia dalam berbagai kegiatan kampus; (2)

    mengenal dan dikenal oleh berbagai lembaga dan pihak yang ada di lingkungan

    kampus; (3) selalu menyempatkan diri untuk datang ke sekretariat organisasi; (4)

    sering memberikan arahan maupun pandangan kepada teman-teman mengenai kondisi

    sosial yang diharapkan; (5) sering menanggapi permasalahan sosial yang ada secara

    lisan maupun tulisan; (6) sering berkomunikasi, berdiskusi, dan berkoordinasi dengan

    teman mengenai urusan organisasi; (7) sering mengemukakan pendapat dalam suatu

    forum pertemuan maupun rapat organisasi; (8) sering menggunakan sebagian besar

    waktu yang dimiliki untuk mengurus kegiatan organisasi; (9) memiliki lebih banyak

    informasi mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar; (10) sering

    mendiskusikan dan memberikan ide-ide untuk mengembangkan organisasi; (11)

    memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan kewajiban perkuliahan; (12)

    sering memberikan kontribusi atau bantuan yang bersifat materi maupun non-material

    (waktu, tenaga, dan pemikiran) kepada organisasi; (13) serta cenderung menyukai

    tantangan dan pengalaman baru. Alat ukur keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan yang terdiri dari 36 butir memiliki koefisien konsistensi reliabilitas

    internal sebesar 0,943.

    Pengukuran Kompetensi Interpersonal

    Variabel kompetensi interpersonal diukur dengan menggunakan alat ukur

    kompetensi interpersonal yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori

    kompetensi interpersonal yang dikemukakan oleh Buhrmester et al. (1988). Semakin

    tinggi skor yang diperoleh pada alat ukur kompetensi interpersonal, maka semakin

    subjek memiliki kemampuan atau kecakapan yang diperlukan guna membangun,

    membina, dan memelihara hubungan interpersonal. Dengan perkataan lain, semakin

    tinggi skor yang diperoleh per dimensi, maka semakin subjek memiliki kemampuan

    untuk berinisiatif; semakin subjek memiliki kemampuan untuk membuka diri;

    semakin subjek memiliki kemampuan untuk bersikap asertif; semakin subjek

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    84

    memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan emosional; dan semakin subjek

    memiliki kemampuan untuk mengatasi konflik. Demikian pula sebaliknya.

    Pengujian reliabilitas yang dilakukan pada alat ukur kompetensi interpersonal,

    dimensi kemampuan untuk berinisiatif menghasilkan koefisien Alpha Cronbach

    sebesar 0,683. Dimensi ini memuat 6 butir pernyataan, yang terdiri dari 3 butir

    pernyataan positif dan 3 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir

    pernyataan tersebut adalah: Ketika saya sedang menghadiri suatu acara atau pesta,

    saya senang mengajak orang yang saya temui berkenalan lebih dulu (butir

    pernyataan positif); dan Sulit bagi saya untuk memulai pembicaraan dengan orang

    yang baru saya kenal (butir pernyataan negatif).

    Pengujian reliabilitas pada alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi

    kemampuan untuk membuka diri menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar

    0,545. Dimensi ini memuat 8 butir pernyataan, yang terdiri dari 4 butir pernyataan

    positif dan 4 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut

    adalah: Saya berani mengemukakan hal-hal yang bersifat pribadi ketika sedang

    berbicara dengan orang yang baru saya kenal (butir pernyataan positif); dan Saya

    merasa enggan apabila harus menceritakan masalah dan kehidupan pribadi saya

    kepada orang lain (butir pernyataan negatif).

    Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan

    untuk bersikap asertif menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,646.

    Dimensi ini memuat 12 butir pernyataan, yang terdiri dari 6 butir pernyataan positif

    dan 6 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah:

    Pada saat saya merasa tidak sepaham dengan pendapat orang lain, saya akan

    berterus terang (butir pernyataan positif); dan Saya merasa agak sungkan apabila

    harus menolak permintaan orang lain (butir pernyataan negatif).

    Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan

    untuk memberikan dukungan emosional menghasilkan koefisien Alpha Cronbach

    sebesar 0,799. Dimensi ini memuat 12 butir pernyataan, yang terdiri dari 6 butir

    pernyataan positif dan 6 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir

    pernyataan tersebut adalah: Pada saat seseorang menceritakan masalahnya kepada

    saya, saya dapat ikut merasakan kesedihan dan kegelisahan yang dialami oleh orang

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    85

    tersebut (butir pernyataan positif); dan Kadang-kadang saya cenderung acuh tak

    acuh dengan perasaan orang lain (butir pernyataan negatif).

    Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan

    untuk mengatasi konflik menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,643.

    Dimensi ini memuat 10 butir pernyataan, yang terdiri dari 5 butir pernyataan positif

    dan 5 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah:

    Dalam setiap situasi masalah yang pernah saya alami, saya selalu berhasil

    menemukan pilihan atau jalan keluar yang akan menguntungkan saya dan orang lain

    (butir pernyataan positif); dan Kadang saya kurang memahami apa yang harus

    saya lakukan apabila timbul masalah antara saya dan orang lain (butir pernyataan

    negatif).

    Prosedur

    Peneliti melakukan proses pengambilan data dari tanggal 1-14 September

    2005. Tempat pengambilan data adalah di lingkungan Universitas Tarumanagara yang

    terletak di wilayah Jakarta Barat. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara

    menyebarkan kuesioner lengkap yang terdiri dari kata pengantar, surat persetujuan,

    data diri subjek atau data kontrol, alat ukur keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan, dan alat ukur kompetensi interpersonal kepada subjek penelitian,

    yaitu mahasiswa Universitas Tarumanagara yang aktif mengikuti kegiatan organisasi

    kemahasiswaan sekurang-kurangnya selama satu tahun terakhir.

    Dalam proses pengambilan data di lapangan, peneliti dibantu oleh beberapa

    orang rekan peneliti yang sebelumnya telah diberikan penjelasan singkat (briefing)

    oleh peneliti mengenai garis besar penelitian, instruksi, alat ukur, dan hal-hal lain

    yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan data. Selanjutnya bersama dengan

    rekan yang telah diberikan penjelasan singkat (briefing), peneliti mendatangi subjek

    penelitian di setiap fakultas dan di setiap ruangan organisasi kemahasiswaan tingkat

    fakultas maupun tingkat universitas, meminta kesediaan waktu selama 30 menit untuk

    mengisi kuesioner yang tersedia, memberikan instruksi singkat dan petunjuk

    pengisian kuesioner, serta membagikan kuesioner kepada subjek penelitian.

    Selanjutnya setelah selesai memberikan instruksi singkat, peneliti

    membagikan kuesioner kepada masing-masing subjek penelitian. Diperkirakan subjek

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    86

    memerlukan waktu lebih kurang 30 menit untuk mengisi kuesioner tersebut sampai

    selesai. Kemudian setelah subjek mengembalikan kuesioner yang sudah terisi, peneliti

    tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta memberikan

    souvenir kepada subjek yang telah membantu peneliti.

    Jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti adalah 244 buah.

    Namun, setelah dilakukan screening ternyata hanya 156 buah kuesioner yang datanya

    valid dan dapat dipergunakan untuk penelitian.

    HASIL PENELITIAN

    Analisis data penelitian yang akan dibahas meliputi gambaran mengenai

    keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan kompetensi interpersonal subjek

    penelitian; uji korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan

    kompetensi interpersonal; serta analisis data tambahan. Metode statistik yang

    digunakan untuk analisis data adalah metode deskriptif dan inferensial, yang

    dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 12.0.

    Gambaran Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh

    subjek penelitian untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan

    adalah 1,37, sedangkan skor maksimum yang diperoleh subjek penelitian untuk

    variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan adalah 5,69. Sementara itu,

    hasil rata-rata skor yang diperoleh untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan adalah 3,39 dengan standar deviasi sebesar 0,94. Apabila

    dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3,5 (rentang skala jawaban mulai

    dari 1 sampai dengan 6), maka skor rata-rata keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan berada di bawah titik tengah alat ukur atau cenderung rendah. Hal ini

    menunjukkan bahwa subjek cenderung kurang melibatkan diri dalam kegiatan-

    kegiatan yang diadakan oleh organisasi kampus serta jarang memberikan kontribusi

    berupa waktu, tenaga, dan pemikiran bagi organisasi.

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    87

    Gambaran Kompetensi Interpersonal

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh

    subjek penelitian untuk variabel kompetensi interpersonal adalah 2,60, sedangkan

    skor maksimum yang diperoleh subjek penelitian untuk variabel kompetensi

    interpersonal adalah 5,11. Sementara itu, hasil rata-rata skor yang diperoleh untuk

    variabel kompetensi interpersonal adalah 3,74 dengan standar deviasi sebesar 0,46.

    Apabila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3,5 (rentang skala jawaban

    mulai dari 1 sampai dengan 6), maka skor rata-rata kompetensi interpersonal berada

    di atas titik tengah alat ukur atau cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

    subjek cenderung mampu untuk memulai suatu interaksi dengan orang lain, untuk

    membuka diri, untuk bersikap asertif, untuk memberikan dukungan emosional, dan

    untuk mengatasi konflik dengan baik.

    Tabel 1. Gambaran keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan kompetensi interpersonal

    Variabel M SD Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan 3,39 0,94 Kompetensi Interpersonal (Secara Umum) 3,74 0,46 - Dimensi Kemampuan untuk Berinisiatif 3,59 0,80 - Dimensi Kemampuan untuk Membuka Diri 3,39 0,69 - Dimensi Kemampuan untuk Bersikap Asertif 3,88 0,64 - Dimensi Kemampuan untuk Memberikan Dukungan Emosional 4,09 0,61 - Dimensi Kemampuan untuk Mengatasi Konflik 3,72 0,62

    Uji Korelasi antara Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan dan Kompetensi Interpersonal pada Mahasiswa

    Pengujian korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan

    kompetensi interpersonal dilakukan dengan menggunakan perhitungan korelasi

    Pearson. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa r(238) = 0,379 dan p < 0,01. Nilai ini

    menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel

    keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan variabel kompetensi interpersonal.

    Hal ini berarti, semakin tinggi keaktifan subjek dalam mengikuti organisasi

    kemahasiswaan maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya.

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    88

    Analisis Data Tambahan

    Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis terhadap beberapa data

    tambahan. Hasil analisis terhadap data tambahan ini dapat digunakan untuk

    melengkapi hasil analisis sebelumnya. Metode yang digunakan dalam analisis data

    tambahan ini adalah metode inferensial berupa independent sample t-test dan one way

    anova serta metode deskriptif berupa perhitungan frekuensi dan persentase, yang

    dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 12.0.

    Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Jenis Kelamin

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan

    mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek laki-laki adalah 3,74 (SD = 0,86)

    dan pada subjek perempuan adalah 3,06 (SD = 0,90). Selanjutnya berdasarkan hasil

    analisis dengan independent sample t-test, diketahui bahwa t(238) = 5,905 dan p <

    0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang

    signifikan antara laki-laki dan perempuan. Apabila dilihat dari rata-rata skornya,

    nampak bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki memiliki tingkat keaktifan yang

    secara signifikan lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada

    perempuan.

    Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Asal Fakultas

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan

    mengikuti organisasi kemahasiswaan yang paling tinggi ada pada subjek yang berasal

    dari Fakultas Teknik, yaitu: 3,77 (SD = 0,85). Rata-rata skor keaktifan mengikuti

    organisasi kemahasiswaan yang paling rendah ada pada subjek yang berasal dari

    Fakultas Kedokteran adalah 3,05 (SD = 0,87). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis

    dengan one way anova, diketahui bahwa F(6, 233) = 4,394 dan p < 0,01. Artinya, ada

    perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara

    subjek berdasarkan asal Fakultas.

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    89

    Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.

    Tabel 2. Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan asal fakultas.

    Fakultas Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F Rata-rata SD Ekonomi 3,61 0,92 4,394** Hukum 3,59 0,99 Teknik 3,77 0,85 Kedokteran 3,05 0,87 Psikologi 3,07 0,93 Seni Rupa dan Desain 3,23 0,76 Teknologi Informasi 3,71 1,28 **. Signifikan pada level 0,01

    Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Semester

    Dari rata-rata skor tingkat keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan,

    nampak bahwa subjek yang berada di semester 11 dan 13 tergolong memiliki tingkat

    keaktifan yang paling tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada

    subjek yang berada di semester 3, semester 5, semester 7, dan semester 9. Keterangan

    selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan hasil analisis dengan one way

    anova, diketahui bahwa F(5, 234) = 2,893 dan p < 0,05. Artinya, ada perbedaan

    keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan berdasarkan semester.

    Tabel 3. Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan semester.

    Semester Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F Rata-rata SD 3 3,05 0,81 2,893* 5 3,54 0,81 7 3,33 0,98 9 3,28 0,97

    11 4,27 0,52 13 4,07 2,28

    *. Signifikan pada level 0,05 Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

    Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang memiliki

    nilai IPK di bawah 2.00 memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti

    organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang memiliki nilai IPK di atas 2.00.

    Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan hasil analisis

    dengan one way anova, diketahui bahwa F(3, 236) = 3,512 dan p < 0,05. Artinya, ada

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    90

    perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara

    subjek yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00 dan subjek yang memiliki nilai IPK di

    atas 2.00.

    Tabel 4. Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaani berdasarkan golongan IPK.

    Golongan IPK Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F Rata-rata SD < 2.00 4,04 0,47 3,512* 2.00 2.75 3,52 0,98 2.76 3.50 3,16 0,88 3.51 4.00 3,51 0,70 *. Signifikan pada level 0,05 Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Status Keikutsertaan dalam Organisasi Kemahasiswaan

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan

    mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang ikut serta dalam kegiatan

    organisasi kemahasiswaan adalah 3,84 (SD = 0,78), sedangkan rata-rata skor

    keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang tidak ikut serta

    dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan adalah 2,56 (SD = 0,59). Sementara itu

    berdasarkan hasil analisis dengan independent sample t-test, diketahui bahwa t(238) =

    -14,220 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang ikut serta dan yang tidak ikut serta

    dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan.

    Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang ikut serta

    dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan memiliki tingkat keaktifan yang lebih

    tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang tidak ikut

    serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Hal ini sekaligus membuktikan

    bahwa alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan ini memiliki

    kemampuan untuk membedakan tingkat keaktifan antara kelompok subjek yang ikut

    serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan dengan kelompok subjek yang tidak

    ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Dengan perkataan lain, alat ukur

    keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan ini memiliki discriminant validity

    yang baik. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    91

    Tabel 5. Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan status keikutsertaan dalam organisasi kemahasiswaan.

    Status Keikutsertaan Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan t Rata-rata SD Ikut Serta 3,84 0,78 -14,220** Tidak Ikut Serta 2,56 0,59 **. Signifikan pada level 0,01 Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi Kemahasiswaan

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan

    mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai

    ketua organisasi adalah 2,56 (SD = 0,50). Rata-rata skor keaktifan mengikuti

    organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai pengurus

    organisasi adalah 3,93 (SD = 0,64). Rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai anggota biasa adalah

    3,33 (SD = 0,91).

    Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui

    bahwa F(2, 153) = 32,955 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti

    organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang menduduki jabatan

    sebagai ketua organisasi, pengurus organisasi, dan anggota biasa. Apabila dilihat dari

    rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang menduduki jabatan sebagai pengurus

    organisasi memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi

    kemahasiswaan daripada subjek yang menduduki jabatan sebagai ketua organisasi dan

    anggota biasa. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.

    Tabel 6. Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan jabatan dalam organisasi kemahasiswaan.

    Jabatan Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F Rata-rata SD Ketua Organisasi 2,56 0,50 32,955** Pengurus Organisasi 3,93 0,64 Anggota Biasa 3,33 0,91 **. Signifikan pada level 0,01

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    92

    Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Lama Bergabung

    Apabila dilihat dari rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan, nampak bahwa subjek yang telah bergabung selama 4 tahun

    memiliki tingkat keaktifan yang cenderung paling tinggi dalam mengikuti organisasi

    kemahasiswaan dibandingkan dengan subjek yang telah bergabung selama kurang

    atau lebih dari 4 tahun. Berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui

    bahwa F(8, 147) = 2,781 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti

    organisasi kemahasiswaan yang signifikan berdasarkan lamanya bergabung.

    Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7.

    Tabel 7. Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan lama bergabung. Lama Bergabung

    (dalam tahun) Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F

    Rata-rata SD 1 3,46 0,76 2,781** 1,5 3,60 0,89 2 3,50 0,91 2,5 3,84 0,96 3 4,21 0,83 3,5 3,52 0,84 4 4,26 0,53 4,5 4,13 0,28 5 2,60 0,00

    **. Signifikan pada level 0,01 Gambaran Alasan Subjek Penelitian Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

    Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ada 2 alasan utama

    yang diungkapkan oleh subjek sehingga bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.

    Dua alasan utama subjek tersebut adalah untuk mengembangkan hubungan sosial dan

    menambah teman dan untuk bereksplorasi dengan pengalaman-pengalaman baru.

    Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.

    Tabel 8. Gambaran alasan subjek penelitian bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.

    Alasan Bergabung Frekuensi Persentase Untuk mengembangkan hubungan sosial dan menambah teman 65 41,7 Untuk bereksplorasi dengan pengalaman-pengalaman baru 33 21,2 Untuk menyalurkan aspirasi, bakat, minat secara lebih terarah 27 17,3 Untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal 16 10,3 Lain-lain 11 5,9 Untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dari orang lain 4 2,6

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    93

    Gambaran Manfaat yang Didapatkan Subjek Penelitian dengan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

    Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan tiga manfaat utama yang

    dirasakan oleh subjek yang bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Ketiga

    manfaat tersebut, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk memperluas pergaulan dan

    memperoleh banyak teman; (2) adanya kesempatan untuk mempelajari dan

    menambah pengalaman mengenai organisasi; (3) adanya kesempatan untuk

    menambah pengetahuan dan wawasan akan hal-hal baru. Gambaran selengkapnya

    dapat dilihat pada tabel 9.

    Tabel 9. Gambaran manfaat yang didapatkan subjek penelitian dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan.

    Manfaat Frekuensi Persentase Dapat memperluas pergaulan dan memperoleh banyak teman 35 22,4 Dapat mempelajari dan menambah pengalaman mengenai organisasi 34 21,8 Dapat menambah pengetahuan dan wawasan akan hal-hal baru 32 20,5 Dapat membentuk kepribadian menjadi lebih matang dan dewasa 21 13,5 Dapat belajar bekerja sama dalam kelompok atau tim 12 7,7 Dapat melatih diri untuk bertanggung jawab dengan pekerjaan atau tugas 15 9,6 Dapat berprestasi di bidang yang diminati 1 0,6 Dapat melatih kemampuan memimpin 1 0,6 Dapat mematangkan kerohanian 1 0,6 Dapat dengan bebas menggunakan fasilitas kampus 1 0,6 Dapat membantu teman-teman mahasiswa 1 0,6 Dapat mengembangkan bakat dan talenta 1 0,6 Dapat menjaga kebugaran tubuh 1 0,6 Gambaran Dampak Negatif yang Dirasakan Subjek Penelitian Selama Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

    Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan ada 2 hal yang dirasakan

    sebagai dampak negatif oleh subjek selama mengikuti organisasi kemahasiswaan.

    Pertama, adalah kesulitan untuk membagi waktu antara kuliah dan kegiatan

    berorganisasi. Kedua, adalah timbulnya kelelahan atau terkurasnya energi fisik.

    Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 10.

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    94

    Tabel 10.

    Gambaran dampak negatif yang dirasakan subjek penelitian selama mengikuti organisasi kemahasiswaan.

    Dampak Negatif f % Kesulitan membagi waktu antara kuliah dan organisasi 59 37,8Cukup melelahkan, menguras energi dan stamina 56 35,9Sering dinilai sebagai orang yang sombong, sok berkuasa, dan sok eksklusif 5 3,2Kurang fokus pada pelajaran sehingga nilai menurun 18 11,5Hubungan dengan orang lain menjadi agak kurang harmonis 18 11,5

    PEMBAHASAN

    Pengujian korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan

    kompetensi interpersonal menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan

    signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi

    interpersonal pada mahasiswa. Ini berarti, semakin tinggi keaktifan mahasiswa dalam

    mengikuti organisasi kemahasiswaan, maka semakin tinggi pula kompetensi

    interpersonalnya.

    Hal ini dapat dipahami mengingat mahasiswa yang aktif dalam organisasi

    kemahasiswaan cenderung memiliki keberanian yang lebih untuk berprakarsa dalam

    bertindak, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat

    secara efektif, serta memiliki kepekaan terhadap kejadian-kejadian yang berkembang

    di lingkungan sosial (Priambodo, 2000; Sarwono, 1978). Karakteristik-karakteristik

    tersebut dapat berkembang seiring dengan keaktifan mahasiswa dalam organisasi

    kemahasiswaan. Berkembangnya karakteristik-karakteristik tersebut berhubungan erat

    dengan kompetensi interpersonal mahasiswa yang ditandai dengan kemampuan untuk

    berinisiatif, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif,

    kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan untuk

    mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Nashori, 2000).

    Berikut ini adalah beberapa penjelasan mengenai hal tersebut.

    Pengalaman aktif dalam organisasi kemahasiswaan melatih diri mahasiswa

    yang tergabung di dalamnya untuk lebih berani berprakarsa dalam bertindak.

    Keberanian untuk mengambil tindakan ini dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri

    mahasiswa. Dalam situasi interpersonal, keberanian untuk berprakarsa dalam

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    95

    mengambil tindakan dan rasa percaya diri ini menuntun mahasiswa pada kemampuan

    untuk berinisiatif dalam menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.

    Selanjutnya, aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga memberikan

    kesempatan bagi mahasiswa yang tergabung di dalamnya untuk berinteraksi dan

    berhadapan dengan orang lain dengan berbagai tipe kepribadian. Sebagaimana yang

    telah dikemukakan oleh Nashori (2000), pengalaman berhadapan dengan orang lain

    dengan beragam tipe kepribadian akan membiasakan mahasiswa pada kemampuan

    untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara efektif. Dalam situasi

    interpersonal, kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat ini

    menuntun mahasiswa pada kemampuan untuk membuka diri, untuk bersikap asertif,

    dan untuk mengatasi konflik interpersonal.

    Selain kedua hal di atas, mahasiswa yang aktif dalam organisasi

    kemahasiswaan juga memiliki kepekaan terhadap berbagai kejadian yang berkembang

    di lingkungan sosial (Priambodo, 2000). Menurut Buhrmester et al. (dikutip oleh

    Nashori, 2000), kepekaan ini dapat menumbuhkan perasaan empati terhadap sesama.

    Dalam membina hubungan interpersonal, kemampuan untuk berempati terhadap

    sesama sangat dibutuhkan, karena adanya perasaan empati ini memberikan

    kemampuan pada mahasiswa untuk memberikan dukungan emosional terhadap

    sesamanya.

    Dengan demikian dapat dipahami bahwa berbagai pengalaman dan

    keterampilan yang diperoleh mahasiswa seiring dengan keaktifannya dalam organisasi

    kemahasiswaan dapat menumbuhkan kemampuan mereka untuk menjalin hubungan

    interpersonal yang memuaskan. Hal ini cukup menjelaskan mengapa mahasiswa yang

    aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung memiliki kompetensi interpersonal

    yang baik.

    Namun, perlu dipahami juga bahwa kompetensi interpersonal mahasiswa tidak

    hanya dapat dikembangkan melalui organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus.

    Selain organisasi kemahasiswaan di kampus, masih terdapat beberapa bentuk

    organisasi lain di luar kampus yang dapat diikuti oleh mahasiswa dalam rangka

    mengembangkan kompetensi interpersonalnya.

    Berikutnya hasil analisis juga menunjukkan bahwa apabila dilihat dari

    semester dalam perkuliahan, nampak bahwa mahasiswa yang berasal dari semester 11

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    96

    dan 13 (angkatan 99 & 00) memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam

    mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada mahasiswa yang berasal dari semester

    lainnya (angkatan 04, angkatan 03, angkatan 02, & angkatan 01). Hal tersebut

    diperkirakan disebabkan oleh lebih banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh

    mahasiswa yang berasal dari angkatan 99 mengingat kesibukan akademik yang tidak

    lagi padat. Banyaknya waktu luang yang dimiliki memberikan kesempatan bagi

    mahasiswa untuk lebih mengaktifkan dirinya dalam organisasi kemahasiswaan.

    Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa apabila dilihat dari

    golongan IPK, nampak bahwa mahasiswa yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00

    memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi

    kemahasiswaan daripada mahasiswa yang memiliki nilai IPK di atas 2.00. Nilai IPK

    yang berada di bawah rata-rata ini diperkirakan disebabkan karena ketidakmampuan

    mahasiswa untuk membagi waktu antara kegiatan kuliah dan kesibukan berorganisasi

    sehingga berdampak pada menurunnya nilai prestasi akademik. Kesibukan mahasiswa

    dalam mengurus berbagai hal yang menyangkut keorganisasian kadangkala membuat

    mereka harus mengesampingkan kegiatan kuliahnya dan tanpa mereka sadari prestasi

    akademik pun menjadi menurun.

    SIMPULAN

    Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa

    terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi

    kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Hal ini berarti,

    semakin tinggi keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan,

    semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya. Sebaliknya, semakin rendah

    keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan, semakin rendah

    pula kompetensi interpersonalnya.

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    97

    DAFTAR PUSTAKA

    Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Social psychology: Understanding human

    interaction (10th ed.). Boston: Allyn & Bacon.

    Buhrmester, D. (1996). Need fulfillment, interpersonal competence, and the

    developmental context of early adolescent friendship. In W. M. Bukowski, A.

    F. Newcomb, & W. W. Hartup (Eds.), The company they keep: Friendship in

    childhood and adolescence (pp. 158185). New York: Cambridge University

    Press.

    Buhrmester, D., Furman, W., Wittenberg, M. T., & Reis, H. T. (1988). Five domains

    of interpersonal competence in peer relationships. Journal of Personality and

    Social Psychology, 55(6), 9911008.

    Damayanti, M. G. E., Prihanto, F.X. S., & Lasmono, H. K. (1995). Hubungan antara

    kualitas komunikasi dalam keluarga dan self-disclosure dengan kepuasan

    hidup pada remaja delingkuen di lembaga permasyarakatan kelas IIA

    Tangerang. Jurnal Anima, 10(38), 3548.

    Darmawan, A. (2002). Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan

    keterlibatan kerja pada tenaga perawat. Jurnal Psikodinamik, 4(2), 103112.

    De Vito, J. A. (1997). The interpersonal communication book (8th ed.). New York:

    Harper Collins.

    Huang, Y., & Chang, S. (2004, July). Academic and cocurricular involvement: Their

    relationship and the best combinations for student growth. Retrieved May 18,

    2005, from http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3752

    Joesoef, D. (1978). Normalisasi kehidupan kampus dan bentuk penataan kembali

    kehidupan kampus. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

    Juriana. (2000). Kesesuaian antara konsep diri nyata dan ideal dengan kemampuan

    manajemen diri pada mahasiswa pelaku organisasi. Psikologika, 5(9), 6575.

    Kansil, C. S. T., Soepardi, R. B. (1998). Sistem pendidikan tinggi. Jakarta: UPT

    Penerbitan Universitas Tarumanagara.

    Launa. (2000, Desember). Gerakan intelektual dan aksi massa mahasiswa: Refleksi

    dan prospeksi peran politik mahasiswa era orde baru. Widya, 183, 4957.

  • Jurnal Phronesis Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

    98

    Lukman, M. (2000). Kemandirian anak asuh di panti asuhan yatim Islam ditinjau dari

    konsep diri dan kompetensi interpersonal. Jurnal Psikologika, 5(10), 5774.

    Mahoney, J. L., & Cairns, R. B. (1997). Do extracurricular activities protect against

    early school dropout? Developmental Psychology, 33(2), 241253.

    Mahoney, J. L., Cairns, R. B., & Farmer, T. W. (2003). Promoting interpersonal

    competence and educational success through extracurricular activity

    participation. Journal of Educational Psychology, 95(2), 409418.

    Mastuti, E. (2001). Studi korelasi antara rasa percaya (trust) dan ketertarikan

    (attraction) dengan kecenderungan pengungkapan diri (self-disclosure) dalam

    hubungan interpersonal. Jurnal Insan, 3(1), 5059.

    Muhammady, F. F. (2001). Kompetensi komunikasi antarbudaya dalam proses

    interaksi kaum pedagang: Studi kasus pada proses interaksi kaum pedagang

    etnis Padang dan etnis Sunda di Pasar Mayestik Jakarta Selatan. Tesis tidak

    diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.

    Nashori, F. (2000). Hubungan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal

    mahasiswa. Jurnal Anima, 16(1), 3240.

    Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development (9th ed.).

    New York: McGraw-Hill.

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan

    Tinggi.

    Priambodo, A. (2000). Sikap politik, pengaruh kelompok, dan partisipasi politik di

    kalangan mahasiswa: Studi deskriptif pada mahasiswa Universitas Indonesia.

    Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.

    Pudjiwati. (1998, April). Peranan penasehat akademik dalam upaya pendewasaan

    mahasiswa. Widya, 151, 5155.

    Sarwono, S. W. (1978). Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan

    protes mahasiswa: Suatu studi psikologi sosial. Tesis tidak diterbitkan,

    Universitas Indonesia, Depok.

    Sarwono, S. W. (2003). Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

    Sperling, M. B., & Berman, W. H. (Eds.). (1994). Attachment in adults: Clinical and

    developmental perspectives. New York: The Guillford Press.

  • Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

    99

    Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor

    155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di

    Perguruan Tinggi.

    Thalib, S. B. (1999). Hubungan percaya diri dan harga diri dengan kemampuan

    bergaul mahasiswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3), 247256.

    Zulkarnain, I., Lubis, S., & Asmara, S. (1997). Konsep diri dan efektivitas komunikasi

    antarpribadi. Laporan Penelitian tidak diterbitkan, Universitas Sumatera

    Utara.