34
Laporan Disusun Oleh: April 2011 Wilayah Konservasi Asia Pasifik Program Kelautan Laporan No 3/11

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

  • Upload
    lamlien

  • View
    231

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Disusun Oleh:

April 2011

Wilayah Konservasi Asia Pasifik

Program Kelautan

Laporan No 3/11

Page 2: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

April 2011

Wilayah Konservasi Asia Pasifik

Program Kelautan

Laporan No 3/11

Laporan Disusun Oleh:

Page 3: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Dipublikasikan oleh: The Nature Conservancy, Wilayah Konservasi Asia Pasifik Sangeeta Mangubhai: Program Kelautan Indonesia The Nature Conservancy, Jl. Pengembak No.2, Sanur 80228, Bali, Indonesia Telepon +62-(0)361-287272, Fax +62-(0)361-270737 Email: [email protected] Sitasi yang disarankan:

Larsen, S.N., Leisher, C., Mangubhai, S., Muljadi, A., Tapilau, R. 2011. Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia. Program Kelautan – Wilayah Konservasi Asia Pasifik, The Nature Conservancy 3/11.

© 2011, The Nature Conservancy Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak dokumen ini untuk tujuan apapun tanpa persetujuan dari Penyusun/Penerbit. Foto Sampul: © TNC Raja Ampat Program Tersedia di:

Program Kelautan Indonesia The Nature Conservancy Jl. Pengembak No.2 Sanur 80228 Bali, Indonesia

Page 4: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

ii

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami ucapkan kepada masyarakat Raja Ampat atas informasi dan pengetahuan terperinci tentang pemanfaatan sumberdaya laut. Kami berterima kasih kepada Meta Ancelino, Yohanes Goram Gaman, Ferry Liuw dan Paulus Tebu untuk bantuannya di lapangan dan dalam kegiatan wawancara. Peter Mous memberikan masukan untuk kuesioner survei yang asli dan membantu mengkategorikan jenis alat tangkap. Alan White memberikan masukan pada pertanyaan penelitian dan umpan balik untuk draf awal. Kegiatan ini didukung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat. Kegiatan ini didanai oleh AusAID, USAID, Yayasan David and Lucille Packard, Yayasan Schooter dan Yayasan HGH.

Page 5: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

iii

Daftar Isi

UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. iii

RINGKASAN EKSEKUTIF ..................................................................................................................... iv

PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1

METODE ......................................................................................................................................................... 2

HASIL DARI SURVEI DESA .................................................................................................................. 2

Pekerjaan ..................................................................................................................................................... 2

Rumah .......................................................................................................................................................... 2

Presentase .................................................................................................................................................... 2

HASIL DARI SURVEI INDIVIDU ......................................................................................................4

HASIL ANALISIS STATISTIK ............................................................................................................ 15

DISKUSI ........................................................................................................................................................ 18 Nelayan Luar Dan Penggunaan Alat Tangkap Yang Merusak……………………………………………………………………. 18 Sindrom Pergeseran Garis-Dasar Di Antara Nelayan Di Raja Ampat…………………………………………………….. 19 Strategi Mata Pencaharian Yang Beragam………………………………………………………………………………………………………… 20

KESIMPULAN ............................................................................................................................................ 22

REFERENSI .................................................................................................................................................. 23

LAMPIRAN 1: Perubahan Kecamatan Di Raja Ampat ....................................................................... 25

LAMPIRAN 2: Peta Raja Ampat ............................................................................................................. 27

Page 6: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

iv

Ringkasan Eksekutif

Kepulauan Raja Ampat di Indonesia bagian timur merupakan prioritas bagi inisiatif-inisiatif konservasi nasional dan internasional karena memiliki beberapa dari keanekaragaman jenis terumbu karang dan ikan terbesar yang diketahui di dunia. Wilayah ini juga menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 30.000 penduduk, yang sebagian besar bergantung pada sumberdaya laut untuk mata pencahariannya.

Kami menyajikan hasil survei terhadap masyarakat di 88 desa di Raja Ampat tentang bagaimana mereka memanfaatkan sumberdaya laut. Kami juga mempelajari kebijakan-kebijakan umum mengenai konservasi laut dengan menggunakan data survei, di mana hasilnya adalah: (i) penurunan hasil tangkapan setidaknya sebagian terkait dengan ancaman dari nelayan luar; (ii) adanya indikasi pergeseran garis-dasar pada kalangan nelayan, di mana mereka yang telah lebih lama menangkap ikan lebih sering melaporkan bahwa hasil tangkapan telah menurun; (iii) pertanian dan perikanan adalah dua elemen kunci dari strategi mata pencaharian yang umum.

Studi ini menyediakan informasi bagi para pengelola konservasi dan peneliti yang tertarik pada Raja Ampat dengan suatu pemetaan kondisi dasar populasi lokal sebelum dimulainya kegiatan konservasi di tahun 2006. Studi ini juga relevan dengan penelitian yang lebih luas dalam konservasi laut dan pemanfaatan sumberdaya laut pada komunitas pesisir.

Page 7: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

1

PENDAHULUAN

Di seluruh dunia, terumbu karang sedang mengalami ancaman dari sejumlah faktor antropogenik dan menjadi prioritas utama dari organisasi-organisasi konservasi (Hughes et al. 2003, Roberts et al. 2002, Bellwood et al. 2004, Brooks et al. 2006). Terumbu karang merupakan sumber bahan pangan dan mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh dunia (UNEP 2006, FAO 2010), dan di Indonesia, terumbu karang memberikan proporsi yang besar dari ikan-ikan yang berkontribusi pada 53% dari konsumsi protein hewani (White 1986, Stobutzki et al. 2006).

Kepulauan Raja Ampat terletak di ujung barat laut Provinsi Papua Barat (Lampiran 2). Kepulauan ini terdiri dari empat pulau utama, Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, bersama dengan ratusan pulau kecil seperti Kofiau dan Ayau, yang tersebar dalam wilayah seluas 43.000 km2. Raja Ampat memiliki konsentrasi karang keras dan jenis ikan yang terbanyak di dunia dan karenanya menjadi sebuah prioritas bagi konservasi keanekaragaman hayati laut (Allen 2008, Veron et al. 2009, Allen and Erdmann 2009) dan pengelolaan perikanan, mengingat bahwa lebih dari 90% penduduk di Raja Ampat hidup di daerah pesisir dan bergantung pada sumberdaya laut untuk makanan dan mata pencaharian (Amarumollo dan Farid 2002).

Kepulauan Raja Ampat menjadi sebuah kabupaten maritim otonom (kabupaten bahari) pada tahun 2003. Kondisi ini membuka peluang untuk pengelolaan lokal yang lebih besar terhadap sumberdaya laut yang kaya (Varkey et al. 2010). Untuk mengukur persepsi masyakarat lokal tentang pemanfaatan sumberdaya laut sebagai masukan dalam pemilihan lokasi untuk jejaring Kawasan Konservasi Laut yang dikelola bersama, The Nature Conservancy melakukan survei terhadap masyarakat lokal di 88 dari 89 desa di wilayah Raja Ampat selama 16 bulan sejak November 2003. Desa yang tidak disurvei terletak di pedalaman dan masyarakatnya tidak bergantung langsung pada kegiatan penangkapan ikan.

Analisis kami dibangun dari studi-studi dari Raja Ampat terdahulu yang mempelajari sistem kepemilikan laut tradisional (McLeod et al. 2009), memperkirakan hasil tangkapan total yang ilegal dan yang tidak terlaporkan (Varkey et al. 2010), dan mengidentifikasi penurunan yang dirasakan dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut oleh nelayan komersial dan tradisional (Ainsworth et al. 2008). Sebelum studi-studi ini, Conservation International dan The Nature Conservancy telah melakukan penilaian cepat terhadap kondisi kelautan di tahun 2001 dan 2002, yang hasilnya berupa potret kondisi biologi dan sosio-ekonomi di Raja Ampat (McKenna et al. 2002, Donnelly et al. 2003). Studi kami menambahkan pada pengembangan literatur tentang masyarakat pesisir dan bagaimana mereka memahami dan memanfaatkan sumberdaya lautnya.

Berikut kami sajikan hasil survei desa dan survei individu serta analisis statistik hubungan antar variabel kunci. Selanjutnya adalah pembahasan hasil dalam konteks pengelolaan laut dan pesisir di Raja Ampat.

Page 8: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

2

METODE

Dari bulan November 2003 hingga Maret 2005 The Nature Conservancy melakukan dua survei secara serentak di seluruh Kabupaten Raja Ampat; satu untuk desa dan satu untuk individu di desa tersebut.

Survei desa adalah sebuah wawancara terstruktur dengan kepala desa atau pada lokasi tertentu, dengan tokoh adat. Survei ini mengumpulkan data demografi desa (populasi, jumlah keluarga, agama, suku dan pekerjaan), informasi infrastruktur desa dan pola sumberdaya laut terkait dengan kegiatan perikanan dan mata pencaharian lokal. Ada sebanyak 88 desa yang disurvei.

Survei individu adalah wawancara terstruktur dengan sasaran nelayan yang paling berwawasan luas di masing-masing desa. Para responden ini dipilih melalui konsultasi dengan kepala desa atau tokoh masyarakat lainnya. Kadang-kadang nelayan yang paling berwawasan luas di sebuah desa memiliki mata pencarian utama lainnya seperti bertani atau bekerja untuk pemerintah. Sebanyak 495 orang diwawancarai. Pertanyaan-pertanyaan meliputi informasi demografis para responden, pemanfaatan sumberdaya laut, hal-hal yang dianggap menjadi ancaman terhadap lingkungan laut, dan pemahaman tentang konservasi.

Jawaban-jawaban dari survei desa dan individu diberi kode dan digabungkan menjadi satu rangkaian data. Tingkat kepercayaan adalah sebesar 95,6% (sesuai dengan data populasi dari survei desa). Untuk membantu analisis, ke-21 jenis alat tangkap dalam survei individu dikelompokkan secara independen oleh dua ahli perikanan menjadi “yang merusak” dan “yang tidak merusak”. Walaupun agak subjektif, tetapi pembagian ini memberikan sebuah cara untuk membandingkan hubungan antara alat tangkap yang merusak dan tidak merusak dengan variabel lainnya. Untuk membandingkan antara variabel ekonomi dan mata pencaharian dengan variabel akses ke pasar utama, pengukuran jarak melalui laut antara masing-masing desa dan pasar utama kota Sorong, Papua Barat (penduduk 125.000 jiwa) dihitung menggunakan perangkat lunak SIG dan kemudian dibagi ke dalam kuintil. Sigmaplot 11.2 digunakan untuk melakukan uji signifikansi statistik antar variabel dalam tabel kontingensi.

HASIL DARI SURVEI DESA

Berdasarkan hasil survei, jumlah total populasi kabupaten Raja Ampat adalah 31.293 jiwa. Jumlah total rumah tangga (RT) adalah 6.689, sehingga jumlah rata-rata anggota RT adalah 4,6. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah rata-rata anggota RT di Indonesia yaitu 4,3. Jumlah rata-rata populasi di setiap desa adalah 356, dengan kisaran antara 60 jiwa di Yenwaopnor hingga 1.024 jiwa di Yefman. Terdapat tujuh kelompok etnis utama yaitu Maya, Matbat, Biak, Buton, Bugis, Seram dan Kei. 22% dari seluruh desa beretnis homogen, sedangkan sisanya terdiri dari 2 etnis atau lebih. 53% dari 88 desa tersebut adalah desa yang masyarakatnya beragama Kristen, 9% Muslim dan 38% lainnya adalah campuran Kristen dan Muslim.

Tabel 1 memperlihatkan data jenis pekerjaan yang dikumpulkan selama survei desa. Dua jenis pekerjaan utama di Raja Ampat adalah menangkap

Tabel 1: Jenis pekerjaan dalam survei desa

Pekerjaan Jumlah Persentase Nelayan 3,881 44,9 Petani 3,763 43,6 Pemerintah 396 4,6 Buruh 304 3,5 Wiraswasta 241 2,8 TNI & Polisi 53 0,6 Total 8,638 100,0

Page 9: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

3

ikan (45%) dan bertani (44%), meskipun perbedaan ini mungkin seperti agak dipaksakan, mengingat banyak rumah tangga memiliki strategi mata pencaharian yang beragam yang menggabungkan kegiatan perikanan dan berkebun.

Dari 88 desa tersebut, 81 desa sudah memiliki Sekolah Dasar, tetapi hanya 16 SMP dan 2 SMA di seluruh kabupaten. Jumlah guru di kabupaten ini adalah 392 di mana jumlah rata-rata guru sebanyak 4,5 orang per desa. Namun jumlah ini tidaklah tersebar merata di seluruh kabupaten. 60% desa sudah mempunyai fasilitas medis, meskipun banyak yang berkualitas buruk dan tidak memiliki staf yang berkualitas.

Jauhnya jarak di Raja Ampat membuat transportasi dan komunikasi menjadi tantangan bagi para penduduk. 47% desa memiliki akses ke sebuah kapal kargo, 14% memilik akses ke kapal feri dan 91% desa-desa memiliki akses ke sebuah kapal cepat (speedboat) pribadi. Tabel 2 menunjukkan jumlah dan persentase berbagai infrastruktur di desa. Hanya 32% desa yang mempunyai radio SSB, karena banyak di antaranya yang berlokasi dekat dengan perusahaan budidaya mutiara swasta. Komunikasi lewat telepon seluler tidak bisa dilakukan saat survei, walaupun di beberapa lokasi tersedia telepon satelit. Hanya ada 4 pos polisi di seluruh kabupaten, yang menunjukkan terbatasnya penegakan hukum di Raja Ampat.

Tabel 3 memperlihatkan informasi kunci hasil survei desa per kecamatan. Samate merupakan kecamatan yang terpadat penduduknya, sedangkan Waigeo Timur adalah yang paling jarang. Sebagian besar kecamatan terdiri dari gabungan warga Kristiani dan Muslim, meskipun di Kofiau dan Waigeo Timur tampaknya semua penduduk beragama Kristen. Persentase nelayan di setiap kecamatan sangat bervariasi, di mana banyak kecamatan persentasenya berkisar 30-40%, sedangkan di Kepulauan Ayau angka ini melonjak sampai 98%. Jumlah guru berkisar dari yang terendah yaitu 15 orang di Waigeo Timur hingga 87 orang di Samate. Meskipun demikian, jumlah ini mencerminkan perbedaan dalam populasi kecamatan.

Tabel 3: Ringkasan per Kecamatan

Kecamatan Rumah tangga (RT)

Populasi Rata-rata orang per RT

Agama Nelayan Guru

Misool Timur Selatan 787 3.557 4,52 Campur 31% 31 Misool 725 3.456 4,77 Campur 41% 39 Kofiau 420 1.983 4,72 Kristen 32% 14 Kepulauan Ayau 530 2.261 4,27 Campur 98% 29 Waigeo Utara 620 2.827 4,56 Campur 37% 48 Waigeo Timur 245 1.241 5,07 Kristen 44% 15 Teluk Mayalibit 280 1.706 6,09 Campur 33% 23 Waigeo Selatan 797 4.069 5,11 Campur 64% 80 Waigeo Barat 640 3.000 4,69 Campur 40% 26 Samate 1,645 7.193 4,37 Campur 39% 87 Rata-rata Raja Ampat -- -- 4,68 -- 45% 39

Tabel 2: Infrastruktur di Raja Ampat

Infrastruktur Desa dengan…

Persentase

Balai desa 70 80% Kantor desa 26 30% Radio SSB 28 32% Wartel 28 32% Pos polisi 4 5%

Page 10: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

4

HASIL DARI SURVEI INDIVIDU

Individu yang menjadi sasaran secara khusus dalam survei ini adalah “nelayan yang paling berwawasan luas” dalam masyarakat. Hasil dari bagian ini hendaknya dilihat dengan mengikutkan bias tersebut. Tingkat Kepercayaan di seluruh kabupaten cukup kuat yaitu 96%, meskipun untuk setiap kecamatan Tingkat Kepercayaannya berkisar antara 77% sampai 90%, dan tingkat yang lebih rendah lagi harus diperlakukan dengan hati-hati (Tabel 4). Selanjutnya, dua kecamatan (Kofiau dan Waigeo Timur) mempunyai jumlah sampel kurang dari 20 (diberi tanda *), sehingga kesimpulan yang diambil dari kedua lokasi ini tidak dapat diandalkan.

Tabel 4: Jumlah sampel, populasi, dan tingkat kepercayaan untuk setiap kecamatan di Raja Ampat

Kecamatan Jumlah sampel Populasi Kecamatan Tingkat Kepercayaan Misool Timur Selatan 56 3.557 87% Misool 47 3.456 86% Kofiau* 18 1.983 77% Kepulauan Ayau 30 2.261 82% Waigeo Utara 51 2.827 86% Waigeo Timur* 19 1.241 78% Teluk Mayalibit 47 1.706 86% Waigeo Selatan 90 4.069 90% Waigeo Barat 56 3.000 87% Samate 79 7.193 89% Total Raja Ampat 493 31.293 96%

Bagian selanjutnya menyajikan hasil dari survei individu. Jika memungkinkan, jawaban hasil survei dibahas per kecamatan. Dari 495 responden, 91% adalah laki-laki dan 9% adalah perempuan karena survei ini memang khusus menargetkan nelayan. Usia responden berkisar dari 16 hingga 75 tahun, dengan usia rata-rata 36 tahun. Gambar 1 menunjukkan distribusi frekuensi usia para responden.

Page 11: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

5

Gambar 1: Distribusi umur para responden di Raja Ampat

98% responden mengatakan mereka telah menyelesaikan Sekolah Dasar, dan 32% mengenyam pendidikan di SMP atau jenjang yang lebih tinggi (Gambar 2).

Gambar 2: Tingkat pendidikan "nelayan berwawasan luas" di Raja Ampat

Gambar 3 menunjukkan pekerjaan berdasarkan penjelasan sendiri dari para responden dalam survei. Menariknya, walaupun secara eksplisit survei ini menargetkan para nelayan yang paling berwawasan luas, 9% di antaranya mengidentifikasikan diri mereka bukan sebagai nelayan ataupun nelayan/petani. Terdapat beragam jenis mata pencaharian yang dilakukan individu untuk memperoleh penghasilan atau memenuhi kebutuhan kesehariannya. Jawaban tentang pekerjaan ini juga menunjukkan pada taraf mana para responden bergantung pada sumberdaya laut. Beberapa orang adalah nelayan penuh yang menjual hasil tangkapan guna mendapat penghasilan. Beberapa lainnya memanfaatkan sumberdaya laut sebagai penghasilan tambahan di luar bertani atau mata pencaharian lainnya.

Page 12: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

6

Gambar 3: Pekerjaan dari "nelayan berwawasan luas" di Raja Ampat

Gambar 4 memperlihatkan rincian pekerjaan per kecamatan. Ada cukup banyak variasi jawaban. Kepulauan Ayau dan Waigeo Selatan mempunyai persentase nelayan tertinggi, sementara Kofiau dan Waigeo Timur mempunyai persentase nelayan terendah - walaupun, kedua kecamatan ini mempunyai persentase nelayan/petani yang sangat tinggi. Waigeo Utara dan Teluk Mayalibit memiliki persentase petani yang signifikan (nyata). Pengaruh variasi pekerjaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan-perbedaan lokal dalam geografi, di mana dalam kecamatan tertentu mungkin tidak mempunyai banyak lahan yang subur. Lebih dari 90% kelompok yang disurvei benar-benar memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya laut.

Gambar 4: Pekerjaan responden per Kecamatan

Page 13: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

7

Gambar 5 menunjukkan lamanya para responden telah tinggal di desanya. Sementara mayoritas responden telah tinggal di desa mereka selama lebih dari 15 tahun, hampir 20% penduduk telah pindah ke desa tersebut dalam 15 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan migrasi tingkat sedang (baik dari dalam Raja Ampat maupun dari tempat lain di Indonesia). Hal ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden telah mampu mengamati status lingkungan laut di dalam dan sekitar desanya selama lebih dari 15 tahun, yang memberikan bobot terhadap persepsi mereka.

Gambar 5: Lama rata-rata para responden menetap di desanya

Gambar 6 menunjukkan jenis perahu yang dimiliki para responden di masing-masing kecamatan. Hampir semua responden memiliki beberapa jenis perahu, dengan distribusi perahu mesin tempel cukup bervariasi antar kabupaten. Di Waigeo Utara tidak ada responden yang mempunyai perahu bermesin, sedangkan di kepulauan Ayau ada 40% responden yang memiliki perahu bermesin. Kepemilikan perahu bermesin bisa dianggap mewakili kekayaan seseorang, meskipun keterpencilan Kepulauan Ayau membutuhkan mesin perahu untuk dapat membawa ikan ke pasar sekaligus untuk keperluan transportasi. Hanya tiga responden yang mempunyai mesin dalam - yang bersama dengan mesin tempel dikategorikan menjadi “perahu bermesin”.

Page 14: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

8

Gambar 6: Kepemilikan perahu oleh para responden di tiap kecamatan

Gambar 7 menunjukkan alat tangkap/metode yang digunakan oleh para responden. Metode/alat tangkap yang paling umum digunakan adalah pancing ulur/rawai dasar (88%), pancing tonda (54%) dan meting-yaitu mencari invertebrata saat laut surut yang merusak karang (22%). Kami menggolongkan meting sebagai metode penangkapan yang merusak bersama dengan jaring insang, pukat dasar, pukat cincin, bubu (karena nelayan merusak karang ketika meletakkan dan menimbuni bubu), penyelaman kompresor dan penggunaan sianida.

Gambar 7: Metode penangkapan ikan yang digunakan oleh para responden (responden dapat menyebutkan lebih dari satu metode)

Page 15: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

9

Walaupun penangkapan dengan bom merupakan ancaman terhadap sumberdaya laut (lihat di gambar berikut), tidak satupun responden yang menyatakan penggunaan bom sebagai metode penangkapannya. Terdapat variasi penting dalam beberapa cara tangkap di tingkat kecamatan. Meting (tanpa alat selam) ditampilkan dalam Gambar 8 karena selain sangat merusak karang, juga variasinya terbanyak di tingkat kecamatan. Di Kofiau dan Waigeo Timur lebih dari 50% responden mempraktekkan meting, sementara di Waigeo Barat tidak ada yang mempraktekkannya. Keberadaan dan aksesibilitas dari terumbu karang mungkin dapat mendorong dilakukannya kegiatan ini.

Gambar 8: Persentase responden yang menyebutkan meting (tanpa alat selam) sebagai suatu metode penangkapan

Gambar 9: Target sumberdaya laut (responden dapat menyebutkan lebih dari satu sumberdaya)

Gambar 9 memperlihatkan target sumberdaya laut dari para responden. Tidak mengejutkan, hampir 100% target para responden adalah ikan. Sekitar setengah dari responden mengambil teripang dan

Page 16: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

10

menangkap ikan tenggiri, sedangkan hanya sepertiga yang menangkap invertebrata seperti lobster dan jenis-jenis Trochus.

Gambar 10: Pengolahan ikan oleh para responden di Raja Ampat

Gambar 10 memperlihatkan proses pengolahan atau pemberian nilai tambah terhadap ikan tangkapan. Mayoritas responden membuat ikan kering, sedangkan 22% tidak melakukan pengolahan pasca tangkap. Untuk kategori “lain-lain” kegiatan pengolahan yang menonjol adalah ikan asap.

Gambar 11: Ke mana hasil tangkapan dijual (responden dapat menyebutkan lebih dari satu nama)

Gambar 11 menunjukkan ke mana saja para responden menjual hasil tangkapan mereka. Jika responden menjual tangkapannya , kebanyakan dijual dalam kawasan Raja Ampat atau ke pembeli di pasar kota Sorong, Papua Barat. Sebanyak 19% responden mengaku memanfaatkan hasil tangkapan untuk tujuan subsisten atau kebutuhan pokok keseharian, sedangkan 13% menjualnya untuk tujuan ekspor. Tabel 5 merangkum pemanfaatan sumberdaya laut dan karakteristik responden di tiap kecamatan.

Page 17: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

11

Tabel 5: Informasi nelayan dan pemanfaatan sumberdaya laut per Kecamatan

Kecamatan % <15 tahun

menetap % perahu

dengan mesin % Meting % produksi

kering % nelayan subsisten

Misool Timur Selatan 14% 23% 18% 36% 39% Misool 30% 19% 21% 55% 13% Kofiau* 0% 11% 50% 61% 11% Kepulauan Ayau 7% 40% 37% 100% 7% Waigeo Utara 6% 0% 29% 75% 51% Waigeo Timur* 11% 5% 74% 79% 26% Teluk Mayalibit 28% 6% 36% 55% 20% Waigeo Selatan 19% 10% 9% 97% 6% Waigeo Barat 32% 11% 0% 75% 5% Samate 25% 29% 22% 53% 16% Rata-rata Raja Ampat 24% 16% 23% 67% 19% Gambar 12 menunjukkan ancaman utama terhadap sumberdaya laut seperti yang disebutkan oleh para responden. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak disebutkan oleh 80% responden, diikuti oleh penangkapan menggunakan sianida (59%) dan nelayan luar (33%). Hanya 3% dari responden yang menyatakan tangkap-lebih (overfishing) sebagai sebuah ancaman, tetapi menurut salah seorang pewawancara, hal ini mungkin terjadi karena para responden mungkin tidak memahami istilah tersebut secara benar.

Gambar 12: Ancaman-ancaman utama terhadap sumberdaya laut (responden dapat menyebutkan lebih dari satu) Gambar 13, 14 dan 15 memperlihatkan rincian tiga ancaman terbesar (bom, sianida dan nelayan luar) per kecamatan di Raja Ampat. Di hampir semua kecamatan, penangkapan menggunakan bahan peledak dilaporkan sebagai sebuah ancaman terhadap sumberdaya laut dengan persentase 60-100% dari responden. Tapi hanya ada 24% responden di kecamatan Teluk Mayalibit yang mengganggapnya ancaman. Penangkapan menggunakan sianida tampak dipandang lebih kurang tingkat ancamannya dibanding bahan peledak, tetapi dilaporkan sebagai ancaman utama oleh lebih dari 80% responden di

Page 18: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

12

kecamatan Samate, Waigeo Barat dan Kofiau. Sekali lagi, persentase yang rendah muncul di kecamatan Teluk Mayalibit di mana hanya 5% responden yang menyebutkan penangkapan dengan sianida sebagai sebuah ancaman. Kecamatan yang 50% respondennya menyebut nelayan luar sebagai ancaman adalah Misool, Waigeo Timur dan Kofiau. Di kecamatanTeluk Mayalibit nelayan luar tidak dilihat sebagai ancaman, sebuah korelasi statistik yang berhubungan dengan rendahnya prevalensi penggunaan bahan peledak dan sianida dalam menangkap ikan seperti dilaporkan oleh para responden.

Gambar 13: Persentase responden di tiap kecamatan yang menyebutkan penangkapan menggunakan bahan peledak sebagai suatu ancaman terhadap sumberdaya laut.

Gambar 14: Persentase responden yang menyebutkan penangkapan menggunakan sianida sebagai suatu ancaman terhadap sumberdaya laut.

Page 19: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

13

Gambar 15: Persentase responden yang menyebutkan nelayan luar sebagai suatu ancaman terhadap sumberdaya laut.

Sebuah pertanyaan terpisah diajukan kepada para responden, yaitu apakah mereka pernah melihat atau mendengar tentang nelayan luar (Gambar 16). Sebanyak 78% responden menjawab “pernah”, meskipun persentase ini turun masing-masing sebesar 43% dan 10% di kecamatan Kepulauan Ayau dan Teluk Mayalibit. Para responden juga diminta untuk menyebut jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh nelayan luar. Sebanyak 64% responden mengatakan bahwa nelayan luar menangkap ikan menggunakan bahan peledak, dan 26% menjawab nelayan luar terlibat penangkapan menggunakan sianida. Penting untuk dicatat bahwa satu responden sering menyebut lebih dari satu kegiatan. Kegiatan lainnya yang dilaporkan adalah pengambilan sirip hiu, pengoperasian pukat dan penggunaan kompresor hookah.

Gambar 16: Persentase responden yang telah "melihat atau mendengar nelayan luar"

Tabel 6 merangkum persepsi responden terhadap perubahan pada hasil tangkapan dan ancaman utama terhadap sumberdaya laut. Untuk kabupaten Raja Ampat, sebanyak 74% responden merasa bahwa hasil tangkapan kurang, 23% menyatakan tetap dan hanya 2% yang mengatakan hasil tangkapan mengalami

Page 20: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

14

peningkatan. Ada variasi substansial dari jawaban di tiap-tiap kecamatan yang menunjukkan bahwa kondisi laut yang paling baik terdapat di Teluk Mayalibit. Hal ini dapat disebabkan kondisi geografi khas dari kecamatan ini (adanya sebuah teluk), yang memungkinkan masyarakat lokal membatasi akses ke perikanan setempat.

Tabel 6: Masalah-masalah dalam penangkapan ikan per Kecamatan

Kecamatan

% mengatakan penurunan dalam hasil tangkapan

% mengatakan bahan peledak

sebagai ancaman

% mengatakan sianida sebagai

ancaman

% mengatakan nelayan luar

sebagai ancaman

Misool Timur Selatan 61% 80% 59% 36% Misool 68% 94% 68% 53% Kofiau* 89% 100% 89% 72% Kepulauan Ayau 90% 100% 50% 33% Waigeo Utara 71% 86% 45% 27% Waigeo Timur* 95% 100% 53% 63% Teluk Mayalibit 49% 21% 4% 4% Waigeo Selatan 77% 60% 49% 29% Waigeo Barat 77% 96% 86% 38% Samate 87% 97% 85% 28% Rata-rata Raja Ampat 74% 80% 59% 33% Sebagian besar responden (71%) tidak tahu apa yang dimaksud dengan ‘pelestarian alam’, sebanyak 24% responden tahu sedikit dan hanya 5% yang menyatakan mereka tahu tentang pelestarian alam. Gambar 17 memperlihatkan responden yang terbanyak yang lumayan akrab dengan istilah pelestarian alam terdapat di Kofiau dan Waigeo Selatan.

Gambar 17: Pengetahuan tentang konservasi di antara para responden di tiap kecamatan

Page 21: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

15

Rangkaian pertanyaan terakhir yang diajukan kepada responden adalah pengetahuan tentang beberapa organisasi konservasi besar (Gambar 18). Sebanyak 5% atau kurang dari 5% responden pernah mendengar TNC, CI dan WWF. Ada 14% responden yang pernah mendengar tentang COREMAP, sebuah program donor untuk melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Program ini dimulai tahun 1998, yang mungkin menjelaskan mengapa program ini lebih dikenal masyarakat.

Gambar 18: Persentase responden yang telah mendengar tentang organisasi-organisasi konservasi besar

HASIL ANALISIS STATISTIK

Kami melakukan analisis tambahan terhadap data survei untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel yang dapat menjelaskan kecenderungan yang lebih luas dalam pemanfaatan dan ancaman terhadap sumberdaya laut di Raja Ampat. Variabel-variabel kategori dibandingkan menggunakan uji Chi-Kuadrat. Hasil uji statistik ini diuraikan pada tabel 7.

Tabel 7: Hasil uji signifikansi Chi-Kuadrat antara variabel-variabel

Variabel Chi2 Nilai P ancaman nelayan luar vs. perubahan pada hasil tangkapan 8,44 0,015* ancaman nelayan luar vs. destructive fishing practices 17,27 <0,001* jarak dari Sorong vs. perubahan dalam hasil tangkapan 14,60 0,006* jarak dari Sorong vs. ancaman nelayan luar 12,09 0,017* lama menangkap ikan (tahun) vs. perubahan pada hasil tangkapan 13,66 0,001* pekerjaan vs. nelayan komersial/non-komersial 70,34 <0,001* lama menetap di desa (tahun) vs. perubahan pada hasil tangkapan 3,37 0,185 komposisi agama di desa vs. perubahan pada hasil tangkapan 0,05 0,976 jumlah kelompok etnis di desa vs. perubahan pada hasil tangkapan 4,50 0,106

* Signifikan secara statistik.

Gambar 19 menunjukkan bahwa responden yang mengatakan nelayan luar sebagai ancaman terhadap sumberdaya laut juga mengatakan penurunan hasil tangkapan yang lebih tinggi dibanding responden yang tidak mengidentifikasi nelayan luar sebagai ancaman. Sebaliknya, responden yang tidak mengatakan nelayan luar sebagai ancaman terhadap sumberdaya laut cenderung mengatakan bahwa hasil tangkapan

Page 22: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

16

masih sama bahkan lebih dari sebelumnya. Uji korelasi menggunakan Chi-Kuadrat menunjukkan hasil yang signifikan (p=0,015).

Gambar 19: Grafik proporsi jawaban responden terhadap perubahan pada hasil tangkapan dan nelayan luar sebagai suatu ancaman terhadap sumberdaya laut.

Gambar 20 menunjukkan bahwa 73% responden yang melaporkan nelayan luar sebagai ancaman terhadap sumberdaya laut cenderung menggunakan alat tangkap yang merusak (p<0,001). Sebaliknya, responden yang tidak melaporkan nelayan luar sebagai ancaman cenderung kurang menggunakan alat tangkap yang merusak.

Gambar 20: Penggunaan alat tangkap yang merusak dibandingkan dengan nelayan luar sebagai suatu ancaman

Page 23: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

17

Gambar 21 menunjukkan bahwa responden yang tinggal di desa-desa yang lebih dekat ke Sorong lebih cenderung melaporkan penurunan hasil tangkapan dibandingkan yang tinggalnya lebih jauh. Demikian pula gambar 22 yang menunjukkan bahwa responden yang tinggal di desa-desa terjauh dari Sorong lebih cenderung melaporkan nelayan luar sebagai ancaman daripada mereka yang desanya lebih dekat ke Sorong.

Gambar 21: Jarak dari Sorong dibandingkan dengan perubahan yang dirasakan pada hasil tangkapan

Gambar 22: Jarak dari Sorong dibandingkan dengan nelayan luar sebagai suatu ancaman terhadap sumberdaya laut.

Gambar 23 menunjukkan bahwa semakin lama seorang responden sudah menangkap ikan, semakin besar pula kecenderungan mereka melaporkan penurunan pada hasil tangkapan. Hampir 60% dari responden yang sudah mencari ikan selama kurang dari 5 tahun mengatakan bahwa jumlah hasil tangkapan tetap atau lebih banyak dari sebelumnya, sebaliknya ada 40% dari mereka yang mengatakan hasil tangkapan

Page 24: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

18

sudah menurun. Untuk nelayan yang sudah menangkap ikan lebih dari 15 tahun, hampir 80% dari mereka mengatakan terjadi penurunan pada hasil tangkapan.

Gambar 23: Hubungan antara lamanya seorang responden telah menangkap ikan dan jawaban mereka mengenai bagaimana hasil tangkapan telah berubah dari waktu sebelumnya.

DISKUSI

Hasil survei desa dan individu serta analisis statistik dari variabel kunci memungkinkan kita untuk menarik beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan bagaimana pemanfaatan sumberdaya laut di Raja Ampat.

NELAYAN LUAR DAN PENGGUNAAN ALAT TANGKAP YANG MERUSAK

Nelayan luar dan penggunaan alat tangkap yang merusak (baik oleh nelayan luar dan nelayan setempat) merupakan ancaman-ancaman yang saling terkait terhadap kelestarian sumberdaya laut di Raja Ampat. Kami membandingkan data dari dua pertanyaan tentang nelayan luar dengan persepsi responden tentang bagaimana hasil tangkapan telah berubah. Keduanya memperlihatkan suatu hubungan yang signifikan secara statistik (Gambar 19). Responden yang mengatakan nelayan luar sebagai ancaman terhadap sumberdaya laut dan melaporkan terjadinya penurunan hasil tangkapan, persentasenya lebih besar (81%) dibandingkan dengan mereka yang tidak melaporkan nelayan luar sebagai ancaman tapi melaporkan penurunan hasil tangkapan (71%). Untuk responden yang melaporkan hasil tangkapan sama seperti sebelumnya, responden yang tidak menyatakan nelayan luar sebagai ancaman lebih kecil persentasenya (19%) dibandingkan dengan responden yang menyatakan mereka sebagai ancaman (25%).

Analisis lebih lanjut menambahkan nuansa pada kesimpulan bahwa nelayan luar merupakan bagian dari alasan terjadinya penurunan hasil tangkapan. Nelayan luar adalah ancaman terbesar ketiga terhadap

Page 25: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

19

sumberdaya laut setelah bahan peledak dan sianida. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak sangat merugikan di lokasi yang berekosistem terumbu karang. Kerugian yang ditanggung masyarakat akibat penggunaan bahan peledak ini diperkirakan sebesar USD 306.800 per km2 terumbu karang dalam jangka waktu 20 tahun (Pet-Soede et al. 1999). Meskipun beberapa penduduk lokal ikut terlibat menggunakan bahan peledak dan sianida, nelayan luar yang berkolusi dengan figur penguasa diyakini sebagai pelaku utama dari praktek-praktek ini (Donnelly et al. 2003). Nelayan luar juga membuat pengaturan bisnis dengan masyarakat lokal dengan cara menyediakan bahan-bahan alat tangkap yang merusak dan membuat perjanjian pembelian (Varkey et al. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa tiga ancaman terbesar terhadap sumberdaya laut di Raja Ampat itu saling terkait dan berhubungan dengan nelayan luar.

Para responden yang menyatakan nelayan luar sebagai ancaman lebih mungkin menggunakan alat tangkap yang merusak juga. Penjelasan dari hal ini adalah para responden yang jarak tinggalnya dekat dengan nelayan luar menghadapi persaingan yang lebih besar dalam memanfaatkan sumberdaya laut, dan karenanya lebih cenderung mengadopsi metode yang mereka pikir lebih efektif dalam menangkap ikan. Atau para nelayan luar kemungkinan memperkenalkan cara tangkap ini yang kemudian diadopsi oleh nelayan setempat.

Untuk mempelajari karakteristik spasial para nelayan luar dan hasil tangkapan, kami melihat pada jarak ke kota Sorong. Para responden dari desa terdekat ke Sorong merasakan penurunan hasil tangkapan yang paling tinggi. Desa yang terdekat dengan Kota Sorong tampaknya punya akses yang lebih baik ke para pembeli ikan, dan juga menghadapi kompetisi lokal dengan nelayan yang berbasis di Sorong. Desa-desa yang hasil tangkapannya paling menurun kedua, adalah yang terjauh dari Sorong. Desa-desa ini mungkin menghadapi tekanan yang lebih besar dari nelayan luar, dengan separuh dari jumlah respondennya mengatakan bahwa nelayan luar adalah ancaman terhadap sumberdaya laut (Gambar 22). Nelayan dari daerah lain di Indonesia diketahui melakukan perjalanan hingga ke Raja Ampat untuk mencari ikan (Varkey et al. 2010, Donnelly et al. 2003, Bailey et al. 2008). Nelayan luar juga cenderung bertanggung jawab untuk pembagian hasil tangkapan yang tidak proporsional. Survei monitoring pemanfaatan sumberdaya laut di Kofiau telah menunjukkan bahwa 26% dari nelayan adalah nelayan luar dan mereka inilah yang bertanggung jawab terhadap 83% dari volume tangkapan (Muljadi 2009).

Menariknya, tangkap-lebih (overfishing) disebutkan sebagai ancaman oleh kurang dari 1% responden. Walaupun demikian, sebagian besar responden mungkin tidak paham istilah ‘tangkap-lebih’ dan akibatnya gagal untuk mengenalinya sebagai salah satu faktor penyebab menurunnya sumberdaya laut. Bahkan sebuah tekanan penangkapan tradisional yang relatif kecil di satu wilayah pun dapat berdampak pada populasi ikan tertentu secara dramatis (Pinnegar and Engelhard 2008). Akan tetapi kami menjumpai bahwa di Raja Ampat para nelayan tradisional kurang menjadi sebuah ancaman bagi sumberdaya laut dibandingkan tekanan dari nelayan luar. Nampaknya kombinasi antara nelayan luar dengan praktek penangkapan yang merusak, baik oleh penduduk lokal dan nelayan luar, mengarahkan pada penurunan yang dirasakan pada hasil tangkapan. Kemampuan untuk melarang nelayan luar adalah ciri dari banyak kegiatan pengelolaan sumberdaya laut berbasis masyarakat (Savina and White 1986, Johannes 2002) dan mendukung penggunaan KKP sebagai strategi konservasi di Raja Ampat.

SINDROM PERGESERAN GARIS-DASAR DI ANTARA NELAYAN DI RAJA AMPAT

Kami mencari bukti dari sindrom ‘pergeseran garis-dasar’ di mana generasi muda nelayan melihat standar sumberdaya laut yang lebih rendah sebagai kondisi yang normal (Pauly 1995, Knowlton and Jackson 2008). Dua kriteria yang harus ada untuk memunculkan sindrom ini adalah: (i) perubahan biologis harus

Page 26: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

20

sudah terjadi dalam sistem, dan (ii) persepsi terhadap perubahan ini oleh populasi manusia harus sesuai dengan pengamatan biologi (Papworth et al. 2009).

Dari hasil survei, kami menemukan suatu hubungan yang signifikan secara stastistik antara responden yang melaporkan penurunan pada hasil tangkapan dan lamanya (tahun) mereka telah menangkap ikan (p = 0.001). Muncul suatu kecenderungan yang jelas, terdapat persentase yang lebih besar untuk responden yang telah lebih lama menangkap ikan menyatakan bahwa hasil tangkapan telah menurun, di mana sebaliknya terjadi untuk responden yang telah menangkap ikan dalam waktu yang lebih kurang (Gambar 23). Beberapa pihak telah berpendapat bahwa sindrom pergeseran garis-dasar seyogyanya disajikan pada tingkat pengalaman yang berbeda bukan hanya sekedar perbedaan umur, suatu kondisi yang benar dalam analisis ini (Papworth et al. 2009). Kami menemukan tidak ada hubungan secara statistik antara perubahan dalam persepsi hasil tangkapan dan lamanya orang menetap di suatu desa.

Hasil yang kami peroleh mengkonfirmasi temuan-temuan dari studi lain yang melaporkan bahwa laju eksploitasi telah meningkat dan status populasi dari 44 kelompok jenis biota laut yang berbeda di Raja Ampat telah mengalami penurunan sejak tahun 1970. Lebih ke belakang lagi, sebuah kajian terhadap sumber-sumber sejarah mulai tahun 1810 hingga saat ini mencatat bahwa telah terjadi penurunan kelimpahan sumberdaya laut di Raja Ampat sejak 200 tahun terakhir (Palomares et al. 2007). Bisa jadi ada pergeseran persepsi di kalangan nelayan mengenai ukuran dan kelimpahan sumberdaya laut karena ada pengurangan dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Saenz-Arroyo et al. 2005).

Raja Ampat memiliki sejarah migrasi dan pertumbuhan penduduk disertai meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya laut, baik oleh nelayan setempat maupun dari luar (Varkey et al. 2010). Bukan suatu hal yang mengejutkan bahwa terjadi sindrom pergeseran garis-dasar di Raja Ampat. Tantangan bagi masyarakat di Raja Ampat adalah bagaimana menghentikan penurunan ini untuk memastikan sumberdaya yang memadai bagi generasi mendatang.

STRATEGI MATA PENCAHARIAN YANG BERAGAM

Beberapa penulis telah mencatat bahwa menangkap ikan dapat menjadi profesi yang “melekat”, dan mungkin bukan suatu hal yang realistis untuk men-transisi nelayan menjadi petani dalam rangka mengurangi tekanan perikanan (Pollnac et al. 2001, Béné 2003). Sebuah tinjauan mengenai inisiatif mata pencaharian alternatif di Filipina dan Indonesia yang telah mempromosikan budidaya rumput laut dengan harapan meningkatkan penghasilan nelayan dan mengurangi tekanan oleh penangkapan, menyimpulkan bahwa meskipun budidaya rumput laut dapat menyediakan pendapatan yang signifikan bagi rumah tangga pesisir, jarang menghasilkan nelayan yang berhenti menangkap ikan atau mengurangi usaha penangkapan (Sievanen et al. 2005). Survei kepuasan kerja antara nelayan tradisional di Filipina, Indonesia dan Vietnam memperlihatkan bahwa hampir semua nelayan menolak untuk meninggalkan pekerjaannya untuk alasan-alasan penghasilan maupun non-penghasilan (Pollnac et al. 2001).

Sebuah penilaian sebelumnya di Raja Ampat memperkirakan sekitar 90% dari penduduk bergantung pada sumberdaya laut untuk sebagian dari mata pencaharian mereka (Amarumollo and Farid 2002). Hasil penelitian kami adalah, meskipun menangkap ikan adalah mata pencaharian yang dominan, hampir separuh dari responden mengidentifikasi pekerjaan mereka sebagai sesuatu selain dari ‘nelayan’ secara eksklusif (Gambar 3). Di Raja Ampat, kami menemukan hampir semua penduduk tidak melihat kegiatan menangkap ikan, bertani dan pekerjaan lain sebagai sektor yang terpisah. Sebaliknya, mereka akan mengganti jenis pekerjaan apapun yang dilihatnya sebagai yang paling produktif pada musim tertentu dan secara oportunis memanfaatkan sumberdaya laut untuk memenuhi kebutuhan individualnya (Allison and Ellis 2001).

Page 27: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

21

Analisis lebih lanjut pada data survei memberikan rincian yang lebih besar tentang bagaimana sumberdaya laut dimanfaatkan di Raja Ampat. Sebanyak 19% responden menunjukkan bahwa mereka menggunakan setidaknya sebagian hasil tangkapan untuk kebutuhan pokok keseharian. 81% responden melaporkan menjual hasil tangkapannya secara ekslusif. Dari responden yang menyatakan diri sebagai ‘nelayan’ ini ternyata lebih besar persentase yang menjual hasil tangkapannya daripada yang mengkonsumsinya untuk kebutuhan keseharian. Satu kesimpulan yang dapat dibuat adalah kebanyakan ‘nelayan’ menjual hasil tangkapannya untuk mendapat penghasilan, sementara yang menggambarkan diri sebagai ‘nelayan/petani’ cenderung memanfaatkan sumberdaya laut untuk sumber makanan tambahan.

Pemanfaatan sumberdaya laut merupakan bagian penting dari strategi mata pencaharian sebagian besar rumah tangga di Raja Ampat. Meskipun para responden tidak diberikan pertanyaan tentang apakah mereka akan berhenti menangkap ikan, baik sebagai pekerjaan penuh maupun paruh waktu, bukti dari masyarakat yang serupa di wilayah ini (Pollnac et al. 2001) menunjukkan bahwa beberapa orang akan bersedia untuk melepaskan keuntungan yang diberikan oleh kegiatan penangkapan. Dengan kata lain, sumberdaya laut menjadi komponen mata pencaharian mulai dari sekedar tambahan hingga penting bagi para nelayan dan petani di Raja Ampat. Kegiatan konservasi potensial yang berusaha untuk mengurangi tekanan penangkapan dengan cara mengurangi jumlah nelayan lokal yang aktif di Raja Ampat mungkin dapat menemukan keberhasilan yang terbatas.

Page 28: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

22

KESIMPULAN

Sejak survei ini dilakukan, The Nature Conservancy dan Conservation International telah bekerja dengan masyarakat lokal untuk menetapkan jejaring KKP multi-pemanfaatan di Raja Ampat pada tahun 2006. Jejaring ini diperluas dari 895.210 hektar menjadi 1.185.940 hektar pada tahun 2008. Harapannya adalah KKP dan cagar laut akan meningkatkan perikanan (Roberts et al. 2001, Gell and Roberts 2003), membantu mencegah kerusakan karang (Selig and Bruno 2010), dan memberikan manfaat pengentasan kemiskinan untuk masyarakat lokal (Leisher et al. 2007).

Survei ini dirancang untuk menyediakan informasi dasar mengenai pemanfaatan sumberdaya laut dan persepsi masyarakat Raja Ampat. Selain itu, 493 individu yang diwawancarai tidak merupakan suatu sampel acak karena fokus survei pada sumberdaya laut, dan oleh karena itu ekstrapolasi kesimpulan di sini harus dilakukan dengan hati-hati.

Data yang ada memungkinkan kami mempelajari lebih dalam dan menarik beberapa kesimpulan tentang konservasi laut yang dapat membantu menginformasikan upaya pengelolaan bersama yang sedang berlangsung di Raja Ampat. Kesimpulannya adalah: (i) Adanya persepsi bahwa hasil tangkapan sudah menurun dikaitkan dengan keberadaan nelayan luar. Nelayan luar juga dikaitkan dengan praktek penangkapan ikan yang merusak, yang artinya upaya-upaya konservasi hendaknya difokuskan pada mengatasi ancaman nelayan luar terhadap sumberdaya laut lokal. (ii) Terjadi sindrom pergeseran garis-dasar di Raja Ampat, di mana responden yang telah lebih lama menangkap ikan lebih sering melaporkan bahwa hasil tangkapan telah menurun. Bukti ini menegaskan pentingnya melindungi sumberdaya laut Raja Ampat. (iii) Pertanian dan perikanan bukan merupakan pekerjaan terpisah di Raja Ampat, melainkan merupakan dua elemen kunci dari sebuah strategi mata pencaharian bersama. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan konservasi laut yang mengarah pada hasil tangkapan yang lebih besar akan meningkatkan mata pencaharian dan cenderung menggalang dukungan dari penduduk setempat.

Yang terakhir, ada jawaban-jawaban yang berbeda antara kecamatan-kecamatan di Raja Ampat, akan tetapi ada juga beberapa kecenderungan umum. Para pengelola sumberdaya laut yang bekerja di lokasi yang berlainan di Raja Ampat akan membutuhkan informasi ini ketika memutuskan di mana dan kapan memfokuskan upaya-upaya konservasi.

Page 29: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

23

REFERENSI

Ainsworth CH, Pitcher TJ, Rotinsulu C (2008) Evidence of fishery depletions and shifting cognitive baselines in Eastern Indonesia. Biological Conservation 141: 848-859.

Allen GR (2008) Conservation hotspots of biodiversity and endemism for Indo-Pacific coral reef fishes. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 18: 541-556.

Allen GR, Erdmann MV (2009) Reef fishes of the Bird’s Head Peninsula, West Papua, Indonesia. Check List 5: 587-628.

Allison EH, Ellis F (2001) The livelihoods approach and management of small-scale fisheries. Marine Policy 25: 377-388.

Amarumollo J, Farid M (2002) Exploitation of marine resources on the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. In: McKenna SA, Allen GR, Suryadi S, editors. A marine rapid assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Washington, DC: Conservation International. pp. 79-86.

Bailey M, Rotinsulu C, Sumaila UR (2008) The migrant anchovy fishery in Kabui Bay, Raja Ampat, Indonesia: Catch, profitability, and income distribution. Marine Policy 32: 483-488.

Bellwood DR, Hughes TP, Folke C, Nyström M (2004) Confronting the coral reef crisis. Nature 429: 827–33.

Béné C (2003) When fishery rhymes with poverty: A first step beyond the old paradigm on poverty in small-scale fisheries. World Development 31: 949-975.

Brooks TM, Mittermeier RA, da Fonseca GAB, Gerlach J, Hoffmann M, et al. (2006) Global biodiversity conservation priorities. Science 313: 58–61.

Donnelly R, Neville D, Mous P (2003) Report on a rapid ecological assessment of the Raja Ampat Islands, Papua, Eastern Indonesia, held October 30 -- November 22, 2002. Bali, Indonesia: The Nature Conservancy - Southeast Asia Center for Marine Protected Areas.

FAO (2010) State of the world’s fisheries and aquaculture. Rome: FAO. 192 p. Gell F R, Roberts CM (2003) Benefits beyond boundaries: the fishery effects of marine reserves. Trends

in Ecology & Evolution 18: 448-455. Hughes TP, et al. (2003) Climate change, human impacts and the resilience of coral reefs. Science 301:

929-933. Johannes RE (2002) The renaissance of community-based marine resource management in Oceania.

Annual Review of Ecology and Systematics 33: 317-340. Knowlton N, Jackson JBC (2008) Shifting baselines, local impacts, and global change on coral reefs.

PLoS Biol 6: e54. doi:10.1371/journal.pbio.0060054. Leisher C, Van Beukering P, Scherl LM (2007) Nature’s investment bank: How marine protected areas

contribute to poverty reduction. Arlington: The Nature Conservancy. 46 pp. McKenna SA, Allen GR, Suryadi, editors (2002) A marine rapid assessment of the Raja Ampat Islands,

Papua Province, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assessment 22. Washington, DC: Conservation International. 191 p.

McLeod E, Szuster B, Salm R (2009) Sasi and marine conservation in Raja Ampat, Indonesia. Coastal Management 37: 656-676.

Page 30: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

24

Muljadi AH (2009) Uses of marine resources in Kofiau marine protected area, Raja Ampat, Indonesia 2006-2008. Sorong, Indonesia Report for The Nature Conservancy, 37 pp.

Palomares ML, Heymans JJ, Pauly D (2007) Historical ecology of the Raja Ampat Archipelago, Papua Province, Indonesia. Hist. Phil. Life. Sci. 29: 33-56.

Papworth SK, Rist J, Coad L, Milner-Gulland EJ (2009) Evidence for shifting baseline syndrome in conservation. Conservation Letters 2: 93-100.

Pauly D (1995) Anecdotes and the shifting baseline syndrome of fisheries. Trends in Ecology and Evolution 10: 430.

Pet-Soede C, Cesar HSJ, Pet JS (1999) An economic analysis of blast fishing on Indonesian coral reefs. Environmental Conservation 26: 83-93.

Pinnegar J, Engelhard G (2008) The ‘shifting baseline’ phenomenon: a global perspective. Reviews in Fish Biology and Fisheries 18: 1-16.

Pollnac RB, Pomeroy RS, Harkes IHT (2001) Fishery policy and job satisfaction in three Southeast Asian fisheries. Ocean & Coastal Management 44: 531-544.

Roberts CM, Bohnsack JA, Gell F, Hawkins JP, Goodridge R (2001) Effects of Marine Reserves on Adjacent Fisheries. Science 294: 1920-1923.

Roberts CM, McClean DJ, Veron JEN, Hawkins JP, Allen GR, et al. (2002) Marine biodiversity hotspots and conservation priorities for tropical reefs. Science 295: 1280–1284.

Saenz-Arroyo A, Roberts CM, Torre J, Cariño-Olvera M, Enríquez-Andrade RR (2005) Rapidly shifting environmental baselines among fishers of the Gulf of California. Proc Biol Sci. 272: 1957-1962.

Savina GC, White AT (1986) A tale of two islands: Some lessons for marine resource management. Environmental Conservation 13: 107-113,

Selig ER, Bruno JF (2010) A Global Analysis of the Effectiveness of Marine Protected Areas in Preventing Coral Loss. PLoS ONE 5: e9278.

Sievanen L, Crawford B, Pollnac RB, Lowe C (2005) Weeding through assumptions of livelihood approaches in ICM: Seaweed farming in the Philippines and Indonesia. Ocean & Coastal Management 48: 297-313.

Stobutzki IC, Silvestre GT, Garces LR (2006) Key issues in coastal fisheries in South and Southeast Asia, outcomes of a regional initiative. Fisheries Research 78: 109-118.

UNEP (2006) Marine and coastal ecosystems and human well-being: A synthesis report based on the findings of the Millennium Ecosystem Assessment. Nairobi: UNEP. 76 p.

Varkey DA, Ainsworth CH, Pitcher TJ, Goram Y, Sumaila R (2010) Illegal, unreported and unregulated fisheries catch in Raja Ampat Regency, Eastern Indonesia. Marine Policy 34: 228-236.

Veron JEN, Devantier LM, Turak E, Green AL, Kininmonth S et al. (2009) Delineating the Coral Triangle. Galaxea, Journal of Coral Reef Studies 11: 91-100.

White AT (1986) Marine reserves: How effective as management strategies for Philippine, Indonesian and Malaysian coral reef environments? Ocean Management 10: 137-159.

Page 31: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

25

LAMPIRAN 1: PERUBAHAN KECAMATAN DI RAJA AMPAT Setelah desentralisasi kewenangan pemerintah pusat pada awal tahun 2000-an, jumlah kabupaten dan kecamatan di Indonesia meningkat. Jumlah kecamatan di Raja Ampat meningkat dari 10 menjadi 17 setelah survei ini selesai. Rincian perubahannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Nama desa Nama kecamatan lama Nama kecamatan baru Salafen Misool Misool Utara Waigama Misool Misool Utara Solal Misool Misool Utara Atkari Misool Misool Utara Aduwei Misool Misool Utara Wejim Misool Kepulauan Sembilan Satukurano Misool Kepulauan Sembilan Limalas Misool Misool Timur Folley Misool Timur Selatan Misool Timur Usaha Jaya Misool Timur Selatan Misool Timur Tomolol Misool Timur Selatan Misool Timur Fafanlap Misool Timur Selatan Misool Selatan Yellu Misool Timur Selatan Misool Selatan Harapan Jaya Misool Timur Selatan Misool Selatan Kapatcol Misool Timur Selatan Misool Barat Lilinta Misool Timur Selatan Misool Barat Biga Misool Timur Selatan Misool Barat Gamta Misool Timur Selatan Misool Barat Magey Misool Timur Selatan Misool Barat Deer Kofiau Kofiau Dibalal Kofiau Kofiau Tolobi Kofiau Kofiau Rutum Kepulauan Ayau Kepulauan Ayau Reni Kepulauan Ayau Kepulauan Ayau Yenkawir Kepulauan Ayau Kepulauan Ayau Dorekar Kepulauan Ayau Kepulauan Ayau Miosbekwan Kepulauan Ayau Kepulauan Ayau Rauki Waigeo Utara Waigeo Utara Bonsayor Waigeo Utara Waigeo Utara Kabare Waigeo Utara Waigeo Utara Andei Waigeo Utara Waigeo Utara Asukweri Waigeo Utara Waigeo Utara Kapadiri Waigeo Utara Waigeo Utara Warwanai Waigeo Utara Wawarbomi Mnier Waigeo Utara Wawarbomi Boni Waigeo Utara Wawarbomi Puper Waigeo Timur Waigeo Timur Yembekaki Waigeo Timur Waigeo Timur Yensner Waigeo Timur Waigeo Timur Urbinasopen Waigeo Timur Waigeo Timur

Page 32: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

26

Nama desa Nama kecamatan lama Nama kecamatan baru Lopintol Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Warsamdim Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Warimak Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Kalitoko Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Beo Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Araway Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Go Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Waifoy Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Kabilol Teluk Manyalibit Teluk Manyalibit Arborek Waigeo Selatan Miosmansar Saodarek Waigeo Selatan Miosmansar Yenbuba Waigeo Selatan Miosmansar Yenbekuan Waigeo Selatan Miosmansar Kurkapa Waigeo Selatan Miosmansar Yenwaopnor Waigeo Selatan Miosmansar Kapisawar Waigeo Selatan Miosmansar Sawingrai Waigeo Selatan Miosmansar Kabui Waigeo Selatan Miosmansar Saonek Waigeo Selatan Waigeo Selatan Wawiay Waigeo Selatan Waigeo Selatan Saporkren Waigeo Selatan Waigeo Selatan Yenbeser Waigeo Selatan Waigeo Selatan Friwin Waigeo Selatan Waigeo Selatan Waisai Waigeo Selatan Waigeo Selatan Salio Waigeo Barat Waigeo Barat Serpele Waigeo Barat Waigeo Barat Waisilip Waigeo Barat Waigeo Barat Biansi Waigeo Barat Waigeo Barat Mutus Waigeo Barat Waigeo Barat Saukabu Waigeo Barat Waigeo Barat Kepulauan Pam Waigeo Barat Waigeo Barat Kepulauan Gag Waigeo Barat Waigeo Barat Kepulauan Manyaifun Waigeo Barat Waigeo Barat Kepulauan Meos Manggara Waigeo Barat Waigeo Barat Kepulauan Jefman Samate Salawati Uatara Safkabu Samate Salawati Uatara Kalobo Samate Salawati Uatara Samate Samate Salawati Uatara Wamega Samate Salawati Uatara Kapatlap Samate Salawati Uatara Solol Samate Selat Sagawin Kalyam Samate Selat Sagawin Wailebet Samate Selat Sagawin Yenanas Samate Selat Sagawin Amdui Samate Selat Sagawin Marandanweser Samate Selat Sagawin Yensawai Samate Selat Sagawin Arefi Samate Selat Sagawin Waiweser Samate Selat Sagawin

Page 33: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011

Laporan Penilaian Desa Pesisir di Kabupaten Raja Ampa, Papua Barat, Indonesia

27

LAMPIRAN 2: PETA RAJA AMPAT

Page 34: Laporan Penilaian Desa Pesisir di Raja Ampat 2011