59
LAPORAN JURNAL A Prospective Study of Dietary Fat Consumption and Endometriosis Risk Disusun Oleh : 1. Dwi Putra Haliim (G1A211028) 2. Nur Huda Satria K. (G1A211029) 3. Tantri Sopia Sagita (1010221058) Pembimbing : dr. Adi Setyawan P., Sp.OG (K.Fer)

Laporan Jurnal.docx

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN JURNALA Prospective Study of Dietary Fat Consumption and Endometriosis Risk

Disusun Oleh :1. Dwi Putra Haliim (G1A211028)2. Nur Huda Satria K.(G1A211029)3. Tantri Sopia Sagita(1010221058)

Pembimbing :dr. Adi Setyawan P., Sp.OG (K.Fer)

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGANRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO

2011HALAMAN PENGESAHAN

A Prospective Study of Dietary Fat Consumption and Endometriosis Risk

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit KandunganRSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :1. Dwi Putra Haliim (G1A211028)2. Nur Huda Satria K.(G1A211029)3. Tantri Sopia Sagita(1010221058)

Telah dipresentasikan

Pada Tanggal : September 2011

Menyetujui

dr. Adi Setyawan P., Sp.OG (K.Fer)

Penelitian Prospektif Mengenai Diet Konsumsi Lemak dan Faktor Risiko Endometriosis

Latar Belakang : Endometriosis adalah gangguan ginekologis umum, tetapi misterius, beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi telah diidentifikasi. Konsumsi minyak ikan berkaitan dengan perbaikan gejala dalam studi pada wanita dengan dismenor primer dan dengan penurunan faktor risiko endometriosis pada studi autotransplantation hewan.Metode : Untuk menyelidiki hubungan antara diet asupan lemak dan faktor risiko endometriosis, kami menganalisis selama 12 tahun menggunakan data prospektif dari The Nurses Health Study II yang dimulai pada tahun 1989. Diet lemak dinilai menggukanan kuesioner frekuensi makanan pada tahun 1991, 1995, 1999. Kami menggunakan cox proportional hazard models yang disesuaikan untuk asupan energi total, paritas, ras, dan indeks massa tubuh pada usia 18 tahun, dan rerata asupan lemak dinilai secara kumulatif menggunakan tiga kuesioner diet.Hasil : Dari 586.153 orang per tahun yang diteliti, terdapat 1.199 kasus endometriosis yang dikonfirmasi melalui laparoskopi. Meskipun konsumsi lemak total tidak berhubungan dengan risiko endometriosis, wanita dengan konsumsi seperlima tertinggi asam lemak omega 3 rantai panjang memiliki kemungkinan 22% lebih rendah untuk terdiagnosis endometriosis dibandingkan dengan konsumsi seperlima terendah. [95% confidence interval (CI) = 0.620.99; P-value, test for linear trend (Pt) = 0.03].Selain itu, wanita dengan asupan kuantil tertinggi lemak tak jenuh-trans memiliki kemungkinan 48% lebih tinggi untuk terdiagnosis endometriosis (95% CI = 1.171.88; Pt = 0.001)Kesimpulan : Data ini menunjukkan bahwadiet lemak dari tipe tertentu berkaitan dengan kejadianendometriosisyang dikonfirmasi melalui laparoskopi, dan bahwahubungan tersebut dapat menunjukkanfaktor risiko yang dapat dimodifikasi. Bukti ini juga menyediakan hubungan penyakit lain yang mendukung upaya untuk menghilangkan lemak trans dari minyak terhidrogenasi dari suplai makanan.Kata Kunci : endometriosis/ studi kohort/ diet/ epidemiologi/ lemakPendahuluanEndometriosis adalah penyebab utama ketiga rawat inap kasus ginekologidi Amerika Serikat (Eskenazi dan Warner, 1997). Meskipun angka morbiditas dan biaya perawatan kesehatan yang terkait dengan endometriosis cukup tinggi, penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti dan hanya sedikit faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Patofisiologi dari penyakit ini meliputi hormon, anatomi, genetik, imunitas dan faktor inflamasi. Risiko dapat berkaitan dengan faktor yang meningkatkan volume, frekuensi dan durasi dari menstruasi retrograd dan memicu terjadinya implantasi dan perkembangan plak endometrium (Oral dan Arici, 1997). Faktor diet makanan telah menjadi faktor utama yang meningkatkan jumlah pasien endometriosis. Sayangnya hanya ada sedikit bukti ilmiah yang mendukung hipotesis ini. Hanya terdapat satu uji coba hewan yang secara langsung meneliti hubungan antara diet dan angka kejadian endometriosis (Covens et al., 1988), yang mengatakan bahwa minyak ikan dapat menginduksi regresi pada operasi yang disebabkan oleh endometriosis. Dalam sebuah penelitian yang berfokus pada asupan makanan, endometriosis yang dikonfirmasi melalui laparoskopi secara positif berkaitan (berbanding lurus) dengan konsumsi daging merah [rasio odds (OR) = 2,0, 95% CI = 1,4-2,8] dan berbanding terbalik dengan sayuran hijau saat ini (OR = 0,3; 95% CI = 0,2-0,5) dan konsumsi buah (OR = 0,6; 95% CI = 0,4-0,8). Namun, studi ini tidak mengamati secara signifikan keterkaitan dengan asupan mentega, margarin atau minyak (Parazzini et al., 2004). Selain itu, pada penelitian organoklorin dan risiko endometriosis, diketahui tidak ada hubungan antara makanan tertentu dengan data yang dikumpulkan berdasarkan hipotesis potensial organoklorin (Heilier et al., 2007).Terdapat literatur yang menunjukkan hubungan antara faktor diet makanan dan proses fisiologis atau gejala yang diyakini berkaitan dengan endometriosis. Kontraktilitas otot polos, estrogen, peradangan, metabolisme prostaglandin dan siklus menstruasi adalah beberapa faktor yang mungkin berkontribusi dalam terjadinya endometriosis dan dapat dipengaruhi oleh diet. Misalnya, dietasam lemak tertentu diketahui mempengaruhi tingkat sirkulasi IL-6 dan penanda inflamasi lain yang ditemukan di tingkat yang lebih tinggi di antara wanita dengan endometriosis (Baer et al., 2004). Juga, hubungan yang berbanding terbalik antara suplementasi minyak ikan dan tingkat sirkulasi dari prostaglandin seri 2 dan gejala inflamasi telah diamati (Bartram et al., 1993). Selain itu, dalam penelitian double-blind yang melibatkan suplementasi minyak ikan menunjukkan penurunan yang signifikan dalam dismenore (Harel et al., 1996), dan penelitian lain mengamati bahwa nyeri haid meningkat dikarenakan asupan asam alfa-linolenat menurun (Deutch, 1995). Untuk menindaklanjuti temuan ini, kami menggunakan data dari Nurses 'Health Study II, sebuah penelitian kohort prospektif dari USA premenopause perawat yang dimulai pada tahun 1989, untuk mengevaluasi hubungan antara diet konsumsi lemak dan kejadian endometriosis yang dikonfirmasi melalui laparoskopi.Bahan dan MetodePopulasi penelitian dan pengumpulan data Data untuk analisis ini dikumpulkan dalam Nursess kohort Health Study II dari September 1989 sampai 1 Juni 2001. Kuesioner berisi informasi angka kejadian penyakit dan demografi, biologis, lingkungan dan faktor risiko gaya hidup terkini dan dikirim dua tahun sekali. Sebanyak 116.607 wanita dengan rentang usia antara 25-42 tahun dan berada di satu dari 14 distrik di USA telah menyelesaikan kuesioner dasar. Tindak lanjut dari kohort ini di setiap interval 2 tahun secara konsisten 90%. Penelitian ini telah disetujui oleh Dewan Tinjauan Kelembagaan Brigham dan Rumah Sakit Khusus Wanita dan Sekolah Kesehatan Masyarakat Harvard.Penentuan kasus dan definisi analitikPada tahun 1993, pertama kali wanita ditanya apakah mereka pernah didiagnosis oleh doktermenderita endometriosis ? Jika 'ya', mereka diminta untuk melaporkan bahwa telah didiagnosis dan telah dikonfirmasi dengan laparoskopi.Pertanyaan-pertanyaan ini kembali muncul dalam setiap kuesioner berikutnya.Pada bulan Maret 1994, kami melakukan penelitian untuk memvalidasi diagnosis endometriosis yang dilaporkan sendiridalam penelitian kohort prospektif Nurses 'Health Study II.Kuesioner tambahan dikirimkan ke 200 wanita yang dipilih secara acakdari 1.766 kasus yang dilaporkan sebagai insiden diagnosis.Di antara mereka yang dikonformasi dengan laparoskopi (n = 105), diagnosis dari endometriosis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi adalah sebesar 96,2%.Namun, wanita-wanita yang didiagnosis tanpa konfirmasi laparoskopi (n =26), bukti diagnosis klinis hanya ditemukan sebesar 53,8%.Sebagai bagian dari studi validasi, permintaan izin untukmeninjau catatan medis juga dikirim untuk setiap wanita yang diindikasikanbahwa ia telah menjalani histerektomi selama periode waktu endometriosis.Diagnosis endometriosis pada saat prosedur bedah dikonfirmasi sebesar 79,6% (n = 144 / 181).Namun, endometriosis yang merupakan indikasi primer untuk untuk histerektomihanya 5,5% (n = 9 / 163).Oleh karena itu, untuk mengurangi besarnya kesalahan klasifikasidan mencegah perancu dengan indikasi untuk histerektomi, analisis insidensidiagnosis endometriosis dibatasi pada wanita-wanita yangmelaporkan diagnosis mereka melalui konfirmasi laparoskopi.Dalam definisi kasusdibatasi,hubungan antaraendometriosis dan statusinfertilitas cukup kompleks.Pada awalnya,prevalensiinfertilitas (yang didefinisikan sebagaisulit hamil dalam waktu > 1 tahun) lebih besarpada wanita dengankonfirmasilaparoskopi(20%) dibandingkan antara mereka yangsecara klinisdidiagnosistanpa konfirmasilaparoskopi (4%),berpotensimenghasilkan lebih darisamplingyang dinyatakan penyakit tanpa gejala.Karena endometriosis dengan infertilitas dapat menjadi indikasi penyakit tanpa gejala sekunder untuk penyebab lain dari infertilitas, faktor risiko endometriosis dengan infertilitas dapat berbeda dari endometriosis tanpa infertilitas dalam waktu bersamaan.Oleh karena itu, kami melihat faktor-faktor secara terpisah pada kedua subtipe endometriosis (i) kasus denganinfertilitasbersamaanlalu atautidakdan (ii)kasus dengan infertilitasbersamaan.Dengan penelitian kohort ini, infertilitas telah divalidasidalam studidari 100 wanitayang dipilih secara acakyang dilaporkan menderita infertilitas ovulasi 95% darilaporan diriyang dikonfirmasimelalui catatanmedisreview (Rich Edwardsetal.,1994)Penilaian paparanSebuah kuisioner frekuensi makanan (FFQ) semi-kuantitatif dengan sampel lebih dari 130 makanan yang dikonsumsi wanita pada tahun 1991, 1995 dan 1999 digunakan untuk menilai asupan makanan biasa selama setahun terakhir.Peserta ditanya seberapa sering, rata-rata, mereka telah mengkonsumsi setiap jenis makanan atau minuman selama setahun terakhir. FFQ memiliki sembilan tanggapan, mulai dari tidak pernah atau kurang dari sekali per bulan sampai enam kali atau lebih per hari. Asupan total dan tipe lemak tertentu per individu dihitung sebagai jumlah kontribusi dari semua makanan berdasarkan Departemen data komposisi makanan Pertanian (1993), dengan mempertimbangkan jenis margarin dan lemak yang digunakan dalam memasak dan baking.Untuk menghitung persentase energi yang disumbangkan oleh setiap jenis lemak, kami membagi asupan energi dari masing-masing lemak dengan asupan energi total. Karena hubungan temporal antara asupan lemak dan risiko endometriosis tidak jelas, dan pengaruh pra-gejala diagnostik pada diet tidak diketahui, kami memeriksa waktu paparan makanan dalam tiga cara.Pertama, kami melakukan analisis hanya atas dasar di mana makanan itu dilaporkan pada tahun 1991 dikaitkan dengan kasus yang dilaporkan selama periode follow-up keseluruhan (1991-2001).Berikutnya, kami melakukan analisis terbaru jika kasus tersebut berhubungan dengan diet yang dilaporkan baru-baru ini, khususnya, diet tahun 1991 terkait dengan kasus yang dilaporkan dalam periode follow-up dari 1991 sampai 1995, diet tahun 1995 terkait dengan kasus yang dilaporkan dalam periode follow-up 1995-1999 dan diet 1999 adalah terkait dengan kasus yang dilaporkan dalam periode follow-up 1999-2001.Terakhir, kami melakukan analisis yang terpisah menggunakan rata-rata konsumsi kumulatif menggunakan masing-masing dari diet tiga laporan untuk paling mewakili asupan jangka panjang untuk analisis utama kami (Hu et al., 1999).Secara khusus, asupan tahun 1991 adalah terkait dengan kasus yang dilaporkan pada periode follow up 1991-1995, asupan rata-rata tahun 1991 dan 1995 terkait dengan kasus yang dilaporkan pada periode follow up 1995-1999, dan asupan rata-rata tahun 1991, 1995 dan 1999 adalah terkait dengan kasus dilaporkan pada periode follow up 1999-2001 untuk menjaga analisis prospektif secara ketat.Ketiga pendekatan tersebut memungkinkan kami untuk mengamati setiap perbedaan laten, efek diet jangka pendek dan kumulatif.Namun, hasil-hasil pengamatan untuk ketiga pendekatan itu sangat mirip, dan oleh karena itu kami hanya menyajikan hasil rata-rata asupan kumulatif sebagai metodologi ini untuk meminimalkan kesalahan pengukuran secara acak dengan variasi dari waktu ke waktu (Hu et al., 1999).Reprodusibilitas dan validitas asupan lemak ditentukan dengan FFQ serupa telah dinilai dalam kohort wanita yang lebih tua (London et al., 1991; Willett, 1998, Willet et al., 2001).Untuk jenis lemak tertentu, koefisien korelasi Pearson antara asupan energi disesuaikan dengan rata-rata dua catatan dari diet satu minggu dan dari FFQ yang berkisar antara 0,48 sampai 0,73 (0,57 untuk lemak total dan 0,68 untuk lemak jenuh), dengan koreksi untuk redaman yang dihasilkan dari kesalahan acak dalam catatan diet (Willett,1998).Asupan lemak total telah divalidasi dengan menggunakan perubahan kadar lipid dalam darah (Willett et al., 2001). Koefisien korelasi Spearman antara persentase asupan lemak dihitung dari FFQ dan komposisi asam lemak dari aspirasi lemak subkutan telah mengkonfirmasi bahwa FFQ diukur asam lemak tertentu dari sumber eksogen cukup baik (r = 0,51 untuk asam lemak tak jenuh-trans; r = 0,48 untuk asam lemak omega-3 rantai panjang, London et al., 1991).Analisis statistikFolow up dimulai pada tahun 1991 ketika diet pertama kali diukur.Dari 97.807 wanita yang mengembalikan kuesioner makanan (tahun) 1991, kami mengeksklusikan wanita yang memiliki asupan energi total yang tidak masuk akal (< 800 atau > 4200 kkal / hari) atau yang meniggalkan lebih dari 70 item makanan kosong pada FFQ tahun 1991.Mereka yang melaporkan diagnosis endometriosis atau riwayat infertilitas sebelum Juni 1991 dikeluarkan dari semua analisis.Analisis juga dibatasi untuk mereka yang premenopause dan memiliki uteri yang utuh, karena terjadinya endometriosis setelah histerektomi atau pada wanita pasca-menopause itu cukup langka.Wanita dengan diagnosa kanker sebelumnya, selain dari non-melanoma kanker kulit, juga dikeluarkan. Wanita diikuti dari kembalinya FFQ dasar sampai mati, diagnosis kanker (selain dari non-melanoma kanker kulit), laporan diri atas diagnosis endometriosis melalui konfirmasi laparoskopi, histerektomi, mulainya menopause atau akhir masa studi.Selain itu, karena infertilitas begitu kuat berkorelasi dengan diagnosis endometriosis melalui laparoskopi, kami mensensor pada saat dilaporkan sendiri infertilitas.Oleh karena itu, dalam semua analisis kelompok perbandingan kami, terdiri dari wanita dengan tidak didiagnosis endometriosis maupun infertilitas. Dalam semua analisis, wanita dikategorikan ke dalam kuantil dari asupan lemak dan risiko dibandingkan dalam kuantil yang spesifik relatif terhadap kuantil terendah. Insidensi untuk setiap kategori paparan dihitung sebagai jumlah insiden kasus dibagi dengan orang-waktu akumulasi.Variasi waktu model Cox proportional hazards memperlakukan usia dalam bulan dan diklasifikasikan berdasarkan 2-tahun siklus kuesioner sebagai skala waktu yang digunakan untuk memperkirakan multivariabel (MV) rasio tingkat kejadian (RR) dan untuk menghitung interval kepercayaan 95% (CI), setelah disesuaikan secara bersamaan untuk variabel perancu potensial. Untuk analisis setiap jenis lemak, kami memeriksa dua model multivariabel yang berbeda.Model multivariabel pertama (substitusi energi total) meliputi istilah untuk usia, tahun kalender, usia saat menarche, panjang siklus menstruasi, paritas, indeks massa tubuh (IMT) dan asupan energi total.Tidak ada faktor lain, termasuk aktivitas fisik, kafein, merokok, konsumsi alkohol atau penggunaan kontrasepsi oral yang diamati untuk menjadi perancu dan karena itu tidak dimasukkan dalam model multivariabel akhir.Semua kovariat kecuali untuk usia saat menarche diperbarui pada setiap siklus kuesioner. Koefisien untuk lemak tertentu dalam model pertama dapat diinterpretasikan sebagai efek peningkatan persentasi energi dari setiap jenis lemak sekaligus pengurangan asupan dengan persentase yang sama dari semua sumber energi lain sambil menjaga konstan kalori.Model kedua (substitusi karbohidrat) meliputi istilah tambahan untuk semua sumber energi lainnya, kecuali karbohidrat.Koefisien dalam model kedua dapat diinterpretasikan sebagai efek dari peningkatan asupan lemak tertentu dengan mengorbankan karbohidrat sekaligus menjaga konstan kalori.Model kedua ini memungkinkan perbandingan langsung dari besarnya asosiasi dengan risiko endometriosis antara jenis lemak yang berbeda.Kami juga memperkirakan efek dari mengkonsumsi satu jenis lemak dengan pemodelan asupan lemak tertentu sebagai variabel kontinu.Kami menggunakan perbedaan koefisien dari model yang sama dan matrix kovarians, untuk menghitung risiko relatif dan 95% CI terkait dengan substitusi diet makanan (Willett, 1998). Tes untuk tren linier (Rosner, 1993), yang mengevaluasi hubungan linear atau hubungan dosis-respons antara paparan dan endometriosis, paparan kategori ordinal dihitung dengan menciptakan sebuah variabel di mana nilai median masing-masing kategori diberikan kepada semua peserta dalam kelompok itu.Tes untuk heterogenitas membandingkan perkiraan efek antara kasus tanpa infertilitas masa lalu atau saat ini dengan kasus bersamaan infertilitas, dihitung dengan statistik Wald mengacu pada distribusi X2 dengan 1 derajat kebebasan (Prentice et al., 1978).Untuk mengevaluasi efek modifikasi oleh IMT (< 25 dan 25 kg/m2), penggunaan kontrasepsi oral (tidak pernah, pernah), paritas (nulipara, parous), pemeriksaan dokter dalam 2 tahun terakhir (ya, tidak) dan merokok (pernah, masa lalu, saat ini), dilakukan analisis bertingkat dan kemungkinan tes rasio membandingkan model subsitusi karbohidrat dengan efek utama dan istilah interaksi dengan efek utama saja yang dihitung.Hasil PenelitianSetelah melalui kriteria eksklusi, total 70.709 wanita yang berkontribusi dalam analisis ini. Sebanyak 1.199 insiden kasus endometriosis yang dikonfirmasi melalui laparoskopi yang dengan tanpa riwayat infertilitas. Hal ini meliputi 970 kasus dengan masa lalu atau saat ini tidak mengalami infertilitas dan 228 kasus yang dilaporkan sebagai evaluasi infertilitas selama periode tindak lanjut yang sama pada laparoskopi yang terkonfirmasi endometriosis. Wanita dengan asupan lemak total yang lebih tinggi akan cenderung untuk kelebihan berat badan atau obesitas, seorang perokok aktif, dan kurang kemungkinannya untuk menjalani pemeriksaan ginekologi terbaru (Tabel 1).Asupan lemak total tidak berhubungan dengan endometriosis (Tabel II). Hanya saja, terdapat saran bahwa peningkatan risiko endometriosis berhubungan dengan asupan lemak hewani. Wanita dengan asupan lemak hewani pada seperlima teratas memiliki peningkatan risiko endometriosis sebesar 20% dibandingkan dengan asupan lemak hewani pada seperlima terbawah. (95% CI = 0.991.45; P-value, test for linear trend (Pt) = 0.06). Namun, asupan lemak jenuh dan lemak tak jenuh tunggal, komponen utama dari lemak hewani, tidak berhubungan dengan risiko endometriosis. Menariknya, asupan asam palmitat, lemak jenuh yang terutama disumbangkan oleh produk-produk hewani, secara signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko endometriosis ketika semua komponen makanan lainnya tetap konstan. [RR = 1.52 comparing the fifth to first quintile of intake (95% CI = 0.942.46; Pt = 0.008; data tidak ditampilkan)]. Tidak ada asam lemak jenuh (miristat, stearat) dan tak jenuh tunggal yang lain (oleic, palmitoleic) yang berhubungan secara signifikan dengan risiko endometriosis (Data tidak ditampilkan).Asupan lemak tak jenuh-trans berhubungan dengan peningkatan risiko endometriosis (Tabel II). Hubungan (asosiasi) ini menjadi kuat ketika protein dan jenis lemak lain ditambahkan ke perkiraan model yang mempresentasikan peningkatan efek dari lemak tak jenuh-trans dengan mengorbankan karbohidrat. Nilai multivariable RR untuk kuantil tertinggi dbandingkan dengan kuantil terendah adalah 1,48. (95% CI = 1.171.88; Pt = 0.001). Namun, asupan asam lemak omega-3 rantai panjang berhubungan dengan penurunan risiko endometriosis. Dalam model substitusi energi total, asupan tinggi dari asam lemak omega-3 rantai panjang berhubungan dengan penurunan risiko endometriosis sebesar 23% (95% CI = 0.640.93; Pt = 0.003; Tabel II). Hubungan ini tidak berubah dengan pola substitusi karbohidrat, yaitu, ketika asupan protein dan jenis lemak lain ditambahkan ke model (RR = 0.78; 95% CI = 0.620.99; Pt = 0.03).

Selain itu, kami memperkirakan efek dari mengkonsumsi satu jenis lemak daripada yang lain (Gambar 1). Mengkonsumsi setiap tambahan 1% energi dari asam lemak omega-3 (contohnya peningkatan 1 sampai 2% dari asupan energi total daripada lemak jenuh, tak jenuh tunggal atau lemak tak jenuh ganda omega-6), berkaitan dengan penurunan risiko endometriosis sebesar 50%, meskipun tidak ada dari perkiraan ini yang signifikan secara statistik. Meskipun demikian, setiap 1% energi dari asam lemak omega-3, bukan dari lemak trans, berhubungan dengan penurunan risiko endometriosis mendekati 50% (RR = 0.52; 95% CI = 0.320.85) dan juga, setiap 1% energi dari lemak trans, bukan dari lemak tipe lain, berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko endometriosis.

Kemudian kami mengevaluasi hubungan antara asupan asam lemak pada kasus yang dilaporkan tanpa infertilitas dan secara terpisah pada kasus yang secara bersamaan dilaporkan adanya diagnosis endometriosis dan infertilitas. Wanita dengan konsumsi lemak tak jenuh-trans memiliki risiko 48% lebih besar untuk terkena edometriosis jika kasusnya tanpa infertilitas dan sebesar 78% lebih besar jika kasusnya dengan infertilitas. Sebaliknya, hubungan antara asupan omega-3 rantai panjang-dan risiko endometriosis adalah serupa antara kelompok kasus. Semua tes untuk kecenderungan linier secara statistik signifikan pada wanita tanpa infertiltas dan tidak signifikan pada wanita yang secara bersamaan mengalami infertilitas. Namun demikian, tidak ada uji heterogenitas (membandingakn efek yang diamati pada wanita tanpa infertilitas terhadap wanita yang dengan infertilitas) yang signifikan secara statistik (lowest P-value, test for heterogeneity = 0.22). Hasil untuk model substitusi energi total adalah serupa (data tidak ditampilkan). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam risiko terkena endometriosis pada kasus status infertilitas untuk lemak tipe lain.

Akhirnya, kami memeriksa apakah ada hubungan diet lemak dengan endometriosis berbeda menurut indeks massa tubuh (IMT), penggunaan kontrasepsi oral, paritas, pemeriksaan medis terbaru dan konsumsi rokok. Hubungan dengan konsumsi lemak tak jenuh-trans berbeda signifikan pada status konsumsi rokok (P-value, test for heterogeneity = 0.03); dengan yang sedang merokok memiliki risiko lebih besar (multivariabel RR untuk kuantil tertinggi dibandingkan dengan kuantil terendah = 1.61, 95% CI = 1.162.23; Pt = 0.002) dibandingankan dengan yang tidak pernah merokok (multivariable RR untuk kuantil tertinggi dibandingkan dengan kuantil terendah = 1.15, 95% CI = 0.931.43; Pt = 0.18). Tidak ada perbedaan signifikan lainnya yang telah diamati (data tidak ditampilkan).DiskusiDalam studi prospektif pada wanita premenopause ini, kami mengamati adanya tingkat diagnosis endometriosis melalui laparoskopi yang jauh lebih rendah pada wanita dengan konsumsi jangka panjang yang tinggi dari asam lemak omega-3 rantai panjang. Sebaliknya, konsumsi lemak tak jenuh-trans, secara potensial, diet dengan konsumsi lemak hewani yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya endometriosis. Hubungan ini menyatakan bahwa, diet, faktor gaya hidup yang bisa diubah secara potensial, dapat menjadi hal yang penting dalam patogenesis dari endometriosis. Asosiasi tetap konsisten terlepas dari saat paparan makanan (mulai dari 2 sampai 10 tahun sebelum diagnosis) - menampilkan persamaan laten, jangka pendek dan efek kumulatif dari diet, meskipun hal ini mungkin karena diet yang relatif konsisten dari waktu ke waktu.Walaupun data mengenai hubungan antara asupan diet lemak dan endometriosis di manusia masih jarang, hasil penelitian kami cukup konsisten dengan beberapa studi pada hewan. In vitro survival pada sel endometriosis dari wanita dengan dan tanpa endometriosis terlihat seperti dipengaruhi oleh kandungan asam lemak yang terdapat pada media kultur. Kelangsungan hidup sel endometrium itu menurun pada kultur yang mengandung proporsi tinggi dari asam lemak omega-3 rantai panjang (contoh : eicosapentaenic acid). Namun, kelangsungan hidup sel endometrium tersebut tidak terpengaruh pada kultur sel yang mengandung proporsi tinggi dari asam lemak omega-6 rantai panjang (contoh : arachidonic acid) atau mengandung jumlah yang sama dari asam lemak omega-3 dan omega-6. Sebuah pola yang sama untuk kelangsungan hidup eksplan endometrium pada peritoneum akan konsisten dengan temuan kami.Demikian pula, pada model kelinci yang diinduksi endometriosis, suplementasi asam alpha-linolenic (sebuah asam lemak omega-3) dapat menurunkan konsentrasi dari prostaglandin seri 2 dan diameter implantasi endometrium (Convents et al., 1998). Selain itu, ligan dari peroxisome-proliferator activated receptor- (PPAR- ) telah ditemukan untuk menginduksi regresi endometriosis pada hewan pengerat (Lebovic et al., 2004) dan babon (Lebovic et al., 2007). Hasil penelitian kami juga konsisten dengan model tersebut, karena asam lemak trans dapat menurunkan regulasi dari ekspresi PPAR- sebesar 40% (Saravanan et al., 2005), berbeda dengan efek peningkatan regulasi oleh asam lemak tak jenuh cis-poly, yang diyakini sebagai ligan alami untuk PPAR- . (Desvergne and Wahli, 1999; Berger and Moller, 2002). Selain itu, asupan lemak trans dapat meningkatkan kadar sirkulasi dari beberapa marker inflamasi, termasuk IL-6 (Baer et al., 2004; Mozaffarian et al., 2004a,b) dan marker dari aktivasi sistem TNF (Mozaffarian et al., 2004a,b), yang diyakini terlibat dalam patogenesis endometriosis (Lebovic et al., 2001).Dalam populasi perawat Amerika Serikat yang terdaftar, kontributor makanan utama untuk asam lemak omega-3 rantai panjang meliputi salad kuah, tuna dan ikan gelap, meskipun kontributor utama asam lemak tak jenuh-trans secara komersial (yaitu jauh dari rumah) meliputi makanan yang digoreng , margarin dan biskuit. Tujuh puluh delapan persen dari kontribusi lemak trans diproduksi industri kemungkinan besar karena hidrogenasi parsial minyak nabati. Kontributor utama untuk konsumsi asam palmitat berasal dari produk hewani-daging dan produk susu- yang mungkin mendukung pengamatan kemungkinan peningkatan endometriosis dengan konsumsi daging merah lebih besar diamati pada satu-satunya studi manusia yang dipublikasikan (Parazzini et al., 2004). Dalam studi tersebut, Parazzini et al., mengumpulkan informasi diet terbaru dari 504 pasangan kasus kontrol dan diamati terdapat peningkatan risiko endometriosis yang signifikan pada konsumsi daging merah yang lebih banyak. Namun, penelitian ini termasuk cross-sectional, pengumpulan data tingkat diet kelompok makanan menggunakan kuesioner yang tidak tervalidasi yang tidak memungkinkan untuk kuantifikasi dan juga penyesuaian untuk asupan energi total. Dalam penelitian kami, kami mengamati adanya peningkatan risiko endometriosis dengan konsumsi lemak hewani dan khususnya peningkatan risiko yang signifikan hampir 80% pada asupan asam palmitat. Adanya hubungan yang kuat dengan konsumsi lemak makanan pada wanita yang belum pernah melaporkan infertilitas cukup menarik. Kami mempunyai hipotesis bahwa diet mungkin paling sangat terkait dengan gejala nyeri panggul kronis pada endometriosis, didukung oleh literatur yang menunjukkan efek yang menguntungkan dari konsumsi minyak ikan pada dismenore primer (Deutch, 1995).Kami mengasumsikan bahwa kasus tanpa infertilitas yang memiliki diagnosis laparoskopi adalah simtomatik, sebaliknya evaluasi pembedahan tidak akan dilakukan. Sebaliknya, proporsi yang lebih besar pada wanita yang didiagnosis selama evaluasi infertilitas akan 'asimtomatik. Hal ini juga mungkin bahwa wanita yang mengalamai rasa nyeri dibandingkan dengan sub-fekunditas itu berbeda antara etiologi utama dari gangguan kontraksi otot polos dan penyimpangan respon inflamasi, masing-masing, dan jalur ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan asupan lemak makanan. Meskipun uji statistik untuk heterogenitas tidak signifikan, hal ini mungkin cukup kuat mengingat ukuran sampel yang relatif kecil pada kasus infertil.Desain kohort prospektif pada penelitian ini memungkinkan untuk penulusuran paparan makanan dan variasi dari jalur diagnostik yang berhubungan dengan tingkat kejadian endometriosis yang didiagnosis melalui laparoskopi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan asupan asam lemak omega-3 rantai panjang dan penurunan asupan trans-asam lemak tak jenuh merupakan faktor risiko modifiable pertama yang teridentifikasi untuk endometriosis. Selain itu, bukti ini menyediakan hubungan penyakit lain yang mendukung upaya untuk menghilangkan lemak tak jenuh-trans dari suplai makanan.

ENDOMETRIOSIS

PendahuluanEndometriosis adalah kelainan di mana jaringan endometrium dapat ditemukan di luar kavum uteri. Endometriosis diperkirakan merupakan kelainan ginekologik yang terjadi pada sekitar 6-10% wanita. Kondisi endometriosis dapat memicu masalah klinis serius pada wanita karena dapat berhubungan dengan kejadian nyeri panggul kronik, dan infertilitas pada wanita usia reproduksi (Valentine, 2010). Nyeri haid yang disebabkan oleh endometriosis menyebabkan kaum perempuan sulit melakukan kegiatannya sehari-hari. Di Amerika Serikat, nyeri haid dialami oleh 30-50% perempuan usia reproduksi. Sekitar 15 % di antaranya terpaksa kehilangan kesempatan kerja, bahkan tidak dapat masuk sekolah berhari-hari. 25-30 % penyebab infertilitas primer adalah endometriosis Endometriosis menjadi penyebab utama ketiga pasien rawat inap pada kasus ginekologi (Missmer et al., 2010). Endometriosis disebut juga penyakit misterius, banyak pasien dengan endometriosis, bahkan endometriosis stadium lanjut sekalipun, dapat mendapatkan keturunan, namun banyak juga pasien endometriosis ringan, sangat sulit mendapatkan keturunan; hingga kini penyebab pastinya belum diketahui. Dalam satu hal para ahli semua sepakat, bahwa pertumbuhan endometriosis dipicu oleh hormone steroid, terutama estrogen, sehingga pengobatan medikamentosa bertujuan untuk menekan produksi hormon estrogen, baik yang dihasilkan oleh ovarium maupun yang dihasilkan oleh jaringan lemak perempuan gemuk. Lemak perempuan gemuk dapat menghasilkan estrogen dalam jumlah besar. (Bazaid, 2010).Endometriosis terjadi pada 10-14% wanita usia reproduksi dan mengenai 40-60% wanita dengan dismenorhea dan 20-30% wanita subfertil. Saudara perempuan dan anak perempuan dari wanita yang menderita endometriosis berisiko 6-9 kali lebih besar untuk berkembang menjadi endometriosis (Wills et al., 2010). Endometriosis jarang didapatkan pada orang negro, dan lebih sering didapatkan pada wanita-wanita dari golongan sosio-ekonomi yang baik, pada wanita yang tidak kawin, usia muda, dan tidak mempunyai banyak anak. Penanganan endometriosis baik secara medikamentosa maupun operatif tidak memberikan hasil yang memuaskan disebabkan patogenesis penyakit tersebut belum terungkap secara tuntas (Prawirohardjo, 2007). Salah satu hal yang berperan dalam patogenesis terjadinya endometriosis adalah faktor diet. Faktor diet makanan telah menjadi faktor utama yang meningkatkan jumlah pasien endometriosis. Hanya terdapat satu uji coba hewan yang secara langsung meneliti hubungan antara diet dan angka kejadian endometriosis, yang mengatakan bahwa minyak ikan dapat menginduksi regresi pada operasi yang disebabkan oleh endometriosis. Diet asam lemak tertentu diketahui mempengaruhi tingkat sirkulasi IL-6 dan penanda inflamasi lain yang ditemukan di tingkat yang lebih tinggi di antara wanita dengan endometriosis Selain itu juga, terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara suplementasi minyak ikan dan tingkat sirkulasi dari prostaglandin seri 2 dan gejala inflamasi yang berkontribusi dalam penyakit endmetriosis. Namun, bukti ilmiah yang mendukung hipotesis di atas masih terbatas (Missmer et al., 2010).

DefinisiEndometriosis adalah satu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat diluar kavum uteri. Jaringan atau lesi tersebut (endometriosis) memiliki karateristik selular dan molekular yang sama dengan jaringan endometrium yang normal (endometrium eutopik). Endometrium dapat berada di dalam miometrium atau diluar kavum uteri. Bila jaringan endometrium berada diidalam miometrium, maka disebut adenomiosis, dan bila diluar kavum uteri disebut endometriosis. Urutan tersering endometrium ditemukan pada tempat-tempat sebagai berikut : ovarium, peritoneum, ligamentum sakrouterina, kavum douglasi, dinding belakang uterus, tuba falopii, plika vesikouterina, ligamentum rotundum, kolon sigmoid, septum retrovaginal, kanalis inguinalis, apendiks, umbilikus, serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum, parut laparotomi, kelenjar limfe, dan dapat pula ditemukan pada lengan, paha, pleura, dan pericardium (Prawirohardjo, 2007; Wills et al., 2010).Pada ovarium biasanya terdapat di keduanya berupa kista-kista biru kecil sampai kista besar (sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena perlukaan pada dinding kista dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan acute abdomen (Prawirohardjo, 2007)

Gambar 1. Kista Endometriosis

PatogenesisTerdapat beberapa teori yang menyebabakan terjadinya endometriosis, diantaranya adalah sebagai berikut :1. Teori retrograde menstruasiTeori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup) dari Sampson. Teori ini didasari atas 3 asumsi, yaitu terdapatnya darah haid berbalik melewati tuba falopii; Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga peritoneum; Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel ke peritoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi Penjelasan tersebut diketahui berdasarkan beberapa penemuan, yakni :a. Penelitian terkini dengan memakai laparoskopi saat pasien sedang haid, ditemukan darah haid berbalik dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita dengan tuba falopii paten.b. Sel-sel endometrium dari darah haid berbalik tersebut diambil dari cairan peritoneum dan dilakukan kultur sel ternyata ditemukan hidup dan dapat melekat serta menembus permukaan mesotelial dari peritoneum.c. Endometriosis lebih sering timbul pada wanita dengan sumbatan kelainan mulerian daripada perempuan dengan malformasi yang tidak menyumbat saluran keluar dari darah haid.d. Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan permulaan menars, siklus haid yang pendek, dan menoragia (Wellbery, 1999; Overton et al., 2007).Kejadian endometriosis diperkirakan berhubungan dengan kemampuan proliferasi endometrium yang abnormal. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan proliferasi jaringan endometrium di luar kavum uteri yang berada di bawah pengaruh hormon siklus haid. Gambar 2. Dasar Anatomi dari Menstruasi RetrogradSel punca / progenitor pada lapisan endometrium diperkirakan memiliki peran dalam patofisiologi penyakit ini. Pemikiran tersebut didukung dengan adanya teori yang menyatakan bahwa bahwa fragmen endometrium yang lepas pada saat menstruasi dan mengalami menstruasi retrograd selanjutnya dapat mencapai rongga peritoneum. Pada 6-10% wanita dengan endometriosis, mungkin terjadi pelepasan sel punca/ sel progenitor dari lapisan basal endometrium bersamaan dengan fragmen endometrium yang berasal dari lapisan fungsional pada saat menstruasi. Selanjutnya sel-sel endometrium tersebut akan mencapai rongga peritoneum dan menempel pada lapisan peritoneum. Terdapatnya sel punca pada lesi endometriosis di bawah pengaruh hormon siklus haid diperkirakan akan mendukung kesintasan lesi endometriosis tersebut. Lesi endometriosis yang didukung kehadiran sel punca/ sel progenitor diperkirakan dapat bertahan lama (Valentine, 2010).2. Teori metaplasia seolomikTeori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura). Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini dapat menerangkan endometriosis yang ditemukan pada sebelum pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta yang terdapat di tempat yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran kencing dan saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor lain juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel endometrium (Wellbery, 1999; Ruman, 2003).3. Teori genetik dan imunSemua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua wanita yang mengalami haid menderita endometriosis, kenapa pada wanita tertentu penyakitnya berat, wanita lain tidak, dan juga tidak dapat menerangkan beberapa tampilan dari lesi. Penelitian tentang genetik dan fungsi imun wanita dengan endometriosis dan lingkungannya dapat menjawab pertanyaan diatas. Kejadian endometriosis dapat ditemukan 6-7 kali lebih sering pada hubungan keluarga ibu dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu dasar genetik. Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP dikaitkan dengan penyakit- penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita endometriosis, MMP yang disekresi oleh endometrium mengalami resisten (kebal) terhadap penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap di dalam sel-sel endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasif terhadap endometrium yang berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan selanjutnya terjadi proliferasi sel (Overton et al., 2007).Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif. Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun yang tidak antigen-spesifik dan tidak mencakup memori imunologik. Makrofag mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan, membantu untuk membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu fungsi-fungsi faktor diatas disamping merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada penderita endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan dan sitokin yang merangsang proliferasi dari endometrium ektopik dan menghambat fungsi pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut (Ruman, 2003; Overton et al., 2007).4. Faktor endokrinPerkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung kepada estrogen (estrogen-dependent disorder). Penyimpangan sintesa dan metabolisme estrogen telah diimplikasikan dalam patogenesis endometriosis. Hal ini bermula dari aromatase, suatu enzim yang mengubah androgen, androstenedion dan testosteron menjadi estron dan estradiol. Aromatase ini ditemukan dalam banyak sel manusia seperti sel granulosa ovarium, sinsisiotrofoblas di plasenta, sel lemak dan fibroblas kulit (Overton et al., 2007).

Gambar 3. Biosintesis Estrogen Wanita Usia ReproduktifKista endometriosis dan susukan endometriosis di luar ovarium menampilkan kadar aromatase yang tinggi sehingga dihasilkan estrogen yang tinggi pula. Dengan kata lain, wanita dengan endometriosis mempunyai kelainan genetik dan membantu perkembangan produksi estrogen endometrium lokal. Disamping itu, estrogen juga dapat merangsang aktifitas siklooksigenase tipe-2 lokal (COX-2) yang membuat prostaglandin (PG)E2 merangsang aromatase secara poten dalam sel stroma yang berasal dari endometriosis, sehingga produksi estrogen berlangsung terus secara lokal (Overton et al., 2007).Estron dan estradiol saling diubah oleh kerja 17-hidroksisteroid dehidrogenase (17HSD), yang terdiri dari 2 tipe; tipe-1 mengubah estron menjadi estradiol (bentuk estrogen yang lebih poten) dan tipe-2 merubah estradiol menjadi estron.

Gambar 4. Sintesis Estrogen pada Susukan EndometriosisDalam endometrium eutopik normal, progesteron merangsang aktifitas tipe-2 dalam kelenjar epitelium, enzim tipe-2 ini sangat banyak ditemukan pada kelenjar endometrium fase sekresi. Dalam jaringan endometriotik, tipe-1 ditemukan secara normal, tetapi tipe-2 secara bersamaan tidak ditemukan. Progesteron tidak merangsang aktiftas tipe-2 dalam susukan endometriotik karena tampilan reseptor progesteron juga abnormal. Reseptor progesteron terdiri dari 2 tipe; PR-A dan PR-B, keduanya ini ditemukan pada endometrium eutopik normal, sedangkan pada jaringan endometriotik hanya PR-A saja yang ditemukan (Overton et al., 2007).Faktor endokrin dalam proses pathogenesis endometriosis berkaitan pula dengan faktor diet, salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi, khususnya diet dalam hal lemak makanan. Seperti yang diketahui, bahwa endometriosis merupakan penyakit yang dapat bertahan dalam kondisi tinggi estrogen dan estrogen itu sendiri dapat dihasilkan dari ovarium dan jaringan lemak tubuh yang tentu saja dapat dipengaruhi oleh diet lemak makanan (Bazaid, 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat penelitian kohort yang dilakukan Missmer et al (2010) di Amerika Serikat ang menyatakan bahwa wanita dengan konsumsi asam lemak omega-3 rantai panjang yang tinggi memiliki kemungkinan 22% lebih rendah untuk terdiagnosis endometriosis dibandingkan dengan konsumsi yang rendah. Sebaliknya, wanita dengan konsumsi asam lemak tak jenuh-trans yang tinggi memiliki kemungkinan 48% lebih besar untuk terdiagnosis endometriosis dibandingkan dengan konsumsi yang rendah. Hal ini cukup menarik untuk ditelusuri. Pada salah satu studi in vitro pada wanita dengan dan tanpa endometriosis, ditemuikan bahwa kelangsungan hidup sel endometrium terlihat dipengaruhi oleh kandungan asam lemak yang terdapat pada media kultur. Hasilnya ialah kelangsungan hidup sel endometrium akan menurun pada media kultur yang mengandung proporsi tinggi dari asam lemak omega-3. Demikian pula, pada model kelinci yang diinduksi endometriosis, suplementasi asam alpha-linolenic (sebuah asam lemak omega-3) dapat menurunkan konsentrasi dari prostaglandin seri 2 (PGE2) dan diameter implantasi endometrium. Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa PGE2 merupakan suatu perangsang enzim aromatase yang poten, untuk kemudian enzim tersebut dapat menghasilkan estrogen. Asam lemak omega-3 ini diketahui dapat menurunkan konsentrasi dari PGE2 sehingga rangsangan terhadap enzim aromatase menjadi berkurang. Akibatnya produksi estrogen pun akan berkurang pula. Hal ini akan berimbas pada keadaan di jaringan endometrium (baik yang eutopik maupun jaringan endometriosis). Seperti yang diketahui, bahwa hormon estrogen berfungsi mengendalikan survival dan viabilitas, melalui reseptor estrogen 1 (ESR1). Reseptor ESR1 merupakan reseptor estrogen yang cukup dominan ditemukan di lapisan endometrium. Dengan demikian, adanya penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan ganggua kelangsungan hidup sel endometrium dan juga viabilitasnya. Pada penelitian Missmer et al (2010) disebutkan bahwa terjadi penurunan kelangsungan hidup sel endometrium dan pengurangan dari diameter implantasi endometrium tersebut. Tak heran jika dewasa ini mulai banyak digunakan obat penghambat enzim aromatase (aromatase inhibitor). Obat jenis ini selain meng hambat pembentukan estrogen di ovarium, juga menghambat pembentukan estrogen di jaringan lemak. (Bazaid, 2010; Valentine, 2010).Pada penelitian Missmer et al (2010) disebutkan juga bahwa asupan lemak trans dapat meningkatkan kadar sirkulasi dari beberapa marker inflamasi, termasuk IL-6 dan marker dari aktivasi sistem TNF yang diyakini terlibat dalam proses patogenesis endometriosis. Hal ini cukup dapat diterima karena IL-6 dan TNF berperan dalam pembentukan PGE2, sehingga apabila kadar IL-6 dan TNF meningkat maka produksi PGE2 pun akan meningkat. Peningkatan PGE2 dapat menyebabkan rangsangan aromatase yang berlebih dan pada akhirnya menghasilkan estrogen yang banyak. Tentu saja hal ini akan berpengaruh baik terhadap survival dan viabilitas jaringan endometriosis Klasifikasi / StagingKlasifikasi stadium yang paling sering digunakan adalah sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi. Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut adalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium (Kandeel, 2008).Tabel 1. Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFSPeritoneumEndometriosis3 cm

Permukaan124

Dalam246

OvariumKananPermukaan124

Dalam41620

KiriPermukaan124

Dalam41620

Perlekatan kavum DouglasiSebagianKomplit

440

OvariumPerlekatan 2/3

Kanan Tipis 124

Tebal 4816

Kiri KiriTipis124

Tebal 4816

TubaKananTipis124

Tebal4816

Kir KiriTipis 124

Tebal 4816

1. Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)2. Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)3. Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)4. Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)Martin pada tahun 2006 mengusulkan sistem kalsifikasi stadium untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari tindakan laparaskopi diagnostik terhadap endometriosis. Tingkat kepercayaan laparaskopi terdiri atas 4 tingkatan : 1. Tingkat 1: Mungkin endometriosis Vesikel peritoneal, polip merah, polip kuning, hipervaskularisasi, jaringan parut, adhesi2. Tingkat 2: Diduga endometriosis Kista coklat dengan aliran bebas dari cairan coklat3. Tingkat 3: Pasti endometriosis Lesi jaringan parut gelap, lesi merah dengan latar belakang jaringan ikat sebagai jaringan parut, kista coklat dengan area mottle merah dan gelap dengan latar belakang putih. 4. Tingkat 4: Endometriosis Lesi gelap dan jaringan parut pada pembedahan pertama.

Gambar 5. Adhesi akibat endometriosis DiagnosisDiagnosis Endometriosis dibuat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Untuk anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul pada penyakit ini ialah (Prawirohardjo, 2007) :1. Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama haid (dismenore). Sebab dari dismenore ini tidak diketahui tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang hebat. Nyeri yang hebat dapat menyebabkan mual, mntah, dan diare. Dismenore primer terjadi selama tahun-tahun awal mestruasi, dan semakin meningkat dengan usia saat melahirkan anak, dan biasanya hal ini tidak berhubungan dengan endometriosis. Dismenore sekunder terjadi lebih lambat dan akan semakin meningkat dengan pertambahan usia. Hal ini bisa menjadi tanda peringatan akan terjadinya endometriosis, walaupun beberapa wanita dengan endometriosis tidak terlalu merasakannya. 2. Dispareunia merupakan gejala yang sering dijumpai disebabkan oleh karena adanya endometriosis di kavum Douglasi. 3. Nyeri waktu defekasi, terjadi karena adanya endometriosis pada dinding rekstosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut. 4. Poli dan hipermenorea, dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan pada ovarium sangat luas sehingga fungsi ovarium terganggu.5. Infertilitas, hal ini disebabkan apabila motilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan disekitarnya. Sekitar 30-40% wanita dengan endometriosis menderita infertilitas.Diagnosis endometriosis oleh dokter seringkali didapatkan melalui wawancara keluhan dan gejala yang dirasakan, pemeriksaan organ kelamin dalam serta pemeriksaan tambahan seperti USG, pemeriksaan laboratorium darah (Ca-125), pemeriksaan biopsi jaringan. Meski banyak dijumpai pada wanita usia reproduksi, diagnosis pasti endometriosis tidaklah mudah. Hingga saat ini standar pemeriksaan terbaik untuk memastikan diagnosis endometriosis adalah dengan melihat langsung ke dalam rongga perut melalui laparoskopi (Overton et al., 2007; Wills et al., 2010).

Diagnosis BandingAdenomiosis uteri, radang pelvik, dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis dengan kista ovarium. Sedangkan endometriosis yang berasal dari rektosigmoid perlu dibedakan dari karsinoma (Prawirohardjo, 2007).

PenatalaksanaanPenanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, observasi, terapi hormonal dan pembedahan (Winkel, 2003; Prawirohardjo, 2007).1. PencegahanKehamilan merupakan cara yang paling baik untuk mencegah terjadinya endometriosis. Gejala-gejala endomteriosis memang bekurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena adanya regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu, hendaknya pernikahan tidak ditunda terlalu lama dan setelah pernikahan, kehamilan tidak ditunda terlalu lama pula. Hal ini merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, daripada menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul.2. ObservasiPenanganan endometriosis dengan gejala dan kelainan fisik yg ringan dapat dilakukan dengan observasi dan pemberian analgetika. Pada wanita yang sudah agak berumur, pengawasan itu bisa dilanjutkan hingga menopause, karena sesudah itu gejala endomteriosis akan hilang dengan sendirinya. Penanganan yang sama dapat dilakukan pada wanita yang lebih muda, yang tidak memiliki persoalan tentang infertilitas. Namun, pada wanita yang ingin mempunyai anak, jika setelah ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap infertilitas dan penanganan lebih lanjut. Pada penanganan observasi perlu dilakukan pemeriksaan secara periodik untuk memantau perkembangan penyakit. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan berupa pemberian analgetika untuk mengurangi rasa nyeri.3. Terapi hormonalDasar terapi hormonal pada endometriosis adalah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan endomterium yang normal, dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Hal ini didukung oleh data klinik dan laboratorium. Data klinik tersebut diantaranya :a. Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menarche; juga setelah menopause, keculai jika ada pemebrian estrogen eksogen.b. Menopause, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya menyebabkan kesembuhanData laboratorium menunjukkan bahwa pada jaringan endometriosis umumnya terdapat reseptor estrogen, progesteron dan androgen. Pada percobaan dengan model endomteriosis pada tikus dan kelinci, estrogen merangsang pertumbuhan jarngan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedangkan pengaruh progesteron kontroversial. Progesteron sendiri dapat merangsang pertumbuhan endometriosis, akan tetapi progesteron sintetik yang memiliki efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis. Berdasarkan hal tersebut, terdapat setidaknya dua prinsip pengobatan hormonal pada endometriosis, yaitu :a. Menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan asiklik dapat mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis.b. Menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progestogen (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen dan progesteron juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.

AndrogenPreparat yang dipakai adalah metiltestoteron sublingual dengan dosisi 5 sampai 10 mg per hari. Biasanya diberikan 10 mg per hari pada bulan pertama dan dilanjutkan dengan 5 mg per hari selama 2-3 bulan berikutnya. Keberatan pemakaian androgen diantaranya yaitu munculnya efek samping maskulinisasi terutama pada dosis melebihi 300 mg per bulan atau terapi jangka panjang dan masih mungkin terjadi ovulasi, atau kehamilan selama terapi, terutama pada dosis 5 mg per hari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena androgen dapat membawa cacat bawaan pada janin. Pemberian androgen ini dapat diberikan pada keadaan endometriosis stadium dini dengan gejala menonjol; nyeri atau dispareuni. Pemberian androgen ini juga dapat membantu dalam penegakkan diagnosis. Jika rasa nyeri disebabkan oleh endometriosis, maka nyeri tersebut biasanya akan berkurang atau hilang setelah pengobatan dengan androgen selama satu bulan.Estrogen-ProgestogenPenggunaan kombinasi estrogen-progesteron dikenal dengan nama pseudo-pregnancy. Berdasarkan prinsip terapi yang telah diuraikan, pil kontrasepsi yang dipilih sebaiknya yang mengandung efek androgenik yang kuat. Pada saat ini, norgestrel dianggap sebagia senyawa progestogen yang poten dan mempunyai efek androgenik yang paling kuat. Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 mg norgestrel per hari. Bila terjadi breakthrough bleeding, dosis ditingkatkan menjadi 0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau maksimal 0,08 mg etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari. Pemberian tersebut diberikan selama 6-9 bulan, bahkan ada yang menganjurkan minimal satu tahun dan bila perlu dilanjutkan sampai 2-3 tahun. Dilaporkan bahwa dengan terapi pseudo-pregnancy, 30% penderita menyatakan keluhan berkurang dan hanya 18% yang secara obyektif mengalami kesembuhan, 41% penderita tidak menyelesaikan terapinya karena mengalami efek samping, misalnya mual, muntah dan perdarahan. Beberapa jenis kontrasepsi oral dalam pengobatan endometriosis yang terdapat di Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.Tabel 2. Jenis Kontrasepsi Oral dalam Pengobatan EndometriosisNo.Nama dagangEstrogenProgestogen

1.Noriday, Kimia Farma0,05 mg mestranol1 mg nortisteron

2.Microgynon 30 Nordette0,03 mg etinil estradiol0,015 norgestrel

3.Marvelon0,03 mg etinil estradiol0,015 desogrestrel

4.Eugynon0,05 mg etinil estradiol0,05 norgestrel

ProgestogenProgestogen atau progestin adalah nama umum semua senyawa progresteron sintetik. Progestogen dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu pregnan, estran dan gonan. Pregnan merupakan turunan 17 alfa-hidroksiprogesteron, sedangkan estran dan gonan adalah turunan 19 nor-testoteron. Perbedaan sifat ketiga golongan tersebut dan preparat yang tersedia dapat dilhat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Kelompok ProgestogenNo.ProgestogenEstrogenikProgestogenikAndrogenik

1.Pregnan :

MPA (Provera)-++-

Didrogesteron (Duphaston)-++-

2.Estran :

Linestrenol (Endometril)++++

Norelisteron-+++

3.Gonan :

Norgestrel-+++++

Desogestrel-+++_

Dosis yang diberikan adalah medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari atau moretisteron asetat 30 mg per hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan MPA 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan. Penghentian terapi parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga cara pengobatan ini tidak menguntungkan bagi mereka yang ingin segera mempunyai anak. Lama pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan selama 6-9 bulan. Berdasarkan hasil ringkasan laporan beberapa peneliti, kehamilan setelah terapi dengan progestogen rata-rata sebesar 26%.DanazolDanazol adalah turunan isoksazol dari 17 alfa etiniltestoteron. Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi dan estrogen rendah. Kadar androgen meningkat karena pada dasarnya danazol bersifat androgenik (agonis androgen). Kadar estrogen yang rendah dikarenakan danazol menekan sekresi GnRH, LH dan FSH sehingga dapat mengambat pertumbuhan folikel; danazol mengambat kerja enzim-ensim steroidgenesis di folikel ovarium sehingga produksi estrogen menurun.Dosis yang dianjurkan untuk endometriosis ringan (stadium II) atau sedang (stadium III) adalah 400 mg per hari sedangkan untuk endometriosis berat (stadium IV) dapat diberikan dengan dosis 800 mg per hari. Pada dosis 400-800 mg, Danazol merupakan kontrasepsi yang poten dengan insidensi ovulasi kurang dari 1%. Lama pemberian minimal 6 bulan, dapat pula diberikan selama 12 minggu sebelum terapi pembedahan konservatif. Sebanyak 85% pemakai Danazol mengalami efek samping berupa : akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan dan edema. Kehamilan dan menyusui merupakan kontraindikasi absolut pemakaan Danazol. Angka kehamilan total setelah pemakaian Danazol sebesar 37%. Rekurensi keluhan dan gejala setelah pengobatan Danazol sebesar 5-20% per tahun. Pada saat ini Danazol merupakan obat yang paling efektif untuk endometriosis yang diizinkan oleh UD FDA (Federal Drug Adminstration).GnRH analogGn-RH analog, baik jenis agonis maupun antagonis merupakan pengobatan yang paling efektif menekan produksi estrogen di ovarium, sehingga angka kekambuhannya paling rendah. Kedua jenis obat ini menekan produksi hormon estrogen di ovarium saja. Dewasa ini mulai banyak digunakan obat penghambat enzim aromatase (aromatase inhibitor). Obat jenis ini selain menghambat pembentukan estrogen di ovarium, juga menghambat pembentukan estrogen di jaringan lemak. Gn-RH analog memiliki potensi 15-80 kali lebih besar dari GnRH alamiah. Pemberiannya selama 6 bulan saja. Karena penekanan terhadap produksi estrogen begitu kuat, dapat muncul keluhan-keluhan seperti yang dialami perempuan menopause, seperti rasa panas di wajah dan dada, berkeringat dan nyeri tulang dan otot. Oleh karena itu, selama pemberian Gn-RH analog harus ditambahkan estrogen + progestogen alamiah, yang dikenal dengan istilah addback therapy; yang paling banyak digunakan adalah tibolon. pil kontrasepsi kombinasi tidak boleh digunakan sebagai addback therapy, karena estrogen di dalam pil kontrasepsi masih sanggup memicu endometrium yang mengakibatkan terjadi perdarahan bercak.4. PembedahanAdanya jaringan ovarium yang berfungsi merupakan syarat mutlak untuk tumbuhnya endometriosis. Oleh karena itu pada waktu melakukan pembedahan, harus dapat ditentukan apakah fungsi ovarium masih harus dipertahankan atau sudah dapat dihentikan. Fungsi ovarium harus dipertahankan pada endometriosis yang dini, tidak memberikan gejala dan pada wanita muda yang masih ingin mempunyai anak. Sebaliknya, fungsi ovarium dihentikan apabila endometriosis sudah mengadakan penyerbuan yang luas dalam pelvis, khususnya pada wanita berusia lanjut. Hanya saja, dalam praktek, pada umumnya endometriosis berada di antara kedua macam keadaan tersebut, sehingga sulit untuk membuat keputusan. Dengan bertambahnya pengetahuan mengenai endometriosis, didapatkan kecenderungan untuk bertndak konservatif. Hal tersebut didukung dengan fakta-fakta sebagai berikut.a. Endometriosis umumnya menjalar lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahunb. Endomtriosis bukanlah penyakit ganas dan jarang sekali menjadi ganas.c. Endometriosis mengalami regresi pada waktu menopause.Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada kasus berikut :a. Bercak jaringan endometrium memiliki diameter yang lebih besar dari 3,8-5 cmb. Perlengketan yang berarti pada perut bagian bawah atau panggulc. Jaringan endometrium menyumbat salah satu atau kedua tubad. Jaringan endometrium menyebabkan nyeri perut atau panggul yang sangat hebat, yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif, sarang-sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jarngan ovarum yang sehat, dan perlekatan sedapat-dapatnya dilepaskan. Pada kista coklat ovarium, hendaknya tidak seluruh ovarium diangkat, tetapi ditinggalkan bagian ovarium yang kiranya masih sehat. Pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni laparotomi atau laparoskopi operatif. Laparoskopi operatif mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan laparotomi, diantaranya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.Tabel 4. Perbandingan Laparoskopi operatif dengan laparotomiNo.PembandingLaparoskopi operatifLaparotomi

1.Lama tinggal di rumah sakit0,5 2 hari5 5,7 hari

2.Kembalinya aktivitas kerja7-10 hari4-6 minggu

3.Luas dan derajat perlekatan setelah tindakanlebih sedikit (23%)lebih banyak (56%)

Pada saat laparoskopi, lesi endometriosis yang terlihat perlu dikauter, dan bila ditemukan kista coklat > 4 cm, perlu dilakukan kistektomi. Perlu diketahui, meskipun telah dilakukan kauterisasi secara menyeluruh dan benar, lesi-lesi endometriosis tidak akan pernah 100% hilang (Bazaid, 2010).Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita penyakit yang luas disertai dengan banyak keluhan. Operasi yang paling radikal adalah histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan semua sarang-sarang endometriosis yang ditemukan. Namun, pada wanita kurang dari 40 tahun dapat dipertimbangkan untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium yang sehat. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya gejala-gejala premenopause atau menopause dini dan mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis.

Referensi

Baziad, Ali. 2010. Endometriosis. Available from URL : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_175Endometriosis.pdf/05_175Endometriosis.pdf. Diakses pada tanggal 12 September 2011. Kandeel, Mohamed. 2008. Endometriosis : An Update. Availabel from URL : http://www.gfmer.ch/GFMER_members/pdf/Endometriosis_Kandeel_2008.pdf. Diakses pada tanggal 16 September 2011.Martin. 2006. Endometriosis Staging. Available from URL : http://www.memfert.com/endostage.htm. Diakses pada tanggal : 16 September 2011.Missmer, S.A., Chavarro, J.E., Malspeis, S., Johnson, E.R., Hornstein, M.D., Spiegelman, D., Barbieri, R.L., Willett, W.C., Hankinson, S.E. 2010. A Prospective Study of Dietary Fat Consumption and Endometriosis Risk. Human Reproduction, Vol. 25, p.1528-1535. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Endometriosis dalam Ilmu Kandungan. Ed.2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Overton, C. Davis, C. McMillan, L. Shaw, R. 2007 An Atlas Of Endometriosis. Third edition. Informa Healthcare. Ruman, Angela. 2003. Diagnosis and Treatment of Endometriosis. Availabel from URL : http://www.med.ucla.edu/modules/wfsection/article.php?articleid=59. Diakses pada tanggal 16 September 2011. Valentine, G., Sumapraja, K. 2010. Peranan Sel Punca Endometrium dalam Patogenesis Endometriosis. Avalaible from URL : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_177Perananselpuncaendometrium.pdf/10_177Perananselpuncaendometrium.pdf. Diakses pada tanggal 12 September 2011.Wellbery, Caroline. 1999. Diagnosis and Treatment of Endometriosis. The American Academy of Family Physicians. Avaialble from URL : http://www.aafp.org/afp/991015ap/1753.html. Diakses pada tanggal 16 September 2011. Wills, H., Demeriou, C., May, K., Kenedy, S., Kirtley, S., Hogg, S. 2010. Endometriosis; Annual Evidence Update March 2010. NHS Evidence Womens Heath Winkel, Craig A. 2003. Evaluation and Management of Women With Endometriosis. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Vol. 102. p. 400-404.