35
PEMBINAAN SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN KOSMOPOLITANISME DAN ETNISITAS MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Studi Kasus Pada SMP Negeri 1 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia). Mardawani 1 ABSTRAK The spirit of nationalism revealed in the love, dedication and patriotism to mother land is the basic capital in keeping NKRI. Spirit to love the nation has apparently faded caused by cosmopolitanism and ethnicity, it’s indeed threatening the existence of a nation. To revive the spirit of nationalism and patriotism can should be properly guided in a systematic, programmatic, integrated and continuous way through the implementation of Civic Education at every school. This research uses qualitative approach by implementing the method of case study. The findings of study stated that the cosmopolitanism challenge for those who live in the border area between Indonesia and Malaysia is so high. Meanwhile, the challenge of ethnicity is still low. The learning method of Civic Education to build nationalism spirit at SMP Negeri 1 Entikong can be done through considering the aim of learning process itself. The Civic Education teachers and school itself have systematically made program and training. The barrier faced by Civic Education teachers and school in a way of guiding and enforcing the importance of nationalism spirit. 1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar. Email: [email protected] 1

JURNAL PKN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL PKN

PEMBINAAN SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA DALAM

MENGHADAPI TANTANGAN KOSMOPOLITANISME DAN ETNISITAS

MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

(Studi Kasus Pada SMP Negeri 1 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-

Malaysia).

Mardawani1

ABSTRAK

The spirit of nationalism revealed in the love, dedication and patriotism to

mother land is the basic capital in keeping NKRI. Spirit to love the nation has

apparently faded caused by cosmopolitanism and ethnicity, it’s indeed threatening

the existence of a nation. To revive the spirit of nationalism and patriotism can

should be properly guided in a systematic, programmatic, integrated and

continuous way through the implementation of Civic Education at every school.

This research uses qualitative approach by implementing the method of case

study. The findings of study stated that the cosmopolitanism challenge for those

who live in the border area between Indonesia and Malaysia is so high.

Meanwhile, the challenge of ethnicity is still low. The learning method of Civic

Education to build nationalism spirit at SMP Negeri 1 Entikong can be done

through considering the aim of learning process itself. The Civic Education

teachers and school itself have systematically made program and training. The

barrier faced by Civic Education teachers and school in a way of guiding and

enforcing the importance of nationalism spirit.

Kata Kunci: nationalism, cosmopolitanism, ethnicity, civic education.

Pendahuluan1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai

Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 1

Page 2: JURNAL PKN

1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia sampai saat ini masih dihadapkan pada sebuah tantangan

besar yakni bagaimana mempertahankan semangat nasionalisme bangsa dalam

mengisi dan mempertahankan kemerdekaanya. Sebagai sebuah negara yang

terdiri atas beranekaragam suku, agama dan ras, serta wilayahnya yang sangat

luas terdiri atas ribuan pulau, bangsa Indonesia tentu harus tetap memiliki daya

pengikat yang dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa yang disebut

nasionalisme. Tantangan ini semakin dirasakan manakala bangsa Indonesia

dihadapkan pada dua kekuatan utama yang dapat menghimpit semangat

nasionalisme, yakni kosmopolitanisme yang beriringan dengan globalisasi, serta

etnisitas yang berkembang bersama etnosentrisme.

Disadari atau tidak dalam memasuki era globalisasi ini, mau tidak mau

bangsa kita harus mampu berkompetisi di dunia yang cenderung tanpa batas.

Dalam pandangan Kenichi Ohmae misalnya globalisasi bukan saja membawa

ideologi yang bersifat global dalam hal ini demokrasi liberal di kalangan

penduduk dunia, tetapi juga turut mengancam proses pembentukan negara bangsa,

karena globalisasi pada intinya ingin mewujudkan negara tanpa batas

(borderless). Kehidupan yang tanpa batas akan mengurangi kedaulatan sebuah

negara pada kondisi tertentu. Dalam batas-batas tertentu budaya kosmopolitan

yang dihasilkan oleh globalisasi akan muncul dan dapat mematikan budaya

nasional atas suatu bangsa.

Sejalan dengan hal tersebut di atas sebagaimana kita ketahui sesungguhnya

bahwa masalah nasionalisme bangsa Indonesia sangatlah kompleks, kepercayaan

diri dan kebanggaan akan simbol budaya bangsa sendiri semakin menunjukan

penurunan akhir-akhir ini, terutama semangat nasionalisme pada masyarakat yang

tinggal di daerah perbatasan yang pada dekade terakhir ini sudah mulai

menunjukan gejala semakin memudar. Hal ini terlihat dari adanya fenomena yang

terjadi di lingkungan masyarakat perbatasan, dengan kehadiran produk-produk

negara lain baik secara fisik maupun non-fisik, serta lemahnya wawasan

kebangsaan masyarakat perbatasan semakin membuktikan lemahnya semangat

nasionalisme masyarakat. Bahkan pengenalan akan simbol-simbol kehidupan

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 2

Page 3: JURNAL PKN

berbangsa dan bernegara Indonesia seperti bendera, bahasa, lagu kebangsaan, dan

sebagainya sangat minim sekali. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada orang

dewasa, namun juga terjadi pada anak-anak usia sekolah yang bahkan mereka

tidak tahu mengenai identitas nasionalnya.

Namun sebaliknya, simbol budaya asing justru lebih diminati dan semakin

populer di kalangan generasi muda saat ini. Interaksi tanpa batas yang terjadi pada

generasi muda dengan warganegara lain membawa dampak yang dapat

mempengaruhi pola pikir, sifat dan perilaku mereka baik kearah positif maupun

negatif. Perubahan global yang sedang terjadi kini merupakan suatu revolusi

global yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style). Gaya hidup global

cepat diserap oleh masyarakat akibat majunya arus informasi yang dihasilkan oleh

teknologi (Tilaar (2002:1). Sementara di sisi lain ancaman akan nasionalisme

muncul dari masyarakat dalam ruang yang lebih sempit, yaitu suatu sifat

kedaerahan atau nasionalisme yang sempit berupa kesukuan (etnisitas). Hal ini

tidak diimbangi dengan upaya pemerintah secara maksimal dalam membina

masyarakat perbatasan.

Menanggapi fenomena di atas kita harus mengkajinya terutama dari segi

Pendidikan Kewarganegaraan. Sebab nasionalisme dan semangat kebangsaan

tidak dapat terpelihara dengan sendirinya, melainkan perlu pembinaan secara

berkesinambungan dari berbagai pihak, baik individu, kelurga, sekolah maupun

masyarakat. Daerah perbatasan khususnya perlu mendapat pembinaan yang

berkesinambungan tersebut terutama melalui strategi preventif dalam

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah yang dilakukan sejak dini.

Bagi masyarakat daerah perbatasan semangat nasionalisme yang semakin

menurun akibat pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas adalah hal utama yang

harus segera mendapat perhatian.

Melalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu meningkatkan

kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pendidikan

Kewarganegaraan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat nasionalisme

yang dapat dilakukan dengan senantiasa memupuk rasa persatuan dan kesatuan

bangsa dan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat. Kehendak bangsa untuk

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 3

Page 4: JURNAL PKN

bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan syarat

utama dalam mewujudkan nasionalisme Indonesia. Di samping itu, perlu

dikembangkan semangat kebanggaan dan kebangsaan dalam setiap individu

rakyat Indonesia agar dapat berpartisipasi dalam mewujudkan tujuan nasionalnya.

Dalam kaitanya dengan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu

dikembangkan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat maksimal

yang ditandai oleh: thick, inclusive, activist, citizenship education, participative,

proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and

meansure in practice. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas, mewadahi

berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi

pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenship education”, menitikberatkan

pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun

luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil

belajar (David Kerr, 1995:5-7; Winataputra dan Budimansyah, 2007:28).

2. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat peneliti rumuskan suatu

masalah pokok atau fokus penelitian yakni “Bagaimanakah pembinaan semangat

nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan

etnisitas melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 1

Entikong?”

Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam penganalisaan

terhadap hasil penelitian, maka masalah pokok tersebut dijabarkan dalam sub-sub

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang terjadi

pada masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?

2. Metode apakah dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang

dapat digunakan untuk membina semangat nasionalisme Indonesia siswa di

SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?

3. Upaya apakah yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan

program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 4

Page 5: JURNAL PKN

untuk menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas di SMP Negeri

1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?

4. Hambatan apakah yang dihadapi oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan

dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di

SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?

3. Kerangka Pemikiran

4.

Landasan Teori

1. Nasionalisme dan Konsep yang Mendasarinya

Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan

tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Kohn, 1984: 11).

Penggunaan makna nasionalisme yang paling penting menurut Anthony D. Smith,

sebagaimana yang diterjemahkan oleh Frans Kowa (2003:6) meliputi: (1) suatu

proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa, (2) suatu sentimen atau

kesadaran memiliki bangsa bersangkutan, (3) suatu bahasa atau simbolisme

bangsa, (4) suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan, dan (5)

suatu doktrin dan/atau ideology bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 5

Tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas

Program Pembelajaran PKn

Upaya Guru PKn dan Sekolah

Hambatan Guru PKn dan Sekolah

Temuan Penelitian

Temuan Penelitian

Terbinanya Semangat Nasionalisme Indonesia

Teori Nasionalisme, Kosmopolitanisme dan Etnisitas

Kesimpulan dan Rekomondasi

Page 6: JURNAL PKN

Sementara itu, istilah nasionalisme oleh beberapa pakar Indonesia sering

diidentikkan dengan beberapa istilah seperti rasa kebangsaan, paham kebangsaan,

semangat kebangsaan, dan yang tidak menyebutkanya secara harfiah (Said dan

Affan,1987:272; Kansil, 1986:20; Anshari, 1988:191; Riff, 1995:194; Smith,

1997:30).

Secara umum dari berberapa pandangan tentang nasionalisme baik dalam

arti rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan yang lainnya,

pada hakikatnya mengacu kepada pengertian yang sama, yakni bermakna

mendahulukan dan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air

daripada kepentingan yang lain. Perekat nasionalisme dari pendapat para pakar

tersebut pun umumnya saling melengkapi yaitu; bahasa, adat, sejarah, keturunan,

kepentingan, cinta tanah air, kesamaan wilayah, kesamaan cita-cita, rasa kesatuan

dan persatuan, kesamaan tujuan, bahkan terkadang juga kesamaan kepercayaan.

2. Nasionalisme Indonesia

Berbicara tentang semangat nasionalisme Indonesia tidak terlepas dari

sejarah perjuangan bangsa Indonesia di masa silam. “perjuangan untuk merebut

kemerdekaan dari penjajahan tersebut telah melahirkan suatu perjuangan untuk

mencapai reintegrasi bangsa” (Wertheim 1999:246-253). Setelah mengalami

kondisi pasang surutnya dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia

dengan segala pengaruhnya sampai saat ini membawa kita kepada sebuah

perenungan kembali bagaimana semestinya kita memaknai arti loyalitas dan

kecintaan (rasa nasionalisme) kepada bangsa dan negara. Dalam meningkatkan

dan menanamkan nasionalisme bangsa, kita harus mengeksplorasi budaya kita

sendiri dan untuk menambahkan kohesi agar tetap lestarinya moral dari bangsa

kita. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wang Dongxiao

(2009:4), bahwa “in promoting and cultivating nationalism, we must explore our

own culture and to enhance its cohesion in order to keep up the morale of our

nation.”

Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang menjadi kekuatan bangsa

Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi berdasarkan Pancasila. Artinya,

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 6

Page 7: JURNAL PKN

nasionalisme tersebut bersenyawa dengan sila-sila Pancasila. Hal ini sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh R. Mudhiyardjo (2001: 196) mengenai ciri-

ciri nasionalisme Indonesia, yakni: (1) nasionalime kerakyatan/persatuan yang

anti penjajahan, (2) nasionalime kerakyatan/persatuan yang patriotik, yang

religius, (3) nasionalime kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Dalam

istilah lain Wahab (2009) menyatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia

harus sesuai dengan jati diri bangsa yakni berdasarkan Pancasila.

3. Kosmopolitanisme

Terdapatbtiga aliran utama kosmopolitanisme, yakni kosmopolitanisme

moral, kosmopolitanisme politik dan kosmopolitanisme kultural. Hal ini

dipertegas oleh Delanty dalam Nowicka dan Rovisco (2009: 3) bahwa terdapat:

‘three perspectives is moral cosmopolitanism, political cosmopolitanism and

cultural cosmopolitanism.’ Di lain pihak bahwa konsep kosmopolitanisme dapat

dilihat sebagai manifestasi fundamental dalam konteks politis yang dihadirkan

dari globalisasi. Dalam pendekatan normatif ini, terdapat komitmen kuat terhadap

universalisme (Kalidjernih, 2009:9). Kosmopolitanisme sebenarnya dapat

diartikan secara lebih luas sebagai proses universalisme dan partikulerisme negara

sebagaimana yang dikemukakan Beck dalam Isikal (2002:5) bahwa “…we view

cosmopolitanism as a process in which universalism and particularism are no

longer exclusive ‘either-or’ categories but instead a co-existing pair”.

Kalidjernih (2009:4), menyatakan bahwa ”kosmopolitanisme merujuk

kepada suatu paham atau gagasan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar

belakangnya adalah anggota dari sebuah komunitas dunia.” Dengan perkataan

lain, kosmopolitan mengarahkan pada suatu kehidupan yang mendunia, yang

dalam istilah Ohmae disebut borderless. Secara lebih khusus, Kalidjernih dalam

artikelnya mengemukakan secara kultural bahwa terdapat dua argumen

sehubungan dengan keterkaitan antara globalisasi dan Pendidikan

Kewarganegaraan, khususnya di Indonesia. Pertama, kita perlu melihat globalisasi

dapat dimaknai dengan pelbagai cara (multiple readings). Ia bisa dilihat sebagai

suatu tantangan dan sekaligus sebagai kesempatan. Kedua, globalisasi telah

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 7

Page 8: JURNAL PKN

mengfragmen konsepsi kewarganegaraan Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan

Kewarganegaraan di Indonesia perlu lebih menfokuskan kepada aspek yang

mendorong peserta didik memikirkan dan berefleksi tentang situasi dan kondisi

sekitarnya, tentang drinya, keluarganya, masyarakat dan negara serta bengsanya

secara lebih cerdas dan berjangka panjang (Kalidjernih, 2009:114-115).

4. Etnisitas

Etnisitas pada hakekatnya bukan merupakan isu baru dalam kehidupan

bangsa-bangsa di dunia. Isikal (2002:1) misalnya mengemukakan bahwa “the

ethnic root of nationalism felt into the agenda of international relations theory,

particularly since the 1970s, when resurgence of ethnic nationalism has

witnessed in many parts of the world.” artinya akar kesukuan dari nasionalisme

dirasakan dalam agenda dari teori hubungan internasional, terutama sejak 1970,

ketika kebangkitan nasionalisme kesukuan telah disaksikan pada beberapa bagian

dari dunia. Lebih lanjut, Husein Isiksal menambahkan “today, it is widely

acknowledged that ethnicity plays a crucial role in nationalism.” Hari ini, ini

secara luas diketahui bahwa etnisitas memainkan peranan krusial dalam

nasionalisme. Bahkan dalam pandangan Eriksen (2002) etnisitas dalam konsep

tertentu hampir tidak bisa dibedakan dengan nasionalisme. Demikian juga bagi

bangsa Indonesia, pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya

dalam hubungan dengan etnisitas sangat kompleks.

Menurut Handelman sebagaimana yang dikutip oleh Tilaar (2007),

terdapat empat tingkatan perkembangan yang membedakan dipertunjukkan di

dalam komunitas budaya manusia, yakni (1) kategori etnis; (2) jaringan etnis; (3)

asosiasi etnis; dan (4) masyarakat etnis. Tipologi Handelman mengenai etnik

tersebut di atas dilengkapi oleh Schermerhorn dengan mengatakan bahwa suatu

kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau

digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah

yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau

beberapa elemen simbolik yang menyatakan akan status keanggotaanya. Dalam

istilah Holander etnisitas mengacu kepada suatu sikap ekslusivisme terhadap

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 8

Page 9: JURNAL PKN

kelompok-kelompok lain diluar dirinya. Sikap eklusivisme dalam kelompok justru

berjalan seiring dengan berkembangnya kesadaran kesatuan kelompok (Mendatu,

2007).

5. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan erat kaitannya dengan dua

istilah teknis yakni cCivic education” dan “citizenship education”. Untuk

mempertegas kembali perbedaan pengertian antara civic education dengan

citizenship education, Cogan (1998:4) mendefiniskan bahwa civic education

diartikan sebagai “...the foundational course work in school designed to prepare

young citizens for an active role in their communities in their adult lives” atau

suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan

warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam

masyarakatnya. Sedangkan “citizenship education” atau “education for

citizenship” diartikan sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman belajar

di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di dalam lingkungan keluarga,

organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan dalam media yang

membantunya untuk menjadi warganegara seutuhnya. Oleh karena itu Cogan

(1998:5) menyimpulkan bahwa citizenship education merupakan suatu konsep

yang lebih luas di mana civic education termasuk bagian penting di dalamnya.

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses

komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara guru dan siswa, siswa

dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan perubahan tingkah laku adalah tercapainya tujuan

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yakni terbentuknya pribadi

warganegara yang cerdas dan baik. Menurut Sapriya dan Winataputra (2004: 33),

”Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selayaknya dapat membekali siswa

dengan pengetahuan dan keterampilan intelektual yang memadai serta

pengalaman praktis agar memiliki kompetensi dan efektifitas dalam

berpartisipasi.” Tidak sepereti paradigma lama Pendidikan Kewarganegaraan

antara lain bercirikan struktur keilmuan yang tidak jelas, materi disesuaikan

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 9

Page 10: JURNAL PKN

dengan kepentingan politik rezim, memiliki visi untuk memperkuat state building

yang bermuara pada posisi warganegara sekedar sebagai kaula/obyek yang lemah

ketika berhadapan dengan penguasa. Pada paradigma baru Pendidikan

Kewarganegaraan antara lain bercirikan memiliki struktur keilmuan yang jelas

yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat moral/Pancasila dan memiliki

visi yang kuat untuk nation and character building, pemberdayaan warganegara

(citizen empowerment) yang mampu untuk mengembangkan masyarakat

kewargaan (civil society). Dalam kaitannya dengan globalisasi, Pendidikan

Kewarganegaraan tidak bisa diisolasikan dari kecenderungan globalisasi yang

berdampak pada kehidupan siswa. Globalisasi menuntut Pendidikan

Kewarganegaraan mengembangkan civic competence yang meliputi pengetahuan

kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills),

dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic disposition) yang

multidimensional (Komalasari dan Budimansyah, 2008:77).

Metode Penelitian

Relevan dengan permasalahan yang hendak diteliti adalah fenomena

kehidupan sosial masyarakat maka pendekatan yang peneliti gunakan adalah

pendekatan kualitatif (Creswell:1998). Peneliti membuat gambaran kompleks

yang bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan

para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi pada

penggunaan ukuran-ukuran kualitatif secara konsisten, artinya dalam pengolahan

data, sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi dan menyimpulkan data

tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik,

melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif.

Dalam hal ini, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam

pengumpulan data. Dalam kaitan dengan hal tersebut Nasution (2007:9) karena

hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar

manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 10

Page 11: JURNAL PKN

dalam ucapan atau perbuatan responden. Alasan lain mengapa peneliti sendiri

bertindak sebagai istrumen utama karena penelitian kualitatif lebih

mementingkan proses daripada hasil. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Bogdan dan Biklen (1992:31) yang menyatakan bahwa “qualitative researchers

are concerned with process rather than simply with outcomes or product.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, pada penelitian ini peneliti

menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus dipilih sebagai metode

dalam penelitian ini karena permasalahan yang dikaji terjadi pada tempat dan

situasi tertentu. Menurut Nasution (2007:55), studi kasus atau case study adalah

“untuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk

manusia di dalamnya.” Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu,

kelompok atau suatu golongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga

sosial masyarakat.

Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan oleh peneliti

adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara

mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi. Teknik analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi

secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan/verifikasi (Milles dan Huberman, 2007:20). Masalah kegiatan reduksi

data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan

analisis yang saling susul-menyusul.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian yang berupa temuan-temuan di lapangan secara lengkap

dapat dilihat pada beberapa pemaparan di bawah ini.

Hasil penelitian tentang tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang

terjadi pada masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia secara

rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 11

Page 12: JURNAL PKN

Tabel 1.1Tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas

Hasil/Temuan PenelitianTantangan Kosmopolitanisme Tantangan Etnisitas

1. Masyarakat Entikong lebih suka mengidentikkan diri sebagai bagian dari Malaysia terutama dalam hal produk karena umumnya masyarakat lebih mengenal produk Malaysia dibandingkan produk dalam negeri. Namun dalam aspek territorial dan politik masyarakat Entikong lebih mengidentikkan diri sebagai warganegara Indonesia.

2. Masyarkat Entikong tidak setuju bila harus bergabung menjadi warganegara Malaysia. Dengan perkataan lain masyarakat Entikong lebih memilih sebagai warganegara Indonesia. Sedangkan kepindahan kewarganegaraan biasanya hanya terpaksa oleh faktor keadaan jarak, ekonomi dan perkawinan.

3. Beredarnya produk Malaysia membawa dampak bagi kehidupan masyarakat Entikong. Sementara keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, serta infrastrukur menjadi salah satu penyebab kepindahan sebagian kecil warga kecamatan Entikong ke Malaysia.

4. Masyarakat Entikong mengetahui sering terjadinya pergeseran patok batas di wilayah kecamatan Entikong. Hal ini terjadi karena masih ada daerah yang tidak ada patok batas permanen dan lemahnya pengawasan Pemerintah Indonesia.

1. Di Entikong tidak pernah terjadi pengelompokan suku atau etnis. Sebagian besar masyarakat menyadari bahwa pengelompokan etnis itu tidak boleh dilakukan. Hal tersebut berdampak pada kehidupan yang harmonis antar suku, agama dan ras yang ada di Entikong.

2. Masyarakat Entikong lebih memilih kepentingan bangsa dan negara dibandingkan kepentingan kelompok atau etnisnya. Pengelompokan etnis dianggap sebagai hal yang harus dihindari karena masyarakat Entikong terdiri dari berbagai unsur etnis.

3. Terdapat perlakuan yang sama terhadap semua etnis yang ada di Entikong. Demikian pula dalam interaksi di sekolah dan kegiatan belajar mengajar di kelas tidak terjadi perlakukan yang berbeda baik oleh guru maupun sesama siswa.

4. Penggunaan simbol negara di Entikong telah dilaksanakan, tetapi masih ada daerah tertentu yang belum melaksanakan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari Pemerintah dan terisolirnya daerah tersebut dari perkotaan atau ibu kota kecamatan Entikong.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 12

Page 13: JURNAL PKN

Identifikasi diri yang terjadi pada masyarakat Entikong cenderung

merupakan dampak dari banyak beredarnya produk Negara Malaysia di daerah

tersebut serta mudanya akses dan sarana prasarana ke Malaysia. Namun demikian

bukan berarti masyarakat berkeinginan menjadi warganegara Malaysia. Hal ini

dibuktikan dari fakta di lapangan. Pergeseran patok batas yang terjadi merupakan

fakta yang harus segera mendapat perhatian bersama dari Pemerintah dan

masyarakat karena hal ini dapat menganggu stabilitas dankedaulatan NKRI.

Sedangkan permasalahan etnisitas tidak terlalu berkembang di Entikong sebagai

dampak dari mulai beranjaknya masyarakat Entikong kepada kehidupan yang

mendunia atau kosmopolitanisme.

Dalam rangka pembinaan untuk menghadapi tantangan kosmopolitanisme

dan etnisitas yang sering terjadi dalam konteks ini maka siswa perlu memiliki

nasionalisme yang dapat mendukung tetap tegaknya NKRI. Pembinaan

nasionalisme diarahkan bagaimana guru mengajarkan prinsip-prinsip

universalisme Indonesia yang digali dari unsur budaya Indonesia dan diperkaya

dengan unsur lainnya (dari luar) yang sesuai dengan moral bangsa. Hal ini sejalan

dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wang Dongxiao (2009:4), dalam

artikelnya bahwa “in promoting and cultivating nationalism, we must explore our

own culture and to enhance its cohesion in order to keep up the morale of our

nation.”

Nasionalisme Indonesia sebagaimana disebutkan di atas di era sekarang

dapat dibentuk dari unsur kosmopolitanisme dan etnisitas yang positif yang

diarahkan kepada prinsip universalisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945 sebagai jati diri bangsa. Untuk lebih jelasnya tentang posisi antara

nasionalisme Indonesia, kosmopolitanisme dan etnisitas dapat di lihat pada

gambar berikut:

Gambar 1.1Unsur Pembentuk Nasionalisme Indonesia

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 13

Page 14: JURNAL PKN

Dari gambar 1.1 di atas menjelaskan bahwa unsur kosmopolitanisme dan

etnisitas yang positif dapat diadopsi sebagai unsur yang memperkaya dan

memperkuat nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan demikian maka bangsa kita

dapat tetap dapat mempertahankan semangat nasionalisme tanpa harus

menghindari kosmoipolitanisme dan meniadakan etnisitas. Sebab untuk dapat

mencapi cita-cita nasional pada hakekatnya bangsa Indonesia tidak dapat terlepas

dari kehidupan kosmopolitanisme dan juga tidak dapat menghilangkan etnisitas

yang telah ada dalam masyarakatnya yang majemuk.

Berkaitan dengan metode dalam pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang dapat digunakan untuk membina semangat nasionalisme

Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia

dapat dijabarkan hasil penelitiannya secara rinci pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

No Hasil/Temuan Penelitian1 Metode yang digunakan guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam rangka

pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan investigasi kelompok.

2 Penggunaan metode pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan senantiasa mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: kesesuaian bahan/materi; kesesuaian budaya (karakteristik) siswa; ketersediaan sarana dan prasarana; serta kemampuan guru. Kesesuaian budaya (karakteristik) siswa sangat menentukan hasil pembinaan yang dilakukan karena siswa di SMP Negeri 1 Entikong memiliki keunikan sebagai dampak dari kehidupan masyarakat perbatasan.

3 Metode yang digunakan guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam pandangan guru, kepala sekolah dan para siswa sudah cukup efektif. Hal ini dibuktikan dari hasil evaluasi dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Melalui pembinaan yang dilakukan siswa merasa pengetahuan tentang bangsa dan

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 14

Pancasila dan UUD 1945

Pancasila dan UUD 1945

Page 15: JURNAL PKN

negara Indonesia semakin bertambah sehingga mempengaruhi pandangan, sikap dan prilaku mereka sehari-hari.

4 Tanggapan guru, kepala sekolah dan para siswa tentang materi Pendidikan Kewarganegaraan KTSP sudah baik, tetapi belum ada yang secara khusus membahas tentang nasionalisme. Untuk mengatasi permasalahan tersebut guru Pendidikan Kewarganegaraan SMP Negeri 1 Entikong selalu berupaya mengemas materi sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan semangat nasionalisme Indonesia siswa di wilayah perbatasan.

Dari tabel 1.2 di atas meskipun metode sudah dianggap efektif oleh guru,

kepala sekolah dan para siswa, namun metode yang digunakan oleh guru

Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia

masih tergolong metode pemebelajaran yang bersifat konvensional yang kurang

melibatkan siswa. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat David Kerr (1995:5-7)

dalam Winataputra dan Budimansyah (2007:28) menawarkan pengajaran

Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat maksimal yang ditandai oleh: thick,

inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based,

interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice.

Pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 1

Entikong sebagai wilayah perbatasan selain materi-materi Pendidikan

Kewarganegaraan yang ada siswa juga diajarkan materi-materi yang berkaitan

dengan globalisasi. Materi ini penting karena pada era sekarang bangsa Indonesia

tidak terlepas dari pergaulan global (Sapriya dan Wahab, 2008: 232). Senada

dengan pendapat tersebut, dalam kaitannya dengan globalisasi, Pendidikan

Kewarganegaraan tidak bisa diisolasikan dari kecenderungan globalisasi yang

berdampak pada kehidupan siswa (Komalasari dan Budimansyah, 2008:77).

Dalam rangka pembinaan semangat nasionalisme siswa, guru tidak hanya

mengandalkan materi yang sudah tertera dalam pokok bahasan, tetapi guru dapat

melakukan pengembangan materi sesuai dengan kebutuhan siswa perbatasan.

Hasil penelitian berkaitan dengan upaya yang dilakukan guru Pendidikan

Kewarganegaraan dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme

Indonesia siswa untuk menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas di

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 15

Page 16: JURNAL PKN

SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, disajikan pada

tabel berikut:

Tabel 1.3Upaya Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Program Sekolah

No Hasil/Temuan Penelitian1 Dalam upaya pembinaan semangat nasionalisme Indoneia guru SMP

Negeri 1 Entikong memberikan pembinaan secara terencana berkesinambungan lewat berbagai kegiatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Di dalam kelas dilaksanakan melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan oleh guru, sedangkan di luar kelas melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang ada di SMP Negeri 1 Entikong oleh pembina.

2 Ditemukan bahwa hampir semua materi Pendidikan Kewarganegaraan dapat digunakan untuk membina semangat nasionalisme Indonesia siswa pada SMP Negeri 1 Entikong. Terutama materi-materi yang berkaitan dengan bangsa dan negara Indonesia seperti patriotisme, cinta tanah air, bela negara dan Pancasila.

3 Dalam rangka pembinaan semangat nasionalisme Indonesia guru dan sekolah selalu membuat perencanaan. Guru Pendidikan Kewarganegaraan dengan menyusun RPP dan guru pembina ekstrakurikuler juga dengan menyusun draf program kegiatan ekstrakurikuler bersama sekolah.

4 Upaya guru dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong belum maksimal karena kurangnya dukungan orang tua, Pemerintah dan terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia, terutama buku-buku refrensi dan media elektronik seperti computer, internet dan media penunjang lainnya.

Pembinaan yang terencana dan berkesinambungan dilakukan oleh guru

dan program sekolah lewat berbagai kegiatan khususnya yang berkaitan dengan

materi nasionalisme yang terdapat pada hampir semua materi pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan. Upaya tersebut menuntut peran guru Pendidikan

Kewarganegaraan dan sekolah bukan hanya mengajarkan materi tetapi juga

internalisasi nilai-nilai Indonesia kepada siswa yang ada di perbatasan.

Internalisasi atau memasukan nilai-nilai Indonesia menjadi penting karena dapat

membentuk paham kebangsaan atau yang dikenal dengan istilah nasionalisme

Indonesia. Berkaitan dengan peran Pendidikan Kewarganegaraan, Wahab

(2009:7) menyatakan bahwa pada saat ini lembaga pendidikan sangat strategis

dalam mengupayakan aktualisasi paham kebangsaan. Hal tersebut sesuai dengan 1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai

Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 16

Page 17: JURNAL PKN

tugas Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma barunya mengembangkan

kehidupan demokratis yang mengemban tiga fungsi pokok, yakni

mengembangkan civic intelligence), civic responsibility, dan mendorong civic

participation (Winataputra, 2007).

Sedangkan hambatan yang dihadapi oleh guru Pendidikan

Kewarganegaraan dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme

Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia dari

hasil penelitian di lapangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.3Hambatan Pembinaan Semangat Nasionalisme

No Hasil/Temuan Penelitian1 Terdapat hambatan dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di

SMP Negeri 1 Entikong adalah letak sekolah yang rentan terhadap masuknya pengaruh terutama pengaruh negatif yang dapat kurang adanya dukungan masyarakat (orang tua siswa) dan pemerintah. Tanpa adanya kerjasama yang baik diantara ketiganya maka akan sulit bagi tercapainya sebuah hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan.

2 Entikong sangat mudah akses menuju dan dari Malaysia sehingga membawa pengaruh positif dan negative bagi kehidupan masyarakat. Terutama pengaruh negatif dapat berdampak pada persepsi dan sikap siswa serta masyarakat Entikong umumnya dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

3 Prospek pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong cukup bagus hal ini karena lokasi SMP Negeri 1 Entikong cukup strategis sebagai ujung tombak atau beranda terdepan dalam hubungannya dengan Negara Malaysia. Situasi ini dapat menjadikannya sebagai daerah yang paling tepat untuk melaksanakan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa.

4 Sementara itu, peranan Pemerintah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di Entikong belum maksimal karena masih terbatas pada penyediaan sarana dan prasarana umum seperti gedung sekolah dan buku paket. Belum ada alokasi dana yang secara khusus bagi pelaksanaan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa.

5 Terdapat peningkatan semangat nasionalisme siswa melalui pembinaan yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Hal ini terlihat dari perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku yang ditunjukkan siswa misalnya penggunaan bahasa Indonesia dan pengenalan akan simbol-simbol Negara Indonesia.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 17

Page 18: JURNAL PKN

Belum maksimalnya pembinaan semangat nasionalisme Indonesia yang

disebabkan kurang adanya dukungan masyarakat, terbatasnya sarana dan

prasarana serta kurangannya dukungan Pemerintah, ditambah lagi dengan

mudahnya akses masuk pengaruh dari luar dapat diatasi melalui upaya

memaksimalkan kerjasama antara sekolah, pemerintah dan masyarakat. Selain

upaya sekolah, penyediaan sarana dan prasarana penunjang dari pemerintah, serta

partisipasi dari masyarakat juga sangat menentukan hasil yang dicapai.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Mulyasa (2009:114-115) menyatakan

bahwa hubungan kerjasama antara sekolah, masyarakat dan Pemerintah dalam

implementasi KTSP dirasakan perlu menjalin hubungan yang saling

menguntungkan karena sekolah memerlukan masukan dari masyarakat dalam

menyusun program yang relevan, menjabarkan Standar Kompetensi-Kompetensi

Dasar, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat dalam melaksanakan program

tersebut. Selain itu kondisi wilayah Indonesia yang sangat luas menjadi salah satu

faktor penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah karena dapat berpotensi

positif dan juga dapat menjadi negatif bila tidak disertai dengan pengelolaan yang

baik. Namun demikian bukan berarti mustahil bila Pemerintah dan masyarakat

bersama-sama berjuang untuk mewujudkanya, sebab prospek pembinaan yang

cukup bagus dan adanya kecenderungan peningkatan semangat nasionalisme

melalui pembinaan yang telah dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan

sekolah di SMP Negeri 1 Entikong sebagaimana temuan di lapangan

menunjukkan signal yang positif untuk terbinanya semangat nasionalisme

Indonesia siswa di SMP Negeri 1 Entikong.

Kesimpulan dan Rekomondasi

1. Kesimpulan

Secara khusus, dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 18

Page 19: JURNAL PKN

Pertama, tantangan kosmopolitanisme yang terjadi pada masyarakat

Entikong sebagai wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia sangat tinggi, ditandai

dengan masih banyak produk luar yang beredar dan dikonsumsi masyarakat,

masih sering terjadinya gangguan kedaulatan (pergeseran patok batas), dan

mobilitas masyarakat yang tinggi ke Malaysia. Sedangkan tantangan etnisitas

yang terjadi pada masyarakat Entikong sebagai wilayah perbatasan Indonesia

Malaysia sangat kecil, ditandai dengan tidak adanya pengelompokan etnis,

terdapatnya kesadaran dan pemahaman yang baik dari masyarakat akan

kepentingan bangsa dan negara, serta harmonisnya hubungan antar etnis yang ada.

Kedua, metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat

digunakan untuk membina semangat nasionalisme Indonesia siswa pada SMP

Negeri 1 Entikong adalah metode yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan

pembelajaran, materi pelajaran, karakteristik siswa, situasi dan kondisi, serta

sarana dan prasarana yang tersedia.

Ketiga, upaya yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan

program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa di

SMP Negeri 1 Entikong telah dilaksanakan secara terencana dan

berkesinambungan dengan program pengajaran dan latihan-latihan yang intensif.

Keempat, hambatan yang dihadapi oleh guru Pendidikan

Kewarganegaraan dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme

Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong adalah masih rendahnya pemahaman

masyarakat terhadap pentingnya nasionalisme, terbatasnya sarana dan prasarana

serta kurangnya relevansi antara materi Pendidikan Kewarganegaraan dengan

kehidupan sehari-hari siswa.

2. Rekomendasi

Merujuk kepada kesimpulan penelitian, direkomendasikan kepada pihak-

pihak yang dianggap memiliki kepentingan dengan hasil penelitian ini. Adapun

pihak-pihak yang dimaksud dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 19

Page 20: JURNAL PKN

Pertama, kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan di lapangan

diharapkan dapat mengembangkan berbagai kreatifitas dan kemampuannya dalam

pembelajaran, terutama dalam hal mengemas materi, memilih dan menggunakan

metode pembelajaran selain yang telah ada. Oleh karena itu tentu diperlukan

berbagai pengetahuan dan keterampilan untuk mengemas materi yang relevan

dengan dinamika kehidupan masyarakat khususnya dalam pembinaan semangat

nasionalisme Indonesia siswa yang ada di perbatasan.

Kedua, kepada siswa-siswi SMP Negeri 1 Entikong sebagai generasi

penerus bangsa penulis sarankan agar terus memupuk semangat nasionalismenya

dengan memberdayakan segenap kemampuan dan kreatifitas yang dimilikinya.

Selain itu diharapkan para siswa agar terus menjunjung tinggi kepentingan bangsa

dan negara tanpa membeda-bedakan suku, agama dan ras.

Ketiga, kepada kepala sekolah diharapkan dapat terus meningkatkan upaya

pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa melalui program-programnya.

Selain itu, diharapkan juga untuk memberikan kesempatan kepada guru-guru agar

dapat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas dalam mengajar serta

memberikan kesempatan guru untuk mengikuti kegiatan yang berhubungan

dengan pengembangan kemampuannya.

Keempat, kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan,

terutama para pengembang kurikulum pendidikan nasional direkomendasikan

untuk memperhatikan realitas yang ada pada masyarakat berkaitan dengan

pembinaan semangat nasionalisme Indonesia, khususnya materi yang spesifik

tentang nasionalisme.

Kelima, kepada Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Daerah direkomondasikan untuk lebih memperdayakan lagi program-program

yang telah ada, memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk meningkatkan

kemampuan dalam proses belajar mengajar dan mengadakan program-program

untuk membina semangat nasionalisme Indonesia khususnya di daerah perbatasan.

Selain itu demi kelancaran program diharapkan juga dapat segera menyediakan

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 20

Page 21: JURNAL PKN

sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembinaan yang dilakukan guru

Pendidikan Kewarganegaraan dan program sekolah.

Keenam, kepada Masyarakat direkomendasikan agar meningkatkan

kesadarannya sebagai warganegara Indonesia dan senantiasa mendukung program

pembinaan yang dilakukan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan dan program

sekolah, mengingat kompleksnya masalah di perbatasan yang menyangkut

kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Ketujuh, kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan permasalahan

tersebut agar secara spesifik mengkaji dan menelaah masalah-masalah mengenai

pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa dalam menghadapi tantangan

kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang masih relatif jarang dikaji, sehingga diharapkan akan

berdampak pada terbentuknya semangat nasionalisme Indonesia siswa.

Daftar Pustaka

Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1992). Riset Kualitatif untuk Pendidikan:

Pengantar ke Teori dan Metode. Alih bahasa oleh Munandir dari judul

Qualitative Research for Education: An introduction to Theory and

Methods. Jakarta: PAU PPAI Universitas Terbuka.

Creswell, J.W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative Approach.

London: Publications.

Cogan, J.J. and Ray Derricott (eds). (1998). Citizenship for The 21st Century: An

International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Dongxiao, Wang. (2000). “Inevitable Integration of National Education and Civic

Education in A Historical Perspektif Professor Wang Dongxiao”. The

Journal Of Civic Education in China. Zhengzhou Centre for the Study of

Civic Education China.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 21

Page 22: JURNAL PKN

Eriksen, T.H. (1993). Ethnicity dan Nationalism: Anthropological Perspectives.

United State America: Pluto Press.

Isikal, Husyein. (2002). ”Two Perspektif on The Relationship of Ethnicity to

Nationalism: Comparing Gellner and Smith”. Turkish Journal of

International Relations, Tahun 2002, Vol.1, No.1. Department of

International Relations at Middle East Technical University.

Kalidjernih, Freddy K. (2009). “Kosmopolitanisme: Implikasi Terhadap

Kewarganegaraan”. Makalah pada Seminar Nasional Visi Kebangsaan

2025 Prodi Pendidikan Kewarganegaraan SPs Uviversitas Pendidikan

Indonesia.

Kansil. (1986). Aku Pemuda Indonesia Pendidik Politik Generasi Muda. Jakarta:

Balai Pustaka.

Kohn, Hans. (1984). Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Terjemahan Sumantri

Mertodipuro. Jakarta: Erlangga.

Komalasari & Budimansyah, D. ”Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam

Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewarganegaraan

Siswa SMP”. Akta Civicus, Tahun 2008, Vol. 2, No. 1. Jurnal Pendidikan

Kewarganegaraan UPI.

Mendatu, Achmad. (2007). Etnik dan Etnisitas. [Online]. Tersedia:

http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html. [22

Agustus 2009].

Milles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. (2007). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Michael A, Riff. (1995). Kamus Ideologi Politik Modern. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Mulyasa, E. (2009). Implementasi Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan:

Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasution, S. (2007). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Ohmae, Kenichi. (1993). Dunia Tanpa Batas. Alih Bahasa Budiyanto. Jakarta:

Binarupa Aksara.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 22

Page 23: JURNAL PKN

Saefudin Anshari, E. (1998). Wawasan Islam. Bandung: Mizan.

Said, M & Affan, J. (1987). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Jemmars: Bandung.

Smith D, Antony. (1983). Theories of Nationalism. New York: Harves and Meir

Publisher.

Tilaar, H.A.R. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta.

Wahab, Abdul A. (2009). ”Memantapkan Kembali Jati diri Bangsa Dalam Rangka

Penguatan Dasar-Dasar Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia. Makalah

pada Seminar Internasional Pendidikan Kewarganegaraan.UPI Bandung.

Wahab, Abdul A & Sapriya. (2008). Teori dan Landasan Pendidikan

Kewarganegaraan. Bandung: UPI Press.

Wertheim, WF. (1999). Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Kajian Perubahan

Sosial. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Ellizabet. Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Winataputra S, W & Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Kontek,

Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi

Pendidikan Kewarganegaraan UPI.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.Email: [email protected] 23