72
SINOPSIS DISERTASI PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, LINGKUNGAN KERJA, DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI DINAS PENDIDIKAN PROVINSI DKI JAKARTA (2009) 1 THE AFFECT OF LEADERSHIP STYLE, WORK ENVIRONMENT, AND EMPLOYEES’ WORK MOTIVATION ON EMPLOYEES’ JOB SATISFACTION OF THE EDUCATION OFFICE OF DKI JAKARTA PROVINCE (2009) VIRGANA 2 ABSTRACT This causal research aims to assess effect of the leadership style, work environment, and employees’ work motivation on the job satisfaction of the employees’ of the Education Office of the DKI Jakarta Province. The data were collected from a randomly selected sample of 100 rank III employees of the education of the DKI Jakarta Province. The research was implemented during three-months from March untik MAY 2009. The questionnaire was signed by Liker scale. A path analysis technique was employed to analyse the data descriptively and inferentially. The research findings show that (1) a direct effect of the leadership style on the employees’ work motivation, (2) a direct effect of the environment on the employees’ work motivation, (3) a direct effect of the leadership style on the employees’ job satisfaction, 1 Dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta dalam Rangka Promosi Doktor 2 Kepala Suku Dinas Dikmen Jakarta Utara i

I - Virgana's Blog-WordPress | Just another … · Web viewDAFTAR PUSTAKA Argyris, Chris. Integrating The Individual and The Organization. New York: John Wiley and Sons, 1984. Bacal,

Embed Size (px)

Citation preview

SINOPSIS DISERTASI

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, LINGKUNGAN KERJA, DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI

DINAS PENDIDIKAN PROVINSI DKI JAKARTA (2009)1

THE AFFECT OF LEADERSHIP STYLE, WORK ENVIRONMENT, AND EMPLOYEES’ WORK MOTIVATION ON EMPLOYEES’

JOB SATISFACTION OF THE EDUCATION OFFICE OF DKI JAKARTA PROVINCE (2009)

VIRGANA2

ABSTRACT

This causal research aims to assess effect of the leadership style, work environment, and employees’ work motivation on the job satisfaction of the employees’ of the Education Office of the DKI Jakarta Province. The data were collected from a randomly selected sample of 100 rank III employees of the education of the DKI Jakarta Province. The research was implemented during three-months from March untik MAY 2009. The questionnaire was signed by Liker scale. A path analysis technique was employed to analyse the data descriptively and inferentially. The research findings show that (1) a direct effect of the leadership style on the employees’ work motivation, (2) a direct effect of the environment on the employees’ work motivation, (3) a direct effect of the leadership style on the employees’ job satisfaction, (4) a direct effect of the work environment on the employees’ job satisfaction, (5) a direct effect of the work environment on the employees’ job satisfaction, (6) an indirect effect of the leadership style on the employees’ job satisfaction, and (7) an indirect effect of the work environment on the employees’ satisfaction. These findings suggest that the leadership style, work environment, and work motivation were determining factors of the employees’ job satisfaction, hence the research need to take into consideration for developing of human resource.

1 Dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta dalam Rangka Promosi Doktor2 Kepala Suku Dinas Dikmen Jakarta Utara

i

PENDAHULUAN

Latar Belakang MasalahSeiring dengan semangat

reformasi di segala bidang, upaya penyempurnaan dan pembenahan birokrasi menuju Indonesia Baru menjadi sangat penting, terutama agar birokrasi mampu melanjutkan cita-cita pendiri bangsa, yaitu: menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur melalui tahapan-tahapan pembangunan yang telah ditetapkan secara sistematis.

Instansi pemerintah sebagai lembaga pelayanan masyarakat, berusaha mereformasi birokrasi dengan menekankan pada perubahan sikap dan perilaku aparat pemerintah daerah yang lebih efektif, efisien, responsif, transparan, dan akuntabel. Hal ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang lebih kritis terhadap pemerintah. Dengan demikian tuntutan terhadap profesionalisme Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga meningkat.

Menjadi PNS bagi sebagian orang Indonesia adalah sebuah dambaan, banyak orang dalam antrean pengambil formulir pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selalu membludak setiap tahun. Orang merelakan apapun yang dia miliki untuk menjadi seorang PNS. Meskipun sudah ada upaya dari pemerintah  untuk memperbaiki masalah rekrutmen PNS.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2008 mengenai

kenaikan gaji PNS telah ditandatangani. Menurut Menteri Keuangan, PP tersebut hanya menjalankan amanat APBN. Setelah PP disahkan, PNS dapat menerima kenaikan gaji di tahun 2009 (Ani, 2009: 1). Kenaikan gaji PNS memungkinkan kehidupan PNS semakin makmur. Dengan kata lain, penghargaan terhadap pekerjaan pegawai dengan kenaikan gaji memungkinkan pegawai memperoleh kepuasan kerja. Namun permasalahan PNS, tidak hanya sebatas kenaikan gaji tetapi juga tuntutan profesionalisme dan reformasi institusi. Hal ini juga mengusik kepuasan kerja pegawai, sebagaimana yang terjadi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Perampingan struktur organisasi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Salah satu Dinas yang disatukan adalah Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) dan Dinas Pendidikan Menengah Tinggi (Dikmenti). Sebelum dilakukan peleburan kedua institusi pendidikan ini, Dikdas DKI Jakarta mengumpulkan seluruh pejabat eselon IV agar tidak resah. Kegiatan rapat koordinasi itu diikuti oleh 122 pejabat eselon IV di lingkungan Dikdas. Mereka yang hadir terdiri dari para Kasie Dinas Dikdas Kecamatan se-DKI Jakarta, Kasie dan Kasubag di lingkungan Sudin Dikdas, Kasudin Dikdas, dari lima wilayah kota dan satu Kabupaten Administrasi

ii

Kepulauan Seribu dan para Kasubdis di Dinas Dikdas DKI (Widiastuti, 2008: 1). Namun terlihat jelas bahwa para peserta rapat tidak dapat menyembunyikan keresahannya. Demikian pula dengan para pegawai yang bertanya-tanya tentang gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Pejabat Dinas Pendidikan yang baru. Masalah gaya kepemimpinan menjadi sering dibicarakan di kalangan pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pergantian pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta mendapat perhatian sepenuhnya dari para pegawainya. Bahkan gaya kepemimpinan pun merupakan masalah bagi para pegawai.

Selain masalah gaya kepemimpinan, para pegawai juga dihadapkan dengan lingkungan kerja sebagai dampak perampingan tersebut. Ada dua lingkungan kerja yang disatukan dan diharapkan lebih efektif dan efisien. Namun, sejak akhir Desember 2004 di mana Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menolak permintaan Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta agar gedung Pendidikan Dasar di Jalan Jatinegara Timur direnovasi total sampai saat ini upaya itu tidak pernah dilakukan. Padahal, Wakil Kepala Dikdas pada waktu itu, Maman Achdiyat, menyatakan sudah waktunya gedung tersebut direnovasi total. Menurutnya, bangunan tersebut sudah terlalu tua dan tidak layak lagi untuk dijadikan

perkantoran (Sari, 2004: 1). Hal ini menunjukkan bahwa pegawai dihadapkan dengan masalah lingkungan kerja yang seharusnya sudah direnovasi. Lingkungan kerja menjadi perhatian para pimpinan di lingkungan Dinas Dikdas Provinsi DKI Jakarta karena dianggap sudah terlalu tua dan harus direnovasi.

Selain dihadapkan dengan gaya kepemimpinan atasan dan lingkungan kerja, pegawai juga bermasalah dengan motivasi kerja. Pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, hasil Inspeksi Mendadak (Sidak) yang dilakukan oleh Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di beberapa instansi pemerintah pascaliburan. Hasil Sidak, dari 69 unit, ditemukan pegawai yang tidak hadir tanpa keterangan dan yang terlambat berjumlah 290 orang (Harijogja, 2008: 1). Contoh sederhana ini termasuk juga yang terjadi di Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu-waktu tertentu motivasi kerja kurang mendapat perhatian dari pegawai itu sendiri. Mereka lebih suka meninggalkan kantor untuk urusan yang lebih bersifat pribadi daripada segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Masalah motivasi kerja erat kaitannya dengan berbagai hal yang menyangkut faktor internal dan eksternal serta dampaknya terhadap diri pegawai dan pekerjaannya.

Secara nasional, pegawai Departemen Pendidikan Nasional non-guru berjumlah lebih dari 200 ribu

iii

orang. Bila dibandingkan dengan instansi lain memang berbeda. Misalnya, PLN hanya dengan 52 ribu orang karyawan se-Indonesia, bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24 jam setiap hari. PT Pos Indonesia hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani. Bandingkan dengan karyawan PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di seantero Indonesia (Iman, 2008: 1). Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, kenyataan data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah (Iman, 2008: 1). Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175 ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta jiwa.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, faktor-faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai selain dari gaji, juga berkaitan dengan gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, dan

motivasi kerja pegawai. Hal-hal inilah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Perumusan Masalah1. Apakah gaya

kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai?

2. Apakah lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai?

3. Apakah gaya kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?

4. Apakah lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?

5. Apakah motivasi kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?

6. Apakah gaya kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai?

7. Apakah lingkungan kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai?

DESKRIPSI TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Deskripsi Teoretik1. Kepuasan Kerja (Job

Satisfaction)Kepuasan kerja mengacu

pada sikap individu secara umum

iv

terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya, seseorang yang tidak puas mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja pada hakikatnya merupakan penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dirasakannya. Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 141) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap pegawai terhadap pekerjaannya yang merupakan hasil dari persepsi terhadap pekerjaannya (job satisfaction is an attitude that workers have about their job. It results from their perception of the jobs). Dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada tingkat outcome intrinsik dan ekstrinsik, serta cara pegawai tersebut memandang outcome kerjanya.

Robbins dan Judge (2007: 30) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang dihasilkan oleh evaluasi tentang karakteristik pekerjaannya (job satisfaction is a positive feeling about one’s job resulting from an evaluation of its characteristics). Perasaan positif yang dimaksud adalah adanya perasaan senang, bangga, lega, dan perasaan lain yang mengungkapkan adanya kesesuaian antara harapan dengan

kenyataan dalam kaitan dengan pekerjaan yang telah dilakukan.

Pendapat senada dari McShane dan Von Glinow (2008: 115) bahwa kepuasan kerja merupakan evaluasi seseorang terhadap kerjanya dan konteks pekerjaan (job satisfaction is a person’s evaluation of his or her job and work context). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian terhadap karakteristik kerja yang dirasa, faktor lingkungan, dan pengalaman emosional pada saat kerja. Dengan demikian, pegawai yang merasa puas dalam bekerja akan mempunyai penilaian yang menyenangkan pada pekerjaannya yang didasarkan pengamatan dan pengalaman emosionalnya. Kepuasan kerja merupakan kumpulan sikap puas, senang, dan adanya kesesuaian antara berbagai aspek dan konteks pekerjaan.

Sementara itu, Mullins (2005: 700) menyatakan bahwa usaha untuk memahami sifat kepuasan kerja dan pengaruhnya terhadap kinerja tidak mudah. Kepuasan kerja adalah konsep yang kompleks dan multisegi yang dapat menimbulkan perbedaan pemahaman bagi orang-orang yang berbeda (Job satisfaction is a complex and multifaceted concept, which can mean different things to different people). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja

v

lebih pada sikap, ungkapan dari dalam. Kepuasan kerja dapat diasosiasikan dengan perasaan seseorang terhadap prestasi, baik kuantitatif atau kualitatif (job satisfaction is more of an attitude, an internal state. It could, for example, be associated with a personal feeling of achievement, either quantitative or qualitative).

Kepuasan kerja berkaitan dengan perasaan dan emosi seseorang. Newstrom dan Davis (2002: 208) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan senang atau tak senang dan emosi yang merupakan pandangannya terhadap pekerjaannya (job satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings and emotions with which employees view their work). Kepuasan kerja merupakan sikap afektif – perasaan yang relatif suka dan tak suka terhadap sesuatu. Misalnya: pegawai yang puas akan berkomentar, “Saya menikmati berbagai tugas yang saya lakukan”. Pendapat senada disampaikan Bootzin, et al., (1986: 685) bahwa kepuasan kerja adalah orientasi emosional dan afektif terhadap pekerjaan seseorang (job satisfaction is an emotional, affective orientation toward one’s work).

Menurut George and Jones (2005: 75), kepuasan kerja adalah sekumpulan perasaan dan

keyakinan orang-orang dalam melakukan pekerjaan saat ini (job satisfaction is the collection of feelings and beliefs that people have about their current job). Maksudnya kepuasan kerja adalah sekumpulan perasaan dan keyakinan orang-orang dalam melakukan pekerjaan saat ini.

Colquitt, Lepine, and Wesson (2009: 105), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan dari penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman-pengalaman kerjanya (job satisfaction is defined as a pleasurable emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences). Robbins dan Judge (2007: 79) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan seseorang dihasilkan dari evaluasi dari karakteristiknya (job satisfaction as a positive feeling about one’s job resulting from an evaluation of its characteristics).

Sikap positif seseorang terhadap pekerjaannya memunculkan kepuasan kerja pada diri pekerja tersebut. Kleiman (1997: 4) menyatakan bahwa sikap positif muncul karena adanya rasa aman terhadap pekerjaan, menyukai pekerjaan, diberikan kesempatan meningkatkan karier di unit kerjanya, sesuai dengan perjanjian kerja, atasan menghargai bawahan dengan memberikan gaji

vi

secara adil. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan dengan sikap atasan dalam menghargai bawahannya. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan atasan berdampak pada kepuasan kerja pegawainya.

Pendapat senada dari Gibson, et al., (2006: 108) ar kepuasan kerja adalah sikap individu terhadap pekerjaannya (job satisfaction is an attitude that individuals have about their jobs). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan persepsi terhadap pekerjaannya yang didasarkan pada faktor lingkungan, seperti gaya supervisor, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi pekerjaan, dan tunjangan tambahan. Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, meliputi: gaya kepemimpinan atasan, kebijakan organisasi dan prosedur kerja, afiliasi yang ada dalam kelompok kerja, lingkungan kerja, dan adanya tunjangan tambahan selain gaji yang diterima. Menurut Gibson, et al., (2009: 327) dalam teori Model Path-Goal, kepuasan kerja (job satisfaction) di samping kinerja (performance) pada hakikatnya merupakan outcomes dipengaruhi oleh persepsi (perception) dan motivasi kerja (work motivation) pegawai. Kedua hal ini juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor, di antaranya: perilaku atau gaya kepemimpinan (leaders behavior/styles), karakteristik bawahan (follower/ subordinate characteristics), dan faktor lingkungan (environmental factors). Seperti diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 2.1 Model Path-GoalSumber: James L. Gibson, et al.Organization: Behavior Structure Processes (New York: McGraw-Hill, 2009), p. 327.

vii

Follower /subordinate characteristicsLocus of controlExperienceAbility

Leadership behaviour/stylesDirective SupportiveParticipativeAchievement-oriented

OutcomesJob SatisfactionPerformance

Environmental factorsTasksFormal authority systemWork group

Follower/subordinate perceptionsWork Motivation

Teori Path-Goal mengenalkan dua kelompok situasi atau variabel kontingensi yang memperbaiki hubungan antara perilaku atau gaya pemimpin dengan persepsi dan motivasi bawahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap hasil (kepuasan kerja, kinerja). Semua faktor lingkungan adalah di luar kendali seorang pemimpin (struktur tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja). Faktor golongan kedua merupakan bagian karakter pribadi bawahan (penyesuaian tempat, pengalaman, dan kemampuan). Pada dasarnya teori ini menyarankan bahwa perilaku atau gaya pemimpin harus menyerap variabel kontingensi tersebut. Jadi, pemimpin tidak akan efektif bila gaya yang diterapkan atau perilakunya berlebihan bila dibanding struktur keadaan sekitar atau tidak sejalan dengan karakter bawahan.

Pendapat di atas diperkuat oleh Gagne dan Deci (2005: 347) dalam Self-determination Theory and Work Motivation bahwa lingkungan kerja (konten pekerjaan, konteks pekerjaan, dan iklim kerja) dan keragaman individu (orientasi kausalitas) sebagai bagian dari motivasi kerja, demikian juga outcome pekerjaan yang berkaitan dengan motivasi kerja (environmental factors (job content, job context, and work climate), and

individual differences (causality orientation) as antecedents of autonomous motivation, as well as the work outcomes associated with autonomous motivation).

2. Gaya Kepemimpinan (Leadership Styles)

Kepemimpinan dapat diuji dengan mengkaji beberapa elemen dasarnya, salah satunya adalah dengan menggunakan berbagai gaya kepemimpinan. Fiedler, sebagaimana dikutip Robbins dan Judge (2009: 427), mempercayai bahwa faktor kunci dalam kesuksesan kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan dasar individu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ada tiga dimensi kontingensi yang menentukan efektivitas kepemimpinan, yaitu: (1) hubungan pemimpin-bawahan: tingkat kepercayaan diri, kepercayaan, dan respek bawahan yang ada dalam pemimpinnya; (2) struktur tugas: derajat di mana tugas diproseduralkan (terstruktur atau tidak); dan (3) kekuasaan posisi: derajat dari pengaruh seorang pemimpin yang memiliki variabel kekuasaan seperti pengangkatan, pemberhentian, pendisiplinan, promosi, dan peningkatan gaji.

Newstrom and Davis (2002: 167) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola total dari tindakan eksplisit dan implisit pemimpin yang dilihat oleh

viii

pegawainya (leadership style is the total pattern of explicit and implicit leaders’ actions as seen by employees).

Campling, Poole, Wiesner, and Schermerhorn (2002: 365) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin (leadership style is the recurring pattern of behaviors exhibited by a leader). Perilaku pemimpin menunjukkan gaya kepemimpinnya.

Gaya kepemimpinan juga merupakan fungsi sikap manajer terhadap bawahannya. Mullins (2005: 866) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan manajerial adalah fungsi sikap manajer terhadap bawahannya, dan asumsi tentang sifat dan perilaku manusia (the style of managerial leadership is a function of the manager’s attitudes towards people, and assumptions about human nature and behaviour). Oleh karena itu, gaya kepemimpinan akan berpengaruh terhadap perilaku bawahannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Cunningham and Cordeiro (2003: 140-141), gaya kepemimpinan akan mempengaruhi perilaku bawahannya terutama mendukung penggunaan gaya yang disukai (leadership style may, in fact, influence the behaviour of subordinates in such a way that the subordinates’ behaviour actually

supports the use of the leader’s preferred style, becoming a self-fulfilling prophecy).

Reddin sebagaimana dikutip oleh Thoha (2000: 265), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dibedakan menjadi gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya kepemimpinan yang efektif terdiri dari: (1) pelaksana (executive); (2) pecinta pengembang (developer); (3) otokratis yang baik hati (benevolent autocrat); dan (4) birokrat (bureaucrat). Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. (1) Pelaksana (executive). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) bekerja dengan asumsi bahwa orang lain dapat bekerja sama baiknya dengan dirinya; (b) cenderung mementingkan kualitas dalam melaksanakan tugas; (c) berdisiplin dalam melaksanakan tugas; (d) berusaha menumbuhkan partisipasi aktif orang-orang yang dipimpinnya; (e) memiliki semangat, moral, loyalitas, dan dedikasi kerja yang tinggi; (f) mampu menumbuhkan kesediaan bekerja keras; (g) mampu menumbuhkan rasa aman; (h) efisien dan efektif dalam bekerja; (i) mempunyai perhatian yang positif dalam menyelesaikan konflik-konflik yang timbul; (j) terbuka terhadap kritik dan saran-saran; dan (k) mampu memisahkan masalah yang perlu dan tidak perlu dalam musyawarah. (2) Pecinta

ix

pengembang (Developer). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) mahir berorganisasi; (b) bekerja secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab; (c) mau mempercayai orang lain dalam bekerja; (d) memiliki kemampuan dan menghormati orang lain-, (e) cenderung pada usaha menciptakan hubungan manusiawi yang efektif, dan (f) meyakini bahwa orang yang diberi wewenang dapat mengendalikan diri. (3) Otokratis yang baik hati atau disempurnakan (Benevolent Autocrat). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) pemimpin berorientasi pada hasil; (b) tugas orang yang dipimpin adalah melaksanakan dan mentaati perintah; (c) pemimpin menuntut ketaatan dan kepatuhan dengan membuat peraturan-peraturan; dan (d) pemimpin kurang yakin pada diri sendiri. (4) Birokrat (Bureaucrat). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) bekerja harus sesuai dan mengikuti secara ketat semua peraturan, prosedur, dan mekanisme yang sudah ditetapkan; (b) menuntut ketaatan pada perintah pimpinan yang lebih tinggi; (c) pemimpin berusaha agar lingkungan dan situasi kerja sesuai dengan aturan teoretis; (d) kurang aktif dalam melaksanakan tugas-tugas dan bersifat saling menunggu; (e) gagasan-gagasan tidak berorientasi pada peningkatan produktifitas, tetapi lebih diarahkan

pada mengatur tata hubungan kerja; (f) pemimpin kurang berusaha mengembangkan hubungan manusiawi dengan orang-orang yang dipimpinnya; dan (g) kurang menyukai orang luar dan masyarakat.

Sedangkan gaya kepemimpinan yang tidak efektif terdiri dari: (1) pecinta kompromi (compromiser); (2) pelindung atau penyelamat (missionary); (3) otokratis (autocrat); dan (4) lari dari tugas (deserter). Lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) Pecinta kompromi (Compromiser). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) cenderung senang berusaha untuk menyenangkan pimpinan yang lebih tinggi; (b) banyak mengikutsertakan orang-orang yang dipimpinnya dalam mengambil keputusan; (c) cenderung selalu menilai untung rugi bagi dirinya sebelum mulai melaksanakan tugas; (d) cenderung tidak berusaha mengerjakan tugas secara baik; (e) menjalin hubungan yang baik dengan orang yang dipimpin hanya untuk diperalat; dan (f) memberikan motivasi kerja secara selektif atau setengah hati. (2) Pelindung atau penyelamat (Missionary). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) berkepribadian ramah dan murah senyum; (b) selalu berusaha secara aktif mencegah konflik dengan

x

orang lain; (c) melaksanakan tugas-tugas secara santai; (d) cenderung mengabaikan para pembantu pimpinan dan orang dalam; (e) memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi dalam menghormati, menghargai orang lain dan mengendalikan diri; (f) hasil dari kepemimpinan tidak dipentingkan, yang diutamakan proses pemberian layanan untuk kepuasan orang lain; dan (g) kurang berminat memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam organisasi. (3) Otokratis (Autocrat). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) pelaksanaan tugas merupakan kegiatan terpenting; (b) pelaksanaan tugas tidak boleh salah atau menyimpang dari instruksi; (c) inisiatif dan kreatifitas orang-orang yang dipimpin dimatikan, karena dipandang akan menyimpang dari instruksi; (d) kurang memperhatikan hubungan manusiawi, baik antar pemimpin dengan orang yang dipimpin maupun sesama orang-orang yang dipimpinnya; (e) kurang mempercayai orang lain termasuk juga anggota kelompok atau organisasinya; (f) menyenangi ditakuti dan akibatnya kurang disenangi orang-orang yang dipimpinnya; (g) orang-orang yang dipimpinnya diperlakukan sekedar sebagai pelaksana kehendak pemimpin; (h) sukar memberikan maaf pada bawahan, karena hanya

menuntut ketaatan; (i) pendapat dari bawahan bukan saja dianggap tidak benar, tetapi dinilai tidak perlu dan dianggap menantang atau membangkang, dan (j) orang-orang yang dipimpin tidak bersatu dan terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil. (4) Lari dari tugas atau pembelot (Deserter). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) menghindar dari tugas dan tanggung jawab; (b) hanya melibatkan diri pada tugas-tugas yang ringan dan mudah; (c) suka menyendiri dan kurang menyukai pergaulan; (d) cenderung suka mengabaikan orang lain, tetapi senang menyabot; (e) mudah menyerah apabila menghadapi kesulitan; dan (f) bekerja hanya untuk mencapai hasil yang minimal.

Para pemimpin banyak yang menggunakan pendekatan-pendekatan dari gaya otokrasi sampai dengan gaya demokrasi. Ketika sejumlah pemimpin menggunakan pendekatan yang sangat otokrasi dalam mengawasi para bawahannya, sejumlah pemimpin lain menggunakan pendekatan yang sangan demokrasi. Para pemimpin lainnya menggunakan berbagai pendekatan demokrasi dan otokrasi, yang berarti pendekatan mereka berada di antara kedua pendekatan yang ekstrem. Menurut Quible (1980: 299), berbagai pendekatan tentang gaya

xi

kepemimpinan dapat digambarkan dalam rangkaian kesatuan (continuum) pendekatan otokrasi - demokrasi.

Lebih lanjut dijelaskan pendekatan kepemimpinan otokrasi ada ketika atasan mengambil keputusan tanpa mengusahakan gagasan, saran-saran, dan rekomendasi bawahan. Dengan demikian pemimpin yang menggunakan pendekatan ini cenderung memberikan pengawasan yang ekstensif pada tingkah laku dan tidakan bawahan. Dalam banyak kasus dijelaskan juga oleh Quible bahwa sejumlah bawahan didisiplinkan sebelum suatu usaha dilakukan untuk menentukan alasan-alasan sebagai tanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya. Jarang sekali para pemimpin otokrasi menyimpang dari norma atau arah tindakan yang diinginkan. Sedangkan para pemimpin yang menggunakan pendekatan demokrasi, secara ekstensif menggunakan gagasan, saran, dan rekomendasi bawahan mereka. Dengan demikian hubungan yang kooperatif ada di antara atasan dan bawahan. Sangat dimungkinkan bawahan diminta untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan khususnya bila keputusan itu akan berpengaruh terhadap bawahannya.

Menurut Rue dan Byars (1980: 346), ada tiga dasar gaya kepemimpinan, yaitu: otokratis, demokratis; dan laissez faire. Adapun inti perbedaan dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut terletak pada pembuatan keputusan. Lebih lanjut dijelaskan secara rinci. Pertama, pada gaya kepemimpinan otokratis, semua keputusan ditentukan oleh pimpinan. Kedua, pada gaya kepemimpinan laissez faire: pimpinan mengikuti anggota-anggotanya dalam membuat keputusan. Ketiga, pada gaya kepemimpinan demokratis, pimpinan membimbing dan memberi semangat kepada kelompoknya dalam membuat keputusan.

Gaya kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang pimpinan dapat berbeda antara satu pimpinan dengan pimpinan yang lainnya. Ada beberapa gaya kepemimpinan, namun secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, dan laissez faire. Canadian Association of Student Activity Advisors (CASAA) (2000: 1-2) menyimpulkan hasil kajian tentang gaya kepemimpinan sebagai berikut. Pertama, pada gaya kepemimpinan otokratis (autocratic leadership style), semua keputusan ditentukan oleh

xii

pimpinan, pimpinan mengatur langkah-langkah kegiatan, tugas dan pekerjaan masing-masing anggota diatur oleh pimpinan, serta pimpinan cenderung bersikap subjektif dalam melaksanakan kepemimpinannya. Kedua, pada gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style), keputusan dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan anggota, langkah-langkah kegiatan organisasi diputuskan dalam koridor musyawarah oleh pimpinan dan seluruh anggota, tugas dan pekerjaan diatur dalam kelompok dan anggota bebas menentukan pasangan kerjanya, serta pimpinan cenderung bersikap objektif dalam memuji atau mengecam anggotanya berdasarkan fakta. Ketiga, pada gaya kepemimpinan santai (laissez-faire leadership style), keputusan ditentukan oleh anggota dengan partisipasi minimum dari pimpinan, pimpinan tidak terlibat dalam penentuan tugas dan kegiatan, tidak ada partisipasi pimpinan dalam menentukan tugas dan pekerjaan, serta pimpinan cenderung bersikap pasif dalam memberikan pujian atau kecaman.

Dale (2002: 36-48) membagi gaya kepemimpinan menjadi lima, yaitu 1) Birokratis; 2) Permisif; 3) Laissez faire; 4) Partisipatif; dan 5) Otokratis. Lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut.

Birokratis, satu gaya yang ditandai dengan keterikatan yang terus-menerus kepada aturan-aturan organisasi. Gaya ini menganggap bahwa kesulitan-kesulitan akan dapat diatasi bila setiap orang mematuhi peraturan. Keputusan-keputusan dibuat berdasarkan prosedur-prosedur baku. Pemimpinnya adalah seorang diplomat dan tahu bagaimana memakai sebagian besar peraturan untuk membuat orang-orang melaksanakan tugasnya. Kompromi merupakan suatu jalan hidup karena untuk membuat satu keputusan diterima oleh mayoritas, orang sering harus mengalah kepada yang lain. Permisif, keinginannya adalah membuat setiap orang dalam kelompok tersebut puas. Membuat orang-orang tetap senang adalah aturan mainnya. Gaya ini menganggap bahwa bila orang-orang merasa puas dengan diri mereka sendiri dan orang lain, maka organisasi tersebut akan berfungsi dan dengan demikian, pekerjaan akan bisa diselesaikan. Koordinasi sering dikorbankan dalam gaya ini. Laissez-faire, sama sekali bukanlah kepemimpinan. Gaya ini membiarkan segala sesuatunya berjalan dengan sendirinya. Pemimpin hanya melaksanakan fungsi pemeliharaan saja. Misalnya, seorang pendeta mungkin hanya namanya saja ketua dari organisasi

xiii

tersebut dan hanya menangani urusan khotbah, sementara yang lainnya mengerjakan segala pernik mengenai bagaimana organisasi tersebut harus beroperasi. Gaya ini kadang-kadang dipakai oleh pemimpin yang sering bepergian atau yang hanya bertugas sementara. Partisipatif, dipakai oleh mereka yang percaya bahwa cara untuk memotivasi orang-orang adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diharapkan akan menciptakan rasa memiliki sasaran dan tujuan bersama. Masalah yang timbul adalah kemungkinan lambatnya tindakan dalam menangani masa-masa krisis. Otokratis, ditandai dengan ketergantungan kepada yang berwenang dan biasanya menganggap bahwa orang-orang tidak akan melakukan apa-apa kecuali jika diperintahkan. Gaya ini tidak mendorong adanya pembaruan. Pemimpin menganggap dirinya sangat diperlukan. Keputusan dapat dibuat dengan cepat.

Sedangkan gaya kepemimpinan yang lain adalah Transformational Leadership diperkenalkan oleh Benard M. Baas dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond Expectation. Bernard M. Bass dan B.J. Avolo, sebagaimana dikutip Wirawan (2007: 1), mendefinisikan

kepemimpinan transformasional sebagai berikut. (1) Individual consideration. Pemimpin mengembangkan orang dengan menciptakan lingkungan yang pendukung; (2) Intellectual simulation. Pemimpin menstimulasi orang agar kreatif dan inovatif. Pemimpin mendorong para bawahannya untuk memakai imajinasi mereka dan untuk menantang cara melakukan sesuatu yang diterima oleh sistem sosial; (3) Inspirational motivation. Pemimpin menciptakan gambar jelas mengenai keadaan masa yang akan datang secara optimis dan dapat dicapai dan mendorong bawahan untuk meningkatkan harapan dan mengikatkan diri kepada visi; serta (4) Idealized influence. Pemimpin bertindak sebagai role model atau panutan. Ia menunjukkan keteguhan dan ketetapan hati dalam mencapai tujuan, mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk tindakannya dan menunjukkan percaya diri tinggi terhadap visinya.

Bass, sebagaimana dikutip Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 432) menyatakan tiga faktor yang menjelaskan kepemimpinan transformasional. 1) Karisma. Pemimpin dapat membangkitkan pemahaman tentang nilai, respek, dan kebanggaan, serta menyampaikan visi; 2) Perhatian individu.

xiv

Pemimpin memperhatikan kebutuhan para bawahannya dan memberikan proyek yang berguna supaya para bawahan tumbuh secara personal; 3) Menstimulasi intelektual. Pemimpin membantu para bawahan berpikir ulang cara-cara rasional dalam mengkaji situasi. Ia mendorong para bawahan menjadi kreatif (1) Charisma. The leader is able to instill a sense of value, respect, and pride and to articulate a vision. 2) Individual attention. The leader pays attention to followers’needs and assigns meaningful projects so that followers grow personally. 3) Intellectual stimulation. The leader helps followers rethink rational ways to examine a situation. He encourages followers to be creative). Dengan demikian, kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen, yaitu: kharisma, perhatian yang diindividualisasi, dan rangsangan intelektual. Kharisma dapat didefinisikan sebagai sebuah proses di mana seorang pemimpin mempengaruhi para bawahan dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Perhatian yang diindividualisasi termasuk memberikan dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan diri kepada bawahan. Rangsangan intelektual

adalah sebuah proses di mana para pemimpin meningkatkan kesadaran para bawahan terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para bawahan untuk memandang masalah-masalah dari prespektif yang baru.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pemimpin yang spesifik dalam mengarahkan bawahannya baik secara individu maupun kelompok dalam mencapai tujuan, yang nampak pada: tingkat kepercayaan diri, respek bawahan, kepiawaian dalam mengarahkan, keterbukaan dalam pengambilan keputusan, keluwesan dalam berkomunikasi, akuntabilitas terhadap semua kebijakan yang dilakukan.

3. Lingkungan Kerja (Work Environment)

Lingkungan kerja berkaitan dengan keberadaan sarana dan prasarana serta aspek sosial yang mendukung pekerja dalam melaksanakan pekerjaan. Para anggota organisasi atau pegawai yang terlibat dalam pekerjaan yang sama, berbagi tugas bersama, atau menghadapi pekerjaan yang sama memerlukan faktor lingkungan yang dapat mendukung kebersamaan mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh Evans (2005: 367) bahwa lingkungan kerja adalah semua kesempatan yang memungkinkan

xv

pegawai memberikan kontribusi untuk berkarya lebih produktif, aman, dan menyenangkan (all of these opportunities contribute to creating a more productive, safer, and more enjoyable in work environment).

Menurut Ivancevich (2010: 162), lingkungan kerja adalah kondisi tempat kerja, lokasi kerja, dan karakteristik lain yang relevan dengan tempat kerja seperti bahaya dan tingkat kebisingan (work environment describes the working condition of the job, the location of the job, and other relevant characteristics of the immediate work environment such as hazards and noise levels). Hal ini menunjukkan bahwa ada tiga unsur lingkungan kerja, yaitu: 1) gambaran tentang kondisi tempat kerja; 2) lokasi tempat kerja; dan 3) karakteristik yang relevan dengan tempat kerja, seperti tingkat bahaya/risiko dan tingkat kebisingan.

Mullins (2005: 530) menyatakan bahwa lingkungan kerja berupa seperangkat sarana dan prasarana, komunikasi, dan dukungan teknologi. Batasan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan tidak hanya berupa lingkungan fisik tetapi juga proses komunikasi dan dukungan teknologi.

Lingkungan kerja perlu diciptakan sedemikian rupa

sehingga mendukung anggota organisasi dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain lingkungan kerja harus secara potensial mendukung kekohesifan kelompok dalam melaksanakan pekerjaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja organisasi. Robbins (1998: 180) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi yang secara potensial mempengaruhi pegawai dalam bekerja dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi. Batasan ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja merupakan semua hal yang di luar batas organisasi namun memberikan dukungan bagi produktivitas organisasi. Lingkungan kerja berdampak pada perilaku anggota organisasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Feldman (1999: 487) menjelaskan bahwa lingkungan sarana dan prasarana secara signifikan mempengaruhi pegawai. Istilah lingkungan sarana dan prasarana dikenal dengan wilayah kerja atau teritorial.

Senada dengan pendapat di atas, Sallis (1993: 37) menyatakan bahwa ada dua faktor yang menentukan produktivitas kerja pegawai, yaitu lingkungan kerja dan motivasi para pegawai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa baik lingkungan sarana dan prasarana maupun

xvi

sosial yang kondusif dapat mempengaruhi produktivitas.

Selain produktivitas, McCormick dan Tiffin (1994: 465) menjelaskan bahwa aspek sarana dan prasarana berdampak pada kepuasan kerja dengan mensyaratkan faktor kondisi atmosfer yang meliputi suhu (temperature), kelembaban (humidity), sirkulasi udara (air flow), tekanan udara (barometric pressure), dan komposisi lingkungan (composition atmosphere).

Persepsi tentang lingkungan kerja memang bermacam-macam, Schermerhorn (1995: 408-409) mengemukakan bahwa ada dua macam lingkungan kerja, yaitu lingkungan umum dan lingkungan khusus. Lingkungan umum mencakup nilai-nilai kultural, kondisi ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum. Sedangkan lingkungan khusus berkaitan dengan posisi organisasi itu sendiri dalam upaya mengembangkan jaringan organisasinya. Batasan ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja dibagi menjadi lingkungan yang berkaitan dengan nilai dan kondisi serta lingkungan yang berkaitan dengan upaya organisasi dalam mengembangkan diri.

Pembagian mengenai lingkungan kerja juga dijelaskan oleh Franken (1992: 456), bahwa lingkungan kerja mempunyai dua

aspek penting, yaitu lingkungan sarana dan prasarana dan lingkungan psikologis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan kerja berupa sarana dan prasarana meliputi segala hal yang berkaitan dengan aspek sarana dan prasarana suatu lembaga mulai dari rancangan gedung sampai dengan lokasi, transportasi umum, dan fasilitas parkir. Sedangkan faktor psikologis adalah faktor-faktor yang berpengaruh secara psikologis pada pembentukan suatu faktor lingkungan yang terkait dengan kemampuan manusia sebagai pekerja.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan lingkungan kerja adalah keberadaan kelengkapan fisik, peralatan kerja, dan suasana yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, yang nampak pada: kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan kerja, kelengkapan alat teknologi informasi, kenyamanan suasana kerja, kenyamanan komunikasi antaranggota organisasi, dan kenyamanan komunikasi antara atasan dengan bawahan.

4. Motivasi Kerja (Work Motivation)Motivasi kerja pada

hakikatnya merupakan dorongan untuk bekerja yang dipicu oleh rangsangan dari luar atau timbul dari dalam diri seseorang melalui proses psikologis dan pemikiran

xvii

individu tersebut. Beberapa orang mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Mereka bergulat untuk mencapai prestasi pribadi, bukan sekedar untuk memperoleh ganjaran sukses semata, namun mereka memiliki hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik dan lebih efisien dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Dorongan itu adalah kebutuhan akan prestasi. Kebutuhan akan kekuasaan adalah hasrat untuk mempunyai pengaruh dan mengendalikan orang lain. Pribadi ini menikmati tantangan dan beban, bergulat untuk mempengaruhi orang lain, lebih menyukai bekerja dalam situasi kompetitif, dan berorientasi pada status, lebih cenderung peduli pada prestise dan memperoleh pengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya daripada menunjukkan kinerja yang efektif. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk disukai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Mereka dengan motivasi afiliasi yang tinggi berjuang keras untuk suatu persahabatan, lebih menyukai situasi korporatif daripada kompetitif, dan sangat mengiginkan hubungan yang melibatkan tingkat pemahaman timbal balik yang tinggi.

Menurut Sweeney dan McFarlin (2002: 85), motivasi merupakan proses yang menggunakan “pemicu” untuk

membangkitkan upaya pegawai dengan langkah-langkah perilaku ke arah pencapaian sasaran. (motivation as a proces that uses “triggers” to arouse employee effort along with steps to channel behavior toward achieving goals). Sementara itu, Campling et al. (2006: 387), menyatakan bahwa motivasi menunjukkan tingkat, arah, dan ketekunan upaya yang curahkan dalam bekerja (motivation accounts for level, direction, and persistence of effort expended at work).

Pendapat senada disampaikan Colquit, LePine, dan Wesson (2009: 178) bahwa motivasi kerja adalah seperangkat dorongan semangat yang menunjukkan arah, intensitas, dan ketekunan upaya kerja pegawai (motivation is a set of energetic forces that determine the direction, intensity, and persistence of an employee’s work effort).

George and Jones (2005: 175) menyatakan bahwa motivasi kerja dapat didefinisikan sebagai dorongan psikologis dalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku seseorang dalam organisasi, tingkat upaya, persistensi dalam menghadapi rintangan (work motivation can be defined as the psychological forces within a person that determine the direction of a person’s behaviour in an organization, effort level, and

xviii

persistence in the face of obstacles).

Bateman dan Snell (2007: 427) menyatakan bahwa motivasi kerja mengacu pada dorongan yang menyemangati, mengarahkan, dan menyokong upaya seseorang (motivation refers to forces that energize, direct, and sustain a person’s effort). Batasan-batasan di atas menunjukkan bahwa motivasi pada dasarnya merupakan dorongan yang mengarahkan seseorang untuk tekun berupaya mencapai tujuan. Ivancevich (2007: 304) menyatakan bahwa: motivasi adalah sikap dan nilai yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak yang berorientasi pada tujuan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua komponen motivasi kerja, yaitu: arah dan dorongan perilaku. Dengan demikian motivasi merupakan suatu konsep yang bersifat penjelasan yang sering digunakan untuk memahami perilaku yang diamati. Setiap usaha manajemen dalam meningkatkan kinerja individu dapat menggunakan teori motivasi. Ini sebagai hasil dari fakta bahwa motivasi memberikan perhatian pada perilaku, atau secara lebih spesifik perilaku yang diarahkan pada tujuan. Alasan utama mengapa perilaku pegawai berbeda-beda adalah bahwa tujuan dan kebutuhan orang bervariasi. Faktor-faktor sosial, kultural,

herediter, dan pekerjaan mempengaruhi tingkah laku. Untuk memahami motivasi, harus dipelajari mengenai kebutuhan pegawai yang semakin meningkat.

Gibson, James, dan Ivancevich (2006: 134) menyatakan bahwa setiap karyawan mempunyai banyak kebutuhan, namun ada yang terpenuhi dan ada yang tidak. Terhadap kebutuhan yang tidak terpenuhi, karyawan tersebut akan berusaha mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, karyawan tersebut akan melakukan tindakan atau perilaku yang mengarah pada tercapainya tujuan. Perilaku atau tindakan tersebut akan menghasilkan suatu prestasi yang selanjutnya akan dievaluasi, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum. Terhadap prestasi yang dihasilkan oleh seorang karyawan dilakukan penilaian oleh atasannya untuk memberikan imbalan atas keberhasilannya atau memberikan hukuman atas ketidakberhasilannya. Berdasarkan imbalan dan hukuman tersebut, karyawan akan menilai kembali kebutuhan yang tidak tercapai. Dalam suatu proses siklus motivasi, terdapat beberapa unsur, yaitu: (1) adanya keinginan, kebutuhan dan daya sejenisnya yang timbul dari dalam diri seseorang. Hal tersebut disebabkan adanya rangsangan

xix

dari dalam diri orang tersebut atau rangsangan yang berasal dari luar dirinya (eksternal); (2) keinginan dan kebutuhan ini mengarahkan perilaku untuk bertindak dengan cara tertentu atau paling tidak mengembangkan suatu kecenderungan perilaku tertentu bagi dirinya atau orang lain; (3) perilaku tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan mengurangi ketegangan yang timbul di dalam dirinya akibat keinginan atau kebutuhan yang belum terpuaskan; dan (4) tujuan tersebut merupakan arah atau sasaran dari suatu organisasi atau dirinya sendiri, yang apabila dapat dicapai, maka akan mengakibatkan adanya kepuasan.

Sementara itu Lewin dan Vroom (1999: 234), dengan teori ekpektansi, berasumsi bahwa: manusia meletakkan suatu nilai pada sesuatu yang diharapkan dari karyanya. Oleh sebab itu, manusia mempunyai urutan kesenangan (preference) di antara sejumlah hasil yang ia harapkan. Asumsi lain adalah bahwa suatu usaha untuk menjelaskan motivasi yang terdapat pada seseorang selain harus mempertimbangkan hasil yang dicapai, ia juga mempertimbangkan keyakinan bahwa yang dikerjakannya memberikan sumbangan terhadap tujuan yang diharapkannya. Berdasarkan asumsi di atas, Vroom menyatakan

bahwa intensitas usaha seseorang untuk melakukan sesuatu adalah fungsi nilai dan kegunaan dari setiap hasil yang mungkin dapat dicapainya dengan persepsi kegunaan suatu tindakan dalam upaya kerja mencapai hasil tersebut. Dalam hal ini harapan merupakan kadar keyakinan bahwa usaha kerja akan menghasilkan penyesaian tugas. Harapan dinyatakan sebagai kemungkinan prestasi kerja seseorang terhadap usaha kerja yang telah dilakukannya. Kebutuhan berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, dan bergulat untuk sukses. Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara tertentu, tanpa dipaksa orang tersebut tidak akan berperilaku demikian. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk membina hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.

Sementara itu ada pendapat yang bisa dikatakan kontrovesial yang disampaikan oleh Taylor (1991: 120-138), bahwa manusia sama dengan mesin (man as machine), selayaknya mesin produksi. Sifat mesin, manakala perangkat kerasnya bagus dan tetap disediakan bahan bakar atau tenaga pembangkit lain, akan tetap hidup. Lebih lanjut dijelaskan

xx

bahwa motivasi kerja manusia semata-mata muncul karena imbalan ekonomi, rasa takut lapar, dan dorongan ingin memiliki secara lebih banyak (fear hunger and desire for gain). Dengan demikian, manusia tidak dapat didekati semata-mata dengan konsep manajemen ilmiah yang lebih menekankan pada rasio usaha dengan hasil. Motivasi kerja seseorang tidak dapat dilihat dari satu dimensi saja, yaitu memenuhi kebutuhan fisik semata.

Argyris (1984: 230-235) berpendapat bahwa individu adalah organisme yang kompleks (complex organism) dan organisme tersebut dapat menimbulkan kekuatan kerja (working power) pada diri individu untuk membangkitkan kebutuhan di dalam dirinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua sistem nilai yang berkembang di dalam organisasi, yang karakteristiknya berbeda. Pertama, nilai-nilai dari birokrasi yang mendominasi praktik kerja keorganisasian. Kedua, nilai-nilai demokrasi yang berorientasi humanistik.

Menurut Bootzin, Bower, Zajonc, and Hall (1986: 681) mengatakan bahwa motivasi kerja mempengaruhi lamanya kita berada dalam organisasi, betapa bergantungnya kita dalam melakukan tugas, dan betapa inovatifnya kita dalam bekerja (work motivation affects how long we stay

with a company, how dependably we perform our duties, how innovative we are on the job).

Mowen (1981: 596-603) mengungkapkan motivasi kerja sangat mempengaruhi produktivitas kerja. Motivasi kerja yang tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi dan motivasi yang rendah akan menurunkan produktivitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja, yaitu: gaya kepemimpinan administrator, sikap individu, dan situasi. Kepemimpinan dengan gaya otoriter membuat pekerja menjadi tertekan dan tak acuh dalam bekerja. Sikap individu, karakteristik individu yang mendukung menurunnya motivasi adalah sikap tidak mau meraih prestasi baru, rasa cepat puas, dan lemah fisik. Karakteristik individu yang dahaga akan prestasi, tidak cepat puas, dan kuat fisik adalah karakteristik yang mendukung meningkatnya motivasi. Sedangkan situasi kerja, lingkungan kerja, jarak tempuh dan fasilitas yang tersedia dapat membangkitkan motivasi, jika persyaratan terpenuhi.

Gibson, et al. (2006: 190-193), menyatakan bahwa teori-teori motivasi kerja dapat diklasifikasikan baik sebagai teori kepuasan atau teori proses. Teori kepuasan memusatkan pada faktor-faktor di dalam individu yang menggiatkan,

xxi

mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku.

Motivasi kerja seorang pegawai biasanya merupakan hal yang rumit, karena hal ini melibatkan faktor-faktor individual dan organisasional. Gomes, sebagaimana dikutip Wang Muba (2008: 2), menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat individual di antaranya adalah kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan-kemampuan (abilities), sedangkan faktor-faktor organisasional antara lain: pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama karyawan (co-worker), pengawasan (supervision), pujian (praise), dan pekerjaan itu sendiri (job itself).

Teori tentang motivasi kerja disampakan oleh Herzberg (2009: 1-2) dalam teori Dua-Faktor Herzberg menyatakan bahwa komponen pertama dalam pendekatan ini meliputi apa yang dikenal sebagai faktor hygiene dan meliputi pekerjaan dan faktor lingkungan organisasi, yang meliputi: organisasi, kebijakan dan administrasinya, jenis supervisi, kondisi kerja, gaji, status, dan keamanan bekerja. Komponen kedua meliputi apa yang orang-orang lakukan dalam bekerja. Komponen ini disebut dengan motivator, meliputi: prestasi,

pengakuan, minat dalam tugas, tanggung jawab untuk tugas yang lebih berat, serta pertumbuhan dan kemajuan untuk tugas yang lebih tinggi. Certo (1997: 391) menjelaskan kepuasan kerja dengan Teori Dua-Faktor Herzberg (Two-Factor Theory Herzberg), memperlihatkan tingkatan atau derajat kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja yang ditunjukkan dari kinerja maksimal yang dilakukannya terhadap pekerjaannya berdasarkan dua faktor berbeda yang sangat berpengaruh. Dari tabel itu dapat diperjelas, ketidakpuasan pekerja terhadap pekerjaannya dipengaruhi oleh kebijakan dan administrasi organisasi yang membelenggunya dalam melaksanakan pekerjaan; adanya pengawasan yang membuat seseorang seolah sebagai pesakitan; hubungan yang tidak harmonis dengan pengawas; hubungan yang tidak menyenangkan di antara sesama pekerja; keadaan pekerjaan yang tidak menunjang pelaksanaan kerja; gaji atau upah yang tidak memadai; dan hubungan yang tidak harmonis antara atasan dengan bawahan. Sedangkan sebaliknya, kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh adanya peluang untuk berprestasi; atau adanya peluang atau kesempatan untuk diakui dan dikenal; pekerja melakukan pekerjaan atas inisiatif

xxii

diri; pekerja diberi tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya; adanya pemberian kesempatan untuk naik pangkat; adanya kesempatan untuk promosi jabatan baru; dan adanya kesempatan dalam pengembangan diri.

McGregor (1996: 134-156) menyatakan bahwa motivasi kerja manusia akan terdorong jika diberi tanggungjawab dan dihadapkan pada menggariskan bahwa di dalam proses kerjasama antara manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang signifikan atau tidak sedikit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa manusia modern bekerja semata-mata bukan karena takut, terancam, diarahkan, atau sebatas ingin memperoleh imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, yaitu: kebutuhan dan tuntutan untuk hidup, tugas pokok dan fungsi, dorongan berpartisipasi, kesadaran akan tujuan, suasana lingkungan yang sehat, dan terpenuhinya kebutuhan pribadi.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan motivasi kerja adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam berusaha mencapai standar kerja yang telah ditetapkan, yang nampak pada: bersemangat dalam bekerja, kegigihan untuk memperoleh sesuatu dari tempat kerja, menyukai pekerjaan dengan

tanggung jawab pribadi, harapan yang tinggi terhadap pekerjaan, keinginan mencapai standar kerja, dan keinginan untuk segera menyelesaikan tugas.

Kerangka Berpikir1. Pengaruh Langsung Gaya

Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja

Kepemimpinan seseorang dapat diketahui dari gaya kepemimpinannya. Dengan demikian, gaya kepemimpinan seseorang membedakan dirinya dengan pemimpin lain. Gaya kepemimpinan pada hakikatnya merupakan pola perilaku pemimpin yang spesifik dalam mengarahkan bawahannya baik secara individu maupun kelompok dalam mencapai tujuan. Gaya kepemimpinan seseorang dapat dilihat dari pola perilaku pemimpin dalam menciptakan hubungan pemimpin-bawahan, mengatur kejelasan struktur tugas, dan kewenangannya dalam pengangkatan, pemberhentian, pendisiplinan, promosi, dan peningkatan gaji.

Gaya kepemimpinan atasan berdampak pada dorongan pegawai untuk mengikuti pengarahannya atau bahkan menimbulkan rasa tertekan bagi pegawainya. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada kebutuhan pegawai akan berdampak pada

xxiii

motivasi pegawai untuk lebih giat bekerja, demikian pula sebaliknya.

Pemimpin yang dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai akan memotivasi kerja pegawai. Motivasi kerja pegawai pada hakikatnya merupakan dorongan pegawai untuk bekerja. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama perilaku pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya. Pemimpin yang dapat mendorong pegawai untuk bekerja lebih giat dengan cara menyelami kebutuhan pegawai akan dapat menimbulkan motivasi kerja pegawai. Demikian pula sebaliknya, pemimpin yang menjalankan gaya kepemimpinan yang otoriter tentu saja kurang disenangi oleh bawahannya. Akibatnya, motivasi kerja pegawai bukan berasal dari dalam diri, melainkan karena takut kepada pemimpinnya.

Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai.

2. Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja terhadap Motivasi Kerja

Lingkungan kerja pada dasarnya merupakan faktor yang mendukung pelaksanaan kerja pegawai. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan kelengkapan fisik, pekerjaan, dan suasana kerja. Kelengkapan fisik berupa ruang atau tempat bekerja, pekerjaan

berupa kelengkapan peralatan kerja, kelengkapan alat teknologi informasi, sedangkan suasana kerja berupa kenyamanan kerja, komunikasi antaranggota organisasi, dan komunikasi antara atasan dengan bawahan.

Lingkungan kerja biasanya diusahakan agar dapat mendukung pelaksaan kerja pegawai. Para pemimpin yang memperhatikan kondisi lingkungan kerja akan tidak kesulitan dalam membangun motivasi kerja pegawai. Hal ini penting karena lingkungan kerja yang mendukung upaya kerja akan memungkinkan pegawai untuk bekerja secara optimal. Dengan kata lain, lingkungan kerja yang kondusif akan memotivasi kerja pegawai. Motivasi kerja pada hakikatnya merupakan dorongan pegawai untuk bekerja yang dipicu oleh rangsangan dari luar atau timbul dari dalam dirinya melalui proses psikologis dan pemikiran individu tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja.

3. Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja

Gaya Kepemimpinan pada hakikatnya merupakan perilaku pemimpin yang menjadi karakteristiknya dalam menerapkan pola kepemimpinannya yang

xxiv

diyakini sesuai bagi bawahannya. Dengan demikian, setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.

Dalam menerapkan gaya kepemimpinannya, seorang pemimpin biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal pemimpin, demikian juga tuntutan terhadap tugas yang diembannya. Seorang pemimpin biasanya mempunyai keyakinan bahwa pola perilaku memimpinnya adalah yang terbaik bagi keberhasilan tugas yang diembannya. Tuntutan tugas inilah yang membuat seorang pemimpin yang diambil harus memilih gaya kepemimpinan yang sesuai.

Biasanya seorang pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang tidak statis tetapi justru dinamis disesuaikan dengan kebutuhan. Hal inilah yang berdampak pada persepsi bawahan terhadap atasannya. Persepsi pegawai terhadap atasannya berdampak pada rasa senang atau bahkan tidak senang. Gaya kepemimpinan atasan yang berorientasi pada kebutuhan bawahannya akan berdampak pada rasa senang bekerja, rasa dihargai, dan sikap positif lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan atasan sesuai dengan keinginan bawahan. Sedangkan gaya kepemimpinan atasan yang menekan bawahan

berakibat rasa tidak nyaman, rasa takut, dan sikap negatif lainnya. Hal ini berdampak pada ketidakpuasan kerja pegawai.

Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai.

4. Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja

Lingkungan kerja pada hakikatnya merupakan segala sesuatu yang mendukung pegawai dalam melaksanakan pekerjaan. Lingkungan kerja yang mendukung pelaksanaan pekerjaan akan berdampak positif terhadap kinerja pegawai. Demikian juga sebaliknya, lingkungan kerja yang menggangu pelaksanaan pekerjaan membuat pegawai tidak optimal dalam bekerja pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas kerja dan bahkan membuat pegawai menjadi stres kerja.

Lingkungan kerja yang memadai bagi pegawai untuk bekerja menimbulkan rasa nyaman, rasa senang, dan persepsi yang baik lainnya. Hal ini akan mendorong pegawai mempunyai penilaian positif terhadap pekerjaannya.

Penilaian pegawai terhadap pekerjaannya yang berdampak pada rasa bangga, rasa nyaman, dan bahkan rasa puas menunjukkan bahwa pegawai tersebut memperoleh kepuasan

xxv

kerja. Hal ini dimungkinkan berkat dukungan lingkungan kerja yang memadai. Pegawai yang membutuhkan suasana kerja yang nyaman, terhindar dari kebisingan dan didukung oleh peralatan serta suasana kerja yang kondusif memungkinkan ia dapat melaksanakan pekerjaan secara optimal. Dengan kata lain, pegawai memperoleh kepuasan kerjanya.

Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai.

5. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja

Motivasi kerja pada dasarnya dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam berusaha mencapai standar kerja yang telah ditetapkan. Motivasi kerja seorang pegawai terlihat dari semangat dalam bekerja, kegigihan untuk memperoleh sesuatu dari tempat kerja, menyukai pekerjaan dengan tanggungjawab pribadi, harapan yang tinggi terhadap pekerjaan, keinginan mencapai standar kerja, dan keinginan untuk segera menyelesaikan tugas.

Motivasi kerja mempengaruhi produktivitas kerja. Dengan kata lain, motivasi kerja yang tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi, begitu juga sebaliknya. Pegawai yang dapat mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi akan berdampak secara psikologis,

seperti rasa puas, lega, dan senang. Hal ini akan memicu kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja merupakan penilaian pegawai terhadap pekerjaannya. Pegawai yang termotivasi kerjanya akan dapat menikmati pekerjaannya dengan baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa pegawai mencapai kepuasan kerjanya.

Berdasarkan uraian di atas, diduga motivasi kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja.

6. Pengaruh Tidak Langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Melalui Motivasi Kerja

Gaya kepemimpinan merupakan perilaku karakteristik pemimpin dalam mengarahkan bawahannya guna mewujudkan tujuan organisasi. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda yang diyakini sebagai cara yang tepat dalam mengarahkan bawahannya. Setiap pemimpin mempunyai keinginan agar gaya kepemimpinan yang diterapkan dapat mendorong bawahannya untuk bekerja lebih baik. Hal ini dimungkinkan bila gaya kepemimpinan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan bawahannya. Oleh karena itu, penerapan gaya kepemimpinan biasanya memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan organisasi dan para bawahannya. Penerapan gaya kepemimpinan

xxvi

yang hanya diyakini oleh pemimpin tanpa memperhatikan kebutuhan organisasi dan para bawahannya akan menyulitkan pemimpin itu sendiri.

Pegawai yang termotivasi kerjanya memang dapat juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya. Kesesuaian kebutuhan pegawai dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan atasannya dapat mendorong pegawai untuk giat bekerja. Hal ini juga pada akhirnya akan berdampak pula pada kepuasan kerjanya. Dengan demikian, gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai akan mendorong secara tidak langsung kepuasan kerja pegawainya.

Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh tidak langsung langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja.

7. Pengaruh Tidak Langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja Melalui Motivasi Kerja

Lingkungan kerja pada hakikatnya merupakan kondisi, lokasi, dan faktor-faktor lain yang relevan dengan suasana yang dibutuhkan pegawai dalam bekerja. Oleh karena itu lingkungan kerja harus sesuai dengan kebutuhan pegawai. Hal ini akan membantu pegawai dalam melaksanakan

pekerjaan dengan baik optimal. Lingkungan kerja yang kondusif akan mendorong pegawai untuk bekerja secara nyaman dan tanpa gangguan yang berarti. Dengan kata lain, lingkungan kerja yang kondusif akan memotivasi kerja pegawai.

Sedangkan pegawai yang termotivasi kerja akan dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti rasa puas, bangga, dan perasaan positif lainnya. Dengan kata lain, pegawai memperoleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja pegawai pada hakikatnya merupakan penilaian pegawai terhadap pekerjaan yang menyenangkan. Hal ini akan terwujud bila pegawai tersebut memiliki motivasi kerja yang tinggi. Rasa senang bekerja didukung oleh motivasi kerja yang tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja.

Hipotesis Penelitian1. Terdapat pengaruh

langsung gaya kepemimpinan Kepala Dinas terhadap motivasi kerja pegawai.

2. Terdapat pengaruh langsung lingkungan kerja terhadap motivasi kerja pegawai.

xxvii

3. Terdapat pengaruh langsung gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pegawai.

4. Terdapat pengaruh langsung lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja pegawai.

5. Terdapat pengaruh langsung motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai.

6. Terdapat pengaruh tidak langsung gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai.

7. Terdapat pengaruh tidak langsung lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja.

Gambar 2 Model HipotetikKeterangan:X1: Gaya kepemimpinanX2: Lingkungan KerjaX3: Motivasi KerjaX4: Kepuasan Kerja

METODOLOGI PENELITIANSecara umum, penelitian ini

bertujuan untuk membuktikan pengaruh gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, dan motivasi kerja

terhadap kepuasan kerja pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, baik langsung maupun tidak langsung. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai bulan Januari sampai dengan Maret 2009. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik kausal. Sedangkan data dianalisis dengan analisis jalur (path analysis). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai Golongan III yang berjumlah 135 orang yang berada di Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Simple Random Sampling. Teknik ini untuk memperoleh sampel sebanyak 100 pegawai golongan III/c dari jumlah sampling frame sebanyak 129 pegawai. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian berbentuk angket. Skala yang digunakan untuk variabel Gaya Kepemimpinan, Lingkungan Kerja, dan Motivasi Kerja Pegawai adalah Rating Scale yang memiliki lima kategori pilihan jawaban, yaitu: (a) selalu; (b) sering; (c) kadang-kadang; (d) jarang; dan (e) tidak pernah. Sedangkan skala yang digunakan untuk variabel Kepuasan Kerja Pegawai adalah Likert Scale yang memiliki lima kategori pilihan jawaban, yaitu: (a) sangat setuju; (b) setuju; (c) netral; (d) tidak setuju; dan (e) sangat tidak setuju. Alternatif jawaban diberi bobot nilai 5 sampai dengan 1 untuk pernyataan positif, dan bobot nilai 1 sampai dengan 5 untuk pernyataan

xxviii

X1

X3 X4

X2

negatif. Instrumen diujicoba terlebih dahulu sebelum dipergunakan dalam penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data secara deskriptif dan inferensial. Program yang digunakan adalah paket Data Analysis yang terdapat pada Microsoft Excel dan SPSS. Dengan demikian model struktural analisis jalur adalah sebagai berikut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengujian Hipotesis dan Pembahasan

Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dan pembahasan lebih lanjut, terdapat beberapa langkah dalam penentuan dan pengujian koefisien jalur pada analisis jalur (path analysis), meliputi: (1) penentuan koefisien korelasi antarvariabel dalam model struktural; (2) penentuan dan pengujian signifikansi koefisien jalur pada masing-masing substruktur yang terdapat dalam model struktural; dan (3) penentuan besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam model struktural disajikan ulang pada Gambar 3.

Gambar 3 Pengaruh Kausal antara Variabel X1, X2, X3, dan X4

Matriks korelasi antarvariabel dalam model struktural sebagaimana disajikan pada Gambar 3, dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam tabel ini seluruh koefisien korelasi antarvariabel bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antarvariabel dalam model struktural sebagaimana tampak dalam Gambar 4. Di samping itu, seluruh nilai koefisien korelasi tersebut signifikan pada α = 0,01

Tabel 1 Matriks Korelasi Antarvariabel

Keterangan: Seluruh koefisien korelasi signifikan pada α = 0,01

Model struktural yang disajikan pada Gambar 4. terdiri atas dua substruktur, yaitu Substruktur-1 dan

xxix

Variabel X1 X2 X3 X4

X1 1,000 0,397 0,696 0,745X2 0,397 1,000 0,621 0,709X3 0,696 0,621 1,000 0,839X4 0,745 0,709 0,839 1,000

p41

p42

p43

p31

p32

X1

X3 X4

X2

Substruktur-2. Pengaruh kausal dalam Substruktur-1 ada pada Gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh Kausal pada Substruktur-1

Pengaruh kausal antarvariabel pada Substruktur-1 terdiri atas sebuah variabel endogen, yaitu X3 dan dua variabel eksogen, yaitu X1 dan X2. Matriks koefisien korelasi antarvariabel eksogen pada Substruktur-1 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Matriks Koefisien Korelasi Antarvariabel Eksogen

pada Substruktur-1

Korelasi X1 X2

X1 1,000 0,397X2 0,397 1,000

Berdasarkan matriks korelasi antarvariabel eksogen, sebagaimana disajikan pada Tabel 2 selanjutnya ditentukan matriks invers korelasi. Penentuan matriks invers korelasi antarvariabel eksogen pada Substruktur-1 dilakukan dengan menggunakan fasilitas matematika

pada Microsoft Excel. Hasil penentuan matriks invers korelasi antarvariabel eksogen tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Matriks Invers Korelasi Antarvariabel Eksogen

pada Substruktur-1

Invers Korelasi X1 X2

X1 1,187 -0,471X2 -0,471 1,187

Setelah diperoleh matriks korelasi dan matriks invers korelasi antarvariabel eksogen pada Substruktur-1, selanjutnya dapat dilakukan penghitungan masing-masing koefisien jalur (pji) dengan mengalikan matriks invers korelasi dan matriks korelasi antara variabel eksogen dan endogen pada Substruktur-1. Hasil penghitungan koefisien jalur pada Substruktur-1 disajikan pada Tabel 4.dan Gambar 5.

Tabel 4. Nilai Koefisien Jalur pada Substruktur-1

Jalur Koefisien Jalur

Nilai Koefisien

Jalur

X3X1

X3X2

p 31

p 32

0,530,41

Koefisien determinasi pada Substruktur-1, yaitu R2

X3X1X2 = 0,63. Hal

xxx

p31

p32

X1

X3 X4

X2

ini berarti bahwa variasi perubahan Gaya Kepemimpinan (X1) dan Lingkungan Kerja

(X2) secara bersama-sama dapat menjelaskan 0,63 variasi perubahan dalam variabel Motivasi Kerja Pegawai (X3). Pengaruh variabel lain terhadap variabel Motivasi Kerja Pegawai, yaitu p3ε1 = 0,61. Hal ini menunjukkan bahwa selain ketiga variabel tersebut terdapat variabel lain yang berpengaruh terhadap Motivasi Kerja Pegawai dengan pengaruh sebesar 0,38.

Gambar 5 Koefisien Jalur pada Substruktur-1

Uji keseluruhan atau uji F terhadap koefisien jalur pada Substruktur-1 menghasilkan Fhitung = 80,99. Sementara, Ftabel = F0.01;2;97 pada Substruktur-1 sebesar 4,83. Dengan demikian Fhitung > F0.05;2;97. Oleh karena itu, Ho : p31 = p32 = 0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variasi variabel X1 dan X2 secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel X3. Dengan demikian, dapat

dilanjutkan pada uji individu atau uji t. Hasil penghitungan uji t disajikan pada Tabel 5. Dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai thitung semua koefisien jalur Substrukur-1 lebih besar dari ttabel = t0.01;97. Dengan demikian, semua koefisien jalur Substruktur-1 adalah signifikan atau berbeda nyata dengan nol. Tabel 5 Hasil Uji Individu Koefisien Jalur pada Substruktur-1

Selanjutnya, pengaruh kausal dalam Substruktur-2 disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6 Pengaruh Kausal pada Substruktur-2

Pengaruh kausal antarvariabel pada Substruktur-2 terdiri atas sebuah variabel endogen, yaitu X4 dan tiga variabel eksogen, yaitu X1, X2, dan X3. Matriks koefisien korelasi antarvariabel

xxxi

Jalur KoefJalur thitung

ttabel

Hasil Ujit0.05;97 t0.01;97

X3X1

X3X2

0,530,41

7,886,04

1,981,98

2,632,63

SignifikanSignifikan

0,53

0,41

X1

11X1111111111111111111111111

X3 X4

X2p41

p42

p43

X1

X3 X4

X2

eksogen pada Substruktur-2 terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Matriks Koefisien Korelasi Antar variabel

Eksogen pada Substruktur-2

Berdasarkan matriks koefisien korelasi antarvariabel eksogen, sebagaimana disajikan pada Tabel 6 selanjutnya ditentukan matriks invers korelasi. Penentuan matriks invers korelasi antarvariabel eksogen pada Substruktur-2 dilakukan dengan menggunakan fasilitas matematika pada Microsoft Excel. Hasil penentuan matriks invers korelasi antarvariabel eksogen tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Matriks Invers Korelasi Antarvariabel Eksogen

pada Substruktur-2

Invers Korelasi X1 X2 X3

X1 1,947 0,112 -1,425

X2 0,112 1,634 -

1,092X3 -1,425 -1,092 2,670

Setelah diperoleh matriks korelasi dan matriks invers korelasi antarvariabel eksogen pada Substruktur-2, selanjutnya dapat dilakukan penghitungan masing-masing koefisien jalur (pji) dengan mengalikan matriks invers korelasi dan matriks korelasi antara variabel eksogen dan endogen pada Substruktur-2.

Tabel 8 Nilai Koefisien Jalur pada Substruktur-2

Jalur Koefisien Jalur

Nilai Koefisien

JalurX4X1 p 41 0,34X4X2 p 42 0,33X4X3 p 43 0,40

Hasil penghitungan koefisien jalur pada Substruktur-2 disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 7.

xxxii

Korelasi x1 X2 X3

X1 1,000 0,397 0,696X2 0,397 1,000 0,621X3 0,696 0,621 1,000

0,34

0,33

0,40

X1

X3 X4

X2

Gambar 7 Koefisien Jalur pada Substruktur-2

Koefisien determinasi pada Substruktur-2, yaitu R2

X4X1X2X3 = 0,82. Hal ini berarti bahwa variasi perubahan Gaya Kepemimpinan (X1), Lingkungan Kerja (X2), dan Motivasi Kerja Pegawai (X3) secara bersama-sama dapat menjelaskan 0,82 variasi perubahan dalam variabel Kepuasan Kerja Pegawai (X4). Pengaruh variabel lain terhadap variabel Kepuasan Kerja Pegawai, yaitu p4ε2 = 0,42. Hal ini menunjukkan bahwa selain ketiga variabel tersebut terdapat variabel lain yang berpengaruh terhadap Motivasi Kerja Pegawai dengan pengaruh sebesar 0,18.

Uji keseluruhan atau uji F terhadap koefisien jalur pada Substruktur-2 menghasilkan Fhitung = 223,13. Sementara, Ftabel = F0.01;2;96 pada Substruktur-2 sebesar 3,99. Dengan demikian Fhitung > F0.05;2;97. Oleh karena itu, Ho : p41 = p42 = p43 = 0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variasi variabel X1 X2, dan X3 secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel X4. Dengan demikian, dapat dilanjutkan pada uji individu atau uji t. Tabel 9 Hasil Uji Individu Koefisien Jalur pada Substruktur-2

Jalur

Koefisien Jalur thitung

ttabel

Hasil Ujit0.05;96 t0.01;96

X4X1 0,34 5,70 1,98 2,63 SignifikanX4X2 0,33 5,95 1,98 2,63 Signifikan

5,79 1,98 2,63 Signifikan Hasil penghitungan uji t disajikan pada Tabel 9 Dalam Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai thitung semua koefisien jalur Substruktur-2 lebih besar dari ttabel = t0.01;96. Dengan demikian, semua koefisien jalur Substruktur-2 adalah signifikan atau berbeda nyata dengan nol.

Berdasarkan hasil penghitungan analisis jalur pada Substruktur-1 dan Substruktur-2 diperoleh nilai-nilai koefisien jalur yang menunjukkan hubungan kausal dalam model struktural yang dianalisis sebagaimana disajikan pada Gambar 4.10. Sebagaimana telah dikemukakan, seluruh koefisien jalur dalam model struktural tersebut adalah signifikan.

Gambar 8 Koefisien Jalur dalam Model Struktural Pengaruh

Antarvariabel Berdasarkan Hasil Penghitungan Analisis Jalur

Hasil penghitungan koefisien jalur digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dan mengukur pengaruh baik langsung maupun tidak langsung

xxxiii

0,34

0,33

0,400,53

0,41

X1

X3 X4

X2

variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam model struktural. Penarikan kesimpulan hipotesis dilakukan melalui penghitungan nilai Statistik t masing-masing koefisien jalur, dengan ketentuan jika thitung > ttabel

maka koefisien jalur signifikan dan sebaliknya jika thitung < ttabel maka koefisien jalur tidak signifikan.

Pengujian Hipotesis1. Hipotesis 1

Terdapat Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan (X1) Terhadap Motivasi Kerja Pegawai (X3) Hasil penghitungan mendapatkan bahwa koefisien jalur X1 ke X3 (p31) sebesar 0,53 dengan thitung = 7,88. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (7,88) > ttabel (2,63), maka koefisien jalur sangat signifikan. Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh langsung positif Gaya Kepemimpinan terhadap. Motivasi Kerja Pegawai secara nyata.

2. Hipotesis 2Terdapat Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja (X2) Terhadap Motivasi Kerja Pegawai (X3)

Hasil penghitungan mendapatkan bahwa koefisien jalur X2 ke X3 (p32) sebesar 0,41 dengan thitung = 6,04. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (6,04) > ttabel (2,63), maka koefisien jalur sangat signifikan. Dengan demikian terbukti bahwa

terdapat pengaruh langsung positif Lingkungan Kerja terhadap Motivasi Kerja Pegawai secara nyata.

3. Hipotesis 3Terdapat Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan (X1) Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai (X4)

Hasil penghitungan mendapatkan bahwa koefisien jalur X1 ke X4 (p41) sebesar 0,34 dengan thitung = 5,70. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (5,70) > ttabel (2,63), maka koefisien jalur sangat signifikan. Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh langsung positif Gaya kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Pegawai secara nyata.

4. Hipotesis 4Terdapat Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja (X2) Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai (X4)

Hasil penghitungan mendapatkan bahwa koefisien jalur X2 ke X4 (p42) sebesar 0,33 dengan thitung = 5,95. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (5,95) > ttabel (2,63), maka koefisien jalur sangat signifikan.

Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh langsung positif Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja Pegawai secara nyata.

5. Hipotesis 5Terdapat Pengaruh Langsung Motivasi Kerja Pegawai (X3)

xxxiv

Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai (X4)

Hasil penghitungan mendapatkan bahwa koefisien jalur X3 ke X4 (p43) sebesar 0,40 dengan thitung = 5,79. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (5,79) > ttabel (2,63), maka koefisien jalur sangat signifikan.

Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh langsung positif Motivasi Kerja Pegawai terhadap Kepuasan Kerja Pegawai secara nyata.

6. Hipotesis 6Terdapat Pengaruh Tidak Langsung Gaya Kepemimpinan (X1) Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai (X4) Melalui Motivasi Kerja Pegawai (X3)

Hasil penghitungan dengan menggunakan perangkat lunak Lisrel 8.80 (Student Edition) bahwa koefisien jalur X1 terhadap X4

melalui X3 (p41.3) sebesar 0,47 dengan thitung = 4,51. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (4,51) > ttabel (2,63), maka koefisien jalur sangat signifikan. Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh tidak langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Pegawai melalui Motivasi Kerja Pegawai secara nyata.

7. Hipotesis 7Terdapat Pengaruh Tidak Langsung Lingkungan Kerja (X2) Terhadap Kepuasan Kerja

Pegawai (X4) Melalui Motivasi Kerja Pegawai (X3)

Hasil penghitungan dengan menggunakan perangkat lunak Lisrel 8.80 (Student Edition) bahwa koefisien jalur X2 terhadap X4

melalui X3 (p42.3) sebesar 0,41 dengan thitung = 4,47. Pada α = 0,01 diperoleh ttabel = 2,63. Karena nilai thitung (4,47) > ttabel (2,63) maka koefisien jalur sangat signifikan.

Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh tidak langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja Pegawai melalui Motivasi Kerja Pegawai secara nyata.

Berdasarkan hasil analisis dan uji statistik terhadap hipotesis yang diajukan, dapat dirangkumkan hasil pengujian untuk setiap hipotesis sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10.

xxxv

Tabel 10 Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Pegawai sebesar 0,28. Sementara, pengaruh langsung Lingkungan Kerja terhadap Motivasi Kerja Pegawai sebesar 0,17. Pengaruh variabel-

variabel lain terhadap Motivasi Kerja Pegawai sebesar 0,37.

Berdasarkan hasil penghitungan dan pengujian koefisien jalur pada Gambar 4.10 dapat diinterpretasikan besar pengaruh langsung variabel eksogen terhadap variabel endogen. Penentuan besar pengaruh langsung variabel eksogen terhadap variabel

xxxvi

No. Hipotesis Uji Statistik Keputusan Ho Kesimpulan

1.Terdapat pengaruh langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Pegawai

Ho: ρ31 = 0H1: ρ31 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

langsung

2.Terdapat pengaruh langsung Lingkungan Kerja terhadap Motivasi Kerja Pegawai

Ho: ρ32 = 0H1: ρ32 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

langsung

3.Terdapat pengaruh langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Pegawai

Ho: ρ41 = 0H1: ρ41 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

langsung

4.Terdapat pengaruh langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja Pegawai

Ho: ρ42 = 0H1: ρ42 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

langsung

5.

Terdapat pengaruh langsung Motivasi Kerja Pegawai terhadap Kepuasan Kerja Pegawai

Ho: ρ43 = 0H1: ρ43 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

langsung

6.

Terdapat pengaruh tidak langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Pegawai melalui Motivasi Kerja Pegawai

Ho: ρ413 = 0H1: ρ413 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

tidak langsung

7.

Terdapat pengaruh tidak langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja Pegawai melalui Motivasi Kerja Pegawai

Ho: ρ423 = 0H1: ρ423 > 0 Ho ditolak Berpengaruh

tidak langsung

endogen dapat dilihat pada Lampiran 10.1.

Hasil penelitian membuktikan bahwa besar pengaruh langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepauasan Kerja Pegawai adalah 0,12; besar pengaruh Lingkungan Kerja terhadap kepuasan Kerja Pegawai adalah 0,11; dan besar pengaruh Motivasi Kerja Pegawai terhadap Kepuasan Kerja Pegawai adalah 0,17.

Selain itu, hasil penelitian juga membuktikan bahwa Gaya Kepemimpinan di samping berpengaruh langsung, juga menunjukkan pengaruh tidak langsung terhadap Kepuasan Kerja Pegawai melalui Motivasi Kerja Pegawai. Pengaruh tidak langsung Gaya Kepemimpinan melalui Motivasi Kerja Pegawai terhadap Kepuasan Kerja Pegawai adalah sebesar 0,22. Dengan demikian, pengaruh total Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Pegawai, baik langsung maupun tidak langsung adalah sebesar 0,34.

Sama halnya dengan Gaya Kepemimpinan, hasil penelitian juga membuktikan bahwa di samping berpengaruh langsung terhadap Kepuasan Kerja Pegawai, Lingkungan Kerja juga berpengaruh tidak langsung terhadap Kepuasan Kerja Pegawai melalui Motivasi Kerja Pegawai. Pengaruh tidak langsung Lingkungan Kerja melalui Motivasi Kerja Pegawai terhadap Kepuasan Kerja Pegawai adalah sebesar 0,17. Dengan demikian, pengaruh total Lingkungan

Kerja terhadap Kepuasan Kerja Pegawai, baik langsung maupun tidak langsung adalah sebesar 0,28. Model struktural akhir pengaruh antarvariabel hasil pengujian hipotesis disajikan dalam Gambar 9.

Gambar 9. Koefisien Jalur dan Besar Pengaruh Variabel

Eksogen terhadap Variabel Endogen

Keterangan: Koefisien jalur pengaruh langsung terdiri atas: 0,53; 0,41; 0,34; 0,33; dan 0,84Koefisien jalur pengaruh tidak langsung (TL) terdiri atas: 0,47 dan 0,41

Koefisien korelasi terdiri atas: (0,70); (0,62); (0,74); (0,71); dan (0,84)

xxxvii

TL 0,41

TL 0,47 0,53 (0,70)

0,34 (0,74)

0,33 (0,71)

0,40 (0,84)

0,41(0,62)

X1

X3 X4

X2

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan analisis terhadap

hasil penelitian tentang pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat disimpulkan bahwa: 1) terdapat pengaruh langsung positif gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai; 2) terdapat pengaruh langsung positif lingkungan kerja terhadap motivasi kerja pegawai; 3) terdapat pengaruh langsung positif gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pegawai; 4) terdapat pengaruh langsung positif lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja pegawai; dan 5) terdapat pengaruh langsung positif motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai.

Selain itu, hasil analisis data juga menyimpulkan, bahwa: 1) terdapat pengaruh tidak langsung positif gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai; dan 2) terdapat pengaruh tidak langsung positif lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variasi dalam kepuasan kerja pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta secara positif dipengaruhi langsung dan tidak langsung oleh variasi dalam motivasi kerja, gaya kepemimpinan, dan lingkungan kerjanya.

Implikasi Berdasarkan kesimpulan di atas,

maka hasil penelitian dapat memiliki implikasi kepada implikasi teoritik, implikasi kebijakan dan implikasi penelitian.

Implikasi Teoritik Penelitian ini memberikan dampak terhadap perkembangan khasanah teoritik sehingga memperkaya generalisasi tentang berbagai kausal keempat variabel, yaitu Gaya Kepemimpinan, Lingkungan Kerja, Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja. Sesuai dengan teori yang diverifikasi melalui analisis jalur.

Implikasi Kebijakan Meminimalkan variasi yang terjadi pada kepuasan kerja dapat melalui pertimbangan pengambilan kebijakan berdasarkan ketiga variabel seperti gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, dan motivasi kerja. Kebijakan-kebijakan tentang menjadikan lingkungan kerja yang lebih kondusif, motivasi kerja yang lebih mandiri, serta gaya kepemimpinan yang lebih bijak dapat mengarah kepada kepuasan kerja karyawan yang diharapkan.Implikasi Riset Oleh karena penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka penelitian lebih lanjut masih perlu dikembangkan, untuk implikasi penyempurnaan melalui riset yang lebih komporehensif berdasarkan pada temuan-temuan dari derertasi in

xxxviii

SaranBerdasarkan kesimpulan dan

implikasi di atas, dapat dikemukakan beberapa saran bagi perwujudan dan peningkatan kepuasan kerja pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, sebagai berikut.1. Hendaklah Kepala

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta senantiasa menerapkan gaya kepemimpinan dengan memperhatikan kompetensi dan komitmen pegawai. Penerapan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pegawai ini ternyata berpengaruh positif terhadap motivasi kerja dan kepuasan kerja pegawai. Selain itu, Kepala Dinas perlu memperhatikan lingkungan kerja pegawai karena hal ini juga berpengaruh positif terhadap .motivasi kerja dan kepuasan kerja pegawai.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menerapkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pegawai adalah dengan memperhatikan kebutuhan dan harapan pegawai. Perhatian yang dilakukan pemimpin terhadap para pegawai berdampak positif terhadap motivasi kerja dan kepuasan kerjanya.

2. Seharusnya pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat bekerja lebih efeklif dan efisien karena hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya

kepemimpinan yang diterapkan atasan dapat diterima sebagian besar pegawai. Demikian juga lingkungan kerja yang tersedia sangat memadai. Dukungan gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja yang kondusif terbukti berdampak positif terhadap motivasi kerja dan kepuasan kerja pegawai. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pegawai untuk tidak terdorong motivasi kerja dan kepuasan kerjanya.

Upaya peningkatan kompetensi pegawai dapat dilakukan oleh masing-masing pegawai melalui peningkatan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan serta komunikasi. Pemahaman terhadap kompetensi diri akan mendorong setiap pegawai menjadi individu yang efektif dalam berperilaku dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik.

3. Sebaiknya para peneliti di bidang pendidikan dan sumber daya manusia melakukan kajian lebih lanjut mengenai variabel-variabel lain yang berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja. Hal ini perlu dilaksanakan mengingat bahwa masih banyak variabel lain yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

xxxix

DAFTAR PUSTAKA

Argyris, Chris. Integrating The Individual and The Organization. New York: John Wiley and Sons, 1984.

Bacal, Robert. Performance Management, terjemahan Surya Dharma dan Yanuar Irawan. Jakarta: Gramedia. 2002.

Bachrudin, A. & Harapan L.T. Analisis Data untuk Penelitian Survey dengan Menggunakan LISREL 8. Bandung: Jurusan Statistik FMIPA Unpad, 2003.

Bateman, Thomas S. and Scott A. Snell. Management: Leading & Collaborating in a Competitive World. New York: McGraw-Hill/Irwin, 2007.

Bootzin, Richard R. Gordon H. Bower, Robert B. Zajonc, Elizabeth Hall, Psychology Today. New York: Random House, 1986.

Campling, John et al., Management : 2nd Asia-Pacific Edition. Sydney: John Wiley & Sons Australia, Ltd., 2006.

Canadian Association of Student Activity Advisors (CASAA), Leadership Style, 2000. http://www.sentex.net/~cassa/ resources/sourcebook /student- leadership/leadership-styles.htm.

Certo, Samuel C. Modem Management: Diversity, Quality, Ethics, and The Global Environment. New Jersey: Prentice-Hall International, 1997.

Cherington, David. Organizational Behavior. Boston: Allyn & Bacon 1989.

Chourmain, M. A. S. Imam, Acuan Normatif Penelitian untuk Penulisan Skripsi, Tesis, & Disertasi. Jakarta: Al-Haramain Publishing House, 2008.

________. Metode Penelitian Dengan Analisis Jalur (Metode Path Analysis):

xl

Jakarta: Pustaka Keluarga, 2007

Colquitt, Jason A., Jeffery A. Le Pine, and Michael J. Wesson, Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: McGraw-Hill/Irwin, 2009.

Cunningham, William G. and Paula A. Cordeiro. Educational Leadership. New York: Pearson Education, Inc., 2003.

Cushway, Bam. Manajemen Sumber Daya Manusia, terjemahan oleh Paloepi Tyas Rahadjeng. Jakarta : PT Gramedia. 1996.

Daley, Dennis M. Strategic Human Resource Management. New Jersey: Prentice Hall. 2002.

Deal, Terrence E and Allan Kennedy. The New Corporate Culture. New York: Perseus Publishing. 1999.

Draft, Richard L. Management. Jakarta: Salemba Empat. 2007.

Drucker, Peter M. People and Performance. Woburn: Butterworth-Heneimann. 2001.

Evans, James R. Total Quality: Management, Organization, and Strategy. Canada: South-Western Thomson, 2005.

Feldman, Robert S. Adjustment Applying Psychology in a Complex World. New York: McGraw-Hill Book Company, 1999.

Franken, Robert E. Human Motivation. California: Brooks Publishing Company, 1992.

George Jennifer M. and Gareth R. Jones. Understanding and Managing Organizational Behavior. New Jersey: Prentice Hall, 2005.

Gibson , James L., John M. Ivancevich, and James H. Jr. Donnelly. Fundamental of Management. Texas:

xli

Business Publications, Inc. 1985.

Gibson, James L. et al. Organization: Behavior Structure Processes. New York: McGraw-Hill, 2009.

Gibson, James L., Donelly James, and John Ivancevich. Organizations. New York: McGraw Hill. 2006.

Griffin, Ricky W. Management. Boston: Houghton Miffin. 1987.

Gunawan, Waktu Kerja Produktif PNS, Harian Umum Sore Sinar Harapan, Kamis, 1 Februari 2007.

Hardesky JJ. L. Total Quality Management Handbook. New York: McGraw-Hill, Inc. 2000.

Harijogja. Hasil Sidak. 290 Pegawai DKI Bolos di Hari Pertama Paskalebaran. 2008. http://www. IndonesiaOntime.com.

Herzberg, Frederick. Human Relation Contribution, 2009. http://www.accel-

team.com/human_ relations/hrels_05_herzberg.html.

_______. Work Motivation. 2002. http://www. geocities. com /Athens /Forum /1650/htmlherzberg. Html.

Hitt, Michael A. R., Duane Ireland, dan Robert E. Hoskisson. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi, terjemahan Armand Hediyanto. Jakarta: Erlangga. 1997.

Iman, Nofie. PNS:Benarkah Sumber Masalah di Negeri Kita ini? 2008 .http://nofieiman.com /2008/08/pns-sumber -masalah-negeri-ini/

Ivancevich, John M. Human Resource Management. New York: McGraw Hill, 2010.

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, and Michael T. Matteson, Organizational Behavior and Management. New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2008.

xlii

Jones, Gareth. Organizational Theory. Massachusetts: Addison Wesley. 1995.

Kakabadse, Andrew, John Bank, and Susan Vinnicombe. Working in Organizations. New York: Penguin. 2005.

Kast, Fremont E. and James E. Rosenzweig. Organization and Management: A Systems and Contingency Approach. New York: Grow-Hill Book Company. 1986.

Kleiman, Lawrence S. Human Resource Management: A Tool for Competitive Advantage. Minneapolis: West Publishing Company, 1997.

Kreitner, Robert and Angelo Kinicki. Organizational Behavior. Homewood: Richard Irwin. 1992.

Lam, Chak Fu and Suzanne T. Gurland. “Self-determined Work Motivation Predicts Job Outcomes, But What Predicts Self-determined Work Motivation? Journal

of Research in Personality. Vol. 42. 4 August 2008.

Li, Ching Chun. Path Analysis Primer. California: The Boxwood Press, 1991.

Lindsay, William and Joseph Patrick. Total Quality and Organization Development. Boca Raton, Florida: St. Lucie Press. 1997.

McCormick, Ernst J. and Joseph Tiffin. Industrial Psychology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1994.

McGregor, Douglas M. The Human Side of Human Resources. New York: McGraw Hill Book Co., 1996.

McShane, Steven L. and Mary Ann Von Glinow. Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2008.

Mitrani, Alain, Murray Dalziel, and David Fitt. Competency Based Human Resources Management. London: Kogan Page. 1992.

Morabito, Joseph, Ira Sack, and Anilkumar Bhate.

xliii

Organization Modeling. New Jersey: Prentice Hall. 1999.

Morrison, D.F. Multivariate Statistics Methods. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd, 1996.

Mowen, J. C., R. D. Middlemist, and Luther D. “Joint Effects of Assigned Goal Level and Incentive Structure on Task Performance”. A Laboratory study: Journal of Applied Psychology. 1981.

Muba, Wang. Faktor-faktor Motivasi Kerja. 2008. http:// www. wangmuba. @yahoo.com.

Mullins, Laurie J. Management and Organization Behavior. Edinburgh, Harlow, Essex: Prentice Hall, 2005.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia, 2003.

Newstrom, John W. and Keith Davis. Organizational Behavior: Human Behavior at Work. New York: McGraw-Hill Higher Education, 2002.

Owens, Robert G. Organization Behavior in Education. Boston: Allyn & Bacon. 1991.

Pool, Steven W. “The Relationship of Job Satisfaction with Substitutes of Leadership, Leadership Behavior, and Work Motivation”, Journal of Psychology, Vol. 131, 1997.

Quible, Zane K. Introduction to Administrative Office Management. Cambridge, Massachusetts: Winthrop Publishers, Inc., 1980.

Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro. Cara Menggunakan dan Memakai Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Alfabeta, 2008.

Robbins, Stephen P. and Timothy A. Judge. Organizational Behavior. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009.

Robbins, Stephen P. Organizational Behavior: Concept, Controversies, and

xliv

Application. New Jersey: Prentice-Hall, 1998.

_______, Organization Behavior. Englewood Cliff: Prentice Hall. 1996.

Rue, Leslie W. and Lloyd L. Byars. Management, Theory, and Application. Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, Inc., 1980.

Sallis, Edward. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page, 1993.

Sari, Suryani Ika. “DPRD DKI Tolak Renovasi Total Gedung Pendidikan Dasar,” TEMPO.Interaktif Jakarta. Selasa, 07 Desember 2004.

Schein, Edgar. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: John Wiley & Son. 2004.

Schermerhorn, John R. and Richard Hunt. Managing Organization Behavior. New York: John Wiley & Son. 1994.

Schermerhorn, John R. Managing Organizational Behavior. New York: John Wiley and Sons, 1995.

Schiffman, Leon G. dan Leslie Lazar Kanuk. Perilaku Konsumen, terjemahan Zoelkifli Kasip. Jakarta: Indeks. 2000.

Sherriton, Jacalyn and James L Stern. Corporate Culture and Team Culture. New York: Amacom. 1997.

Sitepu, Nirwana S.K. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Jurusan Statistika FMIPA Unpad, 1994.

Sulhanudin, Muhamad. PNS Tidak Produktif. 2009. http://wpelogo.Revolution Element_PNS_tidak_produktif.muhamadsulhanudin.mht

Sweeney, Paul D. and Dean B. McFarlin. Organizational Behavior: Solutions for Management. New York: McGraw-Hill/Irwin, 2002.

Taylor, F. W. The Principles of Scientific Management. New York: Harper, 1991.

xlv

Tedeschi, James T., Svenn Lindskold, and Paul Rosenfeld. Introduction to Social Psychology. West Publishing: St. Paul. 1985.

Terry, George R. and Stephen G. Franklin. Principle of Management. Homewood-Illinois: Richard D. Irwin. 1982.

Thoha, Miftah. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Torrington, Derek. International Human resources Management. Hertfordshire: Prentice Hall. 1994.

Waal, Andre A. De. Quest for Balance. Canada: John Wiley & Sons. 2002.

Wagner, John. A. III and John R. Hollenbeck. Management of Organizational Behaviour. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc. 1992.

Wayne, Mondy dan Shane Premeaux Management: Concept, Practice, and Skill. New Jersey: Prentice Hall. 1995.

Whitmore, John Seni Mengarahkan untuk Mendongkrak Prestasi Kerja, terjemahan oleh Dwi Helly Purnomo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1996.

Widiastuti. “Dikdas dan Dikmenti Dilebur, Pejabat Jangan Resah”. Berita Jakarta.com — Media Online Pemprov DKI Jakarta. 12 Nopember 2008.

Wirawan. Transformational Leadership. 2007 http:doktorwirawan. blogspot. com..

xlvi

xlvii

RIWAYAT HIDUP

Virgana, lahir di Padang tanggal 16 September 1955 merupakan putra pertama dari 10 bersaudara dari ayah bernama Suparman Natawidjaya yang lahir di Garut tanggal 6 April 1933 yang merupakan seorang guru Bahasa Indonesia dan ibu bernama Popon Djulaeha. Mempunyai hobby Jogging dan darmawisata. Negara yang sudah dikunjungi antara lain: Amerika dalam rangka tugas belajar untuk master degree; Norwegia dalam rangka penyelesaian tugas belajar master degree; Australia dalam rangka tugas belajar (short term) tentang Sekolah Dasar; serta Singapura, Malaysia, Jepang, Denmark dan Swedia dalam rangka study banding dan Arab dalam rangka ibadah Haji.Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Cibatu Garut lulus

tahun 1968. SMP Negeri Cibatu Garut lulus tahun 1971. SMA Negeri 26 Jakarta Jurusan Pas-Pal lulus tahun 1974. Sarjana Muda IKIP Jakarta Jurusan Matematika lulus tahun 1978. Sarjana IKIP Jakarta Jurusan Matematika lulus tahun 1980. Pendidikan S2 di Virginia University Amerika Serikat dan NISE di Oslo Norway lulus tahun 1988 Special Education. Pendidikan S3 di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Program Studi Manajemen Pendidikan tahun 2005/2006.

Pendidikan non-formal yang pernah diikuti sebagai berikut: Kursus Bahasa Inggris 6 bulan tahun 1984 British Council Jakarta. Menjadi Tutor Inti dalam Program Penyetaraan D2 Guru SD tahun 1990 sampai 1994. CEC (Conference of Exceptional Children) tahun 1987. Math Conference (Deakin University) tahun 1994. Short Course selama 3 bulan tahun 1994 tentang Pendidikan Dasar di Deakin University Melbourne.

Pengalaman dalam bidang pendidikan antara lain: mengajar di SMA 22 Jakarta sebagai Guru Honor dari tahun 1977 sampai tahun 1980; di SPG Semarang (PNS) dari tahun 1981 sampai dengan 1984; di SPG Negeri 3 Jakarta dari tahun 1984 sampai tahun 1991, sebagai dosen Univeritas Borobudur 1992-1994 dan Dosen Unindra mulai tahun 2009. Pengalaman kerja di Struktural sebagai KASI Tentis Bidang Dikgu Kanwil Depdiknas dari tahun 1991 sampai 1995. KABID Dikgu Kanwil Depdiknas dari tahun 1996 sampai tahun 2001. KASUBDIS Tendik Dinas Dikmenti dari tahun 2001 sampai 2003. KABID KESMAS BAPEDA PEMDA DKI Jakarta dari tahun 2003 sampai 2004. KASUBDIS Tendik Dinas Dikdas dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Kepala Suku Dinas Dikmen Jakarta Utara dari tahun 2009 sampai sekarang.

Menikah dengan Iin Mintarsih dan dikarunia satu orang putra bernama Satria Nugraha dan dua orang putri bernama Youdith Virginia Mahasiswi Universitas Al-Azhar, Alin Margeta Mahasiswi Universitas Gunadarma.

xlviii

xlix

47