Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FACTORS THAT CAUSE VISUAL ACUITY WAS NOT OPTIMAL IN PATIENTS WITHPOSTOPERATIVE FACOEMULSIFIKASI CATARACT IN BKMM SULSEL
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PENCAPAIAN TAJAM PENGLIHATANTIDAK MAKSIMAL PADA PASIEN POST OPERASI KATARAK
FACOEMULSIFIKASI DI BKMM SUL-SEL
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Muhammad Fajri Jami’ady
10542 0299 11
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SarjanaKedokteran
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR10 Maret 2015
Muhammad Fajri Jami’ady (10542 0299 11)dr. Hj. Rahasia Taufik , Sp.M
”FAKTOR – FAKTOR YANG MENYEBABKAN TAJAM PENGLIHATAN TIDAKMAKSIMAL PADA PASIEN POST OPERASI KATARAK FACOEMULSIFIKASI DIBKMM SUL – SEL”.
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Katarak merupakan penyakit yang pertama dari lima areaprioritas utama pada prakarsa global untuk mengurangi angka kebutaan (Vision 2020).Penyakit katarak di Indonesia terjadi pada usia lebih muda, yaitu pada usia 45 tahun.Menurut kriteria WHO tajam penglihatan pada hari VIII pasca operasi katarakfacoemulsifikasi diklasifikasikan yaitu (1) tajam penglihatan baik apabila tajampenglihatan sebesar 6/6-6/18, ( 2 ) tajam penglihatan kriteria sedang apabila tajampenglihatan sebesar <6/18-6/60, dan (3) tajam penglihatan kriteria buruk apabila tajampenglihatan sebesar <6/60.TUJUAN : Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Menyebabkan Pencapaian TajamPenglihatan Tidak Maksimal pada Pasien Post Operasi Katarak Facoemulsifikasi diBKMM Sul- SelMETODE : Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode casecontrol yang bersifat deskriptif. Data penelitian yang digunakan adalah data primer dandata sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien katarak pascaoperasi. Data sekunder diperoleh dari medical record pasien.HASIL : Dari hasil yang didapat faktor – faktor yang menyebabkan tajam penglihatantidak maksimal pada pasien post operasi katarak facoemulsifikasi yaitu Diabetes Melitus0 % , Degeneratif : 66.7 % , Follow Up : 44.4 % , Teknik Operasi : 0 % , ketidakpercayaan dan kepuasan pelayanan : 16,7 %KESIMPULAN : Variable yang berhubungan dengan faktor – faktor penurunan tajampenglihatan tidak maksimal adalah umur diatas 60 tahun ( Degeneratif ), jenis kelaminperempuan , dan kurangnya follow up dari para pasien post operasi katarakfacoemulsifikasi
Kata Kunci :Mata,Katarak , facoemulsifikasi
FACULTY OF MEDICINEUNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH MAKASSAR10 Maret 2015
Muhammad Fajri Jami’ady (10542 0299 11)dr. Hj. Rahasia Taufik, Sp.M
“FACTORS THAT CAUSE VISUAL ACUITY WAS NOT OPTIMAL IN PATIENTSWITH POSTOPERATIVE FACOEMULSIFIKASI CATARACT IN BKMM SULSEL”
ABSTRACK
BACKGROUND : Cataract is a disease that is the first of the five main priority areas ona global initiative to reduce blindness (Vision 2020). Cataract in Indonesia occurred at ayounger age, that is at the age of 45 years. According to the WHO criteria for visualacuity on the eighth day after facoemulsifikasi cataract surgery is classified: (1) thecriteria of good visual acuity if the visual acuity is amounting 6 / 6-6 / 18, (2) the criteriaof medium visual acuity if the visual acuity is amounting <6 / 18-6 / 60, and (3) thecriteria of poor visual acuity if visual acuity is amounting <6/60.PURPOSE : To determine the Factors That Cause No Maximum Achievement SharpVision in Patients with Facoemulsifikasi Cataract post Surgery in BKMM sulselMETHODS : The method used in this study is descriptive case-control method. The dataused in this research is the primary data and secondary data. Primary data is data obtaineddirectly from the patient's postoperative cataract. Secondary data were obtained frommedical records of patients.RESULT : From the results obtained the factors that cause no maximum visual acuity inpatients with postoperative cause no maximum visual acuity in patients withpostoperative facoemulsifikasi cataract which is Diabetes Mellitus0%, Degenerative:66.7%, Follow Up: 44.4%, Mechanical Operations: 0%, distrust and service satisfaction:16, 7%.CONCLUSION : Variables associated with the factor of the reduction that is not optimalvisual acuity age over 60 years (Degenerative), female gender, and the lack of follow upof the patients postoperative facoemulsifikasi cataract
Keyword : Eye,Cataract, facoemulsifikasi
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”FAKTOR-FAKTOR YANG
MENYEBABKAN PENCAPAIAN TAJAM PENGLIHATAN TIDAK MAKSIMAL PADA
PASIEN POST OPERASI KATARAK FACOEMULSIFIKASI DI BKMM SUL-SEL”
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad, penulis curahkan ke hadirat junjungan
umat, pemberi syafa’at, penuntun jalan kebajikan, penerang di muka bumi ini, seorang manusia
pilihan dan teladan kita, Rasullulah SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikut Beliau
hingga akhir zaman, Amin.
Penulis memulai tulisan ini dengan huruf kemudian menjadi kata lalu menjadi kalimat,
begitu seterusnya hingga teesusunlah karya tulis ilmiah ini untuk menjadi salah satu syarat
mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked) di program studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. DR. H. Irwan Akib, M.Pd selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar beserta
jajarannya.
2. dr. H. Mahmud Ghaznawie, Ph.D, Sp. PA(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar beserta jajarannya.
3. dr. Hj. Rahasia Taufik , Sp. M selaku pembimbing dan dr. Nurmila , M.Kes selaku
penguji yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan pengarahan
dan koreksi sampai skripsi ini selesai.
4. dr. Dara Ugi , M. Kes selaku dosen penasehat akademik yang membimbing dari
semester 1 sampai semester akhir.
5. Kepala Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul - Sel yang telah memberi izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian dan segenap Pegawai BKMM yang telah membantu
penulis dalam melakukan penelitian pada instansi tersebut.
6. Ayahanda Prof. Dr. Abdul Rahman , M.Pd dan Ibunda Dra. Hj. Nursiah , M.Pd yang
tercinta atas segala doa, pengorbanan, kasihsayang, didikan, dan bantuan moril maupun
materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kakak Iftithah Nurmaulidia , S.Kom dan adik Agung Tri Utomo dan Rikah Fahranah
yang senantiasa membantu dan memberi dukungan kepada penulis sehingga tulisan ini
bisa selesai.
8. Keluarga besar angkatan 2011 Astrocyte yang selama ini bersama-sama dengan kompak
dalam menjalani perkuliahan.
9. Teman sepembimbing seperjuangan Andi Nurlaely Hamid , Nur Hikmah Jihad, dan
Muhammad Ilyas Nurdin.
10. Afra Fatin Arindy yang selalu membantu dan memberi motivasi yang terus-menerus
sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, dengan kerendahan hati, penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari
berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon ridha dan magfirah-Nya, semoga
segala dukungan serta bantuan semua pihak mendapat pahala yang berlipat ganda disisi Allah
SWT, semoga karya ini dapat bermanfaat kepada para pembaca, Aamiin
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Maret 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAK……………………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………… 2
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………. 2
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………………………… 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………... 4
BAB III KERANGKA KONSEP …………………………………………………..…… 32
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………… 34
BAB V HASIL PENELITIAN …………………………………………………….……. 36
BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………………………….. 44
BAB VII KAJIAN KEISLAMAN………………………………………………………. 49
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….. 51
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 52
LAMPIRAN……………………………………………………………………………… 53
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun Keatas …… 12
Tabel 2.2 Nilai Tajam Penglihatan Dalam Meter, Kaki, Desimal……………… 16
Tabel 2.3 Metode Estimasi Persentase Kehilangan Ketajaman Penglihatan……… 16
Tabel 3.1 Frekuensi Pasien Akibat DM…………………………………………… 36
Tabel 3.2 Frekuensi Pasien Akibat Degeneratif…………………………………… 36
Tabel 3.3 Distribusi Penderita Menurut Umur dan Jenis Kelamin………………… 37
Tabel 3.4 Frekuensi Follow Up…………………………………………………….. 37
Tabel 3.5 Follow Up……………………………………………………………….. 38
Tabel 3.6 Tekknik Operasi………………………………………………………… 38
Tabel 3.7 Kurang Kepercayaan Pelayanan ……………………………………….. 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 struktur Aksesori Mata……………………………………………… 4
Gambar 2.2 Otot – otot Ekstrinsik Bola Mata…………………………………… 5
Gambar 2.3 Anatomi Bola Mata…………………………………………………. 6
Gambar 2.4 Jeras Penglihatan…………………………………………………… 9
Gambar 2.5 Kinetic Perimetry…………………………………………………… 18
Kerangka Teori…………………………………………………………………… 28
Kerangka Konsep………………………………………………………………… 29
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Penelitian Kepada Kepala Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul – Sel
2. Data Dalam Microsoft Excel
3. Analisis SPSS
4. Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Katarak merupakan penyakit yang pertama dari lima area prioritas
utama pada prakarsa global untuk mengurangi angka kebutaan (Vision 2020).
Katarak dipilih karena merupakan penyebab utama gangguan penglihatan didunia.
Katarak merupakan masalah nasional yang perlu segera ditanggulangi. Katarak
dapat menyebabkan penurunan produktivitas. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Farida (1989-1999), lebih dari separuh (52%) kebutaan disebabkan oleh
katarak. Bahkan 16 % buta oleh karena katarak dialami oleh penduduk usia
produktif (40-54 tahun). Penyakit katarak di Indonesia terjadi pada usia lebih
muda, yaitu pada usia 45 tahun.
Menurut kriteria WHO tajam penglihatan pada minggu VIII pasca operasi
katarak diklasifikasikan yaitu (1) tajam penglihatan baik apabila tajam
penglihatan sebesar 6/6-6/18, ( 2 ) tajam penglihatan kriteria sedang apabila tajam
penglihatan sebesar <6/18-6/60, dan (3) tajam penglihatan kriteria buruk apabila
tajam penglihatan sebesar <6/60.
Dari masalah tersebut diatas, melihat besarnya kasus pada penderita
katarak pasca operasi katarak , sehingga hal ini menjadi latar belakang bagi
penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor yang Menyebabkan
Pencapaian Tajam Penglihatan Tidak Maksimal pada Pasien Post Operasi Katarak
Facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya tajam penglihatan yang
tidak maksimal pada pasien pasca operasi katarak facoemulsifikasi
di BKMM Sul- Sel.
2. Terkhusus pada pasien yang telah dioperasi, dalam hal ini adalah
operasi katarak facoemulsifikasi.
2
3. Pasien post operasi katarak facoemulsifikasi adalah pasien yang
melakukan follow up selama tujuh hari.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui faktor penyebab tajam penglihatan tidak maksimal
pada pasien post operasi katarak facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel
2. Untuk mengurangi prevalensi penyebab tajam penglihatan tidak
maksimal pada pasien post operasi katarak facoemulsifikasi di
BKMM Sul- Sel .
D. MANFAAT PENELITIAN
Ada pun manfaat yang diambil dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat terhadap penulis :
1. Memahami Faktor resiko penyebab tidak maksimalnya hasil
operasi facoemulsifikasi pada pasien katarak di BKMM Sul- Sel.
2. Manfaat terhadap akademik :
1. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang penyakit mata,
baik pra-operasi maupun pasca operasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Mata
Mata merupakan organ penglihatan yang dimiliki manusia. Mata
dilindungi oleh area orbit tengkorak yang disusun oleh berbagai tulang seperti
tulang frontal, sphenoid, maxilla, zygomatic, greater wing of sphenoid,
lacrimal, dan ethmoid (Rizzo, 2001).
1. Komponen Bola Mata
Sebagai struktur tambahan mata, dikenal berbagai struktur aksesori
yang terdiri dari alis mata, kelopak mata, bulu mata, konjungtiva, aparatus
lakrimal, dan otot-otot mata ekstrinsik. Alis mata dapat mengurangi
masuknya cahaya dan mencegah masuknya keringat, yang dapat
menimbulkan iritasi, ke dalam mata. Kelopak mata dan bulu mata mencegah
masuknya benda asing ke dalam mata. Konjungtiva merupakan suatu
membran mukosa yang tipis dan transparan. Konjungtiva palpebra melapisi
bagian dalam kelopak mata dan konjuntiva bulbar melapisi bagian anterior
permukaan mata yang berwarna putih. Titik pertemuan antara konjungtiva
palpebra dan bulbar disebut sebagai conjunctival fornices (Seeley, 2006).
Apparatus lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal yang terletak di sudut
anterolateral orbit dan sebuah duktus nasolakrimal yang terletak di sudut
inferomedial orbit. Kelenjar lakrimal diinervasi oleh serat-serat parasimpatis
dari nervus fasialis. Kelenjar ini menghasilkan air mata yang keluar dari
kelenjar air mata melalui berbagai duktus nasolakrimalis dan menyusuri
permukaan anterior bola mata. Tindakan berkedip dapat membantu
menyebarkan air mata yang dihasilkan kelenjar lakrimal (Seeley, 2006).
Air mata tidak hanya dapat melubrikasi mata melainkan juga mampu
melawan infeksi bakterial melalui enzim lisozim, garam serta gamma
globulin. Kebanyakan air mata yang diproduksi akan menguap dari
permukaan mata dan kelebihan air mata akan dikumpulkan di bagian medial
4
mata di kanalikuli lakrimalis. Dari bagian tersebut, air mata akan mengalir
ke saccus lakrimalis yang kemudian menuju duktus nasolakrimalis. Duktus
nasolakrimalis berakhir pada meatus inferior kavum nasalis dibawah konka
nasalis inferior (Rizzo, 2001).
Untuk menggerakkan bola mata, mata dilengkapi dengan enam otot
ekstrinsik. Otot-otot tersebut yaitu superior rectus muscle, inferior rectus
muscle, medial rectus muscle, lateral rectus muscle, superior oblique
muscle, dan inferior oblique muscle. Pergerakan bola mata dapat
digambarkan secara grafik menyerupai huruf H sehingga uji klinis yang
digunakan untuk menguji gerakan bola mata disebut sebagai H test.
Superior oblique muscle diinervasi oleh nervus troklearis. Lateral rectus
muscle diinervasi oleh nervus abdusen. Keempat otot mata lainnya
diinervasi oleh nervus okulomotorius (Seeley, 2006).
Otot-otot ekstrinsik bola mata dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.1. Struktur Aksesori Mata (Saladin, 2006)
Untuk menggerakkan bola mata, mata dilengkapi dengan enam otot
ekstrinsik. Otot-otot tersebut yaitu superior rectus muscle, inferior rectus
muscle, medial rectus muscle, lateral rectus muscle, superior oblique
muscle, dan inferior oblique muscle. Pergerakan bola mata dapat
digambarkan secara grafik menyerupai huruf H sehingga uji klinis yang
digunakan untuk menguji gerakan bola mata disebut sebagai H test.
5
Superior oblique muscle diinervasi oleh nervus troklearis. Lateral rectus
muscle diinervasi oleh nervus abdusen. Keempat otot mata lainnya
diinervasi oleh nervus okulomotorius (Seeley, 2006).
Mata mempunyai diameter sekitar 24 mm dan tersusun atas tiga lapisan
utama, yaitu outer fibrous layer, middle vascular layer dan inner layer.
Outer fibrous layer (tunica fibrosa) dibagi menjadi dua bagian yakni sclera
dan cornea. Sclera (bagian putih dari mata) menutupi sebagian besar
permukaan mata dan terdiri dari jaringan ikat kolagen padat yang ditembus
oleh pembuluh darah dan saraf. Kornea merupakan bagian transparan dari
sclera yang telah dimodifikasi sehingga dapat ditembus cahaya (Saladin,
2006).
Otot-otot ekstrinsik bola mata dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.2. Otot-otot Ekstrinsik Bola Mata (Saladin, 2006)
Middle vascular layer (tunica vasculosa) disebut juga uvea. Lapisan ini
terdiri dari tiga bagian yaitu choroid, ciliary body, dan iris. Choroid
merupakan lapisan yang sangat kaya akan pembuluh darah dan sangat
terpigmentasi. Lapisan ini terletak di belakang retina. Ciliary body
merupakan ekstensi choroid yang menebal serta membentuk suatu cincin
6
muskular disekitar lensa dan berfungsi menyokong iris dan lensa serta
mensekresi cairan yang disebut sebagai aqueous humor (Saladin, 2006).
Iris merupakan suatu diafragma yang dapat diatur ukurannya dan
lubang yang dibentuk oleh iris ini disebut sebagai pupil. Iris memiliki dua
lapisan berpigmen yaitu posterior pigment epithelium yang berfungsi
menahan cahaya yang tidak teratur mencapai retina dan anterior border layer
yang mengandung sel-sel berpigmen yang disebut sebagai chromatophores.
Konsentrasi melanin yang tinggi pada chromatophores inilah yang
memberi warna gelap pada mata seseorang seperti hitam dan coklat.
Konsentrasi melanin yang rendah memberi warna biru, hijau, atau abu-abu.
Inner layer (tunica interna) terdiri dari retina dan nervus optikus (Saladin,
2006).
Struktur anatomi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 2.3. Anatomi Bola Mata (Khurana, 2007)
2. Komponen Optik Mata
Komponen optik dari mata adalah elemen transparan dari mata yang
tembus cahaya serta mampu membelokkan cahaya (refraksi) dan
memfokuskannya pada retina. Bagian-bagian optik ini mencakup kornea,
7
aqueous humor, lensa, dan vitreous body. Aqueous humor merupakan cairan
serosa yang disekresi oleh ciliary body ke posterior chamber, sebuah ruang
antara iris dan lensa. Cairan ini mengalir melalui pupil menuju anterior
chamber yaitu ruang antara kornea dan iris. Dari area ini, cairan yang
disekresikan akan direabsorbsi kembali oleh pembuluh darah yang disebut
sclera venous sinus (canal of Schlemm) (Saladin,2006).
Lensa tersuspensi dibelakang pupil oleh serat-serat yang membentuk
cincin yang disebut suspensory ligament, yang menggantungkan lensa ke
ciliary body. Tegangan pada ligamen memipihkan lensa hingga mencapai
ketebalan 3,6 mm dengan diameter 9,0 mm. Vitreous body (vitreous humor)
merupakan suatu jelly transparan yang mengisi ruangan besar dibelakang
lensa. Sebuah kanal (hyaloids canal) yang berada disepanjang jelly ini
merupakan sisa dari arteri hyaloid yang ada semasa embrio (Saladin, 2006).
3. Komponen Neural Mata
Komponen neural dari mata adalah retina dan nervus optikus. Retina
merupakan suatu membran yang tipis dan transparan dan tefiksasi pada
optic disc dan ora serrata. Optic disc adalah lokasi dimana nervus optikus
meninggalkan bagian belakang (fundus) bola mata. Ora serrata merupakan
tepi anterior dari retina. Retina tertahan ke bagian belakang dari bola mata
oleh tekanan yang diberikan oleh vitreous body. Pada bagian posterior dari
titik tengah lensa, pada aksis visual mata, terdapat sekelompok sel yang
disebut macula lutea dengan diameter kira-kira 3 mm. Pada bagian tengah
dari macula lutea terdapat satu celah kecil yang disebut fovea centralis,
yang menghasilkan gambar/visual tertajam. Sekitar 3 mm pada arah medial
dari macula lutea terdapat optic disc. Serabut saraf dari seluruh bagian mata
akan berkumpul pada titik ini dan keluar dari bola mata membentuk nervus
optikus. Bagian optic disc dari mata tidak mengandung sel-sel reseptor
sehingga dikenal juga sebagai titik buta (blind spot) pada lapangan pandang
setiap mata (Saladin, 2006).
8
4. Proses Visual Mata
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina
dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi
maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak
dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri
diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang
terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel
epithelial kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga
sebagai myoepithelial cells (Saladin, 2006).
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan
melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata.
Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya
berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau
objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya
memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada
kemampuan refraksi mata (Saladin, 2006).
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humor
(n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak
dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan
yang ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah
cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap
terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi
potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini
terjadi pada retina (Saladin, 2006).
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan
sensory retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi
pigmen melanin yang bersama-sama dengan pigmen pada choroid
membentuk suatu matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan
mengurangi penyebaran cahaya dan mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor
yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga lapis neuron yaitu lapisan
fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron ini
dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai lapisan
9
bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan
ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan
sel bipolar dan ganglionic (Seeley, 2006).
Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang
terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract,
lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan korteks serebri
(Seeley, 2006).
Gambaran jaras penglihatan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 2.4. Jaras Penglihatan (Khurana, 2007)
Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Cental Vision
Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya
jatuh pada area macula lutea retina dan memberikan stimulus pada
fotoreseptor yang berada pada area tersebut. Dalam
pemeriksaannya, central vision dapat dibagi menjadi uncorrected
visual acuity dimana mata diukur ketajamannya tanpa
menggunakan kacamata maupun lensa kontak dan corrected visual
acuity dimana mata yang diukur telah dilengkapi dengan alat bantu
penglihatan seperti kacamata maupun lensa kontak. Karena
10
penurunan ketajaman penglihatan jarak jauh dapat disebabkan oleh
kelainan refraksi, umumnya jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menilai kesehatan mata adalah corrected visual acuity (Riordan-
Eva, 2007).
b. Peripheral Vision
Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya
jatuh pada area diluar macula lutea retina dan memberikan
stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut.
Penglihatan perifer dapat ditinjau secara cepat dengan
menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini, mata
yang tidak diperiksa ditutup dengan menggunakan telapak tangan
dan pemeriksa duduk sejajar dengan pasien. Jika mata kanan
pasien diperiksa, maka mata kiri pasien ditutup dan mata kanan
pemeriksa ditutup. Pasien diminta untuk melihat lurus sejajar
dengan mata kiri pemeriksa. Untuk mendeteksi adanya gangguan,
pemeriksa menunjukkan angka tertentu dengan menggunakan jari
tangan yang diletakkan diantara pasien dan pemeriksa pada
keempat kuadran penglihatan. Pasien diminta untuk
megidentifikasi angka yang ditunjukkan (Riordan-Eva, 2007).
1. Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan merupakan kemampuan sistem penglihatan
untuk membedakan berbagai bentuk (Anderson, 2007). Penglihatan yang
optimal hanya dapat dicapai bila terdapat suatu jalur saraf visual yang utuh,
stuktur mata yang sehat serta kemampuan fokus mata yang tepat (Riordan-
Eva, 2007).
Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada
perkembangan tumbuh anak pada keseluruhan, mulai dari daya
membedakan sampai pada kemampuan menilai pengertian melihat.
Walaupun perkembangan bola mata sudah lengkap waktu lahir, mielinisasi
berjalan terus sesudah lahir. Tajam penglihatan bayi sangat kurang
11
dibanding penglihatan anak. Perkembangan penglihatan berkembang cepat
sampai usia dua tahun dan secara kuantitatif pada usia lima tahun (Ilyas,
2009).
Tajam penglihatan bayi berkembang sebagai berikut:
Baru lahir : Menggerakkan kepala ke sumber cahaya besar
6 minggu : Mulai melakukan fiksasi; Gerakan mata tidak teratur ke
arah sinar
3 bulan : Dapat menggerakkan mata ke arah benda bergerak
4-6 bulan : Koordinasi penglihatan dengan gerakan mata. Dapat
melihat dan mengambil objek
9 bulan : Tajam penglihatan 20/200
1 tahun : Tajam penglihatan 20/100
2 tahun : Tajam penglihatan 20/40
3 tahun : Tajam penglihatan 20/30
5 tahun : Tajam penglihatan 20/20 (Ilyas, 2009).
Secara klinis, derajat ketajaman anak-anak mencapai nilai yang
mendekati 6/6 saat mencapai usia 5 tahun. Hal ini dikarenakan pemeriksaan
visus pada anak-anak secara subjektif maupun objektif tidak dapat
menghasilkan data yang valid. Ketajaman penglihatan dapat dibagi lagi
menjadi recognition acuity dan resolution acuity. Recognition acuity adalah
ketajaman penglihatan yang berhubungan dengan detail dari huruf terkecil,
angka ataupun bentuk lainnya yang dapat dikenali. Resolution acuity adalah
kemampuan mata untuk mengenali dua titik ataupun benda yang
mempunyai jarak sebagai dua objek yang terpisah (Leat, 2009).
Hubungan antara jenis ketajaman penglihatan tersebut dengan usia
dimana kondisi tersebut dapat dicapai dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut
(Leat, 2009).
12
Tabel 2.1.
Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun Keatas
2. Pemeriksaan visus mata
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab
kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam
penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata.
Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan
kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur
dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun
proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan
rincian benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang
masih dapat dilihat pada jarak tertentu (Ilyas, 2009).
Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat
kemampuan membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk
13
kartu. Pasiennya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk
penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat melihat huruf pada jarak
20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam
penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15
atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea,
sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras, berbagai uji
warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam
penglihatan mata (Ilyas, 2009).
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan
kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam
penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Dengan
gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya
dapat membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit. Satu
huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima menit
dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut satu menit. Makin jauh huruf
harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut
yang dibentuk harus tetap lima menit (Ilyas, 2009).
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima
atau enam meter. Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan
dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen yang setiap
hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf
pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit
pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut
membentuk sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6
adalah huruf yang membentuk sudut lima menit pada jarak enam meter,
sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas,
2009).
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan
atau kemampuan melihat seseorang, seperti :
14
Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada
jarak enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak enam meter.
Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan
angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan
angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada
jarak enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak 60 meter.
Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen
maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang
normal pada jarak 60 meter.
Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai
1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat
gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya
dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam
penglihatannya adalah 1/300.
Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam
penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak
tidak berhingga.
Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).
Hal diatas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat
berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan
tersebut. Pada bayi yang belum mempunyai penglihatan seperti orang
dewasa secara fungsional dapat dinilai apakah penglihatannya akan
15
berkembang normal adalah dengan melihat refleks fiksasi. Bayi normal
akan dapat berfiksasi pada usia 6 minggu, sedang mempunyai kemampuan
untuk dapat mengikuti sinar pada usia 2 bulan. Refleks pupil sudah mulai
terbentuk sehingga dengan cara ini dapat diketahui keadaan fungsi
penglihatan bayi pada masa perkembangannya. Pada anak yang lebih besar
dapat dipakai benda-benda yang lebih besar dan berwarna untuk digunakan
dalam pengujian penglihatannya (Ilyas, 2009).
Untuk mengetahui sama tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata
dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup
akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada sikap anak, yang berarti ia
sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding
dengan mata lainnya (Ilyas, 2009).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat
kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi yang masih dapat
dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan
diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau
kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun
(Ilyas, 2009).
Pada Tabel 2.2. dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan
dalam sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki (Ilyas, 2009).
16
Tabel 2.2.
Nilai Tajam Penglihatan dalam
Meter, Kaki dan Desimal
Snellen (6 meter)
20 kaki Sistem desimal
6/6 20/20 1.0
5/6 20/25 0.8
6/9 20/30 0.7
5/9 15/25 0.6
6/12 20/40 0.5
5/12 20/50 0.4
6/18 20/70 0.3
6/60 20/200 0.1
Tabel 2.3. Metode Estimasi Persentase Kehilangan Ketajaman Penglihatan
(Riordan-Eva, 2007)
17
3. Penurunan ketajaman penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti usia, kesehatan mata dan tubuh dan latar belakang pasien.
Ketajaman penglihatan cenderung menurun sesuai dengan meningkatnya
usia seseorang. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang
mempengaruhi ketajaman penglihatan seseorang (Xu, 2005). Dari penelitian
yang dilakukan di Sumatra, Indonesia, didapat bahwa penyebab tertinggi
terjadinya low vision atau visual impairment adalah katarak, kelainan
refraksi yang tidak dikoreksi, amblyopia, Age-related Macular
Degeneration, Macular Hole, Optic Atrophy, dan trauma (Saw, 2003).
Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan mata yang herediter (Riordan-
Eva, 2007).
3. Visual Impairment
Menurut International Classification of Diseases (ICD), visual
impairment adalah suatu keterbatasan fungsional dari mata. Visual
impairment ini sendiri dapat dinilai dengan menggunakan tiga kriteria
penting, yaitu:
a. Visual Acuity
Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan metode yang telah dijelaskan
sebelumnya (Riordan-Eva, 2007).
b. Visual Field
Metode tradisional standar yang dapat digunakan untuk menilai
gangguan dalam lapangan pandang adalah kinetic perimetry untuk
menentukan lapangan pandang setiap mata secara keseluruhan. Untuk
setiap delapan meridian utama, nilai gangguan lapangan pandang
dinyatakan dalam satuan derajat yang kemudian akan dibandingkan
dengan nilai standar lapangan pandang normal. Selisih derajat yang
didapat akan dirata-ratakan untuk mendapat nilai penurunan lapangan
pandang. Nilai kumulatif lapangan pandang mata normal pada delapan
18
meridian adalah sebesar 500 derajat. Jika batas lapangan pandang sesuai
dengan meridian utama maka digunakan rata-rata dari nilai terujung batas
sepanjang meridian tersebut. Selain itu, scotoma juga diperhitungkan
dengan cara mengurangi batas scotoma tersebut pada garis meridian.
Sebagai contoh, penggunaan kinetic perimetry dapat dilihat pada gambar
berikut (Riordan-Eva, 2007).
Gambar 2.5. Kinetic Perimetry (Riordan-Eva, 2007)
c. Ocular Motility
Motilitas okuler dapat dinilai dengan menggunakan arc perimeter dengan
pasien tetap melihat mengunakan kedua mata. Motilitas okuler dapat
menilai adanya gangguan pada mata seperti diplopia (Riordan-Eva,
2007).
2.1.Katarak
2.1.1. Definisi Katarak
Definisi Lensa adalah suatu struktur transparan (jernih). Kejernihannya
dapat terganggu oleh karena proses degenerasi yang menyebabkan kekeruhan
serabut lensa (Khurana AK, 2007). Terjadinya kekeruhan pada lensa disebut
katarak. Katarak adalah perubahan lensa mata yang sebelumnya jernih dan
19
tembus cahaya menjadi keruh. "Katarak menyebabkan penderita tidak bisa
melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai
retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina
(http://www.republika.co.id).
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggeris Cataract, dan Latin
cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular
dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat
kedua-duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan
progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama
(Ilyas, 2013)
Keadaan lensa seperti ini bukan tumor atau pertumbuhan jaringan di dalam
mata, akan tetapi merupakan keadaan lensa menjadi berkabut. Bila kekeruhan
katarak bertambah tebal, penglihatan akan menjadi keruh seperti melihat
melalui kaca jendela yang berkabut. Berat ringannya gangguan tajam
penglihatan pada penderita katarak tergantung dari derajat kekeruhan lensa
matanya. Gangguan tajam penglihatan bervariasi dari mulai kesulitan melihat
benda-benda yang kecil sampai pada kebutaan. Katarak tidak menular ke
mata yang sebelahnya tetapi dapat mengenai kedua lensa mata. Katarak
bukan disebabkan karena mata yang terlalu lama dipakai dan mata yang
dipakai tidak akan memperberat katarak. Katarak tidak berhubungan dengan
kanker dan bila menderita katarak bukan berarti akan tetap buta (Ilyas, 2006).
2.1.2. Klasifikasi Katarak:
Menurut Ilyas (2013), katarak dapat diklasifikasikan ke dalam golongan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan usia katarak
Katarak congenital, katarak yang sudah terlihat pada usia dibawah 1
tahun.
Katarak juvenile, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
20
Katarak sensil, katarak setelah usia 50 tahun.
2. Katarak komplikata, katarak akibat penyakit mata lain
3. Katarak diabetes, katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes
mellitus.
4. Katarak sekunder, katarak yang terjadi akibat terbentuknya jaringan
fibrosis pada sisa lensa yang tertinggal.
2.2. Keluhan dan Tanda – Tanda Katarak
Lensa mata terletak di bagian depan bola mata. Lensa akan memusatkan
sinar pada selaput jala (retina) mata yang terletak dibagian belakang bola
mata. Sinar melalui lensa yang akan menghasilkan bayangan yang tajam pada
retina. Tergantung pada besar dan letak kekeruhan pada lensa, penderita dapat
atau sama sekali tidak sadar akan telah terjadi katarak pada matanya. Bila
katarak terjadi pada tepi lensa maka tajam penglihatan tidak akan mengalami
perubahan. Bila letak kekeruhan ditengah lensa, penglihtan menjadi kabur.
Bila telah terbentuk katarak, lensa akan demikian keruh dan tidak bening
sehingga mengganggu penyaluran sinar masuk ke dalam retina. Katarak akan
menghalangi sinar masuk ke dalam sehingga terjadi penurunan tajam
penglihatan. Membaca menjadi sukar terutama bila penerangan terlalu kuat,
bila mengendarai kendaraan terutama dimalam hari, penglihatan akan silau
terhadap sinar yang datang, sehingga penderita katarak terkadang lenih
menyukai membaca atau berada ditempat yang tidak terlalu terang dan sulit
membaca dan mengendari di malam hari..
Kadang-kadang pada katarak dini dirasakan tidak perlu memakai kacamata
sewaktu membaca dekat. Pada beberapa orang , perlu sering mengganti
kacamata. Penglihatan ganda dapat pula terjadi pada saat katarak mulai
berkembang. Bila katarak telah lanjut, penglihatan akan seperti berasap,
berkabut bahkan kabur sama sekali.
Bila katarak lebih memburuk, kacamata yang tebal sekalipun tidak akan
menolong penglihatan. Pada tahap ini, penderita membutuhkan pertolongan
operasi ekstrasi katarak. Biasanya katarak sukar terlihat tanpa alat bantu
khusus. Tanda yang jelas terlihat pada katarak yang telah lanjut adalah
21
adanya kekeruhan atau warna keputih-putihan pada pupi atau manic mata.
Bagian dalam mata biasanya diperiksa juga dengan oftalmoskop (Ilyas, 2006)
2.3. Penyebab terjadinya katarak
Katarak dapat disebabkan oleh bermacam – macam faktor seperti kelainan
bawaan sejak lahir, penyakit, trauma, efek samping obat, dan radiasi sinar
matahari. Tetapi, umumnya penyebab terbesar adalah proses ketuaan/faktor
usia.
Berdasarkan faktor risiko penyebabnya. Katarak dapat digolongkan ke
dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut:
Katarak Kongenital
Adalah katarak yang ditemukan pada anak-anak. Biasanya adalah katarak
yang ditemukan pada bayi ketika waktu lahir yang disebabkan oleh virus
rubella pada ibu yang hamil muda.
Katarak Komplikata
Adalah katarak yang disebabkan oleh beberapa jenis infeksi dan penyakit
tertentu seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, Glaukoma, lepasnya retina
atau ablasi retina dan penyakit umum tertentu lainnya.
Katarak Trauma
Adalah katarak yang diakibatkan oleh cedera mata seperti: pukulan keras,
luka
tembus, luka menyayat, panas tinggi atau bahan kimia dapat
mengakibatkan kerusakan pada lensa. Katarak trauma dapat terjadi pada
semua umur.
Kataral Senilis
Adalah katarak yang disebabkan oleh proses ketuaan/faktor usia sehingga
lensa mata menjadi keras dan keruh. Katarak senilis merupakan tipe
katarak yang paling banyak ditemukan. Biasanya ditemukan pada
golongan usia di atas 40 tahun keatas (Ilyas, 2006).
Terdapat dua bentuk katarak senilis yaitu :
22
a. Tipe Kortikal : Proses kekaburan mulai pada bagian superficial dari
konteks lensa mata.
b. Tipe Nuklear : Proses kekaburan mulai pada bagian nucleus (inti) lensa
mata.
Katarak senile secara klinik dikenal dalam 4 stadium yaitu insipient,
imatur, intumesen, matur, hipermatur, dan morgagni.
Katarak insipien. Pada stadium akan terlihat hal-hal berikut ini :
a) Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior
dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks.
Katarak subskapular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior
subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi
jaringan degenerative (benda Morgagni) pada katarak insipient.
b) Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi
yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang
menetap untuk waktu yang lama.
Katarak intumesen. Kekeruhan lensa mengakibatkan lensa menjadi
bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi
dangkal dibanding dengan keadaan normal. Pencembungan lensa ini akan dapat
memberikan penyulit glaucoma. Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak
yang berjalan cepat dan mengakibatkan myopia lentikular. Pada keadaan ini dapat
terjadi hidrasi korteks hingga lensa akan mencembung dan daya biasnya akan
bertambah, yang memberikan miopisasi.
Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan
jarak lamel lensa.
Katarak imatur, sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak yang belum
mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume
lensa akibat meningkatnya tekanan osmotic bahan lensa yang degenerative. Pada
23
keadaan dimana lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil,
sehingga terjadi glaucoma sekunder.
Katarak matur. Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh
masa lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh.
Bila katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan
keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan
seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata
depan akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris
pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negative.
Katarak hipermatur. Katarak hipermatur, katarak yang mengalami
proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair.
Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa
menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik
mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus
sehingga hubungan dengan zonula Zinn menjadi kendor. Bila proses katarak
berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi
dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai
sekantong susu disertai dengan nucleus yang terbenam di dalam korteks lensa
karena lebih berat. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni. (Ilyas,2013)
2.4. Penatalaksanaan dan pengobatan pada penderita Katarak
Ada beberapa cara untuk mendiagnostik katarak antara lain:
1. Keratometri
2. Oftalmoskop
3. A-Scan Ultrasoundm (Echography)
4. Hitung sel endotel
(http://www.news-medical.net/health/Cataract-Classificatio(Indonesian).aspx)
24
Penatalaksanaan / Pengobatan untuk penderita katarak adalah sebagai
berikut:
1. Pembedahan / Operasi Katarak
Operasi katarak bertujuan untuk mengeluarkan lensa yang keruh.
Penentuan waktu operasi katarak sangat ditentukan oleh dokter dan pasien,
Berdasarkan penentuan waktu tersebut terdapat dua macam indikasi
pembedahan katarak, yaitu:
a) Indikasi Sosial (berorientasi pada pasien)
Pembedahan katarak dilakukan jika kekeruhan lensa telah
mengganggu pekerjaan sehari-hari atai mengakibatkan kebutaan pada
penderitanya (tajam penglihatan kedua mata kurang atau sama dengan
3/60 setelah dikoreksi). Dulum operasi katarak dilakukan bila katarak
sudah matang. Kalau sekarang dilakukan demi memberikan kemudahan
bagi para orang-orang dengan pekerjaan halus seperti pengrajin, pelukis,
penjahit dan ahli bedah mikro. Sehingga mereka dapat melakukan
pekerjaan sehari- hari dengan mudah.
b) Indikasi Medik (berorientasi pada Medis)
Sebaiknya katarak operasi secepatnya bila katarak telah
matur/matang, karena bila terlambat akan mengakibatkan penyulit atau
komplikasi akibat lensa yang terlalu matang. Penyulit yang akan timbul
berupa peradangan bola mata (uveitis) dan terjadinya gangguan
keseimbangan pengaliran cairan dalam bola mata yang akan menaikkan
tekanan bola mata (glaucoma sekunder). Hal ini akan memberikan keluhan
mata merah tanpa kotoran dengan rasa sakit pada mata tersebut dan dapat
berakhir dengan kebutaan permanen. Sebaiknya operasi dilakukan pada
satu mata saat mata yang lain masih dapat dipergunakan.
Teknik operasi katarak, terdiri dari dua macam teknik, yaitu:
Pengangkatan seluruh lensa katarak, disebut dengan teknik Ekstraksi
Katarak Intra Kapsuler (Intra Capsuler Cataract Extraction/ICCE).
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.
Dapat dilakukan pada zonula Zinn telah rapuh atau berdegenerasi dan
mudah diputus.
25
Pada katarak ekstraksi intrakapsular tidak akan terjadi katarak sekunder
dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer.
Pembedahan ini dilakukan dengan mempergunakan mikroskop dan
pemakaian alat khusus sehingga penyulit tidak banyak seperti
sebelumnya. Katarak ekstraksi intrakapsular ini tidak boleh dilakukan
atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang
masih mempunyai ligament hialoidea kapsular.
Pengangkatan katarak dengan meninggalkan kapsul belakang lensa,
disebut Ekstrasi Katarak Ekstra Kapsular (Extra Capsuler Cataract
Extraction/ECCE). Tindakan pembedahan pada lensa katarak, di mana
dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul
lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks lensa dapat keluar
melalui robekan terebut, kemudian dikeluarkan melalui insisi 9-10 mm,
lensa intraokuler diletakkan pada kapsul anterior. (Ilyas, 2013).
Pada operasi katarak masal, WHO menganjurkan metoda ICCE karena
dianggap lebih cepat dan lebih murah. Indonesia, Safari katarak menggunakan
teknik ICCE dan ECCE. Dalam penanggulangan katarak paripurna (PKKP)
Departemen Kesehatan ini cenderung menggunakan teknik ICCE
a) Dengan Kaca mata apakia
b) Lensa kontak
c) Implan Lensa Okuler (IOL)
Intraocular Lens (IOL) menggantikan fungsi lensa mata yang diangkat
pada waktu operasi katarak. Kualitas IOL sangat mempengaruhi fungsi
penglihatan paska operasi Bahan Acrysof‚ adalah acrylic hydrophobic
dengan bio-kompatibilitas yang paling baik dan terbukti secara klinis
mempunyai angka terjadinya katarak sekunder (PCO) paska operasi yang
paling rendah dibandingkan dengan lensa lainnya yang ada saat ini
Acrysof Single Piece dibuat dalam satu kesatuan bahan, tanpa sambungan
dan dapat dimasukkan ke dalam bola mata melalui sayatan luka yang kecil
(2,2 mm‚ 2,75 mm) dengan injektor khusus.
26
2.6. Komplikasi Pembedahan Katarak (James et. al., 2006)
a. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama
operasi maka gel vitreousnya dapat masuk ke dalam bilik mata depan yang
merupakan resiko terjadinya glaukoma atau traksi pada retina.
b. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protus melalui insisi bedah pada periode
paska operasi dini. Pupil mengalami distorsi.
c. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun
jarang terjadi (<0,3%), pasien datang dengan mata merah yang terasa
nyeri, penurunan tajam penglihatan, pengumpulan sel darah putih di bilik
mata depan (hipopion).
d. Astigmatisma pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan
kornea untuk mengurangi astigmatisma kornea. Ini dilakukan sebelum
melakukan pengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh
dan tetes mata steroid dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih
dapat terjadi pada garis jahitan bila jahitan terlalu erat. Pengangkatan
jahitan biasanya menyelesaikan masalah ini dan bisa dilakukan dengan
mudah di klinik dengan anastesi lokal, dengan pasien duduk di depan slit
lamp. Jahitan yang longgar harus diangkat untuk mencegah infeksi namun
mungkin diperlukan jahitan kembali jika penyembuhan lokasi insisi tidak
sempurna. Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui insisi yang kecil
menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan luka
memungkinkan koreksi astigmatisma yang telah ada sebelumnya.
e. Edema makular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan,
terutama bila disertai dengan hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring
berjalannya waktu, namun dapat menyebabkan penurunan tajam
penglihatan yang berat.
f. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan
dengan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini
bertambah bila terdapat kehilangan vitreous.
g. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul
posterior berkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel
epitel residu bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur
27
dan mungkin didapatkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada
kapsul dengan laser (neodymium yttrum (ndYAG) laser) sebagai prosedur
klinis rawat jalan. Terdapat risiko kecil edema makular sistoid atau
terlepasnya retina setelah kapsulotomi YAG. Penelitian yang ditujukan
pada pengurangan komplikasi ini menunjukkan bahwa bahan yang
digunakan untuk membuat lensa, bentuk tepi lensa, dan tumpang tindih
lensa intraokular dengan sebagian kecil cincin kapsul anterior penting
dalam mencegah opasifikasi kapsul posterior
28
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Teori
Katarak
( Keruh )
Tajam Penglihatan
Operasi Katarak
Faktor – faktor pasca operasi
Komplikasi pasca operasi- Hilangnya vitreous- Edema Kornea- Prolap Iris- Kekeruhan kapsul
Posterior- Residual lens material- Hifema- Endoflamitis- Edema macula kistoid
Sistem Persyarafan
1. Retina / Makula2. PN II3. Jalur visual
Refraksi Anomali
1. Miopia2. Hipermetropia3. Astigmatisma
Media Refrakta
1. Kornea2. HA3. LEnsa4. CV
Faktor Pre Operatif
- Hipertensi- Diabetesmilitus- Glukoma
29
3.2 Kerangka Konsep
Penderita Katarak
Tajam Penglihatan
Operasi Katarak
Faktor – faktor pasca operasi
Komplikasi pasca operasi- Hilangnya vitreous- Edema Kornea- Prolap Iris- Kekeruhan kapsul Posterior- Residual lens material- Hifema- Endoflamitis- Edema macula kistoid
30
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
1. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah pasien katarak pasca operasi katarak di
Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul-Sel selama periode 1 Oktober
hingga 30 November 2014.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2014 dibagian rekam
medic Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul-Sel untuk pengumpulan data,
kemudian analisis dan pengolahan data akan dilakukan pada bulan
Desember 2014.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode case control yang bersifat deskriptif. Data penelitian yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang diperoleh langsung dari pasien katarak pasca operasi. Data sekunder
diperoleh dari medical record pasien.
3. Variable Penelitian
Variable yang terdapat dalam penelitian adalah variable
independen (X) dan variable dependen (Y). Variable Independen adalah
faktor faktor yang menyebabkan pencapaian tajam penglihatan tidak
maksimal pada pasien katarak dimana aspek yang menjadi subjek yang
akan dilakukan penelitian sedangkan variable dependen adalah pasien
pasca operasi katarak.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam prosedur pengumpulan data, peneliti menggunakan data
wawancara dan observasi. Metode wawancara merupakan teknik untuk
mengumpulkan data dan informasi. Sedangkan observasi merupakan
31
sebuah teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan
menggunakan medical record pasien sebagai datanya.
5. Teknik Pengambilan Sample
1. Melakukan survey penderita katarak di Balai Kesehatan Mata
Masyarakat Makassar.
2. Mengurus perizinan melakukan penelitian di Balai Kesehatan Mata
Masyarakat Makassar.
3. Menggunakan rumus sample dan melakukan pengambilan sample
menggunakan data catatan medis penderita katarak dengan metode
case control
4. Seleksi sample berdasarkan kriteria tajam penglihatan maka
didapatkan sampel yang benar untuk diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis univariat pada setiap variable
yang terdapat dalam instrument penelitian yang meliputi faktor-faktor
yang mempengaruhi tajam penglihatan pada pasien katarak pasca operasi.
7. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian peneliti telah melakukan prosedur
yang berkaitan dengan etiika penelitian. Penelti telah meminta surat
persetujuan dari pembimbing. Setelah disetujui kemudian peneliti meminta
ijin kepada Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul-Sel untuk mencari data
pasien yang pernah dilakukan tindakan operasi katarak.
32
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran umum lokasi penelitian
Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0°12’ -
8° Lintang Selatan dan 116°48’ - 122°36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan
Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di
sebelah timur, batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat
Makassar dan Laut Flores.
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara
administrasi pemerintahan terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3 kota, dengan 304
kecamatan dan 2.953 desa/kelurahan..
Tempat yang dijadikan pengambilan sampel adalah Balai Kesehatan Mata
Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di jalan Wijaya Kususma
Raya no.19 Makassar.
VISI
Balai Kesehatan Mata Masyarakat Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai
visi untuk menjadi “Center of Excellent” Pelayanan kesehatan Mata dan THT di
wilayah Indonesia Timur.
MISI
a. Membangun citra pelayanan prima, bermutu serta professional
b. Menjalin kemitraan dengan semua pihak
c. Melaksanakan Diklat dan Penelitian bidang kesehatan mata dan THT
33
a) Latar Belakang
Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Makassar sebelumnya berbentuk
Seksi Mata dibawah koordinasi dan pengawasan Kanwil Departemen Kesehatan
Propinsi Sul-Sel dikepalai oleh Prof.DR.dr.Waraouw,DSM yang dulunya
berlokasi di Jln. G. Lompobattang No. 10 Makassar.
Dalam rangka pengembangan Pelayanan Kesehatan Mata, maka Pemerintah
melalui SK Menkes RI No. 350 a/Menkes/SK/VI/1991 melembangakan 12 UPT
di bidang Kesehatan Masyarakat, salah satu diantaranya adalah BKMM Prop. Sul-
Sel diresmikan oleh Dirjen Binkesmas Depkes RI Dr. Leimena, MPH di Gedung
Baru Komp. Kesehatan Banta-Bantaeng Jl. Wijaya Kusuma Raya No. 19
Makassar.
Pada tanggal 10 januari 200 BKMM Sul-Sel melakukan kerjasama dengan
bagian Ilmu Kesehatan THT FK-Unhas mengadakan uji coba kesehatan THT
terpadu dengan dukungan dari Depkes RI, maka pada tanggal 08 Mei 2006
kerjasama tersebut dikukuhkan secara resmi.
Sesuai Peraturan Menkes No. 1652/Menkes/Per/XII/2005 struktur dan
organisasi BKMM Makassar meningkat dari Eselon IIIb menjadi Eselon IIIa
dengan wilayah kerja meliputi 13 Propinsi.
Sejak dari Seksi Kesehatan Mata sampai sekarang telah beberapa kali
pergantian pimpinan.
1. Prof DR. Dr. Waraouw, DSM tahun 1955 sampai dengan 1970
2. Prof dr. Umar, DSM tahun 1970 sampai dengan 1982
3. dr. Robert Sutjiadi, DSM tahun 1982 sampai dengan 1992
4. dr. Semuel R. Dundu, DSM tahun 1992 sampai dengan 1995
5. dr. Ny. Hj. Rahasiah Taufik, DSM tahun 1995 sampai dengan 2003
6. dr. Hamzah, Sp.M tahun 2003 sampai 2011
7. dr. Noor Syamsu, Sp.M, M.Kes (Mars) tahun 2011 sampai sekarang
34
Saat ini Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar telah berubah menjadi
Badan Layanan Umum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan
dengan Nomor 56/KMK.05/2011 tentang penetapan Balai Kesehatan Mata
Masyarakat makassar pada kementerian kesehatan sebagai instansi pemerintah
yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU)
dengan status Badan Layanan Umum secara Penuh (BLU secara Penuh). Dengan
status BLU secara Penuh memberikan feksibelitas pengelolaan keuangan kepada
Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No. 23 tahun 2005.
b) Tugas Pokok (Kepmenkes No.1652/MENKES/PER/XII/2005)
1. Pelayanan Kesehatan Mata
2. Pendidikan dan Pelatihan Teknis
3. Peningkatan Kemitraan di Bidang Kesehatan Mata
c) Fungsi
Dengan adanya Kepmenkes No. 1652/MENKES/PER/XII/2005 yang
menyangkut Perencanaan, Koordinasi, Pelaksanaan, Evaluasi dalam fungsi
sebagai berikut :
1. Pelayanan Kesehatan Mata Masyarakat
2. Urusan Tata Usaha & RT BKMM
3. Pencegahan timbulnya ganguan kesehatan Mata
4. Pengobatan mata masyarakat
5. Pelayanan penunjang di bidang Kesehatan Mata Masyarakat
6. Pemulihan & peningkatan fungsi penglihatan & kebutaan
7. Pelaksanaan rujukan Kesehatan Mata Masyarakat
8. Diklat tenaga kesehatan
9. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna
10. Pelaksanaan kemitraan dan sosialisasi kesehatan mata masyarakat
35
d) Kegiatan Pelayanan
- Loket
- Poliklinik Mata
- Poliklinik THT
- Pemeriksaan Spesialis Mata dan THT
- Laboratorium Sederhana
- Pemeriksaan dengan alat penunjang diagnostik seperti Biometri A &
B Scan, Keratometri, Slit Lamp, Tonometri non kontak.
- Tindakan Operasi ( operasi kecil, sedang, besar )
- Apotek
- Ruang Observasi
- Pelayanan Bengkel Kacamata dan Optik
- Operasi fakoemulsifikasi
B. Karektristik Sampel Penelitian
Penelitian dilaksanakan di BALAI KESEHATAN MATA MAKASSAR
(BKMM) pada bulan DESEMBER 2014 dengan menggunakan data rekam medic
dan wawancara pasien pasca operasi katarak dengan facoemulsifikasi di bulan
oktober . dari keseluruhan penderita yang di operasi yaitu 100 pasien dan
didapatkan hasil yang masuk kategori WHO pasien pasca operasi katarak
facoemulsifikasi adalah sebagai berikut : BAIK (6/6-6/18) sebanyak 57 pasien ,
SEDANG (<6/18-6/60) sebanyak 25 pasien , BURUK (<6/60) sebanyak 18
pasien.
36
A. DIABETES MELITUS
Tabbel 5.1 Frekuensi pasien akibat DM
DM
Frequency Percent Valid Percent
Tidak
Iya
18
0
100.0
0
100.0
0
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa tidak terdapatnya pengaruh Diabetes
Melitus yang mengakibatkan tidak maksimalnya tajam penglihatan pada pasien
katarak pasca operasi katarak facoemulsifikasi.
B. UMUR DAN JENIS KELAMIN
Dari 18 pasien yang buruk setelah melakukan operasi katarak facoemulsifikasi
terdapat 12 pasien yang diakibatkan Degeneratif, dan 6 pasien tidak dapat dilihat
pada tabbel 5.2.
Tabbel 5.2 Frekuensi pasien akibat Degeneratif
Degeneratif
Frequency Percent Valid Percent
Tidak 6 33.3 33.3
Iya 12 66.7 66.7
Total 18 100.0 100.0
Dari 18 penderita didapatkan laki-laki berjumlah 8 orang ( 45% ) , dan
perempuan 10 orang ( 55% ). Umur terendah 47 tahun dan tertinggi 76 tahun.
Distribusi pada masing- masing kelompok umur dapat dilihat pada tabel 5.3
37
Tabbel 5.3. Distribusi penderita menurut umur dan jenis kelamin
UMUR ( TAHUN ) ( N ) n (%)
( L ) ( P )
40 – 49 1 ( 6% ) 0 ( 0% ) 1 ( 6% )
50 – 59 2 ( 11% ) 4 ( 22% ) 6 ( 33% )
60 – 69 4 ( 22% ) 5 ( 27% ) 9 ( 49% )
70 – 79 1 ( 6% ) 1 ( 6% ) 2 ( 12% )
JUMLAH 8 ( 45% ) 10 ( 55% ) 18 ( 100% )
C. FREKUENSI FOLLOW UP
Tabbel 5.4 Frekuensi Follow Up
Follow up
Frequency Percent Valid Percent
Tidak 10 55.6 55.6
Iya 8 44.4 44.4
Total 18 100.0 100.0
Dari tabbel 5.4 menjelas kan bahwa terdapat 8 pasien yang tidak teratur
melakukan follow up setelah operasi katarak facoemulsifikasi dan 10 pasiennya
tidak.
Hasil FOLLOW UP pasien pasca operasi katarak facoemulsifikasi dapat
dilihat pada tabel 5.5
38
Tabbel 5.5 Follow Up
FOLLOW UP ( n )
Tidak ada 2
1 kali 2
2 kali 9
3 kali 3
4 kali Tidak ada
5 kali 1
6 kali 1
7 kali Tidak ada
JUMLAH 18 pasien
D. TEKNIK OPERASI
Tabbel 5.6 Teknik Operasi
teknik operasi
Frequency Percent Valid Percent
Tidak
Iya
18
0
100
0
100
0
Dari tabel 5.6 menjelaskan bahwa TIDAK adanya dampak kesalahan teknik
operasi pada pengaruh tidak maksimalnya pengelihatan pasien pasca operasi
katarak facoemulsifikasi.
39
E. KURANGNYA KEPERCAYAAN DAN KEPUASAN PADA
PELAYANAN FACILITAS KESEHATAN
Tabel 5.7 Kurang Kepercayaan dan Kepuasan Pelayanan
Kurang kepercayaandan kepuasan pelayanan
Frequency Percent Valid Percent
Tidak 15 83.3 83.3
Iya 3 16.7 16.7
Total 18 100.0 100.0
Dari tabel 5.7 terdapat 3 pasien yang kurang percaya dan kepuasan pada
pelayanan kesehatan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi
selatan
40
BAB VI
PEMBAHASAN
A. DIABETES MELITUS
Pada tabel 5.1 menjelaskan bahwa pada pasien pasca opersai katarak
facoemulsifikasi TIDAK terdapat penurunan maksimal tajam pengelihatan yang
disebabkan Diabetes Melitus. Hal ini dikuatkan dengan adanya pemeriksaan gula
darah pada pasien sebelum melakukan operasi . dan juga pemberian obat tetes
mata 2 -3 kali pemberia setelah operasi facoemulsifikasi untuk menghindari faktor
DM.
B. UMUR DAN JENIS KELAMIN
Pada tabel 5.2 terlihat bahwa frekuensi penurunan tajam penglihatan pasca
operasi katarak facoemulsifikasi yang disebabkan karena umur ( Degeneratif )
terdapat 12 pasien , Sebagian besar penderita berada pada kelompok usia 60 – 69
tahun. Beberapa penyakit mata yang sering terjadi seiring pertambahan usia:
Presbiopia. Masalah mata ini paling umum dialami terkait dengan penuaan.
Perkembangan normal yang berhubungan dengan usia, dimana akomodasi yang
diperlukan untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Pada usia diatas 40
tahun umumnya seseorang akan membutuhkan kacamata baca.
Pengembara (Floater) dan Kilatan (Flashes). Ini merupakan titik-titik yang
melayang yang kadang Anda lihat bergerak pada penglihatan Anda. Mereka
sebenarnya merupakan gumpalan kecil gel atau puing-puing selular di dalam
vitreous, cairan seperti jeli yang mengisi rongga dalam mata. Pada usia
pertengahan, gel vitreous menyusut atau mengembun, berubah membentuk
gumpalan atau benang dalam mata. Floater juga sering terjadi pada orang dengan
gangguan penglihatan jarak dekat atau pada mereka yang telah menjalani operasi
katarak.
Tidak ada obat untuk floater, dan biasanya hilang dengan sendirinya. Floater
jarang menjadi hal yang serius. Namun, jika tiba-tiba mendapati floater baru yang
41
banyak atau kilatan cahaya, hal itu bisa menjadi indikasi robeknya retina. Dalam
hal itu, Anda perlu mencari perhatian medis dengan segera.
Katarak. Sebagian besar katarak terjadi pada orang yang lebih tua. Lensa
pada mata menjadi keruh sehingga menyebabkan penglihatan kabur. Kondisi itu
mudah diobati. Paparan sinar UV yang lama, penggunaan obat-obatan jangka
panjang, seperti steroid, dan penyakit tertentu, seperti diabetes, dapat
memengaruhi seseorang untuk mendapat katarak lebih awal. Beberapa tanda-
tanda dan gejala lain termasuk sensitivitas terhadap cahaya dan silau yang
membuat sulit mengemudi pada malam hari, lingkaran cahaya di sekitar lampu,
warna menjadi pudar atau menguning, sering mengganti kacamata.
Glaukoma. Tidak hanya satu penyakit, tetapi sekelompok kondisi yang
mengakibatkan kerusakan saraf optik sehingga memengaruhi penglihatan Anda.
Biasanya disebabkan oleh tingginya tekanan di dalam bola mata yang merusak
saraf optik.
Glaukoma merupakan penyebab banyak orang menjadi buta sehingga sering
disebut pencuri penglihatan secara diam-diam. Glaukoma dapat merusak
penglihatan Anda, sehingga secara bertahap Anda tidak merasakan adanya
kehilangan penglihatan, sampai ketika penyakit itu sudah stadium lanjut. Jenis
yang paling umum dari glaukoma adalah glaukoma primer sudut terbuka. Jenis itu
tidak memiliki tanda-tanda atau gejala yang terlihat, kecuali kehilangan
penglihatan secara bertahap.
Gejala glaukoma sudut tertutup akut termasuk sakit mata yang parah, mual
dan muntah yang menyertai sakit mata parah, kemerahan pada mata, lingkaran
cahaya di sekitar lampu, penglihatan kabur, sakit kepala
Degenerasi Makula Terkait Usia (age-related macular
degeneration/AMD). Penyakit ini diakibatkan kerusakan pada jaringan di bagian
mata yang bertanggung jawab untuk penglihatan sentral. Meski tidak
menyebabkan kebutaan total, tetapi memperburuk kualitas hidup Anda dengan
mengaburkan atau menyebabkan bintik buta dalam penglihatan pusat Anda yang
diperlukan untuk membaca, mengemudi, mengenali wajah dan melakukan
pekerjaan detail.
42
Degenerasi makula cenderung memengaruhi orang dewasa usia 50 ke atas.
Ada dua bentuk degenerasi makula, yaitu basah dan kering. AMD kering
merupakan tahap awal penyakit dan mayoritas pasien penderita AMD
mengalaminya. Bentuk AMD basah biasanya menyebabkan kehilangan
penglihatan yang serius. Pada sekitar 10 persen dari jumlah kasus, AMD kering
berkembang menjadi AMD basah, di mana pembuluh darah baru tumbuh di
bawah retina dan menyebabkan kebocoran darah dan cairan. Akibatnya, sel-sel
retina yang rusak menyebabkan bintik-bintik buta dalam visi pusat.
AMD akan menyebabkan titik buta di tengah pusat penglihatan Anda. Tanda
dan gejala lain termasuk kebutuhan untuk cahaya semakin terang ketika membaca
atau melakukan pekerjaan jarak dekat, kata-kata tercetak yang muncul terlihat
terdistorsi atau semakin lama semakin kabur, warna-warna tampak pudar dan
kusam, kekaburan bertahap pada penglihatan secara keseluruhan.
Pada tabel 5.3 terlihat bahwa pasien perempuan yang sudah melakuakan
operasi katarak facoemulsifikasi lebih besar dari pada laki - laki.
Pada tabel 5.3 juga menggambarkan penggolongan sampel berdasarkan umur
didapatkan pada umur 40 – 49 tahun sebanyak 6 % , umur 50 – 59 tahun sebanyak
33 % , umur 70 – 79 tahun sebanyak 12 %, dan ternyata jumlah terbanyak
didapatkan pada umur 60- 69 sebanyak 49 % . hal ini sesuai dengan penelitian
Puryanto didapatkan jumlah penderita terbanyak pada golongan umur diatas 65
tahun ( 40.8 % ). Hasil yang serupa didapatkan pada penelitian oleh susilowati
dimana didapatkan jumlah penderita terbanyak pada usia 60 – 69 tahun. Akan
tetapi, berdasarkan tabel 2.2 yang menggambarkan penggolongan sampel sesuai
jenis kelamin didapatkan jumlah penderita perempuan lebih banyak dari penderita
laki – laki . penderita perempuan sebanyak 10 orang ( 55 % ) dan laki – laki
sebanyak 8 orang ( 45 % ) hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh puryanto yang mendapatkan hasil pria sebanyak 53,3 % dan perempuan 44,7
%.
43
C. FOLLOW UP
Pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa pasien yang tidak melakukan follow up
terdapat 2 pasien , yang melakukan follow up 1 kali terdapat 2 pasien , yang
melakukan follow up 2 kali terdapat 9 pasien , yang melakukan follow up 3 kali
terdapat 3 pasien , yang melakukan follow up 4 kali terdapat TIDAK ADA pasien
, yang melakukan follow up 5 kali terdapat 1 pasien , yang melakukan follow up 6
kali terdapat 1 pasien , yang melakukan follow up 7 kali terdapat TIDAK ADA
pasien . Jadi, dari tabel 5.5 diatas menggambarkan bahwa pasien buruk pasca
operasi katarak facoemulsifikasi yang semestinya melakukan follow up 7 kali
ternyata TIDAK ADA pasien, sedangkan pada tabel 5.5 diatas juga
menngambarkan bahwa terdapat 2 pasien yang tidak melakukan follow up sama
sekali pasca operasi katarak facoemulsifikasi.
Pada faktor ini juga terdapat beberapa alasan pasien kenapa tidak melakukan
follow up secara rutin , seperti jarak tempat tinggal pasien dengan balai
pengobatan mata relative jauh , tidak adanya support oleh keluarga pasien untuk
mengantarnya berobat atau pun melakukan pemeriksaan rutin , dan juga adanya
alasan pasien bahwa penglihatannya sudah membaik sesudah operasi katarak
facoemulsifikasi sebelum follow up hari ke 7.
D. TEKNIK OPERASI
Dari tabel 5.6 menjelaskan bahwa TIDAK adanya dampak kesalahan teknik
operasi pada pengaruh tidak maksimalnya pengelihatan pasien pasca operasi
katarak facoemulsifikasi.
E. KURANGNYA KEPERCAYAAN DAN KEPUASAN PADA
PELAYANAN FACILITAS KESEHATAN
Hubungan pasien terhadap pelayanan facilitas kesehatan primer diketahui dari
hasil wawancara dengan pasien. Dari hasil penelitian diketahui pada tabel 5.7 ,
44
terdapat 3 pasien dari 18 pasien buruk pasca opersai katarak facoemulsifikasi
menyatakan bahwa pelayanan medis yang diterimanya tidak maksimal dan
memuaskan , hal ini sangat beralasan sebab dari para informan diperoleh
informasi bahwa pelayanan facilitas kesehatan primer tersebut kurang yang
dikarenakan ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien saat berada disana.
Sehingga ini menjadi salah satu alasan mengapa pada pasien buruk pasca operasi
katarak facoemulsifikasi tidak teratur melakukan follow up serta tidak
melanjutkan pengobatan di balai pengobatan kesehatan tersebut , melainkan
melanjutkan pengobatannya pada klinik pengobatan mata lain.
45
BAB VII
TINJAUAN KEISLAMAN
Adapun tinjauan yang dapat dilihat dari spesifik keislaman dari mata
menurut Al-Quran dan Hadits, adalah sebagai berikut :
A. Pendahuluan
Pemahaman tentang mata untuk zaman globalisasi saat ini merupakan
salah satu faktor penting untuk menunjang aktivitas. Namun kadang,
seseorang tidak mengetahui terlalu banyaknya aktivitas akan merusak mata.
Kenyataannya kita sering lupa untuk melakukan perawatan mata, padahal
seperti halnya bagian tubuh yang lain, mata mungkin saja terkena gangguan
atau masalah kesehatan. Gangguan-ganguan tersebut bisa disebabkan oleh
udara yang tidak bersih atau terpolusi, radiasi sinar matahari, radiasi akibat
terlalu lama di depan komputer, dan gangguan-gangguan lainnya.
Adapun faktor kesehatan mata dilihat dari tinjauan keislaman pada surah
Al-A’raaf ayat 179, yakni :
….
“… dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah).. “ (Q.S. Al-A’araaf : 179).
Secara asbabun nuzul, ayat di atas diturunkan karena para manusia tidak
pernah bersyukur apa yang telah diberikan kepadanya. Salah satunya yakni mata.
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa (mata) merupakan salah satu indera yang
memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Ulama mengartikan mata
merupakan kunci dari segala aktivitas. Ketika mata baik, maka baik pula yang
dikerjakan dan ketika mata tidak baik maka apa yang dilakukan pun menjadi tidak
baik. Sedangkan mereka yang tidak memanfaatkan mata dengan baik maka
mereka adalah orang yang merugi. Karena itu, ketika seseorang dapat melihat
dengan baik, sebaiknya dapat memanfaatkan matanya dengan sebaik-baiknya.
46
Adapun maksud dari ayat diatas adalah mata merupakan hal penting yang
harus dijaga oleh manusia. Namun secara garis besar manusia menyia-nyiakan
alat indera yang satu ini. Allah SWT secara terang-terangan menjelaskan bahwa
ketika alat indera dalam hal ini adalah mata tidak bias digunakan untuk hal yang
baik maka tidak akan menemukan yang baik pula. Pada dasarnya apa yang
dilakukan kuncinya ada pada alat indera penglihatan. Ketika mata rusak maka
yang akan dikerjakan pun tak aka nada hasilnya. Ketika mata rusak maka yang
dilihatpun tak akan ada baiknya.
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama,
jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas
berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya
dengan tuntunan kesehatan.
Adapun hadits yang membahas tentang anjuran berobat, yakni ;
وَجَلَّلِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ االلهِ عَزَّ
“ Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya
maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Pada hadits di atas dijelaskan tentang betapa penting anjuran berobat. Pada
zaman Rasulullah pun dianjurkan untuk berobat, karena tidak ada penyakit yang
tidak dapat disembuhkan kecuali atas seizin Allah SWT.
Apabila seseorang telah rusak pandangan matanya , maka ia akan hidup
dalam suasana gelapgulita, tidak melihat apapun.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan,
maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat
melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional
Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai “ketahanan jasmaniah,
47
ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib
disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta
mengembangkannya.”
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis
kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi
Muhammad saw.:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah
bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan
selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya
Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu.
Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya
badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan
isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud
melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan
dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan
fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada
pengobatan.”
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk
Kitab Suci dan Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya
pencegahan.
48
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai “FAKTOR PENYEBAB
TAJAM PENGELIHATAN TIDAK MAKSIMAL PADA PASIEN POST
OPERASI KATARAK FACOEMULSIFIKASI DI BALAI KESEHATAN
MATA MASYARAKAT ( BKMM ) SUL – SEL” , dapat disimpulkan sebagai
berikut :
- Variable yang berhubungan dengan faktor – faktor penurunan tajam
penglihatan tidak maksimal adalah umur diatas 60 tahun ( Degeneratif ),
jenis kelamin perempuan , dan kurangnya follow up dari para pasien post
operasi katarak facoemulsifikasi
2. SARAN
Untuk mengurangi prevalensi penyebab penglihatan tidak maksimal pada
pasien post operasi katarak facoemulsifikasi di Balai Kesehatan Mata Masyarakat
( BKMM ) Sul – Sel sebaiknya lebih mengintensitaskan follow up post operasi
katarak facoemulsifikasi , agar dapat mencegah faktor – faktor yang dapat
menyebabkan tajam penglihatan tidak maksimal setelah melakukan operasi
katarak facoemulsifikasi.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Rencana Strategis Nasional Penanggulangan
Gagguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) untuk Mencapai Vision 2020.
Jakarta. 2005.
2. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2006.
3. James, B., Chew, C., Bron, A. 2006. Lecture Notes Oftalmologi. 9th ed.
Erlangga Medical Series: Jakarta.
4. Rahayu NK. Evaluasi Tajam Penglihatan Pasca Operasi Katarak Massal di
Jawa Tengah. Semarang: Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Mata FK UNDIP/
RSUP dr. Kariadi Semarang, 2004.
5. Vaugan G. D, Asbury T, Eva R.P. (2007). Oftalmologi umum. Bab.8 lensa
hal 169-184. Edisi 17. Widya medika : Jakarta.
6. Wijana, Nana S.D, Ilmu Penyakit Mata Cetakan ke-6, Penerbit Abadi tegal,
Jakarta, 1993 : 190-196
7. Ilyas S. Kelainan refraksi dan kacamata. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2006. 7-15
8. Susilowati Y. Komplikasi pada segmen anterior pasca operasi katarak
ekstrakapsuler masal dengan pemberian gentamisisn pada cairan irigasi.
Laporan penelitian program studi ilmu penyakit mata, Program pendidikan
dokter spesialis FK UNDIP, 2003
9. Vaughan DG, Eva RP, Asbury T., Oftamologi Umum. Edisi 14. Widya
Medika. Jakarta. 2000
10. http://bkmmsulsel.net
11. https://kangmuz.wordpress.com/2011/07/29/memahami-ayat-ayat-dan-hadits-
nabi-tentang-kesehatan/
12. http://abuzuhriy.com/hakikat-fungsi-mata-telinga-dan-akal/
13. http://pamanabu.blogspot.com/2010/07/kesehatan-dalam-perspektif-al-quran-
dan.html
50
LAMPIRAN
51
Frequencies
Statistics
DM Degeneratif Follow up teknik operasi Kurang
kepercayaan
pelayanan
NValid 18 18 18 18 18
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.00 1.67 1.44 1.00 1.17
Std. Error of Mean .000 .114 .121 .000 .090
Median 1.00 2.00 1.00 1.00 1.00
Std. Deviation .000 .485 .511 .000 .383
Variance .000 .235 .261 .000 .147
Range 0 1 1 0 1
Minimum 1 1 1 1 1
Maximum 1 2 2 1 2
Percentiles
25 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
50 1.00 2.00 1.00 1.00 1.00
75 1.00 2.00 2.00 1.00 1.00
Frequency Table
DM
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid tidak 18 100.0 100.0 100.0
Degeneratif
52
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak 6 33.3 33.3 33.3
Iya 12 66.7 66.7 100.0
Total 18 100.0 100.0
Follow up
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak 10 55.6 55.6 55.6
Iya 8 44.4 44.4 100.0
Total 18 100.0 100.0
Teknik operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak 18 100.0 100.0 100.0
Kurang kepercayaan pelayanan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak 15 83.3 83.3 83.3
Iya 3 16.7 16.7 100.0
Total 18 100.0 100.0
53
54
55
56
Teknik operasi
Teknik operasi
57
RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Fajri Jami.ady
NIM : 10542 0299 11
Tempat, Tanggal Lahir : Makassar, 15 Desember 1992
Agama : Islam
Alamat :Jl. Dg. Tata Kompleks Hartaco Indah Blok 4 AF No.10
Nama Orang Tua :
- Ayah : Prof. Dr. Abdul Rahman, M.Pd
- Ibu : Dra. Hj. Nursiah, M.Pd
Riwayat Pendidikan :
- TK Patun Makateks (1998-1999)
- SDN Inpres Hartaco Indah (1999-2005)
- SMPN 1 Makassar (2005-2008)
- SMAN 3 Makassr (2008-2011)
- Universitas Muhammdiyah Makassar (2011-sekarang)
Riwayat Organisasi :
- Anggota OSIS SMAN 3 Makassar
- Medical Art Club FK Unismuh Makassar
- BEM FK Unismuh Makassar