365
DISERTASI ASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH Legal Aspecct on the Implementation of Government Function in the Field of Organizing Education in the Era of Regional Outonomy MUHAMMAD RAMLI HABA P0400405013 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010 DISERTASI ASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH Legal Aspecct on the Implementation of Government Function in the Field of Organizing Education in the Era of Regional Outonomy

DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

DISERTASIASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI

PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DALAM ERA

OTONOMI DAERAHLegal Aspecct on the Implementation of Government Function in the Field

of Organizing Education in the Era of Regional Outonomy

MUHAMMAD RAMLI HABAP0400405013

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2010

DISERTASI

ASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DALAM ERA OTONOMI

DAERAHLegal Aspecct on the Implementation of Government Function in the Field

of Organizing Education in the Era of Regional Outonomy

Page 2: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

Disusun dan diajukan oleh:

MUHAMMAD RAMLI HABANomor Pokok P0400405013

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasipada tanggal 11 Maret 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Tim Promotor,

Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MHPromotor

Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MS Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH, MH Ko-Promotor Ko-Promotor

Ketua Program Studi S 3 Direktur Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Mas Bakar, SH,MH. Prof. Dr. dr.A.Razak Thaha, M.Si

TIM PROMOTOR :Promotor : Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MHKo Promotor : Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MSKo Promotor : Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH, MH

Page 3: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

TIM PENGUJI :1. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MH (Ketua/Promotor)

2. Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MS (Anggota/Ko-Promotor)

3. Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH, MH (Anggota/Ko-Promotor)

4. Prof.Dr. I Wayan Parsa, SH, MH (Anggota/Penilai)

5. Prof. Dr. Mas Bakar, SH, MH (Anggota/Penilai)

6. Prof. Dr.M. Yunus Wahid, SH, MH (Anggota/Penilai)

7. Dr.M. Ansyari Ilyas, SH, MH (Anggota/Penilai)

Page 4: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

ABSTRAK

MUHAMMAD RAMLI HABA. Aspek Hukum Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di Bidang Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah (dibimbing oleh H.Aminuddin Ilmar, H.Syamsul Bachri dan Achmad Ruslan)

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkap dan menjelaskan pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah dalam bidang penyelenggaraan pendidikan berikut esensi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah; 2). Mengungkap dan menjelaskan implementasi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah berdasarkan Undang-Undang No, 32 Tahun 2004 dan UU No. 20 Tahun 2003, berikut sinerji kelembagaan ; 3). Mengungkap dan menjelaskan Partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikaan.

Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, Kota Pare-Pare, Kabupaten Gowa, Kabupaten Pangkajene Kepulauan dan Kabupaten Sinjai. Data diperoleh melalui observasi, wawancara dan penyebaran quisioner dengan 100 responden, yang terdiri dari Pihak Eksekutif, Pihak Legislatif, dan Kelompok independen meliputi penyelenggara pendidikan swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh Masyarakat. Analisis data dilakukan berdasarkan analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di bidang penyeleggaraan pendidikan belum berjalan optimal, penyebabnya adalah : a. ego masing-masing daerah yang beranggapan bahwa program di bidang pendidikan bukanlah urusan wajib yang bersifat perintah,; b. ketersediaan porsi anggaran dan kemampuan keuangan daerah kabupaten/kota; c. Political Will Pemerintah daerah, karena tidak semua daerah memiliki skala prioritas pada bidang pendidikan, selain itu urusan pemerintahan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi Kebijakan, Pembiayaan, Kurikulum, Sarana dan Prasarana, Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Pengendalian mutu pendidikan juga belum berjalan optimal; (2) Program pendidikan gratis juga belum berjalan optimal dan masih membutuhkan penyempurnaan terutama yang berkaitan dengan anggaran, yang hingga kini anggaran pendidikan masih pada kisaran 13%; (3). Partisipasi masyarakat dalam kenyataannya masih minim, padahal masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan pendidikan, partisipasi masyarakat diwujudkan melalui wadah Komite Sekolah di tingkat sekolah, dan selama ini terkesan menjadi stempel eksekutit sekolah, sedang Dewan Pendidikan yang dibentuk di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dan menjadi mitra pemerintah, bertujuan memberi pertimbangan (advisory agency), pendukung (support agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga, juga sebagai pengontrol (controling agency) dan sebagai mediator antara eksektif dan legislatif, namun dalam kenyataannya masih jauh dari harapan.

Kata kunci : Aspek hukum, fungsi pemerintah, pendidikan, otonomi daerah.

Page 5: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas
Page 6: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

DAFTAR ISI

HalHALAMAN JUDUL ................................................................................... iHALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iiKATA PENGANTAR.................................................................................. iiiDAFTAR ISI ........................................................................................... ivDAFTAR TABEL........................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ..................................................................... 1B. Permasalahan Penelitian ..................................................... 33C. Rumusan Masalah ............................................................... 42D. Tujuan Penelitian ................................................................. 43E. Kegunaan Penelitian ........................................................... 43F. Orisinalitas Penelitian ........................................................... 44

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Pemerintahan Daerah dalam Prespektif Negara Kesatuan

Republik Indonesia................................................................ 491. Landasan Teoritik ................................................................... 492. Kajian Teoritik Tentang Konsep Negara Hukum ................... 493. Teori Demokrasi .................................……………………....... 574. Hakekat Desentralisasi........................................................... 735. Hakekat Otonomi Daerah........................................................ 87

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pendidikan.............................................................................. 95

1. Hakekat Kewenangan........................................................ 952. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah...................... 1093. Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah .................... 1134. Konsep Desentralisasi Pendidikan ................................... 115 6. Teori Kebijakan Publik....................................................... 1297. Kebijakan Pendidikan dalam Kebijakan Publik................. 138

C. Peran Kelembagaan Dalam Peningkatan Sumber Daya Pendidikan............................................................................. 147

1. Paradigma Baru Pendidikan ............................................ 147 2. Pengembangan Kapasitas................................................. 160

3. Partisipasi Masyarakat. ..................................................... 165

Page 7: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN (CONCEPTUAL FRAMEWORK), DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESISA. Kerangka Pemikiran...................................................................... 187B Definisi Operasional ...................................................................... 190

BAB IV METODE PENELITIANA. Tipe Penelitian ............................................................................. 193B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................ 193C. Lokasi Penelitian ........................................................................ 194D. Populasi dan sampel .................................................................... 194

E. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data............................................ 197 1. Jenis Data........................................................................... 197

2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 197F. Teknik Analisis Data .................................................................... 198

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIANA. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 199

B. Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pendidikan.. 2031. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan..................................... 2042. Batasan Kewenangan....................................................................... 2103. Perencanaan Pendidikan................................................................. 214

C. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi ................................................................... 232

1. Implementasi Kewenangan .............................................................. 2322. Koordinasi Kelembagaan........................................................................... 2873. Pengawasan dan Pembinaan ................................................................. 292

D. Partisipasi Masyarakat ............................................................................ 2991. Hak dan Kewajiban Masyarakat ....................................................... 2992. Peran Komite Sekolah ...................................................................... 3113. Peran Dewan Pendidikan ................................................................. 319

BAB VI PENUTUPA. Kesimpulan ........................................................................................... 326B. Saran .................................................................................................... 327

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 329

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 8: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas
Page 9: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Lembaga Pendidikan di Lokasi Penelitian 200

Tabel 2 Jumlah Murid di Lokasi Penelitian 201

Tabel 3 Jumlah Guru di Lokasi Penelitian 202

Tabel 4 Tanggapan Responden Terhadap Ada Tidaknya Benturan

Kebijakan di Tiap Tingkatan Kewenangan 243

Tabel 5 Perbandingan Dana BOS Tahun 2008 dan 2009 253

Tabel 6 Tanggapan Responden Terhadap Efektivitas Pelaksanaan

Program Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan 255

Tabel 7 Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Operasional

Desentralisasi Pendidikan di Daerah 260

Tabel 8 Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang dapat

Didesentralisasikan. 262

Tabel 9 Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan Dalam APBD

Propinsi Sulawesi Selatan 267

Tabel 10 Pos Bantuan Pendidikan Gratis Propinsi Sulawesi Selatan 271

Tabel 11 Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Kurikulum

di Tingkat Kabupaten/Kota 281

Tabel 12 Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Yang Dilakukan

Terkait Dengan Kebijakan Desentralisasi Pendidikan 309

Page 10: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

ix

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Pembagian Urusan Pemerintahan 210

Diagram 2 Pola Pikir Rensta Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan 2003-2008 218

Diagram 3 Kerangka Pikir Perumusan Perencanaan Pendidikan 222

Diagram 4 Tahap Perencanaan Pendidikan 225

Diagram 5 Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan dengan Total APBD Propinsi Sulawesi Selatan 268

Diagram 6 Lembaga konstituen (stakrholder) dan kebijakan pendidiklan Tahap Perencanaan Pendidikan 325

Page 11: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamin, atas rahmat, inayah dan taufiqNya sehingga penyusunan Disetasi ini dapat diselesaikan, salam dan taslim tak lupa pula penulis sampaikan kepada Nabiyullah Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.

Penelitian yang berjudul “ Aspek Hukum Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di Bidang Penyelenggaraan Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah, berusaha Mengungkap dan menjelaskan pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah dalam bidang penyelenggaraan pendidikan berikut esensi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah; 2). Mengungkap dan menjelaskan implementasi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah berdasarkan Undang-Undang No, 32 Tahun 2004 dan UU No. 20 Tahun 2003, berikut sinerji kelembagaan ; 3). Mengungkap dan menjelaskan Partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikaan.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa disertasi ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga diharapkan masukan dan bimbingan lebih lanjut dari Promotor, Ko Pomotor dan Tim Penilai, olehnya itu pada kesempatan ini pula perkenankan penulis menghaturkan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof Dr. H.Aminuddin Ilmar, SH.MH, selaku Promotor. Bapak Prof. Dr. H.Syamsul Bachri, SH,MS, dan Prof.Dr.Achmad Ruslan, SH.MH masing-masing selaku Ko-Promotor, Bapak Prof.Dr. I Wayan Parsa, SH,MH selaku Penguji Ekternal, Bapak Prof Dr. H.Mas Bakar, SH,MH, Bapak Prof. Dr, H.M.Yunus Wahid, SH,MH dan Bapak Dr. H.M.Ansyori Ilyas, SH,MH masing-masing selaku Tim Penguji, yang dengan penuh kesabaran dan ketekunannya telah mengarahkan penulis dalam penulisan Disertasi ini.

2. Rektor Universitas Hasanuddin Bapak Prof.Dr.dr. Idrus Paturusi,SpB, SpBO beserta jajarannya, Direktur Program Pascasarjana Unhas, Bapak Prof,Dr.dr Razak Taha beserta jajarannya, KPS S3 Ilmu Hukum PPS Unhas, Ibu Prof.Dr.Hj.Badriyah Rifai, SH dan Bapak Prof.Dr.H.Syamsul Bachri, SH.MS selaku Dekan Fakltas Hukum beserta para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Unhas, dan Dosen S3 Ilmu Hukum PPS Unhas atas segala dukungan, arahan, ilmu dan sumbangsinya.

3. Bapak Dr.H.Syahrul Yasin Limpo, SH,Msi, MH, Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan beserta jajarannya yang telah memberikan dorongan moril dan bantuan ,materil sehingga penulis selalu terpacu untuk menyelesaikan studi.

4. Bapak Ir.H.Agus Arifin Nu’mang, MS. Wakil Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan yang telah banyak memberikan dorongan baik pada saat beliau masih menjabat Ketua DPRD Propinsi Sulawesi Selatan sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

5. Bapak H.Moh.Roem, SH, Msi Ketua DPRD Propinsi SULAWESI Selatan bersama segenap anggota DPRD Propinsi Sulawesi Selatan masa bakti 2004-2009 yang banyak memberikan motivasi dan kelonggaran waktu sehingga penulis dapat mengikuti studi tanpa mengabaikan tugas pokok di legislatif selama penulis masih aktif.

6. Bapak Walikota Makassar, Walokota Pare-Pare, Bupati Gowa, Bupati Pangkep, dan Bupati Sinjai yang banyak memberikan dukungan selama penelitian Disertasi ini berlangsung

7. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, dan para Kepala Dinas di Lokasi penelitian (Makassar,Pare-Pare, Gowa, Pangkep dan Sinjai) yang banyak mendukung terselenggaranya penelitian disertasi ini.

8. Bapak Rektor Unismuh Makassar, para Pembantu Rektor beserta jajarannya, Dekan Fakultas Sospol Unismuh Makassar beserta para dosen juga banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini.

Page 12: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

9. Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sulsel, Pimpinan Aisyiyah Wilayah Sulsel, Ketua-ketua Ortom Muhammadiyah Propinsi Sulawesi Selatan yang ikut memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

10. Segenap Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Sulsel, rekan-rekan seperjuangan yang ikut berkontribusi dalam penyelesaian studi juga saya menghaturkan terima kasih.

11. Pimpinan KONI Provinsi Sulawesi Selatan beserta jajarannya,Ketua Pengda IPSI Sulsel beserta jajarannya,, Pimpinan Wilayah V Tapak Suci Putra Muhammadiyah Sulawesi Selatan beserta Dewan Pendekar yang banyak mendorong penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.

12. Rekan-rekan mahasiswa Program Doktor PPS Ilmu Hukum Fak.Hukum Unhas yang telah memberikan dorongan, motivasi dan bantuannya baik moril maupun materil kepada penulis.

13. Rekan-rekan Advokat dan Praktisi Hukum juga banyak berkontribusi dan medorong penulis dalam menyelesaikan studi.

14. Kepada sahabatku H,Mahmud Nuhung, SE, M.E.I, Ismail Rasulong, SE, Drs.M.Yahya Mustafa, M.Si, Iriyanto Sulaiman, SE, MM, dan Drs.HM.Husni Yunus M,PdI yang banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian.

15. Isteriku tercinta, Hj. Nurhaedah Samaluddin, SH, beserta anak-anakku tersayang, Hj. Ellyda Nurfajri Ramli, S.Kg. H.Achmad Muchlas Ramli S.Ked dan H.Muhammad Fachri Ramli yang dengan penuh pengertian, kesabaran dan ketabahan, merelakan waktu dan kasih sayang untuknya tersita oleh aktivitas penulis dalam proses penyelesaian studi ini

16. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Hj, St.Aisyah Dg Ti’no, dan Ayahanda H.Haba Dg.Pabali atas segala kasih, asuhan dan darma beliau kepada penulis..Selain itu penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Kakanda Chaeruddin Haba, Dr,Hj.Maryam Haba, M.Kes, Dra.Habiba Haba, Ir. St.Hajerah Haba, Dra. St. Aminah Haba dan Dra. Ummy Kalsum Haba yang ikut memberikan dukungan dalam penyelesaian studi ini.

Sebagaimana layaknya karya buatan manusia, tentu Disertasi ini memiliki berbagai kekurangan yang masih perlu disempurnakan. Untuk itu diharapkan masukan dan kritikan dan saran membangun dari para pembaca dan ahlinya senantiasa dinantikan. Kepada Allah swt, penulis panjatkan do’a semoga berkenan menerima hasil karya ini sebagai amal ibadah kepadaNya dan semoga pula Disertasi ini bermanfaat bagi mereka yang membacanya.

Makassar, 11 Maret 2010

Muhammad Ramli Haba

Page 13: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi dalam berbagai bidang di Indonesia pada penghujung

abad ke 20 M., telah membawa perubahan mendasar dan fundamental

pada semua sektor kehidupan termasuk dalam penyelenggaraan

pendidikan yang bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi

dan demokratisasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu

kewenangan pemerintah pusat yang didesentralisasikan bersama

sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti

kehutanan, pertanian, koperasi dan pariwisata.

Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih

berkualitas merupakan mandat yang harus dilaksanakan bangsa

Indonesia, sebagaimana termaktub pada alinea 4 Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 (UUD NRI 1945) yaitu “ ....untuk membentuk suatu

Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selanjutnya, pada Pasal 28 C

ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak

mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak

mendapatkan pendidikan dan mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan

Page 14: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

2

dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya

demi kesejahteraan umat manusia.

Amanat tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 31 ayat (1)

yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan”. Sejalan dengan itu Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak

mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur

dengan undang-undang.

Pendidikan bukan saja pilar terpenting dalam upaya

mencerdaskan bangsa , tetapi juga merupakan syarat mutlak bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Olehnya itu, semua warga

negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga

mempunyai kewajiban untuk membangun pendidikan nasional yang

bermutu. Konsekuensinya diperlukan pemerataan pendidikan.

Salah satu perubahan mendasar dalam tatanan pemerintahan

adalah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan

UU No. 32 Tahun 2004. Reformasi pendidikan secara spesifik ditandai

pula dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai

pengganti UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas). Kedua undang-undang tersebut membawa prespektif baru

dalam konteks perbaikan sistem pendidikan sebagai urusan publik

dengan mengurangi otoritas pemerintah, baik dalam kebijakan

Page 15: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

3

kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan

institusi pendidikan itu sendiri.

Terkait hal tersebut, Dede Rosyada (2007:11) menyebutkan

bahwa “arah reformasi pendidikan di awal abad ke-21 ini adalah

demokratisasi dalam pengembangan stakeholder dan pengelolaan

pendidikan yang didukung oleh komunitasnya sebagai kurikulum dan

program pembelajaran, serta kontributor dalam penyelenggaraan

pendidikan tersebut”.

Namun demikian, paradigma perbaikan sektor pendidikan, tidak

cukup hanya dengan regulasi soal kurikulum, penyelenggaraan,

pengelolaan, pembelajaran dan perbaikan sektor sumber daya manusia

(SDM) guru. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen, yang mengatur profesi guru dan dosen, kualifikasi

minimal seseorang bisa diangkat menjadi guru atau dosen, hak dan

kewajiban guru dan dosen, serta tugas-tugas teknik guru dan dosen,

semuanya merupakan perangkat sistem yang diharapkan memberikan

jaminan bahwa hasil pendidikan di Indonesia akan memiliki kualitas

outcome yang baik dan mampu berkompetisi dengan SDM negara lain.

Untuk terlaksananya UU No. 20 Tahun 2003, Presiden mengeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan (SNP) yang memuat kriteria minimal tentang sistem

pendidikan di seluruh wilayah hukum negara kesatuan republik

Indonesia.

Page 16: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

4

Reformasi dalam bidang pendidikan merupakan reposisi dan

bahkan rekonstruksi pendidikan. Asyumardi Azra (2006:xvii)

menyatakan, “secara garis besar pencapaian pendidikan nasional

masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara

kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik

secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki

banyak kelemahan mendasar”.

Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945, secara jelas menyatakan

bahwa “pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi

(constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan

sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi

kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Kewajiban konstitusi

tersebut dipertegas kembali dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional.

Kemauan politik (political will) pemerintah dalam

mengimplementasikan UU tentang Pemerintahan Daerah ditunjukkan

dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dengan

terbitnya Peraturan Pemerintah No, 38/2007 mengurangi sentralisasi

kekuasaan yang berlebihan di masa lampau, dan untuk menghindari

dampak dari pengaturan yang baru ini, maka berbagai pihak perlu

Page 17: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

5

dilibatkan dalam perumusan kebijakan operasional otonomi daerah,

khususnya dalam pengelolaan pendidikan, yang meliputi aspek-aspek

kelembagaan, kurikulum, sumber daya manusia, pembiayaan, dan

sarana prasarana.

Masalah kewenangan daerah diuraikan dalam Bab III UU No. 32

tahun 2004. Ada 9 pasal (Pasal 10 s/d 18). Pasal 10 ayat (1)

menyebutkan “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan

Pemerintah”. Ayat (2) menegaskan “Dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi

seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan berdasar asas otonomi dan urusan pembantuan. Ayat

(3), urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal

nasional; dan agama, Pasal 11 dan Pasal 12 terkait urusan

pemerintahan, selanjutnya pada Pasal 13 ayat (1) menguraikan urusan

wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi yang

merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: (a) perencanaan

dan pengendalian pembangunan, (b) perencanaan,pemanfaatan dan

pengawasan tata ruang, (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat, (d) penyediaan sarana dan prasarana umum,

Page 18: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

6

(e) penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan pendidikan dan

alokasi sumber daya manusia potensial, (g) penanggulangan masalah

sosial, (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota,

(i) fasilitas pengembangan koperasi,usaha kecil dan menengah

termasuk lintas kabupaten/kota, (j) pengendalian lingkungan hidup; (k)

pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l) pelayanan

kependudukan dan catatan sipil; (m) pelayanan administrasi umum

pemerintahan; (n) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk

lintas kabupaten/kota; (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya

yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan (p) urusan

wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya apa yang menjadi urusan wajib dan menjadi

kewenangan pemerintahan daerah provinsi, itu pula yang menjadi

kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota tercermin

dalam Pasal 14.

Untuk melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah

selanjutnya dibentuk Perangkat Daerah sebagaimana termaktub dalam

Pasal 120 yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, Dinas

Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana

secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti

dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada

daerah, dengan mengacu kepada Undang-undang tentang

Page 19: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

7

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah, dimana besarannya disesuaikan dan diselaraskan dengan

pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Semua sumber keuangan melekat pada setiap urusan pemerintahan

yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Selain itu, daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber

keuangan antara lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari

pemerintah sesuai dengan urusan yang diserahkan; kewenangan

memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak

untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang

berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; Hak untuk mengelola

kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pembiayaan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara terdapat pengaturan tentang pengawasan di bidang

pengelolaan keuangan, yaitu kekuasaan pengelolaan keuangan negara

adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan

pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan

kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah

untuk mengelola keuangan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah

yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan

pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota

bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian

dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan

Page 20: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

8

pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan

menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah.

Masuknya pendidikan sebagai salah satu bidang yang

didesentralisasikan pengelolaannya memberikan makna bahwa

pemerintah pusat memiliki keinginan yang kuat untuk mendelegasikan

sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah, khususnya

dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Di samping itu,

bagi setiap daerah, regulasi ini menuntut peran maksimal dalam

memikirkan, merencanakan, dan mengelola sektor pendidikan secara

mandiri dan profesional.

Kondisi pendidikan di Indonesia memang menghadapi dua

masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan eksternal.

Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan dan restrukturisasi

strategi pengembangan yang lebih cepat, akurat dan akseleratif,

sementara secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru

menunggu peningkatan tersebut agar lebih kompetitif.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa sentralisasi pengelolaan

pendidikan nasional selama Indonesia merdeka ternyata telah

menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh

tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. United

National Development Program (UNDP) pada tahun 2005 melansir

bahwa, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada

tingkat 112 dari 173 negara, jauh di bawah Malaysia (peringkat 55),

Page 21: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

9

Thailand (peringkat 70), Filipina (peringkat 77), Cina (peringkat 96), dan

Vietnam (peringkat 109). Dan pada tahun 2009 UNDP melansir kembali

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada peringkat 111

dari 182 negara dengan skor 6,3. (http://www.setneg.go.id/index)

Kenyataan tersebut mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang

lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaan bidang

pendidikan, sehingga dapat mengembangkan potensi peserta didik

sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan

potensi yang lebih luas.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas

mengusung semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi,

terdapat sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, dalam konteks ini kebijakan

penyelenggaraan pendidikan dapat mensinergikan kepentingan

nasional dan kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan

yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik.

Dalam Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan “bahwa

pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing,

membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya

pada Pasal 49 ayat (1) menyebutkan ”dana pendidikan selain gaji

pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%

dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor

Page 22: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

10

pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapan dan Belanja

Daerah (APBD). Pasal 49 ayat (4), Dana pendidikan dari Pemerintah

kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut, begitu banyak pasal-

pasal yang mengatur hak dan kewajiban pemerintah maupun

pemerintah daerah, sehingga diharapkan nantinya pemerintah daerah

bersama kelompok masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan

otonomi pendidikan mengingat jenis kompetensi masing-masing

daerah berbeda satu sama lain, dalam Pasal 50 ayat (5) UU No. 20

Tahun 2003 menegaskan bahwa “Pemerintah kabupaten/kota

mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan

pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.”

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, khususnya dalam penjelasan umum disebutkan “Pendidikan

nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai

pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua

warga negara Indnesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas

sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu

berubah.

Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan :“ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Page 23: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

11

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Paradigma baru pendidikan sebagai out come based

mengharuskan setiap tetesan dana, tenaga, dan waktu yang

dikeluarkan harus dipertanggungjawabkan secara terukur. Diskursus

paradigma pendidikan antara investment based versus out come

based membawa implikasi imperatif terhadap penataan manajemen

pendidikan. Manajemen perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan

menguntungkan bersama.

Fungsi pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar

menjalankan tugas rutin mengajar. Lebih dari itu, menurut hemat

penulis yakni mewujudkan manusia terpelajar yang memiliki keahlian  

berkualitas tinggi.

Demikian pula peran legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

juga terlihat dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah

bersama eksekutif dalam hal ini Pemeritah Provinsi maupun

Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dalam kaitan dengan kebijakan pendidikan di tingkat daerah,

DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota memberikan kontribusi

dan arah bagi pelaksanaan pendidikan di daerah. baik berupa

dukungan anggaran pendidikan yang dialokasikan dalam APBD setiap

tahun, maupun kebijakan lain di sektor pendidikan. Misalnya seberapa

besar dana yang dialokasikan, apakah telah sesuai dengan amanah

Page 24: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

12

Undang-Undang Dasar NRI 1945, peruntukannya seperti apa, seberapa

persen dana pendidikan terserap pada sekolah-sekolah negeri,

seberapa besar dana pendidikan yang terserap pada sekolah-sekolah

swasta.

Fenomena dunia pendidikan Indonesia memang menyiratkan

banyak masalah yang perlu mendapat pengaturan dan kebijakan. Tajuk

rencana Harian Kompas pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei

2005 mengingatkan kita untuk segera membangun pendidikan nasonal.

Disampaikan dalam tajuk itu keprihatinan dan kebanggaan, juga

peringatan :

Persoalan pendidikan di negeri membuat merasa prihatin…. Indeks pembangunan manusia Indonesia begitu rendah. Negara ini tertinggal dari negara lain…. Penghargaan terhadap mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan sangatlah rendah. Seorang profesor yang mencoba mendidik calon pemimpin bangsa hanya diberikan gaji Rp. 2,4 juta per bulan. Padahal pejabat, apalagi direktur badan usaha milik negara, bisa dibayar sampai ratusan juta rupiah ….

Namun demikian, di sisi lain, kita masih melihat satu-satu putra-putri yang menunjukkan prestasi dan karya besar dan itu tidak kalah dari putra-putri negara lain…..

Tidaklah keliru apabila ada yang mengatakan bahwa yang kita hadapi sebenarnya bukanlah menurunnya kualitas manusia Indonesia. Yang terjadi adalah sistem dan lingkungan yang tidak menunjang bagi manusia-manusia Indonesia itu untuk bisa berkembang secara maksimal. Budaya bangsa kita memang tidak kondusif untuk maju. Sifat iri hati, dengki, penuh syak wasangka, intrik, melekat begitu kuat bagi bangsa ini. Keberhasilan seseorang bukannya disyukuri dan dikagumi, justru menjadi bahan pergunjingan dan menimbulkan iri hati….

Tidak ada kata terlambat untuk mempersiapkan menusia-manusia berkualitas itu. Kita masih mempunyai waktu untuk mengejar ketertinggalan, karena kita bukan hanya kemampuan, tetapi potensi-potensi manusia yang memang mempunyai potensi untuk maju ……. Penataan kembali prinsip-prinsip dasar pendidikan sudah waktunya dipikirkan kembali. Terlalu lama sudah perhatian kita tertarik pada hal-hal yang praktis sehingga melupakan sesuatu yang fundamental dan berkaitan dengan masa depan bangsa ini …..

Page 25: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

13

Apa yang dilansir Harian Kompas dalam Tajuk Rencana

sebagaimana penulis kemukakan diatas, merupakan salah satu

persoalan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh

Darmanto (2004:15) bahwa gagalnya sistem pendidikan na�sional

dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, ter�lihat dari

despotisme moral masyarakatnya. Praktek-praktek korupsi, kolusi,

pemerasan dan aksi clepto lainnya, lazim dilakoni oleh para pejabat

negara, yang pada dasarnya mereka menge�nyam pendidikan lebih

tinggi.Untuk Tahun 1999 saja, Darmato (2004:16) mengutip hasil survei

interna�sional The Political and Economic Risk Consultancy (PERC),

menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup di

kawasan Asia. Dalam laporan surveinya yang ditunjukkan dengan skala

0 (nol) hingga 10, di mana nilai nol menggambar�kan situasi paling ideal,

Singapura mencatat angka rata-rata 1,55 untuk korupsi dan 2,73 untuk

kronisme. Hongkong masing-�masing mencatat angka 4,56 dan 3,68.

Sementara Jepang menca�tat angka masing-masing 4,25 dan 4. Di sisi

lain, Indonesia menca�tat skor paling buruk, yakni 9,91 untuk korupsi

dan 9,09 untuk kronisme.

Human Developmen Report (HDR) Tahun 2003 Versi UNDP

dalam Joko Susilo (2007:66) ”memasuki abad 21 sumber daya manusia

kita masih kurang kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara di

Asia Teng�gara, peringkat Human Development Index (HDI) atau

Page 26: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

14

kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urut 112. Urutan

tersebut berada jauh di bawah Filipina (85), Thailand (74), Malaysia

(58), Brunai Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28).

Keadaan ini masih diperparah dengan biaya pendidikan yang semakin

mahal”.

Sebagai perbandingan Human Development Report (HDR)

Tahun 2009 versi UNDP sebagaimana termuat dalam

http://www.setneg.go.id/index indeks pembangunan manusia di

Indonesia, indeks HDI mengalami kenaikan dari 0.729 menjadi 0.734,

namun tetap berada pada peringkat ke 111 dan berada dalam kategori

“Menengah” seperti tahun sebelumnya. Kenaikan indeks tersebut

disebabkan oleh kenaikan indikator PDB per kapita (dari US$ 3,532

menjadi US$ 3,712) dan usia harapan hidup (dari 70,1 menjadi 70,5

tahun), sedangkan tingkat kemampuan baca-tulis orang dewasa dan

rasio pendaftaran bersekolah tetap sama (yaitu 90% dan 68,2%).

Perkembangan indeks pembangunan manusia di Indonesia dapat

dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1

Page 27: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

15

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (HDI) Versi UNDP

Dari tabel di atas tampak bahwa pendapatan per kapita di

Indonesia setiap tahunnya telah semakin meningkat. Bahkan

pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di saat sejumlah

besar negara mengalami kontraksi akibat krisis ekonomi global tahun

2008 (sebesar 4%, yang merupakan angka pertumbuhan tertinggi

ketiga setelah China dan India) berpotensi meningkatkan peringkat HDI

dalam laporan tahun mendatang.

Untuk meningkatkan indikator pendidikan, Pemerintah telah

meningkatkan alokasi anggaran pendidikan hingga mencapai 20% dari

APBN sesuai amanat konstitusi. Begitu pula sejumlah Pemimpin

Daerah (baik Gubernur, Walikota dan Bupati) telah memprioritaskan

dan melaksanakan program pendidikan dan kesehatan yang murah

(bahkan gratis).

Dalam bidang kesehatan, Pemerintah telah berusaha

meningkatkan pelayanan kesehatan dengan mengembangkan program

Page 28: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

16

jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Selain program

kesehatan yang bersifat kuratif, pengembangan program yang bersifat

preventif perlu diberdayakan, agar masyarakat semakin memahami

pola hidup sehat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas

kesehatan masyarakat.

Keberpihakan dan keperdulian dalam bidang pendidikan dan

kesehatan ini perlu semakin diperluas secara merata ke seluruh wilayah

Indonesia, agar pencapaian peningkatan indeks pembangunan

manusia di Indonesia dapat lebih baik dibandingkan pencapaian

negara-negara lainnya.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintah Otonomi Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 mengisyaratkan mengenai kemungkinan-

kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih

kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di

dalamnya , berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan

bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut

adanya perubahan pengelolaan pedidikan dari yang bersifat sentralistik

kepada yang lebih lebih bersifat desentralistik.

Sejalan dengan itu, Tilaar (2002:20) mengemukakan bahwa

desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan, Menurutnya

ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan.

Ketiga hal tersebut adalah : (a) membangun masyarakat demokratis; (b)

Page 29: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

17

pengembangan social capacity; dan (c) peningkatan daya saing

bangsa. Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan

alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa

Indonesia.

Komitmen menerapkan desentralisasi pendidikan dengan tiga

pendekatan sebagaimana dikemukakan Tilaar tersebut dapat dijadikan

acuan, namun pada sisi lain perlu pula diperhatikan karakteristik dan

kemampuan daerah. Lebih jauh Sam M.Chan (2005:2) mengemukakan,

“kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya masih banyak

pemerintah daerah di Indonesia ini yang tidak atau belum siap untuk

menerima berbagai kewenangan, termasuk menjalankan kewenangan

di bidang pendidikan. Alasan yang sering terdengar yang digunakan

oleh daerah tersebut, di antaranya (a) sumber daya manusia (SDM)

mereka belum memadai; (b) sarana dan prasarana mereka belum

tersedia; (c) anggaran pendapatan asli daerah (PAD) mereka sangat

rendah; (d) secara psikologis, mental mereka terhadap sebuah

perubahan belum siap, mereka juga gamang atau takut terhadap upaya

perubahan”.

Sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945 kebijakan di

bidang pendidikan selalu berubah sejalan dengan perubahan kabinet,

sehingga berimplikasi terhadap kualitas/mutu karena terkesan

kebijakan bersifat trial and error. Hal ini terjadi karena setiap kebijakan

di bidang pendidikan berorientasi pada kepentingan rezim

Page 30: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

18

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, mendelegasikan otoritas pendidikan pada daerah

dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, pelibatan masyarakat

dalam pengembangan kurikuler, serta pengembangan sekolah lainnya.

Namun, pembaharuan tersebut belum mampu menjawab kompleksitas

problema yang ada.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang semula diharapkan

akan meningkatkan mutu pendidikan, kenyataannya tidak demikian.

Berbagai persoalan justru muncul sejak diberlakukannya kurikulum

baru. Kurikulum 2004 menyisakan banyak persoalan tentang

ketidakpastian dalam pelaksanaan sehingga tidak berjalan optimal.

KBK meliputi sepuluh mata pelajaran, pengalaman

belajar/umum atau program belajar dan perancanaan program belajar,

sedangkan Kompetensi adalah suatu pengetahuan, keterampilan dan

kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki seseorang yang telah

menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai prilaku kognitifnya,

efektif dan psikomotoriknya.

KBK bukan hanya sekadar agar siswa memahami materi

pelajaran untuk mengembankan kemampuan intelektualnya saja, akan

tetapi bagaimana pengetahuan yang dipahaminya itu dapat mewarnai

kognitifnya , prilaku yang ditampilkan dan keahliannya dalam

menerapkannya.

Page 31: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

19

Selain KBK seperti yang penulis kemukakan diatas, pemerintah

masih terlalu mencampuri wewenang sekolah. Sebagai contoh, Ujian

Akhir Nasional (UAN) yang diterapkan tahun 2006, dan tahun 2007

kemudian berlanjut Ujian Nasional di tahun 2008 yang masih

sentra�listik degan standar nilai dan soal ujian ditentukan oleh

pemerin�tah jelas bertentangan dengan yang seharusnya dilakukan oleh

pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil

belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dalam KBK digunakan

sistem penilaian authentic assessment yang bertujuan untuk menilai

seluruh unsur kemampuan siswa dari aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik.

Selain itu, konsep tentang sekolah demokrasi selalu

mengutamakan stakeholder dalam pengembangan kualitas pendidikan.

Perbaikan kurikulum dengan melibatkan masyarakat sebagai salah satu

elemen belum sepenuhnya tepat sasaran. Selama ini pelibatan

masyarakat hanya dalam persoalan finansial dan infrastruktur. Idealnya,

masyarakat juga berperan dalam peren�canaan, pengawasan, dan

evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite

sekolah/madrasah.

Susilo (2007:17), mengemukakan bahwa “pemahaman yang

sepenggal tentang kebijakan pendidikan justru menimbulkan wacana

bahwa otonomi pendidikan yang pada gilirannya memunculkan

Page 32: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

20

komersialisasi dan kapitalisme di dunia pendidikan”.

Selain itu, dana BOS sebagai bagian dari Program Kompensasi

Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) tidak

seharusnya diklaim sebagai upaya untuk meratakan hak memperoleh

pendidikan. Tanpa PKPS BBM pun rakyat berhak mendapatkan

pendidikan dan penga�jaran yang layak sebagaimana diamanatkan

dalam UUD NRI 1945.

Penyaluran dana BOS dilandasi oleh tiga asumsi dasar.

Pertama, fenomena mahalnya buku pel�ajaran di sekolah yang

memberatkan siswa. Kedua, keberadaan komite sekolah yang selama

ini dipertanyakan netralitasnya membuat fungsi kontrolnya menjadi

lemah. Akibatnya, banyak kebijakan komite sekolah yang mendukung

keinginan manajemen sekolah tanpa melihat kemampuan orang tua

siswa terkait masalah financial. Ketiga, sikap kepala sekolah yang

sering memanfaatkan situasi dengan berlindung di balik komite sekolah

membuat manajemen sekolah semakin amburadul dan tidak kondusif.

Kondisi pendidikan di Indonesia secara kuantitatif mengalami

kemajuan. Berbagai usaha pemerintah dalam hal ini Departemen

Pendidikan Nasional sebagai perpanjangan tangan pelaksanaan

kebijakan negara baik pada tingkat ide maupun konsep. UU Sisdiknas,

otonomi pendidikan, alokasi 20% dari APBN, APBD untuk pendidikan,

kemudian berkaitan dengan manajemen persekolahan Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS), dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),

Page 33: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

21

merupakan langkah maju yang harus segera dikonkritkan. Selanjutnya

semangat reformasi harus dijalankan sehingga mampu mewarnai dan

mewujudkan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik,

terwujudkan pendidikan yang berkualitas berlandaskan budaya bangsa.

Pendidikan hendaknya ditekankan untuk terwujudnya peradaban

bangsa, yang mempunyai identitas dan jati diri.

Supriyoko (2004:33) mengemukakan peran pendidikan, ilmu dan

teknologi terhadap peradaban, yaitu sebagai berikut :

1. Pendidikan sangat menentukan kecakapan masyarakat dibidang

keilmuan dan teknologi.

2. Ilmu dan teknologi menentukan perubahan sosial dan

perkembangan budaya masyarakat.

3. Perubahan sosial dan perkembangan budaya masyarakat sangat

menentukan peradaban suatu bangsa.

4. Secara tidak langsung pendidikan sangat menentukan peradaban

suatu bangsa.

Pemahaman yang sama juga dikemukakan Djohar (2003:55)

”dalam membangun Sumber daya manusia kita tidak cukup

menggunakan wawasan fisik saja tetapi dibutuhkan wawasan

rohaniyah, diantaranya :

1. Pendidikan harus mampu membangun watak dan moral manusia.

2. Pendidikan harus memiliki manfaat transformatif

3. Pendidikan harus mempu menekan tumbuhnya kerakusan

Page 34: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

22

4. Pendidikan harus mampu merasakan penderitaan orang lain

(empati)

5. Pendidikan harus menumbuhkan kemanfaatan dirinya.”

Pendidikan hendaknya ditekankan untuk membangun manusia

dan masyarakat Indonesia yang beradab, yang mempunyai identitas,

berdasarkan budaya bangsa , Pendidikan harus bertolak dari

pengembangan manusia Indonesia yang berbudaya dan

berperadaban, merdeka, bertaqwa, bermoral dan berakhlak,

berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif sehingga

dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global.

Beberapa tahun terakhir, berbagai persoalan pendidikan yang

sering kita jumpai dan dilansir media massa, antara lain :

Fenomena mahalnya harga buku. Mahalnya harga buku

disebab�kan oleh berbagai faktor yaitu jalur distribusi yang panjang,

pajak yang tinggi serta kebocoran (pemalsuan) lainnya yang dialami

oleh penerbit buku lokal. Harga buku yang mahal juga disebab�kan

karena para penerbit harus menanggung pajak import kertas, dan rabat

35-40% untuk distributor, belum lagi fee (komisi) untuk sekolah yang

juga kisarannya mencapai 30-35%.

Biaya pengadaan buku di sekolah selama ini menjadi beban

orangtua siswa setiap menjelang tahun ajaran baru. Apa lagi dengan

kurikulum yang selalu berubah-ubah, siswa terpaksa harus mengganti

buku ajar dengan yang baru walaupun sebe�narnya buku ajar yang baru

Page 35: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

23

isinya hampir sama dengan buku lama, hanya halaman judulnya yang

diubah dengan tampilan yang lebih bagus. Pemerintah memang telah

berupaya meringankan beban orangtua siswa SD-SMP dari biaya

pendidikan melalui pengadaan buku gratis dalam bentuk bantuan

operasional sekolah (BOS). Namun, pengadaan buku gratis tersebut

diperkirakan belum bisa efektif karena hanya untuk satu mata pelajaran.

Padahal setiap tahunnya orangtua siswa harus membeli buku untuk 8�-

10 mata pelajaran (Kompas, 13 Juni 2006). Negara tetangga kita

seperti: Singapura, Malaysia, dan Thailand, sudah sejak lama

memberikan fasilitas buku gratis sampai jenjang SMA (Kedaulatan

Rakyat, 18 April 2006). Hal tersebut masih ditunjang dengan fasilitas

perpustakaan yang amat sangat memadai, bahkan electronic library

yang canggih.

Fenomena lainnya adalah, pengadaan dan penyebaran guru

yang belum merata. Kekurangan guru adalah masalah yang klasik di

dunia pen�didikan Indonesia. Depdiknas mencatat kekurangan guru di

Tanah Air pada tahun 2003 mencapai 427.903 orang. Peme�rintah telah

mengatasi kekurangan guru dengan mengangkat guru bantu sebanyak

190.714 orang. Namun tenaga guru bantu tersebut masih jauh dari

jumlah yang dibutuhkan, kekurangannya masih lebih dari 50%

(Kompas, 17 December 2003).

Menurut data Direktorat tenaga kependidikan pada tahun 2005,

jumlah kekurangan tenaga guru di Indonesia sebanyak 218.838.

Page 36: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

24

Kekurangan guru yang cukup besar tersebut akan menghambat

peningkatan kualitas pendidikan karena guru merupakan faktor penentu

tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Selain itu, pengadaan guru

mengalami ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pengangkatan,

contohnya: pada tahun 1999/2000, mestinya dibutuhkan guru sebanyak

13.000 tetapi pemerintah hanya meluluskan 25% dari permintaan.

Persentase itu nyaris sama untuk setiap tahun. Kendala memenuhi

permintaan itu semata-mata karena ketiadaan anggaran pemerintah

untuk menambah jumlah guru negeri (Kompas 7 Februari 2001).

Kekurangan guru tentunya akan mengakibatkan terhambatnya

proses belajar mengajar, bahkan tidak jarang seorang guru mengajar

pada bidang yang tidak sesuai dengan kemampuan akademiknya.

Tentunya kejadian tersebut secara tidak langsung memacu proses

pembodohan siswa. Dalam pengamatan penulis, kebijakan penye�baran

guru belum sesuai dengan kebutuhan tenaga pengajar di beberapa

sekolah. Salah satu kasus terjadi di salah satu sekolah di daerah ini;

sekolah mengajukan permohonan kepada Depdiknas, kemudian

Depdiknas melan�jutkan permohonan tersebut ke Pemda karena Pemda

yang mengatur distribusi ketenagakerjaan di daerah tersebut. Pemda

menugaskan dua orang guru matematika untuk mengajar di sekolah

tersebut, padahal sekolah mengajukan permohonan untuk

mendapatkan guru bahasa Inggris karena guru bahasa Inggris yang

hanya satu orang cuti hamil, sedangkan guru matematika yang juga

Page 37: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

25

hanya satu orang masih sanggup untuk mengajar siswa di sekolah

tersebut yang hanya berjumlah 5 kelas.

Ketiga Fenomena nilai standarisasi kelulusan siswa, setiap

tahunnya pemerintah menaikkan nilai strandarisasi kelulusan siswa.

Kebijakan pemerintah tersebut dilandasi "trend" semangat baru tentang

kualitas pendidikan. Berbagai pandangan yang pro dan kontra

diutarakan oleh masyarakat seiring meningkatnya nilai standarisasi

kelulusan siswa. Sebagian masyarakat menyambut baik kebijakan

tersebut karena dianggap akan meningkatkan mutu pendidikan, dan

sebagian lagi menolak karena dianggap mempersulit siswa dan

tujuannya sebagai peningkat mutu pendi�dikan malah sebaliknya akan

memerosotkan mutu pendidikan.

Pada tahun 2004, peningkatan angka kelulusan dari 3,01

menjadi 4,01 menimbulkan kekhawatiran siswa yang bakal ti�dak lulus

akan mencapai 40 persen. Kekhawatiran ini tidak ter�bukti karena

Depdiknas melakukan konversi nilai UAN de�ngan cara mengkatrol nilai

kurang dan pengurangan nilai ba�gus, sehingga angka ketidaklulusan

bisa ditekan serendah mung�kin. Dengan menekan angka ketidaklulusan

ini, Depdiknas ingin menunjukkan kecemasan masyarakat tidak

terbukti. Namun demikian, tidak disadari tindakan ini justru bisa memicu

kecemasan masyarakat atas kompetensi dan integritas para pembuat

kebijakan di bidang pendidikan (Kompas, 15 juni 2004).

Page 38: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

26

Keempat, fenomena tentang keberadaan sekolah swasta yang

saat ini terkesan semakin terpinggirkan, padahal beban dan tanggung

jawab antara sekolah negeri dan sekolah swasta dalam mencerdaskan

anak bangsa tidak ada beda�nya, semuanya sama. Mungkin saja

pemerintah terpengaruh dengan “dongeng bawang merah dan bawang

putih” sehingga pemerintah memberi perlakuan yang berbeda pada

sekolah swasta.

Menurut Kartono (2002:44), ”pejabat Depdiknas meng�anggap

sekolah swasta sebagai pesaing sekolah negeri yang ha�rus dilibas”.

Pendapat Kartono tersebut didukung dengan ada�nya kebijakan-

kebijakan yang merugikan dan tidak mendukung keberadaan sekolah

swasta. Dalam hal pemberian subsidi, sekolah negeri diperbolehkan

memungut iuran BP3 tanpa batas padahal honor guru sudah banyak

menjadi tanggungan pemerintah. Selain itu, sekolah negeri

mendapatkan dana rutin dari pemerintah, mendapatkan bantuan berupa

buku yang diperoleh dari dana APBD (Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah) yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitasnya,

sedangkan sekolah swasta memperoleh bantuan dari pemerin�tah

dalam jumlah yang sangat minim. Akibatnya, sekolah swasta harus

bersusah payah mencari dana dan mengolah dana yang tergolong

rendah yang hanya mengandalkan pendapatan dari iuran siswa untuk

biaya opera�sional, sekaligus untuk meningkatkan mutu, membayar guru

dan lain-lain. Padahal sekolah swasta dituntut untuk bisa berkua�litas

Page 39: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

27

setara dengan sekolah negeri.

Bentuk diskriminasi lainnya adalah kebijakan pemerintah pada

saat pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) dengan sistem on line.

Dinas Pendidikan hanya melibatkan sekolah-sekolah besar yang

bermodal (the have), padahal seharusnya sistem on line bisa dinikmati

oleh semua sekolah dengan cara sharing dana (Kedaulatan Rakyat, 20

April 2006). Dampak dari kebijakan tersebut, kursi di sekolah swasta

banyak yang kosong. Ditambah lagi adanya isu penggo�longan sekolah

negeri berdasarkan banyaknya kelas yaitu tingkat A, B, dan C. Bagi

sekolah negeri yang memiliki 5 kelas setiap tingkatan kelas termasuk

golongan B dan dicap sebagai sekolah yang bagus. Sedangkan

sekolah negeri golongan C memiliki ruang kelas kurang dari 5 setiap

tingkatan kelasnya. Dan golongan A lebih dari 5 kelas. Tentunya setiap

sekolah ingin menjadi yang terbaik sehingga mereka berlomba-lomba

menambah ruang kelas, dan logikanya banyak siswa yang tertampung

di sekolah negeri. Bila benar adanya isu ini maka sekolah swasta akan

keku�rangan siswa dan eksistensinya akan terancam gulung tikar.

Bentuk diskriminasi lainnya menurut Kartono, (2002:45).

Sekolah swasta diperbolehkan membuka pendaftaran se�telah SMA-

SMA unggulan dan negeri selesai mengadakan pe�nyaringan. Secara

terbuka Kedaulatan Rakyat melansir “Sekarang ini dunia pendidikan

terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya

yang sekolah di negeri, sementara anak�-anak mereka yang miskin tidak

Page 40: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

28

bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya di sekolah swasta

(Kedaulatan Rakyat, 26 Juli 2006).

Fenomena terkait masalah pendidikan sebagaimana penulis

kemukakan di atas merupakan sebagian dari fenomena yang

melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu hal yang perlu

dicermati adalah pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar

9 Tahun yang dicanangkan pada tahun 1989. Program ini mewajib�kan

kepada seluruh anak berusia 7-15 tahun untuk memperoleh

kesempatan pendidikan sampai setingkat SMP. Tentunya pendidikan

tersebut tidak gratis, banyak sekali yang harus dibayar oleh orang tua

siswa seperti uang pendaftaran, seragam sekolah, seragam olahraga,

buku dan alat tulis, SPP, transportasi, uang saku, kursus ekstra

kurikuler, dan biaya lain-lain. Jika pemerintah konsisten membebaskan

biaya pendidikan untuk program wajib belajar 9 tahun, pertanyaan

dasarnya adalah cukupkah dana anggaran pendidikan yang dijanjikan

oleh pemerintah sebesar 20 persen dari APBN?.

Dalam konteks ini, Surya (2004:18) menegaskan bahwa pendidikan

tidak mungkin murah apalagi gratis. Menurut perkiraan Depdiknas,

untuk terwujudnya pendidikan bermutu, satuan biaya per tahun per

siswa ialah Rp 13.446,5 untuk SD, Rp 27.436,5 untuk SMP, Rp

35.522,69 untuk SMA dan sekira 40 juta untuk SMK. Dengan demikian

jelas bahwa biaya pendidikan itu sangat besar atau tidak mungkin

murah apalagi gratis terutama bagi kalangan tidak mampu.

Page 41: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

29

Dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, tersirat dengan

jelas bahwa salah satu tujuan nasional yang dirumuskan oleh para

pendiri negeri ini adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". Makna

fundamental yang terkandung dalam pesan tersebut ialah bahwa

kekuatan dan kemajuan suatu bangsa terletak dalam kualitas sumber

daya manusianya. Kata kunci pengembangan sumber daya manusia

ialah "pendidikan" bagi seluruh warga negara yang berlangsung

sepanjang hayat sejak dari dalam keluarga, di sekolah, dan di dalam

kehidupan secara keseluruhan.

Pasal 12 (1) huruf c No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa

”setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak,

"mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak

mampu membiayai pendidikannya".

Demikian pula Pasal 40 ayat (1) Undang Undang No. 20 Tahun 2003

menegaskan :

(1). Pendidikan dan tenaga kependidikan berhak memperoleh :

a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b. Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerjanya;c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan

tugas;d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak

atas hasil kekayaan intelektual; dane. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan

fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat".

Page 42: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

30

Terkait alokasi dana pendidikandiatur lebih lanjut dalam Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Permanasari (Kompas, 03

Mei 2005) yang menginginkan pendidikan gratis untuk pendidikan dasar

9 tahun. Sudah lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984,

pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat

pengalaman negara industri baru (new emerging industrialised

countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa

memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang

memadai untuk mendukung pembangunan. Terlebih lagi,

pembangunan masyarakat demokratis men�syaratkan manusia

Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara

lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat

berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu

pengetahuan. Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari

mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun

hingga sembilan tahun, masih belum jelas apakah Indonesia

melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal

education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di

semua tempat.

Pada kesempatan lain Sutjipto, Rektor Universitas Negeri

Jakarta menegaskan ”persoalan pendidikan saat ini memang sangatlah

Page 43: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

31

kompleks, dalam sebuah laporan hasil penelitian menyebutkan kasus-

kasus yang menyebabkan pendidikan nasional terpuruk di antaranya

adalah : (1) Krisis nilai yang melanda peserta didik sehingga mereka

mudah sekali untuk tawuran; (2) Kualitas pendidikan cenderung

merosot, hal itu ditandai dengan nilai Ebtanas yang menurun; (3) Angka

drop-out yang cukup tinggi; (4) Ketidak-jujuran orang yang terlibat

dalam pendidikan mulai dari peserta didik yang nyontek dan senang

tawuran, guru atau dosen plagiator sampai dengan personalia di

Depdiknas yang korup”

Selain itu, Toshiko Kinosita (Kompas 24 Mei 2002)

mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat

lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.

Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan

pendidikan sebagai prioritas terpenting, karena masyarakat Indonesia

mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya

berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak

pernah berfikir panjang.

Dody Nandika (2007:5) mengemukakan bahwa sampai hari ini

tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah, lebih lanjut

dikemukakan, sampai tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk

berusia 15 tahun keatas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi

penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan sekolah

menengah pertama (SMP) ke atas masih sekitar 36,2 persen.

Page 44: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

32

Sementara angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih

sebesar 10,12 persen (Susenas) Kondisi tersebut belum memadai

untuk menghadapi persaingan global dan belum mencukupi pula

sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan

(knowledge based economy)

Untuk konteks Sulawesi Selatan dapat dikemukakan kondisi

pendidikan di Sulawesi Selatan yang jumlah penduduknya sekitar 7 juta

jiwa dengan luas wilayah 45.574,48 km2, saat ini memiliki penduduk

usia sekolah pada kelompok umur 7 – 12 tahun sebanyak 968.040

orang, kelompok umur 13 – 15 tahun sebanyak 485.702 orang, dan

kelompok umur 16 – 18 tahun sebanyak 443.523 orang. Dari jumlah

tersebut, yang terserap oleh sekolah pada jenjang SD/MI sebanyak

1.060.096 orang, SLTP/MTs sebanyak 361.600, SLTA/MA sebanyak

329.245 orang, Paket A sebanyak 3.964 orang, Paket B sebanyak

9.088 orang dan Paket C sebanyak 756 orang. (sumber Diknas Provinsi

Sulsel). Data-data ini menggambarkan perlunya penataan manajemen

penyelenggaraan pendidikan di Sulawesi Selatan dengan melibatkan

seluruh unsur di dalamnya.

Kondisi pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan juga tidak

terlepas dari adanya praktek-praktek yang menyimpang dan cenderung

menjadi suatu pembenaran. Harian Fajar edisi Senin, 16 Juli 2007,

melansir adanya praktek-praktek yang dilakukan sekolah dengan

“Menjual Nama Komite dan Koperasi untuk Pungutan”. Koperasi

Page 45: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

33

sekolah sering menjadi tameng untuk menjual perlengkapan sekolah

seperti sepatu, seragam, buku bacaan dan perlengkapan lainnya.

Pasalnya pihak sekolah selalu menampik tidak memungut biaya masuk

sekolah. Begitupun dengan biaya perlengkapan sekolah bagi siswa

baru, pihak sekolah selalu berargumen bahwa tidak ada pemaksaan

bagi siswa untuk membeli, tapi setiap siswa telah disuguhi daftar

perlengkapan sekolah untuk dibeli di koperasi.

Fakta lapangan seperti diberitakan Harian Fajar pada

pendaftaran ulang siswa, seperti SMAN 8, SMAN 11, SMPN 1, SMPN

24, SMPN 33 menerapkan strategi yang hampir sama. Tak ada lagi

istilah pembayaran masuk sekolah. Yang ada pembayaran

perlengkapan siswa yang dikelola oleh koperasi sekolah meskipun

setiap sekolah mengatakan tidak memaksakan setiap siswa untuk tidak

membelinya. Sebanyak 321 siswa dinyatakan lulus dari 1400 pendaftar

di SMAN 11 Makassar. SMAN 11 melalui wakil kepala sekolahnya

menyatakan, pembayaran masuk sekolah ditentukan oleh komite

sekolah, sementara pembayaran perlengkapan siswa baru di SMAN 11

sebesar Rp. 95 ribu yang meliputi lambang Osis, topi dan uang

pesantren kilat tiga hari.

Sementara di SMPN 33 Makassar, biaya perlengkapan siswa

sebesar Rp. 450 ribu yang meliputi baju seragam, buku bacaan, baju

olahraga yang juga diperoleh melalui badan koperasi sekolah. Hal itu

juga terjadi di SMAN 8 Makassar, hampir semua siswa yang lulus

Page 46: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

34

sebanyak 225 orang membayar sebesar Rp. 835 ribu untuk

perlengkapan sekolah seperti baju olahraga, buku paket bacaan 6

buah, dan sepatu. Bukan itu saja ujar siswa yang lulus, melalui

wawancara dengan komite sekolah, orang tua siswa diminta untuk

memilih sumbangan untuk uang pembangunan sekolah setiap siswa

baru. Komite Sekolah SMAN 8 memutuskan tiga jenis besaran

sumbangan; pertama Rp. 1 juta, kedua Rp. 900 ribu, ketiga Rp. 800

ribu.

Kalau dihitung secara matematis, 225 orang dikalikan dengan

pembayaran perlengkapan sekolah sebesar Rp. 835 ribu, maka

koperasi dan sekolah akan mendapat pemasukan Rp. 187.875.000,-.

Belum lagi pembayaran sumbangan pembangunan yang dikelola

komite sekolah. Bila dihitung minimal 225 siswa menyumbang Rp. 800

ribu, maka setidaknya komite sekolah akan mengelola dana sebesar

Rp. 180 juta.

Fajar edisi Selasa 17 Juli 2007, kembali melansir dengan judul

berita PSB Gelombang Kedua Terindikasi “Dimainkan” Penerimaan

Siswa Baru (PSB) di sejumlah sekolah mulai “dibisniskan” dan tidak lagi

dilakukan secara transparan. Beberapa sekolah yang tidak mencukupi

kuota pada tahap pertama mencoba “dimainkan” dengan orang tua

siswa agar bisa mendapat kursi.

Padahal, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo,

menegaskan, akan menegur kepala sekolah yang menerapkan

Page 47: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

35

pungutan tinggi kepada calon siswa. Sayang, menteri me�ngaku, tidak

berwenang menjatuhkan sanksi. Wewenang itu berada pada

pemerintah daerah di kabupaten/kota, yang ternyata belum

menerapkan aturan dengan tegas.

Kasus yang mengemuka pada pelaksanaan Ujian Nasional

tahun 2008, adalah kebocoran soal ujian nasional dan bisnis kunci

jawaban yang melibatkan dua Kepala Sekolah swasta di Makassar.

Persoalan pendidikan sebagaimana penulis kemukakan di atas,

hampir dialami semua daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi

Selatan, sehingga mendorong penulis untuk melakukan kajian terhadap

hal-hal yang melingkupi dunia pendidikan, khususnya dalam kaitan

Aspek Hukum Terhadap Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah Di

Bidang Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah.

B. Permasalahan Penelitian

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,

pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara,

Page 48: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

36

Disebutkan pula dalam pasal di atas bahwa Pendidikan

Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar

pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap

terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sejalan dengan itu, pelaksanaan otonomi pendidikan

memungkinkan daerah semakin leluasa untuk menentukan sistem

pendidikan yang akan diterapkan di daerahnya. Menyikapi realitas ini,

daerah tidak perlu terlalu berlebihan dengan mengesampingkan

program nasional, dalam arti bahwa sistem yang digunakan di daerah,

tetap mengacu pada program nasional yang tercermin dalam empat

strategi dasar pendidikan nasional yaitu pemerataan pendidikan,

peningkatan mutu, efisiensi, dan relevansi.

Permasalahan klasik di dunia pendidikan yang sampai saat ini

belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk

mengatasinya adalah:

a. Kurangnya Pemerataan kesempatan pendidikan, sebagian besar

masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan

terbatas di tingkat sekolah dasar.

b. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia

kerja, hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang

semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataanya tidak hanya

dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja, namun adanya

Page 49: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

37

perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan

kerja.

c. Rendahnya mutu pendidikan yang indikatornya dapat dilihat dari

tingkat prestasi siswa, semisal kemampuan membaca,

kemampuan pada pelajaran IPA dan Matematika. Studi The Third

International Mathematic and Science Study Repeat TIMSS-R pada

tahun 2004 menyebutkan bahwa diantara 38 negara prestasi siswa

SMP Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk

Matematika.

Ad. A. Pemerataan pendidikan, memerlukan langkah-langkah yang

mencakup hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pemerintah menanggung biaya minimum pendidikan

yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah baik negeri maupun

swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Dana yang

diperoleh dari masyarakat dapat digunakan untuk membiayai kegiatan

sesuai dengan keinginan masyarakat setempat.

Kedua, optimalisasi sumber daya pendidikan yang sudah

tersedia antara lain melalui pelaksanaan double shift, pemberdayaan

SLTP terbuka dan pembukaan kelas jauh tanpa mengorbankan mutu

pendidikan dan tidak mengganggu kelangsungan hidup sekolah-

sekolah swasta di sekitarnya.

Page 50: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

38

Ketiga, memberdayakan sekolah-sekolah melalui bantuan dan

subsidi dalam rangka peningkatan mutu pengelolaan dan pembelajaran

siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia.

Keempat, melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB)

dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah-daerah yang membutuhkan

dengan memperhatikan peta pendidikan di tiap-tiap daerah sehingga

tidak mengganggu keberadaan sekolah swasta.

Kelima, memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah

dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, masyarakat terisolasi, dan

daerah kumuh sehingga tidak ada alasan bagi anak usia sekolah untuk

tidak melanjutkan sekolah sesuai dengan jenjang usia.

Keenam, meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan

pemerintah daerah untuk ikut serta menangani pengentasan wajib

belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Sejalan dengan itu, Sidi (2001:52) menegaskan bahwa mutu

pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian

pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan

itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang

dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal

(minimum basic skill), menerapkan konsep belajar tuntas dan

membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri serta

menerapkan secara berkesinambungan kurikulum berbasis kompetensi.

Page 51: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

39

Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan kualifikasi,

kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan yang sesuai

dengan kebutuhan melalui pendidikan dan pelatihan, melalui lembaga

pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), dan lembaga diklat

profesional.

Hal lain yang juga tidak dapat ditinggalkan adalah penetapan

standar kelengkapan dan kualitas sarana prasarana pendidikan yang

menjadi persyaratan bagi setiap lembaga pendidikan dasar dan

menengah, lembaga pendidikan tinggi, sehingga dapat melaksanakan

kegiatan belajar mengajar secara optimal. Di samping itu, pelaksanaan

program peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah sebagai upaya

pemberian otonomi pedagogis kepada guru dan kepala sekolah dalam

melaksanakan kegiatan belajar mengajar, sehingga mereka dapat

melakukan yang terbaik, meningkatkan prestasi siswa, dan kinerja

sekolah serta dapat bertanggung jawab pada orang tua dan masyarakat

tentang kualitas pembelajaran dan hasil yang dicapai.

Pada tataran ini pula, penciptaan iklim dan suasana kompetitif

dan koperatif antar sekolah dalam memajukan dan meningkatkan

kualitas siswa dan sekolah sesuai dengan standar minimal yang

ditetapkan perlu diterapkan. Melalui ikhtiar ini, setiap sekolah akan

terpacu untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan penyelenggaraan

pembelajaran.

Page 52: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

40

Ad. B. Peningkatan relevansi dan efisiensi pendidikan dapat dilakukan

melalui berbagai aspek seperti :

1. Melakukan penataan manajemen pendidikan. Penataan

manajemen pendidikan ini dapat dilaksanakan dengan

melakukan pembenahan kepemimpinan sekolah sebagai unsur

utama dalam manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis

sekolah sehingga sekolah dapat mandiri, kreatif, inovatif dalam

melaksanakan kegiatan pendidikan sesuai sumber daya

pendidikan yang ada dan sesuai dengan tantangan zaman

(Tilaar, 1992:101).

2. Selain itu, juga perlu dilakukan peningkatan profesionalisme

guru. Dengan upaya-upaya ini, proses belajar mengajar

diharapkan akan ikut terangkat. Artinya ada semacam perbaikan

terhadap proses belajar mengajar di sekolah.

Pemerintah maupun Pemerintah Daerah masih merupakan

pendukung utama terhadap berlangsungnya pelayanan pendidikan,

terutama lembaga pendidikan negeri, kebijakan pemerintah juga

mendorong partisipasi masyarakat dan keluarga dalam mendukung

pelaksanaan program-program pendidikan. Selain itu peran DPR RI

dan DPRD Provinsi dan Kabupaten /Kota ikut mengambil peran dalam

menentukan arah dan kebijakan Pendidikan Nasional maupun provinsi

menjadi salah satu institusi yang akan menjadi pokus dalam penelitian

ini.

Page 53: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

41

Ketentuan Pasal 21 (1) UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan :

Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendidikan dan

dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu

dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan

program pendidikan yang diselenggarakannya. Selanjutnya dalam

penjelasan Pasal 21 (1) butir 1 UU No. 20 Tahun 2003 : Gelar

akademik yang dimaksud, antara lain, sarjana, magister, dan doktor .

Selanjutnya dalam Pasal 46 (1) UU No. 20 Tahun 2003

menyatakan bahwa “Pada dasarnya pendidikan merupakan tanggung

jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, yang

berlaku dalam hal biaya penyelenggaraan pendidikan”.

Implementasi otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan

penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi

dan keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah

pendidikan dari pusat ke daerah, baik di kabupaten dan kota maupun di

provinsi. Demikian pula otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan

bertujuan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, serta pemerataan

pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan memindahkan atau

memberikan masalah pendidikan dari pemerintah nasional ke

pemerintah daerah.

Menurut Tilaar (2005:31) Terdapat delapan grand narrative yang

sifatnya perenial dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu (1)

Page 54: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

42

kebijakan pendidikan, (2) masalah mengenai perkembangan anak

Indonesia, (3) guru, (4) relevansi pendidikan, (5) mutu pendidikan, (6)

pemerataan (education for all), (7) manajemen pendidikan, dan (8)

pembiayaan pendidikan.

Riant Nugroho (2009:9) Tantangan terbesar dalam

pembangunan Indonesia dalam rangka mencapai tujuan konstitusi yaitu

“mencerdaskan kehidupan bangsa adalah “bagaimana membangun

kebijakan pendidikan di daerah yang ungggul, di dalam tatanan di mana

Kebijakan Pendidikan dalam konteks otonomi daerah dikaitkan dengan

Kebijakan Publik Desentralisasi (UU No. 32/2004) dan Kebijakan

Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003)

Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

mengatur tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah provinsi, dan urusan wajib yang menjadi

kewenangan urusan pemerintahan kabupaten/kota khususnya huruf f

terjabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 ayat (1)

Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) adalah

urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah

daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota , berkaitan

dengan pelayanan dasar. Pasal 7 ayat (2) Urusan wajib sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi : a). Pendidikan; b). Kesehatan, c)

Page 55: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

43

lingkungan hidup. D). Pekerjaan umum, e). Penataan ruang f).

Perencanaan pembangunan; g), perumahan h) kepemudaan dan

olahraga. Perhubungan; i) penanaman modal. J). Koperasi dan usaha

kecil dan menengah k). Kependudukan dan catatan sipil, l)

ketenagakerjaan m). Ketahanan pangan n). Pemberdayaan

perlindungan dan perlindungan anak; o). Keluarga berencana dan

keluarga sejahtera p). Perhubungan q). Komunikasi dan informatika, r).

Pertanahan; s). Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, t). Otonomi

daerah, pemerintahan umum, administrasi keuaangan daerah,

perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; u). Pemberdayaan

masyarakat dan desa, v). Sosial, w). Kebudayaan x). Statistik, y).

Kearsipan; dan z). Perpustakaan.

Selain urusan wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2)

terdapat pula urusan pilihan, dalam Pasal 7 (4), Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 menyatakan Urusan pilihan meliputi : a).

Kelautan dan perikanan; b), pertanian, c), kehutanan; d), energi dan

sumber daya mineral, e). pariwisata, f), industri, g), perdagangan; dan

h) ketransmigrasian.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Khususnya pembagian urusan pemerintahan Bidang Pendidikan

Pemerintah bertanggung jawab atas 6 (enam) hal, yang terjabarkan

Page 56: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

44

dalam 6 sub bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah,

Pemerintahan daerah provinsi dan Pemerintahan daerah

kabupaten/kota. Sub bidang dimaksud adalah : (1) Kebijakan; (2)

Pembiayaan; (3) Kurikulum; (4) Sarana dan Prasarana; (5) Pendidik

dan Tenaga Kepedidikan; serta (6) Pengendalian Mutu Pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 merinci lebih jauh,

tanggung jawab Pemerintah pusat meliputi :

1. Bertanggung jawab atas penetapan kebijakan nasional

pendidikan; perencanaan strategis pendidikan nasional;

pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan;

2. Penetapkan pedoman pembiayaan anak usia dini, pendidikan

dasar, menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal;

3. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan

anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah;

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan strandar

nasional sarana dan prasarana pendidikan, melakukan

pengawasan pendayaan gunaan bantuan, serta penetapan

standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran;

5. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga

kependidikan serta pemindahan pendidik dan tenaga

kependidikan PNS antar provinsi;

6. Penilaian hasil belajar, evaluasi, akreditasi dan penjaminan

mutu.

Page 57: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

45

Kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah provinsi meliputi :

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai

dengan kebijakan nasional; perencanaan strategis pendidikan

anak usia dini, dasar, menengah dan pendidikan nonformal;

2. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf

internasional sesuai dengan kewenangannya;

3. Melakukan koordinasi dan suverpisi pengembangan kurikulum

tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah;

4. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional

sarana dan prasarana pendidikan menengah, pengawasan

penggunaan buku;

5. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan

untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya;

pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga

kependidikan; pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan

PNS antar kabupaten/kota.;

6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,

pendidikan menengah dan pendidikaan nonformal.

Pemerintah Kabupaten/Kota, juga melaksanakan kewenangan

yang sama pada skala kabupaten/kota dan lebih bersifat operasional,

misalnya:

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota

sesuai kebijakan nasional dan provinsi; demikian pula

Page 58: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

46

perencanaan operasional pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, menengah dan nonformal sesuai dengan perencanaan

strategis tingkat provinsi dan nasional; pengelolaan dan

penyenggaraan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah

dan nonformal, pemberian/pencabutan izin pendirian satuan

pendidikan dasar, penyelenggaraan dan atau pengelolaan

satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional;

2. Menyiapkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak

usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan

pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, termasuk

penyiapan pembiayaan penjaminan mutu;

3. Melakukan Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum

tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar, sosialisasi

kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan, pengawasan

pelaksanaan kurikulum;

4. Melakukan penghawasan terhadap pemenuhan standar nasional

sarana dan prasarana, pendayagunaan bantuan, dan

pengawasan penggunaan buku pelajaran;

5. Melakukan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga

kependidikan, pengangkatan dan penempatan serta pemindahan

pendidik dan tenaga kependidikan PNS,

6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,

menengah dan nonformal, melakukan koordinasi, fasilitasi,

Page 59: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

47

monitoring dan evaluasi pelaksanaan ujian sekiolah pada lingkup

kabupaten/kota

Kewenangan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah pusat

melaksanakan tugas ataupun kewenangannya pada skala makro,

Pemerintah provinsi pada perencanaan yang bersifat strategis, sedang

Pemerintah kabupaten/kota lebih pada kebijakan operasional.

Selain Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Di awal

Tahun 2010, Pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah

Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Sistem Pendidikan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010,

Pemeririntah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah

Kabupaten membagi tanggung jawab pengelolaan pendidikan

sebagaimana tercermin dalam pasal 17 sampai dengan pasal 27 bagi

Pemerintah Provinsi, dan bagi Pemerintah Kabupaten/kota diatur dalam

pasal 28 sampai dengan pasal 38. Sedang pengelolaan pendidikan

oleh Penyelenggara Satuan Pendidikan yang didirikan Masyarakat

diatur lebih jauh dalam pasal 39 sampai dengan pasal 48.

Dalam ketentuan pasal 17 PP Nomor 17 Tahun 2010,

ditegaskan “Gubernur bertanggung jawab mengelola system pendidikan

nasional di daerahnya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan

daerah bidang pendidikan sesuai kewenangannya” sedang Pasal 18

Page 60: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

48

ayat (2) mengatur tentang penjabaran kebijakan pemerintah daerah

yang dituangkan dalam : a. rencana pembangunan jangka panjang

provinsi; b. rencana pembangunan jangka menengah provinsi;

c. rencana strategis pendidikan provinsi; d.rencana kerja pemerintah

provinsi; e. rencana kerja dan anggaran tahunan provinsi; f.

peraturan daerah di bidang pendidikan; dan g. peraturan gubernur di

bidang pendidikan.

PP Nomor 17 Tahun 2010 juga mengatur tentang penjaminan

mutu pendidikan melalui akreditasi di tingkat provinsi, hal tersebut

tercermin dalam pasal 23

(1) Pemerintah provinsi melakukan dan/atau memfasilitasi penjaminan

mutu pendidikan di daerahnya dengan berpedoman pada kebijakan

nasional pendidikan dan Standar Nasional Pendidikan.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), pemerintah provinsi berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis

Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.

(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), pemerintah provinsi mengoordinasikan dan

memfasilitasi:

a. akreditasi program pendidikan;

b. akreditasi satuan pendidikan;

c. sertifikasi kompetensi peserta didik;

d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau

e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.

Page 61: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

49

Kebijakan yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota sebagaimana tercermin dalam pasal 28, 29 dan pasal

34 PP No. 17 Tahun 2010. Pasal 28 menegaskan “Bupati/walikota

bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di daerahnya

dan merumuskan serta menetapkan kebijakan daerah bidang

pendidikan sesuai kewenangannya.

Selanjutnya pasal 29 ayat (2) menyebutkan Kebijakan daerah

bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam: a. rencana pembangunan jangka panjang kabupaten/kota; b.

rencana pembangunan jangka menengah kabupaten/kota; c. rencana

strategis pendidikan kabupaten/kota; d. rencana kerja pemerintah

kabupaten/kota; e. rencana kerja dan anggaran tahunan

kabupaten/kota; f. peraturan daerah di bidang pendidikan; dan g.

peraturan bupati/walikota di bidang pendidikan.

Kehadiran PP Nomor 17 Tahun 2010 semakin mempertegas

keinginan Pemerintah untuk membenahi dunia pendidikan dewasa ini

yang masih jauh tertinggal dibanding Negara-negara Asean lainnya,

Nelson Pomalinggo (2006:27) menegaskan bawah sebagian

besar dari unsur-unsur yang mempunyai kaitan langsung dengan

peningkatan mutu pendidikan seperti guru, sarana belajar, proses

belajar, sinerji orang tua, sekolah, dan masyarakat, dan iklim serta

budaya belajar kini menjadi tanggung jawab semua unsur “stakrholder”

pendidikan di daerah.

Page 62: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

50

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota perlu memilah dan memilih secara hati-hati berbagai

strategi pembangunan pendidikan yang selama ini telah dilakukan agar

kekeliruan kolektif pada masa lalu tidak diulangi oleh pemerintah

daerah pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, hanya strategi

pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang

perlu dilanjutkan.

Lebih lanjut Nelson Poalinggo (2006:30) Strategi pembangunan

pendidikan yang efektif mutlak diperlukan, yaitu strategi pembangunan

yang memberdayakan, memberikan kepercayaan yang lebih luas, dan

mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan kepada sekolah. Peran

pemerintah lebih ditekankan pada pelayanan, agar proses pendidikan di

sekolah berjalan secara efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakukan

oleh semua jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun

kabupaten/kota. Dalam konteks itulah, reformasi dalam pengelolaan

pendidikan mengarah pada terciptanya kondisi yang desentralistis baik

pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah.

Berdasarkan pada uraian diatas, maka issu penelitian diduga

kuat bahwa pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang penyelenggaraan

pendidikan dalam era otonomi daerah belum optimal

C. Rumusan Masalah

1. Seberapa jauh optimalisasi pelaksaanaan Fungsi Pemerintah

Daerah di bidang penyelenggaraan pendidikan.

Page 63: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

51

2. Seberapa jauh sinerjitas kewenangan antara Pemerintah,

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota di bidang

penyelenggaraan pendidikan.

3. Seberapa jauh peran dan partisipasi masyarakat terhadap

perumusan kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan.

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab

Pemerintah. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

kabupaten/kota di bidang penyelenggaraan Pendidikan.

2. Untuk mengkaji sejauh mana implemantasi kewenangan

pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

di bidang penyelenggaraan pendidikan.

3. Untuk mengetahui, mendalami, serta menganalisis bentuk

partisipasi masyarakat berupa hak dan kewajiban, pelibatan

masyarakat dalam penyusunan kebijakan dan sejauh mana

peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.

E. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis; diharapkan dapat memberikan kontribusi

dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

dalam bidang ilmu hukum tata negara dan administrasi negara

dalam penataan sistem penyelenggaraan desentralisasi

pendidikan di Indonesia.

b. Kegunaan Praktis; diharapkan hasil penelitian ini sebagai

sumbangan pemikiran untuk dijadikan acuan dalam

Page 64: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

52

pengembangan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di

daerah.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi peneliti

berikutnya yang merupakan suatu konsep yang dapat dilanjutkan

dalam penataan sistem penyelenggaraan desentralisasi

pendidikan.

d. Konsep yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat

menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terlibat dalam

menentukan arah kebijakan sistem desentralisasi pendidikan

dimasa yang akan datang.

F. Orisinalitas Penelitian

Sepanjang pengetahuan dan sejauh pelacakan kepustakaan

disertasi maupun penelitian yang mengkaji permasalahan kedudukan

dan peran pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidilan di

era otonomi daerah dari perspektif sosio-yuridis, penulis menganggap

bahwa topik ini masih tergolong baru khususnya di daerah penelitian.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini masih orisinil

adanya. Jika kemudian masalah ini pernah diteliti sebelumnya,

diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memperkaya dan atau

dapat melengkapi hasil penelitian sebelumnya.

Sebagai perbandingan atas berbagai karya tulis ilmiah baik itu

tesis maupun disertasi, berikut penulis kemukakan hasil penelitian yang

membahas tentang otonomi daerah/pemerintahan daerah, sebagai

berikut :

Page 65: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

53

Penelitian Disertasi A. Pangerang Moenta (1999) di

Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, adalah penelitian

tentang prinsip permusyawaratan rakyat berdasarkan pasal 18 Undang-

Undang Dasar 1945 dan Implementasinya dalam sistem pemerintahan

di daerah. Penelitian ini dititikberatkan pada wujud dan prinsip-prinsip

desentralisasi pemerintahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Penelitian Disertasi Bagir Manan (1990) di Pascasarjana

Universitas Padjajaran Bandung, adalah penelitian tentang Hubungan

antara pemerintah pusat dan daerah menurut asas desentralisasi

berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Penelitian ini dititik beratkan

pada hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tidak menjamin (1) Terciptanya

hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. (2) Asas-

asas desentralisasi daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah,

Retribusi daerah dan usaha-usaha lain daerah yang sah berpengaruh

besar terhadap pelaksanaan otonomi di Daerah Tingkat II. (3) Daerah

Tingkat II kurang mampu menggali dan mengembangkan sumber-

sumber pembiayaan (keuangan) untuk pembangunan pemerintah

daerah Tingkat II.

Penelitian Disertasi Benyamin Hoessein (1993) di Pascasarjana

Universitas Indonesia Jakarta dengan judul “Berbagai faktor yang

mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II”. Penelitian ini

dititikberatkan pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan/faktor-

Page 66: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

54

faktor yang mempengaruhi pemerinah memilih menitikberatkan otonomi

daerah pada daerah Tingkat II.

Penelitian Desertasi H. Syaukani H.R. yang telah dibukukan

berjudul : “Akses dan Indikator Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang

Baik (Accses and Indicators to Good Local Governance)”, Lembaga

Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (LKHK-Otda),

Yogyakarta, 2003. Disertasi ini mengupas tentang pentingnya akses

dan indikator tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Dalam

simpulannya, dikemukakan bahwa (1) pemerintahan yang baik

merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam bentuk

terbaik yang mencakup aspek kehidupan yang sangat luas, dimulai dari

politik, ekonomi dan sosial, dan terkait erat dengan fungsi eksekutif,

legislatif, dan yudikatif, serta dengan melibatkan posisi dan peran sektor

dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintahan yang baik tersebut

dilaksanakan dengan menerapkan prinsip/kriteria yang mencakup

participation, rule of law, transparancy, responsiviness, consensus,

orientation, equity, effectiviness, and accountability, strategic vision, dan

professionalism, yang diikuti dengan penerapan asas legalitas,

yurisdiksitas, diskresional, dan asas umum pemerintahan yang baik; (2)

organisasi Negara dan organisasi administrasi baik di tingkat pusat dan

daerah sebagai unsur dalam domain state, merupakan penyelenggara

kekuasaan Negara yang memiliki peran utama dalam mewujudkan

“good local governance”.

Page 67: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

55

Penelitian Disertasi Sodjuangon Situmorang (2002) di

Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta dengan judul “Model

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan

kabupaten/Kota”. Penelitian ini dititikberatkan pada bagaimana mencari

landasan filosofis dan model pembagian urusan pemerintahan yang

ideal antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam era otonomi daerah saat

ini.

Meskipun hasil-hasil penelitian tersebut di atas menjadikan

masalah otonomi daerah sebagai objek kajian dalam konteks hukum

pemerintahan, namun terdapat perbedaan yang subtantif dari penelitian

penulis yang meneliti soal titik berat otonomi daerah dengan lebih

memfokuskan pada kewenangan pemerintah daerah terhadap

penyelenggaraan pendidikan. Pilihan titik berat penelitian pada aspek

hukum terhadap pelaksanaan fungsi pemerintah daerah di bidang

penyelenggaraan pendidikan didasarkan atas beberapa pertimbangan

antara lain, dalam pelaksanaan wewenang/kewenangan pemerintah,

pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pendidikan masih

terdapat persepsi yang berbeda, khususnya dalam kaitan tanggung

jawab dan wewenang pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten kota, kemudian mempertanyakan kembali seberapa jauh

implementasi kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan

kabupaten/kota disamping itu peran dan partisipasi masyarakat meliputi

Page 68: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

56

hak dan kewajibannya, pelibatan masyarakat dalam perumusan

kebijakan dan sejauh mana peran serta komite sekolah dan dewan

pendidikan apakah ikut menunjang atau menghambat terwujudnya

penyelenggaraan pendidikan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka masalah ini menarik

untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam lagi guna memberikan

sumbangan pemikiran dalam rangka turut andil mencarikan solusi atas

persoalan-persoalan penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi

daerah, khususnya menyangkut aspek hukum terhadap pelaksanaan

fungsi Pemerintah Daerah di bidang penyelenggaraan pendidikan

dalam era otonomi daerah.

Page 69: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

57

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemerintahan Daerah Dalam Prespektif Negara Kesatuan Republik Indonesia

1. Landasan Teori

Untuk menemukan konsep dalam mengembangkan dan

membangun Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan

Pendidikan di Daerah, maka penelitian ini menggunakan pendekatan

teori konsep negara hukum sebagai Grand Theory serta didukung oleh

teori demokrasi, teori desentralisasi dan teori wewenang atau

kewenangan.

2. Konsep Negara Hukum

Beberapa kepustakaan mengungkapkan bahwa terdapat tiga

Page 70: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

58

kemungkinan cara pendekatan tentang pengertian Negara, masing-

masing meliputi kekuasaan (power), kekuatan (force) dan kewenangan

(authority). Sebenarnya ketiga-tiganya adalah kekuasaan dan berkaitan

erat. D’ Entreves, dalam (Abdullah 2007:29) menyatakan bahwa

menurut teori hukum tentang negara, “kekuasaan negara” adalah

kekuasaan hukum, artinya dipersyaratkan dan dengan petunjuk hukum,

karenanya validitas kekuasaan hanya ditentukan oleh hukum, sesegera

hukum berakhir, maka berakhir pula kekuasaan yang ada pada Negara

hukum dan kekuasaan seakan menyatu.

Menurut sejarahnya, konsep negara hukum pertama kali

dikemukan oleh Plato, kemudian dikembangkan dan dipertegas kembali

oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politea. Plato dengan

gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa berlaku adil,

menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan kebijaksanaan serta senantiasa

memperhatikan kepentingan rakyatnya. Plato juga memaparkan konsep

agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar hukum (rule of the

game), demi warga negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam buku

ketiga dari Plato yang berjudul Namoi, Plato lebih menekankan

konsepnya pada para penyelenggara Negara agar senantiasa diatur

dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak bertindak

sekehendak hatinya.

Aristoteles dalam bukunya Politica, mengemukan gagasannya,

bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah/dikelola

Page 71: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

59

di atas dasar suatu konstitusi sehingga di dalam negara tersebut

hukumlah yang berdaulat. Dalam perkembangannya kemudian, mulai

abad ke-19 dikenal dengan konsep negara hukum yakni suatu konsep

negara yang diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa

Kontinental (rechtstaat) dan konsep negara hukum Anglo Saxon (rule of

law).

Freidrich Julius Stahl dalam Ridwan, dan Nikmatul Huda, terpetik

dalam Hamzah, (2009: 17), menegaskan unsur-unsur Negara hukum

Eropa Kontinental (rechstaat) adalah: a) Adanya perlindungan hak-hak

azasi manusia; b) Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan

untuk menjamin hak-hak itu; c) Adanya pemerintahan berdasarkan

perundang-undangan; dan d) Adanya peradilan administrasi dalam

perselisihan.

Rosenthal dalam Bovens, (1987;54) menyatakan bahwa konsep

Negara hukum dapat dilihat dari a) Desentralisasi kekuasaan; b)

Primata dalam politik; c) Keterbukaan pemerintahan; dan d)

Pertimbangan yang cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap

keputusan pemerintah.

Konsep negara hukum (rule of law) dari A.V.Decey dalam

bukunya yang berjudul An Introduction To The Study of The Law of

The Constitution, unsur-unsurnya adalah a) Supremasi aturan-aturan

hukum (Supremacy of the law); b) Kedudukan yang sama dalam

menghadapi hukum (equality before the law); c) Terjaminnya hak-hak

Page 72: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

60

manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.

Terkait konsep rule of law dan rechstaat, oleh Philipus M.

Hadjong (1987:760) menjelaskan, bahwa; “konsep rechstaat bertumpu

pada sistem hukum Eropa Kontinental yang disebut Civil Law System”.

Sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang

disebut Common Law System”

Konsep Negara Hukum juga dikemukakan oleh Berman, dalam

Boven, (1987;56), bahwa ;“The Rule under Law”, yaitu mengadakan

pengaturan dengan hukum atau menetapkan hukum secara teratur,

Rule Under Law, mengadakan pengaturan dan atau mengatur

kewenangan di bawah kewenangan hukum ; Rule of Law mencakup

saparation power, checks and balances, dan equality before the law”

Utrecht, E (1990:132) kemudian mengingatkan, bahwa :

“agar Negara hukum itu dapat terwujud sesuai tujuannya, maka

Negara hukum itu harus didasarkan pada : a). asas legaliteit, yaitu

semua tindakan alat-alat Negara harus didasarkan atas dan dibatasi

oleh peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuasaan

tertinggi dalam Negara, yaitu Undang-Undang Dasar yang terdiri atas

peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum b). Asas

perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia/semua orang yang

ada di wilayah Negara”.

Piet Thoenes , dalam La Ode Husen (2005:23) memberikan

definisi tentang welfare state, sebagai berikut :

Page 73: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

61

“The welfare state is a form of society characterized by a system of democration government sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizent, concurrently with the maintenance of a capitalist system production”. (Suatu bentuk masyarakat ditandai dengan suatu sistem kesejahteraan yang demokratis dan ditunjang oleh pemerintah yang ditempatkan dalam landasan baru, memberikan suatu jaminan pelayanan sosial yang kolektif pada warga negaranya dengan mempertahankan secara sejalan beriringan suatu sistem produksi kapitalis).

Internasional Commission of Jurists dalam konferensinya di

Bangkok tahun 1965 telah memperluas konsep mengenai Rule of law,

Rule of law in the modem age. Disamping hak-hak politik, hak-hak

sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus

dibentuk standar-standar dasar sosial dan ekonomi.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang

demokratis di bawah rule of law menurut Ni’matul Huda (2007:60) ialah:

1. perlindungan konstituonal, dalam arti bahwa konstitusi selain

menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural

untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan

peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial

tribunal); 3. Pemilihan umum yang bebas; 4.Kebebasan untuk

menyatakan pendapat; 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi

dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education)

Hirsch Ballin dalam Hamzah (2009:22) mengemukakan

pandangannya tentang ciri-ciri Negara hukum, sebagai berikut : 1.

Penguasa harus terikat pada hukum; 2. Negara harus menghormati

hak-hak mengeyam kebebasan; 3. Setiap kebijakan pemerintah harus

Page 74: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

62

berdasarkan undang-undang; 4. Mengupayakan terwujudnya keadilan

sosial; dan 5. Hukum harus jelas dan stabil.

Di samping itu, Reuters dalam Abdullah, (2007:31)

mengemukakan, bahwa konsep Negara hukum meliputi: 1) Pemisahan

Kekuasaan (separation of power); 2) Kebijakan Negara yang bersifat

strategis harus diputuskan dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR).

Sementara menurut C.J.M. Schuyt dalam Abdullah (2007:31)

ciri-ciri negara hukum meliputi : 1). Menganut Asas legalitas 2)

perlindungan hukum bagi warga; 3) pemerintah harus tunduk pada

hukum; 4) adanya akuntabilitas publik.

Teori fungsi negara menurut Geelhoed, dalam Hamzah

(2009:22) menjelaskan bahwa : 1) fungsi membuat peraturan (de

regulande); 2) fungsi menyelenggarakan layanan publik (de

presterende); 3) fungsi mengendalikan aktifitas warga (de stuurende);

dan 4) fungsi menyelesaikan sengketa (de arbitrerende).

Jimly Asshiddiqie, dalam Hamzah (2009:23) mengemukakan,

bahwa ada dua belas prinsip pokok Negara hukum (rechtsstaat) yang

berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut

merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tergaknya suatu

negara hukum modern, meliputi :1) supremasi hukum (Supremacy of

Law); 2) persamaan dalam hukum (Equality before the law); 3) azas

legalitas (Due Process of Law); 4) pembatasan kekuasaan; 5) organ-

organ Eksekutif Independen; 6) peradilan bebas dan tidak memihak; 7)

Page 75: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

63

peradilan tata usaha negara; 8) peradilan tata negara; 9) perlindungan

HAM; 10) bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat); dan 11)

berfungsi sebagai Sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare

Rechtsstaat).

Marbun dan Mahfud (2000;43) mengklasifikasikan negara

hukum ke dalam dua bentuk, yaitu: 1) Legal State (negara hukum yang

statis), yaitu negara yang bertindak sebagai wasit, penjaga malam atau

menjamin keamanan yang hanya bertindak apabila terdapat gangguan

keamanan; dan 2) Welfare state (Negara hukum kesejahteraan/

dinamis) yaitu negara hukum yang tidak semata-mata menjadi penjaga

malam tetapi juga menjadi penjamin kesejahteraan warga masyarakat.

Penegasan Indonesia sebagai negara hukum, yang selama ini

diatur di dalam Penjelasan UUD NRI 1945; dalam Perubahan UUD NRI

1945 telah diangkat kedalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3), yang

mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.

Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan

perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan

hukum. Sekaligus ketentuan ini mencegah terjadinya kesewenang-

wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat

Negara maupun penduduk.

Jimly Asshiddiqie, dalam Hamzah (2009:25), menjelaskan

bahwa dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan

jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut

Page 76: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

64

prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan

kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan

rakyat. Oleh sebab itu, prinsip Negara hukum hendaknya dibangun dan

dikembangkan prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat

(democratische reschtsaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan,

ditafsirkan dan ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip

demokrasi yang diatur dalam UUD (constitutional democracy) yang

diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democrische

rechtsstaat).

Peneliti beranggapan bahwa adanya desentralisasi di dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dimaknai sebagai bagian

dari perwujudan Negara hukum, oleh karena dalam desentralisasi

secara substansial terdapat pembatasan kekuasaan terhadap

pemerintah pusat, berarti di dalam desentralisasi terdapat pembatasan

wewenang dan kewenangan terhadap pemerintah pusat.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang bahwa Teori

Negara Hukum relevan ditarapkan dalam disertasi ini, disamping teori

demokrasi, hakikat desentralisasi, hakikat otonomi daerah dan teori

wewenang/kewenangan pemerintahan”.

3. Teori Demokrasi

Untuk mengkaji Negara hukum Indonesia yang demokratis

dalam hubungannya dengan Fungsi Pemerintah Daerah, merupakan

Page 77: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

65

salah satu deskripsi adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara

hukum, Untuk memperkuat kajian terhadap Teori Negara Hukum

tersebut di atas dalam hubungannya dengan kewenangan yang dimiliki

menurut UUD NRI 1945, bersentuhan langsung dengan prinsip

demokrasi. Oleh karena itu beralasan kiranya teori demokrasi

digunakan pula untuk melengkapi dan mendukung Teori Negara

Hukum, sebagai penuntun bagi suatu Negara yang menamakan diri

sebagai Negara hukum yang demokratis, walaupun harus disadari

bahwa tidak selamanya Negara hukum itu sudah pasti demokratis.

Gagasan atau konsep negara demokrasi adalah antitesa dari

konsep negara monarchi yang memiliki kekuasaan absolut. Sejarah

telah membuktikan bahwa lahirnya pemikiran negara demokrasi

dilatarbelakangi oleh suatu keadaan, di mana hak dan kebebasan

rakyat tidak terlindungi sebagai akibat kekuasaan penguasa otoriter

yang bersifat absolute. Soehino dalam Abdul Latif (2007:37), bahwa

pada abad ke V Sebelum Masehi (SM) di Athena (Yunani Kuno) telah

melaksanakan demokrasi, walaupun demokrasi belum lahir sebagai

konsep atau teori, dan praktek demokrasi tersebut baru dilaksanakan

dalam suatu Negara Kota (City State). Athena yang dikemudian hari

mendapat sebutan demokrasi langsung, kemudian berkembang pada

abad XVII dan abad XVIII, lahir menjadi demokrasi perwakilan dan

demokrasi modern dan mendapat makna sebagai suatu sistem, cara,

atau metode mengikutsertakan rakyat dalam pengambilan keputusan,

Page 78: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

66

Ajaran trias politica ini yang justru menentukan lahirnya negara hukum

yang dikembangkan oleh Immanuel Kant dan Reusseau dengan

kedaulatan rakyat.

Demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri

dan dua kata yaitu, demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti

memerintah. Dengan demikian demokrasi secara terminologi berarti

pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat atau istilah

Inggeris “the government of the people, by the people and for the

people” Bondan Gunawan, (2000:1), dalam Thalib, (2000:8) hal yang

sama pernah juga dikemukakan oleh George Washington pada awal-

awal kemerdekaan United State of America.

Hans Kelsen (1973:282) menjelaskan, bahwa:

"that all power should be exercised by one collegiate organ the members of which are elected by the people and which should be legally responsible to the people". (bahwa semua kekuasaan harus dilaksanakan oleh satu organ kolegal yang para anggotanya dipilih oleh rakyat dan secara hukum harus bertanggung jawab kepada rakyat).

Berkaitan dengan demokrasi komunis, Strong, (1966:13)

menyatakan, bahwa:

“in the communist constitutions such phrases as `People's Democracy; `People's Republic' and 'Democratic Republic' are variously used to describle the regime'.

Ditinjau dari perkembangan teori maupun praktik, demokrasi

terus berkembang, sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Bagir

Manan (1994:2) menyatakan bahwa, ”demokrasi merupakan suatu

Page 79: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

67

fenomena yang tumbuh, bukan suatu penciptaan”. Oleh karena itu

praktik di setiap negara tidak selalu sama. Walaupun demikian menurut

Lyphar dalam Bagir Manan dan Magnar (1996:58) menyatakan bahwa

sebuah negara dapat dikatakan demokrasi apabila memenuhi unsur-

unsur: 1) Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota

perkumpulan; 2) Ada kebebasan menyatakan pendapat; 3) Ada hak

untuk memberikan suara dalam pemungutan suara; 4) Ada kesempatan

untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintah atau Negara;

5) Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh

dukungan atau suara; 6) Terdapat berbagai sumber informasi; 7) Ada

pemilihan yang babas dan jujur; 8) Semua lembaga yang bertugas

merumuskan kebijakan pemerintah harus tergantung pada keinginan

rakyat.

Sargent, dalam Thalib (2000:7) sebagaimana juga dikutip oleh

Abdul Latif (2007:39) menyatakan unsur yang harus dipenuhi negara

demokrasi adalah :

(1) Citizen invocvement in political decision making; (2) Some degre of egualityomong citizens; (3) Some degre of liberty or fred to or retained by citizens; (4) A System of refresentation’ (5) An electoral system mayority role.

Demikian juga Ranuwidjaya (1983:205) dalam Thalib yang

bertitik tolak pada pemikiran kedaulatan rakyat, menyatakan pengaruh

kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi dilembagakan melalui

kaidah hukum, yaitu : (1) Jaminan mengenai hak-hak asasi dan

kebebasan manusia, syarat dapat berfungsi kedaulatan rakyat; (2)

Page 80: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

68

Penentuan dan pembatasan wewenang pejabat negara; (3) Sistem

pembagian tugas antara lembaga yang bersifat saling membatasi dan

mengimbangi (check and balances); (4) Lembaga perwakilan sebagai

penjelmaan kedaulatan rakyat dengan tugas perundang-undangan dan

mengendalikan badan eksekutif; (5) Pemilihan umum yang bebas dan

rahasia; (6) Sistem kepartaian yang menjamin kemerdekaan politik

rakyat; (7) Perlindungan dan jaminan bagi oposisi mereka sebagai

alternatif pelaksanaan kedaulatan rakyat; (8) Desentralisasi teoritik

kekuasaan negara untuk memperluas partisipasi rakyat dalam

pengelolaan negara; (9) Lembaga perwakilan rakyat yang bebas dari

kekuasaan badan eksekutif;

Demokrasi pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan rakyat

dan kedaulatan rakyat, Untuk itu C.F.Strong (1966:13) menyatakan,

bahwa:

"By democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority of the grown members of a political community participate through a method of representation which secures that the govemment is ultimately responsible for its actions to that majority. In another words, the contemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantees the sovereignty of the people".(Dalam pengertian ini demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota-anggota masyarakat berpartisipasi dalam politik melalui suatu metode perwakilan yang menjamin pemerintah bertanggungjawab atas tugas-tugasnya terhadap masyarakat. Dengan kata lain secara kontemporer negara konstitusional harus didasarkan pada suatu sistem demokrasi perwakilan yang dikenal dengan kedaulatan rakyat

Page 81: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

69

Begitu pula dengan Deliar Noer, dalam Hamzah (2009:49)

bahwa “ Negara demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan

berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut

organisasi berarti suatu pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh

rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di

tangan rakyat”.

Secara teoritis, kedaulatan rakyat sebagai asas dan ajaran

sudah cukup tua usianya, mulai dari zaman Monarkomaken melalui

pikiran ahli filsafat seperti, Buchanan, Althusius, sampai

berkembangnya hukum alam yang dimotori oleh filsuf terkemuka

seperti, JJ Rousseau telah mengembangkan teori Volonte General

(kemauan rakyat) sebagai kekuasaan tertinggi, pandangan Rousseau

tersebut terpetik dalam Soehino (1993:121) melihat ada dua

konsekuensinya, yaitu: 1. Adanya hak dari rakyat untuk menggantikan

atau menggeser penguasa. Ini behubungan dengan boleh tidaknya

rakyat itu berevolusi terhadap penguasa; 2.Adanya faham bahwa yang

berkuasa itu rakyat, atau paham kedaulatan rakyat. Rakyat di sini

bukan sebagai penjumlahan dari pada individu-individu, melainkan

rakyat sebagai suatu Gememschaft, yang sifatnya abstrak.

Dari berbagai pendapat di atas terkandung makna bahwa

rakyat sebagai unsur utama di dalam Negara sehingga baik dalam

tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan pemerintahan,

rakyat harus selalu berperan aktif dan penentu yang utama. Oleh

Page 82: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

70

karena itu, paham kedaulatan rakyat merupakan sendi yang

fundamental dalam negara demokrasi. Begitu halnya di Republik

Indonesia menurut Jimly Asshidiqie dalam Hamzah (2009:50), bahwa :”

kedaulatan rakyat diatur di dalam UUD NRI 1945, kedaulatan rakyat

yang terkandung dalam UUD NRI 1945 adalah kombinasi antara yang

berkembang di Barat dan tradisi budaya Indonesia di masa lalu dan

demokrasi politik (Barat ) dan demokrasi ekonomi (Sosialis)

B,C.Smith (1985:2) menjelaskan, bahwa: `kebutuhan

desentralisasi merupakan hal yang universal.

The need for same form of decentralization appears to be universal. Even the smallest states have some kind of local government with some degree of autonomy' . (kebutuhan atas bentuk desentralisasi muncul menjadi universal, termasuk Negara-negara yang paling kecil memiliki jenis pemerintahan daerah dengan berbagai tingkat otonomi)

Menurut Harold Laski, (Encyclopedia of Social Science, Vol V,

In the art, Democratcy, 1957), bahwa :

"Not definition of democracy can adequately comprise the history which the concept connotes. To some it is a form, of government, to others a way of social life. Men have found its essence in the character of the electorate; the relation between government and the people, the absence of wide economic differences between citizens the refusal to recognize privileges bulit on the birth or wealth, race or creed". (Tidak ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan konsep dalam sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan, sekaligus sebagai pandangan hidup sosial, Esensinya dapat dikemukakan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaan warga Negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku atau kepercayaan)

Page 83: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

71

K.Carr (1960:25-26) menyatakan, bahwa: "Democracy is not an

easy word to define”. (Demokrasi bukanlah kata yang mudah

didefinisikan). Pendapat tersebut diperkuat pula oleh Francois Venter

(2000:193) yang menyatakan bahwa

"everyone knows what democracy is, but nobody can define it to general satisfaction". (setiap orang tahu apa demokrasi, tetapi tidak seorangpun yang dapat mendefinisikannya untuk memuaskan masyarakat)

Begitu juga dengan Mac Gregor Burn (1964:19) melihat,

bahwa:

"democracy-like liberty, equality, and justice is hard to define precisely". Selain itu Dalys M.Hill (1974:23) mencoba mengartikan

demokrasi sebagai

“on the other hand, is concerned with the national political system based on citizen participation, majority rule, consultation and discussion and the responsibility of leaders to lead". (dengan kata lain demokrasi diartikan sebagai sistem politik yang didasarkan pada partisipasi warga Negara, peraturan mayoritas, konsultasi dan diskusi dan pertanggungjawaban pimpinan terhadap pemilih)

Henry B. Mayo, dalam Mahfud, (1993;19) berpendapat, bahwa:

"A democratic political system is one in which public politicies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom'.( sistem politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukkan dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik)

Page 84: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

72

Sementara Haque dan Martin Harrop, (2001:16) berpendapat,

bahwa ditinjau dari asal katanya:

'the word it self comes from the Greek :demokratia ; meaning rule (kratos) by the people (demos). Thus democracy in its literal and riches sans refers not to the election of the rulers by the ruled but to the denial of any separation between the two'. (Demokrasi berasal dari kata Yunani “demokratia” yang atinya kekuasaan atau aturan (kratos) oleh rakyat (demos) jadi demokrasi dalam arti harfiah adalah banyak makna, yaitu tidak hanya pemilihan terhadap pimpinan oleh masyarakat tetapi penyangkalan pemisahan terhadap keduanya).

Wood dalam Barry, (2000:281) juga menyatakan, bahwa:

“democracy is derived form the Greek word Kratos, meaning power, or rule. Democary thus means 'rule by the demos' (the demos reffering to 'the people, although the Greeks originally used this to mean the poor or 'the many). (Demokrasi berasal dari kata Yunani “Kratos” yang artinya kekuasaan atau aturan. Selanjutnya “demos” mengandung arti rakyat, meskipun pada awalnya di zaman Yunani kata rakyat tersebut digunakan dalam pengertian ‘orang sedikit’ atau ‘orang banyak’).

Pengertian rakyat oleh Norman Barry (2000:281), adalah:

“In Greek time the demos was a section of the population (the poor and numerous) and all types of government were thought of as sectional government But in modem times purely sectional rule is frowned upon and democracy has come to mean rule by the whole people'. ( Di zaman Yunani rakyat adalah suatu bagian masyarakat (sedikit dan bannyak) dan semua jenis pemerintah telah dianggap sebagai bidang pemerintahan. Tetapi di zaman modern pemikiran yang demikian telah ditinggalkan sejak demokrasi diartikan sebagai kekuasaan oleh kerseluruhan orang-orang).

Pada Tahun 1864 saat perang sipil di Amerika memuncak,

Abraham Lincoln's dalam Andrew Heywood, (2002:67) menegaskan,

bahwa kata "rakyat" di dalam kaitan dengan "demokrasi" dikembangkan

Page 85: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

73

menjadi suatu filosofi pemerintahan govemment of the people for the

people.

Andrew Heywood (2002:69) menyatakan bahwa :

“Even in Ancient Greece, often thought of as cradle of the democratic idea, democracy tended to be viewed in negative terms. Thinkers such as Plato and Aristotle, for example, viewed democracy as a system of rule by the masses at the expense of wisdom and property. Well into the nineteenth century, the term continued to have pejorative implications, suggesting a system of 'mob rule*. Now, however, we are all democrats. Liberals, conservative, socialist, communists, anarchies and even fascists are eager to proclaim the virtues of democracy and the demonstrate their own democratic credentials. Indeed, as the major ideological systems faltered and collapsed in the late twentieth century, the flame of democracy appeared to bum yet more strongly.

Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Rod Hague dan

Martin Harrop, (2001:16) yang menyatakan bahwa

We live in an increasingly democratic world. Between 1975 and 1995 the number of democracies more than doubled; as a result, most people in the world now life under tolerably democratic rule. In its current upsurge, democracy has expanded beyond its core of West Europe and former colonies in North America, Australia and New Zealand. Democrac y now embraces South Europe (for example Spain), East Europe (for example Poland), Latin America (for example Argentina) more of Asia (for example Taiwan) and parts of Africa (for example South of Africa)'.(Kita hidup pada saat berkembangnya dunia demokrasi, antara tahun 1975 sampai tahun 1995 angkaa demokrasi meningkat dua kali lipat dari pada sebelumnya. Hasilnya hampir di seluruh dunia sekarang rakyat hidup di bawah aturan demokrasi. Kenaikan arus demokrasi tersebut meluas dari Eropa barat dan dimulai dari negara-negara jajahan di Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru. Demokrasi saat itu juga mencakup juga Eropa Selatan (contohnya Spanyol), Eropa Timur (contohnya Polandia), Amerika Latin (contohnya Argentina) juga Asia (contohnya Taiwan) dan sebagaian Afrika (contohnya Afrika Selatan)

Page 86: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

74

Praktik demokrasi langsung digambarkan oleh Corry, (1957:72),

bahwa :

“The ancient democracies were direct democracies. Each citizen participated directly in makin laws, and could expect to come to public office from time to time by lot or relation".(Demokrasi pada waktu yang lampau adalah demokrasi langsung. Setiap warga negara berpartisipasi secara langsung dalam membuat Undang-undang dan mengharapkan di masa datang menjadi kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu dalam hubungannya satu sama lain)

Arus gelombang demokrasi dilukiskan oleh Huntington melalui

paparan Rod Hague dan Martin Harrop, (2001:20-23) ke dalam tiga

gelombang, yakni:

“First wave between 1828 and 1926 nearly 30 countries said that they were democracy including Argentina, Austria, Australia, Britain, Canada, France, Germany, the Nederland's, New Zealand, the Scandanavian and Unitaed States. Second Wave, began in the Second World and Continued until the 1960s (1943-1962) examples India, Israel, Japan, West Germany. Third wave finally began in 1974 and 1991 examples; Southern and Eastern Europe, Latin Amaerica Part as of Africa.(Gelombang pertama di mulai dari tahun 1828 sampai dengan tahun 1926 yang hampir 30 negara menyebut dirinya demokrasi termasuk Argentina, Austria, Australia, Inggeris, Kanada, Prancis, Jerman, Belanda, Selandia Baru, Skandinavia (Swedia) dan Amerika Serikat. Gelombang kedua. Dimulai dari perang dunia kedua berlanjut sampai pada tahun 1960-an (1943-1962) sebagai contoh; India, Jepang, Israel dan Jerman Barat, sedangkan untuk gelombang ketiga adalah dimulai dari tahun 1974 sampai tahun 1991 contohnya; Eropa Utara, Eropa Selatan, Amerika Latin dan sebagian Afrika)

Mengenai unsur dan syarat demokrasi terdapat banyak

pandangan, menurut A. Dahl di dalam (Arend Lijphart,1984:58) bahwa

suatu negara dapat disebut telah menjalankan demokrasi bila negara

tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip :1. Freedom to form and join

Page 87: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

75

organization (Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota

perkumpulan); 2.Freedom of expression (Ada kebebasan menyatakan

pendapat) ; 3. The right to vote (Ada hal untuk memberikan suara

dalam pemungutan suara); 4. Eligibility to public office (Ada

kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan

pemerintahan) ; 5. The right of political leaders to compete for support

and votes (Ada hak bagi pemimpin politik berkampanye untuk

memperoleh dukungan atau suara) ; 6. Alternative sources of

information Terdapat beberapa sumber informasi); 7. Free and fair

elections (Adanya pemilihan yang jujur dan bebas); 8: Institutions for

making government politics depend on votes and other expressions of

preference. (Lembaga-lembaga yang membuat kebijakan tergantung

pada pemilih )

Sementara Sigmund Neumann dalam Disertasi Pangerang

Moenta (1999:59) membagi sistern demokrasi menjadi 6 (enam) unsur

pokok, yaitu: 1) Kedaulatan nasional di tangan rakyat; 2) Memilih

altematif dengan bebas; 3) Kepemimpnan yang dipilih secara

demokratis; 4) Rule of Law, 5) Adanya partai-partai politik; 6)

Kemajemukan (pluralisme).

Selanjutnya David Held, (1997:310-311) dalam Hamzah

(2009:80) mengemukakan, bahwa terdapat 5 syarat yang harus

dipenuhi oleh suatu negara sehingga pantas untuk dikatakan sebagai

sebuah negara demokrasi, yaitu: 1.Effective participation (Partisipasi

Page 88: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

76

yang efektif); 2. Enlightened understanding (pengertian yang jelas); 3.

Voting equality at the decisive stage (kesamaan dalam pemungutan

suara); 4. Control of the agenda (adanya pengawasan yang terjadwal;

5. Inclusivenes (sifatnya terbuka)

Pandangan Dohrendorf, Carter dan Henz, dalam Miftah

Thoha, (2003:53), bahwa: "demokrasi suatu negara dilihat dari jarak

antara realiti dan idealita pada pluralisme liberal. Semakin liberal

pluralistik suatu negara maka negara tersebut akan dianggap semakin

demokratis. Secara konvensional liberal suatu negara biasanya diukur

dari kehidupannya atas pilar-pilar demokrasi, yaitu kehidupan partai-

partai dan lembaga perwakilannya, peranan eksekutifnya, dan

kehidupan persnya".

Di dalam konsepsi hukum Neil Mac Cormick, (1999:127)

menguraikan, bahwa:

"Sovereignty is the power of law making unrestricted by any legal limit, by contract that body is politically soverign or supreme in a stale the will of which is ultimately obeyed by the citizens of the state".(Kedaulatan adalah kekuasaan untuk pembuatan hukum yang tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan, dan secara tegasnya bahwa suatu badan atau lembaga mempunyai kedaulatan secara politik atau kekuasaan yang tertinggi di dalam negara pada akhirnya adanya ketaatan warga negara terhadap penjara)

Konsepsi demokrasi adalah sesuatu hal yang masih abstrak,

debatebel, subjektif dan universal. Sebab pada realitasnya tidak sedikit

negara yang bersistem pemerintahan otoriter, totaliter dan diktator pun

dapat menganggap dirinya sebagai negara demokrasi. Apalagi ada

Page 89: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

77

yang menjustifikasi bahwa suatu negara dianggap demokrasi bila

pemerintahannya mengutamakan dan berorientasi pada kepentingan

rakyat banyak, walaupun sistem pemerintahan yang dianut oleh negara

tersebut nyata-nyata adalah sistem otoriter atau diktator. Dengan

perkataan lain bahwa asumsi dasar bekerjanya sebuah demokrasi

tergantung pada kemampuan rakyat untuk menentukan arah dan

melakukan pengawasan terhadap aktivitas kenegaraan.

Sejalan dengan itu, Reformasi pendidikan merupakan suatu

proses yang kompleks dan majemuk sehingga memerlukan

pengerahan segenap potensi yang ada dalam tempo yang panjang.

Tilaar (1998:47 ) mengemukakan “ Reformasi berarti perubahan

dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada

bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-

penyimpangan dan praktek yang salah atau memperkenalkan

prosedur yang labih baik, suatu perombakan yang menyeluruh dari

suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial

dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti

memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat

sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi

berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak

sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan

kebijakan institusional” Disamping itu yang lebih penting menurut

peneliti reformasi pendidikan harus memberikan peluang bagi

Page 90: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

78

siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan

langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu

pendidikan.

Sejalan dengan itu, Sri Widayanti (2002:77 ) mengemukakan

“ Reformasi pendidikan diharapkan dapat memberikan implikasi positif

pada perbaikan dan pembaharuan sistem pendidikan, serta mendorong

berbagai Inovasi pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu

pendidikan Nasional. Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah

demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan

masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otonomi

daerah). Sehubungan dengan hal tersebut, maka peranan pemerintah

pusat akan berkurang dan meningkatkan partisipasi masyarakat.

Demikian juga peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis

selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan

yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistim

desentralisasi, kedua hal ini harus berjalan secara simultan.

Konsep demokratisasi juga dituangkan dalam dalam UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana

tercermin dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) yaitu “pendidikan

diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

diskrimanatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai

keagamaan, nilai kultur dan kemajemukan bangsa”. Pendidikan

diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan

Page 91: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

79

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, serta

dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran

serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan

pendidikan. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan

layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan

bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi, dengan demikian

penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-

unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam

hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi

pendidikan. Sebagai ilustrasi bahwa penerapan teori demokrasi sejalan

dengan penelitian yang dilakukan penulis.

4. Hakikat Desentralisasi

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, isu desentralisasi

selalu menjadi pembicaraan yang aktual, hangat dan bahkan seringkali

menjadi sensitif. Hal tersebut juga nampak sejak awal kemerdekaan

Indonesia. Undang-undang yang pertama dibuat setelah Indonesia

merdeka adalah UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah. Hal tersebut menunjukkan

pentingnya masalah desentralisasi di mata para pendiri negara.

Begitu juga pada saat terjadinya reformasi tahun 1998 yang

ditandai oleh pergantian rezim pemerintahan dari rezim Orde Baru ke

orde reformasi. Salah satu agenda penting reformasi adalah mengubah

paradigma pemerintahan yang semula sangat sentralistik melalui UU

Page 92: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

80

Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, menjadi

pemerintahan yang desentralistik. Dampak dari sistem sentralistik

selama kurun waktu 32 tahun, dapat dilihat dari gerakan saparatis,

seperti yang muncul di Aceh, gerakan yang menghendaki

kemerdekaan wilayah Aceh (Gerakan Aceh Merdeka). Demikian pula

yang terjadi di Tanah Papua, Momentum reformasi dimanfaatkan oleh

gerakan-gerakan yang ada untuk lebih menekan pemerintah pusat,

yang berada pada posisi lemah. Selain gerakan yang menghendaki

kemerdekaan, muncul pula keinginan merubah bentuk negara dari

unitaris (kesatuan) menjadi negara federal.

Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia sejak awal telah

diatur melalui Undang-Undang mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945

sampai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, dan UU Nomor 32 Tahun

2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999.

Untuk memberikan pemahaman pada sub bahasan ini, peneliti

akan menguraikan secara singkat tentang otonomi, secara etimologi,

perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri

dan “nomos” yang berarti aturan, dengan demikian , otonomi berarti

mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/

kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Pemerintahan sendiri ini

meliputi peraturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan

Page 93: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

81

sendiri dan dalam batas batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian

sendiri (Josep Riwu Kaho: 1991:14).

Pemahaman otonomi daerah di Indonesia dilandaskan pada

kebijakan publik tentang otonomi daerah yaitu UU No.32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa otonomi daerah

adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, Otonomi

merupakan produk atau desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam

pasal 1 (7) UU No.32/2004 menyebutkan bahwa “desentralisasi adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah

otonomi untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Menurut Koesoemahatmadja (1979:14), secara etimologis istilah

desentralisasi berasal dan bahasa latin yaitu de = lepas dan centerum =

pusat. Sehingga berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah

melepaskan dari pusat. Sedang Istilah autonomie berasal dari bahasa

Yunani (autos = sendiri; nomos = Undang-Undang) dan berarti

perundangan sendiri (zelfwetgeving).

Page 94: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

82

Dennis A.Rondinelli dan Shabbir Cheema dalam (Riant Nugroho

2008:24) mengemukakan bahwa desentralisasi berkembang bukan saja

berkenaan dengan menurunnya efektivitas penyelenggaraan

administrasi publik yang tersentralisasi, namun juga dikarenakan

meningkatnya kompleksitas dan ketidakpastian proses pembangunan.

Dikemukan Rondinelli dan Cheema sebagai berikut

“The growing interest in decentralized planning and administrations is attributable not only to the dissilusionment with the result of central planning and the shift of emphasis to growt-with-equity policies, but also the realization that development is a complex and uncertain processthat cannot be easily planned and controlled from the centre”

Kedua penulis ini mendefinisikan desentralisasi sebagai transper

pengelolaan ke unit-unit yang lebih kecil atau berada di bawahnya.

Dikemukan sebagai berikut :

“Decentralization is …… the transper of planning, decision making, or administrative authority from central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local governments ,or non goverenmental organization….”

Rondinelli dan Cheema merumuskan empat bentuk utama

desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan transper

fungsi. Dikemukakan sebagai berikut

“They refer to four major forms of decentralization: deconcentration, delegation to semi-automous or parastatal agencies, devolution to local governments, and transfer functions from public to non government institution….. Deconcentration involves the redistribution of administrative responsibilities only within the central government…..Delegation (to semi autonomous or parastatal agencies) is the delegation of decision making and management

Page 95: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

83

authority for specific functions to organizations that are not under the direct of central government ministers…..another form of decentralization seeks to creat of streng then independent levels or unit government through devolution of functions and authority. Though devolution the central government relinquishes certain functions or creates new units or government that outside ist direct control…Finally decentralization takes place in many countries through the transport of some planning and administrative responsibility or of public fungtions, from government to voluntary, private or non government institutions”

Bahkan Rondenelli dan Cheema menurut Meenakshisundaram

(dalam S.N.Jha and P.C.Mathur, 1999:55-56) membagi empat tipe

desentralisasi, yaitu pertama, dekonsentrasi diartikan distribusi

wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan; kedua,

delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan

keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada

organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol

pemerintah; ketiga, devolusi adalah penyerahan fungsi dan otoritas

dan pemerintah pusat kepada daerah otonom; keempat, swastanisasi

adalah penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan

tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta."

Christopher Pollit, Johnson Birchall, dan Keith Putman dalam

Riant Nugroho (2008:26) memahami desentralisasi sebagai sebuah

upaya yang bersifat ekonomis yaitu minimalisasi biaya dari sumberdaya

yang ada, untuk meningkatkan hasil atau kerja. Dikemukakan sebagai

berikut :

“Decentralisation must aim to the performance which is refer to economy minimizing the cost of the resource input for an activity

Page 96: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

84

….. efficiency: the ratio between inputs and utputs …..effectiveness:the extent to which original obyectives of a policy, programme or project are achieved’

Dikemukakan lebih lanjut, bahwa kualitas kinerja ditentukan oleh

standar-standar yang dapat diukur dalam takaran professional, dengan

standar-standar teknis. Aspek inti dari kinerja disentralisasi adalah

kualitas, responsibilitas, akuntabilitas dan kontrol. Dikemukakan

sebagai berikut :

“The producer quality (also refereed to as technical quality of professional quality), where the serice is measured against the professional or technical standards of the dominant professions involved in the delivering the service….. the user quality which may be defined as the degree of which user expectation of a service are satisfied or exceeded…. The aspect of performance is quality, responsiveness, accountability, control’

Dari teori-teori yang dikemukakan di atas , dapat dirumuskan

bahwa desentralisasi sebagai pendelegasian manajemen

pembangunan dan pelayanan publik kepada daerah-daerah otonom

yang diselenggarakan oleh organisasi administasi publik daerah dalam

rangka efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan.

Menurut Kencana Syafie (2002;53), bahwa “Desentralisasi

adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti

pembuatan peraturan perundang-undangan maupun penyelenggaraan

pemerintahan itu sendiri, dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah

daerah tersebut".

Page 97: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

85

Pandangan Sodjuangan Situmorang, dalam disertasinya

(2002:21), bahwa "desentralisasi merupakan antitesa dari sentralisasi

penyelenggaraan pemerintahan. Antara dua kutub itu dalam

perkembangannya tidak jarang diletakkan pada kutub yang saling

berlawanan, padahal di dalam negara kesatuan di samping keliru untuk

mempertentangkan keduanya, juga antara keduanya tidak bisa

ditiadakan sama sekali. Artinya kedua konsep, sistem, bahkan teori

dimaksud saling melengkapi dan membutuhkan dalam kerangka yang

ideal sebagai sendi negara demokratis".

Cohen dan Peterson, (1999:2-3) melihat formulasi dan

pelaksanaan reformasi dan program desentralisasi melalui tiga pase,

yakni:

`In the early 1960s Proponents of decentralization focused on using the intervention to assist colonies in beginning a transition to independence, achieving political equity, and responding to rising demand for public goods ang services. The second phase in decentralization occurred from the mid-1970s to the early 1980s. Aid agencies urged government of both long independent and newly emerging countries indroduce decentralization reforms and programs in order to promote development objectives, such as improved management and sutainability of funded programs and projects, equibale distribution of economic growth, and facilitation of grassroots participation in development processes. Finally, since the mid-1980s. aid agencies have use strucuture adjustment conditionalities to pressure governments to adopt administartive decentralization reforms and programs. In park this is being done to promote the emergence of civil societies, to support the growth of democratic institutions, and to respond to ethnic, religious, or nationalist demands for regional self government and greater demands for regional self government and greater autonomy". (Di awal 1960-an pendukung desentralisasi memusatkan perhatian Negara jajahan menuju kemerdekaan, keberhasilan hak-hak politis, dan menangani masalah

Page 98: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

86

meningkatnya permintaan untuk barang-barang publik dan jasa. Tahap yang kedua, desentralisasi terjadi dari pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Para pendukung pemerintah yang mandiri dengan memperkenalkan Negara-negara desentralisasi dengan reformasi dan programnya dalam rangka mempromosikan hasil pembangunan, seperti peningkatan dan kelanjutan dari program biaya dan proyek, kesamaan, kemampuan, distribusi pertumbuhan ekonomi, dan pemberian kemudahan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Terakhir, sejak pertengahan tahun 1980-an, bantuan para pendukung menggunakan penyesuaian keadaan struktur dengan memaksa pemerintah untuk mengadopsi perubahan dan program desentralisasi administrative. Pada tahap ini adalah mempromosikan kemunculan masyarakat sipil untuk mendukung pertumbuhan lembaga demokrasi, dan merespon terhadap adanya berbagai hal yang berkaitan dengan kesukuan, keagamaan, kebangsaan atau tuntutan swapraja dan ekonomi yang lebih besar). Pemahaman tentang desentralisasi, sejak dulu diantara para

sarjana terjadi perbedaan, hal itu terlihat dari pengertian yang

dikemukakan Henry Maddick (1966:23) membedakan desentralisasi

dengan dekonsentrasi, sebagai berikut:

“the delegation of authority equate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquaters. (pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya)

Perbedaan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi

menurut Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessen (2001:23-25) dengan

mengutip pendapat beberapa sarjana melalui perspektif politik dan

administrasi sebagai berikut: Dari aspek politik, Parson mendefinisikan

desentralisasi, sebagai

“sharing of the governmental power by rural ruling group with other groups, each having authority within a specefic area the state. (pembagian kekuasaan pemerintahan dari pusat dengan

Page 99: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

87

kelompok lain masing-masing mempunyai wewenang kedalam suatu daerah tertentu dari suatu negara) Sementara, dekonsentrasi adalah:

“the sharing of power between members of same ruling group having authority respectively in different areas of the state. (bagian kekuasaan antara anggota-anggota dari kelompok yang sama di dalam negara)

Mawhood dalam G.Shabbir Cheema dan Dennis A.Rondinelli,

(1992:18) menyatakan bahwa desentralisasi adalah "devolution of

power from central to local governments. ( Devolusi kekuasaan dari

Pemerintah Pusat kepada Pemerinatah Daerah) Sementara

dekonsentrasi, yang dipersamakan dengan administrative

decentralisation, di definisikan sebagai transfer of administrative

responsibility from central to local governments. (perpindahan tanggung

jawab administrasi dari Pusat ke Pemerintah daerah).

Berbeda dengan pendapat para sarjana diatas, Rondinelli dan

Cheema (1992:12) merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih

merujuk pada perspektif yang lebih luas namun tergolong perspektif

administrasi, bahwa desentralisasi adalah:

"the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local adminisitrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-,government organizations". (perpindahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke organisasi bidangnya, unit adminisitratif daerah semi otonomi dan parastatal, pemerintah daerah, atau organisasi-organisasi non pemerintah)

Definisi yang dikemukakan Rondinelli dan Cheema tersebut

tampak lebih luas dari Person dan Mawhood, oleh karena definisi

Page 100: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

88

tersebut tidak saja mencakup penyerahan dan pendelegasian

wewenang di dalam struktur pemerintahan tetapi juga telah

mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organisasi non

pemerintah , termasuk organisasi swasta. Bahkan Rondinelli dan

Cheema menurut SS Meenakshisundaram dalam (S.N.Jha and

P.C.Mathur, 1999:55-56) membagi empat tipe desentralisasi, yaitu

deconcentration, delegation, devolution, dan privatisation. Lengkapnya

dapat dikemukan sebagai berikut:

Pertama. Dekonsentrasi diartikan distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahah; Kedua, delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah; Ketiga, devaluasi adalah penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom; Keempat, swastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggungjawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta.

Menurut The Liang Gie, (1993:73) dalam Hamzah (2009:128-

129), bahwa alasan dianutnya desentralisasi adalah : 1). Dilihat dari

sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi

dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu

pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. 2). Dalam

bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai

tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam

pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak

demokrasi; 3). Dari sudut tehnik organisatoris, alasan mengadakan

pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk

Page 101: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

89

mencapai pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama

untuk diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan

kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat diurus oleh

Pemerintah Pusat; 4) Dari sudut kultural desentralisasi perlu diadakan

supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan pada kekhususan

suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi,

watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya. 5) Dari sudut

kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena

Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu

pembangunan tersebut.

Hal yang sama dikemukakan Amrah Muslimin, (1986:73) dalam

Hamzah (2009:129) membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi

politik, desentralisasi fungsionil dan desentralisasi kebudayaan.

Desentralisasi politik, adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah

pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga

sendiri dari badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh

rakyat dalam daerah-daerah tertentu. Desentraliasi Fungsional memberi

hak kepada golongan-golongan tententu mengurus sesuatu terikat

ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, umpama mengurus

kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa

daerah tertentu waterscape, Subak Bali). Sedang desentralisasi

kebudayaan (culturele decentralisatie) adalah memberi hak kepada

golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas)

Page 102: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

90

menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan,

agama, dll).

Cohen dan Peterson (1999:2-3), menggunakan 6 (enam)

pendekatan, yaitu :

“basic of historical origins, by hirarchy and function, by problem being addressed and they values of the investigation, focus on patterns of administratve structure and functions that are responsible for the production and provision of collective goods and services, typically bused on the experience of a single country, and on basis of objectives. (pertama, berdasarkan pada sejarah, kedua berdasarkan herarkhi dan fungsi, ketiga, berdasarkan masalah-masalah yang muncul dan nilai-nilai penyelidikan, keempat, difokuskan pada pola-pola struktur administratif dari fungsi-fungsi yang bertranggungjawab pada hasil dan ketentuan-ketentuan dari pelayanan dan barang, dan kelima, type yang didasarkan pada pengalaman suatu negara tertentu, dan keenam, berdasarkan pada tujuannya)

Menurut Smith (1967:2), konsekuensi dari pelaksanaan asas

desentralisasi, adalah menciptakan : "local self government dan

dekonsentrasi menciptakan "local state government* atau “field

administration". Pentingnya local government, oleh Dalys M.Hill

(1974:20) dicontohkan, bahwa:

"In England local government has long been defended as a vital and integral part of democracy. Local self government is valued because it just, it safeguard and enhances the ciotizen's right, and it is an important setting for political education'. (Di Inggeris pemerintahan daerah telah lama dianggap sebagai hal yang pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi, pemerintahan daerah otonom mempunyai makna yang penting karena dapat melindungi dan memperjuangkan hak-hak warga negara dan juga dalam membangun pendidikan warga negara)

Di dalam konteks demokrasi, keberadaan local government

merurut B.C.Smith (1985:19) dalam Hamzah (2009:135) adalah:

Page 103: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

91

“mainly two categories: there are that claim local government is good for national democracy; and there are those where the major concern is with the benefits to the locality of local democracy. Each can be tether subdivided into three sets of interrelated values. At the national level these values relate to political education, training in leadership and political stability. At the local level the relevant values are equality, liberty and responsiveness. (Ada dua kategori yang penting dalam pemerintahan daerah, pertama untuk membangun demokrasi di tingkat nasional, kedua, memberikan keuntungan untuk demokrasi pada tingkat lokal atau daerah. Setiap tingkat selanjutnya dibagi ke dalam tiga hal yang saling berkaitan. Pada tingkat nasional hal-hal tersebut berkaitan dengan pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan stabilitas politik. Pada tingkat lokal atau daerah berkaitan dengan kesamaan, kemerdekaan dan tanggung jawab)

Rod Hague dan Martin Harrop (2001:211), dalam Hamzah

(2009:136) menyatakan bahwa

"Local government is universal, found in federal and unitary states a like. It Is the lowest level of elected teritoria/ organization with in the state. Variously called communes, municipalities or parishes, local government is constitutionally subordinate to provincial authoririty (in federations) or national government (in unitary states)". (Pemerintahan daerah adalah hal yang universal, karena dapat ditemukan baik pada negara yang berbentuk federal maupun negara kesatuan. Beragam sebutannya, Kota Besar, Kotapraja, atau Daerah, pemerintahan daerah secara konstitusional di bawah kewenangan Provinsi (dalam negara federal) atau dibawah pemerintahan nasional (dalam negara kesatuan)

5. Hakikat Otonomi Daerah

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah

mengakibatkan terjadinya paradigma sentralistis ke arah desentralisasi

yang ditandai dengan pemberian otonomi yang lebih luas dan nyata

kepada daerah serta pemberdayaan masyarakat (empowering).

Page 104: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

92

Bagir Manan, (2002:26), mengemukakan "sistem rumah tangga

daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi

wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan antara Pusat dan Daerah”. Salah satu kekeliruaan

pembagian tersebut adalah bahwa daerah-�daerah akan memiliki

sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau

pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga

daerah".

Otonomi organik (rumah tangga organik ); Bila otonomi diartikan

sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau dengan kata lain apa

yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah, maka di dalamnya

melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht;

bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan

kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan

mana yang diatur oleh peme�rintah pusat dan kewenangan mana yang

diatur peme�rintah daerah.

Sehubungan dengan itu, secara teoretik dapat dijumpai

beberapa jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga, yaitu: 1)

Otonomi organik (rumah tangga organik); 2) Otonomi formal (rumah

tangga formal); 3) Otonomi material ( rumah tangga materiil/substantif);

4) Otonomi riil (rumah tangga riil); 5) Otonomi nyata. bertanggung

jawab, dan dinamis.

Page 105: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

93

Sarundajang (1999:38) menjelaskan, bahwa kelima jenis

otonomi (rumah tangga) tersebut dapat diuraikan satu persatu, sebagai

berikut: “ Otonomi organik; Otonomi bentuk ini pada dasarnya

menentukan bahwa urusan-�urusan yang menyangkut kepentingan,

daerah diibaratkan sebagai organ-organ kehidupan yang merupakan

suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya

jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk

mengurus berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau

matinya daerah.

Otonomi formal; otonomi bentuk ini adalah yang menjadi

urusan otonomi tidak dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan

adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur, apa

yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dengan demikian daerah otonom lebih bebas mengatur urusan rumah

tangganya, sepanjang tidak memasuki "area" urusan pemerintah pusat.

Otonomi seperti ini merupakali hasil dan pemberian otonomi

berdasarkan teori sisa, dimana pemerintah pusat lebih dulu

menetapkan urusan-�urusan yang dipandang lebih layak diurus pusat,

sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah daerah;

Otonomi materiil; dalam otonomi bentuk ini kewenangan

daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan

secara limitif dan terinci atau secara tegas siapa saja yang berhak

diatur dan diurusnya.

Page 106: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

94

Dalam otonomi matariil ini ditegaskan bahwa untuk mengetahui

apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat pada

substansinya. Artinya bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat

menjadi urusan pemerintah pusat; maka pemerintah lokal yang

mengurus rumah tangga sendiri pada hakikatnya tidak akan mampu

menyelenggarakan urusan tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan

secara substansial merupakan urusan daerah, maka pemerintah pusat

meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang berada di daerah

(pemerintah pusat di daerah), tidak akan mampu

menyeleng�garakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah

tangga itu objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau

dirinci secara numeratif;

Otonomi riil; otonomi bentuk ini merupakan gabungan antara

otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam Undang-undang

pembentukan otonomi, kepada pemerintah daerah diberikan wewenang

sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan

wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan

peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya, dengan kata lain, otonomi riil ini pada prinsipnya

menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang urusan

tersebut didasar�kan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan

daerah yang menyelenggarakannya;

Page 107: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

95

Otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis. a. Nyata,

artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada

pemerintah daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor

tertentu yang hidup dan berkembang secara objektif di daerah. hal

tersebut harus senantiasa disesuaikan dalam arti diperhitungkan secara

cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan�tindakan, sehingga

diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata mampu

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktik

bahwa isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya

tidaklah sama, balk mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar

karena setiap daerah memiliki perbedaan baik letak geografis, kondisi

geologis, maupun budaya, adat istiadat, serta potensi yang dimilikinya.

b. Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada pemerintah

daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan

tujuannya yaitu melanjutkan pembangunan yang tersebar di seluruh

pelosok negara. Ini untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah

dalam suasana yang harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin

perkembangan dan pembangunan antar daerah yang serasi sehingga

laju pertumbuhan antar daerah dapat seimbang. c. Dinamis, artinya

otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan otonomi senarrtiasa.

menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas

segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan

yang semakin meningkat mutunya (Josef Riwu Kaho, 1991; 15).

Page 108: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

96

Menurut Bagir Manan (2002:26), "dari kelima jenis sistem

otonomi itu, umumnya dipraktekkan hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem

rumah tangga formal, sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah

tangga nyata atau riil dengan beberapa varian".

Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap

dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat

daerah yang paling dekat dengan masyarakat. Tujuan pemberian

otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yaitu memberdayakan

daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta

masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

Pemerintah juga tidak lupa untuk lebih meningkatkan efisiensi,

efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti

pelayanan, pengembangan dan perlindungan terhadap masyarakat

dalam ikatan NKRI. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan

secara proporsional sehingga saling menunjang.

Sejalan dengan itu, sebagai negara demokrasi, orientasi fungsi

negara diarahkan pada tujuan untuk mencapai negara kesejahteraan

(welfare state). Jacobsen dan Lipman, dalam Politic Science

sebagimana terpetik dalam Hendarmin (2007:98-100), menyatakan

bahwa fungsi negara dibedakan antara fungsi esensial, fungsi jasa dan

fungsi perniagaan

Page 109: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

97

Fungsi esensial adalah fungsi yang diperlukan demi terjaminnya

eksistensi dan kelangsungan negara. Untuk melaksanakan fungsi

negara membutuhkan ketertiban dan keamanan umum, Untuk itu

negara antara lain memiliki alat negara kepolisian. Negara memerlukan

kontinuitas pemasukan dana yang dengannya negara bisa membiayai

dirinya sendiri melaksanakan pembangunan, untuk itu negara memiliki

lembaga perpajakan, Negara memerlukan kepercayaan publik akan

adanya kepastian bahwa aturan/hukum negara yang bisa dilaksanakan.

Untuk itu negara memiliki lembaga peradilan. Negara membutuhkan

jaminan rasa aman dari kemungkinan gangguan atau serbuan dari luar

yang mengancam kedaulatan negara. Untuk itu negara perlu memiliki

angkatan perang sebagai alat perlengkapan negara.

Di atas semuanya ,menurut hemat penulis bahwa semua fungsi

urusan negara adalah harus mampu menjamin, setidaknya

memberikan sejauh mungkin kemudahan, bagi terselenggaranya

pendidikan bagi setiap insan warga negara. Pendidikan adalah satu-

satunya cara, dan hanya satu-satunya untuk memperoleh sumber daya

manusia berkualitas sebagai asset utama bangsa dan paling berharga

bagi negara.

Dalam negara yang masih bernuangsa negara kekuasaan,

menurut Hendarmin (2007:99) umum terjadi mis-persepsi atas makna

dan arti pendidikan, Pendidikan diposisikan sebagai sekedar kebutuhan

keluarga dan melulu menjadi tanggungjawab keluarga. Padahal

Page 110: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

98

pendidikan bukan hanya tanggungjawab orang tua atau keluarga,

Rakyat yang cerdas adalah kebutuhan negara. Hanya negara dengan

sumber daya manusia (SDM) yang kuatlah yang mampu menjaga

eksistensinya dalam mengarungi kanca pergaulan sekaligus persaingan

antar bangsa “..... Today, the basis of the world’s wealth is shipting from

natural recources to advanced technology...”

Untuk memelihara dan, meningkatkan kehidupan dan tarap

kehidupan warganya, negara dituntut untuk menyiapkan dan atau

meningkatkan sejumlah prasarana dasar yang melalui itu,

perekonomian negara dapat berjalan dengan baik . Membuka jalan,

membuka jalur perintis penerbangan, dan jalur pelayaran dan angkutan

laut, untuk lokasi terpencil, membuat dam untuk sistem pengairan dan

pembangkit listrik, menyiapkan pelabuhan dan lain-lain adalah sekedar

contoh.

Bagi negara berkembang yang rakyatnya belum memiliki

kemampuan (finasial, manajemen, peralatan dan teknologi) tugas dan

kewajiban dan fungsi negara adalah sebagai regulator dan fasilitator

antara lain dengan menyediakan sarana dan atau menciptakan iklim

yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnnya sistem perekonomian

rakyat secara sehat (menyediakan kredit murah, bimbingan teknis dan

manajemen, membuka peluang pasar, UU anti monopoli dan lain-lain)

Pengalaman empirik negara-negara yang telah mencapai tingkat

kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi adalah bahwa, lebih sedikit

Page 111: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

99

negara membuat aturan akan lebih normal jalannya perekonomian,

artinya sedikit mungkin negara menempatkan diri sebagai “pengatur”,

lebih lanjut Hendarmin (2007:100) mengemukakan bahwa fungsi

perniagaan bagi negara lebih pada pengertian makro yakni bagaimana

menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnnya

perekonomian negara (PMA, PMDN) agar komoditas perdagangan

negara mampu menembus dan mampu bersaing di pasar global. Tugas

dan kewajiban negara, terlebih di era global, adalah menjaga

keseimbangan neraca perdagangan, menjaga dan mengatur nilai tukar

mata uang, dan menjaga kecukupan cadangan devisa minimal untuk

kurun waktu tertentu.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, digunakan prinsip otonomi

seluas-luasnya, di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintah

pusat yakni : a). politik luar negeri, b) pertahanan dan keamanan, c)

moneter/fiskal, d) peradilan (yustisi), e). agama.

Pemerintah pusat berwenang membuat norma-norma, standar,

prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-

urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah

provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan

pemerintahan dengan eksternal regional, dan kabupaten/kota

berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan

dengan eksternalitas lokal.

Page 112: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

100

Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen) disebutkan,

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang

tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan

daerah yang diatur dengan UU. Tampak nuansa dan rasa adanya

hierarki dalam kalimat tersebut. Pemerintah Provinsi sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan

pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi

wilayah tugasnya.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib

dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan

pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti

pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,

prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang

bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan

daerah.

UU No. 32 Tahun 2004 mencoba mengembalikan hubungan

kerja eksekutif dan legislatif yang setara dan bersifat kemitraan.

Sebelum ini kewenangan DPRD sangat besar, baik ketika memilih

kepala daerah, maupun laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahunan

kepala daerah. Kewenangan DPRD itu dalam penerapan di lapangan

sulit dikontrol. Saat ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas,

misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang

Page 113: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

101

hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta

adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap rancangan Perda

APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi

pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan

daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD). Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan

hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.

Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan

DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan

daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi

masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu

hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan

lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi

masing-masing.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika diilustrasikan maka

fungsi penyelenggaraan pendidikan adalah fungsi esensial bagi suatu

negara atau pemerintahan, baik pemerintah, pemerintah provinsi

maupun pemerintah kabupaten/kota seperti diuraikan penulis dalam

penelitian ini.

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Page 114: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

102

1. Hakikat Kewenangan

Bhenyamin Hoessein (2005:196) mengemukakan Hakekat

negara adalah organisasi dan dalam organisasi negara, dapat

diidentifikasi dua macam kelompok organ, yang memiliki perbedaan

yang signifikan Pertama adalah organ negara (staatsorganen); kedua.

Adalah organ-organ pemerintah (regeringorganen).

Lebih lanjut dikemukakan, organ negara diatur dalam Undang-

Undang Dasar. Oleh karena itu jumlahnya adalah limitatif. Dalam

negara kesatuan, organ negara termaksud hanya dijumpai di ibu kota

negara (di tingkat pemerintahan nasional). Kedudukan organ-organ

negara itu tidak hierarkis. Sementara organ pemerintahan disebut

dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu jumlahnya tidak limitatif

melainkan sesuai dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat.

Bhenyamin Hoessein (2005:197) mengemukakan bahwa “Organ

pemerintahan termaksud terdapat baik di tingkat pemerintahan nasional

maupun di subnasional. Kedudukan organ-organ pemerintahan bersifat

hierarkis di bawah Presiden (Pemerintah)”

Berkaitan dengan penyelenggaraan kewenangan pemerintah

daerah yang merupakan pelimpahan pemerintah pusat ke daerah, P.

Nicolai dalam Ridwan, (2002:73) menyatakan bahwa: “Wewenang

diartikan dengan kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan

hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk

Page 115: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

103

menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan

lenyapnya akibat hukum tertentu”.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia sebagaimana ditulis oleh

Anton Mulyono (1998:101), kata wewenang disamakan dengan kata

kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk

bertindak, kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan

melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain. Selanjutnya

menurut Bagir Manan dalam Ridwan (2002:74) wewenang dalam

bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanya

menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum

wewenang berarti hak dan kewajiban. Wewenang dalam kaitannya

dengan otonomi daerah, hak memiliki pengertian kekuasaan mengatur

sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Sedang

kewajiban terdiri dari kewajiban vertikal dan kewajiban horisontal.

Istilah kewenangan berasal dari kata “wewenang". Lubis

(2002:56) menguraikan pengertian wewenang dengan membedakan

tugas (functie) yaitu, tugas (functie) adalah satuan urusan pemerintahan

yang dibebankan kepada organ tertentu untuk dilaksanakan, dan

wewenang adalah pelaksanaan tekhnik urusan yang dimaksud.

Menurut peneliti penggunaan istilah tugas, kekuasaan, fungsi,

wewenang dan kompetensi dalam prakteknya sering sulit dibedakan,

bahkan cendrung dicampuraduk.

Page 116: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

104

Menurut Marbun (2001:123), dilihat dari sifatnya, wewenang

pemerintahan dapat dibedakan atas expressimplied, fakultatif dan vrij

bestuur . Wewenang yang bersifat expressimplied adalah wewenang

yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan

tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis,

isinya dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat individual konkrit.

Wewenang pameintahan yang bersifat fakultatif adalah wewenang yang

peraturan dasarnya mementukan kapan dan dalam keadaan

bagaimana suatu wewenang dapat dipergunakan. Wewenang

pemerintahan yang bersifat vrij bestuur adalah wewenang yang

peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar kepada

pejabat tata usaha negara untuk mempergunakan wewenang yang

dimilikinya.

Dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan kekuasaan.

Suwoto Mulyosudarmo (1997:39) dalam disertasi Kamal Hijaz

(2007:44), menegaskan bahwa dalam sistem pembagian kekuasaan

berlaku suatu prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib dipertanggung

jawabkan. Dengan demikian setiap pemberian kekuasaan harus

dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan dan

kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab, harus secara inklusif

sudah diterima pada waktu menerima kekuasaan. Beban tanggung

jawab bentuknya ditentukan oleh cara-cara kekuasaan itu diperoleh.

Page 117: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

105

Suwoto Mulyosudarmo (1997:39) ”pada dasarnya pemberian

kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu, perolehan

secara atributif dan perolehan secara derivatif”. Perolehan kekuasaan

secara atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan,

karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan

yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan

menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Perolehan kekuasaan

secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang

telah ada dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian pelimpahan

kekuasaan ini adalah pelimpahan kekuasaan yang diturunkan.

Menurut Poerwadarminta, (1998:1010) pengertian wewenang

adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu, Selanjutnya

wewenang menurut Stout dalam Ridwan, (2000:72) adalah

“keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di

dalam hubungan hukum publik. Dikemukakan pula apa yang dikatakan

oleh Tonner di dalam Ridwan, (2002:72), bahwa “kewenangan

pemerintahan adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif,

sehingga dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara

pemerintah dengan warga negara”.

Selanjutnya menurut Soebagio dan Supriatna (1987:15) bahwa

"konsep/istilah wewenang disamakan dengan istilah fungsi yang dapat

juga diidentikkan dengan tugas atau peran. Pemahaman yang sama

Page 118: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

106

juga diungkapkan oleh B.N.Marbun (1992:176) sebagai wewenang atau

tugas (peranan) yang diterjemahkan pula sebagai fungsi, sementara

fungsi diidentikkan dengan tugas atau peran.

Kata wewenang menurut Soerjono Soekanto, (1982:20)

diartikan sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau

sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat

pengakuan dari masyarakat. UU No. 32 Thn 2004, mempergunakan

istilah “tugas dan wewenang”. Ada pendapat yang menyatakan,

wewenang (bevoegdheid) mengartikan tugas (pliechten), dan hak

(rechten). Sementara Bagir Manan (2001:69) mengutip SAM Stroink-

J.G. Steenbeek (1985:27), menjelaskan, bahwa "wewenang

mengandung makna kekuasaan (macho) ada pada organ (orgaan),

sedangkan tugas (taak) dan hak (recht) ada pada pejabat dan organ

(ambtsdrager). Oleh karena itu istilah wewenang', dimaksudkan untuk

menunjukkan kekuasaan (power) yang dimiliki Pemda dan DPRD".

Bagir Manan, dalam Ridwan, ( 2002:74) menjelaskan bahwa

“wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan

(macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan

kewajiban (rechten en pelichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah,

hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri

(zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Sedangkan

kewajiban terdiri kewajiban vertikal dan kewajiban horizontal”.

Page 119: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

107

Philipus M.Hadjon (1997:1), menyamakan istilah wewenang atau

kewenangan, bahwa wewenang selalu menjadi bagian penting dan

bagian awal dan hukum administrasi, karena obyek administrasi adalah

wewenang pemerintahan (bestuurs bevoegdheid). Menurut Maarseven

dalam Philipus M. Hadjon, (1997:2), bahwa wewenang dideskripsikan

sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), sehingga wewenang dalam

konsep hukum publik berkaitan dengan kekuasaan. Pada sisi lain,

menurut Hadjon, wewenang sebagai suatu konsep hukum, setidaknya

terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu: a. Komponen pengaruh, yaitu

penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku

subyek hukum; b. Komponen dasar hukum, bahwa wewenang tersebut

selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Sementara konformitas

hukum mengandung makna, adanya standar wewenang, yaitu standar

umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis

wewenang tertentu).

Menurut HD. Van Wijk dan Willen Koninjnenbelt dalam Marcus

Lukman, (1997:53), terdapat 3 (tiga) model penyerahan wewenang,

yaitu, secara Atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan yang

diperoleh secara atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan

oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (toekenning

van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een

bestuursorgaan). Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat

sah yang berasal dari pembentukan undang-undang orisinil. Pada

Page 120: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

108

model ini, pemberian dan penerimaan wewenang dapat menciptakan

wewenang baru atau mempeluas wewenang yang ada. Atibusi

merupakan wewenang untuk membuat keputusan yang langsung

bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Pembentukan

wewenang dan distribusi wewenang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan.

Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang

yang didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang.

Pertanggungjawaban intern diwujudkan dalam bentuk laporan

pelaksanaan kekuasaan, sedangkan pertanggungjawaban dari aspek

eksternal adalah pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga dalam

melaksanakan kekuasaan melahirkan derita atau kerugian bagi pihak

lain. Penerima wewenang bertanggung jawab atas segala akibat negatif

yang ditimbulkan dalam melaksanakan kekuasaan.

Suermondt terpetik dalam Mustamin Dg Matutu, dkk:

(2004:138) mengemukakan perbedaan pengertian atribusi dengan

delegasi. Delegasi adalah penyerahan kewenangan-kewenangan oleh

organ yang hingga saat (penyerahan) itu ditunjuk untuk

menjalankannya, kepada satu organ lain, yang sejak saat itu

menjalankan kewenangan yang didelegasikan itu atas namanya dan

menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan atribusi digambarkannya

sebagai pemberian kewenangan kepada suatu organ lain, yang

menjalankan kewenangan-kewenangan itu atas nama dan menurut

Page 121: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

109

pendapatnya sendiri tanpa bahwa si pemberi itu sendiri ditunjuk untuk

menjalankan kewenangan-kewenangan itu.

Pada Konsep delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari

pejabat yang satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasi

yang satu pada yang lainnya. Penyerahan wewenang harus dilakukan

dengan bentuk peraturan hukum tertentu, pihak yang menyerahkan

wewenang disebut delegans, sedang pihak yang menerima wewenang

disebut delegataris. Setelah delegans menyerahkan wewenang kepada

delegataris, maka tanggungjawab intern dan tanggung jawab ekstern

pelaksanaan wewenang sepenuhnya berada pada delegataris.

Selanjutnya menurut Utrecht dalam Mustamin Dg Matutu dkk;

(2004:126), bahwa, "delegasi tidak memuat inisiatif membuat peraturan,

inisiatif tetap dalam tangan dari yang mendelegasikan; delegasi tidak

lain dari pada mengatur dan melanjutkan".

Pendapat Utrecht tersebut disanggah oleh Mustamin Dg.Matutu

(2004:16) dengan menyatakan justru inisiatif untuk menentukan pokok-

pokok yang harus diatur dapat beralih kepada penerima delegasi,

pendapat Mustamin Dg Matutu tersebut seakan dibenarkan oleh

pendapat Hans Peters dalam Mustamin Dg Matutu, dkk: (2004:127),

bahwa: "bahwa Generalermachting, memungkinkan inisiatif untuk

mengatur pokok-pokok tertentu itu beralih kepada yang menerima

pendelegasian karena dengan Generalermachting kewenangan

dialihkan secara umum kepada yang dikuasakan, tidak dengan terlebih

Page 122: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

110

dahulu menentukan dan mengatur pokok-pokok tertentu dalam garis

besarnya oleh yang menerima pendelegasian". Oleh karena itu,

Mustamin Dg.Matutu, dkk (204:138) berkesimpulan bahwa berangkat

dari pandangan Suermondt di atas, dapat disimpulkan secara

sederhana hal-hal berikut :

1. Bahwa pada delegasi terjadi penyerahan kewenangan dari pihak

yang sendiri memang telah ditunjuk untuk menjalankan

kewenangan itu.

2. Sedang pada atribusi terjadi pemberian kewenangan dari yang

sendiri tidak (tanpa) ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu.

Pada umumnya ada dua cara pokok dari mana para Badan atau

Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu memperoleh wewenang, yakni

dengan jalan atribusi dan delegasi. Pada atribusi terjadi pemberian

wewenang/kewenangan pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan

dalam suatu perundang-undangan sebagaimana peneliti singgung

sebelumnya. Dalam bentuk inilah dilahirkan/diciptakan suatu

wewenang/kewenangan pemerintahan baru.

Jika ditinjau ada tidaknya delegasi dengan menggunakan letaknya

inisiatif sebagai ukurannya, maka tidaklah tepat. Oleh karena delegasi

dapat saja terjadi bila ada penyerahan (pergeseran) kewenangan dari

satu ke lain organ; sedangkan kewenangan yang diserahkan (digeser)

itu dapat meliputi baik kewenangan untuk berinisiatif, maupun

kewenangan untuk hanya mengatur lebih lanjut. Jadi delegasi dapat

Page 123: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

111

juga mencakupi penyerahan kewenangan lebih lanjut, dan yang

menerima pendelegasian dapat berinisiatif. Argumentasi utamanya

pihak yang mendelegasikan adalah untuk meringankan diri dari suatu

beban, dan untuk meringankan dari beban yang mengatur tidak perlu

dengan jalan menyerahkan kekuasaan untuk mengatur selanjutnya,

boleh juga dengan menyerahkan kekuasaan mengatur yang meliputi

baik kekuasaan untuk berinisiatif maupun hanya kekuasaan untuk

hanya mengatur lebih lanjut apa yang telah diinisiatifkan lebih dahulu.

Suatu wewenang atau kewenangan yang lahir atas dasar

delegasi, adalah wewenang atau kewenangan yang lahir karena

adanya pelimpahan wewenang atau kewenangan dari pejabat

administrasi negara kepada subyek hukum lain untuk bertindak atas

nama dan atas tanggung jawab sendiri dari si penerima delegasi

wewenang atau kewenangan tersebut.

Pada wewenang/kewenangan yang didelegasikan pun mungkin

pula mengandung suatu kekurangan, misalnya;

a. wewengan/kewenangan yang tersebut memang tidak

mungkin didelegasikan.

b. delegasi memang dimungkinkan, tetapi kenyataannya

tidak pernah terjadi pendelegasian

c. delegasi memang mungkin dilakukan, tetapi

pendelegasiannya tidak dilakukan dengan cara yang

tepat/benar.

Page 124: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

112

Atas dasar ini maka wewenang dan kewenangan yang lahir bersifat

melekat, tidak dapat dialihkan atau dibagi-bagi.

Pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah

propinsi dan pemerintah kabupaten/kota hanya menunjuk pada

pendelegasian dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan .

Sebagai suatu pranata dalam hukum administrasi negara, delegasi

mengandung arti pengalihan kewenangan suatu kewenangan yang

ada.

Di samping delegasi, dikenal juga konsep atribusi sebagaimana

diuraikan diatas. Berbeda dengan delegasi, atributasi menunjuk pada

kewenangan yang secara limitatif diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya Philipus M.Hadjon, (1993-131) dalam Hamzah Halim

(2009:164) bahwa “baik delegasi maupun atribusi, keduanya

merupakan cara dalam membuat keputusan.

Adapun syarat-syarat delegasi sebagaimana dikemukakan

Philipus Hadjon, (1997:5) sebagai berikut :

1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada

ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

Page 125: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

113

4. Kewenangan memberi keterangan (penjelasan) artinya,

delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang

pelaksanaan kewenangan tersebut;

5. Peraturan kebijakan artinya, delegans memberikan instruksi

(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut;

Dengan demikian menurut Suwoto (1997:42) dalam konsep

pendelegasian kekuasaan, maka delegataris melaksanakan kekuasaan

atas nama sendiri dan dengan tanggungjawab sendiri. sehingga

pelimpahan itu disebut pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab.

Perolehan wewenang secara mandat, pada dasarnya adalah

suatu pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan, dengan

maksud untuk membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha

negara yang memberi mandat. Hal tersebut berarti bahwa keputusan

yang diambil pejabat penerima mandat, pada hakekatnya merupakan

keputusan dari pejabat tata usaha negara yang memberi mandat.

Sebagai konsekwensinya, bahwa tanggung jawab atau tanggung gugat

atas diterbitkannya keputusan atas dasar suatu mandat, tetap berada

pada pejabat pemberi mandat.

Dengan kata lain pada konsep mandat, sebagaimana

dikemukakan Philipus Hadjon, (1997:7) mandataris hanya bertindak

untuk dan atas nama pemberi mandat, sehingga tanggung jawab akhir

dari keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada tangan

pemberi mandat. Selain itu untuk mandat tidak diperlukan adanya

Page 126: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

114

ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya, karena

mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern hirarkis dalam

organisasi pemerintahan.

Adanya pemberian dan atau pembagian wewenang dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah baik dalam bentuk atribusi

maupun delegasi, dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat

mengurus sendiri urusan rumah tangganya. Termasuk di dalamnya

wewenang menetapkan peraturan sendiri di daerah dalam rangka

penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah yang dikenal dengan

peraturan daerah.

Jika diilustrasikan maka relevansi wewenang pemerintah daerah

dengan pembentukan produk hukum daerah seperti peraturan daerah

dalam mendukung penyenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk

melakukan pengujian mengenai keabsahan produk hukum daerah

bersangkutan, Sukismo, (2002:51), menjelaskan pula bahwa apabila

suatu produk hukum tidak didasarkan atas wewenang secara sah dan

benar, maka dapat berakibat produk hukum bersangkutan cacat hukum,

yang berarti batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

2. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah

Mengacu pada teori tentang bentuk/dasar lahirnya

wewenang/kewenangan tersebut di atas, maka wewenang/kewenangan

yang dimiliki oleh eksekutif dengan legislatif daerah (Pemda dan DPRD)

Page 127: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

115

dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam

UU No. 32 Tahun 2004 adalah merupakan bentuk

wewenang/kewenangan yang lahir/ada berdasarkan pendelegasian dari

pemerintah pusat. Sehingga eksekutif dengan legislatif daerah dalam

melaksanakan pendelegasian wewenang/kewenangan tersebut

bertindak dan bertanggung jawab atas nama mereka sendiri dan

disitulah sesungguhnya letak keotonomian pemerintahan daerah

kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah berdasarkan UU

No. 32 Tahun 2004.

Syarat yang disebutkan oleh Strong dalam negara kesatuan

(Unitaris), adalah: 'kedaulatan negara tidak dibagi-bagi, karena itu

dalam negara kesatuan, pendistribusian kewenangan merupakan suatu

hal yang sangat penting yang harus dilakukan secara cermat dan

didasarkan pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas

pembantuan (medebewind)".

Format pendistribusian kewenangan dalam NKRI, diatur dalam

Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Thn 2004 menegaskan,

bahwa:" Ayat (2): Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah

menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan

dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Ayat (3):

Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah

menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan".

Page 128: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

116

Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum

Administrasi Negara, Prajudi (1994:78) menyatakan “pengertian

kewenangan dan wewenang (Comptence, bevoergdheid) walaupun

dalam praktek perbedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya,

dikatakan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh UU)

atau dari kekuasaan eksekutif administratif”.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah juga telah mengatur tentang kewenangan baik dalam batang

tubuh maupun penjelasannya. Pengaturan tentang kewenangan

termaktub dalam Pasal 13, 17 (1a) dan ayat (2).

Dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004, terdapat 16

kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah antara lain: 1.

Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan,

pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana

dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6.

Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8.

Pelayanan bidang ketenagaakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. Fasilitasi

pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota; 10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan

pertanahan termasuk lintas batas kabupaten/kota; 12. Pelayanan

Page 129: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

117

kependudukan, dan cacatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum

pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk

lintas kabupaten/kota; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya

yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota, dan 16. Urusan

wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Sebagai implementasi dari UU No. 32 Tahun 2004, khususnya

Pasal 13, pada tahun 2007 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2007 yang mengatur secara limitatif kewenangan yang diberikan

kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam

PP No. 38 Tahun 2007 khususnya terkait kewenangan Pemerintah

Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan,

ditetapkan ada 6 (urusan) yang menjadi tugas Pemerintah Propinsi, dan

Kabupaten/Kota antara lain sebagai berikut :1. Urusan Kebijakan; 2.

Urusan Pembiayaan; 3. Urusan Kurikulum; 4. Urusan Sarana dan

Prasarana; 5. Urusan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, serta 6.

Urusan Pengendalian Mutu Pendidikan.

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, juga telah digariskan hak dan kewajiban Pemerintah dan

pemerintah daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 dan pasal

11. Pasal 10 menyebutkan “Pemerintah dan pemerintah daerah

berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi

penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) “Pemerintah

Page 130: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

118

dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,

serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap

warga negara tanpa diskriminasi”; ayat (2) Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya

pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima

belas tahun. Urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah

daerah sebagaimana tersebut dalam penjabaran PP No. 38 Tahun

2007, juga termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang terbit

sebelumnya, diantaranya; Standarisasi Nasional Pendidikan diatur

dalam Pasal 35, Kurikulum diatur dalam Pasal 36, 37 dan 38,

Pendidikan dan Tenaga Kependidikan diatur dalam Pasal 39. 40, 41,

42, 43 dan 44, sedang Sarana dan Prasarana Pendidikan diatur dalam

Pasal 45; Selanjutnya Pendanaan Pendidikan diatur dalam Pasal 46,

47, 48 dan 49

3. Kewenangan Daerah dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Penyelenggaraan program pendidikan nasional berjalan seiring

dengan kebijakan Pemerintah yang bersifat lebih makro yaitu kebijakan

politik. Dwidjowijoto (1999:13) mengemukakan “Kebijakan politik

Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini ditata dalam

pola yang saling bergantian antara pola yang sentralistik dan

desentralistik”. sejalan dengan itu Tilaar (1995:50) mengemukakan

“Pola yang sentralistik bermakna bahwa kewenangan penyelenggaraan

Page 131: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

119

pemerintahan lebih banyak berada di Pusat dari pada di Daerah,

sementara pola desentralistik bermakna bahwa kewenangan

penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berada di Daerah dari

pada di Pusat. Kebijakan pendidikan mengikuti perubahan dari

kebijakan politik pemerintah yang sentralistik dan desentralistik

tersebut.

Seiring dengan pergantian kekuasaan dan pola penyelenggaraan

pemerintahan dan pengelolaan pembangunan, pada tahun 2003

ditetapkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional sebagai pengganti UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang

Sisdiknas.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Pasal 50, 51, dan 52 secara khusus mengatur

tentang pengelolaan pendidikan di tingkat pusat dan daerah, yang

menyatakan sifat desentralistik dari penyelenggaraan pembangunan

pendidikan. Bab XIV tentang Pengelolaan Pendidikan memberikan

panduan perihal mekanisme desentralisasi penyelenggaraan

pendidikan nasional yang pada Pasal 50 dikemukakan sebagai berikut:

1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung

jawab menteri.

2) Pemerntah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional

pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.

Page 132: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

120

3) Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan

sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk

dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap

internasional.

4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas

penyelenggaraan pendidikan, pengembngan tenaga

kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan

pendidikn lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan

dasar dan menengah.

5) Pemerinth kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan

pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis

keunggulan lokal.

6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi

dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

Riant Nugroho (2008:8) mengemukakan “ bahwa sejak

reformasi hingga hari ini, kebijakan politik pendidikan nasional dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa diselenggarakan dengan pola

manajemen yang desentralistik. Pemerintah Daerah mempunyai peran

paling besar dalam keberhasilan pendidikan nasional, dibanding pada

masa sebelumnya.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Khususnya pembagian

Page 133: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

121

urusan pemerintahan Bidang Pendidikan Pemerintah mempunyai

kewenangan dan bertanggung jawab atas 6 (enam) hal, yang

terjabarkan dalam 6 sub bidang yang menjadi kewenangan

Pemerintah, Pemerintahan daerah provinsi dan Pemerintahan daerah

kabupaten/kota. Sub bidang dimaksud adalah : (1) Kebijakan; (2)

Pembiayaan; (3) Kurikulum; (4) Sarana dan Prasarana; (5) Pendidik

dan Tenaga Kepedidikan; dan (6) Pengendalian Mutu Pendidikan.

Kewenangan Provinsi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi

kewenangan dan tanggung jawab provinsi adalah:

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai

dengan kebijakan nasional; perencanaan strategis pendidikan anak

usia dini, dasar, menengah dan pendidikan nonformal;

2. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf

internasional sesuai dengan kewenangannya;

3. Melakukan koordinasi dan suverpisi pengembangan kurikulum

tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah;

4. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional

sarana dan prasarana pendidikan menengah, pengawasan

penggunaan buku;

5. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk

pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya;

pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan;

Page 134: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

122

pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar

kabupaten/kota;

6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan

menengah dan pendidikaan nonformal.

Kewenangan Kabupaten/Kota

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kota, juga melaksanakan kewenangan yang sama pada

skala kabupaten/kota dan lebih bersifat operasional, misalnya:

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota

sesuai kebijakan nasional dan provinsi; demikian pula

perencanaan operasional pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, menengah dan nonformal sesuai dengan perencanaan

strategis tingkat provinsi dan nasional; pengelolaan dan

penyenggaraan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah

dan nonformal, pemberian/pencabutan izin pendirian satuan

pendidikan dasar, penyelenggaraan dan atau pengelolaan

satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional;

2. Menyiapkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak

usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan

pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, termasuk

penyiapan pembiayaan penjaminan mutu;

3. Melakukan Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum

tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar, sosialisasi

Page 135: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

123

kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan, pengawasan

pelaksanaan kurikulum;

4. Melakukan penghawasan terhadap pemenuhan standar nasional

sarana dan prasarana, pendayagunaan bantuan, dan

pengawasan penggunaan buku pelajaran;

5. Melakukan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga

kependidikan, pengangkatan dan penempatan serta pemindahan

pendidik dan tenaga kependidikan PNS,

6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,

menengah dan nonformal, melakukan koordinasi, fasilitasi,

monitoring dan evaluasi pelaksanaan ujian sekiolah pada lingkup

kabupaten/kota

Kewenangan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah pusat

melaksanakan tugas ataupun kewenangannya pada skala makro,

sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sedangkan Pemerintah

provinsi pada perencanaan yang bersifat strategis, demikian pula

Pemerintah kabupaten/kota lebih pada kebijakan operasional

pendidikan.

4.Konsep Desentralisasi Pendidikan

Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya

Page 136: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

124

mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau

menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom.

Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi, sebagaimana telah

penulis kemukakan sebelumnya. Secara etimologis, istilah tersebut

berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti

pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara,

dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, Bab I, Pasal 1 disebutkan

bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI.

Sedangkan menurut Jose Endriga dalam Verania Andria & Yulia

Indrawati Sari,(2000:111) desentralisasi diartikan sebagai

“systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”.

Lain halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan

desentralisasi sebagai “delegations of responsibilities and powers to

authorities at the lower levels”.

Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh

keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi.

Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi

melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini

diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan

terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat

Page 137: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

125

tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara

pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan

sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh

masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk

mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997:111) dalam

buku “Leading Change”, menyatakan bahwa lembaga yang

terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih

fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan

dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif,

dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen

dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi

(1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam

organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung

memperoleh keputusan yang lebih baik.

Dalam kaitan desentralisasi pendidikan. Fasli Djalal dkk.

menemukan relasi antara desentralisasi dengan manajemen pendidikan

dengan mengatakan bahwa:

"Desentralisasi pendidikan adalah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebhinekaan. Desentralisasi pendidikan diartikan sebagai pelimpahan wewenang yang lebih luas."

Pemahaman praktikal desentralisasi memang mem�punyai makna

yang lain, yaitu mengurangi beban dan campur tangan pemerintah

pusat atas hal-hal yang sudah dilakukan atau dapat dilakukan oleh

pemerintah daerah, sesuai dengan prinsip subsidaitas.

Page 138: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

126

Pemahaman praktikalini antara lain dikemukakan oleh Suryadi dan

Budimansyah, bahwa :

"Dengan penyerahan pengelolaan pendidikan, berarti pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki keleluasaan dalam mengelola dan membina pendidikan secara mandiri, agar mencapai sasaran program pembangunan pendidikan dasar dan menengah. Wewenang itu mencakup berbagai tahapan sejak pengambilan keputusan, pemrograman, implementasi, monitoring program, sampai dengan pengadaan sarana-sarana pendidikan.

Usman Abu Bakar dalam Rian Nugroho (2008:48) mengemukakan

bahwa desen�tralisasi tidak saja mendorong pemerintah nasional

mem�bangun manajemen pendidikan yang terdesentralisasi, melainkan

juga menjadi pendorong bagi daerah untuk mengembangkan

manajemen pendidikan yang bermutu. Dikatakannya sebagai berikut:

"Dengan otonomi dan desentralisasi diharapkan semua komponen daerah lebih terpacu memberdayakan diri, mengembangkan mutu "kompetensial" sumberdaya manusia, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan."

Dikemukakan oleh Suyanto dalam Riant Nugroho (2008:49), bahwa

dengan desen�tralisasi, maka setiap daerah harus membangun

mana�jemen pendidikan daerah yang desentralistik dan unggul agar

dapat membangun SDM yang unggul, dan pada akhirnya membangun

keunggulan daerah. Dikemukakan oleh Suyanto dalam Riant Nugroho

(2008:50) bahwa:

Page 139: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

127

"Pendidikan memiliki fungsi penting bagi daerah terutama untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Daerah yang tidak memiliki SDM (dan sumber dana yang memadai) dapat dipastikan tidak begitu mendukung program desentralisasi dalam pendidikan. Sebab setelah pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah, daerah memang harus lebih bersifat kreatif, mandiri, dan mampu mengembangkan daerahnya demi untuk kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program pendidikan di daerahnya. Oleh sebab itu, dalam era otonomi pendidik�an, daerah perlu membangun sektor pendidikan secara baik agar sektor ini mampu dijadikan penggerak bagi kemajuan daerah”

McGinn dan Welsh dalam Wasitohadi (2008:9) mengemukakan

bahwa terdapat tiga alasan munculnya desentralisasi pendidikan, yaitu

menurunnya kapasitas dari pemerintah pusat karena desakan

global, menurunnya kemampuan model manaje�men sentralistik

untuk menangani desakan mutu pen�didikan, dan munculnya teknologi

komunikasi dan informasi yang memungkinkan pengelolaan

manajemen pendidikan yang desentralistik, namun tetap dapat

dikendalikan oleh negara. Dikemukakan sebagai berikut:

"Pertama, ...globalisasi ekonomi dan keuangan memper�lemah pemerintah pusat. Di satu sisi, organisasi-organisasi supranasional telah mengurangi kedaulatan nasional. Di sisi lain, pergeseran ke arah pengambilan keputusan berbasis pasar telah memperkuat kelompok-kelompok lokal...(Kedua) pada saat yang sama, sistem pendidikan dimana telah menggandakan dan melipatgandakan pen�daftaran. Meningkatnya para guru dan siswa memaksa kapasitas birokrasi yang sentralistik untuk memelihara mutu. Meningkatnya ketidakpuasan publik mengakibatkan tekanan untuk menggeser pengambilan keputusan ke kelompok-kelompok lokal....(Ketiga) munculnya teknologi komunikasi dan informasi yang baru membuatnya mungkin untuk mencapai tingkat kontrol yang

Page 140: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

128

tinggi atas sistem, dengan manajemen desentralisasi. Suatu paradigma manajemen baru yang menekankan perhatian kepada output dan bukan input telah meningkatkan pentingnya perkuatan kapasitas lokal dalam pengambilan keputusan."

Selanjutnya desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas

keputusan tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan

desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan

konstruktif. Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang

otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatar belakangi oleh keinginan

segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua

bidang pemerintahan.

Menurut Bray dan Fiske dalam Depdiknas, (2001:3)

desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga

yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan

untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk

pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan

pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite (1994:1407)

mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai :

“the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual schools”.

Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi

pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan

pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan

sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam

Page 141: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

129

pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika

sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut

substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.

Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas

adalah otoritas yang diserahkan. Williams dalam Depdiknas, (2001:3-4)

membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung

jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat kepemerintah yang lebih

rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan

desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan

antara keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang

dilimpahkan.

Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan

bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan

tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk

menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan

untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk

menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta

lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan

tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan

yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas

pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan

berupa strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk

melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini,

Page 142: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

130

pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam

menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah

mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan,

mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan

lainnya.

Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal

itu, ada berbagai pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite

(1994:1407) menguraikan mengenai alasan desentralisasi (reasons for

decentralization), yaitu

(a) the improvement ofschools, (b) the belief that local is logical form of governance in ademocracy, dan (c) in participation relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity,efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara,

Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat

alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk

pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan

stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari

masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan

laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan

sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c)

alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas

manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu

atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar

mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber

Page 143: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

131

daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat

pembangunan ekonomi.

Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi

pendidikan di Indonesia dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5),

dalam Wasitohadi (2008:10) Ia berpendapat bahwa desentralisasi

pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi

pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Ia juga

memberi alasan rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi

pendidikan didesentralisasikan, yaitu:

Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara

mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik (politically

decentralization is a way of democratizingthe management of public

affairs).

Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban pendidikan

tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD mengawasi

perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan

melibatkan wakil rakyat di dalam urusan pendidikan, diharapkan akan

mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar di dalam

pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang

berhubungan dengannya.

Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan

secara efisien di dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak

pulau (technically it is difficult tomanage education efficiently in a vast

Page 144: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

132

area consisting of islands). Masalah komunikasi dan transportasi antara

pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah

menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula,

sentralisasi akan membuat sulit untuk memecahkan masalah - masalah

perbedaan-perbedaan regional dan untuk mempertemukan kebutuhan

dan tuntutan khusus mereka. Perbedaan-perbedaan budaya dan tingkat

perkembangan masing-masing daerah menyumbang perbedaan

perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk

menyelesaikan masalah.

Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi

dan efektifitas dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan

dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness in

handling problems related to the implementation of education). Dan,

alasan.

Keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang

berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of

administration of the central government).

Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung

Marijan dalam Abdurrahmansyah, (2001:58) melihat penerapan

desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala

keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan.

Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi

Page 145: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

133

secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan

kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal.

Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari

asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada

pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan

nasional. Waristohadi (2008:11) menegaskan bahwa “Pemberian

sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah

terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1)

ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik,

(3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran

HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga cultural”.

Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki

proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak

stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan

masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah

dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk

memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,

desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan

kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif

dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya

manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan

daerah.

Model-Model Desentralisasi Pendidikan

Page 146: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

134

Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda

membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William dalam

Depdiknas, (2001:5) memerinci desentralisasi kedalam tiga model, yaitu

dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi

(devolution).

Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab

pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang

lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat

masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh.

Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk

lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan

tanggung jawab pemerintah pusat.

Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat

meminjamkan kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada

organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak

diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah memandang perlu,

otoritas itu bisa ditarik kembali,

Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat

menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan

meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas.

Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik

kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di

pusat.

Page 147: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

135

Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan

yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan

kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan

model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang

dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada

pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari

pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan

untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka

bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam

melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-

pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.

Rondinelli dalam Husen & Postlethwaite, (1994:1412)

menambahkan satu kategori lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu

model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada

pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi

penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61), dalam

kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang

telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil model yang terakhir,

swastanisasi. Selain tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan

hanya sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan

pemerintah menjadi urusan masyarakat.

Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model

desentralisasi pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site

Page 148: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

136

based management), (2) pengurangan administrasi pusat, dan (3)

inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi

dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan

pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat

merupakan konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi

pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada masing-

masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada

inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan

persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan

benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang

bervariasi.

Di antara ketiga model ini, model manajemen berbasis lokasi

yang banyak diterapkan, untuk meningkatkan otonomi sekolah dan

memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang tua, siswa dan

anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.

8. Teori Kebijakan Publik.

Donald F. Kettl (1996:9) dalam Riant Nugroho (2004:49)

mengemukakan bahwa memasuki milenium ketiga, administras publik

menghadapi empat isu kritikal, pertama, struktur, yang berkenaan

dengan tantangan menguatnya swasta dan menyusutnya pemerintahan

(best governmen is least government). Kedua berkenaan dengan

Page 149: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

137

proses administrasi publik, yaitu yang memperhadapkan kenyataan

bahwa sumber defisit terbesar di setiap negara adalah proses

penyelenggaraan administrasi publik. Ketiga tentang nilai, yang antara

lain berkenaan dengan munculnya ikon interpreneurial government .

Keempat kapasitas, yaitu yang berkenan dengan isu kecakapan dari

administratur publik memanajeni urusan-urusan publik. Kebijakan publik

menurut Michael E Porter (1998:19) mengemukakan bahwa

keunggulan kompetitif dari setiap negara ditentukan seberapa mampu

negara tersebut menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya

saing dari setiap aktor di dalamnya, khususnya aktor ekonomi.

Dalam konteks persaingan global, maka tugas sektor publik

adalah membangun lingkungan yang memungkinkan setiap aktor, baik

bisnis maupun nirlaba, untuk mampu mengembangkan diri menjadi

pelaku-pelaku yang kompetitif, bukan hanya secara domestik,

melainkan global. Lingkungan itu hanya dapat diciptakan secara efektif

oleh kebijakan publik. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang

mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya

masing-masing, dan bukan semakin menjurumuskan kedalam pola

ketergantungan.

Sebagai ilustrasi bahwa setiap hal yang ada di dunia pasti ada

tujuannya. Demikian pula kebijakan publik, hadir dengan tujuan tertentu

yaitu untuk mengatur kehidupan bersama – untuk mencapai tujuan

(misi dan visi) bersama yang telah disepakati. Juga dapat dikatakan

Page 150: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

138

bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang

dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan,

kemanusiaan. Persatuan, Demokrasi dan Keadilan) dan UUD 1945

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak

semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik adalah seluruh

prasarana dan sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut.

Dari rumusan tersebut diatas, Riant Nugroho (2004:51)

menyimpulkan bahwa :

1. Kebijakan publik mudah untuk dipahami, karena maknanya

adalah “hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional”

2. Kebijakan publik muda diukur, karena ukurannya jelas yakni

sejauh mana kemampuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.

Namun bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah

dilaksanakan dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik

menyangkut faktor politik

Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut

sebagai public policy. Seperti apakah kebijakan publik itu?, Untuk apa

dibuat atau dirumuskan?, Siapa yang bertanggung jawab

merumuskan?, Apa tujuannya? Dan seterusnya. Pertanyaan tentang

kebijakan publik adalah pertanyaan sepanjang masa karena kebijakan

publik tetap ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang

mengatur kehidupan bersama.

Page 151: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

139

Wayne Parsons (2006) mengemukakan, secara harfiah ilmu

kebijaksanaan adalah terjemahan langsung dari kata policy science

Dror,(1968:6-8). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William

Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah

public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak

berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari

kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah,

karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan

untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani

kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri

dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau

umum.

Dengan demikian, perbedaan makna antara perkataan

kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua

istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat

umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Perbedaan kata

kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk

membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang bersifat

umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah

discretion, atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal

pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kasuistis sering

terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta "kebijaksanaan" seseorang

pejabat untuk memperlakukan secara "istimewa," atau secara

Page 152: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

140

"istimewa" tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang

biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).

Lebih lanjut mengemukakan, kata policy secara etimologis

berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti

negara-kota. Dalam bahasa Latin kata ini berubah menjadi politia,

artinya negara. Masuk ke dalam bahasa Inggris lama (Middle English),

kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan

urusan pemerintah atau administrasi pemerintah, Dunn (1981:7). Dalam

pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai, "... a course

ofaction intended to accomplish some end" Jones,(1977:4) atau

sebagai "... what ever government chooses to do or not to do" Dye,

(1975:1). Terpetik dalam Wayne Parsons (2006)

James Anderson (1984:2-3) dalam Said ZA (2006:40), melihat

kebijakan publik dalam hubungan dengan strategi pokok kehidupan

suatu negara atau garis besar haluan negara. Dia menyebutkan

kebijakan publik Amerika adalah kebijakan ekonomi Amerika. Kebijakan

publik Saudi Arabia sebagai kebijakan perminyakan, kebijakan publik

Eropah Barat sebagai kebijakan pertanian Eropah Barat, dan

sebagainya. Menurut James Anderson, sekalipun tujuan dari tindakan

pemerintah tidak mudah dirumuskan dan tidak selalu sama, namun

secara umum kebijakan publik selalu menunjukkan ciri tertentu dari

berbagai kegiatan pemerintah.

Atas pertimbangan tersebut Anderson dalam Said ZA

Page 153: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

141

(2006:41), mengemukakan ciri-ciri dari kebijakan, sebagai berikut :

a. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or chance behavior. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekadar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu ada kebijakan.

b. Public policy consists of couses of action – rather than saparate, discrete decision or actions – performed by goverenment officials. Maksudnya, suatu kebijakan tidak bediri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum.

c. Policy is what government do – not what they say will do or what they intern to do. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah.

d. Public policy may be either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.

e. Public Policy is based on law and is autoritative. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya.

Jika dikaitkan dengan kebijakan publik yang dijalankan

pemerintah selama ini, secara politik tidak terlepas dari pencapaian

tujuan bangsa. Tujuan dari bangsa Indonesia adalah jelas Masyarakat

adil makmur berdasarkan Pancasilan dan UUD 1945.

Di dalam setiap negara, pasti ada kelompok-kelompok yang

berbeda pemikiran tentang arah mana yang dipilih untuk mencapai

tujuan bersama. Ini juga masalah bagi negara berkembang. Kita

terkebelakang jauh dibanding negara maju, tidak cukup dukungan

dana, infra struktur, sumber daya manusia, teknologi, namun harus

mengejar ketertinggalan dengan segera agar tidak semakin tertinggal,

karena makna “tertinggal” tidak saja sekadar “tertinggal” namun juga

Page 154: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

142

“dijajah” oleh mereka yang jauh di depan kita (Riant Nugroho, 2004:53).

Pembagian pertama dari kebijakan publik adalah makna

kebijakan publik, bahwa kebijakan publik adalah ha-hal yang diputuskan

pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah

untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pemerintah memutuskan untuk

memasuki usaha-usaha ekonomi persejantaan, perpupukan,

penerbangan, namun tidak memilih usaha ekonomi lain yang bersifat

besar dan menghasilkan laba besar seperti consumer goods, industri

pulp dan paper, minyak goreng, Kedua pilihan ini adalah kebijakan

publik yang diputuskan pemerintah. Mengapa ada BUMN yang

mengelola persenjataan, telekomunikasi, pelabuhan besar, bandara

udara? Karena usaha-usaha tersebut bersifat strategis secara politik

keamanan. Pada waktu perang, usaha-usaha tersebut tidak boleh jatuh

ke tangan musuh. Sementara pabrik mie instan, pembuatan bubur

kayu, industri kayu lapis, garmen, elektronika, meskipun menghasilkan

keuntungan besar, akan tetapi karena tidak bersifat strategis, maka

pemeritah tidak mengambilnya.

Sementara Privatisasi BUMN pada dasarnya tidak ditujukan

untuk mengisi kas anggaran seperti yang dilakukan Indonesia pada

jaman kepemimpinan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, melainkan

hanya fokus kepada masalah-masalah yang strategis atau yang tidak

strategis, namun tidak bisa dikerjakan oleh masyarakat, baik karena

investasinya besar, resikonya besar, atau labanya tidak menarik.

Page 155: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

143

Kebijakan publik “memilih dan tidak memilih” . sebagai ilustrasi

dalam beberapa hal, muncul kasus yang menyimpang dimana

pemerintah harus mengerjakan tetapi tidak mengerjakan, kemudian ada

pula pemerintah tidak perlu ikut campur. Misalnya, di seluruh dunia

usaha angkutan publik, khususnya mass rapid transportation, dikelola

oleh pemerintah karena harus murah, bersubsidi, dan sulit diperoleh

laba. Di Jakarta dan hampir seluruh kota di Indonesia, pemerintah

(daerah) menyerahkan usaha angkutan publik kepada masyarakat.

Pembagian jenis kebijakan publik yang kedua adalah bentuknya.

Kebijakan publik dalam arti luas dapat dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang

tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan peraturan-peraturan

tidak tertulis namun disepakati. Yaitu yang disebut konvensi-konvensi.

Peraturan tertulisalam mudah diamati dan dipahami. Dalam kaitan itu,

Theodora J.Lewi dalam (Winarno, 2002:6) membagi amatan kebijakan

publik menjadi dua, yaitu yang berkenan dengan substansi dan yang

berkenaan dengan prosedur.

Bahwa kebijakan publik yang tertinggi adalah kebijakan publik

yang dibuat oleh lembaga legislatif. Mengingat di Indonesia, sistem

politiknya tidak secara tegas meletakkan fungsi eksekutif, legislatif,

yudikatif masing-masing secara terpisah absolut. Karena semuanya di

bawah Mejelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan joint session

dari Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga legislatif di

Page 156: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

144

tingkat nasional bersama Dewan Perwakilan Daerah. Secara khusus

DPD bukan menggantikan Utusan Daerah namun semacam Senat

yang terdiri dari perwakilan Senat negara-negara bagian di Amerika

Serikat. Karena kedua lembaga yang mengadakan joint session

tersebut mewakili rakyat maka dapat diidentifikasi bahwa keduanya

adalah legislatif.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan publik tertinggi

dibuat oleh legislatif dan ini mengikuti prinsip dasar dari Teori Politik

Trias Politica yang diajarkan oleh Montesquieu pada abad Pencerahan

di Prancis abad 17. Secara ekstrem, formulasi kebijakan atau

perundangan adalah legislatif dan eksekutif hanya melaksanakan saja,

sementara yudikatif mengadili jika eksekutif melakukan pelanggaran.

Di masa-masa awal teori-teori administrasi publik pendekatan

ini diikuti dengan paradigma when politics end administration begin

(1900-1926). Tidak dipungkiri ini adalah ide yang paling ideal tentang

kebijakan publik, karena kebijakan publik sebenarnya adalah kontrak

antara rakyat dengan penguasa akan hal-hal penting yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, sebuah istilah diikonkan

Jean Jacques Rousseau, filsuf sosial Prancis yang sezaman dengan,

Montesquieu sebagai the social contract or principles of political right.

Dikemukakan oleh Rousseau, (1975) dalam Riant Nugroho

(2004:60). Demokrasi adalah sebuah suasana di mana seorang

penguasa dipilih bukan atas dasar kelahiran atau kekerasan namun

Page 157: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

145

atas dasar sebuah kontrak yang dibuat bersama melalui mekanisme

pemilihan umum langsung atau tidak langsung dan siapapun yang

menjadi penguasa harus membuat kontrak sosial dengan rakyatnya.

Kebijakan publik adalah kontrak sosial itu sendiri.

Kebijakan publik yang kedua adalah yang dibuat dalam bentuk

kerjasama antara legislatif dan eksekutif. Model ini bukan menyiratkan

ketidakmampuan legislatif, namun mencerminkan tingkat kompleksitas

permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif bekerja sendiri. Di

Indonesia produk kebijakan publik yang dibuat oleh kerja sama kedua

lembaga ini adalah Undang-Undang di tingkat nasional dan Peraturan

Daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Secara khusus di

tingkat nasional untuk hal-hal tertentu yang bersifat darurat, maka

pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang atau PERPU yang bersifat sementara sampai UU-nya

dibuat. Bahkan di Indonesia yang mengesahkan UU adalah Presiden.

Undang-Undang sendiri disahkan setelah ada persetujuan legislatif dan

eksekutif (Presiden).

Kebijakan ketiga adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif

saja, dalam perkembangannya, peran eksekutif tidak cukup hanya

melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh legislatif, karena semakin

meningkatnya kompleksitas kehidupan bersama diperlukan kebijakan-

kebijakan publik pelaksanaan yang berfungsi sebagai turunan dari

kebijakan publik diatasnya. UU yang telah disahkan/diundangkan tidak

Page 158: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

146

mungkin dapat dilaksanakan jika tidak dibuat beberapa Peraturan

Pelaksanaan baik dalam bentuk PP, Kepres, hingga Keputusan Kepala

Daerah dan seterusnya.

Kebijakan publik yang hanya dibuat oleh eksekutif untuk

melaksanakan kebijakan publik yang bersifat umum yang dibuat oleh

legislatif, baik secara tunggal (UUD, Ketetapan MPR) maupun melalui

bekerja sama dengan eksekutif (Undang-Undang). Di Indonesia ragam

kebijakan publik yang ditangani eksekutif bertingkat yaitu :

1. Peraturan Pemerintah (PP)

2. Keputusan Presiden (Kepres)

3. Keputusan Menteri (Kepmen) atau Kepala Lembaga Pemerintah

Non Departemen

4. dan seterusnya.

Di tingkat daerah, yang ada adalah :

1. Keputusan Gubernur, dan bertingkat keputusan dinas-dinas di

bawahnya;

2. Keputusan Bupati, dan bertingkat keputusan dinas-dinas di

bawahnya;

Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti memandang bahwa

teori kebijakan publik relevan ditarapkan dalam disertasi ini.

9. Kebijakan Pendidikan dalam Kebijakan Publik

Page 159: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

147

Ciri-ciri umum dari suatu negara adalah merdeka atau

mempunyai kedaulatan, mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan

mempunyai pemerintahan. Manusia yang hidup di dalam negara inilah

disebut sebagai "sebuah ke�hidupan bersama". Kehidupan bersama

perlu ditata atau diatur, oleh peraturan yang berlaku untuk semuanya

dan "Aturan" merupakan bahasa awam dari kebijakan publik. Dengan

memahami fakta ini, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan publik

menentukan keberhasilan (dan kegagal�an) pembangunan dan

kemajuan setiap negara, karena ke�bijakan publik berada pada sisi hulu

dari kehidupan bersama tersebut.;

Kebijakan publik mempunyai ragam definisi. James P. Lester dan

Joseph Stewart (1997:4), meringkas sebagai berikut:

Thomas R. Dye....defines public policy as "whatgovenimentdo, why they do it, and What difference i t makes ".. Harold Lnszoell...defines public policed as "a projected program of goals, values, and practices ". David Easton see it as "the impact ofgovernrnent activihy"....Austin Ranney less public police as "a selected line o f action or a declaration of intent". Finally, James Anderson defines the teens as "a purposive course o faction followed by an actor or set of actors in dealing With a problem or matter of concern

Definisi yang banyak diikuti adalah definisi Thomas R. Dye

(1992:24) yang mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala

sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan

hasil yang membuat sebuah ke�hidupan bersama tampil berbeda

merupakan pemahaman yang paling banyak dikembangkan.

Dikatakannya demi�kian:

Page 160: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

148

"Public policy is whatever government choose to do or not to do. Government do many things. Note that we are focusing not only Oil government action but also on government in action, that is, what government chooses not to do. We contend that government in action can have just as great nn impact on society as government action. " Public policy is what government do, why they do it, and what difference it makes."

David Easton (1953:129), memahami kebijakan publik sebagai

alokasi nilai-nilai yang dilakukan oleh pemerintah secara otoritatif.

Dikatakan demikian:

" the authoritative allocation of value for the whole society but is turns out that only the governrnent can authoritatively act on the "whole" society, and everything that government choose to do or not to do results in the allocation of values."

Dari definisi-definisi tersebut, dapat dikenali ciri-ciri kebijakan

public Pertama, kebijakan publik adalah ke�bijakan yang dibuat oleh

negara, yaitu berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan

yudikatif. Kedua, ke�bijakan publik adalah kebijakan yang mengatur

kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur

ke�hidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur

semua yang ada pada wilayah (domain) lembaga publik. Kebijakan

publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau

golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh

masyarakat di daerah itu. Ketiga, dikatakan sebagai kebijakan publik

jika terdapat tingkat eksternalitas yang tinggi, yaitu di mana pemanfaat

atau yang terpengaruh bukan saja pengguna langsung kebijakan publik,

tetapi juga yang tidak langsung.

Page 161: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

149

Sebagai sebuah keputusan negara, maka tujuan dari kebijakan

publik adalah membangun tertib kehidupan publik. Mengikuti istilah

Samuel Huntington, kebijakan publik dibuat untuk mengembangkan

"tertib politik."Pemikiran ini dikembangkan dari pandangan negara dari

sisi hukum, di mana negara bekerja untuk menegakkan hukum dan

keadilan untuk publik. Kebijakan publik yang berkembang di negara-

negara berkembang mempunyai dimensi yang khas, lebih luas dari

pemahaman hukum tersebut, yaitu untuk melakukan pembangunan

sebagai upaya ketertinggalannya.

James P. Lester dan Joseph Steward, Jr.(2000:8), dengan

me�ngembangkan pemikiran dari Theodore Lewi yang melihat kebijakan

publik dalam dua kategori yaitu konservatif dan liberal,

mengelompokkan menjadi kebijakan memper�tahankan status quo legal

atau konservatif dan kebijakan perubahan social pembangunan atau

liberal. Dikatakan Lester dan Steward sebagai berikut:

....liberal policies are those in which the government is used extensively to bring about social change... conservative policies, on the other hand, generally oppose the use o f government to bring aboutsocial change, but may approve government action to preserve the status quo or to promote favored interest"-'

Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk membatasi

pemahaman kebijakan publik sebagai keputusan-keputus�an yang

dibuat oleh institusi negara, terkhusus keputusan politik pada tingkat

pemeritah provinsi dan kabupaten kota dalam rangka mencapai visi dan

Page 162: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

150

misi provinsi dan kabupaten/kota. Keputusan politik tersebut khususnya

dibuat oleh lembaga legislatif dan/atau lembaga eksekutif. Berkenaan

dengan kebijakan publik pada tingkat daerah otonom adalah kebijakan

publik yang dibuat oleh legislatif dan/atau eksekutif di tingkat daerah

otonom.

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik dibidang pendidikan.

Ensiklopedia Wikipedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan

berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur

pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan

pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Selengkapnya

disebutkan demikian:

Education policy refers to thecollcction of laws or rules that govern the operation ofeducation systems. It seeks to answer questions about the purpose of education, the objectives (societal and personal) that it is designed to attain, the methods for attaining them and the tools for measuring their success or-failure.'

Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd, dan

Anne-Marie O'Neil,(2000:1-2) kebijakan pendidikan merupakan kunci

bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara-bangsa dalam

persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan

prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya

adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang

memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.

Dikatakan sebagai berikut:

Page 163: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

151

...education policy in the twenty-first century is the key to global security, sustainability and surniVal...education policies are central to such global mission.. .a deep and robust democracy at national level requires strong civil society based on norms of trust and active response citizenship and that education is central to such a goal. Thus, the strong education state is necessary to sustain democracy at the national level so that strong democratic nation-states can buttress forms of international governance and ensure that globalization becomes a force for global sustainabil ity and survival .

Margaret E. Goertz (2001:45) mengemukakan bahwa

kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas

anggaran pendidikan. Isu ini menjadi penting dengan me�ningkatnya

kritisi publik terhadap biaya pendidikan. Dikatakan sebagai berikut:

"...An increased emphasis on educational adequacy and thepublic's concern over the high cost of education is focusing police makers' attention on the efficiency and effectiveness of educational spending... "

Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan.

Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk

umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah

umum kepada para manajer untuk bergerak. Nurkolis, (2004:44) dalam

Wasitohadi (2008:27) .Kebijakan juga berarti “suatu keputusan yang

luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen.

Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati

oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang

berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan

keputusan”

Sementara, menurut Slamet P.H.(2005:77) dalam Wasitohadi

Page 164: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

152

(2008:27) “kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan

(diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan.”

Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan

yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan

meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif,

kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi dan kebijakan etik.

Sedangkan Noeng Muhadjir (2003:90) membedakan kebijakan

substanstif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah

penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantive.

Sementara itu Sugiono (2003:9) dalam Wasitohadi (2008:28)

mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai

pernyataan lisan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang

dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan

pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga

tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan

organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai

tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus

memenuhi syarat sebagai berikut.

Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat;

Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang

lebih tinggi dan memperhatikan kebijakan yang sederajat yang

lain;

Page 165: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

153

Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;

Kebijakan yang dibuat harus adil;

Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;

Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas

kebijakan yang telah ada;

Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami,

diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi

Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar

dan up to date;

Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila

mungkin diujicobakan terlebih dulu.

Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984:44) dalam Wasitohadi

(2008:28) menjelaskan bahwa:

“Policy is sometimes used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed, while others use the word ‘policy’ as a synonym for words such as ‘plan’ or ‘programme’. Many writers too do not distinguish clearly between ‘policy-making’ and ‘decision-making’”.

Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan

dengan konsep lain, yaitu :

Goals : desired ends to be achieved. Plans or proposals : specified means for achieving goals. Programmes : authorized means, strategies and details of

procedure for achieving goals. Decision : specific actions taken to set goals, develop plans,

implement and evaluate programmes Effects : measurable impact of programmes Laws or regulations : formal or legal expressions providing

authorization to policies.Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or

actively rather than random or chance behaviour. It refers to courses or

Page 166: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

154

patterns of action, rather than separate discrete decision; usually policy development and application involves a number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as procedural or administrative policy.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan

dipahami oleh peneliti sebagai bagian dari ke�bijakan publik, yaitu

kebijakan publik di bidang pendidik�an. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam

tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan

pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik

pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga

segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.

Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat

dicapai secara efektif dan efisien.

C. Peran Kelembagaan Dalam Peningkatan Sumber Daya Pendidikan

1. Paradigma Baru Pendidikan

Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran

arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,

meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan. Aspek

dimaksud sebagaimana dikemukakan Fasli Jalal (2001:5) yaitu (1) dari

sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke

kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial

Page 167: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

155

menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah

sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara

kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non

sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM,

pesantren, maupun dunia usaha.

Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas

(2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas

Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke

desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down

approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach)

sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga

disebutkan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi

berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed

Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open Management), dan

pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar menjadi

tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi

tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).

Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka

wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai

berikut.;

a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan

Sebelum era reformasi, pengelolaan pendidikan sangat

sentralistik. Hampir seluru kebijakan pendidikan dan pengelolaan

Page 168: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

156

pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat

Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan

sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap

kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-

petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak

diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah

ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai

dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di

daerah.Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke

desentralistik.

Pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari

Depdiknas ke Dinas Pendidikan Provinsi, dan sebagian lainnya kepada

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-

sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada

rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.

Paradigma baru pendidikan nasional memberikan ruang kepada

kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota, membuat Peraturan-

Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.

Dengan desentralisasi manajemen pendidikan, Dinas Pendidikan

tingkat kabupaten/kota sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota

yang otonom, dapat membuat kebijakan kebijakan pendidikan, masing-

masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah

Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan

Page 169: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

157

pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi

peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-

masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan

“pendidikan berbasis masyarakat”. Perubahan dan kemajuan

pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada

kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-

masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.

b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;

Sebelum UU Otonomi Daerah diberlakukan, pendekatan

pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan

mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach),

Noeng Muhadjir (2003:61) menyatakan “bahwa kebijakan yang berasal

dari atas (top down), di bawah membantu implementasinya disebut

menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang

berasal dari bawah (bottom up) disebut menggunakan paradigm social

policy. Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan

hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di

Provinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus

lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk

dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di

sekolah-sekolah.

Di Era reformasi, upaya pengembangan pendidikan dilakukan

dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up

Page 170: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

158

approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan

keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas

Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan.

Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan

umum sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung

jawabnya.

c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik

Selama ini, orientasi pengembangan pendidikan bersifat parsial,

misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan

ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan

sebagaimana dikemukakan Fasli Jalal, (2001:5). Pendidikan juga terlalu

menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial,

fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98).

Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam

pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan

unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup

bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran

akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak

didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan

dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah pisah dan kurang

Page 171: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

159

integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada

kaitan dengan pelajaran lain.

Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan

bersifat holistik. Menurut Fasli Jalal, (2001:5) Pendidikan diarahkan

untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan

budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,

kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Menurut Paul

Suparno (2003:100) dalam Wasitohadi (2008:16) , pendidikan holistik

dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah

keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses

menjadi (being).

Hent (2001:71) dalam Wasitohadi (2008:16) mengemukakan

Konsep saling keterkaitan (interdefendensi) “ Interdependensi adalah

saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing

tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling

ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa

lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain. Interrelasi

dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara

unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan.

Hubungan interdependensi dimakasud adalah hubungan antara

pendidik dengan yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara

pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan

dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai pribadi.

Page 172: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

160

Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam sistem

itu, dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila

terlibat,ikut aktif di dalamnya.

d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.

Sebelum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004, peran pemerintah

sangat dominan. Sumarno, (2001:3), menjelaskan bahwa “hampir

semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan

perencanaannya di tingkat pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih

hanya sebagai pelaksana” dengan kata lain pendidikan dikelola tanpa

mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah

cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan

pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab

sepenuhnya ada pada pemerintah pusat.

Lebih lanjut Tilaar, (1999:113) menegaskan bahwa masyarakat

tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan.

Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai

konstituen dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah

kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk

peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem

yang otoriter.

Page 173: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

161

Sesudah diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 1999, ada

perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik

secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong

partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan

Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah.

Pembentukan komite Sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas

No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.

Pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,

akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah

harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara

luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi

oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon

anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan

penyampaian hasil pemilihan.

Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite

sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban

kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara

demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan

pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang

perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.

e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.

Page 174: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

162

Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah.

Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi

sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan

fungsi mendidik generasi penerus bangsa.

Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap,

kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara

aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan

tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah

organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan

sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik,

melainkan juga diupayakan untuk nasional.

Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia

usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai

pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab

dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, Fasli Jalal, (2001:72-

73). Mengemukakan perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan

dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,

pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous

enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy)

f. Dari ”birokrasi” ke ”debirokratisasi”.

Page 175: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

163

Sebelum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,

berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol

oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-

aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan

kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi

pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi yang

amat berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan

adanya pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan secara

berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya.

Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di

sekolah-sekolah.

Selain itu, memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian

masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar

”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip

profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang

dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu, juga

dilakukan ”deregulasi”, dalam arti ”pengurangan” aturan-aturan

kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan

prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk

berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan

penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan

prasarana/sarana untuk sekolah.

Page 176: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

164

f. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke

”managemen terbuka” (open management).

Sebelum era reformasi 1999, sistem pendidikan nasional

diterapkan dalam bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga melahirkan

kondisi yang tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik

dalam pengelolaan pendidikan. Saat ini , manajemen pendidikan

menerapkan ”manajemen terbuka” dari pembuatan kebijakan,

pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan

kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan

dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok

masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima

kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

g. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)

Sebelum diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

Daerah, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar

menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi

tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Dalam

era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan

pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar,

Page 177: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

165

penataran/pelatihan,rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan

supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa

dan masyarakat (stakeholders).

Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak

bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta

pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek proyek

khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal

kepentingan nasional lainnya dari Depdiknas , dan dari Dinas Provinsi.

2. Pengembangan Kapasitas

Konsep desentralisasi yang ditawarkan oleh UU No.32 tahun

2004, khususnya dalam penerapan otonomi pendidikan oleh Anneli

Milen (2006 : 3) mengapresiasi bahwa yang perlu mendapatkan

pembahasan lebih jauh adalah, apakah sudah tersedia cukup kesiapan

dari daerah untuk mengimplementasikan konsepsi tersebut”?

Pertanya�an ini memang terkesan agak memojokkan daerah, dan juga

mengandung unsur ketidakpercayaan. Akan tetapi yang menjadi

masalah kita bukan kehendak untuk menarik kembali desentralisasi,

melainkan hendak memastikan: apa yang harus dipersiapkan agar

pemerintah daerah dapat benar-�benar menjalankan konsep

desentralisasi, khususnya dalam bidang pendidikan. Pengalaman masa

lalu, harus diakui telah membentuk semacam karakter dari pemerintah

daerah, sehingga untuk segera mengubah kebiasaan lama dan

Page 178: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

166

membentuk kebiasaan baru, tidak mudah untuk dilakukan, tanpa

sebuah perubahan yang mendasar di kalangan pemerintah daerah,

maka akan sulit bagi pemerintah daerah untuk dapat menggunakan

skema desentralisasi secara maksimal.

Anneli Milen (2006 : 6) hendak memberikan inspirasi, sebagai

berikut: Pembenahan pemerintahan daerah, pada dasarnya memiliki

makna: (1) kemampuan daerah dalam menerjemahkan aspirasi

masyarakat, dan kemampuan daerah untuk membuka ruang bagi

penyaluran aspirasi masyarakat; (2) kemampuan daerah untuk

mengkomunikasikan kepentingan daerah dan mensinergikannya

dengan gerak nasional; dan (3) kemampuan masyarakat daerah dan

seluruh pihak yang berkepentingan untuk melakukan kontrol efektif

pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga benar-benar

dapat bekerja sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, dan

benar-benar dapat mengubah taraf hidup masyarakat daerah, dengan

sumberdaya yang tersedia.

Oleh sebab itu , menurut penulis pemerintah daerah perlu

memiliki kepekaan dan kemampuan dalam: (1) memahami secara

benar tugas pokok dan fungsi dari pemerintah daerah. Apa yang

dimaksudkan dengan pemahaman mengenai tugas pokok dan fungsi, di

sini, tentu bukan pemahaman yang bersifat artifisial, melainkan yang

subtansial, yang ditunjukan dengan rasa nyaman masyarakat ketika

berhubungan dengan pemerintah daerah; (2) kemampuan pemerintah

Page 179: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

167

daerah dalam menyusun prioritas, khususnya dalam pengembangan

infrastruktur daerah dan pemberian layanan; (3) kemampuan menyusun

alokasi infrastruktur berkait dengan kebutuhan dan prioritas

pembangunan dan kemampuan dalam membuat perencanaan

pembangunan infrastruktur dan penganggaran; (5) kemampuan

menyusun standar layanan; dan (6) kemampuan dalam melakukan

komunikasi politik dengan masyarakat, sehingga diperoleh masukan

yang produktif berkaitan dengan arah pembangunan daerah.

Gambaran tersebut, pada dasarnya hanya sebagian kecil dari apa

yang memang harus dibenahi. Sejalan dengan itu, Anneli Milen (2006

:8) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada tiga masalah dasar yang

nyata-nyata patut dipertimbangkan untuk dibenahi, yakni: Pertama,

kemampuan pemerintah daerah untuk berhubungan dengan

masyarakat daerah. Dalam masalah ini, pemerintah daerah dituntut

untuk dapat meninggalkan model lama yang menempatkan pemerintah

sebagai tukang perintah, kepada situasi yang baru, sebagai pelayanan

(yang mengurusi apa yang dibutuhkan masyarakat). Kedua,

kemampuan pemerintah daerah untuk menerjemahkan aspirasi dalam

kebijakan-kebijakan yang mendukung gerak maju masyarakat daerah.

Kebijakan daerah memang harus disusun berdasarkan aspirasi

masyarakat, partisipasi menjadi penting, namun lebih lagi adalah

kejelian untuk membuat rumusan yang nyata-nyata tidak merugikan

rakyat daerah. Dan ketiga, kemampuan untuk menjalankan kebijakan

Page 180: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

168

sesuai dengan apa adanya, dan tidak terjebak dalam proses

manipulasi.

Dalam rangka meningkatkan peran daerah, UNDP dalam garis

panduannya mengemukakan bahwa penguatan kapasitas

menggunakan tiga tingkat : sistem, organisasi dan individu (UNDP,

1998) Disini kerangka kerja yang digunakan sama baiknya dengan

mempertimbangkan lingkungan yang kompleks dalam sektor publik dan

sektor swasta, Hilderbrand, Grindle, (1997) dalam Anneli Milen (2006)

dikatakan bahwa empat tingkat tersebut memiliki impak dalam

kapasitas, a) lingkungan tindakan, b) Kontek Institusi Sektor Publik, c)

Simpul tugas (atau Sistem), d) Organisasi

Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-

arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.

Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam

merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan

pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum,

ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi

manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan

legislasi), pendidikan, pengembangan sumberdaya manusia,

pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur

organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi,

prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar

organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,

Page 181: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

169

pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain. Kesiapan

kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia

(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya

(uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan,

pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa

pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu

antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-

masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.

3. Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan

Hubungan masyarakat dan pendidikan digambarkan Thomson

dalam bukunya Modern Philosophy of Edu�cation sebagai berikut:

"Educational is concerned with the problem of individual and society, is indeed, by some defined as the process of fitting the individual to take his place in society."

"Pendidikan berhubungan dengan masalah manusia pribadi dan masyarakat, dan oleh beberapa ahli diberi batasan sebagai proses penyesuaian oleh pribadi untuk melaksanakan fungsinya di dalam masyarakat."

Sementara pada bagian lain dengan mengutip tulisan John Dewey,

Richey menulis:

"On the other hand, one may believe that "education is the fundamental method of social program and reform" and that "it is the business of every one interested in education to insist upon the school as the primary and mostt effective instrument of social program and reform."

Di lain pihak, seseorang mungkin berpendapat bahwa

"pendidikan ialah metode fundamental untuk memajukan dan

Page 182: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

170

memperbarui masyarakat" dan bahwa "itu adalah sebagai masalah

setiap orang yang berminat dengan pendidikan untuk menggunakan

sekolah sebagai alat utama dan paling efektif untuk memajukan dan

memperbaharui suatu masyarakat."

Penjelasan di atas memberi penegasan bahwa ada korelasi yang

signifikan antara masyarakat dengan pendidikan. Bahwa untuk dapat

menunaikan semua fungsi kemanusiaan dan fungsi sosial di dalam

masyarakat, atau dalam pengertian bagaimana manusia (individu)

mampu menunaikan kewajiban di dalam kehidupan sosialnya perlu ada

kesadaran-kesadaran nilai dan kecakapan-kecakapan tertentu. Dan

tentu saja kesadaran-kesadaran dan kecakapan itu tidak ada dengan

begitu saja, melainkan membutuhkan suatu proses tersendiri.

Bahwa butuh proses bagi manusia untuk dapat menunaikan

fungsi kemanusiaan dan fungsi sosial di dalam masyarakat, lantas di

sinilah kemudian terlihat bagaimana arti penting peran pendidikan di

dalamnya. Karena perkembangan kepribadian manusia ke tingkat

kematangan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor biologis,

lingkungan alamiah, maupun lingkungan sosial budaya.

Terlebih melalui bekal ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari

bangku pendidikan (sekolah) diharapkan nantinya bisa membawa diri,

keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya ke peradaban yang

cemerlang, menuju ke suatu kehidupan yang dinamis dan beradab.

Perlu pula dicatat bahwa pendidikan yang diperoleh oleh peserta didik

Page 183: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

171

tidak terbatas pada institusi formal (sekolah) semata, akan tetapi

pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.

Pembangunan berbasis manusia dan pemberdayaan

masyarakat merupakan salah satu konsep yang paling populer dewasa

ini. Konsep ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an dan berkembang

sepanjang tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Perkembangannya

mungkin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan demokrasi yang

terjadi beberapa dekade terakhir. Partisipasi masyarakat (rakyat) dalam

proses pembuatan keputusan dan pemerintahan secara umum, sebagai

salah satu prinsip demokrasi, berkembang menjadi tuntutan yang

semakin luas diterima di berbagai belahan dunia. Tuntutan akan

partisipasi ini berangkat dari pemahaman bahwa rakyat adalah pemilik

kedaulatan dan kekuasaan sesungguhnya dalam sebuah negara.

Dalam hal pendekatan pembangunan, tuntutan akan partisipasi

ini telah mengubah paradigma mengenai posisi masyarakat dalam

proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai

objek, tetapi ikut terlibat mulai dalam perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan hingga pertanggungjawabannya. Pendekatan ini

menyadari betapa pentingnya kapasitas masyarakat untuk

meningkatkan kemandirian dan kemampuan internalnya atas segala

sumber daya yang dimilikinya. Model semacam ini sangat menekankan

pentingnya pemberdayaan (empowerment) dan inisiatif rakyat sebagai

inti dari sumber daya pembangunan.

Page 184: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

172

Meskipun secara umum terdapat kesepakatan akan pentingnya

pemberdayaan masyarakat, namun ada beberapa hal yang menjadi

permasalahan untuk mengimplementasikannya dalam tataran praksis.

Permasalahan tersebut khususnya menyangkut ketiadaan konsep yang

jelas mengenai apa itu pemberdayaan masyarakat; batasan

masyarakat yang sukses melakukan pemberdayaan; peran masing-

masing pemerintah, masyarakat dan swasta; mekanisme

pencapaiannya; dan sebagainya. Upaya pemberdayaan masyarakat

karena itu menuntut pengelolaan kegiatan secara lebih tepat,

akomodatif, terukur, tertib, akuntabel yang meliputi rangkaian proses

penyusunan Rencana dan Anggaran, Pelaksanaan, Pengawasan dan

Laporan Pertanggungjawaban.

Pada dasarnya pemberdayaan merupakan suatu proses

perubahan yang menempatkan kreativitas dan prakarsa masyarakat.

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa elemen penting dari

pemberdayaan adalah partisipasi. Partisipasi merupakan proses aktif,

inisiatif diambil oleh masyarakat sendiri, dibimbing oleh cara berfikir

mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga

dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara

efektif. Dalam konteks pembangunan dan demokratisasi di Indonesia,

pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik menjadi penting. Di

negara-negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai

partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut

Page 185: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

173

menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya

menentukan kebijaksanaan umum (public policy).

Tingginya partisipasi menunjukkan bahwa warga negara

memahami kehidupan politik. Pada sisi yang lain, rendahnya partisipasi

dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga

negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta

tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Sebaliknya, di

negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari

pandangan elite politiknya yang melihat rakyat perlu dibimbing dan

dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,(1977:3). Berpendapat

Partisipasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi

bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap

atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal,

efektif atau tidak efektif

Norman H. Nie dan Sidney Verba, (1975:1). mengemukakan

Partispasi warga negara yang legal bertujuan untuk mempengaruhi

seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil

mereka. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri

dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena

beberapa sebab. Pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik

atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua,

Page 186: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

174

adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi

kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam

lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu

tindakan terpuji.

Dalam beberapa kasus, tindakan apati bukanlah masalah yang

harus selalu dirisaukan karena tindakan acuh tak acuh dapat menjadi

positif apabila memberikan fleksibilitas pada sistem politik dibandingkan

dengan masyarakat yang terlalu aktif sehingga menjurus pada

pertikaian yang berlebihan. Di Amerika Serikat misalnya, gejala tidak

memberikan suara dapat dilihat sebagai suatu pencerminan stabilitas

sistem politik yang ada. Dan juga mereka lebih aktif dalam

berpartisipasi untuk pemecahan masalah melalui kegiatan lain.

Kecenderungan ini dapat dilihat dengan penggabungan diri tidak saja

pada organisasi-organisasi politik, tetapi juga pada organisasi bisnis,

profesi, dan sebagainya.

Menurut Myron Wiener, ada dua faktor pendorong bagi

menguatnya partisipasi politik. Pertama, tumbuhnya angkatan kerja

perkotaan yang bekerja di sektor industri yang mendorong timbulnya

organisasi buruh. Kedua, pertumbuhan komunikasi massa yaitu karena

perkembangan penduduk, transportasi, komunikasi antara pusat-pusat

kota dan daerah terbelakang, penyebaran surat kabar, penggunaan

radio, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran anggota

Page 187: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

175

masyarakat akan pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap tiap-

tiap warga negara.

Jefry M. Paige memberikan dua indikator dalam menjelaskan

pola partisipasi politik. Pertama, kesadaran politik yakni kesadaran

seseorang akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang

menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan masyarakat dan

politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan

masyarakat dan politik tempat ia hidup. Kedua, kepercayaan politik

yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan sistem politik yang

ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Dengan

mengkorelasikan kesadaran politik dan kepercayaan politik itu, Paige

kemudian membagi pola partisipasi politik menjadi empat tipe:

1. Partisipasi politik dikatakan aktif apabila tingkat kesadaran dan

kepercayaan politiknya tinggi.

2. Partisipasi politik terlihat apatis jika tingkat kesadaran dan

kepercayaan politik rendah.

3. Partisipasi politik cenderung militan-radikal apabila kesadaran

politik tinggi, tetapi kepercayaan politik rendah.

4. Partisipasi politik cenderung pasif jika kesadaran politik rendah

tetapi kepercayaan politik tinggi.

Pola partisipasi politik yang ditunjukkan melalui kadar tinggi

rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan politik seperti

dikemukakan di atas, pada dasarnya ditentukan oleh setidak-tidaknya

Page 188: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

176

tiga faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi,

dan sistem.

Dalam sistem negara demokratis, partisipasi politik merupakan

elemen yang penting. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kedaulatan

ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama

untuk menetapkan tujuan-tujuan kolektif. Anggota masyarakat yang

berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh keyakinan bahwa

melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau

sekurangnya diperhatikan dan sedikit banyak dapat mempengaruhi

tindakan yang berwenang yang diwujudkan dalam sebuah keputusan.

Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang mereka lakukan mempunyai

efek (political efficacy).

Konsep pemberdayaan tumbuh mulai tahun 1970-an dan terus

mengalami perkembangan hingga tahun 1990-an. Menurut Pranarka

dan Vidhyandika, konsep ini memiliki pemikiran yang searah dengan

berbagai aliran pemikiran yang berkembang pada akhir abad ke-20,

yang biasa dikenal sebagai aliran posmodernisme. Aliran

posmodernisme, termasuk di dalamnya antara lain eksistensialisme,

fenomologi, personalisme, neomarxisme, freudanisme serta berbagai

aliran strukturalisme, menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang

berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur dan antideterminisme

yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Harry Hikmat, (2001:1-2).

Page 189: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

177

mengemukakan konsep pemberdayaan dapat dilihat sebagai akibat dari

dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan budaya yang

berkembang dalam sebuah masyarakat pada awal kelahirannya.

Konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif

baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan dengan

demikian merupakan depowerment dari sistem kekuasaan yang bersifat

absolut. Konsep pemberdayaan menggantikannya dengan sebuah

sistem yang baru, yang memberikan perhatian penting pada gagasan

manusia dan kemanusiaan (humanisme). Menurut Pranarka dan

Vidhyandika dalam Harry Hikmat (2001:2) gagasan humanisme ini

memiliki kesamaan dengan apa yang diajukan aliran fenomologi,

personalisme dan eksistensialisme. Aliran-aliran tersebut menolak

segala bentuk kekuasaan yang bermuara pada dehumanisasi atas

eksistensi manusia. Demikian juga dengan aliran neomarxis,

freudianisme dan lainnya yang menggugat dehumanisasi yang

dihasilkan oleh kapitalisme, industrialisasi dan teknologi.

Adimihardja, (2001:1). Pemberdayaan masyarakat merupakan

strategi besar dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada

rakyat (people based development). Pendekatan ini menyadari

pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan

kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol

internal atas sumber daya material dan non-material yang penting

melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Pendekatan ini melihat

Page 190: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

178

bahwa permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat bukan

semata-mata akibat penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian,

tetapi juga sebagai akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru,

inkonsistensi dalam implementasi kebijakan dan tidak adanya

partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan yang

bersifat sentralistik dapat menghambat tumbuhnya kesadaran

masyarakat bahwa masalah sosial yang ada merupakan masalah

masyarakat, sehingga mereka tidak mampu memanfaatkan potensi dan

sumber daya sosial yang ada untuk mengatasinya. Selain itu, kondisi

struktural yang ada tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat

untuk mengartikulasikan aspirasi serta merealisasikan potensinya,

sehingga masyarakat berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Dalam

situasi inilah reorientasi paradigma pembangunan menjadi kebutuhan

yang mendesak.

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan biasanya

selalu dikaitkan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja

dan keadilan. Menurut Rappaport dalam Hikmat (2001:3),

pemberdayaan merupakan pemahaman secara psikologis pengaruh

individu terhadap keadaan sosial, kekuatan poltik dan hak-haknya

menurut undang-undang. Sementara itu Mc Ardle dalam Hikmat

(2001:3), mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan

keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan

keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif

Page 191: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

179

diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan”

untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi

pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka

mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada bantuan pihak luar.

Mc Ardle dalam Hikmat (2001:4), menekankan pentingnya proses

dalam pengambilan keputusan

Sebagaimana dinyatakan Craig dan Mayo dalam Hikmat

(2001:4-5), partisipasi merupakan komponen terpenting dalam upaya

pertumbuhan kemandirian dan proses pemberdayaan. Strategi

pemberdayaan menempatkan partisipasi masyarakat sebagai isu utama

pembangunan saat ini. Partisipasi aktif masyarakat di Dunia Ketiga

dinilai sebagai strategi efektif untuk meningkatkan ekonomi, sosial dan

transformasi budaya. Dengan partisipasi, pembangunan dapat

menjangkau masyarakat terlemah melalui upaya membangkitkan

semangat hidup untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini partisipasi

aktif masyarakat terkait dengan efektivitas, efisiensi, kemandirian dan

jaminan bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Tujuan utama dari pembangunan yang berpusat pada manusia

(people-centered development) adalah untuk menyediakan kepada

seluruh lapisan masyarakat kesempatan hidup secara utuh. Selanjutnya

Craig dan Mayo dalam Hikmat (2001:4-5)) mengemukakan, adapun

nilai-nilai dasar yang dianggap universal dalam pendekatan ini adalah

Partisipasi (participation), terutama bagi kelompok marjinal;

Page 192: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

180

Kesinambungan (sustainability), terutama terkait dengan kelestarian

lingkungan; Integrasi sosial (social integration), yang terkait dengan

rasa keadilan; dan Hak-hak dan kemerdekaan asasi (human rights and

fundamental freedoms).

Goulet, (1990:134) Partisipasi dikonsepsikan secara baru

sebagai suatu “insentif moral” yang membolehkan kelompok marjinal

untuk merundingkan “insentif-insentif material” yang baru bagi mereka,

dan sebagai terobosan yang memperbolehkan para pelaku kecil

mendapatkan jalan untuk ikut serta pada level makro dalam pembuatan

kebijakan. Definisi kerja partisipasi dari Marshall Wolfe dalam (Goulet,

1990:135). adalah usaha-usaha terorganisir meningkatkan peranan

pengendalian atas sumber daya-sumber daya dan lembaga-lembaga

regulatif dalam satuan masyarakat tertentu, bagi kelompok-kelompok

dan gerakan-gerakan yang sampai sekarang tidak diikutsertakan dalam

pengendalian masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi

dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah,

daftar pemecahan yang mungkin diambil, pemilihan satu kemungkinan

tindakan, mengorganisasi pelaksanaan, evaluasi dalam tahap

pelaksanaan, hingga memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau

organisasi lebih lanjut.

Goulet, (1990:137-139). Mengemukakan Pembangunan dalam

sebuah sistem yang non demokratis biasanya masih memperbolehkan

partisipasi di tingkat mikro (pemecahan masalah) asalkan tidak

Page 193: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

181

mengganggu ketentuan atau aturan di tingkat makro. Lebih lanjut

Goulet mengemukakan Partisipasi ideal yang sulit ditemukan dalam

tataran praksis adalah partisipasi yang dimulai dari tingkat bawah dan

berkembang ke tingkat atas menuju bidang-bidang yang semakin

meluas dalam pembuatan keputusan. Bentuk partisipasi ideal

diprakarsai, atau sekurang-kurangnya disetujui, oleh masyarakat non-

elit yang berkepentingan pada tingkat awal dalam urutan keputusan-

keputusan. Pemberdayaan pada dasarnya adalah pemberian kekuatan

kepada pihak yang kurang atau tidak berdaya (powerless) agar dapat

memilliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri.

Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu

semata, tapi juga kolektif (Hikmat, 2001:46-48). Pengertian ini kurang-

lebih sama dengan pendapat Payne dan Shardlow mengenai tujuan

pemberdayaan. Menurut Payne, tujuan utama pemberdayaan adalah

membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan yang akan ia lakukan, yang terkait dengan diri

mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam

melakukan tindakan. Rukminto Adi (2002:162-163) mengemukakan

“pemberdayaan menyangkut permasalahan bagaimana individu,

kelompok ataupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka

sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai

dengan keinginan mereka.

Page 194: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

182

Menurut Korten dalam Harry Hikmat, (2001:19) ada tiga dasar

untuk perubahan-perubahan struktural dan normatif dalam

pembangunan yang berpusat pada masyarakat yaitu: Pertama,

memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada

penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha

rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dan untuk

memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat individual,

keluarga dan masyarakat. Kedua, Mengembangkan struktur-struktur

dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah

organisasi. Ketiga, mengembangkan sistem-sistem produksi dan

konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada

kaidah-kaidah dan pemilikan serta pengendalian lokal.

Jika didiskripsikan dalam disertasi ini, maka penulis menilai

bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan menjadi suatu

keharusan

Page 195: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

183

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN (CONCEPTUAL FRAMEWORK),DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Pemikiran

Era Otonomi Daerah yang dtandai dengan lahirnya Undang-

Undang No 22 Tahun 1999, telah mengakibatkan terjadinya pergeseran

arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru

yang meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan yaitu (1)

dari sentralisasi ke desentralisasi, (2) Dari kebijakan yang top down ke

kebijakan yang bottom up; (3) Dari orientasi pengembangan yang

parsial ke orientasi pengembangan yang holistik; (4) Dari peran

pemerintah yang dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat;

(5) Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan

institusi masyarakat, (6) Dari birokrasi ke debirokratisasi.

Jika dilihat keberadaan UU No.32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat

perhatian untuk dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Pertama Fungsi

pemerintah dalam bidang pendidikan, yang pada intinya pemerintah

Page 196: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

184

daerah diberikan kesempatan yang sangat luas untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat serta mengembangkan prakarsa

dan aspirasi masyarakat dalam meningkatkan pendidikan di daerahnya

Kedua Kewenangan yang dimiliki Pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah yang

pada intinya implementasi kewenangan yang diberikan Pemerintah,

antara lain terkait kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan

prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, serta peningkatan mutu

pendidikan, Dan sejauh mana hubungan kelembagaan tersebut

berjalan, khususnya Dinas pendidikan provinsi dengan Dinas

pendidikan kabupaten/kota serta stakeholder pendidikan, demikian pula

pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh institusi terkait dan

masyarakat ; Ketiga Peran dan partisipasi masyarakat sebagaimana

termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, UU tersebut memberikan diskresi yang luas dalam

pengelolaan pendidikan, pada intinya menguji sejauh mana hak dan

kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, selain itu

pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan pada sektor

pendidikan, peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di

Kabupaten/kota

Berdasarkan pada uraian tersebut maka dapat diturunkan

beberapa variabel yang menjadi fokus penelitian sebagaimana

tergambar pada diagram dibawah ini :

Page 197: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

185

Diagram 1

Bagan Kerangka Pikir Penelitian

UU No. 32/2004UU No. 20/2003PP No. 38/2007

ASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAH DAERAHDI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

DALAM ERA OTONOMI DAERAH

FUNGSI PEMERINTAH (X1) Urusan Pemerintahan Batasan Kewenangan Perencanaan

KEWENANGAN PEMERINTAH (X2) Sinergitas Pem. Daerah Koordinasi Kelembagaan Pengawasan & Pembinaan

PARTISIPASI MASYARAKAT (X3) Hak & Kewajiban Komite Sekolah Dewan Pendidikan

TERWUJUDNYA MODEL PENYELENGGARAAN PENDIDIKANBERBASIS KUALITAS

Page 198: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

186

B. Definisi Operasional

a. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat

b. Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota

c. Fungsi adalah satu jenis pekerjaan/kegiatan atau lebih yang

saling berkaitan yang menghasilkan keluaran tertentu.

d. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan pemerintah untuk

menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan. yang dilakukan oleh

pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

berkaitan penyelenggaraan pendidikan.

e. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengelola sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

peraturan perundang-undangan.

f. Desentralisasi pendidikan adalah penyerahan urusan

pemerintahan di bidang pendidikan dari pemerintaah pusat atau

daerah tingkat atasanya kepada pemerintah daerah untuk

mengurus penyelenggaraan pendidikan di daerah.

g. Peraturan Perundang-undangan ialah peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan,

mencakup pula peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah

(perda) yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan.

Page 199: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

187

h. Koordinasi Kelembagaan, adalah proses komunikasi dan

interaksi antara lembaga-lembaga pemerintah, lembaga

swadaya masyarakat, dunia usaha, kemsayarakatan dan lain-

lain. terkait pelaksanaan program-program kependidikan.

i. Sinergitas, adalah keterpaduan antara pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten kota dalam menjabarkan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan.

j. Pengawasan dan pembinaan, adalah proses kegiatan yang

ditujukan untuk menjamin hasil yang diinginkan dan berperan

penting dan positif dalam proses managemen sedang

pembinaan adalah upayah yang dilakukan pemerintah dalam

menjamin terlaksananya program pendidikan.

k. Partisipasi Masyarakat, adalah menunjukkan pengertian proses

keterikatan masyarakat dalam mempengaruhi keputusan yang

berkaitan dengan pendidikan, partisipasi juga diartikan sebagai

proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholders)

pendidikan mempengauhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif

dan kepentingan pembangunan pendidikan.

l. Komite Sekolah/Madrasah adalah lembaga mandiri yang

beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah

serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

Page 200: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

188

m. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang

beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli

pendidikan.

Page 201: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

189

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengkaji Aspek Hukum

Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di Bidang Penyelenggaraan

Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah dan implikasi hukumnya baik

dalam tataran dogmatik hukum (rechtsdogmatiek), maupun dalam

tataran teori hukum (rechts theori), Pada tataran dogmatik hukum

adalah mengkaji tentang norma-norma hukum berupa peraturan

perundang-undagan dan ketentuan peraturan hukum lainnya yang

terkait dengan asperk hukum pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang

penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks ini akan dikaji sejauh

mana kewenangan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan

pendidikan.

Pada tataran teori hukum adalah pengkajian berupa teori hukum

yang urgen dan relevan berkenaan aspek hukum pelaksanaan fungsi

pemerintah di bidang penyelenggaraan pendidikan.

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan secara yuridis adalah pendekatan yang dilakukan

dengan melihat dari aspek peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah.

Page 202: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

190

Penelitian ini termasuk penelitian sosio-yuridis, karena obyek

penelitiannya mengkaji implementasi wewenang/kewenangan

pemerintah, pemerintah propinsi dan kabupten/kota antara ketentuan-

ketentuan peraturan perundang-undagan yang mengatur fungsi

pemerintah di bidang penyelenggaraan pendidikan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan

lokasi Provinsi Sulawesi Selatan sebagai lokasi penelitian oleh karena

masalah yang hendak dikaji dalam disertasi ini terdapat di daerah ini.

Penelitian ini tidak mengambil lokasi pembanding oleh karena

kedudukan dan peran pemerintah daerah sifatnya seragam di seluruh

daerah dalam wilayah NKRI (UU No. 32 Tahun 2004), juga karena

masalah yang hendak diteliti dan dikaji dalam kaitan fungsi pemerintah

daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan (hampir sama terjadi di

semua daerah) di seluruh wilayah NKRI.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam tiga

kelompok , yaitu :

a. Kelompok eksekutif daerah, yaitu seluruh aparat pemerintah

daerah (eksekutif) yang ada pada daerah provinsi dan

Page 203: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

191

kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang

dipilih menjadi sampel dalam penelitian ini.

b. Kelompok legislatif daerah yaitu seluruh anggota DPRD provinsi

dan kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kabupaten/kota

pada Provinsi Sulawesi Selatan yang terpilih menjadi sampel

dalam penelitian ini.

c. Kelompok non partisan (independent) yang tidak memihak.

Kelompok ini mewakili penyelenggara pendidikan swasta, tokoh

masyarakat, tokoh adat, LSM di daerah kabupaten/kota yang

dijadikan lokasi penelitian pada Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini ditetapkan dengan teknik

purposive sampling yaitu dengan cara menetapkan jumlah dan

kriteria sampel yang ditetapkan oleh peneliti sebelumnya, sehingga

jumlahnya terbatas kepada responden yang ada hubungannya

dengan pelaksanaan fungsi pemerintah daerah di bidang

penyelenggaraan pendidikan.

Penentuan sample dari populasi adalah, sebagai berikut :

1. Pihak eksekutif daerah dari masing-masing kabupaten/kota

terpilih, meliputi : Dinas Pendidikan Propinsi, Dinas Pendidikan

Kabupaten/Kota, masing-masing 5 (lima) orang, dengan

perincian, sebagai berikut :

a. Dinas Pendidikan Propinsi 5 (lima) orang

Page 204: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

192

b. Kota Makassar sebanyak 5 (lima) orang

c. Kota Pare-pare sebanyak 5 (lima) orang

d. Kabupaten Gowa sebanyak 5 (lima) orang

e. Kabupaten Sinjai sebanyak 5 (lima) orang

f. Kabupaten Pangkep sebanyak 5 (lima) orang

Sehingga jumlah sample dari unsur eksekutif daerah sebanyak

30 0rang.

2. Pihak legislatif daerah, masing-masing legislatif provinsi dan

legislatif kabupaten/kota terpilih, meliputi : Fraksi, Komisi, dan

dengan perincian, sebagai berikut :

a. DRPD Provinsi Sulsel sebanyak 10 (sepuluh) orang

b. DPRD Kota Makassar sebanyak 6 (enam) orang

c. DPRD Kota Pare-pare sebanyak 6 (enam) orang

d. DPRD Kabupaten Gowa sebanyak 6 (enam) orang

e. DPRD Kabupaten Sinjai sebanyak 6 (enam) orang

f. DPRD Kabupaten Pangkep sebanyak 6 (lima) orang.

Sehingga jumlah sample dari unsur legislatif daerah sebanyak 40

(empat puluh) orang.

3. Kelompok Independen (non partisan) meliputi : Penyelengara

Pendidikan Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO),

Tokoh Masyarakat (Tokoh Agama & Tokoh Adat), dengan

perincian, sebagai berikut

a. Lembaga Pendidikan Swasta sebanyak 10 (sepuluh) orang

Page 205: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

193

b. Lembaga Swadaya Masyarakat sebanyak 10 (sepuluh) orang

c. Tokoh Masyarakat sebanyak 10 (sepuluh) orang

Dari ketiga kelompok sample tersebut di atas, maka total sampel

dalam penelitian ini sebanyak 100 orang.

E. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis data

Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

a. Data primer, adalah data empirik yang diperoleh dari responden

melalui wawancara terstruktur dan kuesioner. Data tersebut

meliputi faktor-faktor yang berkorelasi dengan kedudukan dan

peranan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan

pendidikan di era otonomi dan implikasi hukumnya khususnya di

daerah kabupaten/kota yang dipilih peneliti sebagai sample;

b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti melalui studi

dokumen yang dihimpun dari berbagai ketentuan pemerintah

mengenai organisasi sosial maupun hasil penelitian, artikel/jurnal

ilmiah, kumpulan karya, dan lain-lain yang relevan dengan

masalah yang dibahas.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik

sebagai berikut :

Page 206: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

194

a. Observasi (pengamatan), yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara pengamatan langsung dengan berbagai pihak

penyelenggara pemerintah daerah baik di level eksekutif maupun

pada level legislatif.

b. Wawancara secara mendalam (indepth interviews), kemudian

dilakukan sinkronisasi data atas informasi yang terkumpul.

c. Daftar pertanyaan (kuisioner) yaitu penyebaran angket kepada

responden penelitian yang berisi pertanyaan menyangkut variabel-

variabel penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data

sekunder ditelaah dengan menggunakan landasan teori kemudian

dianalisis berdasarkan analisis kualilitatif. Analisis kualitatif yang

dimaksud, adalah dengan mendeskripsikan fakta lapangan berikut

interpretasi secara utuh tentang aspek hukum pelaksanaan fungsi

pemerintah daerah dalam bidang pendidikan di era otonomi daerah.

Page 207: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

195

BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sulawesi Selatan terletak di jazirah Selatan Pulau Sulawesi.

Provinsi yang Beribukota di Makassar ini, terletak antara : 0°12‘-

8°LintangSelatan 116°48‘-122°36‘ Bujur Timur. Secara administratif

berbatasan : Sebelah Utara dengan Propinsi Sulawesi Tengah dan

Sulawesi Barat , Sebelah Barat dengan Selat Makassar Sebelah Timur

dengan Teluk Bone Sebelah Selatan dengan Laut Flores Luas

wilayahnya, 45.764,53 km persegi meliputi 21 Kabupaten dan 3 Kota.

Kabupaten Luwu Utara kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km

persegi atau luas kabupaten tesebut mencapai 16,46 persen dari

seluruh wilayah Sulawesi Selatan (Sumber Sulawesi Selatan dalam

Angka 2008)

Sulawesi Selatan terdiri 21 Kabupaten yakni Kabupaten Gowa,

Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Bulukumba, Sinjai, Bone,

Soppeng, Wajo, Enrekang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Toraja,

Toraja Utara, Sidrap, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros, serta 3 Kota,

yaitu, Makassar, Pare-Pare dan Palopo.

Page 208: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

196

Sulawesi Selatan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang

potensial untuk dikembangkan, infrastruktur pendidikan cukup

memadai, selain itu tersedia tenaga kependidikan yang cukup dalam

menata peningkatan SDM kedepan. Beberapa indikator yang

menggambarkan besarnya potensi sumber daya manusia peserta didik

dapat dilihat sebagai berikut :

Total luas wilayah Sulawesi Selatan mencapai 45.764,53 km

persegi, jumlah penduduk 7.675.893 (data 2007), yang terdiri

dari 21 Kabupaten, 3 Kota, 285 Kecamatan, 2.263 Desa dan 664

Kelurahan,

Sulawesi Selatan memiliki penduduk muda usia dibawah 25

tahun sebesar 622.969 jiwa atau (8,12%) yang merupakan usia

potensial untuk mengecap pendidikan.

Sulawesi Selatan memiliki TK Negeri 32-TK Swasta 113, Total

145, SD/MI Negeri 6715, SD/MI Swasta 439 Total 7154,

SMP/MTs Negeri 1328, SMP/MTs Swasta 604 Total 1932,

SMA/MA Negeri 442, SMA/MA Swasta 546 Total 788, SMK

Negeri 76 SMK Swasta 185, Total 261, PT Negeri 4, PT Swasta

175 Total 179, lain-lain Negeri 9, Swasta 12 Total 21 (sumber

Rekap Data Diknas online)

Pertumbuhan peserta didik dalam lima tahun terakhir

mencerminkan begitu besarnya Sumber Daya Manusia kedepan

Page 209: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

197

yang perlu diberi perhatian khusus oleh para stakeholder

pendidikan.

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar

dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu

perubahan mendasar adalah menajemen negara yaitu dari manajemen

yang berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara

resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang

kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 32

Tahun 2004. Peraturan Pemerintah yang mengikuti UU No. 22 Tahun

1999 yaitu PP No 25 Tahun 2000 juga telah direvisi dan diganti dengan

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Konsekuensi dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut

adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa

dan semangat otonomi.

Sebelum penulis membahas lebih lanjut hasil penelitian ini, lebih

awal digambarkan Potensi sekolah, guru dan peserta didik di lokasi

penelitian, dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 2Jumlah Lembaga Pendidikan di Lokasi Penelitian

No Kab/Kota TK SD SLTP SLTA PT Jumlah1 Gowa 90 447 72 49 4 6622 Sinjai 62 275 67 29 - 433

Page 210: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

198

3 Pangkep 62 350 76 32 - 5204 Pare-Pare 55 106 30 27 6 2245 Makassar 206 520 207 214 103 1250

Jumlah 475 1698 523 351 116 3089Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kanwil Departemen Agama Provinsi Sulawesi Selatan, (Sulawesi Selatan Dalam

Angka 2008)

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa Kota

Makassar masih yang terbesar jumlah lembaga pendidikan pada semua

jenjang yang ada, yaitu 1250 (sekolah dan Perguruan Tinggi) menyusul

Kabupaten Gowa 662, Kabupaten Pangkep 520, Kabupaten Sinjai 433

dan Kota Pare-Pare 224.

Tabel 3Jumlah Murid di Lokasi Penelitian

No Kab/Kota TK SD SLTP SLTA Jumlah

1 Gowa 3.734 87.283 26.674 11.704 129.3952 Sinjai 2.564 35.891 14.446 5.887 58.7883 Pangkep 3.220 45.639 16.735 7.090 72.6844 Pare-Pare 2.645 17.694 7.642 7.865 35.8465 Makassar 12.300 159.944 69.316 58.896 301.356

Jumlah 24.463 346.451 132.878 126.712 598.069Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kanwil Departemen

Agama Provinsi Sulawesi Selatan, (Sulawesi Selatan Dalam Angka 2008)

Tabel 2 tersebut diatas menunjukkan bahwa Kota Makassar

masih yang terbesar dalam jumlah murid/siswa yaitu 301.356 siswa,

menyusul Kabupaten Gowa 129.395 siswa, Kabupaten Pangkep 72.684

siswa, Kabupaten Sinjai 58.788 siswa dan yang terendah jumlah

siswanya adalah Kota Pare-Pare 35.846 siswa

Tabel 4Jumlah Guru di Lokasi Penelitian

Page 211: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

199

No Kab/Kota TK SD SLTP SLTA Jumlah

1 Gowa 263 1.811 1.355 957 4386 2 Sinjai 515 2.767 852 596 49103 Pangkep 201 4.938 905 764 68084 Pare-Pare 288 1.112 593 566 25595 Makassar 482 1.435 1.305 3.585 6807

Jumlah 1.749 12.063 5.010 6.468 25.452Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kanwil Departemen

Agama Provinsi Sulawesi Selatan, (Sulawesi Selatan Dalam Angka 2008)

Tabel diatas menunjukan jumlah guru/tenaga kependidikan di

lokasi penelitian, Untuk tenaga kependidikan Kabupaten Pangkep

mencapai 6808 guru, kemudian Makassar 6807 guru, menyusul

Kabupaten Sinjai 4910 guru, Kabupaten Gowa 4386 guru dan Kota

Pare-Pare 2559 guru

B. FUNGSI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

1. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

Bila disimak secara cermat UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat

diperoleh esensi dasar sebagai berikut : Pertama, filosofi yang

digunakan adalah keanekaragaman dalam kesatuan, dengan filosofi ini

maka daerah otonom diberikan kejelasan yang besar untuk mengatur

dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya sesuai

kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Kedua, ada empat

paradigma yang digunakan mewarnai batang tubuh Undang-undang

tersebut yakni kedaulatan rakyat, demokrasi, pemberdayaan

Page 212: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

200

masyarakat sesuai kebutuhan, dan potensi atau kemampuannya

masing-masing. Ketiga, pemberian kewenangan kepada daerah,

terutama kabupaten/kota bersifat pengakuan bukan bersifat

pengaturan. Keempat, DPRD yang berkedudukan sejajar dan

merupakan mitra Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dalam

kenyataan politisnya berkedudukan lebih kuat dari Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah (KDH), karena dapat mengusulkan pemberhentian KDH

sebelum masa jabatannya berakhir, sedangkan KDH tidak dapat

membubarkan DPRD. Corak ini bersifat semi-parlementer. Kelima,

organisasi Pemerintah Daerah dibuat luwes dan kenyal sesuai

kebutuhan dan kemampuan daerah bersangkutan, Keenam, hak dasar

yang melekat pada pengertian otonomi daerah (a) Hak untuk memilih

pimpinanannya secara bebas; (b) Hak untuk memiliki dan mengelola

kekayaan sendiri secara bebas; (c) Hak untuk membuat peraturan

daerahnya sendiri secara bebas; dan (d) Hak kepegawaian (hak

mengangkat, menempatkan, memindahkan, menggaji, memberhentikan

pegawainya sendiri). Ketujuh, ada upaya simplikasi penggunaan atas

penyelenggaraan pemerintah daerah dalam bentuk penguatan atas

desentralisasi dan pengurangan asas dekonsentrasi di kabupaten/kota.

Asas dekonsentrasi hanya dijalankan di wilayah propinsi saja;

Kedelapan, ada upaya simplikasi pengaturan mengenai desa dan

kelurahan.

Page 213: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

201

Pengertian urusan pemerintahan adalah fungsi pemerintahan

di luar fungsi lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya (fungsi

eksekutif) yang dilakukan oleh Presiden, hal tersebut sejalan dengan

Teori Montesquieu bahwa selain fungsi pemerintahan yang dijalankan

eksekutif, juga dikenal adanya fungsi Legislatif yang dijalankan oleh

DPR, dan fungsi yudikatif yang dijalankan oleh lembaga peradilan.

Dengan demikian urusan pemerintahan ini tidak mencampuri fungsi

legislatif dan fungsi yudikatif.

Widjaya (2005:44), mengemukakan bahwa kewenangan

yang dapat disentralisasikan adalah urusan pemerintahan yang menjadi

kompetensi pemerintah (eksekutif), tidak meliputi kompetensi bidang

legislatif dan bidang yudikatif.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan

pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintahan daerah,

provinsi, kabupaten dan kota atau antara pemerintahan daerah yang

saling terkait, tergantung, dan strategis sebagai suatu sistem

pemerintahan. Selain itu hubungan antar pemerintahan daerah adalah

hubungan antara provinsi dengan provinsi, kabupaten/kota atau

provinsi dengan kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria tersebut terdiri atas

urusan wajib dan urusan pilihan.

Page 214: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

202

Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan

wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi : a) perencanaan

dan pengendalian pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan, dan

pengawasan tata ruang, c) penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat; d) penyediaan sarana dan prasarana umum;

e) penanganan bidang kesehatan; f) penyelenggaraan pendidikan dan

alokasi sumber daya manusia potensial; g) penanggulangan masalah

sosial lintas kabupaten/kota; h) pelayanan bidang ketenagaakerjaan

lintas kabupaten/kota; i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha

kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j) pengendalian

lingkungan hidup; k) pelayanan pertanahan termasuk lintas

kabupaten/kota; l) pelayanan kependudukan, dan cacatan sipil; m)

pelayanan administrasi umum pemerintahan; o) pelayanan administrasi

penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; p) penyelenggaraan

pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

kabupaten/kota, dan q) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh

peraturan perundang-undangan.

Urusan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan londisi, kekhasan, dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan

yang secara nyata ada, sesuai dengan kondisi, kekhasan serta potensi

Page 215: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

203

yang dimiliki, antara lain pertimbangan, perikanan, pertanian,

perkebunan, kehutanan, pariwisata

Selanjutnya pasal 14 menegaskan bahwa urusan wajib yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota

merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi: a)

perencanaan dan pengendalian pembangunan; b) perencanaan,

pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c) penyelenggaraan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d) penyediaan sarana

dan prasarana umum; e) penanganan bidang kesehatan; f)

penyelenggaraan pendidikan; g) penanggulangan masalah sosial; h)

pelayanan bidang ketenagakerjaan; i) fasilitasi pengembangan

koperasi, usaha kecil, dan menengah; j) pengendalian lingkungan

hidup; k) pelayanan pertanahan; l) pelayanan kependudukan, dan

cacatan sipil; m) pelayanan administrasi umum pemerintahan; n)

pelayanan administrasi penanaman modal; o) penyelenggaraan

pelayanan dasar lainnya; p) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan

oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang

berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, antara lain

perlindungan hal konstitusional (1). perlindungan kepentingan nasional,

kesejahteraan masyarakat, ketentraman, dan ketertiban umum dalam

rangka menjaga keutuhan NKRI, (2). dan urusan pemenuhan komitmen

Page 216: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

204

nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi

internasional.

Sedang urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di

daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib

berpedoman pada standar pelayanan minimum (SPM) secara bertahap

dan ditetapkan oleh pemerintah. Urusan pemerintahan yang diserahkan

kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana

dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang

didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang diserahkan/

dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai

dengan urusan yang didekonsentrasikan.

Urusan pemerintahan yang secara nyata ada, sesuai kondisi dan

kekhasan serta potensi yang dimiliki, antara lain pertambangan,

perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata.

Terkait urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi

dan pemerintah kabupaten/kota pelaksanaannya diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah

Ketentuan pasal 13 dan 14 UU No 32 Tahun 2004 tentang

Otonomi Daerah telah digariskan bahwa pendidikan merupakan urusan

wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah baik provinsi

maupun kabupaten/kota.

Page 217: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

205

Ketentuan Pasal 13 dan 14 UU No. 32/2004 khususnya huruf f

terjabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007

tanggal 9 Juli 2007, yang mengatur Pembagian Urusan Pemerintahan

Bidang Pendidikan, urusan pemerintahan bidang pendidikan yang

diberikan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

meliputi (1) kebijakan; (2) pembiayaan; (3) kurikulum; (4) sarana dan

prasarana; (5) pendidik dan tenaga keependidikan, dan (6)

pengendalian mutu pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, dalam Pasal 10 dan 11, mengatur Hak dan

Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 10 menyebutkan “ Pemerintah dan pemerintah daerah

berhak mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan

pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 11 ayat (1) menyebutkan “Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib memberikan layanan, kemudahan serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara

tanpa diskriminasi, sedang ayat (2) menyebutkan “ Pemerintah dan

pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna

terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia

tujuh sampai lima belas tahun.

Page 218: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

206

Dari ketentuan perundang-undangan yang penulis kemukakan

diatas, dapat disimak bahwa fungsi utama pemerintah dan pemerintah

daerah adalah fungsi pelayanan, yang diimplementasikan melalui

kebijakan, pembiayaan, kurukulum, sarana dan prasarana, pendidik

dan tenaga kependidikan, serta pengendalian mutu pendidikan.

Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam

melakukan kewenangan yang telah digariskan sebagaimana tertuang

dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.

38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai

implementasi dari desentralisasi pendidikan yang dilakukan Pemerintah

pasca reformasi tahun 1999. Sejalan pula dengan teori desentralisasi

yang dikemukakan Rondinelli dan Cheema (1992:12) bahwa

desentralisasi adalah:

"the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local adminisitrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non government organizations". (perpindahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke organisasi bidangnya, unit adminisitratif daerah semi otonomi dan parastatal, pemerintah daerah, atau organisasi-organisasi non pemerintah)

Definisi Rondinelli dan Cheema tersebut tidak saja mencakup

penyerahan dan pendelegasian wewenang di dalam struktur

pemerintahan tetapi juga telah mengakomodasi pendelegasian

Page 219: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

207

wewenang kepada organisasi non pemerintah , termasuk organisasi

swasta.

2. Batasan Kewenangan

Pada uraian sebelumnya penulis telah mengemukakan

ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan urusan pemerintahan

provinsi dan kabupaten kota yang mengatur tentang urusan pendidikan

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mengatur

tentang kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah urusan dalam

skala provinsi yang meliputi 16 urusan, salah satunya adalah

penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia,

sebagaimana tertuang dalam huruf f, selanjutnya pasal 14 ayat (1)

mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota

adalah urusan dalam skala kabupaten/kota yang meliputi 16 urusan,

salah satunya adalah penyelenggaraan pendidikan dan alokasi

sumber daya manusia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi

Daerah, menempatkan sektor pendidikan menjadi urusan wajib. Guna

memberikan pemahaman lebih komprehensif tentang pembagian

urusan, penulis mengemukakan struktur pembagian urusan

sebagaimana terurai dalam gambar di bawah ini :

Diagram 2

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

URUSAN PEMERINTAHAN

Urusan Pemerintahah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah (ps 10(3) & (3)

- Politik luar negeri- Pertahanan- Keamanan- Yustisi- Moneter dan Fiskal- Agama

Menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintahan atau wakil pemerintahan di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemda dan atau Pemdes (Ps 10 (4)

Urusan Pemerinthan di luar ps 10 (3)dapat dikelola bersama (pemerintah prop. Kab/kota dengan kriteria (ps. 11 (11)

- Eksternal- Akuntabilitas- Efisiensi

-

UrusanPemerintahan Daerah Urusan

Pemerintah

Wajib PelayananDasar Ps. 11 (3)

Pilihan Sektor Unggulan Ps 11

(3)Standar pelayanan minimum

(ps, 11 (4)

- Menyelenggara-kan sendiri

- Melimpahkan sebagian ur. Kepada gubernur

- Melimpahkan sebagian kepada Pemda dan atau Pemdes

Page 220: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

208

Sumber : Sosialisasi UU No. 32/2004, Depdagri

Konsekuensi logis dari lahirnya kebijakan-kebijakan

pemerintahan yang signifikan di atas menandakan berubahnya

kedudukan, tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan di pusat

dan daerah. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan kewenangan

masing-masing level pemerintahan yang berdampak pada perubahan

beban dan karakteristik tugas.

Di samping itu, Undang-Undang ini juga menetapkan

kewenangan bidang lain yang merupakan kewenangan pemerintah

yang berimplikasi secara nasional. Kewenangan bidang lain tersebut

meliputi kebijakan tentang perencanaan dan pengendalian

pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan, sistem

Diselenggarakan berdasarkan asasOtonomi dan tugas pembantuan (Ps 10 (2)

Page 221: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

209

administrasi negara dan pembedayaan sumber daya manusia dan

sumber daya alam (SDM dan SDA) serta teknologi tinggi yang strategis,

konservasi dan standarisasi nasional.

Selanjutnya, perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat

dari lahirnya suatu kebijakan tersebut di atas secara substansif akan

mengakibatkan perubahan pada peran, tugas dan fungsi pemerintah

dan semakin besar kewenangan itu berada pada pemerintah daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional juga telah diatur kewenangan Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, hal yang sama juga dapat

disimak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan “Urusan Pemerintahan, terdiri

atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan

Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan”, Selanjutnya Pasal 2 ayat

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta

agama. Pasal 2 ayat (3) Urusan Pemerintahan yang dibagi bersama

antara tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan di luar

Page 222: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

210

urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Selanjutnya ayat (4)

menegaskan “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) terdiri dari 31(tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan, salah

satunya adalah pendidikan;

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) menegaskan bahwa urusan wajib

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan

pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah

provinsi dan pemerintah daerah kabupaten kota, berkaitan dengan

pelayanan dasar. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan 24 sektor yang

masuk urusan wajib diantaranya sektor pendidikan, sehingga perlu

diberi prioritas.

Seperti telah disinggung sebelumnya, Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Khususnya pembagian urusan pemerintahan Bidang Pendidikan

Pemerintah mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab atas 6

(enam) hal, yang terjabarkan dalam 6 sub bidang yang menjadi

kewenangan Pemerintah, Pemerintahan daerah provinsi dan

Pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sub bidang dimaksud adalah :

(1) Kebijakan; (2) Pembiayaan; (3) Kurikulum; (4) Sarana dan

Prasarana; (5) Pendidik dan Tenaga Kepedidikan; dan (6)

Pengendalian Mutu Pendidikan.

Page 223: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

211

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi

kewenangan dan tanggung jawab provinsi adalah:

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai

dengan kebijakan nasional; perencanaan strategis pendidikan

anak usia dini, dasar, menengah dan pendidikan nonformal;

2. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf

internasional sesuai dengan kewenangannya;

3. Melakukan koordinasi dan suverpisi pengembangan kurikulum

tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah;

4. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional

sarana dan prasarana pendidikan menengah, pengawasan

penggunaan buku;

5. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan

untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya;

pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga

kependidikan; pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan

PNS antar kabupaten/kota;

6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,

pendidikan menengah dan pendidikaan nonformal.

Kewenangan Kabupaten/Kota

Demikian halnya, Pemerintah Kabupaten/Kota juga

melaksanakan kewenangan yang sama pada skala kabupaten/kota dan

lebih bersifat operasional, misalnya:

Page 224: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

212

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota

sesuai kebijakan nasional dan provinsi; demikian pula

perencanaan operasional pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, menengah dan nonformal sesuai dengan perencanaan

strategis tingkat provinsi dan nasional; pengelolaan dan

penyenggaraan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah

dan nonformal, pemberian/pencabutan izin pendirian satuan

pendidikan dasar, penyelenggaraan dan atau pengelolaan

satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional;

2. Menyiapkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak

usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan

pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, termasuk

penyiapan pembiayaan penjaminan mutu;

3. Melakukan Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum

tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar, sosialisasi

kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan, pengawasan

pelaksanaan kurikulum;

4. Melakukan penghawasan terhadap pemenuhan standar nasional

sarana dan prasarana, pendayagunaan bantuan, dan

pengawasan penggunaan buku pelajaran;

5. Melakukan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga

kependidikan, pengangkatan dan penempatan serta pemindahan

pendidik dan tenaga kependidikan PNS,

Page 225: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

213

6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,

menengah dan nonformal, melakukan koordinasi, fasilitasi,

monitoring dan evaluasi pelaksanaan ujian sekiolah pada lingkup

kabupaten/kota

Pelaksanaan kewenangan di bidang pendidikan sebagaimana

digariskan UU No.20/2003 tidak terlepas dari upaya peningkatan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) sejalan dengan napas otonomi, dengan

demikian baik Pemerintah maupun pemerintah daerah harus bersinergi

dalam mendorong pelaksanaan disentralisasi pendidikan.

3. Perencanaan Pendidikan

Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan perencanaan

pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan secara singkat. Tekanannya

lebih pada menjelaskan pola pikir dan apa yang sudah direncanakan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengelola pendidikan di

Sulawesi Selatan.

Bertolak pada Visi Pembangunan Sulawesi Selatan tahun 2003-

2008 yaitu “Sulawesi Selatan menjadi lebih maju dan terkemuka

dalam penerapan otonomi Daerah” dan memperhatikan strategi

dasar yang ditetapkan yaitu sebagai pusat keunggulan pembangunan

ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan Tehnologi, maka salah satu

pokok kebijakan yang menjadi kegiatan prioritas dalam memberikan

Page 226: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

214

pelayanan kepada masyarakat adalah “ Peningkatan Kualitas Hidup

Manusia”

Sejalan dengan visi pembangunan, strategi dasar dan kegiatan

pokok pelayanan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, serta mengacu

kepada analisis lingkungan strategis Dinas Pendidikan, maka visi untuk

Dinas Pendidikan 2003-2008 sebagai berikut : MEWUJUDKAN

PELAYANAN PENDIDIKAN YANG TERKEMUKA UNTUK

MENYEDIAKAN SUMBERDAYA MANUSIA BERKUALITAS”

Sedang misi Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan

sebagaimana tercermin dalam Renstra Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan 2003-2008 memfokuskan tujuan dan sasaran

pembangunan pendidikan sebagai berikut :

1. Mengembangkan pembinaan Pendidikan Dasar dan

Menengah, PLS, Pemuda, Olahraga dan Seni serta Sekolah

Luar Biasa yang berorientasi pada budaya daerah.

2. Mendorong upaya peningkatan Mutu Pendidikan di setiap

jenjang dan jalur pendidikan dengan pembangunan yang

berorienasi kepada kebutuhan daerah, nasional dan global.

3. Mendorong pengembangan sekolah unggul dan keterampilan

keahlian pada pendidikan dasar dan menengah yang

memiliki keunggulan dalam hal keImanan dan keTaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nasionalisme dan

Patriotisme yang tinggi, wawasan iptek yang mendalam dan

Page 227: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

215

luas, motivasi dan komitmen yang tinggi dengan ditunjang

oleh kondisi fisik yang prima.

4. Mengembangkan model dan program pembelajaran yang

mendayagunakan Teknologi Komunikasi Pendidikan sesuai

kondisi dan kebutuhan daerah.

Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2003-2008 secara garis besar bertujuan:

1) Merumuskan kebijakan dan program strategis yang menjamin

pelaksanaan kinerja institusi pendidikan yang efisien dan efektif

berdasarkan pembinaan pengelolaan pendidikan dengan prinsip

kepemerintahan yang baik;

2) Mengarahkan semua unsur kekuatan dan faktor kunci

keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan yang berorientasi

pada pelayanan prima dan keprofesionalan.

Sedang sasaran dari Renstra 2003-2008 adalah lembaga-

lembaga kependidikan dari jalur sekolah dan jalur luar sekolah yang

meliputi program pembinaan secara terpadu dengan orientasi :

1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui

pembinaan manajemen dan pengembangan prestasi

2. Kompetitif siswa, guru dan sekolah dengan mendorong

pengembangan pendidikan kejuruan dan Pendidikan Luar

Sekolah untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Page 228: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

216

3. Pemberdayaan masyarakat melalui Komite Sekolah dan

Dewan Pendidikan serta Dunia Usaha dalam mewujudkan

pengembangan keunggulan dibidang Pendidikan.

4. Pengembangan Kurikulum sesuai kebutuhan lokal Regional

dan Nasional.

5. Pembinaan moral siswa sesuai ajaran agama yang dianut.

6. Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Secara umum, Renstra Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2003 – 2008 merupakan landasan dalam melaksanakan

pembangunan pendidikan di Sulawesi Selatan.

Rencana Strategis Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan 2003-

2008 disusun berdasarkan Hasil analisis lingkungan baik internal

maupun eksternal yang mengacu pada Garis-garis Besar Haluan

Pembangunan Daerah (GBHD) tahun 2002-2004, Program

Pembangunan Daerah (PROPEDA) Sulawesi Selatan Tahun 2001-

2005 dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan

Provinsi sebagai Daerah Otonom.

Tugas pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan sesuai Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001, kajian dan

analisis pembangunan pendidikan di Sulawesi Selatan yang mengacu

Page 229: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

217

kepada Kewenangan dan Tugas Dekonsentrasi yang diberikan serta

Program dan Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional

Dari uraian tersebut diatas, digambarkan pola pikir

penyusunan RENSTRA seperti dibawah ini :

Diagram 3

Pola Pikir Renstra Dinas Pendidikan Nasional Prov Sulsel 2003-2008

Sumber data : Renstra Dinas Pendidikan Prov. Sulawesi Selatan 2003-2008

Strategi dasar yang dirumuskan dan dikembangkan Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan adalah : 1) Menciptakan

lingkungan belajar yang kondusif untuk mengembangkan potensi

keunggulan dalam arti fisik maupun sosial psikologis; 2) Memanfaatkan

LINGSTRASUL-SEL

LINGSTRADINAS PENDIDIKAN

SUL-SEL

LINGSTRAPEMPROV SUL-SEL RENSTRA PEMPROV

SULSEL 2003-2008

RENSTRA DINASPENDIDIKAN

SULSEL 2003-2008

GBHD 2002-2004RTRWP

PROPEDA 2001-2005

UU NO.22, 25/1999

DAN PP 25

RENSTRA DEPDIKNAS

RENCANA PEMBANGUNAN

PARA PIHAK

PELAKSANAAN PENBANGUNAN

REPETADA PEMPROVSULAWESI SELATAN

PERUBAHAN PARADIGMA BARUPELAYANAN/PEMBANGUNAN

LINGSTRASUL-SEL

Page 230: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

218

potensi yang ada dari berbagai sumber-sumber daya (manusia, dana,

alam dan sarana); 3) Pelayanan pendidikann yang efektif dan efisien

untuk mendukung peran Sulawesi Selatan sebagai pusat pelayanan

Kawasan Timur Indonesia, dan 4) Pemberdayaan pengelolaan dan

penyelenggaraan sekolah dengan penerapan Manajemen Berbasis

Sekolah.

Selain itu kebijakan yang dirumuskan dalam pembangunan

pendidikan adalah: 1) Pemerataan dan perluasan kesempatan belajar;

2) Peningkatan kualitas (mutu) dan relevansi pendidikan; 3)

Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan; 4)

Pembinaan dan pengembangan kegiatan PLS, kepemudaan, olahraga

dan seni.

Sebagai implikasi dari kebijakan yang ditetapkan program dan

kegiatan prioritas Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan meliputi :1)

Perluasan daya tampung yang padat penduduknya dengan melengkapi

sarana belajar, 2) Membantu memfasilitasi anak usia sekolah yang

berprestasi dengan memberikan beasiswa , 3) Mendorong masyarakat

dan pemerintah berpartisipasi dalam penuntasan Wajib Belajar Dikdas

9 tahun; 4) Melakukan pembenahan kurikulum jalur sekolah dan jalur

luar sekolah; 5) Mendorong Kabupaten/Kota memperbanyak alat bantu

pembelajaran; 6) Membantu/memfasiitasi peningkatan kualifikasi

kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan; 7) Membantu

menciptakan suasana kompetitif dan kooperatif antar siswa; 8)

Page 231: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

219

Memfasilitasi penetapan standar dan kualitas penyelenggaraan

pendidikan bagi lembaga-lembaga pendidikan; 9) Memfasilitasi

peningkatan kinerja Kepala Sekolah dalam melakukan pembinaan

pengelolaan sekolah; 10) Mendorong perbaikan manajemen

pendidikan; 11) Mendorong/memfasilitasi pengembangan kepribadian,

profesionalisme, dan peran peran organisasi pemuda; 12

Mendorong/memfasilitasi pengembangan dan pembinaan

keolahragaan, dan 13) Mendorong/memfasilitasi peningkatan dan

pengkajian nilai budaya.

Sejalan dengan pelaksanaan PP No. 38/2007 khususnya

terkait dengan kebijakan nasional pendidikan, terungkap dari

wawancara penulis dengan Syaiful Amsi (Kabid Perencanaan Diknas

Sulsel) mengemukakan “ kebijakan nacional pendidikan merupakan dari

kebijakan pendidikan di tingkat provinsi”

Renstra Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan di era

kepemimpinan Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Dr. H.Syahrul Yasin

Limpo, SH, MSI, MH sampai saat ini belum terbit, sehingga kebijakan

Gubenur Sulsel, masih mangacu pada Rensrta Diknas Provinsi Sulsel

2003-2008, Kondisi ini seharusnya tidak terjadi jika Instansi tenis dalam

hal ini Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan mempersiapkan

lebih awal rancangan Perda tentang Renstra Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan, mengingat Renstra Pendidikan Sulawesi Selatan

Tahun 2003-2008 sudah sangat jauh tertinggal.

Page 232: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

220

Di tingkat Pemerintah Provinsi telah mencanangkan kebijakan

disektor Pendidikan melalui Perda Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Gratis, sebelum terbitnya Perda tersebut

kebijakan Gubernur disektor pendidikan yang dikenal dengan Program

Pendidikan Gratis.

Pencanangan program pendidikan gratis pada tahun 2008,

hanya didasarkan pada Perjanjian Kerja Sama yang tertuang dalam

Nomor 04.B/VI/DIKNAS/2008, inti perjanjian itu adalah pemerintah

provinsi menanggung 40 persen dan kabupaten/kota sebesar 60

persen.

Di tingkat Kabupaten/Kota misalnya di Kota Makassar, Kota

Pare-Pare, Kabupaten Gowa, dalam menjalankan kebijakan di sektor

pendidikan ditopang dengan Peraturan Daerah (Perda), di Kota

Makassar dengan Perda No. 3 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Pendidikan, di Kota Pare-Pare dengan Perda Nomor 4 Tahun 2008

tentang Pengelolaan Pendidikan, Kabupaten Gowa dengan Perda

Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pendidikan Gratis, Kabupaten Sinjai juga

didukung dengan Surat Keputusan Bupati Sinjai.

Berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang menjadi obyek

penelitian, Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan sebagai salah satu

kabupaten yang pertama menjalankan program pendidikan gratis,

kebijakannya di sektor pendidikan hanya melaui Instruksi Bupati,

sebagaimana tercermin dari Instruksi Bupati Pangkajene dan

Page 233: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

221

Kepulauan Nomor 440/125/Hukum Tertanggal 24 Desember 2005.

Didukung UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Pemerintah Kabupaten Pangkep selain mengalokasikan dana untuk

membiayai 14 item yang digratiskan, juga memberikan tunjangan

kesejahteraan kepada guru-guru.

Selain memberikan tunjangan kesejahteraan, juga dialokasikan

anggaran untuk memberikan tunjangan khusus dengan rincian masing-

masing, tunjangan khusus daerah sangat terpencil kepala sekolah,

guru, penjaga sekolah

Pencanangan program pendidikan gratis pada tahun 2008,

hanya didasarkan pada Perjanjian Kerja Sama (MoU) Nomor

04.B/VI/DIKNAS/2008, inti perjanjian itu adalah pemerintah provinsi

menanggung 40 persen dan kabupaten/kota sebesar 60 persen.

Kemudian dipertegas melalui Peraturan Daerah Sulawesi Selatan

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.

Wawancara penulis dengan Syaiful Amsi (Kabid

Perencanaan Diknas Provinsi Sulawesi Selatan) mengemukakan

bahwa :

“ sasaran dari program pendidikan gratis adalah peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikator Rata Lama Sekolah (RLS) dengan memperhatikan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)” (wawancara 16/02/2010)

Page 234: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

222

Pertanyaan yang timbul apakah kebijakan yang dilakukan

pemerintah memberi dampak bagi masyarakatnya. Jika memperhatikan

kebijakan yang ditempuh Pemerintah Provinsi, hemat penulis telah

sejalan dengan teori kebijakan publik yang dikemukakan beberapa

penulis besar dalam ilmu ini, seperti Thomas R Dye, Wayne Parson,

William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman.

Salah satu teori kebijakan publik adalah teori yang dikemukakan

Thomas R. Dye (1992:2-4) bahwa “kebijakan publik sebagai segala

sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan

hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.

Dikatakannya demi�kian:

"Public policy is whatever government choose to do or not to do. Government do many things. Note that we are focusing not only Oil government action but also on government in action, that is, what government chooses not to do. We contend that government in action can have just as great nn impact on society as government action. " Public policy is what government do, why they do it, and what difference it makes."

Kabijakan “Pendidikan Gratis” tidak terlepas dari upaya

pemerintah provinsi memberikan pendidikan bermutu bagi warganya

khususnya warga masyarakat yang tidak mampu, juga tidak terlepas

dari upaya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) Sulawesi

Selatan, sehingga dapat dipahami bahwa kebijakan Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sejalan dengan teori

kebijakan publik seperti penulis kemukakan diatas.

Page 235: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

223

Dalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan

pendidikan tersebut, Slamet P.H (2005:14) dalam Wasitohadi (2008:25)

Mengemukan sebuah model perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota

sebagai berikut :

Diagram 4

Kerangka Pikir Perumusan Perencanaan Pendidikan

Sumber : Wasitohadi (2008:25)Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus

memberi gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan

kabupaten/kota.

Analisis Lingkungan Strategis

Analisis Lingkungan Strategis

Analisis Lingkungan Strategis

Analisis Lingkungan Strategis

Analisis Lingkungan Strategis

Analisis Lingkungan Strategis

Analisis Lingkungan Strategis

Page 236: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

224

Secara singkat Wasitohadi (2008:26) menjelaskan sebagai

berikut.

1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis

adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap

perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda,

Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres,

Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan

masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek

yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan

lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan

pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar

menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.

2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi

pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi profil

pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan

relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen

dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan

best practices pendidikan saat ini.

3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang

yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan

pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan,

Page 237: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

225

mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan

kabupaten/kota.

4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan

masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang

akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun).

Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan

kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan

kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan

sekolah.

5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan

untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci

tahunan (rencana operasional/renop).

6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota

melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan

kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen

pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.

7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan

melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil

evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan

yang direncanakan.

Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-

tahap perencanaan pendidikan di atas, bisa digambarkan dalam bentuk

sebagai berikut :

Page 238: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

226

Diagram 5

Tahap Perencanaan Pendidikan

Sumber:Wasitohadi (2005:27)

Wasitohadi (2005:28) menegaskan bahwa pada hakekatnya

sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi

pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan

Strategi Kebijakan Rencana Program

SituasiPendidikandiharapkan

Situasi Pendidikan

saat ini

Pemerataan Mutu Efisiensi Relevansi Kapasitas

Pemerataan Mutu Efisiensi Relevansi Kapasitas

menuju

Page 239: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

227

yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci

yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program

pendidikan.

a. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan.

Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk

umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah

umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti

suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi

pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan

secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan

bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau

terkait dengan aturan-aturan keputusan. kebijakan pendidikan adalah

apa yang dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam

bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi

keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurut

Slamet P.H (2005:15) dalam Wasitohadi (2008:27), kebijakan

pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan

distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi dan kebijakan

etik.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

dalam dua tahun terakhir telah mencanangkan program pendidikan

gratis yang merupakan wujud komitmen dan kepedulian pemerintah

Page 240: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

228

daerah dan masyarakat guna meningkatkan pemerataan dan perluasan

kesempatan belajar serta peningkatan mutu pendidikan di Sulawesi

Selatan. Kebijakan yang sama juga dilakukan di Kota Makassar, Kota

Pare-Pare, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Gowa dan Kabupaten

Pangkep.

b, Perencanaan Pendidikan

Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada

kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan

adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa

depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan

yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan

pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi,

mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan eksternal

(esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang

bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang

dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan

pendidikan kabupaten/kota.

Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan

bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka menuju

perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan)

dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa

depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan

ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan

Page 241: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

229

ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan.

Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah,

oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan

timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari

diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/

kota.

C. Program pendidikan

Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang

akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan,

sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan,

antara lain

1. Kualitas pendidikan

Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia

relatif rendah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing

dengan bangsa-bangsa lain. Terkait hal itu Dodi Nandika, (2007:16).

Mengemukakan “Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan

oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal Faktor

internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas

Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan faktor

eksternal yaitu masyarakat pada umumnya”. Dua faktor ini haruslah

saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah

satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang

terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana

Page 242: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

230

belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau

masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan

sarana penunjang belajar lainnya.

Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output,

dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan

proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh

perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga

pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf

dinas pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite

sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/

sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di

tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan

model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan

melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan

sebagainya).

2. Efisiensi pendidikan

Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya

yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi

internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada

hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input

(sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output

sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya

yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif

Page 243: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

231

(individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah

kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan

peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio

keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka

mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran

dan lain-lain.

3. Relevansi pendidikan

Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan

dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan

keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor

dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya,

program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-

siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan

kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia

kerja.

4. Pengembangan Kapasitas

Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu

dan organisasi atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan

fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Suksesnya

desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan

kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan.

Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan,

(2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.

Page 244: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

232

Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam

merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan

pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum,

ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi

manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan

legislasi), pendidikan, pengembangan sumber daya manusia,

pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur

organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi,

prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar

organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,

pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.

Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya

manusia (manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya

selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan,

pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa

pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu

antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-

masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.

C.PELAKSANAAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN.

1. Sinergitas Pemerintah Daerah

Page 245: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

233

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar

dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu

perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari

manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah.

Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam

bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang

kemudian diganti dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk

mengimplementasikan UU No. 32 tahun 2004 Pemerintah telah

menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 tahun

2007 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi

sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan

Peraturan Pemerintah tersebut, adalah manajemen pendidikan harus

disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan

paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan

pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh

masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus

dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal.

Hal ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan

juga muatan lokal, sebagaimana termaktub dalam Pasal 37 ayat (1)

huruf j, melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk

segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk

Page 246: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

234

menjadi ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan

penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat

tercipta secara otomatis.

Sejalan dengan itu, wawancara penulis dengan Syaiful Amsi

(Kabid Perencanaan Diknas Prov.Sulsel) mengemukakan:

“penerapan kurikulum tetap mengacu pada kebijakan nasional yang didukung dengan muatan lokal sesuai dengan sumber daya yang dimiliki” (wawancara 16/02/2010)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muhyiddin (Sekretaris

Diknas Kota Makassar),

“Kebijakan di bidang kurikulum, dilakukan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Selanjutnya dikemukakan Kurikulum Muatan Lokal disusun satuan Pendidikan, ditetapkan berdasarkan masing-masing sekolah (wawancara 17/02/2010)

Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib

menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada

semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan

pendidikan yang bertaraf internasional juga diatur dalam Pasal 50 ayat

(3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal

melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya

tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber

dunia di Indonesia.

Implementasi dari ketentuan pasal tersebut di atas, sebagaimana

dikemukakan oleh Arismunandar (Kabid Dikmenum Kota Makassar). :

“Pemda Kota Makassar dalam dua tahun terakhir melaksanakan

Page 247: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

235

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dengan harapan program sekolah rintisan ini masyarakat ikut terlibat di dalamnya” (17/02/2010)

Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas,

maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi

satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang

diperlukan juga diatur dalam Pasal 42 ayat (2). Dalam hal ini termasuk

memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang

seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk

mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12

ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja

secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan

penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan

kebutuhan satuan pendidikan formal diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan

(2).

Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki

kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan

pendidikan formal maupun non formal diatur lebih lanjut dalam Pasal 62

ayat (1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya

desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan kepada

rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah

dinyatakan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur pembagian

urusan pemerintah dan pemerintah provinsi. Pemerintah pusat hanya

Page 248: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

236

menangani penetapan standar kompetensi siswa, pengaturan kurikulum

nasional dan penilaian hasil belajar nasional, penetapan standar materi

pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan, persyaratan

penerimaan, perpindahan dan sertifikasi siswa, kalender pendidikan

dan jumlah jam belajar efektif. Untuk provinsi, kewenangan terbatas

pada penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat

minoritas, terbelakang dan tidak mampu, dan penyediaan bantuan

pengadaan buku mata pelajaran pokok/modul pendidikan bagi siswa.

Tilaar (1998:37) mengemukakan ”School-based management

sebagai konsepsi dasar manajemen pendidikan masa kini merupakan

konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan dan

kepercayaan yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme

untuk menata organisasi sekolah. Mencari, mengembangkan, dan

mendayagunakan resources pendidikan yang tersedia, dan

memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu

pendidikan sekolah yang bersangkutan. Saat ini sebagian besar

sekolah swasta sebenarnya telah melaksanakan konsepsi ini walaupun

sebagian dari mereka masih perlu meningkatkan diri dalam upaya

mencapai produktivitas sekolah yang diinginkan.

Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul

dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada

hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang

saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan

Page 249: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

237

pelayanan kepada siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Kedua,

kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.

Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang

memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, misi, tujuan,

sasaran, dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja

sekolah akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh

sekolah yang menyangkut pengembangan kurikulum.

Namun demikian, dalam merumuskan kebijakan, sekolah mengacu

kepada kebijakan pusat dan memperhatikan aspirasi yang berkembang

dari local state melalui dewan sekolah (school council).

Kewenangan yang didesentralisasikan dalam perumusan

kebijakan sekolah meliputi :

a. Perencanaan dan Evaluasi

Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah

sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu,

sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan

hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat

rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk

melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara

internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk

memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil

Page 250: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

238

program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini

sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan

agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.

b. Pengelolaan Kurikulum

Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum

standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah

pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam

impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam,

memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi

kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi

kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.

c. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah.

Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-

teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai

dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik

guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.

Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat

pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan

pembelajaran siswa.

d. Pengelolaan Ketenagaan

Page 251: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

239

Pengelolaan ketenagaaan, mulai dari analisis kebutuhan,

perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi

(reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja

tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan

sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang

menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai

negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah

Pusat/Daerah.

e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)

Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah,

mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai

pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa

sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik

kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya.

f. Pengelolaan Keuangan

Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang

sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari

oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami

kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan

uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga

Page 252: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

240

harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang

mendatangkan penghasilan” (income generating activities) sehingga

sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.

g. Pelayanan Siswa

Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru,

pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk

melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga

sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu sudah

didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan

intensitas dan ekstensitasnya.

h. Hubungan Sekolah-Masyarakat

Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan

keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari

masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang

sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah

didesentraslisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan

adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-

masyarakat.

i. Pengelolaan Iklim Sekolah

Page 253: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

241

Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik

merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar

mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,

optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah,

kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa

(student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah

yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah

sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan

adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif.

Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 terkait dengan pembagian

urusan pemerintahan di bidang pendidikan ada 6 sub bidang, yakni

kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan prasarana, pendidik

dan tenaga kependidikan, dan pengendalian mutu pendidikan.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tergambar dengan jelas

pembagian urusan pemerintahan pada masing-masing sub bidang

antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota.

Kewenangan yang dilimpahkan tersebut bersifat mutlak.

Pemerintah daerah di masing-masing tingkatan harus menerima

kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia

memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang

penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup

Page 254: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

242

kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan,

pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan

kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi

administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi

pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain,

kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang

bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan.

Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang

kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan

pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk

merencanakan, mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi

implementasi kebijakan lainnya.

Penelitian yang dilakukan di 5 (lima) Kabupaten/Kota di

Sulawesi Selatan menggambarkan adanya variasi implementasi

otonomi di bidang pendidikan. Bervariasinya metode dan implementasi

desentralisasi bidang pendidikan di lokasi penelitian terutama dalam

pelaksanaan konsep pendidikan gratis. Walaupun dasar aturan yang

digunakan tetap sama yaitu UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional tetapi pada tiap daerah konsepnya berbeda-beda.

Follow up melalui penerapan Peraturan Daerah, juga memiliki

karakterisasi yang berbeda pula.

Page 255: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

243

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, terdapat

6 urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah

Kabupaten Kota, antara lain :

a. Kebijakan

Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk

sektor pelayanan dasar yang akan mengalami perubahan secara

mendasar dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi

fiskal baik dari segi birokrasi kewenangan penyelenggaraan pendidikan

maupun dari aspek pendanaannya.

Otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya

mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau

menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. maka

disebut dengan desentralisasi. Pasal 1 UU No. 32/2004 disebutkan

bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”.

Desentralisasi juga diartikan sebagai

“systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”.

Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh

keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi.

Page 256: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

244

Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi

melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini

diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan

terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat

tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara

pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan

sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh

masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk

mendukung pemerintah lokal.

Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain

terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari

paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada

paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru

pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik

kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif.

Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan

perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan.

Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan

dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius.

Berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang

yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi

memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam

Page 257: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

245

pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan,

terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan,

serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah

serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat. Selain

itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari

kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang

telah diotonomikan di daerah.

Responden penelitian di 5 lokasi penelitian mengemukakan

pendapatnya tentang ada tidaknya benturan kebijakan tentang

penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah sekarang ini.

Tabel 5Tanggapan Responden Terhadap Ada Tidaknya Benturan Kebijakan

di Tiap Tingkatan KewenanganNo Karegori Responden Total

Eksekutif Legislatif Lainnya

1 Berbenturan 5 5% 7 7% 13 13% 25 / 25%

2 Cukup Berbenturan 5 5% 10 10% 15 15% 30 / 30%

3 Tidak Berbenturan 20 20% 23 23% 2 2% 45 / 45%

Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%

Sumber : Kuisioner Penelitian setelah diolah, 2009

Berdasarkan data yang ditunjukkan pada tabel tersebut di atas

khususnya pada item pertanyaan tentang ada tidaknya benturan

kebijakan antara pemerintah daerah dengan pemerintah provinsi, dan

pemerintah pusat. Sebagian besar responden (45 %) menyatakan pada

prinsipnya tidak ada benturan kebijakan, sementara 25 % responden

menyatakan ada benturan, dan 30 % lainnya menyatakan cukup

Page 258: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

246

berbenturan, jika diakumulasi maka terdapat 55% responden yang

menyatakan terjadi benturan kebijakan.

Benturan kebijakan pendidikan antara Pemerintah provinsi

dengan pemerintah kabupaten/kota tidak terlepas dari adanya

pemahaman yang berbeda, sebagaimana temuan penulis di lokasi

penelitian, sebagai berikut :

1. Otonomi daerah memberikan porsi yang besar kepada

daerah Kabupaten/Kota untuk mengatur kewenangannya

sendiri, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini

menyebabkan munculnya ego di masing-masing daerah

karena merasa bahwa program di bidang pendidikan yang

dicanangkan oleh pemerintah provinsi bukanlah urusan wajib

yang bersifat perintah dan harus dilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten/kota, sehingga kabupaten/kota dapat

ikut ataupun tidak ikut dalam program dimaksud.

2. Ketersediaan anggaran; Patut diakui bahwa tidak semua

daerah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memiliki

kemampuan yang sama dalam pelaksanaan program dan

kebijakan tertentu. Ada daerah yang memiliki anggaran yang

cukup, dan ada pula daerah yang anggarannya minim.

Olehnya itu, pelaksanaan kewenangan di bidang

penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan

kemampuan keuangan daerah masing-masing, sebab porsi

Page 259: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

247

anggaran penyelenggaraan pendidikan khususnya dalam

pelaksanaan program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan

lebih besar dibebankan kepada daerah kabupaten/kota.

3. Kemauan Politik (Political Will) pemerintah kabupaten/kota.

Oleh karena setiap daerah kabupaten/kota sebagai titik fokus

pelaksanaan otonomi daerah, maka kewenangan

implementasi desentralisasi bidang pendidikan sangat

tergantung pada keinginan politik dari pemerintah

kabupaten/kota masing-masing. Tidak semua daerah

memiliki skala prioritas pada bidang pendidikan, sehingga

program pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah

propinsi belum tentu sesuai dengan konsepsi

penyelenggaraan pendidikan yang diterapkan di kabupaten

kota masing-masing.

4. Ketidaksepakatan terhadap porsi anggaran penyelenggaraan

pendidikan. Berdasarkan pendalaman yang dilakukan penulis

di lokasi penelitian, ada semacam ego masing-masing daerah

dalam memahami konsep otonomi yang dilaksanakan. Mis

persepsi tersebut melahirkan perbedaan pemahaman

terhadap kewenangan penyelenggaraan pendidikan, yang

mengakibatkan tidak sinkronnya antara program pendidikan

yang diinginkan pemerintah propinsi dengan yang

dilaksanakan pemerinah kabupaten/kota. Hal ini banyak

Page 260: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

248

terkait dengan porsi sharing anggaran antara pemerintah

provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Penulis berpandangan bahwa lahirnya perbedaan pemahaman

tentang implementasi kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan

di Provinsi Sulawesi Selatan pada dasarnya telah berada di luar

hakekat pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Lahirnya

ketidaksinkronan pelaksanaan program desentralisasi di bidang

pendidikan yang ditafsirkan secara terpisah-pisah oleh pemerintah

kabupaten/kota merupkan bentuk pengingkaran (sadar atau tidak)

terhadap hakekat negara.

Benturan kebijakan sebagaimana temuan penulis dilokasi

penelitian, diantisipasi oleh Diknas Kota Makassar melalui kebijakan

Pemerintah Kota dengan menerbitkan Perda Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan, yang dibarengi dengan Keputusan Walikota Makassar,

ditegaskan lebih lanjut oleh Sekretaris Diknas Kota Makassar,

*Guna menghindari terjadinya benturan antara kebijakan Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kota, dalam pelaksanaan kewenangan tetap didasarkan pada ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku misalnya UU No.20/2003 dan PP No. 38/2007*

Temuan di lapangan menunjukkan, mutu pendidikan kita tidak

terlepas dari belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang

digunakan.. Perencanaan pendidikan, hanya dijadikan faktor

pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan

yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal.

Page 261: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

249

Lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan,

antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat

terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih

efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang

lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. sekurang-kurangnya

ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi,

termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk

mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi

pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan

ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan

demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan

masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis,

seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat

membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme

guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial,

seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan

pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.

Desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk

mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi

masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan rinci mengapa

pertanggungjawaban implementasi pendidikan didesentralisasikan,

yaitu: Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara

mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik (politically

Page 262: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

250

decentralization is a way of democratizing the management of public

affairs). Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban

pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD

mengawasi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah.

Dengan melibatkan wakil rakyat di dalam urusan pendidikan,

diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar di

dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang

berhubungan dengannya. Kedua, secara teknis adalah sulit untuk

mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah wilayah yang

luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to manage

education efficiently in a vast area consisting of islands). Masalah

komunikasi dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah,

khususnya pada masa lalu, telah menjadi pertimbangan penting untuk

desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan membuat sulit untuk

memecahkan masalah – masalah, perbedaan-perbedaan regional dan

untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka.

Perbedaan-perbedaan budaya dan tingkat perkembangan masing-

masing daerah menyumbang perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-

kebutuhan dan hakikat pendekatan untuk menyelesaikan masalah.

Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi

dan efektifitas dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan

dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness in

handling problems related to the implementation of education). Dan,

Page 263: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

251

alasan keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang berlebihan

dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of

administration of the central government).

Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa penerapan

desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik

ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah

lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari

asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada

pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan

nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi

kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada

persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2)

sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi

dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.

Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki

proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak

stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan

masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah

dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk

memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,

desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan

kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif

dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya

Page 264: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

252

manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan

daerah.

Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah

daerah membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William

dalam Depdiknas, (2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga

model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation),

dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan

tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke

pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di

pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan

secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan

membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat

melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat. Berbeda dengan itu,

dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya

pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.

Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan.

Jika pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali.

Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan

kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi

pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas.

Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik

kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di

pusat. Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan

Page 265: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

253

yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan

kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan

model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang

dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada

pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari

pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan

untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka

bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam

melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-

pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.

Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang No 20 Tahun 2003

menegaskan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin

terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar

tanpa memungut biaya, Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar

harus digratiskan, meskipun dalam dalam UU Sisdiknas sendiri

terminologi “gratis” tidak dikenal

Sekilas Tentang Pendidikan Gratis

Program pendidikan gratis yang merupakan program unggulan

pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai bentuk komitmen

kepada rakyat telah dilaksanakan melalui perjanjian kerjasama antara

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan kabupaten dan kota

yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) Nomor

Page 266: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

254

:04.B/VI/DIKNAS/2008. Inti perjanjian tersebut adalah Pemerintah

Provinsi Sulawesi Selatan menanggung 40 persen dan

Kabupaten/Kota sebesar 60 persen, kemudian dipertegas lagi dengan

terbitnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pendidikan

Gratis.

Berdasarkan data yang ada, Pemerintah Provinsi sedikitnya

mengeluarkan anggaran sebesar 180 milyar rupiah pertahun untuk

mendukung program pendidikan gratis tersebut. Dana tersebut

dialokasikan dalam APBD Sulsel, di luar dari bantuan APBD

kabupaten/kota. Alokasi anggaran tersebut untuk membiayai 16 item

dari pendidikan dasar dan menengah. Namun dalam pelaksanaannya

menuai banyak kritik.

Budhi A.M.Syachrun, S.Pd. Guru SMA Negeri I Tanralili dan

Ketua Lembaga Kajian Guru (eLKG) Sulsel, dalam tulisannya di Harian

Tribun Timur (8 Juni 2009) mengemukakan “Ketika program tersebut

pertama kali diluncurkan, pengalokasian anggaran sangat tepat

sasaran dan sesuai dengan peruntukannya. Namun menjelang

memasuki semester 3 Tahun 2009, persoalan dan riak kecil muncul

dikalangan pendidik maupun siswa itu sendiri. Anggaran Januari-Maret

2009, diterima oleh pihak sekolah pada minggu kedua Juli. Sementara

periode April-Juni hingga kini belum mendapat titik terang.

Selain itu persoalan sebenarnya adalah para guru terbiasa

dengan sistem yang selama ini berlaku, ketika anggaran masih dikelola

Page 267: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

255

oleh pihak Komite Sekolah, sebagai contoh, jika kegiatan sudah

dilaksanakan, maka para guru dengan sendirinya mendapatkan insentif

dari kegiatan yang sudah dilaksanakan.

Lebih lanjut dikemukakan “ketika program pendidikan gratis

diterapkan, hal seperti itu tidak lagi ditemukan, Berbagai proses,

mekanisme, potongan anggaran akan dilalui dan itu membutuhkan

waktu yang cukup lama, Ketika anggaran sudah turun misalnya,

beberapa bendahara sekolah memotong sebesar 10 persen dari dana

pendidikan gratis

Kebijakan Pemerintah dalam mendorong percepatan Wajib

Belajar (Wajar) 9 tahun adalah dengan meningkatkan Bantuan

Operasional Sekolah (BOS), Pada tahun 2009 dana BOS akan

dinaikkan secara signifikan, sebagaimana tergambar dalam table

berikut :

Tabel 6

Perbandingan Dana BOS Tahun 2008 dan 2009

No. Jenjang Pendidikan Tahun 2008 Tahun 2009

1 SD di Kabupaten 254.000 per siswa 387.000 per siswa

2 SD di Pekotaan 354.000 per siswa 400.000 per siswa

3. SMP di Kabupaten 354.000 per siswa 570.000 per siswa

4 SMP di Pekotaan ---- 575.000 per siswa

Sumber : Depdinas 2009

Tabel diatas menunjukkan adanya kenaikan dana BOS dari

tahun sebelumnya. Untuk menanggulangi bantuan operasional sekolah,

Page 268: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

256

Pemerintah Pusat menganggarkan 16 triliyun rupiah untuk membiayai

operasional pendidikan dasar. Oleh karena itu tahun 2009 semua

pendidikan dasar yang belum berada pada tingkat mutu layanan

berbentuk rintisan sekolah berstandar internasional atau sekolah

berstandar internasional wajib menggratiskan para siswa dari pungutan

untuk biaya operasional. Jika saja Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

dari pemerintah pusat belum mencukupi. Maka pemerintah daerah

wajib mengkompensasi kekurangannya.

Dalam kaitan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pemerintah

Kota Bandung melakukan improvisasi kebijakan dalam melaksanakan

program pendidikan dasar gratis. Improvisasi itu salah satunya berupa

program bantuan operasional sekolah (BOS) berkategori.

Pemkot Bandung mulai tahun ini menganggarkan BOS

pendamping senilai Rp 325,3 miliar. Dana sebesar ini digunakan untuk

membebaskan 357.813 siswa SD dan SMP, baik negeri ataupun

swasta, di Bandung dari pungutan dana sumbangan pendidikan dan

iuran bulanan (SPP). Namun, berbeda dengan BOS pusat, besaran

dana ini dibuat dalam kategori atau diklasifikasikan berdasarkan kondisi

sekolah. Untuk SD, besaran pagu dibagi dalam lima kategori, mulai dari

Rp 200.000 hingga Rp 350.000 per siswa tiap tahun. ”Adapun SMP

berkisar Rp 550.000 hingga Rp 700.000,” kata Kepala Dinas

Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji.

Page 269: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

257

Dalam kaitan itu pemerintah daerah hendaknya tidak hanya

berpegang pada persentase alokasi APBD di sektor pendidikan di

daerah setelah pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas mengalami perumusan

alokasi yang memasukkan faktor gaji guru. Sesuai dengan uji materil

UU No. 20 Tahun 2003 oleh Mahkamah Konstitusi, setelah gaji dihitung

sebagai pembiayaan pendidikan maka saat ini hampir semua pemda

tanpa berbuat apapun telah memiliki alokasi lebih dari 20% dari

APBDnya untuk sektor pendidikan. Padahal dari persentase itu

sebagian besar memang untuk gaji. Al hasil biaya untuk operasional

sekolah masih di bawah 20% dari APBD.

Program Pendidikan Gratis diharapkan dapat disahuti oleh

pemerintah Kabupaten. Namun demikian, tidak semua daerah di

Sulawesi Selatan yang ikut berpartisipasi dengan menerapkan

pendidikan gratis di daerahnya. Dalam mendukung penyelenggaraan

pendidikan, beberapa daerah di lokasi penelitian telah menerbitkan

Peraturan Daerah, misalnya Kota Makassar dengan Perda Nomor 3

Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Kabupaten Gowa

dengan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pendidikan Gratis, Kota

Pare-Pare dengan Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, Kebijakan pendidikan di Kabupaten

Pangkep dan Kabupaten Sinjai keduanya bertumpu pada Surat

Keputusan Bupati.

Page 270: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

258

Terkait hal ini, responden di daerah penelitian mengemukakan

tanggapannya seperti ditunjukkan pada tabel 6 berikut:

Tabel 7

Tanggapan Responden Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Program Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan

No Kategori Res[pponden Total

Eksekutif Legislatif Lainnya

1 Efektif 12 12% 10 10% 10 10% 32 / 32%2 Cukup Efektif 10 10% 20 20% 15 15% 45 / 45%3 Tidak Efektif 8 8% 10 10% 5 5% 23 / 23%

Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%Sumber : Kuisioner, setelah diolah 2009

Berdasarkan tabel 7 di atas, terlihat bahwa sekitar 23%

responden yang terdiri dari tiga komponen yang menyatakan program

pendidikan gratis belum berjalan secara efektif. Walaupun demikian,

sekitar 32% responden menyatakan sudah efektif. Pernyataan

responden penelitian tersebut, paling tidak menggambarkan bahwa

pelaksanaan program pendidikan gratis belum berjalan optimal dan

masih membutuhkan penyempurnaan terutama yang berkaitan dengan

pengucuran anggaran kepada masing-masing sekolah yang masih

sering terlambat.

Secara garis besar, beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam

penerapan program pendidikan gratis, adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan perluasan pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan. Artinya adalah semua anak didik tanpa kecuali harus

mengenyam pendidikan dasar, baik mereka yang berada di

Page 271: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

259

daratan, pegunungan maupun mereka yang selama ini bermukim

dikepulauan. Targetnya adalah mereka yang masuk usia sekolah

tidak ada lagi yang tidak tahu menulis dan membaca. Dengan

biaya gratis yang diberikan oleh pemerintah, hanya orang tua

yang tidak peduli pendidikanlah yang tidak mau menyekolahkan

anak-anaknya.

2. Meningkatkan pelayanan dan pengawasan penyelenggaraan

pendidikan, Artinya adalah dengan program pendidikan gratis

menuntut stakeholder dan semua pihak yang ada didalamnya,

agar bisa memberikan pelayanan maksimal kepada rakyat,

terutama dalam hal pemenuhan hak hidup untuk mendapatkan

pendidikan yang diinginkan. Pemerintah  pun menerapkan

sistem pengawasan yang berlapis demi mencapai sebuah

kepuasan.

3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta

kesejahteraan bagi tenaga pendidikan. Artinya adalah dengan

adanya program pendidikan gratis bisa menghasilkan sumber

daya manusia (SDM) yang handal. Harus dihilangkan image dan

tanggapan miring bahwa sesuatu yang bersifat gratis, akan

menghasilkan kualitas yang rendahan. Di Pangkep kendati

menerapkan pendidikan gratis, tetapi terkait peningkatan kualitas

baik itu siswa maupun guru tetap dikedepankan. Guru juga

sebagai ujung tombak dan penentu utama dalam bidang

Page 272: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

260

pendidikan, masalah kesejahteraan tetap menjadi prioritas

utama.

4. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasaran Artinya adalah

konsekwensi dari penerapan pendidikan gratis, tidak hanya

berorientasi kepada anggaran gratis semata. Pemerintah

setempat tetap memerhatikan persoalan sarana dan prasarana

yang ada di sekolah. Kendati banyak siswanya yang berkualitas,

tetapi karena tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai,

tetap dianggap tidak berhasil dan hanya menguntungkan salah

satu pihak. Anggaran besar pun sudah dikeluarkan untuk

membenahi sarana dan prasarana tersebut.

5 Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan

pendidikan. Artinya dengan adanya penerapan program

pendidikan gratis, ada umpan balik dari semua pihak, termasuk

masyarakat, bagaimana sesungguhnya aplikasi program tersebut

di lapangan. Tanpa ada peran serta masyarakat dalam

pengelolaan program ini, program ini tetap tidak bisa dikatakan

sudah berhasil. Jadi intinya semua pihak harus melibatkan diri

dalam pengelolaan pendidikan itu. Proses pendidikan yang

dikelola dan dirancang secara bagus, akan menghasilkan kualitas

pendidikan yang bisa dibanggakan, baik pada tingkat lokal,

regional, nasional maupun internasional.

Page 273: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

261

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden dalam

penelitian ini sehingga di tiap daerah ada konsep dan pemahaman yang

berbeda, tetapi yang paling dominan adalah karena terbatasnya

anggaran yang harus disiapkan sebagai dana pendamping.

Sebagai contoh, konsep pendidikan gratis yang diadopsi

Kabupaten Gowa jauh berbeda dengan konsep pendidikan gratis yang

dilaksanakan di Kabupaten Sinjai. Jika di Kabupaten Gowa,

pelaksanaan pendidikan gratis berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun

2008 kelihatannya cenderung kaku dalam pelaksanaannya sebab

partisipasi orang tua dibatasi dengan aturan, Eddy Candra, Kepala

Seksi Subsidi Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa (Kompas 21/1/2009),

menegaskan “bahwa orang tua siswa tidak bisa memberikan

sumbangan dalam bentuk dana di sekolah dimana anaknya bersekolah.

Sumbangan dalam bentuk dana dapat saja diberikan tetapi di sekolah

yang tidak ada anaknya bersekolah, Sementara di Kabupaten Sinjai

dan empat Kabupaten/Kota lainnya tidak demikian. Partisipasi orang

tua siswa dalam memberikan bantuan dana tetap bisa dilakukan di

sekolah dimana anaknya bersekolah tetapi tidak ada paksaan atau

tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan pihak sekolah.

Pernyataan Eddy Chandra selaku Kepala Seksi Subsidi Dinas

Pendidikan Kabupaten Gowa sebagaimana dilansir Kompas edisi

21/1/2009, ” ........ada Salah satu pasal Peraturan Daerah Kabupaten

Gowa No 4/2008 melarang kepala sekolah/ guru melakukan pungutan

Page 274: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

262

dalam bentuk apa pun kepada orang tua siswa. Komite sekolah pun

dilarang melakukan hal serupa. Sebagai patokan, dicantumkan 14 jenis

pungutan yang dilarang: (1) bantuan pembangunan, (2) bantuan

dengan alasan dana sharing, (3) pembayaran buku, (4) iuran Pramuka,

(5) lembar kerja siswa, (6) uang perpisahan, (7) uang foto, (8) uang

ujian, (9) uang ulangan/semester, (10) uang pengayaan/les, (11) uang

rapor, (12) uang penulisan ijazah, (13) uang infak, (14) serta segala

jenis pungutan yang membebani siswa dan orang tua.

Program pendidikan gratis yang dicanangkan Walikota Makassar

dapat dikatakan berjalan sesuai harapan, apa yang dikemukakan

Sekretaris Diknas Kota Makassar, bahwa:

”program pendidikan gratis memang diarahkan kepada masyarakat yang tidak mampu, dengan menggunakan pendekatan Wilayah, dikemukakan lebih lanjut untuk tahun 2009 ada sekitar 128 SD yang mendapat bantuan biaya pendidikan gratis, yang tersebar di 14 kecamatan, terdapat 7 SMP dan 2 SMA, sekolah dimaksud bersubsidi penuh”, (wawancara 17/02.2010)

Fakta tersebut menggambarkan bahwa dengan dasar Undang-

Undang yang sama tetapi implementasi berdasarkan kewenangan

daerah masing-masing menjadi berbeda-beda.

Terkait dengan hal tersebut, responden penelitian juga memiliki

penilaian yang beragam, terutama terkait dengan kebijakan operasional

bidang pendidikan khususnya program pendidikan gratis di Sulawesi

Selatan.

Tabel 8

Page 275: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

263

Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan OperasionalDesentralisasi Pendidikan di Daerah

No Kategori Responden Total

Eksekutif Legislatif Lainnya1 Sangat Sesuai 5 5% 7 7% 8 8% 20/20%2 Sesuai 25 25% 30 30% 15 15% 70/70%3 Tidak Sesuai 0 3% 3 3% 7 7% 10/10%

Jumlah 30 30% 40% 40% 20 20% 100/100%Sumber : Kusioner Penelitian setelah diolah

Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa sebagian besar

responden yang merupakan praktisi dan pimpinan instansi sektor

pendidikan yaitu 70 % berpandangan bahwa kebijakan operasional

bidang pendidikan di daerahnya sudah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang diberlakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini

berarti bahwa peraturan daerah menyangkut penyelenggaraan

pendidikan di daerah walaupun berbeda secara kontekstual dan

kebijakannya tetapi tetap mengacu kepada peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi

pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor

pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya

dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan distrik), dan

kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian

kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi

pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah

dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke

Page 276: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

264

daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang

memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada

tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas

pendidikan.

Dilain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan

adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari

hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan

lebih difokuskan pada reformasi proses belajarmengajar. Partisipasi

orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah

satu faktor yang paling menentukan.

Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang

dilakukan di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan merupakan bagian

dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar

merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian

kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek

pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada

saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan

pada tingkat sekolah.

Tipologi komponen-komponen sktor pendidikan yang dapat

dipertimbangkan untuk didesentralisasikan dapat dilihat dalam tabel

berikut

Tabel 9

Page 277: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

265

Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang dapat Didesentralisasikan.

Komponen Kewenangan

Organisasi dan Proses Belajar Mengajar

1. Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid2. Waktu belajar di sekolah3. Penentuan buku yang digunakan4. Kurikulum5. Metode pembelajaran

Manajemen Guru

1. Memilih dan memberhentikan kepala sekolah2. Memilih dan memberhentikan guru3. Menentukan gaji guru4. Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru5. Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru

Struktur dan Perencanaan

1. Membuka atau menutup suatu sekolah2. Menentukan program yang ditawarkan sekolah3. Definisi dari isi mata pelajaran4. Pengawasan atas kinerja sekolah

Sumber Daya

1. Program pengembangan sekolah2. Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif3. Alokasi anggaran non personil4. Alokasi anggaran untuk pelatihan guru

Sumber : organization for Economic Coorperation and Developmen (OECD) Methodology seperti dikutip dalam Burki. Et, al (1999) halaman 57

Kebijakan pendidikan sebagai output dari produk politik,

memiliki ragam implementasi di daerah. Walaupun sudah ada standar

acuan secara nasional dan program pendidikan gratis di tingkat provinsi

tetapi daerah Kabupaten/Kota tidak serta merta ikut dengan kebijakan

tingkat provinsi. Konsep pendidikan gratis sebagai kebijakan politik

untuk kepentingan pelayanan kebutuhan dasar di bidang pendidikan

khususnya di Sulawesi Selatan ditanggapi secara beragam. Ada daerah

yang langsung berpartisipasi dalam bentuk sharing anggaran, ada pula

yang melakukan program pendidikan gratis tanpa sharing anggaran dari

pemerintah provinsi, bahkan ada yang mengabaikan angaran yang

disiapkan Pemerintah provinsi

Menurut hemat peneliti, jika kebijakan program pendidikan

ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kualitas publik, khususnya

untuk memperluas pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,

Page 278: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

266

lalu mengapa di setiap daerah ada friksi dan perbedaan pemahaman

tentang konsep pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah

provinsi. Jika standar acuan yang digunakan dalam pengelolaan

pendidikan adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, lalu mengapa timbul multitafsir yang

menyebabkan tidak seragamnya konsepsi program pelayanan

pendidikan di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Terkait hal tersebut

penulis melihat bahwa faktor politik sangat menentukan

penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia, sebab setiap

daerah diberi kewenangan masing-masing untuk mengatur, mengelola,

dan merumuskan kebijakan menyangkut penyelenggaraan pendidikan

di daerahnya masing-masing.

b. Pola Pembiayaan Sektor Pendidikan.

Perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera

mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi

daerah praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi

tanggung jawab Pememerintah Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan

SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggungjawab

pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil

Depdiknas (di tingkat provinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat

kabupaten/kota).

Page 279: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

267

Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana

disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA

menjadi tanggungjawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil

dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat

kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas

Pendidikan provinsi yang berada di bawah kendali Pemprov. Antara

Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan provinsi

tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan provinsi masih tetap

mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan

konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya

“tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya.

Implikasinya setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan, melalui

koordinasi dengan Pemda, khususnya Dinas Pendidikan

kabupaten/kota.

Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola

pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar.

Daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai

sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari

Pusat (dan Provinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui

mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD

kabupaten/kota.

Menurut hemat penulis, tantangan pertama yang harus dihadapi

oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai

Page 280: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

268

ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD merupakan

salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam

memobilisasi dana untuk sektor pendidikan.

Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Sisdiknas) memberikan beban yang sangat berat bagi

pemerintah. Pasal 49 menyatakan bahwa “pemerintah (pusat maupun

daerah) harus mengalokasikan minimal 20% anggarannya untuk

keperluan sektor pendidikandi luar gaji pendidik dan biaya pendidikan

kedinasan.”

Penelitian yang dilakukan penulis di lima lokasi penelitian

menunjukkan bahwa realisasi anggaran masih jauh dari yang

diharapkan, Pada tahun 2007 rata-rata persentase anggaran

pembangunan terhadap APBD hanya 3,14%. Bahkan persentase

tertinggi hanya mencapai 10% masih jauh dari target 20% yang

diamanatkan oleh UU Sisdiknas.

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip

keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan hal tersebut termaktub dalam

Pasal 47 ayat (1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka

pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan

sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan

pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,

dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)

Page 281: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

269

Strategi anggaran penyelenggaraan pendidikan di Provinsi

Sulawesi Selatan berupaya tetap mengacu kehendak UUD NRI 1945

Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional, dengan menetapkan anggaran pendidikan minimal

20 % dari APBD. Namun demikian, untuk konteks Provinsi Sulawesi

Selatan, selama berlakunya UU Sisdiknas belum pernah menyentuh

angka 20 % dari APBD, sehingga diperlukan dana penunjang seperti

Blogrand, Dana Alokasi Khusus (DAK) hal mana terungkap wawancara

penulis dengan Arismunandar (Kabid Dikmenum Kota Makassar) pada

tanggal 17 Februari 2010. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 10

Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan Dalam APBDProvinsi Sulawesi Selatan

Tahun APBD( Rp. )

Anggaran Sektor Pendidikan ( Rp. )

Persentase( % )

2006

2007

2008

2009

1.486.115.046.733,35

1.809.498.887.213,00

2.133.624.782.881,42

2.209.405.231.780,42

64.746.730.184

81.548.023.248

77.159.672.762

87.990.576.480

4,36

4,51

3,62

3,98

Sumber : APBD Provinsi Sulawesi Selatan, 2009

Tabel di atas menggambarkan bahwa tekad pemerintah untuk

memajukan sektor pendidikan yang berdasarkan perintah UU harus

tersedia anggaran minimal 20 % dari APBN/APBD masih jauh dari

harapan. Selama 4 (empat) tahun terakhir, anggaran sektor pendidikan

Page 282: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

270

di Provinsi Sulawesi Selatan masih berada pada kisaran 3 % sampai 4

% per tahun, di luar pos bantuan pendidikan gratis

Diagram 6

Diagram Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan dengan Total APBD Provinsi Sulawesi Selatan

Page 283: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

271

Sumber : APBD Sulsel TA 2006,2007.2008.2009.

Pada tahun 2006 misalnya, dari total APBD sebesar Rp. 1,4

trilyun anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 64,7 milyar

lebih atau hanya sekitar 4,36 % dari total APBD. Untuk tahun 2007 dari

total APBD Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp. 1,8 trilyun anggaran

untuk sektor pendidikan hanya Rp. 81,5 milyar lebih atau sekitar 4,51 %

dari total APBD. Pada tahun 2007 tersebut terlihat adanya kenaikan

anggaran untuk sektor pendidikan namun untuk tahun 2008 terjadi

penurunan baik jumlah nominal anggaran maupun persentasenya.

Di tahun 2008 dari total APBD sebesar Rp. 2,1 trilyun anggaran

untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 77,1 milyar lebih atau 3,62

% dari total APBD yang berarti terjadi penurunan dibanding tahun

sebelumnya. Selanjutnya untuk tahun 2009, total APBD Provinsi

Sulawesi Selatan sebesar Rp. 2,2 trilyun lebih sementara alokasi

anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 87,9 milyar lebih

atau hanya sekitar 3,98 %. Walaupun ada peningkatan persentase

dibanding tahun 2008 tetapi masih belum mencapai angkat di tahun

2006 dan tahun 2007 apalagi jika dikaitkan dengan standar minimal 20

% dari APBD.

Kenyataan ini membuktikan bahwa walaupun secara politis tekad

pemerintah untuk meningkatkan pelayanan pendidikan bagi seluruh

masyarakat sangat tinggi, tetapi kendala anggaran tetap menjadi hal

utama yang dapat menjadi faktor penghambat utama dalam

Page 284: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

272

pelaksanaannya. Hal ini berimplikasi pada dapat terhambatnya jaminan

atas hak dan kewajiban warga negara dalam memperoleh pendidikan

secara memadai.

Sejalan dengan itu, pada tahun 2008, Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan mencanangkan program “pendidikan gratis” yang

diharapkan bisa membantu masyarakat yang kurang mampu, dalam

hubungan itu Edy Priyono (2008) mengemukakan :

“.......Pendidikan gratis, adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah.”

Lebih lanjut dikemukakan, jika pengertiannya demikian, maka

konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada

perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan

memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang

diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.

Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan

dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang sejak 2005 diterima

sekolah dari pemerintah (pusat). Untuk 2007, dana BOS bernilai Rp

21.000 per siswa per bulan untuk SD/MI dan Rp 29.500 untuk

SMP/MTs.

Pertanyaan pertama, apakah sebelum mencanangkan atau

menjanjikan pendidikan gratis para (calon) pimpinan daerah sudah

menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya

Page 285: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

273

satuan di tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dengan dana BOS,

siapa yang akan menutup kekurangan tersebut?

Kebijakan pendidikan gratis sebagaimana dikemukakan Edy

Priyono dalam tulisannya yang dimuat Harian Pembaharuan (11

Februari 2008) “ jelas tidak membebankan kekurangan biaya tersebut

kepada masyarakat (orang tua)”. Alternatifnya hanya dua, yaitu

dipenuhi oleh pemerintah (pemda) atau dibiarkan tanpa satu pihak pun

yang menutupnya. Jika pemda yang akan menutup kekurangan biaya di

sekolah berarti diperlukan alokasi APBD sesuai dengan jumlah murid.

Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan melalui program

Pendidikan Gratis secara bertahap mulai dijalankan, pada Tahun

Anggaran 2008 melalui Pos bantuan pendidikan gratis di alokasikan

dana sebesar Rp. 193.586.676.000,- dan pada Tahun Anggaran 2009

di alokasikan dana sebesar Rp. 173.889.512.800, di luar dari alokasi

anggaran yang dikelola Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.

Memasuki tahun kedua pelaksanaan program pendidikan gratis

yang merupakan ikon Gubernur Sulawesi Selatan telah menyerap

anggaran sebesar Rp. 367.476.188.800,-

Tabel 11Pos Bantuan Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun APBD Sektor Pendidikan (Rp)

Anggaran Pendidkan Gratis (Rp)

Jumlah(Rp)

2006200720082009

64.746.730.18481.548.023.24877.159.672.76287.990.576.480

--

193.586.676.000173.889.512,800

--

270.746.348.762261.880.089.280

Page 286: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

274

Sumber : APBD Provinsi Sulawesi Selatan, 2009

Tabel diatas menggambarkan bahwa pada tahun 2008 anggaran

yang terserap untuk sektor pendidikan telah mencapai Rp.

270.746.348.762,-atau sebesar 12,69% dan pada Tahun 2009

anggaran yang terserap mencapai Rp. 261.880.089.280,- atau 11.85%

angka tersebut masih jauh dari amanah Undang-Undang No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebesar 20%

Menurut hemat penulis, untuk konteks Sulawesi Selatan strategi

anggaran untuk sektor pendidikan masih membutuhkan perjuangan

panjang guna memenuhi tuntutan UU Sisdiknas yang mempersyaratkan

tersedianya anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD diluar

anggaran gaji dan pendidikan kedinasan. Salah satu strategi yang

dapat dilakukan guna menutupi kekurangan anggaran untuk sektor

pendidikan hanya melalui sharing anggaran antara pemerintah pusat,

pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, disamping

mendorong tumbuhnya partisipasi dan kesadaran masyarakat secara

luas untuk turut terlibat dan atau dilibatkan dalam memikirkan sekaligus

membantu pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan di

sektor pendidikan.

Di atas kertas, Pemda memang memiliki beberapa sumber

keuangan daerah, seperti dana perimbangan (DAU, DAK dan Dana

Bagi Hasil), pendapatan asli daerah (PAD) dan pinjaman. Tapi pada

kenyataannya, rata-rata peranan PAD dalam APBD hanya sekitar 7%.

Page 287: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

275

Sementara itu, rata-rata tertimbang rasio dana perimbangan terhadap

pengeluaran rutin adalah 1,4 yang menunjukkan bahwa tidak banyak

dana perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar

anggaran rutin. Jelas bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang

besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak

memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Jika

situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20%

anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas

dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai

dampak otonomi daerah

Dalam hal penyediaan anggaran sektor pendidikan misalnya,

Pemerintah Kabupaten Gowa menyediakan anggaran pendidikan yang

dialokasikan dalam APBD mencapai Rp. 11 milyar, atau setara 21,26

persen dari APBD Kabupaten Gowa.

Pemerintah Kabupaten Pangkep selain mengalokasikan dana

untuk membiayai 14 item yang di gratiskan, juga memberikan tunjangan

kesejahteraan kepada guru-guru, dengan rincian sebagai berikut:

kepala sekolah sangat terpencil mendapatkan kesejahteraan sebesar

Rp 300.000/bulan, kepala sekolah terpencil (Rp. 250.000/bulan), kepala

sekolah wilayah daratan (Rp. 200.000/bulan), kepala TK (Rp.

200.000/bulan), guru sangat terpencil (Rp. 150.000/bulan), guru

terpencil ((Rp. 100.000/bulan), kepala SLTP negeri dan swasta ((Rp.

Page 288: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

276

250.000/bulan), guru SMA negeri dan swasta (Rp. 250.000/bulan) dan

guru SLTP negeri dan swasta (Rp. 100.000/bulan).

Selain memberikan tunjangan kesejahteraan, juga dialokasikan

anggaran untuk memberikan tunjangan khusus dengan rincian masing-

masing, tunjangan khusus daerah sangat terpencil kepala sekolah,

guru, penjaga sekolah sebesar Rp 150.000/bulan, tunjangan khusus

daerah terpencil kepala sekolah, guru, penjaga sekolah sebesar Rp

100.000/bulan dan kesejahteraan guru PAUD (Pendidikan Anak Usia

Dini) sebesar Rp 100.000/bulan.

Pemerintah juga menyediakan anggaran dalam membantu

kegiatan operasional 77 sekolah sebesar Rp. 2.005.000.000 untuk

SLTP dan SMA negeri atau swasta. Terkait dengan perkembangan

teknologi informasi dengan menyediakan koneksi jaringan internet pada

perpustakaan daerah Kab. Pangkep sebesar Rp 104.500.000,

pengadaan komputer SMA/SMP negeri & swasta 105 unit sebesar Rp

787.500.000 dan bantuan laboratorium komputer dengan perangkatnya

untuk SMA Unggulan sebesar Rp. 110.000.000.

Kota Makassar sebagai pintu gerbang kawasan timur Indonesia

mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan tahun 2009

sebesar Rp. 143 milyar, namun hanya 1 milyar rupiah yang

dianggarkan untuk pendidikan luar sekolah (PLS). disamping itu Kota

Pare-Pare dan Kabupaten Sinjai juga menganggarkan hal yang sama

pada setiap tahun anggaran, dari fakta tersebut membuktikan bahwa

Page 289: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

277

ada keseriusan dari Pemerintah Kabupaten/Kota di lima lokasi

penelitian mendorong percepatan program Wajar Dikdas 9 tahun,

dengan memaksimalkan anggaran pada sektor pendidikan.

Dalam buku Panduan BOS Tahun 2007 dinyatakan bahwa

pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan

operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah

untuk menerima sumbangan dari orang tua yang mampu. Dengan

tegas harus "gratis" adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak

mampu.

Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa pengelola BOS

menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan operasional di sekolah. Meskipun demikian, tidak semua

orang menyadari hal itu.

Sejalan dengan itu, penulis mengemukakan beberapa Fakta

yang menunjukkan bahwa berbagai "model" kebijakan pembiayaan

pendidikan di daerah.

Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga

mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai

"pendamping BOS", kemudian menggratiskan pendidikan. Sebagai

ilustrasi, sampai 2007 DKI Jakarta mengalokasikan Rp 50.000 per

siswa per bulan untuk SD dan Rp 100.000 untuk SMP. Contoh lain,

Kota Bekasi juga mengalokasikan APBD 2008 cukup besar untuk

pendamping BOS, sekitar Rp 30.000 per siswa per bulan untuk SD. Ini

Page 290: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

278

merupakan kondisi yang mendekati "ideal". Sekolah tercukupi

kebutuhannya, sementara masyarakat menikmati pelayanan pendidikan

tanpa harus membayar.

Kedua, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi

sekolah, sehingga menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan

(atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya untuk keperluan

operasional sekolah. Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan

banyak sekolah dan dikhawatirkan berimplikasi buruk bagi kualitas

pendidikan. Di sisi lain, masyarakat "menikmati" sekolah gratis,

meskipun ada "ancaman" penurunan kualitas (yang belum tentu

dirasakan dengan segera).

Ketiga, pemda menganggap BOS tidak cukup, tidak

mengalokasikan (atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya,

tetapi masih memperbolehkan sekolah menarik dana partisipasi dari

masyarakat. Langkah ini tidak "populer", karena masyarakat masih

dibebani dengan biaya pendidikan. Tetapi, sekolah tidak "menderita",

karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan

kontribusi dari orang tua/masyarakat, (Edy Priyono,11 Februari 2008).

Jika memperhatikan kondisi seperti penulis kemukakan diatas,

menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu "baik" bagi

masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah,

tetapi pada saat yang sama juga memerlukan pendidikan yang

bermutu. Dan sayangnya, kedua hal itu (murah dan bermutu) tidak

Page 291: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

279

selalu bisa berjalan seiring. Bahkan ada pandangan yang leih ekstrim

bahwa pendidikan gratis yang mengabaikan peran orang tua siswa

menyalahi atau bertentangan dengan UU No 20 Tahun2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional.

Dari sisi pembiayaan pendidikan di daerah. Menurut Edy Priyono

(2007:9) Idenya adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan yang

memiliki dua karekteristik dasar, Pertama, cukup dan stabil bagi sektor

pendidikan di daerah untuk memenuhi target 20% untuk biaya

pendidikan. Kedua, berada dalam kewenangan Pemda, sehingga

memungkinkan dijadikan ”kebijakan fiskal” di daerah

(dinaikkan/diturunkan jika dianggap perlu)

Persoalan yang cukup mendasar adalah Standar Pembiayaan

yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, namun

hingga kini belum terbit Permendiknas, hemat peneliti jika PP No. 48

Tahun 2008 telah mengatur standar pembiayaan, untuk itu Mendiknas

segera menerbitkan Peraturan Menteri yang dapat dipedomani dalam

menetapkan komponen standar pembiayaan.

c. Kurikulum

Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun

tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di

tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden, sebagaimana tercermin

dalam pasal 50 ayat (1) UU No 20 Tahun 2003, yaitu menteri

Page 292: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

280

pendidikan nasional, dalam hal ini Pemerintah (pusat) menentukan

kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin

mutu pendidikan nasional. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 50 ayat

(2) pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan

pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan

fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota

untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk

pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan

dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis

keunggulan lokal.

Pelaksanaan kurikulum menerapkan prinsip “Kesatuan dalam

Kebijakan dan Keberagaman dalam Pelaksanaan”. Standar nasional

disusun pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan masing-masing

daerah/sekolah dan madrasah. Perwujudan “Kesatuan dalam

Kebijakan” tertuang dalam pengembangan Kerangka Dasar, Standar

Kompetensi Bahan Kajian, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran,

beserta Pedoman Pelaksanaannya. Perwujudan “Keberagaman dalam

Pelaksanaan” tertuang dalam pengembangan silabus dan skenario

pembelajaran.

Sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia

sangat hetorogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti

budaya, adat, suku, sumber daya alam, dan bahkan sumber daya

manusianya. Masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan

Page 293: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

281

kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi

pendidikan.

Hasbullah (2006:20), mengemukakan ”Permasalahan relevansi

pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan

pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang

sesuai dengan kondisi obyektif di daerahnya. Lebih lanjut dikemukakan

bahwa situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat

tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah.

Dalam konteks otonomi daerah. Kurikulum suatu lembaga

pendidikan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut di dalam

suatu jenis dan jenjang. Dalam pengertiannya yang luas, kurikulum

berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program

pelajaran tertentu.

Oleh karena itu Hasbullah (2006:21), mengemukakan

pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga

pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut:

tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompoten;

tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang

memadai dan menyenangkan;

tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar

mengajar;

adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga

administrasi, pembimbing, pustakawan dan laboran;

Page 294: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

282

tersedianya dana yang memadai;

manajemen yang efektif dan efisien;

terpelihanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai

religius, moral, kebangsaan dan lain-lain;

kepemimpinan pendidikan yang visioner, transparan, dan

akuntabel.

Lebih lanjut dikemukakan, kurikulum yang amat terstruktur dan

sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi

steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang

berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi

rutin, tidak menarik dan kurang mampu membentuk kreativitas murid

untuk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun

dan melaksanakan pendekatan pembelajaran yang inovatif

Kurikulum dapat didiversifikasikan dengan cara disesuaikan,

diperluas, dan diperdalam untuk melayani keberagaman

penyelenggaraan satuan pendidikan, kebutuhan dan kemampuan

daerah dan sekolah dan madrasah ditinjau dari segi geografis dan

budaya serta kemampuan dan minat peserta didik sehingga sekolah

dan madrasah dapat melayani seluruh peserta didik dengan

kemampuan di bawah rata-rata, rata-rata dan di atas rata-rata untuk

mencapai hasil yang optimal.

Diversifikasi kurikulum yang melayani minat peserta didik dan

kebutuhan daerah dirancang oleh daerah, sekolah dan madrasah.

Page 295: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

283

Perwujudan diversifikasi kurikulum pendidikan kejuruan mengacu pada

pencapaian penguasaan kompetensi sesuai dengan dunia kerja

setempat.

Diversifikasi kurikulum juga dilaksanakan untuk melayani

peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau

memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Diversifikasi kurikulum

juga perlu dilaksanakan untuk peserta didik dari daerah terpencil atau

terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami

bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Dari sisi hukum, tanggung jawab pengembangan kurikulum

dilakukan secara nasional dan menjadi tanggung jawab pemerinah

pusat untuk selanjutnya ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan

dengan melakukan koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum

berdasarkan standar nasional. Pengembangan dilakukan secara

berkala di tingkat sub dinas bagian kurikulum. Dinas Pendidikan

Provinsi bersama LPMP dan perguruan tinggi. Hasil rumusan

selanjutnya diaplikasikan para guru setelah sosialisasi dan pendalaman

materi terlebih dahulu.

Menurut Halide (Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan)

sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan

pendidikan dasar di daerah seharusnya disempurnakan setiap tahun

melalui Dinas Pendidikan Provinsi untuk selanjutnya diteruskan ke

Page 296: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

284

Kabupaten/Kota dan kepada masing-masing kepala sekolah untuk

dipelajari/dipahami oleh para kelompok guru dan seterusnya diajarkan

pada murid secara penuh agar siap menghadapi Ujian Akhir Nasional.

Pengawasan terhadap pemenuhan standar isi dilakukan oleh pengawas

sekolah kemudian dilaporkan untuk ditindaklanjuti.

Pernyataan responden terkait dengan sosialisasi implementasi

kurikulum di tingkat satuan pendidikan pada lokasi penelitian

menunjukkan tanggapan yang beragam. Untuk jelasnya dapat dilihat

melalui tabel berikut.:

Tabel 12Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Kurikulum

di Tingkat Kabupaten/KotaNo Kategori Responden Total

Eksekutif Legislatif Lainnya1 Optimal 5 5% 5 5% 5 5% 15 / 15%2 Kurang Optimal 17 17% 25 25% 14 14% 56 / 56%3 Tidak Optimal 8 8% 10 10% 11 11% 29 / 29%

Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%Sumber : Kuisioner Penelitian setelah diolah, 2009

Berdasarkan tabel 12 diatas menunjukkan bahwa sosialiasi

kurikulum hanya 15% responden yang menyatakan sosialiasi kurikulum

optimal, selebihnya terdapat 56% responden menyatakan kurang

optimal dan 29% menyatakan tidak optimal. Besarnya presentase

Page 297: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

285

tersebut menunjukkan bahwa kinerja Dinas Pendidikan baik di provinsi

maupun di kabupaten/kota tidak berjalan dengan baik, sehingga

hasilnya tidak optimal, sebagaimana tercermin dalam tabel diatas.

Dalam kaitan dengan manajemen kurikulum, peningkatan

relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat

antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari

suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan

masyarakat beberapa tahun mendatang. Hal ini penting, apalagi

sekarang masyarakat cenderung lebih berfikir pragmatis, yakni suatu

tuntutan kepada lembaga pendidikan untuk dapat melahirkan out-put

yang mampu menjamin masa depan terutama dalam sektor dunia kerja.

Oleh karena itu Hasbullah (2006:22), menegaskan “kurikulum

pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsif dalam mengikuti

perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas di

lapangan.

Sejalan dengan itu, kebijakan tentang penerapan kurikulum di tingkat provinsi didasarkan pada kebijakan nasional pendidikan dengan mengacu pada muatan local dengan memperhatikan sumber daya yang ada sebagaimana dikemukakan Syaiful Amsi (wawancara 16/02.2010)

Terkait dengan pengembangan kurikulum sesuai kehendak UU

No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penulis berpendapat

bahwa walaupun tanggung jawab pengembangan kurikulum berada di

tangan pemerintah pusat dalam hal ini menteri pendidikan nasional

tetapi sosialisasinya harus benar-benar optimal sehingga implementasi

Page 298: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

286

kurikulum berdasarkan standar isi yang ditetapkan pemerintah pusat

dapat diaplikasikan secara penuh. Untuk itu, dibutuhkan pengaturan

lebih lanjut tentang mekanisme dan tata cara pengawasan standar isi

melalui peraturan daerah baik di tingkat provinsi maupun pada tingkat

kabupaten/kota, sehingga pelaksanaannya benar-benar dapat terukur,

akuntabel, dan mudah dikontrol.

d. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di sektor pendidikan merupakan salah

satu faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di

daerah. Seperti telah diungkap pada bagian sebelumnya bahwa salah

satu kendala utama dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah

daerah di bidang pendidikan adalah terbatasnya anggaran untuk sektor

pendidikan. Berkaca pada fakta yang terungkap di lokasi penelitian,

dimana selama 4 tahun terakhir anggaran untuk sektor pendidikan di

Provinsi Sulawesi Selatan hanya berada pada kisaran tiga sampai

empat persen dari total APBD, tentu sulit mengharapkan terpenuhinya

standar sarana dan prasarana pendidikan sesuai ketentuan Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007. Untuk itu, tanggung

jawab tersebut harus dipikul bersama antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah.

Kebijakan perbaikan sarana dan prasarana sektor pendidikan

khususnya yang berkaitan dengan perbaikan mutu dan kecukupan

Page 299: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

287

sarana dan prasarana sekolah melalui APBN ditempuh dengan

pengalokasian anggaran dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK)

sektor pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2007, khususnya yang

terkait dengan Sarana dan Prasarana, baik Pemerintah Provinsi

maupun Pemerintah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk

melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana

dan prasarana pendidikan nasional, selain itu juga diberi kewenangan

untuk melakukan pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan

prasarana pendidikn demikian pula pengawasan penggunaan buku

pelajaran pendidikan.

e. Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Kewenangan ditingkat Pemerintah khususnya yang terkait

Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah Perencanaan kebutuhan

dan pengadaan tenaga kependidikan secara nasional, kewenangan lain

adalah pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar

provinsi serta peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan

perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan. Pada tataran

Pemerintah Provinsi juga diberikan kewenangan perencanaan

kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan demikian pula

Pemerintah Provinsi diberi kewenangan untuk mengangkat,

menempatkan tenaga kependidikan PNS dan berhak pula melakukan

Page 300: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

288

pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar

kabupaten/kota. Akan halnya Pemerintah Kabupaten/Kota juga

diberikan kewenangan yang sama pada skala yang lebih kecil.

Dalam tiga tahun terakhir penerimaan calon Tenaga

Kependidikan PNS di lokasi penelitian belum signifikan, Tenaga

kependidikan yang tercatat di 5 lokasi penelitian mencapai 25.452

orang, Menurut data Direktorat tenaga kependidikan pada tahun 2005

jumlah kekurangan tenaga guru di Indonesia mencapai angka 218.838.

Kekurangan guru yang cukup besar tersebut akan menghambat

kualitas pendidikan karena guru merupakan faktor penentu tinggi

rendahnya kualitas pendidikan. Keadaan ini juga dialami oleh

Pemeintah Provinsi maupun kelima kabupaten/Kota yang dijadikan

obyek penelitian. Kekurangan guru tentu akan mengakibatkan

terhambatnya proses belajar mengajar, bahkan tidak jarang seorang

guru mengajar pada bidang studi yang tidak sesuai dengan

kemampuan akademiknya, belum lagi sertifikasi.

Menurut Budi AM.Syachrun, Dengan sertifikasi guru maka

kesejahteraan guru bisa sejajar dengan profesi lainnya. Persoalannya

adalah sejak digulirkan 2006 lalu, tampaknya sertifikasi hanya menjadi

momok menakutkan bagi guru. Lebih lanjut mengemukakan ketika

guru mengumpulkan portopolio, maka dalam kasus ini terkadang

mamanipulasi berkas yang dikumpulkan kepada tim assesor, misalnya

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikumpul lima item

Page 301: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

289

pokok bahasan itu tidak murni merupakan hasil kerja guru tersebut,

kadang disalin seutuhnya dari teman di sekolah lain. Kasus lain adalah

beban kerja guru. Di dalam aturan pedoman perhitungan beban kerja

guru yang dikeluarkan oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan

Tenaga Kependidikan tahun 2008, dikatakan masih ada tambahan jam

untuk kegiatan tatap muka, selain kegiatan tatap muka di dalam kelas.

Kasus-kasus yang penulis kemukakan diatas terkesan menyimpan dari

tujuan diadakannya sertifikasi guru yaitu meningkatkan kualitas dan

kompetensi guru, kenyataannya tidak demikian sehingga menurut

penulis perlu ditinjau ulang pelaksanaan sertifikasi guru yang selama ini

dilaksanakan.

f. Pengendalian Mutu Pendidikan.

Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota dalam pengendalian mutu pendidikan adalah

membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan

menengah dan pendidikan nonformal, juga melakukan koordinasi,

fasilitasi dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah pada skala provinsi

bagi pemerintah provinsi dan skala kabupaten/kota pada skala

kabupaten/kota. Demikian pula penyediaan biaya penyelenggaraan

ujian sekolan dan melakukan evaluasi pengelola, satuan jalur dan jenis

pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah

dan pendidikan non formal.

Page 302: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

290

Terkait pelaksanaan Ujian Nasional yang diharapkan akan

meningkatkan kualitas pendidikan, menurut penulis UN hanya menjadi

proyek strategis pemerintah dan jajaran yang ada di bawahnya. Setiap

tahun keluar kebijakan terhadap UN, tapi akar masaalahnya tidak

pernah disentuh, dengan meminjam istilah Budi AM Syachrun , akar

masalah yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan dari pemerintah

untuk memperbaiki proses kerja dari pelaksanaan UN ini, termasuk

memperbaiki dan menganalisis bentuk kecurangan setiap pelaksanaan

UN, alih-alih diperbaiki, justru pemerintah hanya mengejar “setoran”

keberhasilan dari masing-masing daerah tampa memperhatikan

bagaimana proses itu berlangsung.

Dalam pengendalian mutu pendidikan, salah satu daerah di

Sulsel bahkan dengan terang-terangan mengambil langkah terobosan

terkait pelaksanaan UN itu, Bupati memberikan reward jika ada sekolah

yang meluluskan siswanya 100 persen. Guru yang ada di sekolah

tersebut sangat gembira, karena mendapatkan uang sebesar Rp.

200.000,- per orang.

Apa yang diuraikan diatas merupakan gambaran Urusan

pemerintahan bidang pendidikan di lokasi penelitian, temuan-temuan

tersebut diharapkan dapat diberi apresiasi bagi pengambil kebijakan

dalam menata sistem pendidikan di Sulawesi Selatan.

2. Koordinasi Kelembagaan

Page 303: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

291

Penyelenggaraan pendidikan menjadi sangat penting dan

strategis dalam menentukan masa depan penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu sejalan dengan paradigma

baru penyelenggaraan otonomi daerah dengan tujuan memungkinkan

daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Maka daerah memiliki kewenangan untuk mengelola urusan

pemerintahan di daerah atas prakarsa sendiri, termasuk di dalamnya

pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya

permasalahan pendidikan yang dihadapi daerahnya, yaitu rendahnya

kualitas pendidikan pada setiap jenjang, maka daerah diharapkan

mampu menunjukkan perannya dalam mengupayakan peningkatan

kualitas pendidikan.

Untuk itu dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan maka

peranan Dinas Pendidikan Daerah harus betul-betul optimal, upaya

yang dilakukan berupa peningkatan kualitas pendidikan di berbagai

bidang antara lain; pelimpahan kewenang manajemen peningkatan

mutu berbasis sekolah, sehingga sekolah dapat berpartisipasi aktif

dalam peningkatan kualitas pendidikan, hal ini ditempuh dengan

melaksanakan sosialisasi MPMBS di jajaran Dinas Pendidikan dan

sekolah, membantu sekolah menyusun rencana dan program

peningkatan kualitas pendidikan, disamping itu juga melakukan

monitoring dan evaluasi. Juga melalui peningkatan kemampuan dan

Page 304: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

292

profesionalisme jajaran Dinas Pendidikan, selain itu Dinas Pendidikan

lebih meningkatkan upaya-upayanya yaitu melakukan program-program

peningkatan kualitas pendidikan; melalui peningkatan mutu pendidikan

dasar, mutu pendidikan menengah, pemenuhan kebutuhan belajar

mengajar dan penyediaan unit sekolah baru.

Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota (Kab/Kota) di era

otonomi daerah semakin bertambah masalahnya sejak kemunculan

kebijakan pendidikan yang diatur oleh Depdiknas yang seringkali tidak

pas untuk dilaksanakan di daerah, semisal syarat untuk ikut sertifikasi,

seorang guru harus melakukan tatap muka dengan muridnya sedikitnya

24 jam, selain itu UU Sisdiknas dinilai sebagian kalangan tidak tegas

dalam hal tanggungjawab pendanaan pendidikan, apakah negara atau

masyarakat, sehingga program wajib belajar pendidikan dasar (wajar

dikdas) 9 Tahun, sejak SD hingga lulus SMP yang seharusnya gratis,

ternyata warga masih harus membayar.

Selain masalah kebijakan, perilaku birokrasi dan birokrat

pendidikan baik tingkat depdiknas hingga dinas pendidikan Kab/kota

masih belum bersikap seperti pamong, apalagi ketika Kab/Kota menjadi

otonom, cukup banyak pejabat publik pengurus pendidikan yang

meskipun memenuhi syarat kepangkatan, sama sekali tidak memahami

esensi pendidikan.

Hingga saat ini, peran Dewan Pendidikan Provinsi,

Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah, meskipun dilindungi UU, tidak

Page 305: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

293

berjalan dengan baik, umumnya Komite Sekolah hanya menjadi

“stempel” eksekutif sekolah dan pengambil kebijakan pendidikan di

Provinsi/Kab/Kota, sementara itu, Dewan Pendidikan juga seringkali

berfungsi sama. Seharusnya, Dewan Pendidikan memainkan peran

sebagai mitra kritis Dinas Pendidikan Provinsi dan Kab/Kota, sehingga

kebijakan yang diterapkan tidak asal asalan.

Kebijakan dan operasional SD hingga SMA semuanya sudah

diserahkan kepada otoritas Kabupaten/Kota, namun ternyata belum

berjalan sebagaimana mestinya, bahkan banyak pemerintah Kab/Kota

salah dalam menafsirkan kebijakan perundangan, semisal Sekolah

Bertaraf Internasional (SBI) ditafsirkan sebagai sebuah sekolah dengan

kelas ber-AC. Terlebih lagi, ukuran sukses sebuah sekolah, hanyalah

keberhasilan lulus UAN/UAS.

Salah satu masalah yang masih akut dan belum berubah

adalah cengkeraman birokrasi pendidikan, meskipun sebetulnya

konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan konsep

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) jika dilaksanakan dengan benar

akan memberi keleluasaan kepada Guru dan Sekolah berkreasi, namun

faktanya, cengkeraman birokrasi melalui pengawas sekolah masih

memasung kreatifitas guru dalam menjalankan KTSP dan Kepsek

dalam MBS. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan salah

seorang responden sebagai berikut:

Page 306: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

294

“upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan memang memberi harapan munculnya kreasi para guru, tetapi kita di lapangan kadang-kadang masih didikte oleh pengawas yang seringkali mengesampingkan kondisi sekolah kita masing-masing, program yang sudah dibuat dengan susah payah seenaknya mereka coret dengan alasan tidak sempurna. Untung kalau dia bimbing kita untuk perbaikan, jika tidak, repotlah kita”.(HS, wawancara, 21 Juli 2009).

Fakta yang terungkap tersebut menggambarkan bahwa

masalah birokrasi masih membelit para pendidik di daerah. Sosialisasi

yang kurang maksimal atas setiap perubahan aturan kadangkala

merepotkan pelaksana pendidikan. Terkait dengan hal tersebut, ada

kesan bahwa pemerintah membuat serangkaian kebijakan di bidang

pendidikan sekedar upaya yang bersifat trial and error. Hal ini dirasakan

pula oleh para orang tua siswa yang merasa bahwa kurikulum

pendidikan yang berubah setiap saat merepotkan mereka untuk

membuat perencanaan pendanaan bagi anak-anaknya. Buku yang

digunakan juga tidak sama antar angkatan sehingga orang tua yang

memiliki dua anak yang sekolah pada dua tempat berbeda pasti buku

paket yang digunakan juga berbeda, belum lagi jika anak-anak mereka

berada pada tingkatan yang berbeda, misalnya anak pertama di kelas

III sedang anak kedua duduk di kelas II, saat anak kedua naik ke kelas

tiga, dia tidak dapat lagi memanfaatkan buku yang telah dipakai oleh

kakaknya.

Mengenai hal ini, salah seorang orang tua siswa bertutur :

Page 307: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

295

“kita para orang tua kadang dibuat repot dengan sistem sekarang (kurikulum sekolah), mestinya aturan itu tidak terlalu cepat berubah supaya orang tua dapat menghemat anggaran untuk beli buku. Kalau bisa buku yang digunakan sama antara satu sekolah dengan sekolah lainnya sehingga bisa saling memanfaatkan, jangan sekolah yang satu buku paketnya lain, sedang yang lainnya berbeda juga. Tidak bisakah dibuat aturan tentang keseragaman seperti itu ?”(Bhr, wawancara, 25 Juli 2009)

Pada tataran bawah, sebutlah tingkat kabupaten/kota sampai

ke sekolah, ”pendidikan gratis” membawa dampak pada sejumlah

persoalan.

Pertama, kosakata dan implementasinya menimbulkan salah

tafsir dan pertentangan pendapat. Di satu pihak gratis itu berarti tanpa

ada pungutan apa pun, tetapi di pihak lain sering dikatakan gratis hanya

untuk komponen tertentu.

Kedua, implementasi pendidikan gratis terbukti meresahkan

sekolah-sekolah swasta karena sumber pendanaannya yang kian

terbatas/tersumbat karena masyarakat sering tidak amat peduli

terhadap perbedaan negeri dan swasta dalam pembiayaan.

Ketiga, kebijakan pendidikan gratis ternyata hanya menyangkut

komponen biaya operasional, sedangkan biaya investasi dan biaya

perseorangan (sesuai PP No 47/2008) tidak termasuk di dalamnya.

Keempat, berbeda dan terbatasnya kemampuan pendanaan

kabupaten/kota untuk menunjang pendidikan gratis ini sehingga

Page 308: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

296

implementasi pendidikan gratis di satu kabupaten berbeda dengan

kabupaten lain.

Kelima, kebijakan pendidikan gratis telah begitu menyurutkan

peran serta masyarakat. Dan tragisnya, termasuk segala bentuk iuran

dihilangkan (termasuk iuran saat ada kematian warga sekolah).

Keenam, nuansa politis pendidikan gratis lebih mengemuka

dibandingkan kandungan maksudnya. Contohnya, para siswa dari

keluarga kaya tidak dipungut biaya apa pun karena pendidikan gratis

dimaknai secara politis sebagai ”hasil perjuangan politis” yang harus

dinikmati oleh siapa pun tanpa membedakan kaya miskin.

3. Pengawasan dan Pembinaan

Pengawasan mempunyai arti yang sangat luas tidak hanya

memperhatikan apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya, tetapi

mengandung arti mengendalikan atau mengusahakan agar semua

kegiatan yang telah direncanakan mencapai tujuan yang efektif dan

efesien.

Pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pendidikan

tercermin dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada ayat (1)

Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan komite

sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan

pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan

Page 309: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

297

kewenangan masing-masing, sedang ayat (2) menegaskan “

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

prinsip transparan dan akuntabilitas publik. Berdasarkan ketentuan

pasal 66 tersebut dapat dipahami bahwa pengawasan tidak hanya

dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah namun juga

dilakukan oleh masyarakat melalui Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah. Untuk itu melalui pengawasan dapat memastikan apakah

yang dikerjakan sesuai dengan rencana, dengan pengawasan yang

seksama dapat pula ditemukan kelemahan-kelemahan dalam

pelaksanaan, dapat diketahui kesalahan-kesalahan dalam cara bekerja.

Atau pengawasan merupakan tindakan pencegahan yang bersifat

preventif agar terhindar dari kesalahan ataupun kelalaian.

Dengan pengawasan dapat memastikan apakah yang

dikerjakan sesuai dengan rencana, dengan pengawasan yang seksama

dapat pula ditemukan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan,

dapat diketahui kesalahan-kesalahan dalam cara bekerja. Atau

pengawasan merupakan tindakan pencegahan yang bersifat preventif

agar terhindar dari kesalahan-kesalahan atau kelalaian-kelalaian dalam

melaksanakan tujuan dan dapat segera diketahui dan ditemukan usaha

perbaikannya.

Undang-Undang Dasar 1945 NRI Pasal 31 ayat ke- 4

menyebutkan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-

kurangnya 20 % (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan

Page 310: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

298

belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja

daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional”. Amanat tersebut memberikan gambaran kepada

kita bahwa pembiayaan pendidikan merupakan salah satu aspek

penting dalam pembangunan pendidikan secara keseluruhan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara

berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, sebagai

kelanjutan dari program pemerintah sebelumnya yaitu Gerakan

Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara pada tahun 2006

sesuai dengan Inpres No.5. Sebelumnya pada tahun 1994 pemerintah

telah mencanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No.1/1994.

Konsekuensi logis dari ketetapan-ketetapan diatas, pemerintah

wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada

tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan

yang sederajat). Oleh karena itu, sejak tahun 2005 pemerintah

meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang

memberikan bantuan uang kepada sekolah berdasarkan jumlah murid.

Program BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi

siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka

Page 311: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

299

memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai

tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar.

Realisasinya pada APBN 2009, sebesar 16 triliun rupiah untuk

program BOS. Berdasarkan laporan Kompas (9/1/09), pemerintah pada

tahun ini akan terus mengupayakan sekolah gratis terutama pada

sekolah negeri tingkat pendidikan dasar yakni SD dan SLTP negeri.

Pada tahun 2009 dana BOS naik 50 persen dibandingkan tahun

sebelumya. Setiap siswa SD memperoleh dana BOS Rp 397.000 per

tahun untuk tingkat kabupaten, adapun di tingkat kota mencapai Rp

400.000 per tahun, sementara tahun 2008 berjumlah Rp 254.000/tahun.

Dana BOS siswa SMP/MTS naik dari Rp 354.000 per tahun (2008)

menjadi Rp 570.000 per tahun tingkat kabupaten, sedang di kota

mencapai Rp 575.000 per tahun.

Kesimpulan dari keinginan pemerintah untuk perbaikan

pendidikan serta data jumlah alokasi anggaran untuk progam BOS,

dapat kita katakan sebagai pro poor policy and budgeting. Akan tetapi

kebijakan anggaran ini akan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat

jika dilaksanakan secara maksimal oleh eksekutor di lapangan yaitu

sekolah, disini dibutuhkan pengawasan dari seluruh pihak. Oleh karena

itu, komite sekolah diharapkan dapat memainkan peranannya untuk

meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan melalui nasihat,

pengarahan, bantuan personalia, material, dan fasilitas maupun

pengawasan pendidikan. Masyarakat luas juga dapat berperan dalam

Page 312: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

300

pengawasan ini dengan praduga tak bersalah tentunya, serta

memulainya dengan mengumpulkan informasi tentang dana BOS

tersebut. Jika terjadi penyimpangan, maka segera laporkan kepada

aparat penegak hukum bukan main hakim sendiri.

Penjelasan dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

(JDIH) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia

menyebutkan bahwa penggunaan dana BOS adalah untuk pembiayaan

seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru pembelian buku

teks pelajaran dan buku referensi untuk dikoleksi perpustakaan

sekolah. Juga pembelian bahan-bahan habis dipakai seperti buku tulis,

kapur tulis, pensil, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris,

langganan koran, gula kopi dan teh untuk kebutuhan sehari-hari di

sekolah. Untuk pembiayaan kegiatan kesiswaan, program remedial,

program pengayaan, olah raga, kesenian, karya ilmiah remaja,

pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya. Untuk pembiayaan

ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar

siswa, pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang

menghadapi masalah biaya transport dari rumah ke sekolah. Khusus

untuk pesantren salafiyah dan sekolah keagamaan non Islam, dana

BOS dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli

peralatan ibadah. Kesemuanya dapat dirasakan langsung oleh siswa.

Selain hal tersebut diatas, dana BOS juga dapat digunakan

untuk kepentingan pengembangan profesi guru seperti pelatihan,

Page 313: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

301

pembiayaan perawatan sekolah, pembiayaan langganan daya dan jasa

seperti listrik, air dan telepon, pembayaran honorarium bulanan guru

honorer dan tenaga kependidikan honorer sekolah, serta pembiayaan

pengelolaan BOS seperti ATK, penggandaan, surat menyurat dan

penyusunan laporan. Jika keperluan tersebut telah terpenuhi dan masih

terdapat sisa dana, maka sisa dana tersebut dapat digunakan untuk

membeli alat peraga, media pembelajaran dan mebel sekolah.

Dana BOS tidak boleh disimpan dalam jangka waktu tertentu

atau dipinjamkan kepada pihak lain atau dibelanjakan di bursa saham

dengan tujuan melipatgandakan dana tersebut. Juga tidak

diperkenankan untuk membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas

sekolah dan memerlukan biaya besar, misalnya studi banding, studi

tour (karya wisata) dan sejenisnya, kemudian membayar bonus,

transportasi, atau pakaian yang tidak berkaitan dengan kepentingan

murid, membangun gedung atau ruangan sekolah baru. Tidak boleh

untuk membeli bahan dan peralatan yang tidak mendukung proses

pembelajaran. Sama halnya dengan insentif untuk kesejahteraan guru

dan tenaga kependidikan sekolah atau kelebihan jam mengajar tidak

memakai dana BOS, karena telah dialokasikan dalam pos anggaran

lainnya dalam APBN dan APBD.

Pembiayaan pendidikan sebagaimana disinggung pada bab

sebelumnya, khususnya terkait pembiayaan program Wajar 9 Tahun,

baik yang berasal dari Pemerintah maupun berasal dari Pemerintah

Page 314: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

302

Provinsi, secara intensif perlu dilakukan pengawasan, adanya indikasi

pelanggaran yang dilakukan pihak sekolah berupa pungutan kepada

siswa, Menurut A.Patabai Pabokori (Kepala Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan) sebagaimana dilansir Seputar Indonesia

(12/10/2009) dana pendidikan gratis yang disalurkan Pemerintah

Provinsi Sulsel senilai Rp, 165 miliar pada tahun 2009 telah mengcover

seluruh biaya proses belajar mengajar dalam 14 item pembiayaan.

Lebih lanjut beliau mengatakan “Kajati harus melakukan pengawasan

pelaksanaan pendidikan gratis sesuai dengan klausul dalam MoU

antara Pemerintah Provinsi dengan Kejaksaan Tinggi.. Kepala Dinas

Pendidikan Nasional Sulsel mengatakan berdasarkan klausul

Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan

disebutkan, kejaksaan wajib melakukan pengawasan terhadap

penetapan pendidikan gratis pada 24 kabupaten/kota di Sulsel. Kejati

diberikan kewenangan untuk mempidanakan aparat yang

menyelewengkan dana. Lebih lanjut ditegaskan “Kejati harus

melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan gratis sesuai dengan

klausul dalam MoU antara Pemprov dengan Kajati. Jadi kewenangan

sepenuhnya diserahkan kepada mereka termasuk wewenangn

penindakan” jelas Patabai Pabokori. Langkah yang dilakukan Pemprov

Sulsel membuat MoU dengan Kejati dimasudkan untuk mengantsisipasi

kemungkinan terjadinya penyimpangan ataupun pelanggaran, temuan

Page 315: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

303

di lokasi penelitian ternyata masih terdapat sekolah yang melakukan

pungutan, ironisnya pungutan yang dilakukan sekolah termasuk item-

item yang dibiayai program pendidikan gratis.

e. Partisipasi Masyarakat

1. Hak dan Kewajiban Masyarakat

Salah satu pendekatan yang ada hubungannya dengan

partisipasi menyatakan bahwa manusia mempunyai dinamika internal

dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu dirinya dan untuk

berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila

dikembangkan melalui perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya.

Selain itu, partisipasi juga disadari memiliki banyak arti. Partisipasi

dapat berarti bahwa pembuat keputusan mengikutsertakan kelompok

atau masyarakat luas terlibat dalam bentuk saran, pendapat, barang,

keterampilan, bahan atau jasa. Partisipasi juga dapat berarti bahwa

kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan sendiri,

membuat keputusan dan memecahkan permasalahan mereka sendiri.

Kata, “partisipasi masyarakat” dalam pembangunan

menunjukkan pengertian pada keikutsertaan mereka dalam

perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program

Page 316: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

304

pembangunan United Nation (1975). Dalam kebijakan nasional

kenegaraan saat ini, melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan

pembangunan atau partisipasi masyarakat dalam kegiatan

pembangunan adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari

implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya

dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,

penikmatan hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff. 1980:44).

Secara lebih rinci, partisipasi dalam pembangunan berarti mengambil

bagian atau peran dalam pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan

mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga,

waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan

menikmati hasil-hasilnya (Sahidu, 1998:51).

Selama ini, penyelenggaraan partisipasi masyarakat di

Indonesia dalam kenyataannya masih terbatas pada keikutsertaan

anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-

program pembangunan saja. Kegiatan partisipasi masyarakat masih

lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah

atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut

menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol

masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.

Page 317: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

305

Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya

anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari

kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu

sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi

masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok,

bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat,

serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.

Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari

masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila

terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2)

adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi.

Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang

bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan

kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi

kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari

warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi

kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka

partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan

kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan

oleh negara atau penyelenggara pemerintahan untuk warga atau

kelompok dari suatu masyarakat, maka tidak mungkin juga partisipasi

masyarakat itu terjadi.

Page 318: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

306

Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam

pengembangan pendidikan di Indonesia. Perlu ditumbuhkan adanya

kemauan dan kemampuan keluarga/warga atau kelompok masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebaliknya juga

pihak penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan perlu

memberikan ruang dan/atau kesempatan dalam hal lingkup apa, seluas

mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan

mekanisme bagaimana partisipasi masyarakat itu dapat dilakukan

Dalam konteks partisipasi, Illich (1983:63) menyatakan bahwa

“rakyat biasa harus mampu bertanggungjawab atas kepentingan dan

kesejahteraan sendiri. Oleh karena itu, rakyat harus diberi kesempatan

untuk ikut bertanggungjawab dalam semua bidang kehidupan baik

dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi,

perencanaan pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973:78)

menyatakan bahwa “elit pembuat keputusan harus menyadari

pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik”

Tolok ukur keotentikan pembangunan ialah apakah rakyat yang

sebelumnya hanya diperlakukan sebagai obyek yang sekedar tahu dan

melaksanakan, kini diajak untuk berpartisipasi sebagai subyek aktif

yang sadar dan bertindak secara aktif dalam mencapai tujuan hidup

sendiri. Bertitik tolak dari pandangan ini, pemahaman tentang konsep

partisipasi perlu diperluas tidak hanya ditekankan dalam bentuk

pemberian dana, barang sebagai masukan instrumental, melainkan

Page 319: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

307

perlu dikembangkan pula berbagai bentuk partisipasi lain seperti

paritipasi dalam hal waktu, pemikiran dan gagasan, kepercayaan dan

kemauan. Rugh dan Bossert (1998:141) menyatakan bahwa

masyarakat dan keluarga dapat diajak untuk berpartisipasi dalam

masalah pendidikan atau berinteraksi dalam dua belas langkah berikut

ini:

1. Advocating enrollment and education benefits 2. Ensuring regular students attendance and completion 3. Constructing, repairing, and improving facilities 4. Contributing in-kind labor, materials, land and funds 5. Identifying and supporting local teacher candidates6. Making decisions about school location and schedules7. Monitoring and following up teacher and students attendance 8. Forming education committees to manage schools 9. Attending school meetings to know about children’s work 10.Providing skill instruction to know about children’s work 11.Helping children with studying 12.Gathering more resources and solving problems through the

education bureaucracy.

Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan

pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi

program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite

sekolah/madrasah. Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri

dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan

dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,

sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai

hubungan hirarkis. Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga

mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan

Page 320: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

308

dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,

sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat

satuan pendidikan.

Kalau ditinjau secara pendekatan sistem yang mempergunakan

tiga aspek masukan, proses dan keluaran sebagai titik pengkristalan,

maka masukan pendidikan berbasis masyarakat adalah peserta didik

yang datang dari masyarakat, proses pendidikan berbasis masyarakat

terjadi di dalam masyarakat itu, dengan masukan sumberdaya dan

masukan lingkungan, asalnya terutama dari masyarakat itu sendiri,

serta keluarannya berlangsung di dalam masyarakat itu.

Yang ditekankan dalam hal ini adalah bahwa mestinya

tanggungjawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu

sendiri. Masyarakat setempat adalah stakeholder utama dari pendidikan

di tempat itu. Masyarakat setempat bukan hanya sebagai penonton

yang kadang-kadang diundang dalam permainan. Mestinya mereka itu

berhak untuk menjadi pemain, bahkan menjadi pemain utama. Itu akan

lebih jelas bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini.

Selama ini, pendidikan seolah-olah adalah pendidikan

Pemerintah, masyarakat hanyalah klien/pelanggan belaka, ataupun

dapat dikatakan konsumer pendidikan semata-mata. Masyarakat

kadang-kadang dilibatkan, diundang ikut dalam kegiatan pendidikan

(community involvement), tetapi tidak berperan serta (community

participation).

Page 321: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

309

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bergesernya paradigma

pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara

pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang

sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan

semata kepentingan negara.

Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia

ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari

proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan

lingkungannya dalam artiyang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat

harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah

yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.

Namun dalam kenyataannya, arti pembangunan mengalami

gelombang pasang sesuai kebutuhan dan tuntutannya. Pada saat di

mana suatu program pembangunan didominasi oleh peran pemerintah

dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu hanya

ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-program

pembangunan itu.

Sebaliknya, apabila kemudian peran masyarakat kuat dan

ditempatkan sebagai subjek, maka akan bermakna sebagai upaya

pemberdayaan atau penguatan masyarakat, baik secara institusional

maupun perseorangan anggota masyarakat (Karsidi, 2002:21).

Page 322: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

310

Memang selama ini pendidikan dapat dikatakan semuanya

terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan

dari pusat, sarana/prasarana ‘diberikan’ dari pusat, uangnya ditentukan

dari pusat; semuanya mau diseragamkan dari pusat. Yang terjadi

adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak biasa berkecimpung di

dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka.

Sekolah adalah sekolahnya Pemerintah, sekolahnya guru-guru,

negeri atau swasta. Yang dilematis adalah siapa yang disebut

masyarakat itu. Di dalam otonomi daerah, masyarakat diberi batasan

masyarakat Kabupaten. Tetapi tentu di dalam suatu negara kesatuan

masyarakat kabupaten adalah bagian dari masyarakat provinsi dan

selanjutnya adalah bagian dari masyarakat negara.

Bangsa Indonesia bukanlah federasi masyarakat kabupaten,

jadi meskipun otonomi daerah menyebut otonomi daerah

kabupaten/kota, itu tidaklah berarti bahwa masyarakat kabupaten

terpisah dari keseluruhan masyarakat negara kesatuan. Pertanyaan

sekarang di dalam konsep pendidikan berbasis masyarakat, apakah

yang menjadi tanggungjawab masyarakat setempat dan apa yang

menjadi tanggungjawab masyarakat nasional?.

Di dalam pendidikan berbasis masyarakat seyogianya yang

mengetahui kebutuhan pendidikan bagi warganya adalah masyarakat

itu: berapa warganya yang harus ditampung di SD dan SLTP atau

Pendidikan Dasar, berapa yang harus ditampung di pendidikan

Page 323: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

311

menengah, berapa yang perlu ditampung di dalam kursus-kursus dan

lain sebagainya. Berapa ruang yang diperlukan dan/atau berapa

gedung yang diperlukan dan di mana harus ditempatkan, berapa biaya

yang diperlukan, berapa guru dan tenaga lain yang dibutuhkan

seharusnya lebih diketahui oleh masyarakat setempat. Tentu untuk itu

semua diperlukan data dan informasi yang akurat.

Dengan demikian diperlukan selain perangkat dinas juga

dibutuhkan suatu perangkat di dalam masyarakat yang menetapkan

kebijakan untuk kebutuhan-kebutuhan di atas, di samping dinas yang

ditugasi untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan yang

ditetapkan oleh masyarakat.

Masalah paling pelik yang dirasakan oleh setiap daerah adalah

tanggung jawab keuangan. Meskipun disebut otonomi pendidikan

termasuk di dalam otonomi daerah tingkat kabupaten/kota, namun

menurut hasil pendalaman peneliti, pendidikan sebenarnya adalah

tanggungjawab bersama sebagai bangsa.

Sebagai bangsa kita bertekad untuk mengadakan wajib belajar

pendidikan dasar 9 tahun bagi semua warga. Itu berarti tidak hanya

bagi daerah/masyarakat yang mampu, tetapi juga bagi daerah yang

kurang kapasitasnya untuk itu. Dengan demikian diperlukan suatu

mekanisme di mana yang kaya membantu yang lemah; mungkin inilah

yang harus pula termasuk ke dalam perimbangan keuangan di antara

pusat dan daerah. Apakah itu diatur dengan alokasi umum atau alokasi

Page 324: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

312

khusus. Apakah grant berdasar jumlah siswa atau jumlah penduduk

dan luas daerah; apakah untuk semua peserta didik ataukah hanya

yang di negeri saja?.

Hasil penelusuran yang dilakukan peneliti terhadap dokumen-

dokumen terkait dengan implementasi desentralisasi pendidikan di

Provinsi Sulawesi Selatan, tidak ditemukan satupun klausul yang

menempatkan masyarakat sebagai salah satu unsur penting dalam

penyelenggaraan pendidikan. Dalam Renstra Dinas Pendidikan, ada

disebutkan pada poin program dan kegiatan bahwa:

“mendorong masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota untuk berpartisipasi dalam penuntasan wajib belajar Dikdas 9 tahun”(Renstra Dinas Pendidikan Prov. Sulsel 2003-2008)

Selanjutnya, dikatakan bahwa mendorong perbaikan

manajemen pendidikan dengan memperkuat dan meningkatkan

kemampuan dan profesionalisme pengelola pendidikan, yang dirinci

dengan melakukan pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan melalui musyawarah kerja dewan

pendidikan, komite sekolah, komite PLS, lembaga pendidikan dan dunia

usaha.

Namun demikian, tidak ada satu poin kegiatan pun dalam

rincian yang menindaklanjuti bentuk atau kegiatan yang menunjukkan

digerakkannya partisipasi masyarakat. Padahal Secara konseptual,

Page 325: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

313

penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan

demokrasi, pemerataan dan efisiensi.

Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan

demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang

demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan

pembangunan. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak

antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat,

penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah

diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang

besar untuk mendukung pemerintah lokal.

Kotter (1997:53) menyatakan bahwa lembaga yang

terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih

fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan

dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif,

dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen

dan lebih produktif.

Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216)

menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi

ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh

keputusan yang lebih baik.

Konsepsi partisipasi masyarakat yang dimaksudkan oleh

pemerintah daerah, berdasarkan hasil pengamatan peneliti hanya

dalam bentuk ”komite sekolah” sebagai pengganti BP-3 dan adanya

Page 326: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

314

dewan pendidikan di tiap tingkatan. Mengenai tugas dan fungsinya

menjadi beragam dan cenderung tidak optimal. Komite sekolah, banyak

yang hanya menjadi “stempel” bagi kebijakan-kebijakan sekolah atau

bahkan hanya sekedar bentuk formal untuk melegitimasi kehendak

undang-undang. Hal ini bisa terjadi karena sosialisasi konsep

desentralisasi pendidikan tidak maksimal dilakukan oleh pemerintah

daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Hal

ini dapat dilihat dari tanggapan responden atas butir pertanyaan tentang

sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat

Tabel 13Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Yang Dilakukan

Terkait Dengan Kebijakan Desentralisasi Pendidikan

No Kategori Responden Total

Eksekutif Legislatif Lainnya1 Optimal 7 7% 9 9% 5 5% 21 / 21%2 Kurang Optimal 19 19% 28 28% 8 8% 55 / 55%3 Tidak Optimal 4 4% 3 3% 17 17% 24 / 24%

Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%Sumber : Kuisioner Penelitian setelah diolah, 2009

Berdasarkan tabel tersebut, tergambar bahwa dari 100

responden penelitian hanya 21% yang menyatakan sosialisasi

pelaksanaan desentralisasi pendidikan berjalan optimal, selebihnya

55% menyatakan kurang optimal, dan 24% responden menyatakan

tidak optimal. Upaya menggerakkan partisipasi masyarakat melalui

sosialisasi oleh pemerintah provinsi ataupun pemerintah daerah masih

kurang optimal, hasilnya tentu bisa ditebak.

Page 327: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

315

Masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam

penyelenggaraan pendidikan menjadi terlupakan karena sudah

“diwakili” oleh lembaga yang bernama “Komite Sekolah” dan “Dewan

Pendidikan” sebagai perwakilan masyarakat pemanfaat pendidikan.

Pada dasarnya, partisipasi masyarakat telah terjadi di sekolah

dalam praktik penyelenggaraan musyawarah maupun pembentukan

institusi lokal. Dua jenis kebijakan pemerintah tentang Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah-sekolah tingkat dasar dan

menengah melalui pembentukan Komite Sekolah serta Majelis Wali

Amanah (MWA) diperguruan tinggi adalah contoh dari bentuk

perwujudan mekanisme dan struktur kelembagaan untuk menyalurkan

partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan.

Masalahnya adalah apakah kedua contoh kelembagaan tersebut

telah mampu menjadi saluran partisipasi yang benar-benar mewakili

masyarakat yang seharusnya diwakilinya. Lebih dari itu, apakah

lembaga-lembaga tersebut telah menjalankan fungsi penyaluran

partisipasi masyarakat dari yang seharusnya disalurkan. Selama ini

keterwakilan dalam suatu organisasi atau forum biasanya diserahkan

kepada warga negara yang digolongkan sebagai tokoh masyarakat

atau elit. Namun cara seperti ini terkadang justru menyebabkan warga

biasa (yang bukan tokoh) tidak akan mampu menjadi bagian dari forum

dan pada gilirannya tidak tersalurkan pula aspirasinya. Komponen-

komponen masyarakat baik orang tua siswa, atau kelompok-kelompok

Page 328: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

316

masyarakat lainnya di luar sekolah, seharusnya mempunyai tanggung

jawab mengembangkan pendidikan secara mikro yaitu dalam lingkup

pendidikan di sekolah dan secara makro adalah untuk pengembangan

sumber daya manusia bangsa.

Penelusuran yang dilakukan peneliti dengan melakukan

konfirmasi kepada masyarakat ditemukan bahwa masyarakat banyak

yang tidak paham bahkan tidak tahu sama sekali apa yang dimaksud

dengan komite sekolah, siapa anggotanya, dari mana asalnya, apalagi

rincian tugas-tugasnya. Masyarakat hanya tahu kalau pendidikan di

daerahnya sudah gratis pembayaran sampai tingkatan SLTA, kecuali di

beberapa daerah yang masih ada pungutan untuk seragam dan

sumbangan sukarela orang tua yang diputuskan bersama dengan

komite sekolah.

Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan

pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan

yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan

dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi,

humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan.

Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan

unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orang tua dalam

hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi

pendidikan. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk

Page 329: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

317

memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih

banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah

dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan

sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk

memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,

desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan

kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif

dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya

manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan

daerah.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tanggung

jawab pengembangan pendidikan sebagai proses sosialisasi adalah

berada pada orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat yang

berkepentingan. Tanggung jawab tersebut tidak pernah lepas tetapi

pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma

pembangunan sentralistik.

Oleh karena paradigma tersebut telah bergeser menuju kepada

peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali partisipasi

masyarakat, maka perlu segera dilakukan upaya pemulihan dan

pengembalian tanggung jawab masyarakat terhadap pengembangan

pendidikan baik dalam skala mikro maupun skala makro, karena

sebenarnya yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah justru

masyarakat itu sendiri.

Page 330: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

318

Mengacu pada lingkup partisipasi masyarakat, maka dalam

pengembangan pendidikan, masyarakat harus dilibatkan sejak dari

proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya.

Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain

kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan non kurikuler sampai

pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar

dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang

partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di

lembaga-lembaga pendidikan lainnya non sekolah, ruang partisipasi

tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan

pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-

lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Menurut penulis, cara untuk penyaluran partisipasi dapat

diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-

masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga

pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang

kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan

kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi

masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua

dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk

kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam

pengembangan pendidikan.

Page 331: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

319

2. Peranan Komite Sekolah

Peningkatan mutu pendidikan dilakukan di tingkat manajemen

sekolah dengan memberdayakan Komite Sekolah dan membangun

Tata Kelola Yang Baik (Good Governance) dalam ketentuan

perundang-undangan setiap sekolah diwajibkan mempunyai Komite

Sekolah yang dipimpin bukan oleh guru atau kepala sekolah,

melainkan salah satu orang tua atau wali murid.

Sebagaimana dilihat dari temuan penelitian Komite Sekolah di

sekolah-sekolah adalah orang tua siswa/wali siswa yang punya

pengaruh di masyarakat, penunjukan tersebut dimaksudkan untuk

memberikan kontribusi baik pemikiran maupun sumber daya lainnya.

Namun kenyataan dilapangan jauh berbeda dari yang diharapkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Riant Nugroho misalnya di

Kabupaten Jembrana pada tahun 2006 mengemukakan bahwa

Kabupaten Jembrana sebagai salah satu kabupaten di Bali melakukan

terobosan, salah satu bentuknya adalah keberadaan Bupati sebagai

Ketua Komite Sekolah. Keputusan ini diambil dalam konteks

memberikan contoh model pengelolaan komite sekolah yang

dikehendaki oleh kebijakan pendidikan di Jembrana.

Menurut Riant Nugroho (2008:134) Pendekatan model ini relatif

lebih efektif dalam membangun kualitas manajemen dari komite-komite

sekolah di Jembrana dibanding model pelatihan atau pembekalan

kompetensi pengelolaan komite sekolah. Namun demikian patut

Page 332: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

320

dipertanyakan keberadaan Bupati sebagai Eksekutif Puncak di

Kabupaten berpotensi menimbulkan konplik kepentingan yang dapat

mengganggu efektivitas dari kinerja komite sekolah. Kritikan ini tetap

muncul meski keberadaan Bupati hanya sebagai simbol kepedulian

yang tinggi kepada Komite Sekolah, khususnya untuk membangun

kontestasi antara manajemen sekolah dengan para pihak yang terkait

secara langsung, selanjutnya Riant Nugroho menambahkan pilihan ini

dapat dinilai strategis, karena dengan perkembangan pola manajemen

pendidikan yang berbasis sekolah (school based management) maka

terdapat kecendrungan dari manajemen sekolah menjadi organ

struktural yang otoriter.

Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan

Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite

sekolah. Selain itu dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, juga

mengatur keberadaan Komite Sekolah, dalam kekentuan Pasal 56 ayat

(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan

berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan

pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,

serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Ketentuan tersebut diatas idealnya memberikan otoritas bagi Komite

Sekolah untuk berimpropisasi dalam mendukung peningkatan

pelayanan pendidikan, penelitian dilapangan menunjukkan bahwa

Komite Sekolah tidak berperan secara maksimal khususnya dalam

Page 333: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

321

pengambilan kebijakan pendidikan, bahkan terkesan menempatkan

Komite Sekolah sebagai “tukang stempel” eksekutif sekolah”

Kebijakan Program Pendidikan Gratis yang canangkan

Gubernur dan diselenggaran dibeberapa kabupaten/kota berdampak

tidak maksimalnya peran komite sekolah, pembatasan-pembatasan

ataupun larangan yang mengiringi pelaksanaan pendidikan gratis

membuat masyarakat pasif, sementara banyak kebutuhan sekolah

belum terpenuhi dari alokasi anggaran pendidikan dalam APBD

Kabupaten/kota maupun Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari

Pemerintah. Jika sekiranya Pemerintah Kabupaten/kota secara arif

melihat animo masyarakat mendorong penyelenggaraan pendidikan,

maka pembatasan partisipasi masyarakat seperti yang terjadi di

Kabupaten Gowa tidak perlu terjadi, masyarakat perlu diberi ruang

dalam bentuk partisipasi nyata sesuai yang disyaratkan undang-

undang.

Di Kota Makassar, ruang bagi partisipasi masyarakat tetap

terbuka, sepanjang masyarakat itu sendiri yang menginginkan,

besarnya partisipasi orang tua siswa juga tidak ditentukan (sukarela)

sebagaimana dikemukakan Muhyiddin (wawancara 17/02/2010)

Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan

secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti

bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui

oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia

Page 334: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

322

persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon

anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota,

proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti

bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya

menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun

penggunaan dan kepanitiaan.

Upaya peningkatan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam

pengelolaan dan peningkatan mutu sekolah dikukuhkan dengan

mencantumkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah

termaktub dalam pasal 56 Undang-Undang No 20 Tahun 2003.

Dasar hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk

pertama kalinya adalah Undang-Undang No. 38 tahun 2007 tentang

Program Pembangunan Nasional (Propenas), Rumusan Propenas

tentang pembentukan Komite Sekolah yang sebelumnya telah

dijalankan dalam bentuk Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.

044/U/2002 yang merupakan acuan utama pembentukan Komite

Sekolah. Disebutkan sebagai acuan karena pembentukan Komite

Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau kelompok satuan

pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan

pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan

Komite Sekolah dapat berbeda di setiap satuan pendidikan atau

kelompok satuan pendidikan.

Page 335: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

323

Namun demikian ada prinsip yang harus difahami dalam

pembentukan Komite Sekolah. Secara terinci pelaksanaan Pasal 56 UU

ini dijelaskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 044/U/2002. Prinsip yang dimaksud adalah

transparan, akuntabel dan demokratis.

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan

dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan

pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai

unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite

sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang

tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang

peduli pendidikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 butir 24 dan

25. Kata “partisipasi masyarakat” dalam pembangunan menunjukkan

pengertian pada keikutsertaan mereka dalam perencanaan,

pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan

(United Nation, 1975). Dalam kebijakan nasional kenegaraan saat ini,

melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan atau

partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan adalah

merupakan suatu konsekuensi logis dari implementasi Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya

dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,

penikmatan hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff. 1980).

Page 336: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

324

Secara lebih rinci, partisipasi dalam pembangunan berarti mengambil

bagian atau peran dalam pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan

mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga,

waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan

menikmati hasil-hasilnya (Sahidu, 1998).

Selama ini, penyelenggaraan partisipasi masyarakat di

Indonesia dalam kenyataannya masih terbatas pada keikutsertaan

anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-

program pembangunan saja. Kegiatan partisipasi masyarakat masih

lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah

atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut

menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol

masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.

Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya

anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari

kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu

sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi

masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok,

bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat,

serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.

Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari

masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila

Page 337: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

325

terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2)

adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi.

Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang

bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan

kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi

kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari

warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi

kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka

partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan

kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan

oleh negara atau penyelenggara pemerintahan untuk warga atau

kelompok dari suatu masyarakat, maka tidak mungkin juga partisipasi

masyarakat itu terjadi.

Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam

pengembangan pendidikan di Indonesia. Perlu ditumbuhkan adanya

kemauan dan kemampuan keluarga/warga atau kelompok masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebaliknya juga

pihak penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan perlu

memberikan ruang dan/atau kesempatan dalam hal lingkup apa, seluas

mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan

mekanisme bagaimana partisipasi masyarakat itu dapat dilakukan.

3. Peranan Dewan Pendidikan

Page 338: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

326

Seperti diketahui bahwa sebelum otonomi daerah diberlakukan

melalui UU No. 22 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi UU No. 32

Tahun 2004, peran pemerintah sangat dominan. Kebijakan dan

perencanaan pendidikan semua terpusat ditangan Pemerintah,

sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana.

Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas

masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di

dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan

tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Masyarakat

tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan.

Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai

constituent dari sistem pendidikan nasional yang ikut mentukan

keberhasilan pendidikan , telah kehilangan peranannya dan tanggung

jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu

apa yang disebut Tilaar (1999) sebagai obyek dari sistem yang otoriter.

Salah satu inti desentralisasi manajeman pendidikan adalah

pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan sebagai instrumen

pemanusiaan dan kemanusiaan. Kepmendiknas No. 044/U/2002

tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

tidak mengatur Dewan Pendidikan Provinsi. Merujuk pada jiwa

Kepmendiknas ini Dewan Pendidikan adalah badan yang mewadahi

peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan

dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Badan ini bersifat mandiri, tidak

Page 339: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

327

mempunyai hubungan hierarkis atau komando dengan lembaga

pemerintahan daerah. Sifat nonhierarkis dan non komando ini menjadi

sangat relevan pada era otonomi daerah yang maniscayakan

pemberdayaan masyarakat.

Sudarman (2008:128) mengemukakan luas cakupan Dewan

Pendidikan adalah, jalur pendidikan sekolah, dan jalur pendidikan luar

sekolah. Dikemukakan terminologi “pendidikan” itu memuat dimensi

kepelatihan, idealnya program kepelatihan (struktur, fungsional dan

tehnis) terangkum pula dalam lingkup kepedulian Dewan Pendidikan

Propinsi. Dewan Pendidikan memiliki tujuan yang sangat substansial,

seperti diamanatkan dalam Kepmendikas No. 044/U/2002 tanggal 2

April 2002, yaitu Pertama. Dewan Pendidikan memiliki wadah dan

saluran aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kabijakan

dan program pendidikan. Kedua, Dewan Pendidikan meningkatkan

tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat

dalam menyelenggarakan pendidikan. Ketiga, Dewan Pendidikan

menciptakan nuansa dan kondisi transparan. Akuntabel, dan

demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

Cakupan tugas Dewan Pendidikan sebagaimana dikemukakan

Sudarman (2008:129) sangat relevan dengan lingkup substansi

akreditasi sekolah. Komponen yang dinilai dalam akreditasi adalah (1)

kurikulum/proses belajar mengajar, (2) administrasi/manajemen

sekolah, (3) organisasi/kelembagaan sekolah, (4) sarana dan

Page 340: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

328

prasarana, (5) ketenagaan, (6) pembiayaan, (7) peserta didik/siswa, (8)

peran serta masyarakat, (9) lingkungan/kultur sekolah.

Peran Dewan Pendidikan Provinsi, meliputi (1) Pemberi

pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan

kebijakan pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, jalur

pendidikan luar sekolah, program kepelatihan (struktur, fungsional dan

teknis), dan perguruan tinggi, (2) Pendukung (support agency), baik

yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam

penyelenggaraan pendidikan. (3) Pengontrol (controling agency) dalam

rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan serta keluaran

pendidikan. (4) Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD,legislatif) dengan masyarakat, serta

dunia usaha.

Selain itu fungsi Dewan Pendidikan Provinsi dapat penulis

kemukakan, diantaranya : (1) Mendorong tumbuhnya perhatian dan

komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan yang bermutu untuk semua jenis dan jenjang, termasuk

perguruan tinggi. (2) Melakukan kerja sama dengan masyarakat

(perorangan/organisasi), pemerintah, dunia usaha dan DPRD

berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang

bermutu untuk semua jenis jenjang termasuk perguruan tinggi. (3)

Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai

kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang diajukan oleh masyarakat. (4)

Page 341: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

329

Memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada

pemerintah daerah mengenai : a. kebijakan program pendidikan dan

pelatihan, b. kriteria kinerja derah dalam bidang pendidikan dan

pelatihan; c, kriteria tenaga pendidik, khususnya guru/tutor, pelatih,

widyaswara dan kepala satuan pendidikan dan pelatihan; d. kriteria

fasilitas pendidikan dan pelatihan; e. hal-hal lain yang terkait dengan

pendidikan dan pelatihan. (5) Mendorong orang tua dan masyarakat

berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu

pendidikan dan pemerataan pendidikan. (6) Melakukan evaluasi dan

pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, serta

keluaran pendidikan dan kepelatihan.

Apa yang dikemukakan peneliti, adalah pada tataran ideal,

namun kenyataan dilapangan berbicara lain, Dari temuan penelitian,

bahwa kebijakan pendidikan di Sulawesi Selatan didominasi oleh peran

“negara” dalam hal ini “Pemeritah Daerah, sementara peran lembaga

non-negara relatif marjinal . Peran marjinal khususnya dialami oleh

Dewan Pendidikan baik yang berada di Provinsi maupun di

Kabupaten/Kota.

Peran Dewan Pendidikan dalam proses kebijakan pendidikan di

Sulawesi Selatan ditemukan sangat minim. Dewan Pendidikan daerah

pada dasarnya merupakan wadah aspirasi dari para konstituen

(stakeholders) pendidikan di daerah, khususnya dalam “menjaga” agar

kebijakan pendidikan di daerah yang pada awalnya ditujukan untuk

Page 342: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

330

kepentingan pembangunan pendidikan rakyat daerah benar-benar

berjalan sesuai dengan tujuan awal. Peran ini diperlukan dalam

masyarakat yang berkembang menjadi masyarakat konstituen, atau

stakeholders society yang merupakan bagian penting dalam kehidupan

masyarakat dengan demokrasi moderen, Suatu kondisi dimana

lembaga negara berkolaborasi, baik dalam bentuk kerja sama maupun

dalam bentuk pengawasan dan pengendalian dengan lembaga

masyarakat (civil society)

Posisi dewan pendidikan dan komite sekolah difahami dalam

diagram berikut ini

Diagram 7

Lembaga konstituen (stakrholder) dan kebijakan pendidiklan

Sumber : Riant Nugroho (2008:37)

Sebagaimana dipaparkan pada temuan penelitian, Dewan

Pendidikan yang ada di daerah belum berfungsi secara maksimal,

disebabkan struktur organisasi dan sumber daya Dewan Pendidikan

Kebijakan Pendidikan

(Dinas/Pemda)Dewan Pendidikan

Konstituen Luas (Masyarakat

daerah)

Penyelenggaraan Pendidikan

(manajemen Sekolah)

Komite SekolahKonstituen Sempit (Orang tua murid)

Page 343: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

331

belum ditata secara baik, karena terdiri dari para administratur birokrasi

pendidikan. Dengan keterbatasan tersebut menyulitkan Dewan

Pendidikan di daerah melaksanakan tugas-tugasnya.

Marjinalisasi dari peran Dewan Pendidikan berbeda dengan

konsep kebijakan yang menjadi salah satu arus utama pada saat ini,

Riant Nugroho (2008:138) yaitu deliberative policy analysis model, yaitu

model yang mensyaratkan bahwa setiap kebijakan termasuk kebijakan

pendidikan, dirumuskan setelah melalui proses partisipasi yang aktif,

bahkan proaktif dari publik melalui civil society institution-nya. Peran

Pemerintah hanya sebagai legalisator formal saja, Jika dihubungkan

dengan kondisi terkini Dewan Pendidikan baik di Provinsi maupun di

kabupaten/kota yang menjadi obyek penelitian menggambarkan pola

yang dianut adalah “partisipasi terbatas” sebuah konsep yang pertama

kali di perkenalkan oleh ilmuan politik Samuel Huntington, dan menjadi

anutan banyak negara berkembang di Asia pada kurun waktu 1980-

1990.

Page 344: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

332

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan

pendidikan di Provinsi Selatan belum berjalan optimal sesuai

kehendak UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 38 Tahun 2007,

baik dari sisi kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan

prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan serta pengendalian

mutu pendidikan. Hal ini disebabkan antara pemerintah provinsi

dengan pemerintah kabupaten/kota berbeda persepsi dalam

menjabarkan kewenangan yang dimiliki, selain itu karakteristik dan

kemampuan daerah sebagai salah satu penyebab tidak

optimalnya pelaksanaan kewenangan dalam penyelenggaraan

pendidikan.

2. Sinergitas Pemerintah daerah baik Pemeritah provinsi maupun

Pemerintah kabupaten/kota sebagai mitra penyelenggaraan

Page 345: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

333

pendidikan belum bersinergi secara signifikan dalam hal

pembagian kewenangan di bidang pendidikan, hal ini disebabkan

tidak semua pemerintah kabupaten/kota menjadikan bidang

pendidikan sebagai program prioritas, selain itu kesepakatan

besarnya anggaran pendidikan juga menjadi kendala, mengingat

kemampuan finasial pemerintah kabupaten/kota amat terbatas.

3. Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama

pembangunan (dalam bidang pendidikan) hanya terletak ditangan

pemerintah menybabkan masyarakat merasa hanya ditempatkan

”bukan pemain utama” dan berakibat melemahkan kemauan

berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan, kondisi ini telah

merugikan pengembangan pendidikan itu sendiri dan semakin

memberatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara.

B. Saran

Berdasarkan pada permasalahan dan hasil analisis serta

kesimpulan tersebut diatas, maka dapat disarankan sebagai

berikut :

1. Perlunya persepsi yang sama dalam mengoptimalkan

kewenangan pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam

UU Sisdiknas, sehingga berbagai masalah pendidikan

misalnya kebijakan, pembiayaan, kurikulum sarana dan

prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan serta

pengendalian mutu pendidikan dapat diatasi, dengan demikian

Page 346: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

334

model penyelenggaraan pendidikan yang berbasis kualitas di

Sulawesi Selatan dapat terwujud.

2. Perlunya sinergitas Pemerintah, pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota menjalin kerjasama dengan

institusi penyelenggara pendidikan, disamping kerjasama

dengan lembaga-lembaga profesional, seperti perguruan

tinggi ataupun assosiasi-assosiasi profesional untuk

membantu pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota dalam merumuskan kebijakan strategis, dan

perencanaan pendidikan.

3. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,

harus dilibatkan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan,

pemanfaatan hasil dan evaluasinya, disamping itu diperlukan

adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur

mekanisme partisipasi masyarakat terhadap pengembangan

pendidikan, baik dalam skala nasional, daerah, maupun

tingkat penyelenggara pendidikan.

Page 347: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

335

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rosali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme sebagai suatu alternatif. PT. Raja Grafinda Persada, Jakarta.

Abdul Latif, 2007, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upayah Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi.CV.Kreasi Total Media, Yogyakarta.

Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.

Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209218.

Amrah Muslimin. 1978. Aspek Hukum Otonomi Daerah. Alumni , Bandung

Anderson, James., dan David W. Brady, et.al Public Policy and Politic in America. Monterey. CA.Brooks/Cole Publishing Company, 1984.

Anneli Milen, 2006 Capacity Building Meningkatkan Kinerja Sektor

Publik, Pembaruan, Yogyakarta.

Arbi Sanit, Et al (Desember 2000) Penelitian Paradigma Baru hubungan pusat daerah di Indonesia, Format otonomi daerah masa depan

Page 348: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

336

Azyumardi Azra. 2006, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Kompas Jakarta.

Bagir Manan, 1993 Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNSIKA, Kerawan

---------------------, 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

---------------------, 1996, (Ed) Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna menghormati Prof.Dr/R.Sri Soemantri M, SH, Gaya Media Pratama, Jakarta.

----------------------, 2001 Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII; Yogyakarta.

Barry, Norman. 2000. An Introduction to Modern Political Theory ,Macmillan Press LTD, Fourth Edition.

Bovens, M.A.P. (et.al),1979. RechtsStaatenSturing, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.

Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, 1993, Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman Publishing, London, United Kingdom.

Bob Lingard dan Fasal Rizvi. 1992, A reply to Barcan: theorising the ambiguities of devolution.

Bondan Gunawan 2000, Apa itu Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan .Jakarta

B.J. Caldwell. 1993. Accounting for Current and Emerging Patterns of School Management. Decentralising the Management of Australia’s School: A Discussion Paper, National Indsustry Education Forum. Melbourne.

B.J. Caldwell and J.M. Spinks. 1988. Towards the Self-Managing School. The Self-Managing School. London : The Falmer Press.

Corry, J.A. 1957. Democracy Government and Politic, Toronto University Press

Cohen,John M, dan Peterson, Stephen. B 1999, Administrative Decentralization, Kumarian Press, USA.

Page 349: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

337

C.S.T. Kansil 1986. Hukum Antar Tata Pemerintahan (Compa�rative Government) dalam Rangka Perbandingan Hukum Tata Negara. Erlangga, Jakarta.

Chapman, Judith (ed), 1990, School-Based Decision-Making and Management, The Falmer Press, Hampshire, United Kingdom.

Charles Cross dan Stephen Bailey, 1982, Cross and Local Govemment Law, Sweet dan Maxwell, London.

Cliffor Geertz, 1971, “The Integrative Revolution, Priomordial Sentiments and Civil Politics m the New States" dalam L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and Social Change, John Wileh amnd Sons Jnc.

Danim, Sudarman, 2008, Visi Baru Manajemen Sekolah, Bumi Aksara, Jakarta.

David Peterson, School-Based Management and Student Performance, http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed336845.html, akses tgl. 25 Juli 2007.

David B. Truman. 1960. The Government Process, Political Interest And Public Opinion, Alfred A Knoft, New York.

David Osborne dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Eksekutif daerah; Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalamSektorPublik, Pusaka Binaman Pressindo,Jakarta.

D'Entreves, A.P. 1967. The Nation of the State, An Introduction to Political Theory, Oxford University Press, 1967.

Dede Rosyada (2007), Paradigma Pendidikan Demokratis, Kencana Perdana Media Group, Jakarta.

Deddy Mulyana. 2001. Metode Penelitian Kualitatif paradigma Baru dalam

IImuSosial Lainnya. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Deliar Noer. 1983. Pengantar Ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali Jakarta.

Dicey, A.V., 1973. An Introduction to the Study of The Law of The Constitution, St. Martin Press, Mac Millan.

Page 350: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

338

Dye, Thomas R. 1992, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall

Dewey, J, 1927. The Publicand its Problem, Holt, New York

Dilys M. Hill. 1974. Democratic Theory And Local Govern�ment,George Allen & Unwin Ltd.

Dikmenum. 1999. Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.

________. 1998, Upaya Perintisan Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.

Depdiknas (2001) Desentralisasi Pendidikan, Jakarta : Komisi Nasional Pendidikan

Depdiknas, (2002) Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota)

Depdiknas (2002) Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Makro dan Mikro.

Depdiknas (2002), Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota

Depdiknas : SK. Mendiknas No. 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta, Depdiknas.

Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2003, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Sulsel 2003-2008, Diknas Sulsel.

Djojonegoro, Wardiman. 1995. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud.

Djohar MS, 2003, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia,

Yogyakarta; IKIP

Dodi Nandika (2007), Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta, LP3ES

Dror, Yahezkel, Public Policy-Making- Reexamined. San Fransisco: Chandler Publishing Company, 1968

Page 351: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

339

Dunn, William N. Public Policy Analysis : An Introduction. Englewood, Cliffs,N.J,; Prentice-Hall, Inc., 1981

Dwidjowijoto, R.N, Otonomi Daerah; Desentralisasi Tanpa Revolusi Jakarta : Elex Media/Gramedia. 1999

Dye, Thomas R. Understanding Piblic Policy. New Jersey, Englewood Cliffs; Prentice-Hall, Inc., 1972

Easton David, 1953, The Political System, New York: Knopt, 1953

Edward B. Fiske. 1998. Arah Pembangunan Desentralisasi Pengajaran : Politik dan Konsensus. Jakarta: Grasindo.

Engkoswara. 2001. Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung:Yayasan Amal Keluarga.

Fasal Risvi. 1993. Contrasting percentioins of devolution. Quesnsland Teachers Union Professional Magazine.

Fakry Gaffar. (1990) Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21, Jurnal Mimbar Pendidikan,3, Tahun IX, Oktober

Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa.

Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi  dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fauzan. 1999. "Humanisme, Paradigma yang Terabaikan" dalam Alternatif 10 (Januari-Juni, VII). Malang.

Fiske, E.B, (1998) Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus Jakarta: P.T.Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Francois Venter. 2000, Constitutional Comparation, Japan, Germany, Canada &South Africa As Constitutional State, Juta & Co Ltd, and Kluwer Law International, 675 Massachusetts Avenue Cambridge USA.

E.Peach. 1994. Better Management Benefits Everyone. Education Views.

Garvey, John H., And Aleinikooff, T. Alexander. 1989. Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, ST. Paul Minn.

Habermas, J 1989, The Structural Transformation of the Public Sphere:

Page 352: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

340

An Inquary into A Catogorization of Bourgeois Society, Polity Press, London

Hampton, William, 1991, Local Government and Urban Politics, London, and New York, Long Man.

Hamzah Halim, (2009) Persekongkolan Politik Lokal study atas relassi antara Eksekutif dan Legislatif. Makassar: PUKAT Indonesia

Hague, Rod., dan Harrop, Martin. 2001. Comparative Government and Politics Introduction,Palgrave New York, fifth edition.

Hasbullah, (2006) Otonomi Pendidikan (Kabijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Held, David, 1977, Model of Democracy, Polity, Press 65 BridgeStreet Cambridge.

Helco, H, 1972 Reviw Article: Policy Analysis”, British Journal of Political Science, 2.83-108

Helco, H, 1974, Social Policy in Britain and Sweden, Yale University Press, New Haven.Conn.

Heywood, Andrew. 2002, Politic, Paigrave, New York, Secon Edition. Henry B, Mayom, 1960. An Introduction to Democratic Theory . Oxford

University Press, New York

Hungtintong, Samuel P. and John Nelson. (terj) Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta 1990

Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi, Jurnal Administrasi Negara Vol. I, No. 02.

Husen,T. & Postlethwaite, T,N (Eds) (1994) The international encyclopedia of education, London: Pergamon

Husen, H.La Ode, 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit CV Utomo, Bandung.

Husin, Zulkifli dan Sasongko, Rambat Nur.  2002.  Penataan Kualitas dan Gaji Guru di Era Otonomi Daerah.  Bengkulu: Makalah Seminar Nasional  

Page 353: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

341

Hogwood, B.W, and L.A.Gunn, 1984,Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press, London

HR. Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara UII Press, Yogyakarta.

Isbandi Rukminto Adi, 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI).

James William Ife. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision and Analysis (Melbourne: Longman Australia Pty Ltd).

Jimly Asshidiqi 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. PT. Ikhtiar Baru van Hoeve.

Joko Susilo, 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. PINUS Book Publisher, Yogyakarta

John Kotter. (1997) Leading Change, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama

Josef Riwu Kaho,(1991), Prospek otonomi daerah di negara Republik Indonesia, Identifikasi beberapa faktor yang berpengaruh pada pelaksanaannya, Rajawali Press, Jakarta.

Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, 1994, Benchmarking : A signpost to Excellence in Quality and Productivity, John Wiley and Soons, New York, USA

Kartini Kartono, 1992, Pengantar Mendidik Teoritis , Mandar Maju, Bandung.

Kathleen Kubick, School-Based Management, http://www.ed.gov/ databases/ERIC_Digests/ed301969.html, akses tgl. 27 Juli 2007.

Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State, New York Russell & Russell.

Ki Supriyoko, 2004, Pendidikan sebagai Penyangga Peradaban Bangsa.(makalah Politik Pendidikan Nasional PPS UIN Sunan Kalijaga)

Kingsley Price, 1965. Education and Philosophical Though, (Boston, USA: Allyn and Bacon Inc)

Kotler, Philip. at.al 1996, Marketing the Nation. New York; Free Press.

Page 354: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

342

K. Carr, Robert, Marver H.Berntein, Donal H. Marrison 1960 American Democracy in The Theory and Practice. Holt Rinehart and Winston, New York.

Kusnaka Adimihardja, 2001, Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (Bandung: Humaniora

Lawrence M, Friedman, 1975, Legal System, A Social Science Perspective,Russel Sage Foundation, New York.

Lasswell, H.D. 1951a “Democratic Character,”The Political Writtings of Harold D Lasswell, Free, Glencoe, III

____________, 1968, The Policy Sciences”. In The Encyclopedia of the Social Sciences, Vol 2, Macmillan/Free Press, New York.

____________, 1970a “ The Emerging Conception of the Policy Sciences”. Policy Sciences., 1:3-14

____________, 1970b. The Library as A Social Planetarium”. American Librarian, 1: 142-3

____________, 1971, A Pre-View of Policy Sciences, Elsevier, New York.

Laporan Studi Pembiayaan Pendidikan di SMP dan SMA Negeri, Balitbang Depdikbud. Jakarta, 1993.

Lester. James P.& Joseph Stewart Jr. Public Policy An Evolutionary Aproach, Belmont: Wadsworth, 2000.

Lijphart, Arend. 1984. Democracies Patterns of Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Countrys, Yale University New Haven and London.

Lukman, Markus, 1997, Eksistensi Peraturan Kebijakan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi Pascasarjana UNPAD, Bandung.

Marbun, 1992 (2006) DPR, Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Ghalia Indonesia; Jakaarta

Marbun, S.F (penyunting) 2001 Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty. Yogyakarta

Page 355: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

343

Mark Olsen, John Codd & Anne-Marie O’Neil, Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy, London: Sage, 2001

Margaret E.Goertz, 2001. The Finance of American Public Education, Challenger of Equity, Adequacy, and Efficiency, dalam Gregory J.Cizek, ed, Handbook of Educational Policy, San Diego, Academic Press.

Michael Rutz, 2000 , Erziehung 2000; Der Schuler als End produkt dalam majalah Renischer Merkur, 2000

Mustamin Dg. Matutu, dkk, 2004 Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Di Indonesia, Penerbit, UUI Press, Yogyakarta

M. Solly Lubis. 1983. Pergeseran Garis Politik den Perundang�undangan Mengenai Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung.

M. Solly Lubis, 2002 Hukum Tata Negara, Mandar Maju. Bandung

Mac Comick, Neil. 1999. Questioning Sovereignty, Law State, and Nation In The European Commonwealth, Oxford University Press.

Meenakshisundaram, SS dalam S.N and P.C Mathur (ed) 1999, Decentralization and Local Politics, Sage Publications, New Delhi.Thousand Oaks, London.

Miftah Thoha. 2003. Eksekutif daerah dan Politik Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mulyani A.Nurhadi (2001), Pokok Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999, Yogyakarta: Seminar Nasional

Moh. Kusnardi den Harmaily Ibrahim. 1979. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jilid l. Pusat studi HTN - UI, Jakarta.

Moh.Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia Liberty, Yogyakarta.

--------------------------1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES Jakarta dan UII Pres Yogyakarta.

Page 356: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

344

Muddick, Henry, 1966. Democracy Decentralization and Development, Bombay, London, New York: Asia Publishing House.

Ni'matul Huda. 2007. Lembaga Negara dalam Transisi Demo�krasi, UII Press, Yogyakarta.

Nonet, Philippe & Selznick Philip. 1978. Law and Society inTransition, New York: Harper & Row.

Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Nuril Huda. (1998). Decentralization of education in Indonesia: Problem of implementation, Jurnal Ilmu Pendidikan, 5, 3-12.

Oosterhagen, M. 1993. Separation of Powers AsA Form of Control And The Dutch Constitution, dalam Carla M. Zoethout, et al., (Eds.), Control In Constitutional Law, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht/Boston/London.

Page, Edward C, 1991, Localism and Centralism In Europe. Oxford University Press.

Parsons, Wayne. 1995, Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis, Northampton: Edward Elgar.

______________, 2006, Public Policy: Pengantar Teori & Praktek Analisis Kebijakan, Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana Jakarta.

Pascoe, Susan and Robert, 1998, Education Reform in Australia: 1992-97 (a Case Study), The Education Reform and Management Series, Education-World Bank, Australia.

Phillipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Admini�strasi Negara. Bina Ilmu, Surabaya.

Page 357: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

345

------------------------------- 1993. Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

------------------------------- 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Pidato Pengukuhan Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 10 Oktober 1994.

-----------------------------1997, Wewenang, dalam Jurnal Yuridika, Edisi Nomor 5 dan 6 Tahun XII

------------------------------- 1999. Perspektif Prinsif-Prinsif Demokrasi, Peran Serta Masyarakat, Pemerataan dan Keadilan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999. Makalah: Seminar Fakultas Hukum UNAIR: Surabaya.

--------------------------1999. Hubungan Kewenangan Pemerinrtah Daerah dengan DPRD. Makalah: Seminar Nasional, Otonomi Daerah dalam Perspektif Indonesia Baru. Makassar.

Pollit, Christopher, Johnson, Birchall. And eit Putman, Decentralising Public Service Management, London MacMillan 1998.

Potter, Michael.E. 1998 (a) The Competitive Advantage of the Nation, London: MacMillan

Pomalinggo, Nelson 2006, Paradigma Pendidikan Dalam pembangunan Daerah. Pustaka Indonesia Press, Jakarta.

Ranadireksa,Hendarmin (2007) Visi Bernegara Arsitertur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung.

Roger,Everett M.,1995, Diffusion of Innovations, The Free Press, New New York, USA.

Rondinelli, Dennis, A. 1990. Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response dalam Development and Change (London, Newbury Park and New Delhi; Sage), Vol. 21.

RDH. Koesoemahatmadja, 1979. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung

Page 358: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

346

Riant Nugroho D. 2000.Otonomi Daerah; Desentralisasi Tanpa Revolusi. Elex Media Komputindo: Jakarta.

Riant Nugroho, (2008) Kebijakan Pendidikan Yang Unggul, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

R. Harry Hikmat, 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat , Humaniora Utama Press, Bandung.

Said Zainal Abidin, 2006, Kebijakan Publik, Suara Bebas, Jakarta.

Sam M.Chan dan Tati T.Sam, 2005 Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sarundajang, 1996, Pemerintahan daerah di berbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Soehino, 1988, Perkembangan Pemerintahan Di Daerah, Liberty, Yogyakarta.

_________, 1991, 2004, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Edisi I,II, BPFE, Yogyakarta

_________, 2005, 2004, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia), Edisi 2005/2006, BPFE UGM, Yogyakarta

_________,1993. Ilmu Negara, Cetakan II Liberty, Yogyakarta.

Strong, C,F, 1966. Moderen Political Constitution, The English Languane Book Society And Sidwick & Jackson Limited, London

Sidi, Indra Djati. 1999. "Reformasi Pendidikan Menyongsong Milenium ke-3" dalam Buletin Pusat Perbukuan 05 November 1999. Surabaya.

Smith, BC, 1985. Decentralization, The Territorial Dimension of The State, George Allen & Unwin London.

Supriyadi, Dedi. 1997. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV Alfabeta.

Sukismo, B, 2002. Relevansi Pengaturan Pajak Dalam Era Otonomi Daerah. Mimbar Hukum, UGM Yogyakarta, Nomor 40

Suseno, Muchlas, 1998, Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st

Page 359: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

347

Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl), Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soebagio dan Supriatna, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Akademika Pressindo; Jakarta

Susilo, Joko, M, 2007, Pembodohan Siswa Tersistimatis (Pinus Book Publicer. Yogyakarta.

Sutesna, Oteng. 1985. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa

Suyanto. 2001. "Membangun Sekolah yang Efektif" dalam Kompas 26 Januari 2001. Jakarta.

Syaukani, HR. Afan Gaffar, Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Syafiie, Inu, Kencana, 2002, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta.

Syarif Hidayat dan Bheyamin Hoessein, 2001. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, dalam Paradigma Baru Otonomi Daerah, P2p-LIPI

Suwoto, Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta

Thaib, Dahlan, 2000, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Liberty, Cetakan Kedua, Yogyakarta.

The Liang Gie, 1981 (1978) Unsur-unsur Administrasi, Yogyakarta, Supersukses

Tilaar, H.A.R dan Riant Nugroho (2008), Kebijakan Pendidikan Pengantar untuk memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tilaar, H.A.R 1995, 50 Tahun Pendidikan Indonesia, Jakarta Grasindo/Gramedia.

Page 360: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

348

---------------------  1998.  Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan.  Kata Pengantar Makagiansar, Bandung: Remaja Rosdakarya.

---------------------- 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, Magelang, TERA, Indonesia.

--------------------- 2002. Membedah Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.

--------------------- 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Prespektif Posmodernisme Dan Studi Kultural, Kompas Jakarta

------------------ 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis, Rinerka Cipta Jakarta.

Tim Teknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.

Utrech, E., 1990. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru,lakarta.

Warren., J.H., 1952. The Local iovernmentService, George Allen & Unwin Ltd, Museum Street, London.

Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta, Media Presindo.

Verania Andria & Yulia Indrawati Sari (2000) Lampu Kuning Desentralisasi urnal Analisis Sosial AKATIGA,1. Iii-vi.

Victorian's Departement of Education, 1997, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria, Melbourne, Australia.

________, 1998, How Good is Our School: School Performance for School Councillors, Education Victoria, Melbourne, Australia.

Widayati, Sri. 2002. Reformasi Pendidikan Dasar, Grasindo, Jakarta.

Widjaja A.W,1998, Titik berat Otonomi Daerah pada tingkat II, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Widjaya, HAW, 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Page 361: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

349

Willbern, York, “The States as Components in Area Division of Power” dalam Maass, Arthur, Area and Power; A Theory of Local Government (Glencoe, Illinois, the Free Press, 1959).

World Bank Study. 1998, Education in Indonesia: from Crisis to Recovery Education Sector Unit, East Asia and Pacific Regional Office.

WJS. Poerwadarminta, (1998) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jalarta.

Yudoyono, Bambang, 2001, Otonomi Daerah desentralisasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemda dan Angota DPRD, Sinar Harapan, Jakarta.

B. Jurnal, Makalah, dan Pidato Pengukuhan :Bagir Manan. 1989. Susunan Pemerintahan, Makalah, Fakultas Hukum

Unpad, Bandung.--------------------1994. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam

Pembangunan Jangka Panjang ll, Makalah Dalam Lokakarya Pancasila, Unpad, Bandung.

-------------------- 2002. Hubungan Kewenangan Antara Eksekutif daerah (Kepala Daerah) dan DPRD Dalam Penyeleng�garaan Otonomi Daerah, Makalah.

Bambang Purwoko. 2002. Ketidakmatangan Politisi Sipil, dalamMajalah Swara Otonomi Tahun I-No. ~o, Agustus 2002.

Bhenyamin Hoessin. 2002. Tentang Daerah. Makalah, Fisip UI,Jakarta, 2002, hlm.3-7

Edy Priyono (2007) Pembiayaan Pendidikan di Era Otonomi Daerah Masalah dan Prospek. Makalah.

Irtanto, Persepsi Masyarakat Kota Terhadap Otonomi Daerah,dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 46/XXV/III/ 2002, UII, Yogjakarta, 2002, H.274

Jimly Asshiddigie. 2002. Pengorganisasian Kekuasaan Legislatifdan Eksekutif, Artikel dalam Jurnal Keadilan Vol. 2 No. 1 tahun 2002.

Wasitohadi, 2008, (Makalah) Implikasi Paradigma Baru Pendidikan Terhadap Model Perencanaan Dalam Rangka Implemantasi Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Page 362: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

350

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Biro Hukum dan Humas Sekjen Depdikbud, Jakarta, 2003.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Sinar Grafika Jakarta, 2004

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Pedoman Penelitian Tesis dan Disertasi. 2003. Program Pascasarjana Unhas, Makassar.

Peraturan Pemerintah/Inpres/Permendiknas/Perda.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom..

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian UrusanPemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Sarana dan Prasarana.

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Srandar Pembiayaan.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Program Wajib Belajar 9 Tahun (Wajar 9 Tahun)

Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor: 24 Tahun 2007 tentang Sarana dan Prasarana

Page 363: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

351

Peraturan Daerah.Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pendidikan

Peraturan Daerah Kaupaten Gowa Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Gratis.

Peraturan Daerah Kota Pare-Pare Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pendidikan.

Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota Nomor 0413/VI//DIKNAS/2008 tentang Pendidikan Gratis Sulawesi Selatan

Instruksi Bupati Pangkep Nomor 440/125/Hukum tanggal 24 Desember 2005.

D. Artikel dari Media Cetak:

Anita Lie, 2004, Konversi Pembodohan Nasional, Kompas 15 Juni 2004.

Anonim, 2006, Guru dan Ortu Jangan Memproduksi Kekerasan, Kedaulatan Rakyat, 30 A[pril 2006

Anonim, 2006, Bos untuk Buku Pelajaran, Kedaulatan Rakyat 18 April 2006.

Anonim, 2006, Anggaran BOS hanya Gratiskan Satu Buku Ajar, Kompas, 13 Juni 2006.

Anonim, 2006, “Kurikulum Berbasis kebingungan” Kedaulatan Rakyat, 26 Juli 2006.

Budi AM. Syachrun, Apa Kabar Pendidikan Gratis, Artikel Tribun Timur , 8 Juli 2009 , Makassar, hal 4.

---------------------------, Menunggu Gerakan Mendiknas, Opini Fajar, 26 Oktober 2009, Makassar, hal 4

--------------------------, Mengintip Pendidikan Gratis di Pangkep, Portal Dua Berita 2008

Edy Priyono , Perangkap Pendidikan Gratis. Suara Pembaharuan: 11 Februari 2008.

Page 364: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

352

Indira Permanasari, 2005. Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan, Kompas, 03 Mei 2005

Nasrullah Nara, 2003. Akhiri “Tambal Sulam” Pengadaan Guru, Kompas: 17 Desember 2003.

Soelastri, 2001. Fenomena Guru SD Kita, Jumlah Selalu Kurang, Pendidikan Rendah. Kompas, 7 Februari 2001.

Kolom “Menjual Nama Komite dan Koperasi untuk Pungutan, Harian Fajar, 16 Juli 2007.

Kolom “PSB Gelombang Kedua terindikasi “Dimainkan” Harian Fajar, 17 Juli 2007.

E. Disertasi : A. Hamid S. Attamimi. 1999. Peranan Keppres Rl Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenal Keppres yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta.

Andi Pangerang. 1999. Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal ~8 UUD X94,5 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan Di Daerah, Disertasi, Pascasarjana Unpad, Bandung.

Bhenyamin Hoessein.1993. Berbagai FaktorYang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat ll, Disertasi, Pascasarjana UI.

I Gde Pantja Astawa. 2000. Hak Angket Dalam Sistem Ketata�negaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Pascasarjana Unpad, Bandung.

Kamal Hijaz, 2007. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan.

Madjid H. Abdullah. 2007. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah Serdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, Disertasi Pascasarjana Unhas, Makassar.

Suwoto Mulyosudarmo. 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia

Page 365: DISERTASI OTONOMI DAERAH - Unhas

353

Pustaka Utamam Jakarta.

Sjahrudin Rasul. 2000. Tinjauan YuridisAkuntabilitas Penyeleng�garaan Pemerintahan Di Indonesia (Studi Kasus Korupsi Di Indonesia Dalam Era Orde Baru), Disertasi, Pasca�sarjana Unpad, Bandung.

Sodjuangon Sitimorang. 2002. Model Pernbagian Urusan Pemerintahan Antara~Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta.

Syaukani HR. 2003. yang telah dibukukan berjudul: "Akses dan IndikatorTata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik (Accses and Indicators to Good Local Governance)", Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah(LKHK-Otda), Yogyakarta.

F. Kamus dan Ensiklopedia :

Bryan A. Garner, In Chief (Ed), 1999. Biack Law Dictionary, Seventh Edition, West Group ST. Paul, Minn.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Harold Laski. 1957. Encyclopedia of Social Science, Vol V, In the art, Democracy, New York.

Moelyono, Anton dkk, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.