Aan Zulyanto_Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLIKASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA Oleh : Aan Zulyanto, SE.,M.Si (Dosen Fakultas Ekonomi UNIHAZ Bengkulu)

ABSTRACT The failure of centralization strategy done by Orde Baru regime has born demand from local government to have more authority and role for local development. Finally, The demand result the law of Local Autonomy in Indonesia, which are UU No. 22 and 25 /1999 and renewed to UU No. 32 and 33 /2004. Base on the law, local government has broader authority to arrange and manages his own business as according to local potency and resource. Implication of local autonomy and fiscal decentralization in Indonesia at least showed in four aspects following; Firstly, Budgeting transfers from government to local has increased significantly. Second, amount of local government has increased, because of new local government appearance. Third, Local economics performance tends to increase, and happened degradation of poorness number nationally, even level of inequality increasingly wide, because rich area can reduce level of quicker poorness compared to poor areas. Fourth, decentralization has improved public service performance however performance of new local government still below mains area. Key Words; Implication, Local Autonomy, Fiscal Decentralization, Indonesia.

1. LATAR BELAKANG Otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia mulai hangat dibicarakan sejak bergulirnya era reformasi pasca runtuhnya tembok kekuasaan pemerintahan orde baru. Sistem pemerintahan sentralistis yang selama ini dianut pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat luas sehingga memunculkan tuntutan kewenangan yang lebih besar dari daerah untuk melaksanakan pembangunan. Tuntutan ini kemudian melahirkan undang-undang otonomi daerah, yaitu UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No.

25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sekaligus menjadi awal era baru desentralisasi fiskal di Indonesia. Dalam perjalanannya Kedua UU ini mengalami penyempurnaan, yaitu dengan dikeluarkan UU no. 32 tahun 2004 mengganti UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU no. 33 tahun 2004 mengganti UU No. 25 tahun 1999 tentang PKPD. Perubahan terutama berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Dengan lahirnya kedua UU ini, maka sistem hubungan lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan, baik secara vertikal, yakni

hubungan antara pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota, maupun hubungan secara horisontal antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif baik ditingkat pusat maupun Daerah (Hirawan, 2007). Secara prinsipil, munculnya gagasan tentang desentralisasi merupakan suatu antithesis atas struktur politik yang sentralistis. Dengan kata lain, karena struktur politik yang sentralistis cenderung melakukan unifikasi kekuasaan politik pada tangan pemerintah pusat, maka sebaliknya desentralisasi mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan politik, dan/atau wewenang administrasi antara pemerintah pusat dan daerah (Hidayat, 2005). Lebih jauh, mengutip pendapat Allen, Kuncoro (2004) menyatakan bahwa timbulnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equality), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Karena itu dengan penuh keyakinan para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi di Negara dunia ketiga. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana implikasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia, juga mengenai kinerja daerah-daerah pemekaran yang marak terbentuk sejak dimulainya era baru desentralisasi fiskal tersebut.

2. BERBAGAI ARGUMENTASI TENTANG OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL Terminologi desentralisasi tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Berbagai definisi desentralisasi antara lain; o Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup territorial suatu Negara. o Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. o Smith merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki territorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu Negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005). o UU Nomor 33 tahun 2004 menyebutkan bahwa pengertian desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan

kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999): a. Desentralisasi politik yaitu pelimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan b. Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan c. Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan.

Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan insrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administrative melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan. Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi dan otonomi daerah antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena : o Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; o Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; o Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Bahn dan Linn (1992) berpendapat bahwa pendelegasian sebagian urusan keuangan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari pencapaian taraf hidup masyarakat yang lebih baik. Pernyataan ini didukung oleh dua argument sebagai berikut. Pertama, median vote theory yang memaparkan tentang respon dunia usaha atas selera dan preferensi masyarakat daerah. pelayanan publik disesuaikan dengan

kehendak dan permintaan masyarakat setempat. Kedua, fiscal mobility theory yang menggambarkan tingkat mobilitas penduduk antar daerah yang dipicu oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Perbaikan kualitas hidup orang akan mendorong mereka untuk memilih daerah yang menyediakan pelayanan publik yang lebih baik. Selanjutnya Bahl dan Linn (1992) menyatakan bahwa dengan diserahkannya beberapa kewenangan ke pemerintah daerah, diharapkan pelayanan masyarakat semakin efisien dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Karena daerah lebih mengetahui karakteristik daerahnya masing-masing, maka pengeluaran infrastruktur dan sektor sosial akan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Jadi menurut pandangan ini pemerintah daerah dipercaya dapat mengalokasikan dana kepada setiap sektor ekonomi secara efisien daripada yang dilakukan pemerintah pusat. Oates dalam Wibowo (2008) menegaskan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan outcome dari kesesuaian preferensi masyarakat dengan pemerintah daerah yang tercipta karena makin pentingnya peran pemerintah daerah dalam otonomi daerah. Secara teori, pendekatan fiskal kepada pemerintah yang berada di level bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah mempunyai kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibanding pemerintah pusat, sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang benar-benar dibutuhkan di daerahnya. Respon yang diberikan oleh pemerintah

daerah terhadap tuntutan masyarakat jauh lebih cepat karena berhadapan langsung denggan penduduk daerah/kota yang bersangkutan. Argumentasi lain yang mendasari adalah munculnya kompetisi atau persaingan antar daerah akan meningkatkan kesamaaan pandangan antara apa yang diharapkan oleh masyarakat dengan suatu program yang dijalankan oleh pemerintahannya (Davoodi dan Zou, 1998). Sejalan dengan itu, mengutip oates, Wibowo menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpotensi memberikan kontribusi dalam bentuk peningkatan efisiensi pemerintahan dan laju pertumbuhan ekonomi Vazquez dan McNab (2001) mengidentifikasikan dua pola hubungan yang dapat terjadi berkaitan dengan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, yaitu hubungan langsung (direct linkage) dan hubungan tidak langsung (indirect linkage). Hubungan langsung didasarkan argumen Oates yang menyatakan bahwa tanpa disadari, proporsi tertentu dari desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi ekonomi dan memiliki suatu hubungan parallel dalam kebijakan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Dengan demikian, pengeluaran pemerintah dalam bidang infrastruktur dan sosial yang merespon perbedaan lokal dan regional sepertinya lebih efektif dalam meningkatkan pembangunan ekonomi dari pada kebijakan pemerintah pusat yang kemungkinan mengabaikan perbedaanperbedaan tersebut. Effect langsungnya terindikasi pada keunggulan yang dimiliki pemerintah daerah untuk membuat kebijakan pengeluaran publik

yang lebih efisien, sehingga kepuasan yang lebih baik akan diperoleh pembayar pajak di daerah (atas terpenuhinya kebutuhan dan kesukaannya), dengan demikian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan, meskipun mungkin tidak terdapat hubungan langsung (indirect linkages), tetap ada beberapa hubungan tidak langsung (indirect linkages) yang berpotensi muncul, yaitu (Vazquez dan McNab, 2001) ; o Sifat alamiah efisiensi desentralisasi fiskal. Teori dan praktek yang telah diterima secara luas tentang desentralisasi fiskal menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat bertindak secara lebih efisien dibandingkan pemerintah pusat. Ini dapat berarti dua hal. Pertama, dalam jumlah pengeluaran yang sama, pemerintah daerah akan menghasilkan kepuasan atau kesejahteraan individu yang lebih baik dibandingkan dengan pengeluaran tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemahaman pemerintah daerah terhadap kebutuhan dan kesukaan masyarakat lokal akan menghasilkan efisiensi konsumen atau efisiensi alokasi (consumer or allocative efficiency). Kedua, Kemungkinan terjadinya efisiensi produksi (producer efficiency). Artinya, jika anggaran dibelanjakan oleh pemerintah daerah, maka penyediaan jasa atau infrastuktur dalam jumlah yang sama dapat dilakukan pada biaya yang lebih murah, atau anggaran tertentu akan menghasilkan penyediaan layanan atau infrastuktur dalam

jumlah yang lebih banyak ataupun kualitas yang lebih baik. o Persaingan antar pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi Sebuah perspektif berbeda tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi mengatakan bahwa baik buruknya desentralisasi fiskal tergantung pada kemampuan aparat pemerintah daerah untuk secara aktif mendorong pembangunan ekonomi di daerah melalui kebijakan yang kompetitif. Kebijakan persaingan antara pemerintah daerah tersebut dapat berupa pemberian keringanan pajak daerah atau menyediakan berbagai kemudahan/bantuan bagi kegiatan bisnis di lokasi tertentu. Persaingan ini juga memacu pemerintah daerah untuk dapat menyelenggarkan pelayanan dengan biaya yang minimum, dan mendorong terjadi efisiensi produksi di daerah. Pemikiran tentang keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan kesejahteraan masyarakat juga dikembangkan oleh PrudHomme (1995) yang meyakini bahwa desentralisasi fiskal dapat berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi daerah di masa datang. Secara eksplisit dinyatakan bahwa pengeluaran publik terutama penyediaan infrastuktur bagi masyarakat akan lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah karena mereka akan lebih mengetahui apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal. PrudHomme (2003) menyatakan empat area yang menjadi dampak utama dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu; o Effisiensi ekonomi

Umumnya desentralisasi selalu dikaitkan dengan usaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Baik efisiensi alokasi, yaitu Pembangunan yang berdasarkan kebutuhan dan potensi lokal akan menjamin efisiensi economi. o Kestabilan ekonomi makro o Keadilan interpersonal dan interregional, dan o Efisiensi politik Sementara itu, World Bank menyatakan paling tidak ada tiga mekanisme pengaruh desentralisasi fiskal. Argumentasi pertama mengatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi disektor pengeluaran pemerintah, jadi efek dinamis ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu ada hubungan positif antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Argumentasi kedua, bahwa desentralisasi fiskal akan menyebabkan instabilitas makro ekonomi, sehingga akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Artinya jika terjadi instabilitas makro maka desentralisasi akan berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Dan argumentasi yang ketiga mengatakan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan masyarakat akan berbeda antara Negara maju dan Negara berkembang (Khusaini, 2006). 3. OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA Dalam era baru desentralisasi fiskal, Otonomi Daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selanjutnya UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Indonesia, pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrument kebijakan pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain (Mardiasmo, 2009) ; a. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance). b. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. c. Meningkatkan efisiensi peningkatkan sumber daya nasional. d. Tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran. e. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Tidak jauh berbeda, (Siddik, 2009) menjelaskan bahwa tujuan umum program desentralisasi fiskal di Indonesai adalah untuk; (1) membantu meningkatkan alokasi nasional dan efisiensi operasional pemerintah daerah; (2) memenuhi aspirasi daerah, memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan, dan memobilisasi pendapatan daerah dan kemudian nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas,

meningkatkan transparansi, dan mengembangkan partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (4) mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah daerah, memastikan pelaksanaan pelayanan dasar masyarakat di seluruh Indonesia, dan mempromosikan sasaran-sasaran efisiensi pemerintah, dan (5) memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat Indonesia.

Karena beragamnya daerah otonom di Indonesia, dibutuhkan system yang mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar, dan daerah yang kaya membantu daerah yang miskin. Dalam system ini penyerahan wewenang (desentralisasi) akan berbarengan dengan pelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan Tugas Pembantuan. Konseptual Otonomi daerah dalam kerangka NKRI ini dapat dilihat pada gambar berikut;

Gambar 1. Otonomi daerah Dalam Kerangka NKRI

Daerah Otonom

Sumber ; Kuncoro, 2009 S K P ; Desentralisasi (penyerahan wewenang) : Dekonsentrasi (pelimpahan wewenang) : Tugas Pembantuan APBD APBN APBN (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Expenditure assigment menggambarkan perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran lokal public goods meningkat, sedangkan dalam pendekatan revenue assignment menjelaskan peningkatan kemampuan keuangan melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai

Dengan adanya daerah otonom ini, baik dalam lingkup provinsi maupun kabupaten/kota, maka diperlukan penataan kewenangan yang jelas, serasi, dan seimbang. Penataan kewenangan dimaksudkan untuk memperjelas sekaligus menentukan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan secara proporsional sehingga nantinya prinsip money follow function akan betulbetul dapat direalisasikan. Prinsip ini artinya bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah

fungsi yang didesentralisasikan. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumbersumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Secara garis besar penataan kewenangan dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi tersebut dapat dibagi dalam dua jenis urusan, yaitu o Urusan yang sepenuhnya menjadi urusan pemerintah pusat yang meliputi Politil Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama. o Urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Menurut penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintah yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent ada bagian yang menjadi kewenangan pusat, ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi, dan ada bagian yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Untuk mendukung urusan ini, kemudian disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

4. IMPLIKASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA Prinsip pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia pada hakikatnya sejalan dengan pengalaman Negara-negara lain dalam melakukan desentralisasi. Sebagaimana diungkapkan Ter-minassian (1997) bahwa banyak Negara di dunia melakukan program desentralisasi sebagai refleksi atas terjadinya evolusi politik yang menghendaki adanya perubahan bentuk pemerintahan ke arah yang lebih demokratis dan mengedepankan partisipasi. Lebih lanjut Ter-minassian menjelaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi merupakan upaya untuk meningkatkan responsivitas dan akuntabilitas para politikus kepada konstituennya, serta untuk menjamin adanya keterkaitan antara kuantitas, kualitas, dan komposisi penyediaan layanan publik dengan kebutuhan penerima manfaat layanan tersebut. Sejak diberlakukan secara efektif pada 1 Januari 2001, UU otonomi daerah telah membawa berbagai perubahan penting dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat pada aspek berikut; (i) Transfer ke daerah, (ii) Fenomena Pemekaran Daerah, (iii) Kinerja Perekonomian Daerah, dan (iv) Kinerja Pelayanan Publik. a. Transfer ke daerah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang sangat signifikan. Pada awal desentralisasi fiskal, transfer ke daerah berupa Dana Perimbangan

(DAPER) hanya sebesar Rp. 81,1 triliun, dan meningkat sebesar 16,8 persen di tahun 2002 menjadi Rp. 94,7 triliun. Tahun 2006 Dana Perimbangan mencapai Rp. 222,2 triliun atau meningkat sebesar 55,2 persen dari tahun sebelumnya.

Sampai tahun 2008, besarnya dana perimbangan telah mencapai Rp. 278,7 triliun. Secara jelas, besarnya transfer ke daerah ini dapat dilihat pada gambar berikut;

Gambar 2 Perkembangan Dana Perimbangan Tahun 2001 2008

Sumber ; Depkeu, NK RAPBN 2009 dan NK RAPBN 2010. Berdasarkan gambar di atas juga dapat dilihat bahwa sebagian besar dana perimbangan yang ditransferkan kepada pemerintah daerah adalah berupa Dana Alokasi Umum (DAU), diikuti oleh Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Besarnya DAU hingga tahun 2008 mencapai Rp. 179,5 triliun rupiah atau sekitar 64,4 persen dari total dana perimbangan pada tahun yang sama. Secara absolut, besarnya DAU ini meningkat jauh dari jumlah DAU pada tahun 2004 yang hanya sebesar Rp. 60,3 triliun, akan tetapi secara proporsi DAU tahun 2008 ini sedikit menurun dibandingkan tahun awal desentralisasi yang mencapai 74,3 persen. Sementara itu, porsi DBH menunjukkan trend yang semakin baik. Tahun 2008 DBH mencapai Rp. 78,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan DBH tahun 2001 yang sebesar Rp. 20,7 triliun. Secara proporsi, DBH ini juga mengalami peningkatan, yakni dari 25,5 persen di tahun 2001 menjadi sebesar 28,1 persen dari total dana perimbangan pada tahun 2008. Begitu juga jika dilihat pada transfer DAK tahun 2008 yang telah mencapai Rp. 20,7 triliun. Jumlah DAK ini jauh lebih besar dibanding DAK tahun 2003 yang hanya sebesar 2,7 triliun,

bahkan pada tahun 2001 dan 2002, transfer DAK ini belum dialokasikan ke dalam dana perimbangan untuk pemerintah daerah. Meskipun demikian, selama pelaksanaan otonomi daerah ini kontribusi PAD dalam struktur penerimaan daerah relatif masih kecil, terutama PAD kabupaten/kota yang masih di bawah satu digit dan cenderung terus mengalami penurunan. Hingga tahun 2006, rata-rata kontriobusi PAD

kabupaten/kota hanya mencapai 6,8 persen atau lebih kecil dibandingkan masa awal otonomi daerah yang mencapai 10 persen lebih. Namun berbeda pada kondisi di daerah kabupaten/kota, kontribusi PAD provinsi masih cukup besar dan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 ini porsi PAD provinsi mencapai 54 persen, jauh meningkat dibandingkan tahun 2001 yang hanya sebesar 32 persen

Tabel 1. Pendapatan Pemerintah Daerah (%) Tahun Daerah 1999/2000 2000 Provinsi 100 100 PAD 37.22 32.3 Dana Bagi Hasil 18.66 15.94 DAU/DAK 44.12 51.76 Penerimaan Dari Pemerintah 1999/2000 2000 Kabupaten/Kota 100 100 PAD 10.31 9.04 Dana Bagi Hasil 12.39 11.31 DAU/DAK 77.3 79.65 Penerimaan Dari Pemerintah Sumber ; Kuncoro, 2009 b. Pemekaran Daerah atau Pembentukan Daerah Baru Selain transfer ke daerah yang mengalami pelonjakan drastis, desentralisasi dan otonomi daerah ini juga diwarnai oleh maraknya pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Jika pada tahun 1998 jumlah provinsi yang ada di Indonesia berjumlah 27 propinsi, maka pada tahun 2006 bertambah

2001 100 32.32 25.89 41.88 2001 100 4.99 22.43 72.58

2006 100 54.48 23.8 20.33 1.39 2006 100 6.8 12.42 76.1 4.68

menjadi 33 propinsi atau meningkat 22,2 persen. Begitu juga daerah kabupaten yang hanya semula hanya berjumlah 274 pada tahun 1999, di tahun 2006 mencapai 348 kabupaten atau meningkat 27 persen. Sedangkan daerah kota yang semula berjumlah 70 menjadi 86 daerah di tahun 2006. Pada Tahun 2008 jumlah kabupaten telah mencapai 387 dan kota 96 daerah, sehingga total daerah kabupaten/kota pada tahun 2008 sebanyak 483 daerah.

Gambar 3 Perkembangan Jumlah Pemerintahan Daerah Di Indonesia Tahun 1998 2008

Sumber ; BPS, Indikator Sosial Ekonomi Indonesia, Maret 2009 Pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah tersebut terjadi secara luas, tidak hanya terjadi pada daerah yang secara geografis kaya akan sumber daya alam ataupun memiliki potensi industri dan perdagangan yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan daerah, tetapi juga terjadi pada daerah yang miskin sumber daya alam dan terbelakang secara ekonomi, sehingga pada akhirnya pemekaran tersebut manjadi beban fiskal bagi APBN. Penerimaan daerah sangat bergantung pada bantuan keuangan/transfer pemerintah pusat, terutama DAU, artinya pemekaran ini tidak mencerminkan timbulnya kemandirian sebagaimana tujuan dilaksanakannya otonomi daerah. Fenomena ini telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan di antara para pakar. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Fitrani et al. (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa, karena adanya tuntutan untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan

jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai-partai politik yang memang terus tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan aspirasinya mendorong terjadinya pemekaran. Di sisi lain, banyak pula argumen yang diajukan untuk mendukung pemekaran, yaitu antara lain adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, serta memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan pemerataan pembangunan. Alasan lainnya adalah diupayakannya pengembangan demokrasi lokal melalui pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebih kecil (Ida, 2005). Terlepas dari masalah pro dan kontra, perangkat hukum dan perundangan yang ada, yaitu Peraturan Pemerintah No. 129/2000 dan tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, memang masih dianggap memiliki banyak kekurangan. Hal ini menjadikan mudahnya satu proposal pemekaran wilayah pemerintahan diloloskan. Sebagai respon, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 sebagai ganti PP No. 129/2000 tersebut. Beberapa studi secara parsial telah mencoba mengkaji apa yang terjadi di beberapa daerah otonom baru. Bappenas (2005) telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan Daerah Otonom Baru (DOB). Kajian ini secara khusus mempelajari permasalahan yang terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Penelitian berlangsung di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kabupaten

Sekadau (Kalimantan Barat), Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB) dan Kota Tasikmalaya (Jawa Barat). Hasil kajian menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, tapi ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap tinggi. Terjadi pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan keuangan daerahnya. Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136 kabupaten/kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia. Menurut hasil evaluasi terhadap aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar, studi LAN (2005) menunjukkan bahwa rasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah mengalami penurunan. Sedangkan pada bidang kesehatan dan pendidikan terjadi peningkatan infrastruktur yang cukup berarti. Kemudian, dalam hal demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak pilih

pada pemilu, angka partisipasi cukup tinggi. Meski studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005) melakukan penelitian Efektivitas Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi, karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat. Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Beberapa masalah timbul, seperti jumlah kelembagaan (SKPD) yang cenderung berlebihan, struktur organisasi yang cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi kelembagaan yang baik. Di sektor keuangan daerah, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan mampu mengelola keuangannya. Problem utamanya adalah rendahnya kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, khususnya PAD. Ditinjau dari aspek aparatur, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya.

Dilihat dari ketersediaan, kualifikasi yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang ada dan struktur yang tersedia. Secara umum, DOB belum mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan di atas. c. Kinerja Perekonomian Daerah Hasil studi Bappenas dan UNDP (2007) mengidentifikasikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah otonom (DOB) lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di daerah induk. Secara umum pertumbuhan ekonomi daerah induk lebih stabil dengan kisaran 5-6% per tahun. Sementara pertumbuhan ekonomi di daerah otonom baru lebih berfluktuasi. Fluktuasi tersebut antara lain disebabkan oleh dominannya sektor pertanian sebagai komponen terbesar dalam perekonomian daerah otonom baru (DOB). Sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan harga, pergantian musim maupun iklim. Akibatnya perubahan sedikit saja pada komponen tersebut akan sangat berpengaruh pada pembentukan PDRB. Pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil di daerah induk didukung oleh adanya industri pengolahan non-migas yang lebih besar dibandingkan dengan DOB. Peranan sektor industri di daerah induk mencapai 12% dalam struktur PDRB-nya, sedangkan di daerah DOB hanya sekitar setengahnya. Semakin tinggi peran industri pengolahan dalam satu wilayah, maka semakin maju daerah tersebut. Pada periode pemulihan pascakrisis, sektor yang relatif berkembang adalah industri manufaktur. Hal ini menguntungkan bagi daerahdaerah yang sektor manufakturnya relatif besar (Brodjonegoro 2006).

Gambar 4. Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Sumber ; Hasil Studi Bappenas dan UNDP, 2007 Kontribusi PDRB daerah otonom baru dalam total PDRB propinsi ternyata sangat kecil (sekitar 6,5%), lebih rendah dari daerah induk (10%). Hal ini relatif konstan selama periode 20012005. Ini menginsyaratkan, bahwa daerah yang dilepas oleh daerah induk tersebut relatif lebih kecil peranannya dalam perekonomian provinsi. Pemekaran daerah otonom baru tidak menghasilkan daerah yang setara dengan daerah induknya. Rendahnya aktivitas perekonomian di DOB disebabkan antara lain oleh; pertama, pembagian sumbersumber perekonomian antara daerah DOB dan induk tidak merata. Daerah induk biasanya mendominasi pembagian sumber daya ekonomi seperti kawasan industri maupun sumber daya alam produktif. Kedua, investasi swasta di DOB juga relatif kecil sehingga selama lima tahun terakhir tidak banyak terjadi perubahan yang cukup signifikan untuk mendongkrak perekonomian daerah. Ketiga, perekonomian di DOB belum digerakkan secara optimal oleh pemda, baik karena kurang efektifnya programprogram yang dijalankan, maupun karena alokasi anggaran pemerintah yang belum optimal. Berkaitan dengan tingkat kemiskinan, sejak dilaksanakannya sistem desentralisasi, terjadi kecenderungan penurunan tingkat kemiskinan nasional, yaitu dari 24 persen (1999) menjadi 18 persen (2005) dan terus menurun menjadi 15.4 persen di tahun 2008. Meskipun demikian, daerah yang relatif kaya menerima manfaat lebih besar dari program pemulihan ekonomi. Kabupaten/kota yang relatif lebih kaya dapat menurunkan angka kemiskinan sampai dengan setengah dari tingkat sebelumnya, namun kabupaten/kota yang relatif lebih miskin tingkat kemiskinan hanya turun sekitar seperempatnya. Dengan demikian, kesenjangan pendapatan antara kabupaten/kota yang relatif kaya dengan yang relatif lebih miskin menjadi semakin besar. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang relatif kaya tumbuh di atas angka rata-rata nasional, sementara tingkat pertumbuhan di kabupaten/kota yang relatif miskin berada di bawah rata-rata nasional (Kajian Pengeluaran Publik Indonesia, 2007).

Gambar 5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996 - 2008

Sumber; BPS berbagai Tahun d. Kinerja Pelayanan Publik Kualitas pelayanan publik merupakan satu hal yang erat kaitannya dengan pemekaran daerah. Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, antara lain melalui peningkatan dan pemerataan pelayanan publik, termasuk bidang kesehatan dan pendidikan. Jelas bahwa pembangunan fasilitas publik seyogyanya dibarengi dengan peningkatan kualitas dan efektivitas pelayanan itu sendiri, sehingga dapat secara optimal mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hasil studi Bappenas dan UNDP (2007) menunjukkan bahwa Selama periode evaluasi, nampak bahwa kinerja pelayanan publik menunjukkan peningkatan yang cukup memuaskan. Tetapi lebih jauh dijelaskan bahwa perkembangan Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IKPP) DOB sepanjang tahun 2001-2005 berada di bawah daerah induk. Hal ini menjadi gambaran belum optimalnya pelayanan publik di DOB dibandingkan daerah induk. Paling tidak ada beberapa alasan yang menjadi penyebab belum optimalnya pelayanan publik di daerah pemekaran, yaitu: a. Tidak efektifnya penggunaan dana. Adanya pemekaran daerah membuat dana yang tersedia menjadi lebih besar untuk luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama. Seharusnya hal ini mendorong peningkatan pelayanan publik, paling tidak melalui penambahan jumlah sekolah dan jumlah guru. Hal ini sejalan juga dengan upaya lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dari perkembangan indeks pelayanan publik dapat ditunjukkan bahwa penggunaan dana untuk pelayanan publik di DOB ternyata tidak lebih baik dibandingkan di daerah induk. b. Tidak tersedianya tenaga layanan publik.

Alokasi dana pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) seyogyanya mendorong perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan kesehatan dari sisi fasilitas fisik. Keterbatasan perkembangan ekonomi di DOB menjadi satu kendala dalam menarik tenaga pendidik dan kesehatan untuk lebih mengoptimalkan kinerja di daerahnya. Dengan kata lain, selain masalah keterbatasan dari sisi jumlah tenaga pelayanan, kinerja tenaga pelayanan yang ada pun kurang optimal. optimalnya pemanfaatan c. Belum pelayanan publik. Dalam hal infrastruktur terutama jalan, tampak adanya peningkatan yang signifikan di DOB. Namun dari sisi pemanfaatannya secara optimal, masih menjadi tanda tanya. Dari kondisi yang ada, dapat dikatakan bahwa membaiknya kualitas jalan dan pelayanan publik bidang pendidikan dan kesehatan belum dapat menjadi faktor pendorong pembangunan ekonomi di daerah. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah sejauh mana peningkatan pelayanan publik dari sisi fisik ini dapat meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat.

5. PENUTUP Era baru desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. UU ini efektif dilaksanakan mulai 1 januari 2001. Dalam perjalanannya kedua UU ini di revisi menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 sebagai respon untuk melaksanakan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam era baru desentralisasi fiskal ini, daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri sesuai dengan potensi dan sumber daya lokal. Implikasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam pembangunan di Indonesia setidaknya tergambar dalam empat aspek berikut; Pertama, Transfer ke daerah yang mengalami lonjakan signifikan. Kedua, Munculnya daerah-daerah pemekaran yang cukup banyak. Ketiga, kinerja perekonomian daerah cenderung meningkat dan terjadi penurunan angka kemiskinan secara nasional, meski tingkat ketimpangan semakin lebar, karena daerah kaya mampu menurunkan tingkat kemiskinan lebih cepat dibanding daerah-daerah miskin. Keempat, otonomi daerah telah meningkatkan kinerja pelayanan publik akan tetapi perkembangan Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IKPP) DOB sepanjang masih berada di bawah daerah induk.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Maret 2009. Jakarta.

Regional Autonomy Jakarta, Rajawali Pers.

Policy,

Bahl, Roy W. dan Johannes Linn, 1992, Urban Public Finance in Developing Countries, New York Oxpord University Press. Bappenas & UNDP, 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, BRIDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance), Juli 2008. Brodjonegoro, Bambang P.S.. 2006. Desentralisasi sebagai Kebijakan Fundamental untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Mengurangi Kesenjangan Antardaerah di Indonesia, Pidato pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006. Fitrani, Fitria, Hofman Bert dan Kai Kaser. 2005. Unity in Diversity? The Creation of New Local Government in a Decentralising Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(1): 5779. Hidayat, Syarif, 2005. Too Much Too Soon ; Local States Elites Perspective on The Puzzle Of Contemporary Indonesian

Hirawan, Susiyati Bambang, 2007. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia, Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 24 Pebruari 2007 Ida, Laode. 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia, Media Indonesia, Jakarta, 22 Maret 2005.

Khusaini, Mohammad, 2006. Ekonomi Publik - Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, Malang, BPFE Unibraw. Kuncoro, Mudrajat. 2009. Ekonomika Indonesia; Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global, Yogyakarta, UPP STIM YKPN. Kuncoro, Mudradjad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga. Litvack, Jennie, 1999. Decentralization, Washington, DC, World Bank. Mardiasmo. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Era Reformasi:20052008 dalam Abimanyu, Anggito dan Megantara, Andie, Era Baru Kebijakan Fiskal; Pemikiran,

Konsep dan Implementasi, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009. Prudhomme, Remy, 1995. On The Danger of Decentralization, Washington DC, The World Bank, Policy Research Working Paper, 1252. Prudhomme, Remy, 2003. Fiscal Decentralization in Africa; A Framework for Considering Reform, Wiley InterScience Journal, DOI;10.1002/pad.256. Pusat Penelitian dan Pengembagan Otonomi Daerah. 2005, Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri.

Ter-Minassian, Teresa, 1997, Fiscal Federalism in Theory and Practice, Washington, International Monetary Fund. Vazquez, M Jorge dan McNab M Robert, 2001. Fiscal Desentralization & Economic Growth, Working Paper #01-1, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University. Wibowo, Puji, 2008. Mencermati Dampak Desentralisasi Fiscal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Jurnal Keuangan Public, Vol. 5, No. 1, Oktober 2008.

Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. 2005. Laporan Evaluasi Penyelenggaran Otonomi Daerah Periode 1999-2003, Lembaga Administrasi Negara (LAN). Rahmawati, Farida. Desentralisasi Fiskal, Konsep, Hambatan, dan Prospek dalam Yustika, Ahmad Erani, 2008, Desentralisasi Ekonomi di Indonesia (kajian Teorits dan Realitis empiris), Malang, Banyumedia. Siddik, Machfud, 2009. Kebijakan Awal Desentralisasi Fiskal 1999-2004 Dalam Abimanyu, Anggito dan Megantara, Andie, Era Baru Kebijakan Fiskal; Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Jakarta, Penerbit Kompas.