27

Click here to load reader

DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

  • Upload
    dotruc

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

REPRESENTASI CITRA MILITER

DALAM PEMBERITAAN MAJALAH TEMPO

(Analisis Wacana Citra Militer Pada Pemberitaan Majalah Tempo Liputan

Khusus Pengakuan Algojo 1965 Edisi 1-7 Oktober 2012)

Dede Suprayitno

Adolfo Eko Setyanto

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

AbstractMilitary Representation Image In The News of Tempo Magazine (Discourse

Analysis of Military image in Tempo Magazine Special Coverage of Pengakuan Algojo 1965 Edition 1-7 October 2012), Thesis, Communication Study Program, Faculty of Social and Politics. Sebelas Maret University, 2014, 258 pages.

Military has important role in facing 30 September Movement. That past military discourse appears again in the news of Tempo Magazine edition Special Coverage of Pengakuan Algojo 1965. This research focus is for looking at how that military image is being presented again trough the report of Tempo Magazine. In doing analysis, the researcher used Teun A. Van Dijk’s knife discourse analysis which consists of three main pillars, that are text level analysis, social cognition level analysis (journalist), and social context level analysis. After did the text level analysis, it is acquired conclusion that military figurs play role both directly and indirectly in process of PKI mass assassination. Whereas toward the social cognition level (journalist) it is derived conclusion that news text is produced as the effort for implementing social justice. Toward social context level, it is derived conclusion that power and access determine how that military image is formed.Keyword: Image, Military, Indonesian Communist Party

Pendahuluan

Salah satu ideologi yang pernah masuk di Indonesia adalah komunisme.

Komunisme menjejakkan sejarahnya di Indonesia dengan torehan rapor merah.

Tercatat dalam sejarah Indonesia, komunisme—terutama kelompok radikal—dua

kali melakukan coup atau pemberontakan yang didalangi oleh Partai Komunis

Indonesia (PKI). Pemberontakan pertama terjadi di Madiun pada 1948 dan

1

Page 2: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

pemberontakan kedua terjadi di Jakarta pada 30 September 1965. Tahun 1948,

PKI melakukan pemberontakan yang pertama terhadap pemerintahan Soekarno-

Hatta. Sekalipun nampak bayangan tentang tujuan-tujuan komunis ini, partai itu

mendapatkan 13 dari 232 kursi dalam parlemen pertama Republik Kesatuan tahun

1950.1

Saat kelompok-kelompok radikal melancarkan aksi-aksi pemberontakan,

selalu terjadi pertumpahan darah. Indonesia di awal masa kelahirannya selalu

dirundung pergulatan ideologi hingga nyawa saudara sebangsa menjadi taruhan.

Puncaknya terjadi saat munculnya pembantaian besar-besaran orang-orang PKI

maupun orang-orang yang dituduh PKI.

Pembantaian PKI itu dilakukan secara sistematis dengan pola bervariasi dari

suatu daerah ke daerah lain serta di dukung beberapa faktor. Pertama, budaya

amuk yang dipercayai, paling tidak oleh pengamat barat, sebagai unsur penopang

kekerasan. Kedua, konflik di daerah-daerah antara golongan komunis dan

nonkomunis terutama para kiai sudah mulai tampak sejak tahun 1960-an. Ketiga,

militer diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi

oleh media massa yang menyebabkan masyarakat geram.2 Jutaan nyawa akhirnya

menjadi korban dari gejolak politik Indonesia di tahun 1965.

Militer menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah pembunuhan

besar-besaran tahun 1965 tersebut. Sebagai salah satu kelompok sosial yang ada

di masyarakat, militer dianggap turut menggerakkan massa untuk melakukan

penumpasan. Jejak sejarahnya tercatat dengan dibentuknya Komando Operasi

Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) oleh Soeharto. Kopkamtib

mendapat pijakan hukum setelah Soekarno meneken Surat Keputusan

Presiden/Panglima Tertinggi/Komando Operasi Tertinggi ABRI pada 1 November

1965 yang isinya tentang pemulihan keamanan dan ketertiban pasca-30

September.3

1 Edward C. Smith. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, terj. Atmakusumah, dkk. (Jakarta: PT. Temprint). Hal. 97.2 Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas). Hal. 169.3 Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012. Hal. 94.

2

Page 3: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Pada edisi khusus 30 September 2012, Tempo menerbitkan majalah yang

berjudul Pengakuan Algojo 1965. Tempo menghadirkan sisi pemberitaan (angle)

yang menarik, sensitif, dan belum pernah ada berita yang ditulis dengan angle ini.

Tempo menghadirkan informasi dengan narasumber utama para algojo

pembunuhan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang dikupas dari beberapa

sudut pemberitaan.

Dalam pemberitaan tersebut muncul aspek komunikasi diantaranya adalah

media dan pesan. Media sebagai alat untuk menyebarkan informasi berperan

penting dalam menciptakan wacana di masyarakat melalui pesan-pesan yang

disampaikan. Pesan yang diproduksi oleh media tersebut kemudian diserap oleh

komunikan dan memunculkan wacana.

Fenomena tersebut, seperti ditulis John Fiske dalam bukunya berjudul

Cultural and Communication Studies (2011) seperti menggambarkan dua mahzab

utama dalam kajian komunikasi, yakni mahzab proses dan mahzab semiotika.

Proses komunikasi dapat terjadi dari terbitnya pemberitaan majalah Tempo

tersebut. Dari terbitnya pemberitaan tersebut dapat dilihat bagaimana komunikasi

itu didefinisikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan, selain itu, komunikasi

juga dapat didefinisikan sebagai cara untuk menumbuhkan makna melalui wacana

pemberitaan.

Aspek yang ditekankan dalam penelitian ini adalah kajian mahzab semiotika

yang mengukur sejauh mana pesan-pesan yang diproduksi mampu menumbuhkan

makna baru. Melalui metode analisis teks, peneliti mendeskripsikan citra militer

yang hadir dalam pemberitaan.

Rumusan Masalah

Bagaimana citra militer di level teks, dengan analisis Teun A. Van Dijk, itu

dihadirkan dalam pemberitaan Majalah Tempo liputan khusus Pengakuan Algojo

1965 edisi 1-7 Oktober 2012?

3

Page 4: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Tujuan

Mendeskripsikan bagaimana citra militer di level teks, dengan analisis Teun A.

Van Dijk, itu dihadirkan dalam pemberitaan Majalah Tempo liputan khusus

Pengakuan Algojo 1965 edisi 1-7 Oktober 2012.

Tinjauan Pustaka

1. Definisi Komunikasi

John Fiske dalam bukunya berjudul Cultural and Communication Studies

(2011) membagi studi komunikasi menjadi dua mazhab utama. Mazhab pertama

melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Mazhab ini tertarik dengan

bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan

menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan

saluran dan media komunikasi. Mazhab ini melihat komunikasi sebagai suatu

proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind

pribadi yang lain.4

Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna.

Mazhab ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan

orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan

peran teks dalam kebudayaan. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi

tentang teks dan kebudayaan.5 Mahzab kedua ini digunakan oleh peneliti dalam

mengkaji pertumbuhan makna yang terjadi dari objek penelitian.

Masing-masing mazhab menafsirkan definisi komunikasi sebagai interaksi

sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama mendefinisikan

interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi berhubungan

dengan yang lain, atau mempengaruhi perilaku, state of mind atau respons

emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Sementara mazhab semiotika

(mazhab kedua) mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu

sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.6

4 John Fiske. Cultural and Communication Studies. (Yogyakarta: Jalasutra). Hal. 8.5 Ibid. hal. 9.6 Ibid.

4

Page 5: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Kedua mahzab tersebut juga berbeda dalam pemahaman atas apa yang

membentuk pesan. Pada satu sisi, mazhab proses melihat pesan sebagai sesuatu

yang ditansmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan pengikutnya percaya

bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang krusial dalam memutuskan

apa yang membentuk sebuah pesan.7

Bagi semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui

interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Penekanan bergeser pada

teks dan bagaimana teks itu “dibaca.” Dan, membaca adalah proses menemukan

makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks.

Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman

budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks.

Pembaca dengan pengalaman sosial berbeda atau dari budaya berbeda mungkin

menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama.8

2. Pengantar Jurnalistik

Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis,

journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan

sebagai kegiatan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Dengan demikian

jurnalistik bukanlah pers, bukan pula media massa. Jurnalistik adalah kegiatan

yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya.

Curtis D. MacDougall menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan

menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat

penting di mana pun dan kapan pun, jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu

negara demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa

depan—baik sosial, ekonomi, politik maupun yang lain-lainnya. Tak dapat

dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya

mencari berita tentang peristiwa dan menyampaikan berita tersebut kepada

khalayak ramai, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa itu.9

7 Ibid. hal. 108 Ibid.9 MacDougall, dalam Kusumaningrat. Jurnalistik: Teori dan Praktik. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya). Hal. 15.

5

Page 6: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

3. Teori Citra

Citra adalah dunia menurut persepsi kita, atau pictures in our head (Water

Lippman, 1965), yang merupakan gambaran tentang realitas, mungkin saja—tidak

sesuai dengan realitas. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima

melalui berbagai media, utamanya media massa cetak dan elektronik, yang

bekerja membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Dari sudut

pandang ilmu sosial, salah satu pendekatan teoritik tentang penciptaan citra adalah

impression management -manajemen kesan- dimana citra dipandang sebagai

kesan seseorang atau suatu organisasi terhadap orang atau organisasi lain.10

Menurut Nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi

keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya

terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.

Teori image building menyebutkan bahwa, citra akan terlihat atau terbentuk

melalui proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian

(attention filter), dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan

dimengerti (perseived message), yang kemudian berubah menjadi persepsi dan

akhirnya membentuk citra.11

4. Sejarah Partai Komunis Indonesia

Paham komunisme datang dari luar negeri dan mulai ditanamkan di bumi

Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia I yaitu dengan datangnya seorang

Pemimpin Buruh Negeri Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet. Ia adalah seorang

anggota Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial

Demokrat.12

Seiring berjalannya waktu, pemikiran Sneevliet mulai memengaruhi tokoh-

tokoh pergerakkan yang ada di Indonesia, diantaranya adalah Muso dan Semaoen.

Tokoh-tokoh ini kemudian bergerak secara radikal hingga akhirnya lahir Partai

Komunisme Indonesia pada 1914, dengan nama awal Indische Sociaal-

10 Kamaruddin Hasan. “Komunikasi Politik dan Pencitraan: Analsis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia”. (Jurnal, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Indonesia, 2009). Hal. 7.11 Ibid.12 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V. (Jakarta: Balai Pustaka). Hal. 198.

6

Page 7: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia

Belanda) yang merupakan cikal bakal dari Partai Komunisme Indonesia (PKI).

PKI merupakan partai yang berbasis pada nilai-nilai komunisme. Perjuangan

yang diusung PKI kerap melibatkan masyarakat kelas bawah, dalam hal ini adalah

para buruh dan petani, maka dengan waktu yang realtif singkat PKI memperoleh

dukungan massa yang banyak dari kalangan rakyat kelas menengah ke bawah. Hal

ini karena cita-cita komunisme menyangkut kepentingan buruh dan rakyat kecil.

5. Sejarah Militer Indonesia

Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan

tentara. Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dalam sidang PPKI

tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden pada tanggal 23 Agustus

1945 bukanlah tentara sebagai suatu organisasi kemiliteran yang resmi.

Akhirnya, melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 (hingga saat

ini diperingati sebagai hari kelahiran TNI), BKR diubah menjadi Tentara

Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara Keamanan

Rakyat berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada 24

Januari 1946, diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Saat itu di

Indonesia terdapat barisan-barisan bersenjata lainnya di samping Tentara

Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden Sukarno

mengeluarkan keputusan untuk mempersatukan Tentara Republik Indonesia

dengan barisan-barisan bersenjata tersebut menjadi Tentara Nasional Indonesia

(TNI). Penyatuan itu terjadi dan diresmikan pada tanggal 3 Juni 1947.

6. Analisis Wacana

Wacana muncul dari penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa tersebut telah

terpengaruhi oleh konteks sosial yang ada.

“Discourse is a form of language use, and Discourse Analysis (DA) is the analytical framework which was created for studying actual text and talk in the communicative context. Fitch (2005) believes that the early DA focused on the internal structure of texts. With the emergence of Systemic-Functional Linguistics (Hallliday, 1978)”13

13 Forough Rahimi and Mohammad Javad Riasati. “Critical Discourse Analysis: Scrutinizing Ideologically-Driven Discourse”. (Jurnal, Shiraz Branch, Islamic Azad University, Iran, 2011). Hal. 1.

7

Page 8: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Menurut Littlejohn, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam

komunikasi, lebih tepatnya telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.

Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam

komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi

ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren

yang disebut wacana.14

Menurut Alex Sobur, pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau

rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan

secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur

segmental maupun nonsegmental bahasa.15

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan wacana

representasi (discourse of representation). Pawito (2007) menjelaskan wacana

representasi bersifat positivistik modernisme. Peneliti terpisah dari objek yang

diteliti dan mempersepsi objek serta membuat representasi realitas dalam bentuk

pengungkapan bahasa.16

Sumber data penelitian ini adalah Majalah Mingguan Tempo yang memuat

edisi khusus tentang pengakuan algojo dalam peristiwa pembantaian pada tahun

1965 di Indonesia. Edisi khusus tersebut diterbitkan pada edisi tanggal 1-7

Oktober 2012. Selain itu, salah satu wartawan Tempo yakni kepala proyek edisi

liputan khusus Pengakuan Algojo 1965, Kurniawan menjadi objek wawancara

oleh peneliti.

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan memilih berita mana saja yang

mengandung informasi peristiwa pembantaian PKI di tahun 1965. Selain itu,

peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada Kepala Proyek Liputan

Khusus Pengakuan Algojo 1965, Kurniawan di Kantor Redaksi, Kebayoran

Centre Blok A11-A15, Jalan Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta.

14Alex Sobur. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya). Hal. 48.15 Ibid. hal. 11.16 Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara). Hal. 174.

8

Page 9: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Peneliti melengkapi data-data tersebut dengan melakukan penelusuruan

literatur yang berkaitan dengan peristiwa pembantaian PKI tahun 1965. Literatur

pendukung itu antara lain seperti gambaran aktivitas militer serta kebijakan sosial-

politik pada waktu peristiwa pembantaian terjadi.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan model analisis Teun A. Van

Dijk untuk level teks. Model yang diperkenalkan oleh Teun A. Van Dijk ini sering

disebut sebagai kognisi sosial. Pendekatan ini tidak hanya didasarkan atas teks

semata, namun juga perlu melihat bagaimana suatu teks itu diproduksi sehingga

dapat memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa di produksi demikian.17

Terdapat tiga pilar utama dalam analisis Teun A. Van Dijk ini, diantaranya

analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Peneliti menganalisis berita pada

tataran mikro dengan menggunakan analisis teks yang terdiri dari enam elemen,

yakni elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris.

Selanjutnya peneliti melengkapi dengan analisis kognisi sosial dan analisis

konteks sosial.

Sajian dan Analisis Data

A. Analisis Level Teks

1. Analisis Elemen Tematik

Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga

disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.18

Berdasarkan peran dan interaksi yang terjadi pada militer dalam pemberitaan

Majalah Tempo, peneliti membagi aksi lembaga tersebut menjadi tiga bagian

yaitu: aksi militer terhadap massa non-PKI, aksi militer terhadap massa PKI, dan

aksi massa PKI terhadap militer.

Pada tema aksi militer terhadap massa non-PKI terdapat tiga bagian sub-tema

aksi militer yang terdapat dalam pemberitaan, diantaranya aksi militer tersebut

menggambarkan peran militer sebagai fasilitator pembantaian, militer sebagai

pelindung massa, dan militer sebagai penggerak massa.

17 Ibid. hal. 221.18 Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKiS Group). Hal. 229-230.

9

Page 10: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Dalam aksi militer terhadap massa PKI terdapat sub-tema lainnya yang

muncul, yaitu Aksi pembunuhan oleh militer, Menjatuhi hukuman tanpa proses

pengadilan, Memancing keluar rumah, lalu menembaknya, Tentara menyerbu

desa, Menumpas di sekitar pesantren, Menolak permintaan penangguhan

eksekusi, Tindakan brutal tanpa proses hukum, Menciduk pada malam hari,

Membenturkan relasi antar warga, Memicu aksi pembunuhan di masyarakat,

Intimidasi lewat pembagian kelas, Intimidasi militer kepada pihak tertentu, militer

berperan untuk menangkap anggota PKI maupun diduga PKI, militer berperilaku

cabul, militer sebagai sosok yang kejam, dan militer sebagai pencegah terjadinya

pembunuhan. Sedangkan pada aksi PKI, dalam pemberitaan militer juga menjadi

korban kekejaman PKI direpresentasikan lewat pembunuhan tujuh jenderal.

2. Analisis Elemen Skematik

Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan

sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks

disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti.19 Dalam pemberitaan,

skema berita mengarahkan pembaca kepada penekanan-penekanan tertentu. Di

antaranya adalah penekanan untuk mengusung upaya-upaya rekonsiliasi,

mendeskripsikan kronologi suatu peristiwa, menceritakan pengalaman tokoh, dan

penuturan kesaksian atau sudut pandang tokoh. Penulisan berita menggunakan

sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. Hal tersebut di

dasari untuk menimbulkan kesan tertentu. Misalnya penulisan dengan sudut

pandang orang pertama akan memberikan kesan kedekatan dan emosional antara

pembaca dan tokoh yang diceritakan.

3. Analisis Elemen Semantik

Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local

meaning) yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan

antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks.20

Dalam elemen semantik, dibagi lagi menjadi elemen latar, elemen detil, elemen

maksud, dan elemen praanggapan.

19 Eriyanto. Op.Cit., Hal. 231-232.20 Alex Sobur. Op.Cit., Hal. 78.

10

Page 11: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Terdapat beberapa elemen latar yang terdapat dalam pemberitaan, diantaranya

latar sejak kedatangan kesatuan militer, tonggak awal penumpasan besar-besaran,

Peristiwa Kanigoro dianggap melecehkan kaum muslim, Motif dalam melakukan

pembunuhan, kecurigaan yang terpendam lama, berkobarnya semangat jihad,

hubungan yang telah lama negatif, aksi pembunuhan yang tertunda, sikap petinggi

militer, pembantaian sebagai acara seremonial, besarnya pengaruh TNI,

kekhawatiran tersiar kabar pembantaian, pembantaian dilakukan bersama-sama,

pasrah dalam menjalani masa tahanan, Kopkamtib melahirkan rezim Orde Baru,

pentingnya mendapatkan informasi berita acara, tidak segan-segan ketika

menyiksa, masyarakat di doktrin tentara, keterlibatan warga sipil dalam

pembantaian, saksi peristiwa pembantaian, dan tahanan yang berlatar belakang

militer.

Dalam elemen detil terdapat dua poin pembagian, pertama, yakni kesan

penumpasan yang sistematis, kedua, kesan kejam dan tidak manusiawi. Pada

kesan penumpasan yang sistematis terdapat hasil temuan berupa wacana Peran

aktif tentara dalam menggerakkan massa, dukungan militer terhadap sipil, PKI

mempersiapkan serangannya, data-data jumlah korban penumpasan anggota PKI,

dan intimidasi melalui surat pemberitahuan. Sedangkan kesan kejam dan tidak

manusiawi terdapat temuan berupa aksi pembunuhan adik gubernur, persiapan

menghadapi aksi penumpasan, bekal sebelum menumpas, penyiksaan yang

dialami tahanan, dan perjuangan yang dijalani tahanan,

4. Analisis Elemen Sintaksis

Sintaksis merupakan strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif

dan lawan secara negatif.21 Elemen ini terdiri dari tiga poin pokok, diantaranya

koherensi, bentuk kalimat, dan kata ganti. Dalam koherensi masih dibagi lagi

menjadi koherensi setara, koherensi kondisional (penjelas), koherensi pembeda,

dan koherensi pengingkar.

Dalam pemberitaan, misalnya terdapat kata ganti korban, algojo dan tahanan.

Penggunaan kata tersebut dapat menggiring pembaca kepada pemahaman tertentu.

21 Ibid. Hal. 80.

11

Page 12: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Salah satu elemen ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberpihakan

media terhadap isu yang diangkat.

5. Analisis Elemen Stilistik

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas

berbagai kemungkinan kata yang tersedia.22 Pilihan kata yang tersedia itu dapat

menjadi penanda bagaimana media menempatkan suatu objek pemberitaan.

Dalam teks, ditemukan penggunaan kata pembantaian, pembersihan,

pemberantasan, penumpasan, kebrutalan, menghancurkan, dimusnahkan, budak,

perlawanan, santapan, nasib yang kelam, antek, menyeret, pembumihangusan,

menghabisi, menciduk, dan mengamankan.

Penggunaan kata tersebut memiliki makna dan penekanan tertentu sehingga

dari membaca pilihan kata tersebut, pola berpikir pembaca dapat dipengaruhi. Hal

tersebut merupakan kekuatan media dalam membentuk suatu wacana.

6. Analisis Elemen Retoris

Strategi dalam level retoris ini adalah gaya yang diungkapkan ketika

seseorang berbicara atau menulis.23 Dalam analisis elemen retoris terdapat dua

poin kajian utama yaitu metafora dan grafis. Metafora merupakan gaya bahasa,

kiasan, ungkapan yang digunakan untuk memberikan bumbu-bumbu pada berita.

Dalam pemberitaan ditemukan gaya bahasa metafora berupa penggunaan kata

dan kalimat berikut ini: menghabisi sampai akar-akarnya, menghabisis,

membersihkan, pembersihan, tertuang, bersentuhan, dan santapan. Selain

metafora juga terdapat gaya bahasa spesialisasi, diantaranya nampak pada kata

budak. Gaya bahasa ameliorasi pada frasa menutup belangnya. Gaya bahas

hiperbola pada kalimat membuat panas wilayah Jembrana. Gaya bahasa asosiatif

pada frasa motor penumpasan. Selain elemen gaya bahasa, juga ditemukan

elemen grafis. Pada elemen grafis ditemukan penekanan-penekanan melalui

desain tulisan yang berwarna merah. Misalnya kalimat yang berwarna merah

ditemukan pada tulisan judul, paragraf berita, dan caption foto.

B. Analisis Level Kognisi Sosial

22 Eriyanto. Op.Cit., Hal. 25523 Alex Sobur. Op.Cit., hal. 84.

12

Page 13: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Kognisi sosial memiliki dua arti. Pertama, menunjukkan bagaimana proses

teks tersebut diproduksi wartawan/media, kedua, menggambarkan nilai-nilai yang

ada di masyarakat itu diserap oleh wartawan dan akhirnya digunakannya untuk

membuat teks berita.24 Ada tiga temuan dalam analisis level kognisi sosial:

1. Proses Penerbitan Edisi Liputan Khusus

Ide liputan tersebut bermula dari munculnya film berjudul The Act of Kiling

garapan Joshua Oppenheimer. Dalam film tersebut dibahas mengenai kisah salah

satu algojo pembantaian anggota PKI di Medan yang bernama Anwar Congo.

Munculnya film ini memicu keinginan redaksi untuk menghadirkan liputan yang

lebih luas, dalam, dan menarik. Selain itu, pihak redaksi juga mendapat surat

khusus dari Associate Professor, Australian National University, Ariel Heryanto,

yang menyebutkan bahwa film ini mampu mengubah paradigma masyarakat

Indonesia terkait peristiwa 1965. Maka diambillah isu tersebut dalam skala

nasional dalam menyoroti sisi para algojo.

2. Militer Berperan Penting dalam Penumpasan

Dalam pemberitaan ditemukan informasi bahwa militer berperan penting

dalam proses penumpasan. Hal tersebut didasari oleh terbitnya surat perintah

untuk membentuk Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Setelah dibentuk, Kopkamtib memerintahkan masyarakat untuk menumpas PKI

sampai akar-akarnya.

Selain terbitnya surat perintah Kopkamtib itu, terbit pula serangkaian aturan

lain yang membatasi ruang gerak paham komunis, diantaranya adalah TAP MPRS

XXV/1966. Dalam TAP MPRS itu dicitrakan bahwa paham komunisme dapat

mengancam kedudukan Pancasila, sehingga komunisme halal untuk ditumpas.

Militer bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi di seluruh wilayah

Indonesia. Hal tersebut didasari oleh misi dibentuknya Kopkamtib yang

menginginkan penumpasan anggota PKI. Militer juga menciptakan mekanisme

yang sama selama melakukan proses penumpasan. Mereka menggunakan massa

sebagai garda depan untuk menumpas PKI dan keterlibatan militer tidak secara

24 Eriyanto, Op.Cit., hal. 222.

13

Page 14: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

langsung. Umumnya militer memberikan fasilitas berupa persenjataan dan alat-

alat transportasi untuk mengangkut para tahanan.

3. PKI menjadi Korban Politik

Pasca peristiwa pemberontakan, PKI muncul sebagai golongan yang tertuduh

bertanggungjawab atas pembunuhan tujuh jenderal. Maka gejolak politik pun

tidak dapat dihindarkan dan mulai ditandai dengan pembunuhan besar-besaran

anggota PKI maupun yang tertuduh PKI di seluruh wilayah Indonesia.

Mereka yang terlibat langsung maupun yang tidak terlibat langsung ikut

dilibas. Mereka dibunuh, diasingkan, dan dihilangkan hak-haknya hingga

memunculkan gejolak sosial dalam waktu yang cukup lama. Mereka hadir

menjadi korban kebiadaban politik yang tidak diakui hak-haknya sebagai warga

negara.

Pada umumnya para korban terdiri dari golongan rakyat kecil yang pada

dasarnya tidak memahami permasalahan sebenarnya. Mereka menjadi korban

kekejaman politik dan harus menanggung derita dalam waktu yang cukup lama.

Maka berbagai upaya pun dilakukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang

telah lama berlarut-larut tersebut, termasuk pemberitaan yang ditulis oleh Tempo.

C. Analisis Level Konteks Sosial

Sedangkan berdasarkan penelusuran literatur yang berkaitan dengan konteks

sosial saat wacana tersebut diproduksi ditemukan bahwa militer memiliki

kekuasaan (power) dan akses. Kekuasaan yang dimiliki militer mampu

mengontrol pihak lain sehingga mampu menciptakan suatu wacana tertentu.

Aktivitas mengontrol ini bersifat langsung dan persuasif yang dapat

mengakibatkan timbulnya stigma sesuai yang dicitrakan. PKI dicitrakan sebagai

pihak yang harus disingkirkan karena menganut nilai-nilai yang bertentangan

dengan Pancasila. Stigma negatif tersebut hadir melalui propaganda-propaganda

yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Presiden Soeharto yang berlatar

belakang militer menjadi penanggung jawab atas kebijakan tersebut.

Selain memiliki kekuasaan (power) militer juga memiliki akses. Akses ini

semakin lebar ketika pemerintah mengesahkan kebijakan Dwifungsi ABRI.

14

Page 15: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

Dalam kebijakan tersebut, tentara memiliki wewenang sebagai eksponen yang

duduk di kursi sosial politik terlepas dari fungsi awalnya sebagai alat pertahanan

negara. Kebijakan ini membuat jabatan-jabatan sosial politik juga diisi oleh

militer. Seiring berjalannya waktu, dalam penerapan kebijakan ini ditemukan

pelanggaran-pelanggaran pada pihak militer, selain itu, pemerintah Orde Baru

juga menggunakannya untuk melanggengkan kekuasaan. Maka, pada masa

Reformasi, kebijakan ini dihapus dan militer kembali kepada fungsi dasarnya

sebagai alat pertahanan negara.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap berita di Majalah Tempo edisi khusus

Pengakuan Algojo 1965 periode 1-7 Oktober 2012 menunjukkan bahwa citra

militer yang dihadirkan dalam pemberitaan cenderung terkesan negatif. Militer

digambarkan sebagai sosok yang kejam atas perannya sebagai fasilitator maupun

algojo pembantaian. Militer juga terbukti berperan dalam menciptakan

mekanisme pembantaian dan menyebarkan propaganda negatif kepada pihak-

pihak yang tertuduh sebagai anggota PKI. Hal ini berdasarkan analisis struktur

teks yang ditemukan melalui elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis,

stilistik, dan retoris.

Dari analisis kognisi wartawan pada pemberitaan Pengakuan Algojo 1965

ditemukan bahwa berita tersebut dihadirkan sebagai upaya untuk tidak melupakan

sejarah bangsa Indonesia. Bahwa di masa lalu, bangsa Indonesia pernah

melakukan kesalahan dan harus diselesaikan meskipun harus membuka luka lama.

Melalui pemberitaannya Tempo menawarkan adanya upaya rekonsiliasi nasional

dan dibentuknya pengadilan adhoc untuk mengatasi kasus tersebut.

Sedangkan berdasarkan penelusuran literatur yang berkaitan dengan konteks

sosial saat wacana tersebut diproduksi ditemukan bahwa militer memiliki

kekuasaan (power) dan akses. Kekuasaan yang dimiliki militer mampu

mengontrol pihak lain sehingga mampu menciptakan suatu wacana tertentu.

Aktivitas mengontrol ini bersifat langsung dan persuasif yang dapat

mengakibatkan timbulnya stigma sesuai yang dicitrakan. PKI dicitrakan sebagai

15

Page 16: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

pihak yang harus disingkirkan karena menganut nilai-nilai yang bertentangan

dengan Pancasila. Stigma negatif tersebut hadir melalui propaganda-propaganda

yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Presiden Soeharto yang berlatar

belakang militer menjadi penanggung jawab atas kebijakan tersebut.

Selain memiliki kekuasaan (power) militer juga memiliki akses. Akses ini

semakin lebar ketika pemerintah mengesahkan kebijakan Dwifungsi ABRI.

Dalam kebijakan tersebut, tentara memiliki wewenang sebagai eksponen yang

duduk di kursi sosial politik terlepas dari fungsi awalnya sebagai alat pertahanan

negara. Kebijakan ini membuat jabatan-jabatan sosial politik juga diisi oleh

militer. Seiring berjalannya waktu, dalam penerapan kebijakan ini ditemukan

pelanggaran-pelanggaran pada pihak militer, selain itu, pemerintah Orde Baru

juga menggunakannya untuk melanggengkan kekuasaan. Maka, pada masa

Reformasi, kebijakan ini dihapus dan militer kembali kepada fungsi dasarnya

sebagai alat pertahanan negara.

Saran

Berdasarkan temuan peneliti, dalam analisis teks elemen stilistik ditemukan

pengulangan kata pembantaian pada pemberitaan. Kata pembantaian memiliki

arti pembunuhan yang dilakukan secara kejam dengan korban lebih dari seorang.

Secara tidak langsung penggunaan kata tersebut sekaligus mengarahkan bahwa

subjek pelaku pembantaian memiliki karakter kejam. Korban pembantaian

diposisikan sebagai pihak yang tertimpa musibah, nasib buruk, dan penanggung

derita. Hal tersebut dapat menciptakan image bahwa mereka yang menjadi korban

harus diperjuangkan hak-haknya dan para pelaku dituntut perbuatannya.

Selain kata pembantaian, Tempo juga menggunakan kata pembersihan,

pemberantasan, dan penumpasan. Kata-kata tersebut dapat memberikan arti

bahwa PKI adalah subjek kejahatan (evil) sehingga harus disingkirkan.

Penggunaan kata-kata tersebut juga mengandung penekanan-penekanan tertentu

dan dapat menciptakan image tertentu.

Sebaiknya, dalam menuliskan berita Majalah Tempo dapat menggunakan

diksi yang lebih netral atau setidaknya menggunakan kata yang tidak mengandung

16

Page 17: DEDE SUPRAYITNO D021002… · Web viewProgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Mi litary Re presentation Image

penekanan-penekanan tertentu. Agar kata tersebut tidak menggiring pembaca

kepada image tertentu dan memposisikan Tempo sebagai media yang independen.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Eriyanto. (2012). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Group.

Fiske, John. (2011). Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.Hasan, Kamaruddin. (2009). “Komunikasi Politik dan Pencitraan: Analsis Teoritis

Pencitraan Politik di Indonesia.” Jurnal, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Indonesia.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. (2006). Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LKiS PelangiPoesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah

Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.Rahimi, Forough and Mohammad Javad Riasati. (2011). “Critical Discourse

Analysis: Scrutinizing Ideologically-Driven Discourse.” Jurnal, Islamic Azad University, Iran.

Smith, Edward C. (1983). Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, terj. Atmakusumah, dkk. Jakarta: PT. Temprint.

Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

17