15
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK DI HULU DAS JENEBERANG AFFECT OF LAND USE CHANGES OF PEAK DISCHARGE IN THE UPPER JENEBERANG WATERSHED Kati Syamsudin Kadang Tola, Kaimuddin, Sumbangan Baja Program Studi Sistem-sistem Pertanian Pascasarjana Unhas Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar Alamat Korespondensi : Kati Syamsudin Kadang Tola Program Studi Sistem-sistem Pertanian Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90425 HP ; 081344033007 E-mail : [email protected]

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN …pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/a59fff8457cffde89c83ff327... · 2014-03-13 · Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait

  • Upload
    vubao

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK DI HULU DAS JENEBERANG

AFFECT OF LAND USE CHANGES OF PEAK DISCHARGE IN THE UPPER JENEBERANG WATERSHED

Kati Syamsudin Kadang Tola, Kaimuddin, Sumbangan Baja

Program Studi Sistem-sistem Pertanian Pascasarjana Unhas

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar

Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar

Alamat Korespondensi :

Kati Syamsudin Kadang Tola

Program Studi Sistem-sistem Pertanian

Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Makassar, 90425

HP ; 081344033007

E-mail : [email protected]

Abstrak

Perubahan penggunaan lahan pada DAS akan mempengaruhi debit puncak, hal ini menjadi indikator semakin

baik atau buruknya penggunaan lahan pada wilayah DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat

kevalidan model HEC-HMS dan memprakirakan debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan

skenario perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang. Penelitian ini menggunakan sejumlah data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan kondisi lahan dan pengambilan sampel tanah,

yang selanjutnya dianalisis di laboratorium. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait

berupa peta dasar yaitu peta rupa bumi dan peta tematik berupa peta tanah, peta wilayah administrasi, peta

penggunaan lahan tahun 2004-2010, curah hujan dan debit air tahun 2004 dan 2010 untuk kalibrasi dan validasi

model HEC-HMS. Analisis data meliputi analisis perubahan penggunaan lahan, identifikasi karakteristik DAS

dan analisis prakiraan debit puncak. Hasil penelitian diperoleh penggunaan model HEC-HMS cukup valid

digunakan untuk memprakirakan debit puncak di hulu DAS Jeneberang, hasil kalibrasi dan validasi model

diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe untuk nilai debit puncak tahun 2004 sebesar 0,538 dan tahun 2010

sebesar 0,721. Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 didominasi oleh ladang bercampur semak yang

meningkat sebesar 14,52% dan terjadi penurunan luasan hutan sekitar 13,22%. Prediksi debit puncak

berdasarkan perubahan penggunaan lahan diperoleh rataan debit puncak tahun 2004 sebesar 91,15 m3/det,

sedangkan rataan debit puncak tahun 2010 sebesar 121,97 m3/det dimana terjadi kenaikan sebesar 33,8%.

Skenario perubahan penggunaan lahan pada kawasan dengan kemiringan diatas 45% sebagai kawasan hutan

lindung diperoleh penambahan luasan hutan sebesar 28,8% dari total luas hulu DAS Jeneberang dan rata-rata

debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai debit puncak ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai

debit puncak pada penggunaan lahan tahun 2010.

Kata Kunci : penggunaan lahan, debit puncak, HEC-HMS, DAS Jeneberang

Abstract

Changes in land use in watershed will affect peak discharge, it is becoming an indicator of better or worse use of

land in watershed area. This study aims to determine the degree of validity of the model HEC – HMS, to predict

peak flows based on changes in land use and land use change scenarios in the upper Jeneberang watershed. This

study uses a number of primary data and secondary data. Primary data were obtained from observations of the

condition of the land and soil sampling, which is then analyzed in the laboratory. Secondary data were obtained

from literature and related agencies such as base map and such a thematic map is a land map, administrative area

maps, land use maps in 2004-2010, rainfall and water discharge in 2004 and 2010 for calibration and validation

of the model HEC - HMS. Data analysis includes analysis of changes in land use, identification of watershed

characteristics and analysis of peak discharge forecasts. Research results obtained by use of the HEC-HMS

models were valid enough to predict peak discharge in the upper Jeneberang watershed, in which the results of

the calibration and validation of the model obtained from coefficient value of Nash - Sutcliffe for the peak

discharge in 2004 was 0.538 and 0.721 in 2010, respectively. Changes in land use in 2004-2010 was dominated

by an increasing mixed shrub fields by 14.52% and a declining in the forest area of approximately 13.22%.

Predicted peak flows based on changes in land use was obtained averaging the peak discharge in 2004 was 91.15

m3/sec, while the average peak discharge in 2010 amounted to 121.97 m

3/sec where there is an increase of 33.8

%. Scenarios of land use change in the region with a slope of over 45% as obtained by the addition of a protected

forest area forest area was 28.8% of the total area in the upper Jeneberang watershed and the average peak

discharge of 119.65 m3/sec. Value of peak discharge was lower when compared with the average value of peak

discharge at the land use in 2010.

Keywords : land use, peak discharge, HEC-HMS, Jeneberang watershed

PENDAHULUAN

Kebutuhan lahan oleh manusia semakin meningkat sejalan dengan peningkatan

jumlah penduduk. Perubahan kawasan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman dan

berbagai peruntukan lainnya telah menimbulkan banyak dampak negatif terhadap sumberdaya

lahan dan air yang terjadi pada wilayah daerah aliran sungai (DAS). Alih guna lahan pada

wilayah DAS akan mempengaruhi kondisi hidrologi DAS seperti meningkatnya debit puncak,

koefisien aliran permukaan, volume aliran permukaan (Hartanto, 2009; Lipu, (2010); Emilda,

2010), erosi meningkat pada daerah dengan kemiringan lereng lebih dari 45% (Arsyad, 2010).

Selain itu, terjadi degradasi lahan dan badan-badan air, serta munculnya kejadian banjir pada

musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Meningkatnya debit puncak yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena

berkurangnya luas daerah resapan air akibat perubahan penggunaan lahan yang tidak

terencana dengan baik serta tidak berwawasan lingkungan. Hal ini juga terjadi pada salah satu

DAS yang ada di Sulawesi Selatan yaitu DAS Jeneberang. Persentase perubahan penggunaan

lahan di DAS Jeneberang periode tahun 1995-2010 meliputi hutan dari 36% berkurang

menjadi 26%, sawah dari 15% berkurang menjadi 8%, pemukiman dari 0,3% meningkat

menjadi 3%, ladang bercampur semak dari 29% meningkat menjadi 33%, semak belukar dari

17% meningkat menjadi 22%, sisanya merupakan rawa dan tubuh air dari 3% meningkat

menjadi 8% (Supratman dkk., 2004; Karim dkk., 2011).

Debit sungai Jeneberang mempunyai fluktuasi debit aliran sungai yang sangat

berbeda nyata sepanjang tahun antara musim penghujan dan musim kemarau. Ibbitt et al.

(2002) melaporkan debit sungai Jeneberang yang tercatat di stasiun Pattalikang periode tahun

1974-1999 mempunyai debit maksimum mencapai 701 m3/dt, rataan debit maksimum 352,2

m3/dt dan rataan debit minimum 0,3 m

3/detik. Sedangkan debit sungai Jeneberang yang

tercatat di stasiun Parangloe periode tahun 1987-1999 mempunyai debit maksimum mencapai

130,8 m3/dt, rataan debit maksimum 89,7 m

3/dt dan rataan debit minimum 0,04 m

3/detik.

Berdasarkan kondisi tersebut diperoleh ratio antara debit maksimum dengan debit minimum

mempunyai nilai yang tinggi. Arsyad (2010), menyatakan semakin besar ratio debit

maksimum terhadap debit minimum maka semakin buruk keadaan vegetasi dan penggunaan

lahan pada DAS tersebut.

Wilayah hulu DAS merupakan kawasan penyangga ekosistem bagi wilayah tengah

maupun wilayah hilir DAS. Selain itu, ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting

karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Berbagai metode

dilakukan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan pada

DAS. Penggunaan model hidrologi merupakan sajian sederhana (simple representation) dari

sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Ketersediaan model hidrologi sangat diperlukan

untuk membantu dalam mempelajari proses perubahan yang terjadi pada DAS.

HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-Hidrologic Modelling System)

merupakan model simulasi sederhana yang berbasis pada proses hidrologi. Model HEC-HMS

dalam penggunaannya terdapat fasilitas kalibrasi, simulasi model dengan data terdistribusi,

model aliran kontinyu, dan dalam program GIS terdapat ekstensi HEC-GeoHMS (USACE,

2010). Mengintegrasikan GIS dan HEC-HMS diharapkan dapat menjawab permasalahan

hidrologi DAS yaitu dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak pada

wilayah hulu DAS Jeneberang.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui tingkat kevalidan model HEC-HMS;

dan (2) memprakirakan debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan skenario

perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Desain Penelitian

Berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1:50.000, wilayah penelitian terletak antara

5o11’03” – 5

o20’27” LS dan 119

o44’45” – 119

o56’35” BT, memiliki luasan 23.912,5 ha dan

terletak pada ketinggian 250-2.775 m dpl. Hulu DAS Jeneberang terletak di wilayah

Kabupaten Gowa. Waktu penelitian dilaksanakan selama 12 bulan. Lokasi penelitian dapat

dilihat pada Gambar 1.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis menggunakan pendekatan pemetaan,

observasi lapangan dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode penelitian yang digunakan

merupakan analisis dari data primer, data sekunder serta hasil observasi lapangan. Analisis

setiap metode tersebut dibantu dengan teknik pemetaan menggunakan Sistem Informasi

Geografis (SIG) dan model hidrologi HEC-HMS.

Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan sejumlah data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh melalui pengamatan di lapangan meliputi pengamatan kondisi lahan dan

pengambilan sampel tanah yang selanjutnya dianalisis di laboratorium. Penentuan lokasi

pengambilan sampel tanah dilakukan dengan melakukan overlay peta lereng dan peta jenis

tanah.

Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait meliputi (1) Peta

dasar berupa peta rupa bumi dengan skala 1 : 50.000; (2) Peta tematik berupa peta tanah, peta

wilayah administrasi kabupaten Gowa, peta penggunaan lahan tahun 2004-2010; (3) Data

curah hujan harian dan data debit air tahun 2004 dan tahun 2010 dibutuhkan untuk kalibrasi

dan validasi model. Data curah hujan diperoleh dari 4 lokasi yaitu Malino-1, Malino-2,

Paladingan dan Tanralili bersumber dari stasiun Meteorologi dan Klimatologi Maros dan

Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya Air Balai Besar Wilayah Pompengan-

Jeneberang, Sulawesi Selatan. Data debit air diperoleh dari stasiun Jonggoa bersumber dari

Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya Air Balai Besar Wilayah Pompengan-

Jeneberang, Sulawesi Selatan.

Analisis penggunaan lahan

Analisis penggunaan lahan dilakukan pada periode tahun 2004-2010. Analisis

dilakukan dengan melakukan overlay antara kedua penggunaan lahan tersebut. Tujuan analisis

ini adalah mengetahui perubahan masing-masing penggunaan lahan.

Identifikasi karakteristik DAS

Identifikasi karakteristik DAS bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik, keadaan

curah hujan dan debit aliran hulu DAS Jeneberang. Kegiatan ini termasuk identifikasi jaringan

sungai dan pembagian sub DAS. Pembagian Sub DAS berdasarkan peta Rupa Bumi terbagi

ke dalam 3 sub DAS, yaitu sub DAS Malino, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Bengo.

Analisis debit puncak menggunakan HEC-HMS

Analisis debit puncak pada penelitian ini menggunakan program HEC-HMS versi 3.5

(Hydrologic Engineering Centre-Hydrologic Modelling System). Program ini terdiri dari tiga

komponen model yaitu model basin, model meteorologi dan kontrol spesifikasi.

Basin model merepresentasikan kondisi hulu DAS Jeneberang dengan bantuan peta

background yang diimport dari GIS (Geografic Information System). Lokasi penelitian

menggunakan dua elemen hidrologi yaitu sub basin dan 1 junction dimana masing-masing

elemen mewakili bagian dari total respon suatu DAS terhadap presipitasi.

Pada penelitian ini perhitungan dilakukan menggunakan metode SCS curve number.

Nilai BK berkisar mulai dari 0 hingga 100. Untuk permukaan yang sulit tembus air

(impervious) dan termasuk permukaan air BK = 100, sedangkan untuk permukaan alami

(natural surface) BK < 100, tergantung pada jenis dan kerapatan (density) penggunaan lahan

(Chow et.al.,1988 dalam Baja, 2012). Dalam penelitian ini, nilai-nilai BK dinilai berdasarkan

overlay antara peta penggunaan lahan dan peta kelompok hidrologi tanah.

Berdasarkan pertimbangan lokasi hulu DAS Jeneberang sebagian besar berada pada

kemiringan lebih dari 5%, maka perlu memasukkan faktor lereng dalam perhitungan BK

(Huang et.al., (2006) dalam Ebrahimian et.al., 2012). Untuk memasukkan faktor lereng

dilakukan overlay antara peta kelas lereng dan peta BK-SCS. Penerapan kondisi kandungan

air tanah sebelumnya berada pada kondisi II yaitu situasi dimana hubungan tanah dan air

dalam kondisi rata-rata dan perlakuan atau pengelolaan lahan pada kondisi yang jelek (buruk).

Penentuan pengelolaan lahan berada pada kondisi yang buruk berdasarkan pengamatan di

lapangan dan laporan Dirjen RPLS Kementerian Kehutanan (2009) dalam Karim dkk., (2011)

terdapat sebanyak 20% lahan kritis dan sangat kritis di DAS Jeneberang dan areal yang

potensial sangat kritis berada pada hulu DAS Jeneberang. Lahan kritis di hulu DAS

Jeneberang adalah sebesar 57,1% (Arsyad, 2010).

Untuk DAS yang terdiri dari beberapa tipe tanah dan penggunaan lahan maka nilai

BK adalah BKcomposite yang dihitung dengan persamaan berikut:

(1)

Dimana adalah nilai BK komposit, adalah indek untuk sub DAS yang

mempunyai penggunaan lahan yang sama dan adalah luas daerah sub DAS. Selain itu,

perhitungan time lag juga digunakan sebagai input dalam model HEC-HMS. Time lag

menggunakan persamaan berikut:

(2)

Dimana adalah time lag (waktu dari puncak hujan sampai puncak aliran

permukaan), adalah panjang sungai utama (feet), adalah retensi maksimum (inchi) =

1000/BK – 10, adalah kemiringan daerah aliran sungai (%), dan adalah bilangan kurva.

Model meteorologi berfungsi merekam dan mengolah data curah hujan. Masukan

data curah hujan yang diinput pada model meteorologi didasarkan pada data curah hujan

harian. Metode yang digunakan dalam model meteorologi adalah metode gage weight.

Control specifications digunakan untuk run bersama dengan basin model dan

meteorologic model. Tanggal dan waktu permulaan dan akhir dari run di set dalam control

specification ini. Untuk melihat hasil dari perhitungan dapat dilihat baik berupa tabel maupun

grafik.

Kalibrasi dan validasi model

Tujuan dilakukan kalibrasi dan validasi adalah menentukan apakah model dapat

digunakan dalam menentukan debit prediksi. Model dianggap valid bila hidrograf hasil model

dan hasil pengamatan mempunyai kemiripan. Penilaian kevalidan model menggunakan

koefisien efisiensi Nash-Sutcliffe. Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutcttife menunjukkan

tingkat validasi model, dimana nilai E≤0,5 adalah tingkat validasi rendah, 0,5<E<0,7 adalah

tingkat validasi tinggi dan E≥0,7 adalah tingkat validasi sangat tinggi (Garcia et al., 2008).

HASIL PENELITIAN

Kondisi hulu DAS Jeneberang

Kondisi hulu DAS Jeneberang meliputi kondisi fisik dan iklim berupa kemiringan

lereng, tekstur tanah, keadaan curah hujan dan debit aliran. Keadaan topografi pada daerah ini

bervariasi mulai dari agak datar hingga sangat curam. Kelas kemiringan lereng 3-8% agak

datar sebesar 3,5%, kelas kemiringan lereng 8-15% landai sebesar 9,2%, kelas kemiringan

lereng 15-25% agak curam sebesar 16,2%, kelas kemiringan lereng 25-45% curam sebesar

54,5% dan kelas kemiringan lereng >45% sangat curam sebesar 16,6%.

Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dalam persen (%) antara fraksi-fraksi

pasir, debu dan liat. Sebagian besar kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang mempunyai

kelas tekstur tanah halus yaitu sebesar 63,3%, terdiri dari tekstur tanah liat dan liat berdebu.

sedangkan kelas tekstur tanah sedang merupakan tekstur tanah dengan sebaran terkecil yaitu

3,7%. Tekstur tanah liat mempunyai sebaran luas terbesar yaitu 49% dan tersebar di sub DAS

Bengo (11%), sub DAS Malino (45%) dan sub DAS Jeneberang (43,9%).

Hasil analisis curah hujan dan debit aliran tahun 2004 dan tahun 2010 diperoleh rata-

rata curah hujan di lokasi penelitian terjadi peningkatan dari tahun 2004 yaitu sebesar 270

mm/thn menjadi 408 mm/thn pada tahun 2010. Demikian juga dengan rata-rata debit aliran

pada outlet terjadi peningkatan aliran dari tahun 2004 sebesar 172,6 m3/dt menjadi 922,3

m3/dt pada tahun 2010.

Penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang

Hasil analisis perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang tahun 2004-

2010 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan penggunaan lahan di lokasi penelitian

terjadi peningkatan dan penurunan luasan akibat dari perubahan lahan yang terjadi di daerah

ini. Penggunaan lahan didominasi oleh ladang bercampur semak, dimana pada tahun 2004

sebesar 48,8% dan meningkat menjadi 55,9% pada tahun 2010.

Bilangan kurva (BK) aliran permukaan

Bilangan kurva merupakan pengaruh bersama penggunaan lahan, kondisi hidrologi

dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai bilangan kurva pada penelitian ini diperoleh

berdasarkan data Hyrological Soil Group (HSG), penggunaan dan pengolahan lahan.

Kelompok hidrologi tanah diperoleh dari hasil analisis tanah yaitu tekstur tanah yang

diuraikan sebagai berikut: (1) tanah yang mempunyai tekstur sedang (lempung dan lempung

berdebu) hingga agak halus (lempung liat berdebu) dimasukkan kedalam kelompok hidrologi

tanah C; dan (2) tanah yang mempunyai tekstur halus (liat berdebu dan liat) dimasukkan

kedalam kelompok hidrologi tanah D.

Kondisi kandungan air tanah sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan

pada lima hari sebelumnya dan dianggap berlangsung pada musim tumbuh. Berdasarkan data

curah hujan lima hari sebelumnya diperoleh besaran curah hujan yaitu 47 mm. Hal ini

menunjukkan saat dilakukan kalibrasi model, kondisi kandungan air tanah sebelumnya berada

pada kondisi II yaitu kondisi rata-rata dan perlakuan budidaya dan lahan disetarakan berada

pada kondisi terendah (buruk).

Besarnya nilai bilangan kurva aliran permukaan setiap penggunaan lahan di lokasi

penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan hasil perhitungan rata-rata nilai bilangan

kurva aliran permukaan tahun 2004-2010 dengan memasukkan faktor lereng pada setiap sub

DAS adalah sebagai berikut: (1) sub DAS Bengo dari 87,6 meningkat menjadi 87,7; (2) sub

DAS Jeneberang dari 85,8 meningkat menjadi 86,6; dan (3) sub DAS Malino dari

88,3meningkat menjadi 88,4.

BK aliran permukaan untuk tiap-tiap sub DAS di hulu DAS Jeneberang selama tahun

2004-2010 terjadi peningkatan BK aliran permukaan pada sub DAS Bengo, sub DAS

Jeneberang dan sub DAS Malino, walaupun tidak begitu besar. Sub DAS Malino mempunyai

nilai BK tertinggi yaitu 88,4 hal ini menunjukkan bahwa sub DAS Malino menghasilkan

aliran permukaan tertinggi.

Time lag

Morfomometri DAS pada penelitian ini digunakan untuk perhitungan waktu

tenggang. Time lag adalah waktu tenggang antara terjadinya hujan lebih sampai terjadinya

aliran puncak. Morfometri DAS dan time lag dari masing-masing sub DAS di lokasi

penelitian disajikan pada Tabel 3.

Nilai time lag di lokasi penelitian diperoleh nilai tertinggi pada sub DAS Bengo yaitu

1,50 – 1,51 jam, yang berarti sub DAS Bengo memiliki waktu puncak aliran permukaan

paling lama dibanding sub DAS Malino dan Jeneberang. Time lag terendah terdapat pada sub

DAS Malino yaitu 0,38 jam. Waktu tenggang yang berbeda-beda menyebabkan aliran

permukaan di outlet Jonggoa tidak terkonsentrasi pada waktu yang sama. Hal ini

menyebabkan debit puncak menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS yang time

lag-nya lebih cepat dan seragam.

Perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran permukaan

Perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran permukaan menggunakan

model HEC-HMS dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai masukan berdasarkan

penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010 untuk kejadian hujan yang sama yaitu kejadian

hujan bulan Januari s/d Oktober tahun 2004 dan tahun 2010. Hasil prediksi debit puncak

menggunakan model HEC-HMS untuk penggunaan lahan tahun 2004-2010 dapat dilihat pada

Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 diperoleh rataan debit puncak aliran permukaan tahun 2004

sebesar 91,15 m3/det, sedangkan rataan debit puncak aliran permukaan tahun 2010 sebesar

121,97 m3/det lebih tinggi dibandingkan debit tahun 2004, dimana terjadi kenaikan sebesar

33,8%.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan penggunaan model HEC-HMS cukup valid digunakan

untuk memprakirakan debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan skenario

perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang. Hasil kalibrasi model debit puncak

tahun 2004 diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe tahun 2004 sebesar 0,538 untuk

penggunaan lahan tahun 2004 dengan input curah hujan dan debit tahun 2004. Hasil validasi

model debit puncak tahun 2010 diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe tahun 2010 sebesar

0,721 untuk penggunaan lahan tahun 2010 dengan input curah hujan dan debit tahun 2010.

Sebuah model yang bagus akan menghasilkan nilai koefisien Nash mendekati 1.

Berdasarkan hasil kalibrasi dan validasi antara prediksi debit model dan debit

pengukuran yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa model HEC-HMS cukup baik

dan dapat digunakan untuk proses simulasi memprediksi aliran permukaan akibat perubahan

penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang.

Secara keseluruhan di hulu DAS Jeneberang terjadi perubahan penggunaan lahan

periode tahun 2004-2010. Peningkatan luasan lahan terjadi pada ladang bercampur semak

sebesar 14,52%. Luasan hutan berkurang sebesar 13,22% yang beralih fungsi menjadi ladang

bercampur semak sebesar 15%, sebesar ≤ 5% beralih menjadi semak belukar, padang rumput

alang-alang dan lahan sawah

Meningkatnya penggunaan lahan berupa ladang bercampur semak di daerah ini

karena tanahnya cukup subur. Kondisi ini sangat cocok untuk usahatani masyarakat di hulu

DAS Jeneberang. Hal ini dapat dilihat dari luasannya yang lebih dari 50%. Namun demikian,

karena merupakan tanah muda dengan kandungan bahan organik rendah, tanah ini cepat

mengalami penurunan kesuburan tanah, ditambah lagi dengan masih rendahnya penerapan

konservasi dalam usahatani mendorong masyarakat untuk membuka areal hutan baru sebagai

ladang-ladang baru.

Penelitian yang dilakukan oleh Nuraeni dkk, (2012) di hulu DAS Jeneberang

diperoleh partisipasi petani hortukultura sayuran dalam penerapan konservasi di lahan

usahataninya berada pada kategori rendah yaitu sebesar 27,47%. Hal ini disebabkan karena

pemahaman dan ketrampilan petani terhadap konservasi dan manfaat usahatani dalam jangka

panjang yang masih rendah.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di hulu DAS Jeneberang dapat

mempengaruhi hidrologi DAS, terutama dengan berkurangnya luasan hutan. Fungsi hutan

sebagai pengatur tata air dan menjaga kontinuitas aliran dapat terganggu. Akibatnya terjadi

erosi dan pendangkalan di badan-badan sungai. Selain itu, fungsi hutan sebagai penampung

air saat musim musim hujan dan mengalirkannya saat musim kemarau juga menjadi

berkurang.

Berdasarkan prakiraan debit puncak akibat dari perubahan penggunaan lahan tahun

2004-2010 menggunakan model HEC-HMS, kenaikan debit puncak pada tahun 2010 diduga

akibat dari adanya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di hulu DAS Jeneberang, namun

demikian bila dilihat dari kenaikan nilai bilangan kurva antara tahun 2004-2010 yang sangat

kecil, maka faktor perubahan penggunaan lahan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan

kenaikan debit puncak. Faktor curah hujan dan kemiringan lereng juga berperan dalam

peningkatan debit puncak. Semakin besar curah hujan semakin besar debit puncak yang akan

terjadi. Semakin curam lereng memperbesar kecepatan aliran permukaan dan memperbesar

jumlah aliran permukaan.

Skenario perubahan penggunaan lahan sebagai kawasan hutan lindung disusun

berdasarkan penggunaan lahan tahun 2010 mengacu kepada kriteria kawasan hutan lindung

yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2004 tentang

perencanaan kehutanan. Salah satu kriteria yang digunakan yaitu kawasan hutan yang

mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih termasuk dalam kawasan hutan lindung.

Hasil analisis kemiringan lahan di hulu DAS Jeneberang diperoleh kawasan hutan

lindung pada kemiringan diatas 45% adalah seluas 3.975,91 ha atau 16,6% dari luas hulu

DAS Jeneberang. Penggunaan lahan yang terjadi pada wilayah dengan kemiringan tersebut

tersisa 23,2% yang masih berupa penggunaan lahan berupa hutan, sedangkan sisanya telah

beralihfungsi menjadi ladang bercampur semak sebesar 52,5%, padang rumput alang-alang

sebesar 1,0%, sawah sebesar 4,0% dan semak belukar sebesar 19,0% dari luas wilayah dengan

kemiringan diatas 45%.

Berdasarkan penggunaan lahan tahun 2010 terlihat luas kawasan hutan pada tahun

2010 yaitu sebesar 16,0%. Luas kawasan hutan yang hanya 16,0% di hulu DAS Jeneberang

ini sangat jauh dari syarat minimal luas kawasan hutan dalam suatu DAS. Berdasarkan

Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 17 ayat 5, dijelaskan

bahwa wilayah ditetapkan sebagai kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran

sungai, artinya minimal terdapat 7.173,7 Ha penutupan lahan berupa kawasan hutan di hulu

DAS Jeneberang.

Berdasarkan hasil skenario perubahan penggunaan lahan dengan mengembalikan

fungsi kawasan yang berlereng di atas 45% sebagai kawasan hutan lindung maka terjadi

penambahan luasan hutan sebesar 6.888,7 ha atau sebesar 28,8% dari total luas hulu DAS

Jeneberang. Kondisi ini dapat menurunkan nilai bilangan kurva aliran permukaan pada setiap

sub DAS di lokasi penelitian. Nilai bilangan kurva diperoleh pada sub DAS Bengo dari 87,7

menjadi 86,5; pada sub DAS Jeneberang dari 86,6 menjadi 82,7; dan sub DAS Malino dari

88,4 menjadi 85,5.

Simulasi model menggunakan HEC-HMS berdasarkan perubahan nilai bilangan

kurva diperoleh nilai debit puncak dengan menggunakan masukan nilai hasil skenario

perubahan penggunaan lahan diperoleh rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai

debit puncak skenario lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata debit puncak pada

penggunaan lahan 2010 yaitu sebesar 121,97 m3/dt. Vegetasi hutan mampu menjaga

kontinuitas aliran melalui pengaturan tata air, menampungnya pada saat musim hujan dan

mengalirkannya pada saat musim kemarau. Menurut Asdak (2010) vegetasi dapat

memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas

permukaan tanah, dengan demikian dapat menurunkan laju air larian dan mengurangi debit

puncak aliran permukaan.

Lokasi penelitian yang mempunyai kondisi lereng curam sampai sangat curam

sebesar 71% diduga menjadi penyebab kenaikan debit puncak aliran permukaan DAS. Selain

itu, faktor curah hujan turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan debit puncak aliran

permukaan. Tutupan lahan yang sebagian besar merupakan penggunaan lahan berupa kebun

dan ladang campur semak dengan kerapatan vegetasi yang rendah dapat menjadi penyebab

kenaikan debit puncak.

Hulu DAS Jeneberang mempunyai tekstur tanah halus tertinggi yaitu sebesar 63,3%

terdiri dari tekstur tanah liat dan liat berdebu. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah

yang tinggi dapat tersuspensi oleh tumbukan butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan

pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat yang tersuspensi tersebut. Hal

ini akan mengakibatkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang tinggi (Arsyad, 2010).

Upaya memperbaiki tutupan lahan dengan memperbesar presentase luas lahan hutan,

melakukan konservasi lahan dapat meningkatkan daerah resapan air pada daerah perbukitan.

Hutan lindung mempunyai fungsi perlindungan penyangga terhadap aliran air ke daerah hilir.

Fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada setiap kejadian hujan. Alternatif lain

mengatasi perubahan penggunaan lahan pada kawasan ini yang telah menjadi lahan usahatani

dapat dilakukan dengan menerapkan sistem agroforestry.

Menurut Noordwijk et al., (2004) dalam Emilda (2010) fungsi perlindungan pada

daerah hulu dengan memperbaiki tutupan lahan dapat mempertahankan lapisan serasah di

permukaan tanah, mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi dan menyerap air untuk

evapotranspirasi. Upaya menggantikan vegetasi hutan alami dengan penanaman pohon-pohon

yang bernilai ekonomi atau mempunyai fungsi lainnya melalui penerapan sistem agroforestri

maka fungsi hutan sebagai kawasan lindung akan tetap berkelanjutan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penggunaan model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk memprakirakan debit

puncak di hulu DAS Jeneberang. Hasil kalibrasi dan validasi model diperoleh nilai koefisien

Nash-Sutcliffe untuk nilai debit puncak tahun 2004 sebesar 0,538 dan tahun 2010 sebesar

0,721. Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 didominasi oleh ladang campur semak

yang meningkat sebesar 14,52%. Kondisi ini diduga adanya pembukaan lahan-lahan bukaan

baru akibat dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Penurunan luasan hutan

sekitar 13,22%, hal ini terjadi karena penutupan lahan berupa hutan telah beralih fungsi

menjadi ladang campur semak, semak belukar, padang rumput alang-alang dan lahan sawah.

Prediksi debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan diperoleh rataan debit puncak

tahun 2004 sebesar 91,15 m3/det, sedangkan rataan debit puncak tahun 2010 sebesar 121,97

m3/det dimana terjadi kenaikan sebesar 33,8%. Skenario perubahan penggunaan lahan pada

kawasan dengan kemiringan diatas 45% sebagai kawasan hutan lindung diperoleh

penambahan luasan hutan sebesar 6.888,7 ha atau sekitar 28,8% dari total luas hulu DAS

Jeneberang dan rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai debit puncak ini lebih

rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai debit puncak pada penggunaan lahan tahun

2010.

Pengelolaan DAS melalui pendekatan pemodelan hidrologi perlu dilakukan karena

DAS merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Untuk mendapatkan hasil yang lebih

akurat, disarankan kepada peneliti selanjutnya dalam upaya memprediksi fenomena yang

terjadi di alam diperlukan suatu input data yang lebih terperinci dan detail. Sehingga hasil

pemodelan nantinya dapat menjadi dasar bagi pengelolaan daerah aliran sungai yang lebih

baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Bogor. Penerbit IPB Press.

Arsyad, U. (2010). Analisis Erosi pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Kemiringan

Lereng di Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu. Disertasi. Tidak diterbitkan.

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Baja, S. (2012). Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Pendekatan

Spasial & Aplikasinya. Penerbit Andi Yogyakarta.

Ebrahimian, M. dkk. (2012). Runoff Estimation in Steep Slope Watershed with Standard and

Slope-Adjusted Curve Number Methods. Original Research. Pol. J. Environ. Stud.

Vol 21. No 5. 1191-1201

Emilda, A. (2010). Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respon Hidrologi DAS

Cisadane Hulu. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

García, A. dkk. (2008). Surface Water Resources Assessment in Scarcely Gauged Basins in

the North of Spain. Journal Hydrology No 3-4, 356: 312-326.

Hartanto, N. (2009). Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada

DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ibbitt, R., Takara, K., Mohd. Desa, M.N., and Pawitan, H. (2002). Catalogue of Rivers for

South East Asia and the Pacific - Volume IV. The UNESCO-IHP Regional Steering

Committee for Southeast Asia and the Pacific. (Online). http://flood.dpri.kyoto-

u.ac.jp/ihp_rsc/riverCatalogue/Vol_04/02_Indonesia-10.pdf. diakses 12 Juli 2013.

Karim, A.M. dkk. (2011). SLHE Status Lingkungan Hidup Ekoregion Sulawesi. Pusat

Pengelolaan Ekoregion Sulawesi, Maluku dan Papua. Kementerian Lingkungan

Hidup.

Lipu,S. (2010). Analisis Pengaruh Konversi Hutan terhadap Larian Permukaan dan Debit

Sungai Bulili, Kabupaten Sigi. Media Litbang Sulteng III No. (1): 44-50, Mei 2010.

ISSN : 1979 -5971.

Supratman dan C.Yudilastiantoro. (2004). Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS

Jeneberang. (Online) www.puslitsosekhut.web.id. Diakses 12 Juli 2013

Schiariti, P. (2008). Basic Hidrology Runoff Curve Numbers. Mercer County Soil

Conservation Distric. (Online). http://njscdea.ncdea.org/CurveNumbers.pdf. diakses

tanggal 12 Juni 2012.

LAMPIRAN

Daftar Tabel

Tabel 1. Penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang

Penggunaan lahan 2004

(Ha)

Persen

(%)

2010

(Ha)

Persen

(%)

Perubahan

(%)

Hutan 4.421,5 18,5 3.836,9 16,0 -13,22

Ladang campur semak 11.667,2 48,8 13.361,6 55,9 14,52

Padang rumput alang-alang 106,4 0,4 106,4 0,4 0,00

Perkebunan 173,8 0,7 173,8 0,7 0,00

Sawah 4.568,7 19,1 4.489,3 18,8 -1,74

Semak belukar 2.422,1 10,1 1.892,4 7,9 -21,87

Tanah terbuka 500,8 2,1 - - -100,00

Tubuh air 52,1 0,2 52,1 0,2 0,00

Jumlah 23.912,5 100,0 23.912,5 100,0

Tabel 2. Nilai Bilangan Kurva pada berbagai jenis penggunaan lahan

Penggunaan lahan Kelompok hidrologi tanah*)

C D

Hutan 77 83

Ladang campur semak 88 91

Padang rumput alang-alang 86 89

Perkebunan 82 86

Sawah 82 85

Semak belukar 77 83

Tanah terbuka 91 94

Tubuh air 100 100

*) Sumber: SCS, 1975 dalam Schiariti (2008) dan Baja (2012)

Tabel 3. Morfometri hulu DAS Jeneberang

Nama sub

DAS

Luas

(km2)

Panjang sungai

utama (km)

Panjang aliran (ft)

Y (%)

Retensi

maksimum (S) (Inchi)

Time Lag

(jam)

2004 2010 2004 2010

Bengo 22,1 4,30 16.893,7 2 1,4 1,4 1,51 1,50

Jeneberang 129,4 25,21 16.837,2 31 1,7 1,6 0,45 0,44

Malino 87,6 21,49 13.374,7 25 1,3 1,3 0,38 0,38

Daftar Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian

Gambar 2. Debit puncak tahun 2004-2010 di hulu DAS Jeneberang

0

50

100

150

200

250

jan feb mar april mei juni juli agst sept okt2004 193. 225. 152. 122. 152. 55.5 7.4 0 0 2

2010 212. 121. 73.5 160. 81.9 163 106. 162. 73.7 64.9

De

bit

pu

nca

k (m

3/d

t)