Upload
lyliem
View
220
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
DRAMA KOREA DAN PEMBENTUKAN REALITAS
(Studi Deskriptif Pembentukan Hiperrealitas melalui Tayangan Drama
Korea “Goblin” di Kalangan Penontonnya)
I’anah Marfu’ah
Aryanto Budhy Sulihyantoro
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Korean drama Goblin are the fantasy figures of popular culture products in Korea and really have an effect on people's lives. The research used qualitative research methods with obsevvasi, in-depth interviews, as well as literature review, as a data retrieval technique. It used interactive analysis in analyzing data and also source triangulation as a data validation technique. Based on the results of data analysis, In the Korean drama Goblin, there are four simulations that form the audiences hyperreality. Goblin is a drama that reflects the social life of Korean society, creates a artificial reality that seems real, showcases fantasy and illusions of stories with modern technological sophistication, so the audience seems to believe that simulations in Goblin drama are real although Goblin drama actually offers something which are not exist in the real world, but the audiences love it. The Korean drama Goblin is just a simulacrum, which is a space or a room where the simulation process takes place or happens. It is creating a simulation that can spoil the audience. Korean drama Goblin, has its own impact on the audiences, the excessive hyperreality in assuming that the story shown in the Goblin drama is real, as if they were directly involved in the drama , as well as excessive hypereality in wanting accessories that related to Goblin dramas such as Goblin dolls and scarves. Then it continues to imitative behaviour of the audience in the form of photo editing of sword stabbing. Moreover, audiences tend to have more curiosity about their idol's personal life.
Keywords : Hypereality, Popular Culture, Korean Drama
1
Pendahuluan
Saat ini media massa sudah menjadi sebuah bagian yang tidak dipisahkan
dengan masyarakat. Seiring perkembangan teknologi media massa juga
mengalami perkembangan yang begitu pesat. Seperti yang dikatakan Roger Fidler
(2002:4) dalam buku New Media Teori dan Aplikasi karangan Chatia Hapsari
dkk, bahwa mediamorphosis yang diartikan sebagai transformasi dari media
komunikasi yang difokuskan pada perkembangan teknologi, dari sini media baru
dapat dipahami bukan hanya sebagai media yang benar-benar baru muncul dalam
bentuk media komunikasi. New media muncul dari inovasi-inovasi media lama
yang kurang relevan lagi pada perkembangan teknologi dimasa sekarang. Seperti
yang dikatakan Filder (2011: 5), media baru lainnya saat ini adalah menonton
dengan sambungan internet atau yang disebut video streaming bahkan kini video
tersebut dapat diunduh secara gratis.
Diawali dari konsumsi media sosial inilah, penyebaran budaya asing mulai
terjadi. Berkaitan dengan budaya asing, budaya asing yang telah menjadi populer
yang saat ini banyak menarik perhatian dunia adalah kebudayaan populer dari
Korea Selatan. Fenomena budaya populer Korea Selatan atau Hallyu Wave telah
membawa aliran nilai-nilai budaya Korea meluas ke berbagai negara dan menarik
banyak massa. Istilah Hallyu sendiri mungkin bukan sesuatu yang menarik bagi
masyarakat umum. Kecintaan mereka terhadap demam Korea itu muncul dari
musik-musik Korea, film, drama, game dan bahkan gaya berpakaian mereka dan
juga gaya bicaranya pun terpengaruh dengan adanya Hallyu di Indonesia, mereka
terjangkit virus dari apa yang mereka tonoton lewat drama, film dan music. Dalam
penelitian Wuryanta (2011), dikatakan bahwa awal masuk budaya populer di
Indonesia adalah melalui saluran televisi swasta nasional yang ada di negara
Indonesia. Sepanjang tahun 2003 - 2008, RCTI dan Indosiar menayangkan
beberapa judul drama Korea secara simultan. Rating yang tinggi dan permintaan
pasar membuat stasiun televisi menayangkan drama Korea secara bergantian.
Kemunculan drama-drama Korea masih digemari hingga saat ini.
2
Drama Korea (Hangul: 한국드라마; RR: hanguk deurama) atau K-drama
mengacu pada drama televisi di Korea, dalam sebuah format miniseri, yang
diproduksi dalam bahasa Korea. Banyak dari drama ini telah menjadi populer di
seluruh Asia dan telah memberi kontribusi pada fenomena umum dari gelombang
Korea, dikenal sebagai Hallyu (bahasa Korea: 한류), dan juga "Demam Drama"
di beberapa negara seperti di negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, dan
Asia termasuk Indonesia. Dalam drama Korea ada dua genre utama drama Korea.
Genre pertama dengan plot pendek, berakhir cepat, dan tanpa referensi seksual
yang jelas, yang biasanya sering ditemukan di drama barat. Drama Korea
berlangsung dari 16 episode sampai lebih dari 100 episode (biasanya tidak lebih
dari 200 episode). Genre utama lainnya adalah mengenai drama sejarah Korea
(juga dikenal sebagai sa geuk), yang merupakan dramatisasi fiksi sejarah Korea.
Perkembangan drama Korea di Indonesia sangat pesat, hal ini didukung dengan
kemudahan mengakses khususnya dimedia online. Di Indonesia banyak sekali
media online yang menjadi alternative untuk mendapatkan serta menonton drama
maupun film korea melalui situs-situs Online
Drama Korea Goblin: The Lonely and Great God / Guardian: The Lonely
and Great God menjadi drama yang mendulang sukses khususnya di Indonesia,
K-drama yang berakhir pada bulan Januari 2017 masih saja menjadi perbincangan
hangat netizen di Indonesia. Goblin menjadi drama Korea paling populer di
Indonesia, dari data pantauan dari Isentia terlihat bahwa drama “Goblin” menjadi
pembicaraan sebesar 39,73 persen netizen di Indonesia atau sekitar 23.000 dari
total pembicaraan, dengan rata-rata mendapat 461 buzz setiap harinya. Goblin
juga merupakan drama Korea yang banyak di tonton, mersih rating tinggi dan
juga banyak meraih penghargaan
Hiperrealitas juga merupakan sebuah gejala dimana banyak bertebaran
realitas-realitas buatan yang nampak riil diabandiangkan dengan realitas yang
sebenarnya. Hiperrealitas pada akhirnya menciptakan keadaan ketika sesuatu yang
nyata bercampur dengan sesuatu yang abstrak atau keadaan di mana sudah tidak
ada lagi perbedaan mana yang nyata dan mana yang abstrak (Hidayat, Medhy
3
Aginta. Kebudayaan Posmodern Menurut Jean Baudrillard (2008). Dengan
prinsip-prinsip hiperrealitas citraan yang disajikkan dalam drama Korea Goblin
merupakan tokoh-tokoh fantasi produk budaya popular di Korea. Drama Korea
yang diproduksi kini benar-benar berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
Hiperealitas menyebabkan seseorang terperangkap dalam sesuatu yang
tidak nyata (semu) dan menganggap kondisi demikianlah yang sebenarnya ada
dalam dunia remaja. Sekilas dampak simulasi media untuk membentuk
hiperrealitas ini memang tidak tampak namun realitas semu ini akan sangat
berbahaya. Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan
masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya yang bukan kenyataan.
Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru
(imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi
direalisasikan dalam kehidupan keseharian serta hiperrealitas membuat
masyarakat berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan
ekonominya melaikan karena pengaruh model yang menyebabkan gaya hidup
yang berbeda.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana simulasi dalam drama Korea Goblin?
2. Bagaimana pembentukan hiperrealitas melalui tayangan Drama Korea Goblin
di kalangan penontonnya?
Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi dan Komunikasi Massa
1.1 Komunikasi
Gerald R. Miller (2010:68) dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu pengantar
karangan Dedy Mulyana, bahwa komunikasi terjadi ketika suatu sumber
menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari
untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sedangkan menurrut Everett M.
Rogers (2010: 69) , komunikasi adalah proses diamana suatu ide dialihkan
dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk
4
mengubah tingkah laku mereka. Harold Laswell, komunikasi adalah “ Who
Says What In Wich Channel To Whom With What Effect? “, berdasarkan
definisi Laswell ini dapat diturunkan menjadi lima unsur komunikasi yang
saling bergantung satu dengan yang lainnya, yaitu sumber ( source), atau
yang sering disebut pengirim ( sender) , pesan . saluran atau media,
penerima ( receiver), dan yang terakhir efek.
1.2 Komunikasi Massa
Komunikasi Massa memiliki beberapa unsur penting, sebagai
Komunikator, Media Massa, Informasi Massa, Gatekeeper, Khalayak, dan
Umpan Balik seperti yang dijelaskan dalam buku Teori Komunikasi
Massa karangan Denis McQuali ( 2011 ), sebagai berikut : Komunikator ,
Media Massa , Informasi ( pesan ) massa, Gatekeeper , Khalayak ( Publik),
Umpan Balik
Dari keenam unsur-unur komunikasi massa , maka dapat diketahui
bahwa komunikasi massa memiliki fungsi, fungsi media yang banyak
dikenal sebagai fungsi informasi, fungsi pendidikan, fungsi control
sosial,dan fungsi hiburan. Tetapi apa yang ada pada tayangan televise ,
fungsi yang banyak ditonjolkan yaitu sebagai fungsi hiburan.
2. New Media
Menurut Terry flew (2002:10) dalam buku New Media teori dan
aplikasi 2011, new media ditekankan pada format isi media yang
dikombinasikan dan kesatuan data baik teks, suara, gambar, dan
sebagainya dalam format digital, kemudian ditambah pada system
penyebarannya yaitu melalui jaringan internet. Pada era sekarang jaringan
internet dapat diakses dengan mudah, cepat, dimana saja dan kapanpun,
masyarakat dapat dengan mudah untuk mendapatkan hiburan atau
informasi, dapat megakses bentuk baru dari media komunikasi, misalnya
untuk mencari hiburan pada tayangan serial drama Korea, dengan cepat
hanya online dan mendownloadnya melalui situs-situs atau website yang
menyediakannya diantaranya : Nontons.tv, Drakorindo.com,
Khsowsubindo.com, Cinemaindo.net , dll
5
3. Budaya Populer dan Drama Korea
3.1 Budaya Populer
Budaya pouler merupakan cermin dari dinamika sosial, yang
memiliki kekuatan untuk membentuk dan mencerminkan cita-cita budaya ,
menghasilkan perlwanan dan aktivitas, serta memperesntasikan perubahan
relitas sosial. Menurut Williams , ia memberikan empat makna yakni
popular berarti, : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3)
karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang
memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.(Williams, 1983:237).
Budaya popular Korea atau Korean Wave pada hakikatnya
merupakan fenomena demam Korea yang disebarkan melalui Korean Pop
Culture ke seluruh penjuru dunia lewat media massa, dan yang terbesar
lewat jaringan internet dan televisi. Korean Wave adalah istilah yang
diberikan untuk tersebarnya budaya Pop Korea secara global di seluruh
dunia tidak terkecuali Indonesia, yang secara singkat mengacu pada
globalisasi budaya Korea Selatan (Ulfianti, 2011:1). Sejalan dengan apa
yang diutarakan sebelumya. Korean Wave adalah istilah yang diberikan
untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di
dunia, (Muti’ah, dkk,iii:2012). Budaya pop korea disebarkan melalui
produk drama korea, film korea boyband dan girlband korea.
3.2 Drama Korea
Drama Korea (Hangul: 한국드라마; RR: hanguk deurama) atau K-
drama mengacu pada drama televisi di Korea, dalam sebuah format
miniseri, yang diproduksi dalam bahasa Korea. Banyak dari drama ini
telah menjadi populer di seluruh Asia dan telah memberi kontribusi pada
fenomena umum dari gelombang Korea, dikenal sebagai "Hallyu (bahasa
Korea: 한류 )". Dalam drama Korea ada dua genre utama drama Korea.
Genre pertama menyerupai opera sabun barat dengan plot pendek,
berakhir cepat, dan tanpa referensi seksual yang jelas, yang biasanya
sering ditemukan di drama barat Drama Korea berlangsung dari 16
episode sampai lebih dari 100 episode (biasanya tidak lebih dari 200
6
episode). K-Drama merupakan salah satu bagian dari Hallyu (Korean
wave) bahkan K-Drama merupakan penyebab terjadi Korean wave di
berbagai negara.
Drama Korea Goblin drama garapan Kim Eun Sook bergenre
fantasy romance. dengan 16 episode yang tayang pada slot Jumat-Sabtu
pukul 20:00 KST di salah satu channel Tv berbayar yaitu TVN. Drama
bertema fantasi yang ditulis oleh Kim Eun Sook (Juga menulis drama
DOTS, The Heirs, Secret Garden dan sederet drama fenomenal lainnya)
ini mendapatkan reaksi yang positif dan menjadi demam tersendiri bagi
pencinta drama korea di negara-negara lain. Selain cerita yang menarik,
efek grafis yang baik, soundtrack yang merajai tangga lagu, serta para
aktor tampan dan artis cantik yang tak diragukan lagi kemampuan
aktingnya membuat drama ini semakin dicintai oleh penikmat drama. Dan
tentu saja, drama ini meraup rating yang cukup tinggi untuk ukuran rating
tv berbayar.
4. Teori Simulasi dan Hiperrealitas Jean Baudrillard
Istilah hiperrealitas ini dikemukakan oleh seorang pemikir Prancis
Jean Baudrillard, khususnya dipakai dalam ranah komunikasi menyangkut
media massa di era globalisasi. Jean Baudrillard menggunakan istilah
hiperrealitas untuk menjelaskan perekayasaan makna di dalam media.
Hiperrealitas media menciptakan suatu kondisi sedemikian rupa sehingga
kondisinya semakin remang-remang, kepalsuan-kepalsuan informasi
dianggap sebagai kenyataan, isu-isu yang beredar lebih dipercayai
daripada kebenaran faktual. Sehingga publik akhirnya tidak bisa
membedakan mana kebenaran sejati dengan kebenaran semu.(Piliang,
2005: 222).
Hiperealitas lahir dari sebuah proses simulasi dan simulacra.
Simulasi merupakan adanya proses penciptaan bentuk nyata melalui model
yang tidak ada asal usulnya yang mengakibatkan peleburan atau tidak bisa
membedakan asli atau butan , antara fakta dan citra. Proses simulasi inilah
7
yang mendorong terbentuknya ”hiperrealitas” , di mana tidak ada lagi yang
lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan. Baudrillard
memandang era simulasi dan hiperrealitas sebagai bagian dari rangkaian
fase citraan yang berturut-turut: Merefleksikan kenyataan , Menutupi atau
menyesatkan kenyataan, Menutupi ketiadaan dalam kenyataan dan
Menunjukkan tidak adanya hubungan diantara kenyataan manapun dan
murni hanya sebagai simulacrum.
Simuarcum adalah ruang dimana proses simulasi berlangsung dan
ditandai oleh kehadiran teknologi beserta bentuk kecanggihan didalamnya.
Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi
berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya.
Jean Baudrillard dalam hal ini menyebut sebagai hiperrealitas sebagai
akibat budaya konsumsi yang terus menerus dikalangan masyarakat
sebagai sebuah bentuk perkembangan disegala aspek kehidupan manusia
yang telah menjerumuskan masyarakat sekarang dalam dunia
komsumerisme.
Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi dalam
dunia hiperealitas tidak saja realiitas yang hilang, tetapi juga dunia tak
nyata,hanya fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Khalayak
seolah-olah berada diantara realitas dan ilusi, tidak bisa membedakan yang
nyata dan apa yang ada di layar. Hiperrealitas pada akhirnya menciptakan
keadaan ketika sesuatu yang nyata bercampur dengan sesuatu yang abstrak
atau keadaan di mana sudah tidak ada lagi perbedaan mana yang nyata dan
mana yang abstrak (Hidayat, Medhy Aginta. Kebudayaan Posmodern
Menurut Jean Baudrillard (2008). Internet, televisi, dan beberapa produk
teknologi lainnya mensimulasikan segala hal yang mencakup semuanya
(kebahagiaan, hiburan, dan kesenangan), Baudrillard menyebut hal ini
dengan hiperrealitas, di mana kita dijejali dengan citra dan informasi.
Media membuat penonton tengelam pada hiperrealitas, Drama Korea
sebagai media kekuatannya terletak pada kemampuan untuk merekayasa
8
fakta dan fiksi, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan, dapat
menghayati isi cerita dalam drama
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian deskriptif kualitatif, dengan
menggunakan model pengambilan purposive sampling. Teknik pengambilan data
menggunanan observasi non partisipan, wawancara mendalam (in-depth
interview) dan studi pustaka. Sedangkan teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman, yaitu (1)
pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) penarikan kesimpulan.
Sajian Data
A. SIMULASI DAN SIMUKARCA DALAM DRAMA KOREA
“GOBLIN”
Simulasi merupakan suatu proses, menghasilkan simulacra. Dalam
dunia pascamoderen dengan kecangihan teknologinya mampu
menciptakan berbagai tanda, namun tanda tercebut berupa citraan. Citraan
merupakan segala sesuatu yang tampak oleh indra namun tidak
mempunyai realitas yang real (Selu,2011:128). Bentuk media massa
seperti drama Korea mampu menciptakan simulasi , menciptakan realitas
dan membentuk hiperrealitas. Simulasi sendiri dapat dipahami sebagai
sebuah tindakan meniru, dengan tujuan untuk menipu, atau semacam
teknik meniru dari beberapa situasi. Simulasi sendiri tidak harus sesuatu
yang rasional. Simulasi dapat merupakan sesuatu yang menarik minat
manusia, termasuk tokoh khayalan. Simulasi juga akan sebar luaskan
kepada masyarakat melalui media secara berulang sehingga konsep
tersebut tertanam di dalam benak masyarakat. Simulasi merupakan usaha
untuk mengubah gambaran tentang dunia nyata melalui imajinasi. Proses
simulasi membawa masyarakat untuk menikmati sebuah realitas, padahal
realitas itu hanya realitas semu atau kosong belaka. Realitas yang
9
direkayasa yang disampaikan oleh media massa dan terus menerus
disampaikan dan dikonsumsi oleh penonton. Dalam drama Korea
“Goblin” simulasi muncul pada cerita dan tayangan dalam drama tersebut.
Dalam drama Korea “Goblin” berbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan
ilusi, kebenaran dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga
seolah-olah nyata. Simulacra adalah ruang tempat mekanisme simulasi
berlangsung. Manusia, dalam konteks perkembangan teknologi virtual,
mengutip Baudrillard, dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya
nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dalam dunia
simulasi ini, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan
model-model (Baudrillard, 1987).
1. Merefleksikan kenyataan atau realitas dasar
Drama “Goblin” memberikan gambaran mengenai dua dunia, yaitu
dunia manusia biasa dan dunia tentang kehidupan makhluk yang dikutuk
menjadi siluman dan dewa. Drama ini mengambarkan kehidupan atau
simualasi dari kenyataan. Drama ini mengisahkan kehiduapan yang
berlatar belakang di Negara Korea, yang menceritakan kehidupan Eun Tak
dan Sunny yang menunjukan kehidupan sosial masyarakat Korea seperti
layaknya masyarakat Korea biasa yang sekolah dan juga bekerja. Jadi
drama ini merupakan refleksi dari kenyataan kehidupan masyarakat Korea
2. Memiliki arti lain atau menutupi atau menyesatkan kenyataan
Beberapa bagian dalam drama ini merupakan refleksi dari
kenyataan, namun ada beberapa hal yang berbeda dari kenyataan atau
realitas yang sebenarnya seperti adanya “Goblin”, hantu, malaikat maut.
“Goblin” merupakan cerita rakyat dari masyarakat Korea, atau dalam
Korea meneyebutnya dokabbie makhluk mitologi atau transformasi dari
benda mati yang berwujud menakutkan dan juga kerdil, suka mencuri dan
juga memiliki tongkat sihir. Tetapi dalam drama “Goblin”, “Goblin”
merupakan kutukan dari jendral zaman Goreyo yang dikutuk, “Goblin”
dalam drama ini berwujud manuisa tinggi dan rupawan, samasekali tidak
10
menakutkan bahkan berwujud pria menawan dan juga bukan tongkat sihir
melainkan pedang yang tertancap di tubuhnya. Hantu, malaikat maut pada
kenyataannya ada tetapi sebagai manusia kita tidak mungkin bisa
melihatnya, tetapi dalam drama Eun Tak bisa berinteraksi dan
berhubungan dengan hantu dan malaikat maut, dan juga malaikt maut
digambarkan sosok manusia yang tampan dengan topi vedora. Hal ini
tentu menutupi bahkan tidak berdasarkan realitas nyata dan cenderung
menyesatkan.
3. Menyamarkan fakta atau menutupi ketiadaan dalam kenyataan
Dalam kehidupan nyata untuk pergi ke suatu Negara kita
membutuhkan waktu dan harus menaiki transportasi udara, akan tetapi
dalam drama “Goblin” Eun Tak dan “Goblin” bisa pergi ke Kanada hanya
lewat sebuah pintu ajaib. Selain itu dalam drama ini cara memangil dan
jika ingin bertemu kekasihnya hanya dengan meniup lilin atau korek api
maka dengan sekejap bisa langsung bertemu, tentunya dalam kehidupan
nyata sesungguhnya untuk bertemu dengan seseorang kita harus mengirim
pesan lewat handpone, tetapi di Drama Korea Eun Tak hanya meniup api.
4. Sesuatu yang tidak terjadi di kehidupan nyata dan murni hanya
sebagai simulrcum.
Simulasi pada drama “Goblin” sesungguhnya tidak dapat
ditemukan dalam kehidupan nyata, misalnya hidup ratusan tahun,
berengkarnasi, berpindah Negara dengan pintu ajaib, mempunyai kekutan
dapat menghentikan waktu, bahaya dan kematian dan malaikat maut yang
dapat berkomukasi dan mejalin hubungan dengan manusia serta berubah
wujud, itu semua tidak bisa ditemukan dalam kehidupan nyata sehingga
drama “Goblin” dapat dikatakan sebagai sebuah simulacrum. Simulacrum
tempat berlangsungnya simulasi.
11
B. HIPEREALITAS DRAMA KOREA “GOBLIN” TERHADAP
PENONTON
Kemunculan drama-drama Korea juga menunjukakn adanya
gejala Hiperrealitas, yaitu adanya perubahan yang terjadi pada
masyarakat yang disebut Jean Beaudrilard dengan masyarakat simulasi
dan hiperrealitas. Jean Beaudrilard mengembangkan pemikirannya
yang dapat digunakan untuk melihat realitas dalam masyarakat
modern, terutama masyarakat consumer. Pemikiran Baudrillard
tentang dunia simulasi dan gagasan tentang fenomena hiperrealitas
dapat dijelaskan secara gamblang dan menjadi mudah dipahami
melalui film, televisi dan video game (Baudrillard, 1987: 33). Dalam
wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard
berkumpul berbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran
dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah
nyata. Menurut Baudrillard inilah lukisan dari kehidupan
postmodernisme yaitu terbentuknya hiperrealitas (realitas semu).
1. Menggangap bahwa kejadian yang ditampilkan merupakan
suatu realitas atau berasal dari kenyataan.
Dampak yang dihasilkan dari hiperrealitas adalah adanya
kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya
bukan kenyataan. Runtuhnya realitas karena rekayasa model-model
(citraa, halusianasi,simulasi) yang diangap lebih nyata dari realitas
yang sebenarnya, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur
(Piliang dalam Selu, 2011:121). Seperti yang dikatan oleh
informan bahwa mereka beranggapan bahwa apa yang ada dalam
drama “Goblin” merupakan ceriminan kehidupan serta cerita
rakyat orang Korea.
-Goblin berasal dari legenda orang Korea
12
Dari beberapa informan mereka percaya bahwa “Goblin”
itu merupakan mitos , legenda atau cerita rakyat orang Korea,
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan
kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang
berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenaran
dan kenyataannya. Model ini menjadi faktor penentu pandangan
kita tentang kenyataan, seperti yang Mayang
“Kalo aku baca beberapa sumber, sebenernya bukan goblin namanya tapi dokkaebi. Dokkaebi itu salah satu mitos makhluk halus di korea. Jadi mitos Dokkaebi emang beneran ada, tapi kalo yg kehidupan zaman goryo aku pikir itu cuma tambahan fiksi aja dari penulisnya.” (Mayang, 20 Juli 2017)
-Reingkarnasi
Selain itu informan juga mengungkapkan bahwa cerita
rengkarnasi yang di alami Kim Shin , raja Waang Yoo dan Ratu
Kim Sun itu benar-benar mencerminkan realitas yang terjadi
diKorea .
“Kalo rengkarnasi kan menang kepercayaannya masyarakat korea gitu , ya Cuma aku jadi emang iya gitu ya gitu sih jadi punya pandangan juga oh prosesnya egkarnasi gitu ya.” (Fafah, 14 Juli 2017)
-Adanya Hantu (Makhluk Halus) dan manusia dapat
berinteraksi
Hiperrealitas adalah hasil rekayasa banyak tayangan-
tanyangan yang menampilkan cahaya, pada setasiun Tv cahaya
tersebuut dinamai hantu (Selu, 2011:127) itu merupakan tanda
adanya hantu, penampakan atau roh yang bergentayangan. Padahal
keaslian adanya hantu masih terus dipertanyakan. Media massa
dengan segala tipu muslihatnya mampu meyakinkan sebagian
besar bahwa itu hantu (Selu,2011:128). Perdedaan mana yang yang
benar, ilusi, fantasi sangat tipis , maka dari data yang diperoleh
13
infoman pun percaya adanya Hantu, dan manusia juga dapat
berinteraksi dengan mahkluk yang tidak terlihat seperti yang ada
dalam tayangan drama ini.
“Klo maslaah makhluk halus aku percaya kan di sini juga
memang ada yang bisa lihat makhluk halus. Ya pas cerita ji
eun tak bisa melihat dengan hantu kan di dunia nyata juga
ada kan orang yang bisa melihat hantu” (Rizka, 21 Juli
2017)
-Kehidupan EunTak yang malang
Dalam masyarakat Global peran televise sanagt besar,
sebuah tayangan informasi disiarkan dengan format memikat dan
medramatisir. Dalam tayangan darama “Goblin” ini tokoh utama Ji
Eun Tak meruapakan gadis yang sejak kecil sudah hidup menderita
karena Ibunya meninggal serta ia hidup degan bibinya dan dua
saudara tirinya. Realitas yang ada di media inilah membuat
pandagan penoton bahwa apa yang terjadi dengan Eun Tak juga
dapat terjadi dan dialami oleh masyarakat lain.
“yang Ji Eun Tak , kan di situ dia diceritakan jadi orang
miskin, tapi karena dia pinter dia bisa ketrima di universitas
dia bisa milih sesuai yang ia pilih , kalo menurutku di dunia
nyata memang begitu yaa.” (Lela, 20 Juli 2017)
Dampak yang dihasilkan dari hiperrealitas ini adanya
kepercayaan masyarakat khusunya penonton drama Goblin terhadap
kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan.
2. Ikut melebur pada layar virtual melalui fantasi yang
berlebihan
Penonton yang menonton tayangan drama “Goblin” ini
tidak hanya percaya apa yang ditontonkan adalah kenyataan akan
14
tetapi juga telah ikut terlibat di dalamnya. Cerita yang disuguhkan
mengharu biru, menggembirakan dan menghibur dapat melarutkan
pula perasaan dari penontonnyaa. Fakta ini ditunjukan oleh
kenyataan baru bahwa drama Korea “Goblin” telah menjadi
pelarian seseorang dari kenyataan kehidupannya sehari-hari yang
penuh dengan permasalahan yang semakin menghimpit. Sehingga
merekapun terlibat dan larut dalam dunia televisi dan begitupun
sebaliknya.
“Itu kan ceritanya tragis banget ya antara goblin dan
pengantinya mereka saling sayang saling cinta tapi salah
satu harus mati jadi pas nonton itu sedih banget jadi ikut
nangis. Pas goblin ditarik pedangnya sama ji eun tak terus
jadi abu itu sedih banget aku ikut nangis lama , dewanya
ikut nagis , jadi terbawa-bawa gitu terus pas ji eun tak pas
disiksa sama bibinya itu ceritanya sedih , aku nontonnya
ikut sedih ikut nangis. Pokoknya klo sedih ikut sedih pas
baper juga baper gitu.” (Rizka, 21 Juli 2017)
Para penonton telah melibatkan emosi dan perasaannya ketika
menonton drama “Goblin”, mereka merasakan adanya perasaan
senang, kecewa dan marah saat menonton drama tersebut, bila
dikaitkan dengan teori dan konsep Jean Baudrilard hal ini
mencerminkan terbentuknya hiperrealitas
3. Terbentuknya pola pikir yang serba instans, membentuk
manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji.
Keadaan hiperrealitas ini membentuk pola pikir yang serba
instan serta menjadi berlebihan di dalam mengkonsumsi sesuatu
yang menurut penulis tidak jelas essensinya. Sebagian besar
penonton drama Korea tersebut mengkonsumsi segala hal yang
berkaitan dengan Korea dan “Goblin” karena pengaruh model-
model dari simulasi yang menyebabkan perubahan pada lifestyle
15
dan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Drama Korea “Goblin”
telah menjadi realitas mereka salah satu informan penelitian yang
memiliki boneka yang menjadi iconic drama “Goblin”. Bahkan
Tika mendapatkan boneka Goblin itu langsung dari Korea, dikirim
ke Solo. “Uhhh itu aku dapet 1 boneka goblin dari temenku yg di
korea.” (Tika, 15 Juli 2017)
Mainan ini adalah citraan lain yang sedang ditanamkan ke
dalam pikiran masyarakat bahwa “Goblin” adalah sosok yang
pantas dijadikan role model. Mainan atau boneka Goblin tidak lagi
memiliki nilai guna dan nilai tukar, karena memang hanya
diciptakan unutk memenuhi nilai tanda dan nilai simbol saja.
Dengan membeli boneka “Goblin” seseorang bisa mendapatkan
status sebagai penyuka drama pengikut budaya pop. Sebagian
besar Penonton drama “Goblin” tersebut mengkonsumsi segala hal
yang berkaitan dengan “Goblin” karena pengaruh model-model
dari simulasi yang menyebabkan perubahan pada lifestyle dan
nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, “Goblin” telah menjadi
realitas baru bagi mereka. Selain mengkonsusmsi sesuatu yang
tidak ada esensinya para penoton drama “Goblin” juga memiliki
pemikiran yang tidak realistis atau berhayal.
Seperti yang diungkapkan oleh informan “Setelah aku
nonton goblin aku pengen semua adegan di goblin itu kenyataan
kayak cuma meniup lilin bisa langsung pasangannya dateng bisa
langsung ketemu. Pengen kayak cuma buka pintu aaja bisa
keliling ke luar negeri. Aku pengn punya pacar gitu yang
romantic.” (Devi, 15 Juli 2017)
Keadaan hiperrealitas ini lah yang membuat penonton
berlebihan dalm mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan dan tidak
ada ensensinya dan mempunyai pemikiran yang tidak rasional, serba
instan dan cepat.
16
4. Menghadirkan dlm kehidupan nyata dengan tindakan dan
kegiatan yang irasional
Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola
budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai
sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan
keseharian. Dari data informan banyak yang mengikuti dan meniru
seperti yang di simulasikan dalam drama “Goblin” . Tidak hanya
meniru apa yang ada di dalam tayangan drama “Goblin”, para
penonton khususnya informan juga mengatakan bahwa foto hasil
edit kekinian ala “Goblin juga mereka ungah di media sosial
mereka khususnya instagram. Media sosial menjadi ruang terbaik
hiperrealitas, karena dapat merepresentasikan hiperrealitas menjadi
realitas palsu (Sarup, 2003: 293).
Seperti apa yang dikatakan informan, mereka mencari tau
apa yang sedang kekinian dan trend dari drama “Goblin” ini. ” Aku
ikut-ikut edit ketusuk pedang kayak goblin itu yang aku tiru. Aku
uplod diinstagram gitu , Kan setelah drama goblin bermunculan
edit-edit kayak gitu. Aku lagi kkn nah teman-teman ku juga suka
yaudah aku sma temen-teman jadi kepo itu ngeditnya pakai apa
yaudah nemu lagsung edit dan uplod di ig.” (Lela, 20 Juli 2017)
Tidak hanya megikuti tred kekinian pedang Goblin, infroman
bahkan mengatakan ikut mempunyai pasangan yang berbeda umur
seperti halnya pemeran Eun Tak dan Ahjussi Goblin. “iya sih aku
sama pasangan ku juga beda jauh umurnya ya gara-gara drama
goblin ini jadi ngilangin image jelek hubungan yang beda usia , ya
gak maslah sih gitu. Hhehe ya cueknya sama kan kalo di drama
kadang si eun tak menghungi goblin tapi gak dibales ya ya gitu
pasangan ku juga gitu .(Rizka, 21 Juli 2017)
Selain mempunyai pacar yang berbeda umur para informan,
juga cenderung mengikuti kabar dan juga ingin tahu kehidupan
para pemain drama “Goblin”. Hal itu menunjukkan bahwa adanya
17
hiperrealitas yaitu berubahnya pandangan tentang waktu, apa yang
dialami dan iformasi dari Korea setiap informan dapat mengetahui
berita tersebut hanya dengan melihat media sosial atau official
account yang mereka ikuti.
“Kepo aktor aktris nya , aku selalu ngikuti makanya pas awal
kim sho hyun uplod fto di ig dia pakai baju kerajaan trus aku
drama apa tapi aku ttp ngikuti sealau kan aku bias sejati ( fans
fanatik), duhh deket banget appalagi ya pernah tiba2 ada yg
namanya kim sho hyun follow ig aku duh dpnya sama aku
seneng banget sampe aku screen soot ya mbk sampe mau tak
uoplod tak buat story eh ternya akun itu hanya fans base, Trus
klo dia uplod aku ya like aku ya komen gt huhu meskipun gak
pernah direspon.” (Devi, 15 Juli 2017)
Pada akhirnya drama Goblin bukan sekedar hiburan saja
tetapi sudah berubah menjadi akivitas semu sehari-hari, dengan
meniru sesuatu yang ada dalam drama dan juga membuat penonton
menjadi megikuti hal-hal yang berkaitan dengan actor dan
dramanya.
Kesimpulan
Berdasarkan data wawancara dan observasi non partisipan yang
peneliti lakukan dan dievaluasi dengan model analisis interaktif dengan
pendekatan kualitatif dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam tayangan drama Korea goblin ada empat simulasi:, bahwa
drama Korea Goblin merupakan drama yang mencerimkan atau
merefleksikan kehidupan sosial masyarakat Korea, menciptakan
rekayasa realitas yang tampak seperti nyata, menampilkan fantasi dan
khayalan cerita dengan kecanggihan teknologi modern, sehingga
penonton seakan-akan percaya bahwa simulasi dalam tayangan drama
Goblin nyata dan drama Goblin sebenarnya menawarkan sesuatu
18
yang sebetulnya tidak ada didunia nyata. Drama Korea Goblin hanya
sebuah simulacrum, yaitu ruang dimana proses simulasi berlangsung,
menciptakan simulasi yang dapat memanjakan penontonnya.
2. Dari simulasi- simulasi dalam tayangan drama Korea Goblin,
mempunyai dampak tersendiri terhadap penontonnya, yaitu adanya
Hiperrealitas yang berlebihan dalam menganggap cerita yang di
tampilkan dalam tayangan drama Goblin merupakan sesuatu yang
nyata atau kenyataan dari masyarakat Korea, penonton cenderung
menikmati drama dengan melibatkan perasaan dan emosinya, seperti
merasa sedih, nangis dan bahagia seolah mereka mengalami dan
terlibat seperti dalam tayang drama, dan juga Hyperealitas yang
berlebihan dalam menginginkan aksesoris dalam Drama tersebut,
mulai dari ingin memiliki semua barang yang berkaitan dengan
drama Goblin seperti boneka Goblin dan syal dan berlanjut pada
perilaku imitasi yang berupa mengedit foto tertusuk pedang dan
cenderung berfikiran yang tidak rasional seperti berhayal memiliki
pasangan dengan wajah yang rupawan seperti pemain drama Goblin
dan juga ikut memperagakan adegan daalam drama dikehidupan
kesehariannya. Selain itu penonton mengikuti kegiatan aktor drama
tersebut, memiliki rasa ingin tahu yang lebih terhadap kehidupan
pribadi idola mereka.
Saran
Beberapa saran yang dapat penulis berikan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk penelitian skripsi selanjutnya, penelitian ini bisa dijadikan
acuan untuk melakukan sebuah penelitian yang bertemakan budaya
popular yang kedepannya semakin bervariasi dan tentunya menarik
untuk diteliti, mengingat budaya Populer Korea sangat berkembang
dan digembari berbagai kalangan.
2. Bagi masyarakat umum khusunya para pnonton dan pecinta drama
Korea, dalam menonton drama Korea seharusnya tidak berlebihan dan
19
juga kita dapat membedakan mana yang adegan dalam drama yang
nyata dan fantasi. Penonton seharusnya lebih memahami isi dari
tayangan yang ditampilkan oleh media massa khusunya drama Korea
Sehingga kedepannya tidak mudah terpengaruh dan meniru apa yang
ada dalam tayangan itu sendiri agar tidak menimbulkan efek
hiperrealitas.
Daftar PustakaBungin, Burhan. (2008). Kontruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.Demartoto. Argyo. (2009). Membedah Gagasan Post Modernisme Baudrillard:
Realitas Semu. UNS. ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009.Euny, Hong. (2016). Korean Cool , Strategi Inovatif di Balik Ledakan Budaya
Pop Korea. Bandung: Bentang.Fisher, Aubery. (1986). Teori- Teori Komunikasi. Bandung : Remaja Karya.Hastari Chati, dkk. (2011). New Media : Teori dan Aplikasi. Surakarta: Lindu
Pustaka.Hidayat, Medhy. (2008). Kebudayaan Posmoderen Menurut Jean Baudrillard.. McQuail, Denis. (2005). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta:
Aksara Pratama.Morissan. (2013). Teori Komunikasi : Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana.Nurudin. (2003). Komunikasi Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Selo,Margaretha. (2011). Hiperrealitas dan Ruang Publik. Jakarta: Penaku.Yasraf A Pillang. (1998). Dunia Yang Dilipat. Bandung: Penerbit Mizan.
20