Upload
nguyenanh
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGAWASAN SEBAGAI INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM DALAM
PENGELOLAAN USAHA PENGGALIAN BATU KAPUR DI KABUPATEN
BANYUMAS
Oleh : Indriati Amarini
SUMMARRY
Every effort is definitely environmentally destructive mining. This is due to the negative
impacts of mining in the form of destruction of forests, pollution of the sea, the outbreak of
disease, as well as community conflict on the circumference of the mine. The direct impact is the
ecological damage and the chances of flooding and landslides.
One of the mining business in Banyumas is a limestone quarrying. Excavation of the
limestone is generally performed by means of explosives such as dynamite, which is mixed with
powdered sulfur, because the results are faster and easier to get a chunk of limestone on the hill.
The use of explosives in addition to endangering the safety of themselves are also very
destructive excavating the existing ecosystem that is the beauty of the limestone hill does not look
natural again, but that smoke generated from burning explosives and greatly interfere with
breathing. One example is: The condition of the limestone mountain area Banyumas Ajibarang.
Efforts to prevent and / or environmental damage that can be carried out preventive law
enforcement efforts to prevent pollution of the environment including supervision and licensing,
but it can also be done in the repressive law enforcement efforts to anyone who violates the
provisions of applicable laws. There are several factors that affect the enforcement of
environmental law is its own legal factors, law enforcement factor, factor means or facilities to
support law enforcement, community factors and cultural factors.
Keywords: rule of law, business Digging Limestone
Setiap usaha pertambangan sudah pasti merusak lingkungan. Hal ini disebabkan timbulnya
dampak negatif dari usaha pertambangan berupa rusaknya hutan, tercemarnya laut, terjangkitnya
penyakit, serta terjadinya konflik masyarakat pada lingkar tambang. Dampak langsung adalah
kerusakan ekologis serta peluang terjadinya banjir dan longsor.
Salah satu usaha pertambangan yang ada di Banyumas adalah penggalian batu kapur.
Penggalian batu kapur pada umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti
dinamit, belerang yang dicampur dengan serbuk, karena hasilnya lebih cepat dan mudah untuk
mendapatkan bongkahan batu kapur yang ada di bukit. Penggunaan bahan peledak sendiri
disamping membahayakan keselamatan penggali juga sangat merusak ekosistim yang ada yaitu
keindahan dari bukit kapur tidak terlihat secara alami lagi, selain itu asap yang ditimbulkan dari
bahan peledak dan pembakaran sangat mengganggu pernafasan. Salah satu contoh adalah :
Kondisi Gunung kapur di wilayah Ajibarang Banyumas.
Upaya pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup dapat dilaksanakan secara
preventif yaitu upaya penegakan hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan
hidup meliputi pengawasan dan perijinan, selain itu dapat juga dilakukan secara represif yaitu
upaya penegakan hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang
2
berlaku. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan yaitu faktor
hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
Kata kunci : Penegakan hukum, Usaha Penggalian Batu Kapur
I. PENDAHULUAN
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Tuhan YME yang diberikan
kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu semua makhluk hidup mempunyai hak yang sama
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain ada hak tersebut, tentunya ada
kewajiban menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup ini. Kewajiban ini mencakup
semua tindakan yang dilakukan manusia baik secara individu maupun kelompok guna menjaga
dan melestarikan fungsi lingkungan hidup.
Masalah lingkungan terkadang terabaikan, tapi setelah dirasakan dampaknya, kerusakan
lingkungan akan membawa kerugian bagi setiap orang. Problematika lingkungan ini cukup
kompleks dan penyelesaiannya pun dapat membawa dampak yang kompleks pula, apabila tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial (A.Tresna Sastra
Wijaya,1991:83).
Setiap usaha pertambangan sudah pasti merusak lingkungan. Hal ini disebabkan
timbulnya dampak negatif dari usaha pertambangan berupa rusaknya hutan, tercemarnya laut,
terjangkitnya penyakit, serta terjadinya konflik masyarakat pada lingkar tambang. Dampak
langsung adalah kerusakan ekologis serta peluang terjadinya banjir dan longsor.
Salah satu usaha pertambangan yang ada di Banyumas adalah penggalian batu kapur.
Penggalian batu kapur pada umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti
dinamit, belerang yang dicampur dengan serbuk, karena hasilnya lebih cepat dan mudah untuk
mendapatkan bongkahan batu kapur yang ada di bukit. Penggunaan bahan peledak sendiri
disamping membahayakan keselamatan penggali juga sangat merusak ekosistim yang ada yaitu
keindahan dari bukit kapur tidak terlihat secara alami lagi, selain itu asap yang ditimbulkan dari
bahan peledak dan pembakaran sangat mengganggu pernafasan. Salah satu contoh adalah :
Kondisi Gunung kapur di wilayah Ajibarang Banyumas (Badan Geologi, Pusat Sumber Daya
Geologi, 2011).
II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan pengawasan sebagai instrumen penegakan
hukum pengelolaan usaha penggalian batu kapur pada masyarakat
2. Mengkaji dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksananan
pengawasan terhadap pengelolaan usaha penggalian batu kapur pada masyarakat
B. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
3
a. Mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum lingkungan yang berkaitan
dengan penegakan hukum lingkungan.
b. Mengembangkan instrumen penegakan hukum yang berkaitan dengan usaha
pengelolaan batu kapur di masyarakat
2. Manfaat Praktis
a. Memberi masukan pada pemerintah daerah dan masyarakat agar senantiasa tetap
memberikan motivasi dan solusi yang adil terhadap penyelesaian masalah
lingkungan.
b. Memberi masukan bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup tidak merusak kelestarian fungsi lingkungan.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi :
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan
hukum.
Adapun kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga harus
memperhatikan masyarakat hukum adat setempat dan kearifan lokal masyarakat setempat.
Adapun pengertian kearifan lokal sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 32
tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Salah satu penguatan instrumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup
adalah pengawasan dan perizinan sebagai upaya preventif dalam rangka pengendalian
dampak lingkungan hidup. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah
terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen,
dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.
Selain upaya tersebut diatas, perlu juga dikembangkan satu sistem hukum
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna
menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 juga mendayagunakan berbagai
ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana.
Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam
pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan,
ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan
menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku
4
kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
B. Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum pada hakikatnya sudah ada dan dimulai pada saat peraturan hukum
dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 24 ).
Tegaknya hukum di suatu negara merupakan dambaan setiap anggota masyarakat
yang tinggal di dalamnya. Penegakan hukum yang berlandaskan keadilan, kejujuran dan
tanpa pandang bulu merupakan tanggung jawab dari suatu negara yang dilaksanakan
melalui para aparatur negara.
Penegakan hukum dapat diartikan juga sebagai suatu proses yaitu proses atau cara
agar hukum tetap tegak yang berlandaskan keadilan dan kejujuran. Dalam penegakan
hukum ada suatu penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak
secara ketat yang diatur oleh kaidah hukum (Soerjono Soekanto, 1983 : 7 ).
Pada hakikatnya penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan terhadap
Undang-undang atau menjalankan keputusan hakim saja, akan tetapi suatu tindakan yang
menyangkut keadilan dan kepentingan orang banyak tanpa mengganggu kedamaian di
dalam pergaulan hidup mayarakat. Oleh karena itu para pejabat penegak hukum sebagai
puncak pelaksanaan yang dipercaya oleh masyarakat dapat menjalankan tugasnya dengan
sesuai dan benar tanpa melihat kelas atau kasta.
Dengan adanya pembedaan kelas di dalam masyarakat akan membawa suatu negara
ke dalam suatu arus yang tidak bisa dijangkau lagi oleh masyarakat, sehingga stratifikasi
sosial semakin berjenjang. Dampaknya masyarakat semakin jauh dengan keadilan dan
para penegak hukum karena mereka sudah tidak percaya lagi dengan kinerja para
penegak hukum.
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan
tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan tersebut mereka
terapkan karena adanya kaidah-kaidah yang menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku
atau sikap yang dianggap pantas atau yang seharusnya dilakukan ( Soerjono Soekanto,
1983 : 6 ).
Masyarakat sekarang dapat berfikir kritis terhadap suatu keadaan yang mereka
anggap tidak nyaman, mereka dapat melakukan penilaian terhadap kinerja para penegak
hukum oleh karena itu apapun yang dilakukan oleh para penegak hukum harus sesuai
dengan norma dan kaidah yang ada. Karena pada dasarnya sikap atau tindakan yang
pantas dari para penegak hukum yaitu, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma
bertujuan untuk menciptakan keadilan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.
Dalam suatu proses penegakan hukum tidak menutup kemungkinan terkadang ada
gangguan atau faktor yang mempengaruhi proses tersebut, berikut ini ada beberapa faktor
yang mempunyai arti netral sehingga dampak positif dan negatif terletak pada isi faktor
tersebut :
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
5
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil cipta, karya, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, karena merupakan esensi dari
penegakan hukum dan juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum
(Soerjono Soekanto, 1983 : 8-9 ).
Banyaknya gangguan-gangguan yang ada atau faktor-faktor yang berperan dalam
proses penegakan hukum dapat dijadikan pelajaran dan motifasi agar senantiasa tetap
berjuang dalam menegakan hukum. Di luar sana masih banyak masyarakat yang
menantikan terciptanya hukum yang adil dan tidak pandang bulu yang dapat menciptakan
kesejahteraan dan kedamaian di negara tersebut.
Ada dua macam istilah penegakan hukum yaitu penegakan hukum secara normatif
maupun penegakan hukum secara sosiologis. Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat
jarang sekali orang membedakan kedua hal tersebut. Mereka lebih mengenal hanya
dengan istilah “penegakan hukum“ saja yang merupakan keharusan di suatu negara.
Penegakan hukum merupakan suatu tolok ukur untuk kemajuan dan kesejahteraan
suatu negara. Karena negara yang maju biasanya ditandai tidak sekedar
perekonomiannya yang maju tapi juga penegakan hukum dan perlindungan HAM yang
baik.
Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi hukum, hukum adalah
“ Rule of the game“ bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Demi mewujudkan sebuah keteraturan bagi bangsa ini maka perlu
dilaksanakannya sebuah hukum yang diakui oleh masyarakat karena setiap masyarakat
memiliki hak dan kewajiban (www. Kammikepri.com → Diakses pada tanggal Kamis,
4 maret 2012).
Penegakan hukum normatif atau yang legal formal tidak hanya sekedar
melaksanakan Undang-undang saja akan tetapi memberdayakan aparat dan fasilitas
hukum. Tiga komponen inilah yang dapat menunjang tegaknya hukum di suatu negara.
Tegaknya hukum juga membutuhkan aparatur yang memang dapat bekerja efektif
untuk menegakan hukum itu sendiri, sementara warga masyarakat pada umumnya
sebagai subyek hukum yang dituntut untuk menaati hukum juga sangat menentukan
tegak atau tidaknya suatu norma. Ada 3 faktor yang penting yang menentukan tegak
atau tidaknya hukum dalam praktek :
1. Aparatur penegak hukumnya bekerja fungsional dan efektif baik sebagai teladan
maupun dalam upaya menegakan hukum;
2. Materi hukumnya memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan sosial dan di
taati oleh para subyek hukum yang luas;
3. Para subyek hukum menjadikan norma hukum yang bersangkutan sebagai
pedoman perilaku yang dengan sungguh-sungguh ditaati (www. Jimly.com →
Diakses pada hari Kamis, 4 maret 2012).
Kerjasama yang baik antara para penegak hukum dan subyek hukum dalam
melaksanakan atau mentaati Undang-undang, kiranya dapat mewujudkan penegakan
hukum yang dicita-citakan. Jangan sampai ada penyimpangan dari salah satu komponen
diatas yang akan membawa negara pada sebuah kehancuran dan ketidakpercayaan
masyarakat pada suatu proses penegakan hukum.
6
Pembicaraan mengenai masalah penegakan hukum sudah menjadi topik
pembahasan dikalangan masyarakat sehari-hari. Mulai dari hal yang positif sampai pada
hal yang negatif, semuanya ada pada proses penegakan hukum.
Keberadaaan manusia dalam proses penegakan hukum sangat penting dan
berperan, tidak hanya itu proses penegakan hukum juga melibatkan tingkah laku
manusia. Karena hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya atau tidak mampu
memenuhi janji-janji atau kehendak yang tercantum dalam peraturan hukum tanpa ada
campur tangan dari manusia (Satjipto Rahardjo, 2009 : 7).
Tingkah laku atau kualitas karakter seseorang dalam masyarakat berbeda dengan
yang lainnya. Ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lancar atau tidaknya
proses penegakan hukum di suatu negara.
Dalam pelaksanaannya bukan orang-perorangan saja yang sebenarnya melaksanakan
proses penegakan hukum, akan tetapi semua elmen masyarakat harus terlibat dalam
proses tersebut agar tujuan hukum dapat tercapai.
Penegakan hukum secara sosiologis pada dasarnya berbicara mengenai proses-
proses penegakan hukum yang dikaitkan pada tingkah laku orang yang menjalankannya,
sehingga aspek sosial dari penegakan hukum tampak jelas. Tingkah laku sosial tersebut
tidak hanya gerakan-gerakan badaniyah saja akan tetapi tingkah laku sosial yang terikat
pada berbagai hal atau patokan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 8).
Persoalan mendasar ketidakadilan penegakan hukum yang banyak
dipermasalahkan masyarakat selama ini memang berakar pada pemahaman para
penegak hukum yang sempit. Terhadap penerapan hukum formal yang berlaku
sebagaimana yang dipahaminya terbatas hanya sebagai penerapan hukum yang bersifat
prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa keadilan masyarakat yang lebih
bersifat substantif dengan ciri khasnya yang selalu dinamis dan berubah seiring dengan
berubahnya kepentingan individu-individu manusianya yang ada di dalam masyarakat
tersebut (http:// bataviase.co.id → Diakses pada hari Rabu, 10 maret 2012).
Pembekalan rasa keadilan dan solidaritas pada para penegak hukum memang
harus sejak dini ditanamkan sehingga tidak ada jarak atau jenjang antara penegak
hukum dengan masyarakat. Adanya pendekatan yang baik antara penegak hukum
dengan individunya merupakan salah satu alternatif sehingga hukum dapat ditegakkan,
jangan sampai para penegak hukum hanya mengandalkan penegakan hukum secara
formal tanpa mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat.
Yang paling ditekankan dalam penegakan hukum secara sosiologis adalah
mengenai aspek pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakatnya atau yang lazim sebagai
pemenuhan keadilan substantif sehingga penegakan hukum itu dapat diterima sebagai
suatu yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Menghadapi perkembangan
masyarakat yang terus berubah dan bahkan berlari dengan cepat meninggalkan hukum,
diperlukan pemahaman yang komprehensif terhadap perkembangan dan keterkaitan
antara sosiologi hukum yang berubah dengan disiplin-disiplin bidang kajian lainnya
(http://bataviase.co.id) → Diakses pada hari Rabu, 10 Maret 2012).
C. Penggalian Batu Kapur
Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh
kepulauan Indonesia. Batu gamping secara kimia terdiri atas kalsium karbonat (CaCO3)
dan di alam tidak jarang pula dijumpai batu kapur magnesium. Kadar magnesium yang
tinggi mengubah batu kapur menjadi batu kapur dolomitan dengan komposisi kimia
7
CaCO3MgCO3, selain magnesium batu kapur kerapkali tercampur dengan lempung, pasir,
bahkan jenis mineral lain.
Pada umumnya batu kapur yang padat dan keras mempunyai 2 jenis berat, selain yang
pejal (masif) dijumpai pula batu kapur yang sarang (porus). Batu kapur sendiri mempunyai
beberapa warna yang bervariasi dari putih susu, abu-abu tua, coklat, merah, bahkan hitam,
kesemuanya disebabkan karena jumlah dan jenis pengotor yang ada, warna merah
disebabkan oleh mangan, oksida besi, sedangkan hitam karena zat organik .
Batu kapur sering digunakan oleh berbagai industri untuk keperluan tertentu dan bisa
dimanfaatkan pula untuk fondasi rumah, pengeras jalan atau bangunan fisik lainnya. Batu
kapur yang diperlukan untuk keperluan ini adalah jenis batu kapur yang pejal dan tidak
berlubang, untuk bentuk dan ukuran tidak ada standart yang terpenting adalah mudah
diangkat oleh tenaga manusia ( www.minerhe.co.cc→ Diakses pada hari Rabu, 12 Mei
2012).
Batu kapur itu sendiri dalam ( bahasa Inggris : limestone) (CaCO3) adalah sebuah
batuan sediment terdiri dari mineral calcite (kalsium karbonat) (Wikipedia Indonesia,
http://id.wikipedia.org./wiki/ batu_kapur)
Menurut kamus kebumian ( M.M.Purbo Hadiwidjoyo, 1994: 19 ):
Batu gamping adalah batuan endapan, tersusun sebagian besar (50%) dari karbonat
kalsium (kalsit) limestone.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia ( Hasan Alwi, 2007: 113):
1. Batu adalah benda keras dan padat yang berasal dari bumi atau planet lain tapi bukan
logam.
2. kapur adalah batu karang yang terutama mengandung kalsium karbonat dan bila
dibakar menghasilkan kapur.
Sedangkan menurut Kamus Geografi ( M. A. Marbun, 1982: 92 ):
Batu kapur adalah batuan sedimen berwarna putih, kelabu, atau warna lain, terdiri dari
kalsium karbonat, yang terdapat sangat banyak di kulit bumi secara berlapis-lapis dan
sering dipakai orang untuk bahan bangunan, semen, industri kimia, industri keramik, dan
sebagainya.
Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral Batubara
(selanjutnya ditulis Undang-undang Minerba ) disebutkan bahwa: “Pertambangan mineral
adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi,
minyak dan gas bumi, serta air tanah“
Banyaknya potensi batu kapur di Indonesia sering dimanfaatkan untuk dibuat sebagai
bahan baku nutrisi pakan ternak yang dikenal dengan sebutan kalsium hidrofosfat yanng
merupakan senyawa anhidrat dan dihidrat yang dapat digunakan dalam berbagai industri,
khususnya industri pakan ternak. Pada dasarnya banyak manfaat yang diperoleh dari batu
kapur jika kita jeli dan pandai memanfaatkannya, namun sayangnya di Indonesia belum
ada industri yang membuat Ca-Hidrofosfat, sehingga masih diimpor dari luar
(WikipediaIndonesia, http://id.wikipedia.org./wiki/batu_kapur→ Diakses pada hari Rabu,
2 Desember 2011).
Selanjutnya dalam Pasal 34 Undang-undang Minerba di sebutkan beberapa kelompok
atau golongan usaha pertambangan :
(1). Usaha pertambangan dikelompokan atas :
a. Pertambangan mineral; dan
b. Pertambangan batu bara
8
(2). Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan
atas:
a. Pertambangan mineral radioaktif;
b. Pertambangan mineral logam;
c. Pertambangan mineral bukan logam, dan;
d. Pertambangan batuan.
Dalam Undang-undang minerba tidak dijelaskan secara detail tentang golongan pada
batuan, akan tetapi dalam Perda No. 12 tahun 2011 di Banyumas tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara Di Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa pertambangan dan
mineral dan pertambangan batubara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan
komoditas tambang yaitu :
a. mineral radioaktif,
b. mineral logam
c. mineral bukan logam
d. batuan
e. batubara
Golongan-golongan tersebut merupakan potensi sumber alam yang tidak dapat
diperbaharui sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara berdaya guna, berhasil
guna, bertanggungjawab, dan berkelanjutan serta pemanfaatannya ditujukan bagi sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat.
Aktivitas pertambangan di Indonesia sangat besar, tidak diragukan lagi jika banyak
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari usaha pertambangn tersebut. Setiap
kerusakan yang ditimbulkan ada yang dapat diperbaiki serta dapat
dipertanggungjawabkan dan ada juga yang hanya dibiarkan saja tanpa ada penanganan
lebih lanjut.
Seringkali suatu perbuatan yang dilakukan manusia sebagai sumber aktivitas tidak
ramah pada lingkungan. Dampak dari hal ini adalah pencemaran atau perusakan
lingkungan yang akhirnya menimbulkan masalah bagi masyarakat.
Pengusahaan pertambangan pada umumnya tidak saja potensial merusak lingkungan
fisik, akan tetapi aktivitas pertambangan memiliki potensi daya ubah lingkungan yang
tinggi. Tidak sedikit kegiatan penambangan dapat merubah struktur dan komposisi
lingkungan termasuk perubahan biota dan vegetasi (tanaman) (Abrar Saleng, 2004:92).
Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan memang beraneka
ragam sifat dan bentuknya. Berikut ini ada beberapa kriteria dan dampak dari kerusakan
lingkungan menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, yang tercantum dalam paragraf 4 tentang kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup pada ( Pasal 21 ayat (2), (3), dan (4) ) berikut ini :
Pasal 21 ayat (2): Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku
kerusakan ekosisim dan kriteria baku akibat perubahan iklim.
ayat (3): Kriteria baku kerusakan ekosistim meliputi
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomasa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
9
e. kriteria baku kerusakan pada padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst;dan/atau;
h. kriteria baku kerusakan ekosistim lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahaun dan teknologi.
ayat (4): Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada
parameter antara lain :
a. Kenaikan temperatur;
b. Kenaikan muka air laut;
c. Badai;dan/atau;
d. Kekeringan.
Selain kriteria kerusakan lingkungan diatas, ada beberapa point yang menjelaskan
tentang dampak dari usaha pertambangan, antara lain :
1. Usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan antara lain :
pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, serta
buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara
bising dari berbagai alat berat, suara ledakan dari bahan peledak, dan gangguan
lainnya.
2. Pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi
lapangan, dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, dan gempa.
Pelaksanaan konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan atas beberapa
dampak yang ditimbulkan, mewajibkan setiap usaha pertambangan melakukan upaya
meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Semua manusia di
atas bumi ini, baik ia sebagai penguasa atau pemerintah maupun penguasa pertambangan
serta warga masyarakat pada umumnya mempunyai tanggungjawab yang sama untuk
menjaga lingkungan terhadap pengelolaan bahan galian dan sumberdaya alam lainnya
(Abrar Saleng, 2004:118).
IV. METODE PENELIITIAN
a. Rancang Penelitian
Untuk dapat memperoleh data empiris dan keterangan-keterangan secara faktual
yang berhubungan dengan permasalahan, penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian pustaka, studi dokumentasi dan studi kasus. Apabila diperlukan akan
dilakukan metode observasi langsung dengan model observasi tidak terstruktur.
b. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Oleh
karena itu penelitian lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan
deduktif dan induktif serta analisa terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang
diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Penekanan dalam penelitian ini bukan
pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian
melalui berpikir format dan argumentatif.
c. Sumber Data
10
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data yang diperoleh dari sumber
yang berbeda:
1. Data primer, yaitu data yang bersumber langsung dari para penambang, tokoh
masyarakat, masyarakat desa, aparat pemerintahan daerah
2. Data Sekunder, bersumber dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku pustaka,
hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah dan publikasi dari instansi terkait
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
d. Metode Pengambilan Data
1. Data Primer
a) Interview
Interview merupakan suatu bentuk komunikasi verbal melalui tatap muka
yang memiliki tujuan memperoleh data yang dapat diolah untuk memperoleh
hal-hal yang bersifat umum dan menunjukkan kesamaan dengan suatu situasi
yang lain. Berdasarkan bentuk pertanyaannya, interview dapat dibedakan
menjadi verbal dan non verbal. Bentuk verbal terdiri dari pertanyaan langsung
dan tidak langsung, sedangkan bentuk non verbal juga terdiri dari dua bentuk
pertanyaan, yaitu overt dan covert. Sementara itu bentuk pertanyaan langsung
terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup (Moleong,1998).
Berdasarkan cara pengambilannya datanya dapat dibedakan menjadi
interview partisipatif dan interview non partisipatif. Wawancara partisipatif
pada umumnya berbentuk verbal terstruktur maupun tidak terstruktur yaitu
terbuka maupun tertutup. Yang membedakan adalah adanya kecenderungan
subjek tidak menyadari kalau tengah diinterview, karena peneliti
memanfaatkan moment-moment khusus. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan metode interview dengan jenis verbal partisipatif.
b) Observasi
Observasi adalah suatu kegiatan yang sistematis dalam mendeskripsikan
(pencatatan dan pengamatan) berbagai kejadian, perilaku dan artifak dalam
kehidupan sosial sebagai gejala penelitian. Observasi merupakan metode
pengambilan data yang memiliki kedudukan cukup penting dalam penelitian
kualitatif dan seringkali teknik ini sulit digantikan dengan teknik lain.
Mengikuti dan melakukan pengamatan tentang kondisi subyek pada situasi
yang wajar tanpa melakukan kontak personal sehingga pasang surut keadaan
subyek akan dapat terekam dengan baik memungkinkan peneliti memperoleh
informasi tentang keadaan subyek dalam memberikan tanggapan terhadap
suatu peristiwa yang terkait dengan dirinya.
Bahkan tidak tertutup melalui cara-cara tertentu peneliti dapat terlibat
sebagai bagian dari kehidupan subjek penelitian.
Menurut Jorgensen (dalam Moleong dkk:1998) ada beberapa model
observasi yang didasarkan pada keterlibatan peneliti pada subyek penelitian,
yaitu:
a. Observasi partisipan, di mana peneliti ikut terlibat dan menjadi bagian
(berperan serta) dalam suatu kegiatan yang dilakukan oleh subyek
penelitian.
b. Observasi non partisipan, di mana peneliti berkedudukan sebagai pengamat
tanpa terlibat dalam aktivitas yang dilakukan subyek penelitian.
11
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipan dan
data yang diperoleh digunakan sebagai rechecking data yang sudah diperoleh
dari interview yang telah dilakukan sebelumnya.
2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi dengan
menggunakan blangko dokumentasi, katalog pustaka dan sebagainya.
e. Responden
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif, menurut Sarantoks (dalam
Poerwandari,1999) mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a) Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus
tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian.
b) Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, dapat berubah dalam hal jumlah maupun
karakteristik sampelnya.
c) Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah /peristiwa acak) melainkan
pada kecocokan konteks.
Sesuai dengan uraian di atas maka pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan metode purposive yaitu pengambilan sampel sesuai dengan tujuan
penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah para penambang, aparat
pemerintah di desa, aparat pemerintah daerah.
f. Validitas Data
Dalam penelitian ini validitas data menggunakan trianggulasi sumber data untuk
pengecekan maupun membandingkan derajat kepercayaan dokumen dan triangulasi
metode. Triangulasi sumber data dilakukan dengan mengumpulkan data dari
berbagai sumber yaitu para penambang, tokoh masyarakat, aparat pemerintahan desa
dan daerah. Adapun triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data
dengan menggunakan metode yang berbeda.
g. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan bentuk interaktif dari ketiga
komponen tersebut dengan tahapan sebagai berikut:
a) Reduksi data, yaitu proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan data. Reduksi
data ini merupakan bagian dari analisis yang berisi mempertegas, membuat focus,
membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga
kesimpulan dapat dilaksanakan.
b) Penyajian data, yaitu suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
dilakukan pengambilan kesimpulan. Dalam penelitian ini organisasi informasi itu
terdiri dari data atau informasi tentang penyebab perselisihan antar petani sawah
irigasi. Pada penyajian data dimungkinkan dilakukan juga validas data.
Penarikan kesimpulan, yaitu upaya peneliti untuk mengerti hal-hal yang ditemui dalam
penelitian dengan melakukan pencatatan peraturan, pola-pola, pernyataan, arahan
sebab-akibat dan proposisi dari awal pengumpulan data. Peneliti menggunakan
analisis interaktif karena dengan model ini dimungkinkan adanya pengulangan yang
berarti dalam bentuk siklus.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
12
A. HASIL PENELITIAN
1. Pengawasan Sebagai Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan
Batu kapur merupakan salah satu potensi sumber daya alam tak terbarukan yang
ada di wilayah Kabupaten Banyumas sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara
berdaya guna, berhasil guna, bertanggungjawab dan berkelanjutan yang pemanfaatannya
ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bersama pelaku usaha. Selanjutnya pemerintah daerah memberikan
kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan
maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan berdasarkan izin yang
diberikan Bupati. Pengelolaan pertambangan dilaksanakan berdasarkan prinsip
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.
Dalam rangka menghadapi tantangan lingkungan strategis maka pemerintah
daerah Kabupaten Banyumas menyusun Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara Di Kabupaten Banyumas yang diharapkan dapat
memberikan landasan hukum yang kuat bagi perangkat Pemerintah Daerah untuk
melakukan pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penertiban terhadap usaha
pertambangan di daerah.
Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan pertambangan mineral dan batu
bara di daerah ada pada Bupati. Kewenangan tersebut meliputi pemberian Izin Usaha
Pertambangan (IUP) untuk melaksanakan usaha pertambangan dan Izin Pertambangan
Rakyat (IPR), dan pengawasan usaha pertambangan di Daerah.
Sebagai konsekuensi dari diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) maka
langkah selanjutnyya adalah melakukan pengawasan. Pengawasan pada prinsipnya dilakukan
sebagai upaya preventif terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan. Berdasarkan wawancara
tertanggal 8 Mei 2012, pukul 11.35 -12.45 WIB, dengan Marmono Aji, S,H.,selaku Kepala
Seksi Pengawasan; dan Imam Soetomo selaku Seksi Pengusahaan dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Terdapat 126 kegiatan pertambangan yang masih memiliki izin dan beroperasi di wilayah
Banyumas.
2. Pengawasan secara langsung dilakukan sebulan sekali dengan cara peninjauan ke seluruh
wilayah pertambangan yang ada di Kabupaten Banyumas.
3. Pengawasan secara tidak langsung dilakukan sebulan sekali dengan menerima laporan
dari pengusaha tambang tentang hasil produksinya.
Berkaitan dengan Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemerintah daerah
sudah tidak memberikan Izin Usaha Pertambangan yang baru dikarenakan pemerintah dalam
hal ini Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Surat Edaran
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08.E/30/DJB/2012 ,Tentang
Penghentian Sementara Penerbitan IUP (Izin Usaha Pertambangan) Baru Sampai
ditetapkannya Wilayah Pertambangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan bahwa :
(1) Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan
bagi penetapan kegiatan pertambangan
13
(2) Wilayah Pertambangan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 2009, WP terdiri atas Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP) dan berdasarkan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2009, satu WUP terdiri
atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan.
Selanjutnya dalam Pasal 35 UU No. 4 Tahun 2009, Usaha Pertambangan
dilaksanakan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan. IUP diberikan oleh Menteri, gubernur
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapatkan WIUP. WIUP
mineral logam dan WIUP batubara diberikan dengan cara lelang, sedangkan WIUP batuan
diberikan dengan carapermohonan wilayah.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan
Tanah merupakan sumberdaya alam yang mengandung benda organik dan anorganik
yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman. Tanah perlu dijaga juga kelestariannya,
agar anak cucu kitapun dapat mempergunakannya suatu saat nanti karena suatu kelangsungan
hidup tidak dapat lepas dari masalah tanah (A. Tresna Sastrawijaya, 1991 : 66).
Pembangunan bidang industri memang sangat diperlukan untuk manaikkan taraf
hidup, akan tetapi penggunaan tanah ini harus dapat mencegah menggunakan tanah secara
terus menerus. Industri pertambangan salah satunya yang dapat menguras tanah dalam
jumlah besar serta dapat mengurangi kualitas tanah itu sendiri.
Terkadang dalam situasi dan kondisi tertentu industri pertambangan dilaksanakan
tanpa melihat akibat yang mungkin timbul terhadap lingkungan, dengan pertimbangan bahwa
keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar daripada kerugian yang akan diderita. Pemikiran
seperti ini kiranya tidak diterapkan secara terus-menerus mengingat keterbatasan kemampuan
lingkungan untuk kembali kestruktur awal, agar tidak membahayakan kepentingan hidup
manusia.
Kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, bahkan ada ungkapan ”Tiada kegiatan pertambangan tanpa perusakan /
pencemaran lingkungan”. Dapat dikatakan demikian karena banyak sekali masalah
lingkungan yang timbul dari usaha pertambangan antara lain : dapat merubah topografi
dalam waktu yang relatif singkat, pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara
dan air, tanah longsor & ledakan tambang (Abrar saleng, 2004 : 117).
Dampak dari usaha penggalian yang berlebihan di masa sekarang nantinya akan
menjadi beban bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu setiap usaha penggalian
kiranya dapat melakukan pemulihan lingkungan atas beberapa dampak yang ditimbulkan
atau paling tidak dapat meminimalisir dampak dari usaha penggalian tersebut, karena tanpa
ada pemulihan lingkungan generasi yang akan datang tidak bisa menikmati apa yang alam
sudah sediakan, kenyataan ini memang sungguh tidak adil bagi generasi yang akan datang.
Sama halnya dengan penambangan lain, penambangan batu kapur di Darmakradenan
juga mempunyai akibat atau dampak dari usaha penggalian, baik dari pencemaran tanah,
udara, dan air. Penggalian batu kapur sendiri di Darmakradenan termasuk dalam
pertambangan rakyat karena usaha tersebut dimiliki oleh perorangan bukan badan usaha dan
merupakan usaha penggalian dengan skala kecil.
Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba menyebutkan ada beberapa
kriteria untuk menetapkan wilayah pertambangan rakyat. Kriteria tersebut tercantum dalam
Pasal 22, sebagai berikut :
14
a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan atau
diantara tepi dan tepi sungai;
b. mempunyai cadangan primer logam atau batu bara dengan kedalaman
maksimal 25 meter;
c. endapan teras, datarn banjir, dan endapan sungai purba;
d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 hektare;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan / atau
f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun.
Bekas lokasi penambangan terkadang menyisakan banyak masalah bagi masyarakat
sekitar. Dalam undang-undang sendiri tidak menyebutkan secara tegas tentang lokasi atau
titik mana saja yang boleh dan dilarang untuk digali.
Undang-undang sendiri dalam hal ini Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang
Minerba hanya menjelaskan tentang wilayah izin usaha pertambangan. Karena pada
hakekatnya setiap usaha pertambanagan memerlukan izin dalam pelaksanaan usaha tersebut.
Pasal 58 ayat (1) menyebutkan:
”Pemegang izin usaha produksi (IUP) eksplorasi batuan diberi wilayah izin usaha produksi
dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare”.
Fakta yang ada di lapangan berbeda dengan apa yang disebutkan oleh undang-
undang, kepemilikan lokasi penambangan batu kapur di Darmakradenan merupakan milik
individu yang sudah dikuasai sejak zaman dulu dan sudah menjadi turun temurun. Oleh
karena itu tidak ada aturan berapa besar bagian masing-masing individu dalam memiliki
lokasi penambangan ( Hasil wawancara dengan bpk. Harjono, pada tanggal 12 April 2012 ).
Fakta lain menyebutkan bahwa dengan maraknya penambangan batu kapur tersebut
ada pula warga yang melakukan kegiatan secara tidak bertanggung jawab. Mereka
melakukan penggalian bahan batu kapur di dalam wilayah larangan PT Perhutani yaitu
kawasan hutan pinus yang memang sangat berdekatan lokasinya
(www.dim.esdm.go.id→Diakses pada hari Jum’at 30 April 2012 ).
Kondisi inilah yang secara tidak langsung merupakan salah satu lokasi yang dilarang
untuk digali, walaupun tidak disebutkan secara langsung oleh undang-undang. Masyarakat
setempat boleh mengakui dan memiliki lokasi penggalian batu kapur, akan tetapi mereka
juga harus mentaati peraturan yang ada, jangan sampai menyorok ke dalam wilayah yang
memang bukan milik mereka.
B. PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Pengawasan Pengelolaan Usaha Penggalian Batu Kapur Di Kabupaten
Banyumas
Salah satu desa di Kabupaten Banyumas yang mata pencahariannya sebagai penggali
batu kapur adalah Desa Darmakradenan merupakan salah satu desa di kecamatan
Ajibarang kabupaten Banyumas, terletak di sebelah barat kecamatan Cilingok, yang
mempunyai total luas wilayah desa 1184.245 ha dengan batas-batas desa sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : desa Gancang
b. Sebelah Barat : desa Paningkaban
c. Sebelah Selatan : desa Tipar Kidul
d. Sebelah Timur : desa Karang Bawang
Desa Darmakradenan memiliki konfigurasi berupa pegunungan dengan ketinggian
antara 250-750 m di atas permukaan laut, sehingga tergolong dataran sedang dan
15
sebagian pada dataran tinggi. Kekayaan alam yang dimiliki desa Darmakradenan cukup
banyak baik dari sektor pertanian maupun industri. Selain itu sebagian tanahnya berupa
tanah bebatuan, tanah sawah, dan tanah darat
(http://pemdesdarma.blogspot.com→Diakses pada hari Rabu, 12 Mei 2012).
Industri yang sangat berpotensi menyerap tenaga kerja, salah satunya adalah industri
batu kapur. Potensi batu kapur di Darmakradenan cukup besar sehingga banyak sekali
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk diolah menjadi salah satu bahan bangunan
yang nantinya dapat membawa penghasilan tersendiri bagi warga sekitar.
Setiap kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini penggalian batu
kapur sudah barang tentu dapat merusak kelangsungan ekosistem lingkungan di sekitar
wilayah pertambangan. Oleh karena itu pemerintah daerah harus melakukan pembinaan,
pengawasan, pengendalian dan penertiban terhadap usaha pertambangan mineral dan
batubara di daerah melalui landasan suatu Peraturan Daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah Daerah Banyumas telah
mengantisipasinya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2011 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara Di Kabupaten Banyumas. Perda ini untuk mengganti
Peraturan Daerah sebelumnya yaitu Perda No. 39 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongan C dan Peraturan Bupati Nomor 113 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum Bahan Galian Golongan A dan B.
Penggantian Perda ini juga dikarenakan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan yaitu pengaruh
globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia dan
lingkungan hidup.
Berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan, salah satu penguatan instrumen
pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah pengawasan dan perizinan sebagai
upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup. Sedangkan apabila
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, maka diperlukan upaya represif
berupa penegakan hukum yang efektif, konsekwen dan konsisten terhadap pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.
Penegakan hukum lingkungan dalam pengelolaan bahan galian dan sumber daya alam
lainnya sesungguhnya mutlak harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab semua manusia
di atas bumi ini, baik ia sebagai penguasa atau pemerintah maupun pengusaha pertambangan
serta warga masyarakat pada umumnya. Karena tidak sedikit kerusakan lingkungan
disebabkan oleh keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam, jadi siapa
lagi jika bukan kita yang akan melaksanakan tugas dan tanggung jawab besar dalam
melestarikan lingkungan.
Setiap manusia yang ada di muka bumi ini berhak atas lingkungan yang baik dan
sehat, mereka juga berhak menikmati apa yang alam sudah sediakan. Manusia juga harus
ingat, selain mereka mempunyai hak atas lingkungan mereka juga mempunyai kewajiban
yang sudah menanti yaitu yang tercantum dalam Undang-undang 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Pasal 67 dan 68, yaitu :
Pasal 67 : ”Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mengendalikan pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup”
Pasal 68 : Setiap orang yang melakukan usaha dan / atau kegiatan berkewajiban :
16
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, aktual, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan / atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
Sumber daya alam dan ekosistim yang ada di Indonesia pada hakekatnya
mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional.
Oleh karena itu penggunaannya harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi
kesejahteraan masyararakat Indonesia dan umat dunia pada umumnya untuk sekarang dan
di masa yang akan datang ( Daud Silalahi, 1996 : 54 ).
Pengelolaan lingkungan yang tepat merupakan upaya untuk memperoleh kualitas
lingkungan yang baik. Pengelolaan lingkungan yang baik dapat mencegah kerusakan
lingkungan akibat suatu proyek pembangunan, oleh karenanya setiap tindakan atau upaya
yang akan dilaksanakan benar-benar harus terencana dengan matang agar dapat
memperoleh hasil yang maksimal.
Tujuan dari penegakan hukum lingkungan sendiri esensinya adalah penataan terhadap
nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistim dan fungsi lingkungan hidup. Oleh karena
itu untuk mencapai penataan tersebut, maka sesungguhnya penegakan hukum bukanlah
satu-satunya cara, karena berbagai cara atau pendekatan dapat dilakukan antara lain
melalui instrumen ekonomi, edukasi, bantuan teknis, dan tekanan publik.
Beberapa ahli menjelaskan tentang makna dari penegakan hukum, salah satunya
adalah pendapat dari Ninik Suparni. Beliau menegaskan bahwa upaya penegakan
hukum dapat dilaksanakan secara preventif yaitu upaya penegak hukum mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan hidup, selain itu dapat juga dilakukan secara represif
yaitu upaya penegak hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku ( Syahrul Mahmud, 2007 : 68-72 ).
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap
pengelolaan penggalian batu kapur pada Masyarakat Di Banyumas
Darmakradenan merupakan salah satu desa yang mempunyai potensi batu kapur yang
cukup besar. Keadaan inilah yang mendorong masyarakat setempat untuk mengolah batu
kapur sehingga dapat dimanfaatkan untuk campuran bahan bangunan. Usaha batu kapur
sendiri oleh masyarakat setempat dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian. Lokasi
penambanganpun lebih banyak didominasi oleh warga sekitar yang rata-rata berprofesi baik
sebagai pengusaha maupun penggali.
Keadaan inilah yang membuat beberapa warga masyarakat tidak ingin mencari
pekerjaan lain di kota. Mereka berpendapat bahwa upah yang mereka terima dari hasil
bekerja di penambangan sama atau sebanding dengan upah jika mereka bekeja di kota.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penggalian batu kapur yaitu :
1. Faktor sosial
Pemanfaatan kekayaan alam yang berupa batu kapur di Darmakradenan sudah
dimulai sejak zaman dulu dan sudah banyak memberikan manfaat sarta penghidupan bagi
masyarakatnya.
Darmakradenan merupakan salah satu desa yang mempunyai kekayaan batu kapur
yang cukup banyak. Kondisi lingkungan Darmakradenan yang seperti ini sangat mendukung
setiap orang berprofesi sebagai pengusaha atau penggali batu kapur.
17
Potensi batu kapur yang banyak inilah yang oleh masyarakat Darmakradenan
dimanfaatkan untuk diolah agar mempunyai manfaat dan mempunyai nilai jual yang tinggi.
Ide dan kreatifitas ini memang patut diacungi jempol serta perlu dukungan agar tetap
bertahan di era yang penuh persaingan dan tantangan.
Beberapa masyarakat memang menggantungkan hidupnya diusaha batu kapur baik
sebagai pengusaha meupun penggali, oleh karena itu baik pemerintah desa maupun pusat
senantiasa memberikan bantuan baik moril maupun materil agar usaha batu kapur di
Darmakradenan tetap bertahan. Banyak sekali risiko yang harus ditanggung baik oleh
pengusaha maupun oleh para penggali demi sebuah pekerjaan, risiko yang kerap kali
menghampiri keselamatan yaitu pada para pekerja karena merekalah yang terjun langsung di
lokasi penambangan.
Usaha batu kapur di Darmakradenan merupakan salah satu industri yang memberikan
kontribusi cukup besar baik bagi pemerintah daerah maupun pusat. Seiring berjalannya
waktu usaha tersebut semakin menurun, sedangkan usaha tersebut sudah ada sejak dulu dan
sudah menjadi usaha turun temurun, jangan sampai kemerosotan itu membawa dampak bagi
para pengusaha dan para pekerja.
2. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi memang salah satu faktor yang penting dalam usaha penggalian batu
kapur di Darmakradenan. Usaha batu kapur di Darmakradenan merupakan salah satu sumber
mata pencaharian bagi masyarakat setempat.
Profesi yang ada pada masyarakat Darmakradenan memang bermacam-macam, akan
tetapi beberapa masyarakat mendominasi dalam usaha batu kapur baik sebagai pengusaha
ataupun penggali. Masyarakat khususnya para pekerja atau penggali lebih memilih bekerja di
usaha penggalian karena upah yang mereka peroleh sama dengan jika mereka bekerja di kota.
Menurut para pekerja upah di kota memang besar akan tetapi sebanding dengan
pengeluaran yang mereka keluarkan untuk biaya hidup, terkadang justru upah yang mereka
peroleh tidak cukup, ditambah lagi mereka harus mengirimkan untuk keluarga yang ada di
desa. Adanya usaha penggalian ini mereka lebih nyaman dan bisa mencukupi kebutuhan
keluaraga, karena lokasi penggalian dengan rumah tidak terlalu jauh dan tidak banyak
memakan biaya dan waktu.
Biaya hidup di desa masih murah dan masih bisa dijangakau, ini juga salah satu
alasan dari beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pekerja. Apalagi mereka dapat
meminta upah harian mereka sewaktu-waktu pada para pengusaha, sehingga mereka tidak
perlu khawatir jika ada kebutuhan yang mendesak.
3. Faktor budaya
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa usaha batu kapur di Darmakradenan
sudah ada sejak dulu tepatnya sekitar tahun 1952. Banyak pasang surut yang sudah dialami
dari usaha batu kapur ini, baik dari mulai berdiri, masa kejayaan dan mulai mengalami
kemunduran.
Melihat dari faktor budaya, kebanyakan dari masyarakat Darmakradenan
menjalankan usaha tersebut dari keluarga secara turun-temurun atau hanya tinggal
melanjutkan usaha keluarga yang memang sudah dimulai sejak awal berdirinya usaha batu
kapur di Darmakradenan. Usaha turun-temurun inilah yang kini telah berkembang menjadi
besar, dari beberapa orang menjadi banyak orang artinya makin banyak orang yang telah
menjalankan profesi sebagai pengusaha ataupun pekerja batu kapur.
18
Wilayah Ajibarang berada di Kabupaten Banyumas yang dikelilingi oleh bukit kapur
yang menjulang tinggi. Batu kapur tersebut merupakan salah satu kekayaan alam yang
memberikan kontribusi besar bagi masyarakat setempat.
Usaha batu kapur di Darmakradenan merupakan salah satu usaha terbesar di
Kabupaten Banyumas. Menurut data yang diperoleh dari kantor kepala desa, total nilai
produksi yang dihasilkan pada tahun 2008 untuk industri batu kapur sebesar Rp.
220.800.000.00, total nilai inilah yang dapat menolong perekonomian masyarakat setempat
yang bekerja sebagai pengusaha dan pekerja batu kapur.
Proses pengolahan batu kapur tidak semudah yang dibayangkan, karena sebenarnya
memerlukan waktu dan tahapan yang cukup panjang. Dari tahap pertama mengambil batu
kapur di bukit harus menggunakan bahan peledak untuk media atau lokasi yang sulit
dijangkau.
Lokasi penambangan yang nantinya digali harus berbentuk terasering dengan
kedalaman sekitar 2-3 meter, karena jika tidak dibentuk terasering akan terjadi longsor dan
membahayakan pemukiman di sekitarnya. Bekas lokasi penggalian itu sendiri nantinya akan
ditanami pohon-pohon keras seperti ; jati dan alba, karena sesungguhnya bekas lokasi
penggalian sangat baik dan subur untuk ditanami pohon selain itu untuk mengantisipasi
terjadinya longsor.
Tahap selanjutnya yaitu tahap pengolahan, Setelah batu kapur diambil proses
pembakaran akan dilakukan. Untuk pembakaran batu kapur akan ditata pada sebuah lubang
yang berbentuk sumur dengan urutan yang besar di bawah dan selanjutnya yang kecil di atas.
Bahan bakar yang digunakan menggunakan kayu bakar, sebelum krisis moneter
sempat menggunakan minyak tanah dan residu, akan tetapi karena kelangkaan minyak dan
harganya yang cukup mahal para pengusaha akhirnya beralih pada kayu bakar, selain bisa
dijangkau harganya kayu bakar juga mudah mendapatkanya. Proses pembakaran sendiri
biasanya memerlukan waktu 1 hari 2 malam untuk mendapatka hasil yang maksimal.
Bahan galian batu kapur keterdapatannya dapat dijumpai hampir disepanjang jalan
dari Ajibarang menuju kearah kota kecamatan Gumelar, saat ini sudah banyak diusahakan
penambangannya. Batu kapur hasil penggalian kemudian diangkut menggunakan truk yang
selanjutnya dilakukan pembakaran pada tungku pembakaran..
Pada tahun 2005 total nilai yang mampu dihasilkan sebesar Rp. 6.220.800.000,-.
Sektor ini mampu menyumbang pendapatan sebesar 1.325.200, karena terdapat 42 rumah
tangga yang menggantungkan hidup dengan total anggota keluarga 84 orang, dan jumlah
rumah tangga buruhnya 658 dengan jumlah anggota keluarga mencapai 873 orang, sehingga
dengan adanya kegiatan penambangan batu kapur di Darmakradenan sangat membantu
perekonomian masyarakat setempat terutama dalam penciptaan lapangan kerja
(www.dim.sdm.go.id→Diakses pada hari Jum’at 30 April 2012).
Pemasaran batu kapur sendiri biasanya para pengusaha sudah memiliki langganan
sendiri yang memang dari awal sudah mengambil produksi batu kapur disatu tempat.
Semakin banyak dan berkembangnya usaha batu kapur para pembeli pun jarang memesan,
justru kebalikannya para pengusahalah yang sekarang menawarkan hasil produksinya..
Setiap daerah lokasi pertambangan memang mempunyai potensi alam yang berbeda-
beda dibidang batu kapur. Salah satunya di desa Darmakradenan yang letaknya yang jauh
membuat beberapa orang tidak mengenal desa ini, akan tetapi jika kita sudah masuk
kedalamnya, akan terpukau dengan pemandangan yang hijau dan tentunya lokasi
19
penambangan beserta segala sesuatu yang berkaitan dengan penambangan dalam jumlah
yang cukup besar
Lokasi penambangan batu kapur di desa ini terdiri dari bukit-bukit yang menjulang
tinggi ke atas. Lokasi ini memang tidak mudah dijangkau sehingga memerlukan teknik
tertentu untuk proses pengambilannya.
Berbicara masalah lokasi berarti menyinggung tentang titik mana yang boleh dan
dilarang untuk digali. Beberapa pendapat menyebutkan tidak ada larangan tentang lokasi
penambangan. Hal ini dikarenakan setiap orang berhak untuk menggali di manapun asalkan
masih milik sendiri.
Menurut pendapat masyarakat setempat, bukit kapur yang ada di desa tersebut adalah
milik perorangan artinya setiap pengusaha mempunyai bagian atau lokasi masing-masing
yang sudah ada sejak dulu dan merupakan warisan keluarga. Para pekerja dan pengusaha
bebas mengambil batu kapur tersebut asalkan tidak mengganggu pemukiman warga.
Bekas lokasi penambangan biasanya dilakukan solusi tertentu untuk mensiasati agar
lokasi tersebut tidak gersang. Solusi tersebut diantaranya dengan melakukan penghijauan
dibekas lokasi penggalian yaitu dengan menanami pohon-pohon keras seperti jati dan alba..
Banyak sekali kerugian jika para pengusaha tidak memperhatikan aturan yang sudah
ada. Salah satunya jika terjadi kerusakan lingkungan yang dapat membahayakan
keselamatan penduduk sekitar maka yang bertanggung jawab adalah para pengusaha, oleh
karena itu apa yang sudah ditentukan hendaknya ditaati agar saling menguntungkan dan tidak
membawa kerugian bagi salah satu pihak.
Melintas di jalan raya Ajibarang-Gumelar haruslah berhati-hati, pasalnya banyak truk
besar lalu lalang dan sering diselimuti kabut putih. Truk mengangkut bongkahan-bongkahan
batu kapur sementara kabut putih adalah sisa pembakaran kapur tohor.
Truk dan kabut putih merupakan efek dari eksplorasi pertambangan batu kapur yang
berada di kanan kiri jalan. Karena di Darmakradenan paling tidak terdapat 50 buah tobong,
tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi batu tohor,
sehingga sangat dimungkinkan sekali banyak aktivitas pengolahan batu kapur di kanan kiri
jalan.
Reklamasi dan sumber daya alternatif setiap upaya penambangan pasti menyisakan
problem lingkungan. Banyak contoh kasus yang membuat kita harus berhati-hati dalam
melakukan eksplorasi sumber daya alam.
Melihat lokasi penambangan dengan pengamatan sederhana dapat diketahui bahwa
daerah ini adalah daerah rawan bencana. Banyak sekali lahan-lahan bekas penambangan batu
kapur yang sudah sangat kritis, ditambah lagi jarak antara pemukiman penduduk dengan
lokasi penambangan sangat dekat sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan
masyarakat setempat jika terjadi bencana.
Penggalian batu kapur sendiri di Darmakradenan sudah modern, para pekerja
menggunakan bahan peledak atau dinamit dalam proses pengambilannya. Tanpa disadari
penggunaan bahan peledak sendiri merupakan salah satu alat modern yang berpengaruh pada
tingkat kerusakan lingkungan.
Penggunaan bahan peledak untuk aktivitas penggalian harus menggunakan izin dari
kepolisian, akan tetapi dalam pelaksanaannya para pengusaha tidak mengurus izin untuk
penggunaan bahan peledak. Menurut para pengusaha mengurus izin ketingkat pusat sangat
berbelit-belit memakan waktu lama dan biaya banyak sehingga para pengusaha memutuskan
untuk menggunakan bahan peledak tanpa izin dari pusat.
20
Pengurusan izin sendiri pada dasarnya untuk menghindari penyalahgunaan bahan
peledak serta untuk mengantisipasi terjadinya kecelakan kerja, karena menurut para
pengusaha jika ingin membeli dan melakukan proses peledakan harus di bawah pengawasan
aparat setempat. Hal inilah yang membuat para pengusaha enggan mengurus izin karena
terlalu berbelit-belit jika hendak melakukan peledakkan.
Komposisi dari bahan peledak sendiri terdiri dari belerang dan katul atau serbuk
kayu. Belerang dapat diperoleh di toko besi, sehingga para pekerja dapat merakitnya sendiri
dengan mudah.
Bahan peledak atau dinamit merupakan salah satu alat modern dalam aktivitas
penggalian batu kapur di Darmakradenan yang banyak menuai pro dan kontra dalam
penggunaannya. Sisi lain tidak bisa diabaikan bahwa alat tradisional juga sangat berperan
dalam proses pengambilan batu kapur.
Penambangan bahan galian terdiri dari dua tipe yaitu penambangan berskala besar
dan berskala kecil. Untuk penambangan berskala besar bahan peledak memang sangat
diperlukan sesui dengan ketentuan dan ada perizinannya, selain itu eskavator dan penggaru
juga sangat diperlukan.
Berbeda halnya dengan penambangan berskala kecil, penggunaan bahan peledak
memang sering digunakan akan tetapi tidak ada izin dan tidak ada pengawasan dari pihak
yang berwenang. Untuk penambangan skala kecil tidak ada eskavator karena usaha tersebut
dimiliki oleh perorangan, sehingga tidak dimungkinkan untuk membeli alat-alat berat karena
keterbatasan dana.
Alat tradisional yang digunakan dalam penambangan batu kapur di Darmakradenan
bukanlah alat yang sulit ditemukan, melainkan alat yang memang sehari-hari digunakan oleh
masyarakat pada umumnya. Penambangan dengan skala kecil ini menggunakan alat
tradisional berupa linggis, cangkul, dan sekop, kesemua alat tersebut memang dipergunakan
saat penggambilan batu kapur khususnya di Darmakradenan.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa bahan peledak tidak selamanya
mendominasi dalam pengambilan batu kapur di Kabupaten Banyumas. Linggis, cangkul, dan
sekop digunakan pada titik atau lokasi yang memang mudah dijangkau atau mudah diambil
oleh para penggali.
Penggunaan sekop sendiri memang jarang sekali digunakan, karena yang lebih
berperan di sini yaitu linggis dan cangkul. Linggis dan cangkul digunakan untuk mencukil
batu kapur, sedangkan sekop digunakan pada saat proses pengemasan yaitu memasukkan
batu kapur yang sudah ditumbuk halus ke dalam karung (Hasil wawancara dengan bpk. Sn
tanggal 18 Agustus 2011 ).
Deposit batu kapur pada umumnya ditemukan dalam bentuk bukit, Oleh sebab itu
apabila batu kapur tidak keras, pemecahan bukit dibantu dengan membuat sederetan
”lubang” tembak yang diisi dengan lempung, sesudah lempung diisikan pada masing-masing
lubang selanjutnya diisi air. Akibatnya lempung mengembang dan dengan bantuan linggis
batu kapur mudah dibongkar.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
1. SIMPULAN
a. Upaya penegakan hukum dapat dilaksanakan secara preventif yaitu upaya penegakan
hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup meliputi pengawasan
21
dan perijinan, selain itu dapat juga dilakukan secara represif yaitu upaya penegakan
hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan yaitu faktor
hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
2. SARAN
a. Pengawasan sebaiknya lebih diintensifkan sebagai sarana optimalisasi penegakan hukum
lingkungan
b. Disamping pengawasan sebaiknya juga dicari solusi lain yang lebih tepat
c. Sebaiknya dalam usaha pemulihan lingkungan setelah dirusak karena pengambilan bahan
galian atau yang biasa disebut dengan reklamsi, pemerintah daerah beserta masyarakat
serentak melaksanakan usaha yaitu dengan melakukan penanaman pohon-pohon keras
seperti jati, alba, dan mahoni.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abrar Saleng, 2004, Hukum pertambangan, UII Press, Yogyakarta.
Artidjo Alkotsar, 1997, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Daud Silalahi, 1996, Hukum lingkungan dalam sistim penegakan hukum lingkungan Indonesia,
Alumni, Bandung.
I Gede A. B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
I Supardi, 1994, Hukum Lingkungan dan Kelestariannya, Alumni, Bandung.
Joko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan Masalah Dan penanggulangannya, Rineka Cipta,
Jakarta.
Koesnadi Hardjosoemantri, 1999, Hukum Tata LIngkungan, Gadjah Mada University,
Yogyakarta.
---------------------------------, 1991, Hukum Perlindungan Lingkungan, Gadjah Mada University,
Yogyakarta.
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi refisi), PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Bandung.
Miles, Matthew, B& Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitaif, P. TUI, Press.
Moh.Soerjani, Rofiq Ahmad, Rozy Munir, 1987, Lingkungan : Sumber Daya Alam, dan
Kependudukan Dalam Pembangunan, Universitas Indonesia.
Otto Soemarwoto, 1997, Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan, Jakarta.
Ronny Hanantijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Sanafiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif, Yayasan Asah, Asih Asuh, Malang.
Satjipto Rahardjo, 2006,Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------------------, 2009, Penegakan Hukum, suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta.
----------------------, 2009, Hukum Progresif, sebuah sketsa hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya.
22
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe kajian Dan Metode
Penelitiannya.
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, CV. Mandar Maju, 2007,
Bandung.
Tresna Sastrawijaya, 1991, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Surabaya.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
3. Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Di
Kabupaten Banyumas Lembaran Daerah Kabupaten Banyumas Tahun 2011 Nomor 5
SERI E