22
1 PENGAWASAN SEBAGAI INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN USAHA PENGGALIAN BATU KAPUR DI KABUPATEN BANYUMAS Oleh : Indriati Amarini SUMMARRY Every effort is definitely environmentally destructive mining. This is due to the negative impacts of mining in the form of destruction of forests, pollution of the sea, the outbreak of disease, as well as community conflict on the circumference of the mine. The direct impact is the ecological damage and the chances of flooding and landslides. One of the mining business in Banyumas is a limestone quarrying. Excavation of the limestone is generally performed by means of explosives such as dynamite, which is mixed with powdered sulfur, because the results are faster and easier to get a chunk of limestone on the hill. The use of explosives in addition to endangering the safety of themselves are also very destructive excavating the existing ecosystem that is the beauty of the limestone hill does not look natural again, but that smoke generated from burning explosives and greatly interfere with breathing. One example is: The condition of the limestone mountain area Banyumas Ajibarang. Efforts to prevent and / or environmental damage that can be carried out preventive law enforcement efforts to prevent pollution of the environment including supervision and licensing, but it can also be done in the repressive law enforcement efforts to anyone who violates the provisions of applicable laws. There are several factors that affect the enforcement of environmental law is its own legal factors, law enforcement factor, factor means or facilities to support law enforcement, community factors and cultural factors. Keywords: rule of law, business Digging Limestone Setiap usaha pertambangan sudah pasti merusak lingkungan. Hal ini disebabkan timbulnya dampak negatif dari usaha pertambangan berupa rusaknya hutan, tercemarnya laut, terjangkitnya penyakit, serta terjadinya konflik masyarakat pada lingkar tambang. Dampak langsung adalah kerusakan ekologis serta peluang terjadinya banjir dan longsor. Salah satu usaha pertambangan yang ada di Banyumas adalah penggalian batu kapur. Penggalian batu kapur pada umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti dinamit, belerang yang dicampur dengan serbuk, karena hasilnya lebih cepat dan mudah untuk mendapatkan bongkahan batu kapur yang ada di bukit. Penggunaan bahan peledak sendiri disamping membahayakan keselamatan penggali juga sangat merusak ekosistim yang ada yaitu keindahan dari bukit kapur tidak terlihat secara alami lagi, selain itu asap yang ditimbulkan dari bahan peledak dan pembakaran sangat mengganggu pernafasan. Salah satu contoh adalah : Kondisi Gunung kapur di wilayah Ajibarang Banyumas. Upaya pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup dapat dilaksanakan secara preventif yaitu upaya penegakan hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup meliputi pengawasan dan perijinan, selain itu dapat juga dilakukan secara represif yaitu upaya penegakan hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang

PENGAWASAN SEBAGAI INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM … · keindahan dari bukit kapur tidak terlihat secara alami lagi, selain itu asap yang ditimbulkan dari bahan peledak dan pembakaran

Embed Size (px)

Citation preview

1

PENGAWASAN SEBAGAI INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM DALAM

PENGELOLAAN USAHA PENGGALIAN BATU KAPUR DI KABUPATEN

BANYUMAS

Oleh : Indriati Amarini

SUMMARRY

Every effort is definitely environmentally destructive mining. This is due to the negative

impacts of mining in the form of destruction of forests, pollution of the sea, the outbreak of

disease, as well as community conflict on the circumference of the mine. The direct impact is the

ecological damage and the chances of flooding and landslides.

One of the mining business in Banyumas is a limestone quarrying. Excavation of the

limestone is generally performed by means of explosives such as dynamite, which is mixed with

powdered sulfur, because the results are faster and easier to get a chunk of limestone on the hill.

The use of explosives in addition to endangering the safety of themselves are also very

destructive excavating the existing ecosystem that is the beauty of the limestone hill does not look

natural again, but that smoke generated from burning explosives and greatly interfere with

breathing. One example is: The condition of the limestone mountain area Banyumas Ajibarang.

Efforts to prevent and / or environmental damage that can be carried out preventive law

enforcement efforts to prevent pollution of the environment including supervision and licensing,

but it can also be done in the repressive law enforcement efforts to anyone who violates the

provisions of applicable laws. There are several factors that affect the enforcement of

environmental law is its own legal factors, law enforcement factor, factor means or facilities to

support law enforcement, community factors and cultural factors.

Keywords: rule of law, business Digging Limestone

Setiap usaha pertambangan sudah pasti merusak lingkungan. Hal ini disebabkan timbulnya

dampak negatif dari usaha pertambangan berupa rusaknya hutan, tercemarnya laut, terjangkitnya

penyakit, serta terjadinya konflik masyarakat pada lingkar tambang. Dampak langsung adalah

kerusakan ekologis serta peluang terjadinya banjir dan longsor.

Salah satu usaha pertambangan yang ada di Banyumas adalah penggalian batu kapur.

Penggalian batu kapur pada umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti

dinamit, belerang yang dicampur dengan serbuk, karena hasilnya lebih cepat dan mudah untuk

mendapatkan bongkahan batu kapur yang ada di bukit. Penggunaan bahan peledak sendiri

disamping membahayakan keselamatan penggali juga sangat merusak ekosistim yang ada yaitu

keindahan dari bukit kapur tidak terlihat secara alami lagi, selain itu asap yang ditimbulkan dari

bahan peledak dan pembakaran sangat mengganggu pernafasan. Salah satu contoh adalah :

Kondisi Gunung kapur di wilayah Ajibarang Banyumas.

Upaya pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup dapat dilaksanakan secara

preventif yaitu upaya penegakan hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan

hidup meliputi pengawasan dan perijinan, selain itu dapat juga dilakukan secara represif yaitu

upaya penegakan hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang

2

berlaku. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan yaitu faktor

hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.

Kata kunci : Penegakan hukum, Usaha Penggalian Batu Kapur

I. PENDAHULUAN

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Tuhan YME yang diberikan

kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu semua makhluk hidup mempunyai hak yang sama

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain ada hak tersebut, tentunya ada

kewajiban menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup ini. Kewajiban ini mencakup

semua tindakan yang dilakukan manusia baik secara individu maupun kelompok guna menjaga

dan melestarikan fungsi lingkungan hidup.

Masalah lingkungan terkadang terabaikan, tapi setelah dirasakan dampaknya, kerusakan

lingkungan akan membawa kerugian bagi setiap orang. Problematika lingkungan ini cukup

kompleks dan penyelesaiannya pun dapat membawa dampak yang kompleks pula, apabila tanpa

memperhatikan dan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial (A.Tresna Sastra

Wijaya,1991:83).

Setiap usaha pertambangan sudah pasti merusak lingkungan. Hal ini disebabkan

timbulnya dampak negatif dari usaha pertambangan berupa rusaknya hutan, tercemarnya laut,

terjangkitnya penyakit, serta terjadinya konflik masyarakat pada lingkar tambang. Dampak

langsung adalah kerusakan ekologis serta peluang terjadinya banjir dan longsor.

Salah satu usaha pertambangan yang ada di Banyumas adalah penggalian batu kapur.

Penggalian batu kapur pada umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti

dinamit, belerang yang dicampur dengan serbuk, karena hasilnya lebih cepat dan mudah untuk

mendapatkan bongkahan batu kapur yang ada di bukit. Penggunaan bahan peledak sendiri

disamping membahayakan keselamatan penggali juga sangat merusak ekosistim yang ada yaitu

keindahan dari bukit kapur tidak terlihat secara alami lagi, selain itu asap yang ditimbulkan dari

bahan peledak dan pembakaran sangat mengganggu pernafasan. Salah satu contoh adalah :

Kondisi Gunung kapur di wilayah Ajibarang Banyumas (Badan Geologi, Pusat Sumber Daya

Geologi, 2011).

II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan pengawasan sebagai instrumen penegakan

hukum pengelolaan usaha penggalian batu kapur pada masyarakat

2. Mengkaji dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksananan

pengawasan terhadap pengelolaan usaha penggalian batu kapur pada masyarakat

B. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

3

a. Mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum lingkungan yang berkaitan

dengan penegakan hukum lingkungan.

b. Mengembangkan instrumen penegakan hukum yang berkaitan dengan usaha

pengelolaan batu kapur di masyarakat

2. Manfaat Praktis

a. Memberi masukan pada pemerintah daerah dan masyarakat agar senantiasa tetap

memberikan motivasi dan solusi yang adil terhadap penyelesaian masalah

lingkungan.

b. Memberi masukan bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan hidup tidak merusak kelestarian fungsi lingkungan.

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah

terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi :

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan

hukum.

Adapun kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga harus

memperhatikan masyarakat hukum adat setempat dan kearifan lokal masyarakat setempat.

Adapun pengertian kearifan lokal sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 32

tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk

antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Salah satu penguatan instrumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup

adalah pengawasan dan perizinan sebagai upaya preventif dalam rangka pengendalian

dampak lingkungan hidup. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah

terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen,

dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.

Selain upaya tersebut diatas, perlu juga dikembangkan satu sistem hukum

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna

menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber

daya alam serta kegiatan pembangunan lain.

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 juga mendayagunakan berbagai

ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana.

Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar

pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam

pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan,

ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan

menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku

4

kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

B. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum pada hakikatnya sudah ada dan dimulai pada saat peraturan hukum

dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 24 ).

Tegaknya hukum di suatu negara merupakan dambaan setiap anggota masyarakat

yang tinggal di dalamnya. Penegakan hukum yang berlandaskan keadilan, kejujuran dan

tanpa pandang bulu merupakan tanggung jawab dari suatu negara yang dilaksanakan

melalui para aparatur negara.

Penegakan hukum dapat diartikan juga sebagai suatu proses yaitu proses atau cara

agar hukum tetap tegak yang berlandaskan keadilan dan kejujuran. Dalam penegakan

hukum ada suatu penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak

secara ketat yang diatur oleh kaidah hukum (Soerjono Soekanto, 1983 : 7 ).

Pada hakikatnya penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan terhadap

Undang-undang atau menjalankan keputusan hakim saja, akan tetapi suatu tindakan yang

menyangkut keadilan dan kepentingan orang banyak tanpa mengganggu kedamaian di

dalam pergaulan hidup mayarakat. Oleh karena itu para pejabat penegak hukum sebagai

puncak pelaksanaan yang dipercaya oleh masyarakat dapat menjalankan tugasnya dengan

sesuai dan benar tanpa melihat kelas atau kasta.

Dengan adanya pembedaan kelas di dalam masyarakat akan membawa suatu negara

ke dalam suatu arus yang tidak bisa dijangkau lagi oleh masyarakat, sehingga stratifikasi

sosial semakin berjenjang. Dampaknya masyarakat semakin jauh dengan keadilan dan

para penegak hukum karena mereka sudah tidak percaya lagi dengan kinerja para

penegak hukum.

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan

tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan tersebut mereka

terapkan karena adanya kaidah-kaidah yang menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku

atau sikap yang dianggap pantas atau yang seharusnya dilakukan ( Soerjono Soekanto,

1983 : 6 ).

Masyarakat sekarang dapat berfikir kritis terhadap suatu keadaan yang mereka

anggap tidak nyaman, mereka dapat melakukan penilaian terhadap kinerja para penegak

hukum oleh karena itu apapun yang dilakukan oleh para penegak hukum harus sesuai

dengan norma dan kaidah yang ada. Karena pada dasarnya sikap atau tindakan yang

pantas dari para penegak hukum yaitu, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma

bertujuan untuk menciptakan keadilan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.

Dalam suatu proses penegakan hukum tidak menutup kemungkinan terkadang ada

gangguan atau faktor yang mempengaruhi proses tersebut, berikut ini ada beberapa faktor

yang mempunyai arti netral sehingga dampak positif dan negatif terletak pada isi faktor

tersebut :

1. Faktor hukumnya sendiri;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan;

5

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil cipta, karya, dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, karena merupakan esensi dari

penegakan hukum dan juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum

(Soerjono Soekanto, 1983 : 8-9 ).

Banyaknya gangguan-gangguan yang ada atau faktor-faktor yang berperan dalam

proses penegakan hukum dapat dijadikan pelajaran dan motifasi agar senantiasa tetap

berjuang dalam menegakan hukum. Di luar sana masih banyak masyarakat yang

menantikan terciptanya hukum yang adil dan tidak pandang bulu yang dapat menciptakan

kesejahteraan dan kedamaian di negara tersebut.

Ada dua macam istilah penegakan hukum yaitu penegakan hukum secara normatif

maupun penegakan hukum secara sosiologis. Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat

jarang sekali orang membedakan kedua hal tersebut. Mereka lebih mengenal hanya

dengan istilah “penegakan hukum“ saja yang merupakan keharusan di suatu negara.

Penegakan hukum merupakan suatu tolok ukur untuk kemajuan dan kesejahteraan

suatu negara. Karena negara yang maju biasanya ditandai tidak sekedar

perekonomiannya yang maju tapi juga penegakan hukum dan perlindungan HAM yang

baik.

Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi hukum, hukum adalah

“ Rule of the game“ bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan

bernegara. Demi mewujudkan sebuah keteraturan bagi bangsa ini maka perlu

dilaksanakannya sebuah hukum yang diakui oleh masyarakat karena setiap masyarakat

memiliki hak dan kewajiban (www. Kammikepri.com → Diakses pada tanggal Kamis,

4 maret 2012).

Penegakan hukum normatif atau yang legal formal tidak hanya sekedar

melaksanakan Undang-undang saja akan tetapi memberdayakan aparat dan fasilitas

hukum. Tiga komponen inilah yang dapat menunjang tegaknya hukum di suatu negara.

Tegaknya hukum juga membutuhkan aparatur yang memang dapat bekerja efektif

untuk menegakan hukum itu sendiri, sementara warga masyarakat pada umumnya

sebagai subyek hukum yang dituntut untuk menaati hukum juga sangat menentukan

tegak atau tidaknya suatu norma. Ada 3 faktor yang penting yang menentukan tegak

atau tidaknya hukum dalam praktek :

1. Aparatur penegak hukumnya bekerja fungsional dan efektif baik sebagai teladan

maupun dalam upaya menegakan hukum;

2. Materi hukumnya memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan sosial dan di

taati oleh para subyek hukum yang luas;

3. Para subyek hukum menjadikan norma hukum yang bersangkutan sebagai

pedoman perilaku yang dengan sungguh-sungguh ditaati (www. Jimly.com →

Diakses pada hari Kamis, 4 maret 2012).

Kerjasama yang baik antara para penegak hukum dan subyek hukum dalam

melaksanakan atau mentaati Undang-undang, kiranya dapat mewujudkan penegakan

hukum yang dicita-citakan. Jangan sampai ada penyimpangan dari salah satu komponen

diatas yang akan membawa negara pada sebuah kehancuran dan ketidakpercayaan

masyarakat pada suatu proses penegakan hukum.

6

Pembicaraan mengenai masalah penegakan hukum sudah menjadi topik

pembahasan dikalangan masyarakat sehari-hari. Mulai dari hal yang positif sampai pada

hal yang negatif, semuanya ada pada proses penegakan hukum.

Keberadaaan manusia dalam proses penegakan hukum sangat penting dan

berperan, tidak hanya itu proses penegakan hukum juga melibatkan tingkah laku

manusia. Karena hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya atau tidak mampu

memenuhi janji-janji atau kehendak yang tercantum dalam peraturan hukum tanpa ada

campur tangan dari manusia (Satjipto Rahardjo, 2009 : 7).

Tingkah laku atau kualitas karakter seseorang dalam masyarakat berbeda dengan

yang lainnya. Ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lancar atau tidaknya

proses penegakan hukum di suatu negara.

Dalam pelaksanaannya bukan orang-perorangan saja yang sebenarnya melaksanakan

proses penegakan hukum, akan tetapi semua elmen masyarakat harus terlibat dalam

proses tersebut agar tujuan hukum dapat tercapai.

Penegakan hukum secara sosiologis pada dasarnya berbicara mengenai proses-

proses penegakan hukum yang dikaitkan pada tingkah laku orang yang menjalankannya,

sehingga aspek sosial dari penegakan hukum tampak jelas. Tingkah laku sosial tersebut

tidak hanya gerakan-gerakan badaniyah saja akan tetapi tingkah laku sosial yang terikat

pada berbagai hal atau patokan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 8).

Persoalan mendasar ketidakadilan penegakan hukum yang banyak

dipermasalahkan masyarakat selama ini memang berakar pada pemahaman para

penegak hukum yang sempit. Terhadap penerapan hukum formal yang berlaku

sebagaimana yang dipahaminya terbatas hanya sebagai penerapan hukum yang bersifat

prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa keadilan masyarakat yang lebih

bersifat substantif dengan ciri khasnya yang selalu dinamis dan berubah seiring dengan

berubahnya kepentingan individu-individu manusianya yang ada di dalam masyarakat

tersebut (http:// bataviase.co.id → Diakses pada hari Rabu, 10 maret 2012).

Pembekalan rasa keadilan dan solidaritas pada para penegak hukum memang

harus sejak dini ditanamkan sehingga tidak ada jarak atau jenjang antara penegak

hukum dengan masyarakat. Adanya pendekatan yang baik antara penegak hukum

dengan individunya merupakan salah satu alternatif sehingga hukum dapat ditegakkan,

jangan sampai para penegak hukum hanya mengandalkan penegakan hukum secara

formal tanpa mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat.

Yang paling ditekankan dalam penegakan hukum secara sosiologis adalah

mengenai aspek pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakatnya atau yang lazim sebagai

pemenuhan keadilan substantif sehingga penegakan hukum itu dapat diterima sebagai

suatu yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Menghadapi perkembangan

masyarakat yang terus berubah dan bahkan berlari dengan cepat meninggalkan hukum,

diperlukan pemahaman yang komprehensif terhadap perkembangan dan keterkaitan

antara sosiologi hukum yang berubah dengan disiplin-disiplin bidang kajian lainnya

(http://bataviase.co.id) → Diakses pada hari Rabu, 10 Maret 2012).

C. Penggalian Batu Kapur

Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh

kepulauan Indonesia. Batu gamping secara kimia terdiri atas kalsium karbonat (CaCO3)

dan di alam tidak jarang pula dijumpai batu kapur magnesium. Kadar magnesium yang

tinggi mengubah batu kapur menjadi batu kapur dolomitan dengan komposisi kimia

7

CaCO3MgCO3, selain magnesium batu kapur kerapkali tercampur dengan lempung, pasir,

bahkan jenis mineral lain.

Pada umumnya batu kapur yang padat dan keras mempunyai 2 jenis berat, selain yang

pejal (masif) dijumpai pula batu kapur yang sarang (porus). Batu kapur sendiri mempunyai

beberapa warna yang bervariasi dari putih susu, abu-abu tua, coklat, merah, bahkan hitam,

kesemuanya disebabkan karena jumlah dan jenis pengotor yang ada, warna merah

disebabkan oleh mangan, oksida besi, sedangkan hitam karena zat organik .

Batu kapur sering digunakan oleh berbagai industri untuk keperluan tertentu dan bisa

dimanfaatkan pula untuk fondasi rumah, pengeras jalan atau bangunan fisik lainnya. Batu

kapur yang diperlukan untuk keperluan ini adalah jenis batu kapur yang pejal dan tidak

berlubang, untuk bentuk dan ukuran tidak ada standart yang terpenting adalah mudah

diangkat oleh tenaga manusia ( www.minerhe.co.cc→ Diakses pada hari Rabu, 12 Mei

2012).

Batu kapur itu sendiri dalam ( bahasa Inggris : limestone) (CaCO3) adalah sebuah

batuan sediment terdiri dari mineral calcite (kalsium karbonat) (Wikipedia Indonesia,

http://id.wikipedia.org./wiki/ batu_kapur)

Menurut kamus kebumian ( M.M.Purbo Hadiwidjoyo, 1994: 19 ):

Batu gamping adalah batuan endapan, tersusun sebagian besar (50%) dari karbonat

kalsium (kalsit) limestone.

Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia ( Hasan Alwi, 2007: 113):

1. Batu adalah benda keras dan padat yang berasal dari bumi atau planet lain tapi bukan

logam.

2. kapur adalah batu karang yang terutama mengandung kalsium karbonat dan bila

dibakar menghasilkan kapur.

Sedangkan menurut Kamus Geografi ( M. A. Marbun, 1982: 92 ):

Batu kapur adalah batuan sedimen berwarna putih, kelabu, atau warna lain, terdiri dari

kalsium karbonat, yang terdapat sangat banyak di kulit bumi secara berlapis-lapis dan

sering dipakai orang untuk bahan bangunan, semen, industri kimia, industri keramik, dan

sebagainya.

Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral Batubara

(selanjutnya ditulis Undang-undang Minerba ) disebutkan bahwa: “Pertambangan mineral

adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi,

minyak dan gas bumi, serta air tanah“

Banyaknya potensi batu kapur di Indonesia sering dimanfaatkan untuk dibuat sebagai

bahan baku nutrisi pakan ternak yang dikenal dengan sebutan kalsium hidrofosfat yanng

merupakan senyawa anhidrat dan dihidrat yang dapat digunakan dalam berbagai industri,

khususnya industri pakan ternak. Pada dasarnya banyak manfaat yang diperoleh dari batu

kapur jika kita jeli dan pandai memanfaatkannya, namun sayangnya di Indonesia belum

ada industri yang membuat Ca-Hidrofosfat, sehingga masih diimpor dari luar

(WikipediaIndonesia, http://id.wikipedia.org./wiki/batu_kapur→ Diakses pada hari Rabu,

2 Desember 2011).

Selanjutnya dalam Pasal 34 Undang-undang Minerba di sebutkan beberapa kelompok

atau golongan usaha pertambangan :

(1). Usaha pertambangan dikelompokan atas :

a. Pertambangan mineral; dan

b. Pertambangan batu bara

8

(2). Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan

atas:

a. Pertambangan mineral radioaktif;

b. Pertambangan mineral logam;

c. Pertambangan mineral bukan logam, dan;

d. Pertambangan batuan.

Dalam Undang-undang minerba tidak dijelaskan secara detail tentang golongan pada

batuan, akan tetapi dalam Perda No. 12 tahun 2011 di Banyumas tentang Pertambangan

Mineral dan Batu Bara Di Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa pertambangan dan

mineral dan pertambangan batubara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan

komoditas tambang yaitu :

a. mineral radioaktif,

b. mineral logam

c. mineral bukan logam

d. batuan

e. batubara

Golongan-golongan tersebut merupakan potensi sumber alam yang tidak dapat

diperbaharui sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara berdaya guna, berhasil

guna, bertanggungjawab, dan berkelanjutan serta pemanfaatannya ditujukan bagi sebesar-

besarnya kesejahteraan rakyat.

Aktivitas pertambangan di Indonesia sangat besar, tidak diragukan lagi jika banyak

kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari usaha pertambangn tersebut. Setiap

kerusakan yang ditimbulkan ada yang dapat diperbaiki serta dapat

dipertanggungjawabkan dan ada juga yang hanya dibiarkan saja tanpa ada penanganan

lebih lanjut.

Seringkali suatu perbuatan yang dilakukan manusia sebagai sumber aktivitas tidak

ramah pada lingkungan. Dampak dari hal ini adalah pencemaran atau perusakan

lingkungan yang akhirnya menimbulkan masalah bagi masyarakat.

Pengusahaan pertambangan pada umumnya tidak saja potensial merusak lingkungan

fisik, akan tetapi aktivitas pertambangan memiliki potensi daya ubah lingkungan yang

tinggi. Tidak sedikit kegiatan penambangan dapat merubah struktur dan komposisi

lingkungan termasuk perubahan biota dan vegetasi (tanaman) (Abrar Saleng, 2004:92).

Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan memang beraneka

ragam sifat dan bentuknya. Berikut ini ada beberapa kriteria dan dampak dari kerusakan

lingkungan menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup, yang tercantum dalam paragraf 4 tentang kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup pada ( Pasal 21 ayat (2), (3), dan (4) ) berikut ini :

Pasal 21 ayat (2): Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku

kerusakan ekosisim dan kriteria baku akibat perubahan iklim.

ayat (3): Kriteria baku kerusakan ekosistim meliputi

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomasa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan

kebakaran hutan dan/atau lahan;

d. kriteria baku kerusakan mangrove;

9

e. kriteria baku kerusakan pada padang lamun;

f. kriteria baku kerusakan gambut;

g. kriteria baku kerusakan karst;dan/atau;

h. kriteria baku kerusakan ekosistim lainnya sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahaun dan teknologi.

ayat (4): Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada

parameter antara lain :

a. Kenaikan temperatur;

b. Kenaikan muka air laut;

c. Badai;dan/atau;

d. Kekeringan.

Selain kriteria kerusakan lingkungan diatas, ada beberapa point yang menjelaskan

tentang dampak dari usaha pertambangan, antara lain :

1. Usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan antara lain :

pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, serta

buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara

bising dari berbagai alat berat, suara ledakan dari bahan peledak, dan gangguan

lainnya.

2. Pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi

lapangan, dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, dan gempa.

Pelaksanaan konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan atas beberapa

dampak yang ditimbulkan, mewajibkan setiap usaha pertambangan melakukan upaya

meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Semua manusia di

atas bumi ini, baik ia sebagai penguasa atau pemerintah maupun penguasa pertambangan

serta warga masyarakat pada umumnya mempunyai tanggungjawab yang sama untuk

menjaga lingkungan terhadap pengelolaan bahan galian dan sumberdaya alam lainnya

(Abrar Saleng, 2004:118).

IV. METODE PENELIITIAN

a. Rancang Penelitian

Untuk dapat memperoleh data empiris dan keterangan-keterangan secara faktual

yang berhubungan dengan permasalahan, penelitian ini menggunakan rancangan

penelitian pustaka, studi dokumentasi dan studi kasus. Apabila diperlukan akan

dilakukan metode observasi langsung dengan model observasi tidak terstruktur.

b. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Oleh

karena itu penelitian lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan

deduktif dan induktif serta analisa terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang

diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Penekanan dalam penelitian ini bukan

pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian

melalui berpikir format dan argumentatif.

c. Sumber Data

10

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data yang diperoleh dari sumber

yang berbeda:

1. Data primer, yaitu data yang bersumber langsung dari para penambang, tokoh

masyarakat, masyarakat desa, aparat pemerintahan daerah

2. Data Sekunder, bersumber dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku pustaka,

hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah dan publikasi dari instansi terkait

yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

d. Metode Pengambilan Data

1. Data Primer

a) Interview

Interview merupakan suatu bentuk komunikasi verbal melalui tatap muka

yang memiliki tujuan memperoleh data yang dapat diolah untuk memperoleh

hal-hal yang bersifat umum dan menunjukkan kesamaan dengan suatu situasi

yang lain. Berdasarkan bentuk pertanyaannya, interview dapat dibedakan

menjadi verbal dan non verbal. Bentuk verbal terdiri dari pertanyaan langsung

dan tidak langsung, sedangkan bentuk non verbal juga terdiri dari dua bentuk

pertanyaan, yaitu overt dan covert. Sementara itu bentuk pertanyaan langsung

terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup (Moleong,1998).

Berdasarkan cara pengambilannya datanya dapat dibedakan menjadi

interview partisipatif dan interview non partisipatif. Wawancara partisipatif

pada umumnya berbentuk verbal terstruktur maupun tidak terstruktur yaitu

terbuka maupun tertutup. Yang membedakan adalah adanya kecenderungan

subjek tidak menyadari kalau tengah diinterview, karena peneliti

memanfaatkan moment-moment khusus. Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan metode interview dengan jenis verbal partisipatif.

b) Observasi

Observasi adalah suatu kegiatan yang sistematis dalam mendeskripsikan

(pencatatan dan pengamatan) berbagai kejadian, perilaku dan artifak dalam

kehidupan sosial sebagai gejala penelitian. Observasi merupakan metode

pengambilan data yang memiliki kedudukan cukup penting dalam penelitian

kualitatif dan seringkali teknik ini sulit digantikan dengan teknik lain.

Mengikuti dan melakukan pengamatan tentang kondisi subyek pada situasi

yang wajar tanpa melakukan kontak personal sehingga pasang surut keadaan

subyek akan dapat terekam dengan baik memungkinkan peneliti memperoleh

informasi tentang keadaan subyek dalam memberikan tanggapan terhadap

suatu peristiwa yang terkait dengan dirinya.

Bahkan tidak tertutup melalui cara-cara tertentu peneliti dapat terlibat

sebagai bagian dari kehidupan subjek penelitian.

Menurut Jorgensen (dalam Moleong dkk:1998) ada beberapa model

observasi yang didasarkan pada keterlibatan peneliti pada subyek penelitian,

yaitu:

a. Observasi partisipan, di mana peneliti ikut terlibat dan menjadi bagian

(berperan serta) dalam suatu kegiatan yang dilakukan oleh subyek

penelitian.

b. Observasi non partisipan, di mana peneliti berkedudukan sebagai pengamat

tanpa terlibat dalam aktivitas yang dilakukan subyek penelitian.

11

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipan dan

data yang diperoleh digunakan sebagai rechecking data yang sudah diperoleh

dari interview yang telah dilakukan sebelumnya.

2. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi dengan

menggunakan blangko dokumentasi, katalog pustaka dan sebagainya.

e. Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif, menurut Sarantoks (dalam

Poerwandari,1999) mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a) Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus

tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian.

b) Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, dapat berubah dalam hal jumlah maupun

karakteristik sampelnya.

c) Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah /peristiwa acak) melainkan

pada kecocokan konteks.

Sesuai dengan uraian di atas maka pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan metode purposive yaitu pengambilan sampel sesuai dengan tujuan

penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah para penambang, aparat

pemerintah di desa, aparat pemerintah daerah.

f. Validitas Data

Dalam penelitian ini validitas data menggunakan trianggulasi sumber data untuk

pengecekan maupun membandingkan derajat kepercayaan dokumen dan triangulasi

metode. Triangulasi sumber data dilakukan dengan mengumpulkan data dari

berbagai sumber yaitu para penambang, tokoh masyarakat, aparat pemerintahan desa

dan daerah. Adapun triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data

dengan menggunakan metode yang berbeda.

g. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan bentuk interaktif dari ketiga

komponen tersebut dengan tahapan sebagai berikut:

a) Reduksi data, yaitu proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan data. Reduksi

data ini merupakan bagian dari analisis yang berisi mempertegas, membuat focus,

membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga

kesimpulan dapat dilaksanakan.

b) Penyajian data, yaitu suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan

dilakukan pengambilan kesimpulan. Dalam penelitian ini organisasi informasi itu

terdiri dari data atau informasi tentang penyebab perselisihan antar petani sawah

irigasi. Pada penyajian data dimungkinkan dilakukan juga validas data.

Penarikan kesimpulan, yaitu upaya peneliti untuk mengerti hal-hal yang ditemui dalam

penelitian dengan melakukan pencatatan peraturan, pola-pola, pernyataan, arahan

sebab-akibat dan proposisi dari awal pengumpulan data. Peneliti menggunakan

analisis interaktif karena dengan model ini dimungkinkan adanya pengulangan yang

berarti dalam bentuk siklus.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

12

A. HASIL PENELITIAN

1. Pengawasan Sebagai Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan

Batu kapur merupakan salah satu potensi sumber daya alam tak terbarukan yang

ada di wilayah Kabupaten Banyumas sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara

berdaya guna, berhasil guna, bertanggungjawab dan berkelanjutan yang pemanfaatannya

ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan

Pemerintah Daerah bersama pelaku usaha. Selanjutnya pemerintah daerah memberikan

kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan

maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan berdasarkan izin yang

diberikan Bupati. Pengelolaan pertambangan dilaksanakan berdasarkan prinsip

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.

Dalam rangka menghadapi tantangan lingkungan strategis maka pemerintah

daerah Kabupaten Banyumas menyusun Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara Di Kabupaten Banyumas yang diharapkan dapat

memberikan landasan hukum yang kuat bagi perangkat Pemerintah Daerah untuk

melakukan pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penertiban terhadap usaha

pertambangan di daerah.

Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan pertambangan mineral dan batu

bara di daerah ada pada Bupati. Kewenangan tersebut meliputi pemberian Izin Usaha

Pertambangan (IUP) untuk melaksanakan usaha pertambangan dan Izin Pertambangan

Rakyat (IPR), dan pengawasan usaha pertambangan di Daerah.

Sebagai konsekuensi dari diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) maka

langkah selanjutnyya adalah melakukan pengawasan. Pengawasan pada prinsipnya dilakukan

sebagai upaya preventif terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan. Berdasarkan wawancara

tertanggal 8 Mei 2012, pukul 11.35 -12.45 WIB, dengan Marmono Aji, S,H.,selaku Kepala

Seksi Pengawasan; dan Imam Soetomo selaku Seksi Pengusahaan dapat diuraikan sebagai

berikut :

1. Terdapat 126 kegiatan pertambangan yang masih memiliki izin dan beroperasi di wilayah

Banyumas.

2. Pengawasan secara langsung dilakukan sebulan sekali dengan cara peninjauan ke seluruh

wilayah pertambangan yang ada di Kabupaten Banyumas.

3. Pengawasan secara tidak langsung dilakukan sebulan sekali dengan menerima laporan

dari pengusaha tambang tentang hasil produksinya.

Berkaitan dengan Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemerintah daerah

sudah tidak memberikan Izin Usaha Pertambangan yang baru dikarenakan pemerintah dalam

hal ini Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Surat Edaran

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08.E/30/DJB/2012 ,Tentang

Penghentian Sementara Penerbitan IUP (Izin Usaha Pertambangan) Baru Sampai

ditetapkannya Wilayah Pertambangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan bahwa :

(1) Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan

bagi penetapan kegiatan pertambangan

13

(2) Wilayah Pertambangan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan

pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 2009, WP terdiri atas Wilayah Usaha

Pertambangan (WUP) dan berdasarkan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2009, satu WUP terdiri

atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan.

Selanjutnya dalam Pasal 35 UU No. 4 Tahun 2009, Usaha Pertambangan

dilaksanakan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan. IUP diberikan oleh Menteri, gubernur

atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapatkan WIUP. WIUP

mineral logam dan WIUP batubara diberikan dengan cara lelang, sedangkan WIUP batuan

diberikan dengan carapermohonan wilayah.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan

Tanah merupakan sumberdaya alam yang mengandung benda organik dan anorganik

yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman. Tanah perlu dijaga juga kelestariannya,

agar anak cucu kitapun dapat mempergunakannya suatu saat nanti karena suatu kelangsungan

hidup tidak dapat lepas dari masalah tanah (A. Tresna Sastrawijaya, 1991 : 66).

Pembangunan bidang industri memang sangat diperlukan untuk manaikkan taraf

hidup, akan tetapi penggunaan tanah ini harus dapat mencegah menggunakan tanah secara

terus menerus. Industri pertambangan salah satunya yang dapat menguras tanah dalam

jumlah besar serta dapat mengurangi kualitas tanah itu sendiri.

Terkadang dalam situasi dan kondisi tertentu industri pertambangan dilaksanakan

tanpa melihat akibat yang mungkin timbul terhadap lingkungan, dengan pertimbangan bahwa

keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar daripada kerugian yang akan diderita. Pemikiran

seperti ini kiranya tidak diterapkan secara terus-menerus mengingat keterbatasan kemampuan

lingkungan untuk kembali kestruktur awal, agar tidak membahayakan kepentingan hidup

manusia.

Kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, bahkan ada ungkapan ”Tiada kegiatan pertambangan tanpa perusakan /

pencemaran lingkungan”. Dapat dikatakan demikian karena banyak sekali masalah

lingkungan yang timbul dari usaha pertambangan antara lain : dapat merubah topografi

dalam waktu yang relatif singkat, pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara

dan air, tanah longsor & ledakan tambang (Abrar saleng, 2004 : 117).

Dampak dari usaha penggalian yang berlebihan di masa sekarang nantinya akan

menjadi beban bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu setiap usaha penggalian

kiranya dapat melakukan pemulihan lingkungan atas beberapa dampak yang ditimbulkan

atau paling tidak dapat meminimalisir dampak dari usaha penggalian tersebut, karena tanpa

ada pemulihan lingkungan generasi yang akan datang tidak bisa menikmati apa yang alam

sudah sediakan, kenyataan ini memang sungguh tidak adil bagi generasi yang akan datang.

Sama halnya dengan penambangan lain, penambangan batu kapur di Darmakradenan

juga mempunyai akibat atau dampak dari usaha penggalian, baik dari pencemaran tanah,

udara, dan air. Penggalian batu kapur sendiri di Darmakradenan termasuk dalam

pertambangan rakyat karena usaha tersebut dimiliki oleh perorangan bukan badan usaha dan

merupakan usaha penggalian dengan skala kecil.

Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba menyebutkan ada beberapa

kriteria untuk menetapkan wilayah pertambangan rakyat. Kriteria tersebut tercantum dalam

Pasal 22, sebagai berikut :

14

a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan atau

diantara tepi dan tepi sungai;

b. mempunyai cadangan primer logam atau batu bara dengan kedalaman

maksimal 25 meter;

c. endapan teras, datarn banjir, dan endapan sungai purba;

d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 hektare;

e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan / atau

f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah

dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun.

Bekas lokasi penambangan terkadang menyisakan banyak masalah bagi masyarakat

sekitar. Dalam undang-undang sendiri tidak menyebutkan secara tegas tentang lokasi atau

titik mana saja yang boleh dan dilarang untuk digali.

Undang-undang sendiri dalam hal ini Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang

Minerba hanya menjelaskan tentang wilayah izin usaha pertambangan. Karena pada

hakekatnya setiap usaha pertambanagan memerlukan izin dalam pelaksanaan usaha tersebut.

Pasal 58 ayat (1) menyebutkan:

”Pemegang izin usaha produksi (IUP) eksplorasi batuan diberi wilayah izin usaha produksi

dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare”.

Fakta yang ada di lapangan berbeda dengan apa yang disebutkan oleh undang-

undang, kepemilikan lokasi penambangan batu kapur di Darmakradenan merupakan milik

individu yang sudah dikuasai sejak zaman dulu dan sudah menjadi turun temurun. Oleh

karena itu tidak ada aturan berapa besar bagian masing-masing individu dalam memiliki

lokasi penambangan ( Hasil wawancara dengan bpk. Harjono, pada tanggal 12 April 2012 ).

Fakta lain menyebutkan bahwa dengan maraknya penambangan batu kapur tersebut

ada pula warga yang melakukan kegiatan secara tidak bertanggung jawab. Mereka

melakukan penggalian bahan batu kapur di dalam wilayah larangan PT Perhutani yaitu

kawasan hutan pinus yang memang sangat berdekatan lokasinya

(www.dim.esdm.go.id→Diakses pada hari Jum’at 30 April 2012 ).

Kondisi inilah yang secara tidak langsung merupakan salah satu lokasi yang dilarang

untuk digali, walaupun tidak disebutkan secara langsung oleh undang-undang. Masyarakat

setempat boleh mengakui dan memiliki lokasi penggalian batu kapur, akan tetapi mereka

juga harus mentaati peraturan yang ada, jangan sampai menyorok ke dalam wilayah yang

memang bukan milik mereka.

B. PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Pengawasan Pengelolaan Usaha Penggalian Batu Kapur Di Kabupaten

Banyumas

Salah satu desa di Kabupaten Banyumas yang mata pencahariannya sebagai penggali

batu kapur adalah Desa Darmakradenan merupakan salah satu desa di kecamatan

Ajibarang kabupaten Banyumas, terletak di sebelah barat kecamatan Cilingok, yang

mempunyai total luas wilayah desa 1184.245 ha dengan batas-batas desa sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : desa Gancang

b. Sebelah Barat : desa Paningkaban

c. Sebelah Selatan : desa Tipar Kidul

d. Sebelah Timur : desa Karang Bawang

Desa Darmakradenan memiliki konfigurasi berupa pegunungan dengan ketinggian

antara 250-750 m di atas permukaan laut, sehingga tergolong dataran sedang dan

15

sebagian pada dataran tinggi. Kekayaan alam yang dimiliki desa Darmakradenan cukup

banyak baik dari sektor pertanian maupun industri. Selain itu sebagian tanahnya berupa

tanah bebatuan, tanah sawah, dan tanah darat

(http://pemdesdarma.blogspot.com→Diakses pada hari Rabu, 12 Mei 2012).

Industri yang sangat berpotensi menyerap tenaga kerja, salah satunya adalah industri

batu kapur. Potensi batu kapur di Darmakradenan cukup besar sehingga banyak sekali

dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk diolah menjadi salah satu bahan bangunan

yang nantinya dapat membawa penghasilan tersendiri bagi warga sekitar.

Setiap kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini penggalian batu

kapur sudah barang tentu dapat merusak kelangsungan ekosistem lingkungan di sekitar

wilayah pertambangan. Oleh karena itu pemerintah daerah harus melakukan pembinaan,

pengawasan, pengendalian dan penertiban terhadap usaha pertambangan mineral dan

batubara di daerah melalui landasan suatu Peraturan Daerah.

Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah Daerah Banyumas telah

mengantisipasinya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2011 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara Di Kabupaten Banyumas. Perda ini untuk mengganti

Peraturan Daerah sebelumnya yaitu Perda No. 39 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Usaha

Pertambangan Bahan Galian Golongan C dan Peraturan Bupati Nomor 113 Tahun 2008

tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum Bahan Galian Golongan A dan B.

Penggantian Perda ini juga dikarenakan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan yaitu pengaruh

globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia dan

lingkungan hidup.

Berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan, salah satu penguatan instrumen

pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah pengawasan dan perizinan sebagai

upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup. Sedangkan apabila

pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, maka diperlukan upaya represif

berupa penegakan hukum yang efektif, konsekwen dan konsisten terhadap pencemaran dan

kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.

Penegakan hukum lingkungan dalam pengelolaan bahan galian dan sumber daya alam

lainnya sesungguhnya mutlak harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab semua manusia

di atas bumi ini, baik ia sebagai penguasa atau pemerintah maupun pengusaha pertambangan

serta warga masyarakat pada umumnya. Karena tidak sedikit kerusakan lingkungan

disebabkan oleh keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam, jadi siapa

lagi jika bukan kita yang akan melaksanakan tugas dan tanggung jawab besar dalam

melestarikan lingkungan.

Setiap manusia yang ada di muka bumi ini berhak atas lingkungan yang baik dan

sehat, mereka juga berhak menikmati apa yang alam sudah sediakan. Manusia juga harus

ingat, selain mereka mempunyai hak atas lingkungan mereka juga mempunyai kewajiban

yang sudah menanti yaitu yang tercantum dalam Undang-undang 32 tahun 2009 tentang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Pasal 67 dan 68, yaitu :

Pasal 67 : ”Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup

serta mengendalikan pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup”

Pasal 68 : Setiap orang yang melakukan usaha dan / atau kegiatan berkewajiban :

16

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup secara benar, aktual, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan / atau kriteria

baku kerusakan lingkungan hidup.

Sumber daya alam dan ekosistim yang ada di Indonesia pada hakekatnya

mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional.

Oleh karena itu penggunaannya harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi

kesejahteraan masyararakat Indonesia dan umat dunia pada umumnya untuk sekarang dan

di masa yang akan datang ( Daud Silalahi, 1996 : 54 ).

Pengelolaan lingkungan yang tepat merupakan upaya untuk memperoleh kualitas

lingkungan yang baik. Pengelolaan lingkungan yang baik dapat mencegah kerusakan

lingkungan akibat suatu proyek pembangunan, oleh karenanya setiap tindakan atau upaya

yang akan dilaksanakan benar-benar harus terencana dengan matang agar dapat

memperoleh hasil yang maksimal.

Tujuan dari penegakan hukum lingkungan sendiri esensinya adalah penataan terhadap

nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistim dan fungsi lingkungan hidup. Oleh karena

itu untuk mencapai penataan tersebut, maka sesungguhnya penegakan hukum bukanlah

satu-satunya cara, karena berbagai cara atau pendekatan dapat dilakukan antara lain

melalui instrumen ekonomi, edukasi, bantuan teknis, dan tekanan publik.

Beberapa ahli menjelaskan tentang makna dari penegakan hukum, salah satunya

adalah pendapat dari Ninik Suparni. Beliau menegaskan bahwa upaya penegakan

hukum dapat dilaksanakan secara preventif yaitu upaya penegak hukum mencegah

terjadinya pencemaran lingkungan hidup, selain itu dapat juga dilakukan secara represif

yaitu upaya penegak hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-

undangan yang berlaku ( Syahrul Mahmud, 2007 : 68-72 ).

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap

pengelolaan penggalian batu kapur pada Masyarakat Di Banyumas

Darmakradenan merupakan salah satu desa yang mempunyai potensi batu kapur yang

cukup besar. Keadaan inilah yang mendorong masyarakat setempat untuk mengolah batu

kapur sehingga dapat dimanfaatkan untuk campuran bahan bangunan. Usaha batu kapur

sendiri oleh masyarakat setempat dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian. Lokasi

penambanganpun lebih banyak didominasi oleh warga sekitar yang rata-rata berprofesi baik

sebagai pengusaha maupun penggali.

Keadaan inilah yang membuat beberapa warga masyarakat tidak ingin mencari

pekerjaan lain di kota. Mereka berpendapat bahwa upah yang mereka terima dari hasil

bekerja di penambangan sama atau sebanding dengan upah jika mereka bekeja di kota.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penggalian batu kapur yaitu :

1. Faktor sosial

Pemanfaatan kekayaan alam yang berupa batu kapur di Darmakradenan sudah

dimulai sejak zaman dulu dan sudah banyak memberikan manfaat sarta penghidupan bagi

masyarakatnya.

Darmakradenan merupakan salah satu desa yang mempunyai kekayaan batu kapur

yang cukup banyak. Kondisi lingkungan Darmakradenan yang seperti ini sangat mendukung

setiap orang berprofesi sebagai pengusaha atau penggali batu kapur.

17

Potensi batu kapur yang banyak inilah yang oleh masyarakat Darmakradenan

dimanfaatkan untuk diolah agar mempunyai manfaat dan mempunyai nilai jual yang tinggi.

Ide dan kreatifitas ini memang patut diacungi jempol serta perlu dukungan agar tetap

bertahan di era yang penuh persaingan dan tantangan.

Beberapa masyarakat memang menggantungkan hidupnya diusaha batu kapur baik

sebagai pengusaha meupun penggali, oleh karena itu baik pemerintah desa maupun pusat

senantiasa memberikan bantuan baik moril maupun materil agar usaha batu kapur di

Darmakradenan tetap bertahan. Banyak sekali risiko yang harus ditanggung baik oleh

pengusaha maupun oleh para penggali demi sebuah pekerjaan, risiko yang kerap kali

menghampiri keselamatan yaitu pada para pekerja karena merekalah yang terjun langsung di

lokasi penambangan.

Usaha batu kapur di Darmakradenan merupakan salah satu industri yang memberikan

kontribusi cukup besar baik bagi pemerintah daerah maupun pusat. Seiring berjalannya

waktu usaha tersebut semakin menurun, sedangkan usaha tersebut sudah ada sejak dulu dan

sudah menjadi usaha turun temurun, jangan sampai kemerosotan itu membawa dampak bagi

para pengusaha dan para pekerja.

2. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi memang salah satu faktor yang penting dalam usaha penggalian batu

kapur di Darmakradenan. Usaha batu kapur di Darmakradenan merupakan salah satu sumber

mata pencaharian bagi masyarakat setempat.

Profesi yang ada pada masyarakat Darmakradenan memang bermacam-macam, akan

tetapi beberapa masyarakat mendominasi dalam usaha batu kapur baik sebagai pengusaha

ataupun penggali. Masyarakat khususnya para pekerja atau penggali lebih memilih bekerja di

usaha penggalian karena upah yang mereka peroleh sama dengan jika mereka bekerja di kota.

Menurut para pekerja upah di kota memang besar akan tetapi sebanding dengan

pengeluaran yang mereka keluarkan untuk biaya hidup, terkadang justru upah yang mereka

peroleh tidak cukup, ditambah lagi mereka harus mengirimkan untuk keluarga yang ada di

desa. Adanya usaha penggalian ini mereka lebih nyaman dan bisa mencukupi kebutuhan

keluaraga, karena lokasi penggalian dengan rumah tidak terlalu jauh dan tidak banyak

memakan biaya dan waktu.

Biaya hidup di desa masih murah dan masih bisa dijangakau, ini juga salah satu

alasan dari beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pekerja. Apalagi mereka dapat

meminta upah harian mereka sewaktu-waktu pada para pengusaha, sehingga mereka tidak

perlu khawatir jika ada kebutuhan yang mendesak.

3. Faktor budaya

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa usaha batu kapur di Darmakradenan

sudah ada sejak dulu tepatnya sekitar tahun 1952. Banyak pasang surut yang sudah dialami

dari usaha batu kapur ini, baik dari mulai berdiri, masa kejayaan dan mulai mengalami

kemunduran.

Melihat dari faktor budaya, kebanyakan dari masyarakat Darmakradenan

menjalankan usaha tersebut dari keluarga secara turun-temurun atau hanya tinggal

melanjutkan usaha keluarga yang memang sudah dimulai sejak awal berdirinya usaha batu

kapur di Darmakradenan. Usaha turun-temurun inilah yang kini telah berkembang menjadi

besar, dari beberapa orang menjadi banyak orang artinya makin banyak orang yang telah

menjalankan profesi sebagai pengusaha ataupun pekerja batu kapur.

18

Wilayah Ajibarang berada di Kabupaten Banyumas yang dikelilingi oleh bukit kapur

yang menjulang tinggi. Batu kapur tersebut merupakan salah satu kekayaan alam yang

memberikan kontribusi besar bagi masyarakat setempat.

Usaha batu kapur di Darmakradenan merupakan salah satu usaha terbesar di

Kabupaten Banyumas. Menurut data yang diperoleh dari kantor kepala desa, total nilai

produksi yang dihasilkan pada tahun 2008 untuk industri batu kapur sebesar Rp.

220.800.000.00, total nilai inilah yang dapat menolong perekonomian masyarakat setempat

yang bekerja sebagai pengusaha dan pekerja batu kapur.

Proses pengolahan batu kapur tidak semudah yang dibayangkan, karena sebenarnya

memerlukan waktu dan tahapan yang cukup panjang. Dari tahap pertama mengambil batu

kapur di bukit harus menggunakan bahan peledak untuk media atau lokasi yang sulit

dijangkau.

Lokasi penambangan yang nantinya digali harus berbentuk terasering dengan

kedalaman sekitar 2-3 meter, karena jika tidak dibentuk terasering akan terjadi longsor dan

membahayakan pemukiman di sekitarnya. Bekas lokasi penggalian itu sendiri nantinya akan

ditanami pohon-pohon keras seperti ; jati dan alba, karena sesungguhnya bekas lokasi

penggalian sangat baik dan subur untuk ditanami pohon selain itu untuk mengantisipasi

terjadinya longsor.

Tahap selanjutnya yaitu tahap pengolahan, Setelah batu kapur diambil proses

pembakaran akan dilakukan. Untuk pembakaran batu kapur akan ditata pada sebuah lubang

yang berbentuk sumur dengan urutan yang besar di bawah dan selanjutnya yang kecil di atas.

Bahan bakar yang digunakan menggunakan kayu bakar, sebelum krisis moneter

sempat menggunakan minyak tanah dan residu, akan tetapi karena kelangkaan minyak dan

harganya yang cukup mahal para pengusaha akhirnya beralih pada kayu bakar, selain bisa

dijangkau harganya kayu bakar juga mudah mendapatkanya. Proses pembakaran sendiri

biasanya memerlukan waktu 1 hari 2 malam untuk mendapatka hasil yang maksimal.

Bahan galian batu kapur keterdapatannya dapat dijumpai hampir disepanjang jalan

dari Ajibarang menuju kearah kota kecamatan Gumelar, saat ini sudah banyak diusahakan

penambangannya. Batu kapur hasil penggalian kemudian diangkut menggunakan truk yang

selanjutnya dilakukan pembakaran pada tungku pembakaran..

Pada tahun 2005 total nilai yang mampu dihasilkan sebesar Rp. 6.220.800.000,-.

Sektor ini mampu menyumbang pendapatan sebesar 1.325.200, karena terdapat 42 rumah

tangga yang menggantungkan hidup dengan total anggota keluarga 84 orang, dan jumlah

rumah tangga buruhnya 658 dengan jumlah anggota keluarga mencapai 873 orang, sehingga

dengan adanya kegiatan penambangan batu kapur di Darmakradenan sangat membantu

perekonomian masyarakat setempat terutama dalam penciptaan lapangan kerja

(www.dim.sdm.go.id→Diakses pada hari Jum’at 30 April 2012).

Pemasaran batu kapur sendiri biasanya para pengusaha sudah memiliki langganan

sendiri yang memang dari awal sudah mengambil produksi batu kapur disatu tempat.

Semakin banyak dan berkembangnya usaha batu kapur para pembeli pun jarang memesan,

justru kebalikannya para pengusahalah yang sekarang menawarkan hasil produksinya..

Setiap daerah lokasi pertambangan memang mempunyai potensi alam yang berbeda-

beda dibidang batu kapur. Salah satunya di desa Darmakradenan yang letaknya yang jauh

membuat beberapa orang tidak mengenal desa ini, akan tetapi jika kita sudah masuk

kedalamnya, akan terpukau dengan pemandangan yang hijau dan tentunya lokasi

19

penambangan beserta segala sesuatu yang berkaitan dengan penambangan dalam jumlah

yang cukup besar

Lokasi penambangan batu kapur di desa ini terdiri dari bukit-bukit yang menjulang

tinggi ke atas. Lokasi ini memang tidak mudah dijangkau sehingga memerlukan teknik

tertentu untuk proses pengambilannya.

Berbicara masalah lokasi berarti menyinggung tentang titik mana yang boleh dan

dilarang untuk digali. Beberapa pendapat menyebutkan tidak ada larangan tentang lokasi

penambangan. Hal ini dikarenakan setiap orang berhak untuk menggali di manapun asalkan

masih milik sendiri.

Menurut pendapat masyarakat setempat, bukit kapur yang ada di desa tersebut adalah

milik perorangan artinya setiap pengusaha mempunyai bagian atau lokasi masing-masing

yang sudah ada sejak dulu dan merupakan warisan keluarga. Para pekerja dan pengusaha

bebas mengambil batu kapur tersebut asalkan tidak mengganggu pemukiman warga.

Bekas lokasi penambangan biasanya dilakukan solusi tertentu untuk mensiasati agar

lokasi tersebut tidak gersang. Solusi tersebut diantaranya dengan melakukan penghijauan

dibekas lokasi penggalian yaitu dengan menanami pohon-pohon keras seperti jati dan alba..

Banyak sekali kerugian jika para pengusaha tidak memperhatikan aturan yang sudah

ada. Salah satunya jika terjadi kerusakan lingkungan yang dapat membahayakan

keselamatan penduduk sekitar maka yang bertanggung jawab adalah para pengusaha, oleh

karena itu apa yang sudah ditentukan hendaknya ditaati agar saling menguntungkan dan tidak

membawa kerugian bagi salah satu pihak.

Melintas di jalan raya Ajibarang-Gumelar haruslah berhati-hati, pasalnya banyak truk

besar lalu lalang dan sering diselimuti kabut putih. Truk mengangkut bongkahan-bongkahan

batu kapur sementara kabut putih adalah sisa pembakaran kapur tohor.

Truk dan kabut putih merupakan efek dari eksplorasi pertambangan batu kapur yang

berada di kanan kiri jalan. Karena di Darmakradenan paling tidak terdapat 50 buah tobong,

tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi batu tohor,

sehingga sangat dimungkinkan sekali banyak aktivitas pengolahan batu kapur di kanan kiri

jalan.

Reklamasi dan sumber daya alternatif setiap upaya penambangan pasti menyisakan

problem lingkungan. Banyak contoh kasus yang membuat kita harus berhati-hati dalam

melakukan eksplorasi sumber daya alam.

Melihat lokasi penambangan dengan pengamatan sederhana dapat diketahui bahwa

daerah ini adalah daerah rawan bencana. Banyak sekali lahan-lahan bekas penambangan batu

kapur yang sudah sangat kritis, ditambah lagi jarak antara pemukiman penduduk dengan

lokasi penambangan sangat dekat sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan

masyarakat setempat jika terjadi bencana.

Penggalian batu kapur sendiri di Darmakradenan sudah modern, para pekerja

menggunakan bahan peledak atau dinamit dalam proses pengambilannya. Tanpa disadari

penggunaan bahan peledak sendiri merupakan salah satu alat modern yang berpengaruh pada

tingkat kerusakan lingkungan.

Penggunaan bahan peledak untuk aktivitas penggalian harus menggunakan izin dari

kepolisian, akan tetapi dalam pelaksanaannya para pengusaha tidak mengurus izin untuk

penggunaan bahan peledak. Menurut para pengusaha mengurus izin ketingkat pusat sangat

berbelit-belit memakan waktu lama dan biaya banyak sehingga para pengusaha memutuskan

untuk menggunakan bahan peledak tanpa izin dari pusat.

20

Pengurusan izin sendiri pada dasarnya untuk menghindari penyalahgunaan bahan

peledak serta untuk mengantisipasi terjadinya kecelakan kerja, karena menurut para

pengusaha jika ingin membeli dan melakukan proses peledakan harus di bawah pengawasan

aparat setempat. Hal inilah yang membuat para pengusaha enggan mengurus izin karena

terlalu berbelit-belit jika hendak melakukan peledakkan.

Komposisi dari bahan peledak sendiri terdiri dari belerang dan katul atau serbuk

kayu. Belerang dapat diperoleh di toko besi, sehingga para pekerja dapat merakitnya sendiri

dengan mudah.

Bahan peledak atau dinamit merupakan salah satu alat modern dalam aktivitas

penggalian batu kapur di Darmakradenan yang banyak menuai pro dan kontra dalam

penggunaannya. Sisi lain tidak bisa diabaikan bahwa alat tradisional juga sangat berperan

dalam proses pengambilan batu kapur.

Penambangan bahan galian terdiri dari dua tipe yaitu penambangan berskala besar

dan berskala kecil. Untuk penambangan berskala besar bahan peledak memang sangat

diperlukan sesui dengan ketentuan dan ada perizinannya, selain itu eskavator dan penggaru

juga sangat diperlukan.

Berbeda halnya dengan penambangan berskala kecil, penggunaan bahan peledak

memang sering digunakan akan tetapi tidak ada izin dan tidak ada pengawasan dari pihak

yang berwenang. Untuk penambangan skala kecil tidak ada eskavator karena usaha tersebut

dimiliki oleh perorangan, sehingga tidak dimungkinkan untuk membeli alat-alat berat karena

keterbatasan dana.

Alat tradisional yang digunakan dalam penambangan batu kapur di Darmakradenan

bukanlah alat yang sulit ditemukan, melainkan alat yang memang sehari-hari digunakan oleh

masyarakat pada umumnya. Penambangan dengan skala kecil ini menggunakan alat

tradisional berupa linggis, cangkul, dan sekop, kesemua alat tersebut memang dipergunakan

saat penggambilan batu kapur khususnya di Darmakradenan.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa bahan peledak tidak selamanya

mendominasi dalam pengambilan batu kapur di Kabupaten Banyumas. Linggis, cangkul, dan

sekop digunakan pada titik atau lokasi yang memang mudah dijangkau atau mudah diambil

oleh para penggali.

Penggunaan sekop sendiri memang jarang sekali digunakan, karena yang lebih

berperan di sini yaitu linggis dan cangkul. Linggis dan cangkul digunakan untuk mencukil

batu kapur, sedangkan sekop digunakan pada saat proses pengemasan yaitu memasukkan

batu kapur yang sudah ditumbuk halus ke dalam karung (Hasil wawancara dengan bpk. Sn

tanggal 18 Agustus 2011 ).

Deposit batu kapur pada umumnya ditemukan dalam bentuk bukit, Oleh sebab itu

apabila batu kapur tidak keras, pemecahan bukit dibantu dengan membuat sederetan

”lubang” tembak yang diisi dengan lempung, sesudah lempung diisikan pada masing-masing

lubang selanjutnya diisi air. Akibatnya lempung mengembang dan dengan bantuan linggis

batu kapur mudah dibongkar.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

1. SIMPULAN

a. Upaya penegakan hukum dapat dilaksanakan secara preventif yaitu upaya penegakan

hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup meliputi pengawasan

21

dan perijinan, selain itu dapat juga dilakukan secara represif yaitu upaya penegakan

hukum kepada siapa saja yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

b. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan yaitu faktor

hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.

2. SARAN

a. Pengawasan sebaiknya lebih diintensifkan sebagai sarana optimalisasi penegakan hukum

lingkungan

b. Disamping pengawasan sebaiknya juga dicari solusi lain yang lebih tepat

c. Sebaiknya dalam usaha pemulihan lingkungan setelah dirusak karena pengambilan bahan

galian atau yang biasa disebut dengan reklamsi, pemerintah daerah beserta masyarakat

serentak melaksanakan usaha yaitu dengan melakukan penanaman pohon-pohon keras

seperti jati, alba, dan mahoni.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Abrar Saleng, 2004, Hukum pertambangan, UII Press, Yogyakarta.

Artidjo Alkotsar, 1997, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Daud Silalahi, 1996, Hukum lingkungan dalam sistim penegakan hukum lingkungan Indonesia,

Alumni, Bandung.

I Gede A. B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

I Supardi, 1994, Hukum Lingkungan dan Kelestariannya, Alumni, Bandung.

Joko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan Masalah Dan penanggulangannya, Rineka Cipta,

Jakarta.

Koesnadi Hardjosoemantri, 1999, Hukum Tata LIngkungan, Gadjah Mada University,

Yogyakarta.

---------------------------------, 1991, Hukum Perlindungan Lingkungan, Gadjah Mada University,

Yogyakarta.

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi refisi), PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

Bandung.

Miles, Matthew, B& Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitaif, P. TUI, Press.

Moh.Soerjani, Rofiq Ahmad, Rozy Munir, 1987, Lingkungan : Sumber Daya Alam, dan

Kependudukan Dalam Pembangunan, Universitas Indonesia.

Otto Soemarwoto, 1997, Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan, Jakarta.

Ronny Hanantijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Sanafiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif, Yayasan Asah, Asih Asuh, Malang.

Satjipto Rahardjo, 2006,Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

---------------------, 2009, Penegakan Hukum, suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing,

Yogyakarta.

----------------------, 2009, Hukum Progresif, sebuah sketsa hukum Indonesia, Genta Publishing,

Yogyakarta.

Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,

Airlangga University Press, Surabaya.

22

Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe kajian Dan Metode

Penelitiannya.

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, CV. Mandar Maju, 2007,

Bandung.

Tresna Sastrawijaya, 1991, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Surabaya.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.

3. Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Di

Kabupaten Banyumas Lembaran Daerah Kabupaten Banyumas Tahun 2011 Nomor 5

SERI E