Upload
hanhu
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)
Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan
Psikologis dengan memadukan teori perkembangan manusia, teori-teori klinis
mengenai pertumbuhan diri dan literatur-literatur kesehatan mental. Secara
lebih khusus, teori perkembangan yang digunakan adalah teori psikososial dari
Erikson, teori perkembangan menurut Buhler, dan teori Neugarten mengenai
perkembangan kepribadian. Teori-teori klinis yang turut dijadikan dasar
adalah teori Maslow mengenai aktualisasi diri, teori Rogers mengenai individu
yang berfungsi sepenuhnya, teori kematangan dari Allport, dan teori Jung
mengenai proses individuasi. Literatur kesehatan mental yang digunakan
adalah konsep Jahoda mengenai kesehatan mental dan keberfungsian positif
dari Birren dan Renner (Lianawati, 2008).
Campbell (dalam Rini 2008) mendefinisikan kesejahteraan psikologis
sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya baik
evaluasi secara kognitif maupun evaluasi secara emosi. Evaluasi secara
koginitif, kesejahteraan adalah sebuah bentuk kepuasan dalam hidup,
sementara sebagai hasil dari evaluasi emosi yaitu berupa affect atau perasaan
senang.
2
Lawton (dalam Rini, 2008) menjabarkan kesejahteraan psikologis
sebagai suatu skema yang terbentuk mengenai hidup yang berkualitas sebagai
hasil dari evaluasi terhadap aspek – aspek yang ada pada hidupnya yang
dianggap baik atau memuaskan, sementara itu Okun dan Stock (dalam Rini,
2008) juga memperkaya pengertian kesejahteraan psikologis sebagai perasaan
bahagia dan kepuasan yang secara subjektif dialami atau dirasakan oleh
seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis secara umum dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepuasan
terhadap aspek-aspek hidup sehingga mendatangkan atau menimbulkan
perasaan bahagia dan perasaan damai pada hidup seseorang, namun standar
kepuasan pada setiap orang berbeda sehingga hal ini bersifat subjektif.
2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)
Ryff (1989) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis dalam
enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif
dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
pertumbuhan pribadi.
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Dimensi ini merupakan suatu bagian yang sentral dari kesehatan
mental. Ryff menyimpulkan bahwa penerimaan diri mengandung arti
sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini adalah
mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif
3
maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa
lalunya.
b. Hubungan yang positif dengan orang lain (positive
relationship with others)
Didasarkan pada berbagai teori, Ryff mendefinisikan dimensi
hubungan yang positif dengan orang lain sebagai dimensi yang
mencerminkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang
hangat, saling mempercayai, dan saling mempedulikan kebutuhan serta
kesejahteraan pihak lain. Menurut Ryff, kemampuan seseorang untuk
menjalin hubungan yang positif ini juga dicirikan oleh adanya empati,
afeksi, dan keakraban, serta adanya pemahaman untuk saling memberi dan
menerima.
c. Otonomi (Autonomy)
Ryff menyimpulkan pribadi yang otonom adalah pribadi yang
mandiri, yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Individu ini memiliki internal locus of evaluation, yakni tidak mencari
persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan standar
personal. Oleh karena itu, ia tidak memikirkan harapan-harapan dan
penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang otonom juga tidak
menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan
penting. Individu ini tidak menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial
untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk tertentu.
4
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Dimensi ini menggambarkan adanya suatu perasaan kompeten dan
penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat
terhadap hal-hal di luar diri, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
serta mampu mengendalikannya. Menurut Ryff, orang yang memiliki
penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan
kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu seperti ini mampu
mengendalikan kegiatan-kegiatannya yang kompleks sekalipun. Ia juga
dapat menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif, dan
mampu memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras
dengan kondisi jiwanya.
e. Tujuan hidup (purpose in life)
Ryff menyimpulkan orang yang memiliki tujuan hidup adalah
orang yang memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai
dalam hidupnya. Ia memiliki keyakinan dan pandangan tertentu yang
dapat memberikan arah dalam hidupnya. Selain itu, individu ini juga
menganggap bahwa hidupnya itu bermakna dan berarti, baik di masa lalu,
kini, maupun yang akan datang. Individu ini memiliki perasaan menyatu,
seimbang, dan terintegrasinya bagian-bagian diri.
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Suatu pertumbuhan yang optimal tidak hanya berarti bahwa
seseorang dapat mencapai kualitas-kualitas yang telah disebutkan
5
sebelumnya, tetapi juga membutuhkan suatu perkembangan dari potensi-
potensi seseorang secara berkesinambungan. Kemampuan untuk
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam hidup membutuhkan
adanya perubahan yang terus berlangsung dalam diri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis dapat digambarkan dari suatu sikap yang mampu mengenali
dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif ataupun
negatif, mampu menjalin hubungan yang hangat, saling mempercayai, dan
saling mempedulikan kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain, tidak
menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan
penting serta mampu mandiri dan dapat menentukan yang terbaik untuk
dirinya sendiri, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal diluar diri dan
mampu berpartisipasi dalam berbagai aktivitas serta mampu
mengendalikannya, memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dalam hidupnya, serta menganggap bahwa hidupnya bermakna dan
berarti, baik di masa lalu, kini, maupun yang akan datang.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well Being)
Mirowsky & Ross (dalam Ryan & Deci 2001) menjelaskan kondisi
yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis (Psychological Well
Being) seseorang adalah : kemampuan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, anak,
kehidupan masa kecil seseorang, serta kesehatan fisik. Sementara itu Schmutte
6
& Ryff (dalam Ryan & Deci 2001) mempeajari hubungan antara factor
kepribadian dengan kesejahteraan psikologis, hasil penelitian mereka
menunjukan bahwa extroversion, consceintiousness dan low neuroticism
memiliki hubungan dengan kesejahteaan psikologis, terutama penerimaan diri,
penguasaan lingkungan, serta tujuan hidup, keterbukaan terhadap pengalaman
berhubungan dengan pertumbuhan pribadi. Agreeableness dan extraversions
berkaitan dengan hubungan positif dengan orang lain dan low neuroticism
berkaitan dengan kemandirian.
Dijelaskan pula oleh Bhogel & Prakash (dalam wahyuni 2001) yang
menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis yaitu :
1. Personal control, yaitu kemampuan seseorang dalam mengontrol
segala emosi dan dorongan yang muncul dati dalam diri.
2. Self Esteem atau harga diri, yaitu memiliki harga diri yang seimbang.
3. Positive Affect, perasaan atau emosi yang positif (kesenangan atau
kegembiraan).
4. Manage Tension, yaitu kemampuan untuk mengatur ketegangan yang
keluar dari dalam diri, misalnya kemarahan atau kebahagiaan,
sehingga tidak muncul secara berlebihan.
5. Positive thinking, yaitu berfikir positif dalam menghadapi peristiwa,
suasana, atau individu baru.
7
6. Ide & Feeling yang efisien, yaitu mengeluarkan ide dan perasaan yang
tepat dan sesuai dengan konteks serta tidak berlebihan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor internal
yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah : kepribadian, kehidupan
masa kecil seseorang dan factor-faktor external meliputi kemampuan
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, anak, kesehatan fisik serta lingkungan social.
Sedangkan pendapat lain menjelaskan ada enam faktor penting yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada seseorang, yaitu Personal
control, Self Esteem atau harga diri, Positive Affect, Manage Tension, Positive
thinking, dan Ide & Feeling yang efisien. namun karena kesejahteraan
psikologis ini sifatnya subjektif, maka pencapaian kesejahteraan psikologis
antara individu satu dengan yang lainnya berbeda dan beragam.
4. Kriteria Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)
Meninjau kembali teori klasik tentang kesehatan mental dan
menambahkan penelitian dari perkembangan, klinis dan psikologi kepribadian
Ryff (1989) menjelaskan ada enam kriteria Well Being yang dinamakan
Psychological Well Being :
1. Penerimaan diri
a. evaluasi diri yang positif,
b. kemampuan menghargai diri sendiri, dan
c. kemampuan menerima aspek positif maupun negatif diri
sendiri.
8
2. Hubungan yang positif dengan orang lain
a. hubungan yang dekat, hangat dengan orang lain,
b. memperhatikan kesejahteraan orang lain,
c. berempati dan mengasihi orang lain.
3. Kemandirian
a. kebebasan menentukan pilihan,
b. kemampuan bertahan terhadap tekanan sosial,
c. kemampuan mengendalikan diri.
4. Penguasaan lingkungan
a. kemampuan menguasai dan berkompetisi di lingkungan,
b. kemampuan memilih hal-hal yang baik untuk mencapai tujuan.
5. Tujuan hidup
a. memiliki tujuan dan makna hidup,
b. memiliki arah dan tujuan dalam hidup.
6. Perkembangan kepribadian
a. kemampuan membangun dan mengembangkan potensi diri,
b. perubahan yang terjadi sebagai bukti pengembangan diri, dan
c. keterbukaan pada hal baru.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria Kesejahteraan
Psikologis (Psychological Well Being) diantaranya adalah Penerimaan diri
yaitu individu harus mampu menerima dirinya apa adanya, hubungan yang
positif dengan orang lain ialah mampu berhubungan baik dengan lingkungan
keluarga ataupun lingkungan social serta mampu berempati, kebebasan yaitu
9
mempunyai kemandirian untuk membuat keputusan, penguasaan lingkungan
yaitu mampu berkompetisi dengan lingkungan, tujuan hidup yaitu memiliki
tujuan dan makna hidup serta memiliki tujuan dalam hidup dan perkembangan
kepribadian yaitu kemampuan seseorang dalam mengembangkan potensi diri
dan terbuka dengan hal baru.
B. Wanita yang Berperan Sebagai Orang Tua Tunggal (Single Parent)
karena perceraian.
1. Pengertian wanita
Wanita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wanita yang hidup
pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut seorang ahli psikologi
perkembangan, Santrock (1999) dewasa awal termasuk masa transisi, baik
transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive
trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition), mereka yang
tergolong dewasa awal ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.
Levinson (dalam santrock 1999) membedakan masa dewasa awal yang
terbagi dalam tiga periode yaitu Periode pertama : pengenalan dengan dunia
orang dewasa, berusaha membentuk struktur kehidupan (22 – 28 tahun).
Periode kedua : pilihan struktur kehidupan lebih tetap dan stabil (28 – 32
tahun). Periode ketiga : fase kemantapan, menemukan tempatnya di
masyarakat (32 – 40 tahun) dan dalam penelitian ini informan berusia 32-38
tahun yang artinya bahwa informan masuk dalam masa dewasa awal periode
ke tiga yaitu fase kemantapan, menemukan tempatnya di masyarakat.
10
2. Orang Tua Tunggal (Single Parent )
Menurut Suryasoemirat (2007) orang tua tunggal atau single parent
adalah keluarga yang hanya dengan satu atau sendirian orang tua (ayah saja
atau ibu saja) dan memiliki anak yang harus diasuh. Kondisi tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu : perceraian, kematian pasangan, hamil di
luar nikah, atau karena pasangan yang sedang bepergian jauh dalam jangka
waktu yang lama.
Pengasuhan oleh orang tua tunggal atau sering disebut single parent
merupakan salah satu fenomena yang banyak dijumpai dalam masyarakat
pada zaman sekarang ini. Fenomena ini tercatat telah meningkat dari 13 % di
tahun 1970 menjadi 26 % di tahun 1984. menurut data tersebut, diperkirakan 1
dari 5 anak di Amerika mengalami sebagian masa kanak-kanaknya dalam
keluarga dengan orang tua tunggal Anonim (dalam Zein 2008).
Rahmi (dalam suryasoemirat 2007) menyatakan bahwa perempuan
sanggup untuk tidak menikah lagi seraya mendidik anaknya sampai berhasil.
Tetapi dalam kehidupan perempuan itu sendiri mengalami banyak
permasalahan yang dipendam. Rahmi juga mengatakan bahwa secara biologis
perempuan juga dapat bertahan, karena mempunyai banyak aktivitas sehingga
energinya terkuras. Sementara laki-laki jika telah terpaku masalah seks
cenderung tidak dapat memikirkan hal lain. Oleh karena itu jarang laki-laki
yang mampu bertahan menjadi orang tua tunggal. Ditambah lagi dengan
budaya yang cenderung lebih mendidik anak laki-laki menjadikan
11
kebutuhannya selalu dipenuhi dan tidak mandiri, sehingga jika tidak ada
perempuan maka laki-laki akan kebingungan.
Jarangnya laki-laki mampu menjadi orang tua tunggal disebabkan oleh
kurangnya rasa tanggung jawab. Merasa tidak peduli dengan permasalahan
yang terjadi di sekitarnya, sehingga laki-laki tidak mampu menanggung
permasalah itu sendiri. Berbeda jika laki-laki yang sudah terbiasa dididik
untuk melakukan pekerjaan rumah dan mandiri, maka laki-laki tersebut
cenderung lebih memiliki empati, dan ketika tidak ada pasangan maka masih
dapat mengatasi masalah (Khairina, 2007).
Menurut Murdiana (dalam Suryasoemirat, 2007) sesempurna apapun
seorang perempuan atau laki-laki, dia tidak akan bisa tampil dalam dua
karakter di hadapan anaknya. Ibu memerankan sosok ayah, atau sebaliknya
ayah memerankan sosok ibu, demi memberi kepuasan batin pada anak.
Parmata (2006) menyatakan bahwa berperan sebagai orang tua tunggal
sangat berat. Ketika suami pergi, bercerai atau meninggal, semua beban secara
tiba-tiba terkumpul di pundak perempuan. Tanggung jawab materi, tugas
mendidik anak, dan beban dari lingkungan yang memberikan stigma negatif
seorang janda, terutama janda muda yang punya daya tarik.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan yang
berperan sebagai orang tua tunggal (Single Parent) sangat berat, karena
disamping harus bertanggung jawab secara materil, juga harus bertanggung
jawab secara psikoligis memikirkan pendidikan, pengasuhan dan masa depan
12
anak, juga harus memikirkan kehidupan dan masa depan pribadi dirinya
sendiri, untuk itu perlu manajemen keluarga yang tepat untuk dapat mencapai
kesjahteraan psikologis.
C. Perceraian
a. Pengertian Perceraian
Dalam kehidupan berumah tangga ada kalanya terjadi masalah yang
tidak dapat diatasi dan kemudian menyebabkan terjadinya perceraian. Kata
cerai sendiri dalam istilah umum menurut Kamus Besar bahasa Indonesia
(1991) adalah berpisahnya suami dan istri sehingga tidak kembali utuh dalam
satu ikatan perkawinan.
Krantzer (dalam Endah, 2005) menjelaskan bahwa perceraian
merupakan berakhirnya hubungan antara dua orang yang pernah hidup
bersama sebagai suami istri. Sedangkan menurut Scanzoni (dalam Endah,
2005) perceraian adalah akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan, dimana
pasangan suami istri kemudian berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum
yang berlaku.
Dalam pasal 38 UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan diterangkan
bahwa perkawinan dapat putus karena 3 hal, yakni : kematian, perceraian dan
putusan Pengadilan Agama.
b. Sebab-Sebab Perceraian
Menurut Hurlock (1999) ada berbagai kondisi yang mempengaruhi
13
stabilitas perkawinan yang dapat dan sering menjadi sebab terjadinya
perceraian. Sebab-sebab tersebut yaitu :
1. Jumlah Anak
Lebih banyak perceraian terjadi karena pasangan tidakn memiliki anak
atau hanya mempunyai beberapa anak.
2. Kelas Sosial
Kasus meninggalkan keluarga lebih banyak terjadi pada kelompok
masyarakat kelas rendah, sedang perceraian banyak terjadi pada kelompok
sosial menengah ke atas dan kelompok atas.
3. Kemiripan Latar Belakang
Perceraian lebih banyak terjadi antara pasangan yang mempunyai latar
belakang kebudayaan, suku, bangsa, agama dan sosial ekonomi yang berbeda.
Diantara sekian penyebab, perbedaan agama merupakan penyebab utama
perceraian.
4. Saat Menikah
Tingkat perceraian yang sangat tinggi khususnya terjadi pada orang
yang menikah terlalu dini atau sebelum mempunyai pekerjaan yang mantap
dan ekonominya belum kuat. Ada tiga alasan yang mendukung alasan
tersebut. Pertama, orang muda tahu bahwa ia masih bisa kawin lagi; kedua ,
orang yang buru-buru menikah nampaknya akan menghadapi masalah
keuangan sehingga proses penyesuaian perkawinan menjadi sulit; ketga, orang
14
muda sering memiliki konsep perkawinan yang romantis tetapi ruwet sehingga
menimbulkan kekecewaan yang tidak dapat dihindarkan.
5. Alasan Untuk Menikah
Orang yang terpaksa menikah karena pasagan wanitanya telah
mengandung kemungkinan untuk bercerai jauh lebih besar daripada
pernikahan biasa.
6. Saat Pasangan Menjadi Orang Tua
Makin pendek jarak interval antara saat menikah dan lahirnya seorang
anak pertama makin tinggi tingkat perceraian. Pasangan yang terlalu cepat
menjadi orang tua tidak mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan diri
dengan situasi berkeluarga, sehingga menyebabkan penyesuaiannya terhadap
kedudukan mereka sebagai orangtua sulit.
7. Status Ekonomi
Makin rendah status ekonomi keluarga makin besar kemungkinan
terjadinya perceraian atau salah satunya meninggalkan keluarga. Pendapat ini
berlaku untuk pasangan dalam segala usia.
8. Model Pasangan sebagai Orang Tua
Keberhasilan dan kegagalan perkawinan selalu ada dalam keluarga.
Anak-anak dari keluarga bahagia, kecil kemungkinannya untuk ditinggal cerai
daripada keluarga yang tidak bahagia.
15
9. Posisi Umum Masa Kecil Keluarga
Satu-satunya pria dalam keluarga mempunya kemungkinan bercerai
sangat besar, sedang satu-satunya wanita dalam keluarga mempunyai
kemungkinan bercerai kecil. Hal inidapat mendukung fakta bahwa laki-laki
tipe tersebut cenderung merusak, sedang wanita tipe tersebut belajar untuk
memahami tanggung jawab. Anak pertama lai-laki juga mau memahami
tanggung jawab ketika dia masih muda dan kecil kemungkinannya untuk
bercerai. Anak pertama wanita yang biasanya dengan keras ingin
menaklukkan adik-adiknya mempunyai tingkat kemungkinan perceraian yang
lebih tinggi.
10. Mempertahankan Identitas
Orang dewasa yang dapat merawat identitasnya setelah menikah dan
yang mempunyai kesempatan untuk memperbaharui diri, lebih kecil
kemungkinannya untuk bercerai daripada mereka yang kehidupan dirinya
sangat dipengaruhi oleh keluarga.
Berbagai kondisi tersebut menyebabkan buruknya penyesuaian
perkawinan, tetapi kondisi tersebut bukan penyebab yang sesungguhnya dari
perceraian. Bagi orang-orang tertentu yang tidak pandai dalam menyesuaikan
diri akan lebih mudah terjadi perceraian.
16
c. Masalah Umum yang dihadapi Wanita yang Bercerai
Hurlock (1999) menjelaskan banyak permasalahan yang terjadi sebagai
dampak yang harus dihadapi oleh wanita karena perceraian. Diantaranya
adalah :
1. Masalah ekonomi
Beberapa janda mempunyai situasi keuangan yang lebih baik daripada
waktu mereka masih hidup berkeluarga, teteapi mereka ini merupakan
perkecualian, karena diluar kenyataan umum. Janda menemukan dirinya
dalam lingkungan ekonomi yang jauh berkurang pada waktu pendapatan
suaminya karena suatu sebab terhenti. Karena inflasi yang terus meningkat,
apa yang diterima janda secara turun-menurun jauh kurang memadai untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun seorang janda memulai untuk
bekerja diusia dewasa tengah, biasanya dia tidak dapat memperoleh
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasa
dilakukan.
2. Masalah sosial
Karena kehidupan sosial diantara orang yang berusia dewasa tengah
adalah sama dengan kehidupan orang dewasa muda, yaitu berorientasi pada
pasangan. Seorang janda akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat
untuk menikah, kecuali hal itu terjadi karena ada undangan dari para janda
untuk bergabung dalam kegiatan social dan untuk berpasangan dengan
mereka. Kegiatan seorang janda pada umumnya adalah berkisar di antara
17
kegiatan yang berhubungan dengan wanita-wanita lain. Apabila kemampuan
ekonominya rendah, seorang janda tidak dapat berpertisipasi dalam berbagai
kegiatan social yang ada dalam masyarakat. Contohnya, perkumpulan-
perkumpulan sosial.
3. Masalah keluarga
Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang
janda harus memerankan peran ganda yaitu berperan sebagai ayah dan ibu dan
harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa
pasangan. Masalah ini telah dijelaskan dalam uraian terdahulu. Disamping itu
janda juga sering menghadapi masalah yang berhubungan dengan anggota
keluarga dari pihak suami, khususnya anggota yang tidak menyenanginya
menjadi istri dari suaminya.
4. Masalah psikologis
Baik pria maupun wanita cenderung merasa tidak menentu dan
identitasnya kabur setelah terjadi perceraian. Khusus untuk masalah identitas,
wanita biasanya lebih parah kondisinya karena biasanya sebelum cerai
identitasnya sangat tergantung pada suaminya.
5. Masalah emosional
Hanya beberapa saja pria dan wanita yang merasa bebas dan tidak
memikirkan masalah apapun setelah mereka cerai, banyak juga yang merasa
terbebas dari ketegangan mental dan ketidakmenentuan perasaan yang
disebabkan oleh pernikahan yang tidak bahagia. Setelah perceraian banyak
18
wanita yang perasaannya dipenuhi oleh rasa bersalah, marah-marah, benci,
dendam dan cemas tentang hari depannya, sehingga mengakibatkan perubahan
kepribadian.
6. Masalah praktis
Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah
terbiasa dibantu oleh suami dalam hal membetulkan peralatan rumah tangga
yang rusak, memangkas rumput dihalaman, membersihkan salju dan
sebagainya menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihadapi
oleh seorang janda, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat mengatasi
berbagai masalah tersebut atau memang dia mempunyai kemampuan untuk
mengatasinya. Karena itu mau tidak mau dia harus mengupah orang luar, yang
dengan demikian berarti menambah ketegangan terhadap ketegangan yang
sudah ada yang disebabkan oleh pendapatan yang terbatas.
7. Masalah seksual
Karena keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia dewasa tengah,
janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam tahun-
tahun perkawinannya, sekarang dia merasa frustasi dan tidak terpakai.
Beberapa janda mencoba mengatasi kebutuhan seksual ini dengan melakukan
hubungan gelap dengan pria bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup
bersama tanpa nikah atau dengan menikah lagi. Sedang sebagian lagi tetap
tenggelam dalam perasaan frustasi, atau melakukan masturbasi.
19
8. Masalah tempat tinggal
Dimana seorang janda akan tinggal, biasanya bergantung pada dua
kondisi. Pertama, ststus ekonominya, dan kedua apakah dia mempunyai
seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Kebanyakan janda terpaksa harus
merelakan rumahnya karena kondisi ekonominya tidak memungkinkan untuk
merawatnya. Dalam kasus seperti ini mereka harus pindah kebagian rumah
yang lebih kecil.
Dari beberapa permasalahan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
setelah bercerai, perempuan mengalami beberapa kesulitan dalam menjalani
kehidupannya. Antara lain Masalah social, Masalah ekonomi, Masalah
keluarga, Masalah psikologis, Masalah emosional, Masalah praktis, Masalah
seksual, Masalah tempat tinggal untuk itu menarik untuk dikaji lebih lanjut
tentang Kesehajteraan Psikologis (Psychological Well Being) pada wanita
yang berperan sebagai orangtua tunggal (single parent) karena perceraian.
D. Kesejahteraan Psikologis pada wanita yang berperan sebagai orangtua
tunggal (single parent) karena perceraian.
Freud (dalam Lianawati, 2008) pelopor Psikoanalisa yang teorinya
dijadikan pijakan dalam psikologi sering melabel perempuan sebagai pribadi
yang sakit dan sulit disembuhkan dengan terapi sekalipun. Sekian lama dunia
psikologi menerima pandangan Freud, bahkan pengikutnya Helene Deutsch
(dalam Lianawati, 2008) menambahkan, perempuan adalah pribadi masokis
yang senang dengan penderitaan dan bahkan berusaha mencari penderitaan,
20
dengan pandangan seperti ini, upaya untuk membuat kehidupan perempuan
menjadi lebih baik secara psikologis pun tidak pernah terpikirkan. Namun
Ryff tidak melihat perempuan sebagai pribadi masokis seperti yang dikatakan
Deutsch, perempuan dalam pandangan Ryff tidak mencari penderitaan dan
selanjutnya pasif menikmati penderitaan itu. Dengan konsepnya mengenai
reinterpretasi, Ryff justru melihat perempuan sebagai pribadi sejahtera yang
mampu mengendalikan lingkungannya dan mampu melakukan sesuatu yang
bermakna dalam tekanan sekalipun (Lianawati, 2008).
Kesejahteraan menurut Ryff bukan ditentukan oleh seberapa
menyenangkan peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang. Peristiwa negatif
yang dialami seseorang tidak serta merta membuatnya tidak sejahtera. Ryff
memberikan istilah re-interpretasi, yaitu bahwa manusia dapat melakukan
interpretasi ulang (re-interpretasi) terhadap kondisi dan pengalaman
hidupnya. Jadi dalam tekanan budaya yang melingkupi hidup perempuan saat
ini, tetap terbuka peluang bagi perempuan untuk menjadi sejahtera. Beauvoir
meyakini perempuan dapat dan bahkan perlu menunjukkan eksistensinya
meskipun dalam budaya yang menekan. Untuk dapat melakukannya,
perempuan dapat menentukan caranya masing-masing. Beauvoir (dalam
Lianawati, 2008) menyatakan bahwa perempuan selalu dalam proses menjadi.
Dalam proses ini pengalaman perempuan akan sangat subjektif karena
melibatkan pilihan-pilihan personal.
21
Perempuan berhak memutuskan cara terbaik untuk dapat menjadi
sejahtera tanpa mengikatkan diri pada tuntutan masyarakat. Dalam kondisi
perempuan tidak dapat memilih sekalipun, konsep kesejahteraan Ryff tetap
membuka peluang bagi perempuan untuk dapat menjadi sejahtera (Lianawati,
2008).
Hurlock (1999) menjelaskan masalah yang dihadapi oleh wanita saat
menjalankan peran sebagai orang tua tunggal karena perceraian antara lain
yaitu masalah sosial dan ekonomi. Masalah sosial yang dihadapi wanita saat
berperan sebagai orang tua tunggal lebih sulit diatasi dari pada laki-laki karena
wanita yang diceraikan bukan hanya dikucilkan dari kegiatan sosial tetapi
lebih buruk lagi, wanita tersebut sering kali kehilangan teman lamanya, karena
teman-temannya yang mengucilkannya dan memboikotnya atau mendukung
bekas suaminya, dan masalah lain yang timbul saat berperan sebagai orang tua
tunggal karena perceraian adalah masalah ekonomi, dimana apabila seorang
wanita single parent tidak mempunyai keterampilan yang banyak diperlukan
perusahaan mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi diri
dan anak-anaknya, hal tersebut dapat dan biasanya mempunyai efek yang
merusak bagi wanita.
Secara psikis perempuan lebih sensitif daripada laki-laki. Di sisi yang
lain dialah satu-satunya sosok yang dapat membantu laki-laki karena
kemampuannya dalam memenuhi segala keinginan laki-laki, sekalipun
terkadang harus menanggung derita. Perempuan secara fitrah adalah obyek
22
yang dicari, bukan subyek pencari. Bagaikan tanaman, perasaan perempuan
akan cepat layu meskipun hanya terkena sentuhan. Apabila datang pengganti
yang lebih muda dan lebih terhormat serta dapat menjadikannya tersanjung
pun belum tentu dapat mendorongnya untuk mau menempuh hidup berumah
tangga lagi Makki (dalam Zein, 2008).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa banyak anggapan
mengenai perempuan adalah individu yang kurang mampu untuk mencapai
kesejahteraan psikologis, namun dengan konsep mengenai kesejahteraan
psikologis yang dibangun Ryff, perempuan mampu menjadi sejahtera secara
psikologis dengan menerima diri, mengembangkan relasi yang positif dengan
orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, memiliki tujuan hidup, mampu
mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Selain itu
juga dengan konsepnya mengenai re-interpretasi terhadap kondisi dan
pengalaman hidupnya, perempuan sebagai pribadi sejahtera yang mampu
mengendalikan lingkungannya dan mampu melakukan sesuatu yang bermakna
dalam tekanan sekalipun, untuk dapat melakukannya perempuan dapat
menentukan caranya masing-masing. Bagi seorang perempuan perubahan
status dari seorang istri menjadi seorang janda khususnya karena perceraian,
tidaklah mudah sehingga saat berperan menjadi orang tua tunggal perempuan
mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitasnya. Namun dalam
kondisi perempuan tidak dapat memilih sekalipun, konsep kesejahteraan Ryff
tetap membuka peluang bagi perempuan untuk dapat menjadi sejahtera
dengan mengenali dan menonjolkan kelebihan-kelebihannya.
23
E. Proses Pencapaian Kesejahteraan Psikologis
1. Keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya
2. Mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain
3. Memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial
4. Mampu mengontrol lingkungan eksternal
5. Memiliki arti dalam hidup, dan 6. Mampu merealisasikan potensi
dirinya secara kontinyu. 1. Anxiety atau kecemasan 2. Disabilities atau perasaan tidak
mampu 3. Depresi 4. Self esteem yang rendah 5. Menyendiri 6. Ketidakpuasan terhadap keluarga,
dan 7. Kekhawatiran yang besar
terhadap hubungan sosial.
PERAN WANITA SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL
MASALAH YANG MUNCUL SETELAH MENJADI ORANG TUA TUNGGAL
GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GAMBARAN KETIDAKSEJAHTERAAN PSIKOLOGIS
PERCERAIAN
24