77
Abstract The aim of the study was to determine the relationship between the shape of the head with dental arch form and shape of the first maxillary incisors. To commence orthodontic precisely, there are initial ways to do, such as extra oral clinical examination which includes the head shape examination. From the head shape examination, operator easily can determine patient's dental arch form and first maxillary incisor shape. It was a prospective cross-sectional study carried out on a total of 30 individuals patients orthodontic irrespective of gender. The result of the study showed that dominant shape of head was brachycephalic (73,3%), shape of dental arch was parabolic (70%) and incisors shape was square (76,7%). For this study, spearman correlation test was done. Statistically,The head form to dental arch showed negative correlation (-0,106). Whereas Head form to incisors shape found positive correlation (0, 330). In this research, we can conclude 1

BAB I (print)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I (print)

Abstract

The aim of the study was to determine the relationship between the shape of the

head with dental arch form and shape of the first maxillary incisors. To commence

orthodontic precisely, there are initial ways to do, such as extra oral clinical

examination which includes the head shape examination. From the head shape

examination, operator easily can determine patient's dental arch form and first

maxillary incisor shape. It was a prospective cross-sectional study carried out on a

total of 30 individuals patients orthodontic irrespective of gender. The result of

the study showed that dominant shape of head was brachycephalic (73,3%), shape

of dental arch was parabolic (70%) and incisors shape was square (76,7%). For

this study, spearman correlation test was done. Statistically,The head form to

dental arch showed negative correlation (-0,106). Whereas Head form to incisors

shape found positive correlation (0, 330). In this research, we can conclude that

there is a relationship between head shape with the arch, whereas between head

shape and first maxillary incisor shape, we can also see a relationship.

1

Page 2: BAB I (print)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ortodontik adalah cabang ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan

faktor variasi genetik, tumbuh kembang dan bentuk wajah serta cara faktor

tersebut mempengaruhi oklusi gigi dan fungsi organ di sekitarnya. Sebagian besar

perawatan ortodontik dilakukan selama periode pertumbuhan, yaitu antara usia 10

sampai dengan 15 tahun. Oklusi dan posisi dari gigi ditentukan selama periode

pertumbuhan itu dan perubahan sesudah pertumbuhan yang terjadi umumnya

relatif kecil (Murtia, 2011).

Tujuan perawatan ortodontik adalah untuk memperoleh dan

mempertahankan keadaan normal dan aktivitas fisiologik yang sebenarnya dari

gigi, jaringan lunak mulut serta otot muka dan pengunyahan, dengan maksud

untuk menjamin sejauh mungkin perkembangan dan fungsi dentofasial yang

optimum. Memenuhi tujuan tersebut diperlukan suatu diagnosis yang tepat,

rencana perawatan yang matang dan teknik perawatan yang disesuaikan dengan

keperluan, dengan menggunakan piranti, baik piranti cekat maupun lepasan

(Murtia, 2011).

Sebelum melakukan tindakan ortodontik, diperlukan seperangkat data

yang lengkap tentang keadaan pasien dari hasil pemeriksaan. Terhadap data yang

diperoleh dari hasil pemeriksaan tersebut kemudian dilakukan analisis dengan

berbagai macam metode. Setelah itu baru dapat ditetapkan diagnosis, etiologi

2

Page 3: BAB I (print)

maloklusi, perencanaan perawatan, macam dan desain alat yang akan

dipergunakan selama perawatan serta memperkirakan prognosis pasien akibat

perawatan yang dilakukan.

Untuk dapat melakukan perawatan ortodontik dengan baik dan benar, ada

beberapa langkah pendahuluan yang harus diambil salah satu diantaranya yaitu

pemeriksaan klinis ekstra oral yang meliputi pemeriksaan bentuk kepala. Bentuk

kepala yangdiklasifikasikan menurutindeks kepala terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:

dolikosefalik, mesosefalik dan brakhisefalik (Raveendranath & Manjunath, 2007).

Dari penentuan bentuk kepala tersebut, operator dapat dengan mudah menentukan

bentuk lengkung gigi pasien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam

perawatan ortodontik, penentuan bentuk kepala dan lengkung gigi jelas cukup

penting untuk para dokter gigi sebelum melakukan perawatan ortodontik. Hal ini

ditujukan untuk mendukung keberhasilan perawatan ortodontik.

Pertumbuhan kepala sangat dipengaruhi oleh faktor genetik di samping

faktor-faktor yang lain yaitu lingkungan, nutrisi, derajat aktivitas fisik serta

kesehatan dan penyakit. Setelah lahir, muka tumbuh lebih cepat daripada bagian

tubuh yang lain sehingga muka menjadi sangat dominan. Perbedaan pertumbuhan

komponen muka bagian atas dan muka bagian bawah sangat penting dalam

menentukan tipe kepala, bentuk lengkung gigi dan bentuk gigi insisivus pertama

(Farida, 2002). Di Indonesia dengan adanya kondisi alam yang terdiri dari beribu

pulau dan dipisahkan oleh laut dapat juga menyebabkan timbulnya bermacam

variasi atau perbedaan manusia (Sony, 2003).

3

Page 4: BAB I (print)

Berbagai prosedur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, telah

diajukan untuk menggambarkan bentuk lengkung gigi yang normal. Secara

kualitatif variasi bentuk lengkung gigi anterior dapat digambarkan sebagai oval,

tapered, dansquare. Secara kuantitatif bentuk lengkung gigi digambarkan dalam

suatu rumusan matematis. Berbagai faktor dapat mempengaruhi bentuk lengkung

gigi seperti maloklusi, ukuran gigi insisivus, rasio ukuran gigi rahang bawah dan

rahang atas, bentuk kepala, kebiasaan buruk, otot di sekitar mulut dan profil

penderita (Bolton, 1958 cit Johan Arif dkk, 2009).

Mengingat pentingnya untuk mengetahui keadaan ekstra oral pasien

sebelum melakukan perawatan ortodontik, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian akan hal ini. Dengan cara melihat bentuk kepala, lengkung gigi dan

bentuk gigi insisivus pertama rahang atas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberi tambahan informasi bagi para klinisi ortodontik akan pentingnya

keadaan ekstra oral pasien sebelum perawatan.

4

Page 5: BAB I (print)

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi

dan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi

2. Hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk gigi insisivus pertama rahang

atas

1.4 Hipotesis

1. Tidak terdapat hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk

lengkung gigi .

2. Terdapat hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk gigi insisivus

pertama rahang atas.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh manfaat yaitu :

1. Diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai

kondisi ekstra oral khususnya bentuk kepala, bentuk lengkung gigi dan

bentuk gigi insisivus pertama rahang atas pada pasien ortodontik

RSGMP FKG UH Kandea.

5

Page 6: BAB I (print)

2. Terhadap ilmu pengetahuan diharapkan dapat menjadi informasi

ilmiah dalam rangka memperkaya khasanah keilmuan terutama dalam

bidang ortodontik dan menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya.

3. Merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka

menambah wawasan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya

dalam bidang penelitian.

6

Page 7: BAB I (print)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Bentuk Kepala

Kecepatan, daerah, dan mekanisme pertumbuhan tulang pada kepala masih

tetap merupakan subyek dari berbagai penelitian. Pengetahuan mengenai hal ini

masih belum sempurna, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tipe

pertumbuhan yang penting pada berbagai tahap. Sedangkan mengenai mengapa

tulang-tulang kepala bertumbuh ke ukuran dan bentuk akhirnya, masih belum

diketahui dengan jelas dan bahkan masih diliputi dengan berbagai pendapat yang

masih saling bertentangan. Pada dekade terakhir ini, fungsi dianggap berperan

penting dalam menentukan bentuk, dan diperkirakan bahwa tulang-tulang wajah

khususnya, bisa dipengaruhi pertumbuhannya melalui fungsinya, terutama fungsi

diet dan respirasi (Lilian Yuwono, 1997).

Sewaktu lahir, kepala membentuk sekitar seperempat dari tinggi total

tubuh. Pada orang dewasa, kepala membentuk seperdelapan dari tinggi total

tubuh. Oleh karena itu, dari lahir sampai maturitas, tubuh tentunya bertumbuh

lebih pesat, baik pada proporsi maupun ukuran, dibandingkan kepala. Pada

kebanyakan individu, kecepatan umum dari pertumbuhan tubuh mengikuti suatu

pola, walaupun ada variasi pada saat tahapan pola yang berbeda. Pada bayi,

pertumbuhan berlangsung dengan kecepatan yang relatif tinggi, melambat secara

progresif selama masa kanak-kanak untuk mencapai kecepatan minimal pada

periode prapubertas. Laju pertumbuhan kemudian meningkat kembali selama

7

Page 8: BAB I (print)

pubertas dan akhirnya lambat sampai ke maturitas. Usia kapan tahap-tahap

pertumbuhan ini terjadi dan berakhir adalah bervariasi antar individu dan antar

jenis kelamin (Lilian Yuwono,1997).

Pertumbuhan kepala sangat kompleks. Sebelum bayi dilahirkan, pusat-

pusat pertumbuhan di kepala sudah bekerja aktif sehingga besar kepala pada saat

dilahirkan relatif besar, mendekati besar kepala orang dewasa. Baughan dan

Dermijan (1978 cit Hamilah, 1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa pada

usia 6 tahun panjang kepala anak laki-laki sudah mencapai sekitar 92%,

sedangkan anak perempuan kira-kira 88% panjang kepala orang dewasa. Tetapi,

tinggi badan anak laki-laki pada usia yang sama baru mencapai lebih kurang 65%

dan anak perempuan sekitar 63% tinggi badan dewasa.

Tulang kepala terdiri atas dua kesatuan tulang yaitu neurokranium atau

skeleton kranial yang berisi otak, dan visekranium atau skeleton fasial yaitu

tulang-tulang fasial. Dasar kepala tempat otak berada, disebut basis kranium dan

atapnya disebut kalvaria kranii. Sesudah bayi dilahirkan, pertumbuhan otak sangat

cepat pada tahun-tahun pertama dan kemudian menjadi lambat sesudah bayi

berusia 3 sampai 4 tahun, tetapi tulang fasial tumbuh terus dengan cepat. Karena

itu, proporsi skeleton fasial dan skeleton kranial berubah, yaitu kalau pada waktu

dilahirkan perbandingan skeleton kranial terhadap skeleton fasial 8 : 1, pada tahun

kedua 6 : 1, dan pada waktu dewasa menjadi 2 : 1 atau 2,5 : 1 (Graber, 1972).

Pada waktu bayi dilahirkan, bagian-bagian tulang yang ada di kalvaria

dipisahkan oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut sutura dan fontanella yang

8

Page 9: BAB I (print)

lebarnya masing-masing berbeda. Karena pertumbuhan bagian-bagian tersebut,

seperti os.frontale, os. oksipitale, os. parietale, dan os. temporale, maka sutura dan

fontanella mengecil. Pertumbuhan bagian-bagian tulang kalvaria itu, disebabkan

pada tepi-tepinya terjadi osifikasi karena aktivitas osteoblastus. Di samping

pertumbuhan ke lateral, juga terjadi aposisi di bagian permukaan dan terjadi

resorpsi di bagian dalam karena aktivitas osteoklastus sehingga ruang otak

bertambah besar. Pertumbuhan tulang sepanjang sutura berlangsung terus, sampai

akhirnya sutura menutup pada kira-kira usia remaja. Tidak semua sutura menutup

pada waktu yang sama (Hamilah, 1991).

Basis kranium dibentuk oleh kartilago, dan pertumbuhannya berlangsung

sepanjang pertemuan os.ethmoidale, os. fhenoidale, dan os. oksipital sampai kira-

kira usia 25 tahun. Pertumbuhan ini, akan mengakibatkan kranium bertambah

panjang dan mendorong mandibula ke depan. Pada waktu yang sama, skeleton

fasial juga tumbuh ke anterior dan inferior. Pertumbuhan ini erat kaitannya

dengan pertumbuhan maksila, mandibula, dan nasofaring (Graber, 1985).

Penelitian terbaru menyatakan bahwa keragaman dalam morfologi

kraniofasial dihasilkan oleh interaksi yang kompleks dari variabel lingkungan

yang termasuk di dalamnya, yaitu (Cray, 2009) :

1.Fungsi otot

2.Faktor genetik yang berhubungan dengan pertumbuhan tengkorak

3. Pertumbuhan dan morfologi otak

4. Faktor non genetik termasuk hormon pada sistem endokrin.

9

Page 10: BAB I (print)

Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang mekanisme pertumbuhan

kepala, antara lain:

1. Genetic control theory (Teori Klasik)

Teori klasik dikaitkan dengan pengendalian pertumbuhan tengkorak

yang sebagian besar dikontrol oleh faktor genetik intrinsik.Dalam pandangan

Sicher (1952 cit Fuller dan West, 1986), semua elemen yang membentuk tulang

(kartilago, sutura, dan periosteum), pertumbuhannya terletak di pusat (informasi

genetiknya). Misalnya, sutura yang menghubungkan kompleks maksila dan

kranium, dua-duanya dapat mengatur pertumbuhan bagian tengah wajah (midface)

ke bawah dengan proliferasi seluler dan juga menentukan tingkat aktivitas ini

melalui komposisi genetiknya. Secara skematik, teori klasik ini dapat ditampilkan

dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.Faktor pengontrol utama dari pertumbuhan dan kekuatan pengaruhnya terhadap dua divisi embriologik kepala, menurut Sicher

Lokasi anatomis Faktor pengontrolPertumbuhan khondokranial Genetic intrinsic (major)

Lingkungan lokal (minor)Pertumbuhan desmokranial Genetic intrinsic (major)

Lingkungan lokal (minor)

Sumber : Eky, 2000

2. Cartilage directed growth theory

10

Page 11: BAB I (print)

Teori ini lebih menekankan pada hasil kartilago. Faktor primer yang

mengontrol pertumbuhan kraniofasial adalah kartilago. Kartilago dan periosteum

yang bertindak sebagai pusat petumbuhan sedangkan sutura dikelompokkan

sebagai faktor sekunder dan pasif.

Sebagian besar faktor lokal dan sistemik, yang dianggap sebagai pola

keseragaman morfologi kraniofasial, berfungsi untuk mengatur dan melakukan

sinkronisasi untuk mencapai keseimbangan. Faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan dapat diklasifikasikan secara sederhana yaitu

(Kumar, 2011) :

a. Faktor intrinsik, yang mengacu pada faktor-faktor dari dalam tubuh,

seperti hormon, informasi genetik dan otot.

b. Faktor ekstrinsik, yang mengacu pada faktor-faktor luar seperti

pengaruh lingkungan, kekuatan tulang, dan gizi.

3. Functional matrix theory

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh profesor anatomi asal

Columbia, Melvin L. Moss, yang mengatakan bahwa tulang tidak bertumbuh

tetapi berkembang, sehingga menekankan pada keutamaan fungsi ontogenetik

yaitu asal usul dan perkembangan organisme individual. Menurut Moss kontrol

ini berasal langsung dari jaringan lunak dan pertumbuhan tulang sedangkan

kartilago dikontrol secara epigenetik. Faktor epigenetik merupakan faktor

intrinsik, yang dapat dibagi menjadi2 :

a. Faktor epigenetik lokal : otot

11

Page 12: BAB I (print)

Menurut Moss bahwa pertumbuhan komponen tulang sekunder terjadi

sebagai respons terhadap pengaruh jaringan lunak yang berdekatan.

Kepala adalah struktur komposit, yang terdiri dari sejumlah fungsi yang relatif

berdiri sendiri. Setiap fungsi dilakukan oleh sekelompok jaringan lunak, yang

didukung dan dilindungi oleh unsur tulang yang berhubungan. Bentuk rangka

yang diberikan seluruhnya berhubungan dengan bentuk matriks fungsional.

Moss dengan tegas menyatakan bahwa "tulang tidak memiliki gen’’.

Misalnya, gigi dianggap sebagai bagian dari matriks fungsional dari rahang.

Setelah gigi kehilangan tulang alveolar yang berfungsi terutama untuk

melindungi dan menyokong,maka tulang tersebut seluruhnya akan diserap

kembali.

b. Faktor epigenetik umum : hormon

Hormon memiliki peran utama dan mengatur pertumbuhan semua

jaringan.Meskipun hormon dihasilkandalam struktur yang berbeda, namun

dapat mencapai tempatterjadinya proses pertumbuhan melalui sistem

peredaran darah (Kumar, 2011).

Meskipun awal dari hipotesis matriks fungsional ini mengemukakan

secara teoritis mengenai keunggulan ontogenetik dari fungsi tersebut, namun

hal ini hanya berlaku dalam beberapa tahun terakhir setelah teori matriks

fungsional mengalami revisi yang sangat mendukung perannya dalam

pertumbuhan fungsi kraniofasial (Moss, 1997).

12

Page 13: BAB I (print)

Moss juga mengemukakan bahwa kepala adalah struktur yang didesain

untuk membawa fungsi, integrasi neural, respirasi, pencernaan, pendengaran,

penglihatan dan bicara. Setiap fungsi ini telah dilakukan oleh jaringan tertentu

di dalam kepala. Jaringan dan tempat bertanggung jawab untuk setiap fungsi

telah diberikan dalam komponen fungsi kranial. Dengan demikian komponen

yang menangani fungsi bicara akan termasuk bibir, gigi, lidah, rongga mulut,

rongga hidung dan sebagainya. Setiap aspek dari kepala yang memungkinkan

untuk bicara adalah bagian dari komponen fungsional ini (Moss, 1997).

4. Teori van Limborgh

Gen merupakan bagian utama dari sel. Gen menentukan karakteristik

herediter. Gen yang berpengaruh di dalam sel disebut faktor genetik intrinsik,

sedangkan gen yang berpengaruh di luar sel disebut faktor epigenetik atau faktor

ekstrinsik (Ranly, 1985 cit Sony, 2003).

Van Limborgh telah membagi faktor-faktoryang mengendalikan

morfogenesis rangka dan dismorfogenesis menjadi 5 kelompok, yaitu (Allison,

2009):

a. Faktor genetik intrinsik.

b. Faktor epigenetik lokal.

c. Faktor epigenetik umum.

b. Faktor lingkungan lokal.

c. Faktor lingkungan umum.

13

Page 14: BAB I (print)

2.2 Tipe-Tipe Kepala

Agar dapat melihat perbedaan manusia secara lebih teliti antropologi

ragawi telah menciptakan indeks, diantaranya adalah indeks kepala. Indeks ialah

bilangan yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan suatu keadaan

tertentu atau sebuah rasio proporsional yang dapat disimpulkan dari sederetan

observasi yang terus menerus dilakukan. Sedangkan indeks kepala merupakan

ilmu yang mempelajari tentang hubungan kraniofasial dengan variasi manusia,

yang telah lama digunakan untuk berbagai kelompok ras antropologi fisik

(Mahajan, 2010). Indeks kepala merupakan parameter penting dalam

mengevaluasi perbedaan ras dan jenis kelamin. Oleh karena itu, informasi

terperinci dari suatu data populasi merupakan hal penting dalam studi dan

perbandingan untuk menilai pertumbuhan danpengembangan individu serta

berguna dalam diagnosis kelainan bentuk dan ukuran tengkorak kepala (Isurani,

2011).Indekskepalajuga memberikan gambaran tentang bagaimana karakter

genetik yang diturunkan antaraorang tua, keturunan dan saudara (Shah & Jadhav,

2004).Dengan adanya indeks ini lebih mudah untuk mengelompokkan manusia

kedalam golongan yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Misalnya, biasanya orang

dengan bentuk kepala brakhisefalik mempunyai tipe wajah euryprosop dan bentuk

gigi insisivus yang lebar (Sony, 2003).

Indeks kepala ditentukan berdasarkan deskriptif anatomi internasional.

Nilai indeks kepala didapatkan dari pengukuran panjang dan lebar kepala dengan

14

Page 15: BAB I (print)

rumus = lebar kepala maksimum : panjang kepala maksimum x 100. Dapat pula

digambarkan secara sistematis sebagai berikut :

Indeks Kepala = Lebar kepala maksimumPanjang kepala maksimum

x 100

Gambar 1. Pengukuran indeks kepala (Sony, 2003)

Keterangan gambar :

1. Panjang kepala maksimum, yaitu jarak lurusantara titik yang paling

menonjol pada tulang frontal di atashidung (glabella)dan bagian paling

menonjol dari tulang oksipital. Inidiukur dengan menempatkan mistar

pada ujung anteriorglabella sementara ujung yang lain digeser hingga

memungkinkan sampai pada ujung posteriordari tulang oksipital

sampaipanjang maksimum kepala tercapai.

2. Lebar kepala maksimum, yaitu jarak maksimum antara titik paling

lateralis dari tulang parietal. Diukur denganmenempatkan mistar di

15

Page 16: BAB I (print)

sepanjang aspek lateral tulang parietal yaitu dari puncak supra

mastoideus hingga bizigomatik (Isurani, 2011).

Berdasarkan indeks kepala bentuk kepala dibagi ke dalam tiga kategori,

yaitu, brakhisefalik, dolikosefalik dan mesosefalik (Williams dkk, 1995 cit

Golalipour, 2007).

Gambar 2. Tipe-tipe kepala : brakhisefalik, dolikosefalik, mesosefalik

(Gallois, 2006)

2.2.1 Bentuk Kepala Brakhisefalik

Brakhisefalik mengacu pada individu dengan bentuk kepala yang lebar dan

persegi, dengan nilai indeks kepala yang lebih besar dari rata-rata yaitu > 81%.

Bentuk kepala ini cenderung dimiliki oleh ras Mongoloid dengan ciri-ciri

aperturanasalyang membulat, sudut bidang mandibula yang lebih rendah, bentuk

muka segiempat (square), profil wajah prognasi sedang, rongga orbita membulat,

dan puncak kepala tinggi seperti kubah (Gallois, 2006).

16

Page 17: BAB I (print)

Gambar 3. Profil wajah ras Mongoloid : A. Wanita B. Pria(Farida, 2002)

2.2.2 Bentuk Kepala Dolikosefalik

Menggambarkan individu dengan nilai indeks kepala <75, 9%. Dengan

ciri-ciri memiliki kepala lebar dan sempit, profil wajah panjang dan rendah,

bentuk dan sudut bidang mandibula yang sempit, bentuk muka seperti segitiga

(tapered), diafragma hidung yang sempit, tulang pipi tegak, rongga orbita

berbentuk rektangular dan aperturanasal yang lebar. Kebanyakan bentuk kepala

ini dimiliki oleh ras Negroid dan Aborigin Australia (Umar dkk, 2011).

Gambar 4. Profil wajah ras Negroid : A. Wanita B. Pria(Farida, 2002)

2.2.3 Bentuk Kepala Mesosefalik

Bentuk kepala dengan nilai indeks kepala 76 – 80,9%. Bentuk kepala ini

memiliki karakteristik fisik kepala lonjong dan bentuk muka terlihat oval dengan

zigomatik yang sedikit mengecil, profil wajah ortognasi, apertura nasal yang

17

Page 18: BAB I (print)

sempit, spina nasalis menonjol dan meatus auditory external membulat. Bentuk

kepala seperti ini kebanyakan dimiliki oleh orang Kaukasoid (Farida, 2002).

Gambar 5. Profil wajah ras Kaukasoid : A.wanita B. pria(Farida, 2002)

2.3 Hubungan Bentuk Kepala dengan Bentuk Lengkung Gigi

Salah satu organ yang berperan penting dalam menunjang metabolisme

tubuh adalah gigi. Gigi yang tersusun pada tulang rahang membentuk struktur

lengkung yang berbeda secara alamiah, dari segi ukuran maupun bentuk yang

dipengaruhi oleh bentuk tulang penyokong lengkung gigi, erupsi dan kerusakan

pada gigi. Banyak permasalahan yang dapat terjadi pada struktur gigi baik secara

fungsional maupun estetis. Semua permasalahan tersebut dapat diatasi dengan

menjalani perawatan ortodontik. Perawatan ini dilakukan oleh seorang ortodontis.

Langkah-langkah perawatan untuk merapikan susunan gigi dilakukan berdasarkan

diagnosis bentuk lengkung susunan gigi. Bentuk lengkung gigi pasien ditentukan

18

Page 19: BAB I (print)

secara manual berdasarkan pengetahuan dan pengalaman ortodontis dengan cara

melihat bentuk model cetakan gigi pasien (Widyanto, 2008).

Lengkung gigi terdiri dari lengkung superior yang dikenal dengan maksila

dan lengkung inferior yang dikenal dengan mandibula. Lengkung gigi berbeda

pada setiap individu meskipun mereka adalah anak kembar. Hal ini disebabkan

karena setiap orang mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, sehingga tidak

ada manusia yang mempunyai bentuk dan ukuran lengkung gigi yang sama. Fakta

ini telah dibuktikan oleh Lundstrom melalui penelitiannya terhadap 50 pasang

anak kembar monozigot dan 50 pasang kembar

dizigot(repository.usu.ac.id/bitstream/chapter%, 2011.pdf).

Gambar 6. Lengkung gigi normal (repository.usu.ac.id/chapter%pdf)

Perubahan lengkung gigi pada masa tumbuh kembang, sangat dipengaruhi

oleh tumbuh kembang dari prosesus alveolaris. Secara umum lengkung gigi

berkembang pada tahap gigi bercampur lalu cenderung stabil sampai pada gigi

tetap. Pada mandibula tumbuh kembang lengkung gigi berlangsung dari usia 4

19

Page 20: BAB I (print)

hingga 8 tahun. Sedangkan pada maksila hal ini berlangsung dari usia 4 hingga

13 tahun dan cenderung lebih stabil hingga dewasa (Vanda Dwi A, 2008).

Menurut Moyers (1988), pada waktu dilahirkan lengkung alveolar cukup

lebar untuk ruangan gigi desidui. Pada waktu berlangsungnya peralihan antar gigi

sulung ke gigi permanen terjadi perubahan ukuran lengkung gigi dan

perubahanoklusi. Penelitian menunjukkan bahwa lengkung gigi selama periode

gigi geligi bercampur menjadi bertambah lebar tetapi panjang lengkung

bertambah pendek.

Awalnya bentuk lengkung gigi didasari oleh bentuk tulang, dan setelah

gigi erupsi bentuk lengkung gigi berubah karena dipengaruhi oleh jaringan otot

rongga mulut. Banyak faktor seperti keturunan, pertumbuhan tulang, inklinasi

gigi, pengaruh eksternal, fungsi, dan latar belakang ras/etnis dapat mempengaruhi

ukuran dan bentuk lengkung gigi. Trauma fisik, kebiasaan, penyakit dan

malnutrisi juga ikut mempengaruhi perubahan lengkung gigi (Stanley, 1998).

Bentuk dan ukuran lengkung gigi baik dalam arah transversal dan sagital

pada suatu individu berbeda dengan individu lainnya. Nilai normal ukuran

lengkung gigi pada rahang bawah ras Kaukasoid belum tentu merupakan ukuran

lengkung gigi normal bagi ras yang lain. Secara umum orang Kaukasoid

mempunyai lengkung gigi yang sempit dan berbentuk ‘v’ sedangkan orang

Mongoloid mempunyai lengkung gigi yang parabolik dengan insisivus, kaninus

dan molar yang besar. Orang Australoid mempunyai lengkung gigi yang besar

dengan ukuran gigi yang besar (Farida, 2002).

20

Page 21: BAB I (print)

Koreksi asimetri lengkung gigi memerlukan perhatian khusus dalam

perawatan ortodontik. Asimetri lengkung gigi dapat terlihat dalam berbagai

variasi pada pasien maloklusi. Dikatakan bahwa asimetri lengkung gigi dapat

dikoreksi secara ortodontik (Hayati, 2003).

Keberhasilan suatu perawatan ortodontik dapat dinilai berdasarkan

stabilitas hasil perawatan. Salah satu hal yang mempengaruhi stabilitas adalah

keberhasilan mempertahankan bentuk lengkung gigi (Burstone dan Marcotte,

2000). Banyak ahli telah meneliti mengenai pengeruh stabilitas lengkung gigi

terhadap stabilitas perawatan ortodontik. Selain itu banyak laporan kasus yang

stabilitasnya dinilai dari perubahan lengkung gigi (Nojima dkk, 2001).

Moyers membandingkan perubahan lengkung gigi akibat tumbuh

kembang dan perubahan yang mungkin yang terjadi selama perawatan ortodontik.

Dinyatakan bahwa perubahan lebar dan panjang lengkung gigi pada maksila

sangat besar dibanding pada mandibula yang dinyatakan tetap (Vanda Dwi A,

2008).

Posisi stabil suatu lengkung gigi merupakan posisi rerata yang dihasilkan

dari dorongan gaya ke bukal oleh lidah saat rahang beraktivitas dan gaya ke arah

berlawanan dari pipi dan bibir. Lengkung gigi terbentuk pada posisi tersebut dan

merupakan lengkung yang paling normal bagi seorang individu. Karena itu dapat

dipahami bahwa salah satu cara mencapai stabilitas hasil perawatan ortodontik

adalah mempertahankan bentuk lengkung gigi awal pasien, yang merupakan

lengkung paling normal hingga akhir perawatan (Oktavia, 2008).

21

Page 22: BAB I (print)

Penelitian mengenai bentuk lengkung gigi telah dimulai sejak awal

berkembangnya ilmu ortodontik itu sendiri. Berbagai metode dan formulasi

dikembangkan untuk dapat memprediksi bentuk lengkung gigi individual, tetapi

belum ada diantara formulasi tersebut yang dapat mewakili variasi bentuk

lengkung gigi pada seluruh populasi dan ras (Vanda Dwi A, 2008).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tajik dkk (2011) terdapat korelasi

antara bentuk kepala, jenis wajah dan bentuk lengkung gigi. Dikatakan bahwa

seseorang dengan bentuk kepala brakhisefalik biasanya memiliki wajah yang

pendek (euryprosopic) dengan bentuk lengkung gigi yang berbentuk square.

Sedangkan bentuk kepala dolikosefalik biasanya memiliki wajah yang lonjong

(leptoprosopic) dan memiliki lengkung gigi berbentuk tapered atau meruncing.

Pada tipe mesosefalik berada diantaranya atau biasa disebut dengan tipe normal

atau rata-rata.

Gambar 7. Hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi (Wayan Ardhana, 2009)

Ketiga bentuk lengkung gigi diatas memiliki kemiripan yang sangat tinggi

sehingga sulit dibedakan. Kemiripan bentuk ini sering kali menimbulkan

22

Page 23: BAB I (print)

perbedaan pendapat antar ortodontis saat menetapkan bentuk lengkung gigi

seorang pasien. Kesalahan dalam menentukan bentuk lengkung gigi akan

berpengaruh pada keberhasilan dan kestabilan hasi perawatan (Widyanto, 2008).

Gambar 8. Representasi ketiga bentuk lengkung gigi (Widyanto, 2008)

Klasifikasi bentuk lengkung gigi yang saat ini sering digunakan sebagai

template dalam praktek ortodontik, pertama kali dipopulerkan oleh Chuck pada

tahun 1932. Klasifikasinya terdiri dari tapered, square dan ovoid atau disebut juga

narrow, normal dan broad(Vanda Dwi A, 2008).

Ada beberapa formulasi yang dahulu cukup populer dalam menentukan

bentuk lengkung gigi. Sehingga untuk mengatasi banyaknya variasi bentuk

lengkung gigi, beberapa klinisi membuat klasifikasi bentuk lengkung gigi guna

memudahkan pekerjaannya. Ricketts misalnya, dengan melakukan penelitian pada

subyek tanpa perawatan ortodontik, mengklasifikasikan lima bentuk lengkung

23

Page 24: BAB I (print)

gigi pentamorphic yaitu normal, ovoid, tapered, narrow ovoid, dan narrow

tapered. Taner dkk (2004) mengkombinasikan lima bentuk tersebut dengan

menggunakan system komputerisasi dan menghasilkan empat template bentuk

lengkung gigi yaitu tapered, ovoid, normal dan narrow tapered.

2.4 Hubungan Bentuk Kepala dengan Bentuk Gigi Insisivus Pertama

Rahang Atas

Dasar dari bentuk gigi manusia lebih dapat dimengerti dengan membuat

perbandingan dengan gigi geligi pada binatang yang lebih rendah tingkatannya.

Arti fisiologis dari tanda-tanda yang penting pada gigi geligi akan diperoleh hanya

setelah mempelajari perkembangan dan relasi gigi terhadap fungsinya. Uraian

yang teliti dari bentuk gigi individu akan memberi banyak arti. Para ahli fosil

yang telah meneliti dari zaman lampau, menemukan bahwa bentuk primordial dari

suatu gigi adalah konus (Hendra Chanda, 2007).

Manusia memiliki bentuk gigi geligi yang khas dengan proporsi yang

berbeda-beda. Manusia terkesan mempunyai persepsi yang berbeda mengenai

bentuk gigi geligi yang baik dan harmonis. Keharmonisan bentuk gigi geligi

manusia sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, jenis kelamin dan fungsi

masing-masing gigi geligi. Misalnya saja bentuk gigi insisivus pada pria adalah

persegi dengan sudut distalnya juga persegi yang lebih cenderung berbentuk

square, sedangkan pada wanita bentuk giginya lebih lonjong dengan sudut

distalnya membulat dan berbentuk oval (Bolton, 1958).

24

Page 25: BAB I (print)

Gambar 9. Bentuk gigi : A. pria B.wanita (Tufail, 2011)

Pada kebanyakan kelompok ras telah dicatat bahwa bentuk dan ukuran

gigi geligi pria sebagian besar lebih lebar dari ukuran gigi geligi wanita. Menurut

Frush dan Fisher (2000 cit Atashi, 2007), garis luar insisivus atas pada pria

bersudut lebih tajam (giginya berbentuk kuboidal), sedangkan pada wanita lebih

tumpul (giginya berbentuk sferoidal).

Pada tahun 1914, Leon William, seorang dokter gigi terkenal di Inggris

yang juga dikenal berkontribusi di bidang histologidan bakteriologi, telah

mengklasifikasikan wajah dan kepala,serta mengemukakan tentang konsep

harmoni dari teori geometris untuk pemilihan gigi anterior. William mengatakan

bahwa bentuk wajah harus berkorelasi dengan bentuk gigi secara terbalik (Fenn

HR, 1961 cit Shah dkk, 2011). Dalam teori geometrisnya, William

menggambarkan tiga tipe dasar bentuk gigi yaitu persegi (square), tapered dan

ovoid serta beberapa bentuk gabungan (Bingham, 2011).

Gambar 10. Hubungan bentuk kepala dan wajah dengan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas, menurut William (https://www viewer?a=v&q/download/prostodonsia-11-gtsl/pt_slide)

25

Page 26: BAB I (print)

Banyak penulis dan peneliti yang setuju dengan teori ini, akan tetapi

beberapa peneliti mengarah pada hasil yang sebaliknya. Bell, Broadbelt dan

Mavroskoufis (1987 cit Shah, 2011) misalnya, pernah melakukan penelitian

tentang korelasi bentuk wajah terhadapbentuk gigi dan menemukan korelasi yang

tidak signifikan antara kedua hasil tersebut. Hal ini tidak mendukung teori

geometrik William dan menyimpulkan bahwa teori geometris William tidak valid.

26

Page 27: BAB I (print)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik , yaitu suatu penelitian yang

dilakukan dengan mencari hubungan antar variabel.

3.2 Rancangan Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Hal ini dikarenakan

penelitian dilakukan pada satu saat tertentu. Tiap subyek hanya diobservasi satu

kali dan pengukuran variabel subyek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Ortodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut

Pendidikan Hj. Halimah Dg. Sikati Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Hasanuddin Makassar. Penelitian dilakukan pada bulan Maret – Mei 2011.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi penelitian : pasien yang berkunjung ke RSGMP FKG UH

Kandea Bagian Ortodontik.

2. Sampel penelitian :pasien yang berkunjung ke RSGMP FKG UH

Kandea yang memenuhi kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi pasien yang dijadikan

sebagai sampel adalah:

27

Page 28: BAB I (print)

a. Usia 20 – 35 tahun.

b. Model tidak rusak dan aus.

c. Belum pernah dirawat ortodontik.

d. Mempunyai kelengkapan gigi dari M1 kiri

sampai M1 kanan baik pada rahang atas

maupun rahang bawah.

e. Tidak ada karies interproksimal.

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 30.

3.5 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Model studi rahang

2. Alat ukur ( mistar )

3. Spidol

4. Alat tulis

5. Plastik bening

3.6 Data

a. Jenis data : Data primer yaitu data yang diperoleh secara

langsung dari objek yang diteliti.

b. Pengolahan data : Menggunakan pemprograman SPSS.

c. Analisis data : Uji korelasi Spearman.

28

Page 29: BAB I (print)

3.7 Variabel

3.7.1 Variabel dependen :

Bentuk kepala

3.7.2 Variabel independen :

a. Bentuk lengkung gigi

b. Bentuk gigi insisivus rahang atas

3.8 Prosedur Penelitian

1. Pasien dipilih sesuai dengan kriteria sampel.

2. Dilakukan pengukuran indeks kepala yang meliputi panjang kepala

dan lebar kepala pada setiap sampel yang telah dipilih.

3. Menghitung indeks kepala setiap sampel yang telah diteliti.

4. Menentukan bentuk kepala setiap sampel berdasarkan hasil indeks

kepala.

5. Gambar model rahang dari sampel yang diteliti pada plastik bening.

6. Menentukan jenis bentuk lengkung gigi dari hasil model rahang yang

telah digambar.

7. Menentukan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas pasien dengan

menyesuaikan pada catatan operator dari pasien.

8. Melihat hubungan antara bentuk kepala, bentuk lengkung gigi dan

bentuk gigi insisivus pertama.

29

Page 30: BAB I (print)

Penentuan lokasi penelitian

Pengambilan sampel

Pengukuran indeks kepala

Gambar model rahang sampel

Penentuan bentuk gigi insisivus pertama RA

Analisis data

3.9 Alur Penelitian

30

Page 31: BAB I (print)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan bentuk kepala dengan

bentuk lengkung gigi dan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas pada pasien

yang berkunjung ke RSGMP FKG UH Kandea bagian ortodonsia. Data yang

diperoleh dari penelitian ini diolah dengan menggunakan pemprograman SPSS.

Hasilnya sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Distribusi sampel menurut umur, ,jenis kelamin, bentuk kepala, bentuk lengkung gigi dan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas

Karakteristik Sampel N %

Kelompok Umur (tahun)

- Dewasa Muda (18-25) 27 90,0

- Dewasa Penuh (26 - 60) 3 10,0

Jenis Kelamin

- Laki-Laki 14 46,7

- Perempuan 16 53,3

Bentuk Kepala

- Brakhisefalik 22 73,3

- Mesosefalik 6 20,0

- Dolikosefalik 2 6,7

Bentuk Lengkung Gigi

- Parabola 21 70,0

- Narrow 7 23,3

- Omega 2 6,7

Bentuk Gigi Insisivus Pertama Rahang atas

- Square 23 76,7

- Oval 7 23,3

31

Page 32: BAB I (print)

Pada tabel 2 terlihat bahwa sampel mayoritas termasuk dalam kelompok

umur dewasa muda yakni sebanyak 27 orang (90,0%) dan minoritas dewasa

penuh sebanyak 3 orang (10,0%). Terlihat pula bahwa jumlah sampel perempuan

lebih banyak dibandingkan laki-laki, yakni 16 orang perempuan (53,3%)

berbanding 14 orang laki-laki (46,7%). Selain itu, pada tabel 2 juga menunjukkan

bahwa sampel rata-rata mempunyai bentuk kepala brakhisefalik yaitu sebanyak

22 orang (73,3%), mesosefalik sebanyak 6 orang (20%), dan paling sedikit

mempunyai bentuk kepala dolikosefalik yaitu 2 orang (6,7%). Adapun lengkung

gigi sampel yang diteliti mayoritas berbentuk parabola yaitu sebanyak 21 orang

(70,0%), sedangkan 9 orang lainnya masing-masing memiliki bentuk lengkung

gigi narrow sebanyak 7 orang (23,3%), dan omega 2 orang (6,7%). Persentase

tertinggi dari bentuk gigi insisivus pertama rahang atas pada penelitian ini yaitu

terdapat pada bentuk square sebanyak 23 orang (76,7%) dan sedikitnya 7 sampel

(23,3%) memiliki gigi insisivus berbentuk oval.

Tabel 3.Hubungan bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi

Bentuk KepalaBentuk Lengkung gigi

JumlahP

rParabola Narrow Omega

N % N % N % N %

- Brakhisefalik 15 68,2 5 22,7 2 9,1 22 100,0

0,577

- 0,106

- Mesosefalik 4 66,7 2 33,3 0 ,0 6 100,0

- Dolikosefalik 2 100,0 0 ,0 0 ,0 2 100,0

Jumlah 21 70,0 7 23,3 2 6,7 30 100,0

Berdasarkan tabel 3, dari 22 orang sampel yang diteliti memilikibentuk

kepala brakhisefalik, sebanyak 15 orang cenderung mempunyai bentuk lengkung

32

Page 33: BAB I (print)

gigi parabola (68,2%), dibandingkan bentuk narrowyang hanya dimiliki oleh 5

orang sampel (22,7%) dan 2 orang lainnya memiliki bentuk lengkung gigi omega

(9,1%). Hasil yang hampir sama dengan persentase berbeda ditemukan pada

sampel mesosefalik. Pada 6 orang sampel yang diteliti memiliki kepala

mesosefalik, 4 orang diantaranya memiliki bentuk lengkung gigi parabola

(66,7%), 2 orang lainnya memiliki bentuk lengkung narrow (33,3%) dan tidak

ditemukan sampel dengan lengkung gigi omega. Sedangkan pada sampel dengan

bentuk kepala dolikosefalik yang hanya ditemukan sebanyak 2 orang pada

penelitian ini, semuanya memiliki bentuk lengkung gigi berbentuk parabola

(100,0%).

Telah diuji menggunakan uji dari korelasi Spearman dan didapatkan nilai

r=(-0,106). Nilai ini menunjukkan bahwa diantara bentuk kepala brakhisefalik,

mesosefalik dan dolikosefalik terhadap lengkung gigi parabola, narrow dan

omega terjadi hubungan korelasi negatif atau hubungan terbalik. Maka

berdasarkan uji tersebut, didapatkan bahwa bentuk kepala brakhisefalik cenderung

memiliki lengkung gigi berbentuk omega. Sedangkan bentuk kepala dolikosefalik

cenderung memiliki bentuk lengkung gigi parabola.

Bentuk Kepala Bentuk Gigi Insisivus Pertama

Rahang atas

Jumlah P

r

Square Oval

33

Page 34: BAB I (print)

n % N % N %

- Brakhisefalik 19 86,4 3 13,6 22 100,0

0,075

0,330

- Mesosefalik 2 33,3 4 66,7 6 100,0

- Dolikosefalik 2 100,0 0 ,0 2 100,0

Jumlah 23 76,7 7 23,3 30 100,0

Tabel 4. Hubungan bentuk kepala dengan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas

Pada tabel 4dapat dilihat bahwa sampel yang mempunyai bentuk kepala

brakhisefalik lebih banyak mempunyaigigi insisivus pertama rahang

atasberbentuk squaresebanyak 19 orang (86,4%), dan 3 orang lainnya berbentuk

oval (13,6%). Hal ini sangat berbeda pada sampel bentuk kepala mesosefalik yang

lebih banyak mempunyai gigi insisivus pertama rahang atas berbentuk oval

(66,7%), dan square (33,3%). Adapun hasil yang didapat pada sampel dengan

bentuk kepala dolikosefalik semuanya mempunyai gigi insisivus pertama rahang

atas berbentuk square(100,0%).

Berdasarkan uji korelasi dari Spearman, diperoleh nilai r = 0,330. Nilai ini

menunjukkan bahwa antara bentuk kepala dengan bentuk gigi isisivus pertama

rahang atas berlaku hubungan korelasi positif atau hubungan berbanding lurus.

Maka dapat dikatakan bahwa bentuk kepala brakhisefalik dan dolikosefalik

cenderung memiliki gigi insisivus berbentuk square.

34

Page 35: BAB I (print)

BAB V

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 30 orang yang terdiri dari

16 orang perempuan (53,3%) dan 14 orang laki-laki (46,7%) yang berasal dari

pasien RSGMP FKG UH Kandea bagian ortodonsia (tabel 2). Dapat pula dilihat

bahwa pasien mayoritas termasuk dalam kelompok umur dewasa muda dengan

persentase tertinggi (90%). Dalam kelompok umur tersebut, bentuk kepala yang

paling banyak ditemui yaitu brakhisefalik dengan persentase paling tinggi

(73,3%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Isurani

(2011) pada populasi mahasiswa di Sri Lanka, yang menyatakan bahwa bentuk

kepala yang paling dominan ditemukan berbentuk brakhisefalik (66,15%). Hasil

yang sama juga ditemukan oleh Golalipour dkk (2006) pada orang Turkman,

dimana bentuk kepala brakhisefalik merupakan bentuk kepala yang paling banyak

ditemukan (42,4%). Lain halnya dengan Rexhepi dan Meka (2008). Bentuk

kepala dolikosefalik lebih banyak ditemukan pada masyarakat Bulgaria dan

Serbia. Penelitian mengenai bentuk kepala juga pernah dilakukan oleh Vojdani

dkk (2009). Hasilnya memperlihatkan bahwa bentuk kepala yang paling dominan

ditemukan yaitu brakhisefalik dan hiperbrakhisefalik.

Page 36: BAB I (print)

Perbedaan ras, jumlah dan populasi sampel yang diambil peneliti kemungkinan

menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan hasil pada penelitian ini dengan

penelitian yang dilakukan oleh Rexhepi dan Zahra. Selain itu penyebab lain

kemungkinan terjadi karena adanya variasi dalam bentuk otak antara sampel

penelitian. Bentuk otak akan mengatur struktur dasar tengkorak yang berada di

bawahnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi struktur wajah dan kepala

(Enlow, 1990 cit Yusof, 2007).

Bentuk kepala dapat berubah dari satu generasi ke generasiyang lain.

Sebagai contoh, dalam generasi pertama Jepangimigran di Hawaii yang melihat

bahwa mereka mengalami peningkatanlebar kepala, panjang kepala menurun dan

nilai indeks kepala yang lebih tinggidari orang tua mereka (Heravi & Zieaee, 2002

cit Eroje dkk, 2010).

Pada tabel 2 dapat pula dilihat bahwa dari 30 sampel yang diteliti, pasien

dengan lengkung gigi parabola merupakan persentase tertinggi (70%) diikuti

lengkung gigi narrow (23,3%) dan omega (6,7%). Hasil ini selaras dengan hasil

penelitian Zia (2009). Dalam penelitiannya, lengkung gigi berbentuk parabola

merupakan lengkung gigi yang paling dominan ditemui dari 150 orang sampel.

Lain halnya dengan Tajik dkk (2011) di Pakistan. Didapatkan hasil bahwa

persentase tertinggi dari bentuk lengkung gigi yang dimiliki berbentuk narrow

(49,2%), diikuti parabola (29,2%) dan paling sedikit memiliki bentuk lengkung

gigi square(21,2%).Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh faktor keturunan,

pertumbuhan tulang serta inklinasi gigi. Bentuk gigi insisivus pertama rahang atas

36

Page 37: BAB I (print)

dalam penelitian ini paling banyak ditemukan berbentuk square dengan persentase

tertinggi (76,7%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Ibrahimagic dkk (2001)

di Bosnia. Diperoleh insisivus berbentuk tapered-square dengan persentase

tertinggi (53%), diikuti oval (30%), dan tapered (16%).Perbedaan ras pada

populasi sampel kemungkinan menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan

hasil ini.

Tabel 3 menunjukkan adanya hubungan antara bentuk kepala dengan

bentuk lengkung gigi. Dapat dilihat bahwa pada sampel dengan bentuk kepala

brakhisefalik cenderung memiliki lengkung gigi berbentuk parabola (68,2%),

namun hasil ini tidak bermakna secara statistik. Berdasarkan uji korelasi dari

Spearman, bentuk kepala brakhisefalik lebih kuat hubungannya dengan lengkung

gigi omega dibandingkan dengan lengkung gigi parabola. Sedangkan pada sampel

dengan jenis kepala dolikosefalik yang hanya ditemukan sebanyak 2 orang (6,7%)

dalam penelitian ini, keduanya memiliki lengkung gigi berbentuk parabola

(100%). Hasil ini bermakna secara statistik.

Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 3 tidak sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Wayan Ardhana (2009) yang menghubungkan

antara bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi. Menurut penelitiannya

dikatakan bahwa seseorang yang memiliki bentuk kepala brakhisefalik

mempunyai lengkung gigi berbentuk broad. Sedangkan pada jenis kepala

dolikosefalik biasanya memiliki lengkung gigi berbentuk narrow serta pada

kepala mesosefalik memiliki lengkung gigi berbentuk parabola. Perbedaan hasil

37

Page 38: BAB I (print)

penelitian ini dengan penelitian Wayan kemungkinan disebabkan oleh beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi perubahan karakteristik lengkung gigi antara

lain fungsi rongga mulut, kebiasaan oral, dan otot rongga mulut (Van der Linden,

1998 cit Haryati, 2003).

Sampel dengan jenis kepala brakhisefalik rata-rata mempunyai gigi

insisivus pertama rahang atasberbentuk square (tabel 5). Hasil ini berbanding

terbalik pada sampel yang memiliki bentuk kepala mesosefalik, yang justru lebih

banyak memiliki gigi insisivus pertama rahang atas berbentuk oval

dibandingkansquare. Sedangkan untuk sampel jenis kepala dolikosefalik pada

penelitian ini, semuanya memiliki gigi insisivus berbentuk square. Hasil ini

berbeda pada penelitian Farida (2002) yang mengatakan bahwa bentuk kepala

dolikosefalik cenderung memiliki gigi insisivus berbentuk tapered. Perbedaan

bentuk gigi insisivus ini kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Seperti

diketahui bahwa faktor genetik cukup kuat dalam mempengaruhi ciri-ciri fisik

seseorang.

38

Page 39: BAB I (print)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Sampel yang diteliti pada penelitian ini umumnya memiliki bentuk

kepala brakhisefalik, lengkung gigi berbentuk parabola dan gigi

insisivus pertama rahang atas berbentuk square.

2. Baik bentuk kepala brakhisefalik, mesosefalik maupun dolikosefalik

umumnya memiliki lengkung gigi berbentuk parabola.

3. Bentuk kepala brakhisefalik umumnya memiliki gigi insisivus pertama

rahang atas yang berbentuk square, sedangkan pada mesosefalik

umumnya berbentuk oval, dan pada dolikosefalik umumnya berbentuk

square.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada populasi non-ortodontik di

masyarakat luas.

2. Dalam mengukur panjang kepala dan lebar kepala untuk menentukan

indeks kepala hendaknya menggunakan alat ukur bantu yang lebih

canggih agar hasil yang diperoleh pun lebih akurat.

Page 40: BAB I (print)

DAFTAR PUSTAKA

Allison B. 2009. Head and Neck Embryology: An Overview of Development, Growth and Defect in the Human Fetus. University of Connecticut: Storrs. p.6.

Atashi MHA. 2007. Prevalence of Malocclusion in 13-15 Year-old Adolescents in Tabriz. J of Dent Res, Dent Clin, Dent Prospects. 1(1): 10.

Bingham MP. 2011. The Selection of Artificial Anterior Teeth Appropriate for The Age and Gender of The Complete Denture Wearer. Thesis. Faculty of Medicine Universitas of Glaslow. p.17.

Bolton WA. 1958. Disharmony in Tooth Size and its Relation to the Analysis and Treatment of Malocclusion. Angle Orthod. 28(3): 113-5.

Burstone CJ, Marcotte MR. 2000. Problem Solving in Orthodontics, Goal Oriented Treatment Strategy.QB: Chicago. p.24.

Cray JJJ. 2009. The Interaction of Androgenic Hormone and Craniofacial Variation : Relationship Between Epigenetics and The Environment on the Genome with an Eye Toward Non-Syndromic Craniosynostosis. Dissertation. University of Pittsburgh. p.4.

Eki S.Soeria Soemantri. 2000. Tumbuh Kembang Kraniofasial. Bag. Ortodonti FKG Universitas Padjadjaran. pp.87-8.

Eroje MA, Fawehinmi HB, Jaja BN, Yaakor L. 2010. Cephalic Index of Ogbia Tribe of Bayesla State. Int J Morphol. 28(2): 391.

Farida Syamlan, Pinandi Sri Pudyani, Prihandini IS. 2002. Hubungan Antara Perubahan Sudut Interinsisal dengan Perubahan Tinggi Muka Anterior. FKG Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Maj Ked Gi. 4(8): 187-8.

Fuller D, West V. 1986. The ‘Functional Matrix’ Hypothesis Current Concepts and Conflicts. Australian Orthodontic Journal. 9(4): 324.

Gallois R. 2006. Classification of Malocclusion. Available at : http://www. columbia.edu/itc/hs/dental/D5300/Classification%20of%20Malocclusion%20GALLOIS. Diakses tanggal 20 Oktober 2011.

Golalipour MJ. 2006. The Variation of Head Shapes in 17-20 Year Old Native Fars Male in Gorgan-North of Iran. Int J Morphol. 25(3): 1.

40

Page 41: BAB I (print)

Golalipour MJ, Mehrdad J, Kamran H. 2007. Morphological Evaluation of Head in Turkman Males in Gorgan-North of Iran. Int J Morphol. 25(1): 100.

Graber TM, Swain BF. 1985. Orthodonti Curre Principle and The Techniques. The C.V.Mosby Co: St. Louis. pp. 78-79.

Graber TM. 1972. Orthodontics Principles and Practice. 3rd ed. WB Saunders Company: Philadelphia. p.156.

Hamilah D.Koesoemahardja. 1991. Pola Pertumbuhan Jaringan Lunak Kraniofasial serta Kaitannya dengan Pola Pertumbuhan Jaringan Keras Kraniofasial dan Pertumbuhan Umum. FKG Universitas Trisakti. p.11.

Hayati R. 2003. Kajian Tumbuh Kembang Dentokraniofasial Untuk Kedokteran Gigi. JKGUI. (10): 455.

Hendra Chanda. 2005. Analisis Hubungan Bentuk dan Ukuran Gigi Geligi, Bentuk dan Ukuran Lengkung Gigi Geligi Terhadap Terjadinya Impaksi Gigi Molar Tiga Rahang Bawah (Studi Epidemiologi pada Suku Bugis. Disertasi. Universitas Hasanuddin: Makassar. p.66.

Ibrahimagic L, Jerolimov V, Celebic A, Carek V, Baucic I, Zlataric DK. 2001. Relationship Between the Face and the Tooth Form. Collegium Antropologicum. 25(2): 622.

Isurani I. 2011. Evaluation of Cephalic Indices: A Clue for Racial and Sex Diversity. Int J Morphol. 29(1): 113-4.

Johan Arif, Retno Hayati, Bambang Sutrisna, Eky Soeria Soemantri. 2009. Identifikasi Bentuk Lengkung Gigi Secara Kuantitatif. Dentika Dental Journal. 14(2): 121.

Kumar. 2011. Factors Affecting Growth and Development. Available at : http://ww w .magicaldentistry.com/2011/03/factors-affecting-growth- and.html. Diakses tanggal19 Oktober 2011.

Lilian Yuwono (transl). 1997. Buku Ajar Ortodonsi. Dari Foster TD. Textbook of Orthodontics, 3rd ed. EGC: Jakarta: 164-6.

Mahajan A, Baljeet SK, Seema, Arvinder PSB. 2010. The Study of Cephalic Index in Punjabi Students. Journal of Punjabi Academy of Forensic Medicine & Toxicology. 21(2); 24.

41

Page 42: BAB I (print)

McLaughlin, Richard P, Bennet JC. 1999. Arch Form Consideration for Stability and Esthetics. Rev Esp Orthod. 29(2): 46-8.

Moss ML. 1997. The Functional Matrix Hypothesis Revisited. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 112(3): 338.

Murtia Metalita. 2011. Pencabutan Gigi Molar Ketiga Untuk Mencegah Terjadinya Gigi Berdesakan Anterior Rahang Bawah (Extraction of Mandibular Third Molars In Case of Anticipation of Anterior Lower Jaw Crowding). Universitas Airlangga: Surabaya. Available at : http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com.Diaksestanggal 19 Maret 2011.

NN. 2011. Perbedaan Ukuran Lebar Lengkung Gigi dan Lebar Lengkung Alveolar. Available at : http://www. repository. usu.ac.id/ Chapter%20II. pdf.Diakses tanggal 16 Juni 2011.

Nojima K, McLaughlin RP, Isshiki Y, Sinclair PM. 2001. A Comparative Study on Caucasian and Japanese Mandibular Clinical Arch Form. Angle Orthod. 71(3): 195.

Oktavia Dewi. 2008. Analisis Bentuk Lengkung Gigi Sebelum dan Sesudah Perawatan. Available at : http://library. usu. ac.id/ index.php? option= com_journal_review.Diakses tanggal 3 Juni 2011.

Raveendranath V, Manjunath KY. 2007. An Anthropometric Study of Correlation Between Cephalic Index, Cranial Volume and Cranial Measurements in Indian Cadavers. Available at : http://www. mgims.ac. in/ journalvol15ii/ Original%20Article.Diakses tanggal 20 Oktober 2011.

Rexhepi A, Meka. 2008. Cephalofacial Morphological Characteristic of Albanian Kosova Population. Int J Morphol. 26(7): 40.

SafikhaniZ, Afzali N, Bordbar H. 2007. Determination of Anatomical Type of Head and Face in Children Under 6 Years in Ahwaz. Acta Medica Iranica. 45(1):1.

Shah GV, Jadhav HR. 2004. The Study of Cephalic index in Students of Gujarat. J Anat Soc India. 53(1): 25.

Shah DS, Shaikh R, Matani H, Rana D, Trivedi . 2011. Correlation between Tooth, Face and Arch Form A Computer Generated Study. JIDA. 5(8): 873-6.

42

Page 43: BAB I (print)

Sony Swasonoprijo. 2003. Analisis Ukuran Kepala, Wajah dan Hidung dalam Hubungannya dalam Lebar Mesiodistal Gigi (Studi Antropometri pada Etnis Bugis dan Toraja). Disertasi. Universitas Hasanuddin: Makassar. pp.67-68.

Stanley B, William PH, Dana EF, Harry LL. 1998. The Form of The Human Dental Arch. Angle Orthod. 68(1): 29.

Tajik I, Mushtaq N, Khan M. 2011. Arch Forms Among Different Angle Classification. Pakistan Oral & Dental Journal. 31(1): 94.

Taner, Ciger S, El H, Germec D. 2004. Evaluation of Dental Arch Width and Form Changes After Orthodontic Treatment and Retention with a New Computerized Method.Am J Orthod Dentofacial Orthop.126(4): 463.

Tufail SM. 2011. Selection of Teeth. Available at : http://www. fjdc. edu.pk/ otherfiles/Selection%20of%20teeth.pdf. Diakses tanggal 19 Oktober 2011.

Umar MBT, Ojo AS,Asala SA,Hambolu JO. 2011. Comparison of Cephalometric Indices Between the Hausa and Yoruba Ethnic Groups of Nigeria. Journal of Medical Sciences. 5(2): 84.

Vanda Dwi Arthadini; Haru Setyo Anggani. 2008. Perubahan di dalam Perawatan Ortodonti. M.I. Kedokteran Gigi. 3(4): 199-201.

Vojdani Z, Bahmanpour S, Momeni S, Vasaghi A, Yazdizadeh A, Karamifar A, Najafifar A, Setoodehmaram A, Mokhtar A. 2009. Cephalometry in 14-18 Year Old Girls and Boys of Shiraz Iran High School. Int J Morphol. 27(1): 103-4.

Wayan Ardhana. 2009. Prosedur Pemeriksaan Orthodontik. Available at : http://www. wayanardhana.sraff.ugm.ac.id/materi_orto1_pem.pdf. Diaksestanggal 4 April 2011.

Widyanto M. Rahmat, Shinta Puspasari. 2009. Piranti Lunak Untuk Analisis Bentuk Lengkung Gigi dengan Jaringan Saraf Tiruan. Available at : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=piranti%20lunak%20analisis%20lengkung%20gigi%journals%2Fpdf. Diakses tanggal 21 Juli 2011.

Yusof A. 2007. Inter-Population Comparisons of Craniofacial Morphology Based on 3D Computed Tomography. Available at : http://www. digital.library.adelaide.edu.au/dspace/chapters5-6.pdf. Diaksestanggal 23 Oktober 2011.

43

Page 44: BAB I (print)

Zia M, Azad A, Ahmed S. 2009. Comparison Of Distance Between Maxillary Central Incisors and Incisive Pailla in Dentate Individuals with Different Arch Forms. Ayub Med Coll Abbottabad.21(4): 66.

44

Page 45: BAB I (print)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii

UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................................. iii

DAFTAR ISI...................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii

DAFTAR TABEL……………..………............................................................ viii

LAMPIRAN…………………………............................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................... 4

1.4 Hipotesis ..................................................................................... 4

1.5 Manfaat Penelitian........................................................................ 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 6

2.1 Pertumbuhan Bentuk Kepala........................................................ 6

2.2 Tipe – Tipe Kepala....................................................................... 12

2.2.1 Bentuk Kepala Brakhisefalik.............................................. 15

2.2.2 Bentuk Kepala Dolikosefalik.............................................. 16

2.2.3 Bentuk Kepala Mesosefalik................................................ 16

2.3 Hubungan Bentuk Kepala dengan Bentuk Lengkung Gigi.......... 17

45v

Page 46: BAB I (print)

2.4 Hubungan Bentuk Kepala dengan Bentuk Gigi Insisivus

Pertama Rahang Atas................................................................... 22

BAB III. METODE PENELITIAN................................................................... 25

3.1 Jenis Penelitian................................................................................. 25

3.2 Rancangan Penelitian........................................................................ 25

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 25

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian........................................................ 25

3.5 Alat dan Bahan................................................................................. 26

3.6 Data................................................................................................... 26

3.7 Variabel............................................................................................. 27

................................................................................................................

3.8 Prosedur Penelitian........................................................................... 27

3.9 Alur Penelitian................................................................................. 28

BAB IV. HASIL PENELITIAN......................................................................... 29

BAB V. PEMBAHASAN.................................................................................. 33

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 38

LAMPIRAN

46

Page 47: BAB I (print)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pengukuran indeks kepala ........................................................ 14

Gambar 2 Tipe-tipe kepala (brakhisefalik, dolikosefalik, mesosefalik).... 15

Gambar 3 Profil wajah ras Mongoloid pada wanita dan pria..................... 15

Gambar 4 Profil wajah ras Negroid pada wanita dan pria......................... 16

Gambar 5 Profil wajah ras Kaukasoid pada wanita dan pria..................... 17

Gambar 6 Lengkung gigi normal............................................................... 18

Gambar 7 Hubungan antara bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi 21

Gambar 8 Representasi ketiga bentuk lengkung gigi................................ 21

Gambar 9 Bentuk gigi pada pria dan wanita............................................. 23

Gambar 10 Hubungan bentuk kepala dan wajah dengan bentuk gigi

insisivus pertama rahang atas, menurut William...................... 24

47vii

Page 48: BAB I (print)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Faktor pengontrol utama dari pertumbuhan dan kekuatan pengaruhnya terhadap dua divisi embriologik kepala, menurut Sicher............................................................................................ 9

Tabel 2 Distribusi sampel menurut umur, jenis kelamin, bentuk kepala, bentuk lengkung gigi dan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas.................................................................................... 29

Tabel 3 Hubungan bentuk kepala dengan bentuk lengkung gigi............ 30

Tabel 4 Hubungan bentuk kepala dengan bentuk gigi insisivus pertama rahang atas.................................................................................... 32

48viii

Page 49: BAB I (print)

LAMPIRAN

1. Data Hasil Penelitian

2. Hasil Analisa Data SPSS

3. Surat Izin Penelitian

4. Surat Penugasan Penelitian

49x

Page 50: BAB I (print)

HUBUNGAN ANTARA BENTUK KEPALA DENGAN BENTUK

LENGKUNG GIGI DAN BENTUK GIGI INSISIVUS PERTAMA

RAHANG ATAS

SKRIPSI

NURFITRIAH AMIKARAMATA

J 111 08 139

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

MAKASSAR

2011

50