8
99 Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor yang Terkait oleh Bidan di Desa dan Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan Analysis on the Difference of Partograph Usage and the Associated Factors Between Private Practice and Village Midwives in Banjar District South Kalimantan Province Erni Yuliastuti 1 , Martha Irene Kartasurya 2 , Dharminto 2 1 Poltekkes Kemenkes, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sadewa 1 No38 RT44 Bumi Pemurus Permai Banjarmasin Kalimantan Selatan, 082136427603, e-mail: [email protected] 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK Partograf sebagai alat bantu dalam pemantauan kemajuan persalinan merupakan standar dalam memberikan asuhan persalinan dan berguna untuk mencegah terjadinya keterlambatan penanganan. Hasil studi pendahuluan pada lima wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Banjar menunjukkan 50% bidan di desa dan 30% Bidan Praktik Swasta (BPS) belum memanfaatkan partograf secara rutin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pemanfaatan partograf dan faktor yang terkait oleh bidan di desa dan BPS. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel bebas adalah status kepegawaian yaitu BPS dan bidan di desa. Variabel terikat yaitu pemanfaatan partograf, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, motivasi, dan persepsi supervisi. Pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner terstruktur dan lembar observasi. Populasi penelitian adalah seluruh bidan di desa dan BPS di Kabupaten Banjar. Responden sejumlah 86 orang dipilih secara purposif dan proporsional terhadap jumlah bidan di tiap Puskesmas. Analisis bivariat dilakukan dengan Mann Whitney Test dan analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki pendidikan Diploma III. Rerata umur BPS 39 tahun dan bidan di desa 36 tahun, rerata masa kerja BPS 18 tahun dan bidan di desa 15 tahun. Pemanfaatan partograf oleh BPS lebih tinggi (83,7%) daripada bidan di desa (65,1%). Pengetahuan dan sikap BPS terhadap pemanfaatan partograf baik, sedangkan bidan di desa kurang. Motivasi dan persepsi supervisi BPS dan bidan di desa baik. Pemanfaatan partograf, pengetahuan dan sikap BPS terhadap pemanfaatan partograf lebih baik daripada bidan di desa. Faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan partograf oleh BPS dan bidan di desa adalah sikap. Disimpulkan bahwa pemanfaatan partograf oleh BPS lebih baik daripada bidan desa. Faktor determinan pemanfaatan partograf oleh bidan di desa dan BPS adalah sama, yaitu sikap terhadap pemanfaatan partograf. Kata kunci: Pemanfaatan, Partograf, Bidan di Desa, Bidan Praktik Swasta ABSTRACT Partograph, a supporting tool for monitoring the progress of delivery process, was a standard tool used in a delivery process, and it could be utilized to prevent delayed action. Results of a preliminary study on five work areas of primary healthcare centers (puskesmas) in Banjar district showed that 50% of village midwives and 30% of private practice midwives (BPS) did not use Partograph Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Volume 02 No. 02 Agustus 2014

Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

99

Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor yang Terkait olehBidan di Desa dan Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Banjar ProvinsiKalimantan Selatan

Analysis on the Difference of Partograph Usage and the Associated FactorsBetween Private Practice and Village Midwives in Banjar District South KalimantanProvince

Erni Yuliastuti1, Martha Irene Kartasurya2, Dharminto2

1 Poltekkes Kemenkes, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sadewa 1 No38 RT44 Bumi Pemurus Permai Banjarmasin Kalimantan Selatan, 082136427603, e-mail: [email protected]

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAKPartograf sebagai alat bantu dalam pemantauan kemajuan persalinan merupakan standar dalammemberikan asuhan persalinan dan berguna untuk mencegah terjadinya keterlambatan penanganan.Hasil studi pendahuluan pada lima wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Banjar menunjukkan50% bidan di desa dan 30% Bidan Praktik Swasta (BPS) belum memanfaatkan partograf secararutin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pemanfaatan partograf dan faktor yangterkait oleh bidan di desa dan BPS. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik denganpendekatan cross sectional. Variabel bebas adalah status kepegawaian yaitu BPS dan bidan di desa.Variabel terikat yaitu pemanfaatan partograf, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, motivasi,dan persepsi supervisi. Pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner terstruktur danlembar observasi. Populasi penelitian adalah seluruh bidan di desa dan BPS di Kabupaten Banjar.Responden sejumlah 86 orang dipilih secara purposif dan proporsional terhadap jumlah bidan ditiap Puskesmas. Analisis bivariat dilakukan dengan Mann Whitney Test dan analisis multivariatdengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki pendidikanDiploma III. Rerata umur BPS 39 tahun dan bidan di desa 36 tahun, rerata masa kerja BPS 18 tahundan bidan di desa 15 tahun. Pemanfaatan partograf oleh BPS lebih tinggi (83,7%) daripada bidan didesa (65,1%). Pengetahuan dan sikap BPS terhadap pemanfaatan partograf baik, sedangkan bidandi desa kurang. Motivasi dan persepsi supervisi BPS dan bidan di desa baik. Pemanfaatan partograf,pengetahuan dan sikap BPS terhadap pemanfaatan partograf lebih baik daripada bidan di desa.Faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan partograf oleh BPS dan bidan di desa adalah sikap.Disimpulkan bahwa pemanfaatan partograf oleh BPS lebih baik daripada bidan desa. Faktordeterminan pemanfaatan partograf oleh bidan di desa dan BPS adalah sama, yaitu sikap terhadappemanfaatan partograf.Kata kunci: Pemanfaatan, Partograf, Bidan di Desa, Bidan Praktik Swasta

ABSTRACTPartograph, a supporting tool for monitoring the progress of delivery process, was a standard toolused in a delivery process, and it could be utilized to prevent delayed action. Results of a preliminarystudy on five work areas of primary healthcare centers (puskesmas) in Banjar district showed that50% of village midwives and 30% of private practice midwives (BPS) did not use Partograph

JurnalManajemen Kesehatan Indonesia

Volume 02 No. 02 Agustus 2014

Page 2: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

100

routinely. Objective of this study was to analyze the difference on the utilization of Partograph andrelated factors by village midwives and BPS.This was an observational-analytical study with cross sectional approach. Independent variable wasworker status namely BPS and village midwives. Dependent variables were Partograph utilization,education, working period, knowledge, attitude, motivation, and perception on supervision. Datacollection was done through interview guided by structured questionnaire and observation sheet.Study population was all village midwives and BPS in Banjar district. Study respondents were 86midwives selected purposively and proportionally from each puskesmas. Mann Whitney test was appliedin the bivariate analysis. Logistic regression was applied in the multivariate analysis.Results of the study showed that majority of respondents’ level of education were D3. The average ageof BPS was 39 years old, and for village midwives was 36 years old. The average working period ofBPS was 18 years old, and for village midwives was 15 years old. Utilization of Partograph by BPSwas higher (83.7%) than that of by village midwives (65.1%). Knowledge and attitude of BPS towardPartograph utilization was good; however, it was still insufficient for village midwives. Motivationand perception on supervision by BPS and village midwives were good. A factor affecting the utilizationof Partograph by BPS and village midwives was attitude towards Partograph utilization.In conclusion, utilization of Partograph by BPS was better than by village midwives, and the affectingfactor was attitude.Keywords : Utilization, Partograph, village midwives, private practice midwives

PENDAHULUANMillennium Declaration menempatkan

kematian ibu sebagai prioritas utama yang harusditanggulangi untuk meningkatkan kualitashidup ibu.1 Survey Demografi KesehatanIndonesia (SDKI) tahun 2007 angka kematianibu di Indonesia berjumlah 228 per 100.000kelahiran hidup, masih tinggi untuk pencapaiantarget AKI tahun 2015 yaitu 102 per 100.000kelahiran hidup.2

Kabupaten Banjar sebagai salah satu wilayahdi Kalimantan Selatan dalam masa 3 tahunmenunjukkan adanya peningkatan trend kasuskematian maternal mulai tahun 2008 terdapat 9kasus, 2009 14 kasus dan tahun 2010 meningkatmenjadi 16 kasus. Walaupun pada tahun 2011kasus kematian maternal mengalami penurunan,tetapi masih menempati urutan empat tertinggikasus kematian maternal di Provinsi KalimantanSelatan yakni sebanyak 12 kasus atau 118,8 per100.000 kelahiran hidup. Kasus kematian maternalpaling banyak terjadi pada saat persalinan yaitusebanyak 6 kasus (50%), sebanyak 5 kasus (41,7%)terjadi dalam masa nifas dan 1 kasus (8,3%) terjadipada masa kehamilan.3 4

Kematian ibu bersalin disebabkanketerlambatan dalam mengenali risiko tinggi ibubersalin.5 Pemantauan persalinan dengan

partograf dapat menghindari tiga keterlambatanyang bisa menyebabkan kematian maternal danbayi karena dapat menghindari persalinanterlantar, menegakkan keadaan patologis sedinimungkin dan selanjutnya dilakukan rujukanuntuk mendapat pertolongan.6

Bidan sebagai pemberi pelayanan kebidananmerupakan ujung tombak dalam menurunkanangka kematian ibu. Bidan di desa dan bidanpraktik swasta mempunyai akses paling dekatdengan masyarakat dan merupakan tenagakesehatan yang paling banyak memberikanpertolongan persalinan. Pemanfaatan partografsebagai alat bantu pemantauan persalinanmenjadi standar asuhan persalinan menjadi halyang penting karena bidan di desa dan BidanPraktik Swasta (BPS) sebagai pelaksanapelayanan kebidanan di tingkat dasar danpelayanan rujukan primer.7

Sebanyak 50% bidan di desa belummemanfaatkan partograf secara rutin denganalasan merasa kesulitan dan memerlukan waktuyang lama dalam pemantauan karena persalinandilaksanakan di rumah pasien sertapencatatannya yang rumit. Tiga puluh persen(30%) BPS belum memanfaatkan partograf.Mereka beralasan bahwa deteksi penyulitpersalinan sudah dapat dilakukan dengan

Page 3: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

101

pengalaman menolong atau feeling sehinggamenganggap penggunaan partograf hanyamembuang-buang waktu saja dan juga tidakberpengaruh pada tugas serta karir mereka.Tempat pertolongan persalinan dirumah pasienjuga menjadi alasan kurangnya pemanfaatanpartograf sebagai alat bantu persalinan.

Permasalahan bidan dalam pemanfaatanpartograf sebagai alat bantu pertolonganpersalinan menunjukkan kinerjanya dalammemberikan asuhan persalinan. Kinerjamerupakan sesuatu yang secara aktual orangkerjakan dan dapat diobservasi. Kinerja individudipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancanganpekerjaan, manajemen pekerjaan dankarakteristik individu. Karakteristik individumencakup dorongan, sifat/ watak, citra diri,pengetahuan akan menentukan bagaimanaperilaku orang dalam bekerja.8

METODE PENELITIANJenis penelitian ini adalah observasional

analitik dengan pendekatan cross sectional.Variabel bebas adalah status kepegawaian (BPSdan bidan di desa). Variabel terikat yaitupemanfaatan partograf, pengetahuan, sikap,motivasi, persepsi supervisi, pendidikan danmasa kerja. Pengumpulan data melaluiwawancara dengan kuesioner terstruktur danlembar observasi. Populasi penelitian adalahseluruh bidan di desa dan BPS di KabupatenBanjar. Responden sejumlah 86 orang dipilihsecara purposif dan proporsional terhadap jumlahbidan di Puskesmas. Analisis bivariat dilakukandengan Mann Whitney Test dan analisismultivariat dengan regresi logistik.

HASIL DAN PEMBAHASANDi Kabupaten Banjar terdapat 251 bidan

desa yang tersebar hampir di seluruh desa.Disamping bidan desa terdapat 87 BPS yangtersebar di 8 wilayah kerja Puskesmas di daerahperkotaan dari 23 Puskesmas yang ada diKabupaten Banjar.

Karakteristik Responden PenelitianRerata umur BPS lebih tua (39 tahun)

dibandingkan dengan umur bidan di desa (36tahun). Kemampuan dan keterampilan seseorang

seringkali dihubungkan dengan umur, sehinggasemakin tua umur seseorang maka semakinbanyak pengalaman bekerja dan keterampilanyang didapat.9 Semakin tua umur seseorang makasemakin baik dalam bersikap dan berperilakukarena kematangan psikologis sehingga kecen-drungan untuk melaksanakan pekerjaan sesuaidengan standar seperti memanfaatkan partografsetiap menolong persalinan juga lebih tinggi.

Pelatihan yang didapatkan oleh bidan masihbelum merata, 39,9% bidan di desa masih belummendapatkan pelatihan. Padahal dengan adanyapelatihan akan dapat meningkatkan pengetahuandan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi. Pelatihan adalah suatu proses untukmengisi kesenjangan antara apa yang dikerjakanseseorang dan siapa yang seharusnya mampumengerjakannya. Latihan akan membentuk dasardengan menambah keterampilan dan pengetahuanyang diperlukan untuk memperbaiki prestasidalam mengembangkan potensinya untuk masayang akan datang.

Gambar 1. Pendidikan BPS

Gambar 2. Pendidikan Bidan di Desa

Bidan di desa dan BPS sebagian besar(69,8%) memiliki tingkat pendidikan D III.Beberapa bidan di desa dan BPS berpendidikantinggi (pendidikan D IV dan S2), namun masihada sebagian responden yang berpendidikanDiploma I. Tingkat pendidikan Diploma III

Page 4: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

102

merupakan pendidikan minimal bagi seorangbidan dalam menjalankan praktik mandiri dansyarat sebagai tenaga bidan profesional. Semakintinggi tingkat pendidikan maka akanmeningkatkan kualitas kerja yang lebih baik.Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsurkarakteristik seseorang yang dapat meningkatkanpengetahuan sebagai respon kognitif, afektif danpsikomotor seseorang. Salah suatu kewajibanbidan dalam melaksanakan praktik/ kerjanya yaknisenantiasa meningkatkan mutu pelayananprofesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi melalui pendidikandan pelatihan sesuai bidang tugasnya.10 Tingkatpendidikan formal merupakan tingkat intelektualatau tingkat pengetahuan seseorang.7

Rerata masa bekerja BPS lebih lamadibandingkan dengan bidan di desa. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaanmasa kerja antara bidan di desa dan BPS (p=0,001).Pengalaman yang dimiliki oleh responden dalammelaksanakan tugas sebagai seorang bidan sudahcukup banyak. Karena masa kerja yang dimilikirata-rata sudah mencapai 15 tahun. Rata-rata BPSmemiliki masa kerja lebih lama dibandingkandengan bidan di desa. Hal ini karena bidan di desabanyak yang berasal dari pengangkatan PNS yangbaru atau dari mereka yang sudah beberapa tahunmenjadi tenaga PTT (Pegawai Tidak Tetap) yangumurnya relatif muda. Sedangkan BPS banyak yangberasal dari bidan senior dan sudah terkenal dilingkungan masyarakatnya karena lama masa kerjadan pengalamannya. Hal ini menunjukkanpengalaman yang dimiliki oleh BPS dalammelaksanakan tugas sebagai seorang bidan sudahcukup banyak

Masa kerja biasanya dikaitkan dengan waktumulai bekerja dimana pengalaman kerja ikutmenentukan kinerja seseorang, karena semakinlama bidan bekerja maka semakin meningkatpengalaman dan kecakapan sebagai bidan. Sejalandengan Siagian yang menyebutkan bahwapengalaman seseorang melakukan tugas tertentusecara terus menerus dalam waktu yang lama akanmeningkatkan kedewasaan teknisnya.10

Perbedaan Pemanfaatan Partograf antaraBidan di Desa dan BPS

Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa

semua data tidak berdistribusi normal, makadigunakan Mann-Whitney test. Uji ini untukmengetahui perbedaan antara dua sampelindependent yaitu bidan di desa dan BPS darimasing-masing variabel dependent.

Gambar 3. Pemanfaatan Partograf oleh BPS

Gambar 4. Pemanfaatan Partografoleh Bidan Desa

Pemanfaatan partograf sebagian besar baikyaitu oleh BPS (83,7%) dan bidan di desa (65,1%).Tabel 1 menggambarkan rerata pemanfaatanpartograf oleh BPS lebih tinggi dari bidan di desa.Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan adanyaperbedaan dalam pemanfaatan partograf olehbidan di desa dan BPS yaitu dengan nilai p=0,001.

Penilaian terhadap pencatatan item-item yangada di partograf menunjukkan adanya perbedaanantara bidan di desa dan BPS, dimana persentasiBPS lebih tinggi dalam melakukan pencatatansecara lengkap dan benar. Hasil observasi partografbidan di desa pada item yang tidak dicatatpersentasinya lebih tinggi yaitu penilaian molasekepala janin, penilaian nadi ibu dan produksi urineibu. Masih banyak BPS yang kurang tepatmelakukan analisa hasil pencatatan tentangpemeriksaan kondisi janin dan intervensinya,pemeriksaan kondisi ibu dan intervensinya.

Pencatatan hasil penilaian dalam partografharus dilakukan secara benar. Karena pencatatanyang salah akan menimbulkan kekeliruan dalammenganalisa hasil pemeriksaan dan menetapkan

Page 5: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

103

diagnosa, yang dapat berakibat pada keter-lambatan dalam deteksi dini adanya penyulitpersalinan dan dalam pengambilan keputusanklinik yang tepat dan keterlambatan untukmemberikan intervensi secara tepat yang dapatmembahayakan keselamatan ibu dan janin.

Perbedaan Determinan PemanfaatanPartograf antara Bidan di Desa dan BPS

Gambar 5. Pengetahuan Bidandi Desa tentang Partograf

Gambar 6. Pengetahuan BPStentang Partograf

Pengetahuan BPS tentang partograf sebagianbesar baik, sedangkan pada bidan di desasebagian besar kurang. Rerata pengetahuan BPSlebih tinggi dari pada bidan di desa. Hasil ujiMann-Whitney menunjukkan bahwa terdapatperbedaan pengetahuan tentang partograf olehbidan di desa dan BPS (p=0,023).

Pengetahuan bidan di desa dan BPS adalahbaik. Pengetahuan yang kurang oleh bidan didesa yakni tentang pengertian partograf, carapemeriksaan untuk menilai penurunan bagianterbawah janin, jarak waktu antara garis waspadadan garis bertindak sebagai salah satupertimbangan rujukan. Sedangkan pada BPSpengetahuan yang kurang tentang carapemeriksaan untuk menilai penurunan bagianterbawah janin dan jenis pemeriksaan penilaiankondisi janin.

Pengetahuan tentang partograf merupakansalah satu kompetensi yang harus dimiliki olehseorang bidan dalam memberikan asuhanpersalinan sesuai standar pelayanan kebidanan.Karena dengan pengetahuan seseorang akanmemiliki dasar untuk melakukan tindakan.Pengetahuan BPS tentang partograf lebih baikdibandingkan dengan bidan di desa. Hal iniditunjang oleh pendidikan formal yakni sebagianbesar memiliki pendidikan menengah (D III) danpendidikan tinggi (D IV). Pengalaman kerja yanglebih lama dan hampir semua BPS sudah pernah

Variabel Status Mean / Median

Minimum Maksimum p

Bidan desa 50 0 – 62 Pemanfaatan Partograf BPS 57 0 – 63 0,001

Bidan desa 14 9 – 17 Pengetahuan BPS 15 12 - 17 0,023

Bidan desa 40 38 - 57 Sikap BPS 47,5 44 - 58 0,033

Bidan desa 33 27 - 39 Motivasi BPS 32,1 18 - 40 0,523

Bidan desa 30 27 - 39 Persepsi Supervisi BPS 30 20 - 39 0,979

Bidan desa 15 2 - 30 Masa Kerja BPS 18 2 – 22 0,001

Tabel 1. Deskripsi Pemanfaatan Partograf, Pengetahuan, Sikap, Motivasi, Persepsi Supervisi, MasaKerja antara Bidan di Desa dan BPS

Page 6: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

104

mengikuti pelatihan-pelatihan yang dapatmenjadi salah satu faktor penunjangpengetahuan.

Tingkat pendidikan merupakan salah satuunsur karakteristik seseorang yang dapatmeningkatkan pengetahuan sebagai responkognitif, afektif, dan psikomotor seseorang.Pengetahuan yang kurang baik tentangpencatatan partograf juga bisa mempengaruhiterhadap kemampuan bidan dalam membuatkeputusan klinik yang tepat sebagai tindakanyang diambil untuk menyelamatkan jiwa pasien.

Gambar 7. Sikap Bidan di Desa terhadapPemanfaatan Partograf

Gambar 8. Sikap BPS terhadap PemanfaatanPartograf

Sikap BPS terhadap pemanfaatan partografbaik sedangkan pada bidan di desa sebagian besarkurang. Rerata sikap BPS lebih tinggi daripadabidan di desa. Hasil uji Mann-Whitneymenunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikapterhadap pemanfaatan partograf oleh bidan didesa dan BPS (p=0,033).

Perbedaan sikap ini dimungkinkan karenatempat pertolongan persalinan yang digunakanoleh bidan didesa dan BPS. Pemanfaatanpartograf oleh bidan di desa sulit dilakukansecara maksimal karena tempat persalinan yangkurang mendukung dalam melakukanpemantauan persalinan. Pemantauan persalinanyang lama dan pemeriksaan / penilaian kondisiibu serta janin yang harus dilakukan dalam jarak

waktu yang dekat dan teratur menjadi masalahtersendiri bagi bidan di desa yang harusmenolong persalinan dirumah pasien.Pertolongan persalinan yang dilakukan di rumahpasien juga mengakibatkan pemantauankemajuan persalinan tidak maksimal dankeadaan abnormal yang mungkin terjadi selamaproses persalinan menjadi terlambat untukditangani karena tidak terdeteksi lebih awal. Halini terjadi karena selama kala I persalinan bidanhanya melakukan pemeriksaan setiap beberapajam atau bila sudah mendekati perkiraan waktupersalinan. Alasan tersebut bertentangan dengankonsep partograf sebagai alat untuk memantaukemajuan persalinan dan dapat mendeteksi diniproses persalinan yang abnormal.11

Pertolongan persalinan oleh BPS dilakukandi klinik bersalin memungkinkan BPS untuklebih mudah dalam melakukan pemantauankemajuan persalinan dengan partograf karenabisa dengan mudah melakukannya tanpa adamerasa tidak nyaman dengan adanyapendamping ibu bersalin disekitarnya. Keadaanini berbeda dengan bidan desa yangmelaksanakan pertolongan persalinan di rumahpasien yang selalu didampingi oleh banyak orangdi sekitar ibu yang akan bersalin sehinggamembuat bidan merasa sulit dalam melakukanpemeriksaan umtuk memantau kemajuanpersalinan dengan partograf. Perilaku bekerjaseseorang sangat dipengaruhi oleh sikap dalambekerja. Sedangkan sikap seseorang dalammemberikan respon terhadap masalahdipengaruhi oleh kepribadian seseorang. Perilakuini dapat dirubah dengan meningkatkanpengetahuan dan memahami sikap yang positifdalam bekerja.9

Motivasi BPS dan bidan di desa terhadappemanfaatan partograf baik (51,2%). Reratasikap BPS lebih tinggi daripada bidan di desa.Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwatidak terdapat perbedaan motivasi terhadappemanfaatan partograf oleh bidan di desa danBPS (p=0,523).

Hampir semua bidan menunjukkan motivasiyang baik dalam pemanfaatan partograf sebagaialat bantu dalam memantau proses persalinan. Halini mereka tunjukkan dari pernyataan tentang rasatanggungjawabnya dalam melakukan asuhan

Page 7: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

105

persalinan dengan memanfaatkan partograf secarabenar dan lengkap, juga menyadari denganmenggunakan partograf secara rutin dapatmeningkatkan kemampuan manganalisis masalahyang terjadi dalam persalinan. Motivasi bidandalam menggunakan partograf dalam masapersalinan juga ditentukan oleh sejauh mana iadidukung oleh keterampilan / keahliannya dalammengisi partograf. Menyadari akan pentingnyatugas dan tanggungjawab tersebut,profesionalisme dalam bekerja menjaditanggungjawab individu untuk meningkatkankualitas kerjanya. Ini berarti semakin baikmotivasi seorang bidan maka akan semakin baikpula kinerjanya dalam pemanfaatan partograf.Asumsinya semakin terampil seseorang dalampekerjaan tertentu maka akan semakin mendorongpenampilan kerja yang baik dan unggul.9

Persepsi supervisi BPS (72,1%) dan bidandi desa (74,4%) dengan pemanfaatan partografsebagian besar baik. Rerata persepsi supervisiBPS maupun bidan desa sama. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak adaperbedaan persepsi supervisi antara bidan di desadan BPS (p=0,979).

Peran dan perhatian bidan koordinator dalammemantau pemanfaatan partograf ditunjukkandengan menekankan penggunaan partograf setiapmenolong persalinan dan melakukan koreksiterhadap kelengkapan serta ketepatan isi partograf.Hampir semua responden setuju bila supervisi olehbidan koordinator dilakukan secara rutin danberkala 3 bulan sekali. Mereka berharap peran danperhatian bidan koordinator dalam memberikanbimbingan terutama tentang pencatatan partografdapat maksimal. Kegiatan supervisi ini dapatmeningkatkat motivasi, pengetahuan, sikap yangbaik terhadap pemanfaatan partograf dalammemberikan asuhan persalinan.12 Sejalan denganprinsip supervisi adalah untuk lebih meningkatkanpenampilan, bukan mencari kesalahan, bersifatedukatif dan dilakukan secara teratur dan berkala.13

Determinan Pemanfaatan Partograf padaBidan di Desa

Hasil uji regresi logistik menunjukkan sikapmempunyai pengaruh yang signifikan (p=0,039)dan memiliki pengaruh paling besar terhadappemanfaatan partograf oleh bidan di desa.

Variabel sikap tersebut mempunyai koefisienbernilai positif yang berarti peningkatanpemanfaatan partograf oleh bidan di desa sangatdipengaruhi oleh sikap bidan di desa terhadappemanfaatan partograf.

Sikap bidan di desa tentang kesadaran dantanggungjawab masih kurang dalampemanfaatan partograf. Pemanfaatan partografoleh bidan di desa karena mempunyai tujuantertentu misalnya untuk mengklaim pergantiandana persalinan, sebelum melaksanakan rujukandan sebagian besar melaksanakan pencatatanpartograf setelah selesai menolong persalinan.Pemanfaatan partograf oleh bidan di desa sulitdilakukan secara maksimal karena tempatpersalinan yang kurang mendukung dalammelakukan pemantauan persalinan. Pemantauanpersalinan yang lama dan pemeriksaan /penilaian kondisi ibu serta janin yang harusdilakukan dalam jarak waktu yang dekat menjadimasalah tersendiri bagi bidan di desa yang harusmenolong persalinan dirumah pasien. Alasantersebut bertentangan dengan konsep partografsebagai alat untuk memantau kemajuanpersalinan dan dapat mendeteksi dini prosespersalinan yang abnormal.11

Determinan Pemanfaatan Partograf padaBPS

Hasil uji regresi logistik menunjukkan sikapmempunyai memiliki pengaruh paling besarterhadap pemanfaatan partograf oleh BPS (ExpB=4,439). Sikap BPS terhadap pemanfaatanpartograf dipengaruhi oleh adanya tujuan tertentumisalnya untuk mengklaim pergantian danapersalinan, sebelum melaksanakan rujukan danadanya perjanjian kerjasama dengan pihakPuskesmas (dana Jampersal).

Pertolongan persalinan oleh BPS dilakukandi klinik bersalin memungkinkan BPS untuklebih mudah dalam melakukan pemantauankemajuan persalinan dengan partograf. Keadaanini berbeda dengan bidan desa yangmelaksanakan pertolongan persalinan di rumahpasien yang selalu didampingi oleh banyak orangdi sekitar ibu yang akan bersalin sehinggamembuat bidan merasa sulit dalam melakukanpemeriksaan untuk memantau persalinan denganpartograf. BPS yang tidak memanfaatkan

Page 8: Analisis Perbedaan Pemanfaatan Partograf dan Faktor-faktor

106

partograf beralasan bahwa mereka tidakmempunyai kewajiban untuk membuat partografkarena tidak terikat perjanjian kerjasama denganpihak puskesmas di wilayah mereka berpraktik.

KESIMPULANDisimpulkan bahwa pemanfaatan partograf

oleh BPS lebih baik daripada bidan di desa.Faktor determinan pemanfaatan partograf olehbidan di desa dan BPS adalah sama, yaitu sikapterhadap pemanfaatan partograf.

DAFTAR PUSTAKA1. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan

Indonesia. Jakarta; 2008.2. Badan Pusat Statistik. Survey Demografi dan

Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: DepkesRI 2008.

3. Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. ProfilDinas Kesehatan Kabupaten Banjar.Martapura; 2011.

4. Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar.Laporan Tahunan Bidang KesehatanKeluarga Tahun 2010. Martapura; 2010.

5. Departemen Kesehatan RI. PedomanPelayanan Kebidanan Dasar. Jakarta:Dirjen Binkesmas; 2001.

6. Manuaba IGB. Kapita SelektaPenatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologidan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC;2001.

7. Ahmadi A. Ilmu Pendidikan. Jakarta: RinekaCipta; 2003.

8. Sudarmanto. Kinerja dan PengembanganKompetensi SDM. Cetakan Pertama.Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2009.

9. Gibson JL DJH. Organisasi PerilakuStruktur Proses, Jilid I. Jakarta: Bina RupaAksara; 1997.

10. Siagian S.P. Teori Motivasi dan Aplikasinya.Jakarta: Rineka Cipta; 2012.

11. Departemen Kesehatan RI. Buku AcuanPelatihan Klinik APN. Jakarta: JNPK-KR;2008.

12. Notoatmodjo. Pengantar Pendidikan danIlmu Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama.Jakarta: Rineka Cipta; 2003.

13. Wirawan. Evaluasi Kinerja. Jakarta: RinekaCipta; 2009.