24
Referensi Buat yang Ada Dalam Partai Amirul Mukminin fil hadits Imam Bukhari, dalam Ash Shahihnya, beliau menggulirkan sebuah istimbath “bab berilmu sebelum berkata dan bertindak”. Beliau mengajak umat agar tidak sembrono dalam setiap ucapan yang terlontar atau tindakan respon terhadap satu masalah kecuali telah memahami seluk beluknya dengan baik, supaya , positif dan negatifnya. Tulisan di bawah ini yang terkemas dalam dialog ringan, ingin menggandeng anda menuju apa yang diutarakan oleh Imam Bukhari . Selamat menyimak! Menyikapi Program Jusuf 2004 Tanya (T): Sementara kaum kafir sibuk menyukseskan program “Jusuf 2004″, untuk memuluskan jalan seorang kristiani menduduki kursi presiden RI, kok justru ada orang yang membid’ahkan partai politik, padahal sebagian cendekiawan dan intelektual muslim juga para ulama menggunakan kendaraan partai politik untuk menyuarakan Islam? Jawab (J): Akhi, jangan terburu-buru antipati dengan persepsi itu. Mereka pasti juga mempunyai argumentasi yang melatarbelakanginya .. Dalam polemik ini, saya lihat ada dua sudut pembahasan yang berbeda. Pertama adalah berkait dengan “Program Jusuf 2004″, dan yang kedua teriakan pembid’ahan partai politik. Dua hal di atas muncul pada masa yang berbeda, pada awalnya tidak saling mempengaruhi. Jadi ya tidak tepat, kalau diasumsikan bahwa suara pembid?ahan partai politik lantang gara-gara pengguliran “Jusuf 2004″. Janganlah dikesankan seperti itu, kita harus bijaksana dalam menyimpulkan suatu permasalahan. T: Jadi, bagaimana seharusnya kita melihat dua fakta ini? J: Sebenarnya pembid’ahan partai politik itu telah mendapatkan porsi atensi para ulama seiring “kelahiran” demokrasi. Bahkan kalau dicermati betul, kitab-kitab ulama terdahulu pun telah menyinggungnya. Mereka tentunya berbicara dalam koridor Kitabullah dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan pertimbangan “cacat-cacat bawaan” sistem tersebut. Adapun proyek “Jusuf 2004″ adalah

Amirul Mukminin Fil Hadits Imam Bukhari

Embed Size (px)

Citation preview

Referensi Buat yang Ada Dalam Partai

Amirul Mukminin fil hadits Imam Bukhari, dalam Ash Shahihnya, beliau menggulirkan sebuah istimbath “bab berilmu sebelum berkata dan bertindak”. Beliau mengajak umat agar tidak sembrono dalam setiap ucapan yang terlontar atau tindakan respon terhadap satu masalah kecuali telah memahami seluk beluknya dengan baik, supaya , positif dan negatifnya. Tulisan di bawah ini yang terkemas dalam dialog ringan, ingin menggandeng anda menuju apa yang diutarakan oleh Imam Bukhari . Selamat menyimak! Menyikapi Program Jusuf 2004

Tanya (T): Sementara kaum kafir sibuk menyukseskan program “Jusuf 2004″, untuk memuluskan jalan seorang kristiani menduduki kursi presiden RI, kok justru ada orang yang membid’ahkan partai politik, padahal sebagian cendekiawan dan intelektual muslim juga para ulama menggunakan kendaraan partai politik untuk menyuarakan Islam?

Jawab (J): Akhi, jangan terburu-buru antipati dengan persepsi itu. Mereka pasti juga mempunyai argumentasi yang melatarbelakanginya .. Dalam polemik ini, saya lihat ada dua sudut pembahasan yang berbeda. Pertama adalah berkait dengan “Program Jusuf 2004″, dan yang kedua teriakan pembid’ahan partai politik. Dua hal di atas muncul pada masa yang berbeda, pada awalnya tidak saling mempengaruhi. Jadi ya tidak tepat, kalau diasumsikan bahwa suara pembid?ahan partai politik lantang gara-gara pengguliran “Jusuf 2004″. Janganlah dikesankan seperti itu, kita harus bijaksana dalam menyimpulkan suatu permasalahan.

T: Jadi, bagaimana seharusnya kita melihat dua fakta ini?

J: Sebenarnya pembid’ahan partai politik itu telah mendapatkan porsi atensi para ulama seiring “kelahiran” demokrasi. Bahkan kalau dicermati betul, kitab-kitab ulama terdahulu pun telah menyinggungnya. Mereka tentunya berbicara dalam koridor Kitabullah dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan pertimbangan “cacat-cacat bawaan” sistem tersebut. Adapun proyek “Jusuf 2004″ adalah masalah terkini, yang memerlukan pemutaran otak dari segenap elemen umat termasuk ulama tersebut, demi memformulakan solusi stregisnya. Sangat tidak mungkin, para ulama yang memfatwakan bid’ahnya partai politik itu akan bereaksi “dingin” atau “mengkampayekan” golput, sementara kaum salibis sedang berambisi serius mengincar kursi RI 1. Sekali lagi, kita harus sedikit bijaksana dalam berpikir dan perlu klarifikasi dari mereka.

T: Sebagai seorang muslim, apa tindakan kita dalam menyikapi “Jusuf 2004″ itu?

S: Sesuai dengan kemampuan masing-masing, karena Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali dengan apa yang kira-kira menjadi kewajibannya. Sebagai seorang muslim kita berkewajiban untuk membocorkan program jahat ini kepada kaum muslimin agar mereka waspada sebab musuh sedang mengincar kita. Kita harus informasikan di mimbar-mimbar, masjid-masjid dan majlis ta’lim.

T: Lalu, apa tindakan konkritnya?

J: Sasaran orang-orang kafir itu adalah pemilu. Mereka pasti akan menyusup dalam partai-partai yang berkedok nasionalisme dan mengelabui kaum muslimin. Maka cara kita adalah mencoblos partai-partai Islam yang menyuarakan Islam dan membela kaum muslimin. Hal ini bertumpu pada prinsip “irtikab akhoffidh dhararain li daf’i a’dzamihima” (memperkecil kerusakan atau mencegah mafsadah yang lebih besar dengan melakukan mafsadah yang lebih kecil).

T: Kalau begitu, partai-partai manakah yang antum anjurkan untuk dicoblos?

J: Partai apa saja, asalkan mengaku berasaskan Islam. Namun seharusnya kita memilih partai yang kita nilai paling komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari partai Islam yang ada di lapangan.

T: Saya setuju sekali, tidakkah sebaiknya kita bergabung dengan mereka?

J: Benar sekali, saya siap bergabung dengan mereka dalam segala bentuk amar ma’ruf nahi munkar bil hikmah. Menyadarkan kaum muslimin tentang program Jusuf 2004 ini juga bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar tadi. Sekali lagi insya Allah saya siap. Bukankah begitu yang dimaksud?

T: Maksud saya, kita bergabung dengan salah satu partai tersebut, memakai baju mereka dan berdakwah dengan cara mereka!?.

J: Kalau demikian maksud akhi. Baiklah, sekarang tolong akhi amati, partai apakah yang memenuhi kriteria hizbullah (”partai” Allah). Sebab, Allah hanya memerintahkan saya untuk memilih dan bergabung dengan partai tersebut.

T: Setahu saya, semua partai Islam mengatakan bahwa mereka memperjuangkan Islam, tentunya mereka semuanya hizbullah.

J: Hizb-Allah itu cuma satu, karena dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata “Hizb” (singular) yang artinya “satu partai.”

T: Kalau begitu, tolong antum rincikan dulu sifat-sifat hizbullah itu, baru nanti akan saya cocokkan dengan partai-partai yang ada.

J: Baiklah, sebenarnya banyak ciri-cirinya, tapi saya akan sebutkan satu saja sebagai contoh, yaitu memelihara dan mengusahakan persatuan kaum muslimin, karena Allah telah memerintahkan kita untuk bersatu dan melarang bercerai berai.

T: Setahu saya, semua partai Islam juga menyerukan kepada persatuan umat.

J: Kalau memang mereka semua mengklaim demikian, lalu mengapa mereka tetap berusaha mengeksiskan partainya masing-masing. Kadang-kadang kalau ada masalah, mereka hanya berganti nama, tidak berusaha untuk mengajak semua partai Islam untuk melebur. Apakah menurut akhi persatuan model ini akan terwujud dengan satu partai atau

banyak partai? Di negeri kita, satu partai saja bisa punya anak angkat.. Akhi harus selalu ingat, bahwa persatuan Islam itu ibarat sebuah lingkaran besar. Biarkanlah lingkaran besar kaum muslimin itu tetap satu, jangan diiris-iris menjadi lingkaran-lingkaran kecil.

T: Kalau begitu, saya yakin pasti Partai fulan itulah partai Hizbullah, karena dalam kampanye mereka, mereka lebih sering menyerukan persatuan kaum muslimin.

J: Saya ingin balik bertanya, apakah sewaktu mengatakan itu dalam kampanye mereka, mereka memakai suatu atribut khusus?

T: Ya, tentu mereka memakai lambang, bendera dan seragam mereka.

J: Hal itu sudah cukup kita katakan bahwa mereka telah membuat sebuah lingkaran kecil di dalam sebuah lingkaran besar. Karena lingkaran besar Islam tidak mempunyai lambang, bendera dan seragam. Bahkan hal itu pun sudah cukup untuk membuat orang Islam yang lain merasa berbeda dengan umat Islam yang memakai atribut dan seragam tersebut.

T: Tapi Fulan sering mengatakan bahwa mereka tidak menuntut untuk dipilih, yang penting kita memilih salah satu partai Islam. Bukankah ini kalimat yang haq?

J: Seandainya mereka menyerukan agar umat Islam memilih mereka atau mengajak bergabung menjadi anggota partai mereka, maka inilah yang saya namakan membuat lingkaran kecil. Namun apabila mereka menyerukan untuk memilih partai apa saja asalkan partai Islam, maka perkataan ini adalah hipokrit (munafik), karena jelas-jelas setiap partai itu mempunyai target. Adapun target adalah harapan, harapan tentunya akan dibarengi dengan usaha untuk mencapainya, yaitu membujuk massa .. Lalu untuk apa ditentukan target?

K: Kalau begitu, apa konsep persatuan Islam menurut antum?

S: Yaitu sebuah lingkaran besar kaum muslimin yang mengatakan Lailaaha Illallah Muhammad Rasulullah, menjalankan kitabullah, Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (salafush shalih). Maka mereka itu adalah saudara, sehingga wajib dibela. Yang di luar pagar itu adalah musuh.

T: Kalau melihat konsep yang sederhana itu, saya berkesimpulan bahwa Islam itu ya Islam, tidak butuh lagi dengan organisasi atau perkumpulan?

J: Organisasi/perkumpulan itu bisa saja diperlukan, sebagai wadah dakwah dan menyerukan manusia kepada lingkaran besar Islam. Tapi kalau organisasi, perkumpulan, muassasah, partai itu dibentuk untuk menarik massa kepada himpunan mereka, maka mereka telah membuat sebuah lingkaran kecil di dalam lingkaran besar kaum muslimin. Organisasi seperti inilah yang justru akan memecah belah umat. Imam Malik berkata: “Apabila anda melihat suatu kelompok dalam Islam yang menyerukan umat Islam masuk

kepada kelompoknya, bukan menyerukan kepada Islam, maka ketahuilah bahwa kelompok itu adalah sesat”.

T: Tapi pada kenyataanya umat Islam itu sendiri telah berkelompok- kelompok, dan setiap kelompok mempunyai ciri-ciri tertentu.

J: Itu adalah realita yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun demikian, kita tidak boleh pasrah, kita dituntut untuk terus berusaha membentuk persatuan umat dan jangan bercerai berai karena itu adalah perintah Allah dalam Al-Qur’an.

T: Kalau begitu, bagaimana kalau kita rangkul saja semua kelompok-kelompok Islam itu, mulai dari Syi’ah yang menghujat para shahabat radhiyallahu ‘anhum, demikian juga Ahmadiyah yang mengaku punya nabi baru, juga Islam Jama’ah yang menganggap orang di luar kelompoknya najis, sampai semua kelompok di kalangan ahlu sunnah, yang penting mereka mengaku tuhan kami adalah Allah dan Nabi kami adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu kita berjuang dalam sebuah partai untuk kemenangan Islam dengan sementara tanpa memperdulikan tidak memperselisihkan perbedaan prinsip. Bagaimana menurut anda?

J: Cara seperti itu tidak akan pernah berhasil dalam konsep demokrasi itu sendiri. Coba akhi pikirkan, anggap saja dengan cara itu akhirnya umat Islam akan menang dan meraih suara terbanyak, lalu apa kira-kira yang akan terjadi?

T: Tentunya kita bisa menerapkan hukum Islam dengan leluasa.

J: Hukum Islam yang bagaimana? Yang sesuai dengan Kitab dan sunnah seperti pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dulu, atau hukum Islam yang mengakomodasi seluruh pemahaman nyleneh yang ada pada kelompok-kelompok yang bersatu itu? Akhi harus ingat, di dalam konsep demokrasi, setiap orang berhak untuk menuntut haknya. Kaum Syi’ah akan meminta masjid untuk menghujat para shahabat. Sunni Quburiyyun akan tetap minta diperbolehkan berkunjung ke kuburan-kuburan. Semua sekte yang telah berhasil memenangkan partai kita, akan meminta kebebasan beribadah sesuai dengan cara mereka, atas nama demokrasi.

T: Jadi menurut antum, tidak mungkin kita bisa menerapkan hukum Islam yang shahih, setelah kita memenangkan pemilu tersebut?

J: Mustahil menurut konsep demokrasi. Karena persatuan Islam dengan cara itu hanyalah persatuan tanpa nyawa, bukan persatuan Islam sesungguhnya. Setiap kelompok yang berbeda-beda itu akan kembali menuntut haknya masing-masing dengan mengatasnamakan demokrasi.

T: Kalau begitu, adakah cara lain untuk menunaikan perintah Allah agar kita menuju persatuan Islam?

J: Seperti telah saya katakan, realitas perpecahan umat ini telah disinyalir oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sejak empat belas abad yang lalu, dengan tidak lupa menyertakan solusinya..

K: Apa jalan keluar menurut beliau shalallahu ‘alaihi wasallam ?

S: Yaitu “kembali kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. Kalau dikatakan “kembali”, maka hal itu akan mempunyai dua makna, pertama, orangnya telah menyimpang terlalu jauh, kedua, lintasan yang dilalui keliru atau rambu-rambunya telah ternoda. Maka untuk membuat “pejalan kakinya” bisa kembali, kita harus memberikan arahan kepadanya, berupa pendidikan intensif (tarbiyah) agar orang tersebut bisa mencari jalan pulang. Adapun terhadap “jalannya”, maka kita harus benahi jalan itu, dengan mencungkli nodaa-noda yang berkarat pada rambu-rambunya supaya tajam kembali petunjukknya (tashfiyah) agar orang lain tidak terperosok dalam jalan yang salah. Melalui hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan solusi metode dakwah di akhir zaman, ketika umat Islam telah terkotak-kotak. . Inilah metode dakwah menuju persatuan yang haqiqi, yaitu persatuan jasadi war ruuhi.

T: Memang begitulah idealnya. Karena dengan bersatunya pemahaman, maka otomatis jasadnya pun akan padu. Namun demikian, jalan kemenangan itu kan panjang untuk ditapaki.

J: Lama atau cepat bukan urusan kita. Itu urusan Allah. Kita tidak dituntut untuk cepat-cepat. Bahkan kemenangan itu sendiri pun bukan suatu target.. Kemenangan pada hakekatnya adalah anugerah dari Allah. Contohnya; tatkala Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berjuang menegakkan bendera tauhid dan memberantas praktek-praktek kesyirikan di tanah arab, beliau mengaca pada tradisi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam berdakwah, Allah menganugerahkan kenikmatan via dakwah beliau sebuah negara Islam Arab Saudi. Kewajiban diri kita adalah bagaimana kita menunaikan jalan menuju kemenangan tersebut sesuai dengan konsep nubuwwah. Coba akhi ingat kembali kisah para nabi yang dibunuh oleh Bani Israil, beberapa nabi yang tidak mempunyai pengikut satu pun atau kaum nabi Nuh yang ingkar terhadap utusan-Nya padahal beliau sudah maksimal dalam berdakwah selama 950 tahun. Apakah Allah lantas menyalahkan mereka; para nabi tersebut karena tidak bisa mendirikan negara Islam?. Tidak! Sebab mereka telah melaksanakan tugas sesuai dengan instruksi..

T: Kalau begitu, kapan kita bisa mendirikan sebuah daulah (negara) Islam?

J: Daulah hanyalah sebuah sarana dakwah, bukan tujuan dakwah. Sarana itu memang harus kita capai, tapi bukan dengan menggadaikan substansi tujuan dakwah.. Target utama dakwah adalah mentauhidkan Allah dan memurnikan Islam, yaitu dengan cara menuntut dan menyebarkan ilmu, serta mempersatukan umat sesuai dengan konsep nubuwwah tadi.

T: Tapi, bagaimana mungkin antum bisa mengatakan bahwa “mendirikan daulah” itu bukan tujuan dakwah tapi hanya sarana saja?

J: Baiklah, apakah akhi ingat kisah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan pamannya Abu Thalib? Kalau seandainya mendirikan daulah atau menjadi presiden atau mencapai kekuasaan adalah tujuan dakwah, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memanfaatkan kesempatan emas itu saat memulai dakwah Islamnya., tanpa harus berperang!. Ingatkah akhi, ketika kaum kafir Quraisy melalu lisan paman nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu Thalib, menawarkan: “Seandainya engkau menghendaki wanita, maka mereka akan mencari wanita-wanita tercantik untuk dinikahkan dengan engkau atau harta, maka mereka akan mengumpulkan seluruh kekayaan Quraisy dan diberikan kepada engkau atau menjadi raja, maka mereka akan membai’at engkau menjadi raja?. Namun apa jawaban beliau shalallahu ‘alaihi wasallam? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekali-kali tidak wahai pamanku!, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, maka sekali-kali aku tidak akan gentar, sampai Allah memenangkan urusanku, atau aku binasa bersamanya.?

T: Subhanallah, mengapa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak memilih menjadi raja, bukankah beliau politikus ulung?

J: Politikus ulung hanyalah julukan orang-orang, tapi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Nabi. Seorang Rasul yang diturunkan dengan membawa konsep dakwah ilahi. Kalau seandainya beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah politikus, maka sudah tentu beliau shalallahu ‘alaihi wasallam akan memilih menjadi raja. Karena dengan menjadi raja, maka harta akan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam peroleh, wanita yang cantik akan mudah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam dapatkan, bahkan dakwah pun akan lebih mudah disebarkan dengan kekuasaan. Tapi sekali lagi, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bukan seorang politikus, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Nabi, yang mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah ‘azza wajalla.

T: Jadi, mencapai kekuasaan itu bukan tujuan dakwah?

J: Begitulah, itu hanya merupakan sarana saja Kalau seandainya hal itu merupakan tujuan, maka sesungguhnya kesempatan itu sudah ada di depan mata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tanpa harus berperang, tanpa harus ber-pemilu. Tapi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menyambarnya. Seandainya kita menyangka bahwa jika kekuasaan telah kita rebut dengan cara apapun meskipun cara itu menyalahi syari’at (baca: masuk ke parlemen), hukum Islam itu bisa ditegakkan, sudah barang tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun telah lebih dulu menerima tawaran kaum Quraisy itu.

T: Saya teringat sesuatu. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menolak tawaran tersebut karena tawaran itu bersyarat? Yaitu agar beliau shalallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan dakwah?

J: Bukankah kekuasaan yang dicapai dengan demokrasi pun akan penuh dengan syarat? penuh kompromi? penuh toleransi? harus tetap menghargai orang yang berbeda pendapat, menghormati orang yang tidak setuju dengan hukum rajam, potong tangan, jilbab, bahkan harus diam terhadap orang murtad sekalipun dari agama Islam, karena hal itu adalah hak

asasi manusia. Kalau ternyata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan pencapaian “kekuasaan yang bersyarat” itu, lalu mengapa kita berani menanggung resiko untuk mengubernya?

T: Kalau pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kan beliau dituntut oleh Allah untuk memperjuangkan Islam secara sempurna, apalagi beliau di bawah bimbingan Allah. Namun saat ini, kan agak susah untuk memperjuangkan Islam yang sempurna, karena kita bukan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Jadi melalui demokrasi, kita bisa menerapkan hukum Islam sedikit demi sedikit.

J: Masalahnya Allah telah berfirman yang artinya: (Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil). Sebuah larangan yang sangat keras dari Allah. Memang, dengan demokrasi, sebagian dari hukum Islam mungkin bisa diakomodasi, namun di saat yang sama, kita terpaksa melanggar ayat tadi, karena harus bertoleransi dengan hukum selain hukum Allah, harus bersekutu dengan orang kafir dalam penentuan suatu hukum. Saya melihat bahwa kemampuan akomodasi dengan cara demokrasi tidak akan sampai kepada derajat kamil (sempurna), kaffah, karena di sana ada kompromi, toleransi, tenggang rasa. (bargaining politik)

T: Lalu, cara apa yang bisa mewujudkan hukum Islam secara kaffah?

J: Mengamalkan kitab dan sunnah dengan pemahaman salaful ummah serta mendakwahkannya. Dengan cara itulah Islam telah jaya pada zaman Rasulullah , dan dengan cara itu pulalah agama Islam ini akan kembali menggenggam kejayaan di masa dataang. Ciri-ciri hizbullah yang lain

T: Tadi antum telah menjelaskan satu sifat dari sifat-sifat hizbullah, yaitu memelihara dan menyerukan persatuan Islam. Tolong sebutkan ciri- ciri yang lain!

J: Mereka itu sesuai firman Allah yang artinya: (Keras terhadap orang kafir, berkasih sayang sesama mereka).

T Bagaimana mungkin menerapkan ayat ini di gedung parlemen, sementara di sana ada toleransi, tenggang rasa, saling menghargai. Tolong antum sebutkan ciri hizbullah yang lain!

J: Mereka menyerukan agar kaum wanita muslimah kembali ke rumah untuk mendidik generasi muda Islam, sebagai kewajiban yang telah lama ditinggalkan atau sengaja dilupakan, yaitu perintah Allah Ta’ala yang artinya: “Dan hendaklah kalian para wanita berdiam di rumah-rumah kalian”. Namun akhi, diantara mereka justru ada yang menjadi anggota parlemen, bercampur dengan laki-laki dan orang-orang kafir, bahkan menjadi juru bicara partai. Gimana ini?

T: Tolong sebutkan satu lagi saja ciri yang lain!

J: Akhi, mereka itu selalu memperjuangkan Hak Asasi Allah (HAA).

T: Setahu saya, semua partai Islam tentu memperjuangkan Hak Hak Allah, walaupun istilahnya tidak sepopuler perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM).

J: Itulah demokrasi. Inti dari konsep demokrasi adalah adanya hak individu, hak asasi manusia (HAM), artinya setiap orang, baik itu sholeh ataupun jahat, mempunyai hak asasi yang harus dihormati. Setiap orang boleh mengeluarkan pendapat yang harus dihargai.

T: Bukankah itu suatu konsep yang sangat baik?

J: Konsep seperti ini baik??!! Konsep HAM mengatakan: segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu, selama itu tidak mengggangu kepentingan orang lain, tidak merugikan orang lain, tidak melanggar hak orang lain, maka itu adalah hak asasi dia yang harus didengar, dihargai dan dilindungi.

K: Bagaimana maksudnya, tolong dijelaskan lagi.

S: Dalam konteks negara demokrasi, apabila ada satu atau dua orang saja yang mempunyai pendapat, misalnya kita contohkan saja perkawinan sejenis (gay/lesbi), maka kedua orang tersebut berhak untuk turun ke jalan berdemonstrasi, menulis di media massa mendakwahkan idenya, membentuk organisasi, berbicara di depan parlemen untuk menuntut haknya, serta berhak mendapatkan pembelaan .

T: Saya akan menentang kedua orang tersebut, karena homoseksual tidak bisa diterima oleh Islam.

J: Lho, bukankah akhi selalu berkata agar menghargai pendapat orang lain, maka akhi harus konsisten.

T: Adakah contoh kongkrit yang lain?

J: Ketika para agamawan, baik dari Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain menentang perbuatan seks di luar nikah seperti WTS, maka ada orang-orang yang mengaku dirinya nasionalis, aktifis HAM berkata: “Mereka itu mempunyai hak untuk makan, untuk hidup, untuk membiayai anak-anaknya yang lapar. Maka di saat mereka itu tidak memiliki keahlian untuk bekerja kecuali dengan menjual tubuhnya, maka kita harus memberinya kesempatan itu, memberikan haknya untuk hidup, selama di dalamnya ada rasa suka sama suka, saling menguntungkan dan tidak merugikan orang lain. Maka membunuh hak mereka, sama dengan membunuh anak-anaknya yang lapar. Begitu juga dengan istilah WTS yang cenderung menghinakan mereka, istilah itu harus diganti dengan yang lebih manusiawi seperti Pekerja Seks Komersial (PSK). Demi keagungan prinsip demokrasi, anda harus menghargai hak-hak mereka!!?

T: Ngeri sekali! Tolong sebutkan satu saja contoh kongkrit yang lain?

J: Berjemur tanpa sehelai benang pun di taman-taman kota di Jerman, masih dilarang oleh undang-undang dan ada sanksinya.. Namun apa yang terjadi saat ini, ketika polisi menegur, mereka berargumen: “Ini adalah hak asasi saya, ada apa dengan anda? Apakah saya mengganggu hak orang lain?”

T: Wah, sangat tidak bisa dibayangkan, bagaimana kalau setiap orang jahat di Indonesia turun ke jalan lalu berkata: saya menuntut hak saya untuk bisa berbuat ini dan itu.

J: Singkatnya, ketika ada orang baik yang memperjuangkan suatu kebenaran, lalu ada orang jahat yang berkata: “Saya ingin melakukan hal yang berlawan dengan anda, dan ini adalah hak asasi saya, pendapat saya.” Maka akhi harus menghargainya, demi demokrasi. Beberapa kejanggalan konsep demokrasi yang lain.

T: Tadi antum telah menjelaskan salah satu konsep demokrasi yaitu kebebasan berpendapat atau HAM. Lalu adakah konsep lain yang janggal?

S: Dalam memilih seorang pemimpin, katakanlah presiden, seorang da’i kondang sekelas Aa Gym akan memiliki suara yang sama nilainya dengan seorang pelacur, perampok, koruptor yang sedang dipenjara, bahkan orang kafir, yaitu SATU SUARA. Jadi inti konsep demokrasi yang kedua adalah menang-menangan suara. Seandainya ada suatu negara yang penduduknya berjumlah 1.000.001 orang, 500.000 di antara mereka ulama, sisanya; sebanyak 500.001 orang terdiri dari para pezina, perampok, pembunuh dan konco-konconya, dalam sistem demokrasi gerombolan perampok dan pezina lah yang akan memegang tampuk kekuasaan karena mereka berjumlah lebih banyak, padahal bedanya cuma satu orang!.

T: Bisa lebih diperjelas lagi?

J: Konsep itu tentu akan membuat al-haq tidak akan pernah menang, bahkan mustahil untuk menang.

T: Tidak akan pernah menang? Bukannya kita dapat bertarung dalam pemilu?

J: Bagaimana akhi bisa menang kalau tidak meniti jalan yang telah diterangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ?. Negara Islam tidak akan pernah berdiri kecuali dengan cara yang Islami pula. Demokrasi bukanlah sistem yang Islami, dan hasil bikinan musuh-musuh kita; orang-orang kafir. Coba akhi lihat kembali sejarah negara-negara yang berusaha mendirikan negara Islam dengan cara pemilu, apakah ada satu negara saja yang berhasil?. Mesir, sumber dan gudangnya gerakan Ikhwanul Muslimin yang mencetuskan dakwah politik, malah sekarang jadi negara sekuler. Aljazair, tatkala FIS (Front Islamic de Sault / Jabhatul Inqadz Al Islamiyah / Front Penyelamatan Islam), berhasil memenangkan pemilu secara mutlak dengan meraih 81 % kursi parlemen pada pemilihan putaran pertama, apa hasilnya sekarang?. Alih-alih untuk mendirikan negara Islam, iklim kebebebasan dalam menjalankan syariat agama saja belum mereka nikmati. Sudan , Libya , Turki, Maroko dll?. Tidak cukupkah pengalaman pahit mereka jadi pelajaran buat kita?. Masihkah kita ingin menjadi korban-korban selanjutnya?

T: Jadi, kalau bukan dengan jumlah, dengan apa umat Islam bisa menang?

J: Itulah akhi. Di sini ada suatu hikmah yang sangat agung. Suatu hikmah yang hampir tidak pernah disadari oleh setiap muslim. Kemenangan akhir zaman itu suatu ketetapan yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun di sisi lain, beliau pun mengabarkan akan keterasingan dan sedikitnya jumlah orang-orang baik (benar) pada waktu itu. Dengan sedikitnya kuantitas mereka, berarti demokrasi tidak akan bisa mengantarkan kepada kemenangan yang haqiqi. Kita sangat berharap, bahwa kemenangan itu adalah kemenangan Al Badr, yaitu kemenangan seperti pada perang Badr. Kemenangan yang gemilang, walaupun jumlah orang baik pada waktu itu cuma sedikit.

T: Kapankah sebetulnya kemenangan haqiqi itu akan datang?

J: Yaitu pada masa datangnya Al-Imam Mahdi, pada masa turunnya kembali Nabiyullah Isa ‘alaihissalam.

T: Lho, berarti kemenangan yang haqiqi itu akan datang di akhir zaman, tidakkah ada kemenangan sebelum itu?

J: Wallahu a’lam. Dari beberapa dalil yang ada, sebagian orang berusaha menyimpulkan bahwa setelah tumbangnya Kekhalifahan Turki Utsmani, maka umat Islam akan melewati fase sangat sedikit negara yang menerapkan hukum Islam. Umat Islam akan berada dalam kebodohan yang sangat, perpecahan, penindasan, banyak ulama-ulama suu’ (jahat) yang mengajak ke lembah jahannam. Baru setelah itu akan datang kemenangan, yaitu datangnya kekhalifahan Al-Mahdi yang akan berkuasa selama sekitar 40 tahun.

T: Kalau kemenangan itu akan datang pada saat orang baik sedikit, lalu, apa rahasianya mereka bisa menang?

J: Tentunya karena mereka mematuhi wasiat Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam. Wasiat untuk orang-orang yang hidup di akhir zaman.

T: Apa wasiat Beliau?

J: Wasiat yang telah kita diskusikan tadi, yaitu wasiat untuk kembali kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, Sunnah Khulafaur Raasyidin serta menggigitnya erat-erat dengan gigi-gigi geraham.

T: Bagaimana dengan wasiat itu mereka bisa menang?

J: Karena wasiat itu membawa manusia kepada persatuan yang hakiki. Persatuan pemahaman terhadap Sunnah yang haq, yaitu persatuan jasad dan ruh. Mereka senantiasa mengajak umat Islam untuk “kembali”, dengan memberikan arahan menuju jalan pulang (tarbiyah), sekaligus memperbaiki jalan-jalan yang telah membawa mereka pergi jauh dari sunnah itu (tashfiyah). Wasiat itu senantiasa mereka perjuangkan dan terapkan, baik

itu di masjid-masjid, masjis ta’lim, pada kurikulum madrasah/pesantren. Itulah tempat-tempat harapan para kuntum dan kesuma Islam. Walaupun banyak orang menghinakannya.

T: Dengan alasan-alasan yang antum kemukakan, sekarang saya minimal bisa menghargai pendapat orang-orang yang berbeda dengan saya. Yaitu orang-orang yang tidak setuju dengan demokrasi. Karena ternyata mereka pun mempunyai alasan yang tidak gampang dibantah. Mereka itu berpendapat bukan tanpa ilmu. Walaupun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.

J: Syukurlah kalau akhi memahaminya. Kita memang butuh tabayyun dengan orang yang berbeda pendapat. Akan lebih baik lagi, kalau akhi langsung belajar dari kitab-kitab para ulama seperti kitab “Tanwir Al-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabat” karya Syeikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Menggugat Demokrasi dan Pemilu: Menyingkap Borok-Borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya”, Penerbit Darul Hadits Jakarta, penukil), tentu akan banyak didapati alasan-alasan yang mempunyai sandaran Al-Qur?an dan Sunnah, daripada sekedar omongan dari saya.

T: Antum telah menjelaskan beberapa konsep demokrasi. Antum telah menjelaskan beberapa sifat Partai Allah. Antum pun telah menjelaskan bagaimana kedudukan partai politik di dalam lingkaran besar kaum muslimin. Namun, kalau kita meninggalkan gelanggang politik, tentunya justru hal itu akan membuat parah kaum muslimin. Karena dengan demikian, kaum kafir akan masuk ke dalam parlemen. Mereka, bersama orang-orang Islam yang jahil, akan membuat undang-undang yang justru akan menyengsarakan kaum muslimin. Mereka akan lebih menindas kaum muslimin, akan mengganti dengan hukum-hukum thagut yang lebih mengerikan. Presiden dan gubernur akan dijabat oleh orang kafir. Apakah ummat Islam tidak berdosa secara fardu kifayah? Apakah kita akan tinggal diam saja?

J: Baiklah, saya akan bertanya dulu kepada akhi. Tolong akhi jelaskan apa yang akhi fahami tentang “kemenangan” yang dijanjikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di akhir zaman bagi Ummat Islam.

T: Berdirinya sebuah Daulah Islamiyyah berbentuk kekhalifahan dan terealisasinya hukum Islam secara kaffah.

J: Cukup bagus. Kira-kira bagaimana hal itu bisa dicapai.

T: Saya tidak tahu dengan diplomasi atau kompromi rasanya tidak mungkin?

J: Baiklah. Coba ingat-ingat kembali prinsip demokrasi. Yaitu prinsip menghargai perbedaan pendapat, adanya kompromi dan negosiasi dengan orang kafir, kompromi dengan orang Islam yang tidak faham Islam, seperti para nasionalis, aktifis HAM, adanya sistem satu suara lawan satu suara, sementara jumlah orang yang benar itu kata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam cuma sedikit (buka kembali haditsnya). Menurut

akhi, apakah mungkin Daulah Islamiyyah dan Hukum Islam kaffah akan dapat ditegakkan dengan cara ini?

T: Rasanya koq tidak mungkin, karena di sana ada kompromi dan sikap menghargai pendapat orang lain? agama lain? aturan lain?

J: Itulah yang saya maksud dengan “kemustahilan” .

T: Tapi jika kita meninggalkan demokrasi, bisa-bisa Presiden kita akan dijabat oleh orang non-muslim, hukum-hukum bisa diganti oleh mereka dengan yang merugikan Islam.

J: Akhi benar. Namun apakah hal itu akan membawa kepada “Kemenangan Islam” seperti yang telah akhi definisikan tadi?

T: Tidak. Karena jalan itu mustahil.

J: Kalau mustahil mencapai kemenangan, mengapa akhi mengambil jalan itu?. Akhi harus yakin betul bahwa dengan sitem demokrasi, pemilu dan parlemen, Negara Islam tidak akan pernah bisa berdiri. Negara Islam itu hanya akan bisa didirikan dengan menegakkan tauhid dan memberantas kesyirikan dari diri kita terlebih dahulu kemudian dari keluarga kita dan masyarakat kita. Alangkah indah perkataan salah seorang ulama: “Dirikanlah negara Islam di dalam dirimu sendiri terlebih dahulu, niscaya akan berdiri negara Islam di negerimu”. Kita tidak pernah diperintahkan untuk menempuh jalan yang salah untuk mencapai suatu tujuan, meskipun tujuan itu baik. Kita hanya diperintahkan untuk menempuh jalan yang diperbolehkan oleh agama kita, adapun hasilnya, itu terserah kehendak Allah. ???????????? ..

J: Tadi kita sebut-sebut tentang menyelamatkan kaum muslimin. Sekarang saya mau bertanya, siapa sebenarnya yang harus akhi selamatkan?.

T: Tentunya yang paling penting adalah saya sendiri. Kemudian keluarga saya serta kaum muslimin seluruhnya. Kira-kira begitulah kalau saya urutkan menurut skala prioritas.

J: Baiklah. Lalu, apa sih sebenarnya yang harus akhi selamatkan dari diri akhi, keluarga akhi dan kaum muslimin tadi?.

T: Agar tidak jatuh pada kesyirikan baik besar atau kecil. Itu yang paling utama, karena itulah inti dakwah para Nabi. Hal ini menjadi yang paling utama, karena ini adalah masalah surga dan neraka. Allah telah berfirman yang artinya: “Allah itu akan mengampuni seluruh dosa, kecuali dosa syirik”. Di situ Allah tidak menyebutkan syirik besar ataukah syirik kecil.

J: Baiklah. Setelah masalah syirik, kira-kira prioritas apalagi yang harus ananda diselamatkan dari diri akhi, keluarga akhi dan kaum muslimin?

T: Kalau masalah surga dan neraka sudah terselamatkan, maka saya akan berusaha agar ibadah saya, keluarga saya dan kaum muslimin diterima oleh Allah. Adapun kuncinya cuma ada dua, yaitu ikhlash dan ittiba? (menyempurnakan seluruh ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam).

J: Baiklah, akhi telah menjelaskan kepada saya dua buah prioritas masalah yang harus akhi sampaikan dalam berdakwah. Nah, tadi saya telah jelaskan sebuah “realita” yang sedang dihadapi oleh Ummat Islam, yaitu realita keterpaksaan Ummat Islam memilih sistem demokrasi. Sekarang akhi akan saya bawa kepada realita yang kedua.

T: Realita apa itu?

J: Akhi telah katakan bahwa prioritas utama dalam menyelamatkan akhi sendiri, keluarga dan kaum muslimin seluruhnya adalah dengan menjauhkan syirik, baik yang besar maupun yang kecil. Kira-kira apa langkah yang akan ananda tempuh untuk menyampaikan hal itu kepada ummat Islam Indonesia, yang mereka itu masih suka bertahayyul, penuh dengan khurafat, suka berkunjung ke makam-makam keramat untuk berdoa, jimat, jampi-jampi, perdukunan dan mistik?

T: Tentu saya akan menyampaikannya di semua tempat di manapun kesempatan itu datang pada saya, insya Allah.

J: Apabila kesempatan itu ada di depan parlemen (anggap saja akhi memilih jalan yang mustahil tadi), apakah akhi juga akan menyampaikannya? Mengatakan di depan parlemen untuk segera membuat aturan agar melarang tour/ziarah ke kuburan-kuburan untuk menutup pintu kemusyrikan? .

T: Kelihatannya sich mustahil karena hal itu justru akan memecahbelah kaum muslimin dan membenci partai saya. Bagaimana kalau kita turun saja ke jalan-jalan berdemonstrasi? .

J: Lho, bukankah tujuan kita mendirikan negara Islam itu untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah? Kenapa justru sekarang akhi menempuh jalan yang tidak sesuai dengan syariat? Berdemo; niru budaya orang kafir?. Ditambah lagi akhi juga tidak konsisten. Bukankah tadi akhi katakan itu adalah masalah surga dan neraka bagi ummat? Kalau masalah lain kan masih mungkin bisa dimaafkan Allah, karena mereka masih Islam, jadi sudah pasti mereka akan masuk surga, asalkan mati dalam keadaan Islam. Tapi masalah membawa syirik, inilah justru yang akan menghalangi seluruh amalan mereka dari surga. Dimanakah konsistensi akhi?

T: Antum benar!?

J: Selanjutnya akhi katakan bahwa prioritas yang kedua yang harus diselamatkan dari diri akhi sendiri, keluarga dan kaum muslimin adalah ibadah yang diterima oleh Allah dengan dua kunci yaitu ikhlash dan ittiba?. Akhi sudah tahu bahwa Ummat Islam ini telah berpecah belah dan banyak penyimpangan dalam peribadahan mereka. Ada yang shalat di

kuburan, ada yang tahlilan, ada tarikat yang tidak perlu shalat kalau sudah sampai derajat tertentu, ada yang menghalalkan musik padahal dalam hadits Bukhari jelas-jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan alat-alat musik, ada yang tahlilan, memotong ayam dan mengelilingkan darahnya pada rumah yang baru di bangun, ikhtilath (campur baur pria wanita), istighatsah dan doa bersama dengan kaum kafir, ikut perayaan natalan, dsb. Kira-kira jalan apa yang akan akhi tempuh untuk menyelamatkan prioritas kedua ini dari kaum muslimin?

T: ? ? saya tidak tahu?

J: Lho, kok malah tidak tahu?

T: Soalnya, hal ini juga tidak mungkin saya sampaikan di depan parlemen atau lewat demonstrasi, karena kembali akan memecahbelah ummat dan mereka akan membenci partai saya. Lagipula itu adalah masalah khilafiyyah?

J: Mengapa khilafiyyah?

T: Karena sebagian besar umat Islam Indonesia menganut madzhab Syafi’i, jadi mungkin bisa berbeda dengan madzhab lain.

J: Akhi tidak perlu menyampaikan madzhab lain. Akhi cukup meluruskan pemahaman mereka tentang madzhab Syafi’i yang mereka anut itu. Yaitu bahwa Imam Syafi’i mengharamkan segala jenis jimat, jampe, berdoa di kuburan-kuburan, mengunjungi masjid-masjid yang ada kuburannya. Beliau tidak mengenal tahlilan. Beliau tidak mengenal sistem tarikat yang tidak shalat kalau sudah mencapai tingkatan tertentu. Beliau melarang berdoa atau istighatsah bersama orang kafir, merayakan perayaan keagamaan mereka. Beliau mengharamkan musik, dsb.

T: ?

J: Baiklah. Kalau begitu di mana akhi merasa lebih nyaman atau lebih bisa menyampaikan masalah itu?

T: Mungkin di masjid-masjid, majlis ta’lim, madrasah, pesantren?

J: Justru tempat itulah yang dihinakan oleh orang-orang yang mengagungkan dakwah lewat parlemen. Seolah-oleh parlemen adalah tempat yang mulia untuk berdakwah. Mereka menghinakan orang yang dakwah di masjid masjid, seolah melupakan permasalahan ummat?.Padahal siapa sebenarnya yang melupakan atau pura-pura lupa akan permasalahan ummat?

T: ?

J: Baiklah, bagaimana kalau akhi meyampaikannya di dalam kampanye sewaktu berkunjung ke daerah-daerah?

T: Maksud antum menyampaikan masalah syirik dan penyimpangan ibadah dalam kampanye?

J: Ya. Karena kata akhi itu adalah prioritas pertama dan kedua.

T: Tentu baru beberapa menit mereka akan lari!.

J: Lalu, apa materi yang akan akhi sampaikan dalam kesempatan kampanye itu?

T: Tentang ketidakadilan, tentang program kristenisasi, tentang korupsi, tentang pornografi, tentang harga-harga yang naik terus, tentang pengangguran, dan masih banyak lagi.

J: Akhi sungguh sangat tidak konsisten.

T: Kenapa begitu?

J: Karena tadi akhi mengatakan dengan mulut akhi sendiri bahwa prioritas dakwah yang harus disampaikan kepada ummat adalah tauhid, kemudian yang kedua adalah cara beribadah yang benar.

T: Dalam berkampanye kan kita harus terlebih dahulu menyentil ummat dengan masalah-masalah seputar mereka agar mereka setuju dengan kita lalu menyerahkan suaranya kepada kita. Nanti baru kita bela mereka di parlemen. Kalau menyampaikan masalah yang berat, apalagi masalah syirik dan penyimpangan peribadahan, mungkin mereka akan berangsur-angsur pergi.

J: Saya akan mengulang pertanyaan saya, apa sebenarnya yang sedang akhi selamatkan dari kaum muslimin? Apa yang akan akhi bela di hadapan parlemen? Apakah akhi akan meminta parlemen memaafkan kesyirikan mereka, penyimpangan ibadah mereka?

T: Hal-hal itu akan disampaikan oleh rekan-rekan lain dari divisi dakwah yang tinggal di daerah itu.

J: Sebenarnya pada poin ini akhi sudah tidak konsisten dengan prinsip-prinsip akhi sendiri. Tapi baiklah, kalau seandainya itu merupakan tanggung jawab divisi dakwah, akan tetapi dari divisi dakwah partai manakah yang dengan lantang menyerukan kesyirikan, penyimpangan ibadah? Partai Islam manakah yang berani menentang masuknya Syi’ah, Tarekat-Tarekat Sufi di Indonesia? Hampir semua divisi dakwah mengatakan bahwa kita harus bertoleransi demi menjaga keutuhan ummat. Apakah mereka berusaha menutup mata ketika kaum ahlu sunnah dibantai di negara yang mayoritas Syi’ah, ulamanya dipenjara dan disiksa? Apa yang akhi sikapi terhadap para shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang dihujat dan dikafirkan?

T:?

J: Baiklah, katakanlah ternyata ada divisi dakwah yang berani berkata seperti itu, walaupun saya belum melihatnya di Indonesia saat ini. Lalu, manakah yang lebih baik, berdakwah dengan membawa-bawa nama partai, berbaju dengan baju partai, atau berdakwah dengan tidak mengatasnamakan kelompok tertentu. Kira-kira manakah dakwah yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia? Dan di antara dua cara itu, manakah yang kira-kira lebih dicintai oleh Allah?

T:?

J: Akhi, justru tanggungjawab ada di pundak akhi sebagai juru dakwah. Saat kampanye itu adalah saat akhi pertama kali berjumpa dengan mereka dan mungkin tidak akan pernah lagi berjumpa dengan mereka. Mengapa akhi tidak berusaha menyelamatkan mereka? Padahal masalah sesungguhnya yang hakiki yang sedang menyelimuti mereka adalah sesuatu yang akan mejerumuskan mereka ke dalam neraka? Yaitu syirik dan penyimpangan ibadah. Adakah masalah yang lebih besar dari itu sehingga akhi mengesampingkannya? Inilah yang saya maksud dengan realita yang kedua.

T: Apa yang akan antum nasehatkan untuk diri saya?

J: Baiklah, sebaiknya saya mengulang kembali pertanyaan saya, siapa yang harus akhi selamatkan?

T: Saya sendiri, keluarga saya dan kaum muslimin.

J: Baiklah. Kalau memang akhi ingin menyelamatkan kaum muslimin, maka di sana ada dua pilihan. Yaitu penyelamatan yang hakiki yaitu penyelamatan dunia akhirat. Yang kedua adalah penyelamatan masalah yang lainnya. Kedua-duanya adalah realita ummat. Ananda dapat menentukan sendiri dengan bashirah dan hikmah, yaitu dengan mempertimbangkan manfaat dan madharat. Betapa kecewanya akhi kalau sampai ada diantara kaum muslimin yang hadir pada saat itu mati dalam keadaan membawa dosa syirik yang tidak diampuni, padahal waktu itu dia mampu menyelamatkannya. Dialog pembuka dengan kaum muslimin yang baru dijumpai akhi tidak jauh dari seputar masalah keadaan kehidupan mereka, memikirkan masalah keadaan besar kaum muslimin, ketidakadilan, sementara keadaan diri mereka sendiri terlupakan. Padahal akhi menyadari bahwa kesyirikan dan penyimpangan ibadah kaum muslimin Indonesia itu sudah cukup parah. Namun akhi menomorduakannya dalam setiap diskusi dengan alasan untuk menjaga kerukunan. Lalu apa sebenarnya yang sedang akhi selamatkan? Akhi harus menyelamatkan mereka?.?

Dhahran-Saudi Arabia, Ahad 22 Sya?ban 1424 H.

Diperoleh dari milis [email protected]