View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ABSTRAK
SAFINAH, Optimasi Separasi dan Purifikasi Senyawa Antibiotika yang
Dihasilkan Oleh Aktinomiset Endofit. Di bawah bimbingan ANIS HERLIYATI
MAHSUNAH dan SITI NURBAYTI.
Optimasi separasi dan purifikasi antibiotika yang dihasilkan oleh
aktinomiset endofit dilakukan dengan menggunakan beberapa variasi sampel dan
pelarut ekstraksi. Isolat aktinomiset yang digunakan yaitu aktinomiset endofit
BioMCC AE00048a. Proses optimasi separasi antibiotika dari aktinomiset
dilakukan pada sampel berupa broth fermentasi (panen awal fermentasi),
biomassa, dan supernatan hasil fermentasi melalui beberapa tahapan proses yaitu
ekstraksi, sentrifugasi, sonikasi, filtrasi dan evaporasi. Pelarut ekstraksi yang
digunakan yaitu n-butanol, etil asetat, dan n-heksana. Uji bioaktivitas antibiotika
dilakukan dengan menggunakan metode agar cakram kertas (Paper Disc Method).
Proses purifikasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom, analisa kemurnian
dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) serta Fourier Transform Infra Red (FTIR). Hasil
ekstraksi menunjukkan senyawa aktif antibiotika berada di dalam sel (intrasel)
dengan pelarut optimal berupa etil asetat, diameter zona bening terbesar 13,32
mm pada B. subtilis. Dari hasil purifikasi diketahui bahwa senyawa aktif
antibiotika berada pada fraksi etil asetat dalam bentuk kristal putih dan fraksi
campuran etil asetat dan metanol. Berdasarkan waktu retensi dan spektra serapan
UV-nya diketahui bahwa senyawa dari kedua faksi tersebut adalah sama. Persen
kemurnian senyawa antibiotika yang didapatkan sebesar 75,35%. Hasil analisa
FTIR diketahui bahwa senyawa aktif antibiotika tersebut merupakan senyawa
alifatik yang memiliki gugus fungsi –OH.
Kata Kunci: Senyawa antibiotika, Aktinomiset, Optimasi separasi, Purifikasi
vi
ABSTRACT
SAFINAH, The optimation of Separation and Purification Antibiotic Compounds
from Endofit Actinomycete. Supervisor ANIS HERLIYATI MAHSUNAH and
SITI NURBAYTI.
Research about optimation of separation and purification antibiotic
compounds from endofit actinomycete had been carried out using several samples
and solvents. This research was used endofit actinomycete BioMCC 00048a
isolate. The optimation of separation antibiotic compounds by used broth
fermentation, biomass, and supernatan. The antibiotic compounds had been
resulted by extraction, centrifugation, sonication, filtration and evaporation. N-
buthanol, ethyl acetate, and n-hexane were used as extraction solvents. Bioactivity
of antibiotic compounds was tested with paper disc method. The antibiotic
compounds was purified with column chromatography, then analyzed with thin
layer chromatography (TLC), high performance liquid chromatography (HPLC)
and fourier transform infra red (FTIR). Extraction results were showed antibiotic
active compounds are intracelluler with the best solvent is ethyl acetate.
Purification result was showed antibiotic active compound as a white crystal from
ethyl acetate fraction and mixture ethyl acetate and methanol fraction. These
studies demonstrate that retention time and UV spectra from both ethyl acetate
and mixture ethyl acetate and methanol fraction are same. The purify antibiotic
compound yield 75,35%. Analyzing result of FTIR was showed antibiotic active
compound is alifatic compound that has hydroxy group (-OH).
Keywords: Antibiotic compounds, Endofit actinomycete, The optimation of
separation and purification
vii
KATA PENGANTAR
Asalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin.
Segala puja, puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan hidayah, barokah dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian ini, yang diberi judul ”Optimasi separasi
dan Purifikasi Senyawa Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit”.
Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan junjungan kita Nabi Besar
Muhammad saw. yang dengan ikhlas menyampaikan risalah-Nya dan tak pernah
lelah berjuang di jalan Allah, sehingga kita sebagai umatnya dapat menikmati
manisnya Iman dan Islam hingga saat ini.
Selesainya pembuatan Laporan Hasil Penelitian ini tak lepas berkat
dukungan, sokongan dan bantuan baik materil maupun spirituil dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kaih yang tak terhingga
kepada :
1. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, DR. Sopyansyah Jaya Putra, M.Sis.
2. Ibu Dr. Rer. nat Anis Herliyati Mahsunah, M.Sc. sebagai Pembimbing I yang
dengan sabar dan ikhlas membantu penulis selama berlangsungnya penelitian.
3. Ibu Siti Nurbayti, M.Si. sebagai Pembimbing II yang turut membantu dalam
penyelesaian laporan penelitian ini.
4. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Furqon dan Ibunda Sumiyati yang telah
banyak berkorban demi kesuksesan penulis.
5. Saudara-saudaraku tersayang yang selalu mendampingi penulis dalam
mencapai suatu kesuksesan.
6. Sahabat-sahabat Kimia 2004 tersayang, yang bersama-sama penulis berjuang
untuk mencapai kesuksesan.
7. Pak Fauzan, Pak Aa, Kak Ummu, Mba Dian, Mba Nia, Pak Ujang, Pak Rudi
dan para pegawai BPPT-Biotek serta Mercian yang selalu membantu selama
berlangsungnya penelitian.
viii
Laporan hasil penelitian ini merupakan hasil karya maksimal yang dapat
penulis berikan, meskipun penulis tahu bahwa laporan hasil penelitian ini masih
jauh dari sempurna, tetapi dengan ketidaksempurnaan ini, penulis berharap
laporan hasil penelitian ini sedikitnya dapat bermanfaat bagi penulis dan sahabat-
sahabat Kimia di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam pengembangan dunia Farmasi terutama mengenai antibiotika.
Wasalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Desember 2008
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………………………………………………………... vi
ABSTRACT………………………………………………………. vii
KATA PENGANTAR……………………………………………. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………… x
DAFTAR TABEL………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………… xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………….... xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang………………………………………. 1
1.2. Perumusan Masalah………………………………….. 3
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………….. 3
1.4. Hipotesis……………………………………………... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aktinomiset...………………………………………... 5
2.2. Tumbuhan Krokot…………………………………… 6
2.3. Antibiotika…………………………………………… 7
2.4. Pelarut Ekstraksi……………………………………... 15
2.5. Mikroorganisme uji………………………………….. 18
2.6. Separasi Antibiotika…………………………………. 24
2.7. Isolasi dan Purifikasi………………………………… 25
2.8. Kromatografi Lapis Tipis……………………………. 28
2.9. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) . 34
2.10. Fourier Transform Infra Red (FTIR) ………………. 38
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian……………………….. 40
3.2. Alat dan Bahan………………………………………. 40
3.3. Prosedur Kerja………………………………………. 41
x
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Optimasi Separasi Senyawa Aktif Aktinomiset….….. 57
4.2. Variasi Pelarut dan Perlakuan pada Sampel…………. 60
4.3. Pengaruh Penambahan Pelarut pada Sampel 63 Biomassa……………………………………………..
4.4. Purifikasi Ekstrak Hasil Fermentasi Aktinomiset…… 65
4.5. Uji Bioautografi……………………………………… 67
4.6. Analisa High Performance Liquid Chromatography 68
(HPLC)……………………………………………….
4.7. Analisa Fourier Transform Infra Red (FTIR)……….. 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan…………………………………………... 72
5.2. Saran…………………………………………………. 72
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….. 73
LAMPIRAN ……………………………………………………… 76
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Karakterisasi etil asetat…………………………………... 16
Tabel 2 Karakterisasi n-Butanol………………………………….. 17
Tabel 3 Karakterisasi n-Heksana…………………………………. 17
Tabel 4 Beberapa frekuensi gugus infra merah (IR)……………... 39
Tabel 5 Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap optimasi separasi 57 senyawa aktif aktinomiset……………………………......
Tabel 6 Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap 59
optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset…………….
Tabel 7 Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan 61
perlakuan pada sampel…………..……………………….
Tabel 8 Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap 62
variasi pelarut dan perlakuan pada sampel……………….
Tabel 9 Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh 63
penambahan pelarut pada sampel biomassa……………...
Tabel 10 Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap 64
pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa...…
Tabel 11 Bobot ekstrak aktinomiset setelah difraksinasi dalam 66
kolom kromatografi………………………………………
Tabel 12 Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset yang telah 66
difraksinasi kolom………………………………………..
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Bakteri A. israelii….………………………………… 5
Gambar 2 Tumbuhan Portulaca oleracea L………….………... 7
Gambar 3 Sel A. niger………………………………………….. 18
Gambar 4 Sel B. subtilis………………………………………... 19
Gambar 5 Hifa Candida albicans………………………………. 20
Gambar 6 Sel Escherichia coli…………………………………. 21
Gambar 7 Sel Pseudomonas aeruginosa……………………….. 22
Gambar 8 Sel Staphylococcus aureus………………………….. 23
Gambar 9 Permukaan gel silika………………………………… 29
Gambar 10 Kromatografi Lapis Tipis…………………………… 30
Gambar 11 Lempengan setelah pelarut bergerak setengan dari 31
lempengan……………………………………………
Gambar 12 Kromatogram dengan sinar UV……………………... 32
Gambar 13 Kromatogram dengan pereaksi ninhidrin…………… 32
Gambar 14 Pengukuran Rf……………………………………..... 33
Gambar 15 Diagram alir HPLC…………………………………. 35
Gambar 16 Pendeteksian langsung senyawa organik………….... 36
Gambar 17 Puncak senyawa X………………………………….. 37
Gambar 18 Puncak senyawa X pada konsentrasi rendah……….. 37
Gambar 19 Puncak serapan senyawa X dan Y dalam campuran... 38
Gambar 20 Diagram alir optimasi separasi senyawa aktif 44
aktinomiset…………………………………………..
Gambar 21 Diagram alir variasi perlakuan sampel…………...…. 46
Gambar 22 Diagram alir variasi perbandingan air pada sampel… 47
Gambar 23 Diagram alir purifikasi ekstrak hasil fermentasi 49
aktinomiset….………………………………………..
Gambar 24 Pola kromatogram ekstrak aktinomiset dalam eluen 65
n-Butanol p.a………………………………………...
xiii
Gambar 25 Uji Bioautografi……………………………………... 67
Gambar 25 Spektra HPLC fraksi etil asetat……………………... 68
Gambar 26 Spektra UV fraksi etil asetat………………………… 69
Gambar 27 Spektra HPLC fraksi etil asetat : metanol………....... 70
Gambar 28 Spektra UV fraksi etil asetat : metanol……………… 70
Gambar 29 Hasil uji FTIR ekstrak aktinomiset hasil fraksinasi 71
kolom………………………………..……………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bobot ekstrak aktinomiset tahap optimasi separasi 76
senyawa aktif aktinomiset…..………………………...
2 Perhitungan volume kultur cair mikroba yang 77
ditambahkan ke dalam media agar untuk uji
bioaktivitas antibiotika tahap optimasi separasi
senyawa aktif aktinomiset.............................................
3 Bobot ekstrak aktinomiset tahap variasi pelarut dan 80
perlakuan pada sampel..................................................
4 Perhitungan volume kultur cair mikroba yang 82
ditambahkan ke dalam media agar untuk uji
bioaktivitas antibiotika tahap variasi pelarut dan
perlakuan pada sampel..................................................
5 Bobot ekstrak aktinomiset tahap pengaruh 84 penambahan pelarut pada sampel biomassa..................
6 Perhitungan volume kultur cair mikroba yang 84
ditambahkan ke dalam media agar untuk uji
bioaktivitas antibiotika tahap pengaruh penambahan
pelarut pada sampel biomassa.......................................
7 Bobot biomassa aktinomiset tahap purifikasi ekstrak 86
hasil fermentasi aktinomiset..........................................
8 Bobot ekstrak aktinomiset tahap purifikasi ekstrak 86
hasil fermentasi aktinomiset..........................................
9 Perhitungan volume kultur cair mikroba yang 87
ditambahkan ke dalam media agar untuk uji
bioaktivitas antibiotika tahap purifikasi ekstrak hasil
fermentasi aktinomiset...................................................
10 Gambar-gambar Peralatan............................................. 88
11 Data Percobaan……………………………………….. 89
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Zahner dan Mass (1972) mendefinisikan antibiotika sebagai substansi
yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dalam konsentrasi rendah dapat
menghambat atau membunuh organisme lainnya. Antibiotika mempunyai nilai
ekonomi tinggi terutama di bidang kesehatan karena kegunaannya dalam
mengobati berbagai penyakit infeksi. Antibiotika dapat dihasilkan oleh alga,
lichen, tumbuhan tingkat tinggi, hewan tingkat rendah, vertebrata, dan
mikroorganisme. Saat ini sumber yang sedang dikembangkan karena banyak
menghasilkan antibiotika adalah yang berasal dari mikroorganisme, yaitu bakteri
dari kelompok aktinomiset. Streptomyces, misalnya, merupakan genus bakteri dari
kelompok ini yang terbukti mampu menghasilkan bermacam-macam antibiotika.
Pada akhir 1972-an, bakteri dari genus Streptomyces ini telah menghasilkan 2.078
jenis antibiotik (Haslm, 2007).
Sekalipun telah banyak menghasilkan antibiotika, eksplorasi terhadap
aktinomiset terutama pada genus Streptomyces untuk mencari spesies-spesies baru
guna memperoleh antibiotika baru tetap dilakukan. Eksplorasi untuk menemukan
jenis antibiotika baru terus dilakukan karena ada faktor resistensi mikroba
terhadap antibiotika yang telah ada. Sebagai contoh resistensi terhadap penicillin
pada suatu organisme dapat disebabkan oleh produksi penicillinase, suatu enzim
yang menginaktifkan penicillin (Pelczar & Chan, 2005).
Beberapa jenis antibiotika baru yang ditemukan dihasilkan oleh bakteri
endofit. Bakteri endofit merupakan istilah yang digunakan untuk bakteri yang
terdapat dalam suatu jaringan bagian dalam tumbuhan (Nawangsih, 2007).
Banyak bangsa kuno seperti orang Mesir kuno, dan orang Yunani kuno sudah
menggunakan jamur dan tanaman untuk mengobati infeksi (Pelczar & Chan,
2005). Belum lama ini ditemukan adanya bakteri yang hidup di dalam jaringan
bagian dalam tanaman tersebut dan setelah diteliti ternyata bakteri tersebut
menghasilkan senyawa antibiotika bahkan beberapa menghasilkan senyawa lain
yang sama dengan tanaman tersebut. Oleh karena itu, para ilmuwan lebih memilih
mengembangbiakan bakteri endofit untuk menghasilkan antibiotika dalam jumlah
besar dibanding menanam dan merawat tanaman penghasil senyawa antibiotika
yang serupa.
Metode agar cakram kertas (Paper Disc Method) merupakan salah satu
cara untuk menguji kesanggupan antibakteri dalam membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme hidup. Mikroorganisme uji yang dipergunakan
adalah Bacillus subtilis (B. subtilis), Staphylococcus aureus (S. aureus),
Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) dan Escherichia coli (E. coli) (Haslm,
2007). Purifikasi dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi kolom,
serta analisa kemurnian dengan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT), High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Fourier Transform Infrared
(FTIR).
1.2. Perumusan Masalah
Pada awal tahun 2007 BPPT-Biotek telah melakukan analisa pendahuluan
mengenai aktivitas senyawa metabolit sekunder aktinomiset dari berbagai kultur
seperti tanah humus, daun, bahkan batang tanaman, yang memiliki kemampuan
sebagai antibiotika, salah satunya yang diuji dalam penelitian ini adalah isolat
aktinomiset endofit BioMCC AE00048a yang didapatkan dari daun tumbuhan
Krokot (Portulaca) dari Lampung. Hal ini disebabkan karena salah satu
spesiesnya yaitu Portulaca oleracea dikenal sebagai tanaman purslane yang dapat
dimakan sebagai salad karena mengandung nutrisi bioprotektif seperti
antioksidan, vitamin dan asam amino (Spieler, 2006).
Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit dari
daun tumbuhan Krokot telah diketahui memiliki kemampuan sebagai antibiotika
(antibakteri), namun senyawa tersebut belum diketahui jenis pelarut optimal dan
keberadaannya di dalam sel (intrasel) ataukah di luar sel (ekstrasel). Selain itu
belum diketahui pula persentase kemurnian hasil kromatografi kolom dan gugus-
gugus fungsional yang terdapat dalam senyawa aktif antibiotika tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai "Optimasi Separasi
Senyawa Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit" yaitu :
a. Mengetahui pelarut optimal senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh
aktinomiset.
b. Mengetahui keberadaan senyawa aktif antibiotika yang berasal dari hasil
fermentasi aktinomiset.
c. Mengetahui persentase kemurnian senyawa aktif antibiotika hasil kromatografi
kolom.
d. Mengetahui gugus-gugus fungsional yang terdapat pada senyawa aktif
antibiotika hasil fermentasi aktinomiset.
1.4. Hipotesis
Senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit dapat berupa
senyawa di dalam sel (intrasel) atau di luar sel (ekstra sel), sehingga dalam
penelitian ini dilakukan pemisahan antara supernatan dan biomassa. Jika senyawa
aktif tersebut terdapat di biomassa maka dapat dikatakan senyawa antibiotika
berada di dalam sel (intrasel), namun jika senyawa aktif terdapat di supernatan
maka senyawa tersebut berada di luar sel (ekstrasel). Senyawa antibiotika tersebut
dapat berupa senyawa non polar, semipolar hingga polar, sehingga dilakukan
optimasi ekstraksi dengan menggunakan tiga macam pelarut ekstraksi yang
mewakili ketiga jenis polaritas tersebut yaitu n-butanol mewakili pelarut polar, etil
asetat mewakili pelarut semipolar dan n-heksana yang mewakili pelarut non polar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aktinomiset
Aktinomiset adalah kelompok ke-17 dari bakteri yang diakui dalam edisi
mutakhir Bergey’s Manual (Pelczar & Chan, 2005) termasuk domain bakteri.
Semua aktinomiset adalah gram positif dan mereka bisa bersifat anaerobik atau
anaerobik fakultatif. Spesies aktinomiset dapat membentuk spora, dan ketika
berada dalam bentuk bakteri tunggal berbentuk batang. Secara morfologi koloni
aktinomiset berbentuk seperti fungi dengan adanya jaringan hifa yang bercabang
(Holt, 1994).
Gambar 1. Bakteri A. israelii
Klasifikasi Actinomyces
(Prescott, et. al., 2002) :
Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Actinomy
cete
Domain : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Sub class : Actinobacteridae
Ordo : Actinomycetales
Sub ordo : Actinomycineae
Familia : Actinomycetaceae
Genus : Actinomyces
Species : A. israelii
Banyak spesies aktinomiset bersifat patogen pada manusia dan mamalia
lainnya, khususnya pada rongga mulut. Pada beberapa kasus yang jarang terjadi,
bakteri ini dapat menyebabkan aktinomikosis, suatu penyakit khusus dengan
terbentuknya bengkak dalam mulut, paru-paru dan saluran gastrointestinal.
Namun, aktinomiset juga memiliki peran penting dalam ekologi tanah dengan
menghasilkan sejumlah enzim yang dapat membantu mendegradasi material
organik tanaman, lignin dan kitin, dalam pembentukan kompos (Stackebrandt, et.
al., 1997).
Ada beberapa spesies aktinomiset yang dapat menghasilkan metabolit
sekunder berupa antibiotika dan sampai saat ini penelitian mengenai hal tersebut
masih dilakukan. Isolat aktinomiset yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan isolat aktinomiset endofit BioMCC AE00048a dari daun tumbuhan
krokot yang berasal dari Lampung.
2.2. Tumbuhan Krokot
Portulaca (nama daerah: Krokot) adalah genus dari tanaman dari suku
Portulacaceae dengan tinggi dapat mencapai 40 cm. Terdapat sekitar 40-100
spesies yang ditemukan di daerah tropis dan daerah bermusim empat. Portulaca
perama kali diidentifikasi di Massachusetts, USA tahun 1672. Salah satu
spesiesnya yaitu Portulaca oleracea dikenal sebagai tanaman purslane yang dapat
dimakan sebagai salad karena mengandung nutrisi bioprotektif seperti
antioksidan, vitamin dan asam amino. Di beberapa daerah Portulaca dikenal
sebagai tanaman hama. Beberapa spesies Portulaca juga menjadi makanan bagi
ulat ngengat dan kupu-kupu (Spieler, 2006).
2
Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Portulaca_
oleracea
Gambar 2. Tumbuhan Portulaca
oleracea L.
Klasifikasi Ilmiah
(Tjitrosoepomo, 2002) :
Kingdom: Plantae
Divisio: Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Class: Dicotyledoneae
Sub class : Monochlamydeae
Ordo: Caryophyllales
Familia: Portulacaceae
Genus: Portulaca L.
Species : P. oleracea
2.3. Antibiotika
Antibiotika merupakan zat kemoterapeutik yang menghambat atau
meniadakan pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, fungi atau protozoa.
Istilah asli antibiotika berarti suatu zat dengan aktivitas biologi membasmi
organisme hidup; tetapi antibiotika sekarang digunakan untuk suatu zat dengan
aktivitas antibakteri, antifungi atau antiparasit. Secara luas senyawa antibiotika
pertama kali digunakan untuk pengobatan modern di mana antibiotika diproduksi
dan diisolasi dari organisme hidup, seperti kelas penicillin dihasilkan dari fungi
genus Penicillium, atau streptomycin dari bakteri genus Streptomyces. Seiring
perkembangan kimia organik, sekarang banyak antibiotika juga diperoleh dari
sintesis kimia, seperti obat-obatan sulfa (Sjachri, 1992).
Tidak seperti pengobatan untuk infeksi sebelumnya yang sering
menggunakan senyawa kimia seperti strychnine dan arsenik, dengan tingkat
toksisitas tinggi juga dapat membunuh mamalia, antibiotika dari mikroba tidak
3
memiliki efek samping dan aktivitas terhadap sasaran sangat tinggi. Kebanyakan
antibiotika anti bakterial tidak memiliki aktivitas membasmi virus, fungi, atau
mikroba lainnya. Antibiotika anti bakterial dapat dikelompokkan berdasarkan
spesifikasi sasaran mereka: antibiotika ”narrow-spectrum” dengan sasaran jenis
bakteri tertentu, seperti bakteri gram positif dan gram negatif, sedang antibiotika
”broad-spectrum” berpengaruh terhadap sejumlah besar bakteri (Hussar & Holley,
1954).
2.3.1. Definisi Antibiotika
Antibiotika, pada dasarnya adalah suatu produk mikrobial yang dalam
konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme. Sekarang
ini antibiotika umumnya digunakan untuk semua senyawa antimikrobial alami,
semi sintetik dan sintetik yang efektif pada konsentrasi rendah (Singleton &
Sainsbury, 1987).
Definisi yang sama juga disampaikan oleh Pelczar & Chan (2005) yang
menyatakan bahwa antibiotika merupakan produk metabolik yang dihasilkan
suatu organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau
menghambat mikroorganisme lain. Dengan kata lain antibiotika merupakan zat
kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang menghambat
mikroorganisme lain.
4
2.3.2. Sejarah Antibiotika
Walaupun senyawa antibiotika dapat mengobati penyakit manusia yang
disebabkan oleh bakteri seperti tuberkulosis, pes dan kusta, tetapi antibiotika tidak
diisolasi dan diidentifikasi sampai abad ke-20. Penggunaan antibiotika pertama
yang diketahui, dilakukan oleh orang Cina kuno lebih dari 2.500 tahun yang lalu.
Banyak bangsa kuno lainnya seperti orang Mesir kuno sudah menggunakan jamur
dan tanaman untuk mengobati infeksi. Kedua organisme ini memproduksi zat
antibiotika, fenomena ini dikenal dengan antibiosis (Pelczar & Chan, 2005).
Antibiosis adalah proses penghambatan pertumbuhan suatu organisme
oleh organisme yang lain (Hussar & Holley, 1954). Antibiosis pertama kali
dijelaskan dalam bakteri pada tahun 1877 ketika Louis Pasteur dan Robert Koch
mengamati bahwa Bacillus yang ada di udara mampu menghambat pertumbuhan
Bacillus anthracis. Sifat antibiotika Penicillium sp. pertama kali digambarkan di
Perancis oleh Ernest Duchesne pada tahun 1897, tetapi pekerjaannya ini tidak
tercatat dalam komunitas ilmuwan.
Penelitian modern terhadap terapi antibiotika dimulai di Jerman dengan
perkembangan antibiotika narrow spectrum, salvarsan, oleh Paul Ehrlich pada
tahun 1909, untuk mengatasi masalah syphilis yang menyebar luas. Salvarsan juga
efektif membasmi infeksi spirochaetal lainnya, namun salvarsan tidak terlalu lama
digunakan dalam pengobatan modern, karena telah terjadi resistensi terhadap
antibiotika tersebut. Setelah itu antibiotika berkembang di Inggris seiring
ditemukannya kembali Penicillin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928. Rene
Dubos pada tahun 1939 mengisolasi gramicidin, salah satu antibiotika pertama
5
yang digunakan secara komersial selama Perang Dunia kedua membuktikan
keefektifan yang tinggi dalam mengobati luka dan bisul. Lebih dari sepuluh tahun
kemudian, Ernest Chain dan Howard Florey tertarik dengan pekerjaan yang
berkaitan dengan antibiotika dan berhasil memurnikan penicillin (Van Epps,
2006).
Menurut Husein (1982) zat antibiotika kemoterapeutik yang ideal
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
a. Mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat mikroorganisme
patogen spesifik. Makin besar jumlah macam mikroorganisme yang
dipengaruhi, makin baik. Antibiotika berspektrum luas efektif terhadap
banyak spesies.
b. Tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten parasit.
c. Tidak menimbulkan efek sampingan yang tidak dikehendaki pada inang,
seperti reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi pada ginjal atau saluran
gastrointestin.
d. Tidak melenyapkan flora mikroba normal pada inang.
e. Harus dapat diberikan melalui mulut tanpa diinaktifkan oleh asam lambung
atau melalui suntikan (parenteral) tanpa terjadi pengikatan dengan protein
darah.
f. Memiliki taraf kelarutan yang tinggi dalam zat alir tubuh.
g. Konsentrasi antibiotika dalam jaringan atau darah harus dapat mencapai taraf
cukup tinggi sehingga mampu menghambat atau mematikan penyebab infeksi
(Pelczar & Chan, 2005).
6
2.3.3. Pengelompokan Antibiotika
Antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset secara garis besar terbagi
menjadi tiga golongan (Madigan, et. al., 2003), yaitu :
a. Golongan aminoglikosida. Golongan ini dinamakan aminoglikosida karena
strukturnya mengandung amino dan glikosida. Paling sedikit golongan ini
mempunyai satu aminoheksosa dan mempunyai pentosa pada gugus
aminonya. Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan
akan menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan
genetik bakteri tersebut. Contoh-contoh antibiotika pada golongan ini adalah
streptomisin, neomisin, peromomisin, kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.
b. Golongan makrolida. Struktur golongan ini terdiri atas cincin lakton yang
besar dinamakan makrolid, gugus keton, dan glikosida. Cara kerja golongan
makrolid antara lain dengan menghambat sintesis protein. Contoh-contoh
antibiotika pada golongan ini antara lain pikromisin, eritromisin, karbomisin,
oleandomisin, spiramisin, josamisin, dan tilosin.
c. Golongan obat antitumor. Beberapa obat bioaktif yang dihasilkan oleh
aktinomiset dapat digunakan untuk kemoterapi kanker. Obat ini umumnya
bersifat sitotoksik dengan mengganggu fungsi DNA (contoh: actinomycin D
dan anthracyclines) atau cross linking agents (mitomycin C), menyebabkan
pecahnya ikatan rantai DNA (bleomycin, streptonigrin), atau interaksi dengan
DNA (mithramycin, chromomycin, olivomycin).
7
2.3.4. Cara Kerja Antibiotika
Keefektifan suatu antibiotika bermacam-macam tergantung pada lokasi
infeksi, kemampuan antibiotika untuk mencapai lokasi infeksi, dan kemampuan
mikroba untuk menginaktifkan atau mengekskresikan antibiotika. Beberapa
antibiotika dapat berupa bakteriostatik, menghambat pertumbuhan dan reproduksi,
bakterisidal, bertindak membunuh organisme, atau bakteriolitik (Madigan, et. al.,
2003). Perbedaan ini sebenarnya tidak pasti, tetapi pada derajat tertentu berkaitan
dengan dosis.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi cara kerja antibiotika
(Prescott, et. al., 2002), sebagai berikut :
a. Kondisi organisme memainkan peran utama, karena metabolisme sel tertinggi
yaitu pada tahap pertumbuhan dan penggandaan, dengan demikian keefektifan
antibiotika lebih besar dalam membasmi populasi bakteri yang memiliki
pertumbuhan dan penggandaan yang cepat dibanding bakteri pada keadaan
stabil.
b. Jumlah organisme yang tersedia. Kemungkinan menemukan galur atau sel
bakteri tunggal yang mampu resisten atau bahkan merusak beberapa
antibiotika meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah organisme dalam
populasi.
c. Sifat kimia dan fisika alami dari lingkungan organisme.
d. Konsentrasi antibiotika dalam lingkungan organisme. e.
Daya tahan antimikrobial dari organisme inang.
8
Secara umum, antibiotika bekerja dengan cara merubah proses
metabolisme utama organisme dengan mengganggu beberapa sistem enzim
spesifik atau dengan memanfaatkan metabolit tertentu. Penicillin mengganggu sel
bakteri dalam penangkapan asam glutamat dan nutrien lainnya dari lingkungan.
Streptomycin mengganggu siklus Krebs dari metabolisme karbohidrat.
Aureomycin dan terramycin telah dipastikan dapat menekan fosforilasi dalam sel
bakteri, sedang chloramphenicol dapat mencegah sintesis dan pemecahan asam
lemak dengan mengganggu aktivitas lipase. Bacitracyn bertindak hampir sama
dengan penicillin, dan polymyxin menghancurkan integritas sel bakteri.
2.3.5. Resistensi Terhadap Antibiotika
Ketika zat-zat kemoterapeutik seperti sulfonamida dan antibiotika pertama
kali digunakan, terbentuknya resistensi pada bakteri jarang terjadi. Resistensi
merupakan masalah baru setelah pemakaian antibiotika secara luas menuntun ke
arah pelenyapan organisme-organisme yang rentan dari populasi, sementara
jumlah organisme yang resisten dapat bertambah dengan bebasnya.
Munculnya organisme resisten awalnya diperkirakan akibat terjadinya
perubahan dalam satu gen bakteri yang menjadikan bakteri tersebut resisten.
Penjelasan lain mengenai terbentuknya resistensi, setidak-tidaknya pada beberapa
bakteri gram negatif mempunyai gen khusus yang berfungsi melindungi bakteri
tersebut dari pengaruh bakterisidal suatu obat atau antibiotika. Misalnya, gen
semacam itulah yang menghasilkan penicillinase pada Staphylococcus yang
resisten terhadap penicillin. Beberapa individu dalam suatu spesies bakteri
membawa gen resisten sewaktu terjadi infeksi, kemudian memperbanyak diri,
9
sedangkan galur-galur yang sensitif terhambat atau mati. Gen resisten ini dapat
pula dipindahsebarkan melalui konjugasi, transformasi atau transduksi dari bakteri
lain selama berlangsungnya pengobatan dengan antibiotik (Pelczar & Chan,
2005).
Terbentuknya resistensi dapat dikurangi dengan berbagai cara (Pelczar &
Chan, 2005), di antaranya :
a. Menghentikan penggunaan antibiotika pada infeksi biasa atau sebagai obat
luar.
b. Menggunakan antibiotika yang sesuai dengan dosis yang tepat pula agar
infeksi cepat sembuh.
c. Menggunakan kombinasi antibiotika yang telah terbukti keefektifannya, dan
d. Menggunakan antibiotika yang lain bila ada tanda-tanda bahwa suatu
organisme akan menjadi resisten terhadap antibiotika yang digunakan semula.
2.3.6. Uji Kerentanan
Kerentanan suatu mikroorganisme terhadap antibiotika dan zat
kemoterapeutik lain dapat ditentukan dengan teknik pengenceran tabung (tube
dilution) atau teknik cawan cakram kertas (paper disc plate). Teknik pengenceran
tabung menetapkan jumlah terkecil zat kemoterapeutik yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan organisme in vitro. Jumlah tersebut sebagai KHM
(Konsentrasi Hambatan Minimum atau minimal inhibitory concentration) (Pelczar
& Chan, 2005).
10
Metode agar cakram kertas merupakan metode yang digunakan dalam
penelitian ini. Metode agar cakram kertas menggunakan cakram-cakram kertas
kecil yang diresapi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari beberapa pelarut
ekstraksi yang berbeda-beda dalam konsentrasi tertentu, diletakkan pada
permukaan agar yang telah diinokulasi. Setelah inkubasi, dilakukan pengamatan
terhadap zona hambat (daerah jernih) di sekeliling cakram yang menunjukkan
bahwa organisme itu dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak tersebut yang
merembes dari cakram ke dalam agar pada cawan.
2.4. Pelarut Ekstraksi
2.4.1. Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CO2CH2CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud
cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Etil asetat diproduksi dalam skala
besar sebagai pelarut.
Etil asetat adalah pelarut semipolar yang volatil (mudah menguap), tidak
beracun dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen
yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton
yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti
fluor, oksigen dan nitrogen). Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut
dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada
suhu yang lebih tinggi.
11
Tabel 1. Karakterisasi Etil asetat (Baden, 2002)
Nama sistematis Etil etanoat Etil asetat
Etil ester
Nama alternatif Ester asetat
Ester etanol
Rumus molekul C4H8O2
Massa molar 60,05 g/mol
Densitas dan fase 0,77 g/cm³, cairan
Titik lebur −25 °C
Titik didih 77 °C
Kelarutan dalam air 50 g/1L (20 °C)
Kelarutan dalam etanol, aseton, dietil eter,
benzen Larut
Penampilan Cairan tak berwarna
Indeks refraktif (nD) 1,3716 (20 oC, 589 nm)
Kekentalan 1,17 mm2/s pada 20 °C
Momen dipol 1,5 D
Bahaya utama Mudah terbakar, Pembuat iritasi,
Korosif
2.4.2. n-Butanol
Butanol atau butil alkohol (kadang-kadang disebut juga biobutanol
ketika diproduksi secara biologi dengan bantuan mikroorganisme), merupakan
alkohol primer dengan struktur 4 atom karbon dan mempunyai rumus C4H10O.
Umumnya butanol digunakan sebagai pelarut, senyawa intermediet dalam sintesis
kimia dan juga sebagai bahan bakar.
Butanol bersifat polar dan seperti kebanyakan alkohol lainnya, butanol
cenderung beracun. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya keracunan tingkat
rendah pada dosis tunggal yang diujicobakan pada hewan percobaan. Namun
butanol cenderung cukup aman bila digunakan dalam kosmetik. Serupa dengan
alkohol rantai pendek lainnya, kontak butanol pada kulit disertai penghirupan
yang dilakukan terus menerus dapat mengakibatkan depresi pada sistem syaraf
pusat.
12
Tabel 2. Karakterisasi n-Butanol (Baden, 2002)
Nama sistematis 1-Butanol
Butanol
Butan-1-ol
n-Butanol
Nama alternatif normal-Butanol
Butil alkohol
Butyric alkohol
Propylcarbinol
Rumus molekul C4H10O, BuOH
Massa molar 74.12 g/mol
Penampilan Cairan bening
Densitas dan fase 0.81 g/cm³ @ 20 °C, cairan
Titik lebur −89 °C
Titik didih 116-118 °C
Kelarutan dalam air 77 g/1 L H2O pada 20 °C
Indeks refraktif 1,3993 (20 oC, 589 nm)
Momen dipol 1,66 D (1-butanol)
Bahaya utama Mudah terbakar, Pembuat iritasi
Titik nyala 34 °C
2.4.3. n-Heksana
n-Heksana adalah hidrokarbon alkana dengan rumus kimia
CH3(CH2)4CH3. Isomer-isomer heksana sebagian besar tidak reaktif dan seringkali
digunakan sebagai pelarut inert dalam reaksi organik karena mereka sangat non
polar. Umumnya heksana terdapat di dalam gas, perekat yang digunakan dalam
produk kulit, sepatu dan atap rumah.
Tabel 3. Karakterisasi n-Heksana (Baden, 2002)
Nama alternatif n-Hexane
Rumus molekul C6H14
Massa molar 86.18 g/mol
Penampilan Cairan tidak berwarna
Densitas dan fase 0.669 g/ml, cairan
Titik lebur −94,3 °C
Titik didih 40 °C
Kelarutan dalam air Tidak larut (0,0095 g/1 L (20 oC))
Kekentalan 0,50 mm2/s pada 20 °C
Bahaya utama Mudah terbakar, Berbahaya, Berbahaya bagi
lingkungan
Titik nyala −22 °C
13
2.5. Mikroorganisme Uji
2.5.1. Aspergillus niger
Aspergillus niger adalah fungi dan salah satu spesies yang paling umum
dari genus Aspergillus. A. niger dapat menyebabkan penyakit yang disebut
sebagai jamur hitam pada buah dan sayuran tertentu seperti anggur, bawang dan
kacang, selain itu ia merupakan kontaminan makanan yang umum. Habitat A.
niger terutama di tanah dan umumnya dalam ruangan berbentuk koloni hitam
(Samson, et. al., 2001).
Sumber :
www.deanza.edu/mccauley/fungi.htm
Klasifikasi Aspergillus niger (McCauley, 2008) :
Domain: Eukaryota
Kingdom: Fungi
Phylum: Ascomycota
Class: Eurotiomycetes
Ordo: Eurotiales
Familia: Trichocomaceae
Genus: Aspergillus
Species: A. niger
Gambar 3. Sel A. niger
A. niger tidak terlalu berbahaya bagi manusia dibandingkan beberapa
spesies Aspergillus lainnya, tetapi sporanya bila dalam jumlah besar terhirup
dapat menyebabkan penyakit paru-paru berbahaya, yang disebut aspergillosis.
Selain itu A. niger merupakan penyebab utama otomycosis (infeksi jamur telinga),
yang dapat menyebabkan rasa sakit, dan hilangnya pendengaran sementara
(Curtis, et. al., 1979)
14
2.5.2. Bacillus subtilis
Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif, positif katalase,
umumnya ditenukan di tanah (Madigan & Martinko, 2005). Sebagai anggota
genus Bacillus, B. subtilis memiliki kemampuan membentuk endospora protektif
yang kuat, yang menyebabkan ia tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrim
(Nakano & Zuber, 1998).
Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Bacillus_
subtilis
Klasifikasi Bacillus subtilis (Prescott, et. al., 2002):
Kingdom: Bacteria
Phylum: Firmicutes
Class: Bacilli
Ordo: Bacillales
Familia: Bacillaceae
Genus: Bacillus
Species: B. subtilis
Gambar 4. Sel B. subtilis
B. subtilis tidak dianggap patogen terhadap manusia, ia dapat
mengkontaminasi makanan tetapi jarang menyebabkan keracunan makanan. B.
subtilis menghasilkan enzim proteolitik, subtilin. Spora B. subtilis dapat hidup
pada pemanasan yang sangat tinggi dan sering merusak makanan yang
dipanggang seperti roti akibat terbentuknya polisakarida rantai panjang yang
dihasilkan bakteri tersebut (Ryan & Ray, 2004).
15
2.5.3. Candida albicans
Candida albicans adalah fungi diploid (berbentuk yeast) dan merupakan
salah satu flora usus, organisme yang bayak hidup pada mulut dan saluran
gastrointestinal. Dalam kondisi normal, C. albicans hidup dalam 80% populasi
manusia tetapi tidak berbahaya, walaupun pertumbuhan yang berlebih
menyebabkan candidiasis. Candidiasis juga dikenal sebagai sariawan, merupakan
kondisi umum yang biasanya mudah diobati pada orang yang memliki daya tahan
tubuh tinggi (Ryan & Ray, 2004).
Sumber :
www.naturesia.com/A-IMBN/article
Klasifikasi Candida albicans
(Pelczar & Chan, 1986) :
Kingdom: Fungi
Phylum: Ascomycota
Subphylum: Saccharomycotina
Class: Saccharomycetes
Ordo: Saccharomycetales
Familia: Saccharomycetaceae
Genus: Candida
Species: C. albicans
Gambar 5. Hifa Candida albicans
2.5.4. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, anaerobik fakultatif,
dan tidak menghasilkan spora. E. coli dapat hidup pada berbagai jenis substrat. E.
coli menggunakan fermentasi campuran asam untuk menghasilkan laktat,
suksinat, etanol, asetat dan karbon dioksida. Pertumbuhan optimal E. coli terjadi
pada suhu 370 C, tetapi beberapa laboratorium menggunakan suhu hingga 49
0 C.
16
Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Escheric
hia_coli
Klasifikasi Escherichia coli
(Madigan, et. al., 2002) :
Domain: Bacteria
Phylum: Proteobacteria
Class: Gamma Proteobacteria
Ordo: Enterobacteriales
Familia: Enterobacteriaceae
Genus: Escherichia
Species: E. coli
Gambar 6. Sel Escherichia coli
E. coli adalah bakteri yang umumnya ditemukan di usus bagian bawah dari
hewan berdarah panas (Vogt & Dippold, 2005). Kebanyakan galur E. coli tidak
terlalu berbahaya, tetapi ada beberapa yang dapat menyebabkan keracunan
makanan yang berbahaya bagi manusia. Galur E. coli yang tidak berbahaya
merupakan salah satu flora normal dalam usus, dan menguntungkan inang mereka
karena menghasilkan vitamin K, atau mencegah pertumbuhan bakteri patogen
dalam usus (Bentley & Meganathan, 1982). E. coli ditemukan oleh ahli gizi dan
ahli bakteri Jerman Theodor Escherich pada tahun 1885, dan sekarang
diklasifikasikan sebagai bagian famili Enterobacteriaceae dari gamma-
proteobacteria.
2.5.5. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerobik
dan berbentuk batang. P. aeruginosa bersifat patogen terhadap manusia dan
tumbuhan. P. aeruginosa merupakan salah satu spesies dari jenis genus
Pseudomonas (Anzai, et. al., 2000).
17
P. aeruginosa mensekresikan berbagai jenis pigmen, termasuk pyocianin
(biru-hijau), fluorescein ((kuning-hijau) dan fluorescent, yang sekarang dikenal
dengan pyoverdin) dan pyorubin (merah-coklat). Seringkali identifikasi P.
aeruginosa melalui penampakan pearlescent (iridescene) dan bau seperti anggur
secara in vitro. Secara medis pertumbuhan P. aeruginosa sering diidentifikasikan
dengan menghasilkan pyocianin dan fluorescein dengan kondisi pertumbuhan
optimal pada suhu 420C (Iglewski, 1996).
Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudomo
nas_aeruginosa
Klasifikasi Pseudomonas aeruginosa
(Madigan, et. al., 2002) :
Kingdom: Bacteria
Phylum: Proteobacteria
Class: Gamma Proteobacteria
Ordo: Pseudomonadales
Familia: Pseudomonadaceae
Genus: Pseudomonas
Species: P. aeruginosa
Gambar 7. Sel Pseudomonas
aeruginosa
Kemampuan patogen P. aeruginosa terjadi pada individu yang memiliki
daya tahan tubuh rendah, dan biasanya menyerang saluran paru-paru, saluran urin,
bekas luka bakar, dan luka yang diperban, dan juga menyebabkan infeksi darah.
P. aeruginosa merupakan penyebab utama dari infeksi pada luka bakar dan
infeksi telinga luar, dan seringkali membentuk koloni pada alat-alat medis seperti
pipa yang ditanamkan dalam tubuh (Fine, et. al., 1996).
18
2.5.6. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerobik fakultatif, Gram
positif yang berbentuk kokus dengan penampakan kumpulan seperti buah anggur
ketika diamati menggunakan mikroskop, dan memiliki koloni yang besar,
berbentuk lingkaran serta berwarna kuning keemasan, sering menyebabkan
hemolisis ketika ditumbuhkan dalam media blood agar (Ryan & Ray, 2004).
Penampakan keemasan merupakan etimologi dari nama bakteri aureus yang
berarti emas dalam bahasa Latin. S. aureus ditemukan di Aberdeen, Skotlandia
pada tahun 1880 oleh ahli bedah Sir Alexander Ogston dalam nanah dari bisul saat
melakukan pembedahan (Ogston, 1984).
Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Staphylo
coccus_aureus
Gambar 8. Sel Staphylococcus
aureus
Klasifikasi Staphylococcus aureus
(Prescott, et. al., 2002) :
Domain: Bacteria
Kingdom: Eubacteria
Phylum: Firmicutes
Class: Bacilli
Ordo: Bacillales
Familia: Staphylococcaceae
Genus: Staphylococcus
Species: S. aureus
19
S. aureus umumnya hidup pada kulit dan hidung seseorang. Bakteri ini
dapat menyebabkan sejumlah penyakit infeksi kulit sederhana seperti jerawat,
bisul, bisul bernanah, dan sindrom kulit terbakar, serta penyakit yang berbahaya
seperti pneumonia, radang selaput otak, toxic shock syndrome (TSS), dan
keracunan darah (Kluytmans, et. al., 1997).
2.6 . Separasi Antibiotika
Tahap penting untuk mendapatkan antibiotika dari substrat fermentasi
ialah pemisahan sel, bagian sel atau zat-zat tak larut lainnya dari cairan medium.
Produk mungkin berada di dalam sel atau di luar sel. Bila produk tidak
disekresikan ke dalam medium (intrasel), maka produk ada di bagian padatan dan
harus dikeluarkan dari sel. Cara untuk memecah sel dapat secara kimia atau
mekanis, antara lain dengan ultrasonic disrupter untuk memecah dinding sel skala
kecil, osmotic shock, enzimatis, high-pressure homogenizer dan sebagainya. Cara
mekanis lebih lazim digunakan karena lebih efisien dan mudah digunakan dalam
skala besar. Namun kemajuan teknologi seperti DNA rekombinan memungkinkan
pemecahan dinding sel menjadi lebih mudah yaitu dengan memasukkan gen
pembawa sifat melemahkan dinding sel bakteri, sehingga lisis dinding sel akan
terjadi lebih mudah (Suwandi, 1990).
Bila produk disekresikan ke dalam medium (ekstrasel), bagian cairan
dapat langsung diambil dan diekstraksi pada proses berikutnya, atau ekstraksi
dapat langsung dilakukan tanpa memisahkan padatan dan cairan.
20
2.6.1. Filtrasi
Filtrasi banyak digunakan baik dalam skala laboratorium maupun skala
besar, meskipun kadang-kadang mengalami berbagai kesukaran. Faktor-faktor
penyebabnya antara lain sifat, ukuran dan morfologi mikroba; pH dan kepekatan
biakan; kontaminasi mikroba yang tak diinginkan dan sifat residu substrat yang
tak larut (Suwandi, 1990).
Untuk skala laboratorium biasanya digunakan vacuum filter yang terdiri
dari Buchner funnel dan Buchner vacuum flask. Pemisahan dapat dilakukan
dengan kertas saring atau dengan bantuan bahan diatomaceous.
2.6.2. Sentrifugasi
Sekarang telah banyak dikembangkan centrifuge berkecepatan tinggi
untuk memisahkan cairan dan padatan. Alat ini sangat berguna di dalam
laboratorium, karena persiapannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan
filtrasi. Untuk meningkatkan laju filtrasi dan sentrifugasi dapat dilakukan
koagulasi dan flokulasi terlebih dahulu, terutama untuk mengubah koloid menjadi
partikel yang mudah mengendap. Koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan dengan
menambah elektrolit-elektrolit sederhana seperti asam, basa, garam dan ion
multivalen maupun polielektrolit (Suwandi, 1990).
21
2.7. Isolasi dan Purifikasi.
Beberapa antibiotika terletak di bagian tak larut, sehingga bagian cairan
dapat dibuang. Setelah produk dilepaskan dari sel, tahap selanjutnya dilakukan
seperti pada produk ekstrasel. Akan tetapi kebanyakan antibiotika terletak di
bagian cairan biakan fermentasi. Sesudah dipisahkan dengan filtrasi atau
sentrifugasi, produk ada di bagian supernatan bercampur dengan senyawa lain.
Untuk mengeliminasi zat-zat tersebut dari produk dapat digunakan liquid
extraction atau adsorption (Suwandi, 1990).
2.7.1. Liquid Extraction
Pada prinsipnya bila senyawa organik dipapar dengan dua sistem pelarut
yang tidak saling larut, senyawa tersebut akan terdistribusi di antara dua sistem
dengan perbandingan tertentu. Sifat ini dimanfaatkan untuk mengekstraksi produk
dalam filtrat fermentasi dengan pelarut organik. Jenis pelarut organik yang
digunakan perlu diseleksi dan pemilihan dapat dilakukan berdasarkan sifat
distribusinya, volatilitas, kemudahan recovery dan biayanya.
Dalam ekstraksi pelarut, rasio distribusi dinyatakan sebagai pengukuran
seberapa baik proses ekstraksi itu dilakukan. Rasio distribusi (D) adalah
konsentrasi zat terlarut dalam fase organik dibagi dengan konsentrasi zat terlarut
dalam fase air. Nilai rasio distribusi bergantung pada temperatur, konsentrasi zat
kimia dalam sistem dan sejumlah parameter lainnya. Bila dirumuskan maka nilai
rasio distribusi (Day, Jr & Underwood, 1990), yaitu :
D = C org
C air
22
Keterangan : D = Rasio distribusi
C org = Konsentrasi zat terlarut dalam fase organik (mg/L) C
air = Konsentrasi zat terlarut dalam fase air (mg/L)
Selanjutnya hasil ekstraksi dapat dipekatkan, biasanya dilakukan pada
temperatur rendah yaitu kurang dari 400C dan tekanan juga perlu dikurangi.
Kondisi demikian diperlukan untuk menghindari perubahan kimia produk yang
dikehendaki. Alat yang biasa digunakan untuk pemekatan hasil ekstraksi adalah
rotary evaporator.
Alat rotary evaporator dapat menguapkan pelarut dengan cepat dan
menjaga distribusi panas lebih merata. Kemampuan alat ini untuk menguapkan
pelarut bervariasi, tetapi pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh kondisi operasinya
seperti temperatur, besarnya vacuum dan jenis pelarut yang digunakan dan
diuapkan.
2.7.2. Adsorpsi
Hasil isolasi pada tahap awal biasanya masih mengandung kotoran atau
senyawa dari biakan fermentasi yang mempunyai sifat fisika-kimia sama dengan
produk yang dikehendaki, sehingga proses isolasi menjadi lebih sulit. Oleh karena
itu harus dilakukan purifikasi lagi dengan teknik yang dapat memisahkan
senyawa-senyawa tersebut, sehingga diperoleh produk berkualitas tinggi.
Kromatografi merupakan cara purifikasi yang dapat diandalkan untuk
mengeliminasi zat-zat yang masih ada bersama-sama dengan produk. Berdasarkan
sifat-sifat bahan yang akan dieliminasi dan diisolasi, produk dapat dipisahkan
dengan berbagai macam cara kromatografi seperti adsorpsi, partisi, penukar ion
23
dan lain-lain. Pada penelitian ini kromatografi yang digunakan yaitu adsorpsi.
Pada prinsipnya merupakan adsorpsi permukaan dan merupakan cara yang sangat
berguna untuk mengisolasi metabolit mikroba. Bahan adsorpsi mempunyai area
permukaan luas, disebabkan banyaknya pori halus pada padatan tersebut yang
digunakan untuk mengadsorpsi senyawa dengan berat molekul rendah dan untuk
mengadsorpsi senyawa polar dari larutan non polar. Besarnya luas permukaan
berada dalam orde 200-1000 m2/g adsorben, dengan diameter pori sebesar 0,0003-
0,02 µ m (Bernasconi, et. al., 1995).
Adsorben yang lazim digunakan antara lain silika gel, aluminium oksida,
karbon aktif dan polistiren. Pembentukan garam suatu produk juga merupakan
salah satu cara untuk mengisolasi antibiotika, sebagai contoh garam laktat dan
oksalat eritromisin. Teknik ini pada prinsipnya memanfaatkan kurangnya daya
larut garam produk fermentasi, sehingga digunakan untuk mengisolasi dan
memurnikan produk tersebut.
2.8. Kromatografi Lapis Tipis
Secara umum kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi
campuran menjadi komponen-komponennya. Semua kromatografi memiliki fase
diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak
(berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa
komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang
berbeda bergerak pada laju yang berbeda.
24
Kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau
alumina yang seragam setebal 0,1-0,3 mm pada sebuah lempeng gelas atau logam
atau plastik yang keras (Nur & Adijuwana, 1988). Gel silika (atau alumina)
merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga
mengandung substansi yang mana dapat menghasilkan flourescent dalam sinar
ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai.
2.8.1. Cara Kerja Kromatografi Lapis Tipis
Gel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon
dihubungkan oleh atom oksigen dalam struktur kovalen yang besar. Namun, pada
permukaan gel silika, atom silikon berlekatan pada gugus –OH (Nur &
Adijuwana, 1988).
Badan utama dari struktur silika
Gambar 9. Permukaan gel silika
Jadi, pada permukaan gel silika terdapat ikatan Si-O-H selain Si-O-Si.
Gambar 9 menunjukkan bagian kecil dari permukaan silika. Permukaan gel silika
sangat polar dan karenanya gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan
senyawa-senyawa sampel yang sesuai. Fase diam lainnya yang biasa digunakan
adalah aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan memiliki gugus -OH.
25
Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan
melarutkan senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis
dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi
sebagaimana halnya pergerakan pelarut.
Cepatnya senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas pada lempengan,
(Nur & Adijuwana, 1988) tergantung pada :
1) Kelarutan senyawa dalam pelarut, bergantung pada besarnya interaksi antara
molekul-molekul senyawa dengan pelarut.
2) Senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika tergantung pada
besarnya interaksi antara senyawa dengan gel silika.
2.8.2. Kromatogram
Sebuah garis menggunakan pensil digambar dekat bagian bawah
lempengan dan setetes pelarut dari campuran pewarna ditempatkan pada garis itu.
Penandaan pada garis di lempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan.
Jika ini dilakukan menggunakan tinta, pewarna dari tinta akan bergerak
selayaknya kromatogram dibentuk.
26
Gelas arloji
Plat KLT
Chamber
Garis pensil
Pelarut
Spot campuran
Gambar 10. Kromatografi Lapis Tipis
Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan
dalam sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu
banyak. Alasan untuk menutup gelas kimia adalah untuk meyakinkan bahwa
kondisi dalam gelas kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Untuk mendapatkan
kondisi ini, dalam gelas kimia biasanya ditempatkan beberapa kertas saring yang
terbasahi oleh pelarut. Kondisi jenuh dalam gelas kimia dengan uap mencegah
penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponen-
komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan
yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak warna (Nur &
Adijuwana, 1988).
27
Ketinggian yang dicapai
pelarut
Gambar 11. Lempengan setelah pelarut bergerak setengah dari lempengan.
2.8.3. Analisa Kromatogram
Ada dua cara untuk menyelesaikan analisis sampel yang tidak berwarna.
Yang pertama dengan menggunakan flourescent. Fase diam pada sebuah
lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditambahkan ke
dalamnya, supaya menghasilkan flourescent ketika diberikan sinar ultraviolet
(UV).
Sinar UV
Gambar 12. Kromatogram dengan sinar UV
Cara yang kedua yaitu penunjukkan bercak secara kimia. Sebuah contoh
yang baik adalah kromatogram yang dihasilkan dari campuran asam amino.
Kromatogram dapat dikeringkan dan disemprotkan dengan larutan ninhidrin.
Ninhidrin bereaksi dengan asam amino menghasilkan senyawa-senyawa
berwarna, umumnya coklat atau ungu (Nur & Adijuwana, 1988).
28
S e b e lu m d is e m p r o t k a n
n in h id r in
S e t e la h d is e m p r o t k a n
n in h id r in
Gambar 13. Kromatogram dengan pereaksi ninhidrin
Dalam metode lain, kromatogram dikeringkan kembali dan kemudian
ditempatkan pada wadah bertutup (seperti gelas kimia dengan tutupan gelas arloji)
bersama dengan kristal iodium. Uap iodium dalam wadah dapat berekasi dengan
bercak pada kromatogram, atau dapat dilekatkan lebih dekat pada bercak daripada
lempengan. Substansi yang dianalisis tampak sebagai bercak-bercak kecoklatan
(Day, Jr & Underwood, 1990).
2.8.4. Perhitungan nilai retention factor (Rf)
Pengukuran retention factor (Rf) berdasarkan pada jarak yang ditempuh
oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna masing-masing digunakan
untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul (Day, Jr &
Underwood, 1990). Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan
dipindahkan dari gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis,
sebelum mengalami proses penguapan.
29
Pengukuran berlangsung sebagai berikut:
J a r a k ya n g d it e m p u h
p e la r u t
J a r a k ya n g
d it e m p u h b
e b e r a p a k o
m p o n e n
Gambar 14. Pengukuran Rf
Nilai Rf untuk setiap warna dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rf=jarak yang ditempuh oleh komponen
jarak yang ditempuh oleh pelarut
Sebagai contoh, jika komponen berwarna merah bergerak dari 1,7 cm dari garis
awal, sementara pelarut berjarak 5,0 cm, sehingga nilai Rf untuk komponen
berwarna merah menjadi:
Rf = 1,7
5,0
= 0,34
Jika pengulangan percobaan ini dilakukan pada kondisi yang tepat sama,
nilai Rf yang akan diperoleh untuk setiap warna akan selalu sama. Sebagai contoh,
nilai Rf untuk warna merah selalu adalah 0,34. Namun, jika terdapat perubahan
(suhu, komposisi pelarut dan sebagainya), nilai tersebut akan berubah.
2.9. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
HPLC secara mendasar merupakan perkembangan tingkat tinggi dari
kromatografi kolom. Selain dari pelarut yang menetes melalui kolom di bawah
gravitasi, didukung melalui tekanan tinggi sampai dengan 400 atm. Ini membuat
HPLC lebih cepat.
30
HPLC memperbolehkan penggunaan partikel yang berukuran sangat kecil
untuk material terpadatkan dalam kolom yang mana akan memberi luas
permukaan yang lebih besar berinteraksi antara fase diam dan molekul-molekul
yang melintasinya. Hal ini memungkinkan pemisahan yang lebih baik dari
komponen-komponen dalam campuran (Anonimous, 2008).
Pelarut
Pompa untuk menghasilkan
tekanan
Prosessor
Sinyal ke prosessor
Injeksi sampel Kolom HPLC Detektor
Limbah
Gambar 15. Diagram alir HPLC
2.9.1. Waktu Retensi
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom
menuju detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan
waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian
puncak yang maksimum dari senyawa itu.
31
Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda.
Untuk beberapa senyawa, waktu retensi akan sangat bervariasi dan bergantung
pada (Anonimous, 2008):
a. Tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari
pelarut)
b. Kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada
ukuran partikel)
c. Komposisi yang tepat dari pelarut
d. Temperatur pada kolom
2.9.2. Detektor
Ada beberapa cara untuk mendeteksi substansi yang telah melewati
kolom. Metode umum yang mudah dipakai untuk menjelaskan yaitu penggunaan
serapan ultra-violet. Banyak senyawa-senyawa organik menyerap sinar UV dari
beberapa panjang gelombang. Jika sinar UV dipancarkan pada larutan yang ke
luar melalui kolom dan sebuah detektor pada sisi yang berlawanan, akan
didapatkan pembacaan langsung berapa besar sinar yang diserap. Jumlah cahaya
yang diserap akan bergantung pada jumlah senyawa tertentu yang melalui berkas
pada waktu itu (Anonimous, 2008).
32
Detektor UV
Keluaran dari kolom
Sinar UV
Sinar UV yang diserap campuran
senyawa
Gambar 16. Pendeteksian langsung senyawa organik
2.9.3. Interpretasi Output dari Detektor
Output direkam sebagai rangkaian puncak, dimana masing-masing puncak
mewakili satu senyawa dalam campuran yang melalui detektor dan menyerap
sinar UV. Selama mengontrol kondisi kolom, waktu retensi dapat digunakan
untuk mengidentifikasi senyawa yang diperoleh. Puncak juga dapat digunakan
untuk mengukur kuantitas dari senyawa yang dihasilkan (Anonimous, 2008).
Misalnya, suatu larutan mengandung senyawa murni X yang telah
diketahui jumlahnya diinjeksikan pada instrument, tidak hanya waktu retensi dari
senyawa tersebut yang dapat direkam, tetapi juga dapat menghubungkan jumlah
dari senyawa X dengan puncak dari senyawa yang dihasilkan. Area di bawah
puncak sebanding dengan jumlah X yang melalui detektor, dan area ini dapat
dihitung secara otomatis melalui layar komputer.
Gambar 17. Puncak senyawa X
33
Jika larutan X kurang pekat, area di bawah puncak akan berkurang
meskipun waktu retensi akan sama. Ini berarti dimungkinkan mengkalibrasi
instrument sehingga dapat digunakan untuk mengetahui berapa jumlah substansi
yang dihasilkan meskipun dalam jumlah kecil.
Gambar 18. Puncak senyawa X pada konsentrasi rendah
Jika terdapat dua substansi yang berbeda dalam sebuah campuran (X dan
Y), jumlah relatifnya tidak dapat dikatakan jika menggunakan serapan UV sebagai
metode pendeteksinya.
Gambar 19. Puncak serapan senyawa X dan Y dalam campuran
Dalam Gambar 19, area di bawah puncak Y lebih kecil dibanding dengan
area di bawah puncak X. Ini mungkin disebabkan oleh karena Y lebih sedikit dari X,
tetapi dapat sama karena Y mengabsorbsi sinar UV pada panjang gelombang lebih
sedikit dibanding dengan X. Ini mungkin ada jumlah besar Y yang tampak,
tetapi jika diserap lemah, ini akan hanya memberikan puncak yang kecil.
34
2.10. Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spektrofotometer FTIR merupakan alat rutin untuk mendeteksi gugus
fungsional, mengidentifikasi senyawaan, dan menganalisis campuran. Setiap tipe
ikatan yang berbeda mempunyai sifat frekuensi vibrasi yang berbeda, dan karena
tipe ikatan yang sama dalam dua senyawa berbeda terletak dalam lingkungan yang
sedikit berbeda, maka tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya akan
mempunyai bentuk serapan inframerah (IR) atau spektrum inframerah (IR) yang
sama. Dengan membandingkan spektra IR dari dua senyawa yang diperkirakan
identik, maka seseorang dapat menyatakan apakan kedua senyawa tersebut identik
atau tidak. Pelacakan tersebut lazim dikenal dengan bentuk sidik jari dari dua
spektrum inframerah (IR). Jika puncak spektrum IR dari kedua senyawa tepat
sama maka dalam banyak hal dua senyawa tersebut adalah identik (Day, Jr &
Underwood, 1990).
Kebanyakan gugus seperti C-H, O-H, C=O, dan CN, mempunyai serapan
IR yang hanya bergeser sedikit dari satu molekul ke molekul yang lain. Berikut ini
tabulasi beberapa gugus fungsi yang khas memiliki serapan tertentu pada daerah
inframerah (IR) (Day, Jr & Underwood, 1990).
35
Tabel 4. Beberapa frekuensi gugus inframerah (IR)
Gugus Fungsi Panjang Gelombang (µm) Frekuensi (cm-1
) O-H Alkohol/fenol bebas
Asam karboksilat
H yang terikat
2,74-2,79
3,70-4,0
2,82-3,12
3580-3650
2500-2700
3210-3550 NH Amina primer,
sekunder dan amida 6,10-6,45 3140-3320
CH Alkana
Alkena
Alkuna
Aromatik
3,37-3,50
3,23-3,32
3,03
~3,30
2850-2960
3010-3095
3300
~3030 -CH2- Bending 6,83 1465 -CH3 Bending 6,90-7,27 1450-1375 CC Alkuna
Alkena
Aromatik
4,42-4,76
5,95-6,16
~6,25
2190-2260
1620-1680
1475-1600 C=O Aldehid
Keton
Asam
Ester
Anhidrida
5,75-5,81
5,79-5,97
5,79-5,87
5,71-5,86
5,52-5,68
1720-1740
1675-1725
1700-1725
1720-1750
1760-11810 CN Nitrit 4,35-5,00 2000-3000 NO2 Nitro 6,06-6,67 1500-1650
36
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian mengenai Optimasi Separasi dan Purifikasi Senyawa
Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit dilakukan di Laboratorium
Proses (laboratorium Recovery) Badan Pengkajian Bioteknologi-BPPT, Pusat
Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang.
Penelitian berlangsung selama 5 bulan terhitung mulai Minggu ketiga dari bulan
Februari hingga Juli 2008.
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang dipergunakan di antaranya: timbangan analitik, [Mettler
AJ100]; laminar air flow, [ICN Gelaire TC-60]; autoclave, [TOMY SS-325];
rotavapor, [RE-121], yang dihubungkan water bath, [Buchi 461]; sonicator,
[Ultrasonic Processor XL-2020]; centrifugal concentrator, [TOMY CC-105],
yang dihubungkan low temperature trap, [TOMY TU-105] dan centrifugal
concentrator, [Sakuma EC-2000] untuk pelarut n-butanol; pH meter, [ф 34
Beckman]; stirer mekanik, [Heidholp MR2002]; termostatik, [Angelantoni
Milano QC 5 CDZ 0430]; UV Cabinet II, [CAMAG]; sentrifuge, [Beckman J2-
HS]; inkubator, [Sanyo]; mikroskop, [Axioskop Zeiss Germany]; mikropipet,
[Finnpipette S63712 4027]; jangka sorong, [Digimatic Caliper Mitutoyo Corp.];
labu Erlenmeyer 100, 250 dan 4000 mL; gelas ukur 100 mL dan 500 mL; gelas
beaker 50, 100, 500 dan 1000 mL; tabung concentrator 10 mL; tabung sentifuge
50 dan 500 mL; labu bulat 500 dan 1000 mL; ruang asam; pipet volume; bulp;
pipet tetes; gelas arloji; spatula; ose; burner; dan peralatan lainnya.
Bahan-bahan yang dibutuhkan: isolat aktinomiset endofit BioMCC
AE000484 dari daun tumbuhan krokot berasal dari Lampung, malt extract, yeast
extract, potato starch, soybean meal, D(+)-glucose, sodium chloride (NaCl),
calcium carbonate (CaCO3), mineral berupa CuSO4.5H2O, MnCl2.4H2O,
ZnSO4.7H2O, NaOH konsentrasi 0,1 dan 2 N, TLC [Merck DB684456], pelarut
ekstraksi (n-Heksana, n-Butanol dan etil asetat), ethanol 70 %, mikroorganisme
uji berupa Aspergillus niger, Candida albicans, Bacillus subtilis, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli, parafilm [MIS PM-996],
vaseline, aquadest dan tissue.
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Pembuatan Seed Culture Isolat Aktinomiset
Media ISP dibuat dengan melarutkan 0,2 g malt extract; 0,08 g yeast
extract; dan 0,08 g D(+)-glucose dengan 20 mL aquadest dan dimasukkan ke labu
Erlenmeyer dengan penutup kapas yang dibaluti kain kasa. Setelah itu pH-nya
diatur dengan penambahan NaOH 0,1N hingga mencapai 7,2 sambil diaduk
dengan stirer. Kemudian media ISP disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit
dengan suhu 1210C, dan tekanan 2 atm. Media ISP steril didinginkan dalam suhu
ruang. Selanjutnya penanaman isolat aktinomiset endofit BioMCC AE000484
dilakukan dalam media ISP secara aseptik. Setelah itu kultur aktinomiset
diinkubasi dan di kocok dengan shaker dalam termostatik selama 1-2 x 24 jam
pada suhu 300C dengan kecepatan 200 rpm.
3.3.2. Fermentasi Aktinomiset
Media fermentasi dibuat dengan melarutkan 40 g potato strach; 40 g D(+)-
glucose; 40 g soybean meal; 10 g yeast extract; dan 5 g NaCl dengan 2.000 mL
aquadest, dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang diberi penutup berupa
kapas yang dibaluti kain kasa. Selanjutnya pH-nya diatur dengan penambahan
NaOH 0,1N hingga mencapai 7,4 sambil di aduk dengan magnetic stirer.
Kemudian 6,4 g CaCO3 dan 4 mL larutan mineral ditambahkan, lalu diaduk lagi
hingga homogen. Larutan mineral didapatkan dengan melarutkan masing-masing
0,25 gram CuSO4.5H2O, MnCl2.4H2O, dan ZnSO4.7H2O ke dalam 100 mL
aquadest.
Media fermentasi tersebut selanjutnya disterilisasi dalam autoclave selama
15 menit dengan suhu suhu 1210C, dan tekanan 2 atm, lalu didinginkan selama ±
1 jam dalam suhu ruang. Kemudian seed culture ditanamkan dalam media
fermentasi sebanyak 1 % dari volume media fermentasi secara aseptik dalam LAF
(laminar air flow), lalu diinkubasi dan di kocok dengan shaker dalam termostatik
dengan suhu 300C, kecepatan 150 rpm, selama ± 3 hari berdasarkan fase
pertumbuhan optimal dari bakteri aktinomiset (fase logaritmik).
3.3.3. Optimasi Separasi Senyawa Aktif Aktinomiset
Sebanyak 100 mL broth fermentasi diambil dan dimasukkan ke dalam
labu Erlenmeyer. Sebanyak 100 mL pelarut ekstraksi (n-heksana, n-butanol dan
etil asetat) dicampurkan dalam broth fermentasi, diujikan secara triplo. Campuran
tersebut di kocok dengan shaker selama ± 3 hari dengan kecepatan 150 rpm.
Sebanyak 100 mL broth fermentasi diambil kembali dan dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm selama
15 menit untuk memisahkan antara biomassa dan supernatan. Supernatan hasil
sentrifuge dipisahkan dan dimasukkan ke labu Erlenmeyer 250 mL. Kemudian
100 mL pelarut ekstraksi (n-heksana, n-butanol dan etil asetat) ditambahkan yang
diujikan secara triplo. Setelah itu supernatan yang telah ditambahkan pelarut
ekstraksi di kocok dengan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama ± 3 hari.
Setelah dikocok selama 3 hari baik broth fermentasi maupun supernatan
yang telah bercampur pelarut ekstraksi disentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm
selama 15 menit. Antara fase organik dan fase air dipisahkan. Fase organik
kemudian dievaporasi hingga tersisa volume ekstrak 1-2 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya. Tabung-tabung yang
berisi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dimasukkan ke dalam alat centrifugal
concentrator untuk diuapkan selama 3 jam pada suhu -840C hingga didapatkan
ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset.
Biomassa yang tersisa dicuci dengan cara ditambahkan aquadest sebanyak
100 mL untuk tiap-tiap tabung, kemudian disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit. Setelah disentrifugasi biomassa diambil
dan ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 50 mL yang telah
diketahui bobotnya. Pelarut ekstraksi yang sesuai kemudian ditambahkan hingga
volume mencapai 35 mL, lalu sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan
dengan sonikator selama 20 menit untuk tiap-tiap tabung. Setelah itu disaring dan
filtrat yang dihasilkan dimasukkan ke dalam labu destilasi untuk dievaporasi
Buang
Buang
hingga volume yang tersisa 1-2 mL dan dimasukkan ke dalam tabung konsentrator
yang telah diketahui bobotnya. Langkah selanjutnya serupa dengan yang
dilakukan pada supernatan.
Setelah itu, ekstrak-ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dari sampel
broth fermentasi, supernatan dan biomassa ditimbang dan ditambahkan metanol
destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas
antibiotika.
Broth fermentasi
100 mL BF + 100 mL
pelarut ekstraksi
Shaker 3 hr,
100 mL BF
Sentrifige
Sentrifuge
8.000 rpm, 15 mnt
Fase organik Fase air
Evaporasi
Ekstrak
Supernatan
+ 100 mL pelarut ekstraksi
Shaker 3 hr,
Sentrifuge
8.000 rpm, 15 mnt
Fase organik Fase air
8.000 rpm, 15 mnt
Biomassa
+ 25 mL pelarut ekstraksi
Sonikasi 20 mnt,
Filtrasi
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak Ekstrak
Evaporasi
+ MeOH, C = 20.000 ppm
Uji Bioaktivitas
Keterangan : BF = Broth fermentasi
Gambar 20. Diagram alir optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset
3.3.4. Variasi Pelarut dan Perlakuan pada Sampel
Pada tahap variasi perlakuan dan pelarut pada sampel, media fermentasi
yang digunakan hanya sebanyak 1 liter. Sebanyak 100 mL broth fermentasi
dimasukkan masing-masing ke dalam 8 buah tabung sentrifuge dan disentrifugasi
selama 15 menit dengan kecepatan 8.000 rpm. Biomassa yang dihasilkan
dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge, ditimbang dan ditambahkan aquadest
hingga volume mencapai 35 mL lalu disonikasi selama 30 menit. Sebanyak 4 labu
biomassa hasil sonikasi difiltrasi dan filtrat yang dihasilkan diekstraksi dengan
menggunakan pelarut ekstraksi berupa n-butanol dan etil asetat (duplo). Fase
organik hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah
diketahui bobotnya dan dievaporasi kemudian ditimbang bobot kering ekstrak
yang dihasilkan.
Sedangkan 4 labu larutan biomassa dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuge dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 8.000 rpm, fase
organik dan fase air yang bercampur sisa biomassa dipisahkan. Fase organik
dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya dan
dievaporasi, lalu ditimbang bobot kering ekstrak yang dihasilkan.
Sisa broth fermentasi dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge sebanyak 6
mL ke dalam tiap-tiap tabung dan ditambahkan pelarut ekstraksi berupa n-butanol
dan etil asetat dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya campuran dikocok selama 1
jam dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Selanjutnya
fase organik dan fase air dipisahkan. Fase organik dipindahkan ke dalam tabung
konsentrator yang telah diketahui bobotnya dan dievaporasi, lalu ditimbang bobot
Buang
Buang
Buang
Buang
kering ekstrak yang dihasilkan. Selanjutnya ekstrak-ekstrak kering hasil
fermentasi aktinomiset dari sampel broth fermentasi, dan biomassa ditimbang dan
ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk
dilakukan uji bioaktivitas antibiotika.
Broth fermentasi (BF)
6 mL BF + 6 mL pelarut ekstraksi
Shaker 1 jam,
Sentrifuge
3.000 rpm, 15 mnt
Fase organik Fase air
8 Labu erlenmeyer @100 mL BF
Sentrifuge
8.000 rpm, 15 mnt
Supernatan 8 Labu biomassa + @25 mL aquadest
Sonikasi 30 mnt
Evaporasi
Ekstrak
Filtrat + 100 mL pelarut
ekstraksi (duplo)
Lar. biomassa +
100 mL pelarut
ekstraksi (duplo)
Ekstraksi Sentrifuge
8.000 rpm,
Fase organik Fase air
Evaporasi
Fase
organik
15 mnt
Fase air
Ekstrak
Evaporasi
Ekstrak
+ MeOH destilat,
C = 20.000 ppm
Uji Bioaktivitas
Gambar 21. Diagram alir variasi perlakuan dan pelarut pada sampel
B u a n g
B u a n g
3.3.5. Pengaruh Penambahan Pelarut pada Sampel Biomassa
Pada tahap ini, media fermentasi yang dibuat sebanyak 1 liter. Dari 1 liter
tersebut sebanyak 900 mL, dibagi menjadi 3 bagian masing-masing 300 mL dan
disentrifugasi untuk mendapatkan biomassa, selanjutnya biomassa yang
didapatkan ditimbang dan sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan
sonikator dengan terlebih dahulu ditambahkan pelarut ekstraksi yaitu n-butanol,
dan etil asetat masing-masing sebanyak 25 mL atau hingga volume pelarut dan
biomassa mencapai 35 mL ke dalam tiap-tiap tabung yang berbeda. Kemudian
hasil sonikasi difiltrasi dan filtrat yang dihasilkan dievaporasi, lalu ditimbang
bobot kering ekstrak yang dihasilkan. Ekstrak-ekstrak kering hasil fermentasi
aktinomiset dari sampel biomassa ditimbang dan ditambahkan metanol destilat
hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas
antibiotika.
B r o t h f e r m e n t a s i ( B F )
S e n t r i f u g e
8 . 0 0 0 r p m , 1 5 m n t
S u p e r n a t a n B i o m a s s a +
p e l a r u t e k s t r a k s i
S o n i k a s i 3 0 m n t ,
F i l t r a s i
F i l t r a t E n d a p a n b i o m a s s a
E v a p o r a s i
E k s t r a k
+ M e O H d e s t , C = 2 0 . 0 0 0 p p m
U j i b i o a k t i v i t a s
Gambar 22. Diagram alir pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa
3.3.6. Purifikasi Ekstrak Hasil Fementasi Aktinomiset
Pada tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset, media
fermentasi yang dibuat sebanyak 1 liter. Media tersebut seluruhnya disentrifugasi
untuk mendapatkan biomassa. Biomassa yang didapatkan ditimbang dan sel-sel
bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator, namun terlebih dahulu
ditambahkan pelarut ekstraksi etil asetat sebanyak 25 mL atau hingga volume
pelarut dan biomassa mencapai 35 mL. Kemudian difiltrasi dan filtrat yang
dihasilkan dievaporasi, lalu ditimbang bobot kering ekstrak yang dihasilkan.
Sebagian ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dari sampel biomassa
ditimbang dan ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000
ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika.
Proses purifikasi dilakukan dengan metode kromatografi kolom. Dalam
kromatografi kolom, 100 mg ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset
dimasukkan ke dalam kolom yang telah dipreparasi. Secara bertahap kolom dialiri
eluen dengan variasi yang digunakan (total volume tiap eluen 100 mL) berupa :
n-heksan (%) etil asetat (%) metanol (%) 100 0 0
20 80 0 0 100 0 0 80 20
20 30 50 0 0 100
hasil kromatografi kolom ini ditampung tiap 10 mL dalam tabung reaksi. Setelah
itu dilakukan analisa kemurnian dengan plat KLT pada tabung ke-1 dan ke-10 dari
tiap variasi eluen dengan larutan pengembang berupa n-butanol pa. Hasil analisa
KLT dengan spot yang sama digabungkan dan dimasukkan ke dalam tabung
B u a n g
B u a n g
konsentrator yang telah diketahui bobot kosongnya untuk dipekatkan, dan
ditimbang kembali untuk mendapatkan bobot ekstrak kering. Sebagian ekstrak
kering yang didapatkan dari tiap fraksi eluen hasil kromatografi kolom ditimbang
bobotnya, ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm
untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika.
Fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom yang memiliki zona hambat pada
uji bioaktivitas diuji bioautografi. Untuk analisa kemurnian dilakukan dengan
analisa HPLC dan FTIR.
B r o t h f e r m e n t a s i ( B F )
S e n t r i f u g e
8 . 0 0 0 r p m , 1 5 m n t
S u p e r n a t a n B i o m a s s a + 2 5 m L p e l a r u t e k s t r a k s i
S o n i k a s i 3 0 m n t ,
F i l t r a s i
F i l t r a t B i o m a s s a
E v a p o r a s i
E k s t r a k
+ M e O H d e s t , C = 2 0 . 0 0 0 p p m
K r o m a t o g r a f i k o l o m
U j i B i o a u t o g r a f i
U j i H P L C
U j i F T I R
U j i b i o a k t i v i t a s
Gambar 23. Diagram alir purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset
3.3.6. Regenerasi Mikroba Uji
Enam galur mikroba uji, terdiri dari 4 jenis bakteri yaitu Bacillus subtilis,
Eshcherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus serta 2
jenis fungi (jamur) yaitu Aspergillus niger dan Candida albicans disiapkan.
Keenam mikroba uji tersebut diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan dalam
media agar yang baru, untuk bakteri digunakan media nutrient agar (NA) dan
untuk fungi (jamur) digunakan media potato dextrose agar (PDA). Proses ini
dilakukan secara aseptik. Setelah itu mikroba uji tersebut diinkubasi dalam
inkubator selama 24 jam, kecuali untuk A. niger diinkubasi selama 7 hari, untuk
bakteri pada suhu 36,70C, sedang untuk fungi (jamur) pada suhu 27,2
0C.
3.3.7. Fermentasi Mikroba Uji
Terlebih dahulu media cair dibuat untuk mikroba uji, pada bakteri
disiapkan media nutrient broth (NB) dan pada fungi (jamur) disiapkan media
potato dextrose yeast (PDY). Media nutrient broth (NB) dibuat sebanyak 4 buah
dengan menimbang masing-masing sebanyak 0,26 g NB lalu dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 20 mL aquadest, di aduk dengan
magnetic stirer sambil diatur pHnya dengan penambahan larutan NaOH 0,1N
hingga mencapai pH optimal untuk pertumbuhan bakteri pada NB yaitu 7,4 ± 0,2.
Kemudian media cair tersebut disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit pada
suhu 1210C.
Media PDY dibuat 1 buah saja untuk fungi (jamur) C. albicans, sedangkan
A. niger tidak perlu difermentasi. Media PDY dibuat dengan cara menimbang 0,4
g D(+)-Glucose, 0,1 g yeast extract dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer,
kemudian ditambahkan ekstrak kentang sebanyak 20 mL. Lalu di aduk dengan
magnetic stirer sambil diatur pH-nya dengan penambahan larutan HCl 0,1N
hingga mencapai pH optimal untuk pertumbuhan fungi (jamur) pada PDY yaitu
5,6 ± 0,2, kemudian disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit pada suhu
1210C.
Penanaman mikroba uji dilakukan secara aseptik dengan cara mikroba uji
yang telah diregenerasi diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan dalam media
cair yang telah steril. Selanjutnya di kocok dengan shaker dalam alat termostatik
pada suhu 300C dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam.
3.3.8. Pembuatan Media Cawan
Media agar dibutuhkan untuk proses penghitungan kultur mikroba uji yang
telah diregenerasi. Media yang digunakan yaitu media nutrient agar (NA) untuk
bakteri dan media potato dextrose agar (PDA) untuk fungi (jamur).
Untuk membuat 12 media agar NA dibuat dengan menimbang sebanyak
6,72 g NA lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 240
mL aquadest, lalu di aduk dengan magnetic stirer dan disterilisasi dalam
autoclave selama 15 menit dengan suhu 1210C. Sedangkan untuk membuat 8
media cawan PDA dibuat dengan menimbang 6,24 g PDA dan dimasukkan ke
Erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 160 mL aquadest, lalu di aduk dengan
magnetic stirer dan disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit dengan suhu
1210C. Selain itu juga disiapkan aquadest steril, dengan mengambil aquadest
sebanyak 250 mL dan dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL lalu disterilisasi
dalam autoclave.
Untuk media NA dan PDA yang telah disterilisasi disimpan dalam oven
pada suhu 500C sebelum digunakan untuk membuat media cawan, sedangkan
aquadest steril disimpan pada suhu ruang. Media cawan baik NA maupun PDA
dibuat dengan menuangkan media NA dan PDA yang telah disterilisasi sebanyak
± 20 mL untuk 1 cawan petri sedang dalam kondisi aseptik. Selanjutnya media
tersebut didiamkan hingga beku dan dilapisi dengan menggunakan parafilm, lalu
disimpan dalam suhu ruang sampai media tersebut siap digunakan.
3.3.9. Pengenceran Kultur Mikroba Uji
Eppendorf cup steril sebanyak 8 buah untuk tiap mikroba uji, tetapi 3
eppendorf cup untuk A. niger disiapkan dan diberi nomor urut 1-8, sebanyak 900
µ L aquadest steril dipipet dan dimasukkan ke dalam tiap eppendorf cup. Panen
fermentasi mikroba uji yang telah diregenerasi, didinginkan hingga menjadi suhu
ruang. Untuk pengenceran 10-1
, dipipet sebanyak 100 µ L dan dimasukkan ke
dalam eppendorf cup nomor 1, dikocok dengan vortex. Pengenceran 10-2
, 10-3
,
sampai 10-8
dilakukan dengan memipet 100 µ L hasil pengeceran sebelumnya dan
dimasukkan ke dalam eppendorf cup yang berisi aquadest steril dan dikocok
dengan vortex untuk tiap kali melakukan pengenceran. Semua proses tersebut
dilakukan secara aseptik.
Lain halnya untuk A. niger, setelah diinkubasi selama 7 hari ditambahkan
larutan tweens’ 80 untuk meluruhkan sporanya dari kultur agar miring. Sebanyak
100 µ L kultur cair A. niger dipipet dan dimasukkan ke dalam eppendorf yang
berisi 900 µ L aquadest steril, lalu dikocok dengan vortex. Untuk A. niger ini
dibuat pengenceran hanya hingga pengenceran 10-3
.
3.3.10. Penghitungan Jumlah Sel Mikroba Uji
Media agar cawan NA dan PDA yang telah dibuat dan hasil pengenceran
mikroba uji pada pengenceran 10-5
, 10-6
dan 10-8
disiapkan. Hasil pengenceran
tersebut dipipet sebanyak 100 µ L dan dimasukkan ke dalam media agar cawan
steril yang sesuai. Kemudian kultur mikroba uji tersebut disebar di atas media
agar cawan dengan menggunakan drygalsky. Semua proses tersebut dilakukan
secara aseptik. Media agar cawan yang berisi mikroba uji tersebut, diinkubasi
dalam inkubator selama 24 jam, hingga jumlah mikroorganisme yang ada
mencapai kisaran 30-300 sel/petri.
Setelah diinkubasi dilihat pertumbuhan mikroba uji dan dihitung jumlah
sel per koloni dengan menggunakan metode plate count number. Berbeda dengan
mikroba uji lainnya, untuk A. niger jumlah selnya langsung dapat dihitung setelah
diencerkan menggunakan mikroskop dan haemocytometer dengan ketentuan
(Maddox, et. al., 1998) sebagai berikut :
a. Jika jumlah sel kurang dari 50 sel pada kotak yang besar, maka sel tersebut
dihitung semua (N x 104)
b. Jika jumlah sel antara 30-300 dalam masing-masing kotak sedang, hitung
seluruh sel di 10 kotak yang mengelilingi kotak besar (ada 25 kotak sedang),
kemudian kalikan total jumlah sel tadi dengan 2,5 (N x 2,5 x 104).
c. Jika lebih dari 2 sel di masing-masing kotak kecil hitung el di 20 kotak kecil
yang mengelilingi kotak besar, kemudian kalikan total jumlah sel dengan 20
(N x 20 x 104).
3.3.11. Uji Bioaktivitas Senyawa Uji
Sebelum dilakukan uji bioaktivitas, terlebih dahulu media agar NA dan
PDA steril disiapkan (50 mL media tiap cawan) dalam 8 buah cawan petri besar
yang telah diberi nomor urut untuk media NA dan 4 buah cawan petri besar untuk
media PDA. Larutan ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang akan diuji
bioaktivitas disiapkan pula dalam eppendorf steril dengan menambahkan metanol
destilat hingga konsentrasi larutan mencapai 20.000 ppm.
Dalam kondisi aseptik sejumlah kultur mikroba uji dituang sesuai hasil
perhitungan jumlah sel mikroba uji tiap petri ke dalam media NA dan PDA pada
Lampiran 2, 4, 6 dan 9. Kaca objek dan kertas cakram steril disiapkan pula, dan
letakkan kertas cakram tersebut di atas kaca objek dengan menggunakan pinset
steril. Larutan ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang akan diuji dipipet
sebanyak 20 µ L dan diletakkan di atas kertas cakram, lalu kertas cakram tersebut
dipindahkan ke dalam media yang telah ditambahkan kultur mikroba uji dengan
menggunakan pinset. Untuk uji bioaktivitas ini kontrol negatif yang digunakan
berupa pelarut metanol destilat dan kontrol positif berupa antibiotika rifampicin
dengan konsentrasi 500 ppm dan 1000 ppm. Kemudian didinginkan pada suhu
40C selama 2 jam dan diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 36-37
0C. Lalu
diamati dan diukur zona bening yang mengitari kertas cakram dengan
menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada 24 dan 48 jam. Adanya
zona bening menandakan bahwa ekstrak hasil fermentasi aktinomiset memiliki
bioaktivitas antibiotika.
3.3.12. Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang memiliki bioaktivitas antibiotika
paling tinggi di analisa kembali dengan teknik kromatografi lapis tipis. Adapun
variasi eluen yang digunakan yaitu pelarut ekstraksi itu sendiri berupa n-butanol,
n-heksana dan etil asetat, serta variasi campuran antara ketiganya seperti n-
heksana : etil asetat (1:1) dan (1:2), n-heksana : n-butanol (1:1) dan (1:2), n-
butanol : etil asetat (1:1). Hasil pemisahan KLT ditandai dengan menggunakan
UV Cabinet.
3.3.13. Uji Bioautografi
Uji bioautografi dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa aktif
hasil pemisahan KLT. Uji biautografi ini dilakukan dengan meletakkan hasil
pemisahan KLT ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari hasil fraksinasi kolom
secara terbalik di atas media agar yang telah diberi kultur mikroba uji terbaik, B.
subtilis, lalu diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 36-370C dan diamati adanya
zona bening yang mengitari spot hasil KLT.
3.3.14. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
Teknik analisa HPLC dilakukan dengan terlebih dahulu membuat larutan
stok berupa ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari fraksinasi kolom yang
memiliki bioaktivitas antibiotika dengan konsentrasi 20.000 ppm, dan dimasukkan
ke dalam eppendorf cup. Selanjutnya larutan stok tersebut diencerkan kembali
hingga konsentrasi mencapai 5000 ppm dan diinjeksikan sebanyak 10 µ L ke
dalam HPLC (Alliance HPLC-Waters, software Empower) dalam kondisi
temperatur 250C, panjang gelombang UV yang digunakan 254 nm, kolom Sunfire
C18, 5 µ m (Waters), 4,6 mm id x 150 mm, pengaliran eluen A; berupa H2O +
0,05% asam format dan eluen B; berupa asetonitril + 0,05% asam format dengan
metode gradien yaitu pada 0-3 menit pertama berupa 20% asetonitril, dan pada 3-
18 menit berikutnya 20-100% asetonitril, dengan laju alir rata-rata (flow rate)
1mL/menit.
3.3.15. Fourier Transform Infra Red (FTIR)
FTIR dilakukan dengan menggunakan teknik cakram KBr yaitu sebanyak
0,5-1,0 mg sampel ekstrak aktinomiset hasil kromatografi kolom digerus dan
dicampur dengan 100-200 mg serbuk KBr kering dengan lumping agate hingga
benar-benar homogen. Campuran tersebut dimasukan ke dalam pencetak khusus
menggunakan spatula mikro. Pencetak dihubungkan dengan handy press.
Tongkang handy press dilepaskan lalu cakram KBr dikeluarkan. Cakram
selanjutnya dimasukan ke dalam KBr disc holder dan direkan spektrum dari
sampel tersebut. Identifikasi gugus fungsional dari spektra yang dihasilkan
tersebut menggunakan tabel referensi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Optimasi Separasi Senyawa Aktif Aktinomiset
Optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan senyawa aktif antibiotika hasil fermentasi aktinomiset di
dalam sel (intrasel) atau di luar sel (ekstrasel) serta pelarut optimal dari beberapa
pelarut ekstraksi yang dipergunakan seperti n-butanol, n-heksana dan etil asetat.
Tabel 5. Bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset pada tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset
KEBERADAAN
SENYAWA
AKTIF
SAMPEL
PELARUT
EKSTRAKSI
BOBOT
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK
RATA-RATA (g)
PERLAKUAN
0,037 0,044
Etil asetat
0,045
0,042
0,023
n-Heksana 0,027
0,025
0,078 0,069
Broth Fermentasi
n-Butanol
0,079
0,075
Tdk
disonikasi
0,020 0,024
Etil asetat
0,020
0,021
0,024 0,032
n-Heksana
0,049
0,035
0,048 0,132
Di luar sel (ekstrasel)
Supernatan
n-Butanol
0,098
0,093
Tdk
disonikasi
0,025 0,037
Etil asetat
0,043
0,035
0,024 0,050
n-Heksana
0,045
0,040
0,044 0,040
Di dalam sel
(intrasel)
Biomassa
n-Butanol
0,068
0,051
Disonikasi
Setelah melalui tahapan proses ekstraksi, sentrifugasi, sonikasi, filtrasi dan
evaporasi diperoleh bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset seperti pada Tabel
4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa kelarutan optimal ekstrak hasil fermentasi
aktinomiset terbesar berada pada fase n-butanol, dengan urutan jumlah ekstrak
terbesar hingga terkecil dilihat dari jumlah ekstrak rata-rata yaitu sampel
supernatan > broth fermentasi > biomassa.
Setelah dilakukan uji bioaktivitas pada ekstrak hasil fermentasi
aktinomiset dengan konsentrasi 20.000 ppm, kecuali pada sampel supernatan fase
etil asetat konsentrasi hanya mencapai 10.000 ppm karena jumlah ekstrak yang
sedikit, didapatkan data diameter zona bening beberapa ekstrak pada pengamatan
24 jam dan 48 jam, yang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas
sebagai antibiotika, seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh
aktinomiset endofit merupakan senyawa di dalam sel (intrasel). Data tersebut juga
menunjukkan bahwa etil asetat merupakan pelarut ekstraksi terbaik yang dapat
digunakan untuk memproduksi senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh
aktinomiset endofit. Hal ini dibuktikan dengan besarnya zona hambat yang
dihasilkan oleh ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari sampel yang sel-sel
bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan menggunakan sonikator berupa
biomassa dengan besar zona hambat yang dihasilkan hingga mencapai 13,32 mm,
dan sedikit terlihat pada sampel broth fermentasi.
Tabel 5. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap optimasi separasi
senyawa aktif aktinomiset.
DIAMETER ZONA BENING (mm) S. aureus B. subtilis E. coli P. aeruginosa C. albicans A. niger
Sampel
24 48 24 48 24 48 24 48 24 48 24 48 - - - - - 10,11 9,02 10,97 - - - - - 6,98 - - - 8,38 7,87 8,85 - - - -
Broth
fermentasi Fs. EtOAc - - - - - 10,06 8,48 8,76 - - - -
- - - - - - 6,57 - - - - - - 8,54 - - - - 8,07 8,25 - - - -
Supernatan Fs. EtOAc
- - - - - - 6,62 7,57 - - - - - - - - - - - - - - - - Broth
fermentasi Fs. n-Hex
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Supernatan Fs. n-Hex
- - - - - - - - - - - - - - - - - - 7,27 - - - - - - - - - - - - - - - - -
Broth
fermentasi Fs. n-BuOH - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Supernatan Fs. n-BuOH
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Biomassa Fs. n-Hex
- - - - - - - - - - - - - - - - - - 8,01 8,58 - - - -
9,11 9,45 12,16 13,32 8,75 8,78 7,52 8,43 7,72 7,85 - -
Biomassa Fs. EtOAc
9,75 11,65 8,41 9,77 - - 6,72 8,09 8,72 8,93 - - - - - - - - - - - - - - - - 7,29 7,72 - - 6,55 6,97 - - - -
Biomassa Fs. n-BuOH
7,95 8,40 6,20 7,31 - - 7,05 7,72 - - - - Cont (-),
MeOH dest.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Riffampicin 500 ppm
11,6
12,25
16,79
17,02
14,06
16,61
14,17
15,38
-
-
-
-
Riffampicin 1000 ppm
26,17
23,48
20,77
20,89
18,26
18,51
16,65
17,72
-
-
-
-
Keterangan : Diameter kertas cakram = 6 mm, diameter zona bening = diameter
zona hambat + diameter kertas cakram.
Dengan demikian dapat dikatakan banyak atau sedikitnya jumlah ekstrak
hasil fermentasi aktinomiset yang dihasilkan tidak membuktikan bahwa semua
ekstrak tersebut merupakan senyawa aktif antibiotika. Terutama bila pelarut
ekstraksi itu merupakan senyawa polar seperti n-butanol, yang tidak hanya dapat
melarutkan senyawa polar tetapi juga senyawa-senyawa organik lain yang
dihasilkan oleh aktinomiset.
Data tersebut juga memperlihatkan bahwa senyawa antibiotika dari ekstrak
hasil fermentasi aktinomiset aktif pada mikroba jenis bakteri baik Gram positif
dan Gram negatif, namun cenderung lebih aktif pada bakteri Gram positif, tetapi
tidak terlalu aktif pada fungi. Hal ini terlihat dari tidak ada atau kecilnya zona
bening yang terbentuk pada mikroba uji Aspergillus niger dan Candida albicans.
Data yang sama juga diperoleh BenFguira, et. al. (2005) yang menyebutkan zona
bening senyawa antibakterial yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. Strain US80
(salah satu spesies aktinomiset) untuk bakteri B. Subtilis pada konsentrasi 20
µ g/mL berkisar 25 mm, jauh lebih besar dengan yang dihasilkan pada penelitian ini
yaitu hanya berkisar 13,32 mm.
4.2. Variasi Pelarut dan Perlakuan pada Sampel
Tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel bertujuan untuk
mengetahui produksi optimal senyawa antibiotika dari sampel broth fermentasi
dan biomassa. Dalam prosesnya sampel broth fermentasi terlebih dahulu di kocok
dengan shaker selama 1 jam sebelum akhirnya disentrifugasi dengan kecepatan
3.000 rpm selama 15 mnt, sedang sampel biomassa dilarutkan dalam air sebelum
sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator, sebagian sampel
biomassa ditambahkan pelarut ekstraksi (etil asetat dan n-butanol), kemudian
disentrifugasi dan sebagian lainnya difiltrasi terlebih dahulu, lalu filtratnya
ditambahkan pelarut ekstraksi kemudian diekstraksi. Dari tahap ini didapatkan
data bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset sebagai berikut :
Tabel 6. Bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel
SAMPEL
PELARUT
EKSTRAKSI
BOBOT
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK
RATA-RATA (g) Etil asetat 0,066 0,066
Broth fermentasi n-Butanol 0,103 0,103
0.035
Etil asetat 0.030
0,033
0.017
Biomassa hasil
Filtrasi
n-Butanol 0.019
0,018
0.055
Etil asetat 0.016
0,036
0.011
Biomassa tanpa
Filtrasi
n-Butanol 0.007
0,009
Tabel 6 menunjukkan bahwa ekstrak hasil fermentasi aktinomiset terbesar
pada sampel broth fermentasi pada ekstak n-butanol dengan bobot mencapai
0,103 g untuk 100 mL sampel yang dikocok dengan shaker selama 1jam dan
disentrifugasi 3.000 rpm selama 15 menit. Hasil ekstraksi ini lebih besar
dibandingkan pada tahap sebelumnya hanya mencapai 0,075 g di mana sampel
broth fermentasi di kocok dengan shaker selama 3 hari dalam termostatik dengan
kecepatan berkisar 150 rpm. Dengan demikian perlakuan pada sampel juga
mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah ekstrak hasil fermentasi yang diproduksi
oleh aktinomiset.
Untuk sampel biomassa baik yang difiltrasi maupun tidak jumlah ekstrak
terbanyak terdapat pada ekstrak etil asetat, terutama pada sampel ekstrak biomassa
tanpa filtrasi. Hal ini memperkuat data sebelumnya yang menyatakan bahwa
pelarut ekstraksi terbaik untuk memproduksi senyawa antibiotika dari bakteri
aktinomiset endofit BioMCC AE000484 adalah etil asetat.
Pada uji bioaktivitas didapatkan data diameter zona bening beberapa
ekstrak pada pengamatan 24 jam dan 48 jam, yang menunjukkan bahwa ekstrak
tersebut memiliki aktivitas sebagai antibiotika. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari Tabel 7 terlihat bahwa hanya sampel biomassa tanpa filtrasi ekstrak etil
asetat yang memiliki bioaktivitas antibiotika. Sedangkan sampel lainnya seperti
broth fermentasi dan biomassa hasil ekstrak n-butanol tidak menunjukkan adanya
aktivitas antibiotika.
Tabel 7. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel
DIAMETER ZONA BENING (mm) S. aureus B. subtilis E. coli P. aeruginosa
Sampel
24 48 24 48 24 48 24 48 - - - - - - - - Broth fermentasi Fs.
EtOAc - - - - - - - - - - - - - - - - Broth fermentasi Fs.
n-BuOH - - - - - - - - 6,24 6,24 - - 6,95 6,94 8,45 7,66 Biomassa tnp filtrasi
Fs. EtOAc - - - - - - - - - - - - - - - - Biomassa tnp filtrasi
Fs. n-BuOH - - - - - - - - - - - - - - - - Biomassa hsl filtrasi
Fs. EtOAc - - - - - - - - - - - - - - - - Biomassa hsl filtrasi
Fs. n-BuOH - - - - - - - - Cont (-), MeOH dest - - - - - - - - Riffampicin 500 ppm 19,88 18,58 19,65 18,67 19,42 17,83 19,45 18,54
Riffampicin 1000 ppm 20,93 19,89 20,59 19,80 21,27 19,73 20,02 19,20 Keterangan : Diameter kertas cakram = 6 mm, diameter zona bening = diameter
zona hambat + diameter kertas cakram.
4.3. Pengaruh Penambahan Pelarut pada Sampel Biomassa
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan pelarut
ekstraksi pada sampel biomassa sebelum sel-sel bakteri aktinomiset endofit
dihancurkan dengan sonikator, dan membandingkan hasil yang didapat dengan
tahap sebelumnya di mana sampel biomassa terlabih dahulu ditambahkan
aquadest (diencerkan). Bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang diperoleh
pada tahap ini, sebagaimana terlihat pada Tabel 8.
Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa bobot ekstrak biomassa aktinomiset
terbesar dari 300 mL sampel berada pada fase n-butanol sebanyak 0,237 g diikuti
oleh fase etil asetat 0,198 g. Data tersebut menunjukkan bahwa bobot ekstrak
yang diproduksi pada tahap ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahapan
sebelumnya yang hanya menghasilkan bobot ekstrak berkisar 0,009 g untuk
sampel biomassa yang tanpa difiltrasi dan 0,018 g untuk biomassa yang difiltrasi,
dalam 100 mL sampel. Hal ini membuktikan bahwa proses sonikasi disertai
penambahan pelarut ekstraksi akan mempermudah pemecahan dinding sel
aktinomiset endofit sehingga bobot ekstrak yang didapatkan pun lebih optimal.
Tabel 8. Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel
SAMPEL PERLAKUAN PELARUT
EKSTRAKSI BOBOT
EKSTRAK (g) Etil asetat 0,198
Biomassa Tanpa
penambahan air n-Butanol 0,237
Etil asetat 0,033
Biomassa tanpa
Filtrasi n-Butanol 0,018
Etil asetat 0,036
Biomassa hasil
Filtrasi
Dengan
penambahan air
n-Butanol 0,009
Untuk selanjutnya ekstrak kering aktinomiset tersebut diuji bioaktivitasnya dan
didapatkan data sebagaimana terlihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh
penambahan pelarut pada sampel
DIAMETER ZONA BENING (mm) B. subtilis E. coli S. aureus P. aeruginosa C. albicans
Sampel
24 48 24 48 24 48 24 48 24 48 Biomassa Fs. n-BuOH 10,13 9,71 - - - - - - - - Biomassa Fs. EtOAc 14,24 12,81 - - - - - - - - Cont (-), MeOH dest - - - - - - - - - - Riffampicin 500 ppm 28,04 26,33 18,33 16,25 31,65 31,99 21,78 20,27 - -
Riffampicin 1000 ppm 28,85 29,55 18,59 17,93 33,44 33,79 23,73 21,65 - - Keterangan : Diameter kertas cakram = 6 mm, diameter zona bening = diameter
zona hambat + diameter kertas cakram.
Dari Tabel 9 terlihat bahwa semua sampel memiliki bioaktivitas
antibiotika dan zona bening terbesar terlihat untuk mikroba B. subtilis, dengan
diameter zona bening mencapai 14,24 mm pada ekstrak biomassa fase etil setat.
Hal ini memperlihatkan bahwa senyawa antibiotika yang diproduksi oleh
aktinomiset endofit sangat baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri Gram
positif terutama bakteri Bacillus subtilis. Data lain Meskey et. al. (2006)
menyebutkan zona bening yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. GW99/1572
(salah satu spesies aktinomiset) terbesar terjadi pada bakteri S. aureus yang juga
merupakan bakteri Gram positif. Dari beberapa jurnal didapatkan penghambatan
senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset terbesar terjadi pada bakteri
dengan Gram yang sejenis dengan Gram bakteri dari isolat aktinomiset yang
digunakan yaitu Gram positif.
4.4. Purifikasi Ekstrak Hasil Fermentasi Aktinomiset
Pada tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset, dilakukan
fermentasi kembali dengan pelarut ekstraksi terbaik berupa etil asetat yang
diujikan pada biomassa hasil fermentasi. Tahap fermentasi dilakukan dalam
volume 1 L, dan didapatkan bobot biomassa sebanyak 51,310 g. Selanjutnya
biomassa disonikasi dan dikonsentratkan sehingga didapatkan bobot ekstrak total
sebanyak 0,544 g, selanjutnya dipurifikasi dengan metode kromatografi kolom.
Hasil kromatografi kolom ditampung tiap 10 mL dan dilakukan analisa
kemurnian dengan metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis), yang dilakukan pada
tabung ke-1 dan ke-10 dari tiap variasi eluen dengan larutan pengembang berupa
n-butanol, dan didapatkan pola kromatogram seperti pada Gambar 24.
Gambar 24. Pola kromatogram ekstrak aktinomiset dalam eluen n-Butanol p.a.
Rf Bu Hx Hx HE HE HE Et Et Et Et Et EM EM HEM HEM HEM Me Me Me 1 10 11 12 20 21 22 23 27 30 31 40 41 42 50 51 58 60
0,79 0,71
0,51 0,47 0,41
0,26
0,12 0
Keterangan = Pola kromatogram hasil fraksinasi dengan pelarut Hx = n-heksana,
HE = n- heksana : etil asetat, Et = etil asetat, EM = etil asetat :
metanol, HEM = n-heksana : etil asetat : metanol, Me = metanol, Bu
= pola kromatogram terbaik pada ekstrak hasil fermentasi
aktinomiset dengan larutan pengembang n-butanol.
Hasil uji KLT dengan spot yang sama, digabungkan dan dimasukkan ke dalam
tabung konsentrator yang telah diketahui bobot kosongnya dan dipekatkan, lalu
ditimbang kembali untuk mendapatkan bobot ekstrak murninya, sebagai berikut :
Tabel 10. Bobot ekstrak aktinomiset setelah difraksinasi dalam kolom
kromatografi
Eluen
Fraksi Bobot
Ekstrak (g) Total Bobot Ekstrak (g)
n-heksan 1-11 0,001 n-heks : EtOAc 12-20 0,002 EtOAc 21-22 0,000 EtOAc 23-26 0,000 EtOAc 27-30 0,040 EtOAc : MeOH 31-40 0,022 n-hek : Et : Me 41-50 0,040 MeOH 51-58 0,001 MeOH 59-60 0,000
0,106
Selanjutnya dilakukan uji bioaktivitas antibiotika dari ekstrak murni hasil
kromatografi kolom yang memiliki spot pada analisa KLT, dengan mikroba uji
berupa Bacillus subtilis. Pengamatan uji bioaktivitas dilakukan setelah 24 jam,
dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 11. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset yang telah difraksinasi kolom
Bacillus subtilis No. Eluen Fraksi Diameter Zona Bening (mm)
1 n-hek : EtOAc 12-20 - 2 EtOAc 21-22 - 3 EtOAc 27-30 12,04 4 EtOAc : MeOH 31-40 9,46 5 MeOH 51-58 - 6 Cont. (-) MeOH dest. - 7 Cont. (+) Riff 500 ppm. 16,16 8 Cont. (+) Riff 1000 ppm. 17,86
Fraksi camp
til asetat : me ografi
etat
Gambar
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa ekstrak aktinomiset yang
memiliki aktivitas antibiotika berada pada fraksi etil asetat ke-27 hingga ke-30,
serta fraksi campuran etil asetat dan metanol (4 : 1). Oleh karena itu, hanya kedua
sampel inilah yang selanjutnya dianalisa dengan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography).
4.5. Uji Bioautografi
Hasil uji bioautografi memperlihatkan zona bening yang memanjang
antara spot ke-1 dan ke-2 dari fraksi etil asetat dan antara spot ke-5 dan ke-6 dari
fraksi campuran etil asetat : metanol (4:1), namun zona hambat tersebut
cenderung terletak pada spot terendah, sebagaimana terlihat pada Gambar 25.
Fraksi Etil asetat
Fraksi Campuran
Etil asetat : Metanol
Spot yang
memiliki aktivitas
antibiotika
Fraksi etil as uran
e tanol
Cawan
Petri
25. Uji Bioaut
Zona
Bening
Pertumbuhan bakteri
B. subtilis Spot yang tidak memiliki aktivitas
antibiotika
Gambar 25. Uji Bioautografi
4.6. Analisa High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
Pada analisa HPLC fraksi etil asetat didapatkan beberapa puncak dengan
puncak tertinggi pada waktu retensi 6,829 menit. Kemurnian ekstrak hasil
fraksinasi kolom yang dihasilkan pada panjang gelombang 254 nm mencapai
75,35%. Hasil pola serapan UV terlihat adanya dua pita, dengan puncak serapan
pada pita I 321,0 nm dan pita II 259,1 nm.
Puncak Waktu
Retensi
Area
% Area
Ketinggian
1 3,689 126457 24,65 8258 2 6,829 386470 75,35 38758
6,829
Gambar 26. Spektra HPLC fraksi etil asetat
Gambar 27. Spektra UV fraksi etil asetat
Pada fraksi campuran etil asetat dan metanol terlihat beberapa puncak dan
pada waktu retensi 6,816 menit didapatkan pola serapan UV yang serupa dengan
yang ada pada fraksi etil asetat yaitu berupa dua pita dengan puncak serapan pada
pita I 324,6 nm dan pita II 259,1 nm, namun persen kemurnian yang didapatkan
hanya sebesar 14,07%. Oleh sebab itu dapat diasumsikan bahwa sebagian kecil
ekstrak hasil fraksinasi etil asetat terdistribusi dalam ekstrak fraksi campuran etil
asetat dan metanol.
Puncak Waktu
Retensi
Area
% Area
Ketinggian
1 1,262 828574 74,52 144074 2 2,069 48752 4,38 8090 3 3,659 78138 7,03 3653
4 6,816 156388 14,07 14334
6,816
Gambar 28. Spektra HPLC fraksi etil asetat : methanol
Gambar 29. Spektra UV fraksi etil asetat : metanol
Puncak serapan senyawa aktif antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset
endofit BioMCC AE000484 pada analisa HPLC, ditentukan berdasarkan urutan
spot pada plat KLT hasil analisa bioautografi yang memiliki bioaktivitas dengan
adanya zona hambat di sekitar spot, yaitu spot ke-1 untuk fraksi etil asetat dan
spot ke-5 untuk fraksi campuran etil asetat : metanol.
%T
4.7. Analisa Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Ekstrak kering fraksi etil asetat hasil kromatografi kolom dianalisa dengan
FTIR (Fourier Transform Infra Red) untuk menentukan gugus fungsional yang
terdapat pada senyawa antibiotika hasil fermentasi aktinomiset.
32.0
Laboratory Test Result
30
28
26
24
22
1063.31
20
18
16 -CH3
14
-C=O
Ester
1384.22
12 1543.82
10
3362.03
8 -OH 6
4
2928.45
-C-H
1666.37
-C=O
2.5 Antibiotika Fr.EtOAc Actinomycetes Keton
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
cm-1
Gambar 30. Hasil uji FTIR ekstrak aktinomiset hasil fraksinasi kolom
Berdasarkan hasil uji FTIR, terdapat beberapa pita serapan yang
mengidentifikasikan adanya gugus-gugus fungsi seperti, gugus hidroksi (R-OH)
pada daerah serapan 3540-3200 nm, gugus alkil (-C-H) pada daerah serapan 2990-
2855 nm dan 1485-1411 nm, gugus alkil berupa metil (-CH3) pada daerah serapan
2980-2950nm, 2885-2865 nm, 1465-1445 nm dan 1380-1365 nm, senyawa
karbonil ester (-C=O) pada daerah serapan 1790-1701 nm dan senyawa karbonil
keton (-C=O) pada daerah serapan 1760-1665 nm.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian Optimasi Separasi dan Purifikasi Senyawa
Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit dapat disimpulkan :
a. Senyawa antibiotika yang diproduksi aktinomiset merupakan senyawa di
dalam sel (intrasel) dengan pelarut ekstraksi terbaik berupa etil asetat.
b. Hasil purifikasi diketahui senyawa antibiotika terdapat pada fraksi etil asetat
dan fraksi campuran etil asetat : metanol (4 : 1).
c. Pada analisa HPLC baik fraksi etil asetat maupun campuan etil asetat :
metanol didapatkan pola serapan UV dan waktu retensi yang sama, untuk itu
diasumsikan bahwa senyawa dari kedua fraksi tersebut adalah sama pula.
d. Persen kemurnian terbesar terdapat pada fraksi etil asetat yaitu 75,35%.
e.
Analisa FTIR, menunjukkan senyawa antibiotika yang diproduksi
oleh
aktinomiset senyawa alifatik yang memiliki gugus-gugus fungsi seperti, gugus
hidroksi, gugus alkil umum, gugus alkil berupa metil, dan senyawa karbonil
keton.
5.2. SARAN
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pemurnian dan elusidasi
struktur senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit, mengingat
bahwa analisa kemurnian ekstrak hasil fraksinasi kolom dengan HPLC hanya
mencapai 75,35 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC).
www.chem_is_try.org
Anzai, Y., H. Kim, J.Y. Park, H. Wakabayashi & H. Oyaizu. 2000. Phylogenetic
Affiliation of The Pseudomonads Based on 16S rRNA Sequence. Japan :
Nippon Roche Research Center.
Baden, W. 2002. Chemicals Reagents. Germany : Merck.
BenFguira, L.F., S. Fotso, R.B.A. Mehdi, L. Mellouli, & H. Laatsch. 2005.
Purification and Structure Elucidation of Antifungal and Antibacterial
Activities of Newly Isolated Streptomyces sp. Strain Us80. Research in
Microbiology 156 (2005) 341-280.
Bentley, R. & R. Meganathan. 1982. Biosynthesis of Vit K (Menaquinone) in
Bacteria. Bacteriological review. 3 : 241-280.
Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stäuble & E. Schneiter. Teknologi
Kimia Bag. 2. terj. Dr. Ir. Lienda Handojo, M. Eng. Jakarta : PT Pradnya
Paramita.
Curtis, A.M., G.J. Smith, & C.E. Ravin. 1979. Air Crescent Sign of Invasive
Aspergillosis. Radiological society of North America.
Day Jr, R.A. & A.L. Underwood. 1990. Kimia Analisis Kualitatif. Jilid 2. terj.
Drs. R. Soendoro. Jakarta : Erlangga.
Fine, M.J., M.A. Smith, C.A. Carson, S.S. Mutha, S.S. Sankey, L.A. Wessfeld &
W.N. Kapoor. 1996. Prognosis and Outcomes of Patients with
Community Acquired Pneumonia. A meta-analysis. JAMA 275 (2) : 134-
141.
Haslm. 2007. Menanam Rumput, Memanen Antibiotik. Bogor : IPB.
http://www.kompas.com
Holt, J.G. 1994. Berfey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. Williams
& Wilkins.
Hussar, A. S. & Howard L. H. 1954. Antibiotics and Antibiotic Therapy. New
York : The Macmillan Company.
Iglewski, B.H. 1996. Pseudomonas in Baron’s Medical Microbiology. 4th ed.
Univ. Of Texas Medical Branch.
Kluytmans, J, A. van Belkun & H. Verburgh. 1997. Nasal Carriage of
Staphylococcus aureus : Epidemiology, Underlying Mechanisms, and
Associated Risks. The Nederlands : Clinical Microbiol. Rev. 10 (3) :
505-520.
Maddox, I.S., G.J. Manderson & P-L. Yu. 1998. Industrial Microbiology,
Laboratory Programme. Massey University.
Madigan, M.T., J.M. Martinko & J. Parker. 2003. Brock Biology of
Microorganisms. 10th ed. Pearson education Inc.
Madigan, M.T. & J.M. Martinko. 2005. Brock Biology of Microorganisms. 11th
ed. Prentice Hall.
Maskey, R.P., S. Fotso, M. Sevvana, I. Uson, I.G. Wollny, & H. Laatsch. 2006.
Kettapeptin : isolation, Structure Elucidation and Activityof a New
Hexadepsipeptide Antibiotic from Terrestrial Streptomyces sp. Journal
Antibiotics 59 (5) : 309-314.
McCauley, B. 2008. Biology; Fungi. DeAnza College.
Nakano, M.M. & P. Zuber. 1998. Anaerobic Growth of Strict Aerobe (B. Subtilis).
Annu. Rev. Microbiology. 52 : 165-190.
Nur, M.A. & H. Adijuwana. 1988. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan.
Bogor : IPB.
Nawangsih, A.A. 2007. Penyakit Pisang Dapat Ditekan dengan Bakteri Endofit.
Bogor : www.google.com
Ogston, A. 1984. ”On Abscesses”. Classics in Infectious Diseases”. Rev. Infect
dis 6 (1) : 122-128.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. ter. Ratna
Sri Hadioetomo. Jakarta : UI Press.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 1. ter. Ratna
Sri Hadioetomo. Jakarta : UI Press.
Prescott, L.M., J.P. Harley & D.A. Klein. 2002. Microbiology. 5th ed. New York :
McGraw Hill.
Ryan, K.J. & C.G. Ray. 2004. Sherris Medical Microbiology. 4th ed. New York :
McGraw Hill.
Samson, R.A., J. Houbraken, R.C. Summerbell, B. Flannigan & J.D. Miller.
Common and Important Species of Fungi and Actinomycetes in Indoor
Environments. In : Microorganisms in Home and Indoor Work
Environments. New York : Taylor & Francis.
Singleton, P. & D. Sainsbury. 1987. Dictionary of Microbiology and Molecular
Biology. 2nd
Edition. New York : John Wiley & Sons Ltd.
Sjachri, M. 1992. Diktat Kimia Bahan Alam Hayati. Penelaah : M. Anwar Nur.
Bogor : IPB.
Spieler, M. 2006. Something Tasty? Just Look Down. The New York Times.
Stackebrandt, E., F.A. Rainey & N.L. Ward Rainey. 1997. Proposal for a New Hierachic Classification System, Actinobacteria Classis. Int. J. Syst. Bacteriology. 47 : 479-491.
Suwandi, U. 1990. Purifikasi Antibiotik. Jakarta : Pusat Penelitian dan
Pengembangan PT. KALBE FARMA.
Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta :
Gadjah mada University Press.
Utomo, D. 2007. Tumbuhan Obat Digunakan Sejak Ribuan Tahun Silam. KBI
Gemari.
Van Epps, H.L. 2006. Rene Dubos : Unearthing Antibiotics. J. Exp. Med. 2 : 259. Vogt,
R.L. & L. Dippold. 2005. Escherichia coli O157:H7 Outbreak Associated with Consumption of Ground Beef. Public health reports. 2 : 174-178.
Lampiran 1. Bobot ekstrak aktinomiset tahap optimasi separasi senyawa
aktif aktinomiset
SAMPEL
PELARUT
EKSTRAKSI
BOBOT
TABUNG KONSENTRATOR
(g)
BOBOT
TABUNG
+
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK
YANG
DIGUNAKAN (g)
VOLUME
MeOH (µL)*
4,120 4,157 0,037 0,0065 325 4,288 4,332 0,044 0,0063 315
Etil asetat
4,111 4,156 0,045 0,0059 295 4,280 4,303 0,023 0,0168 840
n-Heksana 4,326 4,353 0,027 0,0068 340 4,184 4,262 0,078 0,0128 640 4,278 4,347 0,069 0,0139 695
Broth Fermentasi
n-Butanol
4,167 4,246 0,079 0,0115 575 4,131 4,151 0,020 0,0010 100 4,150 4,174 0,024 0,0015 150
Etil asetat
4,187 4,207 0,020 0,0020 200 4,326 4,350 0,024 0,0152 760 4,273 4,305 0,032 0,0032 160
n-Heksana
4,281 4,330 0,049 0,0061 305 4,258 4,306 0,048 0,0098 490 4,128 4,260 0,132 0,0055 275
Supernatan
n-Butanol
4,291 4,389 0,098 0,0109 545 4,117 4,142 0,025 0,0028 140 4,176 4,213 0,037 0,0043 215
Etil asetat
4,289 4,332 0,043 0,0028 140 4,265 4,289 0,024 0,0040 200 3,678 3,728 0,050 0,0096 480
n-Heksana
4,165 4,210 0,045 0,0044 220 4,122 4,166 0,044 0,0137 685 4,265 4,305 0,040 0,0161 805
Biomassa
n-Butanol
4,180 4,248 0,068 0,0119 595 * Penambahan MeOH dest. hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm, kecuali
sampel supernatan fase etil asetat konsentrasi 10.000 ppm.
Lampiran 2. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke
dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap
optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset
Mikroba Uji C. albicans B. subtilis S. aureus E. coli P. aeruginosa Pengenceran
Ke-
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
10-5 > 300 110 143 > 300 > 300 10-6 > 300 110 ≠ > 300 216
10-8 207 41 ≠ 204 152
A. niger Kotak Ke- ∑ Koloni
1 12 2 14 3 15 4 12 5 16 6 10 7 11 8 11 9 20 10 12
∑ Total Koloni 123
Rumus :
sel/petri = ∑ Koloni
Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 105
sel/mL fungi atau 106
sel/mL bakteri
Sel/petri
C. albicans
10-8
C.A. = 207 = 2,07 . 1011
sel/petri
10-8
. 10-1
mL/petri = 50 x 105
sel/mL
2,07 . 1011
sel/petri
= 2,415 . 10-5
mL/petri
= 241,5 . 10-3
mL/petri = 241,5 µ L/petri
B. subtilis
10-8
B.S. = 41 = 4,1 . 1010
sel/petri
10-8
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
4,1 . 1010
sel/petri
= 1,22 . 10-3
mL/petri = 1,22 µ L/petri
S. aureus
10-5
S.A. = 143 = 1,43 . 108
sel/petri
10-5
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
1,43 . 1010
sel/petri
= 3,497 . 10-1
mL/petri
= 0,035 . 10-3
mL/petri = 0,035 µ L/petri
E. coli
10-8
E.C. = 204 = 2,04 . 1011
sel/petri
10-8
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
2,04 . 1011
sel/petri
= 2,45 . 10-4
mL/petri
= 24,5 . 10-3
mL/petri = 24,5 µ L/petri
P. aeruginosa
10-8
P.A. = 152 = 1,52 . 1011
sel/petri
10-8
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
1,52 . 1011
sel/petri
= 3,289 . 10-4
mL/petri
= 32,89 . 10-3
mL/petri = 32,89 µ L/petri
A. niger
10-3
A.N. sel/petri = 123 sel x 2,5 x 104
x 103
= 3,075 . 109
sel/petri
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
3,075 . 109
sel/petri
= 1,63 . 10-2
mL/petri
= 16,3 . 10-3
mL/petri = 16,3 µ L/petri
Lampian 3. Bobot ekstrak aktinomiset tahap variasi pelarut dan perlakuan
pada sampel
SAMPEL
PELARUT
EKSTRAKSI
Spl. Ke-
BOBOT TABUNG
KONSENTRATOR (g)
BOBOT
TABUNG +
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK (g)
BOBOT
TOTAL (g)
3,682 3,687 0,005 3,651 3,658 0,007 3,721 3,728 0,007 3,522 3,526 0,004 3,682 3,686 0,004 3,664 3,669 0,005 3,720 3,726 0,006 3,680 3,684 0,004 3,846 3,851 0,005 3,655 3,660 0,005 3,651 3,659 0,008
Etil asetat
3,622 3,628 0,006
0,066
3,714 3,722 0,008 3,630 3,638 0,008 4,228 4,235 0,007 4,062 4,069 0,007 3,844 3,853 0,009 4,140 4,146 0,006 3,676 3,684 0,008 4,143 4,141 0,002 3,668 3,676 0,008 3,636 3,643 0,007 3,733 3,741 0,008 3,621 3,630 0,009
Broth
Fermentasi
n-Butanol
3,718 3,729 0,011
0.103
4,068 4,072 0,004 4,111 4,115 0,004 4,060 4,064 0,004 4,229 4,234 0,005 4,197 4,201 0,004 4,249 4,253 0,004 3,692 3,695 0,003 4,366 4,369 0,003 3,689 3,691 0,002
I
4,138 4,140 0,002
0,035
4,234 4,237 0,003 3,660 3,663 0,003 3,667 3,670 0,003 3,622 3,625 0,003 3,718 3,721 0,003
Biomassa
hasil filtrasi
Etil asetat
II
3,685 3,687 0,002
0,030
3,749 3,753 0,004 4,129 4,132 0,003 3,658 3,660 0,002
3,816 3,820 0,004
4,250 4,252 0.002 3,735 3,738 0.003 4,246 4,249 0.003 4,097 4,098 0.001 3,659 3,661 0.002 3,623 3,624 0.001 3,813 3,814 0.001 3,676 3,677 0.001 3,655 3,656 0.001 3,579 3,581 0.002
I
3,736 3,736 0.000
0,017
4,110 4,112 0.002 4,192 4,193 0.001 3,626 3,628 0.002 4,077 4,078 0.001 3,813 3,816 0.003 3,685 3,687 0.002 3,813 3,815 0.002 3,725 3,727 0.002 3,577 3,577 0.000 3,815 3,816 0.001 3,643 3,645 0.002
n-Butanol
II
4,226 4,227 0.001
0,019
4,245 4,250 0,005 4,120 4,125 0,005 4,078 4,083 0,005 4,232 4,236 0,004 3,645 3,651 0,006 4,269 4,275 0,006 4,289 4,294 0,005 4,245 4,250 0,005 3,760 3,765 0,005 3,738 3,743 0,005
I
4,231 4,235 0,004
0.055
4,129 4,131 0,002 4,129 4,131 0,002 4,107 4,109 0,002 4,232 4,234 0,002 3,765 3,769 0,004 4,225 4,227 0,002
Etil asetat
II
4,218 4,220 0,002
0.016
3,694 3,695 0,001 3,674 3,676 0,002 3,620 3,622 0,002
Biomassa
tanpa
filtrasi
I
3,648 3,649 0,001
0.011
3,663 3,664 0,001 4,167 4,169 0,002 3,653 3,654 0,001
4,232 4,233 0,001
3,632 3,635 0,003 3,687 3,690 0,003
n-Butanol
II
3,671 3,672 0,001
0.007
Lampiran 4. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke
dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap
variasi pelarut dan perlakuan pada sampel
Mikroba Uji B. subtilis S. aureus E. coli P. aeruginosa Pengenceran
Ke-
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
10-5 95 27 74 3 10-6 50 3 35 2 10-8 15 2 8 -
Rumus :
sel/petri = ∑ Koloni
Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 105
sel/mL fungi atau 106
sel/mL bakteri
Sel/petri
B. subtilis
10-6
B.S. = 50 = 5 . 108
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
5 . 108
sel/petri
= 0,1 mL/petri = 100 µ L/petri
S. aureus
10-6
S.A. = 3 = 3 . 107
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 50 x 10
6 sel/mL
3 . 107 sel/petri
= 1,667 mL/petri = 1.667 µ L/petri
E. coli
10-6
E.C. = 35 = 3,5 . 108
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
3,5 . 108
sel/petri
= 0,143 mL/petri = 143 µ L/petri
P. aeruginosa
10-6
P.A. = 2 = 2 . 107
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
2. 107
sel/petri
= 2,5 mL/petri = 2.500 µ L/petri
Lampiran 5. Bobot ekstrak aktinomiset tahap pengaruh penambahan
pelarut pada sampel biomassa
SAMPEL
PELARUT
EKSTRAKSI
Spl. Ke-
BOBOT
TABUNG KONSENTRATOR
(g)
BOBOT
TABUNG
+
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK (g)
TOTAL
BOBOT
EKSTRAK (g)
BOBOT
EKSTRAK
YANG
DIGUNAKAN (g)
VOLUME
MeOH (µL)
Etil asetat 4,177 4,375 0,198 0,198 0,008 400 3,534 3,569 0,035 3,694 3,730 0,036 3,733 3,765 0,032 3,743 3,780 0,037 3,678 3,712 0,034 3,692 3,720 0,028 3,715 3,747 0,032
Biomassa
n-Butanol
3,739 3,742 0,003
0,237
0,022
1100
Lampiran 6. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke
dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap
pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa
Mikroba Uji B. subtilis S. aureus E. coli P. aeruginosa C. albicans Pengenceran
Ke-
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
10-5 - - 22 - 43 10-6 33 73 6 44 3 10-8 - - 5 - -
Rumus :
sel/petri = ∑ Koloni
Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 105
sel/mL fungi atau 106
sel/mL bakteri
Sel/petri
B. subtilis
10-6
B.S. = 33 = 3,3 . 108
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 20 x 106
sel/mL
3,3 . 108
sel/petri
= 0,061 mL/petri = 61 µ L/petri
S. aureus
10-6
S.A. = 73 = 7,3 . 108
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 20 x 106
sel/mL
7,3 . 108
sel/petri
= 0,027 mL/petri = 27 µ L/petri
E. coli
10-5
E.C. = 22 = 2,2 . 107
sel/petri
10-5
. 10-1
mL/petri = 20 x 106
sel/mL
2,2 . 107
sel/petri
= 0,91 mL/petri = 910 µ L/petri
P. aeruginosa
10-6
P.A. = 44 = 4,4 . 108
sel/petri
10-6
. 10-1
mL/petri = 20 x 10
6 sel/mL
4,4. 108 sel/petri
= 0,045 mL/petri = 45 µ L/petri
C. albicans
10-5
C.A. = 43 = 4,4 . 107
sel/petri
10-5
. 10-1
mL/petri = 20 x 10
5 sel/mL
4,3. 107 sel/petri
= 0,047 mL/petri = 47 µ L/petri
Lampiran 7. Bobot biomassa aktinomiset tahap purifikasi ekstrak hasil
fermentasi aktinomiset
Bobot Tabung (g) Bobot Tabung +
Biomassa (g)
Bobot Biomassa (g) Total Bobot
Biomassa (g) 9,244 19,766 10,522 9,248 19,398 10,150 9,213 20,536 11,323 9,201 20,896 11,695 9,156 16,776 7,620
51,310
Lampiran 8. Bobot ekstrak aktinomiset tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset
Bobot Tabung
Konsentrator (g) Bobot Tabung +
Ekstrak (g)
Bobot Ekstrak (g) Total Bobot
Ekstrak (g) 3,375 3,749 0,014 3,888 3,903 0,015 3,649 3,664 0,015 3,659 3,676 0,017 3,566 3,873 0,307 3,631 3,773 0,142 3,677 3,701 0,024 3,541 3,551 0,010
0,544
Lampiran 9. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke
dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap
purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset
Mikroba Uji B. subtilis Pengenceran
Ke-
∑ Koloni
10-5 55 10-6 - 10-8 -
Rumus :
sel/petri = ∑ Koloni
Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 105
sel/mL fungi atau 106
sel/mL bakteri
Sel/petri
B. subtilis
10-5
B.S. = 55 = 5,5 . 107
sel/petri
10-5
. 10-1
mL/petri = 50 x 106
sel/mL
5,5 . 107
sel/petri
= 0,909 mL/petri = 909 µ L/petri
Lampiran 10. Gambar-gambar Peralatan
1. UV Cabinet II CAMAG
2. Sentrifuge, Beckman J2-HS
3. Recipro shaker, SR 2S
4. Centrifugal concentrator, TOMY
CC-105
5. Centrifugal concentration,
Sakuma EC-2000
Lampiran 11. Data Percobaan
1. Ekstrak hasil fermentasi aktinomiset
2. Ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang telah ditambahkan metanol hingga
konsentrasi 20.000 ppm.
3. Plat KLT ekstrak aktinomiset
4. Uji bioaktivitas antibiotika
Uji bioaktivitas terhadap S. aureus Uji bioaktivitas terhadap E.coli
Uji bioaktivitas terhadap C. albicans Uji bioaktivitas terhadap B. subtilis
Uji bioaktivitas terhadap P. aeruginosa
5. Uji bioautografi ekstrak hasil fraksinasi kolom
Recommended