DAFTAR ISI
BAB I: Pendahuluan …………………………………………….. 2
BAB II: Tinjauan Pustaka …………………………………………….. 3
II.1 Definisi …………………………………………….. 3
II.2 Epidemiologi …………………………………………….. 3
II.3 Etiologi …………………………………………….. 4
II.4 Patofisiologi …………………………………………….. 5
II.5 Gejala Klinis …………………………………………….. 6
II.6 Diagnosis …………………………………………….. 7
II.7 Penatalaksanaan ……………………………………………... 9
BAB III: Penutup …………………………………………….. 12
Daftar Pustaka ……………………………………………. 13
Page 1 of 16
BAB I: PENDAHULUAN
Kira-kira 20 hingga 40 persen perempuan melaporkan adanya gangguan emosional
dan disfungsi kognitif pada periode pasca melahirkan. Banyak dari perempuan tersebut
mengalami apa yang disebut dengan “baby blues”, yaitu suatu keadaan normal berupa
kesedihan, disforia, sering menangis, dan ketergantungan untuk “lengket”. Perasaan ini, yang
dapat berlangsung selama beberapa hari, dikaitkan dengan perubahan cepat kadar hormon
perempuan, stress saat melahirkan anak, dan kesadaran adanya peningkatan tanggung jawab
sebagai ibu.1
Depresi pasca melahirkan ditandai dengan mood depresi, ansietas yang berlebihan,
dan insomnia. Onsetnya dalam 3 hingga 6 bulan setelah persalinan. Pada kasus yang jarang
depresi pasca melahirkan pada perempuan ditandai dengan rasa depresi dan gagasan bunuh
diri. Pada kasus yang berat, depresi dapat mencapai proporsi psikotik, disertai halusinasi,
waham, dan pikiran untuk membunuh bayi. Meskipun masalah psikiatrik sebelumnya
menyebabkan perempuan memiliki risiko mengalami gangguan pascamelahirkan, terdapat
bukti yang mengesankan bahwa gangguan mood pasca melahirkan adalah konsep yang
spesifik, berbeda dengan diagnosis psikiatrik lainnya.1
Page 2 of 16
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
“Baby blues” adalah suatu gangguan psikologis sementara yang ditandai dengan
memuncaknya emosi pada minggu pertama setelah melahirkan. Menurut Cunningham, baby
blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan.2
II.2 Epidemiologi
Baby blues sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi
di literatur kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca-persalinan yang disebut
sebagai “milk fever” karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi.
Dewasa ini, baby blues syndrome atau sering juga disebut maternity blues atau postpartum
blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam
minggu pertama setelah persalinan, dan ditandai dengan gejala-gejala seperti: reaksi
depresi/sedih/disforia, menangis, mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan,
cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-
gejala ini mulai muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu
antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan
kemudian, bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat.3
Baby blues ini dikategorikan sebagai sindrom gangguan mental yang ringan oleh
sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksana
sebagaimana seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak
menyenangkan dan dapat membuat perasaan-perasaan tidak nyaman bagi wanita yang
mengalaminya, dan bahkan kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan
yang lebih berat yaitu depresi dan psikosis pasca-salin, yang mempunyai dampak lebih buruk,
terutama dalam masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya.3
Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi perhatian
khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca salin, dan telah
melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan
dengan gejala gejala tersebut. Berbagai studi mengenai baby blues syndrome di luar negeri
melaporkan angka kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang
Page 3 of 16
kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang
digunakan.3
II.3 Etiologi
Penelitian menunjukkan penyebab baby blues syndrome adalah faktor hormonal yang
akan mempengaruhi keadaan kimiawi otak. Itu merupakan proses biologis dan bukan
merupakan kesalahan seorang ibu atau bergantung pada kepribadian yang lemah. Baby blues
syndrome terjadi 50-80% pada ibu baru. Kondisi ini ditunjukkan dengan peningkatan respon
emosi. Ibu baru akan menunjukkan mood yang mudah berubah, mudah menangis, gelisah,
irritabilitas, kesulitan tidur dan merasa tidak sehat.4
Lebih dari 50% dari ibu yang mengalami depresi sebelumnya setelah melahirkan
anak akan menjadi depresi kembali pada kelahiran berikutnya. Wanita akan lebih rentan
apabila pada saat hamil mereka sudah mengalami depresi atau memiliki gejala mood
premenstruasi sebelum hamil. Apabila wanita tersebut mengalami depresi selama hidupnya,
risiko untuk berkembang menjadi postpartum depression juga akan meningkat dari 10 sampai
25% begitu pula dengan wanita yang mengidap penyakit bipolar (manic-depressive illness)
akan menempatkan wanita pada peningkatan risiko untuk mengalami postpartum
depression. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal cenderung 3,64
kali berpeluang lebih besar mengalami baby blues dibandingkan dengan ibu yang melahirkan
bayi dengan berat badan normal.4
Ketidakseimbangan hormonal
Jumlah hormon wanita seperti estrogen dan progesteron meningkat secara tajam
pada saat kehamilan. Pada minggu-minggu setelah melahirkan, jumlah hormon estrogen
dan progesteron lebih menurun dari jumlah sebelum kehamilan. Fluktuasi tiba-tiba pada
tingkat hormonal ini berhubungan dengan gejala dari depresi yang dialami seorang ibu baru.
Wanita lebih rentan pada ketidakseimbangan hormonal dari pria. Itu disebabkan terjadinya
reaksi kimia antara hormon dan otak yang meningkatkan risiko terjadinya baby blues
syndrome.
Hormon tiroid
Kelenjar thyroid berukuran kecil dan terletak di leher. Beberapa wanita mengalami
penurunan hormon thyroid setelah melahirkan.
Page 4 of 16
Rendahnya hormon thyroid akan menyebabkan gejala depresi, irritabilitas,
berkurangnya minat pada aktivitas biasa kelemahan dan peningkatan berat badan. Akan tetapi
tidak semua wanita mengalami baby blues syndrome akibat ketidakseimbangan hormon
thyroid.
Perubahan gaya hidup
Ibu baru mengalami banyak perubahan gaya hidup, dan beberapa diantaranya akan
berkontribusi dalam terjadinya baby blues syndrome. Lingkungan yang meningkatkan risiko
gejala baby blues syndrome antara lain.5
Perubahan jadwal sehari hari akibat bayi yang baru lahir
Kepikiran pada berat badan dan bentuk tubuh setelah hamil
Kelelahan dan kurang tidur setelah melahirkan anak
Sedikitnya dukungan dalam merawat bayi
Khawatir akan kemampuan untuk menjadi ibu yang baik
Etiologi dari baby blues tidak dipahami dengan baik, banyak penelitian telah meneliti
perubahan biologis yang dramatis terjadi selama persalinan dan periode postpartum langsung
serta faktor-faktor psikososial dan kepribadian. Umumnya diyakini memiliki dasar biologis
karena penurunan mendadak hormon ovarium setelah melahirkan yaitu estradiol dan
progesterone tertentu. Harris (1994) juga mengatakan kemurungan ini dipicu oleh turunnya
progesterone.6
II.4 Patofisiologi
Baby blues bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor biologis dan
faktor emosi. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon yang sangat mendadak pada
ibu. Hormon kehamilan (estrogen dan progesteron) secara mendadak mengalami penurunan
72 jam setelah melahirkan dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan
oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan perasaan tertekan
serta di lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui.2
Perubahan hormon yang cepat inilah bisa mencetuskan terjadinya baby
blue syndrome. Level neurosteroid berasal dari hormon progesteron yang mengalami
fluktuasi selama siklus menstruasi dan memuncak saat kehamilan. Hormon sex yang
dinamakan neurosteroid berikatan dengan beberapa tipe reseptor termasuk reseptor GABAA
Page 5 of 16
untuk memodulasi eksitabulutas dari sel otak. Kekurangan delta subunit reseptor GABAA
pada wanita menunjukkan sikap depresi dan gangguan cemas setelah melahirkan. Pemberian
antidepresan saat kehamilan akan berefek panjang pada sistem serotonin dan berpengaruh
pada sensitivitas reseptor GABAA. Sebagian besar ibu tidak siap untuk menghadapi kelahiran
bayinya, mereka juga sangat khawatir bayi mereka terkena penyakit jaundice dan kesulitan
makan yang merupakan masalah kesehatan yang umum bagi bayi. Selain itu, ibu yang
pertama kali memiliki bayi merasa tidak sanggup merawat bayinya seorang diri di rumah
baik itu dari segi kasih saying maupun dari segi finansial. Baby blues syndrome juga sangat
mungkin terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan atau mengalami
kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung.2
II.5 Gejala Klinis
Baby blues syndrome ditandai perasaan sedih, seperti menangis, perasaan kesepian atau
menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan tidak bisa tidur. Baby blues syndrome
relatif ringan dan biasanya berlangsung 2 minggu. Perbedaan dengan postpartum depression
adalah pada frekuensi, intensitas dan lamanya durasi gejala. Dalam postpartum depression,
gejala yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama. Beberapa gejala baby blue syndrome:1
1. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa sebab
2. Mudah kesal, mudah tersinggung dan tidak sabar
3. Tidak memiliki atau kurang bertenaga
4. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
5. Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau menjadi terlalu memperhatikan dan kuatir
terhadap bayinya
6. Tidak percaya diri
7. Sulit beristirahat dengan tenang atau tidur lebih lama
8. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan
9. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan
10. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya
Karakteristik Baby blues syndrome Postpartum depression
Insidens Terjadi pada 30-75% ibu
melahirkan
Terjadi pada 10-15% ibu
melahirkan
Onset 3-5 hari setelah melahirkan Dalam waktu 3-6 bulan
Page 6 of 16
setelah melahirkan
Durasi Hari sampai minggu Bulan sampai tahun jika
tidak diobati
Stressor terkait Tidak ada Ada, terutama kurang
dukungan
Pengaruh sosial dan budaya Tidak ada, ada dalam semua
budaya dan kelas
sosioekonomi
Ada hubungan yang kuat
Riwayat gangguan mood Tidak ada hubungan Ada hubungan yang kuat
Riwayat gangguan mood
dalam keluarga
Tidak ada hubungan Ada hubungan
Rasa sedih Ada Ada
Mood labil Ada Sering pada awalnya
kemudian depresi secara
bertahap
Anhedonia Ada Sering
Gangguan tidur Kadang-kadang Hampir selalu
Keinginan untuk bunuh diri Tidak ada Kadang-kadang
Keinginan untuk menyakiti
bayi
Jarang Sering
Rasa bersalah,
ketidakmampuan
Tidak ada, jika ada biasanya
ringan
Sering dan biasanya berat
Tabel1: Perbedaan Baby Blues Syndrome dan Postpartum Depression1
II.6 Diagnosis
Baby blues syndrome adalah tekanan atau stress yang dialami oleh seorang
wanita pasca melahirkan karena penderita beranggapan bahwa kehadiran bayi akan
mengganggu atau merusak suatu hal dalam hidupnya seperti karier, kecantikan/penampilan
dan aktivitas rutin yang dianggap penting dalam hidupnya. Penderita baby blues syndrome
kebanyakannya adalah kalangan wanita karier, artis, model dan wanita modern tetapi sindrom
ini tidak menutup kemungkinan menyerang pada wanita muda (pernikahan dini) dan semua
wanita pasca melahirkan.2
Page 7 of 16
Perubahan sikap yang negatif dengan kondisi emosional yang kurang
terkontrol seperti sering marah, cepat tersinggung, dan menjauh dari bayi yang baru
dilahirkan, susah tidur dan tiba-tiba sering menangis. Apabila ini tidak segera ditangani
berdampak negatif terhadap kesehatan jiwa penderita. Sindrom ini umumnya terjadi dalam 14
hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau empat
setelah persalinan. Seseorang terdiagnosis baby blues syndrome apabila terlihat secara
psikologis kejiwaanya seperti di bawah ini:2
Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih, murung dan sering
menangis tanpa ada sebab (tidak jelas penyebabnya)
Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus sering migraine
Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak
Adanya perasaan putus asa
Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien mengalami postpartum
depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan lama kelamaan tekanan atau stres yang
dirasakan semakin kuat atau semakin besar maka penderita akan mengalami depresi pasca
melahirkan yang berat.
Jika telah mengalami hal ini maka diperlukan penanganan secara berkala, gejala dari
depresi tersebut adalah:
Kelelahan yang berkepanjangan, susah tidur, dan insomnia.
Hilangnya perasaan bahagia dan minat untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan.
Tidak memperhatikan diri sendiri dan menarik diri dari keluarga dan teman.
Tidak memperhatikan atau bahkan perhatian yang berlebihan pada anak.
Perasaan takut telah menyakiti anak.
Tidak tertarik pada seks.
Perasaan berubah-ubah dengan ekstrim, terganggu proses berpikir dan konsentrasi.
Kesulitan dalam membuat keputusan sederhana.
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara
langsung postpartum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simptom yang
tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi postpartum blues bila memenuhi kriteria
dan gejala yang ada. Kekurangan hormone thyroid yang ditemukan pada individu yang
Page 8 of 16
mengalami kelelahan luar biasa (fatique) ditemukan juga pada ibu yang mengalami
postpartum blues mempunyai jumlah kadar thyroid yang sangat rendah.2
Kriteria Diagnostik
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorders (DSM) IV, baby blues
dikategorikan dalam Major Depression.
Terdapat gejala berupa kesedihan, disfori, sering menangis dan ketergantungan untuk
“lengket”. Kondisi ini berlangsung beberapa hari, perubahan emosi pada hari puncak yaitu
hari ke 4 atau ke 5 dan kembali normal pada hari ke 10.7
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan
acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan
beberapa kuesioner dengan alat bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)
merupakan kuesioner dengan validasi yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan
perasaan depresi selama 7 hari pasca salin. Pertanyaan-pertanyaan berhubungan dengan
labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat
pada postpartum blues. Kuesiner ini terdiri dari 10 pertanyaan, dimana setiap pertanyaan
memiliki 4 pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai
dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu. Pertanyaan harus
dijawab sendiri oleh ibu dan rata rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit, nilai scoring
lebih besar 12 memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis
postpartum blues. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila
hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 minggu kemudian.8
II.7 Penatalaksanaan
Tidak ada perawatan khusus untuk baby blues jika tidak ada gejala yang signifikan.
Empati dan sukungan keluarga serta staf kesehatan diperlukan. Jika gejala tetap ada lebih 2
minggu diperlukan bantuan profesional.8
Konsultasi kejiwaan umumnya tidak diperlukan. Namun, pasien harus diinstruksikan
untuk menghubungi dokter kandungan atau primary care providernya jika gejala menetap
lebih dari dua minggu untuk menidentifikasi dini gangguan afektif yang lebih parah. Wanita
dengan riwayat penyakit jiwa terutama depresi postpartum harus dipantau lebih dekat karena
mereka berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit nifas yang signifikan.8
Page 9 of 16
Disebabkan keparahan postpartum blues biasanya ringan dan menghilang
secara spontan, tidak ada pengobatan khusus selain dukungan dan reassurance yang
diindikasikan. Gejala-gejala yang timbul mungkin menyebabkan penderitaan tetapi biasanya
tidak mempengaruhi kemampuan ibu untuk berfungsi dan merawat bayinya. Konsultasi
kejiwaan umumnya tidak diperlukan. Namun, pasien harus diinstruksikan untuk
menghubungi dokter kandungan atau primary care providernya jika gejala menetap lebih dari
dua minggu untuk mengidentifikasi dini gangguan afektif yang lebih parah.2
Postpartum blues seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Banyak
ibu yang berjuang sendiri dalam beberapa saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada
suatu yang salah namun mereka sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang
terjadi. Apabila mereka pergi mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya untuk
minta pertolongan, seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau tidur lebih
banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai merasa
gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai. Penangganan gangguan mental
pascasalin pada prinsipnya tidak berbeda dengan penangganan gangguan mental pada
momen-momen lainnya. Para ibu yang mengalami postpartum blues membutuhkan
pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan psikologis seperti juga
kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga
mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan seringkali merasa gembira
mendapat pertolongan praktis. Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin
perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin
menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka tentang keibuan dan
perawatan bayi.2
Bila memang diperlukan dapat diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya
dari seorang psikolog atau konselor yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Para ahli
obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan
terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan penangganan yang tepat bila
terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk kepada para ahli psikologi/konseling bila
memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas obstetri, yaitu: dokter
dan bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi
yang memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit
yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta penangganannya. Postpartum blues
Page 10 of 16
juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan meditasi,
tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu,
tidak perfeksionis dalam hal menguruskan bayi, membicarakan rasa cemas
dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru.2
Dalam penangganan para ibu yang mengalami postpartum blues
dibutuhkan pendekatan menyeluruh / holistik. Pengobatan medis, konseling, emosional,
bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-
harapan mereka mungkin pada saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
dibutuhkan penanganan ditingkat perilaku, emosional, intelektual, social dan psikologis
secara bersama-sama dengan melibatkan lingkungannya yaitu: suami, keluarga, dan juga
teman dekatnya.2
Page 11 of 16
BAB III: KESIMPULAN
Baby blues syndrome adalah fenomena ringan dan sementara ditandai terutama oleh
perasaan menangis, lelah, cemas, pelupa, kacau, overemotional, perubahan suasana hati dan
tidak bersemangat yang terjadi selama berhari-hari pertama masa nifas. Baby blues perlu
dibedakan dengan postpartum depression, dimana pada postpartum depression gejalanya
lebih berat dan onset nya lebih dari 2 minggu.
Etiologi dari baby blues tidak dipahami dengan baik, banyak penelitian telah meneliti
perubahan biologis yang dramatis terjadi selama persalinan, dan periode postpartum langsung
serta faktor-faktor psikososial dan kepribadian. Tidak ada perawatan khusus untuk baby blues
jika tidak ada gejala yang signifikan. Empati dan dukungan keluarga serta staf kesehatan
diperlukan, jika gejala tetap ada lebih dari 2 minggu diperlukan bantuan professional.
Page 12 of 16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock, Benjamin J. Buku ajar psikiatri klinis, edisi 2. Jakarta: EGC;2010.p.398-99
2. Sadock B J. Kaplan & sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. 7 th edition.
New York: Lippincott Williams & Wilkins;2007
3. Ryan D. Psychiatric disorders in the postpartum period. BC Medical Journal;2005.p.3
4. Sadock B J. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical
psychiatry, 10th edition. New York: Lippincot Williams & Wilkins;2007
5. Buttner, Melissa M, et al. The structure of women’s mood in the early postpartum.
Assessment;2012.p.247
6. Cunningham, Gary F, et al. Obstetri Williams edisi 23. Jakarta: EGC;2013
7. Rosario D, Genevieve A. Postpartum depression: symptoms, diagnosis, and treatment
approaches. JAAPA;2013.p.50-4
8. Cox J L, Holden J M. Detection of postnatal depression: development of the postnatal
depression scale. Edinburgh;2013
Seperti yang telah dijelaskan di atas, seorang transgender mengalami
tekanan emosional terutama yang berhubungan dengan tubuh mereka. Seorang
transgender secara mendasar tidak menyukai karakteristik seksual biologis
mereka dan sebagian besar dari mereka mempunyai perilaku negatif terhadap
alat genitalia mereka sendiri
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, transgender dan
transseksual dalam ilmu psikologi merupakan keadaan dimana seorang
individu mengalami gangguan. Transgender diberikan kepada orang yang
telah ditetapkan identitas seksualnya berdasarkan genitalia mereka saat lahir,
tetapi dalam mencitrakan atau mengekspresikan diri, mereka merasakan 4
adanya kesal adanya kesalahan atau merasakan ketidaksempurnaan pada diri mereka
Menurut Wiramihardja (2005), penyebab seseorang menjadi abnormal
dalam hal ini menjadi seorang transgender ataupun transeksual didasarkan
Page 13 of 16
oleh berbagai pendekatan, yaitu antara lain :
a. Pendekatan biologis
Dikatakan bahwa proses yang bersifat bio-fisik sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhi manusia dimana penerapannya lebih menonjolkan
kepada sifat medis. Maka, dalam hal ini transgender dan transseksual
dianggap sebagai penyakit dari sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh
patologi atau ketidakmampuan otak. Sehingga pada pendekatan biologis
dinyatakan bahwa tidak terdapat adanya hubungan antara faktor psikologi,
maupun lingkungan yang mempengaruhi gangguan mental (Wiramihardja,
2005 : 16).
b. Pendekatan psikologis
Melalui pendekatan ini, dibicarakan faktor-faktor penyebab psikologis dan
psikososial yang mempengaruhi gangguan mental. Yang dimaksud dengan
psikososial ialah faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau
dapat menghambat perkembangan seseorang secara psikologis
(Wiramihardja, 2005 : 16). Yang termasuk ke dalam pendekatan
psikologis ini, antara lain :
a. Early deprivation
Deprivasi merupakan suatu istilah yang menggambarkan adanya reaksi
menerima atau pasrah dari individu terhadap keadaan-keadaan yang
menuntut, senang atau tidak senang ia ikut
Pengasuhan orang tua yang tidak adekuat
Pengasuhan orang tua yang tidak adekuat ialah tidak tercukupinya rasa
Page 14 of 16
aman sehingga tidak terdapat adanya values atau norma-norma sebagai
pegangan.
c. Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga yang patogenik adalah struktur keluarga yang tidak
seimbang, terdapat banyak pertentangan atau pertengkaran antara
orang tua sehingga anak-anak merasa kurang kasih sayang.
d. Trauma pada masa anak-anak.
Mendapatkan perlakuan yang salah (abuse) pada masa anak-anak yang
berbentuk fisik (physical), seksual (sexual), diabaikan (neglect), emosi
(emotional). Sehingga menimbulkan trauma yang dapat
mengakibatkan efek jangka pendek maupun panjang pada seorang
anak (Siswanto, 2007: 124-125).
Berdasarkan peneliltian yang dilakukan oleh Rekers, dari kurang lebih
70 orang anak laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender yang ia
jadikan objek penelitian, ia menemukan bahwa tidak dideteksi hal yang
sifatnya abnormal secara fisik. Dan ti idak ada bukti bahwa pemberian hormon
sewaktu seorang wanita mengandung atau adanya ketidak seimbangan
hormonal pada diri ibu dapat menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya
gangguan identitas gender pada seorang anak
(www.leaderu.com/jhs/rekers.html.2002). Jadi, dapat ditarik kesimpulan dari
penelitian tersebut bahwa seseorang yang mengalami gangguan identitas
gender tidak mengalami gangguan atau keabnormalan secara fisik.
Maka, untuk mendiagnosis seseorang mengalami perilaku yang
Page 15 of 16
abnormal atau tidak, menurut WHO (World Health Organization) dalam
Lukluk (2008) digunakan suatu sistem klasifikasi yang digunakan oleh
sebagian besar profesi kesehatan mental, yakni Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, edisi keempat atau biasa disebut DSM-IV. atau biasa disebut
DSM-IV. Saat kita merasakan perasaan ketidak cocokkan antara identitas gender
yang kita terima sejak lahir dengan tubuh yang kita diami, di dalam
masyarakat telah dibuktikan tidak ada kedudukan yang pasti atau peran yang
dapat diambil untuk jenis ekspresi gender seperti ini, bahkan suatu konflik
biasanya akan menyeruak atau timbul dalam masyarakat tersebut. Hal ini tidak
dapat diterima sebagai sesuatu yang normal dalam masyarakat kita sekarang
ini. Konflik dengan lingkungan, yang berkepanjangan dapat membuat
seseorang menjadi stres. Terlebih pada kebanyakan kaum transgender ini,
mereka mengalami stres, dikarenakan tekanan dari lingkungan, terutama
masyarakat yang masih mendeskritkan mereka. Pemaparan seseorang dengan
stres dapat membuat emosi yang menyakitkan, seperti dapat mengalami
gangguan kecemasan.namun reaksi seseorang sangat mengalami stress berbeda-beda, ada
sebagian yang mengalami masalah psikologi serius dan ada yang menghadapinya tidak
mengalami masalah apapun
Page 16 of 16