PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS
PEER-TO-PEER LENDING
(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT
NIM: 11140480000079
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS
PEER-TO-PEER LENDING
(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT
NIM: 11140480000079
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
i
PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS
PEER-TO-PEER LENDING
(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT
NIM: 11140480000079
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
NIP. 19680904 199401 1 001 NUPN. 9920112680
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Naufal Abdurrahman Supangkat
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 April 1995
NIM 11140480000079
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Mutiara Pejaten Townhouse Kavling H RT 3 RW 3,
Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510
(081217976356)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari, terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2020
NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT
NIM:11140480000079
iv
ABSTRAK
Naufal Abdurrahman Supangkat. NIM 11140480000079. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER-TO-PEER LENDING
(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016). Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2020 M/1441 H, x + 151 Halaman.
Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui
bentuk-bentuk problematika hukum, perlindungan hukum, konsep penegakan hukum terhadap
debitur dan kreditur dalam penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis Fintech
Peer To Peer Lending.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan
metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Sedangkan, pada pendekatan kasus
berdasarkan data audiensi dan wawancara bersama pihak OJK selaku regulator dan korban
layanan Fintech P2PL illegal.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi ditinjau dari aspek perlindungan hukum bagi debitur selaku konsumen dan kreditur
selaku investor dalam konsep negara hukum tidak sesuai dengan prinsip negara hukum karena
bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan asas kepastian hukum, sehingga
mendisrupsi penyelenggaraan layanan Fintech berbasis Peer To Peer Lending yang berimplikasi
pada minimnya perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur sebagai pengguna layanan
Fintech berbasis Peer To Peer Lending yang menuai banyak problematika pada kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2PL) di masyarakat.
Kata Kunci : Problematika, Penyelenggaraan, Financial Technology,
Peer-To Peer Lending
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag.
2. Syafrudin Makmur, S.H.,
M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1956 sampai Tahun 2019
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji dan rasa syukur mendalam, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Sholawat dan salam semoga selalu senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah
Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada
semua pihak yang membantu kelancaran peneliti skripsi ini, baik berupa dorongan moril maupun
materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti
untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.H.,M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.
Abu Tamrin, S.H.,M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang senantiasa memberikan arahan dan masukannya atas penyusunan skripsi.
3. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. dan Syafrudin Makmur, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan kritik
konstruktif dan motivasinya terhadap proses hingga penyelesaian dalam penyusunan skripsi.
4. Bapak Teguh Supangkat, Anggota Satgas Waspada Investasi dan Deputi Komisioner
Pengawasan Bank OJK, Bapak Sarjito, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan
Konsumen OJK, dan Bapak Munawar Kasan, Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan Dan
Pengawasan Fintech OJK, serta Ibu Tanti Tarry, Korban Layanan Fintech P2PL ilegal yang
vi
telah berkontribusi besar dalam penelitian skripsi ini guna dimintai kesediaan waktu
luangnya untuk dilakukan audiensi dan wawancara terkait penelitian skripsi ini.
5. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Dr. Teguh
Supangkat dan Ibu Ane Djunita yang telah memberikan segala daya, serta upayanya demi
purnanya jenjang studi program S-1 peneliti. Dan kepada adik-adik tercinta, Algiffano Rizki
Supangkat dan Altaaj Kautsar Supangkat yang senantiasa mengingatkan, dan memotivasi
peneliti dalam proses penyusunan hingga penyelesaian skripsi ini.
6. Persembahan terima kasih peneliti kepada mendiang almarhum Bapak Arus Akbar Silondae,
S.H.,L.LM yang telah mencurahkan segenap perhatian dan motivasi, serta sebagai kawan
diskusi peneliti dalam penyelesaian penelitian ini semasa beliau masih hidup.
7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum, khususnya kawan-kawan
DPR beserta kawan-kawan angkatan Ilmu Hukum 2014 lainnya yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
Demikian, peneliti haturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala dukungan semua
pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini dan mohon maaf atas segala
kekurangan maupun kesalahan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, terkhusus peneliti. Wassalammualaikum.
Jakarta, Juli 2020
Peneliti
Naufal Abdurrahman Supangkat
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 14
D. Metode Penelitian ..................................................................... 15
E. Sistematika Pembahasan ........................................................... 20
BAB II PENGERTIAN DAN PERATURAN LAYANAN PINJAM
MEMINJAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
A. Kerangka Konseptual ................................................................ 22
1. Problematika ....................................................................... 22
2. Penyelenggaraan ................................................................. 24
3. Financial Technology (Fintech) ......................................... 24
4. Peer-To-Peer Lending ........................................................ 27
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi…………………………………… 35
B. Kerangka Teori ......................................................................... 36
1. Teori Perlindungan Hukum ................................................. 36
2. Teori Perlindungan Konsumen ........................................... 39
3. Teori Kepastian Hukum ...................................................... 43
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 47
BAB III FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER-TO-PEER LENDING
SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN A. Sumber-Sumber Pembiayaan .................................................... 49
viii
B. Perkembangan Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer-To-Peer Lending di
Indonesia ................................................................................... 53
C. Pengaturan Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer-To-Peer Lending di
Indonesia ................................................................................... 57
D. Implementasi Penyelenggaran Financial Technology Berbasis Peer To Peer
Lending di Indonesia… ............................................................. 67
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR
FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO PEER LENDING
MENURUT PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR
77/POJK.01/2016
A. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Fintech P2PL Menurut Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi
……………………………..…………………….................. 77
B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Layanan Financial Technology
Berbasis Peer-To-Peer Lending Ditinjau Berdasarkan Asas Kepastian
Hukum....................................................................................... 104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 130
B. Rekomendasi ............................................................................. 131
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 133
LAMPIRAN....................................................................................................... 151
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi telah mengubah wajah perekonomian global,
maupun nasional, khususnya pada sektor ekonomi yang mencakup industri dan
perdagangan. Salah satu fase penting dalam perkembangan teknologi adalah
munculnya revolusi industri gelombang ke-4 atau lebih populer dengan istilah
Industrial Revolution 4.0 yang menjadi atensi publik global maupun nasional,
utamanya para pelaku usaha dalam memanfaatkan adanya Revolusi Industri 4.0,
serta bagaimana menghadapi tantangan ke depan dalam membangun
perekonomian suatu negara demi kelangsungan hidup generasi kini dan
mendatang.
Dampak Revolusi Industri 4.0, yakni adanya perubahan yang cepat pada
bidang ekonomi, seperti peralihan kegiatan ekonomi agraris ke ekonomi industri
yang menggunakan mesin dalam mengolah bahan mentah menjadi siap pakai,
sampai pada akhirnya tiba di era digitalisasi dewasa ini telah mengubah cara
kerja dan cara pandang manusia untuk mengikuti perkembangan zaman yang
bersifat dinamis.
Begitupun dengan Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0
yang dengan masifnya melakukan proses pembangunan infrastruktur, guna
menunjang kesiapan dan kematangan dalam menghadapi Revolusi Industri. Hal
ini ditandai dengan maraknya platform ekonomi digital yang berkembang pada
dunia usaha di Indonesia, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Perkembangan teknologi informasi, utamanya interconnection-
networking yang lazim disebut internet telah membawa pengaruh besar di
seluruh lini kehidupan manusia. Modern saat ini yang sangat bergantung pada
1
2
kemajuan teknologi.
1 Dampak pesatnya perkembangan teknologi informasi telah
membawa perubahan terhadap pola kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan
pola kehidupan tersebut terjadi di semua bidang, baik sosial, budaya, ekonomi,
maupun bidang lainnya.2
Hasil studi polling Indonesia yang bekerjasama dengan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna
internet di Indonesia pada periode Maret hingga April 2019 mengalami
pertumbuhan 10,12%, Sekjen APJII, Henri Kasyfi menuturkan terdapat sebanyak
171,17 juta jiwa dari total populasi sebanyak 264 juta jiwa penduduk Indonesia
atau sekitar 64,8% penduduk Indonesia yang terhubung dengan koneksi
Internet.3 Tingginya pengguna jasa internet di Indonesia juga berdampak pada
tumbuh pesatnya perusahaan Financial Technology (Fintech). Kepala Sub Bagian
Perizinan Fintech Direktorat Pengaturan, Pengawasan, dan Perizinan Fintech
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Alvin Taulu mengatakan, bahwa hingga tahun
2018, total transaksi dari industri Fintech berbasis Peer To Peer Lending
mencapai Rp. 26 Triliun,4 data lain dapat dilihat dari jumlah perusahaan Fintech
berizin dan terdaftar di OJK per 30 Oktober 2019 yang mencapai 144
1 Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Sex”, (Jakarta:
Jurnal Law Reform Edisi 11, 2005), h. 11.
2 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-commerce: Studi Sistem Keamanan
dan hukum di Indonesia, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005), h. 1.
3 Website https://tekno.kompas.com/read/2019/05/16/03260037/apjii-jumlah-pengguna-
internet-di-indonesia-tembus-171-juta-jiwa diakses pada 30 Juli 2019, Pukul 21.30 BBWI.
4 Danang Sugianto, “Transaksi Fintech di Indonesia Tembus Rp. 26 Triliun”, (2019),
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4445880/transaksi-fintech-di-Indonesia-tembus-rp-
26-triliun, diakses pada 24 November 2019, Pukul 20.00 BBWI.
3
perusahaan5, meningkat signifikan dibandingkan sebelumnya per Desember 2018
sebanyak 88 perusahaan.6
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi tersebut, praktis
membuat peluang besar terhadap meningkatnya angka industri Fintech
(Financial Technology) di Indonesia menjadi semakin prospektif akibat dari
semakin banyak pula masyarakat menggunakan teknologi pada sektor finansial
yakni melalui transaksi pinjam meminjam online, dalam hal ini Fintech Peer To
Peer Lending. Masifnya pertumbuhan perusahaan Fintech juga dikarenakan
Fintech menawarkan beragam layanan keuangan yang sangat membantu
masyarakat dalam menjalankan roda perekonomian menjadi lebih efektif dan
efisien, khususnya sektor keuangan.7 Proses pemanfaatan teknologi finansial ini
hadir guna memenuhi kebutuhan masyarakat dimana ditandai dengan pelbagai
inovasi dan keterlibatan pihak baru dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran, seperti Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Dompet
Elektronik, dan Penyelenggara Penunjang lain, seperti perusahaan penyedia
teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless), termasuk dalam hal ini
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Finansial (Fintech Peer-
To-Peer Lending).
Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran menetapkan dasar hukum penyelengaraan Fintech
dalam sistem pembayaran di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
5 Website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-
Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-30-Oktober-2019.aspx diakses pada 25 November 2019,
Pukul 22.00 BBWI.
6 Website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-
Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-Desember-2019.aspx diakses pada 26 November 2019,
Pukul 01.00 BBWI.
7 Farah Margaretha, “Dampak Elektronic Banking Terhadap Kinerja Perbankan Indonesia”,
(Jakarta: Jurnal Keuangan dan Perbankan Edisi 19, 2015), h. 514-516.
4
Selain itu, Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Fintech (Financial Technology), sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1
Bab I Ketentuan Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI Tahun
2017, didefinisikan sebagai “penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang
menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru, serta
dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau
efesiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran”.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang,8 bahwa Fintech merupakan
inovasi keuangan digital sebagai aktifitas pembaruan proses bisnis, model bisnis,
dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa
keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. Salah satu jenis jasa keuangan
berbasis teknologi informasi yang cukup populer saat ini yakni model layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi/ Fintech P2P Lending yang
cukup berpengaruh terhadap roda perekonomian di Indonesia memungkinkan
terjadinya peningkatan ke arah yang lebih baik. Sejatinya, Fintech memiliki
beberapa bentuk pelayanan yang ditawarkan, meliputi;9 Pembayaran (Digital
Wallets, P2P Payment), Investasi (Equity Crowdfunding, P2P Lending),
Pembiayaan (Crowdfunding, Microloans,Credit Facilities), Asuransi (Risk
Management), Lintas-Proses (Big Data Analysis, Predicitve Modelling), dan
Infrastruktur (Security).
Fintech Peer To Peer Lending (P2PL) adalah penyelenggaraan layanan
jasa keuangan untuk mempertemukan kreditur (lender) dengan debitur
8 Wawancara dengan Deputi Komisioner Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus
Dewan Pakar Fintech dari Unsur Otoritas Jasa Keuangan, Dr. Teguh Supangkat yang dilakukan pada 5
November 2019, Pukul 19.00 WIB. 9 Nofie Iman, Financial Technology dan Lembaga Keuangan Keuangan,(Yogyakarta:Gathering
Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016), h. 6-7.
5
(borrower) dalam rangka melakukan kegiatan pinjam meminjam dalam mata
uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan
jaringan internet. Penyelenggaraan Fintech P2P Lending ini diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dana tunai secara cepat, mudah, dan efisien, serta
meningkatkan daya saing dan dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu
pelaku usaha skala UMKM dalam memperoleh akses pendanaan. Karakteristik
utama Fintech P2P Lending adalah jenis bentuk Fintech P2P Lending tidak
melakukan penghimpunan dana masyarakat.
Dalam rangka mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan berbasis
teknologi informasi, Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas industri
jasa keuangan di Indonesia telah menetapkan peraturan secara rinci yang
mengatur profil penyelenggara maupun pengguna melalui Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 pada tanggal 28 Desember 2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan
Digital di Sektor Jasa Keuangan pada tanggal 15 Agustus 2018.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatasi penyelenggaraan Fintech P2P
Lending melalui badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas
dan/atau koperasi dengan syarat pada saat pendaftaran penyelenggara yang
berbentuk Perseroan Terbatas dan/atau koperasi wajib memiliki modal sendiri
paling sedikit Rp. 1 Miliar. Penyelenggara yang telah berizin dan terdaftar resmi
di Otoritas Jasa Keuangan dan wajib mengajukan permohonan izin sebagai
penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dan wajib memiliki modal disetor atau modal
sendiri paling sedikit Rp. 2,5 Miliar.
Sejatinya, Otoritas Jasa Keuangan juga mengatur batas maksimum total
pemberian pinjaman dana sebesar Rp. 2 Miliar. Penyelenggara yang telah
terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan penyelenggara yang telah memperoleh izin,
6
wajib menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada Otoritas Jasa
Keuangan yaitu berupa laporan bulanan dan laporan tahunan.
Para pelaku usaha jasa keuangan (perusahaan) Fintech P2P Lending di
Indonesia tergabung dalam satu wadah organisasi Asosiasi Fintech Pendanaan
Bersama Indonesia (AFPI) yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai
asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi di Indonesia. Dalam Code of Conduct AFPI ditetapkan, bahwa bunga
maksimal 0,8% per hari yang terdiri dari bunga, biaya, verifikasi, denda dan
lainnya. Adapun akumulasi seluruh biaya termasuk denda adalah 100% dari nilai
pokok pinjaman.
Data dari portal website Otoritas Jasa Keuangan, menunjukkan bahwa
pada Desember 2018, penyaluran pinjaman Fintech P2P Lending menunjukkan
angka sebesar Rp. 22,62 Triliun dan per - Juni 2019 telah mencapai Rp. 44,80
Triliun. Jumlah pinjaman tersebut mengalir ke 9.743.679 rekening debitur
dengan komposisi 99,9% perorangan dan 0,11% badan usaha. Sementara itu,
akumulasi kreditur sebanyak 498.824 rekening. Mayoritas kreditur (pemberi
pinjaman) Fintech adalah perorangan 99,83% dan hanya 0,17% badan usaha.
Sampai dengan per 7 Agustus 2019, penyelenggara Fintech berizin dan terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan sebanyak 127 perusahaan.10
Keberadaan Fintech P2P Lending sebagai dampak positif kemajuan
teknologi informasi mendorong laju pembangunan yang sedang masif dilakukan
oleh era pemerintahan hari ini. Kehadiran Fintech P2P Lending dinilai membuat
transaksi menjadi semakin efektif dan efisien sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Namun, demikian dalam pelaksanaannya bisnis Fintech memiliki
potensi risiko, setidaknya ada dua potensi risiko bagi konsumen (debitur) Fintech
P2P Lending, yaitu risiko kemananan data konsumen (debitur) dan risiko
10 Website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-
Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-7-Agustus-2019.aspx diakses pada 25 November 2019,
Pukul 12.00 BBWI.
7
kesalahan transaksi.11
Kedua risiko tersebut akan membawa kerugian pada
masing-masing pihak dalam bisnis Fintech berbasis P2P Lending ini, dengan
timbulnya aksi kejahatan online, seperti penyadapan, pembobolan, dan
cybercrime dalam transaksi finansial perbankan, maupun transaksi teknologi
finansial (Fintech) berbasis P2P Lending, yang dapat mengakibatkan masyarakat
ragu untuk melakukan transaksi online ke depannya.12
Di sisi lain, kehadiran Fintech P2P Lending pada sektor hukum menuai
berbagai persoalan hukum serius terkait dengan perlindungan hak konsumen
sebagai debitur dan kreditur. Sebagaimana data yang dihimpun dari beberapa
media, peneliti menyajikan pelbagai polemik atau problematika dalam
penyelenggaraan Fintech berbasis P2P Lending yang terjadi pada para debitur
(borrower) dimana Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima banyak aduan yang telah
merugikan dan meresahkan masyarakat pengguna layanan pinjam-meminjam
online (Fintech Peer To Peer Lending). Salah satunya ialah mengenai maraknya
praktik rentenir online, maupun proses penagihan utang Fintech P2P Lending
terhadap debitur selaku konsumen secara intimidatif yang tidak sesuai dengan
prinsip kemanusiaan dimana di Indonesia jelas dijamin Hak Asasi Manusia
sesuai amanat ketentuan Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang dilakukan oleh Pelaku Layanan Jasa Keuangan
Fintech P2P Lending yang dalam hal ini Perusahaan platform Fintech P2P
Lending selaku kreditur, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar resmi di
Otoritas Jasa Keuangan.
11 Otoritas Jasa Keuangan, Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan Konsumen OJK, 2017), h.
28.
12 Immanuel Adithya M. Chrismastianto, Analisis SWOT Implementasi Teknologi Finansial
terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Ekonomi dan Bisnis Edisi 137,
2017), h. 148.
8
Hal ini ditegaskan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
melalui Ketua, Tulus Abadi yang menjelaskan bahwa “pengaduan pinjaman
online ini berkaitan dengan perusahaan Teknologi Finansial (Fintech) berbasis
pinjam meminjam uang (Peer To Peer Lending). Pengaduan tersebut tidak
hanya dilakukan oleh Perusahaan Fintech P2PL ilegal saja, melainkan juga
dilakukan oleh Perusahaan Fintech P2PL yang resmi dan tercatat di Otoritas
Jasa Keuangan.”13
Selanjutnya, keluhan yang disampaikan oleh mayoritas debitur selaku
konsumen pinjaman online, terkait dengan penetapan bunga pada pinjaman yang
tinggi dari perusahaan Fintech P2PL. Selain itu, pelaku Fintech P2P Lending
juga acapkali menyalahgunakan data pribadi konsumen, guna dijadikan amunisi
senjata untuk menagih utang debitur yang telat membayar utang pinjaman pada
Fintech P2P Lending. Sebagaimana dilansir dari pernyataan Ketua Pengurus
Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, menyatakan14
“Kami baru diundang OJK, di sana kami katakan, bahwa pinjaman online harus
jadi perhatian betul. Negara harus hadir memblokir pinjaman online ini,
khususnya yang tidak berizin. Masa negara tidak bisa, tidak boleh bilang
begitu.” Namun, ia mengaku belum menghitung secara pasti total pengaduan
yang diterima selama semester II 2019, sehingga, Tulus belum bisa menyebut
secara detail jumlah pengaduan terhadap pinjaman online dan e-commerce saat
ini. “Belum diakumulasi,” imbuh dia. “Untuk mengingatkan, Yayasan Layanan
Konsumen Indonesia sepanjang tahun lalu menerima sebanyak 564 aduan masuk
13
Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dikutip dari situs
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-
rentenir-online-ke-ylki, diakses pada 10 November 2019, Pukul 21.59 BBWI.
14 Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dikutip dari situs
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-
rentenir-online-ke-ylki, diakses pada 10 November 2019, Pukul 21.59 BBWI.
9
pada tahun lalu sebenarnya lebih rendah dari dibanding 2017 lalu sebanyak 642
pengaduan”, pungkasnya.15
Kendati pengaturan mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi (Fintech P2P Lending) telah diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor
Jasa Keuangan, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi
Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi,
namun implementasi penyelenggaraannya tidak selaras dengan ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Ditambah, belum ada penegasan pengaturan terkait aturan Fintech,
khususnya pada layanan Fintech P2PL ini dalam suatu produk Undang-Undang
yang sejatinya telah menjadi atensi publik luas di Indonesia, dimana banyak
menimbulkan keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, khususnya
pengguna Fintech P2PL yang dirugikan oleh Perusahaan Fintech P2PL,
misalnya maraknya penyalahgunaan data pribadi mereka selaku
debitur/konsumen Fintech P2PL sehingga amat krusial dibutuhkan suatu
instrumen hukum guna memberi perlindungan data pribadi.
Adapun faktor yang mengakibatkan timbulnya persoalan hukum yaitu
penyelenggaraan Fintech P2P Lending yang belum terintegrasi dengan baik
antara debitur dan kreditur dan belum terakomodasi dengan baik oleh suatu
regulasi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
15 Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dikutip dari situs
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-
rentenir-online-ke-ylki, diakses pada 10 November 2019, Pukul 22.00 BBWI.
10
tentang penyelenggaraan Fintech, khususnya pada Fintech berbasis Peer To Peer
Lending ini.
Di satu sisi, selain perlindungan hukum pada debitur Fintech P2P
Lending ini, peneliti juga memberikan contoh problematika yang timbul pada
penyelenggaraan Fintech P2P Lending yakni berkenaan dengan perlindungan
hukum terhadap kreditur Fintech P2P Lending yang terdaftar resmi di Otoritas
Jasa Keuangan yang luput dari atensi publik, mengingat debitur dan kreditur
dalam penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer Lending memiliki
kedudukan hukum yang sama. Adapun salah satu contoh problematika tersebut,
yaitu misalnya, pada transaksi Fintech P2P Lending antara kreditur (pemberi
pinjaman) dengan debitur (peminjam) yang tidak diketahui domisili tempat
tinggalnya atau tidak sesuai dengan alamat domisilinya, bahkan dengan
memalsukannya, dan tidak mengetahui antara satu sama lain diantara kreditur
dan debitur. Modus tersebut berpotensi terjadinya perbuatan yang bersinggungan
dengan hukum yang dapat merugikan kreditur sebagai pemberi pinjaman dalam
penyelenggaraan Fintech P2P Lending karena debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya atau wanprestasi untuk membayar pinjaman dengan memalsukan
identitas untuk menghindari penagihan terhadap utang yang dilakukan kepada
kreditur (pemberi pinjaman) Fintech P2P Lending.
Praktis, hal tersebut menjadi hal yang krusial terkait dengan bagaimana
pengaturan dalam regulasi/peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk
melindungi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (Perusahaan) Fintech selaku kreditur
yang terdaftar Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka memberi perlindungan
hukum berdasarkan asas kepastian hukum sebagai kreditur Fintech, jika debitur
merugikan kreditur. Dan juga tidak kalah penting, yaitu pengaturan terkait
mekanisme penagihan pinjaman online pada Fintech P2PL ini.
Selain itu, potensi kerugian juga dihadapi oleh debitur sebagai peminjam
dalam kegiatan Fintech P2P Lending, karena tidak mendapatkan hak
perlindungan sebagai konsumen. Seperti, marak terjadinya praktik rentenir online
11
(pengenaan bunga yang tinggi tanpa ada transparansi melalui portal data pada
platform Fintech P2PL), dan tidak adanya perlindungan data pribadi yang
seringkali disalahgunakan oleh pelaku usaha jasa keuangan Fintech P2P Lending
(kreditur) tersebut. Celakanya jika kreditur dan/atau perusahaan Fintech P2P
Lending tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Fintech
P2P Lending yang ter-legitimate, tentunya hal tersebut dapat merugikan debitur
(lender) yang mayoritas atau sebagian besar masyarakat masih awam terhadap
transaksi keuangan seperti ini dan hanya melihat sisi efisiensi dan mobilitas
dalam proses peminjaman uang, ditambah dapat dijangkau dengan mudah oleh
semua kalangan tanpa harus menggunakan agunan atau persyaratan lainnya yang
rumit, seperti pada peminjaman di perbankan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
mengangkat judul penelitian mengenai, “Problematika Penyelenggaraan
Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending (Analisa Yuridis
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran yang termaktub pada latar belakang,
maka identifikasi masalah pada studi penelitian ini diantaranya:
a. Adanya disintegrasi dalam implementasi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
b. Adanya Distorsi dalam praktik Penyelenggaran Fintech Berbasis Peer
To Peer Lending dari segi Konsep, Mekanisme, dan Implementasi
Fintech P2PL berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi
c. Implikasi hukum terhadap ketentuan norma Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
d. Aspek Perlindungan Hukum terhadap debitur (borrower) Financial
Technology (Fintech) sebagai konsumen sektor jasa keuangan pada
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial
Technology Peer To Peer Lending) menurut Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
e. Aspek Perlindungan Hukum terhadap Pelaku Usaha Jasa Keuangan
(Perusahaan) Fintech sebagai kreditur sektor jasa keuangan layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi ditinjau menurut
asas kepastian hukum.
f. Belum adanya regulasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, seperti Undang-Undang yang mengatur tentang delik (tindak
pidana) Financial Technology dan Undang-Undang Tentang
Perlindungan Data Pribadi yang menjadi krusial dalam penyelenggaraan
Fintech berbasis Peer To Peer Lending.
g. Belum adanya sistem hukum yang mapan dalam mekanisme
penyelesaian sengketa Financial Technology berbasis Peer to Peer
Lending ini, mengingat begitu banyaknya aduan dari masyarakat kepada
Lembaga Bantuan Hukum maupun Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia terkait perbuatan melawan hukum yang dilakukan Kreditur
Fintech P2P Lending, maupun debitur Fintech P2P Lending dimana
13
Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, sebagaimana amanat
ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 .
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka
peneliti memberi pembatasan masalah yang hanya terfokus pada (1) aspek
perlindungan hukum terhadap debitur (borrower) Financial Technology
(Fintech) sebagai konsumen sektor jasa keuangan pada layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial Technology Peer
To Peer Lending) dan (2) aspek perlindungan hukum terhadap Pelaku Usaha
Jasa Keuangan (Perusahaan) Fintech sebagai kreditur sektor jasa keuangan
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech
berbasis Peer To Peer Lending) ditinjau menurut asas kepastian hukum.
3. Perumusan Masalah
Implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, menuai beragam polemik dan persoalan hukum yang
menjadi permasalahan serius di masyarakat Indonesia beberapa tahun
terakhir hingga saat ini. Oleh karena itu, peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL
sebagai konsumen sektor jasa keuangan pada layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial Technology
Peer To Peer Lending) menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi?
b. Bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap kreditur Fintech
P2PL sebagai kreditur sektor jasa keuangan layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi ditinjau menurut asas kepastian
hukum?
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
a. Menganalisis aspek perlindungan hukum terhadap debitur Financial
Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending sebagai
konsumen sektor jasa keuangan pada layanan pinjam-meminjam uang
berbasis teknologi informasi (Financial Technology berbasis Peer To
Peer Lending) menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
b. Menganalisis aspek perlindungan Hukum terhadap kreditur Financial
Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending pada layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial
Technology berbasis Peer To Peer Lending) ditinjau menurut asas
kepastian hukum.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan disiplin
ilmu hukum, khususnya hukum bisnis yang terkait dengan penerapan
teori-teori hukum berkenaan dengan “Problematika Penyelenggaraan
Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending : Analisa
Yuridis Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016”.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu
masukan bagi para pegiat hukum, ekonomi dan bisnis, baik itu
akademisi, praktisi, maupun pihak lain yang terkait,
15
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian (research) merupakan salah satu cara untuk
menyelesaikan suatu masalah atau mencari jawaban dari persoalan yang
dihadapi secara ilmiah menggunakan cara berpikir reflektif, berpikir
keilmuan dengan prosedur yang sesuai dengan tujuan dan sifat
penyelidikan.16
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian
kualitatif, karena jenis penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman
suatu norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan, serta norma-
norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif
menggunakan riset lingkungan yang menjadi penelitiannya sebagai sumber
data.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang memiliki metode
yang berbeda dengan penelitian yang lainnya. Metode penelitian hukum
merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.17
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma hukum.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanijian,
serta doktrin (ajaran).18
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian
terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian
perbandingan hukum.
16 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 24.
17
Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), h. 57
18
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31.
16
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis
hukum, baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the
book), maupun berupa putusan hakim melalui proses pengadilan (law it is
decided by the judge through judicial process).19
Penelitian hukum
normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan
menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis
normatif-kualitatif.20
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan masalah dalam skripsi ini, dengan jenis penelitian yang
digunakan adalah normatif yuridis. Pendekatan tersebut mengacu kepada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan-putusan pengadilan, serta norma-norma hukum yang ada dalam
masyarakat.21
Maka, dalam penelitian ini meliputi pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statutory approach)22
yang terdiri atas; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
19 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 118.
20
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2003), h. 3.
21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h.
136.
17
Teknologi Informasi, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa
Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Pelaksanaan
Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/12/PBI/2009 jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014
tentang Uang Elektronik (Electronic Money), dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pendekatan perundang-undangan (statutory approach) ini, diterapkan guna
memahami bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi antara Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia dengan suatu produk
Undang-Undang pada penelitian ini dapat berkesinambungan dan koheren
dengan kaidah ilmu perundang-undangan.
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh
dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut bahan hukum.23
Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
23 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.
18
mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.24
Bahan hukum yang
digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
3). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa;
Keuangan
4). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 5).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas;
6). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;
7). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun
2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik;
8). Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 jo. Peraturan
Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money);
9). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi;
10). Peraturan Otoritas Jasa Keuangaan Nomor 13/POJK.02/2018
tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan;
11). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017
tentang Pelaksanaan Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi
Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi, dan;
24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 52.
19
12). Untuk buku-buku yang dijadikan bahan hukum primer telah
terlampir dalam Daftar Pustaka.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel25
yang berkaitan
dengan penelitian ini guna memberikan penjelasan mendalam
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku, skripsi,
tesis dan disertasi, serta artikel ilmiah dan tulisan di internet untuk
memperkaya sumber data dalam penulisan penelitian ini.
Di samping itu, data sekunder mencakup audiensi dan
wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator pada
penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer
Lending (Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi) dan ditunjang oleh dokumen resmi dari instansi Otoritas
Jasa Keuangan dan instansi lainnya yang terkait.
c. Bahan Non-Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,26
seperti
Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan
lain-lain.
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih tersistematis untuk
25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52.
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52.
20
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya, setelah bahan
hukum diolah, kemudian dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut,
yang pada akhirnya akan diketahui bagaimana problematika penyelenggaran
Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending (P2PL) menurut
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, dan bagaimana
aspek perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur pada sektor jasa
keuangan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi
ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi
dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berkorelasi menjadi
objek masalah untuk diteliti. Adapun sistematika penulisan skripsi ini ialah
sebagai berikut:
BAB-I: Bab ini memuat pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB-II: Bab ini menguraikan dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya meliputi
kerangka konseptual yang mengulas secara rinci
mengenai konsep yang menjadi acuan dalam penulisan
skripsi ini dan membahas kerangka teoritis terkait teori-
21
teori yang relevan dengan pembahasan yang tertuang
dalam penelitian ini, serta mengulas tinjauan (review)
kajian terdahulu, guna menghindari kesamaan terhadap
materi muatan dalam pembahasan dalam penelitian
skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh peneliti/pihak
lain.
BAB-III: Bab ini akan menguraikan mengenai penyelenggaraan
Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending
sebagai Sumber Pembiayaan, disertai pula mengenai
perkembangan penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer
To Peer Lending di Indonesia dan pengaturan regulasi
terkait Fintech Berbasis Peer To Peer Lending menurut
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 dan peraturan-peraturan lainnya yang
terkait.
BAB-IV: Bab ini menguraikan tentang analisa yuridis terhadap
perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur
Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending
di Indonesia menurut ketentuan Peraturan Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 dan peraturan-
peraturan lainnya yang terkait.
BAB-V: Bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan
dari penelitian ini untuk menjawab perumusan
masalah, serta memberikan rekomendasi yang dianggap
perlu.
BAB II
PENGERTIAN DAN PERATURAN LAYANAN PINJAM
MEMINJAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus
yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan
diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.1 Berkenaan dengan uraian diatas,
untuk memudahkan peneliti memahami pelbagai istilah yang tertuang dalam
pembahasan penelitian ini, maka peneliti menyusun beberapa kerangka
konseptual dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Problematika
Kata problematika adalah berasal dari akar kata dalam bahasa
serapan dari bahasa inggris, yaitu “problem”, artinya masalah, persoalan,
problem, soal, isu, keadaan sulit, dst.2 Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia,3 Problematika berasal dari suku kata problematik, yang berarti
masih menimbulkan masalah, hal yang masih belum dapat dipecahkan, dan
hal menimbulkan permasalahan.4
Problematika yang berasal dari suku kata “problem”, didefinisikan
sebagai suatu pernyataan tentang suatu keadaan yang belum sesuai dengan
yang diharapkan. Bisa jadi, kata yang digunakan untuk menggambarkan
1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 132.
2 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia : An English – Indonesian
Dictionary, (Jakarta : PT Gramedia, 2005).
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1989), h. 341.
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2002), h. 276.
22
23
suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih
yang menghasilkan situasi yang membingungkan (ambiguitas).5
Menurut hemat peneliti, problematika adalah suatu hal dimana terjadi
kesenjanga antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat
menyelesaikan atau dapat diperlukan sehingga munculnya suatu persoalan
yang masih sukar dihadapi maupun untuk diselesaikan, baik yang berasal
dari faktor intern maupun ekstern.
Masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus
diselesaikan atau dituntaskan. Umumnya, masalah disadari “ada” saat
seorang individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan
keadaan yang diharapkan. Dalam beberapa literatur riset, masalah seringkali
didefinisikan sebagai sesuatu yang membutuhkan alternatif jawaban, artinya
jawaban masalah atau pemecahan masalah bisa lebih dari satu variabel.
Selanjutnya, dengan kriteria tertentu akan dipilih salah satu jawaban yang
paling kecil risikonya. Biasanya, alternatif jawaban tersebut dapat
diidentifikasi jika seseorang telah memiliki sejumlah data dan informasi
yang berkaitan dengan masalah terkait.
Adapun contoh dari problematika, seperti kemiskinan, pencemaran,
korupsi, kolusi, nepotisme, eksploitasi lingkungan, dan lain-lain sebagainya
yang termasuk kategori permasalahan, baik yang tingkatnya ringan,
menengah maupun yang berat. Setiap kategori tingkatan problematika
memiliki solusi penyelesaian masing-masing tergantung dari seberapa ringan
atau berat problematika yang dihadapi. Dalam penelitian ini, peneliti
menyajikan penelitian terkait problematika atau permasalahan yang ada
dalam penyelenggaraan Fintech P2PL menurut ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang menimbulkan
5 Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar, (Jakarta : Indeks, 2008), h.
70.
24
polemik/problematika di tengah masyarakat sebagai debitur maupun pada
perusahaan penyelenggara Fintech P2PL itu sendiri, dikarenakan Pemerintah
sebagai regulator dinilai belum mapan/matang menyiapkan instrumen
hukum yang jelas dalam aturan main untuk penyelenggaraan Fintech P2PL.
2. Penyelenggaraan
Penyelenggaraan berasal dari kata dasar “selenggara” yang artinya
adalah urus, rawat.6 Penyelenggaraan adalah sebuah homonim karena arti-
artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama, tetapi berbeda maknanya.
Penyelenggaraan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga
penyelenggaraan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia7, Penyelenggaraan adalah proses, cara, perbuatan
menyelenggarakan dalam berbagai arti (seperti pelaksanaan, penunaian).
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penyelenggaraan ialah
bagaimana proses menyelenggarakan Fintech P2PL di Indonesia sesuai
dengan peraturan hukum terkait.
3. Financial Technology (Fintech)
a. Pengertian Fintech
Fintech berasal dari istilah Financial Technology atau teknologi
finansial. The National Digital Research Centre (NDRC), di Dublin, Irlandia,
mendefinisikan Fintech sebagai “innovation in financial services” atau
“inovasi dalam layanan keuangan fintech” yang merupakan suatu inovasi
pada sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern.8
6 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007).
7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2002).
8 Financial Technology, Layanan Financial Berbasis IT”, diakses dari
http://bapenda.jabarprov.go.id/2016/12/26/financial-technology-layanan-finansialberbasis-it/, diakses
pada tanggal 20 November 2019, Pukul 07.04 BBWI.
25
Menurut hemat peneliti, Fintech merupakan hasil gabungan antara
layanan jasa keuangan dengan teknologi informasi yang pada akhirnya
mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat dimana mulanya
dalam bertransaksi harus bertatap muka dan membawa sejumlah uang tunai,
kini dapat dilakukan secara jarak jauh (borderless) dan secara non tunai
dalam waktu yang relatif cepat dan singkat tanpa dibutuhkan
jaminan/agunan.
Menurut Muliaman Darmansyah Hadad, Financial Technology dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya:9
a). Management Assets
Platform Expense Management System ini menstimulus berjalannya
usaha menjadi lebih praktis dan efisien. Semua rekapan penggantian biaya
yang semula dilakukan manual, hanya cukup dilakukan melalui aplikasi untuk
persetujuan penggantian biaya tersebut.
b). Crowdfunding
Crowdfunding adalah start-up Fintech yang menyelenggarakan
platform penggalangan dana untuk disalurkan kembali kepada orang-orang
yang membutuhkan, seperti korban bencana alam, korban perang, pendanaan
pembuatan karya, dan lain sebagainya.
c). Electronic Money (E-Money)
E-money atau uang elektronik adalah uang yang dikemas ke dalam
dunia digital sehingga dapat dikatakan sebagai dompet elektronik. Uang ini,
pada umumnya digunakan untuk berbelanja, membayar tagihan, dan lain
sebagainya melalui sebuah platform/aplikasi.
d). Insurance
Jenis start-up Fintech ini bergerak di bidang insurance dan cukup
menarik konsumen masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan
sebagaimana yang kita ketahui umumnya pada asuransi konvensional kita
menyisihkan sejumlah uang per bulan sebagai iuran wajib guna mendapat
manfaat dari asuransi tersebut di masa depan, sedangkan jenis start-up
9 Muliaman D. Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, (Jakarta: Fintech-IBS
Otoritas Jasa Keuangan, 2017).
26
Fintech insurance ini memberikan banyak tawaran yang lebih menarik
dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh asuransi konvensional.
e). Peer To Peer Lending
Platform Fintech jenis ini merupakan salah satu jenis Fintech yang
paling populer di kalangan konsumen Indonesia. Mengingat populernya
budaya berutang yang dimiliki masyarakat Indonesia dan budaya
konsumerisme. Platform Fintech menawarkan pinjaman uang dan/atau barang
secara daring (online). Seperti permodalan yang sering dianggap menjadi
bagian paling vital dalam langkah awal membuka usaha. Jenis Fintech ini
berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia karena
melalui platform Fintech ini, masyarakat yang taraf ekonominya masih rendah
dapat menikmati akses pembiayaan dengan mudah tanpa melalui proses rumit
pada lembaga bank konvensional.
f). Payment Gateway
Platform Fintech jenis payment gateway ini, memungkinkan
masyarakat memilih beragam metode pembayaran berbasis digital (digital
payment gateway) yang dikelola oleh sejumlah start-up Fintech. Kehadiran
platform Fintech jenis payment gateway ini berpotensi besar dalam
meningkatkan angka penjualan e-commerce.
g). Remittance
Platform Fintech jenis remittance ini adalah jenis start-up Fintech
yang khusus menyediakan layanan pengiriman uang antar negara. Start-up
remittance ini banyak didirikan dalam rangka membantu masyarakat yang
tidak memiliki akun atau akses perbankan. Adanya start-up Fintech jenis ini,
sangat membantu para tenaga kerja Indonesia atau salah seorang anggota
keluarganya yang berada di luar negeri, karena dengan menggunakan Fintech
jenis ini proses pengiriman uang menjadi lebih mudah dan dengan biaya yang
relatif terjangkau.
h). Securities
Saham, forex, reksadana dan lain sebagainya merupakan investasi
yang sudah tidak asing lagi didengar. Securities dapat dikatakan sebagai jenis
start-up Fintech yang menyediakan platform untuk berinvestasi saham secara
daring.
4. Peer To Peer Lending
27
Pada dasarnya, praktik utang-piutang atau pinjam-meminjam uang
ini biasa dilakukan antara orang dengan seseorang atau antara seseorang
dengan suatu badan atau lembaga yang berbentuk badan hukum, misalnya
bank, koperasi simpan-pinjam, atau dapat juga dilakukan antara suatu
badan atau lembaga lainnya, misalnya antara suatu perseroan terbatas atau
yayasan dengan suatu bank.
Sejatinya, tidak ada definisi secara spesifik mengenai pengertian
tentang pinjam-meminjam uang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, namun pada ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan
bahwa, “Pinjam-Meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”10
Menurut Subekti, salah satu kriteria dalam membedakan antara
pinjam pakai dan pinjam-meminjam adalah apakah barang yang
dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Jika barang yang
dipinjam itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam-meminjam.
Pinjam-meminjam ini dalam Bahasa Belanda disebut dengan
verbruiklening.11
a. Pengertian Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending
Platform Fintech P2PL merupakan salah satu instrumen investasi
baru dewasa ini yang ditawarkan dari layanan Fintech. Fintech jenis P2PL
ini merupakan jenis platform Fintech yang paling banyak digunakan di
10
Indonesia (Burgerlijk Wetboek), Ketentuan Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Staatsblaad, Nomor 23 Tahun 1847.
11
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut
Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 3.
28
Indonesia sebagai moda bisnis maupun ekonomi masyarakat Indonesia
yang terkoneksi oleh jaringan internet dengan menawarkan efisiensi dan
kemudahan dalam mendapatkannya tanpa melihat, waktu, tempat, maupun
pertemuan terlebih dahulu antara kreditur dengan debitur, melainkan
hanya bermodalkan smartphone yang terkoneksi internet sehingga
siapapun dapat mengakses layanan Fintech P2PL ini.
Adapun pengertian Peer-To-Peer Lending adalah “a method of
debt financing that enables individuals to borrow and lend money without
the use of an official financial institutions as an intermediary. Peer to peer
lending removes the middleman from the process, but also involves more
time, effort and risk than the general brick and mortar lending
scenarios.”12
Berdasarkan definisi mengenai Peer to Peer Lending di atas, dapat
diartikan bahwa Fintech P2PL adalah metode baru yang memungkinkan
debitur mengajukan pinjaman tanpa jaminan melalui platform. Secara
definitif, Fintech P2PL atau juga lazim dikenal sebagai social lending atau
person-to-person lending merupakan salah satu manifestasi crowdfunding
berbasis utang atau praktik pemberian pinjaman uang antar individu,
dimana debitur dan kreditur dipertemukan melalui platform yang
diselenggarakan oleh Perusahaan Fintech P2PL. Fintech P2PL ini
memberikan wadah bagi seseorang yang hendak meminjam uang dari
seseorang yang tidak pernah ditemui secara langsung sebelumnya. Begitu
juga, kreditur dapat memberikan pinjaman kepada seseorang yang tidak
dikenal sebelumnya dan informasi yang diketahui, melainkan hanya
berdasarkan rekam jejak kredit dari debitur.
Dalam konteks pengertian pinjam-meminjam menurut ketentuan
Pasal 1754 KUHPerdata disebutkan, bahwa “para pihak yang terlibat
12 Website https://www.investopedia.com/term/p/peer-to-peer-lending.asp, diakses pada 21
November 2019, pukul 12.00 BBWI.
29
adalah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dimana para pihak ini
memiliki hubungan hukum secara langsung melalui perjanjian pinjam
meminjam”, dimana hal ini berbeda dengan konsep pinjam-meminjam
pada Fintech P2PL. hal ini dikarenakan para pihak dalam
penyelenggaraan Fintech P2PL ini tidak memiliki hubungan hukum
secara langsung antar debitur. Bahkan, di antara para pihak tersebut tidak
mengenal secara langsung antara satu sama lain, ditambah dalam sistem
Fintech P2PL ini terdapat pihak lain, yakni platform penyelenggara
Perusahaan Fintech P2PL yang menghubungkan kepentingan antara para
pihak ini, yakni debitur dan kreditur.13
b. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Fintech P2PL
Adapun para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Fintech
P2PL berbeda dengan para pihak yang terlibat dalam praktik perjanjian
pinjam-meminjam uang sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal
1754 Bab III KUHPerdata dimana hanya melibatkan kreditur dan debitur,
namun dalam penyelenggaraan Fintech P2PL ini melibatkan lebih dari
dua pihak, yakni sebagai berikut:14
1). Pihak Penyelenggara (Perusahaan) Layanan Fintech P2PL
Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dikatakan, bahwa
“Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan,
mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang
13 Ratna H. Juliayani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,
(Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas Islam Indonesia, 2018), h. 322.
14 Ratna H. Juliayani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,.. h.323.
30
berbasis teknologi informasi.” Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 2
angka 2, berbunyi “bentuk badan hukum penyelenggara dapat berupa
perseroan terbatas atau koperasi.” Kemudian, bagi pihak
penyelenggara Fintech berbasis Peer To Peer Lending yang terdaftar
dan berizin di OJK sebagaimana ketentuan Pasal 2 angka 2 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada badan
hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas harus memenuhi segala
ketentuan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
2). Debitur (Penerima Pinjaman)
Ketentuan Pasal 1 Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi menjelaskan bahwa “Penerima
Pinjaman atau Debitur adalah orang dan/atau badan hukum yang
mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi.”
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menjelaskan, bahwa
penerima pinjaman dalam sistem Fintech berbasis Peer To Peer
Lending ini harus berasal dan berdomisili di wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Penerima pinjaman dapat berupa orang
perseorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, artinya debitur atau penerima
pinjaman dalam penyelenggaraan Fintech P2PL, bukanlah perorangan
Warga Negara Asing ataupun badan hukum asing.
3). Kreditur (Pemberi Pinjaman)
31
Ketentuan Pasal 1 angka 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi menjelaskan, bahwa “Kreditur atau
Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau usaha yang
mempunyai piutang, karena perjanjian layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi.”
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 16 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dinyatakan, bahwa
“Kreditur atau Pemberi Pinjaman adalah orang perseorangan warga
negara Indonesia, perseorangan warga negara asing, badan hukum
Indonesia dan/atau asing, dan/atau lembaga internasional.”
4). Bank
Ketentuan Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi menjelaskan, bahwa “Penyelenggara wajib
menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.”
Di samping itu, penyelenggara juga wajib menyediakan virtual
account bagi setiap pemberi pinjaman dan dalam rangka pelunasan
pinjaman, maka penerima pinjaman melakukan pembayaran melalui
escrow account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account
pemberi pinjaman. Escrow account adalah15
rekening yang dibuka
secara khusus untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang
dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu
15
Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 Tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank
Indonesia dengan Pihak Ekstern.
32
sesuai dengan perjanjian tertulis. Sementara virtual account adalah16
nomor identifikasi pelanggan perusahaan (end user) yang dibuat oleh
Bank untuk selanjutnya diberikan oleh perusahaan kepada
pelanggannya (perseorangan maupun badan hukum) sebagai
identifikasi penerimaan (collection).
5). Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, menjelaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan, selanjutnya
disingkat OJK merupakan lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, menjelaskan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan.
OJK adalah instansi atau lembaga yang melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap tumbuh kembangnya Fintech, termasuk juga
dalam penelitian ini yaitu Fintech P2PL ini yang merupakan bagian
dari Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang diawasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan.17
Dalam sistem penyelenggaraan Fintech P2PL, OJK
bertindak sebagai pemberi persetujuan pengajuan pendaftaran dan
perizinan penyelenggaraan Fintech P2PL dan selaku pihak yang harus
mendapatkan laporan secara berkala atas penyelenggaraan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2PL).
16
Mandiri Virtual Account, Website https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account, diakses
pada 29 November 2019, Pukul 02.00 BBWI.
17
Ernasari, dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology :
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, (Semarang: Diponegoro Law Journal
Vol. 6, 2017).
33
c. Cara Kerja Fintech berbasis P2PL
Di Indonesia, Fintech P2PL memiliki payung hukum tersendiri
sebagaimana diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Dalam peraturan tersebut juga telah dijelaskan
definisi Peer To Peer Lending (Layanan Pinjam Meminjam Uang), yakni
sebagai berikut; dalam Pasal 1 ayat (3) Bab 1 Ketentuan Umum yang
berbunyi, “Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam
rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah
secara langsung melalui sistem elektronik yang menggunakan jaringan
internet.”
Platform Fintech P2PL ada di dalam konteks intermediasi
keuangan, dikarenakan peran mereka sebagai perantara antara dua
individu yang memakai situs maupun aplikasi sebagai kreditur dan
debitur, sederhananya situs maupun platform layanan Fintech P2PL
memfasilitasi hubungan keuangan di antara kedua belah pihak pengguna
platform Fintech P2PL.18
Sebagaimana ditunjukkan pada ilustrasi gambar
di bawah ini :
18 Ugochi Christine Amajuoyi, Thesis: Online Peer To Peer Lending Regulation:
Justification, Classification and Remit in UK Law, (UK: University of Exeter, August 2016), h.
148.
34
Informasi Peminjam Pokok
Investasi dan Bunga
Investor
Kriteria Peminjam
Investasi
P2P
Website
Menganalisis Data:
- Menilai Risiko
- Menyusun aturan sesuai dengan regulasi Pemerintah
- Operasional dan administrasi
- Teknologi dan edukasi
- Menyeimbangkan antara permintaan pinjaman suplai dana dari investor
Bagan di atas, menunjukkan bagaimana garis besar cara kerja
platform Fintech P2PL di Indonesia. Adapun penyelenggara Fintech
P2PL sebagai pengelola suatu marketplace (tempat bertemunya kreditur
dan debitur) dimana kreditur mendapatkan akses lewat platform Fintech
P2PL untuk melihat profil calon debitur.
Kegiatan usaha Fintech P2PL di Indonesia diatur dalam Pasal 5
Bagian Kedua tentang kegiatan usaha pada ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang berbunyi,
“Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan
Kebutuhan Pinjaman
Pengembalian Pokok dan
Bunga
Peminjam
(Debitur)
Administrasi Uang
Pinjaman
35
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak
Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber
dananya berasal dari pihak Penerima Pinjaman.” Terkait bagan skema
gambar di atas, berikut pemaparan singkat mengenai cara kerja Fintech
berbasis Peer To Peer Lending:19
1). Proses Bagi Peminjam (Debitur)
Debitur sebagai calon debitur melakukan registrasi pada
platform Fintech P2PL. Setelah melakukan registrasi, debitur akan
mengajukan proposal peminjaman. Penyelenggara Fintech P2PL
kemudian akan menganalisis nilai kredit, sejarah peminjaman, jumlah
pendapatan debitur guna menentukan besaran bunga pinjaman dan
skor debitur.
2). Proses Bagi Pemberi Pinjaman (Kreditur)
Kreditur akan memberikan informasi data diri pribadi kepada
penyelenggara Fintech P2PL, seperti nama lengkap, nomor identitas
KTP, nomor rekening, nomor telepon, dan seterusnya. Setelah proses
registrasi kreditur dapat melihat profil debitur dan kemudian
memutuskan kepada siapa pinjaman akan diberikan.
3). Proses Bagi Penyelenggara Fintech P2PL (Platform/Perusahaan)
Platform Penyelenggara Fintech P2PL sebagai badan usaha di Indonesia
akan mengelola data diri pribadi dari kreditur dan sekaligus mengelola dana
dari kreditur merangkap data diri dari kreditur. Penyelenggara juga melakukan
analisis kredit kepada debitur.
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
19 Website https://modalku.co.id/faq, https://www.investree.id/how-it-works,
https://koinworks.com/id/education-center/bagaimana-peer-lending-bekerja, diakses pada 29
November 2019 Pukul 20.33 BBWI.
36
Penyelenggaraan Fintech P2PL sejatinya telah diatur dalam
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01.2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Melalui instrumen hukum inilah aturan main penyelenggaraan Fintech
P2PL di Indonesia ini dapat beroperasi dan tidak mengacu pada ketentuan
perundang-undangan lainnya yang terkait seperti Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B. Kerangka Teori
Secara terminologi, teori diartikan sebagai suatu skema gagasan yang
dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari kelompok fakta maupun
fenomena yang tersusun secara sistematis dan ilmiah untuk dapat memetakan
suatu pengetahuan mengenai sebuah objek kajian. Guna memudahkan pembaca
dalam menelaah atau mengkaji judul penelitian ini, maka peneliti mencoba
menyajikan beberapa kerangka teori yang relevan dengan judul penelitian yang
diangkat oleh peneliti, yakni antara lain:
1. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan berasal dari dasar kata lindung, yang artinya
menempatkan dirinya di bawah (di balik, di belakang) sesuatu supaya tidak
terlihat atau tidak kena angin, panas, dan sebagainya; bersembunyi; minta
pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya selamat atau
terhindar dari godaan, bencana, dosa. Namun, arti dari perlidungan itu
sendiri adalah tempat berlindung; hal (perbuatan dan sebagainya)
memperlindungi.20
Dalam perlindungan hukum harus melihat tahapan, yakni
perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan
20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1989), h. 841.
37
hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah
yang dianggap mewakili kepentingan rakyat.21
Bentuk perlindungan terhadap masyarakat memiliki banyak
dimensi, salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan
kepentingan di dalam masyarakat harus dapat diselesaikan dengan
kehadiran hukum dalam masyarakat. Perlindungan hukum bagi seluruh
rakyat Indonesia telah diamanatkan oleh Konstitusi Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap produk legislasi
yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia bersama
Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia tanpa terkecuali.
Satjipto Rahardjo mendefinisikan “Perlindungan Hukum sebagai
suatu upaya melindungi kepentingan dari seseorang dan masyarakat
dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepada seseorang tersebut
untuk melakukan suatu tindakan yang dapat memenuhi kepentingan
mereka.”22
Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan predektif dan
antipatif.23
Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum
menjadi dua macam yaitu;
1). Perlindungan Hukum Preventif
21 Satjipto Rahardjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), h. 53.
22
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 121.
23
Lili Rasjidi dan I.B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Remaja Rusdakarya,
1993), h. 118.
38
Perlindungan hukum preventif merupakan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengajukan suatu keberatan (inspraak) atas
pendapat mereka sendiri secara berkelompok sebelum ada suatu
keputusan pemerintah yang mendapat bentuk definitif, sehingga
perlindungan hukum memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa yang sangat besar. Dengan adanya suatu tindakan
perlindungan hukum secara preventif, diharapkan perlindungan ini
dapat mendorong agar Pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil
suatu keputusan yang terkait dengan asas freies ermessen guna
masyarakat dapat mengajukan keberatan atau dapat juga dimintai
pendapat mereka mengenai rencana keputusan tersebut.
2). Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan suatu jalan
keluar, apabila telah terjadi sengketa. Di Indonesia, dikenal terdapat
berbagai badan hukum yang secara partial menangani suatu
perlindungan hukum untuk masyarakat.24
Badan hukum ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga badan hukum, antara lain;
a. Pengadilan Dalam Lingkup Peradilan Umum
Pada prakteknya, hal ini adalah cara yang ditempuh untuk
menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai
suatu perbuatan melawan hukum oleh Penguasa.
b. Instansi Pemerintah sebagai Lembaga Banding Administrasi
Penangananuntuk perlindungan hukum bagi masyarakat pun dapat
juga melalui instansi Pemerintah yang bertindak sebagai Lembaga
Banding Administrasi. Lembaga Banding Administrasi berguna untuk
24 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pemberontakan Peradilan Administrasi, (Surabaya: Peradaban, 1987), h. 3.
39
suatu permintaaan banding terhadap suatu perbuatan hukum atau
tindak pemerintah oleh pihak-pihak atau masyarakat yang merasa telah
dirugikan oleh perbuatan hukum Pemerintah terhadap dirinya.
Lembaga Banding Administrasi merupakan Instansi Pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mengubah dan bahkan dapat juga
membatalkan tindakan Pemerintah tersebut.
c. Badan-Badan Khusus
Badan-Badan Khusus yang dimaksud ini adalah suatu badan yang
berkaitan dan memiliki wewenang untuk menyelesaikan adanya
sengketa yang terjadi. Badan-Badan Khusus tersebut, meliputi Panitia
Urusan Piutang Negara, Peradilan Administrasi Negara, Pengadilan
Kepegawaian, dan lain sebagainya.25
2. Teori Perlindungan Konsumen
Salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan perlindungan
kepada warga/masyarakat, terutama yang berada pada posisi yang lemah
akibat hubungan hukum yang tidak seimbang, demikian hanya hukum
perlindungan konsumen untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha
yang tidak jujur.26
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan
hukum, baik itu yang bersifat preventif, maupun dalam bentuk yang
bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam
25 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pemberontakan Peradilan Administrasi, (Surabaya: Peradaban, 1987), h. 2.
26
Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang: Tim UB Press, 2011), h. 42.
40
rangka menegakkan peraturan hukum. Perlindungan konsumen itu sendiri
identik dengan perlindungan yang diberikan hukum kepada konsumen dan
haknya.27
Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah konsumen itu terdapat dalam berbagai sub-bidang hukum, yang
meliputi hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan
hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan konsumen. Dalam hubungan ini, orang menyebut
tentang penggunaan instrumen hukum perdata, hukum pidana, hukum
administrasi dan hukum internasional dalam membahas masalah dan atau
hubungan konsumen.
Hukum perlindungan konsumen menurut Az Nasution adalah
“hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang
bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi
kepentingan konsumen”. Adapun hukum konsumen dapat diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang
dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hukum.28
Hukum perlindungan konsumen dapat pula mengandung unsur
penting dalam kesejahteraan dan kenyamanan konsumen. Dari rumusan ini,
Hondius mengemukakan, bahwa ada konsumen akhir dan konsumen bukan
pemakai terakhir. Artinya, ada konsumen yang membeli barang dan atau
jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beserta
27 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. II, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004), h. 19.
28
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,…h. 9.
.
41
keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk menambah
penghasilan.
Berbicara mengenai hukum perlindungan konsumen, maka hal
paling fundamental untuk diketahui yaitu mengenai definisi dari konsumen
itu sendiri. Definisi luas dari konsumen adalah, “any individual or
company who is the ultimate buyer or user of personal or real property,
products, service or activities, regardless of whether the seller, supplier, or
producer is a public or private entity, acting alone or collectively.”29
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dikatakan, bahwa “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak diperdagangkan.”30
Berdasarkan definisi di atas, konsumen tidak hanya berorientasi
pada barang, namun juga dapat pada jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidup seseorang dan keluarganya dengan tujuan melangsungkan
kehidupan. Untuk itu, batasan pengertian konsumen perlu dibedakan,
yaitu:31
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau
jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan jasa yang digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau
jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
29 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 3.
30
Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya, disebut dengan UUPK).
31
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2006), h. 13.
42
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan
tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan
bidang hukum yang sulit dipisahkan, namun pada intinya, hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
saling mengikat antara satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan. Baik
hukum konsumen, maupun hukum perlindungan konsumen, ternyata belum
disepakati menjadi satu pengertian yang baku/resmi, baik dalam aturan
perundang-undangan maupun kurikulum akademis.
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia,
oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya demi keberlangsungan kehidupan simbiosis mutualisme
yang seimbang. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi antara satu sama lain yang memiliki
keterkaitan dan ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan
Pemerintah.32
Pengertian perlindungan konsumen yang tertuang dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup
memadai, dimana kalimat yang menyatakan, “segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi
untuk kepentingan perlindungan konsumen.”33
32
Erman Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h.
7.
33
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 1.
43
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, beserta
perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang
berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut apabila ternyata
terdapat hak-haknya yang semestinya tidak diperoleh, bahkan
mengakibatkan kerugian padanya karena dilanggar haknya oleh pelaku
usaha.
Pada hakikatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang
menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
a. Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai groundnorm, sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia yang mengamanatkan, bahwa pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui
sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu
menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi
barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
b. Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Lahirnya Undang-Undang ini,
memberikan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk
memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas
transaksi suatu barang dan jasa. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini juga menjamin adanya kepastian hukum bagi
konsumen.
3. Teori Kepastian Hukum
Menurut Hans Kelsen, “hukum adalah sebuah sistem norma”.
Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau
dikenal dengan istilah “das sollen” dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk
44
dari aksi manusia yang deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-
aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu yang
bertingkahlaku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama
individu, maupun dalam hubungan dengan kelompok dalam masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan akibat
pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.34
Menurut Guistav Radruch, “hukum harus mengandung tiga nilai
identitas”, yaitu:
1. Asas Kepastian Hukum (Reghmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas Keadilan Hukum (Gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut
filosofis dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan hukum.
3. Asas Kemanfaatan Hukum (Zwechmatigheid/Doelmatigheid/Utility)
Tujuan hukum yang paling mendekati realistis ialah kepastian
hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada
kepastian hukum, sedangkan kaum fungsionalis lebih cenderung
mengutamakan kemanfaatan hukum dan sekiranya dapat dikemukakan
dalam sebuah adagium hukum, summon ius, summa injuria, summa lex,
summa crux, yang artinya “hukum yang keras dapat melukai, kecuali
keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian, kendatipun keadilan
bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya, akan tetapi tujuan hukum
yang substantif adalah keadilan.35
34
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 58.
35
Dosminikus Rato, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: PT Presindo,
2010), h. 59.
45
Menurut Utrecht, “kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum dimana membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau perbuatan apa yang
tidak boleh untuk dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.”
Kepastian hukum ini sejatinya berasal dari ajaran yuridis-dogmatik
yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri,
karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin
terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-
aturan hukum membuktikan, bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian.36
Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus
diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan
hukum. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan unsur yang harus
ada kompromi, serta harus mendapat perhatian serius secara proporsional
dan berimbang. Tetapi, dalam implementasinya, tidaklah selalu mudah
untuk mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga
unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum, orang tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya dan pada akhirnya timbul keresahan yang praktis
menimbulkan ketidakadilan.
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi para pencari
keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum
yang terkadang mengedepankan arogansi dalam menjalankan tugasnya
36 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1999), h. 23.
46
sebagai penegak hukum yang semestinya menjadi pengayom bagi
masyarakat. Dengan adanya kepastian hukum, maka masyarakat akan
mengetahui kejelasan akan hak dan kewajibannya menurut hukum. Tanpa
ada kepastian hukum, maka orang akan tidak tahu apa yang harus
diperbuat, artinya tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya
salah atau benar, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Adapun
kepastian hukum ini, dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan
jelas dalam suatu produk Undang-Undang dan akan jelas pula
penerapannya.
Dengan kata lain, kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya,
subjeknya, objeknya, serta ancaman hukumannya. Akan tetapi, kepastian
hukum, mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak
ada setiap saat, asalkan sarana penempatan yang digunakan sesuai dengan
situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi, serta
utamanya tidak berkontradiksi dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, baik yang tertuang maupun yang tidak tertuang dalam hukum
positif (konstitusi).
Jika dikaitkan dalam hal kepastian hukum dalam bidang hukum
bisnis, penyelenggaraan Fintech P2PL menurut Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi, maupun pada peraturan lainnya yang
mengatur terkait hal tersebut.
Dalam hal ini diharapkan kepastian hukum bagi kreditur sebagai
pemberi pinjaman dan debitur sebagai penerima pinjaman dalam kegiatan
Fintech P2PL ini memperoleh kepastian haknya dengan jelas dan tentunya
menjadi perhatian lebih bagi pemerintah sebagai regulator dengan
mewujudkan penyelenggaraan Fintech P2PL yang bersifat recht-kadaster,
sehingga dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum.
47
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul, maka dalam bentuk skripsi ini perlu
kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan, antara lain:
1. Skripsi Luthpiyah Fatin, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar
Lampung 2019 yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran OJK
Dalam Penanggulangan Perusahaan Financial Technology Ilegal (Studi
Pada Kantor OJK Provinsi Lampung)”, menyimpulkan bahwa
Kewenangan OJK Provinsi Lampung dalam mengatur penyelenggaraan
perusahaan Fintech di Provinsi Lampung, Penanggulangan peran OJK
dalam penanggulangan perusahaan Fintech ilegal di Provinsi Lampung,
dan mengulas kendala-kendala yang dihadapi OJK Provinsi Lampung
dalam menangani perusahaan Fintech ilegal. Adapun perbedaan
penelitian peneliti dengan tinjauan (review) kajian terdahulu pada
skripsi Luthpiyah Fatin, yaitu terletak pada objek penelitian peneliti
yang berbeda secara substantif, karena batu uji atau analisa yuridis
normatif penulis yang mengacu pada ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, serta ditinjau mengenai
perlindungan hukum terhadap debitur selaku pengguna/konsumen
Fintech Berbasis Peer To Peer Lending dan mengulas asas kepastian
hukum terhadap perlindungan hukum kreditur selaku pemberi pinjaman
dalam penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To Peer Lending yang
dilanggar haknya oleh debitur karena wanprestasi atau mengalami
kredit macet dimana cakupan atau domainnya yang bersifat nasional
berbeda dengan skripsi Luthpiyah Fatin yang bersifat regional yaitu
hanya pada domain Provinsi Lampung saja.
2. Buku berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia” yang
ditulis oleh Janus Sidabalok, S.H., M.Hum. Buku ini membahas
48
sekelumit hal terkait dengan perlindungan konsumen, berupa
pemikiran-pemikiran tentang hak-hak konsumen, tempat hukum
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum lainnya,
hubungan konsumen dengan produsen, pertanggungjawaban
produsen/pelaku usaha dan penyelesaian sengketa konsumen. Buku ini
lebih komprehensif dalam memahami perlindungan konsumen teraktual
dengan diulas pula mengenai e-commerce dan praktik bisnis transaksi
online yang menunjang penulis dalam meneliti penelitian skripsi ini.
3. Jurnal hukum berjudul, “Hubungan Hukum Para Pihak dalam Peer
To Peer Lending”, ditulis oleh Ratna Hartanto dan Juliani Purnama
Ramli dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dalam jurnal ini
membahas mengenai keabsahan hubungan hukum para pihak dalam
penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer Lending menurut
regulasi peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam
perspektif hukum perdata. Adapun perbedaan dengan penelitian yang
disusun peneliti, yakni membahas mengenai perlindungan hukum bagi
debitur dan kreditur dalam penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To
Peer Lending yang banyak menimbulkan problematika dalam proses
penyelenggaraannya dan belum terakomodasi dengan baik oleh
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi.
BAB III
FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO PEER LENDING
SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN
A. Sumber - Sumber Pembiayaan
Jenis lembaga keuangan diklasifikasikan menjadi tiga jenis
didasarkan pada kemampuan dan sistemnya masing-masing, yaitu meliputi
lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga
pembiayaan. Berikut merupakan penjelasan dari tiga jenis lembaga
keuangan tersebut.
1. Lembaga Keuangan Bank
Lembaga ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di
bidang keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat/masyarakat banyak.1 Menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, lembaga keuangan bank
diklasifikasikan menjadi:
a. Bank Umum;
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa
yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa
perbankan yang ada. Begitu pula, dengan wilayah operasinya dapat
dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia. Bank umum, lazim disebut
sebagai bank komersil.2
1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika. h. 9.
2 Indonesia (Perbankan), Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Tentang Perbankan,
Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 31, TLN Nomor 2472.
49
50
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR);
3
Bank Perkreditan Rakyat atau yang disingkat BPR adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya, kegiatan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) jauh lebih sempit cakupannya dibandingkan dengan
kegiatan pada bank umum.
2. Lembaga Keuangan Bukan Bank
Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan yang secara langsung
atau tidak langsung, menghimpun dana dengan jalan/cara
mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan kembali, guna
membantu membiayai kebutuhan masyarakat itu sendiri.4
Berdasarkan
definisi tersebut, lembaga keuangan bukan bank juga dapat
diklasifikasikan lagi menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut 5
a. Asuransi (Insurance);
Menurut Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, “Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih,
dengan mana Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
3 Indonesia (Perbankan), Undang-Undang Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor
72 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
31, TLN Nomor 2472.
4
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 18.
5 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, … h. 19.
51
pihak ketiga yang mungkin akan diderita Tertanggung yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”.6
b. Pegadaian (Pawnshop);
Lembaga pegadaian dibentuk oleh Pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang menggunakan sistem gadai, yaitu
penyerahan barang bergerak sebagai jaminan kepada pegadaian, yang
senilai dengan atau lebih tinggi dari jumlah pinjaman. Namun, apabila
pada waktu yang telah ditetapkan (jatuh tempo) pinjaman tidak
dikembalikan, maka barang jaminan dapat dijual secara lelang, guna
menutup pengembalian pinjaman tersebut, dan jika masih ada nilai
sisanya maka akan dikembalikan kepada peminjam.7
Menurut Kasmir, “pegadaian atau usaha gadai adalah
kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak
tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan/atau barang yang
dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara
nasabah dengan lembaga gadai.”8
c. Dana Pensiun (Pension Fund);
Perusahaan dana pension merupakan perusahaan yang
menghimpun atau memungut dana dari karyawan suatu perusahaan
dan kemudian memberikan pendapatan kepada peserta pensiun sesuai
perjanjian. Artinya, dana pensiun dikelola oleh suatu lembaga dan
memungut dana dari pendapatan para karyawan pada suatu
perusahaan, lalu membayarkan kembali dana tersebut dalam bentuk
6 Indonesia (Perasuransian), Ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Tentang
Perasuransian atau Pertanggungan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Lembaran Negara
Nomor 13, TLN Nomor 3467.
7 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, … h. 105.
8 Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi 2014, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2014), h. 231.
52
dana pensiun setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian
antara kedua belah pihak.9
d. Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan pembiayaan adalah suatu badan usaha yang
berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang melakukan
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau
berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut menyediakan jasa
kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga barang secara
tunai kepada pemasok.10
e. Perusahaan Modal Ventura;
Perusahaan modal ventura merupakan investasi jangka
panjang dalam bentuk pemberian modal yang mengandung risiko
dimana perusahaan atau penyedia dana (venture capitalis) itu
sendiri mengharapkan capital gain, bukan pendapatan bunga atau
dividen.11
Perusahaan modal ventura pula dikatakan sebagai suatu
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha
untuk jangka waktu tertentu.12
f. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;
Pembiayaan infrastruktur merupakan suatu pembiayaan
dari berbagai macam sumber keuangan yang diperlukan untuk
menilai, mendirikan dan memulai bekerjanya suatu proyek
bermodal besar dimana pinjaman untuk proyek tersebut, biasanya
9 Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,… h. 287.
10
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan,… h. 247.
11
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 127.
12
Budi Rachmat, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan
Menengah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 12.
53
diberikan oleh suatu sindikasi bank dan jaminan keuangan atas
pengembalian pinjaman tersebut sering hanya digantungkan pada
arus uang tunai (pemasukan) di masa yang akan datang, serta tidak
bergantung pada jaminan pihak ketiga.13
B. Perkembangan Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer
To Peer Lending di Indonesia
Berdasarkan jenis Fintech yang berkembang di Indonesia,
beberapa lembaga jasa keuangan yang sudah melakukan perkembangan
dan inovasi Fintech terbagi ke dalam beberapa sektor, yaitu Layanan
Perbankan Digital (Digital Banking, Pembiayaan dan Investasi, serta
Asuransi. Berikut pemaparannya:
a. Industri Perbankan
Dalam pengembangan inovasi kegiatan perbankan,sektor
perbankan Indonesia telah mengembangkan beberapa hal yang
dapat mempermudah dan mempercepat transaksi keuangan.
Digital Banking atau biasa disebut dengan istilah Layanan
Perbankan Digital, diartikan sebagai layanan kegiatan perbankan
dengan menggunakan sarana elektronik/digital. Layanan melalui
sarana ini, dapat dilakukan secara mandiri oleh nasabah untuk
memperoleh informasi, melakukan komunikasi, registrasi,
pembukaan rekening, transaksi perbankan dan penutupan
rekening, termasuk memperoleh informasi lain di luar produk
perbankan, antara lain saran dan pendapat keuangan, investasi,
transaksi e-commerce, dan kebutuhan lainnya.
b Industri Pembiayaan Dan Investasi
Dalam sektor pasar modal, beberapa lembaga jasa
keuangan sudah melakukan digitalisasi terhadap produk-
produknya. Digitalisasi ini, meliputi proses pencarian informasi,
pendaftaran, dan pembukaan rekening, hingga pelaporan kegiatan
investasi. Pada tahap pendaftaran dan pembukaan rekening efek
secara online, konsumen diberikan kemudahan pengisian formulir
dengan cepat dan dapat dilakukan dimanapun. Kemudian
13
O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, (Jakarta: Penerbit Aksara Persada
Indonesia, 1989), h. 18.
54
dilanjutkan dengan pengunggahan dokumen yang diperlukan dan
pemenuhan prinsip Know Your Customer (KYC) yang dapat
dilakukan melalui media, seperti video call. Keseluruhan proses
digitalisasi sektor pasar modal ini akan berujung pada pembuatan
rekening efek yang keseluruhannya dilakukan adanya kunjungan
tatap muka antara pihak konsumen dengan perusahaan/lembaga
terkait.
c. Industri Asuransi
Dalam memperluas jangkauannya, perusahaan asuransi
melakukan pengembangan dan inovasi terkait penjualan
produknya dengan menyertakan platform digital sebagai salah satu
fokus utamanya. Beberapa perusahaan asuransi menyediakan
layanan dari mulai pendaftaran hingga pembelian produk asuransi
yang dilakukan secara online dan tidak perlu mendatangi
perusahaan atau agen asuransi. Fitur lainnya yang disediakan
adalah pengajuan klaim secara online. Konsumen hanya
membutuhkan dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang
diperlukan dalam pengajuan klaim. Dokumen dan bukti untuk
pengajuan klaim dapat diunggah melalui platform biasanya
melalui website, yang disediakan perusahaan asuransi atau
lembaga penjual produk asuransi atau lembaga penjual produk
asuransi.
Jenis Fintech berbasis P2PL yang berkembang di Indonesia
yaitu jenis Fintech yang dikembangkan oleh perusahaan start-up
Fintech di Indonesia cukup beragam. Menurut data yang didapat
dari Asosiasi Fintech Indonesia, pada pertengahan tahun 2017
terdapat 90 perusahaan start-up Fintech yang tergabung ke dalam
asosiasi dan jumlahnya meningkat menjadi 103 perusahaan start-
up Fintech di triwulan ketiga tahun 2017.14
Masing-masing jenis Fintech memiliki potensi risiko yang
sesuai dengan proses bisnisnya. Secara umum, risiko yang
mungkin muncul dari perusahaan Fintech di Indonesia, yakni
Risiko Penipuan, Risiko Keamanan Data dan Risiko
ketidakpastian pasar. Fintech P2PL memiliki model dan proses
bisnis tersendiri. Perusahaan Fintech P2PL biasanya memfasilitasi
pihak yang membutuhkan dana pinjaman dengan para pihak yang
ingin berinvestasi dengan cara memberikan pinjaman. Adapun
14 Website https://Fintech.id/, diakses pada 12 November 2019, Pukul 19.09 BBWI.
55
pinjaman yang diberikan oleh perusahaan Fintech P2PL di
Indonesia sangat bervariasi, mulai dari pinjaman modal usaha,
pinjaman kendaraan bermotor, Kredit Tanpa Agunan, Kredit
Perumahan Rakyat, hingga pinjaman biaya pernikahan, pinjaman
persalinan, pinjaman renovasi rumah, dan pinjaman perjalanan
umroh. Para peminjam diberikan kewenangan untuk memilih
jangka waktu, serta jumlah pinjaman yang disesuaikan dengan
kebutuhan peminjam. Nominal pinjaman bervariasi tergantung
dari kebijakan perusahaan.
Fintech P2PL di Indonesia juga mengakomodasi
masyarakat yang ingin menjadi investor atau menjadi pemberi
dana dengan tujuan untuk mendapatkan return di kemudian hari.
Fasilitas ini banyak digunakan oleh pengguna karena memberikan
kemudahan untuk berinvestasi. Pada umumnya, perusahaan akan
memberikan informasi secara jelas dan transparan akan
pergerakan uang pinjaman yang diberikan oleh pemberi dana. Hal
ini membuat para pemberi dana atau investor merasa lebih aman
dan nyaman untuk berinvestasi.
Dalam perkembangannya, perusahaan Fintech Financing &
Investment di Indonesia juga ada yang memiliki kombinasi bisnis
antara Crowdfunding dan Peer To Peer Lending. Berikut
merupakan skema proses Bisnis Fintech P2PL Crowdfunding
Based :
56
Proses Bisnis Peer To Peer Lending Crowdfunding Based
Konsumen
menggunakan
platform
(Pemberi/Penerima
Pinjaman
Konsumen mengisi
formulir
Pemberi/Penerima
Pinjaman
Perusahaan akan
melakukan analisa
kredit/pengajuan
pinjaman bagi
Penerima Pinjaman
Pemberi
Pinjaman
bertemu dengan
Pencari Pinjaman
melalui Platform
Pencari Pinjaman
menerima Pinjaman
dari Pemberi
Pinjaman
Pencari Pinjaman
membayar
angsuran
pinjaman kepada
Pemberi
Pinjaman
Pemberi Pinjaman
mendapatkan return
dari hasil bunga
pembayaran angsuran
Keterangan :
- Konsumen menggunakan platform dan mendaftarkan diri sebagai
pemberi pinjaman atau pencari pinjaman;
- Pemberi dan pencari pinjaman mengisi formulir registrasi dan
pengumpulan dokumen yang diperlukan;
- Pemberi pinjaman akan diberikan akun dan dapat mencari
pinjaman yang ingin didanai melalui platform;
- Perusahaan akan menilai pengajuan kredit dan mempertemukan
pemberi dana dengan pencari pinjaman melalui platformnya
melalui proses crowdfunding;
- Apabila dana terkumpul, pencarian dana dilakukan dan peminjam
mulai memiliki kewajiban pembayaran cicilan; dan
- Apabila pembayaran dilakukan secara lancar, return akan
didapatkan oleh pemberi dana. Apabila, peminjam terlambat
membayar, akan dilakukan prosedur internal credit collection
dengan bantuan perusahaan penyedia layanan. Apabila terjadi
57
default, perusahaan akan membantu proses pengembalian
pinjaman. Namun, apabila masih gagal, maka jalur hukum adalah
opsi terakhir dan risiko kerugian ditanggung oleh pemberi dana.
1. Potensi Kerawanan dalam Proses Bisnis
a). Dalam proses pembayaran, data konsumen (perbankan dan
pribadi) akan dimasukkan ke dalam database perusahaan penyedia
layanan. Terdapat kerawanan data loss yang dilakukan oleh pihak
yang tidak bertanggungjawab; b). Warga negara asing dapat
mendaftarkan diri sebagai investor, maka jika terjadi upaya
penyelesaian sengketa harus memperhatikan ketentuan hukum
antar negara dan perusahaan penyedia layanan dengan baik; c).
Informasi mengenai prosedur dan tata cara penilaian kredit oleh
perusahaan penyedia layanan sering kurang dijelaskan dengan
lengkap; dan d). Keseluruhan proses tidak dijamin oleh asuransi.
2. Manfaat
a). Menekan biaya dan memberikan proses yang cepat. Fintech
jenis P2PL dapat menekan tingginya biaya dan lamanya waktu
proses peminjaman yang seringkali dikeluhkan oleh konsumen jika
mereka mengajukan pinjaman kredit ke bank ataupun lembaga
pembiayaan lainnya; dan b). Kemudahan berinvestasi. Fintech
P2PL memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin
berinvestasi dengan cara yang lebih mudah, sekaligus menawarkan
imbal hasil yang biasanya lebih tinggi dibandingkan yang ada di
pasar.
3. Risiko
a). Risiko gagal bayar. Melalui platform yang diberikan oleh
perusahaan Fintech, siapa saja dengan mudah dapat menjadi
investor atau peminjam kredit. Syarat dan ketentuan bagi calon
konsumen yang ingin menggunakan layanan ini pun sangat mudah
dan tidak terlalu kompleks sebagaimana pada bank dan perusahaan
pemberi pinjaman tradisional. Hal ini dapat menyebabkan
kesalahan penilaian risiko pada peminjam kredit, kondisi gagal
bayar, dan akhirnya menyebabkan kerugian terhadap para investor;
b). Minimnya informasi. Perusahaan Fintech biasanya kurang
memperhatikan kecukupan informasi secara detail kepada para
pihak, seperti pihak yang akan memberi pinjaman (investor), pihak
yang akan meminjam dana (konsumen), dan pihak yang akan
ditawarkan produknya secara online. Salah satu isu yang berkaitan
dengan para investor adalah isu kejelasan profil investor dan isu
pencucian uang (anti-money laundering). Sebaliknya, isu yang
58
berkaitan dengan peminjam adalah isu penerapan prinsip KYC
(Know Your Customer).
C. Pengaturan Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To
Peer Lending di Indonesia
Saat ini, Indonesia sedang mengalami booming pemanfaatan
teknologi di berbagai sektor kehidupan. Lahirnya penggunaan teknologi
informasi sebagai salah satu solusi kebutuhan sehari-hari masyarakat, telah
memicu perkembangan penggunaan teknologi informasi di sektor lain.
Didahului dengan lahirnya penggunaan teknologi informasi di sektor jasa
transportasi umum, seperti perusahaan ojek dan taksi online, maka sektor
jasa keuangan pun mengikuti trend perkembangan pula.
Perkembangan Fintech memerlukan kesiapan Pemerintah sebagai
regulator mengenai penyelenggaraannya, mekanisme aspek kelembagaan,
kegiatan usaha, dan mitigasi risikonya.15
Otoritas Jasa Keuangan, Bank
Indonesia, dan Kementerian terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia masih terus mempersiapkan dan
menyusun ketentuan mengenai penyelenggaraan Fintech di Indonesia,
agar lebih merata dan terintegrasi dengan baik di Indonesia.
1. Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan, yang disingkat OJK, didirikan
berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini didirikan, guna melakukan
pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu.16
Secara
normatif yuridis, bahwa ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dijelaskan
pada ketentuan pasal a quo, “Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga
independen yang terbebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan
15 Sarwin Kiko Napitupulu, dkk., Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen –
Otoritas Jasa Keuangan, 2017), h. 48.
16
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Grup,
2005), h. 221.
59
wewenang, pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan.”
Berikut beberapa regulasi atau pengaturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait penyelenggaraan Financial Technology berbasis Peer To
Peer Lending di Indonesia ialah sebagai berikut:
1). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi.
Sebagai langkah awal, Otoritas Jasa Keuangan telah
mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi (POJK Fintech P2PL) yang
kemudian memiliki peraturan turunan berupa Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 18/SEOJK.02/2017. POJK ini
mengatur Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending
yang berkembang di Indonesia saat ini. Hal tersebut dikarenakan,
OJK melihat urgensi hadirnya ketentuan yang mengatur Fintech
P2PLending dengan memperhatikan masih kuatnya budaya
pinjam-meminjam (utang) di masyarakat Indonesia.
Selain itu, perusahaan Fintech dengan skema Peer To Peer
Lending merupakan lingkup kewenangan Otoritas Jasa Keuangan,
dikarenakan perusahaan tersebut belum memiliki landasan hukum
kelembagaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Berdasarkan
POJK Fintech P2PL, perusahaan Fintech atau yang disebut
penyelenggara Fintech P2PL dinyatakan sebagai Lembaga Jasa
Keuangan lainnya dengan perusahaan berupa badan hukum
Perseroan Terbatas dan koperasi (Pasal 2 Ayat 2 POJK Fintech
P2PL).
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh penyelenggara
Fintech P2PL, yakni menyediakan, mengelola, dan
mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi dari pihak Kreditur kepada pihak Debitur
yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman
dan/atau penyelenggara dapat bekerjasama dengan penyelenggara
layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 POJK Fintech
P2PL).
60
Adapun batasan pemberian pinjaman kepada debitur pada
Fintech P2PL ini diatur jumlah maksimum sebesar Rp.
2.000.000.000 (dua miliar rupiah) sebagaimana diatur pada Pasal 6
POJK Fintech P2PL. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016, berikut alur proses Pendaftaran dan Perizinan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Adapun beberapa persyaratan wajib usaha Fintech P2PL
sebagaimana ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 yaitu:17
a). Kejelasan bentuk badan hukum, kepemilikan, dan permodalan;
b). Mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
c). Ketersediaan Sumber Daya Manusia yang memiliki keahlian
atau latar belakang IT;
d). Dokumen berbentuk elektronik;
e). Terdapat akses informasi untuk penyelenggara pinjaman,
pemberi pinjaman, dan penerima pinjaman;
f). Pusat data dan disaster recovery plan yang ditempatkan di
Indonesia dan memenuhi standar minimum, pengelolaan risiko,
dan pengamanan teknologi informasi, serta ketahanan terhadap
gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi
informasi;
g). Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi,
data transaksi dan data keuangan sejak data diperoleh hingga data
dimusnahkan;
h). Sistem pengamanan yang mencakup prosedur, sistem
pencegahan, dan penanggulangan terhadap serangan yang
menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian;
i). Penyelenggara menerapkan prinsip dasar dari perlindungan
pengguna (konsumen) di sektor jasa keuangan, dan;
17 Sarwin Kiko Napitupulu, dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan
Konsumen - Otoritas Jasa Keuangan, 2017).
61
j). Perjanjian dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan
digital.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Fintech P2PL ini
mengatur, bahwa sebelum melakukan kegiatan usaha,
penyelenggara wajib melakukan pendaftaran dan perizinan
sebagaimana ketentuan Pasal 7. Pendaftaran dilakukan sebelum
penyelenggara melakukan kegiatan usaha. Setelah terdaftar,
penyelenggara wajib memberikan laporan secara berkala setiap tiga
bulan kepada OJK. Setelah itu, paling lambat satu tahun setelah
melakukan perizinan. Dalam hal penyelenggara tidak mengajukan
izin kepada OJK selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka
surat tanda pendaftaran penyelenggara dinyatakan batal dan tidak
dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK
sebagaimana ketentuan Pasal 10 POJK Fintech P2PL.
Terkait subyek penerima dan pemberi pinjaman, bahwa
penerima pinjaman merupakan perorangan atau badan hukum yang
berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia (Pasal 15).
Sedangkan, pemberi pinjaman, berbasarkan POJK Fintech P2PL,
dapat berupa perorangan WNI/WNA, badan hukum
Indonesia/asing, dan/atau lembaga internasional. Pemberi pinjaman
(kreditur) Fintech P2PL dapat berasal dari dalam dan/atau luar
negeri (Pasal 16 POJK Fintech P2PL). Perjanjian penyelenggaraan
yang dimaksud dalam POJK Fintech P2PL ini dituangkan dalam
bentuk dokumen elektronik.
Sehubungan dengan sistem teknologi informasi,
penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada pemberi
dan penerima pinjaman terkait penggunaan dana dan posisi
pinjaman yang diterima. Penyelenggara juga wajib menggunakan
escrow account dan virtual account, serta menggunakan pusat data
dan pusat pemulihan bencana yang wajib ditempatkan di
Indonesia. Penyelenggara wajib memenuhi standar minimum
sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi,
pengamanan teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan
dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi.
Sebagai salah satu upaya mitigasi risiko, penyelenggara
juga wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan
seluruh data yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data
tersebut dimusnahkan. Penyelenggara wajib pula menyediakan
rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatannya dan melakukan
pengamanan terhadap komponen sistem teknologi informasi
62
dengan memiliki dan menjalankan prosedur dan sarana untuk
pengamanan.
Di sisi lain, jika ada suatu bank umum yang ingin
menggunakan teknologi informasi sebagai media pemasaran dan
penjualan produknya, maka selain melihat kepada peraturan
mengenai kegiatan usaha bank umum dan RBB, maka bank umum
tersebut harus juga mengacu dan mengikuti ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.03/2016 Tentang
Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh
Bank Umum.
2). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Khusus yang berkaitan dengan aspek perlindungan
konsumen di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan telah
memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan. Ketentuan POJK ini, berlaku bagi Pelaku Usaha Jasa
Keuangan yang selama ini telah diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan dan melaksanakan layanan Fintech. Kreditur Fintech
P2PL tersebut wajib memperhatikan seluruh aspek perlindungan
konsumen dengan menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 2 POJK Fintech P2PL, yaitu prinsip
transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan, dan
keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan,
serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan
biaya terjangkau.
Aspek Perlindungan Konsumen yang diatur pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Fintech P2PL ini mengatur mengenai
prinsip dasar perlindungan terhadap debitur Fintech P2PL
sebagaimana pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, yakni antara lain:
a). Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi terkini yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan;
b). Penyelenggara juga wajib menggunakan istilah, frasa dan/atau
kalimat yang sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah
dibaca dan dimengerti oleh Pengguna dalam setiap Dokumen
Elektronik;
63
c). Penyelenggara wajib memiliki standar prosedur operasional
dalam melayani pengguna yang dimuat dalam dokumen elektronik;
dan
d). Penyelenggara dilarang dengan cara apapun, memberikan data
dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga.
3). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018
Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
Melihat pesatnya angka pertumbuhan dan penggunaan
Financial Technology di Indonesia yang diikuti dengan kemajuan
teknologi informasi, pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa
Keuangan dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 13/POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di
Sektor Jasa Keuangan.
Ketentuan POJK tersebut diterbitkan guna merangsang
inovasi dalam ekosistem layanan keuangan digital, seperti
crowdfunding equitas, pemukiman, manajemen investasi, asuransi
dan lain sebagainya. Inovasi Keuangan Digital diartikan sebagai
aktifitas pembaharuan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen
keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.
POJK ini mengklasifikasikan perusahaan-perusahaan
platform Fintech sebagai Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital
yang harus tunduk terhadap Regulatory Sandbox Otoritas Jasa
Keuangan. Agar dapat diklasifikasikan sebagai Penyelenggara
IKD, maka penyedia jasa IKD harus memenuhi kriteria tertentu,
seperti menyediakan produk dan layanan keuangan digital inovatif
yang mewakili proses atau model bisnis baru, berupa kegiatan,
peningkatan atau efisiensi yang memberikan nilai pada ekosistem
fintech terhadap pertumbuhan IKD, berorientasi masa depan
melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang
berguna untuk publik, dan dapat diintegrasikan dengan layanan
sektor jasa keuangan yang ada berbasis regulatory sandbox yang
telah ditetapkan oleh OJK.18
Namun, peneliti menilai ketentuan POJK tersebut, secara
substansi berbeda dengan POJK Fintech P2PL, karena dalam
ketentuan POJK tersebut mengatur seluruh jenis Fintech dimana
antara satu jenis Fintech dengan Fintech yang lain berbeda
kompleksitas masalahnya maupun ruang lingkup yang ada padanya
18 Data Audiensi dan Wawancara dengan Bapak Sarjito, S.E., S.H., M.B.A., selaku
Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan.
64
sehingga peneliti menyimpulkan sifat dari peraturan POJK ini
hanyalah seremonial yang administratif semata dimana tidak
mampu memenuhi ekspektasi masyarakat sebagai debitur Fintech
P2PL, maupun platform Fintech P2PL sebagai kreditur Fintech
P2PL dimana masih banyak problematika hukum terhadap
implementasi penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer
Lending.
4). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko
Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi
Setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi, Otoritas Jasa Keuangan
mengeluarkan ketentuan Tentang Pelaksanaan Tata Kelola dan
Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi melalui Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 yang mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu 18 April 2017. Adapun
ruang lingkup yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 ini, meliputi:
a). Penempatan pusat data dan pemulihan bencana, serta rencana
pemulihan bencana;
b). Tata kelola sistem elektronik dan teknologi informasi yang
meliputi Rencana Strategis Sistem Elektronik, Sumber Daya
Manusia dan Pengelolaan Perubahan Teknologi Informasi;
c). Alih Kelola Teknologi;
d). Pengelolaan Data dan Informasi;
e). Pengelolaan Risiko Teknologi Informasi;
f). Pengamanan Sistem Elektronik;
g). Penanganan Insiden dan Ketahanan Terhadap Gangguan;
h). Penggunaan Tanda Tangan Elektronik;
i). Ketersediaan Layanan dan Kegagalan Transaksi; dan
j). Keterbukaan Informasi Produk dan Layanan.
2. Bank Indonesia
65
Bank Indonesia sebagai regulator sistem pembayaran telah
mengeluarkan peraturan terkait Fintech di Indonesia melalui PBI No.
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (electronic money). PBI tersebut
telah diubah sebanyak dua kali, yaitu PBI No. 16/8/PBI/2014 dan PBI No.
18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik (PBI E-Money).
Berdasarkan PBI E-Money, Uang Elektronik (Electronic Money)
didefinisikan sebagai alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
1). Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada
penerbit;
2). Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau
chip;
3). Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan
4). Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit, bukan merupakan
simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perbankan.
Lembaga yang dapat mengeluarkan Uang Elektronik atau disebut
Penerbit berdasarkan PBI E-Money adalah Bank atau Lembaga selain
Bank. Untuk lembaga selain bank yang akan melakukan kegiatan usaha
uang elektronik yang beroperasi di Indonesia harus berbadan hukum
Indonesia dalam bentuk perseroan terbatas. Lembaga yang dimaksud
dalam PBI E-Money, meliputi Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Lembaga tersebut hanya dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik.
Uang Elektronik sendiri dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu
uang elektronik yang data identitas pemegangnya terdaftar dan tercatat
pada Penerbit (registered); dan uang elektronik yang data identitas
pemegangnya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada penerbit
(unregistered). Kategori tersebut menentukan fasilitas yang dapat
diberikan oleh Penerbit (Pasal 1A). E-Money dikategorikan sebagai
Digital Payment dalam Fintech. Penerbit hanya melakukan permohonan
izin tanpa pendaftaran terlebih dahulu, seperti penyelenggara.
PBI E-Money juga mengatur mengenai Layanan Keuangan Digital.
Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat LKD adalah
kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan
melalui kerjasama dengan pihak ketiga, serta menggunakan sarana dan
66
perangkat teknologi berbasis mobile maupun berbasis website dalam
rangka menunjang keuangan inklusif. LKD hanya dapat dilakukan oleh
Penerbit berupa Bank.
a. Regulasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Terkait
Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To Peer Lending di
Indonesia
Berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan Fintech
P2PL, Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan salah
satu instansi Pemerintah terkait dalam proses penyelenggaraan
kegiatan tersebut mengingat Kominfo sebagai instrumen lembaga
pemerintah dalam segala kegiatan berbasis komunikasi dan
informatika termasuk teknologi informasi sebagaimana pada
kegiatan Fintech P2PL sebagai dampak digitalisasi global
termasuk di Indonesia. Tentu hal ini menjadi atensi Pemerintah
dalam mengawal kegiatan ini melalui Kominfo dengan pelbagai
regulasi yang dibuat terkait penyelenggaraan kegiatan ini, meliputi
diantaranya:
1). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Salah satu perlindungan konsumen yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, selanjutnya disebut dengan UU ITE ialah
mengenai perlindungan data pribadi. UU ITE mewajibkan
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang, harus dilakukan atas
persetujuan orang yang bersangkutan. UU ITE juga mewajibkan
setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan sistem elektronik
harus menyelenggarakan sistem secara handal dan aman, serta
bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik
sebagaimana mestinya.
2). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Sistem Manajemen
Pengamanan Informasi
Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang sistem
manajemen pengamanan informasi dengan menetapkan batasan
istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Adapun materi
pokok memuat kategorisasi: Sistem Elektronik, Standar Sistem
Manajemen Pengamanan Informasi, Penyelenggaraan Sistem
Elektronik, Sertifikat Sistem Manajemen Pengamanan Informasi,
67
Lembaga Sertifikasi, Penerbit Sertifikat, Pelaporan Hasil
Sertifikasi, dan Pencabutan Sertifikat, Penilaian Mandiri,
Pembinaan, Pengawasan, dan Ketentuan Sanksi.
3). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi
Dalam Sistem Elektronik
Dalam Peraturan Menteri ini, diatur mengenai perlindungan
data pribadi dalam sistem elektronik dengan menetapkan batasan
istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Perlindungan data
pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan terhadap
perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,
penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,
penyebarluasan, dan/atau pembukaan akses data pribadi, serta
pemusnahan data pribadi. Seluruh hal tersebut, diatur pada Bab II
Peraturan Menteri ini terkait Perlindungan Data Pribadi Dalam
Sistem Elektronik.
Selain itu, dalam Peraturan Menteri ini juga mengatur terkait
hak pemilik data pribadi; kewajiban pengguna; kewajiban
penyelenggara sistem elektronik; penyelesaian sengketa; peran
pemerintah dan masyarakat; pengawasan; dan sanksi
administratif.19
4). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia No. 5 Tahun 2016 Tentang Uji Coba Teknologi
Telekomunikasi, Informatika, dan Penyiaran
Dalam peraturan menteri ini, uji coba diselenggarakan
dengan tujuan untuk melakukan penelitian aspek teknis dan non
teknis terkait penyelengaraan telekomunikasi, informatika, dan
penyiaran. Aspek teknis antara lain meliputi kinerja sistem, alat
dan perangkat, sementara aspek non teknis, meliputi model bisnis
penyelenggaraan. Uji coba diselenggarakan oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika dan dapat dibantu oleh pemangku
kepentingan. Penyelenggaraan uji coba diterapkan dengan
Keputusan Menteri. Uji coba bersifat tidak komersial dan berbatas
waktu.
19 Sarwin Kiko Napitupulu, dkk., Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech,…h. 62.
68
D. Implementasi Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To Peer
Lending di Indonesia
Perkembangan teknologi informasi banyak mengubah cara-cara
bertransaksi dan membuka peluang-peluang baru dalam transaksi bisnis.
Salah satu bentuk bisnis akibat dari perkembangan tersebut ialah
Financial Technology, yang dimaknai penggunaan teknologi untuk
memberikan solusi Financial.
Berkembangnya industri Fintech P2PL didukung oleh
meningkatnya jumlah pengguna internet dan smartphone di Indonesia.
Perangkat smartphone dapat mengunduh berbagai platform aplikasi
pinjaman uang yang disediakan oleh perusahaan Fintech P2PL dengan
mudah. Hal ini didukung oleh beberapa rilis data yang berhasil peneliti
himpun yaitu per Januari 2019, pertumbuhan digitalisasi di dunia
meningkat jauh lebih besar dari peningkatan total populasi yang hanya
meningkat 1,1%. Peningkatan mobile social media users, internet users,
active social media users, dan unique mobile users berturut-turut
menyentuh 10%, 9,1%, 9%, dan 2%.
Sementara, Indonesia sendiri memiliki jumlah mobile users
mencapai 133% dari total populasi. Jumlah internet users di Indonesia
yang mencapai 150 juta dengan pertumbuhan 13%. Jumlah tersebut
merupakan pasar yang besar dan terus bertumbuh untuk potensi
pengembangan Fintech, khususnya Fintech P2PL di Indonesia. Gambar
berikut menjelaskan dinamika pertumbuhan digital di dunia dan
Indonesia:20
20 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa
Keuangan.
69
Gambar : Perkembangan Digital di Dunia dan Indonesia
Pada periode 2018, industri sektor jasa keuangan pada layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau dalam
penelitian ini disebut penyelenggaraan Fintech P2PL menunjukkan
perkembangan yang semakin pesat dari awal kehadirannya mewarnai
industri sektor jasa keuangan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan rilis
data OJK yang menunjukkan akumulasi kredit pinjaman pada layanan
Fintech P2PL per Triwulan IV Tahun 2018 telah mencapai Rp. 22,6
Triliun atau dapat dikatakan meningkat lebih dari 750% dari awal tahun
2018 yang tercatat Rp. 3 Triliun.21
Kemudian pada data terakhir publikasi OJK per Triwulan I 2019,
menunjukkan akumulasi kredit menembus Rp. 33,2 Triliun, dimana
mengalami peningkatan 46,48% dari Triwulan IV Tahun 2018. Selain itu,
jumlah perusahaan platform penyelenggara kegiatan Fintech P2PL yang
berizin atau terdaftar di OJK juga meningkat tajam, yakni pada portal data
21 Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Otoritas Jasa Keuangan
Periode 2018-2019, diterima dari website https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Maret-2019.aspx, diakses pada 26
Desember 2019 Pukul 09.00 BBWI.
70
publikasi OJK per Mei 2019 terdapat 113 Perusahaan Fintech P2PL yang
terdaftar.22
Berikut merupakan profil dan perkembangan Fintech P2PL,
beserta jumlah akumulasi transaksi borrower (debitur) dan lender
(kreditur) Fintech P2PL di Indonesia yang dirilis Direktorat Pengaturan,
Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa
Keuangan:23
Gambar : Profil dan Perkembangan Fintech P2PL di Indonesia
22 Data Penyelenggaraan Fintech (Peer To Peer Lending) Terdaftar di OJK per 1 Mei
2019, diterima dari website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-Mei-
2019.aspx2019.aspx, diakses pada 26 Desember 2019, Pukul 11.00 BBWI.
23
Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa
Keuangan.
71
Gambar : Jumlah Akumulasi Transaksi Debitur Fintech P2PL di
Indonesia per Februari 2019
Gambar : Jumlah Akumulasi Rekening Kreditur Fintech P2PL di
Indonesia per Februari 2019
Berikut merupakan jumlah akumulasi penyaluran pinjaman pada
layanan Fintech P2PL di Indonesia yang dilansir oleh Direktorat
72
Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F)
Otoritas Jasa Keuangan:24
Gambar: Jumlah Akumulasi Penyaluran Pinjaman Fintech P2PL di
Indonesia per Februari 2019
Data-data di atas terkait perkembangan penyelenggaraan Fintech
P2PL yang meningkat tajam dari tahun ke tahun menuai beberapa asumsi
positif maupun negatif di masyarakat. Adapun beberapa dampak positif
keberadaan Fintech P2PL diantaranya:25
1). Menyerap tenaga kerja
sebesar 215.433 orang di Indonesia; 2). Meningkatkan penyaluran kredit,
khususnya pada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah; 3). Selama
kurun waktu 2018-2019 meningkatkan GDP menjadi Rp. 25,97 Triliun;
4). Menstimulus pertumbuhan perbankan sebesar 0,8%, perusahaan
pembiayaan sebesar 0,6%, dan ICT sebesar 0,2%; dan meningkatkan
pendapatan pajak untuk negara sebesar Rp.4,56 Triliun.
24 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa
Keuangan.
25 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Teguh Supangkat selaku Dewan Pakar
Fintech Indonesia dan Deputi Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan.
73
Besarnya budaya utang (pinjam-meminjam) di Indonesia yang
cukup besar apabila kita lihat berdasarkan data-data yang tersaji pada
gambar di atas menjadi suatu fakta yang menunjang eksistensi Fintech
P2PL di Indonesia. terdapat banyak faktor dan alasan orang meminjam
uang melalui layanan pinjaman Fintech P2PL di Indonesia seperti alasan
ekonomi, pendidikan, jaminan kesehatan yang beberapa penyakit yang
tidak dapat ditanggung oleh negara. Biasanya, kelompok orang yang tidak
mampu mengakses layanan perbankan dengan mudah (unbankable).
Sayangnya, hampir 70-73% dari mereka yang mengeluh kepada OJK
adalah perempuan atau ibu yang memiliki peran ganda, sebagai ibu rumah
tangga dan pekerja.26
Lalu, budaya gengsi akan kebutuhan konsumtif dan
kontra produktif bukan untuk hal-hal produktif berdasarkan kebutuhan
mendesak dan dasar bagi mereka menjadi faktor penting dalam
penggunaan layanan Fintech P2PL.
Selain itu, mereka juga menggunakan Fintech P2PL ilegal karena
mereka ingin menghindari kesulitan kondisi yang disyaratkan oleh
Fintech P2PL yang legal yang diberikan oleh OJK. itu dilakukan karena
kondisi yang ditentukan oleh Fintech P2PL ilegal umumnya lebih mudah
daripada kondisi yang ditetapkan oleh Fintech P2PL yang legal.
Berdasarkan fakta tersebut, kehadiran Fintech P2PL di satu sisi
menimbulkan banyak problematika hukum yang terjadi di masyarakat.
Fintech P2PL yang peneliti maksud di sini ialah Fintech P2PL ilegal. Hal
tersebut menjadi suatu permasalahan serius di tengah pesatnya
perkembangan Fintech P2PL yang menjadi ekspektasi masyarakat,
khususnya masyarakat yang unbankable menjadi solusi dalam pemenuhan
kebutuhan dana/finansial.
Beberapa problematika yang timbul dari penyelenggaraan Fintech
P2PL sendiri ditengarai oleh banyak faktor. Salah satu hal yang paling
mendasar yakni belum adanya regulasi penyelenggaraan Fintech P2PL
yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat, memberikan
perlindungan hukum bagi debitur. Sejatinya, dalam hal ini OJK selaku
regulator dan pengawas dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL
telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, namun hal tersebut belumlah mengakomodir
seluruh penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL. POJK ini merupakan
aturan khusus yang mengatur dan mewajibkan perusahaan Fintech P2PL
26 Nurhasanah and Indra Rahmatullah, “The Legal Protection of Sharia Financial
Technology In Indonesia (Analysis of Regulation, Structure, and Law Enforcement”, International
Journal of Advanced Science and Technology Vol. 29 No. 3, 2020, pp. 3086-3097, h. 3094.
74
untuk mendaftar kepada OJK agar memiliki izin beroperasi sesuai dengan
ketentuan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
Di sisi lain, keberadaan perusahaan Fintech P2PL ini menimbulkan
berbagai permasalahan dalam menjalankan kegiatan usahanya di
masyarakat. Salah satunya disebabkan oleh keberadaan perusahaan
Fintech P2PL illegal yang tidak terdaftar dan berizin di OJK yang
berjumlah sangat banyak, bahkan meningkat signifikan dari tahun ke
tahun. Hingga periode Februari 2019, OJK mencatat terdapat 803
perusahaan Fintech P2PL illegal.27
Awalnya kehadiran Fintech P2PL diharapkan menjadi solusi atas
keterbatasan masyarakat maupun pelaku UMKM yang kesulitan dalam
mengakses pinjaman dana atau kredit di lembaga perbankan. Melalui
proses transaksi yang fleksibel, tidak rumit secara administratif, dan
mudah dalam pencairan dana dinilai banyak membantu masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan finansialnya.
Namun demikian, dalam perkembangan penyelenggaraan Fintech
P2PL dari hari ke hari banyak menuai problematika hukum di
masyarakat. Banyak fakta/peristiwa hukum yang dirasakan dan dialami
oleh masyarakat, khususnya pengguna Fintech P2PL hari ini yang
menimbulkan keresahan di masyarakat dengan kehadiran Fintech P2PL
illegal. Mayoritas perusahaan penyelenggara maupun kreditur Fintech
P2PL tersebut seringkali melakukan penagihan utang secara intimidatif
dan melanggar hak privasi dari debitur selaku konsumen. Ketika utang
tersebut jatuh tempo, perusahaan tersebut melakukan penagihan dengan
cara mengintimidasi dan lebih jauh mengancam akan menyebarkan data
pribadi debitur di media sosial sehingga menimbulkan suatu ancaman
tersendiri bagi keselamatan dan tercederainya perlindungan hukum
debitur. Faktanya, tidak hanya debitur saja yang mengalami ancaman
maupun intimidasi oleh perusahaan Fintech P2PL tersebut, tetapi juga
kepada teman hingga kerabat, keluarga debitur yang bahkan acapkali
dianggap sebagai penanggung jawab pada pembayaran utang debitur.
Permasalahan ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan Fintech
P2PL illegal saja, tetapi juga termasuk yang telah terdaftar dan memiliki
izin beroperasi dari OJK. Salah satu platform Fintech P2PL yang
27 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan.
75
bermasalah tersebut misalnya pada platform Fintech P2PL RupiahPlus
yang diluncurkan oleh PT Digital Synergy Technology. Seseorang
bernama Tanti Tarry terkejut ketika mendapat pesan dengan kata kasar,
menyiratkan intimidasi dan/atau ancaman pada aplikasi Whatsapp dan
meminta untuk menyampaikan pesan kepada temannya bernama Nugraha
agar melunasi utang yang dipinjam dari platform RupiahPlus.28
Padahal,
dalam ketentuan Pasal 39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi menyebutkan, bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang
dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai
konsumennya kepada pihak ketiga.”
Sebagai respon atas kegelisahan dan keresahan masyarakat
khususnya korban Fintech P2PL terdapat pengaduan atau laporan secara
masif ke kepolisian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maupun Yayasan
Lembaga Konsumen atas kerugian yang mereka alami. LBH Jakarta pada
November 2018 lalu membuka laporan dan pengaduan dari masyarakat
yang dirugikan perusahaan Fintech P2PL dan menerima laporan sebanyak
1.330 korban Fintech P2PL, serta mendapatkan 14 kasus dugaan
pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian, LBH
Jakarta per 23 Maret 2019 telah menerima sekitar 3000 aduan korban
Fintech P2PL yang mereka terima sejak Mei 2018.29
Khusus bagi perusahaan Fintech P2PL illegal, OJK tidak tinggal
diam menghadapi permasalahan ini. Melalui Satgas Waspada Investasi
OJK yang bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika
telah melakukan pemblokiran terhadap layanan Fintech P2PL illegal yang
masih beredar di Indonesia. Sepanjang tahun 2018 lalu, Kementerian
Komunikasi dan Informatika telah memblokir 738 situs dan aplikasi
Fintech P2PL, diantaranya sebanyak 527 aplikasi Fintech P2PL illegal
yang beredar di Google Play Store, sementara website Fintech P2PL
illegal sebanyak 211 website.30
Sedangkan, bagi perusahaan Fintech P2PL yang terdaftar, OJK
memberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Pasal 47
28 Data Wawancara Bersama Salah Satu Korban Fintech P2PL, Tanti Tarry.
29
Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, diterima dari
website https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ , diakses pada
27 Desember 2019, Pukul 04.00 BBWI.
30 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa
Keuangan.
76
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Tindakan pemblokiran tersebut dianggap tidak maksimal, karena
perusahaan Fintech P2PL illegal tetap menjamur secara sporadik,
ditambah perusahaan Fintech P2PL illegal tersebut memberikan
penawaran pinjaman uang kepada masyarakat,baik melalui aplikasi yang
terdapat pada Google Play Store, Website, maupun SMS. Artinya, setelah
pemblokiran, besok dapat muncul lagi dengan jumlah lebih banyak dan
seterus-seterusnya. Contohnya, kasus Vloan sebagai perusahaan Fintech
P2PL illegal memiliki banyak nama ketika aplikasi diblokir, yakni
Supermash, Rupiah Cash, Super Dana, Pinjaman Plus, dan lain-lain.31
Otoritas Jasa Keuangan mengatakan, bahwa pengawasan yang dilakukan
secara terbatas pada perusahaan Fintech P2PL yang terdaftar saja, tidak
yang illegal. Ketentuan sanksi dalam POJK tersebut juga dianggap belum
maksimal karena baru sebatas administrasi berupa pencabutan izin.
Berdasarkan aduan-aduan yang telah diterima, LBH Jakarta
mengidentifikasi banyaknya bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi
manusia terhadap korban pengguna (debitur) Fintech P2PL yang
dilakukan oleh pihak penyelenggara Fintech P2PL illegal dan yang legal,
maupun kreditur Fintech P2PL, yang meliputi namun terbatas pada:32
1).
Penyebaran data pribadi melalui media elektronik (Pasal 32 jo. Pasal 49
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik); 2). Pengancaman (Pasal 368 KUHP); 3). Penipuan (Pasal 378
KUHP); Fitnah (Pasal 311 Ayat (1) KUHP); dan 5). Pelecehan seksual
melalui media elektronik (Pasal 27 ayat (1)) jo. Pasal 45 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik).
Adapun tindak lanjut OJK terhadap problematika hukum tersebut
selaku regulator dan pengawas pada layanan Fintech P2PL menghimbau
masyarakat agar berhati-hati dan cermat dalam menggunakan layanan
platform pinjaman online Fintech P2PL ini. Dari hasil investigasi OJK,
banyaknya aduan disebabkan oleh banyaknya Fintech P2PL illegal yang
tidak berizin dan terdaftar di OJK yang melakukan pelanggaran atau
31 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa
Keuangan.
32
Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, diterima dari
website https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ , diakses pada
27 Desember 2019, Pukul 04.00 BBWI.
77
tindak pidana yang merugikan korban. Lebih lanjut, pihak OJK
menambahkan apabila di kemudian hari masyarakat menemukan
tindakan pelanggaran terhadap kegiatan penyelenggaraan layanan Fintech
P2PL agar menyampaikan aduan/laporan kepada OJK. Adapun perihal
pengaduan debitur disampaikan kepada OJK melalui; 1). Sarana surat
tertulis, konsumen dapat menyampaikan aduan/laporan melalui surat
tertulis yang ditujukan kepada Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Menara Radius
Prawiro, Lantai 2 Komplek Perkantoran Bank Indonesia Jalan M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10350; 2). Sarana Telepon di Nomor 157
pada jam operasional kerja dari Senin sampai dengan Jumat, Pukul 08.00-
17.00 WIB; dan 3). Sarana formulir pengaduan online dalam formulir
elektronik yang tersedia pada website
http://konsumen.ojk.go.id/FormPengaduan.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR DAN
KREDITUR FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO
PEER LENDING MENURUT PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 77/POJK.01/2016
A. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Fintech P2PL Menurut
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi di
Indonesia
Urgensi perlindungan hukum terhadap debitur sebagai konsumen
dalam penyelenggaraan layanan Fintech P2PL menjadi hal yang amat
krusial. Mengingat dari perkembangan hari ke hari banyak korban yang
timbul dari penyelenggaraan layanan Fintech P2PL ini. Pada dasarnya,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui media elektronik yang berbasis
teknologi informasi, penting untuk didukung dan ditunjang oleh
instrumen hukum yang mumpuni dalam rangka melindungi masyarakat.
Maka dari itu, debitur yang menggunakan layanan Fintech P2PL sudah
selayaknya dilindungi secara hukum dalam regulasi terhadap teknologi
informasi yang memadai. Selain itu, juga diperlukan kemampuan dari
aparat penegak hukum (legal structure), kesadaran hukum masyarakat
(legal culture), dan sarana-prasarana yang menunjang dalam proses
penegakan hukum di bidang teknologi informasi.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki layanan
Fintech P2PL, aspek perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL
selaku konsumen menjadi hal penting yang harus diberikan sejalan
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi informasi, kebijakan
pemerintah yang menjadi motor penggerak, regulator dan pengawasnya,
demi menunjang produktifitas, fleksibilitas, dan efesiensi Fintech P2PL
dalam menyelenggarakan kegiatan pada sektor jasa keuangan
sebagaimana mestinya. Untuk mencapai upaya tersebut, telah jelas bahwa
dampak yang akan dirasakan, baik secara langsung maupun tidak
langsung ialah berdampak penuh kepada para debitur selaku konsumen
layanan Fintech P2PL.
Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
77
78
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Dalam hal ini, debitur Fintech P2PL adalah konsumen yang dilindungi
hak-haknya oleh Undang-Undang sebagaimana yang diamanatkan pada
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa “hak konsumen adalah
: a). hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b). hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c). ha katas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa; d). hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e). hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut; f). hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen; g). hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; h). hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya; dan i). hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Banyak masyarakat pengguna layanan Fintech P2PL yang menjadi
korban dalam layanan P2PL dimana haknya sebagai konsumen dilanggar
dan dicederai hak asasinya, karena minimnya pengetahuan akan risiko-
risiko yang timbul dalam menggunakan layanan Fintech P2PL. Hal
tersebut tidak terlepas dari rendahnya edukasi terhadap literasi keuangan
di kalangan masyarakat Indonesia umumnya. Terlebih, dengan tingginya
akses teknologi informasi yang memudahkan masyarakat terbuai oleh
penawaran-penawaran yang ditawarkan oleh layanan pada platform
Fintech P2PL dengan produk pinjaman yang mudah dijangkau
masyarakat baik yang unbankable maupun yang bankable dimana salah
satu yang membuat masyarakat menggunakan layanan Fintech P2PL
adalah mudahnya mengajukan dana pinjaman tanpa menyertai jaminan.
Namun demikian, di balik semua itu mereka tidak mengetahui risiko-
risiko yang timbul pada penggunaanya.
Keberadaan hukum sebagai aturan (rule of law) berbanding lurus
dengan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem
hukum yang berlaku. Tidak adanya ketentuan hukum yang efektif di
masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak pernah dikomunikasikan
dengan baik atau sampai pada masyarakat. Mengikuti pendapat mengenai
79
sistem hukum nasional, maka keberadaan sistem informasi hukum dapat
ditempatkan sebagai komponen keempat dalam sistem hukum nasional
yang selama ini dikenal terdapat tiga komponen, yaitu substansi, struktur
dan budaya hukum. Secara teoritis, komponen ini akan mengurangi
ketimpangan antara rule of law dengan social behavior dalam masyarakat.
Semua debitur Fintech P2PL selaku konsumen berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari setiap penyelenggara maupun
kreditur Fintech P2PL sebagai salah satu sumber pembiayaan berbasis
teknologi informasi. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Selanjutnya, dalam upaya perlindungan debitur Fintech P2PL
terdapat beberapa aspek yang perlu dikaji, meliputi hak dan kewajiban
konsumen, debitur yang harus dilindungi dari tindakan para
penyelenggara dan/atau kreditur dalam kegiatan Fintech P2PL yang
menimbulkan kerugian bagi debitur sebagai konsumen. Aspek penting
lain yang perlu dikaji ialah pengakuan dan kepastian hukum dalam proses
penyelenggaraan Fintech berbasis P2PL jika mengalami kerugian baik
formil maupun materil, bahkan cenderung ke arah perbuatan melawan
hukum atau mengandung unsur tindak pidana.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memaparkan dan
membahas terkait penerapan perlindungan hukum bagi debitur Fintech
P2PL, baik dari aspek hukum, perlindungan konsumen, kelaikan
instrumen teknologi informasi yang digunakan dalam kegiatan Fintech
P2PL, kaitannya dengan sejauh mana Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi mengatur perlindungan hukum terhadap
debitur dalam penyelenggaraan Fintech P2PL dan bagaimana
pertanggungjawaban kreditur dan/atau penyelenggara Fintech P2PL
dalam menyelesaikan sengketa konsumen dilihat dari perspektif Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi beserta regulasi
terkait penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer Lending.
Peran Fintech P2PL sebagai salah satu sumber pembiayaan di
samping memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi debitur
Fintech P2PL selaku konsumen juga memiliki berbagai risiko maupun
kerawanan. Potensi risiko yang dapat terjadi pada debitur Fintech P2PL
yang menjadi problematika dalam penyelenggaraan layanan Fintech
P2PL, diantaranya 1). Maraknya layanan Fintech P2PL illegal (tidak
80
terdaftar dan tidak berizin di OJK); 2). Penerapan bunga pinjaman yang
tinggi dan tanpa batasan; 3). Mekanisme penagihan pinjaman oleh
kreditur dengan orang yang berbeda-beda kepada debitur Fintech P2PL,
dan acapkali melakukan penagihan pinjaman terhadap debitur dengan
unsur ancaman, intimidatif, fitnah, hingga kekerasan kepada debitur
Fintech P2PL yang termasuk dalam kategori unsur tindak pidana; 4).
Penyalahgunaan data pribadi debitur Fintech P2PL oleh kreditur; 5).
Minimnya transparansi pada portal data sistem yang disediakan oleh
platform layanan Fintech P2PL terkait perkembangan jumlah angka
bunga pada pinjaman, perkembangan platform/aplikasi yang sering error
yang mengakibatkan kesulitan bagi debitur Fintech P2PL dalam
membayar tagihan, maupun pembayaran tagihan pinjaman oleh debitur
Fintech P2PL yang tidak terdata pada sistem platform Fintech P2PL
padahal sudah dibayar; 6). Domain wilayah kantor pihak penyelenggara
dan/atau kreditur Fintech P2PL yang berada di luar kedaulatan hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyulitkan debitur Fintech
P2PL untuk melakukan penyelesaian sengketa dalam kegiatan ini; dan
potensi risiko ataupun kerawanan lainnya yang terkait dalam
penyelenggaraan Fintech P2PL.
Menyoal berbagai problematika yang timbul dalam
penyelenggaraan layanan Fintech P2PL di atas, peneliti memaparkan
beberapa respon OJK melalui hasil audiensi dan wawancara kepada
Bapak Munawar Kasan selaku Deputi Direktur Bidang Pengaturan,
Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology mengakui banyak
masih banyak kekurangan dalam penyelenggaraan Fintech P2PL di
Indonesia. Namun, OJK sebagaimana tugas dan fungsinya sebagai
regulator dan pengawas terhadap penyelenggaraan kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2PL) ini
senantiasa terus berkomitmen dan berupaya maksimal dalam menaungi
dan memberikan edukasi, serta perlindungan konsumen kepada
masyarakat.
Menyikapi problematika hukum yang berkembang di masyarakat,
khususnya pada debitur Fintech P2PL selaku konsumen, oleh karena
banyaknya bentuk pelanggaran yang cenderung berpotensi ke ranah
tindak pidana dalam proses penyelenggaraan Fintech P2PL, Otoritas Jasa
Keuangan membentuk tim Satgas Waspada Investasi (SWI) sebagai
langkah kongkrit guna mengatasi tingginya angka pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak penyelenggara dan/atau kreditur
Fintech P2PL.
81
Berkenaan dengan pembentukan Satgas Waspada Investasi yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator dan pengawasan
pada kegiatan sektor jasa keuangan non-bank pada penyelenggaraan
layanan Fintech P2PL ini sejatinya terbatas pada menyidak, menindak,
dan memberikan sanksi kepada pihak penyelenggara platform Fintech
P2PL yang legal saja. Artinya, Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini
sebagaimana amanat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi hanya memberikan edukasi dan perlindungan hukum
terhadap konsumen dirugikan oleh penyelenggara layanan Fintech P2PL
yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan.
Lebih lanjut, pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi Bab II Tentang Penyelenggara Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Bagian Kesatu Tentang
Badan Hukum, Kepemilikan, dan Permodalan Pasal 2 hingga Bagian
Ketujuh Kualifikasi Sumber Daya Manusia Pasal 14, secara garis besar
diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dimiliki oleh pihak
penyelenggara layanan Fintech P2PL untuk dapat memenuhi unsur-unsur
sebagai pelaku usaha jasa keuangan sektor Fintech sebagai berikut.
BAB II
PENYELENGGARA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, dan Permodalan
Pasal 2
(1) Penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
(2) Badan Hukum penyelenggara berbentuk :
a. Perseroan terbatas; atau
b. Koperasi
Pasal 3
(1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf a, dapat
didirikan dan dimiliki oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
dan/atau
b. Warga negara asing dan/atau badan hukum asing.
82
(2) Kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara asing
dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, baik secara langsung maupun tidak langsung paling
banyak 85% (delapan puluh lima persen).
Pasal 4
(1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas
wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran.
(2) Penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi wajib
memiliki modal sendiri paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran.
(3) Penyelenggara wajib memiliki modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau modal sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit Rp. 2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah) pada saat mengajukan
permohonan perizinan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2-4 tersebut dinyatakan, bahwa
Penyelenggara layanan Fintech P2PL merupakan lembaga jasa keuangan
lainnya yang harus berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas
atau koperasi. Untuk kepemilikan badan usaha penyelenggara sendiri
merupakan Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia,
dan Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing yang maksimal
memiliki saham 85% pada badan usahanya. Kemudian, untuk dapat
menjadi penyelenggara Fintech P2PL, maka warga negara Indonesia
ataupun asing dan/atau badan hukum atau koperasi tersebut harus
memenuhi syarat permodalan yaitu modal yang disetor oleh badan usaha
penyelenggara berbentuk modal sendiri maupun perseroan terbatas atau
koperasi minimum Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) saat
mengajukan pendaftaran dan Rp. 2.500.000.000,00 saat mengajukan
perizinan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Sedangkan tataran pelaksanaan kegiatan usaha oleh penyelenggara
pada layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
(Fintech P2PL) tertuang sebagai sebagai berikut:
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha
Pasal 5
83
(1) Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima
Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi
Pinjaman.
(2) Penyelenggara dapat bekerjasama dengan penyelenggara
layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Batasan Pemberian Pinjaman Dana
Pasal 6
(1) Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum
total pemberian dana kepada setiap Penerima Pinjaman.
(2) Batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3) OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas
maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Pendaftaran dan Perizinan
Pasal 7
Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan
kepada OJK.
... dan seterusnya.
Menilik frasa “Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan
perizinan kepada OJK” yang tertuang dalam Bagian Keempat Tentang
Pendaftaran dan Perizinan Pasal 7 di atas, artinya bahwa setiap
penyelenggara yang melakukan kegiatan usaha layanan Fintech P2PL di
Indonesia diwajibkan untuk mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada
OJK selaku regulator dan pengawas dalam penyelenggaraan layanan
Fintech P2PL di Indonesia.
Lalu, pertanyaan yang timbul ialah bagaimana bentuk perlindungan
hukum yang diberikan oleh negara kepada debitur selaku konsumen dalam
Fintech P2PL pada platform penyelenggara Fintech P2PL yang illegal
atau yang tidak terdaftar dan berizin di OJK. Sedangkan problematika
utama yang dihadapi dalam perkembangan pelaksanaan Fintech P2PL hari
ini ialah masifnya penyebaran platform penyelenggara Fintech P2PL
84
ilegal yang telah menjamur di masyarakat, khususnya pengguna layanan
Fintech P2PL ini.
OJK melalui Satgas Waspada Investasi yang berkoordinasi dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika pada November 2018 telah
berhasil memblokir 182 entitas plaform penyelenggara Fintech P2PL
illegal. Data terkini, per November 2019 menunjukkan OJK telah
memblokir 1898 entitas platform penyelenggara Fintech P2PL illegal.1
Fakta tersebut, tentunya harus menjadi perhatian yang serius bagi seluruh
aparatur pemerintah selaku pemangku kepentingan maupun seluruh
elemen yang terlibat dalam proses penyelenggaraan kegiatan usaha
Fintech P2PL, agar tidak menambah korban-korban Fintech P2PL di
kemudian hari.
Terlepas dari hal itu, peneliti menghimpun beberapa fakta
berdasarkan wawancara dengan salah satu korban pada salah satu platform
penyelenggara Fintech P2PL illegal beberapa waktu yang lalu. Korban
Fintech P2PL illegal tersebut bernama Tanti Tarry, kelahiran Sukaraja, 28
Mei 1991, bertempat tinggal di Desa Sedayu, Kecamatan Semaka,
Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Dalam kesehariannya beliau
berprofesi sebagai buruh pabrik tekstil di daerah Cikarang, Jawa Barat.
Berdasarkan penelusuran peneliti, beliau mengalami musibah naas
yang menimpa dirinya pada pertengahan 2017 lalu. Pada awalnya, beliau
pada sela istirahat aktifitasnya kala itu sedang membuka smartphone yang
ia miliki. Saat dirinya mengakses salah satu website resep membuat kue
pada browser di smartphone-nya, seketika muncul iklan pada website
tersebut yang menawarkan pinjaman online. Melihat tawaran pinjaman
online yang dilihatnya dari iklan platform Fintech P2PL illegal tersebut,
tanpa pikir panjang dan melihat dampak risiko yang timbul di kemudian
hari, beliau meng-klik layanan platform Fintech P2PL tersebut karena
tergiur dengan tawaran menarik dimana salah satunya tidak menyertakan
jaminan dan proses pencairan dana yang cepat hanya dengan melakukan
registrasi pendaftaran dan mengisi kolom-kolom ketentuan pada platform
layanan Fintech P2PL illegal, lalu mengklik ketentuan persetujuan online
pada platform layanan Fintech P2PL illegal tersebut, serta melampirkan
foto E-KTP saja. Terlebih, beliau juga sedang membutuhkan dana untuk
kebutuhannya kala itu yang terbilang mendesak sehingga membuatnya
yakin untuk mencoba menggunakan layanan pinjaman uang online yang
ditawarkan oleh platform layanan Fintech P2PL ilegal tersebut.
1 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi Direktur
Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan.
85
Kemudian, korban yang mengaku terjerat pinjaman online ini
menceritakan mulanya besaran pinjaman dana yang diajukan pada layanan
Fintech P2PL illegal tersebut sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
sejak Februari 2017 hingga Juli 2017. Hingga di kemudian hari, hutang
dan bunga yang harus dibayar mencapai lebih dari Rp. 68.000.000,00
(enam puluh delapan juta rupiah). Platform layanan pinjaman online
illegal yang disebutnya “arisan online” dikelola oleh seorang
penyelenggara yang mengaku mewadahi para kreditur/investor dan
membantu memberikan pinjaman kepada peserta lainnya dengan syarat
mengembalikan dalam waktu tertentu dengan nilai tertentu. Tentu saja
dengan nilai pengembalian lebih tinggi dengan bunga yang terbilang
cukup besar dan penalti tambahan.
Seiring berjalannya waktu, Tanti Tarry selaku debitur pada saat itu
gagal membayarkan hutang dan bunga pinjaman online tersebut pada
waktu yang telah ditentukan, maka utang dan bunga tersebut akan secara
otomatis bertambah, ditambah penalti yang terus berjalan. Lebih lanjut,
teman, kerabat keluarga, dan saudara debitur ditagih secara terus-menerus
melalui telepon, chat, atau sms, maupun media sosial Facebook yang
dimiliki oleh teman-teman debitur. Jika tetap tidak membayarkan tagihan
pinjaman, maka pemberi pinjaman (kreditur) pada platform Fintech P2PL
illegal Arisan Online tersebut mengultimatum debitur melalui unit
penagihan yang dimiliki oleh pihak penyelenggara Fintech P2PL Arisan
Online dengan mengintimidasi dan mengancam akan menyerang nama
baik debitur di sosial media jika tidak memenuhi tagihan pinjaman pada
waktu yang telah ditentukan. Lebih jauh lagi, penyelenggara platform
Arisan Online tersebut memiliki kontak-kontak yang ada di ponsel
smartphone debitur dan menyebarkan informasi mengenai debitur yang
gagal bayar dengan menuduh debitur sebagai penipu karena menghindari
pembayaran tagihan pinjaman.
Karena terdesak akan besarnya angka tagihan yang harus
dibayarkan oleh debitur kepada kreditur, kemudian debitur mencari
pinjaman online lain untuk membayar utang, bunga dan penalti tersebut.
Hingga terulang lagi gagal membayar dan terancam kembali atas pinjaman
online kedua di platform Fintech illegal pula, hingga kemudian debitur
mencari pinjaman online ketiga. Begitu seterusnya hingga hutang, bunga,
dan penalti menumpuk dan terus berlipat ganda hingga akhirnya tidak
terbayarkan setelah nilai mencapai lebih dari 300% nilai utang awal.
Besarnya kerugian yang didapati oleh Tanti Tarry sebagai korban layanan
Fintech illegal tersebut membuatnya memutuskan menjual aset tanah
warisan yang dimiliki oleh mendiang kedua orang tuanya di Lampung
untuk memenuhi besaran angka tagihan pinjaman online pada layanan
86
platform Fintech-Fintech P2PL illegal tersebut. Tidak hanya itu, ia juga
terisolir di lingkungan rumahnya di Lampung. Hingga pada akhirnya,
sejak akhir 2018 hingga kini beliau merantau di Tangerang untuk bekerja
sebagai buruh pabrik dan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.2
Berdasarkan keterangan-keterangan fakta pengakuan oleh korban
pada layanan Fintech illegal tersebut, peneliti berpendapat bahwa tidak
dapat dipungkiri bahwa problematika dalam penyelenggaraan Fintech
berbasis Peer To Peer Lending di Indonesia menjadi hal yang amat krusial
dan menjadi isu strategis yang harus segera diselesaikan agar tidak muncul
di kemudian hari korban-korban berikutnya dari penggunaan platform
layanan Fintech P2PL yang legal maupun juga yang illegal, meskipun
belum ada ketentuan regulasi yang mengaturnya.
Sehubungan dengan fakta hukum yang terjadi pada korban tersebut
di atas, sejatinya tidak hanya ditemui pada layanan Fintech P2PL yang
illegal saja, melainkan juga dilakukan oleh penyelenggara dan kreditur
Fintech P2PL yang berizin dan terdaftar di OJK juga. Hal ini diamini oleh
Bapak Munawar Kasan selaku Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan
Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan yang
menyebutkan bahwa terdapat beberapa platform penyelenggara Fintech
P2PL yang legal mendapat sanksi administratif dari OJK setelah terbukti
melakukan pelanggaran sebagaimana ketentuan Bab X Tentang Larangan
Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan kegiatan usaha,
Penyelenggara dilarang: a. melakukan kegiatan usaha selain kegiatan
usaha Penyelenggara yang diatur dalam Peraturan OJK ini; b. bertindak
sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman; c. memberikan
jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; d.
menerbitkan surat utang; e. memberikan rekomendasi kepada Pengguna;
f. mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan; g.
melakukan penawaran layanan kepada Pengguna dan/atau masyarakat
melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Pengguna; dan h.
mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas pengajuan pengaduan.”
Ketentuan Bab X Tentang Larangan Pasal 43 tersebut belumlah
mampu menjadi koridor dalam rangka mencegah segala bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Fintech P2PL. Hal ini
dilandasi oleh beberapa faktor, salah satunya yakni kompleksitas dalam
problematika yang timbul dari penyelenggaraan layanan Fintech P2PL
mengingat kegiatan yang berbasiskan teknologi informasi bersifat dinamis,
2 Data wawancara peneliti dengan Korban Fintech P2PL illegal, Tanti Tarry.
87
terlebih komponen perangkat hukum yang ada belum menjamin adanya
perlindungan dan kepastian hukum dalam memproteksi para pihak
kegiatan ini.
Problematika yang kerap kali timbul bagi debitur Fintech P2PL ini
diantaranya banyaknya jumlah platform layanan Fintech P2PL illegal
yang mewabah di masyarakat. Fenomena menjamurnya penyelenggara
Fintech P2PL ini bak mati satu tumbuh seribu. Ketika OJK dan
Kemenkominfo memblokir platform mereka, maka di kemudian hari
mereka menciptakan platform baru sejenis dengan nomenklatur nama lain
dan siklus tersebut selalu berulang. Sesungguhnya, hal ini berdampak
besar pada kelangsungan penyelenggaraan Fintech P2PL yang
menimbulkan risiko-risiko atau kerawanan-kerawanan pada debitur
Fintech P2PL yang praktis merugikan debitur Fintech P2PL selaku
konsumen.
Wujud kongkrit dari potensi risiko atau kerawanan yang
disebabkan oleh maraknya perusahaan penyelenggara Fintech P2PL
illegal ini diantaranya; Pertama, Regulator/pengawas, tidak ada regulator
khusus yang bertugas mengawasi kegiatan Penyelenggara Fintech P2PL
illegal, sedangkan Penyelenggara Fintech P2PL yang terdaftar/berizin di
OJK berada dalam pengawasan OJK berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
sehingga sangat memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
Kedua, identitas perusahaan penyelenggara Fintech P2PL illegal
yang fiktif. Pada umumnya perusahaan yang bergerak di bidang apapun
akan terbuka perihal identitas perusahaan yang mencakup pengurus, lokasi
domisili kantor, serta status perusahaan, namun pada perusahaan
penyelenggara Fintech P2PL illegal, data pengurus direksi dan komisaris
penyelenggara fiktif, kemudian alamat kantor domisili perusahaan Fintech
P2PL illegal tidak jelas keberadaannya yang seringkali menyulitkan
debitur selaku konsumen Fintech P2PL dalam melakukan pengaduan atau
pelaporan ke pihak kepolisian maupun OJK.
Selain itu, banyak temuan fakta bahwa perusahaan penyelenggara
layanan Fintech P2PL illegal ini mencatut nama OJK, dimana seolah-olah
platform pada perusahaan Fintech P2PL illegal ini dianggap sebagai
penyelenggara Fintech P2PL yang telah terdaftar dan berizin di OJK. Hal
ini membuat banyak Fintech P2PL illegal yang berhasil mengelabui
masyarakat untuk menggunakan layanan Fintech P2PL illegal tersebut.
Untuk itu, debitur Fintech P2PL yang hendak menggunakan jasa layanan
Fintech P2PL patut mencermati dengan baik dan mengkonfirmasi
88
validitasnya pada portal resmi OJK mengenai legalitas perusahaan
penyelenggara Fintech P2PL tersebut.
Ketiga, bunga dan denda yang tinggi. Penyelenggara Fintech P2PL
illegal mengenakan besaran bunga dan denda yang sangat besar dan tidak
transparan. Sementara, pada layanan penyelenggara Fintech P2PL legal
yakni yang terdaftar dan berizin di OJK diwajibkan memberikan
keterbukaan informasi mengenai bunga, dan denda maksimum yang dapat
dikenakan kepada debitur. OJK memang tidak menetapkan bunga pada
kegiatan penyelenggaraan layanan Fintech P2PL dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, akan tetapi Asosiasi
Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatur bunga maksimum
0,8% per hari dan total seluruh biaya yang dikenakan termasuk besaran
denda adalah 100% dan tidak boleh melebihi 100% dari nilai pokok
pinjaman yang diajukan oleh debitur. Artinya, jumlah biaya pinjaman dan
pokok pinjaman tidak akan bertambah.
Keempat, mekanisme penagihan pinjaman pada layanan
penyelenggara Fintech P2PL illegal dilakukan secara intimidatif,
ancaman, serta mengarah kepada unsur tindak pidana, seperti kekerasan
fisik maupun seksual. Sisi lain yang membuat hal tersebut dapat terjadi,
tidak terlepas dari faktor banyaknya debitur yang mencoba menghindari
penagihan (collection) pinjaman atau debitur tidak mampu membayar
tagihan pinjaman (kredit macet) pada batas waktu yang telah ditentukan
hingga jatuh tempo, sehingga penyelenggara Fintech P2PL illegal melalui
Debt Collector atau unit penagihan dari penyelenggara maupun kreditur
Fintech P2PL melakukan upaya penagihan yang disertai tindakan
melawan hukum, seperti melakukan ancaman, meneror baik secara tidak
langsung melalui telepon berkali-kali, maupun langsung dengan intimidasi
maupun kekerasan, dan bahkan menyalahgunakan data pribadi debitur,
guna meretas kontak data pribadi debitur maupun menyebar konten asusila
milik debitur ke publik.
Berdasarkan investigasi dan penelusuran peneliti melalui kegiatan
audiensi dan wawancara dengan Bapak Sardjito. selaku anggota Satgas
Waspada Investasi diperoleh beberapa data kasus yang diperoleh Satgas
Waspada Investasi terkait Fintech P2PL illegal berdasarkan laporan dari
Badan Reserse Kriminal Polri kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bareskrim
menangkap empat tersangka yang menjadi Debt Collector di balik meja
perusahaan penyelenggara platform Fintech P2PL asing asal Republik
Rakyat Tiongkok, PT Vcard Technology Indonesia (Vloan) sebagai
perusahaan Fintech P2PL illegal. Para Debt Collector ini menagih utang
89
kepada debitur uang dengan cara menyebar konten asusila untuk menakut-
nakuti debitur.3
Permasalahan ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan Fintech
P2PL illegal saja, tetapi juga termasuk yang telah terdaftar dan memiliki
izin beroperasi dari OJK. Salah satu platform Fintech P2PL yang
bermasalah tersebut contohnya ialah RupiahPlus yang diluncurkan oleh PT
Digital Synergy Technology. Lebih lanjut, berkenaan dengan kasus
tersebut korban pada layanan platform Fintech P2PL legal RupiahPlus
sebagaimana yang disebutkan di atas kerap kali mendapat pesan dengan
kata kasar, menyiratkan intimidasi dan/atau ancaman pada aplikasi
Whatsapp dan meminta untuk menyampaikan pesan kepada keluarga,
kerabat hingga teman debitur agar melunasi utang yang dipinjam dari
platform pinjaman online RupiahPlus tersebut.
Padahal, ketentuan Pasal 39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi menyebutkan, bahwa “(1) Penyelenggara
dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi
mengenai Pengguna kepada pihak ketiga; (2) Larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. Pengguna memberikan
persetujuan secara elektronik; dan/atau b. diwajibkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan; (3) Pembatalan atau perubahan
sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik
oleh Pengguna dalam bentuk Dokumen Elektronik.” Dengan ketentuan ini,
maka jelas pelaku usaha jasa keuangan pada layanan Fintech P2PL, baik
pihak penyelenggara maupun kreditur Fintech P2PL dilarang dengan cara
apapun untuk memberikan data dan/atau informasi mengenai
konsumen/debitur kepada pihak ketiga.
Secara nyata, mekanisme penagihan pinjaman pada layanan
Fintech P2PL yang banyak menimbulkan kerugian bagi debitur pengguna
layanan Fintech P2PL, khususnya yang illegal telah membuka tabir fakta
bahwa cara penagihan yang dilakukan oleh penyelenggara layanan Fintech
P2PL illegal melakukan penagihan dengan cara-cara yang kasar,
cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan
ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
3 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Sardjito selaku anggota Dewan Pakar
Fintech Indonesia, dan Deputi Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen
Otoritas Jasa Keuangan.
90
Maraknya fenomena perusahaan penyelenggara Fintech P2PL
illegal kerap melakukan penagihan utang kepada debitur secara intimidatif
dan melanggar hak privasi dari debitur selaku konsumen. Ketika utang
tersebut jatuh tempo, perusahaan tersebut melakukan penagihan dengan
cara mengintimidasi dan lebih jauh mengancam akan menyebarkan data
pribadi debitur di media sosial sehingga menimbulkan suatu ancaman
tersendiri bagi keselamatan dan tercederainya perlindungan hukum bagi
debitur Fintech P2PL. Faktanya, tidak hanya debitur saja yang mengalami
ancaman maupun intimidasi oleh perusahaan penyelenggara Fintech P2PL
illegal tersebut, tetapi juga kepada teman hingga keluarga debitur dan
bahkan acapkali dianggap sebagai penanggung jawab pada pembayaran
utang debitur Fintech P2PL.
Kelima, besarnya angka penyalahgunaan data pribadi debitur.
Platform penyelenggara Fintech P2PL illegal akan meminta akses dan
menyalin seluruh data kontak pribadi yang ada dalam handphone debitur
yang kemudian disalahgunakan untuk melakukan penagihan, sedangkan
pada layanan penyelenggara Fintech P2PL legal hanya diizinkan
mengakses Camera, Microphone, dan Location pada handphone debitur.
Pada praktiknya, layanan perusahaan penyelenggara Fintech P2PL legal
memiliki proses pengecekan secara detail terlebih dahulu mengenai
formulir yang diajukan debitur, baik dari identitas pribadi debitur beserta
kelengkapan persyaratan lainnya guna mengajukan pencairan dana.
Setelah tahapan proses data formulir pengajuan tersebut sudah
terkonfirmasi dengan validitas data yang dapat dipertanggungjawabkan,
baru kemudian dapat dicairkan dana pinjaman yang diajukan oleh
penyelenggara Fintech P2PL legal kepada debitur.
Sejatinya, OJK selaku regulator dan pengawas dalam
penyelenggaraan layanan kegiatan Fintech P2PL telah mengatur terkait
pencegahan terhadap penyalahgunaan data pribadi debitur melalui Tata
Kelola Sistem Informasi yang tertuang pada Pasal 25-28 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dimana Penyelenggara Fintech P2PL wajib:
1). Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data
transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga
data tersebut dimusnahkan; 2). Memastikan tersedianya proses autentikasi,
verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam
mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi,
dan data keuangan yang dikelolanya; 3). Menjamin bahwa perolehan,
penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi,
dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan
persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan,
91
kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; 4).
Menyediakan media komunikasi lain selain sistem layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi guna memastikan
kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call
center, atau media komunikasi lainnya; dan 5). Memberitahukan secara
tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan
tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data
pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya.
Selain ketentuan POJK tersebut, penyalahgunaan data pribadi
debitur ini dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut
beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum postif di
Indonesia yaitu pada ketentuan Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dikatakan bahwa, “Penggunaan
informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi harus
atas persetujuan orang yang bersangkutan, kecuali ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan.” Lalu, pada ketentuan Pasal 26 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa, “Setiap orang yang dilanggar haknya tersebut
dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).”
Dan ditegaskan pula pada Pasal 1 Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data
Pribadi Dalam Sistem Elektronik mengatur bahwa, “Data pribadi adalah
data perseorang tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran
serta dilindungi kerahasiannya, sedangkan data perseorangan tertentu
adalah setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat
diidentifikasi, baik langsung maupun tidak langsung pada masing-masing
individu yang pemanfaatannya sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.” Sehingga dapat dikatakan bahwa identitas dalam melakukan
perjanjian pinjaman Fintech P2PL termasuk dalam kategori data pribadi
yang dimiliki oleh debitur pada penyelenggaraan Fintech berbasis Peer to
Peer Lending. Kemudian, pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik mengatur mengenai
perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik melingkupi
perlindungan pada saat: 1). Perolehan dan pengumpulan; 2). Pengolahan
dan penganalisisan; 3). Penyimpanan; 4). Penampilan, pengumuman,
pengiriman, penyebarluasan, dan/atau pembukaan akses; dan 5).
Pemusnahan.
92
Selanjutnya, dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data
Pribadi Dalam Sistem Elektronik menegaskan bahwa penyelenggara
Fintech P2PL selaku pelaku usaha jasa keuangan yang menyelenggarakan
usaha berbasis teknologi informasi diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan
data konsumen dalam hal ini debitur Fintech P2PL sejak data diperoleh
hingga data tersebut dimusnahkan. Adapun kewajiban penyelenggara
Fintech P2PL dalam rangka melakukan perlindungan data pribadi
berdasarkan asas perlindungan terhadap data pribadi yang baik, meliputi:
1). Penghormatan terhadap data pribadi sebagai privasi; 2). Data pribadi
bersifat rahasia sesuai persetujuan dan/atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; 3). Berdasarkan persetujuan; 4). Relevansi
dengan tujuan perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisa,
penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,dan penyebarluasan;
5). Kelaikan sistem elektronik yang digunakan; 6). Itikad baik untuk
segera memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi atas
setiap kegagalan perlindungan data pribadi; 7). Ketersediaan aturan
internal pengelolaan perlindungan data pribadi; 8). Tanggung jawab atas
data pribadi yang berada dalam pengawasan pengguna; 9). Kemudahan
akses dan koreksi terhadap data pribadi oleh pemilik data pribadi; dan 10).
Keutuhan, akurasi, dan keabsahan, serta kemutakhiran data pribadi.
Dalam upaya perlindungan terhadap debitur, OJK telah melakukan
pelbagai upaya langkah kongkrit. Salah satunya ialah melakukan
penindakan terhadap oknum penyelenggara maupun kreditur Fintech
P2PL yang terindikasi dan terbukti melakukan ketentuan-ketentuan
larangan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Khusus bagi perusahaan Fintech P2PL illegal, OJK
tidak tinggal diam menghadapi permasalahan ini. Melalui Satgas Waspada
Investasi, OJK bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan
Informatika telah melakukan pemblokiran terhadap layanan Fintech P2PL
illegal yang masih beredar di Indonesia. Sepanjang tahun 2018 lalu,
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir 738 situs dan
aplikasi Fintech P2PL, diantaranya sebanyak 527 aplikasi Fintech P2PL
illegal yang beredar di Google Play Store, dan 211 website Fintech P2PL
illegal.
Sedangkan bagi perusahaan Fintech P2PL yang terdaftar dan
berizin, OJK memberikan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 47
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yaitu
93
berupa sanksi administratif berupa, peringatan tertulis, denda, pembatasan
kegiatan usaha, dan cabut izin usaha.
Dengan demikian, peneliti berpendapat bahwa tindakan penegakan
hukum berupa sanksi administratif tidak membuat efek jera terhadap
perusahaan penyelenggara dan kreditur pada layanan Fintech P2PL
sehingga belum menciptakan perlindungan, ketertiban, dan kepastian
hukum terhadap debitur sebagai konsumen layanan Fintech P2PL.
berdasarkan fakta-fakta yang beberapa di antaranya peneliti peroleh di
lapangan, problematika penyelenggaraan Financial Technology berbasis
Peer-To-Peer Lending amat kompleks, dimana dalam
penyelenggaraannya belum terintegrasi dengan baik, serta belum adanya
lex specialis (Undang-Undang) sebagai payung hukum bagi konsumen
agar tidak menimbulkan kerugian yang acapkali dialami oleh debitur yang
merenggut perlindungan haknya sebagai konsumen. Hal ini
bersinggungan dengan prinsip kemanusiaan dalam proses penagihan
utang oleh penyelenggara dan/atau kreditur Fintech P2PL yang dikatakan
oleh peneliti sebagai perbuatan yang berkontradiksi dengan prinsip Hak
Asasi Manusia yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28 konstitusi Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejatinya, proses penegakan hukum berkaitan dengan tiga unsur,
yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang mesti dipadukan secara
seimbang. Penegakan hukum adalah upaya untuk mewujudkan
pencapaian tujuan hukum itu sendiri. Untuk mendukung keberhasilan
penegak hukum, maka hal-hal seperti ketersediaan perangkat hukum,
lembaga-lembaga hukum, dan aparat penegak hukum semuanya harus
memadai dan berkualitas baik. Adapun pelaksanaan penegakan hukum
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Faktor hukum; 2.
Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada manusia di
dalam pergaulan hidup.
Penegakan hukum juga memegang peranan penting dalam bidang
ekonomi. Hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kepentingan
ekonomis dari semua pihak yang terkait di dalamnya, bahkan berkaitan
dengan keberhasilan pembangunan ekonomi pada umumnya. Salah satu
upaya melindungi kepentingan ekonomis tersebut ialah memberikan
perlindungan bagi konsumen dalam mengakses layanan jasa keuangan
94
yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara dan kreditur Fintech
P2PL.
Tindakan perusahaan-perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur
pada kegiatan Fintech P2PL, baik yang legal maupun illegal dalam cara
penagihan pinjaman uang kepada konsumen yang mengintimidasi dan
melakukan pengancaman, menyebarkan data pribadi konsumen di media
sosial, serta perbuatan lainnya yang merugikan debitur selaku konsumen
dalam kegiatan Fintech P2PL menurut penulis tidak memperhatikan asas-
asas perlindungan konsumen, khususnya asas keamanan dan keselamatan
konsumen sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Berbagai kemudahan dalam melakukan transaksi pinjaman uang
secara online dalam platform yang diselenggarakan oleh penyelenggara
Fintech P2PL, berupa platform yang dapat diunduh di smartphone
sesungguhnya akan menjadi persoalan hukum, khususnya pengamanan
dalam sistem informasi itu sendiri. Tanpa pengamanan yang ketat dan
canggih, perkembangan teknologi informasi tidak memberikan manfaat
yang maksimal kepada masyarakat. Teknologi digital memungkinkan
penyalahgunaan informasi terjadi dengan mudah, sehingga masalah
keamanan sistem informasi menjadi sangat penting.
Permasalahannya, hal tersebut belum diikuti dengan tindakan
penegakan hukum yang baik oleh lembaga-lembaga terkait, yakni Satgas
Waspada Investasi, selaku bagian dari OJK, Bareskrim Polri dan elemen
terkait lainnya. Efektifitas dari penegakan hukum yang dilakukan oleh
suatu lembaga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
mengapa tindakan penegakan hukum dalam permasalahan ini belum
dijalankan dengan baik, yakni tidak terlepas dari faktor hukum, faktor
penegak hukum, dan faktor masyarakat.
Pertama, faktor sistem hukum (legal substance) merupakan salah
satu faktor utama yang membuat penegakan hukum terhadap tindakan
penagihan pinjaman uang kepada konsumen/debitur yang dilakukan
perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL ini tidak berjalan
dengan baik dan belum mampu mengakomodir debitur dalam rangka
pemenuhan perlindungan hukum pada penggunaan layanan Fintech
P2PL. Peraturan-peraturan yang ada saat ini tidak cukup mumpuni untuk
melindungi kepentingan konsumen hari ini. Ketentuan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai payung
95
hukum bagi debitur sebagai konsumen dalam melakukan transaksi dengan
pelaku usaha di berbagai sektor, salah satunya di sektor jasa keuangan
dalam hal ini pada kegiatan Fintech P2PL jauh dari kata memadai dalam
melindungi kepentingan konsumen saat ini, serta terbatas pada aktifitas
perdagangan yang sifatnya masih tradisional, belum yang menggunakan
teknologi informasi, berupa internet seperti yang terjadi saat ini.
Kasus-kasus dalam tindakan penagihan pinjaman uang seperti yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur
pada kegiatan Fintech P2PL, seperti disebutkan pada pemaparan peneliti
di atas tidak sesuai dengan asas keamanan dan keselamatan konsumen
yang tertuang dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Asas ini berkaitan dengan permasalahan jaminan kerahasiaan data-
data konsumen yang dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Fintech P2PL
dalam tindakan penagihan pinjaman uang kepada konsumen. Tindakan-
tindakan penagihan pinjaman uang kepada konsumen dengan cara
menyebarkan data-data pribadi, seperti nomor telepon, foto, video, dan
lain-lain yang terdapat di smartphone miliki konsumen tanpa seizin dari
konsumen merupakan fakta, bahwa hak-hak yang dimiliki debitur harus
dilindungi oleh perusahaan-perusahaan penyelenggara layanan Fintech
P2PL tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, diantaranya hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan
yang dijanjikan, dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar
dan jujur, serta tidak diskriminatif.
Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi yang diterbitkan oleh OJK, peneliti menilai
ketentuan tersebut memiliki banyak celah dan kelemahan, sehingga belum
mampu mengakomodir segala bentuk aktifitas atau kegiatan dalam
layanan Fintech P2PL. Terlebih, dalam ketentuan POJK tersebut hanya
mengatur pada penyelenggara layanan Fintech P2PL yang legal saja,
mengingat kompleksitas problematika yang timbul bukan hanya dari
penyelenggara yang legal saja, akan tetapi banyak berasal dari
penyelenggara yang illegal. Sehingga, dalam hal ini OJK selaku regulator
dan pengawas, beserta aparatur penegak hukum lain, seperti pihak
kepolisian mengalami kendala dan kesulitan dalam menindaklanjuti
96
kasus-kasus yang berkembang di masyarakat yang menjadi salah satu isu
strategis yang menimbulkan banyak keresahan di masyarakat umum.
Ketentuan Pasal 9 huruf C Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan memuat tentang kewenangan OJK untuk
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lainnya terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang pada kegiatan jasa keuangan. OJK melalui Satgas
Waspada Investasi seharusnya mampu melakukan tindakan penegakan
hukum secara tegas, bukan hanya kepada perusahaan-perusahaan Fintech
P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK saja, melainkan juga kepada
penyelenggara Fintech P2PL yang illegal yang begitu banyak meresahkan
dan merugikan debitur harus ditangani secara serius melalui rekontruksi
perangkat hukum dengan melakukan pembaharuan regulasi yang lebih
holistik, komprehensif, dan tentunya mengakomodir seluruh elemen yang
terlibat dalam kegiatan usaha Fintech P2PL. Mengingat ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang
hanya selevel aturan POJK, maka dibutukan regulasi dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi setara Undang-Undang yang
diharapkan menjadi solusi jangka panjang bagi penyelenggaraan kegiatan
ini yang lebih baik ke depannya. Maka, OJK seharusnya proaktif untuk
menyuarakannya dengan melakukan rekomendasi kepada pemerintah
pusat dan legislatif DPR RI untuk dirumuskan UU mengenai
penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (Fintech P2PL) agar pelaku Fintech P2PL illegal dapat
dikenakan tindak pidana dan dapat diproses hukum oleh aparat penegak
hukum.
Bahwa sebagian besar problematika tersebut muncul, karena
ditengarai salah satunya yaitu minimnya perlindungan data pribadi bagi
pengguna aplikasi pinjaman online. Dengan ini, maka dibutuhkan dan
diperlukan pula ketentuan khusus dalam aturan perundang-undangan
selevel Undang-Undang yang mengatur tentang Perlindungan Data
Pribadi. Semua penyedia layanan jasa keuangan termasuk penyelenggara
Fintech P2PL menjadi tanggung jawab OJK. Adapun dasarnya ialah pada
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang OJK yang menyebutkan bahwa “OJK
melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar
modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.”
97
Kemudian, ketentuan sanksi bagi perusahaan penyelenggara
Fintech P2PL yang melanggar larangan yang diatur POJK Nomor
77/POJK.01/2016 tersebut menurut peneliti tidak menimbulkan efek jera.
Dalam ketentuan Pasal 47 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 menyebutkan
bahwa OJK berwenang memberikan sanksi administratif terhadap
penyelenggara kegiatan sektor jasa keuangan, berupa peringatan tertulis,
denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.
Ketentuan sanksi pada POJK tersebut menurut peneliti terlampau
ringan bagi perusahaan-perusahaan penyelengggara Fintech P2PL
tersebut yang mendorong penyelenggara untuk membuat tindakan-
tindakan penagihan pinjaman uang yang merugikan debitur ini terus
dilakukan berulang-ulang, karena sanksi yang ditetapkan amat ringan.
Selain itu, peneliti menilai pemblokiran terhadap platform Fintech P2PL
ilegalyang disediakan oleh perusahaan penyelenggara Fintech P2PL
ilegal tersebut tidak efektif dalam mencegah penipuan (fraud) terhadap
debitur sehingga merugikan debitur dan mengancam perlindungan hukum
terhadap keamanan dan kenyamanan debitur Fintech P2PL.
Peneliti menyoroti, bahwa POJK yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan konsumen di sektor jasa keuangan yang lain, seperti POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan dalam implementasinya juga tidak mampu melindungi
kepentingan konsumen di sektor jasa keuangan. Regulasi hukum yang
hanya setingkat POJK membuat penegakan hukum terhadap perusahaan-
perusahaan penyelenggara Fintech P2PL ini menjadi sangat terbatas dan
menjadi celah peluang, khususnya bagi perusahaan penyelenggara
Fintech P2PL yang illegal.
Menyoal hal itu, OJK pun mengamini bahwa penegakan hukum
terhadap perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL, khususnya
yang illegal disebabkan karena ketidaklaikan regulasi yang mana
peraturannya masih sebatas level POJK, sehingga sanksinya hanya
sebatas administratif saja, seperti paling berat berupa pencabutan izin.
Berbeda dengan sektor jasa keuangan/finansial lainnya, seperti
perbankan, asuransi, hingga pasar modal yang penegakan hukumnya lebih
mudah, karena memiliki payung hukum kuat yang selevel Undang-
Undang. Dengan belum adanya regulasi hukum yang mumpuni untuk
melindungi kepentingan konsumen/debitur di sektor jasa keuangan dalam
kegiatan Fintech P2PL, maka dapat dikatakan bahwa faktor hukum (legal
substance) menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi dan
menjadi kendala utama dalam proses penegakan hukum, sehingga belum
dapat berjalannya tindakan penegakan hukum yang baik dalam
98
problematika yang timbul dalam penyelenggaran kegiatan Fintech P2PL,
khususnya terkait perlindungan hukum bagi debitur,
Kedua, ialah faktor aparatur penegak hukumnya sendiri.
Terhambatnya proses penegakan hukum, salah satunya karena posisi
server penyelenggara Fintech P2PL yang berada di luar jangkauan
domain hukum Indonesia menjadi hambatan utama dalam proses
penyidikan, dikarenakan belum adanya peraturan hukum setingkat
Undang-Undang yang sedemikian lengkapnya yang dapat mendorong dan
mengakomodir penegak hukum untuk melakukan proses penegakan
hukum sebagaimana mestinya. Peraturan-peraturan yang ada amat
terbatas, yang mana baru setingkat POJK-POJK yang diakui tidak cukup
kuat untuk menghadapi fenomena problematika hukum akibat tindakan
perusahaan-perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur Fintech P2PL,
khususnya yang illegal. Apabila peraturan perundang-undangan sudah
baik, tetapi mentalitas penegak hukum yang kurang baik, maka akan
terjadi hambatan dan gangguan pada sistem penegakan hukum, begitu
juga sebaliknya.
Ketiga, faktor masyarakatnya sendiri. Dengan semakin banyaknya
menjamurnya perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL, baik
yang legal, terlebih yang illegal, seharusnya masyarakat mampu secara
cermat dan selektif dalam memilih platform /aplikasi pinjaman uang
online yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan penyelenggara
Fintech P2PL tersebut. Faktanya, masih banyak masyarakat yang belum
memahami risiko dari menggunakan layanan pinjaman uang online pada
Fintech P2PL ini, terutama yang disediakan oleh perusahaan Fintech
P2PL yang illegal yang acapkali sulit teridentifikasi oleh masyarakat
selaku konsumen karena seringkali melakukan fraud dengan mencatut
nama OJK, seolah-olah publik menganggapnya sebagai penyelenggara
layanan Fintech P2PL legal, padahal ilegal.
Seyogyanya, OJK perlu menyelenggarakan sosialisasi kepada
masyarakat, baik masyarakat pada umumnya, aparatur desa, mahasiswa,
dan elemen lain dalam masyarakat dalam beberapa bulan terakhir,
sebagaimana di beberapa siaran Radio dan Televisi lokal di beberapa
daerah di Indonesia menyajikan tajuk siaran yang membahas Fintech
P2PL. Upaya edukasi yang diberikan OJK kepada masyarakat tersebut,
seharusnya juga diikuti dengan adanya perhatian lebih pemerintah pusat
bersama DPR RI untuk merekontruksi peraturan hukum berupa aturan
selevel Undang-Undang terkait penyelenggaraan Fintech P2PL ini guna
mampu mengakomodir dan melindungi kepentingan masyarakat selaku
konsumen/debitur. Sementara hal tersebut belum sepenuhnya dapat
99
diwujudkan. Masyarakat selaku debitur dituntut memiliki pengetahuan
yang pasti mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sekaligus mitigasi
risiko terhadap dampak yang timbul dari penggunaan layanan Fintech
P2PL. Di samping itu, diperlukan juga edukasi terkait upaya-upaya
hukum untuk memenuhi, mengembangkan, dan melindungi kebutuhan-
kebutuhan finansial mereka berdasarkan aturan yang ada sebagai langkah
preventif yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebelum mengunakan
layanan Fintech P2PL tersebut.
Terhadap permasalahan penyebaran data pribadi yang menjadi
ancaman bagi keamanan debitur, karena seringkali disebarkan
perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL, pemerintah melalui
OJK dapat membentuk regulasi dengan menduplikasi kebijakan Otoritas
Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) sebagai
regulator dan pengawas di sektor jasa keuangan, seperti menerapkan The
Personal Data Protection Act (PDPA). PDPA tersebut ialah suatu regulasi
yang memuat ketentuan bahwa perusahaan penyelenggara layanan
Fintech P2PL wajib memiliki personal data privacy policy yang dapat
diakses oleh publik, persetujuan atas penggunaan data, dan membangun
sistem pengamanan fisik dan sistem untuk menghindari penyalahgunaan
data.
Hal-hal tersebut di atas, tentunya menurut peneliti belum dianggap
sebagai solusi kongkrit, karena belum adanya pengaturan-pengaturan
sanksi yang tegas dalam ketentuan POJK yang menjadi acuan dalam
penyelenggaraan layanan Fintech P2PL, dimana sementara hanya berupa
sanksi administrasi saja dan itupun hanya berlaku pada perusahaan
Fintech P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK. Selain itu, yang tidak
kalah pentingnya di samping legal substance yang belum mumpuni,
penguatan pengawasan yang ketat oleh OJK maupun tim Satgas Waspada
Investasi yang berkoordinasi dengan aparat hukum terkait tindak pidana
siber juga perlu dilakukan dengan cepat.
Tentunya, hal itu dapat dilakukan setelah adanya instrumen hukum,
berupa Undang-Undang terkait penyelenggaraan layanan Fintech P2PL
yang telah dihasilkan di legislatif DPR RI dengan baik bersama
Pemerintah dengan melibatkan unsur-unsur terkait, utamanya OJK, BI,
Bareskrim Polri, Kemenkominfo, dan AFPI, Asosiasi Perusahaan Fintech
P2PL dan elemen stakeholders lain terkait kegiatan usaha Fintech P2PL
ini.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang
menganut sistem hukum European Continental atau Civil Law System
yang mengadopsi hukum kolonialisme Belanda dimana semua hal
100
kegiatan yang kaitannya hubungan hukum dikatakan legal dan diakui
menurut hukum, apabila dinyatakan, tercatat, dan tertulis dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Artinya, jika suatu perbuatan atau
tindakan berkenaan dengan suatu hal yang belum ada aturan hukumnya,
kemudian terjadi suatu problematika hukum, maka tidak dapat
menyelesaikannya oleh karena belum adanya dasar ketentuan hukum
yang mengaturnya (asas legalitas).
Hukum memberikan jaminan dan keamanan dalam kehidupan
sosial, termasuk jaminan dan keamanan kepada debitur Fintech P2PL
terkait kegiatan layanan Fintech P2PL sesuai kaidah hukum yang berlaku.
Peneliti mengutip pernyataan Roger Catterell dalam bukunya, “Sociology
of Law” yang mengatakan bahwa, “Law secures social cohesion and
orderly social change by balancing conflicting interest-individual (the
privateinterest of individual citizens), social (a rising from the common
conditions of social life) and public (specifically the interest of the state).”
Sehubungan dengan hal itu, perlindungan hukum merupakan upaya
mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat atau
konsumen sebagai debitur Fintech P2PL yang sudah semestinya diberikan
perlindungan hukum. Dengan demikian, guna menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap kegiatan Fintech P2PL, maka pemerintah harus
berkomitmen dan berupaya penuh secara maksimal dalam memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat, khususnya pada debitur layanan
Fintech P2PL.
Pengaturan dan struktur pengawasan dalam perlindungan
konsumen di sektor jasa keuangan adalah elemen yang sangat esensial
dari sistem keuangan modern. Kecukupan pemenuhan perlindungan
konsumen, perilaku bertanggung jawab para pelaku usaha dan
kemampuan debitur untuk melindungi kepentingannya di sektor jasa
keuangan berkontribusi penting bagi penguatan dan stabilitas ekonomi
masyarakat di sektor keuangan. Atas dasar itulah, peneliti berpendapat
bahwa perlu menyegerakan untuk dibentuknya regulasi hukum baru yang
secara spesifik selevel dengan Undang-Undang guna mampu berperan
sebagai pengaturan, pengawasan, dan penindakan terhadap perusahaan-
perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur pada layanan Fintech P2PL
yang berprinsip dan beriorentasi pada perlindungan konsumen. Dikatakan
demikian, karena hukum seyogyanya mampu berfungsi sebagai alat
rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dan diproyeksikan
sebagai alat kontrol sosial yang efektif guna memenuhi kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat umum.
101
Salah satu langkah solutif sebagai langkah preventif di samping
rekontruksi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
menjadi produk peraturan perundang-undangan selevel Undang-Undang,
yaitu penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data
Pribadi oleh DPR RI bersama Pemerintah. Sesungguhnya, RUU ini akan
menstimulus OJK dalam melindungi data nasabah dari penyalahgunaan
data pribadi debitur dari penyalahgunaan oleh perusahaan Fintech P2PL
yang illegal maupun yang terdaftar di OJK.
Menurut hemat peneliti, urgensi dibentuk dan diberlakukannya
Undang-Undang Fintech dan Undang Perlindungan Data Pribadi sebagai
suatu kerangka kerja politik hukum untuk rekontruksi hukum yang
berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum) sangatlah penting,
utamanya guna memberikan perlindungan hukum terhadap perlindungan
konsumen ke depan pada penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer
Lending.
Data-data pribadi yang disebarkan secara luas melalui media sosial
tentunya melanggar hak-hak privasi yang dimiliki oleh konsumen dan
tidak sesuai dengan asas keamanan dan keselamatan debitur selaku
konsumen sebagai salah satu asas perlindungan konsumen. Amanat
konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah menjamin hak privasi dari warga negara, sebagaimana yang telah
diatur dalam ketentuan Pasal 28 G Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa
“setiap orang memiliki hak atas perlindungan diri pribadi atas tindakan
atau perbuatan yang dilakukan”.
Konsekuensi logis, menjadi suatu kewajiban Pemerintah dalam
rangka pelayanan penyelenggaraan negara agar warga negara
mendapatkan perlindungan, serta keamanan terkait dengan prinsip hak
asasi manusia yang diyakini dan diamalkan oleh tiap-tiap individu
masyarakat di dunia yang meratifikasi konvensi DUHAM, tidak
terkecuali Indonesia. Hal tersebut mencakup pula pada hak konsumen
dalam melakukan transaksi dengan perusahaan-perusahaan Fintech P2PL
di sektor jasa keuangan dan harus dijamin oleh perusahaan-perusahaan
Fintech P2PL tersebut untuk tidak menyebarkan data-data tersebut tanpa
seizin dari konsumen/debitur yang bersangkutan.
Di sisi lain, peneliti menilai pelbagai kesulitan yang dihadapi oleh
OJK melalui Satgas Waspada Investasi dan Bareskrim Polri dalam
penegakan hukum terhadap tindakan atau perbuatan melawan hukum
dalam penagihan pinjaman uang online yang merugikan debitur dengan
salah satunya menyebarluaskan data-data pribadi debitur ialah bersinergi,
102
berkolaborasi, dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait yang
kompeten dalam bidang cyber security, selain Kemenkominfo, yakni
Badan Siber dan Sandi Negara yang telah dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 Tentang Badan Siber dan Sandi
Negara. Badan ini berfungsi untuk salah satunya melakukan identifikasi,
deteksi, proteksi, dan penanggulangan kejahatan e-commerce, seperti
lolos standar perangkat keras, perangkat lunak, standar tenaga ahli,
keamanan data dan pengelola data.
Adanya BSSN ini, apabila dioptimalkan dengan baik dapat
memberikan rasa aman bagi warga negara yang menjadi
debitur/konsumen dalam transaksi bisnis elektronik, karena keberadaan
pelaku usaha, seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech
P2PL telah disertifikasi oleh Pemerintah dan diawasi langsung oleh
BSSN. Jika perusahaan Fintech P2PL tersebut illegal, maka sebelum
mereka memasarkan produknya kepada debitur/konsumen, maka BSSN
dapat melakukan verifikasi dan mendeteksi server dan pusat keberadaan
perusahaan-perusahaan Fintech P2PL tersebut. Menurut peneliti, hal ini
dinilai sebagai upaya preventif dalam mencegah banyaknya perusahaan-
perusahaan Fintech P2PL, yang kemudian dilaporkan kepada OJK
melalui Satgas Waspada Investasi dan Bareskrim Polri guna dapat
dilakukan tindakan penegakan hukum lebih lanjut.
Upaya pemblokiran dan penindakan yang selama ini dinilai belum
efektif mencegah kemunculan wabah entitas platform Fintech P2PL
illegal dikarenakan perusahaan penyelenggara Fintech P2PL illegal untuk
membuat kembali layanan serupa, meskipun telah diblokir berkali-kali
menurut penulis akan dapat ditangani apabila BSSN turut serta dalam
melakukan deteksi dini terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan
penyelenggara Fintech P2PL illegal yang merugikan konsumen tersebut.
Konsep-konsep tindakan penegakan hukum dalam rangka
melindungi kepentingan debitur di atas terhadap data pribadi dan privasi
mereka sebagaimana yang telah disebutkan di atas juga selain
memperhatikan konsumen, juga harus memperhatikan perusahaan-
perusahaan Fintech P2PL sebagai pelaku usaha di sektor jasa keuangan.
OJK perlu berperan aktif dalam melakukan koordinasi dengan Asosiasi
Fintech Indonesia seperti AFPI dan juga dengan Bareskrim Polri selaku
penegak hukum karena pengaturan dan pengawasannya membutuhkan
upaya bersama, terutama berhadapan dengan perusahaan-perusahaan
Fintech P2PL illegal yang justru merugikan industri Fintech P2PL di
Indonesia.
103
Konsepsi dalam suatu regulasi terkait upaya penegakan hukum dan
pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan Fintech P2PL dalam
kegiatan usahanya kepada konsumen juga harus mendorong adanya
inovasi-inovasi baru dan tidak menghambat perusahaan-perusahaan
tersebut selaku pelaku usaha Fintech P2PL. OJK selaku regulator dan
pengawas di sektor jasa keuangan dapat mencontoh Financial Conduct
Authority (FCA) selaku regulator di sektor jasa keuangan Inggris.
FCA meluncurkan Innovation Hub dan memfasilitasi masuknya
perusahaan dari luar negeri yang inovatif ke Inggris untuk dikembangkan.
Namun, ketika ada perusahaan penyelenggara Fintech P2PL yang tidak
mematuhi aturan sebagaimana yang ditetapkan, seperti perusahaan
mengincar jaminan yang biasanya, berupa rumah dengan harapan
peminjam gagal membayar utang, maka FCA dapat menindak tegas
perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan criminal action. Hal yang
sama dapat diterapkan oleh OJK bekerjasama dengan Bareskrim Polri
untuk dapat menindak tegas perusahaan-perusahaan penyelenggara
Fintech P2PL yang melanggar hak-hak debitur selaku konsumen dalam
penagihan pinjaman uang dengan cara menyebarkan data-data pribadi
debitur. Namun, tentunya diperlukan regulasi yang memadai agar OJK
dan Bareskrim Polri memiliki posisi yang kuat dalam melakukan tindakan
penegakan hukum.
Konsep tindakan penegakan hukum yang harus dilakukan
sebagaimana yang disebutkan di atas menurut peneliti akan efektif dan
menimbulkan efek jera agar tidak terjadi lagi tindakan penagihan
pinjaman uang online yang merugikan hak-hak dari debitur selaku
konsumen. Kemudian, berkenaan dengan mekanisme penyelesaian
sengketa kegiatan usaha Fintech P2PL ini sejatinya belum diatur secara
spesifik oleh OJK, sehingga menyulitkan debitur Fintech P2PL untuk
memperjuangkan haknya, meskipun telah ada ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
OJK selaku regulator dan pengawas di sektor jasa keuangan juga
perlu segera menyusun standar mekanisme pelaksanaan Internal Dispute
Resolution (IDR) dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Termasuk
di dalamnya adalah keberadaan lembaga alternatif penyelesaian sengketa,
jika upaya internal tidak menghasilkan kesepakatan. Adapun tujuannya
agar debitur selaku konsumen pengguna layanan Fintech P2PL
mendapatkan kejelasan atas penanganan pengaduan dan sengketanya
yakni salah satunya pada praktik penagihan pinjaman uang yang tidak
memperhatikan asas-asas perlindungan konsumen.
104
Berdasarkan tinjauan pemetaan terhadap problematika hukum
dalam penyelenggaraan Fintech P2PL peneliti memformulasikan dan
merekomendasikan empat langkah strategis dalam rangka mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul dalam problematika hukum menyangkut
perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL, meliputi pertama,
memperhatikan aspek kelengkapan informasi, keterbukaan informasi
publik, dan transparansi layanan yang ditawarkan oleh penyelenggara
Fintech P2PL yang dikontrol oleh BI, OJK, Kemenkominfo, Bareskrim,
BSSN dan AFPI melalui kanal data terpadu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akuntabel kepada publik. Kedua,
mekanisme penanganan, pengaduan, dan penyelesaian sengketa
berorientasi pada perlindungan konsumen yang ditopang oleh instrumen
dan perangkat hukum yang mapan sebagai wujud nyata dalam
perlindungan hukum bagi debitur Fintech P2PL. Ketiga, keandalan dalam
sistem layanan maupun sistem pengelola layanan, sehingga mampu
menjadi pencegah (preventif) dari bentuk fraud (penipuan) dan
perlindungan data pribadi (cybersecurity) karena sistem sudah terintegrasi
dengan baik. Dan keempat, sinkronisasi dan harmonisasi seluruh elemen
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL agar
menciptakan iklim kegiatan usaha yang sehat dan mengedepankan
pelayanan prima kepada debitur selaku konsumen, serta berasaskan dan
berorientasi pada perlindungan konsumen.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Layanan Fintech Berbasis
Peer To Peer Lending Ditinjau Berdasarkan Asas Kepastian Hukum
Dalam pembahasan sub bab penelitian ini, peneliti memaparkan
mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur selaku pemberi pinjaman
dalam penyelenggaraan layanan Financial Technology berbasis Peer To
Peer Lending. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
105
Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi (Fintech P2PL),
dikatakan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk perjanjian/kesepakatan
perdata dalam bentuk dokumen elektronik antara kreditur dengan debitur
melalui wadah platform yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara
Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending.
Perjanjian pada umumnya dilakukan dengan membuat kesepakatan
yang dilakukan secara langsung antara para pihak yang akan saling
mengikatkan diri satu sama lain, akan tetapi bentuk perjanjian dalam
kegiatan Fintech P2PL dilakukan secara online melalui teknologi
informasi menggunakan koneksi internet, sehingga perjanjian tersebut
berbentuk perjanjian elektronik yang dituangkan dalam dokumen
elektronik. Pembuatan perjanjian elektronik dalam penyelenggaraan
Fintech P2PL ini dilakukan tanpa harus bertemunya para pihak atau
bertatap muka secara langsung. Hal demikian memberikan kemudahan,
terutama kemudahan akses bagi para pihak yang akan menggunakan
layanan Fintech P2PL.
Mekanisme dalam perjanjian elektronik dalam penyelenggaraan
layanaan Fintech P2PL memiliki kekuatan hukum yang mengikat para
pihak sebagaimana perjanjian pada umumnya. Hal tersebut tertuang dalam
ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa “Transaksi
elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para
pihak”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perjanjian elektronik dalam
kegiatan Fintech P2PL tersebut sah dan berlaku menurut hukum sebagai
suatu Undang-Undang bagi para pihak yang saling mengikatkan diri, serta
mengakibatkan timbulnya suatu hubungan hukum dan konsekuensi hukum
bagi para pihak tersebut.
Pada dasarnya, perjanjian elektronik memiliki kesamaan dengan
perjanjian pada umumnya. Oleh karena itu, perjanjian elektronik dikatakan
sah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
106
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dengan catatan memenuhi beberapa
ketentuan syarat-syarat sah dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), yaitu sebagai berikut:
1. Kesepakatan
Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri agar kontrak
atau perjanjian dianggap sah, maka para pihak harus sepakat terlebih
dahulu terdapat pada segala hal yang ada pada perjanjian. Kesamaan
kehendak saja tidak akan menciptakan perjanjian. Kehendak tersebut
harus dinyatakan sehingga harus ada pernyataan kehendak. Pernyataan
kehendak tersebut harus merupakan yang bersangkutan menghendaki
timbulnya hubungan hukum.
Kehendak tersebut harus dimengerti oleh pihak lawan,
sehingga kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak
dapat dilakukan secara tegas, yaitu pernyataan kehendak diberikan
secara eksplisit dengan cara lisan, tertulis, atau dengan tanda tertentu.
Pernyataan kehendak secara tertulis dapat dilihat dari adanya tanda
tangan para pihak. Selain itu, pernyataan kehendak dapat pula
dinyatakan secara diam-diam. Hal tersebut tercermin pada sikap dan
perbuatan yang dilakukan oleh para pihak.
2. Kecakapan para pihak
Cakap merupakan syarat umum dalam melakukan perjanjian,
guna dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yakni harus sudah
dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan
perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Sebagaimana pada ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek) menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali menurut Undang-Undang dinyatakan
tidak cakap.” Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek) tidak menentukan siapa saja yang termasuk
kategori tidak cakap untuk mengadakan suatu perjanjian secara
spesifik, akan tetapi menentukan secara negatif terhadap siapa-siapa
yang tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Orang yang tidak
cakap tersebut adalah orang yang belum dewasa, mereka yang di
bawah pengampuan dan semua orang yang dilarang Undang-Undang
untuk membuat suatu perjanjian.
107
Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek), dikatakan bahwa “seseorang dianggap dewasa, jika dia
telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.”
Kemudian pengaturan mengenai batas kedewasaan juga ditemukan
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan bahwa “kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak
berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai berusia 18
(delapan belas) tahun.” Khusus pada perjanjian yang dibuat di
hadapan Notaris diatur pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menentukan bahwa “batas
kedewasaan adalah 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah dan
cakap untuk melakukan perbuatan hukum.”
Dengan demikian, kecakapan untuk melakukan suatu
perjanjian yang dibuat tidak hanya dikaitkan dengan batas umur
kedewasaan, akan tetapi juga dikaitkan dengan tolak ukur lainnya,
misalnya tidak berada di bawah pengampuan. Tidak hanya dewasa,
akan tetapi juga cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian ialah barang yang dijadikan
objek tertentu dalam suatu perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1333
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), bahwa “barang yang menjadi
objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan
asalkan dapat ditentukan atau diperhitungkan.” Selanjutnya, dalam
ketentuan Pasal 1334 Ayat 1 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
ditentukan bahwa “barang-barang yang baru akan ada kemudian hari
juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.” Sementara, pada
ketentuan Pasal 1334 Ayat 2 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) bahwa
“barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain
akan meninggal dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian,
meskipun dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan
akan meninggalkan barang-barang warisan tersebut.” Kemudian,
dalam ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
ditentukan, bahwa “barang-barang yang dapat dijadikan objek
perjanjian hanyalah barang yang dapat diperdagangkan.”
4. Suatu sebab yang halal
Dalam suatu kontrak atau perjanjian, diharuskan adanya kausa,
dan kausa tersebut juga harus halal. Kausa suatu perikatan adalah
sebagai alasan penggerak yang menjadi dasar kesediaan debitur untuk
108
menerima keterikatan guna memenuhi isi (prestasi) perikatan.
Menerima perikatan berarti menerima keterikatan kewajiban-
kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut. Dengan kata lain,
menerima keterikatan untuk memberikan prestasi perikatan. Seseorang
yang terikat untuk melaksanakan isi perjanjian tidak hanya didasarkan
pada kata sepakat saja, tetapi juga harus didasarkan adanya kausa.
Kausa halal dimaksud adalah kausa hukum yang ada tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Jika objek dalam suatu perjanjian illegal atau
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka
perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Dalam ketentuan Pasal
1335 jo. 1337 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) menyatakan bahwa
“suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan Undang-
Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.” Suatu kausa dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang, apabila kausa dalam perjanjian
yang bersangkutan isinya bertentangan dengan ketentuan Undang-
Undang yang berlaku.
Adapun bentuk perjanjian dalam penyelenggaraan Financial
Technology berbasis Peer To Peer Lending diklasifikasikan menjadi dua
bentuk perjanjian menurut ketentuan Pasal 18 Bab IV Tentang Perjanjian
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi terdiri
atas: a. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan b.
Perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.
1. Perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman (Kreditur)
Fintech P2PL
Dalam pelaksanaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi
informasi (Fintech P2PL), perjanjian elektronik tersebut menimbulkan
hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut lahir dari hubungan
kontraktual yang dilakukan oleh para pihak, yaitu debitur selaku
konsumen, penyelenggara Fintech P2PL dan kreditur selaku investor
dalam kegiatan layanan Fintech P2PL ini. Hubungan hukum tersebut
telah diatur sebagaimana ketentuan Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang mengatur adanya
perjanjian para pihak. Peraturan tersebut, pertama mengatur mengenai
109
perjanjian antara penyelenggara dengan kreditur Fintech P2PL. Kedua,
peraturan tersebut mengatur mengenai perjanjian antara kreditur
dengan debitur Fintech P2PL.
Dalam mekanisme penyelenggaraan Fintech P2PL, kreditur
yang akan memberikan pinjaman dana kepada debitur harus
menyetujui beberapa syarat dan ketentuan khusus yang telah diatur
oleh penyelenggara selaku penyelenggara platform Fintech berbasis
Peer To Peer Lending. Adapun syarat dan ketentuan khusus tersebut
ialah mengenai kreditur selaku pihak yang akan mengajukan
pemberian dana (investor) melalui platform harus setuju dan sepakat
untuk menunjuk dan menentukan penyelenggara Fintech P2PL, guna
bertindak untuk dan atas nama kreditur yaitu untuk menyalurkan dana
kreditur kepada pihak debitur melalui platform yang dimiliki oleh
penyelenggara Fintech P2PL.
Berdasarkan mekanisme tersebut di atas, terdapat hubungan
hukum antara kreditur dengan penyelenggara Fintech P2PL. perjanjian
antara penyelenggara dengan kreditur ialah perjanjian terkait
pemberian kuasa yaitu berupa kuasa khusus. Perjanjian pemberian
kuasa sebagaimana ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek) ialah “suatu perjanjian dimana seseorang memberikan
kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk dan atas
namanya guna dapat menyelenggarakan suatu urusan.”
Menyelenggarakan suatu urusan dimaksud ialah melakukan
suatu perbuatan hukum yang memiliki suatu akibat hukum. Pihak yang
telah diberi kuasa, dapat dikatakan sebagai kuasa untuk melakukan
suatu perbuatan hukum atas nama orang yang telah memberikan kuasa
atau dapat dikatakan bahwa ia merupakan perwakilan dari pemberi
kuasa. Dengan demikian, segala perbuatan yang dilakukan oleh
penerima kuasa adalah tanggung jawab pemberi kuasa, sehingga
segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang
dilakukannya menjadi hak dan kewajiban pihak yang memberi kuasa.
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, hal ini
sebagaimana ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara
umum yang meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Dalam surat
kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan mengenai tindakan-tindakan apa
saja yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa. Adanya tindakan-
tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa
tersebut menjadi surat kuasa khusus. Perbuatan penyelenggara Fintech
P2PL telah ditentukan dalam ketentuan khusus tersebut yaitu untuk
110
menyalurkan dana kreditur kepada debitur Fintech P2PL. Dengan ini,
maka perbuatan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara Fintech
P2PL selaku penerima kuasa adalah terbatas yaitu sebatas kuasa
khusus yang diberikan kepadanya untuk menyalurkan dana kreditur
kepada debitur Fintech P2PL.
Suatu kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk akta
resmi atau dengan suatu surat di bawah tangan ataupun dengan kuasa
lisan. Akta resmi yang dimaksud, seperti akta notaris, akta yang
dilegalisir di kepaniteraan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat
pamong dan sebagainya. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi
secara diam-diam, ini berarti terjadi dengan sendirinya. Kuasa diam-
diam dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu sendiri yakni oleh
yang diberi kuasa berdasarkan tindakan yang dilakukannya.
Pada umumnya, pemberian kuasa terjadi karena adanya
persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Sifat
persetujuan kuasa adalah konsensual. Artinya, perjanjian dalam
pemberian kuasa lahir apabila ada kata sepakat atau ada persesuaian
kehendak di antara para pihak tersebut. Persesuaian kehendak saja
tidak akan dapat menciptakan atau melahirkan perjanjian, karena
kehendak tersebut itu sendiri dapat diungkapkan dengan berbagai cara,
baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pernyataan kehendak
dapat pula dilakukan secara tertulis, lisan, maupun dengan tanda.
Perjanjian pemberian kuasa yang terdapat dalam mekanisme
penyelenggaraan Fintech P2PL dilakukan tidak secara diam-diam,
akan tetapi perjanjian tersebut dibuat melalui media elektronik yang
terdapat pada platform/aplikasi yang disediakan oleh penyelenggara
Fintech P2PL. Pada saat kreditur akan mengajukan pendanaan pada
platform penyelenggara, maka kreditur harus menyetujui mengenai
ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh platform
penyelenggara Fintech P2PL. Kreditur harus setuju dan sepakat untuk
memberikan kuasa kepada platform penyelenggara Fintech P2PL
untuk menyalurkan dananya tersebut kepada debitur Fintech P2PL.
Bentuk kesepakatan yang terjadi antara kreditur selaku pemberi
kuasa dengan penyelenggara selaku penerima kuasa ialah pada saat
kreditur sepakat atau menyetujui terhadap syarat maupun ketentuan
yang diberikan oleh platform penyelenggara Fintech P2PL yang
diikuti dengan pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut
dilakukan dengan cara menekan tombol persetujuan, berupa meng-klik
tanda centang pada platform/aplikasi penyelenggara Fintech P2PL.
Persetujuan tersebut dilakukan guna dapat menyalurkan dana kreditur
111
yang diberikan ke penyelenggara kepada debitur dalam kegiatan
layanan Fintech P2PL. Kemudian, dapat melanjutkan ke tahap
pendaftaran sebagai kreditur pada platform penyelenggara Fintech
P2PL yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan tentunya.
Pada praktik penyelenggaraan Fintech P2PL, dalam
melaksanakan operasional perusahaan penyelenggara Fintech P2PL
memperoleh fee atas jasa yang telah disediakan oleh perusahaan selaku
penyelenggara platform Fintech P2PL. Dalam mekanisme tersebut,
kreditur tidak dikenakan biaya dalam hal memakai jasa penyelenggara
Fintech P2PL. Kreditur akan dikenakan potongan pajak Pph sebesar
15% atas pendanaan yang dilakukannya.
Selain itu, akan ada biaya administrasi yang akan dikenakan,
apabila melakukan pencairan dana ke bank, selain Bank Danamon dan
Bank Cimb Niaga. Namun, bagi debitur Fintech P2PL untuk dapat
menggunakan jasa keuangan berupa pinjaman dana online pada
platform Fintech P2PL dikenakan biaya, berupa biaya marketplace
sebesar 5% yang dikenakan pada pinjaman yang akan dicairkan.
Dengan begitu, kegiatan Fintech P2PL dapat berjalan guna membantu
segala kesulitan finansial bagi masyarakat Indonesia umumnya,
terlebih yang tidak mampu dalam menjangkau pinjaman finansial pada
lembaga pembiayaan perbankan konvensional, maupun lembaga
pembiayaan lainnya yang sebagian besar memerlukan agunan dan/atau
jaminan fidusia dalam mengajukan pinjaman dana.
2. Perjanjian antara Pemberi Pinjaman (Kreditur) dengan Penerima
Pinjaman (Debitur) Fintech P2PL
Selain perjanjian antara kreditur dengan penyelenggara Fintech
P2PL, terdapat pula perjanjian antara kreditur dengan debitur dalam
penyelenggaraan layanan Fintech P2PL. Perjanjian yang terjadi antara
kreditur dengan debitur Fintech P2PL merupakan perjanjian pinjam-
meminjam atau utang-piutang pada umumnya, sebagaimana ketentuan
Pasal 1754 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Pada perjanjian pinjam-
meminjam atau utang-piutang tersebut, kedudukan pemberi pinjaman
selaku kreditur, sedangkan penerima pinjaman selaku debitur.
Perjanjian tersebut dibuat, karena adanya persesuaian kehendak oleh
para pihak yaitu untuk melakukan pendanaan dan melakukan
peminjaman dana kepada pihak lainnya. Para pihak kemudian
112
bersepakat untuk saling mengikatkan diri guna dapat menghasilkan
suatu hubungan hukum.
Perjanjian tersebut dilakukan dengan bantuan media teknologi
informasi yang terjaring dalam koneksi internet untuk dapat
menggunakan platform penyedia jasa layanan Fintech P2PL yang
dibuat oleh penyelenggara Fintech P2PL. Adapun bentuk perjanjian
pinjam-meminjam tersebut adalah perjanjian elektronik yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagaimana perjanjian pada umumnya.
Oleh sebab itu, perjanjian elektronik berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut atas dasar
kebebasan berkontrak yang mana para pihak bebas untuk membuat
para pihak sebagai bentuk itikad baik dalam pelaksanaan kontrak oleh
pihak yang membuat perjanjian. Dari perjanjian tersebut, kemudian
melahirkan suatu hubungan hukum sehingga melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakannya.
Perjanjian elektronik tersebut dituangkan dalam sebuah
dokumen elektronik. Dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya
yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer
atau sistem elektronik termasuk, tetapi tidak terbatas pada bentuk
tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dokumen elektronik tersebut harus dipenuhi dan disetujui oleh
para pihak, baik kreditur maupun debitur Fintech P2PL. Dokumen
elektronik tersebut wajib paling sedikit memuat: a. Nomor perjanjian;
113
b. Tanggal perjanjian; c. Identitas para pihak; d. Ketentuan mengenai
hak dan kewajiban para pihak; e. Jumlah pinjaman; f. Suku bunga
pinjaman; g. Besarnya komisi; h. Jangka waktu; i. Rincian biaya
terkait; j. Ketentuan mengenai denda (jika ada); k. Mekanisme
penyelesaian sengketa; dan l. Mekanisme dalam hal penyelenggara
tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.4
Pada mekanisme pembuatan perjanjian antara kreditur dengan
debitur Fintech P2PL tersebut, para pihak tidak perlu saling bertemu
dan saling berhadapan (face to face). Segala bentuk aktifitas
dihubungkan dengan bantuan marketplace yang disediakan oleh
penyelenggara layanan Fintech P2PL berbentuk platform atau aplikasi.
Penyelenggara Fintech P2PL dalam hal ini adalah sebagai perantara
(intermediasi) para pihak melalui platform Fintech P2PL.
Perjanjian elektronik tersebut melahirkan suatu hubungan dan
konsekuensi hukum bagi pihak kreditur dengan debitur dalam kegiatan
Fintech P2PL. Para pihak tersebut, lalu dihubungkan melalui
hubungan kontraktual yang dibuat dan disepakati oleh para pihak.
Kemudian, para pihak harus menaati atas apa yang telah mereka
perjanjikan sebagai Undang-Undang yang mengikat para pihak
tersebut yang membuatnya. Dari hubungan kontraktual tersebut, maka
lahirlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh mereka.
Secara garis besar, kreditur Fintech P2PL wajib memberikan
dana sebesar yang diperjanjikan pada waktu yang telah ditentukan.
Dari kewajiban tersebut, maka timbul hak yaitu pengembalian dana
oleh debitur Fintech P2PL, beserta bunga yang diperjanjikan dengan
debitur Fintech P2PL. Bagi debitur, hak untuk mendapatkan pinjaman
dana sesuai kesepakatan yang dilakukan harus ia peroleh berdasarkan
4 Ketentuan Pasal 19 Ayat (1-5) Bagian Kesatu Tentang Perjanjian Penyelenggara
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan Pemberi Pinjaman, Bab
IV Tentang Perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
114
dokumen elektronik yang telah diperjanjikan dalam platform layanan
Fintech P2PL. Dari hak tersebut, maka timbul kewajiban yang harus
dilakukan yaitu untuk membayar dana yang dipinjamkan oleh kreditur,
beserta bunga yang diperjanjikan. Selain itu, debitur Fintech P2PL
juga harus membayarkan fee atas jasa platform penyelenggara sebagai
media debitur untuk mengajukan dan pencairan dana pinjaman pada
platform layanan Fintech P2PL.
Secara substantif mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
kreditur, debitur, maupun penyelenggara Fintech P2PL sebagaimana
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
ialahh sebagai berikut:
1. Kreditur
Adapun kewajiban kreditur dalam praktik penyelenggaraan
Fintech P2PL, yaitu:
a. Diwajibkan untuk mengisi data mengenai identitas diri sebagai
kreditur (pemberi pinjaman dana) pada platform/aplikasi
Fintech P2PL, seperti nama, nomor identitas, alamat, nomor
telepon, dan besaran nominal pendanaan yang akan diberikan
kepada debitur;
b. Diwajibkan untuk mengisi perjanjian elektronik antara kreditur
dengan penyelenggara Fintech P2PL dan perjanjian antara
kreditur dengan debitur melalui bantuan penyelenggara Fintech
P2PL;
c. Diwajibkan untuk mengirim dana pinjaman sebagaimana
besaran nominal tagihan sistem tepat waktu.
Sedangkan hak yang dimiliki oleh kreditur dalam praktik
penyelenggaraan Fintech P2PL yaitu:
a. Mendapatkan bunga atas pendanaan yang dilakukan sebesar-
besarnya bunga yang telah diperjanjikan;
b. Mendapatkan laporan atas penggunaan dana oleh debitur, baik
melalui email maupun sms;
c. Memiliki virtual account dari penyelenggara Fintech P2PL
yang dipergunakan untuk menyalurkan dana yang akan
115
dipinjamkan dan untuk mendapatkan pengembalian atas dana
yang telah disalurkan/dipinjamkan.
2. Debitur
Adapun kewajiban debitur dalam praktik penyelenggaraan
Fintech P2PL yaitu:
a. Wajib mengisi dokumen yang disediakan oleh platform
penyelenggara Fintech P2PL dan memasukkan data-data yang
dibutuhkan dengan jelas, jujur, dan rinci mengenai identitas,
dan penggunaan dana yang akan diajukan untuk melakukan
peminjaman dana;
b. Wajib untuk mengisi perjanjian dalam dokumen elektronik
dengan kreditur melalui bantuan platform penyelenggara
Fintech P2PL;
c. Memberikan laporan atas penggunaan dana pinjaman melalui
platform penyelenggara Fintech P2PL sebagai bentuk
pertanggungjawaban dalam penggunaan dana pinjaman oleh
debitur kepada kreditur Fintech P2PL;
d. Memberikan fee sebesar 5% kepada platform penyelenggara
Fintech P2PL berdasarkan nominal pinjaman dana yang
diajukan, yakni pinjaman personal atau pinjaman bisnis;
e. Wajib membayar angsuran pinjaman sesuai besaran nominal
tagihan pada debitur secara tepat waktu.
Sementara hak yang diperoleh debitur dalam praktik
penyelenggaraan Fintech P2PL, diantaranya:
a. Memperoleh data sebagai bentuk transparansi dalam
penerimaan pinjaman yang diberikan oleh penyelenggara
platform Fintech P2PL yang memuat data-data, seperti
identitas kreditur, verifikasi dalam pemberian pinjaman dana,
biaya administrasi yang digunakan pada platform Fintech
P2PL;
b. Memperoleh dana yang bersih dan terbebas dari money
laundering (tindak pidana pencucian uang);
c. Memiliki escrow account dari penyelenggara Fintech P2PL
yang dipergunakan guna pelunasan pinjaman.
3. Penyelenggara Fintech P2PL
Adapun kewajiban bagi penyelenggara Fintech P2PL
dalam praktik penyelenggaraan Fintech P2PL yaitu:
116
a. Memberikan informasi mengenai layanan pinjam-meminjam
uang secara online dengan jujur dan tidak menyesatkan bagi
para debitur dalam menggunakan layanan Fintech P2PL
tersebut;
b. Memberikan fasilitas untuk debitur dalam hal sistem kalkulasi
pembiayaan yang akan dilakukan melalui platform
penyelenggara Fintech P2PL;
c. Menyalurkan dana dari kreditur kepada debitur melalui
platform Fintech P2PL yang telah disediakan oleh
penyelenggara Fintech P2PL;
d. Wajib menyediakan escrow account dan virtual account
kepada kreditur dan debitur Fintech P2PL;
e. Menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui platform aplikasi
pinjaman online yang diajukan oleh debitur agar menghasilkan
pendanaan pinjaman yang berkualitas untuk ditawarkan kepada
kreditur pada layanan Fintech P2PL.
Sedangkan hak yang diperoleh penyelenggara Fintech
P2PL dalam praktik penyelenggaraan Fintech P2PL, yaitu:
a. Memperoleh laporan penggunaan dana pinjaman dari debitur
sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam penggunaan dana
pinjaman dari kreditur Fintech P2PL;
b. Mendapatkan fee sebesar 5% yang diperoleh dari debitur
sebagai bentuk pembayaran jasa bagi perusahaan
penyelenggara Fintech P2PL.
Berdasarkan uraian hak dan kewajiban para pihak dalam
penyelenggaraan Fintech P2PL tersebut di atas, maka pihak
penyelenggara layanan Fintech P2PL berkewajiban untuk menemukan
kreditur yang cocok dengan debitur dengan cara menyeleksi, menganalisis,
dan menyetujui aplikasi pinjaman dana online yang diajukan oleh debitur
agar menghasilkan pendanaan yang berkualitas untuk ditawarkan kepada
para kreditur, sehingga kreditur hanya dapat memilih debitur berdasarkan
portofolio analisis yang ditawarkan oleh pihak penyelenggara Fintech
P2PL. dari kewajiban tersebut, maka lahirlah hak bagi penyelenggara
Fintech P2PL selaku penerima kuasa dari kreditur untuk dapat mengelola
dana kreditur yang kemudian disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada
pihak debitur yang dianggap cukup berkualitas berdasarkan analisis dan
hasil seleksi penyelenggara Fintech P2PL dengan baik dan tepat.
117
Sementara bagi kreditur berkewajiban untuk memberikan kuasa
kepada pihak penyelenggara Fintech P2PL agar dapat mengelola dana
pinjaman yang kemudian dana tersebut disalurkan kepada pihak debitur.
Selain itu, kreditur juga wajib membayar pajak penghasilan (Pph) atas
dana yang disalurkan/dipinjamkan. Selanjutnya, hak yang diperoleh
kreditur ialah menerima kembali dana yang telah disalurkan/dipinjamkan
kepada debitur dengan bunga yang telah disepakati pada waktu yang telah
ditentukan dengan tepat waktu melalui platform dari penyelenggara
Fintech P2PL.
Lalu, bagi kreditur berkewajiban untuk memberikan dana pinjaman
kepada debitur. Dan hak yang diperoleh kreditur dalam layanan Fintech
P2PL ialah menerima angsuran dari pembayaran pinjaman dana yang
dipinjam oleh debitur dengan tepat waktu yang telah disepakati bersama
dan juga menerima besaran bunga pinjaman dari debitur.
Bagi debitur berhak menerima dana pinjaman dari kreditur guna
dipergunakan sebagaimana mestinya. Sedangkan kewajiban yang harus
ditunaikan oleh debitur ialah membayar angsuran dana pinjaman kepada
kreditur beserta bunga yang telah disepakati pada waktu yang telah
ditentukan. Dan bagi debitur diwajibkan untuk membayar jasa kepada
pihak penyelenggara Fintech P2PL atas jasa pencairan dana dan
penyediaan platform/aplikasi pinjaman online.
Hal tersebut memperlihatkan, bahwa perjanjian hanya ada antara
pihak penyelenggara dengan kreditur dan perjanjian antara kreditur dengan
debitur pada praktik yang sesungguhnya. Dalam hal ini, tidak pernah ada
bentuk perjanjian antara pihak penyelenggara dengan debitur, akan tetapi
hanyalah berupa dokumen elektronik untuk memenuhi kelengkapan syarat
dan ketentuan dari pihak penyelenggara Fintech P2PL, selaku pihak
penyelenggara dalam layanan Fintech P2PL. Terlebih belum mapannya
regulasi dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL ini, sehingga
berpotensi bagi para pihak untuk melakukan fraud, ataupun menimbulkan
kerugian terhadap para pihak antara satu dengan yang lainnya.
Terlepas dari hal tersebut, besarnya peranan yang dimiliki oleh
kreditur selaku pemberi pinjaman dan juga sebagai investor sumber
pendanaan dalam pelaksanaan kegiatan Fintech P2PL ini, maka
konsekuensi logisnya harus pula diikuti oleh perlindungan hukum
terhadapnya. Mengingat potensi besar risiko dan kerawanan yang terjadi
pada kreditur ini cukup besar. Kreditur pada penyelenggaraan layanan
Fintech P2PL memiliki pelbagai risiko, diantaranya: penyalahgunaan dana
atau fraud (penipuan) yang dilakukan oleh pihak perusahaan
penyelenggara Fintech P2PL, pengembalian pinjaman oleh debitur yang
118
tidak sesuai, bahkan seringkali terjadi kredit macet maupun banyaknya
debitur yang enggan membayar tagihan pinjaman dengan menghindari
atau menggunakan akun fiktif dalam pengajuan pinjaman dana sehingga
kreditur tidak dapat menagih pinjaman tersebut. Kemudian, potensi besar
terjadinya shadow banking yang berimplikasi pada dugaan tindak pidana
money laundering oleh oknum tertentu yang merugikan kepentingan
nasional, tertipu oleh penyelenggara Fintech P2PL illegal dengan berbagai
tawaran yang menggiurkan kreditur, misalnya penawaran keuntungan
mendapatkan income dan laba keuntungan bisnis yang tinggi, serta
terjadinya penipuan (fraud) terhadap status platform oleh pihak
penyelenggara platform yang mencatut nama OJK, seolah-olah
penyelenggara tersebut terdaftar dan berizin di OJK yang tentu merugikan
kreditur selaku pemodal atau investor.
Implementasi dalam perlindungan hukum terhadap kreditur
belumlah mampu memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum. Peneliti
mendasari pada rasionalisasi, bahwa ketentuan-ketentuan atau regulasi
yang dimuat oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis
Teknologi Informasi secara garis besar hanya menitikberatkan pada
debitur dan penyelenggara Fintech P2PL saja, sehingga posisi kreditur
selaku investor atau pemberi pinjaman dalam kegiatan ini dalam posisi
yang amat lemah dan tidak proporsional yang berpotensi besar terhadap
perlindungan hukum bagi kreditur dalam kegiatan Fintech P2PL ini.
“Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan jelas
ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi tertinggi di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam negara hukum yang
demokratis yang mensyaratkan adanya penerapan hukum yang berprinsip
persamaan di depam hukum (equality before the law), serta penghormatan
dan penegakan hukum sesuai dengan prinsip independent judiciary
(peradilan yang bersifat independen).
Dalam suatu negara hukum yang demokratis, seperti Indonesia,
konstitusi harus berfungsi menjadi leading constitution agar tidak hanya
dijadikan simbol ketatanegaraan yang tidak bergigi sama sekali akibat
119
banyaknya Undang-Undang yang tidak sejalan dengan substansi konstitusi
atau ditafsirkan berdasarkan kepentingan sesaat untuk mempertahankan
kekuasaan. Untuk itu, setiap Undang-Undang atau regulasi dalam
peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam rangka memberikan
pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara. Termasuk juga
penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ negara harus
berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh konstitusi.
Hukum memberikan jaminan perlindungan hukum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam
konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Pasal 27 Ayat (1): “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
Pasal 28D Ayat (1): “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”; dan
Pasal 28I Ayat (2): “setiap orang berhak dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Berkenaan dengan jaminan-jaminan yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa dalam
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,
beserta regulasi lainnya terkait pengaturan dalam penyelenggaraan layanan
Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending di Indonesia
belumlah memberikan jaminan-jaminan tersebut kepada kreditur selaku
investor dalam kegiatan layanan Financial Technology berbasis Peer To
Peer Lending.
Sejatinya, perlindungan hukum bagi kreditur luput dari atensi
publik. Hal ini dikarenakan publik hanya terfokus pada isu-isu
120
perlindungan hukum yang berhubungan dengan debitur selaku konsumen.
Di sisi lain, kita tidak boleh melupakan peran sentral yang dimiliki oleh
kreditur ini sebagai jantung dalam operasional kegiatan ini. Sebab, aliran
perputaran dana pada proses kegiatan Fintech P2PL ini didanai oleh
kreditur selaku investor. Tanpa peran dan kontribusi dari kreditur, maka
tidak dapat terselenggaranya kegiatan usaha pinjaman finansial berbasis
teknologi informasi ini.
Seperti halnya debitur, pihak kreditur juga ada yang berasal dari
elemen masyarakat yang turut terlibat berpartisipasi dalam kegiatan usaha
Fintech berbasis Peer To Peer Lending dimana kreditur bertindak selaku
investor yang mendelegasikan perannya melalui kuasa kepada pihak
penyelenggara Fintech P2PL sebagai marketplace untuk melakukan
kegiatan usaha pinjaman uang berbasis online.
Berdasarkan beberapa keterangan dari hasil audiensi dan
wawancara Bapak Teguh Supangkat terhadap beberapa case yang
dilaporkan beberapa kreditur Fintech P2PL ke OJK ialah sebagai berikut.5
Contoh pertama, Finmas (PT Oriente Mas Sejahtera) selaku perusahaan
penyelenggara layanan Fintech P2PL, apabila terjadi gagal bayar dari
debitur, maka upaya penagihan yang akan Finmas jalankan ialah melalui
Unit Penagihan Pihak Ketiga dengan upaya-upaya yang sesuai dengan
koridor hukum yang berlaku. Dalam hal ini, kreditur jelas dapat
mengajukan gugatan kepada debitur, namun Finmas tidak dapat menjamin
kesuksesan dari pihak ketiga atau upaya-upaya hukum untuk menagihkan
sisa pinjaman, sehingga kreditur tetap dapat mengalami kerugian
sepenuhnya dari pendanaan yang diinvestasikan.
Penyelenggara Fintech P2PL yang kedua ialah Kredinesia (PT
Kreditku Teknologi Indonesia). Kredinesia dengan tegas tidak melakukan
penjaminan apapun kepada kreditur yang telah menyalurkan dananya
melalui Kredinesia, karena hal tersebut merupakan resiko yang mungkin
5 Data audiensi dan wawancara dengan Bapak Teguh Supangkat, selaku anggota Satgas
Waspada Investasi, sekaligus Deputi Komisioner Pengawasan Bank.
121
terjadi apabila melakukan investasi atau memberikan pinjaman kepada
pihak debitur meskipun melalui Kredinesia. Kemudian, apabila terjadi
kondisi gagal bayar secara dua bulan berturut-turut terjadi keterlambatan
bayar oleh debitur kepada kreditur, maka Kredinesia akan melanjutkan
dengan likuidasi jaminan dan hasil dari likuidasi akan dipergunakan untuk
membayar pokok pinjaman kepada kreditur. Hal tersebut sebagai jaminan
dalam proses pinjam meminjam yang oleh debitur terhadap kondisi gagal
bayar atau terlambat bayar kepada kreditur selaku pemberi pinjaman.
Namun, dalam hal tersebut yang menjadi permasalahan adalah bagi
debitur yang tanpa jaminan atau tidak memiliki barang yang dapat
dijaminkan. Solusi dari Kredinesia, apabila terjadi gagal bayar tersebut
ialah Kredinesia akan membantu dengan melakukan mediasi kepada
debitur untuk potensi solusi pembayaran kembali dengan
menginformasikan proses yang sedang berjalan kepada debitur maupun
kreditur Fintech P2PL.
Contoh terakhir yaitu Avantee (PT Grha Dana Bersama), Avantee
tidak menjamin pinjaman yang ada bagi kreditur Fintech P2PL. Pada
dasarnya, pinjaman dibagi menjadi dua yaitu pinjaman dengan jaminan
agunan dan pinjaman tanpa jaminan agunan. Dalam hal ini yang menjadi
permasalahan adalah pinjaman dana yang dilakukan tanpa adanya jaminan
agunan sebagaimana permasalahan pada platform Kredinesia. Namun
demikian, Avantee hanya akan melakukan analisa kelayakan terhadap
pinjaman dan menggunakan upaya terbaiknya guna meminimalisir kredit
macet.
Berdasarkan case yang dialami kreditur pada platform di atas
tersebut, maka dapat diketahui bahwa penyelenggara baik Finmas,
Kredinesia, maupun Avantee hanyalah sebatas fasilitator yang
menyediakan marketplace (tempat) bagi kreditur dan debitur untuk dapat
melakukan kegiatan pinjam-meminjam uang secara online atau dalam
penelitian ini dikatakan sebagai penyelenggaraan Fintech P2PL pada
platform penyelenggara Fintech P2PL. Penyelenggara Fintech P2PL
122
bukan bertindak sebagai pihak langsung yang terlibat dalam perjanjian
pinjam-meminjam yang dilakukan oleh kreditur dan debitur, melainkan
hanya sebagai pihak yang diberikan kuasa oleh kreditur untuk
menyalurkan dananya kepada debitur yang mengajukan pinjaman dana
melalui platformnya tersebut.
Dengan ini, maka penyelenggara Fintech P2PL tidak memiliki
tanggung jawab atau kewajiban dalam perjanjian pinjam-meminjam uang
secara online tersebut, karena pada dasarnya perjanjian pinjam-meminjam
tersebut hanya dilakukan oleh kreditur dan debitur. Ketidakjelasan
hubungan hukum dalam perjanjian pinjam-meminjam uang secara online
antara penyelenggara Fintech P2PL dengan penguna layanan pinjam
meminjam uang secara online sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tersebut
berdampak penuh pada konsekuensi hukum yang timbul.
Khusus bagi kreditur tidak dapat mengajukan tuntutan hukum
kepada penyelenggara Fintech P2PL, jika kreditur mengalami kerugian
sebagai akibat tindakan penyelenggara Fintech P2PL dalam
penyelenggaraan layanan Fintech P2PL, hal ini berlandaskan pada
ambiguitas pengaturan mengenai perlindungan hukum kreditur dalam
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Adapun
kerugian yang dimaksud ialah apabila terjadi gagal bayar atau kredit macet
oleh debitur Fintech P2PL akibat kelalaian penyelenggara Fintech P2PL
dalam menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui yang tertera pada
platform pinjaman online yang dianggap berkualitas, serta layak untuk
ditawarkan kepada kreditur Fintech P2PL.
Selanjutnya, jika terjadi gagal bayar oleh debitur Fintech P2PL,
maka penyelenggara Fintech P2PL hanya dapat mengusahakan melalui
unit penagihan, membantu melakukan mediasi dan mengusahakan agar
123
tidak terjadi kredit macet atau bahkan gagal bayar, akan tetapi tidak
menjamin keberhasilannya.
Secara nyata, hal yang dilakukan penyelenggara tersebut jelas tidak
memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap kreditur Fintech
P2PL yang menurut peneliti lepas akan tanggung jawab sebagai
penyelenggara kegiatan Fintech P2PL. Kondisi gagal bayar tersebut dapat
terjadi akibat ketidaktepatan, kelalaian, dan kecerobohan dari
penyelenggara Fintech P2PL dalam menyeleksi, menganalisis, dan
menyetujui melalui platform aplikasi pinjaman terhadap debitur yang
mengajukan pinjaman dana untuk ditawarkan kepada kreditur selaku
investor/penyalur dana. Berdasarkan hal tersebut bahwa jelas
penyelenggara Fintech P2PL tidak memberikan penawaran debitur yang
berkualitas, sehinggal hal tersebut dapat berpotensi besar menyebabkan
terjadinya gagal bayar dan praktis pihak yang dirugikan tentulah kreditur.
Terlepas dari hal tersebut, akibat tindakan penyelenggara Fintech
P2PL dalam menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui pada aplikasi
pinjaman online (platform) yang diajukan oleh debitur Fintech P2PL
untuk ditawarkan kepada kreditur Fintech P2PL, penyelenggara Fintech
P2PL seharusnya dapat bertanggung jawab atas tindakannya kepada
kreditur, karena tidak memberikan penawaran debitur yang berkualitas,
padahal jelas kreditur hanya dapat memberikan dana pinjaman kepada
debitur yang diajukan oleh pihak penyelenggara Fintech P2PL berdasarkan
kualitas dan jaminan mutu. Pada pratiknya, terdapat keterbatasan tanggung
jawab yang dimiliki oleh penyelenggara Fintech P2PL, seperti Finmas,
Kredinesia, dan Avantee dalam menyelenggarakan layanan Fintech P2PL,
terlebih dengan perangkat/instrumen hukum yang belum memadai dalam
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Sebagaimana dalam ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi tidak mengatur secara rinci, detail, dan
124
imperatif untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kreditur,
apabila terjadinya kondisi gagal bayar oleh debitur, yang pada
kenyataannya membuat pihak penyelenggara Fintech P2PL tidak
bertanggung jawab atas hal itu karena tidak ada ketentuan yang
mengaturnya secara tegas.
Kendati, dalam ketentuan Pasal 37 POJK No. 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
yang menyatakan bahwa, “Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas
kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara.” Namun, secara nyata dan
terjadi pada pelaksanaannya di lapangan pihak penyelenggara tidak
menunaikan hal tersebut karena aturan yang diatur oleh ketentuan POJK
tersebut sifatnya administratif, yang seharusnya bersifat imperatif,
sebagaimana ketentuan Undang-Undang yang mengandung unsur sanksi
yang membuat pelaku usaha menaatinya, karena unsur regulasi yang
bersifat mengikat dan memaksa.”
Padahal, menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terkait prinsip tanggung
jawab berdasarkan wanprestasi merupakan tanggung jawab dari pelaku
usaha dalam hal ini penyelenggara Fintech P2PL yang bersifat mutlak
(strict obligation). Kewajiban tersebut didasarkan pada upaya yang telah
dilakukan pelaku usaha dalam rangka perlindungan pengguna produk atau
layanan jasa yang ditawarkan yang harus memenuhi asas manfaat, asas
keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan dan asas
kepastian hukum.
Berangkat dari dasar prinsip kepastian hukum yang tertuang pada
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen tersebut, maka menjadi konsekuensi logis bagi
pihak penyelenggara untuk memberikan bentuk tanggung jawab hukum
kepada pihak kreditur dalam kegiatan Fintech P2PL. Kemudian,
mendukung dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
125
Tentang Perlindungan Konsumen tersebut Presiden Ir. Joko Widodo pada
2017 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 Tentang
Strategi Nasional Perlindungan Konsumen yang menjadi acuan sasaran,
arah kebijakan, strategi dan sektor prioritas dalam rangka menunjang
perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha.
Untuk itu, dibutuhkan rekontruksi perangkat hukum demi
pemenuhan perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL. Bahwa
menjadi suatu urgensi bagi penyelenggara Fintech P2PL wajib
bertanggung jawab akibat kesalahan atau kelalaiannya, mengingat potensi
risiko yang menimbulkan kerugian pada kreditur dapat terjadi, yaitu
mengajukan penawaran debitur yang tidak berkualitas yang kemudian
menyebabkan terjadinya gagal bayar sehingga kreditur dirugikan akibat
tindakan penyelenggara Fintech P2PL tersebut.
Adapun bentuk pertanggungjawaban tersebut ialah bahwa atas
penyelenggaraan karena tidak dapat mengelola dan mengoperasikan
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dari pihak
kreditur kepada debitur sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 5
Ayat (3) POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan baik hingga
menimbulkan kerugian pada salah satu pihak menjadi tanggung jawab
pihak penyelenggara Fintech P2PL.
Atas dasar hal itu menandai, bahwa belum adanya perlindungan
hukum bagi kreditur selaku pemberi pinjaman pada penyelenggaraan
layanan pinjam meminjam uang secara online (Fintech P2PL) ini
menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi pengguna layanan
Fintech P2PL, khususnya bagi kreditur Fintech P2PL. Kegiatan
operasional penyelenggara Fintech P2PL dalam menyediakan, mengelola,
dan mengoperasikan layanan Fintech P2PL dilakukan oleh pegawai
penyelenggara Fintech P2PL ini. Pegawai penyelenggara sebagai sumber
daya manusia (maintenance) jugalah yang menyeleksi, menganalisis, dan
menyetujui pada platform pinjaman online Fintech P2PL yang dianggap
126
berkualitas, serta layak untuk ditawarkan kepada kreditur selaku pemberi
pinjaman. Sehingga peran pegawai disini amatlah krusial dalam hal ini
yang bertindak atas nama penyelenggara harus diperhatikan betul
kompetensi dan kredibilitasnya.
Kondisi terjadinya gagal bayar adalah sebagai bentuk kesalahan
atau kelalaian dari penyelenggara secara umumnya dalam menentukan
pegawai penyelenggara yang kompeten dalam mengelola dan
mengoperasikan layanan Fintech P2PL yang berakibat pada rendahnya
standar kelayakan kualitas debitur untuk ditawarkan kepada kreditur
sehingga merugikan pihak kreditur Fintech P2PL.
Menurut peneliti, Penyelenggara Fintech P2PL tetap wajib
bertanggung jawab atas tindakan pegawainya tersebut, utamanya dalam
proses pemilihan dan penempatan pegawai dalam melakukan pengelolaan,
pengoperasian, dan penyeleksian tersebut agar menghindari hal-hal yang
merugikan para pihak baik debitur yang telah diatur dalam peraturan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Penyelenggara sebagai pelaku usaha dalam layanan Fintech P2PL
dapat dikenai sanksi, sebagaimana ketentuan Pasal 47 POJK Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada
penyelenggara Fintech P2PL yang telah melanggar ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administrasi
sebagai berikut: a). peringatan tertulis; b). denda yaitu kewajiban untuk
membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; dan d).
pencabutan izin.
Perlindungan hukum bagi pengguna layanan Fintech P2PL, dalam
hal ini kreditur Fintech P2PL dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum secara
represif. Perlindungan hukum secara preventif adalah perlindungan hukum
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Dengan demikian,
perlindungan hukum ini dilakukan sebelum terjadinya suatu sengketa.
127
Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL
sebelum terjadinya sengketa dapat dilakukan dengan upaya-upaya dari
penyelenggaran dalam layanan Fintech P2PL. Upaya penyelenggara
sebelum terjadinya sengketa ialah dengan menerapkan prinsip dasar
perlindungan hukum bagi pengguna layanan Fintech P2PL. Prinsip-prinsip
tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 29 POJK Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, diantaranya meliputi prinsip transparansi, perlakuan
adil, keandalan, kerahasiaan, dan keamanan data, serta penyelesaian
sengketa pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Kemudian, mengenai perlindungan hukum secara represif adalah
perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum ini baru bisa dilakukan setelah timbulnya sengketa
terlebih dahulu. Sengketa dalam penyelenggaraan Fintech P2PL dapat
terjadi antara pengguna (debitur) dan kreditur, penyelenggara Fintech
P2PL. Apabila sengketa tersebut benar terjadi, maka ada mekanisme
tertentu untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak yang merasa
dirugikan dapat mengajukan pengaduan agar sengketa yang terjadi dapat
segera terselesaikan.
Dengan adanya pengaduan dari pengguna layanan Fintech P2PL
kepada penyelenggara platform Fintech P2PL, maka membuat
penyelenggara harus segera menindaklanjutinya. Setelah menerima aduan
dari pihak yang dirugikan dalam hal ini pengguna Fintech P2PL
sebagaimana ketentuan Pasal 38 POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, bahwa pelaku jasa
keuangan dalam hal ini adalah penyelenggara layanan Fintech P2PL wajib
melakukan: a). pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten,
benar, dan objektif; b). melakukan analisis untuk memastikan kebenaran
pengaduan; c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi
(redress/remedy) atau perbaikan produk dan/atau layanan, jika pengaduan
konsumen benar.
128
Berdasarkan ketentuan POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan tersebut, diatur di
dalamnya apabila di kemudian hari terjadi tindakan gagal bayar oleh
debitur dan gagal bayar tersebut terbukti akibat kesalahan atau kelalaian
dari penyelenggara Fintech P2PL, maka penyelenggara Fintech P2PL
wajib memberikan ganti rugi atas perbuatannya tersebut.
Kreditur selaku pihak yang dirugikan berhak menerima ganti rugi
dari pihak penyelenggara Fintech P2PL. Namun, jika dalam hal
pengaduan tidak mencapai suatu kesepakatan, maka kreditur dapat
melakukan penyelesaian sengketa tersebut di luar maupun di dalam
pengadilan. Sebagaimana ketentuan Pasal 39 Ayat (1) POJK No.
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan melalui
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) atau dapat
menyampaikan permohonannya kepada OJK untuk memfasilitasi
penyelesaian pengaduan konsumen (pengguna layanan Fintech P2PL)
yang dirugikan oleh pelaku jasa keuangan yaitu penyelenggara layanan
Fintech P2PL.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa OJK menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dengan keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, memberikan perlindungan hukum
bagi kreditur Fintech P2PL (dimana layanan Fintech P2PL merupakan
bentuk sumber pendanaan terbaru yang termasuk dalam kategori lembaga
jasa keuangan lainnya) dan menjadi konsekuensi hukum yang harus
dijalankan oleh OJK atas amanat Undang-Undang OJK tersebut.
Dengan demikian, OJK harus mempersiapkan secara matang
perihal regulasi perangkat hukum untuk mengatur mekanisme
penyelesaian masalah sengketa yang akan timbul di kemudian hari jika
terjadi fraud oleh penyelenggara Fintech P2PL baik yang legal maupun
illegal, dan mengalami kondisi gagal bayar oleh debitur yang berimplikasi
129
pada kerugian bagi kreditur Fintech P2PL dalam mekanisme proses
penyelenggaraan layanan Fintech P2PL yang lebih baik dan berorientasi
pada perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL guna terwujudnya
perlindungan hukum bagi kreditur selaku investor/pemberi pinjaman
dalam kegiatan usaha Fintech P2PL.
Di samping itu, perlu adanya peningkatan upaya secara maksimal
oleh OJK selaku regulator dan pengawas untuk mengoptimalkan seluruh
koordinasi dan kerjasama dengan stakeholders (pemangku kepentingan)
dalam penyelenggaraan Fintech P2PL, baik dari aspek regulasi dengan
pemerintah pusat dan DPR RI untuk mendorong lahirnya Undang-Undang
Tentang Fintech berbasis Peer To Peer Lending, serta melakukan
harmonisasi dan sinkronisasi dengan elemen-elemen pihak yang terlibat
dalam kegiatan Fintech P2PL dalam berbagai sektor, baik dari elemen
penegak hukum, asosiasi Fintech (AFPI), BSSN, elemen dari kreditur,
debitur, serta melakukan pengawasan terhadap kualitas kelaikan sistem
informasi data pada layanan Fintech P2PL maupun sumber daya
maintenance-nya. Hal ini dilakukan demi mendukung aktifitas/kegiatan
usaha Fintech P2PL ke depan lebih baik, terintegrasi dengan baik, dan
mampu mengatasi segala problematika hukum yang timbul bagi para
pihak terkait penyelenggaraan Fintech P2PL, sehingga dapat memberikan
perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dalam
kegiatan Fintech P2PL secara proporsional.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam penelitian skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL dalam
penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (Fintech Peer To Peer Lending) telah diatur dalam ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,
bahwa di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan pengaturan, meliputi:
kelembagaan, pendaftaran, perizinan, batasan pemberian pinjaman dan
tata kelola teknologi informasi penyelenggara, batasan kegiatan,
manajemen risiko, laporan, serta edukasi perlindungan konsumen.
Jaminan perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL tertuang
pada ketentuan Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi menyatakan bahwa Penyelenggara wajib
menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu: a.
Transparansi; b. Perlakuan yang adil; c. Keandalan ; d. Kerahasiaan
dan keamanan data, dan; e. Penyelesaian sengketa Pengguna secara
sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Selain itu, perlu
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
terkait, seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017
Tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 Tentang Layanan Pengaduan
Konsumen. Kendati, telah diatur mengenai hal apabila penyelenggara
layanan Fintech P2PL melakukan pelanggaran sebagaimana ketentuan
Pasal 47 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dikenai sanksi
administratif, berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan
usaha, dan pencabutan izin, namun peneliti menilai hal itu belum
mampu mengatasi problematika hukum bagi perlindungan debitur
130
131
Fintech P2PL akibat pelanggaran dan/atau perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh penyelenggara dan/atau kreditur Fintech P2PL
dikarenakan keterbatasan regulasi yang mengaturnya.
2. Perlindungan hukum terhadap kreditur Fintech P2PL belum memenuhi
prinsip kepastian hukum sebagaimana termanifestasi dalam ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
ketentuan lain terkait perlindungan hukum terhadap investor jasa
keuangan non-bank yang berbasis teknologi informasi. Hal ini didasari
oleh keterbatasan dalam ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi yang belum mengatur secara spesifik
mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur selaku investor dalam
pendanaan kegiatan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (Fintech P2PL) yang seringkali mengalami fraud, kondisi
gagal bayar oleh debitur, maupun tindakan lain yang dilakukan oleh
penyelenggara dan/atau debitur Fintech P2PL yang merugikan kreditur
selaku investor dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech berbasis Peer
To Peer Lending.
3. Perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur Fintech P2PL,
berupa upaya penegakan hukum dan penyelesaian sengketa
sebagaimana ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi hanya diberikan kepada debitur pada layanan
Fintech P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK, sementara pada
layanan Fintech P2PL illegal belum diatur pada ketentuan tersebut
sehingga menyulitkan OJK, AFPI, maupun aparat penegak hukum
untuk melakukan proses penegakan hukum sebagaimana mestinya
guna memberikan perlindungan hukum pada masyarakat selaku
debitur/konsumen layanan Fintech P2PL.
B. Rekomendasi
1. Peneliti memformulasikan dan merekomendasikan empat langkah
strategis dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan yang timbul
dalam problematika hukum menyangkut perlindungan hukum terhadap
debitur Fintech P2PL, meliputi pertama, memperhatikan aspek
kelengkapan informasi, keterbukaan informasi publik, dan transparansi
layanan yang ditawarkan oleh penyelenggara Fintech P2PL yang
dikontrol oleh BI, OJK, Kemenkominfo, Bareskrim, BSSN dan AFPI
melalui kanal data terpadu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
akuntabel kepada publik. Kedua, mekanisme penanganan, pengaduan,
132
dan penyelesaian sengketa berorientasi pada perlindungan konsumen
yang ditopang oleh instrumen dan perangkat hukum yang mapan
sebagai wujud nyata dalam perlindungan hukum bagi debitur Fintech
P2PL. Ketiga, keandalan dalam sistem layanan maupun sistem
pengelola layanan, sehingga mampu menjadi pencegah (preventif) dari
bentuk fraud (penipuan) dan perlindungan data pribadi (cybersecurity)
karena sistem sudah terintegrasi dengan baik. Dan keempat,
sinkronisasi dan harmonisasi seluruh elemen pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL agar menciptakan iklim
kegiatan usaha yang sehat dan mengedepankan pelayanan prima
kepada debitur selaku konsumen, serta berasaskan dan berorientasi
pada perlindungan konsumen.
2. OJK harus mempersiapkan secara matang perihal regulasi perangkat
hukum untuk mengatur mengani mekanisme penyelesaian masalah
sengketa yang akan timbul di kemudian hari jika terjadi fraud oleh
penyelenggara Fintech P2PL baik yang legal maupun illegal, dan
mengalami kondisi gagal bayar oleh debitur yang berimplikasi pada
kerugian bagi kreditur Fintech P2PL dalam mekanisme proses
penyelenggaraan layanan Fintech P2PL yang lebih baik dan
berorientasi pada perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL
guna terwujudnya perlindungan hukum bagi kreditur selaku
investor/pemberi pinjaman dalam kegiatan usaha Fintech P2PL.
3. Perlu adanya peningkatan upaya secara maksimal oleh OJK selaku
regulator dan pengawas untuk mengoptimalkan seluruh koordinasi dan
kerjasama dengan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam
penyelenggaraan Fintech P2PL, baik dari aspek regulasi dengan
pemerintah pusat dan DPR RI untuk mendorong lahirnya Undang-
Undang Tentang Fintech berbasis Peer To Peer Lending, serta
melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan elemen-elemen pihak
yang terlibat dalam kegiatan Fintech P2PL dalam berbagai sektor, baik
dari elemen penegak hukum, asosiasi Fintech (AFPI), BSSN, elemen
dari kreditur, debitur, serta melakukan pengawasan terhadap kualitas
kelaikan sistem informasi data pada layanan Fintech P2PL maupun
sumber daya maintenance-nya. Hal ini dilakukan demi mendukung
aktifitas/kegiatan usaha Fintech P2PL ke depan lebih baik, terintegrasi
dengan baik, dan mampu mengatasi segala problematika hukum yang
timbul bagi para pihak terkait penyelenggaraan Fintech P2PL,
sehingga dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum
bagi seluruh pihak dalam kegiatan Fintech P2PL secara proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adler, Prof. Dr. Haymans Manurung, Kenapa Pasar Drop Tajam : Jakarta: PT
Adler Manurung Press, 2014.
Adler, Prof. Dr. Haymans Manurung, Otoritas Jasa Keuangan: Pelindung
Investor, Jakarta : PT Adler Manurung Press, 2013.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana, 2006.
Bank Indonesia, Financial Technology: Perkembangan dan Respons Kebijakan
Bank Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia-Fintech Office, 2018.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998.
Christine, Ugochi Amajuoyi, Online Peer To Peer Lending Regulation:
Justification, Classification and Remit in UK Law, United Kingdom:
University of Exeter, August 2016.
D., Muliaman Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Jakarta:
Fintech-IBS Otoritas Jasa Keuangan, 2017.
Darmadji, Tjiptono dan Hendi M. Fakhrudin, Pasar Modal di Indonesia:
Pendekatan Tanya Jawab, Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Darus, Mariam Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996.
133
134
Dawam, M. Rahardjo, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Gramedia, 1989.
Donald Albert Rumokoy, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2014.
Erwin, Kusuma, dkk., Sejarah Perkembangan Kantor Bank Indonesia Medan,
Jakarta: Sarana Media, 2013.
Fajar, Mukti Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif Dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar 2010.
Fuady, Munir, Hukum Tentang Pembiayaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2006.
, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2007.
Gunawan, A. Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Halim, Abdul Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce: Studi Sistem
Keamanan dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Harahap, Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1982.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenadamedia
Grup, 2005.
Iman, Nofie, Financial Technology dan Lembaga Keuangan Keuangan,
Yogyakarta:Gathering Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016.
Indroharto, Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994.
Kantaprawira, Rusadi, Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 1998.
Kasmir, Dr., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi 2014, Jakarta:
135
Rajagrafindo Persada, 2014.
Kiko, Sarwin Napitupulu, dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, Jakarta:
Departemen Perlindungan Konsumen - Otoritas Jasa Keuangan,
2017.
Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Malang: Tim UB Press, 2011.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2009.
, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Bandung: Bina,1995.
M., John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia : An English –
Indonesian Dictionary, Jakarta : PT Gramedia, 2005.
Mahadi, Sumber-Sumber Hukum I, Jakarta: N.V. Soerongan, 1956.
Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.
Miru, Ahmad, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo
Jaya, 2014.
, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.
, Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1980.
Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan
dan Pembiayaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
Muhammad, Fahmi Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
136
Mulyosudarmo, Suwoto, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis
Pertanggungjawaban Kekuasaan, Surabaya: Universitas Airlangga, 1990.
Muri, A. Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, Jakarta: Kencana, 2014.
M., Philipus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005.
M., Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah
Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan
Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pemberontakan Peradilan
Administrasi, Surabaya: Peradaban, 1987.
Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, 2006.
Nasution, Darmin, Bank Sentral itu Harus Membumi, Yogyakarta: Galang
Pustaka, 2013 .
Otoritas Jasa Keuangan, Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, Jakarta : Departemen
Perlindungan Konsumen OJK, 2017.
Rachmat, Budi, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan
Menengah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Rahardjo, Satjipto, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya, 2000.
, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas,
2003.
Rajagukguk, Erman, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000.
Rasjidi, Lili dan I.B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja
Rusdakarya, 1993.
Rato, Dosminikus, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, Yogyakarta:
PT Presindo, 2010.
Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,
137
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Bandung: Refika Aditama,
2004.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. II, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.
Simorangkir, O.P., Seluk Beluk Bank Komersial, Jakarta: Penerbit Aksara Persada
Indonesia, 1989.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984.
Soenandar, Taryana, S.H., M.H., dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2016.
Soeroso, R., Perjanjian Di Bawah Tangan: Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Subekti, Prof. R., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.
, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996.
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Supramono, Gatot, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013.
Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, 1999.
Vardiansyah, Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar, Jakarta : Indeks,
2008.
Wawan, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Wirjono, R. Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur, 1973.
JURNAL DAN MAKALAH HUKUM
Adithya, Immanuel M. Chrismastianto, Analisis SWOT Implementasi Teknologi Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia, Jakarta :
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Edisi 137, 2017.
138
Dawam, M. Rahardjo, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, Jakarta, 1995, h. 85, dikutip dalam Maqdir Ismail, 2010, Bank Indonesia
dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Vol. 17
Nomor 3, tanpa tahun.
Ernasari, dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial
Technology : Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016, Semarang: Diponegoro Law Journal Vol. 6, 2017.
H., Ratna Juliayani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer
Lending, Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas
Islam Indonesia, 2018.
Inggrid, Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Pendekatan
Kausalitas Dalam Multivariate Vector Error Correction Model, Surabaya:
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Edisi No. 1 Vol. 8, Fakultas
Ekonomi Universitas Kristen Petra Surabaya, 2016.
International Organization of Securities Commissions. IOSCO Research Report
On Financial Technologies (Fintech), 2017.
M., Philipus Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Surabaya: Universitas
Airlangga, tanpa tahun.
Margaretha, Farah, “Dampak Elektronic Banking Terhadap Kinerja Perbankan
Indonesia”, Jakarta: Jurnal Keuangan dan Perbankan Edisi 19, 2015.
Nawawi, Barda Arief, “Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber
Sex”, Jakarta: Jurnal Law Reform Edisi 11, 2005.
Nurhasanah dan Indra Rahmatullah, “The Legal Protection of Sharia Financial
Technology In Indonesia (Analysis of Regulation, Structure, and Law
Enforcement”, International Journal of Advanced Science and Technology
Vol. 29 No. 3, 2020, pp. 3086-3097, h. 3094.
Prince, G.H.A, “Monetary Policy in Colonial Indonesia and the Position of the
Java Bank”, dalam Maqdir Ismail, 2010, Bank Indonesia dalam Tata
Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Vol. 17 Nomor 3, tanpa
tahun.
Rahmayani, Nuzul, Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait
Pengawasan Perusahaan Berbasis Financial Technology di Indonesia,
Padang: Pagaruyuang Law Journal Edisi No. 1 Vol. 2, Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, 2018.
139
Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung,
Universitas Parahyangan, 2000.
T.M, Jan Van Laanen, Between the Java Bank and the Chinese Moneylender:
Banking and Credit in Colonial Indonesia, dikutip dalam Maqdir Ismail,
2010, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Jurnal
Hukum Vol. 17 Nomor 3, tanpa tahun.
Wardhana, Ali, “The Indonesian Banking System”, The Central Bank, dalam
Bruce Glassburner (ed.), The Economy of Indonesia, Selected Readings,
Cornell University Press, Ithaca and London, 1971, h. 349. dikutip dalam
Maqdir Ismail, 2010, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan
Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Vol. 17 Nomor 3, tanpa tahun.
INTERNET
APJII: Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Tembus 171 Juta Jiwa, dilansir
dari https://tekno.kompas.com/read/2019/05/16/03260037/apjii-jumlah-
pengguna-internet-di-indonesia-tembus-171-juta-jiwa diakses pada 30 Juli
2019, Pukul 21.30 BBWI.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilansir dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha_Persiapan_Kemer
dekaan_Indonesia, diakses pada tanggal 6 Desember 2019, Pukul 01.00
BBWI.
Bagaimana Fintech Peer To Peer Lending Bekerja dilansir dari
https://modalku.co.id/faq, https://www.investree.id/how-it-works,
https://koinworks.com/id/education-center/bagaimana-peer-lending-
bekerja, diakses pada 29 November 2019, Pukul 20.33 BBWI.
Bapenda Provinsi Jawa Barat, Financial Technology, Layanan Financial Berbasis IT, dilansir dari http://bapenda.jabarprov.go.id/2016/12/26/financial-
technology-layanan-finansial-berbasis-it, diakses pada tanggal 12
November 2019, Pukul 09.00 BBWI.
Bursa Efek, dilansir dari
www.sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/270, diakses pada 28
November 2019, Pukul 21.00 BBWI.
Chandra, Ellen, Definisi Fintech, dilansir dari
https://finansialku.com/definisi-fintech-adalah/, diakses pada 24
November 2019, Pukul 01.00 BBWI.
140
Data Penyelenggaraan Fintech (Peer To Peer Lending) Terdaftar di OJK per 1
Mei 2019, dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-
Mei-2019.aspx2019.aspx, diakses pada 26 Desember 2019, Pukul 11.00
BBWI.
Financial Technology, Layanan Financial Berbasis IT”, dilansir dari
http://bapenda.jabarprov.go.id/2016/12/26/financial-technology-layanan-
finansialberbasis-it/, diakses pada tanggal 20 November 2019, Pukul 07.04
BBWI.
Fintech https://Fintech.id/, diakses pada 12 November 2019, Pukul 19.09 BBWI.
Fintech Peer to Peer Lending dilansir dari
https://www.investopedia.com/term/p/peer-to-peer-lending.asp, diakses
pada 21 November 2019, Pukul 12.00 BBWI.
Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Otoritas Jasa Keuangan
Periode 2018-2019, dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-
dan-statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Maret-
2019.aspx, diakses pada 26 Desember 2019 Pukul 09.00 BBWI.
Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, dilansir dari https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-
pinjol/ , diakses pada 27 Desember 2019, Pukul 04.00 BBWI.
Mandiri Virtual Account, dilansir dari
https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account, diakses pada 29
November 2019, Pukul 02.00 BBWI.
Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dilansir dari
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-
413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-rentenir-online-ke-ylki, diakses
pada 10 November 2019, Pukul 21.59 BBWI.
Otoritas Jasa Keuangan, dilansir dari
https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx,
diakses pada 29 November 2019, Pukul 09.10 BBWI.
Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per 30 Oktober 2019,
dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-
OJK-per-30-Oktober-2019.aspx diakses pada 25 November 2019, Pukul
22.00 BBWI.
141
Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per Desember 2019, dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-
OJK-per-Desember-2019.aspx diakses pada 26 Desember 2019, Pukul
01.00 BBWI.
Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per 7 Agustus 2019, dilansir
dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-
OJK-per-7-Agustus-2019.aspx diakses pada 25 November 2019, Pukul
12.00 BBWI.
Profil Kominfo, dilansir dari https://www.kominfo.go.id/profil diakses pada 25
Desember 2019, Pukul 16.40 BBWI.
Sugianto, Danang, “Transaksi Fintech di Indonesia Tembus Rp. 26 Triliun”,
(2019), dilansir dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
4445880/transaksi-fintech-di-Indonesia-tembus-rp-26-triliun, diakses pada
24 November 2019, Pukul 20.00 BBWI.
Tugas dan Fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika, dilansir dari
https://kominfo.go.id/tugas-dan-fungsi diakses pada 25 Desember 2019,
Pukul 17.00 BBWI.
Unit Khusus Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia, dilansir dari
http://www.bi.go.id/id/tentangbi/museum/sejarahbi/bi/Documents/12c38fa
44da54699ade9e2c55e498733SejarahKelembagaanPeriode 19591966.pdf ,
diakses pada 5 Desember 2019, Pukul 19.00 BBWI.
Utami, Eka, Jenis-Jenis Usaha Fintech Yang Ada di Indonesia, dilansir dari
https://qerja.com/journal/view/12876-jenis-jenis-usaha-fintech-yang-ada-
di-indonesia-eu01/, diakses pada 23 November 2019, Pukul 04.28 BBWI.
V., Dhar, Stein, R.M. (2017), Fintech Platforms and Strategy, Communications of the ACM, November 2019 Pukul 09.00 BBWI.
W., Professor Douglas Arner, “Fintech: Evolution And Regulation”, 2017.
Presentation, dilansir dari
http://law.unimelb.edu.au/_data/assets/pdf_file/0011/1978256/D-Arner-
Fintech-Evolution-Melbourne-June-2016.pdf., diakses pada 20 November
2019, Pukul 19.00 BBWI.
Wijaya, Rheynold, Fintech dan Bank: Pesaing atau Masa Depan Keuangan,
dilansir dari
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/fintech/17/12/21/plaftp408-
142
fintech-dan-bank-pesaing-atau-masa-depan-keuangan, diakses pada 22 November 2019, Pukul 22.00 BBWI.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor
Indonesie)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 Tentang
Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1992 jo. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian atau Pertanggungan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
AUDIENSI DAN WAWANCARA
Audiensi dan Wawancara Bersama Dengan :
143
1. Bapak Dr. Teguh Supangkat, selaku Deputi Komisioner Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus Dewan Pakar Fintech dan Anggota
Satgas Waspada Investasi dari Unsur Otoritas Jasa Keuangan, yang
dilakukan pada 5 November 2019, Pukul 16.00 BBWI.
2. Bapak Sarjito, S.E., S.H., M.B.A., selaku Deputi Komisioner Edukasi dan
Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan, yang dilakukan pada 6
November 2019, Pukul 15.00 BBWI
3. Bapak Munawar Kasan, selaku Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, yang
dilakukan pada 5 November 2019, Pukul 10.00 BBWI.
4. Ibu Tanti Tarry, selaku korban platform layanan Fintech Peer To Peer
Lending illegal.
144
LAMPIRAN
Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Dr. Teguh Supangkat, selaku
Deputi Komisioner Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus
Dewan Pakar Fintech dan Anggota Satgas Waspada Investasi dari Unsur
Otoritas Jasa Keuangan bertempat di ruangan beliau, yang dilakukan pada
5 November 2019, Pukul 16.00 BBWI.
145
Audiensi dan Wawancara Bersama dengan Bapak Munawar Kasan, selaku
Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial
Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan bertempat di ruangan beliau,
yang dilakukan pada 5 November 2019, Pukul 10.00 BBWI.
146
Wawancara dengan Ibu Tanti Tarry, selaku korban platform layanan Fintech Peer
To Peer Lending illegal.
147
148
149
150
151