Pengaruh Pemberian Infusa Simplisia Daun Kluwih (Artocarpus camansi Blanco) terhadap Spermatogenesis Mencit (Mus musculus L.) Jantan Galur
DDY
Ihya Chair, Setiorini, Dadang Kusmana
Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa daun kluwih terhadap spermatogenesis mencit jantan galur DDY. Sebanyak 24 ekor mencit terbagi kedalam 4 kelompok, yakni kelompok kontrol (KK) yang diberikan akuades, kelompok perlakuan (KP1, KP2, dan KP3) yang diberikan infusa daun kluwih dengan dosis berturut-turut, yaitu 2,5; 5; dan 10 g/kg BB. Infusa daun kluwih diberikan selama 36 hari. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap berat basah testis, pengamatan dengan angka penilaian Johnsen, dan pengukuran diameter tubulus seminiferus. Data rerata berat testis pada KK, KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut ialah (0,307± 0,030)g, (0,268± 0,014)g, (0,223± 0,016)g, dan (0,239± 0,020)g. Data rerata diameter tubulus seminiferus KK (205,17 ± 3,79) µm, KP1 (200,97 ± 4,82) µm, KP2 (203,78 ± 3,96) µm, dan KP3 (189,79 ± 3,82) µm. Data rerata angka penilaian metode Johnsen pada KK, KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut adalah (9,71± 0,12), (9,63± 0,08), (9,38± 0,10), dan (9,34± 0,11). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusa daun kluwih (Artocarpus camansi Blanco) berpengaruh terhadap spermatogenesis mencit jantan pada dosis 2,5; 5; dan 10 g/kg BB.
Effects of Breadnut Leaf’s Infusion (Artocarpus camansi Blanco) Intake on Spermatogenesis of Male Mice (Mus musculus L.) DDY Strain
Abstract
The research has been done to determine the effect of Kluwih leaf’s infusion intake on spermatogenesis of male mice DDY strain. 24 males mice have divided into 4 experimental group; control group which only given aquades and treament group which given infusion with doses 2,5;5;10 g/kg bw. Test material administated for 36 consecutive days. Then measured the weight of testis, observations with numerical of Johnsen scores, and the diameter of the tubules seminiferous. Mean of testes weigth: KK (0,307± 0,030)g, KP1 (0,268± 0,014)g, KP2 (0,223± 0,016)g, and KP3 (0,239± 0,020)g. Mean of diameter of tubules seminferous: KK (205,17 ± 3,79) µm, KP1 (200,97 ± 4,82) µm, KP2 (203,78 ± 3,96) µm, and KP3 (189,79 ± 3,82) µm. Mean of numerical of Johnsen score:KK (9,71± 0,12), KP1(9,63± 0,08), KP2(9,38± 0,10), and KP3 (9,34± 0,11). Based on LSD test (P<0.05) the result showed that the data has differences between treatment and control group. The result indicated that the treatment group have impact on spermatogenesis of male mice with doses 2,5;5;10 g/kg bw.
Keywords: breadnut leaf infusion, testes weight, Johnsen score, diameter of tubulus seminiferus, mice Pendahuluan
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih memiliki laju pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi. Laju pertumbuhan penduduk tersebut pada tahun 2000 hingga 2010 mencapai angka sekitar 1,49 % per
tahun, namun mengalami penurunan sekitar 0,09% menjadi 1,40 % pada tahun 2010 hingga 2014 (BPS
2014:37). Salah satu faktor yang memengaruhi laju pertumbuhan penduduk ialah angka kelahiran. Angka
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
kelahiran yang tinggi akan meningkatkan laju pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu upaya pengendalian
kelahiran yang efektif sangat diperlukan untuk menekan tingginya laju pertumbuhan penduduk di Indonesia
(BKKBN 2009: 7; Sumini dkk. 2009:5).
Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengendalikan kelahiran ialah penggunaan kontrasepsi.
Kontrasepsi merupakan metode yang digunakan untuk mencegah terjadinya kehamilan (Kemala 2002:9).
Metode kontrasepsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yakni, kontrasepsi hormonal (seperti pil,
suntikan, dan implant); serta kontrasepsi nonhormonal (seperti kondom, metode vasektomi, dan tubektomi)
(Welch 2010: 95).
Metode kontrasepsi di Indonesia baik hormonal maupun nonhormonal lebih ditujukan untuk kaum wanita.
Pada tahun 2013 cakupan KB aktif secara nasional di 33 provinsi memiliki persentase sebesar 75,88 % dari
jumlah total pasangan usia subur (PUS). Dari persentase tersebut sebagian besar pengguna kontrasepsi
merupakan kaum wanita dengan persentase sebesar 93,66% (Kementerian Kesehatan RI 2014: 2). Metode
kontrasepsi pada pria di Indonesia masih terbatas pada kontrasepsi nonhormonal, seperti vasektomi dan kondom
(Kementerian Kesehatan RI 2014:2). Oleh karena itu metode kontrasepsi pria secara hormonal perlu
ditingkatkan.
Untuk meningkatkan partisipasi pria dalam berkontrasepsi, perlu dikembangkan metode kontrasepsi
hormonal pria. Bahan herbal yang berpotensi menghambat proses spermatogenesis dapat dijadikan sebagai
kontrasepsi hormonal alternatif bagi pria. Kontrasepsi berbahan herbal memiliki beberapa kelebihan, yakni efek
samping yang ditimbulkan lebih sedikit sehingga relatif lebih aman dibandingkan dengan menggunakan bahan
sintetis (Joshi dkk. 2011:204; Kaur dkk. 2011:6).
Beberapa tanaman diketahui dapat digunakan sebagai bahan herbal yang berpotensi menghambat proses
spermatogenesis (Joshi dkk. 2011:204). Tumbuhan yang telah diteliti secara empiris dapat berpotensi untuk
digunakan sebagai bahan antifertilitas, antara lain umbi Curcuma longa (kunyit), daun Abrus precatorius (saga
rambat), daun Barleria prionitis (bunga landak), daun Bacopa monnieri (daun air), daun Allamanda catahrtica
(alamanda), dan daun Ocimum sanctum (kemangi) (Joshi dkk.2011:207).
Tanaman lain yang juga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan antifertilitas yakni tanaman kluwih
(Artocarpus camansi Blanco) (Prasetya 2010: 7; Ismara 2015:1). Tanaman kluwih merupakan salah satu
tanaman asli Indonesia yang secara tradisional telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan obat
tradisional untuk untuk mengatasi beberapa penyakit seperti hepatitis dan diabetes (Marieanne dkk. 2011:66;
Rosnani dkk. 2014: 1284).
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap proses spermatogenesis maka dilakukan pengamatan
terhadap sediaan histologis testis (Kusmana 2001:55; Mushtaq dkk. 2013: 81). Pengamatan terhadap sediaan
histologis meliputi pengukuran diameter tubulus seminiferus dan penilaian semikuantitatif terhadap epithelium
tubulus seminiferus menggunakan metode Johnsen (Kusmana 2001: 56; Wahyu dkk. 2016). Penilaian
semikuantitatif metode Jonhsen bertujuan untuk mengetahui perkembangan spermatogenesis pada tubulus
seminiferus (Kusmana 2001:57). Dari tiap sampel percobaan, dilakukan pengukuran diameter tubulus
seminiferus dan penilaian semikuantitatif penilaian Johnsen terhadap 100 tubulus seminiferus yang berasal dari
area sayatan testis yang berbeda (mewakili area testis bagian anterior, tengah, dan posterior) (Kusmana 2001:57;
McLachlan dkk. 2006:3).
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
Tinjauan Teoritis Kluwih (Artocarpus camasi Blanco)
Tanaman kluwih (Artocarpus camansi Blanco) merupakan salah satu tanaman khas Indonesia (Orwa et al
2009: 2). Asal mula keberadaan tanaman kluwih di Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun penyebarannya
dapat ditemukan dari Indonesia bagian barat hingga bagian timur (Pitojo 2005: 11). Tanaman Kluwih telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan keragaman nama daerah dari kluwih seperti Kulur (Batak), Kalawi
(Minangkabau), Kaluwih (Lampung), Kili (Aceh), Kelewih (Sunda), Kluwih (Jawa), Kolo (Bima), Ulo (Bugis),
dan Dolai (Halmahera) (Waristek 2015:1).
Daun kluwih diketahui mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid, fenolik dan
terpenoid (Marianne dkk. 2011: 66). Tanaman dari genus Artocarpus diketahui mengandung beberapa senyawa
metabolit sekunder dari golongan fenolik, antara lain artocarpine, chalcone, flavonone, prenylflavone,
pyranoflavone, dihidrobenzoxanthone, pyranoflavon, cyclopentenoxantone, quinonoxanthone,
furanodihidrobenzoxanthone, dan dihidroxanthone (Indrowati dan Soegihardjo 2005: 61; Hakim 2010: 140—
154; Hari dkk. 2014: 9). Menurut Marianna dkk. (2013: 53—54), senyawa fenolik terbanyak yang terkandung
dalam daun kluwih yaitu senyawa chalcone.
Infusa simplisia daun kluwih diketahui dapat memengaruhi proses spermatogenesis (Ismara 2015:39). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ismara (2015: 39--43) menunjukkan pemberian infusa simplisia daun kluwih
dengan dosis 2,5; 5; dan 10 g/kg BB selama 36 hari kepada mencit jantan (Mus musculus L.) dapat menurunkan
fertilitas mencit jantan dengan ditandai adanya penurunan jumlah spermatozoa, motilitas spermatozoa, dan
adanya peningkatan abnormalitas spermatozoa (Ismara 2015: 40—43).
Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan proses pembentukkan spermatozoa yang terjadi di dalam tubulus seminiferus
yang meliputi proses pembelahan dan perkembangan sel-sel induk (spermatogonia A) membentuk spermatozoa
(Rugh 1968:12--22). Satu proses spermatogenesis pada mencit secara lengkap terdiri atas empat siklus epitel
seminiferous yang terjadi selama kurang lebih 35,5 hari (Rugh 1968: 22). Proses spermatogenesis pada mencit
pada dasarnya sama dengan mamalia lainnya yang meliputi tahapan spermatositogenesis, pembelahan meiosis,
dan spermiogenesis (Meshcher 2013:438; Rugh 1968:21). Spermatositogenesis merupakan tahapan awal dari
spermatogenesis yang terdiri atas beberapa rangkaian pembelahan mitosis dari sel spermatogonia A hingga
membentuk sel spermatogonia B (Rugh 1968:13). Sel spermatogonia A merupakan sel induk dalam proses
spermatogenesis yang memiliki inti berbentuk lonjong dengan granul kromatin yang nampak pucat. Sel
spermatogonia B merupakan sel bakal spermatosit primer yang memiliki inti berbentuk bulat dengan granul
kromatin yang padat (Mescher 2013: 438; Rugh 1968: 13).
Fase spermatositogenesis terdiri dari 5 kali pembelahan mitosis yang terjadi secara berurutan. Pembelahan
mitosis pertama terjadi pada sel spermatogonia A (Mescher 2013: 431--432). . Sel spermatogonia A mengalami
mitosis sebanyak dua kali membentuk 4 sel spermatogonia A (Rugh 1968:13). Dari keempat sel spermatogonia
yang terbentuk, 3 di antaranya mengalami pembelahan mitosis lebih lanjut menghasilkan 6 sel spermatogonia
intermediet dan salah satunya akan kembali menjadi sel spermatogonia A untuk proses spermatogenesis
berikutnya. Sel spermatogonia intermediet akan mengalami satu kali permbelahan mitosis membentuk 12 sel
spermatogonia B. Sel spermatogonia B merupakan sel progenitor yang selanjutnya akan mengalami mitosis
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
sehingga terbentuk spematosit primer dan berada pada fase istirahat pada tahap preleptoten (Mescher 2013: 432;
Johnson & Everitt 2000: 55-57; Rugh 1968: 13).
Tahapan berikutnya adalah tahapan pembelahan meiosis yang terdiri dari dua tahap pembelahan, yaitu
meiosis I dan meiosis II di mana masing-masing mengalami fase profase, metafase, anafase dan telofase
(Mescher 2013: 434; Rugh 1968:16). Profase pada meiosis I yang meliputi beberapa tahapan, yakni tahap
leptoten di mana terjadi penebalan (kondensasi) benang-benang kromatin membentuk struktur kromosom (Rugh
1968:16). Tahapan berikutnya yakni tahap zigoten di mana antara kromosom homolog saling berpasangan
membentuk sinapsis. Tahapan selanjutnya yakni tahap pakiten, pada tahap ini terjadi duplikasi kromosom
membentuk tetrad (empat lengan kromosom) (Mescher 2013: 434). Setelah tahap pakiten, profase I berlanjut
pada tahap diploten, pada tahap ini dua kromatid antara kromosom dengan homolognya saling berlekatan
membentuk chiasma dan terjadi peristiwa pindah silang (crossing over). Tahap terakhir dari profase I yakni
tahap diakinesis, pada tahap ini nucleus terdegradasi, tetrad bergerak menuju kutub ekuator, dan terbentuk
benang-benang spindle dari pergerakkan dua sentriol menuju kutub pembelahan (Guyton 2006: 997—998;
Johnson & Everitt 2000: 55-57; Rugh 1968:16).
Meiosis I merupakan pembelahan sel di mana terjadi pemisahan kromosom homolog, sehingga pada tahap
ini terjadi reduksi jumlah kromosom. Pembelahan meiosis I menghasilkan spermatosit sekunder yang bersifat
haploid, kemudian memasuki meiosis II (Guyton 2006: 997—998). Pembelahan pada meiosis II terjadi seperti
halnya pada pembelahan mitosis di mana terjadi pemisahan kromatid saudara tanpa adanya reduksi jumlah
kromosom. Hasil daripada pembelahan meiosis II yakni 4 sel spermatid (Mescher 2013:434).
Spermiogenesis merupakan tahap akhir dari proses spermatogenesis yang meliputi diferensiasi sel spermatid
menjadi spermatozoa. Proses tersebut meliputi perubahan komposisi sel dan transformasi struktur sel, di mana
terjadi pemadatan pada area nukleus sehingga membentuk struktur caput (kepala) serta adanya reduksi
sitoplasma sehingga membentuk ekor. Pada bagian leher (middle piece) spermatozoa terdapat mitokondria untuk
respirasi sel (Moeloek 1994: 18; Rugh 1968:8-12). Spermiogenesis pada mencit terbagi atas 16 tahapan
berdasarkan perubahan pada bagian akrosom dan nucleus (Rugh 1968:19). Tahapan tersebut terbagi lagi menjadi
empat fase, yakni fase golgi (tahap 1--3), fase tudung (tahap 4--7), fase akrosom (tahap 8--12), dan fase
pematangan (tahap 13--16) (Rugh 1968:8-12). Setelah spermiogenesis kemudian dilanjutkan ke tahap spermiasi
yaitu proses dilepaskannya spermatozoa ke dalam lumen tubulus seminiferus yang dipengaruhi oleh hormone
FSH (Pakurar & Bigbee 2004: 187--188).
Biosintesis testosterone
Testosteron merupakan hormon steroid yang berasal dari molekul kolesterol (Johnson & Everitt 2000: 34;
Sherwood 2009: 420). Hormon testosterone dihasilkan oleh sel Leydig yang terdapat pada organ testis (Ganong
2008: 445). Proses biosintesis hormone testosterone pada sel Leydig diawali dengan stimulasi oleh hormone LH
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis anterior (Granner 2003: 582-583). Tahap pertama proses biosintesis
testosteron diawali dengan adanya pemutusan rantai samping pada senyawa kolesterol membentuk senyawa
pregnenolon (Ye dkk. 2011: 9984). Pregnenolon selanjutnya akan dikonversi menjadi progesteron melalui reaksi
dehidrogenasi oleh enzim 3-β hidroksi steroid dehidrogenase (Ye dkk. 2011: 9984). Progesterone kemudian
mengalami reaksi hidroksilasi pada karbon ke-17 oleh enzim 17-α-hidroksilase membentuk 17-α-progesteron
(Granner 2003: 538; Ye dkk. 2011: 9984). 17-α-progesteron kemudian dikonversi membentuk androstenedion
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
oleh enzim liase (Sherwood 2009: 420). Gugus keto pada karbon ke-17 dari molekul androstenedion kemudian
direduksi menjadi gugus hidroksil membentuk molekul testosterone (Ye dkk. 2011: 9984).
Hormon steroid dan mekanisme feed back (umpan balik)
Testosteron merupakan hormone steroid yang berperan dalam maskulinisasi yang dihasilkan oleh testis
(Guyton 2006: 1004—1005; Sherwood 2010: 755; Sudharma 2012: 8). Fungsi testosteron antara lain mengontrol
proses spermatogenesis pada pembelahan meiosis dan proses spermiogenesis, merangsang kelenjar prostat untuk
menyekresi asam sitrat, merangsang vesika seminalis untuk menyekresi cairan semen, dan meningkatkan
rangsangan seks (libido) pria. Dalam darah, testosteron terdapat dalam bentuk bebas (tidak terikat), atau terikat
pada protein serum (Sudharma 2012: 8).
Testosteron meninggalkan sirkulasi dan menembus membran sel target, secara enzimatik diubah menjadi
dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 α-reductase mikrosom kemudian terikat pada reseptor intrasitoplasma
spesifik, maka kompleks reseptordihidrotestosteron akan mengalami translokasi ke dalam nukleus di mana
selanjutnya akan mengalami transformasi yang memungkinkannya terikat pada kromatin inti (Rachmadi 2008:
36--37). Interaksi dari kompleks reseptor androgen-dihidrostestosteron dengan kromatin menyebabkan sintesis
messenger RNA yang pada akhirnya diangkut ke sitoplasma di mana yang kemudian akan mengarahkan
transkripsi dari sintesis protein baru dan perubahan-perubahan lain yang secara bersamasama menghasilkan
kerja androgen (Rachmadi 2008: 36--37).
Dalam poros hipotalamus-hipofisis-testis, terdapat hubungan timbal balik sekresi LH dan FSH hipofisis
anterior oleh testis (Guyton 2006: 1007). Testosteron yang dihasilkan oleh testis mempunyai efek timbal balik
menghentikan sekresi LH oleh hipofisis anterior (Sherwood 2010: 755). Efek ini terjadi melalui dua cara.
Pertama penghambatan yang lebih besar dihasilkan dari efek langsung testosteron terhadap hipotalamus dalam
menurunkan sekresi GnRH (Silverthorn dkk. 2001: 744). Keadaan ini sebaliknya secara bersamaan
menyebabkan penurunan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior sehingga penurunan LH ini akan
menurunkan sekresi testosteron oleh testis. Kedua testosteron juga memiliki efek umpan balik negatif secara
lansung ke hipofisis anterior sebagai tambahan terhadap efek umpan balik hipofisis anterior terhadap
hipotalamus (Sopia 2009:21).
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Perkembangan, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA-UI) dan Rumah Hewan. Penelitian dilakukan selama 8 bulan, dimulai dari
bulan Maret 2016 hingga Oktober 2016.
Bahan
Simplisia daun kluwih diperoleh dari PT. Herbal Insani kelurahan Duren Seribu kecamatan Bojongsari,
Kota Depok. Tanaman kluwih yang digunakan telah berusia sekitar tiga (4) tahun. Hewan uji yang digunakan
adalah Mus musculus L. (mencit) jantan galur DDY sebanyak 24 ekor, yang berumur sekitar 2-3 bulan dengan
berat 20-30 g. Hewan tersebut diperoleh dari Bagian Non Ruminansia dan Aneka Ternak Kampus, Institut
Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara larutan natrium klorida
(NaCl) 0.9%, larutan Bouin, alkohol 70%, alkohol 96% [Merck], alkohol 100% [Merck] benzyl benzoate
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
[Merck], benzol [Merck] paraffin, spiritus, albumin Meyer, akuades, xilol, Hematoksin Bohmer 1%, asam
klorida (HCl) 1%, Eosin Y 1%, dan entelan [Merck].
Alat
Peralatan yang digunakan adalah kandang mencit berupa bak plastik berukuran (30x20x10) cm3 yang diberi
serbuk kayu sebagai alas, tutup kandang terbuat dari anyaman kawat dengan jarak anyaman 0,5 cm, timbangan
mencit [KrisChef], lampu 20 Watt [Osram], exhaust fan [National], botol kaca, timbangan analitik elektrik [mini
digital scale], Blender [Philips], kaca arloji, pipet kaca, alumunium foil, gelas beaker 30 ml [Pyrex], batang
pengaduk, gelas ukur 10 ml [Pyrex], kertas saring [Whatman no.1], corong kaca, sonde lambung (gavage
needle), dan disposable syringe 1 ml [Terumo], papan bedah, dissecting set, botol film, Cutter [Kenko], kertas
tisu, oven [Lab. Line Instrument], lampu spiritus, batang kayu, kotak parafin, kuas kecil, mikrotom putar
[American Optical], hot plate [Sakura], gelas obyek [Sail Brand], kaca penutup [Assistant], staining jar [AHT
Co.], kulkas [Bauknecht], rak preparat, mikroskop medan terang [Nikon], mikroproyektor [Ken A Vision],
kamera digital [Canon], penggaris, dan alat tulis.
Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap
(RAL), yang terdiri dari 4 perlakuan dan tiap kelompok terdiri dari 6 ulangan. Jumlah ulangan ditentukan
berdasarkan rumus
Frederer, yaitu (t-1) (n-1) ≥ 15 (Shilvana 2009: 27), dengan jumlah t jumlah perlakuan dan n jumlah
ulangan. Kelompok-kelompok perlakuan yang akan dilaksanakan adalah:
a. Kelompok kontrol (KK), yaitu kelompok mencit (Mus musculus L.) yang hanya diberikan akuades.
b. Kelompok perlakuan 1 (KP1), yaitu kelompok mencit (Mus musculus L.) yang diberi infusa simplisia daun
kluwih dengan dosis 2,5 g/kg BB secara oral selama 36 hari.
c. Kelompok perlakuan 2 (KP2), yaitu kelompok mencit (Mus musculus L.) yang diberi infusa simplisia daun
kluwih dengan dosis 5 g/kg BB secara oral selama 36 hari.
d. Kelompok perlakuan 3 (KP3), yaitu kelompok mencit (Mus musculus L.) yang diberi infusa simplisia daun
kluwih dengan dosis 10 g/kg BB secara oral selama 36 hari.
Pembuatan Serbuk Simplisia Daun Kluwih
Simplisia daun kluwih yang telah kering dipotong kecil-kecil dan diblender hingga menjadi serbuk kasar.
Serbuk kasar yang diperoleh kemudian disaring dengan saringan yang berukuran 25 lubang per !"!. Proses ini
dilakukan untuk memperoleh serbuk simplisia yang lebih halus. Dari 884 gram simplisia daun kluwih kering
diperoleh serbuk simplisia halus seberat 512 gram. Sebelum digunakan, serbuk simplisia disimpan terlebih
dahulu pada inkubator dengan suhu 40 °C dan ditimbang secara berulang hingga beratnya konstan.
Pembuatan Infusa Simplisia Daun Kluwih
Dosis yang digunakan adalah 2,5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan 10 g/kg BB. Infus simplisia daun kluwih dengan
dosis 2,5 g/kg BB diperoleh dengan cara memasukkan 2,5 g serbuk simplisia daun kluwih ke dalam gelas
Beaker, setelah itu dimasukkan akuades hingga mencapai volume 10 ml. Setelah itu campuran tersebut
dihomogenkan dan dipanaskan pada penangas air pada suhu 90°C selama 15 menit. Infusa yang diperoleh
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
disaring dengan kertas saring (Depkes RI 1995: 9). Untuk membuat infus simplisia daun kluwih dosis 5 g/kg BB
dan 10 g/kg BB dilakukan dengan cara yang sama.
Perlakuan Terhadap Mencit (Mus musculus L.)
Mencit (Mus musculus L.) jantan diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7 hari sebelum masing-masing
kelompok diberi perlakuan. Kelompok kontrol (KK) diberikan akuades sebanyak 10 ml/kg bb secara oral selama
36 hari berturut-turut. Kelompok perlakuan KP1, KP2, dan KP3 diberi infusa simplisia daun kluwih secara oral
selama 36 hari berturut-turut dengan dosis masing-masing 2,5 g/kg BB (KP1), 5 g/kg BB (KP2), dan 10 g/kg BB
(KP3). Jumlah volume cekok untuk tiap perlakuan berdasarkan rumus sebagai berikut:
(Olsen dkk. 2008:112—116).
Pembedahan dan Pengambilan Organ Testis
Mencit dikorbankan pada hari ke-37 kemudian dibedah dengan menggunakan dissecting set untuk
mengisolasi organ testis. Organ testis yang telah diisolasi kemudian ditimbang dengan timbangan digital. Organ
yang telah ditimbang kemudian selanjutnya akan diproses ke tahap pembuatan preparat dengan metode parafin
dan pewarnaan dengan HE (Hematoksilin-Eosin).
Pengamatan Sediaan Histologis dan Pengambilan Data
Setiap ekor mencit dibuat sediaan histologi organ testis (kanan dan kiri) sebanyak lima (5) sediaan. Sediaan
histologi testis diambil dari bagian testis anterior, middle, dan posterior. Tiap sediaan terdiri dari 10-12 sayatan
organ testis. Tiap sediaan testis, diamati 100 tubulus seminiferus yang memenuhi syarat yakni memiliki struktur
bulat utuh dan tampak jelas untuk diamati.
Parameter yang diamati ialah pengukuran diameter tubulus seminiferus dan penilaian semikuantitatif
metode Johnsen. Diameter tubulus seminiferus diukur dengan menggunakan mikroproyektor. Pengamatan
tubulus seminiferus yang diproyeksikan ke bidang pengukuran kemudian dilakukan kalibrasi dengan
menggunakan mikrometer objektif ukuran 1 mm untuk mendapatkan nilai yang sebenarnya dan kemudian
diukur diameternya dengan menggunakan penggaris plastik.
Pengamatan semi kuantitatif dilakukan dengan menggunakan penilaian metode Johnsen (Kusmana 2001:
57). Metode tersebut dilakukan dengam memberi skor tubulus seminiferus dengan nilai 1-10, dengan kriteria
sebagai berikut :
Nilai 10: spermatogenesis lengkap dan teratur dengan spermatozoa banyak dan epitel tubulus seminiferus
normal.
Nilai 9 : spermatozoa banyak, tetapi epitel tubulus seminiferus tidak teratur, tampak bagian epitel tubulus
seminiferus yang lepas.
Nilai 8 : jumlah spermatozoa dalam tubulus < 10.
Nilai 7 : tidak tampak spermatozoa dalam tubulus, tetapi masih banyak spermatid.
Nilai 6 : tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus < 10.
Nilai 5 : tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus, tapi masih ada banyak spermatosit.
Nilai 4 : tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus, sedangkan jumlah spermatosit < 5.
Volume cekok = berat badan mencit (g)/100 g x 1 ml
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
Nilai 3 : sel spermatogenik dalam tubulus hanya terdiri atas spermatogonia.
Nilai 2 : tidak terdapat sel spermatogenik dalam tubulus, hanya sel sertoli.
Nilai 1 : tidak terdapat sel spermatogenik dan sel sertoli dalam tubulus.
Angka rata-rata yang didapat dari jumlah nilai tubulus dalam sediaan dibagi dengan jumlah tubulus
yang dinilai merupakan nilai akhir untuk sediaan tersebut.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dimasukkan dalam tabel dan diolah dengan menggunakan program komputer
Statistical Package for Social Science (SPSS) for Windows dengan pendekatan uji nilai probabilitas (P) dengan
kesimpulan hasil uji membandingkan taraf nyata (α = 0,05) dengan nilai probabilitas yang diperoleh melalui
SPSS versi 16.
Uji normalitas dan uji homogenitas digunakan sebagai uji persyaratan untuk uji statistik parametric
(Nugraha 2014: 270). Uji normalitas menggunakan uji Shaphiro-Wilk dan uji homogenitas menggunakan uji
Levene (Santoso 2003: 189). Data yang diperoleh berdistribusi normal dan bervariasi homogen maka akan
dilanjutkan dengan uji parametrik. Uji parametrik yang digunakan adalah uji Anava 1-arah untuk mengetahui
ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Jika data tidak berdistribusi normal dan homogen, maka digunakan uji
nonparametrik Kruskal-Wallis, kemudian dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda LSD (Least
Significance Difference) (Santoso 2006:79).
Hasil Penelitian Penilaian metode Johnsen
Hasil perhitungan terhadap data rerata angka penilaian metode Johnsen dapat dilihat pada tabel 4.1.3. Data
rerata angka penilaian metode Johnsen pada KK, KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut adalah (9,71± 0,12), (9,63±
0,08), (9,38± 0,10), dan (9,34± 0,11).
Tabel 1. Data rerata angka penilaian Johnsen testis mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY
Ulangan Rerata angka penilaian metode Johnsen
KK KP1 KP2 KP3
1 9,84 9,72 9,25 9,43
2 9,61 9,70 9,48 9,32
3 9,81 9,51 9,34 9,47
4 9,55 9,62 9,52 9,21
5 9,65 9,66 9,32 9,37
6 9,77 9,57 9,39 9,22
X 9,71 9,63 9,38 9,34
SD 0,12 0,08 0.10 0,11
Keterangan: KK : Kelompok kontrol (diberikan aquades selama 36 hari) KP1: Kelompok perlakuan 1(diberikan infusa daun kluwih 2,5 g/kg BB selama 36 hari) KP2: Kelompok perlakuan 2 (diberikan infusa daun kluwih 5 g/kg BB selama 36 hari)
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
KP3: Kelompok perlakuan 3 (diberikan infusa daun kluwih 10 g/kg BB selama 36 hari) SD : Standar deviasi
Tabel 2. Data persentase angka penilaian Johnsen testis mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY tiap kelompok perlakuan
Ulangan
Persentase Angka Penilaian Johnsen tiap Kelompok Perlakuan (%)
KK KP1 KP2 KP3
9 10 9 10 9 10 9 10
1 16 84 28 72 75 25 57 43
2 7 93 30 70 52 48 68 32
3 19 81 49 51 66 34 53 47
4 45 55 38 62 49 51 79 21
5 35 65 34 66 68 32 63 37
6 23 77 43 57 61 39 78 22
X 24,17 75,83 37 63 61,83 38,17 66,33 33,67
Keterangan: KK : Kelompok kontrol (diberikan aquades selama 36 hari) KP1: Kelompok perlakuan 1(diberikan infusa daun kluwih 2,5 g/kg BB selama 36 hari) KP2: Kelompok perlakuan 2 (diberikan infusa daun kluwih 5 g/kg BB selama 36 hari) KP3: Kelompok perlakuan 3 (diberikan infusa daun kluwih 10 g/kg BB selama 36 hari)
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap data rerata angka penilaian metode Johnsen menunjukkan
bahwa data terdistribusi normal (P < 0,05). Hasil uji homogenitas Levene menunjukkan data bervariansi
homogen (P > 0,05). Hasil uji ANAVA 1-faktor (α = 0,05) menunjukkan bahwa rerata berat pada setiap
kelompok perlakuan berbeda nyata, sehingga terdapat pengaruh pemberian infusa daun kluwih terhadap rerata
angka penilaian metode Johnsen(P < 0,05). Hasil uji perbandingan berganda (LSD) (P <0,05) menunjukkan
bahwa kelompok perlakuan 1 (KP1) tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (KK). Sementara itu, KP2
dan KP3 berbeda nyata dengan KK dan KP1 (P<0,05). Dosis terbaik yang dapat menurunkan angka penilaian
Johnsen ialah 5 g/kg BB.
Diameter tubulus seminiferus
Hasil perhitungan terhadap data rerata diameter tubulus seminiferus dapat dilihat pada tabel 4.1.2. Data
rerata diameter tubulus seminiferus KK (205,17 ± 3,79) µm, KP1 (200,97 ± 4,82) µm, KP2 (203,78 ± 3,96) µm,
dan KP3 (189,79 ± 3,82) µm.
Tabel 4.1.2 Data rerata diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculus L.)
jantan galur DDY
Ulangan Diameter Tubulus Seminiferus (µm)
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
KK KP1 KP2 KP3
1 208,48 197,95 204,91 189,73 2 202,86 194,38 209,20 185,09 3 206,88 198,84 199,82 187,32 4 199,20 207,50 203,66 189,20 5 209,82 204,73 199,19 196,34 6 203,75 202,41 205,89 191,07 X 205,17 200,97 203,78 189,79
SD 3,62 4,40 3,46 3,49
Keterangan: KK : Kelompok kontrol (diberikan aquades selama 36 hari) KP1: Kelompok perlakuan 1(diberikan infusa daun kluwih 2,5 g/kg BB selama 36 hari) KP2: Kelompok perlakuan 2 (diberikan infusa daun kluwih 5 g/kg BB selama 36 hari) KP3: Kelompok perlakuan 3 (diberikan infusa daun kluwih 10 g/kg BB selama 36 hari) SD : Standar deviasi
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap data diameter tubulus seminiferus menunjukkan data
terdistribusi normal (P < 0,05). Hasil uji homogenitas Levene terhadap diameter tubulus seminiferus
menunjukkan data bervariansi homogen (P >0,05). Hasil uji ANAVA 1-faktor (α = 0,05 8) menunjukkan bahwa
pemberian infusa simplisia daun kluwih dosis 2,5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan 10 g/kg BB berpengaruh terhadap
diameter tubulus seminiferus (P < 0,05). Hasil uji perbandingan berganda (LSD) (P <0,05) menunjukkan bahwa
semua kelompok perlakuan (KP1, KP2, dan KP3) berbeda nyata dengan kelompok kontrol (KK). Kelompok
perlakuan 1 (KP1), kelompok perlakuan 2 (KP2), dan kelompok perlakuan 3 (KP3) tidak berbeda nyata
(P>0,05). Infusa simplisia daun kluwih dosis 2,5 g/kg BB sudah dapat menurunkan diameter tubulus
seminiferus.
Berat testis
Hasil penelitian terhadap berat testis pada kelompok kontrol (KK), kelompok perlakuan 1 (KP1), kelompok
perlakuan 2 (KP2), dan kelompok perlakuan 3 (KP3) terdapat pada tabel 4.1.1. Data rerata berat testis pada KK,
KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut ialah (0,307± 0,030)g, (0,268± 0,014)g, (0,223± 0,016)g, dan (0,239±
0,020)g.
Tabel 4.1.1 Data berat testis mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY
Ulangan Berat Testis (g)
KK KP1 KP2 KP3
1 0,306 0,258 0,204 0,236
2 0,271 0,245 0,235 0,207
3 0,314 0,269 0,241 0,231
4 0,357 0,286 0,218 0,253
5 0,308 0,273 0,232 0,245
6 0,284 0,274 0,209 0,263
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
X 0,307 0,268 0,223 0,239
SD 0,030 0,014 0,015 0,020
Keterangan: KK : Kelompok kontrol (diberikan aquades selama 36 hari) KP1: Kelompok perlakuan 1(diberikan infusa daun kluwih 2,5 g/kg BB selama 36 hari) KP2: Kelompok perlakuan 2 (diberikan infusa daun kluwih 5 g/kg BB selama 36 hari) KP3: Kelompok perlakuan 3 (diberikan infusa daun kluwih 10 g/kg BB selama 36 hari) SD : Standar deviasi
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap data berat testis menunjukkan data terdistribusi normal (P >
0,05). Hasil uji homogenitas Levene terhadap berat testis menunjukkan data bervariansi homogen (P > 0,05).
Hasil uji ANAVA 1-faktor (α = 0,05) menunjukkan bahwa pemberian infusa daun kluwih dosis 2,5 g/kg BB, 5
g/kg BB dan 10 g/kg BB berpengaruh terhadap berat testis (P < 0,05). Hasil uji perbandingan berganda (LSD) (P
<0,05) menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan (KP1, KP2, dan KP3) berbeda nyata dengan kelompok
kontrol (KK). Kelompok perlakuan 1 (KP1) berbeda nyata dengan kelompok perlakuan 2 dan 3 (KP2 dan KP3)
(P<0,05). Sementara itu kelompok perlakuan 2 (KP2) tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan 3 (KP3)
(P>0,05).
Keterangan: KK= Kelompok kontrol; Skor Johnsen sepuluh (10) KP1=Kelompok perlakuan 1; Skor Johnsen sembilan (9) KP2=Kelompok perlakuan 2; Skor Johnsen sembilan (9) KP3=Kelompok perlakuan 3; Skor Johnsen sembilan (9)
Gambar 1. Gambaran histologi tubulus seminiferus mencit pada tiap kelompok perlakuan
50 μm 50 μm
50 μm 50 μm
KK KP1
KP2 KP3
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
Pembahasan
Hasil uji ANAVA 1-faktor (α = 0,05) menunjukkan bahwa pemberian infusa simplisia daun kluwih dosis
2,5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan 10 g/kg BB berpengaruh terhadap data angka penilaian Johnsen, rerata diameter
tubulus seminiferus, dan berat testis. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa infusa simplisia daun kluwih dosis 2,5
g/kg BB sudah dapat menurunkan berat testis dan rerata diameter tubulus seminiferus. Sementara itu, dosis 5
g/kg BB dan 10 g/kg BB dapat menurunkan berat testis, rerata diameter tubulus seminiferus, dan rerata angka
penilaian Johnsen. Hasil uji LSD juga menunjukkan bahwa dosis 5 g/kg BB dan 10 g/kg BB tidak berbeda nyata
terhadap ketiga parameter tersebut.
Tanaman kluwih termasuk ke dalam genus Artocarpus. Tanaman yang berasal dari genus tersebut
diketahui mengandung beberapa metabolit sekunder antara lain yaitu, artocarpine,chalcone, flavonone,
prenylflavone, pyranoflavone, dihidrobenzoxanthone, pyranoflavon, cyclopentenoxantone, quinonoxanthone,
furanodihidrobenzoxanthone, dan dihidroxanthone (Hakim 2010: 140—154; Hari dkk. 2014: 9). Senyawa-
senyawa tersebut diketahui termasuk ke dalam golongan senyawa fenolik. Mariana dkk. (2013: 53—54)
menyatakan bahwa senyawa fenolik terbanyak yang terkandung pada daun kluwih adalah senyawa chalcone.
Senyawa chalcone dan prenylflavone diketahui dapat bersifat sebagai senyawa fitoestrogen (Ososki & Kennelly
2003:848).
Fitoestrogen merupakan senyawa metabolit sekunder tumbuhan yang memiliki struktur molekul yang
menyerupai struktur hormon estrogen, sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen yaitu reseptor ERα dan
ERβ (Ososki & Kennelly 2003:846). Senyawa fitoestrogen dapat bersifat estrogenik maupun antiestrogenik
(Ososki & Kennelly 2003:846). Keberadaan senyawa fitoestrogenik diketahui dapat mengganggu proses
spermatogenesis (Weber dkk. 2001:597-598).
Hasil penelitian Weber dkk. (2001:597—598) menunjukkan bahwa pemberian isoflavon dari kedelai
(600µg/g) dapat menurunkan kadar testosteron bebas dalam darah. Senyawa isoflavon tersebut bersifat
fitoestrogenik dan diduga dapat mengganggu poros hipotalamus-hipofisis-testis (Weber dkk. 2001:597).
Gangguan tersebut berupa umpan balik negatif terhadap kelenjar hipotalamus sehingga dapat menurunkan
sekresi hormon GnRH. Dengan menurunnya sekresi hormon GnRH, maka akan terjadi penurunan pula pada
sekresi hormon LH dan FSH oleh kelenjar hipofisis anterior. Sekresi hormon LH yang menurun dapat
menurunkan sintesis hormon testosteron oleh testis (Cline dkk. 2004:98).
Gangguan sekresi hormon testosteron secara langsung oleh senyawa fitoestrogen melalui inhibisi
aktivitas enzim 17-β- hidroksisteroid- dehydrogenase (Makela dkk. 1995: 57). Enzim 17-β- hidroksisteroid-
dehidrogenase merupakan enzim yang berperan dalam proses pengubahan molekul androstenedion menjadi
senyawa testosteron. Dengan terhambatnya enzim 17-β- hidroksisteroid- dehidrogenase, maka akan
menyebabkan penurunan sintesis testosteron oleh sel Leydig (Makela dkk. 1995: 57; Ye dkk. 2011: 9987).
Infusa simplisia daun kluwih diduga mengandung senyawa fitoestrogen. Hal tersebut terbukti dengan
adanya penurunan pada berat testis, rerata diameter tubulus seminiferus, dan angka penilaian Johnsen. Oleh
karena itu, senyawa fitoestrogen yang terkandung di dalam infusa simplisia daun kluwih diduga menurunkan
ketiga parameter tersebut dengan mekanisme seperti yang diuraikan pada paragraf sebelumnya.
Pengamatan secara semikuantitatif dilakukan dengan angka penilaian Johnsen. Angka penilaian Johnsen
bertujuan untuk mengetahui perkembangan proses spermatogenesis yang terjadi pada tubulus seminiferus
(Kusmana 2001: 56). Proses spermatogenesis pada tubulus seminiferus terbagi atas tiga tahapan, yakni
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
spermatositogenesis, pembelahan meiosis, dan spermiogenesis (Meshcher 2013:438; Rugh 1968:21). Penilaian
metode Johnsen dapat memberikan gambaran mengenai proses spermatogenesis yang terjadi di dalam tubulus
seminiferus yang meliputi proliferasi sel-sel spermatogonia (A,Intermediet,B), spermatosit, spermatid, dan
spermatozoa pada tingkat tahapan tertentu (Kusmana 2001: 56).
Pengamatan histologi testis berada pada kisaran 9 dan 10 pada kelompok kontrol dan semua kelompok
perlakuan (KP1,KP2,KP3). Nilai 10 menunjukkan spermatogenesis lengkap, teratur dengan spermatozoa banyak
dan epitel tubulus seminiferus, serta lumen terbuka. Nilai 9 berarti spermatozoa banyak tetapi epitel tubulus
seminiferus tidak teratur, sel spermatogenik lepas (sloughing) (Kusmana 2001:57). Hasil uji statistik ANAVA 1-
faktor (α = 0,05) yang dilakukan terhadap rerata angka penilaian metode Johnsen menunjukkan bahwa
pemberian infusa simplisia daun kluwih dosis 2,5 g/kg BB (KP1), 5 g/kg BB (KP2), dan 10 g/kg BB (KP3)
berpengaruh terhadap penurunan rerata angka penilaian Johnsen dengan rerata angka penilaian Johnsen berturut-
turut, yaitu 9,63, 9,38, dan 9,34. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa rerata angka penilaian Johnsen kelompok
kontrol (KK) berbeda nyata dengan rerata angka penilaian Johnsen kelompok perlakuan 2 (KP2) dan 3 (KP3),
namun tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan 1 (KP1) (P<0,05). Rerata angka penilaian Johnsen
kelompok perlakuan 2 (KP2) dan kelompok perlakuan 3 (KP3) tidak berbeda nyata (P<0,05).
Penurunan angka rerata penilaian metode Johnsen pada kelompok perlakuan 2 (KP2) dan 3 (KP3)
diduga merupakan dampak dari terganggunya proses spermatogenesis akibat pemberian infusa simplisia daun
kluwih. Senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam infusa simplisia daun kluwih diduga dapat mengganggu
poros hipotalamus-hipofisis-testis (Ososki & Kennelly 2003:846). Proses spermatogenesis sangat bergantung
pada hormon FSH, LH dan testosteron (Meshcher 2013:437). Sehingga gangguan terhadap sekresi hormon FSH,
LH dan testosteron tersebut akan berdampak terhadap terganggu proses proliferasi sel-sel germinal pada testis
yang terlihat oleh adanya penurunan angka rerata penilaian spermatogenesis metode Johnsen pada kelompok
perlakuan 2 (KP2) dan 3 (KP3) (Kusmana 2001:112--113).
Hasil uji ANAVA 1-faktor (α = 0,05) menunjukkan bahwa pemberian infusa simplisia daun kluwih dosis
2,5 g/kg BB (KP1), 5 g/kg BB (KP2), dan 10 g/kg BB (KP3) selama 36 hari berpengaruh terhadap penurunan
diameter tubulus seminiferus. Data rerata diameter tubulus seminiferus kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan 1, 2, dan 3 (KP1,KP2,KP3) berturut-turut yaitu (205,17 ± 3,79) µm, (200,97 ± 4,82) µm, (203,78 ±
3,96) µm, dan (189,79 ± 3,82) µm. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa rerata diameter tubulus seminiferus
kelompok kontrol (KK) berbeda nyata dengan rerata diameter tubulus seminiferus pada semua kelompok
perlakuan (KP1,KP2,KP3) (P<0,05). Rerata diameter tubulus seminiferus antar semua kelompok perlakuan
(KP1,KP2,KP3) tidak berbeda nyata (P<0,05).
Penelitian yang dilakukan Assinder dkk. (2007:11), menunjukkan bahwa pemberian diet fitoestrogen
yang tinggi (465 µg/g) pada tikus galur wistar albino selama 21 hari, dapat menurunkan jumlah sel-sel germinal
pada epitel tubulus seminiferus. Selain itu, penelitian yang dilakukan Cline dkk. (2004: 91), menunjukkan bahwa
pemberian diet fitoestrogen isoflavon aglycone (40 mg/kg) dapat menyebabkan atrofi pada sel-sel germinal
epitel tubulus seminiferus. Penurunan jumlah sel-sel germinal epitel tubulus seminiferus diduga akibat
penurunnan sekresi hormon testosteron oleh sel Leydig akibat pengaruh dari pemberian senyawa fitoestrogen.
Tubulus seminiferus merupakan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis yang terdiri dari
jaringan epitel dan jaringan peritubular (Rugh 1968:10). Sel-sel yang menyusun jaringan epitel tubulus
seminiferus antara lain yakni sel-sel germinal (sel spermatogonia A, sel spermatogonia intermediet,
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
spermatogonia B, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, spermatozoa), dan sel Sertoli (Mescher
2013:438). Jumlah dan volume sel-sel penyusun epitel tubulus seminiferus (sel germinal dan sel Sertoli) dapat
memengaruhi ukuran diameter tubulus seminiferus (McLachlan dkk. 2007: 4). Jika jumlah sel-sel germinal
menurun, maka diduga akan berdampak terhadap penurunan ukuran diameter tubulus seminiferus (McLachlan
dkk. 2007: 4).
Penurunan rerata diameter tubulus seminiferus pada seluruh kelompok perlakuan (KP1, KP2, KP3)
diduga disebabkan oleh penurunan jumlah sel germinal pada tubulus seminiferus. Penurunan jumlah diduga
akibat adanya gangguan mekanisme hormonal pada poros hipotalamus-hipofisis-testis sehingga menyebabkan
penurunan sekresi hormon testosteron oleh sel Leydig. Penurunan sekresi hormon testosteron akan menyebabkan
proses proliferasi sel-sel germinal terhambat, sehingga jumlah sel germinal pada tubulus seminiferus menjadi
berkurang (Kusmana 2001: 185-187; McLachlan dkk. 2007: 4).
Hasil uji ANAVA 1-faktor (α = 0,05) menunjukkan bahwa pemberian infusa simplisia daun kluwih
dosis 2,5 g/kg BB (KP1), 5 g/kg BB (KP2), dan 10 g/kg BB (KP3) selama 36 hari berpengaruh terhadap berat
testis. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa kelompok kontrol (KK) berbeda nyata dengan semua kelompok
perlakuan (KP1,KP2,KP3) (P<0,05). KP1 berbeda nyata dengan KP2 dan KP3, serta KP2 tidak berbeda nyata
dengan KP3 (P<0,05).
Hasil penelitian terhadap berat testis hampir sama dengan hasil penelitian Prasetya (2010: 2) yang
menyatakan bahwa pemberian infusa simplisia daun sukun dosis 5 g/kg BB pada mencit jantan galur ICR selama
18 hari berpengaruh signifikan terhadap berat testis. Hari dkk. (2014: 9) menyatakan bahwa daun tumbuhan
genus Artocarpus mengandung senyawa metabolit sekunder chalcone dan prenylflavone. Sementara itu, Ossoski
(2003:846) menyatakan bahwa senyawa chalcone dan prenylflavone bersifat fitoestrogenik. Oleh karena itu baik
infusa simplisia daun kluwih maupun infusa simplisia daun sukun diduga mengandung senyawa – senyawa
fitoestrogenik yang serupa.
Berat testis berkaitan erat dengan struktur penyusun organ testis yang terdiri atas saluran tubulus
seminiferus, sel Leydig, pembuluh darah, pembuluh limfe, jaringan peritubulur, dan jaringan ikat (Rugh 1968:
10; Mescher 2013: 438). Tubulus seminiferus merupakan komponen terbesar penyusun testis dan sangat
berpengaruh terhadap berat testis (Mescher 2013: 438). Proses spermatogenesis pada tubulus seminiferus
menyebabkan epitel tubulus seminiferus menjadi tebal yang diikuti dengan bertambahnya volume organ testis
dan berat organ testis (Mishra dkk. 2009:20). Selain itu, aktifitas sel Leydig juga dapat memengaruhi berat testis
(Chen dkk. 2014: 7817). Sel Leydig berperan dalam pembentukkan hormon testosteron. Sel Leydig yang sedang
aktif memproduksi hormon testosteron memiliki volume dan massa sel yang lebih besar dibandingkan ketika
tidak aktif. Dengan demikian proliferasi sel-sel germinal dan aktivitas sel Leydig akan berpengaruh terhadap
berat testis (Kusmana 2001: 109–110).
Penurunan berat testis mencit pada semua kelompok perlakuan (KP1,KP2, KP3) diduga disebabkan oleh
berkurangnya jumlah sel-sel germinal yang menyusun epitel tubulus seminiferus. Senyawa fitoestrogen yang
terkandung pada infusa daun kluwih diduga dapat mengganggu poros hipotalamus-hipofisis-testis sehingga
menyebabkan penurunan sekresi hormon testosteron oleh sel Leydig (Weber dkk. 2001:597). Testosteron
memiliki peranan yang penting dalam proses pembelahan meiosis, memicu pembentukkan dan perkembangan
sel spermatosit pakiten dan proses spermiogenesis (Walker 2010: 1557--1559). Penurunan sekresi testosteron
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
akan berdampak terhadap terhambatnya proses proliferasi sel-sel germinal, sehingga akan berdampak pada
apoptosis sel dan terhambatnya proses proliferasi sel-sel germinal (Cline dkk. 2004:98).
Penurunan berat testis dapat pula disebabkan oleh menurunnya jumlah serta aktifitas sel Leydig pada organ
testis. Senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam infusa simplisia daun kluwih dapat berikatan pada reseptor
estrogen (ERα dan ERβ) pada sel Leydig dan dapat menghambat proses pembentukkan hormon testosteron
(Weber dkk. 2001:596; Chen dkk. 2014: 7817). Terhambatnya pembentukkan hormone testosteron akan
menyebabkan berkurangnya volume dan massa sel Leydig, sehingga dapat menurunkan berat basah testis
(Kusmana 2001: 109—110). Selain itu, keberadaan senyawa fitoestrogen yang tinggi juga dapat menghambat
pembelahan dan perkembangan sel Leydig (Chen dkk. 2014: 7817). Dengan terhambatnya pembelahan dan
perkembangan sel Leydig dapat menyebabkan penurunan jumlah sel Leydig, sehingga akan berdampak terhadap
penurunan berat basah testis (Chen dkk. 2014: 7817—7821).
Kesimpulan
1. Berat testis kelompok perlakuan (KP1, KP2, dan KP3) yang diberikan infusa daun kluwih (Artocarpus
camansi Blanco) dengan dosis 2,5 g/kg BB; 5 g/kg BB; dan 10 g/kg BB lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol (KK).
2. Pemberian infusa simplisia daun kluwih dengan dosis 2,5g/kg BB, 5 g/kg BB (KP2) dan 10 g/kg BB
(KP3) mampu menurunkan diameter tubulus dengan rerata diameter tubulus seminiferous KP1, KP2
dan KP3 berturut-turut sebesar 200,97 µm, 203,78 µm dan 189,79 µm dibandingkan kelompok Kontrol
(KK).
3. Pemberian infusa simplisia daun kluwih pada dosis 5 g/kg BB (KP2), dan 10 g/kg BB (KP3) mampu
menurunkan proses spermatogenesis yang dilihat dari penurunan rerata angka penilaian metode Johnsen
dengan rata-rata skor Johnsen KP2 dan KP3 berturut turut sebesar 9,38, dan 9,34.
Saran
1. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui potensi antifertilitas pemberian infusa daun kluwih
(Artocarpus camansi Blanco) dengan cara dikawinkan.
2. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa daun kluwih
(Artocarpus camansi Blanco) terhadap kadar hormone testosteron bebas dalam darah mencit jantan.
Daftar Referensi Akbar, B. 2010. Tumbuhan dengan kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai bahan antifertilitas.
Adabia Press, Jakarta: xi + 59 hlm.
Assinder, S., R. Davis, M. Fenwick, & A. Glover. 2007. Adult only exposure of male rats to a diet of high
phytoestrogen content increase apoptosis of meiotic and post-meiotic germ cells. Reproduction 133: 11-
19.
BKKBN (=Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). 2009. Kontribusi pemakaian alat kontrasepsi
terhadap fertilitas. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional RI, Jakarta: xvii + 35 hlm.
BPS RI (= Badan Pusat Statistik Republik Indonesia). 2014. Data sosial ekonomi. Ed Ke 45. Badan Pusat
Statistik RI, Jakarta: v + 73 hlm.
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
Depkes RI (=Departemen Kesehatan Republik Indonesia). 1995. Farmakope indonesia. Ed ke-4. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta: xiii + 1290 hlm.
Chen, B., D. Chen, Z. jiang, J. Li, S. Liu, Y. Dong, W. Yao, B. Akingbemi, R.Ge, & X.Li. 2014. Effects of
estradiol and methoxychlor on leydig cell regeneration in the adult rat testis. International Journal of
Molecular Sciences 15: 7812-7826.
Cline, J.M., A.A. Franke, T.C. Register, D.L. Golden, & M.R. Adams. 2004. Effects of dietary isoflavone
aglycones on the reproductive tract of male and female mice. Toxicologic Pathology 32: 91-99.
Ekatiwi, N. 2016. Pengaruh infusa daun keluwih (Artocarpus camansi Blanco) terhadap kualitas spermatozoa
mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia: xiii + 63 hlm.
Elya, B. & D. Kusmana.2002. Pengaruh infus daun puding (Polycias guifoylei L.H. Bailey) terhadap kualitas
spermatozoa tikus jantan. Makara sains (6) 2: 99—104.
Gembong, T. 2005. Morfologi tumbuhan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta: x + 266 hlm.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2006. Textbook of medical physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, Pennsylvania: xxxv
+ 1116 hlm.
Hakim, A. 2010. Diversity of secondary metabolites from genus Artocarpus (Moraceae). Nusantara Bioscience
2(3):146—156.
Hari, A.,K.G.Revikumar, & D.Divya. 2014. Artocarpus: A review of its phytochemistry and pharmacology.
Journal of Pharma Search 9(1): 7—12.
Ilyas, S., S.W. Lestari, N. Moeloek, Asmarinah, & N.C. Siregar. 2013. Induction of rat germ cell apoptosis by
testosterone undecanoate and depot medroxyprogesterone acetate and correlation of apoptotic cells with
sperm concentration. The Indonesian Journal of Internal Medicine 45: 32-37.
Indrowati, M. & Soegihardjo, C. J. 2005. Materi pembelajaran biologi (biokimia): deteksi flavonoid ekstrak daun
kluwtri (Artocarpus Altitis Parh). Bioedukasi 2(2): 6l--64.
Ismara, L. H. 2015. Pengaruh pemberian infusa simplisa daun kluwih (Artocarpus camansi Blanco) terhadap
penurunan kuantitas dan kualitas spermatozoa mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia: xii + 57 hlm.
Johnson, M.H. & B.J. Everitt. 2000. Essential reproduction. 5th ed. Blackwell Science, Oxford: xvi + 285 hlm.
Joshi, S.C., A. Sharma, M. Chaturvedi. 2011. Antifertility potential of some medicinal plants in males: An
overview. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 3(5): 204—217.
Junqueira, L.C. & Carneiro. 1980. Basic histology. 3rd ed. Lange Medical Publication, Canadian: xiii + 504 hlm.
Kaur, R.A. Sharma, R. Kumar, & R. Kharb. 2011. Rising trends toward herbal contraceptive. Journal of Natural
Product and Resource 4(1): 5—12.
Kemala, S. 2002. Pengaruh faktor sosiodemografi dan biaya pelayanan KB terhadap pemakaian metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP) pada wanita pasangan usia subur (PUS) di Propinsi Kalimantan
Selatan tahun 2001 (analisis data sekunder berdasarkan data susenas 2001). Skripsi. FKM UI, Depok:
xvii + 74 hlm.
Kusmana, D. 2001. Pengaruh penyuntikkan kombinasi hormon testosteron enantat(TE) dan depot
medroksiprogesteron asetat (DMPA) terhadap spermatogenesis beruk jantan (Macaca nemestrina) yang
45
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
diberi pakan berkadar protein, lemak, dan karbohidrat berbeda. Disertasi. FKUI, Jakarta: xviiii + 205
hlm.
Leeson, C.R., T.S. Leeson & A.A. Paparo. 1996. Buku ajar histology. Ed ke-5. Terj. dari Textbook of Histology.
5th ed. Oleh Tambajong, J. & Wonodirekso (eds.). Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta: xi + 622
hlm.
Makela, S., M. Poutanen, J. Lehtimaki, M.L. Kostian, R. Santti, & R. Vihko. 1995. Estrogens-spesific 17 β-
hydroxysteroid-oxcidoreduktase type 1 (E.C.1.1.1.62) as a possible target for the action of
phytoestrogens. Proceedings of the Society for Experimental Biology and Medicine 208: 51—59.
Malole, M.B. & C.S.V. Pramono. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di
laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB, Bogor: vii + 161 hlm.
Marianna, L., Y. Andayani, & E.R. Gunawan. 2013. Analisis senyawa flavonoid hasil fraksinasi ekstrak
diklorometana daun keluwih (Artocarpus camansi). Chem.Prog. 6(2): 50—55.
Marianne, Yuandani, & Rosnani. 2011. Antidiabetic activity from ethanol extract of kluwih’s leaf (Artocarpus
camansi). Jurnal Natural 11(2): 64-68.
McLachlan, R.I., E. Rajpert-DeMeyts.,C.E.Hoei-Hansen.,D.M. DeKretser., & N.E. Skakkebaek.
2006.Histological evaluation of the human testis-approach to optimizing the clinical value of the
assessment: Mini Review. Human Reproduction 22(1):2—16.
Mishra, N., S. Joshi, V.L. Tandon, & A. Munjal. Evaluation of anti-fertility potential of aqueous extract of
Bougainville spectabilis leaves in swiss albino mice. International Journal of Pharmaceutical Sciences
and Drugs Research 1(1): 19-23.
Moeloek, N. 1994. Sistem reproduksi jantan. Dalam: Syahrum, M.H., Kamaludin & A. Tjokronegoro. 1994.
Reproduksi dan embriologi: Dari satu sel menjadi organisme. Balai Penerbit FKUI, Jakarta:9—16.
Muliani, H. 2011. Pertumbuhan Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi 19(1): 44--54.
Mushtaq, H., S. Alam, & M.A. Khan. 2013. Histopathological pattern of testicular biopsies in male infertility.
Journal of Islamabad Medical & Dental College (JIMDC) 2(4):81-86.
Ngatijan. 1991. Petunjuk laboratorium: Metode laboratorium dalam toksikologi. Pusat Antar Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta: x + 283 hlm.
Nugraha, J. 2014. Pengantar analisis kategorik. Dee publish, Yogyakarta: ix+104 hlm.
Olsen, J.L., A.P. Giangrasso, D.M. Shrimpton, & P.M. Dillion. 2008. Medical dosage calculations. 9Ed. Pearson
Education Inc., New Jersey: xvi + 344 hlm.
Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt, R. Jamnadass, & S. Anthony. 2009. Artocarpus
camansi. World Agroforestry. 4: 1—6.
Ososki, A.L., & E.J. Kennelly. 2003. Phytoestrogens: a review of the present state of research. Phytother. Res
17: 845-869.
Pakurar, A.S., J.W. Bigbee. 2004. Digital histology. John Wiley & Sons Inc., New Jersey: xiv + 226 hlm.
Pitojo, S. 2005. Seri budidaya keluwih. Penerbit Kanisius, Yogyakarta: xii + 60 hlm.
Prasetya, E.2010. Pengaruh infusa daun sukun (Artocarpus communis) terhadap fertilitas mencit (Mus musculus
L.) ICR jantan. Saintek 5(2): 8 hlm.
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
Qadri, A. 2010. Isolasi artonin E dari ekstrak etilasetat kulit kayu kluwih (Artocarpus communis J.R. & G.).
Tesis S2 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta:1-19 hlm.
Rachmadi, A. 2008. Kadar gula darah dan kadar hormon testosteron pada pria penderita diabetes melitus
hubungannya dengan disfungsi seksual dan perbedaannya dengan yang tidak mengalami disfungsi
seksual. Tesis S2 Universitas Diponegoro, Semarang: xiii+72 hlm.
Ragone, D. 2006. Artocarpus camansi (breadnut) ver 2.1.11 hlm.
http://www.traditionaltree.org. Desember 2015, pk. 23.00 WIB.
Rahmanita, H. A. 2014. Efek ekstrak biji jintan hitam (Nigella Sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang
diinduksi gentamisin. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta: xii+63 hlm.
Rahmi, Eriani, K., & Widyasari. 2011. Potency of java ginseng (Talinum paniculatum Gaertn.) root extract on
quality and viability of mice sperm. Jurnal Natural 11(1): 7-10.
Rosnani, K., T. Barus, P. Nasution, & N. Saidi. 2014. Isolation and structure
elucidation of steroid from leave of Artocarpus camansi (kulu) as
antidiabetic. International Journal of Pharmatech Research 6(4): 1279—
1285.
Ross, M.H., L.J. Romrell & G.I. Kaye. 1995. Histology: A text and atlas. 3rd ed. William & Wilkins, Maryland:
xiii +823 hlm.
Rugh, R. 1968. The Mouse: its reproduction and development. Burgess Publishing
Company, Columbia: iv + 315 hlm.
Santoso, S. 2003. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS 11.5. PT Elex Media, Jakarta: ix + 124
hlm.
Santoso, S. 2006. Seri Solusi Bisnis Berbasis TI: Menggunakan SPSS untuk Statistik Non Parametrik. Penerbit
Elexmedia Komputindo, Jakarta: xii + 98 hlm.
Schwiebert, R. 2007. The laboratory mouse. Laboratory Animal Centre National University of Singapore.
Singapore: 24 hlm.
Sciencelab. 2016. Material safety data sheet chalcone msds. 5 hlm. http:www.sciencelab.com/xMSDS-
Chalcone: 21 Desember 2016. pk. 23.00.
Sherwood, L. 2010. Human physiology: From cell to systems. 7th ed. Nelson Education, Ltd, Canadian: xxvi +
798 hlm.
Shilvana. 2009. Pengaruh pemberian ekstrak etil asetat Enhalus acoroides secara oral terhadap
spermatogenesis mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia: ix + 58 hlm.
Silverthorn, D.U., W.C. Ober, C.W. Garrison, & A.C. Silverthorn. 2001. Human Physiology: An integrated
approach. 2nd ed. Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River: xxxi + 816 hlm.
Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo.1988. Pemeliharaan, pembiakan, dan penggunaan hewan percobaan di
daerah tropis. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: xi + 257 hlm.
Sopia, S. 2009. Pengaruh pemberian minyak jintan hitam (Nigella Sativa) terhadap motilitas spermatozoa tikus
wistar hiperlipidemia. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang: ix+40 hlm.
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016
Sudharma, N. I. 2012. Faktor eksternal yang berhubungan dengan kadar hormon testosteron pada laki-laki usia
40 tahun ke atas di Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan. Tesis S2 Universitas Indonesia, Depok:
xiv+65 hlm.
Sumini, Tsalatsa,Y., Kuntohadi,W. Kontribusi pemakaian alat kontrasepsi terhadap fertilitas. Penerbit KB dan
Kesehatan Reproduksi, Jakarta: xvii + 35 hlm.
Suntoro, S.H. 1983. Metode pewarnaan. Penerbit Bhatara Karya Aksara,
Jakarta: viii + 395 hlm.
Tjitrosoepomo, G. 2005. Morfologi tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: x+251 hlm.
Wahyu, H. 2016. Pengaruh perbedaan dosis ekstrak biji jarak pagar (Jatropha curcas) terhadap jumlah
spermatozoa, spermatozoa motil, berat testis, dan diameter testis pada mencit jantan (Mus musculus L.).
Jurnal Kesehatan 5(2): 462—469.
Walker, W.H. 2010. Non-classical actions of testosterone and spermatogenesis. Review 365: 1557-1569.
Waristek. 2015. Kluwih. 4 hlm.www.waristek.ristek.go.id/kluwih: 09 November 2015 pk. 15.34 WIB.
Weber, K.S., K.D.R. Serchell, D.M. Stocco, & E.D. Lephart. 2001. Dietary soy
phytoestrogens decrease testosterone levels and prostate weight without
altering LH, prostate 5α-reductase or testicular steroidogenic acute regulatory peptide levels in adult
male Sprague–Dawley rats. Journal of Endocrinology 170: 591—599.
Welch, C.2010. Balance your hormones balance your life. Da Capo Press, Cambridge: xvi + 256 hlm.
Ye, L, Zhi-Jian Su, & Ren-Shan Ge. 2011. Inhibitors of Testosterone Biosynthetic
and Metabolic Activation Enzymes. Molecules 16: 9983—1001.
Pengaruh Pemberian ..., Ihya Chair, FMIPA UI, 2016