KRITIK KONSUMERISME DI ERA POSMODERN
Ahmad Rizqi Fadlilah1
ABSTRACT
This paper, in detail, wants to highlight consumption. This is nothing else because
consumption is a basic thing for humans. However, in this postmodern era, consumption
actually had negative impacts, such as environmental, social, and psychology problems.
These various problems occur when consumption is excessive. This excessive consumption
behavior has even become a kind of new culture called consumer culture. This phenomenon
of consumerism is a consequence of shifting the focus of Western society from production to
consumption which together with the shift of their paradigm from modern to postmodern, so
consumption experiences a shift in orientation, not only as an effort to fulfill needs, but also
an effort to obtain social status. The problem is that consumption patterns in consumerism
are influenced by materialism and hedonism. As a result, consumption only meets physical
needs. In fact, humans are not only composed of material aspects, but also spiritual. Besides
that, because the purpose of consumption is pleasure, anything can be done as long as it
brings pleasure, although it must exclude moral values. Unlike consumerism, Islam views
consumption from the perspective of Tawḥid, so it must be in line with Allah's instructions.
Consequently, consumption will really bring maṣlaḥah, not cause problems.
Keywords: Consumerism, Ecstasy, Libidinal, Life-style, Postmodern.
ABSTRAK
Makalah ini, secara rinci ingin menyoroti konsumsi. Hal ini tidak lain karena
konsumsi merupakan suatu hal yang asasi bagi manusia. Namun, pada era posmodern ini,
konsumsi justru membawa dampak negatif, seperti problem lingkungan, soial, dan psikologi
masyarakat. Berbagai macam problem inilah yang terjadi apabila konsumsi dilakukan dengan
berlebihan. Perilaku konsumsi yang berlebihan ini bahkan telah menjadi semacam
kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan konsumer. Fenomena konsumerisme ini
merupakan konsekuensi dari bergesernya fokus masyarakat Barat dari produksi ke konsumsi
yang bersamaan dengan bergesernya paradigma mereka dari modern ke posmodern, sehingga
konsumsi mengalami pergeseran orientasi, tidak hanya sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan, melainkan juga upaya untuk mendapat status sosial. Masalahnya, pola-pola
konsumsi dalam konsumerisme tersebut dipengaruhi oleh paham materialisme dan
hedonisme. Akibatnya, konsumsi hanya memenuhi kebutuhan fisik. Padahal, manusia tidak
hanya tersusun atas aspek material saja, namun juga spiritual. Selain itu, karena tujuan
konsumsi adalah kesenangan, maka apapun boleh dilakukan asalkan mendatangkan
kesenangan, meskipun harus mengenyampingkan nilai-nilai moral. Tidak seperti
konsumerisme, Islam memandang konsumsi dari kacamata tauhid, sehingga harus sejalan
1 Peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama) Universitas Darussalam Gontor Angkatan XII
dengan petunjuk Allah. Dengan demikian, konsumsi akan benar-benar mendatangkan
maslahat, bukan mendatangkan problem.
Kata Kunci: Ekstasi, Gaya Hidup, Konsumerisme, Libidinal, Posmodern.
PENDAHULUAN
Sejak beberapa dekade lalu, masyarakat dunia dihadapkan oleh beragam problematika.
Diantara problem-problem tersebut adalah penipisan lapisan ozon2 yang menyebabkan
pemanasan global (global warming). Penipisan lapisan ozon ini dipicu oleh beberapa sebab,
diantaranya adalah peningkatan aktivitas produksi dan konsumsi manusia.3 Selain itu,
konsumsi yang meningkat hingga taraf berlebih ini juga menyebabkan masalah limbah dan
pencemaran.4 Namun demikian, di tengah-tengah krisis lingkungan yang telah sedemikian
rupa ini, masyarakat belum tergerak untuk beranjak dari kegemaran belanja dan sikap
konsumtif.5 Padahal, perilaku konsumtif ini, selain berdampak negatif bagi aspek lingkungan,
juga berdampak negatif terhadap aspek dan psikologis masyarakat itu sendiri. Sebagai
contoh, demi memenuhi kebutuhan gaya hidup, tidak sedikit individu masyarakat yang
menggadaikan nilai moral, mulai dari manipulasi hingga korupsi. Tujuan masyarakat untuk
hidup dalam kemaslahatan nurani kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual telah dialihkan oleh
sikap konsumtif yang membangkitkan ketergiuran akan barang-barang. Tidak jarang pula,
rasionalitas dikesampingkan demi terpenuhinya citra, prestise, dan status soial.
Pelbagai problematika masyarakat dunia ini dilatarbelakangi oleh banyak hal.
Diantaranya adalah pergeseran paradigma masyarakat dari modern ke posmodern. Wacana
posmodernisme, dalam aspek ekonominya yang kapitalis, menyebabkan peningkatan
kuantitas konsumsi. Fokus masyarakat pun turut bergeser dari produksi ke konsumsi. Realita
ini kemudian memunculkan kebudayaan baru yaitu budaya konsumer atau konsumerisme.
Dalam diskursus konsumerisme, konsumsi tidak lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan,
2 Menipisnya lapian ozon banyak diakibatkan oleh pengaruh Gas Rumah Kaca (Karbon Dioksida,
Metana, Nitrus Oksida, Belerang Dioksida, dan Nitrogen Oksida). Meningkatnya jumlah kendaraan dan
peningkatan penggunaan bahan bakar menjadi perhatian utama dalam hal ini. Di indonesia sendiri, Emisi CO2
yang berasal dari kendaraan bermotor meningkat pada tahun 2014 menjadi 126,56 juta ton dari 95,925 juta ton
pada tahun 2010. Lihat Subdirektorat Statistik Lingkungan Hidup, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2016,
(Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2016), p. 147-150
3 Aktivitas produksi dan industri dalam semua sektor ekonomi, mulai dari industri ekstraktif, pertanian,
energi, transportasi, manufaktur, dan yang semacamnya merupakan penyumbang terbesar bagi problem
lingkungan. Namun demikian, semua aktifitas produksi terebut dipengaruhi secara fundamental oleh pola
konsumsi masyarakat. Lebih-lebih di era konsumerisme seperti saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi
informasi, melalui media dan periklanan, masyarakat didorong untuk terus mengkonsumsi atau membeli
berbagai barang produksi meskipun pada dasarnya barang-barang tersebut tidak begitu dibutuhkan. Lihat The
European Environtment State and Outlook 2010, Consumption and Environtment, (Luxembourg: Publication
Office of the European Union, 2010)
4 Konsumsi yang berlebihan menimbulkan sampah yang menumpuk sehingga menyebabkan
pencemaran tanah. Limbah pabrik dan industri juga tidak dapat dipungkiri menyebabkan pencemaran air. Lihat
Siti Fatimah, Menggali Perkembangan Metode Penelitian Ekologi: Perspektif Pemikiran Fritjof Capra,
(Yogyakarta: Penerbit Depublish, 2013), p. 72
5 Penyelesaian masalah lingkungan selama ini masih terfokus pada aspek fisik-material dari lingkungan
hidup, seperti penggantian kantong plastik sekali pakai dengan kantong bawaan sendiri yang dapat dipakai
berkali-kali. Sedangkan penyelesaian masalah yang menyentuh sikap hidup, gaya hidup, mentalitas, cara
berpikir, dan perilaku belum banyak diangkat dalam berbagai macam diskusi. Lihat Amin Abdullah, Falsafah
Kalam di Era Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), p. 212
melainkan hasrat dan keinginan. Konsumsi tidak lagi dalam rangka memanfaatkan nilai guna,
melainkan lebih kepada nilai tanda (sign value). Logika yang digunakan oleh masyarakat
konsumer tidak lagi logika kebutuhan, melainkan logika hasrat. Konsumerisme, dengan cara
pandangnya yang materialistis dan hedonistis, telah mentransformasikan konsumsi sebagai
pusat aktivitas kehidupan.6 Ruang publik pun penuh dengan stimulus dan ajakan untuk selalu
mengkonsumsi. Kondisi yang sedemikian ini, apabila diteruskan tanpa tindak lanjut melalui
langkah-langkah pencegahan, niscaya yang terjadi adalah berbagai problematika, kekacauan,
dan ketidakseimbangan tata hidup masyarakat.
Pada dasarnya, manusia tidak lepas dari kegiatan konsumsi. Konsumsi adalah naluri
dan tabiat utama manusia, mulai dari makanan, pakaian, tempat tiggal, kendaraan, akses
komunikasi, liburan, hingga penggunaan jasa. Maka, dalam segala hal, manusia adalah
konsumen. Artinya, kegiatan konsumsi merupakan sebuah kegiatan yang wajar dan asasi bagi
setiap manusia. Dalam Islam, konsumsi merupakan aktifitas yang dijamin
keberlangsungannya. Islam tidak melarang manusia untuk menikmati setiap nikmat yang
telah dianugerahkan. Islam juga tidak melarang untuk berlibur menghibur diri maupun
berhias dengan mengenakan pakaian yang indah. Hanya saja, Islam mengatur kegiatan
konsumsi agar senantiasa dalam kondisi yang seimbang dan tidak berlebih-lebihan. Dengan
cara pandang tauhid, Islam menuntun masyarakat kepada keseimbangan yang sempurna
dalam segala hal sehingga menjamin lingkungan dari pengrusakan serta menjaga manusia
dari berbagai problem yang ditimbulkan dari perilaku over consumption.7 Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui pola-pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer, dampak-
dampak, kritik-kritik, sebab-sebabnya, beserta akhlaq konsumsi dalam Islam sebagai tawaran
solusi atas problem konsumsi dalam konsumerisme.
2. POSMODERN DAN KONSUMERISME
2.1. Posmodern
Diskusi mengenai posmodern merupakan suatu bahasan yang kompleks, luas, beragam,
bahkan penuh pertentangan. Secara harfiah, posmodern tersusun atas kata pos dan modern.8
Pos dapat dimaknai sebagai masa setelah, sehingga posmodern mengandung arti era setelah
modern. Sebagai sebuah gerakan intelektual dan budaya, posmodern berkembang luas
sesudah Perang Dunia II.9 Sayangnya, mendefinisikan posmodern secara spesifik bukanlah
suatu hal yang mudah. Alih-alih sederhana, istilah tersebut justru mengandung silang
6 Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxis to Postmodernism and Beyond, (California:
Stanford University Press, 1989), p. 13
7 Ibrahim Abdul Matin, Greendeen: What Islam Teachs about Protecting the Planet, diterjemahkan
oleh Aisyah, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2012), p. 58
8 Istilah „modern‟ sendiri berasal dari bahasa Latin modernus, yang digunakan untuk membedakan
keadaan orang-orang Kristen dengan orang-orang Romawi dari masa pagan yang telah lalu. Sesudah itu, istilah
ini digunakan untuk menempatkan kondisi masa kini dalam hubungan dengan berlalunya zaman purba, yang
muncul dan muncul kembali secara pasti selama periode tersebut di Eropa ketika kesadaran terhadap zaman
baru membentuk dirinya melalui hubungan yang diperbarui dengan masa lalu. Modern, secara sederhana juga
disebut dengan masa setelah masa pertengahan (medieval age). Lihat Crane Brinton, The Shaping of Modern
Thought, (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1963), p. 22
9 Kevin O`Donnel, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 7
pendapat di kalangan para teoretikus.10
Menurut Jean Francois Lyotard, posmodern
merupakan bentuk diskontinuitas atau pemutusan hubungan secara total dari segala aspek
kemodernan.11
Bagi Jean Baudrillard, Michele Foucalt, dan Jacquese Derrida, posmodern
adalah bentuk modern yang lebih radikal. Dalam pandangan Anthony Giddens, posmodern
pada dasarnya adalah wajah kemodernan yang telah sadar diri. Sedangkan Jurgen Habermas
lebih mengartikan posmodern dengan „suatu tahap dari proyek modern yang belum selesai‟.
Singkat kata, posmodern merupakan respon atas modern. Oleh karena itu, apabila diajukan
sebuah pertanyaan “pada zaman apakah masyarakat hidup saat ini?”, maka jawabannya
adalah bahwa masyarakat hidup di zaman modern, namun bukan modern sebagaimana di
awal kemunculannya, melainkan modern yang radikal, yang dikritik, atau yang disebut
posmodern.
Istilah posmodern pada dasarnya mencakup dua istilah lainnya, yaitu posmodernisme
dan posmodernitas. Dua istilah ini seringkali dianggap sama sehingga maknanya menjadi
kabur. Istilah posmodernitas sendiri menunjuk pada suatu epos (jangka waktu, zaman, atau
periode) sosial, politik, maupun budaya yang mengiringi modernitas dalam suatu pemahaman
sejarah. Posmodernitas juga merujuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi,
globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme, usangnya negara-bangsa, dan
pengembalian kembali inspirasi tradisi.12
Berdasarkan pelbagai realitas yang ada, masyarakat
dalam era posmodern (baca: posmodernitas) seringkali disebut juga dengan masyarakat
konsumer, masyarakat tontonan, masyarakat komputer, masyarakat pasca-industri, maupun
masyarakat tanda.13
Lain dari pada itu, Istilah posmodernisme lebih menunjuk pada produk
budaya (dalam seni, arsitektur, film, dan semacamnya) yang berbeda dari produk budaya
modern. Posmodernisme juga menunjuk kepada konsep-konsep berpikir kritis dan filosofis
terhadap pandangan dunia, epistemologi, dan ideologi-ideologi modern yang rasional dan
struktural.14
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa posmodernisme dimaknai sebagai
suatu konsep berpikir dan ideologi, sedangkan posmodernitas lebih dimaknai sebagai suatu
kondisi, fenomena budaya, maupun realita masyarakat, sehingga seseorang bisa saja menolak
posmodern(isme), akan tetapi ia tidak bisa mengelak bahwa ia hidup di era posmodern(itas).
Karena posmodern merupakan respon atas modern, maka pembahasan mengenai hal
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berkaitan dengan hal ini, setidaknya ada
beberapa hal yang membedakan antara watak modern dan posmodern. Pertama, modern
10 Bahkan, The Modern-Day Dictionary of Received Ideas merumuskan istilah posmodernisme sebagai
berikut: “Kata ini tak punya arti. Gunakan saja sebanyak dan sesering mungkin.” Lihat: Mike Featherstone,
Posmodernisme dan Budaya Konsumen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20XX)
11
Lyotard menyatakan bahwa postmodern merupakan penolakan terhadap grand-narrative. Grand-
narrative atau cerita-cerita besar merupakan narasi yang melegiimasi Ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu
pengetahuan pra-modern dan modern didasarkan atas prinsip atau bentuk kesatuan (unity). Namun, dengan
munculnya teknologi informasi, kepercayaan pada kesatuan ilmu pengetahuan dan narasi besar itu menjadi
lenyap. Lihat Yusuf Akhyar Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), p. 22-
23
12
Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1996), p. 24
13
Medhy Aginta Hidayat, Op. Cit.,
14
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial, Cetakan ke IV (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016)
mengutamakan nilai guna (use value), sedangkan posmodern lebih mengutamakan nilai tanda
(sign value). Di kalangan masyarakat modern, motif di balik pemilihan objek konsumsi
adalah kegunaannya. Sedangkan di kalangan masyarakat posmodern, objek konsumsi dipilih
atas dasar prestise maupun status sosial yang melekat pada objek tersebut.15
Kedua, modern
mengutamakan yang real, sedangkan posmodern lebih mengutamakan citra. Pada era modern,
segala sesuatu ditempatkan pada posisinya; sebuah simbol menggambarkan aslinya.
Seseorang yang bergamis dan bersurban (simbol) adalah seorang ustadz. Sedangkan pada era
posmodern, terjadi silang-cengkarut tanda. Seseorang yang bergamis dan bersurban, bisa jadi
orang biasa yang dicitrakan sebagai seorang ustadz. Celakanya, masyarakat seringkali
terjebak dalam permainan citra, di mana yang dicitrakan lebih dianggap nyata ketimbang
yang asli itu sendiri.16
Ketiga, modern didominasi oleh budaya tinggi, sedangkan posmodern
lebih didominasi oleh budaya populer. Apabila diteliti, dalam posmodern, gaya, tren, citra,
aspek luaran, dan semacamnya terlihat menonjol daripada substansi dan makna, sehingga
dengan demikian, posmodern menunjukkan wataknya yang lebih menekankan hakikat
superfisial, dangkal, dan keberlakuan masa pendek.17
Apabila modern merupakan upaya sekularisasi, maka posmodern—sebagai kelanjutan
misi dan isi moder—akan dimaknai sebagai fase yang semakin maju, semakin sekular, serta
semakin jauh dari nilai-nilai moral dan spiritual.18
Berbicara masalah moral, pada hakikatnya
berbicara masalah batas-batas, maupun garis-garis pemisah antara yang baik dan yang buruk.
Akan tetapi, dalam wacana posmodern, pembicaraan mengenai moral adalah pembicaraan di
dalam sebuah ruang yang tanpa garis-garis pemisah. Dalam tataran moral, posmodernisme
merupakan sebuah wacana di mana batas-batas pemisah tersebut justru didekonstruksi,
dibongkar, dan dicairkan. Posmodernisme adalah sebuah wacana di mana yang baik dan yang
buruk menjadi bias dan relatif. Suatu hal ang baik bisa jadi dianggap buruk, yang buruk bisa
jadi dianggap baik; yang nyata dapat dikatakan ilusi, yang ilusi dapat dikatakan nyata.
Moralitas dalam posmodernisme merupakan ketidakpastian moralitas itu sendiri.19
2.2. Konsumerisme
Diantara fenomena budaya masyarakat yang tumbuh seiring dengan pergeseran paradigma
masyarakat dari modernisme kepada posmodernisme adalah kebudayaan konsumer atau
konsumerisme. Konsumerisme merupakan ideologi masyarakat posmodern di mana makna
hidup ditentukan oleh kegiatan konsumsi material dan kebahagiaan diukur pada hal-hal
bendawi.20
Dalam kebudayaan konsumer, konsumsi tidak lagi bermakna kegiatan pemenuhan
nilai guna, melainkan nilai tanda dengan pola dan tempo pengaturan tertentu, dan inilah
15 Madan Sarup, An Introdoctury Guide to Post-Structuralism and Postmodernism, diterjemahkan oleh
Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p. 254
16
Ibid, p. 257
17
Rahma Sugihartati, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer, (Jakarta:
Penerbit Kencana, 2014), p. 154
18
A. Qodry Azizi, Melawan Globalisasi: Reintrepretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 13
19
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, (Jakarta:
Grasindo, 2004), p. 144
20
Yapi Tambayong, Kamus Isme-Isme: Filsafat, Teologi, Seni, Sosial, Politik, Hukum, Psikologi,
Biologi, Medis, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2013), p. 131
hakikat budaya konsumerisme. Dengan demikian, konsumerisme juga dapat dimaknai
sebagai budaya konsumsi yang ditopang oleh diferensiasi secara berkelanjutan melalui citra,
tanda, dan simbol; ia juga merupakan budaya belanja yang di dorong oleh logika hasrat
(desire) dan keinginan (want), bukan logika kebutuhan (need).21
Pada era posmodern, konsumerisme dicirikan dengan beberapa hal. Pertama,
keberadaan masyarakat yang memformulasikan tujuan hidup dalam rangka mendapatkan
barang-barang konsumsi yang tidak dibutuhkan. Kedua, masyarakat yang menjadikan
barang-barang konsumsi sebagai penanda identitas mereka. Ketiga, keberadaan pemilik
modal yang selalu menarik masyarakat untuk terus membeli barang-barang konsumsi lebih
dari yang mereka butuhkan melalui manipulasi periklanan dan kemasan.22
Dapat
disimpulkan, konsumerisme bukan lagi konsumtif, melainkan gerakan manipulasi tingkah
laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran sehingga apa yang dituju
bukan lagi pemenuhan kebutuhan, melainkan kesenangan semata dan pemenuhan hasrat.23
Munculnya konsumerisme di era posmodern tidak lepas dari kapitalisme. Sebagai
ideologi ekonomi, kapitalisme telah mengalami perkembangan. Pada tahap awal
kemunculannya, atau yang disebut kapitalisme pasar, ideologi ekonomi dideskripsikan engan
munculnya pasar nasional yang tersatukan.24
Dalam perjalanannya, kapitalisme pasar
berkembang menjadi kapitalisme imperialis yang ditandai dengan kemunculan suatu jaringan
kapitalisme global seiring dengan upaya kolonialisasi dan penetrasi.25
Seiring dengan
pergeseran paradigma masyarakat dari modernisme ke posmodernisme, kapitalisme
bertransformasi menjadi kapitalisme tahap akhir yang diindikasikan dengan adanya ekspansi
luar biasa besar sehingga lahirlah ideologi kapitalis multinasional.26
Dalam era kapitalisme
multinasional ini, kapitalisme tahap akhir, dicirikan dengan merebaknya ekonomi tanda atau
sign economy dan komodifikasi besar-besaran di hampir semua ruang kehidupan melalui
proses globalisasi.27
Selanjutnya, ideologi kapitalisme lanjut (late capitalism) secara sosial
diterima sebagai budaya konsumer atau konsumerisme.
Dalam wacana posmodern, konsumerisme berkaitan dengan kekuatan industri budaya
yang memengaruhi konsumen agar terus mengkonsumsi produk-produk, termasuk di
dalamnya isu-isu tentang perkembangan kapitalisme, komodifikasi, gaya hidup, dan
semacamnya. Dalam hal ini, diantara pergeseran perilaku dari modern menuju posmodern
yang paling menonjol di kalangan masyarakat adalah, pertama, pergeseran fokus masyarakat
21 Yasraf Amir Piliang, Op. Cit., p. 296
22
Peter N. Stearns, Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire, (New York:
Routledge, 2001), p. ix
23
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 251
24
Frederich Jameson, Postmodern or the Cultural Logic of Late Capitalism, p. 36
25
Ibid, p. 36
26
Ibid, p. 37
27
Sebagaimana telah disinggung, globalisasi memang berkaitan erat dengan kapitalisme. Dalam hal ini
globalisasi seperti kendaraan yang mengangkut ideologi kapitalisme dengan cara liberalisasi institusi-institusi
finansial, swastanisasi badan-badan usaha negara, dan penyebaran demokrasi liberal. Pada aspek budaya,
kapitalisme dan globalisasi secara bersama membentuk kultur baru yang disebarkan melalui industri hiburan dan
teknologi informasi untuk mempromosikan (pos)modernitas serta mempropagandakan konsumerisme. Lihat
Akhmad Jenggis Prabowo, 10 Isu Global di Dunia Islam, (Yogyakarta: NFP Publishing, 2012), p. 72
dari produksi menuju konsumsi.28
Pergeseran ini muncul terutama setelah perang dunia ke
dua di mana publik tidak lagi sibuk mendiskusikan isu politik dan lebih fokus kepada upaya
perbaikan pasca perang melalui program tritunggal, perumahan sub-urban, mobil, dan TV.29
Kedua, pergeseran fokus kapitalisme dari pengeksploitasian pekerja ke pengeksploitasian
konsumen. Akibatnya, masalah sosial yang muncul bukan lagi soal eksploitasi buruh,
melainkan hegemonisasi dan manipulasi hasrat konsumen.30
Manipulasi hasrat ini
diantaranya adalah melalui penciptaan alat-alat konsumsi yang sepertinya memudahkan
namun pada kenyataannya justru membujuk masyarakat sebagai konsumen. Sebagai contoh,
penggunaan kartu kredit. Hal ini menyebabkan masyarakat membelanjakan uang lebih
banyak daripada semestinya serta melebihi persediaan uang yang ada. Dengan kondisi seperti
ini, adagium “I Think Therefore I am” agaknya tidak lagi relevan dan telah tergeser posisinya
oleh adagium lain “I Shop Therefore I am.”
3. POLA KONSUMSI
3.1. Konsumsi Libidinal
3.1.1. Pengertian
Salah satu di antara fenomena masyarakat dalam kebudayaan konsumer adalah konsumsi
libidinal. Konsumsi libidinal merupakan pola konsumsi yang memperturutkan libido. Libido
dalam konteks konsumerisme bukan hanya bermakna nafsu naluriah untuk berhubungan
badan, ia lebih bermakna energi emosional, psikis, maupun seksual yang cenderung memilih
objek kepuasan dengan cara melampaui setiap konvensi sosial atau sesuatu yang dianggap
tabu. Libido juga merupakan semacam dorongan nafsu agresif pada barang-barang produksi.
Akibatnya, logika yang digunakan masyarakat mengalami pergeseran dari logika ekonomi
kebutuhan ke logika ekonomi libido (libidinal economy).31
Dengan demikian, fenomena
konsumsi yang menggejala dalam kebudayaan konsumer adalah konsumsi di bawah pengaruh
ekonomi libidinal atau sistem ekonomi yang menjadikan segala bentuk potensi nafsu dan
hasrat sebagai komoditi. Berkaitan dengan hal ini, Lyotard menyampaikan bahwa setiap
potensi dorongan hasrat, setiap energi nafsu, harus dijadikan alat tukar menggunakan trik-trik
untuk mengkapitalisasikan seluruh intensitas libido demi nilai keuntungan. “they are content
to use every petty trick in order to capitalize on libidinal intensities in the interests of
surplues-value”32
Dalam rangka memaksimalkan nilai keuntungan tersebut, kapitalisme lanjutan
berupaya untuk selalu menerapkan model ekonomi libidinal dengan cara memproduksi tanpa
henti, bukan hanya barang-barang, tapi juga rasa kurang (lack) dalam agregat besar,
28 Hal ini diindikasikan dari kenyataan bahwa penciptaan alat konsumsi lebih diprioritaskan ketimbang
penciptaan alat produksi sebagaimana pada masa modern. Tujuannya adalah menjaga perputadan modal agar
tetap stabil, sehingga fokus kapitalisme bergerak dari eksploitasi pekerja ke eksploitasi konsumen. Lihat George
Ritzer, Teori Sosial Posmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), p. 374-5
29
Petrus Madsen, Posmodernisme dan Kapitalisme Akhir, dalam Steiner Kvale (Ed.), Psikologi dan
Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), p. 359
30
Ibid, p. 375
31
Jean Francois Lyotard, Libidinal Economy, (indianapolis: Indiana University Press), p. 64
32
Ibid, p. 64
meskipun di mana-mana terdapat kelimpahan. Lebih spesifik, kapitalisme lanjutan
menjalankan sistem ekonomi libidinalnya dengan cara mengontrol penyerapan sumber daya-
sumber daya yang melimpah.
“On the one hand, it alone is capable of realizing capitalism`s supreme goal, which is to
produce lack in the large aggregates, to introduce lack where there is always too much, by
effecting the absorption of overabundant resources.”33
Pada era posmodern ini, kebutuhan pada akhirnya bukan lagi berwujud primer, sekunder,
maupun tersier, melainkan telah melampaui kebutuhan alami, yang lebih mirip hasrat atau
libido yang tidak diketahui letak tapal batasnya. Pelampiasan hasrat seakan-akan menjadi
prasayarat bagi tercapainya perjuangan revolusi kebudayaan.34
3.1.2. Contoh Fenomena
Berkaitan dengan konsumsi libidinal sebagaimana telah diterangkan di atas, praktek yang
terjadi di masyarakat, diantaranya, bagi setiap individu, memenuhi kebutuhan akan moda
transportasi berupa sepeda merupakan suatu hal yang wajar. Ketika kebutuhan meningkat,
dalam rangka menempuh jarak yang lebih jauh misalnya, maka pemenuhan sepeda motor
juga masih dikatakan wajar. Namun, terkadang muncul keinginan untuk membeli sebuah
mobil. Saat sebuah mobil mampu dimiliki, tidak jarang pula ia ingin membeli sebuah mobil
yang lain, dan begitu seterusnya. Dalam kasus ini, semua intensitas keinginan, kesenangan,
senantiasa digali dan dimodifikasi. Tidak cukup satu sepeda motor, satu mobil, satu rumah,
satu kesenangan, dan sebagainya.
Contoh yang lain, seringkali terjadi di kalangan masyarakat aktivitas belanja busana
dan pakaian di pusat-pusat perbelanjaan setiap kali ada diskon, secara khusus pada momen-
momen tahunan seperti menjelang hari raya, tahun baru, dan semacamnya. Hingga level
tertentu, bahkan fenomena seperti ini dianggap suatu hal yang wajar. Dalam hal ini, libido
atau energi nafsu yang dipancing dengan iming-iming diskon menjadikan masyarakat merasa
seakan butuh untuk membelinya meskipun pada dasarnya jumlah pakaian yang dimiliki lebih
dari cukup untuk dikenakan.
Tidak jarang pula, dalam rangka memenuhi dan memperturutkan hasrat, seseorang
mengabaikan nilai-nilai moral. Budaya malu yang harusnya dijunjung tinggi, perlahan mulai
pudar, seperti halnya perilaku beberapa oknum pejabat yang tetap tersenyum di tengah
kerumunan massa, meskipun mengenakan rompi oranye dan dituntun keluar dari gedung
pemeriksaan menuju mobil tahanan. Apabila dianalisa, mereka pada dasarnya bukanlah
bagian dari kalangan miskin. Hanya saja, kekayaan yang dimiliki masih dirasa kurang.
Penyebabnya adalah karena hasrat yang diperturutkan, padahal sifat hasrat adalah
memproduksi rasa kekurangan di tengah kelimpahan.
3.1.3. Dampak dan Kritik
33 Gillez Deleuze & Felix Guattari, Op. Cit., p. 235
34
Sebagaimana disampaikan oleh Guattari “A Great many people today agree that no revolutionary
struggle is really possible any longer that does not also commit itself to the liberation of desire.” Lihat Felix
Guattari, Molecular Revolution, (London: Penguin Book, 1981), p. 86
Perlu dipahami bahwa libido atau energi hasrat merupakan suatu ilusi yang mengecoh jiwa
seseorang. Dalam perspektif Guattari, libido merupakan energi khusus yang tersimpan dalam
diri setiap individu untuk menggerakkan semacam mesin hasrat (desiring machine).35
Mesin
hasrat ini senantiasa memproduksi permintaan yang tidak pernah terpuaskan, atau apa yang
dikenal dengan hasrat (desire) itu sendiri. Hal ini bukanlah suatu hal yang aneh, sebab pada
dasarnya, karakteristik hasrat adalah bahwa ia tidak pernah mau terpancang pada teritorial, ia
bersifat deteritorial. Artinya, hasrat tidak berhenti pada satu kepuasan, melainkan kepuasan-
kepuasan baru meskipun harus melampaui nilai-nilai moral. Akibatnya, seseorang tidak lagi
perlu membedakan antara moral dan amoral.
Libido (Energi Hasrat) Mesin Hasrat Hasrat
Dalam pandangan Lacan, hasrat merupakan energi penggerak yang sifatnya tidak
terbatas, tidak terpuaskan. Dalam teorinya oedipusnya, Lacan membedakan antara kebutuhan
(need), keinginan (demand), dan hasrat (desire). Masing-masing dari unsur tersebut
dikonsepsikan dengan sebutan realitas (the real), imajiner (imaginary), dan simbolik
(symbolic).36
Kebutuhan (need) merupakan energi pendorong dalam diri manusia yang dapat
dipenuhi maupun dilengkapi, meskipun tidak seluruhnya. Sedangkan hasrat (desire),
sebagaimana keinginan, ia merupakan energi dalam diri manusia yang tidak dapat
dipuaskan.37
Secara praktis, hasrat berperan sebagai kekuatan pendorong aparat psikis
(kondisi kejiwaan), yang diarahkan sesuai dengan persepsi tentang sesuatu yang
menyenangkan dan sesuatu yang tidak menyenangkan, yang tidak dimiliki oleh kebutuhan
(need). Nafsu kemudian dikuasai oleh permintaan (demand) yang darinya nafsu lahir dalam
intensitas yang baru. Apabila permintaan (demand) dapat dipenuhi oleh objek-objek, tidak
demikian dengan nafsu. Sebab nafsu selalu menginginkan sesuatu yang berbeda dari objek
yang ditawarkan.38
Berkaitan dengan hasrat, Imam Bushiri mengatakan bahwa ia merupakan energi yang
perlu dikendalikan. Dalam hal ini, Imam Bushiri menganalogikan hasrat dengan bayi yang
menyusui.39
Apabila bayi itu tidak dipisahkan dari susuannya, maka ia akan tumbuh dewasa
dalam keadaan masih menyusui. Begitu pula dengan hasrat, apabila hasrat tersebut tidak
dikendalikan, maka ia akan senantiasa tumbuh seiring dengan pertumbuhan seseorang. Maka,
seabagaimana bayi harus dipisahkan dari susuannya dalam rangka memutus siklus penyusuan
tersebut, begitu pula nafsu harus dibatasi dalam rangka memutus mata rantai ketergantungan.
35 Gillez Deleuze & Felix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalism and Skizofrenia, p. 2
36
Jacques Lacan, Ecrits: The First Complete Edition in English, translated by Bruce Fink, (New York:
Norton & Company, 2002), p. 38
37
Diskusi yang lebih jelas dan detail dapat dilihat pada Mark Bracher: Jacques Lacan: Diskursus dan
Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis, (Yogyakarta: Jalasutra)
38
Jacques Lacan, Op. Cit., p. 187
39
Dalam syairnya, Imam Bushiri mengatakan “an-Nafsu ka al-ṭifli in tuhmilhu syabba `ala # ḥubbi al-
raḍā`i wa in tuhmilhu yanfaṭimu” (hawa nafsu itu bagaikan anak kecil apabila engkau tidak melepaskannya dari
susuan niscaya ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan masih menyususi, namum apabila engkau
melepaskannya niscaya ia akan terlepas darinya) Lihat Muhammad bin Muslihuddin Mustafa al-Qujawi al-
Hanafi, Hasyiyah Muhyiddin Syaikh Zadah `ala Tafsir al-Qadi al-Baydawi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al-
`ilmiyyah, 1999), p. 250
Lebih jauh, kegiatan produksi dalam sistem ekonomi libidinal tidak hanya bertujuan
untuk menciptakan barang, namun juga nafsu (salah satunya melalui media iklan). Akibatnya,
kebutuhan masyarakat yang sebenarnya semu, menjadi kebutuhan biologis—yang harus
dipenuhi—secara tiba-tiba. Apabila kebutuhan-kebutuhan semu tersebut tidak dipenuhi, yang
terjadi adalah kepanikan dan kekhawatiran akan kesan ketinggalan zaman atau tertinggal tren
mode. Seakan-akan, kehidupan hanya akan terwujud dengan membeli barang-barang
tersebut, bila tidak mereka akan frustasi. Dengan terbentuknya mental konsumtif dan
perasaan haus untuk membeli dan membeli lagi produk baru, produsen pemilik modal seolah-
olah hanya memenuhi apa yang diminta konsumen. Hukum permintaan dan penawaran
(supply and demand) pada akhirnya hanya akan membangun keselarasan antara pemilik
modal sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen. Keselarasan ini akan menjadi
siklus permanen sejauh produsen dapat menciptakan masyarakat yang senantiasa merasa
dahaga akan barang-barang produksi sebagai pemuas frustasi.
Lain daripada itu, konsumsi libidinal, apabila diperturutkan akan menimbulkan
beberapa dampak, dalam hal ini moral masyarakat akan tergerus. Industri kapitalis pada
bidang produksi komoditas, media, dan tontonan yang hiperealis telah mereduksi kesadaran
masyarakat akan nurani kemanusiaan dan nilai-nilai moral. Tujuan manusia untuk hidup
dalam kemaslahatan nilai-nilai spiritual, kini telah dialihkan oleh keterpesonaan, ketergiuran,
dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekonomi ekstasi tanpa rasa sungkan atau
malu. Rasa malu tidak lagi ditolak, bahkan diumbar di hadapan khalayak. Dalam sistem
ekonomi libidinal, kehidupan diatur oleh hukum serba terbalik, yang amoral dianggap biasa,
yang semu dianggap nyata, dan yang ilusi dianggap realita.40
Dalam pandangan Islam, kegiatan konsumsi harus dilandasi oleh nilai-nilai moral,
dalam hal ini akhlaq. Keluhuran akhlaq menuntut setiap muslim untuk tidak memperturutkan
hawa nafsu dan berupaya mengurangi kebutuhan material manusia yang memuncak.
Sehingga, manusia tidak lagi mengejar kepuasan bendawi yang tidak ada habisnya namun
lebih kepada menjadikannya sarana untuk menemukan kedalaman spiritual.41
Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengendaian hawa nafsu
adalah melatih diri untuk merasa puas (al-qanā`ah). Merasa puas bertujuan untuk
menghilangkan keserakahan dan mencegah timbulnya rasa iri sehingga terwujudlah keadilan
di kalangan manusia. Selain itu, merasa puas akan mematikan mesin hawa nafsu sekaligus
memutus siklusnya yang tidak pernah berkesudahan. Kebutuhan semu manusia yang tidak
realistis di zaman posmodern ini dapat diminimalisir dengan pembiasaan diri untuk merasa
cukup. Apabila kebutuhan semu tersebut dapat dikurangi dan dibatasi kepada hal-hal yang
rasional, maka perasaan takut miskin dapat terhapus dari pikirannya. Walhasil, dengan tidak
memperturutkan hawa nafsu, setiap individu akan merasakan kebahagiaan batin yang
sesungguhnya, yang selama ini dicari dengan membabi buta.
3.2. Konsumsi Kemabukan (Ecstasy) dan Bujuk Rayu (Seduction)
40 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 47
41
M. Umer Chapra, Islamic Economics: Theory and Practice, dialihbahasakan oleh Nastangin,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), p. 44-48
3.2.1. Pengertian
Konsumsi kemabukan merupakan istilah yang dikaitkan dengan sebuah keadaan tertentu.
Keadaan tersebut merujuk kepada kondisi ketidaksadaran dalam melakukan kegiatan
konsumsi. Penyebabnya beragam, diantaranya karena pengaruh manipulasi yang dilakukan
oleh produsen pemilik modal dengan cara mengubah suatu hal yang sifatnya sampingan
menjadi kebutuhan ataupun sebaliknya, kebutuhan yang sifatnya pokok justru menjadi
sampingan. Akibatnya kehidupan sosial masyarakat menjadi sesak oleh kebutuhan-kebutuhan
yang superfisial dalam segala aspek: kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan sebagainya.
Menurut Baudrillard, kondisi kemabukan atau ekstasi (ecstasy) ini menyebabkan
masyarakat hidup dalam alam yang dibentuk oleh kebudayaan konsumer secara tidak sadar.
Istilah eksatasi mengadung makna metafor, bukan makna sebenarnya. Dalam konteks
konsumerisme, ekstasi merupakan proses perpusaran di luar kendali yang berkelanjutan
hingga semua esensi hilang. Pada akhirnya, sistem yang di luar kendali ini menampakkan
kehampaan dan kekosongan makna.42
Ekstasi adalah kondisi ketidaksadaran mental dan jiwa
seseorang karena pengaruh eksternal hingga sampai pada titik di mana ia merasakan
kehampaan. “Ecstasy is that quality specific to each body that spirals in on itself until it has
lost all meaning.”43
Selanjutnya, dalam banyak hal, konsumsi kemabukan disebabkan oleh adanya
bujukan atau seduksi, utamanya yang dilakukan oleh media dan periklanan. Seduksi secara
terminologi dimaknai sebagai kegiatan merayu untuk melakukan hubungan badan.44
Akan
tetapi, dalam hal ini, seduksi tidak hanya bermakna demikian. Makna seduksi dalam konteks
konsumerisme lebih kepada membujuk dalam rangka menyenangkan hati, entah itu dilakukan
dengan ketulusan atau tidak. Sebagai ilustrasi, dalam jual beli, faktor utama terjadinya
transaksi bisa jadi bukan karena hukum penawaran dan permintaan, melainkan karena
rayuan. Dalam aspek seduksi komunikasi, keterhubungan seseorang dengan beragam sistem
komunikasi seperti televisi, radio, atau jaringan internet komputer yang digunakan lebih
diutamakan ketimbang bagaimana seseorang memahami secara detail informasi yang
disampaikan. Artinya, tujuan utama komunikasi yang berupa tersampainya pesan, tidak lagi
menjadi prioritas. Mengalihkan prioritas menjadi ketertarikan masyarakat untuk
berpartisipasi atas dasar rayuan dalam kesenangan dan kepuasan mereka melalui perangkat-
perangkat tersebut, demikianlah seduksi.45
Seduksi merupakan anti tesis dari produksi. Apabila produksi adalah proses
menghasilkan atau mengkonstruksikan yang baru, maka seduksi adalah proes menghasilkan
sesuatu yang baru dengan kemasan yang lama.46
Seduksi dengan demikian dapat dipahami
42 George Ritzer, Teori Sosial Posmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), p. 173
43
Jean Baudrillard, Fatal Strategies, dalam Mark Poster, Jean Baudrillard: Selected Writings, (USA:
Polity Press, 1990), p. 187
44
Oxford Advanced Learner`s Dictionary 9th Edition, (UK: Oxford University Press), p. 1401
45
Jean Baudrillard, Seduction, (Montreal: Ctheory Books, 2001) Lihat juga Douglas Kellner, Jean
Baudrillard: From Marxism to Postmodern and Beyond, (California: Standford University Press, 1989), p. 148
46
Ibid, 34-35
sebagai mis-produksi, Kata mis- dalam istilah tersebut bermakna kreasi ulang yang baru,
yang di luar motif dan intensitas awal pengkreasian sesuatu tersebut.
3.2.2. Contoh Fenomena
Apabila diilustrasikan, fenomena kemabukan dalam konsumsi tergambar dalam masyarakat
yang tanpa kesadaran, mengalir mengikuti perkembangan cepat mode pakaian mutakhir
sebagaimana ditampilkan oleh media promosi, atau mode gawai, dan semacamnya. Beberapa
periode tertentu, mode tersebut telah terbarukan dengan penambahan aksesoris atau fitur-fitur
baru. Pada kenyataannya, cepatnya perkembangan ini tidak memberikan makna apapun selain
keindahan dan kepuasan semu. Mode fashion, mapun gawai, dalam hal ini merupakan ekstasi
keindahan, sebagaimana kemewahan adalah ekstasi kebahagiaan, dan simulasi adalah ekstasi
realitas.47
Dalam hal bujuk rayu, betapa masyarakat telah termanipulasi oleh kemasan-kemasan
semu. Contoh konkret dari fenomena seduksi dalam khidupan sosial adalah kesibukan
berbelanja sebagian umat menjelang datangnya hari raya idul fitri. Budaya konsumer melalui
periklanan dan tawaran promo menyebabkan sebagian masyarakat menghabiskan waktu dan
tenaga untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang bersifat fisik dan bendawi.
Masih dalam fenomena belanja, umumnya diskon adalah potongan harga yang
diberikan kepada konsumer yang membeli barang dalam jumlah banyak. Namun demikian,
diskon yang diberlakukan oleh sebuah pusat perbelanjaan (shopping mall) pada momen
tertentu, bukanlah potongan harga atas dasar pembelian dalam jumlah banyak, melainkan
seduksi. Maka, dalam hal semacam ini, seduksi bertindak sebagai anti tesis dari produksi di
mana segala sesuatu dikreasikan ulang, diproduksi di luar motif awal, didaur ulang, dan
diputarbalikkan sesuka hati demi berlangsungnya perputaran modal.
3.2.3. Dampak dan Kritik
Sebagaimana telah diuraikan, kondisi ekstasi menimbulkan perasaan senang. Namun
demikian, ekstasi tidaklah memberikan kedalaman makna dalam kehidupan sosial. Sebagai
mana namanya, ekstasi memang hanya bersifat operasional yang dangkal.48
Ekstasi
menyebabkan kepuasan, namun kepuasan itu adalah kepuasan yang temporal.
Dalam pandangan Islam, konsumsi adalah perkara yang primer bagi setiap individu,
Islam sebagai dīn telah memberikan aturan yang komprehensif demi kelangungan hidup
manusia yang seimbang. Oleh karenanya, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan.
Sederhana merupakan konsep yang sering mengalami mispersepsi, ia tidak bermakna
minimalis atau serba kekurangan, akan tetapi moderasi dan kewajaran. Pada satu sisi, Islam
membolehkan segenap umatnya untuk menikmati berbagai macam kebaikan dunia dan
melarang mereka untuk meninggalkan kesenangan dunia sebagaimana sistem kerahiban,
47 Ibid, p. 187
48
Douglass Kellner, Op. Cit., p. 144
manuisme Parsi, maupun mistisisme Brahma.49
Namun di sisi yang lain, Islam juga melarang
ummatnya untuk berlebih-lebihan.50
Diantara bentuk perilaku berlebihan dalam melakukan
kegiatan konsumsi, utamanya dalam kebudayaan konsumer ini adalah menenggelamkan diri
dalam ekstasi kemewahan. Padahal, perilaku yang semacam ini merupakan perilaku yang
bertolak belakang dengan kebajikan.
Berkenaan dengan konsumsi bujuk rayu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa bujuk rayu dalam segala bentuknya adalah sistem yang menempati posisi luaran,
permukaan, penampakan, dan tataran simbol yang kesemuanya mengindikasikan makna-
makna artifisial. Seduksi mengosongkan makna dari sebuah pesan, sehingga yang tersisa
hanyalah penampakan dan aspek kemasan yang semu dan dangkal makna.51
Sebagaimana
bujuk rayu iklan dalam media elektronik, yang menjadi tujuan bukanlah tersampainya pesan,
melainkan keterpesonaan dan munculnya dorongan belanja. Oleh karenanya, seduksi
menyebabkan seseorang terbelenggu dalam kesemuan, kehampaan, serta terhalang dari
substansi dan kedalaman makna.52
Dalam fenomena belanja menjelang hari raya yang
bersifat materi, mulai dari pakaian, perabotan, aksesoris, dan semacamnya, seakan-akan
substansi hari raya adalah pakaian baru. Bujuk rayu kebudayaan konsumer telah menghalangi
masyarakat dari kedalaman makna. Pada kenyataannya, substansi hari raya adalah pencapaian
nilai-nilai spiritual dan menghidupkan semangat pengalaman ajaran agama dalam kehidupan
berupa kebersihan hati yang dicapai melalui ibadah ritual ramadhan, bukan sesuatu hal
semacam pakaian atau akseseoris baru yang hanya kemasan artifisal, sebagaimana sebuah
aforisme mengatakan “laysa al-`id liman labisa al-jadid. Lakinna al-id liman kana imanuhu
yazid.” Dalam hal ini bujuk rayu mengekstraksi makna dari wacana dan mereduksi
kebenaran yang terkandung dalam sebuah makna.53
3.3. Konsumsi Gaya Hidup (Lyfestyle) dan Kebudayaan Kota (Urban Culture)
3.3.1. Pengertian
Pengaruh posmodern dengan seluruh kemajuan teknologi di dalamnya, menyebabkan
individu masyarakat memiliki terpengaruh oleh gaya hidup dalam menampilkan dirinya di
hadapan lingkungannya. Gaya hidup ini berkaitan dengan citra diri dan pembentukan
identitas seorang individu di tengah-tengah kehidupan bermasyarakatnya.54
Secara umum,
gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan seseorang, apa yang dikonsumsi,
bagaimana seseorang bersikap, ataupun berperilaku di antara masyarakatnya.
49 Secara umum, orientasi spiritual kerahiban, biksu, bahkan sebagian sufi cenderung melihat
gratifikasi tuntutan tubuh sebagai hal yang merusak ketinggina spiritual. Hal ini merupakan konsekuensi dari
keyakinan mereka bahwa penolakan terhadap kesenangan dunia dan upaya menjauhkan sarana subsistensi
(nafkah hidup) dalam diri mereka adalah tindakan kebajikan. Lihat Sayyid Abu al-a`la al-mawdudi, First
Principles of Islamic Economics, (Islamabad: IPS Press, 2013), p. 109
50
Ibid, p. 111
51
Jean Baudrillard, Fatal Strategies, Op. Cit., p. 187
52
Ibid, p. 187
53
Jean baudrillard, on Seduction, on Mark Poster, Jean Baudrillard: Selected Writings, (USA: Polity
Press), p. 149
54
Khoirul Faizin, Agama dan Masyarakat Kapitalistik, dalam M. Faishal Aminuddin, Globalisasi dan
Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2009), p. 271
Dalam kajian kebahasaan, gaya hidup dimaknai sebagai jalan yang ditempuh
seseorang atau sekelompok individu dalam melakukan pekerjaan dan menjalani
kehidupannya. Artinya, gaya hidup seseorang itu dapat dilihat dari pakaian, perabotan rumah,
maupun hobinya.55
Dalam pengertian yang lain, gaya hidup dapat dipahami sebagai
sekumpulan kebiasaan, pandangan, pola respon, serta perlengkapan untuk hidup. Dalam
perspektif Bourdieu, gaya hidup adalah produk sistematis dari habitus56
yang diterima oleh
masyarakat dalam hubungan timbal balik mereka melalui seperangkat skema.
“Life-style are thus the systematic products of habitus, which, perceived in their mutual relations
through the schemes of the habitus, become sign systems that are socially qualified”57
Menurut Piliang, gaya hidup adalah karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang
menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik
tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dsb. Misalnya cara
berpakaian, cara makan, cara berbicara; pilihan teman, pilihan hiburan; tata ruang, tata
busana, dan sebagainya.58
Apabila ditelisik lebih jauh, gaya hidup sebenarnya mengandung makna umum.59
Istilah ini tidak selalu merujuk kepada konotasi yang negatif. Gaya hidup sehat misalnya,
merupakan pola tingkah laku mengkonsumsi seseorang pada kesehariannya dengan cara
menerapkan format makanan yang mengandung nutrisi dan menjauhi makanan cepat saji
(fastfood) serta diselingi dengan olahraga. Contoh lainnya, gaya hidup sederhana. Ia dapat
dipahami sebagai pola tingkah laku seseorang dengan cara memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya apa adanya, meskipun dalam keadaan berlebih. Dua contoh tersebut
mengindikasikan bahwa gaya hidup tidak selalu bermakna kontra positif.
Selanjutnya, perkembangan gaya hidup selalu berjalan beriringan bersama wacana
kebudayaan kota (urban culture) dalam posmodernisme. Oleh karenanya, posmodernisme
juga dimaknai sebagai upaya dominasi budaya dari sebuah kultur agung bernama kapitalisme
lanjutan (advanced).60
Dalam hal ini, posmodernisme memiliki keterkaitan dengan
kebudayaan kota (urban culture). Keterkaitan tersebut ditandai dengan adanya fenomena
urbanisasi penduduk yang berlangsung secara menonjol dan dramatis. Karena sebagian besar
penduduk menempati wilayah perkotaan, dan sebagian besar lain masih dipengaruhi oleh ide-
55 Lihat Oxford Advanced learner`s Dictionary 6
th edition, (UK: Oxford University Press, 2003), p. 684
56
Habitus adalah istilah yang digunakan oleh Bourdieu untuk menyebut suatu hal yang berkenaan
dengan kebiasaan. Lebih jauh, habitus merupakan prinsip generatif suatu penilaian objektif yang dapat
diklasifikasikan (benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas—penulis). Lihat Pierre Buordieu, Distinction: A
Social Critique of the Judgment of Taste, Translated by Richard Nice, (Cambridge: Harvard University Press,
1984), p. 170
57
Ibid, p. 172
58
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 225
59
Sebagaimana pengertian sebelumnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak secara khusus
memberikan definisi negatif. Artinya, istilah gaya hidup pada dasarnya bermakna umum. Lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), p. 340
60
Lihat Achmad Alchumami, Posmodernisme dan Budaya Kota dalam Suyoto et. al (Ed),
Posmodernisme dan Masa Depan Peradaban, (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), p. 98
ide yang berkembang di wilayah perkotaan tersebut, maka metropolitan menjadi pusat bagi
posmodernisme.61
3.3.2. Contoh Fenomena
Pada era posmodern, kota-kota metropolitan telah berubah menjadi pusat konsumsi,
permainan, maupun hiburan yang sarat dengan tanda dan image. Dalam kebudayaan kota,
kegiatan konsumsi dan transaksi jual beli, tidak lagi natural bersifat ekonomis rasional dan
kalkulatif, melainkan telah bertransformasi menjadi kegiatan lain bernama penghabisan
waktu senggang (leisure) yang menyuguhkan kesenangan.62
Dengan adanya super mall,
sistem perbelanjaan mutakhir secara terus menerus menghadirkan di hadapan masyarakat
seperangkat pelayanan dan penyediaan produk yang dikombinasikan dengan lingkungan
penuh ruah.
Masyarakat konsumer, apabila dihadapkan dengan dua pilihan: antara sepasang sepatu
bermerk dan sepasang sepatu formal dengan kualitas yang sama serta bentuk fisik yang sama,
niscaya akan memilih sepasang sepatu yang bermerk walaupun selisih harganya sangat tinggi
bahkan melampaui tinggi. Alasannya, dalam rangka memenuhi tuntutan gaya hidup, sepasang
sepatu mahal tersebut dapat memberinya citran berupa prestise.63
Berkaitan dengan cara seseorang mengisi waktu luang, kegiatan ini pada dasarnya
bukan sekadar ekspresi dari hobi, melainkan juga merefleksikan pilihan gaya hidup. Dalam
kebudayaan konsumer, waktu senggang umumnya lebih banyak diisi dengan berbagai
aktifitas yang sifatnya kontra-produktif, hedonis, dan lebih banyak mengeluarkan dana
daripada menghasilkan karya. Waktu senggang sering dijalani dengan kegiatan rekreasi di
mana orang pergi ke luar dari diri, menuju ke perangkan-perangkap eksterior semacam
tempat wisata, mall, cafe, dan semacamnya. Dalam kebudayaan kota, warga urban seringkali
menghabiskan waktu senggang di berbagai resto, rumah makan, semacam: starbucks,
breadtalk, ataupun pujasera lainnya untuk sekadar berlari sejenak dari beban rutinitas kerja
yang melelahkan. Bahkan tidak jarang di malam hari, sebagian eksekutif muda menghabiskan
waktu pergi ke bar, karaoke, atau diskotik untuk mencari hiburan yang lebih permisif.
3.3.3. Dampak dan Kritik
Dalam masyarakat konsumer, gaya hidup yang dimaksud adalah gaya hidup yang berkaitan
dengan hedonisme. Hedonisme ini ditandai dengan keinginan untuk mewujudkan kesenangan
yang diciptakan dan dinikmati melalui imajinasi ke dalam kenyataan.64
Sikap yang hedonistik
ini membentuk pola perilaku yang selalu berubah dan tidak pernah terpuaskan. Semuanya
61 Lihat Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam: Pradecament and Promise, (London: Routledge,
1992), p. 18
62
Lihat Mike Featherstone, Consumer Culture and Postmodernism, dialihbahasakan oleh Misbah Z.
Elizabeth, (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2008), p. 242
63
Secara sosiologis, masyarakat urban cenderung selalu ingin mendapatkan legitimasi sosial dari
komunitasnya dalam rangka meningkatkan harga diri, gengsi, atau prestise. Lihat Ade Ma`ruf et.al., Soliloqui:
Pemikiran, Agama, Filsafat, dan Politik, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), p. 84
64
Collin Campbell, The Romantic Ethic and the Spirit of Modern Consumerism, sebagaimana dikutip
oleh Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses
Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p. 231 -2
serba permisif dan konsumtif. Dengan demikian, pola tingkah laku seseorang dalam
mengkonsumsi di era posmodern ini didasari atas pemenuhan kesenangan dan kemewahan
serta jauh dari kesederhanaan. Lingkungan gaya hidup ini, di kalangan masyarakat konsumer
terbentuk oleh ajakan berbelanja, berwisata, atau memanfaatkan waktu luang (leisure) dengan
bermacam-macam kenikmatan jasmani.65
Dalam hal pemenuhan gaya hidup, konsumerisme menyerang psikologi masyarakat
melalui manipulasi yang sifatnya renik. Diantara muslihat besar yang diyakini masyarakat
adalah bahwasanya benda-benda mewah yang mencerminkan gaya hidup hedonis memberi
mereka nilai, di mana eksistensi seseorang ditentukan oleh benda-benda.66
Akibatnya,
masyarakat tenggelam dalam konsumsi ekstasi, membeli banyak hal meskipun tidak butuh.
Demi terpenuhinya hasrat akan nilai tanda ataupun citra. Dalam konteks ini, penyebab
kegandrungan akan gaya hidup adalah manipulasi nilai tanda yang mengatakan bahwa nilai
seseorang ditentukan oleh benda, sehingga akhirnya rasionalitas dapat dikesampingkan.
Kondisi kehidupan urban di era posmodern juga merupakan salah satu sumber
masalah gangguan psikologi masyarakat. Lingkungan yang menuntut adanya rivalitas
menyebabkan kecemburuan sosial. Lebih-lebih sikap masyarakat urban yang cenderung
individualis menyebabkan kontak sosial menjadi longgar. Ditambah lagi, pola kehidupan
kebudayaan urban yang kompetitif merefleksikan kebudayaan eksplosif sehingga
memunculkan sebagian masyarakat yang mengalami tekanan batin.67
Seringkali, kekuatan kapitalis yang menghadirkan produk budaya industri dengan
berbagai kreasi dan inovasinya, menyebabkan masyarakat gagal melakukan negosiasi antara
dirinya dengan tuntutan pasar, antara membeli atau menahan. Kebutuhan mereka untuk
senantiasa menampilkan nilai simbol dan citra sosial menjadikan masyarakat hanyut dalam
gelombang konsumerisme. Seorang individu memutuskan membeli smartphone baru
terkadang bukan karena alasan disfungsi atau rusak, melainkan tuntutan mempertahankan
image atau citra diri. Dalam kondisi seperti ini, gaya hidup menjadikan seseorang tertelikung
secara tidak sadar oleh budaya konsumer.
Menurut Islam, kegiatan konsumsi harus mengacu pada suatu sistem moral Islam
yang disebut akhlaq. Akhlaq Islam dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak mengakui
perilaku materialistis sebagaimana pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer. Dalam
kebudayaan konsumer ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat semakin
terkalahkan oleh kebutuhan fisik yang superfisial karena faktor-faktor psiokologis. Melalui
faktor-faktor psiokologis inilah kemudian gaya hidup hedonis, prestise, dan dorongan pamer
yang didasari oleh hawa nafsu memainkan peran dominan dalam menentukan bentuk lahiriah
dari kebutuhan fisik masyarakat.
65 Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses
Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p. 231 -2
66
Ibrahim Abdul Matin, Green-Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet, dialih-
bahasakan oleh Aisyah, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2012), p. 47-8
67
Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, (Jakarta, Rajawali Press, 1997),
p. 10
Berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat dalam mengisi waktu senggang
(leisure) sebagaimana telah disinggung di atas, Kondisi-kondisi tersebut sebenarnya
merupakan dampak dari lingkungan kebudayaan kota yang sangat erat dengan pola kerja
kantoran yang melelahkan, sehingga waktu senggang adalah semacam oase di padang pasir
yang dicari-cari.68
Dalam Islam, kegiatan konsumsi dilakukan atas dasar kesederhanaan. Kesederhanaan
menjadi manifestasi gaya hidup Islami. Kesederhanaan adalah kemuliaan, ia melahirkan
sikap menghargai kepada ilmu, kerja keras, pengorbanan, dan ikhlas.69
Kesederhanaan
membawa dampak pembebasan jiwa manusia dari perilaku binatang yang tujuan hidupnya
hanyalah untuk makan (baca: mengkonsumsi). Lebih jauh, kesederhanaan akan menimbulkan
kesadaran jiwa untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Apabila kemewahan
menimbulkan kecemburuan sosial, maka kesederhanaan menimbulkan tenggang rasa dan
kerja sama antara masyarakat sehingga tidak terjadi kompetisi dalam rangka
memperjuangkan kebutuhan hidup. Berbeda dengan perilaku hedonis yang gemar
memanfaatkan waktu luang sebagai kesenangan (leisure), perilaku sederhana menanamkan
jiwa masyarakat untuk lebih banyak memanfaatkan waktu dan potensi yang lain untuk
kebaikan dan kemuliaan manusia itu sendiri.70
Kebudayaan konsumer yang lekat dengan konsumsi gaya hidup menjadi pemicu bagi
timbulnya manusia-manusia yang tidak peka terhadap realita sosial. Dorongan untuk selalu
memacu konsumsi pribadi membuat masyarakat melupakan realitas sosial di sekitarnya.
Budaya tradisional dalam bentuk gotong royong, saling membantu telah bertransformasi
menjadi budaya altruistik yang semakin individualis. Masyarakat urban telah melahirkan
jurang lebar ketimpangan, di mana terdapat seseorang yang sangat kaya, bahkan mampu
untuk membeli Ferrari seharga dua belas miliar rupiah meskipun tidak dapat dikendarai di
jalanan ibu kota, namun di sisi lain terdapat sekelompok masyarakat miskin yang tidak bisa
menjamin ketersediaan makanan pada hari itu.71
Tak pelak lagi, konsumerisme telah
menyebabkan hilangnya rasa empati dan kepedulian sosial dari masyarakat.
Kondisi posmodern yang tidak terpisahkan dari kebudayaan kota telah
mentransformasikan kegiatan belanja menjadi kegiatan waktu senggang yang mengandung
nuansa pengalaman, kesenangan, dan fantasi.72
Dengan adanya supermall, masyarakat
senantiasa disuguhkan oleh kombinasi rangkaian produk, pelayanan, dan suasana yang
diremajakan. Kondisi semacam ini, secara tampak mengindikasikan kemajuan. Akan tetapi,
tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan mall ataupun mart sekalipun, memberikan dampak
negatif bagi dunia sosial. Dalam perspektif baudrillard, mall ataupun mart disebut dengan
drugstore.73
Drugstore dianggap sebagai simbol hegemoni yang mengembakbiakkan
68 Bagong Suyatno, Sosiologi Ekonomi:Kapitalisme dan Konsumsi Masyarakat di era Posmodern,
(Jakarta: Kencana, 2014), p. 251-2
69
Nuim Hidayat, Imperialisme Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), p. 135
70
M. Umer Chapra, Op. Cit., p. 58-9
71
Radhar Panca Dahana, Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme, (Jakarta: Kompas, 2015)
72
Mike Featherstone, Op. Cit.,
73
Secara tegas baudrillard mengatakan bahwa drugstore adalah sebuah tempat yang mensintesiskan di
dalamnya kelimpahan dan kalkulasi, di mana konsumer tidak hanya dapat melakukan aktivitas belanja,
individualisme pemilik modal. Dengan kekuatan kapitalnya, keberadaan drugstore
mengakibatkan basis manufaktur masyarakat menjadi terpuruk. Akibatnya, pedagang maupun
pengusaha lokal harus bersaing dalam keadaan tidak sehat untuk dapat bertahan.74
Kondisi
semacam ini merupakan sebuah fragmen ketidaksetaraan yang seringkali merugikan
masyarakat kelas menengah ke bawah yang mayoritas. Kebudayaan konsumer dengan
supermall dan kebudayaan kotanya, meskipun menawarkan kemajuan, namun menyodorkan
patologi sosial.
Masih berkenaan dengan kebudayaan kota, di satu sisi, ia menampilkan wajah
kemajuan dengan berbagai parameternya. Namun di sisi yang berbeda, ia menampilkan
wajah lain yang paradoksal. Sisi negatif kebudayaan kota memperlihatkan pembangunan
yang cenderung tidak manusiawi sehingga melahirkan kelompok masyarakat yang teralienasi
secara sosial. Selain itu, kebudayaan kota juga melahirkan kelompok masyarakat yang
menderita skizofrenia kultural, yaitu masyarakat yang berwatak keras, berwajah garang, dan
berperilaku kasar seperti preman pasar, pencopet, perampok, dan semacamnya. Maka,
tindakan kriminal dan kejahatan merupakan konsekuensi logis dari wujud dehumanisasi ini.
Fakta sosial ini menunjukkan bahwa, di tengah-tengah masyarakat yang menampilkan
kegemerlapan, kebudayaan kota sebagai anak kandung posmodernisme juga menampilkan
ironi: alienasi sosial, keserakahan, kekerasan, dan anarkisme yang tak terhindarkan.75
3.4. Komoditas, Komodifikasi, dan Konsumsi Sinergistik
3.4.1. Pengertian
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat, selain alat tukar, juga tidak dapat
dipisahkan dari komoditas. Komoditas tidak dapat dipungkiri, menjadi salah satu syarat
keabsahan transaksi. Dengan kata lain, tanpa komoditas, transaksi jual beli tidak akan pernah
terjadi. Secara sederhana, komoditas dapat dimaknasi sebagai produk karya seseorang, baik
dalam bentuk barang maupun jasa yang sengaja diproduksi untuk dipertukarkan melalui
mekanisme pasar. Sebagai benda ataupun jasa, komoditas secara umum diproduksi dalam
jumlah besar untuk memenuhi permintaan (demand) masyarakat. Tidak jarang pula
komoditas diproduksi secara berulang untuk memenuhi target pasar dan memenuhi
permintaan (demand) transaksi jual-beli oleh masyarakat.
Sebagai objek transaksi jual beli, komoditas memiliki dua aspek penting. Pertama,
nilai guna. Nilai guna adalah ukuran kemanfaatan suatu komoditas dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Artinya, semakin besar manfaat suatu komoditas, maka semakin besar
nilai guna komoditas tersebut. Kedua, nilai tukar. Secara umum, nilai tukar suatu komoditas
dipantulkan dan ditentukan dalam bentuk harga.
melainkan juga bermain, berkeliling santai, dan semacamnya yang merupakan kegiatan waktu senggang. Lihat
Jean Baudrillard, Consumer Society, dalam Mark Poster (Ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings,
74
Carl Gardner and Julie Sheppard, Consuming Passion: The Rise of Retail Culture, (UK: Unwin
Hyman, 1989), p. 1
75
Amich Alhumami, Posmodernisme dan Kebudayaan Kota, dalam Suyoto (Ed.), Posmodernisme dan
Masa Depan Peradaban, (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), p. 101
Berbeda dengan komoditas, komodifikasi memiliki makna yang tidak serupa.
Komodifikasi merupakan proses menjadikan sesuatu yang bukan komoditas seolah-olah
komoditas dan sekaligus menaturalisasikannya. Pada akhirnya, sesuatu tersebut dianggap dan
diperlakukan sebagaimana komoditas. Dalam pengaruh konsumerisme, proses komodifikasi
terjadi sangant masif, apapun bisa menjadi komoditas, mulai dari penampilan fisik, nafsu,
simbol, ruang publik, dan sebagainya. Demi perputaran modal, apapun dikomodifikasi.
Dengan kondisi seperti ini, proses komodifikasi telah menjadikan segala sesuatu menjadi
sebuah komoditi, yang bahkan melampaui komoditi itu sendiri. Akibatnya, manusia tidak lagi
bertindak sebagai subjek yang mengontrol objek, akan tetapi dikendalikan oleh objek.76
Kondisi seperti ini, oleh Baudrillard, disebut dengan hiperkomoditas (hypercommodity).
Ketika segala aspek kehidupan manusia dikomodifikasi, termasuk hobi dan
ketertarikan masyarakat, maka salah satu pengaruh nyata yang tidak dapat dihindarkan adalah
timbulnya pola konsumsi baru yang disebut dengan konsumsi sinergistik. Sinergi merupakan
gabungan, sedangkan konsumsi sinergistik adalah gabungan dari sekian banyak aktivitas
waktu senggang (leisure), hobi dan ketertarikan masyarakat seperti menonton suatu film,
yang dibarengi dengan membeli mainannya, atributnya, aksesorisnya, memainkan game-nya,
atau mengoleksi pernak-perniknya.
3.4.2. Contoh Fenomena
Sebagaimana telah disinggung, komodifikasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh
kapitalis mutakhir dalam rangka memutar modal. Suatu hal yang pada dasarnya bukan
merupakan komoditas, menjadi komoditas baru dengan komodifikasi. Sebagai contoh,
penampilan fisik seorang atlet. Pada dasarnya, penampilan fisik seseorang bukanlah
komoditas. Namun demikian, dalam kebudayaan konsumer yang diikuti dengan
perkembangan media, penampilan fisik seorang atlet mengalamai komodifikasi. Ketika
penampilannya dijadikan objek transaksi oleh suatu korporasi sepatu olahraga untuk
kepentingan promosi dan periklanan, maka penampilan fisik atlet tersebut telah mengalami
komodifikasi
Selain itu, hobi, ketertarikan, dan kegemarang masyarakat tidak lepas dari target
komodifikasi. Hobi yang dikomodifikasi, membentuk semacam pola konsumsi baru, yaitu
konsumsi sinergitik. Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat, diantaranya ketertarikan
masyarakat, khususnya kalangan anak-anak dan remaja, terhadap anime. Dalam hal ini,
kapitalis memproduksi dalam jumlah besar komik tertentu. Dalam hal ini, yang diharapkan
adalah ketertarikan masyarakat untuk menonton filmnya, mengunjungi halaman website-nya,
menghadiri karnavalnya, dan mengoleksi mainannya. Bukan hanya kalangan anak-anak,
bahkan remaja dan orang dewasa tidak sedikit yang terjebak dengan pola konsumsi
sinergistik semacam ini di era posmodern. Padahal, secara akal sehat, kebutuhan masyarakat
akan hal tersebut bisa dibilang tidak ada, selain kebutuhan untuk memenuhi kesenangan dan
kepuasan semu.
3.4.3. Dampak dan Kritik
76 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 234
Dalam budaya konsumer, perlu disadari bahwa pola konsumsi yang sinergistik sengaja diatur
dan dibentuk sedemikian rupa dalam rangka menumbuhkan sikap masyarakat yang loyal,
adiktif, dan terdiferensiasikan ke berbagai macam produk budaya yang berkaitan. Industri
budaya global, dapat dikatakan sukses merangsang tumbuhnya perilaku sinergistik. Kekuatan
industri kapitalis global mampu membentuk sikap konsumtif dan mencetak gaya hidup yang
berorientasikan kesenangan. Berbagai komoditi dan komodifikasi diciptakan dalam rangka
meningkatkan perputaran kapital, tanpa peduli batas-batas kewajaran.
Kondisi masyarakat posmodern yang penuh dengan manipulasi komodifikasi dan
kondisi ekstasi tontonan, menyebabkan olah raga sepak bola bukan lagi sebagai hobi dan
kegemaran, ia telah menjadi bagian hidup bagian dari hidup yang tak terpisahkan. Sepak bola
menjadi semacam gravitasi baru mengahruskan totalitas pikiran dan jiwa patuh terhadap
hukum-hukumnya.77
dengan sikapnya ini, akal sehat dapat dinomor-duakan. Berapapun harga
tiket tidak jadi masalah, berapapun jauh jarak tidak jadi masalah, bagaimanapun sibuk dengan
kewajiban, harus diluangkan, demi untuk bisa menonton jagoannya secara langsung. Bahkan,
pada titik ekstrem, konsumsi ekstasi mampu mengubah sepak bola sebagai hobi dan hiburan
menjadi suatu bentuk fanatisme buta yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang
seolah-olah mendapat legalitas untuk bentrok antar supporter. Pada kenyataannya, ekstasi
dalam hal ini mereduksi dan mengaburkan rasionalitas dan nalar sehat.
4. ANALISIS KRITIS
Apabila diperhatikan dengan cermat, maka penyebab muncul dan terjadinya pola konsumsi
yang berlebihan dalam budaya konsumer adalah cara pandang yang keliru mengenai
konsumsi itu sendiri. Dalam hal ini, kegiatan konsumsi dipandang hanya sebagai aktivitas
dalam rangka memenuhi kebutuhan dari sisi materi saja, tanpa memandang kepada aspek
moral dan spiritual. Padahal, manusia sebagai subjek atau dalam hal ini konsumen, terdiri
dari aspek jasmani dan ruhani. Akibatnya, kegiatan konsumsi menjadi salah satu alat dalam
rangka memenuhi hasrat, keinginan, dan kesenangan bendawi. Dapat dikatakan, kesalahan
dalam memandang konsumsi ini disebabkan oleh pengaruh materialisme dan hedonisme.
4.1. Materialisme
Sebagai sebuah ideologi, materialisme memiliki makna tertentu. Materialisme diambil dari
kata “matter” yang berarti materi atau suatu objek yang berwujud. Secara definitf,
materialisme adalah ideologi yang meyakini bahwa tidak sesuatu yang eksis kecuali materi
yang bergerak. Materi tersebut merupakan unsur asli dan pokok dari alam semesta. Dalam
pandangan materialisme, alam semesta tidak diatur oleh intelegensi, tujuan, atau sebab yang
bertujuan.78
Selain itu, materialisme tidak mengakui adanya entitas-entitas nonmaterial,
seperti roh, setan, malaikat, dunia adikodrati, bahkan Tuhan sekalipun. Satu-satunya realitas
77 Ibid,
78
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996), p. 133
adalah materi dan segala sesuatu, dalam pandangan materialisme, merupakan manifestasi dari
materi.79
Dalam kaitannya dengan nilai, materialisme memandang dunia ini hanya dari aspek
materi saja. Konsekuensinya, tindakan manusia dan perubahan kebudayaannya semata-mata
atau sebagian besar ditentukan oleh faktor materi. Artinya, kebutuhan manusia tidak
dipandang dari sisi lain selain materi, dalam hal ini, kesehatan, kepuasan jasmani, kenikmatan
fisik, atau yang semacamnya, merupakan satu-satunya aspek yang paling bernilai.80
Cara
pandang inilah yang pada akhirnya menyebabkan perilaku sosial yang over konsumtif hingga
saat ini, di mana kehidupan hidup menjadi semakin kompleks.
Padahal, pada dasarnya, kebutuhan manusia adalah sederhana. Kesederhanaan
kebutuhan manusia sebetulnya telah lama disampaikan. Bahkan Lucretius mengungkapkan
Ergo corporean ad naturam pauca videnus
esse opus, quae demant cumque dolorem,
nec domus argento fulget auroque renidet
nec citharae reboant laqueata aurataque templa
Kita mengetahui bahwa yang diperlukan tubuh kita sebenarnya sangat sedikit
tidak lebih dari yang diperlukan untuk menghilangkan rasa sakit
Apa yang salah jika aula tidak bercahaya perak dan bersinar emas,
dan tidak dipahat atau disepuh cincin kasau hingga alunan suara dawai?81
Namun, sebagaimana diuraikan, ideologi materialis posmodern mentransformasikan
kesederhanaan manusia menjadi semakin kompleks dan beragam. Selain itu, kesuksesan,
kemakmuran, dan kesejahteraan hanya diukur dengan parameter materialisme yang
menafikan unsur-unsur spiritual dan moral. Dapat disaksikan, ideologi materialis bersikap
ramah terhadap pemenuhan kebutuhan fisik sehingga kesederhaan mulai dilupakan.
Dalam Islam, pandangan terhadap manusia berbeda dengan cara pandang ideologi
materialis. Islam menjelaskan bahwa kondisi manusia tidak hanya tersusun atas aspek materi
saja. Unsur-unsur penyusun manusia tidak hanya terdiri dari fisik, jasmani, atau tubuh,
melainkan juga ruh. Baik aspek jasmāniyah (fisik) maupun rūhiyah (spiritual), keduanya
memiliki kebutuhan masing-masing yang perlu untuk dipenuhi. Di bawah pengaruh
materialisme, masyarakat posmodern senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan fisik secara
maksimal dan cenderung melupakan kebutuhan ruh. Padahal aspek ruh inilah yang
membedakan antara manusia dengan binatang. Artinya pemenuhan kebutuhan fisik saja tanpa
upaya pemenuhan kebutuhan ruh akan menjerumuskan manusia ke dalam sifat kebinatangan.
Manusia akan terlibat konflik dalam memperebutkan kebutuhan jasmani sebagaimana
binatang saling menyerang demi memenuhi kebutuhan fisiknya. Sejarah telah menjelaskan
79 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005)
80
Ibid, p. 133
81
Alain de Botton, The Consolations of Philosophy, diterjemahkan oleh Ilham Saenong, (Jakarta:
Teraju Mizan, 2003), p. 78
bahwa banyak konfrontasi dan peperangan terjadi demi memperebutkan aspek-aspek material
manusia.82
Dengan demikian, tujuan hidup manusia bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
fisik semata, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan rūhiyah. Pemenuhan kebutuhan
fisik saja tanpa diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan rūhiyah, akan menimbulkan
perasaan hampa dalam kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari banyak kasus bunuh diri yang
dilakukan oleh orang-orang mapan secara materi, namun hampa secara spiritual. Artinya,
selain kebutuhan fisik, manusia juga membutuhkan kebutuhan spiritual. Berbeda dengan
materialisme yang memandang manusia dari sisi materialnya saja, Islam memuliakannya
dengan memperhatikan sisi ruh atau spiritualnya.83
4.2. Hedonisme
Sebagaimana telah diuraikan, pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer sedikit banyak
dipengaruhi oleh hedonisme. istilah ini diambil dari bahasa Yunani, hedy yang artinya manis
dan hedone yang berarti kesenangan. Hedonisme merupakan teori dalam etika yang
menyatakan bahwa kesenangan atau akibat-akibat yang menyenangkan secara intrinsik
adalah suatu hal yang baik.84
Artinya, dalam hedonisme, kebaikan dimaknai dengan
kesenangan hidup sehingga kesenangan indrawi harus menjadi tujuan tertingg dalam
kehidupan manusia.85
Ide-ide tentang hedonisme, tercatat muncul pertama kali digagas oleh Cyrenaics
sebagaimana dinyatakan oleh Aristipus, yang beranggapan bahwa satu-satunya kebaikan bagi
manusia adalah kesenangan hidup pada saat itu juga.86
Gagasan ini semakin mapan setelah
Protagoras menyatakan bahwa pengetahuan tidak lain hanyalah sensasi temporal. Hampir
serupa dengan Cyrenaics, Epikurus, seorang filsuf Yunani penggagas epikureanisme,87
mengatakan bahwa pengajaran kesenangan dan kegembiraan adalah sesuatu hal yang sifatnya
82 Sebagaimana disampaikan oleh Klare bahwa beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan negara-
negara timur tengah terlibat konflik dalam rangka memperebutkan kekayaan sumber daya alam berupa barang
tambang, minyak bumi, dan kayu, bahkan air bersih. Lihat Michael T. Klare, Resources War: The New
Landscape of Global Conflict, (New York: Henry Holt and Company, 2002), p. 190
83
Hamad Hasan Ruqaith, Qadaya Mu`sirah fi Mizan al-Islam, diterjemahkan oleh Azzam, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2004), p. 29-30
84
Ali Mudhofir, Op. Cit., p. 86
85
Fuad Farid ismail, Mabadi` al-Falsafah wa al-Akhlaq, diterjemahkan oleh Didin Faqihuddin,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), p. 279
86
Hugh Chisholm (Ed.), Hedonism: Encyclopaedia Britannica: A New Survey of Universal Knowledge
Vol. 11, (Chicago: William Benton, 1962), p. 377
87
Epikureanisme, meskipun menjunjung tinggi kesenangan seperti halnya hedonisme, akan tetapi
memiliki sisi perbedaan. Epikureanisme kemudian berkembang menjadi suatu aliran etika sendiri. Dalam
Epikureanisme, kesenangan diartikan sebagai ketiadaan rasa sakit pada tubuh dan kekacauan dalam jiwa. Secara
spesifik, kesenangan puncak, yang juga merupakan kebahagiaan abadi, merupakan kesenangan yang mendalam
ketika jiwa berada dalam keadaan damai dan tenang. Dalam hal ini, tidak sebagaimana hedonisme,
epikureanisme beranggapan bahwa kesenangan lebih bermakna rohani dan luhur. Epikureanisme membedakan
antara kebutuhan alami, keinginan yang dapat ditunda, dan keinginan yang benar-benar sia-sia, “When I am
hungry, curious, and lonely, I desire to eat, to know, and to have company. These are not desires to pleasure. But
I can also eat sweets when I am not hungry, for the sake of the pleasure that they give.” Lihat Encyclopaedia
Britannica: A New Survey of Universal Knowledge Vol. 11, Hedonism, (Chicago: William Benton, 1962), p.
377, bandingkan dengan Zaprulkhan, Fisafat Umum: Sebuah Pendekatan Tematik, (Jakarta: Rajawali Press,
2012), p. 184-5
alamiah.88
Bagi Epikurus, kenikmatan adalah awal tujuan hidup bahagia.89
Oleh karenanya,
merupakan suatu hal yang tidak berguna, mengkalkulasikan kesenangan masa depan dengan
cara menyeimbangkan penderitaan demi mendapatkan kesenangan tersebut. Bagi seorang
hedonis, menarik sebanyak mungkin kesenangan pada setiap momen merupakan sebuah seni
hidup yang sebenarnya.90
Diskusi mengenai hedonisme merupakan sebuah diskusi yang kompleks. Pada
dasarnya, kesenangan tidak hanya terbatas pada kesenangan fisik. Kesenangan bisa berupa
kepuasan fisik, estetis, intelektual, moral, hingga relijius. Artinya, kesenangan pada dasarnya
merupakan suatu hal yang sifatnya subjektif sehingga tidak mudah untuk dapat menjadi suatu
prinsip etis. Selanjutnya, secara teoretis kesenangan mengandung level dan tingkatan, mulai
dari level fisik-indrawi hingga level relijius. Semakin tinggi tingkat kesenangan tersebut,
semakin sulit untuk dicapai, dan semakin banyak tuntutan yang harus dipenuhi untuk
mencapai kesenangannya. Oleh sebab itu, kesenangan relijius begitu mudah diredam oleh
kesenangan fisik yang relatif mudah di dapat.91
Karena kesenangan fisik relatif lebih mudah dicapai ketimbang kesenangan moral,
ataupun relijius, maka makna hedonisme lebih dekat kepada kesenangan fisik tersebut. Pada
akhirnya, penyempitan makna hedonisme tersebut menjadi sangat lekat dengan kebudayaan
konsumer. Konsumerisme sangat relevan dengan hedonisme, lebih mau menikmati daripada
menahan, lebih mau mengkonsumsi daripada memproduksi, lebih mau mencapai kesenangan
meskipun tanpa pengorbanan. Dengan keadaan seperti ini, seorang hedonis lebih suka
mendapat daripada memberi, lebih suka membeli daripada membuat sendiri.
Dalam hedonisme, sesuatu hal yang menyenangkan adalah kebaikan. Apabila hal
tersebut tidak menyenangkan, maka ia bukanlah kebaikan. Artinya, dalam wacana
hedonisme, kesenangan dan kebaikan adalah dua hal yang tidak berbeda. Agaknya,
pernyataan ini perlu ditinjau kembali. Sebab, tak ada satu hal pun yang dapat menjamin
bahwa setiap kesenangan secara otomatis menjadi kebaikan. Menurut Bertens, sebagaimana
dikutip oleh Ekky El-Malaky, kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin bahwa suatu hal
itu baik.92
Tidaklah sesuatu itu menjadi baik karena disenangi, akan tetapi sesuatu itu menjadi
menyenangkan karena ia merupakan suatu hal yang baik.
Selain itu, terdapat beberapa problem lain dalam wacana hedonisme, berkaitan dengan
anggapannya yang mengatakan bahwa kesenangan adalah tujuan. Padahal, kepedihan atau
ketidaksenangan merupakan sisi lain yang selalu mengiringi kesenangan. Artinya, harus ada
harga yang dibayar dalam rangka mencapai tujuan tersebut, sebagaimana pepatah mereka
mengatakan “no pain no gain”. Jika tidak demikian, maka penderitaan yang dimaksud bisa
jadi timbul setelah kesenangan tersebut. sebagai contoh, gangguan organ tertentu yang
88 Cahyaningrum Dewojati, Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), p. 16
89
Alain de Botton, Op. Cit., p. 57
90
Ibid, p. 377
91
Zaprulkhan, Op. Cit., p. 181-3
92
Ekky Al-Malaky, Why Not?Remaja Doyan Filsafat, (Bandung: Mizan,2003), p. 30
diakibatkan oleh memakan hidangan enak dalam intensitas yang tinggi.93
Dengan demikian,
dalam hidup manusia, kesenangan bukanlah satu hal yang permanen, ia bersifat dinamis,
adakalanya seseorang itu berada dalam keadaan senang, dan adakalanya seseorang dalam
keadaan susah.
Terkait dengan hal ini, ada satu hal lain yang patut digarisbawahi. Dalam wacana
hedonisme, terkandung aspek egoisme etis atau sikap mementingkan diri sendiri. Sikap ini
merupakan sikap yang patut ditolak karena bertentangan dengan prinsip kesamaan. Egoisme
etis juga cenderung mengabaikan sikap moral dasar seperti tanggung jawab, pemenuhan
kewajiban, semangat juang, idealisme yang luhur, ataupun kerelaan mengambil resiko demi
kepentingan bersama sehingga jelas-jelas bermuara pada rusaknya kualitas sumber daya
manusia.94
Hal inilah yang perlu ditelaah ulang bagi seorang hedonis, sebab kebahagiaan
tidak selalu di dapat dengan egoisme etis, melainkan juga dari interaksi, berbagi manfaat dan
makna dengan sesama, serta tujuan hidup lainnya (penggapaian cita-cita, harapan, keinginan,
dsb.).95
5. AHKLAQ KONSUMSI ISLAM SEBAGAI SOLUSI
5.1. Prinsip Tauhid
Prinsip utama konsumsi—pada khususnya, dan semua aspek kehidupan pada umumnya—
dalam Islam adalah tauhid. Tauhid atau pengesaan Allah (sebagai Tuhan yang menciptakan
sekaligus sebagai Tuhan yang patut disembah) merupakan inti dari ajaran Islam yang
melandasi seluruh aspek-aspek kehidupan seorang muslim. Tauhid juga merupakan esensi
pengalaman keagamaan dalam Islam.96
Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang bisa
dilepaskan dari tauhid. Oleh karenanya, berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan
fondamen dari segala kebaikan dan ketaatan kepada Allah.97
Sebagai suatu hal yang fundamental dalam Islam, tauhid juga berperan sebagai
pandangan hidup (worldview). Artinya, segala macam keragaman budaya, peradaban,
pengetahuan, kebijaksanaan, dan kekayaan sejarah dalam Islam terangkum dalam sebuah
kalimat tauhid. Ia merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang-
waktu, dan taqdir.98
Konsekuensinya, satu kalimat ini, menuntut manusia untuk
memposisikan diri sebagai hamba di hadapan. Sebab, kalimat tauhid ini merupakan
pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupan secara
menyeluruh.99
Oleh karenanya, kalimat tauhid ini kemudian menjadi asas bagi keseluruhan
93 Saiyad Farid Ahmad & Saiyad Salahuddin Ahmad, God, Islam, and the Skeptic Mind: A Study on
Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil, diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam, (Bandung:
Mizan, 2008), p. 256
94
Didin Hafidhuddin (Ed.), Sederhana itu Indah: Hikmah Republika, (Jakarta: Penerbit Republika,
2001), p. 103
95
Ekky Al-Malaky, Op. Cit.,
96
Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, dialihbahasakan oleh Rahmani
Astuti, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988)
97
Ibid,
98
Ibid,
99
Hamid Fahmy Zarkasy, Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Jurnal Tsaqafah Vol. 9, No. 1,
April 2013, p. 21
kegiatan kehidupan manusia di dunia dalam rangka menjalankan kewajibannya sebagai
hamba.
Sebagai pandangan hidup, Islam memiliki karateristik yang membedakannya dengan
pandangan hidup lainnya. Salah satu elemen yang membedakan antara pandangan hidup
Islam dengan pandangan hidup lainnya adalah tauhid. Tauhid atau aqidah Islam inilah yang
menurut Al-Attas melahirkan cara pandang yang tauhidi (integral). Dalam hal ini, tidak ada
pemisahan antara pekerjaan duniawi dengan teologi. Dengan demikian, setiap usaha yang
dilakukan seorang muslim dalam rangka mencari keuntungan, hal ini merupakan bentuk
pengabdian kepada Tuhan (ibadah) sehingga setiap cara yang dilakukan harus sesuai dengan
ajaran-Nya.
Islam = tauhid cara pandang tauhidi (integral)
Berbeda dengan Islam, pandangan hidup kapitalisme yang rasionalis-materialis
melahirkan cara pandang yang dualis (dikotomis). Akibatnya, kapitalisme memisahkan antara
moralitas dengan teologi. Konsekuensinya, ketika seorang kapitalis melakukan usaha untuk
mencari keuntungan, maka hal tersebut tidak perlu dikaitkan dengan pertimbangan moral atau
hal terrsebut tidak lagi bermakna ibadah.
Kapitalisme = rasionalis-materialis-hedonis cara pandang dualis (dikotomi)
5.2. Mengendalikan Hawa Nafsu
Dalam melakukan kegiatan konsumsi, Islam menjunjung tinggi sistem moral Islam yang
disebut akhlaq. Akhlaq Islam dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak mengakui perilaku
materialistis sebagaimana pola konsumsi dalam kebudayaan konsumer. Dalam kebudayaan
konsumer ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat semakin terkalahkan
oleh kebutuhan fisik yang superfisial karena faktor-faktor psiokologis. Melalui faktor-faktor
psiokologis inilah kemudian gaya hidup hedonis, prestise, dan dorongan pamer yang didasari
oleh hawa nafsu memainkan peran dominan dalam menentukan bentuk lahiriah dari
kebutuhan fisik masyarakat.
Pada dasarnya, kebutuhan masyarakat sederhana, namun kebudayaan konsumer dan
peradaban materialistik posmodern mentransformasikan kesederhanaan kebutuhan
masyarakat ini menjadi seakan-akan kompleks serta beragam. Saat ini, kesuksesan,
kemakmuran, maupun kemajuan di ukur dengan alat ukur materialisme yang menjunjung
tinggi kemewahan dan menegasikan kesederhanaan sehingga nafsu untuk mengejar tingkatan
konsumsi bertambah. Materialisme yang menempati posisi tinggi saat ini terbukti ramah
terhadap hawa nafsu sehingga keinginan menjadi kebutuhan dan kesederhanaan mulai
dilupakan.
Dalam Islam, kegiatan konsumsi harus dilandasi oleh nilai-nilai moral, dalam hal ini
akhlaq. Keluhuran akhlaq menuntut setiap muslim untuk tidak memperturutkan hawa nafsu
dan berupaya mengurangi kebutuhan material manusia yang memuncak. Sehingga, manusia
tidak lagi mengejar kepuasan bendawi yang tidak ada habisnya namun lebih kepada
menjadikannya sarana untuk menemukan kedalaman spiritual.100
Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengendaian hawa nafsu
adalah melatih diri untuk merasa puas (al-qanā`ah). Merasa puas bertujuan untuk
menghilangkan keserakahan dan mencegah timbulnya rasa iri sehingga terwujudlah keadilan
di kalangan manusia. Selain itu, merasa puas akan mematikan mesin hawa nafsu sekaligus
memutus siklusnya yang tidak pernah berkesudahan. Kebutuhan semu manusia yang tidak
realistis di zaman posmodern ini dapat diminimalisir dengan pembiasaan diri untuk merasa
cukup. Apabila kebutuhan semu tersebut dapat dikurangi dan dibatasi kepada hal-hal yang
rasional, maka perasaan takut miskin dapat terhapus dari pikirannya. Walhasil, dengan tidak
memperturutkan hawa nafsu, setiap individu akan merasakan kebahagiaan batin yang
sesungguhnya, yang selama ini dicari dengan membabi buta.
5.3. Mempertimbangkan Aspek Primer, Sekunder, dan Tersier (Maslahah)
Kegiatan konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari prinsip maslahah. Artinya, konsumsi
harus benar-benar mendatangkan kemanfaatan dan nilai guna. Dengan kata lain, Islam
menganjutkan umatnya untuk menjauhi kegiatan konsumsi yang kontra maslahah. Sebagai
ilustrasi, dalam era posmodern, tujuan kegiatan konsumsi tidak lagi dalam rangka memenuhi
manfaat atau nilai guna suatu produk, melainkan lebih kepada upaya untuk mencapai nilai
tanda atau citra. Pola konsumsi tersebut dapat dikategorikan sebagai konsumsi yang kontra
maslahah. Tidak sama dengan konsumerisme, Islam mensyaratkan unsur kemanfaatan atau
maslahah dalam setiap kegiatan konsumsi.
Terkait dengan konsumsi, maslahah merupakan tujuan, kebaikan, dan kebajikan
paripurna.101
Sesuatu dikatakan maslahah apabila mendatangkan manfaat pada tataran
kolektif maupun perseorangan dan diterima oleh masyarakat sebagai pemenuh kebutuhan.102
Maslahah dapat dikatakan elemen penting yang tidak terpisahkan dalam bagi manusia di
mana ketiadaannya dapat menimbulkan ketidakberaturan tata kehidupan yang mengundang
mafsadah.
Prinsip maslahah dalam Islam merupakan konsep yang tersusun secara sistematis. Ia
dapat dijelaskan dalam sebuah hierarki yang tripartit.103
Pertama, ḍarūriyyah atau primer,
yaitu kebutuhan yang harus ada untuk keberadaan manusia. Tanpanya, keberadaan dan
kebutuhan manusia tidak akan tegak.104
Syaikh Wahbah Zuhaili menambahkan bahwa
maslahah ini mencakup kehidupan dunia dan akhirat.105
Kedua, ḥājjiyyah atau sekunder,
100 M. Umer Chapra, Op. Cit., p. 44-48
101
Muhammad al-Tahir Ibn Ashur, Treatise on Maqāṣid al-Syarī`ah, (London: The International
Institue of Islamic Thought, 2006), p, 113
102
Ibid
103
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam Edisi III, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), p. 234
104
Abū Isḥāq al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī`ah, Jilid IV, (
105
Pada dasarnya, seluruh unsur maslahah mencakup kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hal ini,
penyebutan kehidupan dunia dan akhirat cukup diwakilkan pada maslahah pertama, dan secara otomatis
maslahah yang tersisa mengikutinya. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī al-Juz III, (Damaskus:
Dār al-Fikr, 2009), p. 35
yaitu kebutuhan yang menopang terpenuhinya kebutuhan primer.106
Dalam hal ini maslahah
ḥājjiyyah berupa hal-hal yang mendatangkan kemudahan dan keluasan bagi tercapainya
maslahah ḍarūriyyah.107
Ketiga, taḥsīniyyah atau tersier. Maslahah taḥsīniyyah merupakan
kebutuhan yang mengarah kepada kesempurnaan kondisi masyarakat sehingga mampu
menciptakan kehidupan yang mapan.108
Kebutuhan tersier tidak hanya berfungsi sebagai
penyempurna kehidupan, melainkan juga sebagai kebutuhan yang eksistensinya dikehendaki
untuk kemuliaan akhlaq (makārim al-Akhlāq).109
Dengan strukturnya yang hierarkis, pada
setiga unsur maslahah ini berlaku hukum prioritas, di mana primer lebih utama dari pada
sekunder, maupun sekunder lebih utama dari pada tersier. Artinya, apabila dalam unsur
sekunder terdapat hal-hal yang bertentangan dengan yang primer, maka unsur sekunder tidak
boleh diberlakukan. Dengan demikian, apabila mengacu kepada prinsip maslahah, pola
konsumsi pada kebudayaan konsumer yang secara seduktif menjadikan keinginan menjadi
kebutuhan,110
maka hal tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam terkait dengan kegiatan
konsumsi.
5.4. Gaya Hidup Sederhana
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa konsumsi adalah perkara yang primer bagi setiap
individu, Islam sebagai dīn telah memberikan aturan yang komprehensif demi kelangungan
hidup manusia yang seimbang. Oleh karenanya, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai
kesederhanaan. Sederhana merupakan konsep yang sering mengalami mispersepsi, ia tidak
bermakna minimalis atau serba kekurangan, akan tetapi moderasi dan kewajaran. Pada satu
sisi, Islam membolehkan segenap umatnya untuk menikmati berbagai macam kebaikan dunia
dan melarang mereka untuk meninggalkan kesenangan dunia sebagaimana sistem kerahiban,
manuisme Parsi, maupun mistisisme Brahma.111
Namun di sisi yang lain, Islam juga
melarang ummatnya untuk berlebih-lebihan.112
Diantara bentuk perilaku berlebihan dalam
melakukan kegiatan konsumsi, utamanya dalam kebudayaan konsumer ini adalah
menenggelamkan diri dalam ekstasi kemewahan. Padahal, perilaku yang semacam ini
merupakan perilaku yang bertolak belakang dengan kebajikan.
Dalam Islam, kesederhanaan adalah kemuliaan. Kesederhanaan membawa dampak
pembebasan jiwa manusia dari perilaku binatang yang tujuan hidupnya hanyalah untuk
makan (baca: mengkonsumsi). Lebih jauh, kesederhanaan akan menimbulkan kesadaran jiwa
untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Apabila kemewahan menimbulkan
kecemburuan sosial, maka kesederhanaan menimbulkan tenggang rasa dan kerja sama antara
masyarakat sehingga tidak terjadi kompetisi dalam rangka memperjuangkan kebutuhan
106 Ibid, p. 29
107
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994), p. 213
108
Muhammad al-Tahir Ibn Ashur, Op. Cit., p. 120
109
Abū Isḥāq al-Syāṭibī, Op. Cit., p. 31
110
Radar Panca Dhahana, Op. Cit., p. 156
111
Secara umum, orientasi spiritual kerahiban, biksu, bahkan sebagian sufi cenderung melihat
gratifikasi tuntutan tubuh sebagai hal yang merusak ketinggina spiritual. Hal ini merupakan konsekuensi dari
keyakinan mereka bahwa penolakan terhadap kesenangan dunia dan upaya menjauhkan sarana subsistensi
(nafkah hidup) dalam diri mereka adalah tindakan kebajikan. Lihat Sayyid Abu al-a`la al-mawdudi, First
Principles of Islamic Economics, (Islamabad: IPS Press, 2013), p. 109
112
Ibid, p. 111
hidup. Berbeda dengan perilaku hedonis yang gemar memanfaatkan waktu luang sebagai
kesenangan (leisure), perilaku sederhana menanamkan jiwa masyarakat untuk lebih banyak
memanfaatkan waktu dan potensi yang lain untuk kebaikan dan kemuliaan manusia itu
sendiri.113
5.5. Menghindari Israf dan Tabdzir
Sebagaimana melarang bermewah-mewahan, Islam juga mengajarkan umatnya untuk
menghindari tabdzīr. Tabdzīr dapat diartikan dengan perilaku boros, menghambur-
hamburkan harta, dan melampaui batas kewajaran penggunaan. Menghambur-hamburkan
harta, dalam Islam, adalah bentuk perusakan dan peremehan terhadap harta tersebut. Sebagai
contoh, menghidupkan lampu di siang hari yang terang, membiarkan keran air terbuka,
membuang-buang dan menyia-nyiakan makanan, membiarkan tanah kosong tanpa ditanami,
ataupun menelantarkan alat-alat tanpa dimanfaatkan. Dengan contoh-contoh ini, teranglah
bahwa tabdzīr merupakan upaya menghilangkan kemaslahatan yang harus dihindari.
Hampir sama dengan tabdzīr, isrāf adalah perilaku yang juga kontradiktif dengan
ajaran Islam. Isrāf merupakan perbuatan melampaui batas dalam mengkonsumsi. Dalam
konteks kebudayaan konsumer, membeli barang untuk kepentingan prestise tanpa hitung-
hitungan yang rasional adalah contoh kegiatan yang masuk dalam kategori isrāf. Isrāf tidak
selalu dalam kapasitas besar, membelanjakan uang untuk suatu barang yang dilarang,
meskipun harganya murah, juga masuk dalam kategori isrāf.
No. Konsumerisme Posmodern Islam
1. Cara pandang materialis-hedonis Cara pandang Tauhid
2. Libidinal: memperturutkan hawa nafsu Mengendalikan hawa nafsu
3. Ekstasi: kebutuhan yang tidak perlu
menjadi perlu
Maslahah: mempertimbangkan aspek primer
(daruriyyah), sekunder (hajjiyyah), dan
tersier (tahsiniyyah)
4. Gaya hidup mewah Gaya hidup sederhana, tidak tabdzir dan israf
5. Berdasarkan kesenangan Berdasarkan kemanfaatan
Tabel 1. Perbedaan Pola Konsumsi Kebudayaan Konsumer dan Islam
6. KESIMPULAN
Seiring dengan bergesernya paradigma masyarakat Barat dari modern ke posmodern,
bergeser pula fokus mereka dari produksi ke konsumsi. Denga watak dan karakter
posmodern, pergeseran fokus ini kemudian memunculkan kebudayaan baru yang disebut
dengan budaya konsumer atau konsumerisme. Sebagai sebuah budaya anyar yang
menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan masyarakat, konsumerisme
melahirkan pola-pola konsumsi tertentu seperti konsumsi libidinal, ekstasi, gaya hidup, dan
sinergistik. Dalam konsumerisme, logika yang digunakan masyarakat dalam mengkonsumsi
bukan lagi logika kebutuhan, melainkan logika hasrat. Orientasi yang di tuju, bukan lagi nilai
guna (use value), melainkan nilai tanda (sign value).
113 M. Umer Chapra, Islamic Economics: Theory and Practice, dialihbahasakan oleh Nastangin,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), p. 58-9
Berbagai macam pola konsumsi yang terjadi di kalangan masyarakat konsumer ini
kemudian memunculkan berbagai macam problem pada aspek lingkungan, sosial, maupun
psikologi setiap individu masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya fenomena menipisnya
lapisan ozon, menipisnyanya moral masyarakat, dan dikesampingkannya akal sehat
masyarakat. Hal-hal ini merupakan konsekuensi logis dari kesalahan cara pandang terhadap
konsumsi, di mana konsumsi dipandang dengan cara pandang materialisme dan hedonisme.
Dalam Islam, konsumsi dipandang dengan cara pandang tauhid. Artinya, konsumsi
terikat dengan hukum-hukum yang telah diatur oleh Allah melalui syariahNya. Apabila
konsumsi dalam konsumerisme cenderung memperterutkan libido atau hasrat, maka
konsumsi dalam Islam lebih mengacu kepada pengendalian hasrat. Apabia konsumsi dalam
kebudayaan konsumer dilakukan atas dasar ketidaksadaran atau kondisi ekstasi sehingga
kebutuhan yang tidak perlu menjadi perlu, maka dalam Islam konsumsi dilakukan atas dasar
mashlalah yang mengakibatkan terpenuhinya seluruh kebutuhan primer, sekunder, dan tersier
masyarakat secara urut. Apabila konsumsi dalam konsumerisme dilakukan atas dasar gaya
hidup mewah, maka konsumsi dalam Islam dilakukan atas dasar gaya hisup sederhana.
Apabila konsumsi dalam Konsumerisme dilakukan ata dasar kesenangan, maka dalam Islam,
konsumsi dilakukan atas dasar kemanfaatan. Dengan demikian, secara tidak langsung, Islam
pada dasarnya telah menawarkan solusi bagi segenap problematika yang ditimbulkan oleh
konsumerisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 1995, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ahmad, Saiyad Farid and Ahmad, Saiyad Salahuddin, 2008, God, Islam, and the Skeptic
Mind: A Study on Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil,
diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam, Bandung: Mizan
Ahmed, Akbar S., 1992, Postmodern and Islam: Pradecemet and Promise, London:
Routledge
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1998, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, dialihbahasakan
oleh Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit Pustaka
Al-Hanafi, Muhammad bin Muslihuddin Mustafa al-Qujawi, 1999, Hasyiyah Muhyiddin
Syaikh Zadah `ala Tafsir al-Qadi al-Baydawi, Jilid II, Beirut: Dar al-Kutub al-
`Ilmiyyah
Al-Malaky, Ekky, 2003, Why Not?Remaja Doyan Filsafat, Bandung: Mizan
Al-Syāṭibī , Abū Isḥāq, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī`ah, Jilid IV
Al-Zuḥailī, Wahbah, 2009, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī al-Juz III, Damaskus: Dār al-Fikr
Aminuddin, M. Faishal, 2009, Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya
bagi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka
Ashur, Muhammad al-Tahir Ibn, 2006, Treatise on Maqāṣid al-Syarī`ah, London: The
International Institue of Islamic Thought
Azizi, A. Qodry, 2004, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan
Sumber Daya Manusia, dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Bagus, Lorens, 2005, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Baudrillard, Jean P., 2006, Masyarakat Konsumsi Cetakan ke II, Yogyakarta: Kreasi Wacana
________, 2001, Seduction, Montreal: Ctheory Books
Botton, Alain de, 2003, The Consolations of Philosophy, diterjemahkan oleh Ilham Saenong,
Jakarta: Teraju Mizan
Brinton, Crane, 1963, The Shaping of Modern Thought, Englewood Cliffs: Prentice Hall
Bracher, Mark, Jacques Lacan: Diskursus dan Perubahan Sosial, Pengantar Kritik-Budaya,
dan Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra
Buordieu, Pierre, 1984, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, translated by
Richard Nice Cambridge: Harvard University Press
Chisholm, Hugh (Ed.), 1962, Encyclopaedia Britannica: A New Survey of Universal
Knowledge Vol. 11, Chicago: William Benton
Deleuze, Gillez and Guattari, Felix, 1982, Anti-Oedipus: Capitalisme and Skizofrenia
Dewojati, Cahyaningrum, 2010, Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dhahana, Radhar Panca, 2015, Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme, Jakarta:
Kompas
Fatimah, Siti, 2013, Menggali Perkembangan Metode Penelitian Ekologi: Perspektif Fritjhof
Capra, Yogyakarta: Penerbit Depublish
Featherstone, Mike, 2008, Posmodernisme dan Kebudayaan Konsumen, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Gardner, Carl and Sheppard , Julie, 1989, Consuming Passion: The Rise of Retail Culture,
UK: Unwin Hyman
Guattari, Felix, 1986, Molecular Revolution: Psychiatri and Politics, London: Penguin Books
Hafidhuddin, Didin (Ed.), 2001, Sederhana itu Indah: Hikmah Republika, Jakarta: Penerbit
Republika
Husaini, Adian, 2005, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-
Liberal, Jakarta: Gema Insani Press
Hidayat, Nuim, 2009, Imperialisme Baru, Jakarta: Gema Insani Press
Ibrahim, Idy Suhandi, 2011, Kritik Budaya Komunikasi: Media dan Gaya Hidup dalam
Proses Demokratisasi Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra
Ismail, Fuad Farid, 2017, Mabadi` al-Falsafah wa al-Akhlaq, diterjemahkan oleh Didin
Faqihuddin, Yogyakarta: IRCiSoD,
Jameson, Frederich, Postmodern or the Cultural Logic of Late Capitalism
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Cetakan ke III, 2002, Jakarta: Balai Pustaka
Karim, Adiwarman A., 2007, Ekonomi Mikro Islam Edisi III, Jakarta: Rajawali Press
Kartono, Kartini, 1997, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, Jakarta: Rajawali
Press
Kellner, Douglas, 1989, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodern and Beyond,
California: Stanford University Press
Klare, Michael T., 2002, Resources War: The New Landscape of Global Conflict, New York:
Henry Holt and Company
Kvale, Steiner, 2006, Psikologi dan Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lacan, Jacques, 2002, Ecrits: the First Complete Edition in English, New York: Norton and
Company
Lyotard, Jean Francois, Libidinal Economy, Indiana Polis: Indiana University Press
________, 1989, the Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Minneapolis:
University of Minnesota Press
Lubis, Akhyar Yusuf, 2016, Postmodernisme: Teori dan Metode, Cetakan III, Jakarta:
Rajawali Press
Ma`ruf, Ade, et. al., 2002, Soliloqui: Pemikiran, Agama, Filsafat, dan Politik, Yogyakarta:
Penerbit Jendela
Martono, Nanang, 2006, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,
dan Poskolonial, Jakarta: Grafindo Persada
Matin, Ibrahim Abdul, 2002, Green-deen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola
Alam, Jakarta: Zaman Media
Mudhofir, Ali, 1996, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
O`Donnel, Kevin, 2009, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius
Oxford Advanced Learner`s Dictionary Ninth Edition, UK: Oxford University Press
Piliang, Yasraf Amir, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang
Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Bandung: Penerbit Mizan
________, 2004, Sebuah Dunia Yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, Jakarta:
Grasindo
Poster, Mark, 1990, Jean Baudrillard: Selected Writings, USA: Polity Press
Prabowo, Ahmad Jenggis, 2012, Sepuluh Isu Global di Dunia Islam, Yogyakarta: NFP
Publishing
Ritzer, George, 2003, Teori-Teori Sosial Posmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
________, 1998, the McDonaldization Third Edition, UK: Duke University Press
Ruqaith, Hamad Hasan, 2004, Qadaya Mu`sirah fi Mizan al-Islam, diterjemahkan oleh
Azzam, Jakarta: Pustaka Azzam
Sarup, Madan, An Introductory Guide to Post-Structuralism and Post-Modernism,
diterjemahkan oleh Medhy Aginta Hidayat, Yogyakarta: Jalasutra
Stearns, Peter N., 2001, Consumerism in World History: The Global Transformation of
Desire, New York: Routledge
Sugihartati, Rahma, 2014, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial
Kontemporer, Jakarta: Penerbit Kencana
Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
Suyatno, Bagong, 2014, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme, Masyarakat Konsumsi di Era
Posmodern, Jakarta: Penerbit Kencana
Suyoto (Ed.), 1994, Posmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta: Aditya Media
Subdirektorat Statistik Lingkungan Hidup, 2016, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia,
Jakarta: Badan Pusat Statistik
Syarifuddin, Amir, 1994, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994
Tambayong, Yapi, 2013, Kamus Isme-Isme: Filsafat, Teologi, Seni, Sosial, Politik, Hukum,
Psikologi, Biologi, dan Medis, Bandung: Nuansa Cendekia
Turner, Bryan S., 2008, Teori-Teori Sosiologi Modernitas hingga Posmodernitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
The European Environtment State and Outlook, 2010, Consumption and Environtment,
Luxembourg: Publication Office of the European Union
Zaprulkhan, 2012, Fisafat Umum: Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: Rajawali Press
Zarkasy, Hamid Fahmy, 2013, Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Jurnal Tsaqafah Vol.
9, No. 1, Bulan April