102

West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily
Page 2: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery

Update on Daily and Emergency Setting

Penulis:

Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L.(K)., FICS.

dr. Irwandanon, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Jenny, Sp.T.H.T.K.L, F.I.C.S.

dr. Deviana, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Bekti Darmastuti, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Teppy Hartubi Djohar, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Edo Wira Candra, , Sp.T.H.T.K.L., M.Kes., FICS.

dr. Margi Yati Soewito, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L.

Diterbitkan oleh :

PERHATI-KL Cabang Jawa Barat

Page 3: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on

Daily and Emergency Setting

Penulis :

Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L.(K)., FICS.

dr. Irwandanon, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Jenny, Sp.T.H.T.K.L, F.I.C.S.

dr. Deviana, Sp.T.H.T.K.L. dr. Bekti Darmastuti, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Teppy Hartubi Djohar, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Edo Wira Candra, , Sp.T.H.T.K.L., M.Kes., FICS.

dr. Margi Yati Soewito, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L.

ISBN :

978-623-93313-0-6

Editor :

Dr. dr. Yussy Afriani Dewi., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L.(K)., FICS.

Penyunting :

dr. Kote Noordhianta, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L.

Desain Sampul dan Tata Letak :

dr. Dhaniel Abdi Wicaksana, Sp.T.H.T.K.L.

dr. Rico Doloksaribu

Penerbit :

PERHATI-KL Cabang Jawa Barat

Redaksi :

Distributor Tunggal :

Cetakan pertama, Maret 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang meperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis

dari penerbit

Page 4: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga buku West

Java Otorhynolaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily and Emergency Setting

ini dapat diselesaikan. Buku ini merupakan bagian dari Bakti Kesehatan Bogor yang

dilaksanakan oleh PERHATI-KL Jawa Barat pada bulan oktober 2019 lalu. Tujuan penulisan

buku ini agar dapat menjadi pedoman dokter umum dan dokter spesialis THT-KL dalam

manajemen kasus THT-KL.

Terimakasih juga disampaikan kepada PERHATI-KL cabang Jawa Barat atas kontribusi

dalam penyempurnaan buku ini. Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi

dalam editing dan telah ikut membantu dalam penyelesaian buku ini.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini sehingga untuk itu kritik dan

saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi

maanfaat bagi seluruh dokter umum dan Spesialis THT-KL khususnya dan bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Bandung, Maret 2020

Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K)., FICS

Page 5: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

DAFTAR ISI

I. BENDA ASING THT ............................................................................................................ 1

dr. Irwandanon, Sp.T.H.T.K.L

II. DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING ................................................................. 9

dr. Jenny, Sp.T.H.T.K.L, F.I.C.S.

III. EPISTAKSIS ..................................................................................................................... 14

dr. Deviana, Sp.T.H.T.K.L

IV. GANGGUAN DENGAR................................................................................................... 28

dr. Bekti Darmastuti, Sp.T.H.T.K.L

V. INFEKSI TELINGA ........................................................................................................... 35

dr. Teppy Hartubi Djohar, Sp.T.H.T.K.L

VI. RHINOSINUSITIS ............................................................................................................ 67

Edo Wira Candra, dr., Sp.T.H.T.K.L., M.Kes., FICS.

VII. DETEKSI DINI TULI KONGENITAL ........................................................................... 79

dr. Margi Yati Soewito, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L

VIII. DETEKSI DINI KEGANASAN KEPALA LEHER ...................................................... 90

Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.T.H.T.K.L(K)., M.Kes., FICS.

Page 6: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

1

I. BENDA ASING THT

dr. Irwandanon, Sp.T.H.T.K.L

Pendahuluan

Benda asing di THT-KL merupakan suatu kasus emergensi. Kasus ini dapat ditemukan pada

semua usia. Benda asing pada anak sering ditemukan pada usia di bawah 5 tahun karena

keingintahuan anak dan adanya fase oral dimana adanya kecenderungan anak untuk

memasukkan benda asing ke telinga, hidung, dan tenggorok. Faktor lain yang berperan adalah

kurangnya pemantauan terhadap anak, retardasi mental dan anak-anak dengan attention deficit

hyperactivity disorder.

Benda asing di THT-KL dapat diklasifikasikan atas benda asing hidup dan benda asing mati

(organik dan anorganik). Pengangkatan atau ekstraksi benda asing membutuhkan pengetahuan

yang baik tentang anatomi, alat, keterampilan dan teknik tertentu sesuai dengan lokasi benda

asing.

I. Benda Asing Telinga

Liang telinga mempunyai panjang 2,5-3 cm dan diameter sekitar 0,75 cm. Sepertiga bagian

luar merupakan tulang rawan dan 2/3 bagian dalam merupakan tulang keras yang bersatu

dengan tulang tengkorak (gambar 1). Terdapat 2 daerah penyempitan pada liang telinga :

pertama, pada pertemuan antara tulang rawan dengan tulang dan penyempitan kedua yaitu

isthmus, ± 6 mm di lateral membran timpani, dari isthmus ini, liang telinga akan membelok ke

bawah dan depan membentuk resessus anterior. Sulit untuk megeluarkan debris dan benda

asing dari resessus ini.

Gambar 1. Anatomi telinga (www.experthearing.com.au)

Benda asing di liang telinga dapat berupa benda asing hidup (serangga, cacing, larva), benda

asing mati berupa : organik (kacang, daun, patahan ranting dan lainnya) dan non organik

(peluru mainan, batu, kancing baju, lem/ superglue dan lainnya).

Benda asing di liang telinga dapat menimbulkan nyeri, gejala iritasi dan penurunan

pendengaran serta mengakibatkan kerusakan pada membran timpani. Benda asing organik

sangat mudah mengembang dan menyebabkan obstruksi, ketulian, inflamasi dan nyeri. Benda

asing yang hidup seperti serangga dapat menimbulkan nyeri dan laserasi karena cakar atau

gigitannya.

Pengangkatan benda asing harus dilakukan dengan visualisasi yang optimal dan kerjasama

pasien. Instrumen dan bahan yang dibutuhkan dalam tindakan ini adalah: lampu kepala,

Page 7: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

2

mikroskop (jika ada), forsep Alligator, ring currete, hooks, suction, alat irigasi telinga dengan

air, minyak mineral dan menggunakan lem cyanoacrylate/ superglue.

Benda asing hidup (seperti serangga) harus dimatikan terlebih dahulu dengan meneteskan

eter, alkohol (tidak boleh digunakan jika ada perforasi membran timpani), minyak (seperti

carbogliserin) atau air garam ke dalam liang telinga untuk mematikan serangga sebab bila

serangga masih hidup, cakarnya akan mencengkeram dinding liang telinga atau membran

timpani ketika akan dilakukan ekstraksi. Setelah benda asing mati kemudian diekstraksi dengan

menggunakan forcep dan atau irigasi.

Benda asing organik yang kecil dapat diektraksi dengan pengait atau forsep. Benda asing

organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, oleh karenanya benda asing

higrosopis dihindari agar tidak terkena cairan. Benda asing yang berada di lateral istmus dan

benda asing yang berbentuk sferis, jika masih ada celah antara benda asing dengan dinding

liang telinga atau tidak terjadi obstruksi komplit, dapat dikeluarkan dengan menggunakan hook

atau ring curretes melewati celah yang masih ada terus ke belakang benda asing dan

menariknya keluar (gambar 2). Benda asing bentuk sferis ini juga dapat dikeluarkan dengan

menggunakan lem cyanoacrylate (seperti alteco) pada ujung cutton bud / klip kertas / kuas (alat

untuk melukis) dan menempelkannya pada benda asing yang ada di liang telinga. Benda asing

yang licin dan keras, sulit untuk dijepit, juga dapat dikeluarkan dengan menggunakan suction.

Pada kasus tertentu dapat dilakukan irigasi. Tindakan irigasi boleh dilakukan jika membran

timpani intak. Irigasi dilakukan dengan menggunakan air yang temperaturnya sama dengan

temperatur tubuh dengan arah semprotan air ke posterosuperior liang telinga, sehingga air

berada di antara benda asing dan dinding posterior liang telinga (gambar 3). Irigasi jangan

langsung ke membran timpani karena dapat menyebabkan ruptur membran timpani.

Pada kasus yang sulit seperti benda asing terdapat di medial istmus atau di resessus anterior

dan pada anak yang tidak kooperatif perlu dikeluarkan dalam anastesi umum, supaya tidak

terjadi komplikasi dan terkadang dilakukan insisi endaural atau insisi post aurikuler.

Gambar 2. Teknik mengeluarkan benda asing di liang telinga dengan menggunakan

hook

dan bantuan spekulum telinga (otoscopy.hawkelibrary.com)

Page 8: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

3

Gambar 3. Irigasi liang telinga untuk mengeluarkan benda asing

(Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition)

II. Benda Asing Hidung

Benda asing di hidung pada anak merupakan kasus yang sering dijumpai diantaranya benda

asing organik seperti lintah (sering kita jumpai pada petani yang bekerja disawah,dirawa), larva

lalat serta benda asing anorganik seperti baterai cakram, manik-manik, kerikil, kertas/tisu,

mainan logam kecil.

Gejala klinis benda asing hidung dapat berupa hidung tersumbat unilateral tiba-tiba,

anosmia atau hiposmia, sekret mukopurulen, bau busuk, kadang disertai nyeri hidung,

larva/ulat/lintah melekat erat pada jaringan, miasis hidung yang disebabkan oleh lalat hijau

yang bertelur didalam kavum nasi.

Benda asing dapat dikeluarkan lewat nares anterior dengan/ tanpa anastesi umum.

Digunakan cunam yang ujungnya dapat memegang dengan baik dapat digunakan untuk obyek

yang kasar dan mudah dipegang. Untuk manik-manik/mote, pengait/ekstraktor bengkok lebih

berguna. Bagian yang bengkok dari pengait dimasukkan dibelakang obyek dan ditarik

kedepan,kemudian obyek akan tertarik keluar.

Persiapan Prosedur Tindakan

1. Persiapkan peralatan yang diperlukan: lampu kepala, spekulum hidung,

ekstraktor, pinset.(Gambar 4)

2. Posisi pasien duduk tegak dihadapan pemeriksa.

3. Anak dipangku dengan posisi hadap depan (Gambar 5)

4. Kepala difiksasi oleh asisten.

5. Lampu kepala yang telah terpasang difokuskan kelubang hidung.

6. Pasang spekulum hidung,tampak benda asing.

7. Dengan alat ekstraktor yang dimasukkan kedalam lubang hidung, dibelakang

benda asing, kemudian perlahan ditarik kedepan melewati lubang hidung.

(Gambar 6)

8. Pada benda asing organik (lintah), teteskan air tembakau kedalam lubang hidung,

biarkan 2-5 menit lintah akan terlepas dari mukosa hidung kemudian ditarik

dengan pinset/aligator

9. Bersihkan kavum nasi/suction

10.Evaluasi

11.Selesai.

Page 9: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

4

Gambar 4. Alat-alat untuk ekstraksi benda asing

Gambar 5. Posisi pasien terhadap pemeriksa

Gambar 6. Posisi pengait terhadap benda asing di hidung

III. Benda Asing di Tenggorok

Benda asing tulang tertancap di tenggorok merupakan kasus yang paling sering. Benda

asing di faring dapat tertancap di dalam mukosa dan mungkin tidak terlihat, sehingga penting

Page 10: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

5

untuk mencermati keluhan pasien dengan disfagia, yang disertai odinofagia dan melakukan

pemeriksaan THT lengkap untuk mencegah komplikasi akibat under diagnosis.

Faring dibagi 3 bagian yaitu: nasofaring, orofaring, hipofaring atau laringofaring.

Nasofaring berhubungan dengan hidung melalui koana. Orofaring dibatasi oleh palatum mole

pada bagian atas dan bagian atas epiglotis pada bagian bawah. Hipofaring dibatasi setinggi

dasar lidah dan meluas sampai bagian bawah kartilago krikoid. Salah satu lokasi benda asing

tersering di tenggorok adalah tonsil palatina (amandel).

Benda asing yang sering tertelan seperti koin, batrai, tutup botol, gigi palsu dan biji-bijian.

Sedangkan benda asing yang sering dilaporkan tertancap di tenggorok setinggi faring adalah

tulang ikan (gambar 7) dan serpihan kulit makanan yang bersifat tajam serta klip. Tulang ikan

ukurannya bervariasi tergantung jenis dan besar ikan. Benda asing tulang ikan di tenggorok

sering terjadi pada anak-anak. Sedangkan pada dewasa salah satu faktor penyebab tulang ikan

tertancap di tenggorok adalah kecorobohan pada saat makan, disamping ukuran tonsil yang

membesar.

Gambar 7. Benda asing (tulang ikan) di tenggorok

Keluhan yang sering dilaporkan oleh benda asing di tenggorok adalah nyeri di tenggorok

terutama saat menelan, sukar menelan, terasa mengganjal di tenggorok, atau rasa tidak nyaman.

Hal ini sering dirasakan tiba-tiba saat makan. Keluhan nyeri yang bersifat tajam pada

tenggorok, bersifat karakteristik karena pasien dapat menunjukkan lokasi nyeri sesuai

proyeksinya. Nyeri setinggi bagian bawah tiroid menunjukkan benda asing berada di

hipofaring yang dapat dilihat dengan pemeriksaan laringoskopi indirek. Namun bila pasien

menunjukkan nyeri setinggi supra sternal, menunjukkan bahwa benda asing berada di

esophagus. Berbeda jika benda asing masuk ke trakeobronkial akan menimbulkan gejala batuk

dan wheezing, yang disertai dengan sesak nafas.

Pada anamnesis adanya riwayat merasa tertelan atau tersangkut benda asing di tenggorok,

diikuti keluhan nyeri di tenggorok terutama saat menelan, sukar menelan, terasa mengganjal di

tenggorok, atau rasa tidak nyaman. Pemeriksaan fisik tenggorok dengan menggunakan lampu

kepala dan menekan lidah pasien dengan tongue spatule dapat mengidentifikasi lokasi benda

asing di daerah orofaring. Sedangkan dengan menggunakan laringoskopi indirek digunakan

untuk mengidentifikasi benda asing di pangkal lidah atau hipofaring dan valekula dimana

benda asing sering tersangkut. Pada pasien yang sensitif dan mudah muntah, dapat diberikan

spray Xyllocain (Lignocain aerosol spray) pada palatum mole dan dinding posterior faring

sebagai anastesi lokal.

Page 11: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

6

Tulang ikan yang kecil sering sulit diidentifikasi, namun dapat dilihat tanda keberadaan

benda asing tersebut berupa sekret yang terkumpul (standing secretion) di sekitar benda asing

tertancap. Jika benda asing tampak, maka dilakukan pengambilan benda asing dengan

menggunakan curve klem atau forsep atau hemostat (gambar 8). Jika benda asing berhasil

dikeluarkan maka tidak perlu intervensi lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk kontrol bila

terdapat keluhan nyeri yang makin berat, demam, suara serak, sesak nafas, atau terasa

mengganjal yang menetap setalah beberapa hari untuk mengevaluasi kemungkinan komplikasi.

Pada kondisi masih terdapat keluhan sensasi benda asing di tenggorok pada saat kontrol

atau pada saat benda asing tidak tampak pada pemeriksaan laringoskopi indirek, dapat

dilakukan pemeriksaan rontgen cervical lateral soft tissue setting. Pemeriksaan radiografi ini

tidak untuk menggambarkan benda asing radiolusen atau tulang ikan yang kecil, akan tetapi

untuk melihat jaringan patologi di sekitarnya seperti abses retrofaring, divertikulum Zenker,

atau spondilosis servikal berat. Barium esofagoskopi dapat dianjurkan pada keluhan sulit

menelan untuk melihat benda asing yang bersifat radiolusen.

Gambar 8. Klem untuk mengambil benda asing di tenggorok

Komplikasi benda asing ikan di tenggorok meliputi abses leher dalam, mediastinitis, fistula

arteri karotis esophageal yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tulang ikan

kadang dapat diidentifikasi dengan radiografi konvensional karena bersifat radiopak, dengan

sensitifitas 39% dan spesifitas 72%. Namun beberapa tulang ikan mungkin radiolusen,

tergantung perbedaan kemampuan radiosensitifitas untuk dapat terlihat jelas pada radiografi.

IV. Benda Asing di Laring

Benda asing tersangkut di laring biasanya terjadi tiba-tiba dan merupakan kasus emergensi

respirasi yang membutuhkan intervensi segera. Benda asing tersangkut di laring yang pernah

dilaporkan antara lain koin, baterai, tutup botol, tutup pena, biji-bijaan, gigi palsu dan tulang

ayam.

Laring adalah suatu struktur berbentuk tabung yang terbentuk dari suatu sistem yang

kompleks yang terdiri dari otot, kartilago, jaringan ikat. Laring menggantung dari tulang hyoid,

yang merupakan satu-satunya tulang di dalam tubuh yang tidak berartikulasi dengan tulang

lain. Kerangka dari laring tersusun atas 3 kartilago yang berpasangan dan 3 kartilago yang tidak

berpasangan. Kartilago tiroid merupakan kartilago tidak berpasangan yang terbesar dan

berbentuk seperti sebuah perisai. Bagian paling anterior dari kartilago ini sering menonjol pada

beberapa pria, dan biasa disebut sebagai “Adam’s apple”. Kartilago tidak berpasangan yang

kedua adalah kartilago krikoid, yang bentuknya sering digambarkan sebagai sebuah “signet

ring”. Kartilago ketiga yang tidak berpasangan adalah epiglotis, yang berbentuk seperti sebuah

daun. Perlekatan dari epiglotis memungkinkan kartilago tersebut untuk invert, sebuah gerakan

yang dapat membentuk untuk mendorong makanan dan cairan secara langsung ke dalam

esofagus dan melindungi korda vokalis dan jalan pernapasan selama proses menelan. Ketiga

kartilago yang berpasangan antara lain aritenoid, kuneiformis, dan kornikulatus. Aritenoid

berbentuk seperti piramid dan karena mereka melekat pada korda vokalis, membiarkan

terjadinya gerakan membuka dan menutup dari korda vokalis yang penting untuk respirasi dan

Page 12: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

7

bersuara. Kuneiformis dan kornikulatus berukuran sangat kecil dan tidak memiliki fungsi yang

jelas (gambar 9).

Gambar 9. Anatomi Laring

Gejala klinis tergantung pada ukuran dan lokasi benda asing. Benda asing laring dengan

ukuran besar menimbulkan keluhan sesak nafas, pasien sering tidak dapat bicara, dengan

ditemukannya stridor dan sianosis. Sedangkan benda asing laring ukuran lebih kecil

menimbulkan keluhan batuk-batuk, suara serak, tersedak berulang.

Benda asing laring umumnya diidentifikasi dan dikeluarkan dengan endoskopi direk dalam

anastesi umum. Mengeluarkan benda asing laring dengan endoskopi indirek kadang juga dapat

dilakukan,namun sering menimbullkan ketidaknyamanan terhadap pasien dan membutuhkan

anastesi lokal yang adekuat. Pengambilan benda asing di laring dengan menggunakan forsep

lengkung (curve laryngeal forceps).

DAFTAR PUSTAKA

1. Figueiredo RR, Azevedo AA, ÁvilaAO, Kós, Tomita S. Complications of ent foreign

bodies: a retrospective study. Rev Bras Otorrinolaringol 2008;74(1):7-15

2. Chai CK, Tang IP, Tan TY, Jong YH, Evelin D. A Review Of Ear, Nose And Throat

Foreign Bodies In Sarawak General Hospital. A Five Year Experience. Med J Malaysia

2012; 67 (1): 17-20

3. Shrestha I, Shrestha BL, Amatya RCM. Analysis of Ear, Nose and Throat Foreign Bodies

in Dhulikhel Hospital. Kathmandu university medical journal 2012;11(2):4-8

4. Modul telinga. Benda Asing. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Dan Leher, 2008

5. Timothy T.K, Jung, Jinn T.H, Disease of The External Ear. In : Snow JB, Ballenger JJ.

Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Spain: BC Decker Inc;

2003. p230-48

Page 13: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

8

6. Mills JH,Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing In: Bailey BJ,

Johnson JT, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed. New York: Lippincott

Williams & Wilkins. 2006. p1884-1903

7. Sisodia SS. Foreign Body Ear Nose and Throat-Clinical Presentation and Management

8. Iskandar N, Helmi. Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat Telinga Hidung dan

Tenggorok. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 2004: p1-8

9. McLaughlin R, Ullah R, Heylings D. Comparative prospective study of foreign body

removal from external auditory canals of cadavers with right angle hook or cyanoacrylate

glue. Emerg Med J 2002;19:43–45

10. Dance D, Riley M, MD, FRCPC, J.P. Ludemann, MDCM, FRCSC. Removal of ear canal

foreign bodies in children: What can go wrong and when to refer. Bc Medical Journal

2009; 51(1): 20-4

11. Byron J Bailey : Head &Neck Surgery-Otolaryngology, Lippicont William & Wilkins A

Wolter Kluwer CO. Philadhelpia 2001 p 307

12. R.S.Dhillon FRCS, C.A.East FRCS: Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,

Churchil Livingstone Edinburgh LondonNew York Piladelphia Sidney Toronto1999 p 36-

37

13. W Becker, M.D, Richard A.b,M.D., Paul H.Holinger, M.D.; ATLAS OF

otorhinolaryngology and Bonchoesophagology

14. M. Eugene Tardy, Epistaxis, Rhinofima, Furunkulosis, benda asing di hidung, rinolith,

atresia coana; Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher; J.J Ballenger Edisi

13, Binarupa Aksara, Jakarta Indonesia, 1994 p 118-9

15. Sands NBI, Richardson K, Mlynarek A. A bone to pick? Fish bones of the upper

aerodigestive tract: review of the literature. J Otolaryngol Head Neck Surg. 2012

Oct;41(5):374-80.

16. Knight LC, Lesser THJ. Fish bone in the throat. Archives of emergency medicine.

1989;6:13-6.

17. Yang SW, Chen TM, Chen TA. Migrating fish bone complicating a deep neck abscess.

Departement Ororhinolaryngolgy, Chang Gung Memorial Hospital, Keelung. 2005; 28:

872-5.

18. Chiu HS, Chung CH. Management of foreign bodis in throat; en emergency departments

perspective. Hongkong Journal e Medicine 2002; 9:126-30

19. Raza A, Asrar L, Qyetunji N, Belaihi MA, Kakaria A. Calcified posterior part of cricoid

cartilage presenting as foreign body complicated with retropharyngeal cellulitis. J Pak Mes

Assoc 2004;54:224-6.

20. Lee FP.Removal of Fish Bones in the Oropharynx and Hypopharynx Under Video

Laryngeal Telescopic Guidance Otolaryngology -- Head and Neck Surgery July 2004 131:

50-53.

21. Sharma RC, Dogra SS. Oro-pharyngo-laryngeal foreign bodies: some interesting cases.

Indian J Otolaryng Head Neck Surg. 2012;2: 197-200.

Page 14: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

9

II. DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING dr. Jenny, Sp.T.H.T.K.L, F.I.C.S.

Departemen THT.KL RSUD. Cibinong Bogor

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala dan leher yang memiliki

distribusi rasial dan geografis tertentu. Epidemiologi KNF jarang ditemukan disebagian besar

dunia dengan insiden kurang dari 1,2 per 100.000 orang tetapi sering di Cina Selatan dan Asia

Tenggara,1,2 dengan rata-rata mortalitas sebesar 0,7 per 100.000, rasio pada laki-laki 1,7 per

100.000 dan pada perempuan 0,7 per 100.000. Lima negara dengan insiden KNF yang tertinggi

adalah China, Indonesia, Vietnam, India dan Malaysia.2 Di Indonesia insiden KNF 5,69 per

100.000 orang / tahun.3

Konsumsi ikan asin seringkali dikaitkan dengan kejadian KNF karena mengandung

substansi karsinogenik nitrosamin. Faktor lain yang cukup penting untuk terjadinya KNF

antara lain infeksi oleh virus Epstein-Barr (EBV) yang dalam penelitian juga banyak ditemukan

dalam spesimen biopsi jaringan KNF serta peran faktor genetik yang pada penelitian hibridisasi

genomik menunjukan adanya kelainan pada kromosom tertentu seperti delesi dari kromosom

area 14q, 16p, 1p, dan amplifikasi dari kromosom 12q and 4q.4

Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, KNF tipe WHO III berada pada deretan jenis

keganasan yang cukup sering ditemukan.5 KNF tipe WHO II dan III banyak terdapat pada

populasi resiko tinggi (83%-99%), sedangkan tipe WHO I hanya didapatkan 1%-17%.3

Biasanya penderita KNF datang ke Rumah Sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut

Menurut data dibagian THT RSUP DR Sardjito tahun 2004 sampai dengan 2005, terdapat

23,15% KNF stadium III, 66,85% KNF stadium IV, dan tidak didapatkan KNF stadium I &

II.4

TINJAUAN PUSTAKA

KNF adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring6

yang merupakan penyakit multifaktor dan bersifat endemik.7 Daerah Asia Tenggara, kutub

utara, Afrika Utara dan Timur Tengah merupakan daerah dengan risiko menengah. Daerah

dengan insiden tertinggi terdapat di daerah Cina Selatan dan Cina Utara,1 di darerah Guandong

sekitar 50 per 100.000 orang per tahun, di Kanton sekitar 20-30 per 100.000 orang / tahun, di

Singapura sekitar 14,99 per 100.000 orang per tahun.3 Indonesia termasuk daerah risiko

menengah KNF dengan insiden 5,69 per 100.000 orang / tahun.3 KNF di RSUP. DR Sardjito

merupakan 56,4% dari seluruh keganasan di kepala leher.8

Wee, 2003 dalam penelitiannya di Singapore National Cancer Center mendapatkan hasil

lebih dari 50% terdiagnosis KNF stadium 3 & 4 dan 5% nya sudah bermetastasis jauh.3 Hasil

studi review oleh Salehiniya et al tahun 2017 menunjukkan 80% pasien terdiagnosis pada

stadium lanjut.2 Lima negara dengan angka kematian KNF yang tinggi adalah China dengan

21.300 kematian, Indonesia dengan 7.391 kematian, Vietnam dengan 2.885 kematian, India

dengan 2.836 kematian, dan Thailand dengan 1.114 kematian.2

Etiologi KNF bersifat kompleks dan melibatkan latar belakang etnik (genetik), EBV, dan

faktor komponen karsinogenik.6 Adanya antigen virus Epstein Barr (Epstein Barr Nuclear

Antigen) dan DNA virus pada KNF tipe WHO II & III menunjukkan virus ini dapat

menginfeksi dan mengalami transformasi pada lapisan epitel nasofarings.6 Tabel 1

menunjukkan faktor yang berhubungan dengan terjadi KNF.2

Page 15: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

10

Tabel 1. Faktor yang berhubungan dengan terjadinya KNF

Klasifikasi KNF menurut World Health Organisation (WHO) berdasarkan Gambaran

Histopatologi adalah a) tipe WHO I: karsinoma sel skuamosa berkeranisasi, b) tipe WHO II:

karsinoma terdiferensiasi tidak berkeratinisasi, dan c) tipe WHO III: karsinoma tidak

terdiferensiasi / anaplastik. Tipe WHO I lebih sering ditemukan pada penderita dengan usia

lanjut, sedangkan untuk anak dan dewasa muda lebih cenderung terjadi karsinoma nasofarings

tipe III dan sedikit tipe II.6

Gejala yang timbul berkaitan dengan lokasi primer tumor, infiltrasi tumor terhadap struktur

disekitarnya, dan metastasis tumor ke kelenjar getah bening servikal. Massa tumor pada

nasofarings dapat menimbulkan gejala obstruksi nasal dan adanya sekret dari rongga hidung.

Bila tumor mengalami ulcerasi, maka dapat terjadi epistaksis dengan jumlah sedikit dan

seringkali dikeluhkan bersamaan dengan lendir pada tenggorokan (post nasal drip). Tumor

yang besar, dengan atau tanpa perluasan ke posterolateral sering menyebabkan disfungsi tuba

eustakheus sehingga pasien mengeluhkan gejala seperti penurunan pendengaran tipe konduktif,

otalgia, tinnitus, dan rasa penuh pada telinga. Perluasan tumor ke arah superior menginfiltrasi

dasar tengkorak, menyebabkan sakit kepala. Infiltrasi tumor kearah sinus kavernosus dan

dinding lateralnya menyebabkan terganggunya saraf kranial III, IV, dan VI sehingga timbul

gejala diplopia. Perluasan tumor hingga foramen ovale mengakibatkan nyeri pada wajah karena

massa tumor mengganggu saraf kranial V. Perluasan lanjutan kearah foramen jungularis dan

kanalis hipoglosus menyebabkan paralisis saraf cranial IX. X, XI, dan XII. Timbulnya

gangguan terhadap saraf kranial pada KNF berkisar antara 13%-30%. KNF dapat menyebar

jauh ke tulang, hepar, dan paru-paru. Keluhan yang paling sering adalah benjolan di leher.

Diperlukan pemeriksaan penunjang seperti aspirasi jarum halus (AJH) terhadap benjolan di

leher, pemeriksaan serologis, CT-Scan, endoskopi nasofarings dan biopsi.4

Stadium KNF berdasarkan American Joint Committee on Cancer, tahun 2018 (tabel 2)9

Page 16: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

11

Tabel 2. Stadium KNF menurut American Joint Committee On Cancer

Tumor (T)

Tx

primary

T1

T2

T3

T4

Tumor cannot be assessed T0 No tumor identified, but EBV-positive cervical

node(s) involvement Tis (Tumor in situ)

Tumor confined to nasopharynx, or extension to oropharynx and/or nasal

cavity without parapharyngeal involvement

Tumor with extension to parapharyngeal space, and/or adjacent soft tissue

involvement (medial pterygoid, lateral pterygoid, prevertebral muscles

Tumor with infiltration of bony structures at skull base, cervical vertebra,

pterygoid structures, and/or paranasal sinuses

Tumor with intracranial extension, involvement of cranial nerves,

hypopharynx, orbit, parotid gland, and/or extensive soft tissue infiltration

beyond the lateral surface of the lateral pterygoid muscle

Nodes (N)

Nx

N0

N1

N2

N3

Regional lymph nodes cannot be assessed

No regional lymph node metastasis

Unilateral metastasis in cervical lymph node(s) and/or unilateral or bilateral

metastasis in retropharyngeal lymph node(s), 6 cm or smaller in greatest

dimension, above the caudal border of cricoid cartilage

Bilateral metastasis in cervical lymph node(s), 6 cm or smaller in greatest

dimension, above the caudal border of cricoid cartilage

Unilateral or bilateral metastasis in cervical lymph node(s), larger than 6 cm in

greatest dimension, and/or extension below the caudal border of cricoid

cartilage

Metastasis (M)

M0

M1

No distant metastatis

Distant metastatis

Stadium

0

1

2

3

4 a

b

Tis N0 M0

T1 N0 M0

T1,T0 N1 M0, T2 N0 M0, T2 N1 M0

T1,T0 N2 M0, T2 N2 M0, T3 N0 M0, T3 N1 M0, T3 N2 M0

T4 N0 M0, T4 N1 M0, T4 N2 M0, any T N3 M0

Any T any N M1

KNF bersifat radiosensitif sehingga dalam beberapa dekade terakhir radioterapi menjadi

pilihan terapi utama.4 Pemberian radioterapi ada 2 cara yaitu radiasi internal atau brakiterapi

dengan memasukkan alat berupa implan intertisial atau insersi intrakavitas secara temporal

pada ruang nasofarings dan radiasi eksternal (konvensional) dengan cara fraksional diberikan

dosis 1 fraksi 1,8-2 Gy/hari seminggu 5 fraksi sampai mencapai 66-70 Gy dalam waktu 6-7

minggu untuk tumor primer dan dosis untuk kelenjar leher yang membesar sampai 60 Gy tetapi

karena insidensi metastsis ke kelenjar limfonodi regional servikal tinggi maka walaupun

perabaan tidak terasa membesar (subklinis), radiasi profilaksis kadang dilakukan dengan dosis

50 Gy.10

Kemoterapi diberikan pada KNF yang mengalami metastasis, yaitu dengan mereduksi sel-

sel kanker tetapi adakalanya sel-sel sehat ikut tereduksi. KNF dengan metastasis jauh diberikan

kombinasi kemoterapi dan radioterapi. Kemoterapi sebagai induksi sebelum penyinaran

disebut neoadjuvant chemotherapy. kemoterapi sebagai tambahan setelah penyinaran disebut

adjuvant chemotherapy konkomitan (concurrent).11

Page 17: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

12

Pembedahan pada KNF bertujuan untuk mengangkat kelenjar limfonodi regional yang

terlibat berupa diseksi leher radikal, dilakukan bila terdapat sisa pembesaran kelenjar

pascaradiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dimana tumor primer sudah tidak ada.11,12

Prognosis KNF tergantung ukuran tumor yang berkaitan dengan infiltrasinya ke organ

sekitar, tipe tumor secara histopatologik, keterlibatan limfonodi leher, usia, jenis kelamin, dan

teknik terapi yang diberikan. Sejumlah besar penelitian menunjukkan dengan pemberian

radioterapi saja, rata-rata 5 years survival rate untuk KNF stadium I 85-90% dan stadium II

70-80%. Sedangkan pada stadium lebih lanjut (III-IV) rata-rata 5 years survival rate-nya 37%

dengan terapi radiasi saja namun dapat menjadi 67% bila diberikan kemoterapi bersama

radioterapi.13 Karsinoma nasofaring WHO tipe III mempunyai prognosis yang baik dengan 5

years survival rate-nya 60-80% karena bersifat radiosensitif, berbeda dengan KNF WHO tipe

I yang mempunyai prognosis paling buruk dengan 5 years survival rate-nya 20-40% karena

sangat kurang sensitif terhadap radiasi.13

KESIMPULAN

KNF merupakan tumor ganas dari sel epitel nasofaring yang merupakan penyakit

multifaktor dan bersifat endemik. Indonesia termasuk daerah risiko menengah KNF dengan

insiden 5,69 per 100.000 orang / tahun. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan stadium

lanjut, yaitu stadium 3 & 4 dan hanya sedikit datang dengan stadium 1 & 2 sehingga diharapkan

dengan adanya pelatihan pelatihan kita dapat mendeteksi secara dini KNF, melakukan

permeriksaan buat skrining KNF serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Chang ET, Adami HO. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma.

Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. 2006, 15(10):1765-1777.

2. Salehiniya H, Mohammadian M, Mohammadian-Hafshejani A, Mahdavifar N.

Nasopharyngeal Cancer in The World: Epidemiology, Incidence, Mortality and Risk

Factors. 2018, 5(1):e1046.

3. Hariwiyanto B. Peran Protein EBNA1, EBNA2, LMP1 ,LMP Virus Epstein Barr

Sebagai Faktor Prognosis Pada Pengobatan Karsinoma Nasofarings. Yogyakarta,

2009;1-17.

4. Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery-Otorhinolaryngology. 4th ed.

Philadelphia : Williams & Wilkins, 2006.p. 601-613.

5. Fachiroh, J, et al. Dried-Blood Sampling for Epstein-Barr Virus Immunoglobulin G

(IgG) and IgA Serology in Nasopharyngeal Carcinoma Screening. Jounal of Clinical

Microbiology. Vol. 46. No. 4. Apr. 2008, p. 1374–1380

6. Brennan, B. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2006,

1:23.

7. Mutirangura A. Molecular Mechanism OF nasopharyngeal Carcinoma Development.

Res Advance Res Updated Med 2000;1:18-27.

8. Harowi K, Hariwiyanto B, Erlangga EG, Erick S. The Management of Nasopharyngeal

Carcinoma at Sardjito Hospital of Yogyakarta. Free paper. The 11th Asean ORL-HNS

Conggres. Bali, 2005.

9. AJCC Cancer Staging Manual. 8th ed. Springer.

10. Gautama, EE. Gangguan Indra Pengecap dan Penghidu Pascaterapi pada Karsinoma

Nasofarings. Dalam: Karya Tulis Akhir Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Derajat Spesialis. 2008; Hal. 23-27.

11. Rosmawati, ID. Validitas Pemeriksaan Nasoendoskop pada Evaluasi Pascaterapi

Karsinoma Nasofarings. Dalam: Karya Tulis Akhir Untuk Memenuhi Persyaratan

Mencapai Derajat Spesialis. 2010; Hal. 21-22.

Page 18: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

13

12. Cummings, CW et.al. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia:

Mosby, 2005.

13. Ho, Sheng Lin. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Avaiable at: www.emedicine-

medscape.com. 2009.

Page 19: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

14

III. EPISTAKSIS dr. Deviana, Sp.T.H.T.K.L

Epistaksis adalah salah satu kegawatdaruratan THT tersering. Walaupun insiden epistaksis

sekitar 60%,1, 2 hanya 6% yang membutuhkan intervensi medis. Dari kasus epistaksis yang

membutuhkan intervensi medis ini, hanya 10% yang dapat menjadi kasus serius dan

mengancam nyawa. Kejadian dan penyebab epistaksis bervariasi tergantung usia. Karena

epistaksis dapat merupakan gejala dari kelainan sitemik, pasien dengan epistaksis harus

mendapatkan evaluasi awal yang saksama.2

Onset epistaksis memiliki distribusi bimodal dengan insiden meningkat pada usia anak-

anak, jarang pada dewasa awal dan mencapai puncak kembali pada dekade ke enam.2, 3

Epistaksis pada anak lebih sering didapatkan pada anak dengan alergi saluran pernafasan.4

Epistaksis pada anak paling banyak didapatkan pada usia 3-7 tahun, jarang pada anak < 2 tahun.

Adanya epistaksis pada anak < 2 tahun harus meningkatkan kecurigaan adanya penyakit

mendasar atau kekerasan anak.2

ETIOLOGI

Beberapa faktor yang diketahui berhubungan kuat dengan epistaksis antara lain: musim

(terutama winter dan fall), jenis kelamin (terutama laki-laki), usia (epistaksis pada anak

cenderung di anterior dan minor, epistakis di posterior yang lebih berat cenderung pada usia >

50 tahun).1, 2 Hipertensi banyak didapatkan pada usia tua, tetapi belum terbukti berhubungan

secara sebab akibat dengan epistaksis.1, 3

Perdarahan pada epistaksis dapat dibagi menjadi anterior dan posterior. Tidak ada

perbedaan anatomi yang pasti, tetapi perdarahan anterior lebih sering dan cenderung berasal

dari septum sedangkan perdarahan posterior biasanya memiliki volume lebih besar dan berasal

dari lateral yaitu dari cabang arteri sfenopalatina (SPA).2, 3

McGarry,3 membagi epistaksis anterior dan posterior berdasarkan hal berikut:

- Epistaksis anterior: perdarahan berasal dari anterior bidang apertura piriformis,

termasuk perdarahan dari septum anterior dan jarang berasal dari kulit vestibulum dan

mucocutanoues junction.

- Epistaksis posterior: perdarahan berasal dari pembuluh darah di posterior apertura

piriformis, yaitu: dinding lateral, septum dan dasar hidung.

Perdarahan juga dapat dibagi menjadi primer (idiopatik) yang terdapat pada sebagian besar

kasus (70-80%), atau sekunder (lokal atau sistemik).2, 3 Penyebab epistaksis lokal dan sistemik

dapat dilihat pada tabel 1. Perdarahan mukosa secara spontan dapat terjadi pada semua usia,

tetapi terutama pada anak-anak karena pengeringan mukosa, paparan iritan, dan trauma jari.

Epistaksis sekunder adalah epistaksis dengan penyebab diketahui. Segala kelainan yang

merusak epitel mukosa atau mengganggu fungsi pembekuan darah dan platelet dapat

menyebabkan perdarahan hidung. Penatalaksanaan epistaksis sekunder tergantung pada

penyebab mendasarnya.2

Perdarahan anterior terdapat pada 90-95% kasus, dapat terjadi spontan atau karena trauma

septum oleh jari atau semprot hidung. Penggunaan regular semprot hidung, biasanya semprot

kortikosteroid lokal dapat memicu epistasis intermiten karena tekanan semprotan merusak

Page 20: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

15

epitel septum hidung. Epitel juga dapat mengerak (krusta) dan berdarah jika krusta terlepas.

Edukasi pasien untuk tidak mengarahkan semprotan ke septum akan mengurangi masalah ini.5

Deviasi septum juga dapat meningkatkan resiko perdarahan karena defleksi septum akan

lebih sering menimbulkan krusta dan lepasnya krusta (oleh tangan atau sering meniup hidung)

akan memicu perdarahan. Jika krusta sering lepas, trauma berkelanjutan ini akan menyebabkan

terjadinya ulkus septum yang akan mengurangi aliran darah di daerah kartilago septum dan

menyebabkan perforasi septum. Adanya perforasi septum akan menyebabkan perdarahan

menjadi lebih sering terjadi. Mukus di tepi posterior perforasi akan mengering dan membentuk

krusta. Jika krusta ini terlepas dan jatuh, mukosa di bawahnya akan rentan berdarah dan

terbentuk krusta/bekuan darah lebih lanjut.5

Benda asing hidung merupakan penyebab jarang epistaksis dan terutama didapatkan pada

anak atau pasien dengan retardasi mental. Pasien ini datang dengan ingus berbau (karena

Infeksi anaerob) dengan bercak darah dari satu sisi hidung. Terapinya adalah mengambil benda

asing hidung tersebut.5

Tumor hidung dapat menyebabkan epistaksis intermiten. Pada kasus epistaksis unilateral

dan obstruksi hidung pada remaja laki-laki, adanya angiofibroma nasofaringeal juvenile harus

disingkirkan. Pada usia tua, keganasan hidung, sinus, post nasal harus disingkirkan. Kasus yang

jarang adalah tumor di telinga tengah (glomus timpanikum) yang dapat disertai epistaksis

intermiten.5

Perdarahan postoperatif setelah endoscopic skull base surgery juga membutuhkan perhatian

khusus bukan hanya karena adanya potensi terpaparnya struktur neurovaskuler tetapi juga fakta

bahwa adanya potensi cedera neurologis akibat blind packing. Lesi vaskuler lokal seperti

hemangioma, granuloma piogenik, dan teleangiektasia adalah penyebab lokal epistaksis yang

kadang sulit diidentifikasi tetapi dapat menyebabkan perdarahan volume besar.2

Penyebab sistemik epistaksis berhubungan dengan kelainan atau pengobatan yang

menyebabkan gangguan fungsi pembekuan dan platelet termasuk gagal ginjal, penggunaan

NSAID dan salisilat. Penggunaan aspirin dosis rendah berhubungan dengan peningkatan

resiko epistaksis dibandingkan placebo (19,1% vs 16,7%). Penggunaan warfarin juga

berpengaruh pada epistaksis, terutama jika INR tidak terkontrol secara ketat. Pasien epistaksis

juga harus ditanya mengenai penggunaan suplemen yang dijual bebas termasuk bawang putih,

ginkgo, atau ginseng, yang dapat menyebabkan koagulopati sistemik ringan.2

Kecenderungan perdarahan yang diturunkan juga berhubungan dengan epistaksis walau

jarang. Kelainan terbanyak adalah hemofilia A dengan penurunan prokoagulan faktor

pembekuan VII, diikuti penyakit von Willebrand dengan penurunan faktor von Willebrand

(vWF). Faktor prokoagulan dan vWF bersama membentuk faktor VIII. Hemofilia B jarang dan

disebabkan oleh defisiensi faktor IX. Kelainan-kelainan ini akan menyebabkan pemanjangan

partial thromboplastin tome (PPT) dan sex-linked, terutama pada laki-laki. Desmopressin dapat

diberikan sebelum operasi untuk meningkatkan level vWF dan faktor VIII. Cryoprecipitate

juga dapat diberikan selama operasi jika diperlukan.5

Penyakit lain yang juga berhubungan dengan kaskade pembekuan adalah kelainan dan

keganasan hematologis, penyakit liver, dan malnutrisi.5 Penyakit hepatobilier juga

menyebabkan koagulopati berhubungan dengan epistaksis, karena adanya penurunan produksi

factor dependen vitamin K (prothrombin, factor VII, IC, C, protein C dan S).2

Page 21: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

16

Pada pasien dengan epistaksis dan teleangiektasia kutaneus, bibir, mulut, dan intranasal

multiple diagnosis hereditary hemorrhagic teleangiectasia (HHT) harus dipikirkan. Selain

ditemukan teleangiektasia di seluruh permukaan mukosa dan kulit, dapat ditemukan pula

arteriovenous malformation di otak, paru, liver, dan usus.2, 5

Hipertensi dapat memperburuk epistaksis, tetapi bukan merupakan penyebab independen.2

Pada pasien dengan hipertensi dan epistaksis, adanya peningkatan usia akan meningkatkan

fibrosis tunika media arteri. Hal ini akan mencegah vasokonstriksi adekuat setelah rupturnya

pembuluh darah. Ditemukan pula adanya peningkatan apoptosis pada pembuluh darah mikro

di hidung pada pasien dengan hipertensi. Hipertensi memicu penebalan dinding pembuluh

darah dan peningkatan apoptosis sebagai usaha tubuh untuk memulihkan penebalan dinding

arteri.5 Adanya hipertensi pada epistaksis membutuhkan pemeriksaan dan penanganan yang

tepat.2

Tabel 1. Penyebab sekunder epistaksis.2, 3

Lokal Sistemik

- Trauma (tumpul, digital, alat)

- Pembedahan (sinus, endoscopic skull

base)

- Deformitas anatomi (deviasi septum*,

spur)

- Tumor sinonasal (jinak, vaskuler, ganas)

- Benda asing

- Inflamasi, penyakit granulomatosa

- Obat topical

- Kelembapan rendah

- Obat (Coumadin, NSAID**, aspirin)

- Kecenderungan perdarahan

- Keganasan hematologi

- Hipertensi*

- Penyakit hepatobilier

- Alkohol**

- Kelainan vaskuler/jaringan ikat

- Malnutrisi

Keterangan: * tidak ada hubungan, ** hubungan terbukti

Epistaksis pada anak juga kebanyakan berasal dari anterior septum (mukosa hidung tipis

dan terpapar aliran udara kering selama siklus respirasi). Berbeda dengan dewasa di mana

perdarahan umumnya berasal dari Little’s area, sumber perdarahan sering terdapat pada

mukosa di atas vena atau varix retrokolumela yang menonjol. Etiologi umumnya adalah Infeksi, trauma jari karena sering korek hidung dan alergi, benda asing hidung atau deviasi

septum nasi.4 Penyebab sering dan jarang kasus epistaksis pada anak tercantum pada tabel 2.

Tabel 2. Penyebab epistaksis pada anak.4

Sering Jarang

- Idiopatik: arteri septal: Little’s area,

vena septal prominen

- Infeksi

- Trauma: korek hidung, pembedahan,

perforasi septum

- Vestibulitis: termasuk benda asing

- Alergi hidung

- Lokal: deformitas septum, tumor,

kelainan vaskuler

- Sistemik: koagulopati primer atau

sekunder, hereditary hemorrhagic

teleangiectasia

Pada sebuah studi retrospektif kohort pada 2405 pasien dengan epistaksis, didiapatkan

kecenderungan epistaksis meningkat pada pasien dengan rinitis alergi, sinusitis kronik,

hipertensi, keganasan hematologi, koagulopati, atau HHT. Epistaksis juga meningkat pada usia

tua dan cuaca dingin.6

Page 22: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

17

ANATOMI VASKULER HIDUNG

Kavum nasi dialiri oleh beberapa arteri yang saling berhubungan secara luas. Sumber utama

adalah arteri karotis eksterna dengan cabang arteri fasialis yang bercabang menjadi arteri

nasalis lateral dan cabang septal, dan arteri maksilaris interna (IMA) yang bercabang menjadi

arteri sfenopalatina (SPA) dan nasalis lateral dan cabang septal. Selain itu ada pula bagian dari

arteri faringealis posterior dan arteri palatina mayor dari sistem karotis eksterna. Arteri karotis

interna terutama mengaliri daerah superior kavum nasi melalui arteri etmoidalis anterior dan

posterior, yang sering merupakan cabang arteri oftamika. Ada 2 daerah utama di hidung dengan

pertemuan anastomosis yang telah dikenal dengan baik, yaitu “Little’s area” atau “pleksus

Kiesselbach” di bagian anteroinferior septum dan “pleksus Woodruff” di bagian posterior

kavum nasi.1

Pada sebagian besar kasus, didapatkan 3 arteri dominan yang mengaliri bagian anterior

septum nasal (membentuk segitiga anastomosis pembuluh darah besar berdinding tipis) yaitu

cabang septal media dari arteri sfenopalatina di posterior, anastomosis arteri etmoidalis anterior

dan arteri faringealis posterior. Sebanyak 90% mukosa hidung mendapat aliran darah melalui

SPA. SPA memasuki kavum nasi melalui foramen sfenopalatina yang terletak pada dinding

lateral hidung dalam meatus superior, biasanya di antara konka media dan ujung horizontal

posterior dari lamella konka superior. Biasanya, SPA hanya sedikit di atas ujung posterior

lamella horizontal konka media dan sedikit posterior dari krista etmoid lamina perpendikularis

os palatina. Foramen sfenopalatina dibatasi di superior oleh korpus sfenoid, anterior oleh

prosesus orbita, posterior dibentuk oleh korpus sfenoid os palatina dan inferior oleh lamina

perpendikularis os palatina. Pada sebagian besar kasus, SPA terbagi menjadi 2 cabang utama

yaitu arteri nasalis septal dan arteri nasalis lateral posterior. Arteri nasalis septal melintasi

bagian bawah dari dinding anterior sinus sfenoid dan berjalan ke depan septum dalam mukosa

kemudian mengaliri sebagian besar septum bagian posterior. Arteri ini dapat menyebabkan

perdarahan arteri profus jika cedera saat sfenoidotomi karena biasanya berada sedikit inferior

dari ostium sfenoid. Arteri nasalis lateral posterior mengaliri sebagian besar mukosa dinding

lateral nasal. Arteri ini berjalan ke bawah dalam lamina perpendikularis os palatina

memberikan cabang utama ke konka inferior dan media. Kadang, cabang ke konka superior

berasal dari arteri septal.1

Kavum nasi juga menerima aliran darah dari arteri etmoidalis anterior dan posterior.

Keduanya merupakan cabang akhir dari arteri oftalmika dari sistem karotis interna. Arteri

etmoidalis anterior mengaliri sebagian besar bagian anterior kavum nasi termasuk septum dan

dinding lateral nasal bagian anterior. Arteri etmoidalis posterior mengaliri konka superior dan

septum. Kedua arteri ini beranastomosis dengan cabang akhir sfenopalatina dan arteri

sublabialis yang berasal dari arteri fasialis. Arteri etmoidalis anterior dan posterior keluar dari

sisi medial orbita di bagian superior lamina papirasea setinggi lamina kribrosa melalui foramen

dalam sutura frontoetmoid. Arteri etmoidalis anterior biasanya ditemukan 13-18 mm posterior

dari sutura frontomaksilolakrimal dan arteri etmoidalis posterior 10-13 mm posterior dari arteri

etmoidalis anterior dan hanya 4-7 mm anterior dari nervus optikus. Kedua arteri etmoidalis

selanjutnya melintasi bagian superior sel udara etmoid di atap kavum nasi dan mengaliri bagian

superior kavum nasi.1

Aliran darah di dinding medial dan lateral kavum nasi terdapat pada gambar 1 dan 2.

Page 23: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

18

Gambar 1. Aliran darah dinding medial kavum nasi (septum).1

Gambar 2. Aliran darah dinding lateral kavum nasi.1

Pleksus Kiesselbach (Little’s area) merupakan pleksus arteri di septum bagian anterior

inferior, sekitar 1,5 cm di belakang anterior mucocutaneous junction.3, 7 Pleksus ini pertama

diidentifikasi oleh James Little (1879) dan diperjelas oleh Kiesselbach (1880).2, 3 Pleksus

Kiesselbach merupakan anastomosis percabangan arteri karotis interna dan eksterna yaitu arteri

etmoidalis anterior di superior, arteri labialis superior cabang septal, arteri sfenopalatina cabang

septal dan arteri palatina mayor melalui kanal insisivus. 2, 3, 7 Daerah ini terpapar oleh efek

kering aliran inspirasi dan oleh trauma kuku jari tangan dan merupakan lokasi umum epistaksis

pada anak dan dewasa muda.7

Vena retrokolumelar berjalan vertikal ke bawah sedikit di belakang kolumela, melintasi

dasar hidung dan bergabung dengan pleksus vena di dinding lateral hidung. Daerah ini

merupakan lokasi umum perdarahan vena di anak.7

Page 24: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

19

Pleksus Woodruff terletak sedikit inferior dari ujung posterior konka inferior. Woodruff

pada tahun 1949 menyebutkan bahwa pleksus ini adalah lokasi tersering epistaksis dewasa dan

menguraikan 14 kasus perdarahan dari daerah ini. Pleksus ini banyak disebutkan sebagai

sumber tersering epistaksis posterior. Penelitian terakhir menggunakan fotografi endoskopi dan

mikrodiseksi anatomi menegaskan bahwa pleksus ini merupakan pleksus vena.3, 7

Gambar 3. Pleksus Kiesselbach dan Pleksus Woodruff.5

KLASIFIKASI EPISTAKSIS

Perbedaan epistaksis anterior dan posterior dapat dilihat di tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan epistaksis anterior dan posterior.7

Epistaksis anterior Epistaksis posterior

Insiden Lebih sering Lebih jarang

Lokasi Kebanyakan dari Little’s area atau

bagian anterior dinding lateral

Kebanyakan dari kavum nasi bagian

posterosuperior; titik perdarahan sering

sulit dilokalisir

Usia Kebanyakan terjadi di anak atau

dewasa muda

Setelah usia 40 tahun

Penyebab Kebanyakan trauma Spontan, sering karena hipertensi atau

arteriosklerosis

Perdarahan Biasanya ringan, dapat mudah

dikontrol oleh tekanan lokal atau

tampon anterior

Perdarahan berat, membutuhkan rawat

inap, sering diperlukan tampon

posterior

TATALAKSANA

Pendekatan pasien dengan epistaksis dimulai dengan evaluasi awal. Jika perdarahan profus,

pasien dapat berada dalam kondisi syok dan membutuhkan resusitasi untuk syok hemoragik.

Pada pasien stabil, penting untuk mengetahui sifat dan riwayat epistaksis. Informasi riwayat

yang penting antara lain: kapan dimulai, lama perdarahan, frekuensi, faktor pemicu, dan usaha

sebelumnya, apakah berhasil atau tidak untuk mengontrol perdarahan. Anamnesis yang

menyeluruh harus dilakukan untuk mendeteksi kondisi komorbid seperti penyakit arteri

koroner, diabetes, dan hipertensi. Riwayat pengobatan juga memiliki dampak terhadap etiologi

dan keberhasilan penatalaksanaan epistaksis. Tidak hanya obat-obatan yang diresepkan,

seperti: coumadin, NSAID, atau obat antiplatelet, tetapi juga obat yang dijual bebas dan

preparat herbal yang dapat mempengaruhi pembekuan darah, contoh: ginkgo, bawang putih,

ginseng, vitamin A dan E dosis tinggi, dan minyak ikan dan flaxseed dosis tinggi. Penting juga

Page 25: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

20

untuk mengetahui riwayat keluarga yaitu adanya kelainan yang diturunkan yang dapat memicu

epistaksis seperti hemofili dan koagulopati terkait, dan HHT. Riwayat sosial juga penting,

seperti alkohol dan penggunaan obat intranasal.1

Setelah didapatkan riwayat yang menyeluruh, pemeriksaan kepala dan leher secara lengkap

penting dilakukan (tidak hanya fokus pada hidung) supaya adanya massa leher dan retraksi

membran timpani atau hemotimpanum tidak terlewatkan. Pemeriksaan hidung harus dilakukan

dengan persiapan peralatan (tabel 3).1

Tabel 3. Peralatan tatalaksana epistaksis.1

Peralatan

Lampu kepala

Spekulum hidung

Suction

Pipa

Tabung

Frazier tip

Semprot oxymetazoline-lidokain

Perak nitrat

Forsep bayonet

Peralatan tampon hidung:

Inflatable nasal pack (epistat, rapid rhino, dll)

Petroleum gauze strip

Bahan tampon yang diserap

Surgicel (oxidised regenerated celluloseI)

Gelfoam (processed gelatin)

Hemostatic sealant (Floseal, Surgiflo)

Kateter Foley

Endoskopi

Serat optik fleksibel

Rigid (00 dan 300)

Peralatan kaustik endoskopi (di ruang operasi)

Bipolar

Suction cauter

Irigasi saline

Sebagian besar perdarahan hidung bersifat self-limited dengan kehilangan darah bersifat

minimal. Walaupun demikian, pada kondisi yang jarang, perdarahan dapat bermakna dan fatal

sehingga pasien harus dievaluasi dengan tepat. Pertimbangan pertama adalah amankan jalan

nafas dan tatalaksana jalan nafas. Setelah jalan nafas aman, perhatian ditujuan pada

mengkontrol perdarahan dengan secara bersamaan menyediakan akses vaskuler untuk

penggantian volume dan dukungan hemodinamik jika diperlukan.2

Penilaian dan tatalaksana harus dilakukan di ruangan dengan monitoring, suction,

penerangan adekuat, dan lebih baik dilengkapi alat endoskopi.2 Dokter dan perawat memakai

alat pelindung diri karena sering adanya penularan gas darah, terutama bila akan memasang

tampon hidung.1 Tatalaksana epistaksis sesuai guideline PERHATI-KL terdapat pada gambar

4.

Page 26: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

21

Gambar 4. Tatalaksana epistaksis.8

Pasien harus diposisikan duduk dengan badan dimiringkan ke depan dan mulut terbuka.

Posisi terlentang harus dihindari untuk menurunkan tekanan vena dan mencegah aspirasi.

Pasien diminta menekan kartilago lateralis superior selama 10-15 menit untuk menekan

vaskularisasi septum anterior.2 Jika ada bekuan darah, pasien diminta meniup hidungnya untuk

melepas bekuan darah, dan pada pasien yang kooperatif, kita dapat menggunakan suction

bertekanan rendah untuk membersihkan hidung. 2, 4 pemberian vasokonstriktor topikal

(oxymetazoline 0,05%) sebelum pemeriksaan mengurangi perdarahan dan membantu

menentukan titik perdarahan. Anestesi topikal (lidokain 4%) mengurangi nyeri akibat

pemeriksaan dan tampon anterior.6 Preparat yang juga umum digunakan adalah injeksi lidokain

(0,5%, 1%, atau 2%) dengan adrenalin (epinefrin) 1/200.000.9

Page 27: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

22

Evaluasi hidung harus dimulai dengan pemeriksaan hidung luar. Tanda penting yang harus

dicari antara lain trauma dan sisi perdarahan di anterior. Rinoskopi anterior dengan spekulum

hidung dan lampu kepala umumnya dapat menunjukkan sumber perdarahan pada septum

hidung bagian anterior, adanya trauma septum anterior (karena manipulasi jari), eschar,

perforasi septum hidung, atau dilatasi pembuluh darah.1

Pada anak, pemeriksaan kavum nasi dapat dilakukan dengan menaikkan tip nasi

menggunakan ibu jari pemeriksa dengan menggunakan lampu kepala sebelum menggunakan

spekulum hidung atau endoskopi. Boleh juga menggunakan otoskop dengan ukuran spekulum

yang sesuai untuk mendapatkan gambaran kavum nasi yang baik dengan distress minimal pada

anak.4

Endoskopi diperlukan untuk diagnosis yang akurat karena faktor penting untuk

menentukan tatalaksana efektif epistaksis adalah visualisasi pembuluh darah yang terkena.

Evaluasi endoskopi intranasal paling baik dilakukan dengan anestesi lokal yang adekuat dan

aplikasi agen vasokonstriktor topikal.1 Sebanyak 20% epistaksis berasal dari posterior di mana

nasoendoskopi dibutuhkan.1, 2 Epistaksis posterior kebanyakan berasal dari arteri dan sering

bersifat serius dan sulit dikontrol.1

Pemeriksaan koagulasi tanpa adanya riwayat positif tidak diindikasikan.3 Pemeriksaan

koagulasi diperlukan jika ada riwayat perdarahan dari tempat lain, sering memar atau riwayat

keluarga dengan perdarahan dan pemeriksaan meliputi hitung darah lengkap dan skrining

koagulasi.4

Terapi epistaksis dapat dibagi menjadi langsung (terapi spesifik ke titik perdarahan) dan

tidak langsung yang tidak membutuhkan identifikasi titik perdarahan. Tatalaksana efektif

epistaksis yang ideal adalah identifikasi lokasi perdarahan dan mengontrol perdarahan.3

Terapi langsung

Di UK, hanya 1 dari 5 kasus epistaksis yang berkunjung ke bagian THT yang mendapat

terapi langsung. Epistaksis anterior biasanya sangat mudah diidentifikasi dan diterapi dan 90%

kasus dapat dikontrol dengan kaustik perak nitrat. Penggunaan tampon pada epistaksis anterior

primer seharusnya tidak lagi dilakukan. Epistaksis posterior dapat berasal dari dinding lateral,

dasar atau septum, tetapi terutama dari septum hidung. Pemeriksaan saksama dengan lampu

kepala umumnya dapat mengidentifikasi titik perdarahan. Bila sudah teridentifikasi, titik

perdarahan dapat langsung dikontrol diatermi bipolar, kaustik kimia (sulit untuk perdarahan

posterior), kauterisasi elektrik atau penekanan langsung dengan tampon mini.3

Kaustik kimiawi menggunakan perak nitrat merupakan metode kaustik kimiawi yang umum

digunakan, terutama untuk perdarahan anterior. Stik diberikan tepat di titik perdarahan dan

ditahan hanya beberapa detik. Koagulum putih yang terbentuk dianggap sebagai denaturasi

protein.2 Kauterisasi tidak boleh dilakukan bilateral untuk mencegah risiko perforasi septum.2,

4

Kegagalan menentukan titik perdarahan pada penilaian awal merupakan indikasi

dilakukannya pemeriksaan endoskopi. Endoskopi dapat mengidentifikasi 80% sumber

epistaksis posterior. Endoskopi memungkinkan dilakukannya hemostasis pembuluh darah

yang berdarah menggunakan insulated hot wire cautery atau modern single fibre bipolar

electrode. Diatermi monopolar tidak dianjurkan digunakan di kavum nasi karena adanya

laporan kebutaan karena penjalaran arus.3

Page 28: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

23

Terapi tidak langsung

Kegagalan untuk mencari dan menemukan titik perdarahan adalah indikasi penggunaan terapi

tidak langsung.3

1. Tampon hidung anterior

Tampon hidung dapat dipasang di anterior atau posterior. Tampon anterior adalah terapi utama

selama berabad-abad.3

Kasa pita yang diolesi petroleum jelly atau bismuth iodoform paraffin paste (BIPP)

dimasukkan di sepanjang kavum nasi sebagai usaha untuk menyumbat perdarahan. Tampon

dipertahankan in situ selama 24-72 jam. Adanya perdarahan lanjut atau berulang dengan

tampon terpasang in situ ditemukan pada 40% kasus. Komplikasi tampon hidung antara lain

sinusitis, perforasi septum, nekrosis ala nasi, hipoksia dan infark miokard. Pada pemasangan

tampon hidung diindikasikan pemberian antibiotik.3 Teknik pemasangan tampon hidung

anterior tercantum pada gambar 5.

Variasi modern tampon anterior adalah tampon khusus (Merocel dan Kaltostat) dan balon

kateter (Brighton dan Epistat). Keduanya lebih banyak dipilih oleh non-spesialis THT sebagai

terapi lini awal tetapi memiliki komplikasi serupa dengan tampon anterior. Jika overinflated,

balon akan prolaps ke anterior dan posterior dengan resiko hipoksia dan nekrosis ala nasi.3

Adanya perdarahan menetap atau berulang merupakan indikasi pemeriksaan kavum nasi

lebih lanjut. Tidak ada definisi jelas yang secara umum diterima untuk “kegagalan tampon”

tetapi pasien yang terus berdarah lebih baik segera mendapatkan terapi pembedahan.3

Gambar 5. Potongan sagital hidung menunjukkan teknik memasang kasa pita di hidung untuk

menekan perdarahan.5

Page 29: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

24

Gambar 6. Pemasangan tampon Merocel (arah sepanjang dasar kavum nasi).9

2. Tampon hidung posterior

Tampon posterior dapat dikerjakan dalam anestesi lokal, tetapi anestesi umum lebih dipilih.

Tamponade nasofaring dilakukan dengan tampon kasa khusus yang dimasukkan melalui mulut

dan diposisikan dengan memasukkan pitanya dari koane posterior ke nares anterior bilateral.

Tampon bosterior “Bellocq” ini diamankan dengan tampon anterior. Pita diikat di atas lapisan

yang diposisikan untuk melindungi kolumela dari nekrosis.3 Pada anak, pemasangan dan

pelepasan tampon posterior memerlukan bius umum, dan idealnya anak dirawat di HCU/ICU

dengan sedasi saat tampon in situ.4

Alternatif yang lebih mudah adalah memasukkan kateter uretra Foley (no 12 atau 14)

melalui dasar kavum nasi hingga mencapai nasofaring. Kateter Foley digembungkan dengan

15 mL air, ditarik ke depan supaya menempati koane posterior kemudian tampon anterior

dipasang. Kateter Foley harus diamankan di anterior, jangan sampai menekan kolumela.3

Balon Brighton adalah balon yang khusus dibuat untuk epistaksis dengan balon postnasal

dan balon anterior yang mobile (gambar 7). Balon khusus lainnya adalah Simpson plug dan

kateter hidung Epistat.9

Tampon posterior dapat menyebabkan nyeri dan hipoksia sekunder karena edema palatum

mole. Kadang ditemukan sinusitis dan otitis media. Komplikasi lebih serius adalah nekrosis

septum dan kolumela. Antibiotik dan analgetik opiate diperlukan. Tampon posterior

dipertahankan minimal 48 jam. 3

Page 30: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

25

Gambar 7. Potongan sagittal kavum nasi dengan Balon Brighton in situ.9

3. Terapi medis sistemik

Asam traneksamat dan asam aminokaproat epsilon adalah inhibitor sistemik untuk

fibrinolisis. Asam traneksamat dapat mengurangi keparahan dan resiko perdarahan ulang pada

epistaksis dengan dosis 1,5 gram 3 kali sehari. Obat ini tidak meningkatkan deposit fibrin

sehingga tidak meningkatkan resiko trombosis. Adanya riwayat penyakit tromboemboli

merupakan kontraindikasi. Antifibrinolitik sebaiknya diberikan sebagai terapi tambahan untuk

kasus berulang dan refrakter.3

4. Tatalaksana pembedahan

Jika teknik yang telah disebutkan di atas gagal, intervensi pembedahan diperlukan. Diatermi

dengan endoskopi di titik perdarahan dalam anestesi dapat mengkontrol perdarahan tetapi jika

perdarahan tidak dapat dikontrol, terapi pembedahan tidak langsung diindikasikan. Terapi

pembedahan untuk epistaksis berkelanjutan terdiri dari: teknik ligasi, teknik pembedahan

septum, dan teknik embolisasi.3

a. Teknik ligasi

Ligasi dilakukan untuk perdarahan yang sulit dikontrol di mana sumber perdarahan tidak

dapat dilokalisir atau dikontrol dengan teknik yang telah dijelaskan di atas. Ligasi harus

dilakukan sedekat mungkin dengan titik perdarahan, dengan urutan sebagai berikut:

- Arteri sfenopalatina

- Arteri maksilaris interna

- Arteri karotis eksterna

- Arteri etmoidalis anterior/posterior.3

Ligasi arteri sfenopalatina endonasal (ESPAL) merupakan terapi ideal untuk

mengkontrol perdarahan karena paling dekat dengan sumber perdarahan di hidung.

Tindakan ini dapat dilakukan dengan mikroskop atau, lebih umum, dengan teknik

endoskopi. Teknik ini memiliki angka keberhasilan hamper 100% dengan komplikasi

rendah. Ligasi arteri maksilaris interna (IMAL) lebih sering digunakan sebelum

perkembangan ESPAL, dengan angka keberhasilan 89% dan sebanding dari segi biaya dan

efikasi dengan embolisasi. Ligasi arteri etmoidalis anterior/posterior (EAL) jarang

Page 31: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

26

dilakukan karena kontribusi kedua arteri ini yang kecil dalam aliran darah kavum nasi dan

paling baik dilakukan pada perdarahan yang berasal pasti berasal dari arteri etmoidalis

(fraktur etmoid, robekan iatrogenik). Ligasi arteri karotis eksterna (ECAL) merupakan

langkah yang lebih jauh dari sumber perdarahan di hidung.3

b. Teknik pembedahan septum

Jika epistaksis berasal dari deviasi septum prominen atau spur vomeropalatina,

septoplasti atau reseksi submukosa (SMR) diperlukan untuk mencapai titik perdarahan.

Beberapa ahli mengusulkan pembedahan septum sebagai terapi primer untuk kegagalan

tampon, karena elevasi flap mukoperikondrium dalam septoplasty/SMR akan

menginterupsi aliran darah ke septum sehingga didapatkan hemostasis. Cumberworth, et

al., dikutip oleh McGarry,3 menunjukkan bahwa SMR dan tampon ulang lebih efektif dan

ekonomis daripada ligasi untuk pasien dengan kegagalan tampon.

c. Embolisasi

Embolisasi dengan tuntunan angiografi dapat mengkontrol 82-97% kasus epistaksis.

Pilihan antara ligasi atau embolisasi bergantung pada keahlian, ketersediaan, dan

pengalaman.3

Perdarahan berulang biasanya didapatkan pada anak-anak. Pada dewasa, lebih sering

didapatkan pada epistaksis sekunder.3 Pada anak-anak, penggunaan krim antiseptik topikal oil

based (Naseptin, krim klorheksidin dan neomisin) dan petroleum jelly dapat mengurangi

frekuensi berulangnya perdarahan. Kaustik perak nitrat dan penggunaan krim antiseptik

memberikan resiko berulangnya perdarahan yang sama dengan elektrokauter. Pemberikan

asam traneksamat lokal atau sistemik tidak terbukti manfaatnya untuk epistaksis pada anak.4

Setelah perdarahan teratasi, harus diperhatikan adanya efek sistemik dari kehilangan darah.

Mungkin pasien membutuhkan cairan, plasma expander atau transfusi darah. Tatalaksana

hipertensi, trombositopeni dan koagulopati juga diperlukan untuk mencegah berulangnya

perdarahan.2

KESIMPULAN

Perdarahan pada epistaksis dapat dibagi menjadi anterior dan posterior. Tidak ada perbedaan

anatomi yang pasti, tetapi perdarahan anterior lebih sering (90-95% kasus) dan cenderung

berasal dari septum sedangkan perdarahan posterior biasanya memiliki volume lebih besar dan

berasal dari lateral yaitu dari cabang arteri sfenopalatina (SPA). Perdarahan juga dapat dibagi

menjadi primer (idiopatik) yang terdapat pada sebagian besar kasus (70-80%), atau sekunder

(lokal atau sistemik). Penatalaksanaan epistaksis sekunder tergantung pada penyebab

mendasarnya. Terapi epistaksis dapat dibagi menjadi langsung (terapi spesifik ke titik

perdarahan) dan tidak langsung yang tidak membutuhkan identifikasi titik perdarahan.

Tatalaksana efektif epistaksis yang ideal adalah identifikasi lokasi perdarahan dan mengontrol

perdarahan.

Page 32: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Tami TA, Merrel JA. Epistaxis. In: Snow J WP, editor. Ballenger's Otorhinolaryngology

Head and Neck Surgery. 17th ed. Connecticut: BC Decker Inc; 2009. p. 551-555.

2. Bleier BS, Schlosser RJ. Epistaxis. In: Johnson JT RC, editor. Bailey's Head & Neck

Surgery: Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p.

501-508.

3. McGarry GW. Epistaxis. In: Gleeson M BG, Burton M, Clarke R, Hibbert J, Jones N, et al,

editor. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. London:

Hodder Arnold; 2008. p. 1596-1608.

4. Clarke R. Epixtaxis in children. In: Gleeson M BG, Burton M, Clarke R, Hibbert J, Jones

N, et al, editor. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.

London: Hodder Arnold; 2008. p. 1063-1069.

5. Wormald P-J. Epistaxis. In: Bailey BJ JJ, Newlands SD, editor. Head & Neck Surgery:

Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 505-514.

6. Nguyen QA. Epistaxis. 2018 [updated April 24, 2018; cited. Available from:

https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview.

7. PL D, Shruti D, Deeksha D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.

7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018.

8. PERHATI-KL. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia. Jakarta: PERHATI-KL; 2007.

9. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgraduate

medical journal. 2005; 81(955):309-314. Available from: PubMed.

Page 33: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

28

IV. GANGGUAN DENGAR dr. Bekti Darmastuti, Sp.T.H.T.K.L

Gangguan Dengar Konduktif

Ada beberapa karakteristik yang ditemukan pada tuli konduktif, yang paling utama adalah

pasien dapat mendengar lebih baik dengan hantaran tulang dibandingkan dengan hantaran

udara, dan biasanya hantaran tulang mendekati normal. Pada tuli konduktif murni hantaran

tulang normal atau mendekati normal karena tidak ada kerusakan di telinga dalam atau jaras

pendengaran.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa didapatkan beberapa karakteristik dari tuli

konduktif, yaitu :

1. Anamnesis menunjukkan adanya riwayat keluar cairan dari telinga, atau pernah mengalami

infeksi telinga, bisa disertai dengan gangguan pendengaran, atau tuli mendadak sesaat

setelah mencoba membersihkan telinga dengan jari.

2. Tinitus, digambarkan sebagai dengungan nada rendah

3. Apabila tuli bilateral, penderita biasanya berbicara dengan suara pelan, terutama pada tuli

yang disebabkan oleh otosklerosis.

4. Mendengar lebih baik pada tempat yang ramai (paracusis of willis).

5. Pada saat mengunyah, pendengaran menjadi lebih terganggu.

6. Treshold hantaran tulang normal atau mendekati normal

7. Ditemukan Air bone gap (ABG)

8. Pada pemeriksaan otologis ditemukan adanya kelainan di canalis acusticus externus,

gendang telinga, atau telinga tengah. Kadang ditemukan gambaran gelembung dan ‘fluid

level’ di belakang gendang telinga.

9. Tidak ada kesulitan dalam komunikasi terutama bila suara cukup keras.

10. Tuli konduktif murni, maksimum sampai 70 dB

Apabila pada pemeriksaan aodiologis ditemukan adanya tuli konduktif, dan di temukan

obstruksi pada CAE, kemungkinan penyebab hal itu adalah:

- Aplasia congenital, tidak terbentuknya CAE pada saat lahir, akibat defek pada

pertumbuhan janin

- Traecher collins syndrome, tidak terbentuk daun telinga, CAE, gendang telinga, dan

tulang2 pendengaran

- Stenosis CAE

- Exostosis CAE, adanya penonjolan tulang yang menimbulkan obstruksi CAE

- Serumen

- Karsinoma CAE

- Kolaps CAE saat pemeriksaan audiometri

Apabila tidak ditemukan adanya obstruksi dari CAE, dan masih di temukan adanya penurunan

hantaran udara, segera di curigai keadaan dibawah ini :

- Infeksi : otitis eksterna, OMA, OMSK, perforasi membran tympani, tympanosclerosis,

otosklerosis

- Trauma : Hemotympanum

- Tumor di nasofaring

- alergi

Page 34: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

29

Dari semua penyebab tuli konduktif, sebagian besar memiliki prognosis yang baik. Cukup

dengan pemberian medikamentosa dan tindakan pembedahan apabila diperlukan, hampir

semua keadaan tersebut bisa diperbaiki.

Hasil pemeriksaan pada tuli konduktif dapat ditemukan:

Audiometri : BC normal, AC menurun

ATAU

GANGGUAN DENGAR CAMPURAN

Audiometri : terdapat gap antara AC & BC > 10 dB, AC & BC menurun

Tympanometer untuk memastikan ada tidaknya patologi telinga tengah.

Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan

penderita mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran biasanya diawali dengan tuli

konduktif seperti otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen sensorineural.

Gangguan Dengar Sensorineural

Tuli sensorineural menjadi masalah yang cukup menyulitkan bagi para dokter. Berjuta-juta

pekerja industri dan usia tua menderita jenis gangguan dengar ini. Secara umum tuli ini bersifat

irreversibel dan sangat menganggu komunikasi sehari-hari.

Kerusakan jaras pendengaran dapat terjadi, baik di telinga dalam (sensory loss) ataupun di

syaraf pendengaran (neural loss). Ditekankan bahwa kerusakan biasanya terjadi pada keduanya

(sesuai namanya sensorineural). Tetapi ada juga yang membuat diagnosis lebih spesifik tipe

sensori atau tipe neural, tergantung dimana ditemukan kerusakannya.

Ciri-ciri utama dari tuli sensori, kerusakan pada telinga tengah terutama pada cairan labyrin

dan sel rambut:

- adanya riwayat serangan vertigo yang berulang dengan rasa penuh ditelinga, bunyi tinitus

seperti suara ombak, dan intermitten hearing loss . Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh

beberapa macam syndrom yang di sebut : menierre disease, hipertensi kohlear, atau

hydrops labyrynth.

- Pada menierre disease biasanya tuli unilateral

- Pemeriksaan otologis biasanya normal

- Penurunan hantaran tulang dan udara, tanpa ada ABG

- Apabila terdapat tuli sedang atau tuli pada frekwensi percakapan, kemampuan berbicara

menjadi sangat berkurang, terutama suara yang keras

- Ditemukan ‘recruitment’

- Normal tone decay dan stapedius reflex decay, bakesy audiometri type II

- Dengan pengecualian, tes garpu tala lateralisasi ke telinga yang lebih sehat

Ciri-ciri tuli neural, disebabkan oleh kerusakan serabut syaraf pendengaran:

- riwayatnya bermacam-macam, ketulian bisa mendadak terjadi unilateral oleh karena

fraktur yang melibatkan meatus auditori interna, atau bisa juga bertahap dan bilateral

karena tuli progresive herediter. Usia pasien tidak begitu membantu menegakkan diagnosis

karena kelainan ini bisa terjadi pada usia kapan saja.

- Hantaran tulang dan udara menurun, tanpa ABG

- Tidak ditemukan ‘rekruitment’, bila ada biasanya minimal.

- Bakesy audiometri type III atau IV

Klasifikasi Tuli sensorineural

Penyebab Tuli sensorineural dengan onset gradual:

• presbikusis

Page 35: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

30

• occupasional hearing loss

• otosklerosis dan OMSK aspek sensorineural

• paget’s dan Van der Hoeve’s disease aspek sensorineural

• pengaruh dari penguatan alat bantu dengar

• neritis syaraf auditori dan penyakit systemik (DM)

Penyebab Sudden bilateral sensoryneural hearing loss:

• Infeksi : meningitis

• Tuli fungsional

• Obat-obatan ototoksik

• Multiple sklerosis

• Syphillis

• Penyakit otoimun

Penyebab Sudden unilateral sensoryneural hearing loss:

• Mumps

• Trauma kepala dan taruma akustik

• Infeksi virus

• Ruptur membran foramen rotundum atau membran telinga tengah

• Kelainan pembuluh darah

• Komplikasi setelah tindakan pembedahan telinga

• Fistula di foramen ovale

• Komplikasi tindakan anestesi

• Syphillis

Penyebab Congenital sensoryneural hearing loss:

• Herediter

• Kern

• ikterus

• Anoksia

• Virus

• Penyebab lain yang tidak diketahui

Walaupun sangat sulit dalam menentukan penyebab spesifik dari tuli sensori neural, klasifikasi

diatas memberikan informasi yang sangat penting dalam menentukan tindakan yang akan kita

pilih. Klasifikasi diatas juga bisa untuk menentukan prognosis dari kelainan tersebut

Jadi hasil pemeriksaan pada tuli sensorineural dapat ditemukan :

- Audiometri : AC dan BC menurun

- Tympanogram : normal

- BERA

Dilakukan apabila pemeriksaan biasa tidak dapat dipercaya atau tidak mungkin dilaksanakan,

seperti pada tuna grahita berat atau kasus pura-pura tuli (malingering)

Tuli Campur

Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan

penderita mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran biasanya diawali dengan tuli

konduktif seperti otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen sensorineural.

Page 36: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

31

Central Auditory Processing Disorder

Suatu kelainan yang ditandai dengan adanya defisit dalam memproses informasi yang

berhubungan dengan modalitas pendengaran.

Central Auditory Processing (CAP) adalah suatu system yang aktif, kompleks yang

dilakukan susunan saraf pusat terhadap input auditori. Sistem ini melibatkan sinyal auditori,

telinga luar samapi kohlea, N VIII dan susunan saraf pusat.

Gejala CAPD, diantaranya:

- salah pengertian atau salah interpretasi

- sulit berkonsentrasi

- sulit membedakan kata

- sulit mengeja

- gangguan berbahasa, baik reseptif meupun ekspresif

- reduksi auditory memory

Pasien dengan CAPD sering gejalanya overlapping dengan gangguan dengar perifer, karena

itu kita harus menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan dengar perifer dengan melakukan

permeriksaan audiometric, speech audiometry, akustik refleks, BERA.

Auditory Neuropathy

Kriteria Diagnostik

1. Terbukti adanya fungsi auditori (pendengaran) terganggu

2. Terbukti adanya fungsi saraf auditori terganggu

3. Terbukti fungsi sel rambut normal

Faktor risiko yang menyebabkan auditory neuropathy:

- Anoksia

- Hiperbilirubinemia

- Proses infeksi (mis. Mumps)

- Kelainan imunologi (mis. Guillain Barre syndrome)

- Genetik dan beberapa sindroma:

1. Hereditary sensory motor neuropathy

2. Mitochondrial enzymatic deficit

3. Olivo-pontine- cerebellar degeneration

4. Freidrichs’s ataxia

5. Steven Johnson syndrome

6. Ehlers-Danlos syndrome

7. Charcot-Marie-Tooth syndrome

Hal tersebut di atas dapat menyebabkan auditory neuropathy yang permanent, sedangkan yang

transient bisa disebabkan anoksia dan hiperbilirubinemia, yang intermitten bisa disebabkan

oleh anoksia

Hasil pemeriksaan pendengaran pada beberapa jenis gangguan dengar, tercantum pada tabel di

bawah ini:

Pemeriksaan CHL Tuli T.Retro- CAPD A.N

Page 37: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

32

Cochlear Coclear

Pure Tone

Audiometri

BC>AC BC=AC

menurun

BC=AC

menurun

Normal ~SNHL

ringan –

berat

OAE Abnormal Abnormal Abnormal Normal Normal

BERA Abnormal

Abnormal Abnormal No respons No respons

Tympanometri Reduced

compliance

Normal Normal Normal Normal

Acoustic

Reflex

Negatif Positif Negatif Positif Negatif

Recruitment Positif Negatif

Speech

Discrimination

baik Buruk Sangat

Buruk

Buruk Buruk

Tone Decay negatif positif

Penatalaksanaan Gangguan Dengar

Pasien dengan gangguan dengar, biasanya datang dengan keluhan utama hearing loss/ketulian

atau tinitus.

Sesuai tipe dan derajat gangguan dengar, penatalaksanaan gangguan dengar adalah

penggunaan:

1. Hearing Aid

2. Assistive device (FM system)

3. Cochlear implant

4. Terapi bicara & mendengar (pada anak)

Alat bantu mendengar

Page 38: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

33

Cochlear Implant

Deteksi dini gangguan bicara dan dengar pada anak

Page 39: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive Otology. Lippincott Williams & Wilkins.

Philadelphia. 2000;559-570.

2. Katz, J. The Acoustic Reflex. Handbook of Clinical Audiology. Fifth edition. Lippincott

Williams & Wilkins. Philadelphia. 2000; 205- 232.

3. Cummings,W Charles. Auditory Function Test. Otolaryngology Head and Neck Surgery.

Second edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-2715

4. Lee.KJ. Audiology. Essential Otolaryngology. Eight edition. Mc Graw Hill Companies.

United States. 2003;24-64.

5. Sininger, Yvonne. Auditory Neuropathy A New Perspective on Hearing Disorders.

Singular Thomson Learning. Canada. 2001;1-50.

6. Lassman,FM. Audiology. Adam GL. BOIES Fundamentals of Otolaryngology. Sixth

edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1989; 46 – 66.

7. Hendarmin,H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 5. FKUI. Jakarta. 2001; 28-30.

8. Skurr,B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan Kuliah. Pada Kursus Audiologi Praktis.

Bandung. 13-14 Mei 1991; 12-63.

Page 40: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

35

V. INFEKSI TELINGA dr. Teppy Hartubi Djohar, Sp.T.H.T.K.L

PENDAHULUAN

Infeksi telinga adalah dimana keadaan telinga yang terpapar oleh mikroorganisme patogen,

bisa virus, bakteri atau oleh parasit dari luar tubuh,

Telinga yang terkena bisa mengenai telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Penyakit pada telinga bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan atau gangguan

keseibangan tubuh, tergantung bagian telinga mana yang terkena.

Penyakit infeksi telinga tengah misalnya selain menyebabkan gangguan pendengaran juga bisa

terdapat perforasi gendang telinga (Membran Timpani/MT). kondisi ini selain bisa

menghambat komunikasi, juga bisa mempengaruhi masa depan seseorang. Pada penderita ini

biasanya tidak lolos tes untuk masuk militer, pilot dan bidang-bidang lain yang memerlukan

standar fisik tertentu atau gagal melewati skrining masuk kerja.

Oleh karena itu diharapkan para Dokter Umum dapat segera mengenali tanda tanda penyakit

telinga dan menangani sesuai dengan kompetensinya dan bila perlu merujuk ke Dokter

Spesiakis THT. Dengan demikian kita sedikitnya sudah membantu membuka jalan untuk

menuju masa depan seseorang sesuai cita-citanya.

Dalam kesempatan ini akan disampaikan sedikit mengenai anatomi dan fungsi telinga serta tata

cara pengelolaan penyakit infeksi telinga yang sering ditemukan sehari-hari di klinik dan sesuai

dengan kompetensi Dokter Umum.

Anatomi dan Fisiologi Telinga

1. Anatomi Telinga Luar

= External Ear = Outer Ear.

Dimulai dari daun telinga (aurikula), saluran telinga luar (Kanalis Akustikus

Eksternus/KAE) s/d permukaan luar gendang telinga (Menbran Timpani/MT) dengan

panjang pada orang dewasa kira-kira 2.5 cm yang secara fisika sesuai dengan resonansi

untuk frekwensi suara sekitar 3400 Hz.

Mulai dari aurikula s/d 1/3 luar KAE rangkanya terbentuk dari tulang rawan yang

dilapisi kulit dengan apendiksnya seperti folikel rambut, kelenjar sudorifera dan

kelenjar sebasea. Serumen diproduksi didaerah 1/3 luar KAE yang berasal dari kelenjar

serumen yang merupakan modifikasi dari kelenjar sebasea.

Pada 2/3 medial KAE kulitnya makin tipis, tidak ada lapisan subkutis dan adneksa,

sehingga melekat langsung ke periosteum.

KAE dipersyarafi oleh cabang cabang dari N.V3, N.C3 (N.Aurikularis Magnus), N.X

(N.Arnold) dan N.VII. (gbr)

Membrane Timpani berbentuk agak oval dengan ukuran tinggi kira-kira 10 mm dan

lebar 9 mm yang terbagi menjadi Pars Flasida pada bagian atasnya terdiri 2(dua lapis)

yaitu lanjutan epitil kulit pada bagian luarnya dan mukosa didalamnya serta Pars Tensa

terdiri dari 3(tiga) lapis yaitu, permukaan luar terdiri dari epitil skwamosa merupakan

lanjutan dari epitil kulit, lapisan tengah yang terdiri dari jaringan fibrosa yang radier

dan sirkuler, dan lapisan yang menghadap ke rongga telinga tengah berupa mukosa

lanjutan dari mukosa saluran nafas atas.

Page 41: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

36

Fungsi Telinga Luar yaitu:

- Menampung gelombang suara yang dihantarkan ke MT, lalu dilanjutkan ke osikel

s/d foramen ovale.

- Menghasilkan serumen

- Kosmetik

Vaskularisasi MT berasal dari:

- cabang aurikuler a.maksillaris interna,

- cabang stilomastoid a.aurikularis posterior

- cabang timpanik a.maksillaris interna.

Vena yang superfisialis bermuara ke V.Jugularis eksterna,

Vena yang dalam bermuara ke Sinus Transversus, Vv.Duramater dan ke Pleksus di

Tuba Eustachius.

Innervasi (Persyarafan MT):

Page 42: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

37

- Bagian luar berasal dari terusan bagian luar sensoris liang telinga.

- Bagian posterior dan inferior oleh n.aurikulotemporalis,

- Bagian anterior dan superior oleh cabang aurikularis N>X (n.Arnold)

- Permukaan dalam (mukosa) oleh n.Jacobson yang merupakan cabang timpani dari

N.X. (Gb)

2. Anatomi Telinga Tengah

=Middle Ear,

yaitu rongga kecil disebelah medial MT yang dibatasi oleh:

- Lateral oleh permukaan dalam MT,

- Superior oleh Tegmen Timpani,

- Inferior oleh Bulbus Jigularis,

- Anterior oleh Kanalis Karotikus, Resesus Fasialis/Resesus Retrofasial,

- Medial oleh Promontorium dan dinding Labirin yang terdapat Foramen Ovale (Oval

Window) dan Foramen Rotundum (Round Window).

Page 43: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

38

Telinga tengah secara anatomi dibagi 3(tiga) bagian, yaitu:

- Epitimpanum, yaitu ruangan diatas batas atas MT,

- Mesotimpanum, yaitu ruangan disebelah medial MT,

- Hipotimpanum, yaitu ruangan dibawah batas bawah MT.

- (Gb)

Isi Telinga Tengah :

- Osikula: Maleus, Inkus dan Stapes, yang menghubungan MT dengan Cochlea.

- Tuba Eustachius dan rongga Mastoid,

- Muskulus Tensor Timpani (dipersyarafi oleh N.V3),

- N.Stapedius (dipersyarafi oleh cabang dari N.VII),

- N.Jacobson (cabang timpani N.IX),

- N.VII (N.Fasialis)

- N.Korda timpani.

Rongga telinga tengah berhubungan dengan antrum mastoid melalui Aditus ad antrum

didaerah epitimpani, kearah anterior berhubungan dengan Nasofaring melalui Tuba

Eustachius.

Mukosa telinga tengah merupakan kelanjutan dari mukosa saluran nafas bagian atas yang

awalnya berupa epitil bertingkat semu bersilia yang makin kearah matoid makin

menipis/memendek menjadi epitil selapis kuboid atau gepeng. Sel-sel bersilia, goblet dan

sekretorinya makin menghilang. Epitil bersilia terutama yterdapat pada daerah anterior,

hipotimpanum (inferior), atap (superior) dan sebagian promontorium. Dipermukaan epitil ini

terdapat mucus atau lendir yang membentuk selimut lendir yang disebut Mucous Blanket atau

Surfactant. Fungsi silia adalah untuk menggerakkan lendir dan mengeluarkan benda asing dari

telinga tengah ke nasofaring melalui Tuba Eustachius.

T u l a n g M a s t o i d.

Merupakan bagian terbesar dari os temporal disebelah posterior dan inferior. Dinding tulang

ini didalamnya mempunyai rongga-ronga kecil (selullae mastoidea) yang saling berhubungan

(pneumatisasi) dan ditengahnya membentuk rongga yang besar disebut Antrum Mastoid.

Berdasarkan pneumatisasinya, tulang mastoid dibagi menjadi 3(tiga) tipe, yaitu:

Page 44: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

39

1. Tipe Pneumatik, yaitu tulang-tulangnya mengalami pneumatisasi komplit. Tipe ini

merupakan tipe yang terbanyak yaitu sekitar 80%.

2. Tipe Sklerotik atau Aseluler yaitu tipe yang pneumatisasinya kurang, sehingga lebih

padat dan keras.

3. Tipe Diploik atau campuran, yaitu tipe yang pneumatisasinya yang sebagian

berkembang sebagian padat, (10%).

Batas-batas Antrum Mastoid.

- Kesebelah posterior dibatasi oleh tulang tipis yang memisahkan dengan Sinus

Sigmoid, disebut Sigmoid Plate,

- Kesebelah superior dibatasioleh tulang yang memisahkan dari Fossa Cranii Media

yang disebut Tegmen Mastoid,

- Kearah anterior yang merupakan dinding posterior KAE (LTL) dimana pada

dasarnya berjalan N.Fasialis sgmen vertikalis,

- Kearah lateral dibatasi oleh Pars Skwamosa Os Temporalis,

- Pada dinding medial tulang mastoid terdapat beberapa tanda penting yaitu,

penonjolan dinding Kanalis Semisirkularis (KSS) Lateral/Horisontal dan KSS

Posterior (inferior) dan KSS Superior (Anterior). Pertemuan ketiga KSS ini

merupakan tulang yang keras disebut Solid Angle atau Hard Angle.

- Tulang labirin disebelah anterior, Sinus Sigmoid disebelah posterior dan duramater

yang mengandung Sinus Petrosus Superior disebelah superior membentuk segitiga

yang disebut Trautman’s Triangle atau Segitiga Trautman, yang merupakan

titik lemah jalan penyebaran infeksi dari daerah temporal ke otak (serebellum).

Page 45: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

40

Tuba Eustachius

= Tuba Auditiva.

Anatomi:

Letak muara tuba di nasofaring tepat berada di belakang ujung posterior konkha nasalis

inferior, kemudian lumennya menyebar kearah postero-latero-superior menuju ke Orifisium

tuba di rongga telinga tengah (kavum timpani).

2/3 bagian anteromedialnya adalah tulang rawan dan 1/3 bagian posteriornya adalah tulang

(protimpanum).

Panjang total tuba pada orang dewasa bervariasi antara 31 sd 38 mm, pars osseusnya antara 11

s/d 12 mm dan pars fibrokartilagineusnya antara 24 s/d 25 mm, sedang pada bayi (infantile)

pars oseusnya relative lebih panjang.

Ukuran diameter vertikal orifisium berkisar antara 3 s/d 10 mmdan diameter horisontalnya

antara 2 s/d 5 mm. bentuk lumennya seperti dua buah kerucut yang bertemu pada puncaknya,

didaerah ismus.

Pada orang dewasa tuba mengarah ke atas membentuk sudut antara 30o s/d 40o dengan bidang

horizontal. Berarti letak orifisium tuba di nasofaring lebih rendah aripada orifisium tuba di

kavum timpani sekitar 15 mm, sedangkan menurut Hollinshead perbedaan ketinggiannya

sekitar 2,0 s/d 2,5 cm. Pada anak-anak posisi tuba lebih horizontal yaitu membentuk sudut

10o dengan biang horizontal. (Gb)

Page 46: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

41

Fungsi Tuba Eustachius:

1. Fungsi Proteksi, yaitu menghalangi masuknya mikroorganisme kedalam telinga

tengah dengan adanya pergerakan silia dari arah telinga tengah ke nasofaring dan

dengan adanya penyempitan di tuba yang disebut Ismus dengan mekanisme pentil

(Ventile Mechanism) dan disebabkan adanya Mekanisme Bantalan udara atau Air

Cushion.

2. Fungsi Ventilasi.

Pada saat menelan udara akan masuk ke telinga tengah sehingga tekanan udara di

telinga tengah seimbang dengan tekanan udara di nasofaring yaitu 1 (satu) atmosfir,

selanjutnya tuba menutup dan udara yang masuk tadi terperangkap lalu diresorbsi oleh

jaringan disekitarnya sehingga tekanan di telinga tengah menjadi sedikit negatif. Dalam

keadaan normal proses buka tutup tuba ini terjadi terus menerus, baik secara reflex

maupun disengaja.

Apabila oleh suatu hal mekanisme ventilasi ini terganggu, misal setelah tuba menutup

lalu tidak diikuti dengan pembukaan tuba berikutnya, maka tekanan di telinga tengah

akan semakin negative mengakibatkan MT tertarik kedalam,(retraksi) terutama yang

pars flasida, lalu terjadi eksudasi cairan dari jaringan disekitarnya ke rongga telinga

tengah. Bila proses ini berlangsung lama, maka cairan di telinga tengah makin banyak

dan terbentuk pus, tekanan di telinga tengah meningkat menekan MT, sehingga menjadi

tipis, nekrotik, akhirnya MT pecah perforasi) dan keluar pus.

3. Fungsi “Clearance: atau Drainase..

Adanya epitil bertingkat semu bersilia, dimana gerakan silia arahnya ke nasofaring,

maka Tuba Eustachius akan mengalirkan/mengeluarkan sekret dari telinga tengah ke

nasofaring.

Page 47: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

42

Kegagalan fungsi normal Tuba Eustachius ini berperan penting dalam terjadinya proses

penyakit Otitis Media. Kegagalan fungsi tuba ini bisa disebabkan oleh:

- Obstruksi tuba,

- Patensi tuba yang abnormal,

- Atau keduanya.

Obstruksi Tuba Eustachius:

1. Bersifat mekanis:

- Intinsik, karena peradangan atau alergi.

- Ekstrinsik, karena hal2 yang menyebabkan kenaikan tekanan ektramural seperti

posisi berbaring atau adanya tumor didaerah peritubal.

2. Bersifat Fungsional:

- biasanya terjadi pada bayi dan anak2 dimana terdadpat perbedaan anatomis disbanding

orang dewasa, yaitu tuba yang relative lebih pendek, datar dan fungsi m.tensor veli palatininya

yang belum sempurna.

Tuba yang patulous, yaitu tuba yang dalam keadaan istirahat pun selalu terbuka. Bila dalam

keadaan istirahat tuba menutup, tapi bila diberi sedikit tekanan saja lalu terbuka, maka disebut

tuba yang semipatulous.

Cairan dari nasofaring bisa juga masuk ke telinga tengah bila kita bersin dalam keadaan hidung

tersumbat, nagis, menelan sambil menutup hidung, menyelam atau lepas landas pesawat,

terutama mudah terjadi pada anak2 dan yang mempunyai tuba yang patulous atau

semipatulous.

3.T e l i n g a D a l a m.

= Auris Interna = Inner Ear,

terdiri dari Labirin Osseus dan Labirin Membranosa. Terdapat 2 (dua) organ penting yaitu

Kokhlea (Cochlea) atau Rumah Siput (berbentuk dua setengah lingkaran) yang berfungsi

sebagai organ pendengaran dan 3 (tiga) buah Kanalis Semi Sirkularis yang berfungsi sebagai

organ pengatur keseimbangan tubuh, termasuk Utrikulus dan Sakulus. Ketiga KSS ini

membentuk suatu konfigurasi yang hampir saling tegak lurus. Diantara labirin osseus dan

labirin membranosa terdapat cairan Perilimf. (Gb)

Pada irisan melintang, kokhlea terbagi atas tiga saluran yaitu Skala Vestibuli yang berisi cairan

perilimf yang berhubungan dengan Skala Timpani di puncaknya (Helicotrema) juga berisi

cairan perilimf.

Page 48: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

43

Diantara skala vestibuli dengan skala timpani terdapat Skala Media (Duktus Kokhlearis)

yang berisi cairan Endolimf. Skala media dengan skala vestibule dipisahkan oleh Membrana

Vestibuli Reissner, sedangkan dengan skala media dengan skala timpani dipisahkan oleh

Membrana Basilaris yang diatasnya terdapat Organ Corti.

Kompleks Organ Corti terdiri dari Membrana Basilaris, sel2 rambut dalam, sel2 rambut luar,

sel2 Hensen, sel2 Deiter, sel2 Claudia, Terowongan Corti (Tunnel of Corti) dan serabut

N.Cochlearis.

Fisiologi Pendengaran.

Energi bunyi dalam bentuk gelombang suara ditangkap oleh daun telinga, kemudian

bergerak dalam KAE menuju MT sehingga bergetar, lalu energi ini diteruskan ke ossikula

(Maleus, Inkus dan Stapes) dan masuk ke skala vestibuli cochlea melalui foramen ovale. Pada

foramen ovale ini alas kaki stapes ( Stapes foot plate) bergerak seperti piston yang kemudian

menggerakan cairan perilimf di skala vestibule, lalu menggetarkan Membrana Reissner,

sehingga cairan endolimf di skala media bergerak dan terjadi pergerakan relative dari

Membrana Tectoria dan Membrana Basilaris Organ Corti.

Page 49: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

44

Proses ini merupakan rangsang mekanik (proses Bio-mekanik) sehingga terjadi defleksi

stereosilia sel2 rambut,lalu kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion2 bermuatan listrik dari

badan sel, sehingga menimbaulkan depolarisasi sel2 rambut dan terjadi pelepasan

neurotransmitter kedalam sinaps yang menimbulkan potensial aksi pada syaraf auditorius

(proses Bio-elektrik), lalu dilanjutkan ke Nukleus Auditorius sampai ke korteks pendengaran

area 39-40 di lobus temporalis.

Sepanjang perjalanannya gelombang suara mulai dari aurikula s/d telinga dalam, energy

akustiknya mengalami penguatan dan resistensi, sehingga total energi ketika sampai telinga

dalam mengalami peningkatan sekitar 20,8 s/d 22 kali lipat, yaitu melalui mekanisme

Catenary Lever, Hydraulic Lever dan Ossicular Lever.

Fisiologi Alat Keseimbangan

Seseorang dapat mengetahui posisi tubuh dengan lingkungan sekitarnya tergantung dari

gabungan input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual dan proprioseptif

setelah diolah di SSP.

Page 50: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

45

Labirin terdiri dari labirin osseus dan labirin membranosa yang didalamnya terdapat cairan

endolimf. Labirin ini ada 2 jenis fungsi yaitu 1.Labirin statik yaitu Utrikulus dan Sakulus,

Utrikulus didalamnya terdapat Makula utrikulus yang mengandung sell-sel reseptor

keseimbangan. 2.Labirin Kinetik yang teriri dari 3(tiga) kanalis semisirkulares (KSS). KSS

mengalami pelebaran ketika berhubungan dengan utrikulus yang disebut Ampula yang

didalamnya terdapat Krista Ampularis yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan

seluruhnya tertutupoleh suatu substansi gelatin yang disebut Cupula.

Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energy mekanik akibat

rangsangan otolit dan gerakan endolimf didalam KSS menjadi energi Biolistrik, sehingga

memberi informasi mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau percepatan

sudut. (dikutip dari Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher,

edisi ketujuh, FKUI)

Ganguan dalam sistimmini menyebabkan perasaan mual, muntah, bradikardia atau takhikardia

dan keringat dingin.

Infeksi Telinga Luar :

= Otitis Eksterna (ICD ?)

Perikondritis :

Yaitu infeksi pada perikondrium daun telinga (aurikula) terutama yang

disebabkan oleh bakteri piogenik.

Penyebabnya:

- Hematoma yang terinfeksi

- Trauma akibat pembedahan

- Furunkel yang menjalar

- Gigitan binatang (swerangga)

- Gesekan seperti pada pegulat

- Tindik.

Gejala dan Tanda:

- Rasa sakit pada daun telinga

- Daun telinga yang bengkan,kemerahan, rasa panas dan tegang.

- Bila tidak segera diobati bisa menyebabkan tulang rawan mengalami

perlunakan dan fibrosis sehingga terjaadi perubahan bentuk yang disebut

“Cauly Flower Ear”.

-

Page 51: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

46

-

Terapi :

- Diberikan antibiotika

- Bila perlu dilakukan insisi dan debridemen untuk membuang jaringan

nekrotik.

Infeksi Liang Telinga Akut

= Otitis Eksterna Akut, ada dua jenis yaitu jenis Sirkumkripta dan Diffussa.

Otitis Eksterna Akut Sirkumkripta:

= Furunkel atau bisul, yaitu infeksi yang mengenai adneksa kulit seperti folikel rambut,

kelenjar sebasea dan kelenjar serumen dengan kuman penyebab tersering adalah bakteri

Stafiokokus Aureus dan Stafilokokus Albus.

Faktor predisposisi: - trauma atau garukan,

- Penderita Diabetes Mellitus (DM).

Gejala dan Tanda :

- Rasa sakit bila tragus ditekan (nyeri Tragus) atau daun telinga ditarik.

- Rasa tegang atau sakit waktu mengunyah atau membuka mulut lebar.

- Bila oedem dinding liang telinga luar (LTL) cukup tebal maka pendengaran

akan terganggu.

- Bila bisul pecah maka pus akan keluar dari LTL.

Terapi : - Bersihkan LTL atau Aural/Ear toilet,

- Salep antibiotic yang mengandung Polymixin B atau Bacitracin atau Asam

Fusidat.

- Bila perlu ditambah antibiotik oral seperti Amoksisilin, Klindamisin,

Sefadroksil atau golongan quinolone.

- Bila nyeri hebat bisa diberikan Analgetika.

- Bila mempunyai penyakit DM agar diatasi DM nya.

Otitis Eksterna Difusa.

Bisa mengenai seluruh dinding LTL terutama pada 1/3 dalam.

Kuman penyebab biasanya Streptokokus, Stafilokokus, Pseudomonas Aeruginosa dan

B.proteus.

Page 52: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

47

Predisposisi:

- Laserasi kulit karena garukan

- Kelembaban yang tinggi

- Kemasukan air waktu renang, disebut Swimmers Ear

-

- Iritasi cairan yang keluar dari telinga tengah akibat otitis media

- Alergi

- DM

Gejala klinik :

- Rasa sakit di telinga dan makin terasa bila mengunyah

- Liang telinga terasa gatal dan penuh sehingga dapat menganggu

pendengaran.

Tanda fisik :

- Ada secret kental mukoid s/d pus di LTL

- Mukosa hiperemi dan oedem sehingga LTL sempit s/d terbentuk jaringan

granulasi.

- Bisa timbul pembesaran kelenjar getah bening (kgb) di daerah pre dan post

aurikuler.

- Membran timpani biasanya normal.

Terapi :

- Cuci liang telinga dengan cairan hydrogen peroksida (H2O2) 3% atau

larutan NaCl fisiologis.

- Antibiotik tetes telinga yang mengandung kortikosteroid atau tampon yang

diberi salep antibiotika. Bila terdapat perforasi pada membrane timpani

jangan diberi obat tetes telinga atau salep yang bersifat ototoksik seperti

golongan Khloramfenikol dan gentamisin.

- Bila terdapat granulasi yang tidak hilang dengan cara konservatif maka

perlu dilakukan tindakan kuretase atau ekstirpasi

- Perbaiki faktor2 predisposisi.

Page 53: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

48

Otomikosis

Adalah infeksi jamur pada kulit LTL.

Infeksi jamur ini sering menimbulkan masalah karena agaksulit (lama) sembuhnya

dibandingkan infeksi akibat kuman-kuman banal. Bila terdapat perforasi membrane tmpani

atau ada factor predisposisi lain seperti DM dan HIV/AIDS penyembuhan akan lebih sulit lagi.

Faktor predisposisi:

- Udara yang lembab

- Adanya serumen

- Iritasi/manipulasi LTL, misal korek2 menggunakan cotton bud atau

penggunaan alat bantu dengar atau ear plug.

- Kemasukan air waktu renang

- Post operasi Mastoidektomi Radikal Terbuka

- Penggunaan obat antibiotik tetes telinga yang terlalu lama

- Penggunaan preparat steroid

- Kondisi immunocompromize seperti DM dan HIV/AIDS.

Penyebab:

- Terbanyak adalah jenis jamur Aspergillus Niger sekitar 52.4 %, Aspergillus

Fumigatus 34.14 %, Candida Albicans 11 % dan Mucor. (Ashis Kumar in

Ravindran A et Al. International Journal of Research in Medical Sciences,

2017 April)

- Sebagian disertai ineksi bakteri.

Terapi:

- Cuci telinga

- Diberikan obat tetes telinga yang mengandung nystatin, atau salep/krim

yang mengandung Ketokenazole atau Clotrimazole. Bila terdapat perforasi

membrane telinga obat tetes ini tidak boleh diberikan oleh karena bersifat

ototoksik bila terserap ke kokhlea.

- Beberapa peneliti ada juga yang memberikan obat Gentian Violet,

Merkurohrome, asam cuka campur alcohol 70% dll. Diteteskan atau dioles.

- Peroral dapat diberikan obat Itrakonazole atau flukonazole, tapi terhadap

Aspergilus dan Candida lebih ampuh dengan Itrakonazole.

Page 54: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

49

Dosis Itrakonazole diberikan 100 sd 200 mg/p.o selama 1 s/d 2 minggu.

Pada anak2 diberikan 6 s/d 12 mg/kgBB.

Herpes Zoster Otikum

Adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Varicella-Zoster yang mengenai satu

atau lebih ganglia posterior, biasanya unilateral. Bila nervus fasialis (Ganglion Genikulatum)

yang terkena maka disebut Herpes Zoster Otikum atau Ramsay Hunt Syndrome.

Virus ini menetap dalam tubuh (dalam ganglion) setelah sebelumnya penderita mengalami

sakit Cacar Air (Varicella atau Chicken Pox) dan pada saat tubuh melemah maka virus tersebut

akan aktif dan menimbulkan gejala tergantung ganglion mana yang terkena. Virus ini bisa

menular melalui kontak langsung dan pernafasan sehingga menimbulkan penyakit Cacar Air

bagi yang belum pernah terkena atau belum pernah vaksinasi virus ini.

Gejala dan tanda:

- Rasa sakit di telinga dan sekitarnya,

- Kulit liang telinga dan sekitarnya mengalami bintik bintik merah dan lepuh

lepuh (blister)

Page 55: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

50

- Rasa penuh di telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran dan,

tinnitus karena N.Kokhleo-vestibula berdekatan dengan ganglion

genikulatum.

- Bila N.Trigeminus (N.V) terkena maka terjadi parestesi wajah

- Bisa juga terjadi vertigo

- Gangguan pengecapan dan rongga mulut terasa kering

- Wajah asimetris, mata sisi yang sama tidak dapat menutup rapat dan lain-

lain tanda2 kelumpuhan N.Fasialis.

Predisposisi:

- Orang tua terutama diatas usia 60 tahun. Anak-anak jarang sekali terkena.

- Penderita yang mengalami gangguan immune

(immunocompromize/immunodefisiensi) seperti HIV/AIDS.

- Individu yang belum pernah menderita penyakit cacar air

- Individu yang belum pernah mendapat vaksin cacar

T e r a p i :

- Diberikan obat anti virus seperti Acyclovir 5x800 mg/p.o, Famiclovir atau

Valacyclovir,

- Kortikosteroid dosis tinggi seperti Prednison 4x10mg kemudian diturunkan

tiap tiga hari (tapering off) menjadi 3x10 mg, 3x5 mg, 2x5 mg dan 1x5 mg

peroral.

- Obat tetes mata untuk melindungi kornea agar tidak rusak

- Neuroroborantia

- Analgetik

- Antibiotika bila ada sekunder infeksi.

Komplikasi :

- Rasa sakit yang menetap (Post Herpetic Neuralgia)

- Kebutaan

- Kelumpuhan otot-otot wajah yang permanen

- Gangguan pendengaran yang permanen

- Infeksi bakteri

Pencegahan:

- Vaksinasi bagi yang berusia diatas 50 tahun

- Hindari kontak langsung (terutama ibu hamil) dengan lepuh dan saliva

penderita,

- Sebelum dan setelah kontak langsung dengan penderita harus segera cuci

tangan yang bersih.

Page 56: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

51

Erisipelas Daun Telinga

Adalah infeksi di lapisan atas kulit yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta

Hemolitikus grup A.

Gejala dan Tanda:

- Demam, mengigil dan sakit dan terasa panas pada daun telinga

- Kulit mengaalami ruam, kemerahan s/d melepuh, bengkak, hangat dan

permukaannya seperti kulit jeruk

- Bila berat kulit bisa mengalami nekrosis

- Titer anti streptolisin O meningkat setelah hari ke 10

Diagnosa Banding:

- Herpes Zoster Otikum

- Dermatitis Kontak

- Angioedema

- Karsinoma kulit

T e r a p i :

- Salep antibiotic seperti Penisilin atau asa fusidat

- Klindamisin

- Eritromisin

- Dll

Miringitis Bulosa

Adalah infeksi akut gendang telinga. Ada peneliti yang mengatakan yang terkena hanya

permukaan luarnya saja, tapi ada juga yang mengatakan ada hubungannya dengan Otitis Media.

Penyebab:

Bisa virus atau bakteri. Bisa mengenai semua umur terutama anak-anak.

Bila disebabkan oleh trauma seperti gesekan berulang cotton bud sehingga permukaannya

menjadi tidak rata menjadi granulasi, disebut Miringitis Granulosa (biasanya kronik).

.

. (K.Devaragan. Myringitis: An Update. J.Otol 2019 Mar, 14)

Page 57: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

52

Myringitis Granulosa

Gejala dan Tanda :

- Sakit telinga yang munculnya tiba-tiba,

- Tidak ada demam

- Mengeluh tinnitus tapi biasanya tidak mengganggu daya dengar,

- Membran timpani tampak kemerahan da nada gelembung yang berisi cairan

mulai dari bening s/d darah.

- Penyakit ini bisa mengenai semua umur.

Perbedaan Miringitis Bulosa (disingkat MB) dengan Miringitis Granulosa (disingkat

MG):

Miringitis Bullosa Miringitis Granulosa

Patologi Infeksi akut Infeksi kronis

Penyebab Otitis Media Trauma (penyebab luar)

Mikroorganisme Streptokokus Pneumoni

Haemofilus Influensa

Stafilokokus Aureus

Pseudomonas Aeruginosa

Morfologi Bula/lepuh Gfranular/ulseratif

Pendengaran Tuli Konduktif s/d Tuli Campur Normal sd Tuli Konduktif

T e r a p i Analgetik

Dekongestan

Antibiotika

Obat tetes telinga

Kauterisasi

Otitis Eksterna Maligna

= Necrotizing External Otitis

Adalah infeksi difus LTL dan struktur lain jaringan sekitarnya yang disebabkan oleh kuman

Pseudomonas Aeruginosa. Infeksi ini menyebabkan osteomyelitis dan kumannya bisa

menyebar ke tulang temporal melalui Fisura Santorini dan pertemuan bagian tulang dan tulang

rawan dari LTL.

Page 58: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

53

Predisposisi :

- Biasanya terjadi pada usia tua

- Kondisi immunocompromized

- Penyakit DM karena pH kulit yang upnormal terjadi penebalan endotil

pembuluh darah sehingga terjadi mikroangiopati yang akhirnya

menimbulkan nekrosis jaringan.

Gejala dan Tanda:

- Rasa gatal dan nyeri pada telinga

- Keluar cairan dan rasa penuh di telinga

- Pendengaran menurun karena LTL tertutup cairan dan jaringan granulasi.

- Bila N.Fasialis terkena maka wajah jadi asimetris (mencong).

- Bila Foramen Jugulare terkena maka bisa menyebabkaan gangguan

Nn.IX,X dan XI.

T e r a p i :

- Sambil menunggu hasil kultur bisa diberikan obat golongan quinolone

seperti Ciprofloxacin dosis tinggi peroral. Bila berat bisa diberikan intra

vena (iv) kombinasi dengan antibiotika golongan aminoglikosida selama 6

sd 8 minggu.

- Bisa juga diberikan antibiotik lain seperti Ceftriaxon, ceftazidine, cefepime,

tobramycin dll.

- Bila perlu disertai tindakan debrideman.

Keratosis Obturans dan Kolesteatoma Kanalis Akustikus Eksternus

Dahulu kedua penyakit ini dianggap sama prosesnya, tenyata pada penelitian selanjutnya kedua

penyakit ini berbeda secara klinis maupun proses patologinya (Pieprgerdes MC Cs.

Laryngoscope 1980 Mar, 90(3):383-91).

Keratosis obturans (KO) adalah akumulasi dari deskwamasi keratin di LTL akibat dari

terbentuknya sel-sel epitil yang berlebihan yang tidak bermigrasi ke arah luar telinga (Onion

skin arrangement).

Penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada peneliti yang mengatakan karena adanya

rangsangan yang berlebihan dari sistim syaraf ke kelenjar serumen, adaa juga yang mengatakan

ada hubungannya denganeksema, dermatitis seboroik dan furunkulosis (dikutip dari Achmad

Page 59: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

54

Chusnu Romdhoni, Keratosis Obturans Management: Biomolekuler and Health Science

Journal, 2018, April 01(01).

Sedangkan Kolesteatoma Kanalis Akustikus Eksterna (Kolesteatoma Eksterna atau External

Auditory Canal Cholesteatoma/EACC)) adalah invasi epitil skwamosa telinga kedalam area

tertentu di LTL sehingga menimbulkan erosi tulang.

Berikut ini perbedaan dari Keratosis Obturans dengan Kolesteatoma Eksterna

Keratosis Obturans Kolesteatoma Eksterna

Umur Dewasa muda Tua

Etiologi

Terbentuknya epitil yang

berlebihan yang tidak

bermigrasi kearah luar LTL

Bertumpuknya deskwamasi epitil

di telinga tengah (teori migrasi,

metaplasia dan implantasi)

Gejala/Tanda

Otalgia berat,rasa sumbat di

LTL penurunan pendengaran

konduktif, usia muda, biasanya

bilateral dan disertai kelainan

paru dan sinus

Otore kronik dengan pendengaran

yang normal, gatal atau sakit di

LTL, biasanya unilateral

Patologi

LTL tersumbat keratin,

dinding melebar seperti balon

karena erosi. Bila berat bisa

terjadi Auto Mastoidectomy.

Dinding LTL hiperemi

dan bergranulasi.

MT menebal.

Osteitis atau erosi LTL biasanya di

daerah postero-superior.

Ada sekuestrasi tulang.

MT biasanya normal

Terapi

Bersihkan kotoran di LTL dan

jaringan granulasi.

Cuci telinga dengan larutan

alcohol 70% atau gliserin

dalam hydrogen Peroksida 3%

tiga kali/minggu.

Operasi ME dengan/tanpa

Timpanoplasti

Diagnosa Banding

Serumen impaksi dengan

infeksi,

Keganasan

Otitis Eksterna Maligna,

Keganasan

Page 60: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

55

Penyakit Infeksi Telinga Tengah

1. Otitis Media Akut

2. Otitis Media Suppurativa Kronik

3. Otitis Media Non Suppurativa

1. Otitis Media Akut (OMA)

Adalah infeksi akut pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, (termasuk Tuba

Eustachius, rongga mastoid dan sel sel mastoid) yang disebabkan oleh kuman kuman

piogenik seperti Streptokokus Haemolitikus, Stafilokokus Aureus dan Pneumokokus.

Kadang2 disebabkan oleh kuman Hemofilus Influensa, E/Coli, Streptokokus

Anhemolitikus, Proteu vulgaris, Pseudomonas Aeruginosa, virus Rhinovirus dll.

Gejala dan Tanda

Tergantung derajat atau stadium penyakitnya, tapi pada umumnya :

- rasa sakit edn rasa penuh di dalam telinga yang terkena,

- Pada anak-anak biasanya tampak gelisah, nangis dan pegang pegang telinganya,

- Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas seperti demam, batuk dan

pilek,

- Pada stadium suppurasi biasanya terasa lebih sakit, suhu badan bisa meningkat,

kadang kadang bisa mengalami diarea s/d kejang –kejang.

- Bila kemudian membrane timpani pecah maka akan keluar cairan kental (pus),

suhu tubuh akan menurun dan si anak akan lebih tenang.

Predisposisi :

- Pada anak-anak karena tuba Eustachiusnya relative lebih pendek, lebih lebar

dan lebih batar antara serta fungsinya belum sesempurna orang dewasa.

- Adenoid yang besar, hipertropi konkha dan tumor di hdung atau nasofaring.

- Daya tahan tubuh yang sedang menurun,

- Alergi

- Perokok

Page 61: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

56

Stadium2 OMA:

Stadium 1= Stadium Oklusi:

- MT tampak agak cekung kedalam (retraksi) karena adanya tekanan negative

di TT, kadang2 tampak normal/pucat.

Mungkin juga terjadi efusi tapi minimal sehingga tidak terdeteksi.

Stadium 2 = Stadium Hiperemi atau stadium Presupurasi.

- MT tampak berwarna kemerahan akibat kapiler yang melebar

- Telah terbentuk eksudat yang serous di rongga TT.

Stadium 3 = Stadium Supurasi.

- Mukosa TT mengalami oedem dan epitil superfisial hancur membentuk

eksudat yang purulen. Bila tidak segera diterapi maka eksudatnya makin

banyak, tekanan telinga tengah meningkat dan bisa mendorong MT ke

lateral, sehingga tampak menonjol (bulging) denga warna kekuningan.

Stadium 4 = Stadium Perforasi:

- Selanjunya bila prosesnya berjalan terus, maka akan terjadi iskhemi kapiler

MT, tromboplebitis venule kapiler, lalu terjadi nekrosis MT, hancur,

akhirnya perforasi dan pusnya keluar,

Stadium 5 = Stadium Resolusi :

Perforasi

Page 62: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

57

- Bila MT tidak pecah, dan bila daya tahan tubuh baik maka per-lahan MT

kembali normal.

- Bila sudah perforasi, maka sekretnya berkurang dan hilang. Bila daya dahan

tubuh baik dan virulensi kumannya rendah maka bisa sembuh tanpa terapi.

- Bila perforasi menetap dan keluar secret terus menerus lebih dari 2 bulan,

maka akan menjadi OMSK (Otitis Media Suppurativa Kronik)

- Bila tidak terjadi perforasi dan secret menetap di TT maka akan menjadi

Otitis Media Serosa atau Otitis Media Efusi (OME).

T e r a p i:

Pengobatan tergantung stadium penyakit.

Th/ pada Stadium Oklusi:

- Diberikan Dekongestan dengan tujuan membuka Tuba Eustachius agar

ventilasi terbuka sehingga tekanan di rongga TT kembali normal.

- Dekongestan oral biasaanya yang mengandung fenilpropanolamine atau

pseudoefedrine.

- Dekongestan tetes atau semprot hidung yang mengandung Oxymethazoline

HCl.

- Bisa juga ditambahkan antiinflamasi untuk mempercepat pengurangan

oedem mukosanya.

- Bila ada demam bisa diberikan antipiretik-analgetik.

Th/ pada stadium Presupurasi :

- Selain obat diatas juga diberikan antibiotika seperti

- golongan Ampisillin 50 sd 100 mg/kgBB dibadi dalam 4 dosis, atau - Amoksisillin 40 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis atau

- Eritromisin 40 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis.

Th/ pada stadium Suppurasi:

- Disertai Miringotomi dan drainase pus.

Th/ pada stadium Perforasi:

- Cuci telinga dengan larutan hydrogen peroksida 3% selama 3 s/d 5 hari

dilanjtkan pemberian obat tetes telinga anti biotika golongan kuinolon yang

berisi Ofloksasin.

Th/ pada stadium Resolusi:

- Antibiotika oral dilanjutkan s/d 3 minggu.

- Bila setelah 3 minggu belum ada perbaikan kemungkinan sudah terjadi

Mastoiditis, disebut Otitis Media Suppurativa Subakut.

- Bila perforasi dan menetap lebih dari 6-8 minggu, maka terjadi OMSK.

Komplikasi OMA :

Sejak era antibiotika komplikasi OMA banyak berkurang. Penyebaran infeksi bisa terjadi

secara hematogen, limfogen maupun secara langsung.

Komplikasi Intratemporal :

Page 63: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

58

- Penurunan pendengaran

- Perforasi MT yang menetap

- Mastoiditis

- OMSK (desertai atau tanpa Kolesteatoma)

- Timpanosklersis

- Kolesteatoma

- Granuloma Kolestrol

- Labirinitis

- Petrosisits

- Parese N.VII

- Dermatitis eksima

- Dll.

Komplikasi intracranial:

- Meningitis

- Empyema Subdural

- Abses Otak

- Abses Ekstradural

- Thrombosis Sinus Lateral

- Hidrosefalus Otikum.

- Dll.

Page 64: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

59

OTITIS MEDIA SUPPURATIVA KRONIK (OMSK)

= Chronic Suppurativa Otitis Media (CSOM)

Nama lainnya, Congek, Tungki, kopokan dll. Adalah penyakit infeksi telinga tengah yang

ditandai dengan adanya perforasi MT yang menetap dan keluarnya sekret yang menetap terus

menerus maupun hilang timbul selama lebih dari 6 sd 12 minggu. Prevalensinya di negara2 di

dunia berbeda-beda, misal di Negara Saudi Arabia, Israel, UK, dan Denmark <1%, termasuk

berprevalensi rendah. Di Negara Tanzania, India, Aborigin Australia, Thailand dan Malaysia,

dll > 4%, termasuk berprevalensi paling tinggi. Sedangkan di Indonesia sekitar 3,9%

(berdasarkan data Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI tahun 1997), termasuk

berprevalensi tinggi.

Kolesteatoma dan Granuloma Kolesterol:

Kolesteatoma adalah epitil gepeng dan tumpukan debris keratin yang terjebak di rongga

telinga tengah.

Dikatakan kolesteatoma karena dulu diduga adalah sejenis tumor jinak yang mengandung

kolesterol, padahal ternyata dikemudian hari para peneliti tidak menemukan bukti tersebut.

Tapi karena sudah terbiasa maka istilah itu masih digunakan sampai dengan saat ini.

Kolesteatoma di telinga tengah bisa timbul secara kongenital (bawaan lahir) maupun acquired

(didapat setelah lahir).

Kolesteatoma kongenital terjadi pada masa embrionik dan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi.

Ada 3 (tiga) teori terbentuknya kolesteatoma akuisital (acquired), yaitu teori invaginasi,

migrasi dan metaplasia.

OMSK tipe bahaya yang mengandung kolesteatoma bisa menyebabkan kerusakan tulang

disekitarnya akibat dari penekanan perluasan massanya sehingga terjadi nekrosis dan adanya

enzim osteoklas. Nekrosis jaringan menjadi lebih cepat karena adanya pemebntukan reaksi

asam akibat pembusukan bakteri.

Granuloma kolesterol merupakan kista jinak yang terjadi di daerah apeks petrosus yang

meluas ke telinga tengah. Kista ini berisi cairan, lipids dan kristal kolesterol yang dilapisi oleh

jaringan fibrosa.

Granuloma kolesterol ini terjadi akibat sel sel udara di apeks petrosus tersumbat, sehingga

rongga udara jadi vakum, kemudian terjadi perdarahan, sel sel darah pecah dan haemoglobin

mengeluarkan komponen kolesterolnya sehingga menjadi benda asing, kemudian

menimbulkan inflamasi, akibatnya pembuluh2 darah pecah dan seterusnya proses ini terjadi

ber-ulang2 sehingga massanya meluas.

Kista ini bisa terdapat diseluruh bagian tubuh sebagai reaksi adanya benda asing.

Biasanya asimtomatik dan kasusnya sangat jarang, tapi bila terjadi pada apeks petrosus yang

menjalar ke telinga tengah dapat menyebabkan gangguan seperti gangguan pendengaran yang

permanen, kerusakan syaraf dan tulang

OMA bisa menjadi OMSK bila:

- Terapi yang tidak adekuat,

- Virulensi kuman yang tinggi,

- Daya tahan tubuh yang kurang

Page 65: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

60

Ada dua tipe OMSK,yaitu Tipe Aman dengan nama lain tipe jinak/ mukosa/ Non

kolesteatoma/ Tubotimpanik/ Sentral dan Tipe Bahaya dengan nama lain tipe Ganas/ Tulang/

Kolesteatoma/ Atiko-antral/ marginal.

Gejala dan Tanda OMSK tipe Aman:

- Keluar cairan dari liang telinga, bisa encer s/d kental, bisa terus menerus

atau hilang timbul.

- Bisa disertai demam atau tidak,

- Pendengaran menurun, bisa konduktif saja, bisa campuran,

- Pusing/vertigo

- Bila ada komplikasi bisa timbul sakit didaerah telinga atau sakit kepala.

- Bila N.Fasial terkena, maka wajah jadi asimetris.

Pada pemeriksaan Otoskopi ditemukan:

- Perforasi MT pada pars tensa, bisa sentral atau para sentral, bisa kecil s/d

total,

- Bisa ada sekret bisa tidak.

Audiometri: ditemukan tuli konduktif sd campuran.

T e r a p i :

- Cuci telinga dengan larutan Hidrogen Peroksida 3%,

- Antibiotika tetes telinga golongan kuinolon seperti Ofloksasin 3mg/ml,

- Antibiotika sistemik seperti obat2 golongan Ampisillin, Amoksisillin,

(+asam klavulanat), Eritromisin, Sulfa atau kuinolon, dll.

- Terapi sumber infeksi primernya,

- Bila tidak sembuh2 setelah lebih dari 2 bulan, idealnya dilakukan

Mastoidektomi Simpel dan Timpanoplasti.

Gejala dan Tanda OMSK tipe Bahaya:

- Sekret kental dan berbau busuk,

- Pendengaran menurun,

- Bila ada komplikasi bisa timbul demam, sakit kepala yang hebat, vertigo,

kejang2 dan parese N.fasialis, dll.

- Pada pemeriksaan otoskopi didapat sekret yang kental, perforasi MT di

daerah atik atau annulus (marginal)

Page 66: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

61

- Jaringan granulasi dalam tengah atau dari dinding posterior LTL disertai

kolesteatoma.

- Bila dinding lateral mastoid erosi bisa timbul Abses Subperiosteal

Retroaurikular s/d Fistula RA.

- Pada pemeriksaan audiometri ditemukan Tuli konduktif s/d Tuli Campur.

T e r a p i :

- Prinsip terapi pada OMSK tipe Bahaya adalah operasi Mastoidektomi (ME)

dengan atau tanpa Timpanoplasti.

- Ada beberapa tipe opersi ME, yaitu:

1. ME Radikal Dinding Utuh (Canal Wall Up),

2. ME Radikal Dinding runtuh (CanalWall Down)

3. EES (Endoscopic Ear Surgery).

Komplikasi OMSK.

OMSK tipe Bahaya lebih sering menimbulkan komplikasi dibanding yang tipe Aman.

Souza dkk (1999) membagi komplikas otitis media menjadi, sbb:

1. Komplikasi Intratemporal:

a. Komplikasi di telinga tengah:

- Parese N.Fasialis,

- Kerusakan tulang pendengaran,

- Perforasi membrane timpani.

b. Komplikasi ke rongga mastoid:

- Petrositis

- Mastoiditis koalesen.

c. Komplikasi ke telinga dalam:

- Labirinitiis

- Tiuli syaraf/ sensorinural.

2. Komplikasi Ekstratemporal:

a. Komplikasi intracranial:

- Abses ekstradura

- Abses subdural

- Abses otak

- Meningitis

- Troboplebitis sinus lateralis

- Hidrosefalus otikus

b. Komplikasi eksttrakranial:

- Abses Retroaurkuler

- Abses Bezold’s

- Abses zygomatikus.

Selain komplikasi2 diatas bisa juga terjadi komplikasi pada perubahan tingkah laku.

Otitis Media Non Supuratifa:

= otitis Media serosa/ musinosa/ efusi/ sekretoria/ mukoid/ glue ear, adalah keadaan dimana

terdapatnya cairan didalam telinga tengah tanpa adanya peforasi MT, disebabkan oleh adanya

disfungsi Tuba Eustachius. Cairan ini bisa encer s/d kental selam lebih dari 3 bulan terus

menerus tanpa ditandai adanya infeksi. Sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan s/d 6 tahun.

Page 67: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

62

Gejala dan Tanda:

- Pendengaran menurun,

- Tidak ada cairan yang keluar dari telinga. Mungkin sebelumnya pernah

menderita OMA yang tidak sembuh sempurna.

- Bila terjadi pada bayi bisa menyebabkan gangguan perkembangan

kemampuan bicara.

- Pada pemeriksaan dengan otoskop pneumatic tidak ditemukan gerakan MT.

- Gambaran Tympanometry: tipe B.

T e r a p i :

- Atasi penyakit primernya,

- Dekongestan dan kortikosteroid,

- Bila tidak ada perbaikan, dipasang Tube Ventilasi seperti Grommet.

Page 68: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

63

PEDOMAN TATALAKSANA OMSK

MT UTUH MT PERFORASI

OTOSKOPI

OTOREA KRONIS

KOLESTEATOM (+) OMSK BAHAYA

KOLESTEATOM (-) OMSK BENIGNA

LIHAT ALGORITMA 1 LIHAT ALGORITMA 2

OTITIS EKSTERNA DIFUSA OTOMIKOSIS

DERMATITIS/ EKSIM OTITIS EKSTERNA MALIGNA

MIRINGITIS GRANULOMATOSA

OMSK

ONSET, PROGRESIFITAS, PREDISPOSISI, PENYAKIT SISTEMIK, FOKUS INFEKSI, RIWAYAT PENGOBATAN CARI GEJALA / TANDA KOMPLIKASI

KOMPLIKASI (+) KOMPLIKASI (-)

Page 69: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

64

ALGORITMA 1

PILIHAN:

• ATIKOTOMI ANTERIOR

• TIMPANOPLASTI DINDING UTUH (CANAL WALL UP TYMPANOPLASTY)

• TIMPANOPLASTI DINDING RUNTUH (CANAL WALL DOWN TYMPANOPLASTY)

• ATIKOANTROPLASTI

• TIMPANOPLASTI BUKA-TUTUP

Cuci telinga Antibiotik sistemik

Lini I: Amoksisilin/ sesuai kuman penyebab Antibiotik topikal

TULI KONDUKTIF

(+)

IDEAL: TIMPANOPLASTI TANPA/

DENGAN MASTOIDEKTOMI

TIDAK (sembuh)

ROMASTOID (SCHULLER) X-RAY

AUDIOGRAM

OMSK BAHAYA (KOLESTEATOM +)

PERFORASI MENETAP

STIMULASI EPITELIASISASI

TEPI PERFORASI

PERFORASI MENUTUP

Tuli Konduktif?

OTOREA MENETAP > 1MINGGU

OTOREA MENETAP > 3 BULAN

IDEAL: MASTOIDEKTOMI +

TIMPANOPLASTI

ANBIOTIK BERDASAR

PRMR. MIKRO-ORGANISME

OMSK TENANG

OMSK BENIGNA (KOLESTEATOM -)

OMSK AKTIF

Page 70: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

65

ALGORITMA 2

INFEKSI TELINGA DALAM.

= Inner Ear Infection = Labirinitis, adalah infeksi yang mengenai organ telinga dalam. Bila

kejadiannya akut biasanya disebabkan oleh virus, kadang2 oleh bakteri. Gejala yang

ditimbulkan hampir sama yaitu vertigo atau dizziness saja, gangguan pendengaran

sensorineural dan gangguan keseimbangan, bisa mual s/d muntah disertai gejala2 dari penyakit

primernya.

Bila toksinnya saja yang masuk ke labirin, maka menyebabkan Labirinitis Serosa, sedangkan

bila sel radang atau bakterinya menginvasi labirin, maka disebut Labirinitis Supuratifa.

Virus2 penyebab diantaranya virus campak, mononukleosus infeksiosa, cacar air, herpes,

influenza rubella dll. Virus2 ni bisa hidup “dormant” dalam tubuh, yang sewaktu-waktu bisa

aktif kembali dan menimbulkan gejala.

Gejala dan tanda:

- Pada fase akut, gejalanya timbul tiba2 dengan gejala sakit kepala/pusing

yang hebat pada saat beraktifitas rutin atau pada waktu bangun tidur. Saking

beratnya gejala, pasien jadi merasa khawatir lalu datang ke IGD.

- Pada fase kronik, muncul setelah beberapa minggu tidak ada gejala setelah

serangan akut yang sebelumnya.

- Terdapat nistagmus horizontal.

T e r a p i :

- Atasi mual dan pusingnya,

KOMPLIKASI INTRA TEMPORAL

KOMPLIKASI INTRA KRANIAL

OMSK + KOMPLIKASI

RAWAT INAP PERIKSA SEKRET TELINGA

ANTIBIOTIK I.V.DOSIS TINGGI 7-15 HARI KONSUL SPESIALIS SARAF / SARAF ANAK

MASTOIDEKTOMI ANASTESI LOKAL / UMUM OPERASI BEDAH SARAF

ANTIBIOTIK DOSIS TINGGI MASTOIDEKTOMI

DEKOMPRESI N. VII PETROSEKTOMI

ABSES SUBPERIOSTEAL LABIRINTITIS

PARESIS FASIAL PETROSITIS

ABSES EKSTRA DURA ABSES PERISINUN

TROMBOFLEBITIS SINUS LATERAL MENINGITIS ABSES OTAK

MENINGITIS OTIKUS

Page 71: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

66

- Atasi penyakit primernya.

Diagnose Banding:

- Vestibular Neuronitis

- Post Trauma kepala

- Stroke

- Penyakit2 kardiovaskuler

- Alergi

- Efek samping obat

- Dll.

P E N U T U P

Demikian telah disampaikan beberapa jenis penyakit infeksi telinga mulai dari infeksi telinga

luar, telinga tengah dan telinga dalam beserta anatomi dan fisiologinya secara singkat yang

perlu diketahui oleh para Teman Sejawat Dokter Umum

Namun demikian saya menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu

saya mohon maaf dan semoga para pakar dapat membantu mengkoreksi agar menjadi lebih

baik.

Saya ucapkan terima kasih kepada para pakar yang buku dan karya ilmiahnya telah dijadikan

referensi, semoga ilmunya bermanfaat bagi kita semua dan amalnya diterima oleh Allah Swt,

Aamiiin3x Yaa Rabbal Aalamiiin…

DAFTAR PUSTAKA

1. David Goldenberg, Bradley J.Goldstein. Handbook of Otolaryngology, Head and

NeckSurgery, Second Edition.

2. Shekar Krishna Debnath . Keratosis Obturans and Primary Auditory Canal Cholesteatoma.

Sher-e-Bangla Medical College and Hospital, Barisol.

3. Zainul A Djaafar dkk. Komplikasi Otitis Media Supuratif. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. FKUI, Jakarta, 2012.

4. Jenny Bashiruddin dkk. Gangguan Keseimbangan. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. FKUI, Jakarta. 2012.

5. Helmi A.Balfas, Susana F.Rachman, Sakina Umar.Fisiologi Telinga Tengah dan Fungsi

Pendengaran pada Beberapa Kelainan Telinga Tengah. Bedah Otologi dan Bedah

Neurootologi Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2018.

6. Bruce W. Murrow. Anatomy and Physiology of the Ear. ENT SECRETS. Third Edition.

2005.

7. Douglas H.Todd cs. Otitis Media and Associated Complications. ENT SECRETS. Third

Edition. 2005.

Page 72: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

67

VI. RHINOSINUSITIS dr. Edo Wira Candra, Sp.T.H.T.K.L., M.Kes., FICS.

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala

berupa hidung tersumbat, nyeri pada wajah dan pilek kental. Penyakit ini cukup sering

diketemukan yaitu sekitar 20 % dari penderita yang ke dokter. Di Amerika tahun 1995, sinusitis

merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak yang datang ke praktek dokter dengan

estimasi 25 juta kunjungan. Sayangnya, cukup banyak kasus sinusitis yang tidak dapat diatasi

dengan pengobatan konservatif sehingga harus ditangani dengan cara operasi. Sampai sekarang

sinusitis masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara berkembang maupun

negara maju.

Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery

mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rhinosinusitis. Istilah

rhinosinusitis dianggap lebih tepat karena menggambarkan proses penyakit dengan lebih

akurat. Beberapa alasan lain yang mendasari perubahan sinusitis menjadi rhinosinusitis adalah

mukosa hidung dan sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain dan sebagian besar

penderita sinusitis juga menderita rhinitis dengan gejala seperti pilek, hidung tersumbat dan

berkurangnya penciuman ditemukan. Hal ini mendukung konsep "one airway disease", yaitu

penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.

Inflamasi mukosa hidung akan di ikuti inflamasi mukosa sinus paranasal dengan atau tanpa

disertai terbentuknya cairan sinus. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter

per tahun dihubungkan dengan rhinosinusitis. Meskipun rhinosinusitis kebanyakan disebabkan

oleh infeksi virus dan sebagian besar sembuh tanpa terapi antibiotika, penyakit ini dilaporkan

sebagai salah satu dari lima penyakit terbanyak yang menggunakan antibiotika. Oleh karena

itu diperlukan pengetahuan mengenai etiologi dan patofisiologi penyakit ini agar pengobatan

lebih efektif.

ANATOMI

Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengeliling rongga hidung. Ada empat

pasang sinus paranasal yaitu sinus ethmoid, sinus maksila, sinus frontal dan sinus sphenoid.

Sinus paranasal dilapisi epitel silindris berlapis semu bersilia dengan sejumlah sel goblet.

Dibawahnya terdapat tunika propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan kelenjar

serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara konstan memproduksi mukus. Pada sekresi

mukus ini terdapat enzim lisozim yang mampu membunuh mikroorganisma. Palut lendir yang

berada di permukaan epitel bersilia berfungsi untuk melembabkan dan menghangatkan udara

yang dihirup serta untuk membersihkan polutan dan berbagai material yang merugikan. Mukus

selanjutnya oleh pergerakan silia akan di dorong dengan gerakan ritmis menuju ostia dengan

kecepatan 700 gerakan setiap menit. Gerak silia ini diatur secara genetik sehingga tetap menuju

ostium alamiah. Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan hasil proses

metabolisme dapat dialirkan keluar sinus. Oleh gerakan silia, mukus yang ada di setiap sinus

akan dialirkan seluruhnya keluar melalui ostium dalam waktu 20-30 menit. Mukus yang berasal

dari sinus frontal, maksila dan ethmoidalis anterior selanjutnya akan nenuju kompleks

ostiomeatal di meatus media. Sedangkan mukus dari sinus ethmoidalis posterior dan sphenoid

akan mengalir menuju meatus superior melalui resesus sphenoethmoidalis. Selanjutnya mukus

menuju nasofaring dengan mengelilingi tuba eustachius.

Page 73: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

68

Sinus Ethmoid

Sinus ethmoid terdiri dari 3 - 16 sel dengan volume total sekitar 3 ml. Dipisahkan dari orbita

oleh selapis tulang tipis yang disebut lamina papirasea. Lamina basalis konka media membagi

sinus ethmoid menjadi kompleks ethmoidalis anterior dan posterior. Kompleks ethmoidalis

anterior mengalirkan secret kearah anterior dan inferior menuju lamela basalis. Kompleks

etmoidalis posterior mengalirkan secret kearah posterior menuju lamela dari konka media,

selanjutnya ke dasar tengkorak, dan dinding medial orbita. Kompleks osteomeatal (KOM)

adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bula ethmoidalis, prosesus uncinatus,

infundibulum ethmoidalis, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila. KOM berperan sangat

penting dalam mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal. Mukus atau sekret yang

berasal dari sinus frontal, etmoid anterior dan maksila akan mengalir melalui daerah ini.

Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dengan bentuk seperti piramid terbalik,

volume pada dewasa antara 15-30 ml. Ostium alami dari sinus maksilaris berdiameter 1- 3 mm

(rerata 2,5 mm). Lokasi ostium di meatus media, letaknya paling rendah dibandingkan ostium

sinus paranasal lainnya. Mukus atau sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan

mengalir ke bagian inferior infundibulum, kemudian keluar melalui hiatus semilunaris menuju

meatus media.

Sinus Frontalis

Sinus frontalis mempunyai variabilitas dalam perkembangan jumlah dan ukuran. Bagian

dari sinus ini yang meluas ke meatus media membentuk penonjolan yang disebut resesus

frontalis. Sinus frontalis terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki batas tulang yang juga

tak beraturan. Pada dinding posterior dan inferior berbatasan dengan anyaman pembuluh vena

besar yang menuju otak dan orbita. Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam

resesus frontalis melalui ostium nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju

meatus media.

Sinus Sphenoid

Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding lateral

berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus kavernosus, arteri karotis, syaraf

kranial I, III, IV, V dan VI. Sekret yang berasal dari sinus sphenoid mengalir melalui ostium

ke resesus sfenoetmoidalis.

ETIOLOGI

Penyebab utama dari rhinosinusitis adalah obstruksi ostium. Berbagai faktor baik lokal

maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi

ostium sinus. Berbagai faktor tersebut meliputi infeksi saluran napas, alergi, paparan bahan

iritan, kelainan anatomi dan defisiensi imun. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai

bahan iritan hirupan dapat menyebabkan inflamasi mukosa hidung. Udem mukosa hidung dan

sinus yang berakibat penyempitan ostium sinus diketemukan pada 80% pasien. Adanya cairan

di sinus dapat di ikuti pertumbuhan bakteri sekunder. Berbagai variasi atau kelainan anatomi

seperti kurvatur paradoksikal dari konka media, bula etmoidalis yang mengadakan kontak di

bagian medial, deformitas prosesus unsinatus, konka bulosa dan septum deviasi dapat

menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik.

Page 74: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

69

Gangguan klirens mukosilier sering ditemukan pada fibrosis kistik dan sindrom diskinesi.

Pasien dengan defisiensi imun misalnya defisiensi produksi antibodi terhadap bakteria atau

penderita dengan imunosupresi cenderung mengalami infeksi sinus. Kelainan yang tersering

adalah defisiensi IgA selektif dan kelainan pada produksi IgG, termasul

hypogammaglobulinemia . Pasien yang terinfeksi HIV juga mengalami peningkatan insiden

sinusitis.

Beberapa faktor yang lain seperti alergi dan berbagai bahan iritan lingkungan sering

menyebabkan penyakit berkembang menjadi kronik atau berulang. Faktor penting lainnya

adalah interaksi imun dan mikroba. Rhinosinusitis juga dapat disebabkan oleh karena

penggunaan obat-obatan seperti obat antihipertensi. Rhinosinusitis kronik juga dapat

disebabkan oleh karena adanya kelainan struktur hidung. Beberapa faktor lainnya yang

mempunyai kontribusi pada patogenesis dan kronisitas sinusitis adalah gangguan silia, ostium

asesoris, patogenitas mikroba.

Harus difahami bahwa etiologi rhinosinusitis ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Alergi atau

polutan lingkungan dapat memperburuk rinosinusitis virus atau bakteri, baik akut, kronik atau

rekuren, demikian pula sebaliknya.

PATOFISIOLOGI

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama

berkembangnya rhinosinusitis. Patofisiologi rhinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran

tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal. Secara

skematik patofisiologi rhinosinusitis diawali dengan terjadinya inflamasi mukosa hidung

sehingga mukosa mengalami pembengkakan, keadaan ini mengakibatkan obstruksi ostium

sinus sehingga fungsi ventilasi dan drainase sinus menjadi terganggu. Selanjutnya terjadi

resorpsi oksigen yang terdapat dalam rongga sinus sehingga kadar oksigen akan menurun yang

selanjutnya akan diikuti dengan penurunan tekanan dalam rongga sinus. Keadaan ini memicu

terjadinya peningkatan eksudasi cairan yang berakibat menurunnya fungsi silia. Peningkatan

jumlah cairan dalam sinus mengakibatkan terjadinya pertumbuhan kuman.

Sebagian besar kasus rhinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat infeksi virus. Infeksi

virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat

keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus

influenza A dan respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan udem mukosa

bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya

menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga

sekresi sinus normal menjadi terhambat. Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih

mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan.

Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri

sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Bakteri yang paling sering dijumpai pada

rhinosinusitis akut dewasa adalah streptococcus pneumoniae dan haemofiilus influenzae,

sedangkan pada anak moraxella catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran napas

atas, dan umumnya tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi

kondusif untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut maka lingkungan

sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerob. Flora bakteri menjadi semakin banyak dengan

masuknya kuman anaerob. Infeksi menyebabkan mukosa kolumnar bersilia mengalami

metaplasia sehingga efusi sinus makin meningkat.

Pada pasien rhinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu

rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi.

Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek

Page 75: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

70

aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons

inflamasi dengan melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa

dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk lingkungan yang

kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada infeksi virus. Kliren dan

ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat. Inflamasi yang berlangsung iama

sering berakibat penebalan mukosa disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus makin

menutup. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan

gejala persisten dan-mengarah pada rhinosinusitis kronik.

Faktor - faktor yang telah diuraikan diatas dan interaksi imun-mikroba berkontribusi pada

kronisitas sinusitis. Patensi ostium sinus merupakan hal yang sangat penting. Dikatakan bahwa

kesehatan sinus pada pasien bergantung pada keadaan sekresi mukosa yang meliputi viskositas,

volume, dan komposisi yang normal, aliran mukosilier yang normal untuk mencegah stasis

mukus, ostium sinus yang selalu terbuka untuk drainase dan humidifikasi yang memadai.

Obstruksi ostium sinus yang berlangsung lama oleh karena berbagai sebab sering menyebabkan

penebalan mukosa, disfungsi silia, kerusakan mukosa, penurunan klirens mukosilier dan

pembentukan jaringan patologis.

Inflamasi

Sangat jelas pentingnya peranan inflamasi pada patogenesis rhinosinusitis kronik.

Keberhasilan pengobatan dalam mengatasi inflamasi akan mengembalikan klirens mukus dan

ventilasi menjadi normal. Kegagalan mengatasi inflamasi akut akan menyebabkan proses

berlanjut menjadi inflamasi kronik. Ada dua jenis inflamasi yang berkontribusi secara berbeda

pada ekspresi klinis rhinosinusitis yaitu inflamasi infeksius dan non infeksius. Inflamasi

infeksius berhubungan dengan rinosinusitis akut yang disebabkan infeksi bakteri atau virus.

Pada jaringan sinus dari pasien rinosinusitis akut bakterial ditemukan IL-6 dan IL-8. Demikian

pula di beberapa lokasi jaringan sinus dijumpai neutrofil dalam jumlah banyak. Sebaliknya,

kadar GM-CSF dan IL-5 tidak mengalami peningkatan. Peningkatan IL-6, IL-8 dan TNF-a

diduga berkaitan dengan kemampuan sel epitel jalan napas menghasilkan berbagai sitokin

tersebut sebagai respons terhadap stimulus bakteri. Berbagai sitokin pro-inflamasi tersebut

kemungkinan berperan penting dalam penebalan mukosa akut yang berkaitan dengan

eksaserbasi sinusitis. Inflamasi non-infeksius dihubungkan dengan tingginya penebalan

mukosa sinus tanpa disertai rasa tidak enak atau nyeri pada sinus, atau tanda infeksi lain.

Karena itu, tipe inflamasi ini dianggap non-infeksius. Inflamasi non-infeksius terutama

dijumpai pada rhinosinusitis kronik. Dinamakan inflamasi non-infeksius karena terdapat

dominasi eosinofil dan sel sel mononuklear serta relatif sedikitnya neutrofil yang biasa

dijumpai pada rhinosinusitis kronik. Gambaran patologi yang dijumpai pada mukosa

rhinosinusitis kronik kemungkinan merupakan akibat tumpang tindih stimuli inflamasi

infeksius dan non-infeksius.

Pada cairan lavase sinus maksilaris pasien dengan rhinosinusitis kronik ditemukan

peningkatan jumlah neutrofil dan kadar IL-8. Kadar IL-8 tertinggi dan persentase neutrofilia

tertinggi dijumpai pada pasien dengan rhinosinusitis non-alergik. Sedangkan pasien dengan

rhinosinusitis kronik yang disebabkan factor alergi, ditemukan peningkatan neutrophil dan IL-

8 dalam jumlah sedang. Fenomena ini menunjukkan, neutrofil merupakan sel imunokompeten

yang berperan aktif dalam regulasi proses inflamasi dengan mensekresi berbagai macam

sitokin seperti IL-la, IL-6, IFN-a, TNF, dan IL-8. Analisis imunohistokimia menunjukkan

bahwa IL-8 berlokalisasi dalam sel polimorfonuklear yang beremigrasi dalam sekresi nasal

pasien rhinosinusitis kronik. IL-8 merupakan faktor kemotaktik neutrofil yang potensial.

Neutrofil menghasilkan IL-8 sebagai respons terhadap beberapa macam stimuli. Ada

kemungkinan neutrophil yang telah bermigrasi ke dalam efusi sinus menghasilkan IL-8.

Karena itu, dalam efusi sinus terjadi akumulasi neutrofil. Ini menunjukkan bahwa neutrophil

Page 76: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

71

pada sekresi nasal pasien dengan sinusitis kronik memang benar-benar menghasilkan IL-8, dan

hal ini mendukung mekanisme umpan balik positif rekrutmen neutrofil.

Kelainan Anatomi

Kelainan anatomi di beberapa atau seluruh struktur kompleks ostiomeatal dapat

menyebabkan obstruksi mekanis drainase sinus paranasal yang berlangsung lama. Variasi

anatomi yang sering dijumpai adalah septum deviasi, prosesus unsinatus menekuk kearah

lateral, double middle turbinate, konka bulosa, bula etmoidalis yang besar, sel Haller yang

menyempitkan infundibulum ethmoidalis.

Mukosilier

Hipoksia, produk mikroba, dan inflamasi kronik dapat menyebabkan penurunan fungsi

mukosilier sinus paranasal. Faktor lain yang berkontribusi pada kelambatan klirens mukosilier

yaitu perubahan sifat viskoelastik mukus, penurunan jumlah silia, dan kerusakan epitel.

Penelitian yang dilakukan pada pasien sebelum dan sesudah operasi, menunjukkan bahwa

perbaikan ventilasi sinus mempengaruhi fungsi mukosilier, mukosilier berangsur kembali

normal dalam waktu 1 sampai 6 bulan pasca operasi. Pasien dengan mukosa sinus hiperplasia

menunjukkan laju perbaikan yang lambat dan pemulihan klirens mukosilier yang tidak lengkap

setelah operasi sinus.

Resirkulasi Mukus

Sekitar 10-30% orang dewasa ditemukan ostium asesorius sinus maksila yang

menyebabkan terjadinya resirkulasi mukus. Sekret mukus yang keluar dari sinus melalui

ostium sinus naturalis biasanya menuju meatus medius. Sejumlah mukus akan memasuki lagi

sinus maksilaris melalui ostium asesoris yang biasanya terletak inferior terhadap ostiomeatal

unit, pada dinding nasalis lateralis.

Osteitis

Pemeriksaan histologik dari tulang ethmoidalis yang diambil dari pasien dengan

rhinosinusitis kronik menunjukkan adanya osteitis. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat

langsung infeksi atau akibat tindakan operasi sinus yang kurang preservasi mukosa. Temuan

histologik meliputi peningkatan akselerasi turnover tulang disertai pembentukan tulang baru,

fibrosis, dan keberadaan sel inflamasi. Berbagai perubahan ini menyerupai osteomielitis

rahang. Osteitis merupakan salah satu penyebab utama kekambuhan penyakit meskipun sudah

dilakukan operasi atau pemberian antibiotik.

Mikroba

Sebagian besar penelitian menunjukkan perbedaan antara rhinosinusitis akut dan kronik

berkenaan dengan kuman patogen. Organisme yang dominan pada rhinosinusitis akut adalah

streptococcus pneumoniae, hemofilus influenzae dan pada anak moraxella catarrhalis.

Sedangkan pada rhinosinusitis kronik yang tersering ditemukan adalah kuman tersebut diatas

ditambah dengan staphylococcus aureus dan kuman anaerob. Pertumbuhan kuman anaerob ini

sebagai akibat dari berbagai faktor yaitu stasis mukus, obstruksi ostium sinus, dan hipoksia.

Keterbatasan utama pada pengobatan rhinosinusitis kronik adalah kesulitan mendapatkan

kultur mikroba. Kultur bakteri biasanya dilakukan setelah kegagalan satu atau dua kali

pemberian antibiotik. Hanya sekitar 5% kasus yang berhasil dibiakkan, bakteri anaerob lebih

sukar dibiakkan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam pemberian antibiotika khususnya

untuk kuman anaerob.

Page 77: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

72

KLASIFIKASI

Rhinosinusitis Akut (RSA)

Bila gejala rhinosinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak dan sembuh

sebelum 4 minggu. Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang

memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi

kuman (RSA bakterial).

Rhinosinusitis Akut Berulang

Kriteria gejala untuk RSA berulang identik dengan kriteria untuk RSA. Episode serangan

berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam

1 tahun. Diantara masing-masing episode terdapat periode bebas gejala.

Rhinosinusitis Subakut (RSSA)

Rhinosinusitis dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi ini

merupakan kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala

lebih ringan dari RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi RSA

tetapi mengalami kegagalan atau terapinya tidak adekuat.

Rhinosinusitis Kronik (RSK)

Bila gejala rhinosinusitis berlangsung lebih dari 12 minggu.

Rhinosinusitis Kronik Eksaserbasi Akut

RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat terjadi gejala

yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan kembali seperti semula

setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh.

DIAGNOSIS

Gejala klinis rhinosinusitis dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor. Gejala

mayor yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi.

Termasuk dalam gejala mayor adalah : sakit pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus kental

berwarna dan gangguan penciuman. Sedangkan gejala minor diantaranya berupa batuk,

demam, tenggorok berlendir , nyeri kepala dan halitosis. Persangkaan adanya rhinosinusitis

didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor.

Anamnesis

Anamnesis yang cermat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang disebutkan

di atas. Hal ini penting terutama pada RSK karena diperlukan pengetahuan kemungkinan factor

penyebab yang lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman maupun

virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung. Untuk RSA gejala yang

ada mungkin cukup jelas karena berlangsung mendadak dan seringkali didahului oleh infeksi

akut saluran nafas atas. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas

terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta adanya

faktor lingkungan yang mempengaruhi. Pemeriksaan Fisik Pada RSA terlihat adanya hiperemi

dan sembab sekitar rongga hidung. Gejala nyeri tekan di daerah sinus terutama sinus frontal

dan maksila kadang dapat ditemukan, akan tetapi nyeri tekan di sinus tidak selalu identik

dengan sinusitis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dijumpai mukosa hiperemi, sekret,

Page 78: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

73

mukosa udem, krusta, septum deviasi, polip atau tumor. Sedangkan pada rinoskopi posterior

dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung dan nasofaring

Traniluminasi

Transiluminasi merupakan pemeriksaan yang sederhana terutama untuk menilai adanya

kelainan pada sinus maksila. Pemeriksaan ini dapat memperkuat diagnosis rhinosinusitis

apabila terdapat perbedaan hasil transiluminasi antara sinus maksila kiri dan kanan.

Radiologi

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal, CT scan dan atau MRI.

Foto sinus paranasal cukup informatif pada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan

radilogis yang mempunyai nilai objektif yang tinggi. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah

untuk evaluasi penyakit lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon

seperti yang diharapkan. Kelainan pada sinus maupun kompleks ostiomeatal dapat terlihat

dengan jelas melalui pemeriksaan ini.

Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi nasal merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna

dalam memberikan informasi tentang penyebab RSK. Dengan endoskopi nasal dapat diketahui

lebihjelas kelainan di dalam rongga hidung dan kita dapat memeriksa keadaan kompleks

ostiomeatal.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rhinosinusitis tergantung dari jenis, derajat serta lamanya perjalanan

penyakit. Pada RSA terapi medikamentosa merupakan terapi utama, sedangkan pada RSK

terapi pembedahan menjadi pilihan yang lebih baik dibandingan dengan medikamentosa saja.

Pada dasarnya tujuan dari terapi medikamentosa adalah mengembalikan kondisi normal di

dalam rongga sinus. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi udem mukosa serta

mengembalikan fungsi transpor mukosiliar. Irigasi dengan larutan garam fisiologis dapat

membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret yang kental sedangkan humidifikasi dapat

mencegah kekeringan dan pembentukan krusta.

Terapi Medikamentosa

Obat dekongestan dapat digunakan dalam pengobatan rhinosinusitis untuk merangsang

reseptor α-adrenergik, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kapiler mukosa rongga

hidung. Keadaan ini dapat mengurangi udem pada mukosa rongga hidung sehingga ostium

sinus menjadi terbuka. Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun oral.

Dekongestan topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes maupun semprot hidung.

Penggunaannya dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat

menyebabkan timbulnya rhinitis medikamentosa. Pada pemberian dekongestan sistemik harus

berhati-hati dan sebaiknya tidak digunakan pada penderita dengan kelainan kardiovaskular.

Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada pengobatan RSA maupun

RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi. Beberapa kortikosteroid yang tersedia dalam

bentuk semprot hidung diantaranya adalah : beclometason, flutikason dan mometason. Pada

RSA pemberian kortikosteroid bermanfaat untuk menghilangkan udem dan mencegah

inflamasi pada mukosa hidung dan sinus. Pemberian antihistamin pada rhinosinusitis akut

Page 79: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

74

masih kontroversial. Antihistamin memang merupakan obat yang efektif untuk mencegah

terjadinya serangan alergi sehingga penggunaannya pada rhinosinusitis lebih bermanfaat pada

RSK dengan adanya riwayat alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti kolinergik yang

dapat mengurangi sekresi kelenjar sehingga mukus menjadi lebih kental. Unt uk menghindari

efek kolinergik dapat digunakan antihistamin generasi II atau turunannya. Antibiotik

merupakan terapi medikamentosa yang penting pada rhinosinusitis disamping terapi

medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu pengetahuan tentang

kuman penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang tersedia. Berdasarkan kuman

penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin karena obat ini efektif

terhadap streptococcus pneumoniae dan haemophilus influenzae yang merupakan dua kuman

terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB. Antibiotik diberikan 10-14 hari agar dapat

dicapai hasil pengobatan yang maksimal. Meningkatnya kuman yang resisten terhadap

berbagai antibiotik menjadi perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik baru

dilakukan untuk mencari alternatif pilihan antibiotik. Pilihan antibiotik yang bisa digunakan

seperti golongan kuinolon, cefixim, cefdinir, cefprozil dan cefuroxim dengan efektifitas klinik

yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru

yang mempunyai potensi antibakterial yang tinggi seperti claritromycin, roxithromycin serta

azithromycin . Terapi medikamentosa bukanlah terapi satu-satunya pada RSK. Eliminasi

penyebab RSK seperti kelainan pada daerah KOM harus diupayakan agar tercapai hasil terapi

yang memuaskan. Disamping itu perlu evaluasi terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi

dan penyakit sistemik lainnya.

Terapi Bedah

Pada umumnya RSA tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali beberapa kasus yang

mengalami komplikasi atau tidak memberikan respon dengan terapi medikamentosa. Tindakan

bedah bisa berupa irigasi sinus, operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus

Surgery (FESS). Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi

denganterapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya fungsi silia atau obstruksi pada

ostium sinus. Hal ini mengakibatkan retensi mukopus dan produk infeksi lain di dalam antrum.

Pada kondisi ini irigasi sinus maksilaris akan membuang produk-produk infeksi. Juga dapat

dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi. Tindakan irigasi ini akan membantu ventilasi dan

oksigenasi sinus. Nasal Antrostomy dapat dilakukan pada keadaan infeksi kronis, atau adanya

oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada antrostomy memungkinkan

drainase secara gravitasi. Tindakan ini biasanya dilakukan melalui meatus inferior. Operasi

Caldwell-Luc yaitu tindakan operasi membuka dinding depan sinus maksila pada daerah fossa

canina dan membuat nasoantral window melalui meatus inferior. Dengan cara ini

memungkinkan visualisasi yang lebih baik ke dalam sinus maksila.

Laporan keamanan operasi sinus endoskopik cukup baik meskipun memang benar bahwa

ahli bedah bekerja dalam jarak millimeter dengan struktur-struktur orbita, saraf optik,

pembuluh karotid dan lainnya, serta otak. Studi pra operasi yang detail dari setiap pasien,

pemeriksaan endoskopi intranasal dan CT scan sangat penting dalam perencanaan operasi

tersebut. Sistem pencitraan yang dipandu oleh CT intraoperative memberikan tingkat

keamanan lebih tinggi dengan memungkinkan navigasi lokasi secara lebih akurat selama

prosedur. Seperti operasi-operasi lainnya, bagaimanapun itu, dibutuhkan diskusi terbuka antara

pasien dan ahli bedah untuk menentukan rasio risiko-manfaat untuk pasien itu dan untuk

mendiskusikan harapan yang realistis. Seringkali prosedur operasi hidung lainnya seperti

septoplasti (koreksi septum yang menyimpang) dan reduksi konka (mengurangi ukuran konka

yang membesar) bila dikombinasikan dengan operasi sinus akan mengoptimalkan outcome

setelah operasi.

Page 80: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

75

Faktor-Faktor Predisposisi Yang Mungkin Menyebabkan Terjadinya Eksaserbasi

Rhinosinusitis

Alergi dan disfungsi kekebalan tubuh.

Pasien dengan rhinosinusitis akut rekuren atau rhinosinusitis kronis harus dievaluasi faktor

alergi yang dapat mendasari dan defisiensi imun atau disfungsi imun. Tes kulit cungkit lebih

disukai, namun in vitro tes atau tes laboratorium dengan metode ELISA dapat dilakukan. Untuk

penyakit alergi yang berat, immunoterapi dapat memodifikasi respons imun alergen

lingkungan, yang pada akhirnya mengurangi respon inflamasi. Defisiensi humoral lebih sering

dikaitkan dengan rhinosinusitis kronis atau rhinosinusitis bakteri akut berulang: pertimbangkan

defisiensi IgA, defisiensi dari variabel umum, atau hipogamaglobulinemia. Pasien dengan

infeksi HIV juga rentan terhadap penyakit sinus kambuhan atau kronis. Gangguan autoimun,

seperti granulomatosis Wegener, mungkin berkontribusi terhadap penyakit sinus berulang dan

harus dipertimbangkan pada pasien dengan rhinosinusitis kronis. Obat tambahan seperti

metotreksat atau siklofosfamid mungkin bermanfaat dalam menangani proses penyakit ini.

Refluks asam.

Refluks esofagus-nasal telah ditunjukkan oleh adanya pepsinogen di rongga nasofaring

dan nasal. Refluks asam lambung ke dalam rongga hidung telah dianggap sebagai faktor

penyebab pada beberapa pasien rhinosinusitis kronis. Sebuah artikel ulasan baru-baru ini

menunjukkan bahwa keberadaan pepsinogen tampaknya menimbulkan refleks hidung yang

menghasilkan peningkatan produksi sekret, yang telah ditunjukkan oleh efek pemberian obat

inhibitor pompa proton yang mampu menurunkan produksi post nasal drip.

Gangguan pembersihan mukosiliar.

Pembersihan mukosiliar yang abnormal dapat berkontribusi terhadap mukosa dan kronis

rinosinusitis. Diskinesia silia primer adalah kelainan genetik resesif autosom yang langka yang

ditandai dengan struktur abnormal atau tidak ada struktur silia. Pasien yang terkena sering

datang dengan bronkitis berulang dan penyakit saluran pernapasan bawah lainnya. Pada

Sindroma Kartagener ditemukan representasi dikinesia ciliary yang ditandai oleh adanya situs

inversus, bronchiectasis, dan sinusitis kronis. Disfungsi pembersihan mukosiliar juga berperan

dalam infeksi paru dan sinus berulang pada pasien fibrosis kistik. Penyakit virus pernapasan

atas dan merokok juga dapat menyebabkan disfungsi pembersihan. Pengukuran secara kasar

waktu pembersihan mukosiliar dapat dilakukan di klinik dengan meletakkan sejumlah kecil

sakarin mukosa hidung anterior-lateral, tepat di belakang garis pemisah antara kulit dan

mukosa pernapasan. Jumlah waktu yang berlalu akan diukur hingga pasien mendeteksi rasa

manis. Dalam sebuah studi tentang non-perokok sehat, pusat 50% dari sampel mencicipi rasa

manis antara 12 dan 20 menit setelah penempatan sakarin. Nilai lebih dari 30 menit mungkin

menunjukkan pembersihan mukosiliar suboptimal. Berhenti merokok, pengobatan infeksi dan

alergi, dan saline hidung irigasi dapat meningkatkan pembersihan mukosiliari.

Page 81: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

76

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokken WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C. European position paper on rhinosinusitis

and nasal polyps 2012. Rhinol Suppl (23):3-196.

2. Elizabet K, Hodderson, Sarah K. Acute Rhinosinusitis. In : Bailey‟s Otolaryngology

Head and Neck Surgery. Ed : Johnson TJ, Rosen CA. Philadelphia. Lippincol Wilkins

& Wilkins. 2014:509-522.

3. Hanna BC, Wormald PJ. Gastroesophageal reflux and chronic rhinosinusitis. Curr Opin

Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;20:15-18.

4. Talbot AR, Herr T, Parsons DS. Mucociliary clearance and buffered hypertonic saline

solution. Laryngoscope. 1997;107:500-505.

Page 82: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

77

Page 83: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

78

PENATALAKSANAAN SINUSITIS

TIDAK

YA

TIDAK

TIDAK

Terapi tambahan :

Dekongest.oral Kortikost.oral dan

atautopikal, Mukolitik

Antihistamin (pasien atopi)

Diartemi,Proet,Irigasi sinus

YA

TIDAK

YA

YA

Faktor Predisposisi

• Deviasi septum

• Konka bulosa, Hopertrofi Adenoid (pada anak)

• Polip, Kista, JAmur, Dontogenik

TIDAK

TIDAK

ANAMNESIS

Rinore purulen > 7 hari

(sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll

RINOSKOPI ANTERIOR

Polip? Tumor?

Komplikasi sinusitis? YA Lakukan

penatalaksanaan

yang sesuai SINUSITIS AKUT / KRONIK ?

Lama gejala > 12 minggu ?

Episode serangan akut >4 x / tahun?

(consensus Internasional Sinusitis 2004)

SINUSITIS AKUT

Rinoskopi Anterior (RA)

SINUSITIS KRONIK

RA/Naso-endoskopi

Ro polos / CT Scan

Pungsi & irigasi sinus

Sinuskopi

YA

Terapi tambahan :

Dekongest.oral + topical

Mukolitik, Analgetik

Pasien Atopi :

• Antihist/Kortiko steroid topikal

Perbaikan ?

Lini II AB (7 hari)

Amoks. klav /

Ampi. sulbaktam

Cephalosporin gen. kell

Makrolid

+ terapi tambahan

Perbaikan ?

TIDAK

Ro.polos/CT scan dan /

Aso-endoskopi (NE)

Kelainan ?

Evaluasi diagnosis kembali

1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR (refluks)

2. Kultur pungsi sinus untuk resistensi kuman, beri AB sesuai kultur

Teruskan AB

mencukupi

7-14 hari

Kemungkinan

Sinusitis Akut

Berulang →Lakukan

terapi sinusitis

kronik

YA

YA

Faktor Predisposisi?

Tata laksana yang

sesuai

Terapi sesuai pada episode

akut lini II + Terapi

tambahan

TIDAK

Perbaikan ?

AB alternative 7 hari

Atau buat kultur

Perbaikan ?

TIDAK

Evaluasi kembali : NE,

Sinuskopi atau CT jika

belum

Obstruksi KOM?

TINDAKAN BEDAH : BSEF

atau Bedah Konvensional Cari alur

Diagnostik lain

YA

Teruskan AB

mencukupi

7-14 hari

YA

AB empiric (2 x 24 jam)

Lini I : Amoksil 3x500 mg

/Citrimoxasol 2x480 mg

+ terapi tambahan

Page 84: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

79

VII. DETEKSI DINI TULI KONGENITAL dr. Margi Yati Soewito, M.Kes., Sp.T.H.T.K.L

PENDAHULUAN

Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir. Untuk

mengukur ada tidaknya tuli kita menggunakan satuan decibel hearing loss (dB HL). Pada

pendengaran normal kita dapat mendeteksi suara pada 0-20 db. Tuli kongenital merupakan

ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi

kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired )

atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih

dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan

tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak

dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplifikasi). Tuli kongenital

dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor keturunan) dan non genetik.1,2

Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada

perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak

dilakukan deteksi dan intervensi secara dini. Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar

antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan

oleh Dep. Kes di 7 Provinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu sebesar 0,1 %. 2

Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk

sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan, 2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun

dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal

ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa

mendatang. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia

Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai

salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja

memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga kesehatan.2

Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan pemeriksaan fungsi

pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Proses pendengaran pada anak

sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan

embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksa diharapkan

dapat mendeteksi gangguan pada kelompok usia sedini mungkin.1

Penilitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan pendengaran membutuhkan

tindakan rehabilitasi sesegera mungkin, bahkan juga anak usia 6 bulan yang telah diidentifikasi

memiliki kelainan pendengaran. Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan untuk

memberikan rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan faktor

penguatannya sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen. Sedangkan di negara

maju penggunaan implant koklear sudah banyak diterapkan pada anak dengan kelainan

kongenital.3

Page 85: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

80

ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN

Gambar 1. Anatomi Telinga5

Anatomi pendengaran merupakan suatu rangkaian mekanik mengubah dari bentuk energi suara

menjadi energi listrik yang dihantarkan oleh saraf ke pusat pendengaran di otak. Telinga dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Organ korti memiliki

dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu baris dan sel rambut luar sebanyak

tiga baris. Sel rambut dalam merupakan reseptor murni yang mengantarkan sinyal suara

menuju saraf pendengaran dan pusat pendengaran. Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi

sensoris dan juga fungsi motorik yang berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi

frekuensi tertentu secara selektif.1,3,6

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga sehingga

menggetarkan membran tympani. Getaran diteruskan ke tulang tulang pendengaran, stapes

akhirnya menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilymph dalm skala

vestibuli. Dilanjutkan melalui membran vestibuler yang mendorong endolymph dan

membran basal ke arah bawah, perilymph dalam skala tympani akan bergerak sehingga

mendorong foramen rotundum ke arah luar. Skala media yang menjadi cembung mendesak

endolymph dan mendorong membran basal dan menggerakkan perilymph pada skala tympani.

Pada saat istirahat, ujung sel rambut berkelok kelok dan dengan berubahnya membran basal,

ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion

Page 86: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

81

kalium dan natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke nervus VIII yang diteruskan ke

lobus temporal untuk dianalisis.

Dalam koklea terdapat sistem transport ion yang unik di antara masing- masing cairan. Di

dalam skala timpani dan skala vestibule terdapat cairan perilymph dengan komposisi

menyerupai cairan ekstraseluler, dimana mengandung sedikit ion K+ dan tinggi akan ion

Na+. Sedangkan skala media berisi cairan endolimf dengan komposisi menyerupai cairan

intraseluler atau sitoplasma, dimana mengandung tinggi ion K+ dan sedikit ion Na+ dan

Ca+. Kadar konsentrasi ion-ion tersebut dipertahankan oleh adanya perputaran ion dari sel

marginal stria vaskularis dan menyebabkan timbulnya potensial listrik pada endolimf

sebesar +80mV. Adanya penurunan dari potensial listrik ini akan sangat berpengaruh pada

sensitivitas terhadap rangsang akustik.3

Walaupun belum diketahui secara pasti, diperkirakan mekanisme perputaran ion tersebut

berkaitan dengan hubungan antarsel yang difasilitasi oleh connexin junction. Berlokasi pada

membrane sel 6 connexin dengan jenis yang sama atau berbeda akan membentuk satu

connexon, dan inilah yang akan membuat pori-pori pada membran sel yang digunakan sebagai

saluran untuk pertukaran ion. Kelainan pada saluran ini akan mengganggu proses pertukan ion

antarsel dan secara keseluruhan akan menyebabkan kematian dari sel rambut dan ketulian

secara menetap.3

DERAJAT TULI

Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas :7

• 0-25 dB HL : normal

• 26-40 dB HL : tuli ringan

• 41-55 dB HL : tuli sedang

• 56-70 dB HL : tuli sedang berat

• 71-90 dB HL : tuli berat

• >90 dB HL : tuli sangat berat

Menurut American National Standart Institute, derajat tuli terbagi atas:6

• 16-25 dB HL : tuli sangat ringan

• 26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan

• 41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengar percakapan

• 71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan

• >95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang menyakitkan bagi

pendengaran manusia yang normal. 4

Selanjutnya, ketulian dapat diklasifikasikan sebagai tuli konduktif (dimana terdapat

kegagalan gelombang suara mencapai telinga dalam melalui saluran konduksi udara luar dan

tengah), tuli sensorineural (dimana terdapat abnormalitas atau kerusakan sel-sel sensoris dan

Page 87: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

82

serat saraf pada telinga dalam), dan tuli campuran (gabungan tuli konduktif dan tuli

sensorineural).4,6

EPIDEMIOLOGI

Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus

mengenai 6-8% daripopulasi di negara berkembang dan sebagian merupakan defek yang

didapatkan sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS) angka

kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.3 Kurang lebih 1,64 dari 1000 anak

lahir hidup mengalami tuli kongenital. 1,0 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral,

dan 0,64 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral.4

FAKTOR RESIKO

Faktor resiko yang dapat meningkatkan kecurigaan tuli kongenital diantaranya:4,6

• Riwayat keluarga dengan tuli kongenital

• Adanya infeksi prenatal : infeksi TORCH

• Lahir prematur dan berat badan lahir rendah

• Persalinan yang sulit dan fetal distress pada saat kelahiran

• Ikterus (menyebabkan tuli retrokoklear)

• Mengkonsumsi obat-obat ototoksik

• Adanya infeksi lainnya, seperti meningitis bakterialis

ETIOLOGI

1. GENETIK

Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki etiologi yang

berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam proses

pendengaran. Secara garis besar pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi

menjadi non-syndromic hearing loss (NSHL) dan syndromic hearing loss (SHL). Perubahan

genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal ( single gene) atau disebut

monogenic form atau merupakan kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor

lingkungan (multifactorial form). Sekitar 50% kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk

monogenik; sedangkan faktor perinatal dan infeksi selama usia bayi atau trauma bertanggung

jawab untuk sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke generasi

berikutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree.3

a. Non-syndromic hearing loss (NSHL)

Page 88: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

83

NSHL merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki kaitan

dengan kelainan fisik lainnya. NSHL mengenai sekitar 1 dalam 4000 orang. NSHL

lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural. NSHL terjadi pada 80%

tuli genetik. Kelainan genetik pada penderita NSHL memiliki 4 dasar kelainan, yaitu:3

- Autosomal resesif

Gangguan pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif pada 75% dari

seluruh tuli kongenital, dan berkaitan dengan mutasi Connexin 26, yaitu hilangnya

suatu nukleotida (guanine).

Connexin 26 merupakan protein protein yang terekspresikan pada koklea, berperan

dalam proses perputaran ion K + dalam koklea.3

- Autosomal dominan

- X-linked

- Kelainan mitokondria

b. Syndromic hearing loss (SHL)

Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan gangguan

pendengaran yang bersifat sindromik (SHL). Terdapat lebih dari 100 sindrom,

kebanyakan berhubungan dengan tuli sensorineural, diantaranya adalah:3,4

- Alport syndrome

Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang. Memiliki karakteristik

gangguan ginjal progresif dan gangguan pendengaran sensorineural. Lebih sering

mengenai laki-laki disbanding wanita. Gangguan pendengaran biasanya bersifat

bilateral dan simetris, dengan ketulian saraf progresif dan mengenai frekuensi

tinggi.3

- Pendred syndrome

Pendred syndrome memiliki gejala khas yang dikenal dengan trias gangguan

pendengaran kongenital, goiter multinodul, dan penurunan patologis

dari hasil tes perklorat. Gangguan pendengaran biasanya terjadi bilateral.3

- Waardenburg syndrome

Waardenburg syndrome mengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan

diperkirakan sebesar 2% dari seluruh masalah gangguan pendengaran kongenital di

Amerika. Kelainan klinis yang tampak adalah kelainan pada tulang temporal

termasuk atropi organ korti dan stria vaskular, dengan penurunan jumlah sel

saraf pada ganglion spiralis. Gambaran klinis dari Waadenburg syndrome adalah

kelainan lokasi dari kantus medial dan punkta lakrimalis, hyperplasia high nasal

root , gambaran albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf

unilateral atau bilateral yang bersifat ringan sampai berat.3

- Usher syndrome

Page 89: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

84

Usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000 kelahiran hidup. Kelainan

bersifat progresif yang sering ditemukan adalah kebutaan karena terjadinya retinitis

pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai berat. Kelainan histopatologi yang

ditemukan adalah adanya degenerasi epitel sensoris koklea. Tidak

ditemukan cochlear microphonic mengindikasikan adanya gangguan

pendengaran. 3

- Lainnya :

• Branchio-Oto-Renal syndrome

• X-linked Charcot Marie Tooth

• Goldenhar syndrome

• Jervell-Lange-Nielsen syndrome

• Mohr-Tranebjaerg syndrome

• Norrie disease

• Stickler syndrome

• Treacher Collins' syndrome

2. NON GENETIK

- Mondini dysplasia

Deformitas tipe mondini ini dapat kita jumpai pada sindroma CHARGE

(Coloboma, Heart desease, Choanal Atresia, Retarded development,Gonadal

aplasia, dan Ear abnormalities).

- Sindroma pelebaran aquaduktus vestibular

Sistem vestibularis terdiri atas kanalis semisirkularis yang berjalan sepanjang

utrikula dan sakula. Pada sindrom ini, diameter dari sistem tersebut meningkat (hal

ini dapat diukur pada CT dan MRI resolusi tinggi) sehingga menyebabkan tuli

sensorineural.4

- Malformasi lainnya yang dapat meningkatkan terjadinya tuli konduktif antara lain:

palatoskizis, malformasi osikular, fiksasi osikular, atresia liang telinga luar,

kolesteatoma kongenital.4

- Obat teratogenik, seperti gentamisin dan thalidomide.

- Infeksi, seperti Toxoplasmosis, Other (HIV, syphilis), Rubella, Cytomegalovirus,

Herpes (TORCH).4

GAMBARAN KLINIS

Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala berupa

keterlambatan bicara ( speech delayed) . Gagal atau tidak berkembangnya kemampuan

berbicara dan berbahasa merupakan tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran

dan perlu dievaluasi. Adapun beberapa gejala atau tanda lain pada anak yang mengalami

gangguan pendengaran antara lain :8

• Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau bayi tidak dapat

mengetahui asal dari sumber bunyi.

Page 90: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

85

• Bayi hanya melihat ketika dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan dengannya,

sedangkan dia tidak akan melihat apabila tidak berhadapan dengannya atau meskipun

dengan memanggil namanya.

• Pada bayi umur 15 bulan yang mengalami keterlambatan berbicara, tidak akan dapat

mengucapkan kata-kata mama.

• Bayi atau anak tidak selalu respon ketika dipanggil.

• Anak-anak dapat mendengar beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya tidak.

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK

Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian

yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya

akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis

sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran

pada bayi baru lahir ( Newborn Hearing Screening ) dibedakan menjadi:9

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) : dilakukan pada semua bayi baru

lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit.

2. Targeted Newborn Hearing Screening : dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai

faktor resiko terhadap ketulian.

Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun 2000 , gold

standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacustic Emissions (AOAE)

dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR). Program skrining ini telah

dijalankan pada tahun 2001 dan telah diterapkan seutuhnya di Inggris.4

• Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)

OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang

tiba di sel-sel rambut luar koklea. OAE bermanfaat untuk mengetahui apakah koklea

berfungsi normal, berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah,

otomatis, non-invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Pemeriksaan ini dapat

dilakukan untuk bayi yang baru berusia 2 hari. Selain juga untuk orang dewasa. Pada

bayi, pemeriksaan ini dapat dilakukan saat beristirahat/tidur. Tesnya tergolong singkat

dan tidak sakit, namun memberi hasil akurat. Hasilnya dapat dikategorikan menjadi

dua, yakni pass dan refer. Pass berarti tidak ada masalah, sedangkan refer artinya

ada gangguan pendengaran hingga harus dilakukan pemeriksaan berikut.10

• Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau Automated Brain Evoked

Response Audiometry (BERA)

Tes BERA dapat menggambarkan reaksi yang terjadi sepanjang jaras-

jaras pendengaran, dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan dimulai pada

saat pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang.

Pemeriksaan BERA mempunyai nilai objektifitas yang tinggi, penggunaannya

mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk pemeriksaan anak yang

tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara konvensional.10

Page 91: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

86

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah :

• Timpanometri.

Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan

terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu

menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi

aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anak-anak.

Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus

menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa

diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara

yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.10

• Auditory Brainstem Response (ABR)

Cara pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan sudah dapat

dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai screening, juga dengan

2 kategori, yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini cuma mampu mendeteksi ambang

suara hingga 40 dB. Sedangkan guna mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran

yang diderita, lazimnya dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA

( Brainstem Evoked Response Audiometry).10

• Visual Reinforced Audiometry (VRA)

Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada bayi usia 9 bulan sampai 2,5 tahun.

Pemeriksaan yang hampir sama dengan CORs ini juga berfungsi untuk mengetahui

ambang dengar anak. Tergolong pemeriksaan subjektif karena membutuhkan respons

anak. Namun pada tes ini selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang digunakan juga harus

dapat menghasilkan gambar sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan sambil bermain.10

• Play Audiometry

Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar anak ini dapat dilakukan

pada anak usia 2,5-4 tahun. Caranya dengan menggunakan audiometer yang

menghasilkan bunyi dengan frekuensi dan intensitas berbeda. Bila anak mendengar

bunyi itu berarti sebagai pertanda anak mulai bermain misalnya harus memasukkan

benda ke kotak di hadapannya. 10

• Conventional Audiometry

Pemeriksaan ini dapat dilakukan anak usia 4 tahun sampai remaja. Fungsinya untuk

mengetahui ambang dengar anak. Caranya dengan menggunakan alat audiometer yang

mampu mengeluarkan beragam suara, masing-masing dengan intensitas dan frekuensi

yang berbeda-beda. Tugas si anak adalah menekan tombol atau mengangkat tangan bila

mendengar suara. 10

TERAPI

Memberikan pengetahuan dan dukungan terhadap orang tua

• Alat bantu dengar:

- Alat bantu dengar eksternal

Page 92: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

87

Alat ini akan meningkatkan volume suara yang mendekati telinga. Alat ini diletakkan

di belakang telinga atau di dalamnya. Alat bantu dengar yang diletakkan tepat di

dalam meatus akutikus eksternus diperuntukkan bagi pasien dengan tuli derajat

ringan dan sedang. 4

- Alat bantu dengar digital vs analog

Alat bantu dengar digital sering dapat memperbaiki kualitas dari suara. Alat yang

tersedia untuk NHL selalu memiliki komponen digital di dalamnya. 4

- Alat bantu dengar implant

o Implant koklear

Ini merupakan alat yang ditanam secara operasi dirancang untuk merubah suara

menjadi sinyal listrik. Pada gangguan pendengaran sensorineural dapat

dilakukan implantasi koklea untuk memperbaiki pendengaran sehingga akan

meningkatkan kemampuan berkomunikasi pasien tuli saraf berat atau total.

Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat yang

tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini

dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:4,13

1. Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar.

2. Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah

suara yang tertangkap oleh mikrofon.

3. Sebuah transmiter dan stimulator /penerima yang berfungsi menerima

sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang

listrik.

4. Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan

mengirimnya ke otak.

Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran

yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada

penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan

koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi

memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian

telinga dalam yang mengalami kerusakan.13

Cara kerja Implan Koklea adalah sebagai berikut : impuls suara ditangkap oleh

mikrofon, diteruskan ke speech processsor yang menyeleksi informasi suara

yang sesuai menjadi kode suara yang disampaikan ke transmitter. Kode suara

dipancarkan melalui kabel dan menembus kulit menuju receiver atau stimulator

yang berubah menjadi sinyal listrik dan diteruskan menuju elektroda- elektroda

yang sesuai di dalam koklea yang merangsang serabut- serabut saraf. Saraf

pendengaran ini meneruskan ke otak dan menerjemahkan informasi ini sebagai

suara. Pada speech processsor terdapat sirkuit listrik khusus yang berfungsi

meredam bising lingkungan.13

o Bone anchored hearing aid (BAHA)

Operasi jenis ini diperuntukkan untuk pasien dengan tulikonduktif atau tuli

campuran. Keuntungan dengan penggunaan alat ini adalah kualitas suara yang

lebih bagus dan juga memperbaiki penampilan, namun seperti halnya dengan

Page 93: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

88

operesi implant koklear, terkadang bisa saja terjadi hasil yang diluar harapan

pasien. Juga terdapat resiko adanya reaksi jaringan dan hilangnya jaringan-

jaringan dari posisinya semula di tulang tengkorak.4

KESIMPULAN

Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir dan

merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara,

sosial, kognitif dan akademik. Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin.

Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada

anak. Untuk terapi tuli kongenital, pemberian amplifikasi dapat dipertimbangkan untuk

memberikan rangsang stimulus pendengaran ataupun dapat dilakukan implantasi koklea.

Page 94: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

89

DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam : Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta

: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 32-36.

2. Wibisono. Tuli Kongenital. Http://vibizlife.com. [diakses tanggal 27 Juli 2019]

3. Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal

Otolaringology Vol.36 No.3, Juli-September 2006

4. Scott Olivia. Congenital Deafness. Http://www.patient.co.uk. [diakses tanggal 27 juli

2019]

5. Ghorayeb BY. Anatomy of The Ear. Http://www.ghorayeb.com. [diakses tanggal 27

Juli 2019

6. Shah RK, Lotke M. Hearing Impairment. Http://emedicine.medscape.com. [diakses

27 juli 20019]

7. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta :

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 10-22.

8. University of Virginia. Hearing loss in Babies.

Http://www.healthysystem.virginia.com. [diakses 20 Juli 2019]

9. Suwerto R. Keterlambatan Bicara dan Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak.

Komite

10. Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian.

Http://www.ketulian.com. [diakses tanggal 22Junii 2019]

11. Asbudi. Deteksi Pendengaran. Http://www.speech-therapy.co.cc. [diakses tanggal 25

Julii 2019].

12. Mikolai TK, et al. A Guide to Tympanometry for Hearing Screening. Maico

Diagnostic, 2006.

13. Paulose. Hearing aid. Http://drpaulose.wordpress.com. [diakses tanggal 22Juni 2019].

14. O’Reilly C. Cochlear implant. Http://kidshealth.org. [diakses tanggal 22 Februari

2019]

15. University of California. Bone Anchored Hearing Device. Http://www.ent.uci.edu.

[diakses tanggal 25 Juli 201

Page 95: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

90

VIII. DETEKSI DINI KEGANASAN KEPALA LEHER Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.T.H.T.K.L (K)., M.Kes., FICS

Hari Kanker Kepala Leher Sedunia jatuh setiap tanggal 27 Juli. Hari ini diperingati agar

dapat digaungkan mengenai kesadaran

Gejala secara dini dan berobat dalam stadium dini sehingga angka harapan hidupnya

semakin bagus.

Tumor merupakan pertumbuhan massa abnormal pada jaringan yang berlebihan dan tidak

terkoordinasi. Berdasarkan penilaian klinisnya, tumor dapat diklasifikasikan menjadi dua

kelompok besar, yaitu tumor jinak dan ganas. Tumor dapat dinilai jinak apabila tampilan

mikroskopis dan makroskopis menunjukkan bahwa tumor tersebut terlokalisasi dan tidak

menyebar ke jaringan lain. Sedangkan tumor dapat dinilai ganas apabila tumor tersebut

menyerang serta menghancurkan struktur jaringan, kemudian menyebar ke jaringan lain, atau

biasa disebut dengan karsinoma. Karsinoma terjadi karena adanya mutasi pada sel dalam tubuh

yang berproses tahunan, satu sel yang tidak dikenali oleh sel imunologi tubuh akan terus

berkembang.1

Karsinoma kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran

aerodigestive atas, meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan laring, sinus

paranasal, dan kelenjar liur. Karsinoma pada lokasi berbeda memiliki jenis histopatologi

berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling sering ditemukan (> 90%).2

Sayangnya di Indonesia berbagai keterbatasan menyebabkan penanganan karsinoma

kepala-leher yang optimal tidak tercapai. Tidak meratanya akses informasi bagi semua

kalangan masyarakat mengenai tanda dan gejala dini karsinoma menyebabkan pasien-pasien

seringkali mendapatkan informasi yang salah. Sehingga terlambat untuk mendapatkan

pengobatan yang tepat. Tingkat pengenalan masyarakat mengenai gaya hidup sehat juga masih

harus diupayakan.

Karsinoma kepala leher merupakan jenis karsinoma terbanyak ketiga di Indonesia

setelah karsinoma payudara dan karsinoma serviks berdasarkan data registrasi karsinoma

berbasis hepatologi 2011. Jumlah orang dengan karsinoma kepala leher ada banyak namun

biasanya diketahui ketika sudah di stadium lanjut hingga tingkat kematian tinggi. Sehingga

pengobatan yang dilakukan makin kompleks dan biaya dikeluarkan pun makin banyak.

Jika karsinoma kepala leher ditemukan dalam stadium dini angka keberhasilan terapi bisa

mencapai 80 persen.

Insidensi umum karsinoma kepala leher menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada

tahun 2012 adalah sekitar 10% per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian

sebanyak 7% per 100.000 penduduk per tahun.2

WHO memperkirakan angka kematian karsinoma rongga mulut dan orofaring di seluruh

dunia pada tahun 2008 sekitar 371.000 dan akan meningkat menjadi 595.000 pada tahun 2030.2

Selama 30 tahun terakhir, tingkat kelangsungan hidup penderita karsinoma sel skuamosa

kepala dan leher relatif tetap. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk semua stadium,

berdasarkan Surveillance Epidemiologi dan Data Hasil Akhir sekitar 60%. Dua pertiga pasien

mengalami penyakit lokal lanjut, dengan tingkat ketahanan hidup 5 tahun <50%, dengan

Page 96: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

91

kualitas perawatan yang buruk.2

Insidensi karsinoma kepala leher di Indonesia pada tahun 2012 adalah 15% per 100.000 ribu

penduduk per tahun (pada pria) dengan angka kematian sebanyak 13% per 100.000 ribu

penduduk per tahun (pada pria).2

Prevalensi karsinoma kepala leher di RSHS pada tahun 2008-2012 secara berurutan adalah

karsinoma nasofaring (KNF) sebanyak 38,2%, sinonasal 17,3%, laring 13%, limfoma 9,3%,

orofaring 6,3%, tiroid 6,2%, rongga mulut 3,9%, hipofaring 2,2%, kelenjar liur 2,2%, dan leher

1%. Kebanyakan penderita datang dengan stadium lanjut yaitu stadium IV sebanyak 54,7%,

stadium III 24,4%, stadium II 13,5%, dan stadium I 7,4%. Sangat disayangkan yang banyak

terjadi adalah pasien yang berobat sudah dalam stadium yang lanjut.1

Saat ini usia muda sudah banyak yang terkena karsinoma yang disebabkan oleh gaya hidup

yang tidak sehat seperti merokok, minuman beralkohol, seringnya mengkonsumsi ikan asin

atau makanan yang diasapkan, polusi udara atau paparan radiasi, dan infeksi Virus Epstein Barr

(VEB), Human Papilloma Virus (HPV), serta faktor genetika. Mereka yang mempunyai

riwayat karsinoma di keluarga harus mempunyai kewaspadaan lebih tinggi dan lebih waspada

terhadap gejala dini karsinoma. Pengobatan pada karsinoma kepala leher adalah pembedahan,

kemoterapi, dan radioterapi atau kombinasi.

Pada karsinoma stadium dini, angka keberhasilan pengobatan lebih tinggi dan kualitas hidup

lebih baik.

Untuk mencegah terjadi karsinoma adalah dengan menerapkan pola hidup sehat dengan cara

CERDIK. C = Cek kesehatan secara rutin, E = Enyahkan asap rokok, R = Rajin aktifitas fisik,

D = Diet seimbang, I = Istirahat cukup, dan K = kelola stress. Sosialisasi dan edukasi kepada

pasien dan keluarga harus dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap kanker.

Pencegahan bisa dilakukan dengan primer dan sekunder. Pencegahan primer yakni dengan

menghindari rokok dan alkohol, rajin aktivitas fisik, diet seimbang, istirahat cukup, kelola stres.

Berbagai masalah dalam mengobati kanker kepala leher adalah:

1. Gejala awal yang sulit dikenali

2. Menyerupai infeksi saluran nafas atas

3. Pengobatan yang tertunda baik dari dokter maupun pasien

4. Jarak pengobatan yang jauh dari rumah

5. Pengobatan alternatif

6. Jarang datang untuk control

7. Asuransi

Faktor risiko untuk karsinoma kepala leher adalah:

1. Genetik

2. Virus Epstein Barr (VEB) / Papiloma Virus (HPV)

3. Gaya hidup: rokok dan alkohol, makanan, RAS, herbal

4. Kebersihan mulut

Diagnosis karsinoma kepala leher adalah dengan melakukan:

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik

3. Biopsi

4. Pemeriksaan penunjang

a. Endoskopi

b. Imaging

Page 97: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

92

Terapi utama untuk karsinoma kepala leher adalah dengan melakukan pembedahan,

radioterapi, kemoterapi ataupun kombinasi.

Gambar 1. Anatomi Kepala Leher

Karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring tersembunyi dan sulit terlihat karena muncul di belakang hidung atau

atas mulut, hingga timbul gejala barulah diketahui ada karsinoma bersarang. Meski demikian,

gejala awal yang bisa dikenali adalah ada rasa penuh di telinga karena tumor menutup muara

tuba. Telinga juga akan terasa sakit dan berdenging. Kemudian hidung terasa tersumbat, keluar

lendir yang bercampur dengan darah. Bukan mimisan tapi ketika lendir keluar ada garis-garis

merah.3

Hidung juga akan mengalami gangguan penciuman. Kemudian karsinoma yang sudah lanjut

akan mengenai otak sehingga akan menimbulkan sakit kepala hebat dan sulit menelan. Jika

mengenai saraf penglihatan, bisa menyebabkan mata juling atau kelopak mata tertutup.3

Gambar 2. Karsinoma Nasofaring

Terdapat jenis lain dari tumor nasofaring yaitu angiofibroma nasofaring belia yang

merupakan tumor jinak tetapi mempunyai sifat seperti tumor ganas. Tumor ini banyak

menyerang remaja laki-laki dan mempunyai gejala epistaksis yang progresif, hidung tersumbat.

Pada pemeriksaan fisik akan terlihat massa yang kebiruan dan mudah berdarah.4

Page 98: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

93

Gambar 3. Angiofibroma Nasofaring Belia

Karsinoma sinonasal

Gejala dini karsinoma ini adalah hidung tersumbat pada satu sisi. Keluar mimisan atau

darah dari rongga hidung. Karena tumor menyumbat, maka ingus akan berbau dan membuat

pipi bengkak.

Kemudian, sakit kepala juga akan timbul jika massa tumor menekan ke atas. Jika menekan

ke bawah, akan membuat gigi goyah dan langit-langit mulut banyak tumor.5

Gambar 4. Karsinoma Sinonasal

Karsinoma pita suara atau laring

Gejala karsinoma laring adalah pasien mengalami suara serak yang tak kunjung reda hingga

lebih dari dua minggu. Meski sudah diberi obat serak tapi tidak juga hilang.

Harus dibedakan pula serak karena vocal abuse, yang biasanya dialami orang dengan

pekerjaan yang banyak menggunakan suara seperti penyanyi atau pengajar. Jika tumor sudah

memenuhi hampir seluruh rongga pita suara, bisa menyebabkan sesak napas.5

Gambar 5. Karsinoma Laring

Page 99: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

94

Karsinoma rongga mulut atau lidah

Gejalanya sakit karena adanya benjolan. Biasanya akan dilihat apakah ada gigi yang

menimbulkan gesekan sehingga menimbulkan luka. Selain itu, terlihat juga sariawan yang

tidak sembuh selama lebih dari dua minggu.5

Ada rasa nyeri yang menjalar hingga ke telinga karena saraf dari rongga mulut paling sering

adalah ke telinga. Terdapat pula luka gaung yang sering berdarah meski tidak banyak, tidak

mau makan, dan berat badan turun.5

Gambar 6. Karsinoma Rongga Mulut

Karsinoma orofaring

Sering muncul pada amandel atau tonsil, dan gejala yang paling sering dikeluhkan adalah

rasa mengganjal di mulut, lesi atau luka, sakit di bawah lidah, dan menyebabkan berbicara

bergumam. Selain itu, terasa juga nyeri.5

Gambar 7. Karsinoma Orofaring

Karsinoma tiroid

Seringkali muncul benjolan di leher depan atau samping kanan atau kiri. Untuk mengenali

benjolan itu tiroid atau bukan, coba perhatikan benjolan ketika menelan. Jika benjolan ikut

bergerak, artinya itu tiroid. Biasanya benjolan ini tidak terlihat, kecuali jika sudah membesar.

Ada rasa menekan dan mengganjal sehingga membuat sesak dan jika muncul di bagian

belakang, akan membuat susah proses menelan.6

Page 100: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

95

Gambar 8. Karsinoma Tiroid

Karsinoma parotis atau kelanjar air liur

Benjolan biasanya akan muncul di belakang telinga. Nyeri bisa muncul tergantung dari

perluasan penekanan pada jaringan sekitar. Semakin besar, maka semakin terasa nyeri. Tumor

juga timbul di dekat saraf wajah, yang jika membesar bisa menekan saraf wajah sehingga

membuat mencong dan mata tidak bisa menutup.5

Gambar 9. Karsinoma Parotis

Karsinoma telinga

Dari luar seringkali tidak terlihat, namun di dalam liang telinga mungkin saja sudah ada

massa tumor. Gejala awalnya adalah pendengaran yang mulai menurun, ada cairan berbau

darah, benjolan di dalam telinga, karena letaknya dekat dengan dasar otak, maka bisa

menimbulkan sakit kepala hebat.5

Gambar 10. Karsinoma Telinga

Page 101: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

96

Kesimpulan

1. Gejala dini penting untuk diketahui

2. Stadium dini mempunyai prognosis yang lebih baik

3. Diperlukan diagnosis sedini mungkin

4. Penundaan terapi menyebabkan hasil yang tidak maksimal

Saran

Hidup sehat: kendali stress, olahraga teratur, hindari makanan yang tidak sehat dan

berpengawet

Diperlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengenai karsinoma kepala leher

untuk dokter umum dan tenaga kesehatan.

Daftar Pustaka

1. Rakhmawulan IA, Dewi YA, Nasution N. Profile of Head and Neck Cancer Patients at

Departement ORL-HNS Hasan Sadikin General Hospital Bandung. AMJ. 2015;2(4):474-9.

2. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et al.

Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at

presentation. Chinese journal of cancer. 2012;31(4):185-96.

3. Thompson LD. Update on nasopharyngeal carcinoma. Head and neck pathology.

2007;1(1):81-6.

4. Siba PD, Bernhard S. Juvenile Angiofibroma. Switzerland. Springer. 2017. p:43-52.

5. Shah J. Head and Neck Surgery and Oncology. 4th Edition. Philadelphia. Elsevier. 2012.

6. David JT, William SD. Thyroid and Parathyroid Disease. 2nd Edition. New York. Thieme.

2016. p:77-86.

Page 102: West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgeryperhati-kljabar.org/.../03/Prosiding-Waldeyer-Ring.pdf · West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update on Daily

7.