100
LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 KONJUNGSISEBAGAISARANA KOHESI DALAM WACANA BAHASA BATAK By: Revida Engelbertha* Abstract This study aims at: (I) Identifying and Analyzing the onjunction as an Instrument of Cohesion Discourse in the Toba Batak Bible Language. (2) Describing the characteristic of conjunction as well that found in the Toba Batak Bible Language. The data, which are sentences containing conjunction and indicating cohesion have been obtained from all discourses found in the Gospel of Matthew, Mark, Luke and John in the Toba Batak Bible. The method used m this research is the qualitative method. The study results show that the conjunctor may consist of one, two or more words. Conjunctors can be combined with other kinds of word and with other conjunctors. Every conjunctor has been described according to its characteristics. The Batak Toba samples have been traslated to Indonesian. But not all worls could be translated into Indonesian because they would have lost the Biblical meaning. It can be concluded this study has given an interesting illustration about cohesion, for nearly every verse of the Gospel has been connected by a conjunction. Keywords: Konjungsi, kohesi. Latar Belakang Pemikiran Bahasa dipergunakan untuk melaksanakan banyak fiingsi komunikasL Fungsi bahasa yang paling penting yakni penyampaian infonnasi. Jadi, informasi dapat disampaikan secara efektif dengan mempergunakan bahasa lebih jelas sehingga dapat diterima dengan baik dan benar oleh pendengar. Salah satu bentuk penggunaan bahasa dalam komunikasi yang berfokus pada penyampaian informasi yakni bahasa yang dipergunakan dalam Alkitab. Seperti yang telah diketahui, Alkitab berisi

portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

KONJUNGSISEBAGAISARANA KOHESI DALAM WACANA BAHASA BATAK

By: Revida Engelbertha*

Abstract

This study aims at: (I) Identifying and Analyzing the onjunction as an Instrument of Cohesion Discourse in the Toba Batak Bible Language. (2) Describing the characteristic of conjunction as well that found in the Toba Batak Bible Language. The data, which are sentences containing conjunction and indicating cohesion have been obtained from all discourses found in the Gospel of Matthew, Mark, Luke and John in the Toba Batak Bible. The method used m this research is the qualitative method. The study results show that the conjunctor may consist of one, two or more words. Conjunctors can be combined with other kinds of word and with other conjunctors. Every conjunctor has been described according to its characteristics. The Batak Toba samples have been traslated to Indonesian. But not all worls could be translated into Indonesian because they would have lost the Biblical meaning. It can be concluded this study has given an interesting illustration about cohesion, for nearly every verse of the Gospel has been connected by a conjunction.

Keywords: Konjungsi, kohesi.

Latar Belakang Pemikiran

Bahasa dipergunakan untuk melaksanakan banyak fiingsi komunikasL Fungsi bahasa yang paling

penting yakni penyampaian infonnasi. Jadi, informasi dapat disampaikan secara efektif dengan

mempergunakan bahasa lebih jelas sehingga dapat diterima dengan baik dan benar oleh pendengar.

Salah satu bentuk penggunaan bahasa dalam komunikasi yang berfokus pada penyampaian

informasi yakni bahasa yang dipergunakan dalam Alkitab. Seperti yang telah diketahui, Alkitab berisi

informasi yang mengandung kebenaran dan telah disajikan dalam beberapa bahasa.

Dapat diasumsikan bahwa penutur bahasa Batak Toba yang terbanyak dibandingkan dengan

penutur bahasa-bahasa Batak yang lain. Ini merupakan salah satu alasan pemilihan bahasa batak Toba

untuk penelitian ini. Di samping itu, penulis sebagai penutur asli bahasa Batak Toba.

Alkitab bahasanya hams tepat karena isinya adalah finnan. Hal ini merupakan modal

untuk mempersingkat waktu dalam menyelesaikan penelitian ini.

Dari segi kohesi, penelitian ini dibatasi hanya pada konjungsi. Dalam penelusuran secant

singkat, terlihat bahwa beberapa jenis konjungtor sangat mencolok karena muncul hampir

Page 2: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

dalam setiap ayat dari Injil-Injil itu. Misalnya alai 'tetapi' dan dung i 'sesudah itu'. Pembatasan

ini juga didasarkan atas ketetbatasan waktu. Namun, pembatasan ini tidak meminimalkan

hasil penelitian, tetapi telah memberikan basil yang cukup membanggakaiL

Perumusan Masalah

1. Konjungsi apa sebagai sarana kohesi yang terdapat dalam wacana bahasa Batak Toba.

2. Apa ciri-ciri konjungsi yang ada dalam wacana bahasa Batak Toba.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengjdentifikasi dan menganalisis konjungsi sebagai sarana kohesi dalam wacana

bahasa Batak Toba.

2. Untuk mendeskripsikan ciri-ciri konjungsi yang terdapat dalam wacana bahasa Batak

Toba.

3.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menemukan perangkat-

perangkat kohesi dan kategorisasi temuan linguistik dan untuk pemahaman yang

mendalam tentang kohesi secant khusus dan analisis wacana secant umum sebagai

salah satu bidang dalam linguistik terapan.

2. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi oleh peneliti

selanjutnya khususnya untuk sarana kohesi.

Metodologj Penelitian

1. Metode Penelitian

Page 3: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitarif dengan menggunakan pendekatan

analisis wacana. Bogdan dan Taylor dalam Moleong, (1990) menyatakan bahwa penelitian kualitatif

sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati.

2. Sumber Data

Data diambil dari Alkitab terjemahan dalam bahasa Batak Toba, yakni dari keempat Injil. Data

berupa kalimat-kalimat yang mengandung konjungsi yang menunjukkan kohesi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan diperoleh dari kitab Injil dalam Alkitab berbahasa Batak Toba. Data

dikumpulkan dengan cara mencari sarana-sarana kohesi dalam teks-teks yang ada pada Alkitab

kemudian mendeskripsikannya.

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan

metode baca cennat dan diteruskan dengan teknik lanjutan catat Teknik baca cemiat-cata! digunakan

untuk menemukan data yang terdapat dalam teks-teks di Alkitab kemudian memindahkannya

kedalam kartu data, lalu diklasifikasikan dan dfoeri ciri agar dapat dimanfaatkan untuk memecahkan

masalah penelitian tersebut. Secara rinci kegiatan yang dilakukan sebagai berikut:

1. Membaca dengan cennat kalimat yang mengandung kata-kata kohesif.

2. Mencatat kalimat-kalimat tersebut ke kartu data

3. Mengklasifikasikan kalimat-kalimat tersebut

4. Memberi ciri-ciri setiap konjungsi pada kartu data sesuai distribusi, makna, dan fimgsinya.

4. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang ada.

Penelitian ini menggunakan dokumen sebagai sumber data yang dalam hal ini sebagai sumber datanya

diambil dari keempat kitab Injil. Dokumen digunakan untuk keperiuan penelitian, karena alasan-alasan

yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara rinci analisis data dilakukan sebagai berikut:

Page 4: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

1. Mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan jenis-jenis kohesi dari teks yang ada.

2. Mendeskripsikan hasil analisis.

3. Menyimpulkan hasil analisis dari ciri-cirinya yang terdapat pada teks-teks tersebut.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian

Berdasaikan hasil penelitian tentang sarana kohesi dalam wacana bahasa Batak Toba,

khususnya konjungsi, telah ditemukan sejumlah konjungtor, baik yang terdiri dari satu kata maupun

dua kata atau lebih. Ada konjungtor yang bergabung dengan jenis kata yang lain, dan ada yang terdiri dari

beberapa konjungtor. Sarana kohesi tersebut adalah sebagai berikut, disusim menurut abjad.

agia 'sungguhpun, bahkan, apapun, pun

beha 'bagaimana'

dohot 'dan, dengan, serta'

gabe 'jadi. tetapi (untuk berlawanan)

ham 'bahkan, sedangkan, malahan'

ia 'kalau, jika, bilamana'

jadi 'dan, sehingga, maka'

laos 'danseterusnya,demikianpun,serta,lantas,masibjuga

manang 'atau, apa, entah

na 'yang, bahwa'

pe 'pun, juga, bahkan'

sai 'semoga, kiranya

tung 'bagaimana pun, rupanya, kiranya'

Deuiikianlah konjungtor-konjungtor dalam wacana baliasa Batak Toba. Konjungtor-konjungtor

itu akan dibahas pada bagian berikut dan akan disertai dengan contoh-contoh yang diambil dari Kitab

Injil.

2. Pembahasan

Dalam pembahasan mi, setiap konjungtor akan dideskripsikan sesuai ciri-cirinya, lalu

Page 5: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

diikuti beberapa contoh dari wacana Injil dalam bahasa Batak Toba. Contoh-contohnya

diterjemahkan dengan mengutip terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia. Adakalanya

konjungtor dalam bahasa Batak Toba tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi

tetap akan mengambil terjemahan resmi untuk menghindari salah tafsir tentang isi Alkitab.

Konjungtor agia termasuk konjungtor yang fiekuensi pemakaiannya sangat rendah.

Konjungtor itu juga tidak pernah bergabung dengan konjungtor yang lain. Contohnya sebagai

berikut.

"Gabe ro ma hata ni si Simon Petrus tu nasida: Laho ma ahu mardengke. Jadi didok

nasida ma tu ibana: Dohot ma hami! Laos borhat ma nasida, bongot ma tu parau;

alai ndang dapot nasida agia aha di na sabomgin i.(Yoh 21:3)

'Kata Simon Petrus kepada mereka: "Aku pergi menangkap ikan." Kata mereka

kepadanya:Kami pergi juga dengan engkau." Mereka berangkat Ialu naik ke perahu, tetapi

malam itu mereka tidak menangkap apa-apa." (Yohanes 21:3)

Konjungtor ai dapat dipakai di awal kalimat seperti dalam contoh ini,

Ai habalgaon do dibahen Pargogo i tu ahu. Na badia do Goarna i. (Luk 1: 49)

Karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan

naina-

Nya adalah kudus. (Luk 1:49)

Dalam keempat Injil ini konjungtor anggiat tidak terialu sering dipergunakan. Dia dapat beidiri

sendiri dan dapat pula bergabung dengan konjungtor lain.

Dung i ruar ma saluhut pangisi ni huta i mendapotkon Yesus; jadi dung diida,

dipangido ma tu Ibana, anggiat ditadingkon luatnasida. (Mat 8:34)

Maka keluarlah seluruh kota mendapatkan Yesus dan setelah mereka berjumpa dengan

Dia, merekapun mendesak, supaya la meninggalkan daerah mereka. (Mat 8:34)

Anggo adalah konjungtor yang banyak dipergunakan dalam keempat Injil ini. la dapat

berdiri sendiri dan dapat digabung dengan konjungtor Iain.

Si tutu do na hudok on tu ho; Na so tupa do ruarsian i, anggo so sahatgarar mi sude ro

di na saduit! (Mat 5:26)

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana sebelum

engkau membayar hutangmu sampai lunas. (Mat 5:26)

Setelah membahas konjungtor - konjungtor yang telah mangambil contoh-contoh dari

Injil

Page 6: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, maka penulis menemukan bahwa konjungtor

dung yang paling tinggi frekuensi pemakaiannya.

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Penelitian tentang konjungsi sebagai sarana kohesi dalam wacana bahasa Batak

Toba memberikan suatu gambaran yang menarik tentang kohesi, di mana setiap ayat

dalam Kitab Injil dipautkan oleh konjungtor. Jumlali konjungtor yang ditemukan 35,

ditambah dengan gabungannya ada 131. Okurensinya ada 5961.

Setiap konjungtor memiliki ciri sesuai distribusi, makna, dan fimgsinya. Dari

segi distribusi, misalnya konjungtor alai menempati posisi awal kalimat atau di tengah

kalimat. Konjungtor itu tidak pernah menempati posisi akhir kalimat. Maknanya

menyatakan pertentangan dan fungsinya menjadi penghubung antarklausa atau

antarkalimat. Ada yang frekwensi pemakaiannya sangat tinggi seperti dung, sedangkan

ada yang sangat rendah seperti agia.

2. Saran

Sarana kohesi yang lain, seperti pengacuan (referensi), penggantian (substitusi)

dan pelesapan (elipsis) belum dapat diteliti dalam kesempatan ini karena keterbatasan

waktu, dan konjungsi sudah cukup banyak. Sarana kohesi yang lain disarankan untuk

penelitian lanjutan.

Daftar Pustaka

Alwi Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moebono. 1993 Tata

Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Baiyadi, I. 1988 Salam Pembukaan Komunikasi Dalam Wacana Langsung. Makala

untuk konferensi dan seminar ke-5. Masyarakat Linguistik di Ujungpandang.

Chaer, A. 1995. Linguistik Umum: Rineka Cipta. Jakarta.

Page 7: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Collins 1987. Cobuild English Language Dictionary: London.

Halliday, M. A. K. and R. Hasan. 1976. Cohesion in English: Longman Group Ltd: London

and New York.

Kridalaksana, H. 1982. Kamus Linguistik. P.T. Gramedia, Jakarta.

Moleong, L. 1990. Meiodologi PeneJiiian Kualitatif: PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Nunan, D. 1992. Mengembangkan Pemahaman Wacana: Teori dan Praktek: PT. Rebia

Indah

Prakasa: Jakarta. Wameck, J. 2001. Kamus Batak Toba

Indonesia. Bina Media: Medan

Page 8: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Kesepadanan Makna dalam Penerjemahan Modalitas Bahasa Inggris ke dalam Bahasa

Susiyati

English Department

Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Pertiwi Jakarta

Abstract

The aim of this paper is to analyze the differences in meaning of modality in English (source language) expressed by modal words and its translation in Indonesian (target language).This paper applies a qualitative method. The samples taken are English sentences containing modality; specifically modal verbs: can, could, may, might, shall, should, ought to, must, will, would, and their translation in Indonesian. The results of the analysis are: first, 73,38% of modality in English translated into Indonesian has equivalent meaning; 4,83% of modality has natural meaning, 8,87% of modality translated into words which do not belong to Indonesian modality has natural meaning, 7,25% of modality translated into Indonesian modality has no equivalent meaning, 5,65% of modality translated into Indonesian neither has equivalent meaning nor belongs to Indonesian modality.

Keywords: Modalitas, makna sepadan, makna alami, bahasa sumber, bahasa sasaran

1. Latar Belakang

Penerjemahan adalah kegiatan yang rumit karena keanekaragaman bentuk dan makna

sehingga penerjemah mengalami banyak kesulitan dalam mencari padanannya di dalam

bahasa sasaran. Salah satu kesulitan yang menimbulkan masalah dalam penerjemahan adalah

penerjemahan modalitas. Kata kerja modal mempunyai banyak kerumitan karena setiap kata

kerja modal mempunyai pengertian yang beragam yang ditentukan oleh konteks kalimatnya.

Kata kerja modal telah mengalami perubahan karena setiap penutur bahasa menggunakan

kata kerja modal dengan makna yang berbeda-beda sesuai dengan kesukaanya (Kreidler,

1998:240).

Page 9: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Karena luasnya ruang lingkup modalitas, maka kajian ini hanya membahas kata kerja

modal primer yang terdiri atas: can, may, must, will, shall serta kata kerja modal sekunder

yang terdiri atas: could, might, ought to, would, dan should (Perkins, 1983:29).

2. Kajian Teori dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Modalitas Bahasa Inggris

Untuk memperjelas perbedaan makna antara suatu kata kerja modal dengan kata

kerja modal yang lain, Quirk (1985:221) mengklasifikasikan kata kerja modal sebagai

berikut:

a) Can/Could. Maknanya ada tiga yaitu:

1) ‘Kemungkinan’ (possibility). Contoh:

- If it is raining tomorrow, the sport can take place indoors.

- Her performance was the best that could be hoped for.

2) ‘Kemampuan’ (ability). Contoh:

- I can’t help staying here.

3) ‘Izin’ (permission). Contoh:

- You can borrow my bike.

b) May/might. Maknanya ada tiga yaitu:

1) ‘Kemungkinan’ (possibility). Contoh:

- You may pass the test if you study hard.

- It might be raining.

2) ‘Izin’ (permission). Contoh:

- May I borrow your pen?

3) ‘Harapan’ (wish). Contoh:

- May God bless you.

c) Must. Maknanya adalah:

1) ‘Kepastian’ (logical necessity). Contoh:

- You must be feeling tired.

2) ‘Keharusan’ (obligation). Contoh:

- You must be back by ten o’clock.

Page 10: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

3) ‘Larangan’ (prohibition).

Makna ini selalu diungkapkan dalam bentuk negasi, contohnya:

- You must not tell anyone my secret

d) Ought to dan should. Kedua kata kerja modal ini mempunyai makna sebagai berikut:

1) ‘Kepastian’ (tentative inference). Contoh:

- The job should be finished by next Monday.

- Your homework ought to be submitted tomorrow.

2) ‘Keharusan’ (obligation). Contoh:

- You should have met her at the station.

e) Will dan would. Maknanya adalah:

1) ‘Keteramalan’ (prediction). Contoh:

- If I were a bird, I would fly around the world.

- Oil will float on water.

2) ‘Keakanan’ (futurity). Contoh:

- You will feel better when you take this medicine.

3) ‘Kepastian’ (logical necessity). Contoh:

- She will have had her dinner by now.

4) ‘Kemauan’ (volition). Contoh:

Makna ini biasa digunakan untuk ‘permintaan’ (request), ‘penawaran’ (offers),

‘maksud’ (intention), ‘desakan’ (insistence). Would dipakai untuk tuturan yang

sangat sopan. Contoh:

- Will/would you help me to close the door? (request)

- I’ll do it if you like. (offer)

- I’ll write as soon as I can. (intention)

- She would keep interrupting me. (insistence)

f. Shall. Makna kata kerja modal ini sama dengan will, namun shall jarang sekali digunakan

dalam penggunaan bahasa Inggris dewasa ini.

1) ‘Keteramalan’ (prediction). Contoh:

- According to the polls, Obama shall win the election.

2) ‘Kemauan’ (volition). Makna ini digunakan untuk menawarkan sesuatu pada lawan

bicara. Contoh:

Page 11: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

- Shall I deliver the goods to your home address?

2.2 Modalitas Bahasa Indonesia

Dengan memperhatikan unsur leksikal yang merupakan pengungkap modalitas serta

makna yang dikandungnya, pengungkap modalitas Indonesia digolongkan menjadi empat

jenis modalitas, yaitu:

a) Modalitas Intensional.

Modalitas ini dibagi empat kelompok berdasarkan makna leksikal dari pengungkap

modalitasnya, yaitu:

1). ‘Keinginan’. Pengungkap modalitas ‘keinginan’ dibagi menjadi empat berdasarkan

kadarnya (Hassan Alwi, 1992:56), yaitu:

a> Untuk mengungkapkan kadar ‘keinginan’, pengungkap modalitas yang digunakan

adalah: ingin, menginginkan, mengingini, berkeinginan, menghendaki, berhasrat,

mendambakan. Contoh: Saya ingin menunaikan ibadah haji.

b> Untuk mengungkapkan kadar ‘kemauan’, pengungkap modalitas yang digunakan

adalah: mau, hendak, akan, bertekad, berketetapan. Contoh: Kalau kita hendak

beteman, panggil saja aku Ega.

c> Untuk mengungkapkan kata ‘maksud’, pengungkap modalitas yang digunakan

adalah: mau, hendak, akan, bermaksud, berniat, berhajat, bernadar, berkaul.

Contoh: Saya akan menemuimu besok.

d> Untuk mengungkapkan kadar ‘keakanan’, pengungkap modalitas yang dipakai

sama dengan pengungkap modalitas kadar ‘kemauan’ dan ‘maksud’.

2) ‘Harapan.

Modalitas yang bermakna ‘harapan’ menggunakan pengungkap modalitas sebagai

berikut: harap, harapkan, mengharapkan, mengharap, berharap, hendaknya, berdoa,

doakan, mendoakan, mudah-mudahan, moga-moga, semoga (Hassan Alwi, 1992:62).

Contoh: Semoga teman saya lekas sembuh.

3).’Ajakan’ dan ‘Pembiaran’.

Page 12: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Pengungkap modalitas yang mempunyai makna ‘ajakan’ adalah: ajak, mengajak,

imbau, mengimbau, mari(lah), ayo(lah). Contoh: Ayo kita pergi.

Pengungkap modalitas yang bermakna ‘pembiaran’ adalah: biar(lah), biarkan(lah)

(Hasan Alwi 1992:66). Contoh: Biarkan aku pergi.

4). ‘Permintaan’

Pengungkap modalitas yang mempunyai makna ‘permintaan’ adalah: sudilah, sukalah,

saya minta, saya mohon, silakan, coba, tolong, mohon (Hassan Alwi, 1992:72).

Contoh: Tolong ambilkan buku ini.

b. Modalitas Epistemik

Modalitas epistemik diklasifikasikan menjadi:

1). ‘Kemungkinan’.

Pengungkap modalitas yang mempunyai makna ‘kemungkinan’ adalah: dapat, bisa,

boleh, mungkin, barangkali, dapat saja, biasa saja, boleh saja, bisa-bisa, bisa jadi,

boleh jadi (Hassan Alwi, 1992:103). Contoh: Udara di luar dingin sekali, kamu bisa

kedinginan bila tidak memakai mantel.

2) ‘Keteramalan’

Pengungkap modalitas yang bermakna ‘keteramalan’ adalah: akan, saya pikir, saya

rasa, saya kira, saya duga, dikira, diduga, konon, sepertinya, agaknya, tampaknya,

tampaknya, nampaknya, rasanya, kelihatannya, diperkirakan, kabarnya, kayaknya,

rasa-rasanya, menurut pendapat saya, menurut hemat saya (Hasan Alwi, 1992: 110).

Contoh: Saya rasa sebentar lagi hujan akan turun.

3) ‘Keharusan’

Pengungkap modalitas ini adalah: harus, mesti, wajib, patut, perlu, seharusnya,

semestinya, sebaiknya, sepantasnya, seyogyanya, selayaknya, sepatutnya, patut-

patutnya, pantas-pantasnya (Hasan Alwi,1992:116). Contoh: Saudara harus memberi

contoh yang baik.

4) ‘Kepastian’

Page 13: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Pengungkap modalitas ini adalah: pasti, tentu, tentunya, tentu saja, sudah barang

tentu, niscaya, saya yakin, saya percaya, saya merasa pasti, saya memastikan,

dipastikan (Hasan Alwi,1992:130). Contoh: Saya pasti datang ke pesta ulang tahunmu.

c. Modalitas Deontik

Pengungkap modalitas ini mempunyai makna ‘izin’ dan ‘perintah’ yaitu:

1) ‘Izin’

Pengungkap modalitas bermakna ‘izin’ adalah: boleh, dapat, bisa, perkenankan,

memperkenankan, diperkenankan, izinkan, mengizinkan, diizinkan, perbolehkan,

memperbolehkan, diperbolehkan.

2) ‘Perintah’

Pengungkap modaitas ini adalah: wajib, mesti, harus, haruskan, mengharuskan,

diharuskan, perintahkan, memerintahkan, diperintahkan. larang, melarang, dilarang,

tidak boleh, jangan.

d. Modalitas Dinamik

Modalitas ini mempunyai makna ‘kemampuan’ dengan pengungkap modalitasnya yaitu:

dapat, bisa, mampu, sanggup (Hassan Alwi, 1992:235) Contoh : Saya dapat menari.

3. Metode Penelitian

Data kajian ini adalah 124 kalimat modalitas bahasa Inggris yang terdapat di dalam

novel “Harry Potter and the Chamber of Secrets” karya J.K.Rowling dan novel

terjemahannya di dalam novel “Harry Potter dan Kamar Rahasia” oleh Listiana.

Data yang akan dianalisis ditulis di atas kartu dan diberi kode. Contoh:

065/CS-20/KR-28/Could. Maksudnya, nomor urut data 65, dikutip dari novel the Chamber of

Secrets, halaman 20 dan terjemahannya di dalam novel Kamar Rahasia, halaman 28, dengan

jenis kata kerja modal could. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui

bagaimana kesepadanan makna modalitas bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa

Indonesia.

Page 14: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Dengan mengetahui kesepadanan makna modalitas diharapkan kajian ini dapat

memberi pemahaman yang lebih mendalam mengenai cara menerjemahkan modalitas bahasa

Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

4. Hasil Analisis dan Pembahasan

Hasil analisis menunjukkan bahwa penerjemahaan 124 kalimat bahasa Inggris yang

mengandung kata kerja modal ke dalam bahasa Indonesia terdapat 91 kata kerja modal yang

diterjemahkan ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang

sepadan, seperti data nomor 005/CS-10/KR-12/COULD.

Bahasa Inggris

‘This could well be the day I make the

biggest deal of my career’, said uncle

Vernon. (Makna kemungkinan)

Bahasa Indonesia

“Hari ini aku mungkin akan membuat

transaksi terbesar dalam karierku.” kata

Paman Vernon. (Makna Kemunkinan)

Sebanyak 6 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan kedalam pengungkap

modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang natural (wajar), seperti data nomor 045/CS-

110/KR-180/WILL.

Bahasa Inggris

‘I’ll make it,’ Lockhart butted in.

(Makna‘Kemauan’)

Bahasa Indonesia

“Biar aku yang buat,” Lockhart

menyela.”(Makna ‘pembiaran’)

Data di atas menunjukkan bahwa makna ‘kemauan’ (will) diterjemahkan menjadi makna

‘pembiaran’ (biar). Namun demikian maknanya wajar (natural) karena bila diterjemahkan

“Aku yang akan membuatnya” menjadi kurang wajar dalam penggunaan Bahasa Indonesia.

Page 15: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Sebanyak 11 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bukan

pengungkap modalitas bahasa Indonesia, tetapi dengan makna yang wajar, seperti data

032/CS-13/KR-18/WILL.

Bahasa Inggris

‘Eat quickly! The Mason will be here

soon!’ snapped Aunt Petunia,… (Makna

keakanan)

Bahasa Indonesia

“Makan cepat! Mr. Dan Mrs. Manson

sebentar lagi datang!” kata Bibi Petunia

galak,… (tidak diterjemahkan)

Data di atas menunjukkan bahwa makna ‘keakanan’ (will) tidak diterjemahkan karena bila

diterjemahkan menjadi “Makan cepat! Mr dan Mrs Mason akan kemari sebentar lagi.”

Terjemahan ini tidak salah tetapi kurang natural (wajar).

Sebanyak 9 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam pengungkap

modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang tidak sepadan, seperti data nomor 067/CS-

116/KR-190/WOULD

Bahasa Inggris

‘….Slytherin would help you on the way

to greatness, no doubt about that….’

(Makna kepastian)

Bahasa Indonesia

“…Slytherin bisa membantumu mencapai

kemashyuran, tak diragukan lagi…”

(Makna kemungkinan)

Data di atas menunjukkan bahwa makna ‘kepastian’ dari kata kerja modal would

diterjemahkan menjadi makna ‘kemungkinan’. Agar penerjemahannya sepadan

maka would sebaiknya diterjemahkan menjadi ‘pasti’.

Sebanyak 7 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bukan

pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang tidak sepadan, seperti data

nomor 107/CS-247/KR-417/MIGHT

Bahasa Inggris Bahasa Indonesia

Page 16: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

‘Who knows what the consequences might

had been otherwise…’(Makna

kemungkinan)“Siapa yang tahu apa konsekuensinya

kalau tidak…” (tidak diterjemahkan)

Data di atas menunjukkan bahwa might tidak diterjemahkan. Agar maknanya sepadan, maka

might sebaiknya diterjemahkan menjadi mungkin atau kira-kira menjadi “Siapa yang tahu apa

kira-kira konsekuensinya kalau tidak….”

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan.

Kata kerja modal bahasa Inggris tidak selalu dapat diterjemahkan secara sepadan ke

dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia karena kedua bahasa mempunyai sistem

bahasa yang berbeda. Ternyata sebanyak 13,70% kata kerja modal bahasa Inggris

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna yang wajar. Hal ini dimungkinkan

karena apabila kesepadanan bentuk dan makna tidak dapat dipertahankan maka hal yang

harus dipertahankan adalah kesepadanan makna sesuai dengan penggunaan bahasa Indonesia

(bahasa sasaran) yang wajar dan berterima. Sedangkan 73,38% makna modalitas bahasa

Inggris diterjemahkan ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang

sepadan. Sementara sisanya 12,92% diterjemahkan dengan makna yang tidak sepadan.

5.2 Saran

Penerjemahan kata kerja modal bahasa Inggris ke dalam pengungkap modalitas

bahasa Indonesia sebaiknya dilakukan bukan saja memerhatikan konteks linguistiknya tetapi

juga konteks situasi yang menyertai peristiwa yang diungkapkan oleh kalimat yang ingin

diterjemahkan, seperti bentuk tenses dalam bahasa Inggris apakah bentuk kala kini, lampau,

atau kala akan. Hal ini penting terutama untuk makna modalitas ‘keakanan’, ‘ keteramalan’,

dan ‘kemauan’.

Page 17: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Dengan memahami seluk beluk penerjemahan modalitas dan memperbanyak latihan

menerjemahkan, seorang penerjemah diharapkan mempunyai kepekaan dalam menentukan

padanan kata yang paling wajar dan berterima di dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, 1992, Modalitas Dalam Bahasa Indonesia, Seri ILDEP Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

______. Et. al., 2000. Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Coates, J.C. 1983, The Semantics of Modal Auxiliaries, London: Oxford University Press.

Kreidler, Charles W., 1998, Introducing English Semantics, London: Routledge.

Moleong, Lexy J., 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Perkins, Michael R., 1983, Modal Expressions in English, New Jersey: Ablex Publishing

Corporation.

Quirk, Randolph, 1978, A Grammar of Contemporary English, London: Longman Group

Limited.

Metode Humanistik dalam Pengajaran Bahasa Asing

KarmawanFakultas Agama Islam

Universitas Islam Tanggerang

Page 18: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Abtraksi

Humanistik dalam dunia pendidikan mungkin terdengar terlalu ambisius, karena term tersebut seolah-olah menyindir konsep pendidikan yang tidak manusiawi dalam arti penuh “kekejaman” didalamnya. Padahal, dalam konteks pendidikan, konsep humanistik lebih merupakan revisi terhadap konsep pendidikan yang lebih menekankan kepada pengembangan potensi intelektual saja. Metode humanisme memandang bahwa di samping aspek kognitif, aspek afektif seperti sikap, perasaan, minat, dan motivasi merupakan bagian yang penting dan menentukan dalam proses pembelajaran bahasa agar siswa dapat menghargai sebagai individu yang utuh dalam proses pengembangan bahasanya.

Keywords: humanistik, pengajaran, bahasa asing

1. Latar Belakang

Kajian bahasa memiliki lingkup yang luas. Di samping membahas substansi

bahasa itu sendiri (linguistic/’ilm al-Lughah) dan teori-teori di dalamnya (linguistic

teoritik/’ilm al-Lughah al-Nazharat), kajian yang juga harus mendapat perhatian yang

besar adalah bagaimana aplikasi dari teori-teori kebahasaan tersebut dapat

dilaksanakan (linguistik terapan/’ilm al-lughah al-tathbiqi).( Muhbib Abdul Wahhab,

2008: 35) Kajian linguistik terapan ini mencermati, mengawasi dan mengkritisi

aplikasi teori-teori kebahasaan dalam proses pembelajaran. (Muhbib Abdul Wahhab,

2008: 35)

Sangat disayangkan kondisi pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan

formal saat ini lebih menggambarkan kondisi kelas mati, di mana pembelajaran hanya

di dominasi metode menghafal, karena siswa harus menghafalkan sekian banyak

materi untuk kemudian ditagih dalam ujian. Menumpukkan materi dan informasi

adalah metode dan sekaligus tujuan pembelajaran model ini. Dengan demikian ruang

berpikir menjadi sangat sedikit, apalagi ruang untuk menganalisis. (Abdurrahman

Mas’ud , 2002: 24). Senada dengan hal ini, Al-Attas juga menyatakan bahwa tujuan

pendidikan yang sangat sentralistik sering mengesampingkan perkembangan dan

kebahagiaan sejati individu yang seharusnya diperoleh selama proses pendidikan.

(Wan Daud Wan Moh Nor, terj Hamid Fahmy, 1988: 15-16). Hal serupa juga

dikemukakan oleh Muhammad Yunus dan Muhammad Qasim Bakr dalam Al-

Tarbiyah wa al-Ta’lim, Al-Juz al-Awwal. ( Padahal dalam UU Sisdiknas 2003 nyata

dijelaskan bahwa aktifitas dan kreatifitas siswa lebih ditekankan dibanding dominasi

Page 19: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

guru dalam pembelajaran, (Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang

pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI 2006: 4).

Hal ini memberi dampak perubahan pengertian bahwa pendidikan bukan lagi guru

mengajar dengan sekedar ceramah menyampaikan materi (teacher centered), tetapi

guru mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar pembelajar aktif

mengembangkan potensi dirinya (student centered), Makmun mengatakan bahwa

guru harus mampu menciptakan situasi dan mengarahkan proses pembelajaran

dengan cara yang demokratis dan humanis. (Abin Syamsuddin, Makmun, 2005: 5)

Dari gambaran di atas, dapat terlihat bahwa sikap guru dalam mengajar dan

bagaimana membangun suasana pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan dan

sisi kemanusiaan siswa, mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran

apapun, termasuk dalam pembelajaran bahasa asing. Di era globalisasi seperti

sekarang ini, hubungan dan komunikasi antara bangsa-bangsa telah membuat tanpa

batas, penguasaan bahasa asing mutlak diperlukan. Oleh karena itu, pengajaran

bahasa asing di lembaga-lembaga pendidikan formal perlu senantiasa ditingkatkan

agar dapat membantu pembelajar untuk menguasai bahasa asing yang dipelajari.

Dengan demikian, diharapkan masalah yang selama ini terjadi dikalangan pembelajar,

yakni: anggapan bahwa bahasa asing hanya sebagai beban dan pelajaran yang ditakuti

dan membosankan, dapat diatasi

Proses pembelajaran bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing yang

diajarkan di Madrasah misalnya, pada saat ini masih didominasi oleh metode ceramah

tata bahasa dan drill kosa kata atau kalimat, disamping itu buku-buku pelajaran bahsa

Arab di Indonesia belum mendukung terlaksananya konsep student centered learning.

Hasannudin dalam penelitiannya menunjukkan bahwa otentisitas dan materi dan

pilihan kosa kata dalam buku pelajaran bahasa Arab di Indonesia tidak mendukung

tercapainya kemampuan komukatif pembelajar. (Lihat Hasanuddin, 2008: 168-169).

Hal ini juga terjadi pada bahan ajar bahasa asing lainnya. Sebuah hasil penelitian

menunjukkan bahwa bahan ajar yang ditetapkan dan diterbitkan oleh Depdiknas

masih kurang baik (Hanya 5.0% dari guru tingkat SMA yang menilai bahwa bahan

ajar tersebut baik). (Lihat Arsyad, 2003: 121-122). Kondisi yang demikian

menyebabkan para pembelajar marasakan situasi pembelajaran bahasa Arab yang

Page 20: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

tidak menyenangkan, membosankan, bahkan siswa pun merasa jenuh dan

kemampuan mereka dalam bahasa Arab pun kurang berkembang secara optimal.

Di samping karena kelemahan di atas, faktor minat terhadap pembelajaran

bahasa (Arab) juga masih menjadi masalah utama kesulitan pembelajaran ini. Sebagai

contoh hasil penelitian Abdul Aziz Teo menunjukan bahwa faktor kompetensi tenaga

pengajar dan kurangnya minat pembelajar masih menjadi faktor utama penyebab

kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Arab. (Abdul ‘Aziz Teo, Tesis UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2002: 152-153). Padahal minat sangat berpengaruh bagi

keberhasilan belajar seseorang. Minat dapat berfungsi sebagai kekuatan yang akan

menggerakkan seseorang untuk belajar. Walaupun pada dasarnya pemunculan minat

siswa tergantung dari kebutuhan, dorongan dan bakat mereka, (M. Ngalim Purwanto,

1992: 104), Lihat juga Sartinah Hardjono, 1998: 4-5) namun minat seseorang dapat

berubah atau dirubah melalui manipulasi lingkungan, yaitu adanya rekayasa dengan

menciptakan situasi belajar mengajar yang memungkinkan timbulnya minat positif

terhadap pengajaran tersebut. (William J. Mc Gure, 1975: 270).

Kondisi demikian juga terjadi pada pelajaran bahasa asing lainnya, tidak

terkecuali pada pelajaran bahasa Inggris, padahal pembelajaran bahasa Inggris telah

diterapkan sejak tingkat pendidikan dasar, namun kemampuan sebagian besar pelajar

di Indonesia terhadap bahasa ini masih sangat memprihatinkan. Hal ini tentu

memerlukan perhatian yang besar mengingat penguasaan bahasa asing pada era

globalisasi ini sangat penting. Perlu adanya suatu usaha pembaharuan untuk

menyediakan situasi pembelajaran bahasa yang menyenangkan dan mendukung

kemajuan kemampuan siswa. Hal ini sebagaimana tercantum dalam PP RI No.19

Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan, dalam pasal 19 yang menyatakan bahwa

proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi pembelajar untuk berpartisipasi

aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakara, kreatifitas dan kemandirian

sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik serta psikologis pembelajar.

2. Kajian Teori

Teori Belajar Humanistik

Page 21: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Kata ‘humanistik’ sebagaimana telah dibahas sebelumnya dimana sering

dikaitkan dengan term humanisme – dapat memberi kesan yang membingungkan

dalam memaknainya. Namun, dari semua makna tersebut terdapat makna yang dapat

diterima secara universal, bahwa pendekatan humanistik bertujuan untuk

berkembangnya potensi kemanusiaan setiap individu secara utuh. Kurtz, dalam Earl

W. Stevick, Humanism in Language Teaching, (1990:23). Hal senada dikemukakan

oleh Robert E. Slavin, Educational Psychology Theory and Practice, (1994:296). Hal

ini dikatakan juga oleh Abdul Munir Mulkhan, bahwa humanisasi pendidikan dapat

dijalankan dengan bentuk demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan

menjadi syarat mutlak bagi terbentuknya suasana dialogis dan humanis. Di dalam

proses belajar mengajar dijalankan dengan penuh keterbukaan, peserta mendapat

kesempatan penuh untuk mengekspresikan dirinya. Lihat Khilmi Arif, Humanisasi

Pendidikan dalam Perspektif Islam (Telaah atas Pemikiran Abdul Munir Mulkhan),

Tesis, Universitas Muhammadiyyah Malang, 2002. Sedangkan Dede Rosyada

menerjemahkan makna demokrasi dalam proses pendidikan adalah usaha

memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk belajar secara maksimal dan

nyaman. Usaha yang dilakukan adalah dengan menciptakan sekolah sebagai second

home bagi para pembelajar, sehingga mereka betah menghabiskan waktunya di

sekolah dengan belajar, berlatih, berdiskusi, menyelesaikan tugastugas, membaca dan

aktivitas belajar lainnya. (Lihat Dede Rosyada, 2007: 18-19).

Walaupun dalam tataran teoritis telah ditegaskan bahwa proses pendidikan

pada prinsipnya merupakan proses pengembangan moral, keagamaan, aktivitas dan

kreativitas pembelajar melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar, Hal ini

sebagaimana tercantum dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan, dalam pasal 19 dinyatakan: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan

diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi

peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan

fisik serta psikologis peserta didik”. Namun dalam implementasinya masih banyak

kegiatan pembelajaran yang mengabaikan aktivitas dan kreativitas pembelajar

tersebut. Hal ini banyak disebabkan oleh model dan sistem pembelajaran yang lebih

Page 22: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

menekankan pada penguasaan kemampuan intelektual saja, dan proses pembelajaran

berpusat pada guru (teacher-centered learning), sehingga keberadaan pembelajar di

kelas hanya menunggu uraian guru, kemudian mencatat dan menghafalnya. (Zurinal

Z dan Wahdi Sayuti, 2006:117). Sebagaimana pula dikatakan oleh Ibnu Sina, bahwa

jika pembelajaran hanya didominasi oleh aktivitas menghafal, maka potensi

pembelajar belum dikembangkan secara proporsional, padahal pendidikan harus

diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang untuk

kesempurnaan yang menyangkut perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti

atau akhlak (lihat Ibnu Sina, 1906:107). Hal ini sering pula terjadi pada proses

pembelajaran bahasa; guru memberikan pertanyaan kepada pembelajar mengenai teks

yang telah dibaca di kelas, yang jawabannya bisa diambil dari teks tanpa merubah

kalimat, kemudian pembelajar disuruh menghafalkan jawaban yang telah diperiksa

guru. Dengan demikian, pembelajar hanya diminta untuk mengingat kembali dan

mereprodusir materi saja. Dalam proses ini, pembelajaran hanya melatih daya ingat

saja, tidak melatih dan memberi kesempatan kepada pembelajar untuk mampu

mengungkapkan setiap materi baru dengan aktif dan kreatif. (Zurinal Z dan Wahdi

Sayuti, 2006:117). Sebagaimana pula dikatakan oleh Ibnu Sina, bahwa jika

pembelajaran hanya didominasi oleh aktivitas menghafal, maka potensi pembelajar

belum dikembangkan secara proporsional, padahal pendidikan harus diarahkan

kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang untuk kesempurnaan

yang menyangkut perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti atau akhlak (lihat

Ibnu Sina, 1906: 107).

Model pembelajaran yang berpusat pada guru merupakan pengaruh paradigma

lama (model pengajaran tradisional) tentang mengajar (lihat Richard I. Arends,

2008:25). Pengajaran dianggap berhasil jika pembelajar menguasai pengetahuan yang

sebanyak-banyaknya yang ditransfer guru. Paradigma ini masih banyak melekat

dalam tradisi pendidikan di Indonesia, bahwa dalam proses belajar guru adalah

sentral; dengan perbandingan aktivitas guru 100% dan pembelajar 0% (lihat Ahmad

Tafsir, 2006:165-166). Dengan demikian, konsep student-centered learning yang

menempatkan guru sebagai fasilitator (bisa digambarkan dengan konsep aktivitas

Page 23: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

guru 50% dan pembelajar 50%, atau bahkan guru 25% dan pembelajar 75%) belum

dapat diterima.

Nurcholis Madjid (1997:23) melihat ”paradigma lama” ini terutama masih

melekat kuat pada tradisi pembelajaran di pesantren-pesantren (tradisional), dimana

kegiatan pembelajaran diisi dengan kegiatan penyampaian materi pengajaran dari

guru (kyai) kepada pembelajar (santri). Dalam proses ini para santri kurang diberi

kesempatan menyampaikan ide-idenya apalagi untuk mengajukan kritik apabila

menemukan kekeliruan dalam pelajaran hingga daya nalar dan kreativitas berfikir

menjadi terhambat. Sebaliknya, tekanan pada hal yang bernilai ”mistik” lebih banyak

terasa. Lebih jauh Nurkholis menggambarkan, santri akan selalu memandang bahwa

kyai atau gurunya sebagai orang yang harus dihormati, malah penghormatan tersebut

semakin mendekati pada pengkultusan, karena guru dianggap memiliki kekuatan gaib

yang bisa membawa keberuntungan atau celaka. Karena itu santri berusaha untuk

menunjukkan ketaatannya (yang kadang terlihat terlalu berlebihan) kepada gurunya.

(Nurkholis Madjid, 1997: 24).

Apabila merujuk kepada salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud, yang

menggambarkan ketika ada salah seorang shahabat yang mendatangi Rasulullah

SAW. dengan membungkuk-bungkuk, Rasulullah melarangnya dan bersabda:

”Bersikaplah seperti biasa, aku bukan seorang raja” (lihat Firdaus, diakses dari :

http://202.152.33.84/index.php?

option=com_content&task=view&id=14461&Itemid=46, pada 28 Juli 2008, 12:30).

Riwayat senada dapat ditemukan pada kitab Sunan Abi Daud yang diriwayatkan oleh

Ibnu Umar, pada saat seseorang datang kepada Rasulullah SAW. dan beliau sedang

berada dalam suatu majlis. Maka ada salah seorang dari shahabat (Ziyad bin Abd al-

Rahman) yang berdiri dari tempat duduknya dan berpindah ke tempat lain dengan

maksud ingin menghormati orang yang baru datang tersebut agar dapat duduk di

tempatnya, akan tetapi Rasulullah melarangnya (lihat Abu Daud al-Sijistaniy, Juz 14,

h. 63, http://www.islamiccouncil. Com). Nampak bahwa Islam tidak mengajarkan

sikap menghormati yang berlebihan, apalagi sampai mengkultuskan. Nurkholis

Madjid mengatakan bahwa sikap penghormatan dari santri kepada kyai yang

berlebihan seperti digambarkan diatas adalah konsep budaya Jawa yang ada sebelum

Page 24: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Islam datang. Karena itu sifatnya banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-

Budha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa itu sendiri.

(Nurkholis Madjid, 1997:23). Bahkan lebih tegas lagi Boissard menggambarkan

bahwa Al-Qur’an menghukum tiap-tiap perpecahan dan stratifikasi sosial (QS. Al-

Qashash, 28: 4: Sungguh Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan

menjadikan penduduknya berpecah belah) –(lihat Marcel A. Boissard,t.t.:70) .

Padahal apabila merunut sejarah, budaya tersebut tidak diajarkan dalam Islam.

Tsalabiy menggambarkan bahwa guru-guru di Madrasah-Madrasah Nizhamiyyah

senantiasa mengajarkan bahwa setiap manusia harus dihargai dan dihormati tanpa

memandang status sosial mereka (lihat Ahmad Tsalabiy, t.t.: 244)

Di satu sisi, penulis melihat bahwa banyak sekali sisi positif konsep student-

centered learning yang merupakan prinsip utama pendekatan humanistic ini. Hal ini

dinyatakan oleh Stevick dengan mengatakan bahwa salah satu dimensi pembelajaran

yang humanis adalah menekankan pada sentralitas pembelajar; apa yang membuat

pembelajar tertarik untuk belajar, apa yang mereka butuhkan dan apa yang bisa

mereka bawa sebagai hasil belajar (liha Patrick Early, ELT Documents 113:7, lihat

juga Harold W. Bernard & Wesley C. Huckins, 1974: 46-47).Namun di sisi lain,

penulis juga tidak dapat lantas menyalahkan suatu lembaga yang telah terbiasa

dengan ”kultur” teacher-centered sebagaimana digambarkan di atas. Bisa jadi, mereka

juga tidak begitu saja bisa menerima konsep ”kultur” baru yang ditawarkan karena

mereka telah merasa begitu nyaman di dalamnya.

Konsep student-centered tidak berarti mengurangi penghormatan kepada guru,

ataupun menafikan keberadaan dan fungsi guru sepenuhnya, malah justru peran guru

akan lebih memberi arti, dimana guru tidak hanya berperan dalam transfer of

knowledge namun juga akan memberikan andil yang sangat besar dalam transfer of

value. Nilai-nilai positif yang diberikan akan semakin memupuk kemandirian dan

kreativitas pembelajar. Dengan demikian, pembelajar akan lebih memaknai setiap

ilmu yang disampaikan, dan pengalaman belajar mereka akan menjadikan mereka

individu yang lebih matang dan mandiri.

Konsep student-centered ini juga merefleksikan prinsip belajar yang

sesungguhnya. Proses belajar diharapkan mampu menghasilkan perubahan perilaku

Page 25: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

pembelajar yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan (guru, dosen,

kyai) adalah sebagai pelaku perubahan itu (agent of change). Proses belajar juga

diharapkan mampu menjadi sarana optimalisasi dari setiap potensi tak terbatas yang

dimiliki individu pembelajar yang dapat ditumbuhkembangkan tanpa henti (hal

tersebut sebagaimana dikatakan oleh Chaedar Alwasilah dalam Elaine B. Johnson,

t.t.:18-19, lihat juga Kunandar, 2007: 40-43).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Prinsip Pendekatan Bahasa Asing

Dalam prinsip-prinsip pengajaran bahasa asing, dijelaskan bahwa belajar

membutuhkan proses yang dibangun dalam suasana yang gembira dan menyenangkan

(Nashif Musthafa Abdul ‘Aziz, 1983: 9). Senada dengan pandangan di atas, Al-

Syaibuny juga menyatakan bahwa pembelajaran dapat berjalan lebih baik dan efektif

bila dilakukan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, bergairah, penuh

motivasi, dan tidak membosankan. (Umar Muhammad Taumy al-Syabany, terj.

Hasan Langgulung, 1979:619, lihat juga Gordon Dryden & Jeannette Vos, 1999:22).

Dengan demikian, maka pola lama dalam pembelajaran bahasa yang hanya di Isi

dengan kegiatan mendengar, hanya menirukan, menghafal dan mengulang harus

diubah.

Pendekatan, metode dan teknik (Edward Anthony (1963) menjelaskan konsep

ketiga istilah tersebut sebagai berikut: Pendekatan adalah seperangkat asumsi

berkenaan dengan hakekat bahasa dan belajar mengajar bahasa. Metoe adalah rencana

menyeluruh penyajian bahasa sistematik berdasarkan pendekatan yang ditentukan.

Teknik adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan di dalam kelas, selaras

dengan metode dan pendekatan yang telah dipilih. Dengan demikian, pendekatan

bersifat aksiomatis, metode bersifat prosedural dan teknik bersifat operasional (lihat

Ahmad Fuad Effendy, 2005:6). Pengajaran dan pembelajaran bahasa asing dari waktu

ke waktu mengalami perkembangan sesuai dengan berkembangnya pemikiran para

ahli pengajaran bahasa. Lebih dari itu, hasil-hasil penelitian dalam bidang pengajaran

bahasa itu sendiri memberikan kontribusi kepada lahirnya pendekatan dan metode

baru dalam pengajaran bahasa.

Page 26: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Berbagai pendekatan dalam pengajaran bahasa, dijelaskan oleh Thu’aimah,

diantaranya adalah al-madkhal al-insaniy (pendekatan humanistik),al-madkhâl al-

tiqniy (pendekatan berbasis media), al-madkhâl al-tahliliy wa ghair al-tahlîliy

(pendekatan analisis dan non-analisis), serta al-madkhâl al-ittishâliy (pendekatan

komunikatif)-(Rusdi Ahmad Thua’aimah, 1989:115-118). Dari keempat pendekatan

yang diuraikan tersebut, pendekatan humanistik merupakan fokus bahasan yang

menarik perhatian penulis untuk dikaji lebih jauh dalam penelitian ini. Pendekatan

humanistik dalam pembelajaran bahasa asing dicetuskan oleh Gertrude Moskowitz

(1978:10, lihat juga Earl w. Stevick, 1990:24). Ia adalah seorang profesor pendidikan

bahasa asing dari Temple University. Pendekatan humanistik ini dimaksudkan

sebagai pendekatan yang mengutamakan peranan pembelajar dan berorientasi pada

kebutuhan dasar pembelajar, Kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimaksud adalah

kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta, kebutuhan penghargaan, kebutuhan

untuk mengetahui, kebutuhan estetika dan kebutuhan mengaktualisasikan diri (lihat

Abraham H. Maslow, 1968, lihat juga Abdullah, Abdurrahman Shaleh, 2005). bukan

hanya sebagai alat berlangsungnya stimulus-respon saja (Rusdi Ahmad Thua’aimah,

1989:115).Thu’aimah juga menegaskan bahwa perhatian terhadap pemenuhan

kebutuhan psikologis pembelajar adalah hal yang harus didahulukan.

Mahmoudi dan Snibbe Kenneth Chastain, (1976:14) dalam Median Mutiara,

Pentingnya Perasaan Pembelajar dalam Proses Belajar Mengajar, Tesis, UNESA

Surabaya, 2006, mengadakan sebuah penelitian komparatif mengenai penerapan

pendekatan humanistik. Keduanya mengatur sedemikian rupa agar pengajar pada

kelas eksperimen memberikan perhatian yang besar, kasih sayang, acceptance, dan

penghargaan kepada setiap pembelajar, sedangkan pada kelas kontrol tidak

menerapkan pendekatan ini. Hasil pada akhir semester menunjukkan meningkatnya

prestasi belajar pembelajar dan menurunnya ketegangan kelas pada kelas eksperimen

yang diberikan perhatian lebih dibanding kelas kontrol. Dari paparan diatas, dapat

diambil pelajaran bahwa proses pembelajaran bahasa hendaklah tidak hanya

difokuskan kepada metode ataupun teknik penyampaian materi di dalam kelas.

Namun ada hal-hal lain yang sangat penting diperhatikan, yakni bahwa sikap dan

kondisi psikis pembelajar selama proses pembelajaran akan memberikan pengaruh

Page 27: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

yang sangat besar terhadap keberhasilan pelajaran itu sendiri. Sebagaimana Sartinah

Hardjono menyatakan bahwa setiap guru bahasa asing tidak hanya dituntut untuk

memiliki kemampuan dalam penguasaan bahasa asing yang diajarkan dan

kemampuan dalam penerapan metode serta teknik pembelajaran, tetapi juga dituntut

untuk menguasai ilmu psikologi belajar mengajar (lihat Sartinah Hardjono, 1998:1).

Dengan kata lain, ada pendekatan dari sisi ranah afektif pembelajar yang harus

diperhatikan karena pembelajaran tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya

perhatian pada faktor psikologis mereka (lihat Iskandarwassid dan Dadang Sunendar,

2008:44-45), yang menyatakan bahwa ada banyak faktor yang harus diperhatikan

dalam pembelajaran bahasa sebagai penunjang keberhasilan pembelajaran bahasa itu

sendiri. Ilmu yang dimaksud diantaranya adalah ilmu jiwa belajar. Lihat juga

Gertrude rasionalisme. Rasionalitas adalah penggunaan rasio, dan ini dianjurkan oleh

Islam. Sedangkan Rasionalisme adalah paham yang menyingkirkan agama dalam

pemikiran, dan ini jelas ditolak oleh Islam (lihat Ahmad Tafsir, 2006:60-61). Bahkan

Boissard mengatakan bahwa sebagian besar reformis Islam berpendapat bahwa Islam

dapat dirasionalisasikan tanpa mengurangi otoritas Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan

Muhammad Abduh menegaskan bahwa rasionalisasi tersebut dilakukan tanpa

“meminjam” pemikiran Barat (lihat Marcel A. Boisard, 2003:83-84).

Azhar Arsyad (2003:132) bahkan dengan tegas menyatakan bahwa diantara

penyebab kurang berhasilnya pembelajaran bahasa asing (Arab) di sekolahsekolah

saat ini diantaranya adalah karena tidak adanya komunikasi humanistik antara

individu yang ada di dalam kelas, baik antara guru dengan pembelajar maupun antara

pembelajar sendiri. Penelitian ini merupakan kritik dan kegelisahan penulis akan

proses pembelajaran yang masih bersifat kaku, kurang mengutamakan peran kreatif

pembelajar dan kurang memperhatikan kebutuhan dasar pembelajar sebagai individu

manusia. Atas dasar tersebut, penulis memandang perlu untuk mengadakan penelitian

dan kajian lebih mendalam mengenai aplikasi pendekatan humanistik dalam

pembelajaran bahasa asing; bagaimana konsep pendekatan humanistik tersebut serta

menguji sejauh mana penerapan yang telah dilakukan dalam pembelajaran di kelas.

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendesain model yang lebih baik dalam

Page 28: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

pembelajaran bahasa asing, khususnya pembelajaran bahasa Arab di Madrasah

Aliyah.

3.2 Pendekatan Humanistik; dari Tinjauan Filosofis dan Psikologis

Implementasinya dalam Pendidikan Filosofi dan psikologi humanistik

memberikan landasan untuk memahami sisi kemanusiaan setiap individu dalam

proses pendidikan, sehingga dikatakan bahwa suatu pembelajaran akan berhasil jika

diawali dengan pemahaman sifat dasar pembelajar sebagai manusia, memahami

tujuan utama dari pembelajaran serta meyakini kemampuan dan potensi yang dimiliki

oleh setiap pembelajar.

3.3 Tinjauan Filosofis dan Psikologis

Konsep humanistik dalam tataran filosofis menekankan prinsip kebebasan,

penghargaan dan pengembangan potensi manusia (lihat Lamont, 1965:22). Prinsip

kebebasan ini sering dimaknai secara keliru, dengan mengartikan manusia bisa

sebebas-bebasnya bertindak sesuai dengan keinginan hati tanpa memperhatikan

norma dan aturan yang berlaku baik dalam sosial maupun agama. Walaupun Al-

Qur’an telah memberikan gambaran tentang kebebasan manusia tersebut - dimana

Allah memberikan pilihan kepada manusia untuk menerima atau menolak keimanan

kepada-Nya (lihat Abdurrahman Saleh Abullah, 2005:73), ketika memaknai QS. Al-

Kahfi, 18 ayat 29), namun di sisi lain Allah akan meminta pertanggungjawaban

pilihan manusia tersebut dalam peradilan hari akhir. Hal ini berarti bahwa kebebasan

yang diberikan serta tanggung jawab yang menyertainya memberikan kesempatan

kepada manusia untuk menunjukkan posisinya. Kemuliaan manusia akan terlihat jika

dia memilih untuk tunduk dan beriman kepada Allah (lihat Marcel A. Boisard,

2003:99-101). Hal senada juga terdapat dalam Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi fi

Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, (1998:400). Berkenaan dengan prinsip kebebasan

tersebut, Abraham Maslow (1908-1970) – (C. George Boeree, terj. Ridwan Muzir,

2008:252.), dan John Stuart Mill (1806-1873)- (John Stuart Mill, 1948:159)-

mengatakan bahwa kebebasan yang dimaksud tidak berarti bebas dari nilai-nilai,

tetapi disertai tanggung jawab dan kemampuan individu untuk merencanakan

Page 29: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

kehidupannya lewat pilihan-pilihan yang diambil secara sadar (lihat Abraham H.

Maslow, 1968: 16). Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh John Locke

dalam bukunya Philosophy, tentang kebebasan yang dimiliki oleh manusia namun

tidak boleh sampai merugikan orang lain (lihat John Locke, t.t.:118-120). Pendekatan

humanistik diperlukan untuk memperhatikan sistem nilai-nilai yang berlaku baik

secara khusus dalam masyarakat tertentu maupun secara universal di dalam kodrat

manusia. Dengan demikian, fungsi pendidikan adalah membantu para pembelajar

untuk mengevaluasi dan menyeleksi mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Dalam hal ini pendidikan tidak dapat dilakukan dengan pemaksaan tapi harus

diupayakan lebih ke arah bimbingan (Abdurrahman Saleh Abdullah, 2005:73-84,

lihat juga Oong Komar, 2006:30) dan dalam proses bimbingan itulah pendekatan

humanistik harus diterapkan, karena Al-Qur’an sendiri telah ‘mengamanatkan’

kepada Rasulullah untuk mendidik umat dengan pendekatan ini (lihat QS. Ali Imran

(3) ayat 159: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka

menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah

ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka).

Prinsip-prinsip dasar humanistik tersebut pada awalnya dibangun di atas

paradigma sekuler. Frederick Edwords memandang bahwa humanisme terbagi pada

banyak jenis; Literary Humanism, Renaissance Humanism, Cultural Humanism,

Philosophical Humanism, Christian Humanism, Modern Humanism, Religious

Humanism, dan Secular Humanism. (Untuk lebih jelasnya lihat Frederick Edwords,

“What is Humanism? Changing the World One Mind at A Time…”, diakses dari:

http://www.jcn.com/humanism.html , pada 13 Maret 2009) di mana makna kebebasan

dan pengembangan potensi kemanusiaan diasosiasikan dengan penolakan terhadap

agama. Bahkan Ahmad Muflih (2003:52) dengan tegas mengatakan bahwa

humanisme adalah penyebab terjadinya abad kemunduran umat. Inilah yang

menyebabkan mengapa humanisme banyak ditentang, karena kata tersebut dipandang

erat dengan paham humanisme yang mengandung paham materialisme Barat yang

sekuler. Prinsip yang demikian nyata sangat bertentangan dengan ajaran Islam,

bahkan dengan ajaran agama lain di dunia. (Lihat Earl W. Stevick, 1990:22). Melihat

Page 30: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

hal tersebut, perlu adanya pemahaman tentang konsep humanisme dari sudut pandang

yang dimaksud dalam konsep humanistik dalam pendidikan.

Hazim Amir, (lihat Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993:56-57, lihat juga

Ahmad Tafsir, 2006:24-31), mengatakan bahwa konsep humanistik dalam pendidikan

adalah suatu bentuk pendidikan yang memandang manusia sebagai manusia, yaitu

sebagai makhluk Allah yang memiliki fitrah-fitrah tertentu. Dengan demikian, proses

pendidikan humanistik adalah suatu proses pembudayaan manusia, memanusiakan

manusia, dan memanusiakan masyarakat. Pendidikan dengan cara pandang

humanistik memandang manusia sebagai makhluk tertinggi, sadar, menyadari diri,

kreatif dan bermoral. Hal ini senada dengan pandangan John Dewey (1916:220) yang

mengemukakan bahwa pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang

membebaskan daya pikir manusia untuk berkembang dan memahami kebutuhan-

kebutuhan dasar manusia. Pemikiran yang diungkapkan oleh John Dewey sejak tahun

1916 tersebut senada dengan pemikiran Ahmad Tsalabiy, yang mengatakan bahwa

sebelum pembelajaran berlangsung, terlebih dahulu guru harus memperhatikan

kondisi pembelajar, baik fisik maupun emosional mereka (lihat Ahmad Tsalabiy,

1954:244).

Konsep dasar pendidikan humanistik, yang bertujuan untuk membebaskan

daya pikir manusia untuk berkembang tersebut, telah pula diterapkan di madrasah

madrasah Nizhamiyyah. Madrasah Nizhamiyyah merupakan sebuah lembaga

pendidikan yang didirikan pada tahun 1065 oleh Nizham al-Mulk. Madrasah yang

pada mulanya hanya ada di kota Baghdad ini semakin berkembang dan tersebar di

beberapa kota besar lainnya, sehingga madrasah Nizhamiyyah menjadi pusat-pusat

studi keilmuan pada masa itu (Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994:44-45).

Pola pendidikan di sana menekankan para pembelajar agar mampu berpikir kritis

dengan cara melatih mereka untuk ber-ijtihad dan mengeluarkan pendapat, tidak

hanya sekedar menerima dan taqlid buta. (Ahmad Tsalabiy, t.t.:244).

Pemikiran humanistik memberikan keyakinan bahwa setiap manusia pada

dasarnya memiliki sifat dasar yang baik, memiliki karakter yang unik dengan potensi

yang tidak terbatas untuk berkembang, memiliki keinginan untuk mengaktualisasikan

Page 31: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

diri, dan memiliki tanggung jawab kepada dirinya sendiri dan orang lain (untuk lebih

jelasnya lihat baca Elias, J.L., & Merriam, S., 1980).

Dari konsep pemikiran tersebut maka teori belajar yang muncul adalah bahwa

setiap pembelajar harus diperlakukan sebagai makhluk yang utuh secara fisik, mental

dan intelektual. Pembelajaran harus mempertimbangkan minat dan kebutuhan

pembelajar; pembelajaran diupayakan atas inisiatif diri sendiri; Belajar atas inisiatif

diri sendiri merupakan salah satu prinsip pembelajaran dengan pendekatan

humanistik yang dirumuskan oleh Carl Rogers dalam bukunya Freedom to Learn,

dimana prinsip tersebut berkeyakinan bahwa belajar atas inisiatif sendiri melibatkan

pribadi pembelajar seutuhnya, baik perasaan (afektif) maupun intelektual (kognitif),

yang merupakan cara belajar yang dapat memberikan hasil yang mendalam (lihat

Wasty Soemanto, 1990:132) dan ancaman selama proses pembelajaran harus ditekan

serendah mungkin. (lihat juga Pamela J. Farris, 1993:11), yang menggambarkan

bagaimana atmosfir yang hangat dan nyaman di dalam kelas mampu memberikan

rasa aman di dalam diri pembelajar, merasa dimiliki sebagai bagian dari kelas,

sehingga mereke selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah, menjadi bagian dari

aktivitas kelas, berbagi ide dan belajar banyak hal yang baru. Kegiatan belajar

difokuskan kepada aktivitas pembelajar dengan guru bertindak sebagai fasilitator.

Konsep aktualisasi diri yang dimaksud sejalan pula dengan konsep yang

menjadi tujuan pendidikan Islam. Said Hawwa menjelaskan bahwa dalam diri

manusia ada berbagai kekuatan yang terbagi ke dalam tiga dimensi; jasad, akal dan

jiwa (ruh). Kekuatan-kekuatan yang ada tersebut dapat digunakan dalam kerangka

yang benar ataupun dalam kerangka fasid. Di samping itu, juga dapat dimanfaatkan

secara penuh atau hanya sebagian saja. Kebijakan pendidikan yang sehat adalah

kebijakan yang mampu mengaktualisasikan semua potensi kemanusiaan tersebut dan

mengembangkannya secara benar. Bahkan Said Hawwa dengan tegas menyatakan

bahwa sistem pendidikan yang demikian adalah system yang dimiliki Islam (Said

Hawwa, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, 2004: 625).

Dave Meier (2000: 67) telah menyampaikan kritik yang sangat tegas bahwa

pemikiran ilmiah Barat bukan saja telah memisahkan individu dari pemikiran holistic.

Holistik berasal dari kata whole yang artinya menyeluruh. Dengan demikian,

Page 32: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

pendidikan holistik dimaksudkan agar pembelajar berkembang secara menyeluruh,

baik aspek kognitif, motorik, emosional, dan spiritual (lihat Ratna Megawangi,

2008:25-27).Tapi juga telah memisahkan individu dari dirinya sendiri. Yang menjadi

fokus pendidikan hanyalah pikiran rasional, sedangkan tubuh sama sekali tidak

relevan dengan proses belajar. Pembelajaran menjadi rasional, verbal, abstrak dan

hanya duduk terus menerus. Padahal belajar yang paling baik adalah yang bersifat

holistis, bersifat luas dan manusiawi, bukan behavioristis secara sempit.

Dalam tataran psikologi, istilah Humanistik muncul pertama kali pada tahun

1962 dan dipopulerkan oleh Abraham Maslow (1908-1970) – (Charlotte Bühler dan

Mellanie Allen, 1972:15). Aliran psikologi ini muncul sebagai kritik terhadap aliran

psikologi sebelumnya yaitu aliran psikoanalisis yang digagas oleh Sigmund Freud

(1856-1939) (C. George Boeree, t.t.:228) dan aliran Behaviorisme yang digagas oleh

BF. Skinner (1904-1990) (C. George Boeree, t.t.:31). Psikoanalisis adalah aliran

psikologi yang lebih memfokuskan perhatian kepada orang-orang yang mengalami

gangguan mental. Sedangkan Behaviorisme, yang mendapat sebutan “madzhab

kedua” dalam bidang psikologi, lebih berupaya untuk mereduksi tingkah laku

manusia hanya pada domain mekanistik dan fisik belaka. Perkembangan aliran-aliran

behaviorisme dan psikoanalisis yang sangat pesat di Amerika Serikat ternyata

merisaukan beberapa pakar psikologi di negara itu. Karena mereka melihat bahwa

kedua aliran tersebut memandang manusia tidak lebih dari kumpulan refleks

(behaviorisme) atau kumpulan naluri saja, menganggap manusia sebagai robot

(behaviorisme) atau sebagai makhluk yang pesimistik dan penuh masalah

(psikoanalisis) (lihat Sarlito W. Sarwono, 2008: 109).

Cara pandang aliran psikologi humanistik terhadap teori tentang manusia

sangat dekat kepada tataran filosofis. Maslow begitu rinci menggambarkan tentang

kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimaksud

bukan semata-mata kebutuhan fisiologis namun juga kebutuhan psikologis. Maslow

menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimaksud secara hirarkis, (lihat

Abraham H. Maslow, 1970: 2, lihat juga Frank G. Goble, terj. Supratinya, 1987:98)

dan bagaimana seharusnya manusia dipandang. Dalam kaitannya dengan pendidikan

maka dimaknai bahwa setiap individu pembelajar secara naluriah sangat

Page 33: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

membutuhkan penerimaan, perlindungan, kasih sayang, serta penghargaan. (Abraham

H. Maslow, t.t.:181) Jika pembelajar tidak mendapatkan hal-hal tersebut dalam proses

pembelajaran, dikhawatirkan akan timbul sikap-sikap negatif, seperti sikap

memusuhi, mementingkan diri sendiri, agresif, tidak dapat diajak bekerja sama dan

sebagainya. (Frank G. Goble, terj. Supratinya, 1987: 98).

3.4 Metode Pembelajaran Bahasa Asing dengan Pendekatan Humanistik

Proses pembelajaran bahasa asing, digambarkan oleh Moskowitz (Gertrude

Moskowitz, t.t.:7) seringkali dilakukan dengan hanya meniru ungkapan-ungkapan

yang dicontohkan guru, drill-drill manipulatif, dan seringkali pembelajar melakukan

hafalan-hafalan dialog tanpa diiringi proses berfikir dikarenakan proses pembelajaran

menekankan pada tradisi imitatif dan mimicry (meniru). Dengan pola belajar seperti

ini para pembelajar dapat mengingat kembali materi pelajaran, karena bahan tersebut

sering diulang-ulang. Melalui proses ini, pembelajar dapat mengasimilasi materi

pelajaran secara lambat laun, namun apa yang diserapnya hanya pengetahuan verbal

saja, aspek semantiknya tidak terserap, karena proses ini dilakukan tanpa kesadaran

melainkan hanya melalui drill saja (lihat Sartinah Hardjono, t.t.:6). Hal ini menuntut

guru-guru bahasaasing agar berusaha mencari cara yang lebih “humanis” agar

semangat dan keinginan pembelajar untuk mempelajari bahasa asing lebih tinggi lagi.

Hal senada dikemukakan oleh Stevick, (lihat Earl W. Stevick, Patrick Early (ed.),

ELT Documents 113- t.t.:7) yang menggambarkan bahwa pembelajaran bahasa

dikatakan tidak humanis bila hanya berjalan karena kebiasaan saja, adanya

kerenggangan antara individu di dalam kelas, hanya memerintahkan saja apa yang

diajarkan, pembelajar melakukan aktivitas secara mekanistis sesuai dengan aturan-

aturan kosa kata yang ada di buku, serta mengulangi dialog-dialog dan latihan yang

bersifat mekanistis.

Secara lebih rinci, Stevick (t.t.:23-24) menjelaskan bahwa ada 5 komponen

yang harus ditekankan dalam metode pembelajaran bahasa asing dengan pendekatan

humanistik ini, yaitu; (1) memperhatikan faktor perasaan dan emosional pembelajar

(feelings); (2) melatih hubungan sosial (social relation); (3) melatih tanggung jawab

(responsibility); (4) meningkatkan pengetahuan (intellect); dan (5) mendorong ke

Page 34: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

arah aktualisasi diri (self-actualization). Komponen-komponen tesebut menghendaki

agar pembelajaran bahasa dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan, melatih

kreativitas pembelajar , dan berlangsung secara natural. Para pembelajar juga dilatih

untuk dapat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya dan orang lain serta

mempunyai sifat empati yang tinggi. Para pembelajar juga dilatih untuk memiliki

sikap tanggung jawab yang tinggi, mandiri dan mempunyai tujuan hidup (lihat Earl

W. Stevick, t.t.:25, Gertrude Moskowitz, 1978:12, W. Rivers, 1983:23-24, lihat juga

C.J. Brumfit, 1984:30).

John B. Kemp, (t.t.:247) -seorang professor di Gakushuin University Jepang-

menambahkan komponen ke-6 yang dikatakan tidak kalah pentingnya yaitu

komponen religiusitas. Kemp menambahkan hal ini atas dasar latar belakang

masyarakat Jepang yang sangat kental dengan nuansa spiritual, sehingga dia

mengatakan bahwa kelima komponen pendekatan humanistik dalam pembelajaran

bahasa sebagaimana yang dijabarkan oleh Stevick di atas, dapat terwujud melalui

komponen keenam ini. Misalnya, ketika sedang membahas sebuah artikel bahasa

Inggris tentang AIDS, maka di samping membahas unsur-unsur linguistik dan melatih

keterampilan berbahasa, guru juga memasukkan unsur religiusitas tersebut dalam

pembahasannya. Hal ini jelas sangat tepat diterapkan di Madrasah- Madrasah di

Indonesia, dimana pembelajaran bahasa juga dapat dijadikan sarana untuk

memperkuat unsur keagamaan pada diri pembelajar. Lihat lagi pemikiran Al-Ghazali

yang mengatakan bahwa proses pendidikan yang dilakukan harus memperhatikan dari

semua aspek kemanusiaan pembelajar; intelektual, psikologi, sosial, fisik dan

spiritual. Dalam Joy A. Palmer(t.t.:29-32).

Konsep “humanis” dalam pembelajaran bahasa asing sebagaimana yang

dimaksudkan oleh Moskowitz adalah bagaimana proses pembelajaran dapat

memotivasi setiap pembelajar, menciptakan suasana yang menyenangkan, para

pembelajar tertarik untuk berpartisipasi di dalamnya, dan mendorong keinginan

pembelajar untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan dengan menggunakan

bahasa target. Dengan demikian, pembelajar dilatih untuk menjadi dirinya sendiri,

menyadari kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki serta menimbulkan rasa

percaya diri (Gertrude Moskowitz, t.t.:2). Lihat juga Christopher Brumfit, yang

Page 35: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

mengatakan bahwa seorang guru yang humanis akan dapat melihat bahasa sebagai

sesuatu yang harus mengikutsertakan pribadi secara utuh; bukan sesuatu yang murni

bersifat mengisi intelektual saja. Mereka menghargai semua pembelajar sebagai

pribadi dengan segala kebutuhan emosional dan spiritual, di samping faktor

intelektual (lihat Christoper Brumfit, Patrick Early (ed.), ELT Documents 113,

1982:11).

Pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa asing menerapkan

metode-metode yang tidak konvensional, dan ini berkembang mulai tahun 1970- an.

Azhar Arsyad (2003:22) mengatakan bahwa metode-metode tersebut merupakan

metode inovatif karena membawa paham-paham baru dalam dunia pembelajaran

bahasa asing. Metode-metode tersebut muncul sebagai kritik pada metode

audiolingual.

Cara belajar bahasa melalui metode audio-lingual yang didasarkan pada

pendapat bahwa belajar bahasa asing yaitu dengan menirukan dan mengulangi

berkali-kali. Cara belajar seperti ini dianggap too much parroting (meniru seperti

burung beo) (lihat Gertrude Moskowitz, t.t.:1). Cara belajar yang demikian dikritik

oleh Noam Chomsky, seorang ahli linguistik dari Massachusetts Institute of

Technology, yang mengatakan bahwa belajar bahasa yang demikian hanya

mementingkan struktur permukaan bahasa itu saja, sedangkan makna bahasa yang

tersimpan dalam diri si pembicara terabaikan (Josué M. González (ed.), 008:48-49).

Pada pertengahan abad ke-20, bahasa dianggap sebagai faktor yang sangat

menentukan pernyataan kognitif dan afektif seseorang. Melalui aktivitas verbal,

seseorang secara langsung menyatakan pikiran, kehendak dan perasaannya. Chomsky

menekankan pentingnya proses mental dalam aktivitas bahasa (lihat Mansoer Pateda,

1990:88). Oleh karenanya, Chomsky mengemukakan bahwa aspek kreativitas dalam

pengajaran bahasa adalah hal yang sangat perlu mendapatkan perhatian. Dengan

adanya kreativitas bahasa, manusia dapat menciptakan berbagai konsep melalui

bahasa.

Untuk dapat memahami bagaimana pembelajar dapat melatih kreativitas

bahasa mereka, guru harus memahami teori-teori kebahasaan itu sendiri. Kreativitas

yang dimaksud dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri

Page 36: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

(Robert Di Pietro, Diana E. Bartley (ed) 1979:42). Dengan kata lain, hal itu dapat

menunjukkan tahapan kemampuan pembelajar dimana pada akhirnya nanti

keterampilan berbahasa yang dicapai dapat menyerupai penutur asli. Hal ini terdengar

sangat idealis, dan tidak banyak guru yang menetapkan hal ini sebagai tujuan

pembelajaran di kelas. Dorongan untuk meningkatkan kreativitas tersebut juga akan

menimbulkan tantangan tersendiri pada guru; guru harus mampu menyediakan

lingkungan yang dapat menstimulasi potensi-potensi kreatif yang ada pada setiap

pembelajar. Di samping itu, guru sendiri juga harus senantiasa menggali potensi-

potensi kreatif yang dia miliki untuk dapat menciptakan teknik-teknik pembelajaran

yang inovatif (lihat dalam Harold W. Bernard & Wesley C. Huckins, 1974:185).

Noam Chomsky (1965:6) menjelaskan bahwa kreativitas bahasa adalah sifat

bahasa itu sendiri, yang memberikan makna untuk mengekspresikan pikiranpikiran

yang tidak terbatas dan untuk memberikan reaksi yang tepat pada situasi baru yang

tidak terduga. Dengan demikian, guru hendaknya senantiasa mengembangkan daya

nalar pembelajar, memberikan stimulus untuk berfikir, mendeduksi arti kata dari

konteks, sehingga diharapkan pembelajar akan terlatih untuk lebih kreatif penguasaan

mereka terhadap bahasa target semakin meningkat.Menyikapi pandangan Chomsky

ini, para ahli bahasa seperti Moskowitz, Stevick, dan Asher, mulai mengalihkan

perhatiannya pada segi psikologis belajar bahasa. Berbagai variabel kejiwaan yang

mempengaruhi orang belajar bahasa asing diteliti untuk dapat memperoleh metode

yang tepat. Asumsi dasar yang melandasi pemilihan metode inilah yang disebut

dengan pendekatan humanistik yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas bahasa di

kalangan pembelajar. Metode-metode pembelajaran dengan pendekatan humanistik

tersebut adalah: The Silent Way, Community Language Learning, Total Physical

Response, Suggestopedia dan Natural Approach (Earl W. Stevick, t.t.:10, lihat juga

HD. Brown, 1993:74-100, dan Abdul ‘Aziz Ibrahim, 2002:268-269).

3.5 Implementasi Pendekatan Humanistik dalam Pembelajaran Bahasa Asing

di Indonesia

Page 37: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan humanistik

dalam pembelajaran bahasa asing telah diterapkan di berbagai negara, bahkan di

Indonesia (lihat Gertrude Moskowitz, t.t.:32-33).

Dalam tulisannya, Moskowitz menceritakan tentang surat yang dia terima dari

seorang guru Bahasa Inggris dari Indonesia. Surat tersebut menceritakan

keberhasilannya menerapkan pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa

Inggris, dengan menggambarkan bagaimana suasana kelas demikian hidup, menarik,

menyenangkan dan para pembelajar dapat menikmati aktivitas pembelajaran yang

programkan.

Temuan-temuan dalam penelitian ini menggambarkan bahwa banyak sekali

peluang-peluang untuk dapat menjadikan proses pembelajaran bahasa menjadi lebih

humanis justru “terabaikan”. Peluang yang dimaksud diantaranya adalah: Pertama,

guru tidak kreatif memanfatkan fasilitas yang ada untuk mengoptimalkan media

pembelajaran. Kedua, kurang memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk

melakukan aktivitas komunikatif, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ketiga

tidak adanya usaha untuk menciptakan lingkungan berbahasa yang kondusif sehingga

pembelajar senantiasa termotivasi untuk mempraktekkan bahasa asing yang telah

mereka pelajari. Keempat, aktivitas belajar masih didominasi oleh guru menjelaskan

materi dengan metode pembelajaran yang tidak variatif sehingga kurang

mengakomodir perbedaan gaya belajar pembelajar.

Pembelajaran bahasa hendaknya tidak hanya berorientasi kepada bahan

pelajaran tetapi juga kepada pembelajar.Di samping berorientasi kepada hasil

pembelajaran, guru juga hendaknya menjadikan proses pembelajaran sebagai sarana

untuk pembentukan nilai-nilai afektif dalam diri pembelajar. Dengan demikian

diharapkan, selain pembelajar akhirnya menguasai bahasa target, mereka juga akan

terlatih untuk mampu belajar secara mandiri maupun bekerja sama dalam kelompok,

bersikap kritis dan kreatif, menghargai orang lain, percaya diri, dapat belajar dari

kesalahan, dan lebih jauh lagi para pembelajar mempunyai kesempatan untuk dapat

mengaktualisasikan dirinya (lihat Sumaji, 1998:236, lihat kembali Earl W. Stevick,

t.t.:23-24, dan G. Moskowitz, t.t.:14-15).

Page 38: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Dengan pendekatan-pendekatan yang tepat, pembelajaran bahasa asing dapat

memberikan andil dalam membangun dimensi sosial, emosional, spiritual, disamping

disamping penguasaan kognitif dan psikomotor pembelajar. Konsep pendidikan yang

bertujuan untuk mengembangkan pelbagai potensi pembelajar ini

telah ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional (lihat kembali Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab 2 Pasal 3 dan juga telah dilakukan oleh banyak negara. Sebagai contoh,

Departemen Pendidikan di Jepang sejak 1988 telah merevisi system pendidikan yang

bertujuan agar para pembelajar kreatif, berfikir filosofis, mampu menilai dan

memberi keputusan, dan dapat mengekspresikan dirinya. Sementara itu, Ministry of

Education of British Columbia Canada, sejak tahun 2000 telah mencanangkan tujuan

pendidikan untuk mengembangkan aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial,

intelektual, fisik dan kesehatan, juga tanggung jawab social (lebih lengkap, lihat

Ratna Megawangi, 2008:22-30).

Penerapan pendekatan humanistik dalam metode pembelajaran bahasa asing

di Indonesia memang tidak dapat dilakukan sepenuhnya, seperti metodemetode yang

telah penulis uraikan pada bab sebelumnya. Hal ini lebih terkait dengan sistem

kurikulum pembelajaran bahasa asing itu sendiri, yang jelas berbeda dengan

kurikulum di negara-negara dimana metode tersebut diciptakan. Oleh karenanya, bab

berikut akan menganalisa bagaimana pembelajaran bahasa asing di madrasah dapat

dilaksanakan dengan pendekatan humanistik dengan tetap mengacu kepada

kurikulum yang telah ditetapkan.

4. Penutup

Pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa menghendaki ketika siswa

melakukan suatu kesalahan, maka dia diberi cukup waktu untuk mengoreksi karena

kesalahan dalam suatu proses belajar bahasa dianggap hal yang sangat wajar, dengan

demikian pembelajar tidak merasa tegang dan merasa diburu-buru oleh kesalahan,

atau bahkan ancaman hukuman dari guru. Konsep menyikapi kesalahan yang

dilakukan oleh pembelajar dengan cara tersebut merupakan konsep yang sejak lama

ditanamkan dalam pendidikan Islam. Metode pembelajaran ada yang bertujuan untuk

Page 39: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

mencapai apa yang menjadi tujuan belajar, dan ada juga yang bertujuan untuk melatih

siswa bagaimana cara belajar (learning how to learn).

Konsep pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa berada diantara

keduanya, karena disamping berupaya agar siswa dapat menguasai bahasa target,

metode pembelajaran juga lebih diarahkan agar untuk belajar bagaimana caranya

belajar bahasa asing, sehingga diharapkan dia akan lebih mudah mempelajari bahasa

asing lainnya.

Dalam pendekatan ini dibangun asumsi bahwa siswa adalah seorang manusia

yang berbudaya bukanlah alat untuk menerima stimulus untuk kemudian memberikan

respon. Setiap pembelajar mempunyai daya, minat, bakat, kecenderungan, kebutuhan

dan perbedaan-perbedaan individual yang harus diperhatikan dalam proses

pembelajaran bahasa. Dengan demikian maka guru harus mempertimbangkan aspek

intelektual, emosional, sosial dan spiritual siswa. Sebagai manusia, siswa diberi

kesempatan untuk mengekspresikan diri sendiri, perasaan, pengalaman dan

pendapatnya. Partisipasi pembelajar dalam proses pembelajaran bahasa menjadi

sangat penting, karena keterlibatan emosional dapat meningkatkan motivasi dan

semangat untuk berprestasi.

Adanya penekanan kepada proses pembelajaran ini diharapkan dapat melatih

sikap tanggung jawab pembelajar agar mampu belajar secara mandiri (self-directed

learning), sebagaimana hal ini menjadi salah satu dari lima hal yang ditekankan oleh

Stevick sebagai konsep humanistik dalam pembelajaran bahasa asing. Self-directed

learning ini akan sangat dibutuhkan agar pembelajar mau terus belajar sepanjang

hidupnya; proses belajar tidak hanya berhenti setelah ujian nasional selesai. Apalagi

pembelajar yang mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi, maka konsep ini akan sangat

membantu. Akhirnya penulis mengharapkan agar tenaga pengajar

memberikan metode humanistik ini terhadap para siswa agar pengembangan bahasa

asing dapat dilaksanakan ditingkat dasar atau pun menengah. Amiin.

Daftar Pustaka

Ahmad Muflih Saefuddin, 2003, Masa Depan Kemanusiaan, Yogyakarta: Jendela.

Page 40: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Abdurrahman Mas’ud, 2002, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik;

Humanisme Religius Sebagai paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta:

Penerbit Gama Media.

Abin Syamsuddin, Makmun, 2005, Psikologi Kependidikan, Bandung: Remaja

Rosdakarya

Ahmad Fuad Effendy, 2005, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat.

Ahmad Tafsir, 2006, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu

Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Azhar Arsyad, 2003, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya;Beberapa Pokok

Pikiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abraham H. Maslow, 1968, Toward A Pshychology of Being, 2nd ed., Melbourne: D.

Van Nostrand Company.

Abdurrahman Saleh Abdullah, 2005, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-

Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta.

Alan Rogers, 1990, Teaching Adults, Buckingham: Open University Press.

Anas Muhammad Ahmad Qasim, 2000, Sikulujiyyah al-Lughah, al-Azarithah:

Markaz al-Iskandariyah li al-Kitab.

Ahmad Tsalabiy, 1954, Târîkh al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Kairo: Kasyaf li al-Nasyr

wa al-Thiba’ah wa al-Tauzi’.

Abdurrahman Saleh Abullah, 2005, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,

Jakarta: Rineka Cipta.

Charlotte Bühler dan Mellanie Allen, 1972, Introduction to Humanistik Psychology,

Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Christopher Brumfit, 1985, Language and Literature Teaching; from Practice to

Principle, Oxford: Pergamon Press Ltd.

Chaedar Alwasilah, 1993, Bunga Rampai Pendidikan Bahasa, Bandung: Angkasa.

David Nunan, 1991, Language Teaching Methodology, London: Prentice Hall

International Ltd.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994, Ensiklopedi Islam, cet. 2, Jakarta: Ichtisah

Baru Van Hoeve.

Page 41: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Dede Rosyada, 2007, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan

Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta, Kencana.

Dave Meier, 2000, The Accelerated Learning Handbook, New York: McGraw-Hill.

Earl w. Stevick, 1990, Humanism in Language Teaching; A Critical Perspektive,

Oxford University Press.

Elias, J.L., & Merriam, S., 1980, Philosophical Foundation of Adult Education,

Malabar: FL Robert E. Krieger.

Gordon Dryden & Jeannette Vos, 1999, The learning Revolution: To Change the Way

the World Learns, Selandia Baru: The Learning Web.

Gertrude Moskowitz, 1978, Caring and Sharing in The Foreign Language Class; A

Sourcebook on Humanistic Techniques, Rowley, Mass.:Newbury House.

Ibnu Sina, 1906, Al-Siyasah fi al- Tarbawiyah, Mesir: Majalah al-Masyrik.

Iskandar Wassid dan Dadang Sunendar, 2008, Strategi Pembelajaran Bahasa,

Bandung: Remaja Rosdakarya.

John Dewey, 1916, Democracy and Education, New York: Macmillian.

John Stuart Mill, 1948, Philosophy & Theology; Utilitarianism, Liberty, and

Representative Government, New York: E.P. Dutton & Co.Inc.

J. Richard & T. Rodgers, 1986, Approaches and Methods in Language Teaching; A

Description and Analysis, Cambridge: Cambridge University Press.

Kenneth Chastain, 1976, Developing Second-Language Skills: Theory to Practic,

Chicago: Rand McNally Publishing Company.

Kurtz, dalam Earl W. Stevick, 1990, Humanism in Language Teaching, Oxford

University Press.

Lamont, 1965, The Philosophy of Humanism, New York: Frederick Unger Publishing

Co.

Marcel A. Boisard, 2003, Humanism in Islam, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Muhbib Abdul Wahhab, 2008, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahsa

Arab, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis

dan Kerangka Rasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.

Page 42: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Moeljanto Soemardi, 1992, “Pendekatan Humanistik dalam Pengajaran Bahasa”,

dalam Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Mansoer Pateda, 1990, Aspek-Aspek Psikolinguistik,Yogyakarta: Nusa Indah.

M. Ngalim Purwanto, 1992, Psikologi pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

Cet. Ke-5.

Nashif Musthafa Abdul ‘Aziz, 1983, al-‘Al’ab al-Lughawiyah fi Ta’lim al-Lughah al-

Ajnabiyah, Riyad: Dar al-Marikh li al-Nasyr.

Noam Chomsky, 1965, Aspects of the Theory of Syntax, Cambridge: MIT Press.

Nurkholis Madjid, 1997, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:

Paramadina.

Noerhadi & Roekhan (ed.), 1990, Dimensi-Dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua,

Bandung: Sinar Baru.

Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, terj.,

Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jakarta:

Bulan Bintang.

Oong Komar, 2006, Filsafat Pendidikan Non-Formal, Bandung:Pustaka Setia.

Pamela J. Farris, 1993, Language Art; A Procces Approach, Madison: WCB

rown&Benchmark Publisher.

Rusdi Ahmad Thua’aimah, 1989, Ta’lim al-‘Arabiyyah lighairi al-Nathiqina biha

Manahijuha wa Asalibuha, Rabat: Isesco.

Richard I. Arends, Learning to Teach, 7th ed., 2008, New York: McGraw Hill

Company.

Said Hawwa, Al-Islâm, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, 2004, Al-Islam, Jakarta: Gema

Insani Press.

Sarlito W. Sarwono, 2008, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh

Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, cet. III.

Sumaji, 1998, Pendidikan Sains yang Humanistis, Jakarta: Kanisius.

Umar Muhammad Taumy al-Syabany, 1979, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj.

Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Page 43: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

W. Rivers, 1983, Communicating Naturally in a Second Language; Theory and

Practice in Language Teaching, Cambridge: Cambridge University Press.

William J. Mc Gure, 1975, The Nature of Attitude and Attitude Charge; The

Handbook of Social Pshichology, New Delhi: Amerind Publishing.

Wasty Soemanto, 1990, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.

Sartinah Hardjono, 1998, Psikologi Belajar Mengajar Bahasa Asing, Jakarta:

Depdiknas.

Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, 2006, Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-Dasar

Pelaksanaan Pendidikan, Jakarta:UIN Press.

Zakiyah Darajat, 1982, Keprihatinan Guru, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-3.

Hubungan Antara Filsafat dan Sastra dalam Novel Sanu Infinita Kembar Karya Motinggo Busye

Page 44: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Taufik NugrohoFaculty of Letter, Bina Nusantara University

Abstrak

The purpose of this present paper is to explain the relationship between philosophy and literature in the novel Sanu lnfinita Kembar by Motinggo Busye. This paper consists of introduction, the similarities and differences between philosophy and literature, the relationship between philosophy and literature, synopsis of the novel, Sanu lnfinita Kembar: A Philosophical Novel, and conclusion.

Kata Kunci: filsafat, sastra, novel.

1. Latar Belakang

Bagaimana filsafat membahasakan kekayaan pandangan hidup yang bisa jadi

berkemungkiman mengurangi kekayaan pengalaman lantaran proses rasionalisasinya?

Salah satu corong bahasa yang menjembatani adalah sastra. Apa dan bagaimana sastra

dalam kaitan filsafat mau menjembatani refleksi realitas mengenai kehidupan yang

tidak hanya rasional tetapi juga emosional. Dalam paparan paper ini penults mencoba

untuk menunjukkan benang merah antara filsafat dan sastra beserta satu contoh karya

sastra yang bernilai filsafat dan mistik, yakni: SANU INFINITA KEMBAR karya

Motinggo Busye.

1.2 Perbedaan dan Persamaan antara Filsafat dan Sastra

Pada dasarnya sastra dan filsafat sama-sama bermuara pada pengalaman

menghayati kehidupan ini. Perbedaan nuansanya, filsafat hendak memaparkan

pengalaman penghayatan kehidupan dengan bantuan pertanyaan dasariah, radikal:

mengaitkan secara eksplisit dengan siapa manusia ? Apa artinya hidup ini? Ke mana

arahnya? Bagaimana pandangan si manusia pelaku sejarah hidupnya ini dengan

lingkungan dunianya, jagadnya? Jika ia menghayati hidup bersama sesamanya, apa tujuan

hidup bersama ini, dan apa artinya hidup bersama dengan sesama?

Sastra hendak memaparkan pengalaman itu secara langsung, konkret,

tanpa membuatnya sistematis. Bahasanyapun langsung, mengalir dengan

lancar memaparkan kehidupan yang ada. Bahasa ini sangat berkaitan dengan

kegiatan sastra, kegiatan untuk menciptakan sesuatu Karena sastra itu hendak

Page 45: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

membahasakan pengalaman hidup maka ciri bahasanya pun lebih merupakan

bahasa ujaran: memapar dengan bercenta, berkisah lewat kata.

Filsafat, ciri bahasanya adalah ilmiah, rasional, dan sistematis karena

mementingkan acuan pertanyaan radikal mengenai dasar pengalaman itu sendiri

dan konteks maknanya.

Filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas itu

sendiri. Bila filsafat bertolak dari kenyataan Ialu hendak diabstraksikan, dicari jati

dirinya, hakikatnya, maka sastra mulai dari apa yang ada dalam kenyataan lalu

diolah lewat imajinasi, lewat proses kreatif lalu dibuatnya lebih indah Imajinasi

tadi ada dalam cipta kemudian dituangkan dalam tulisan atau kata-kata (Sutrisno,

1995:16-17).

Bila titik tolak keduanya sama, yaitu realitas,yang membuat keduanya

berbeda adalah metodologi pengolahannya. Sastra, secara metodologis, merupakan

ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana manusia berada, hidup dan bergulat di

dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul sebagai refleksi atas

pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup yang

sudah dirinci, dipilah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi.

Bila sastra dalam mengolah realitas pengalaman hidup menggunakan proses

mencipta kembali sehigga buahnya berciri meresapkan, membuat orang

menikmati, mengecapi, maka filsafat menggunakan proses merefleksikan

sehingga buah-buah anggur perasan yang keluar berciri menjelaskan,

menerangkan dengan rinci.

Karena filsafat merupakan refleksi atas pengalaman manusia dalam

hidupnya yang sudah dirinci lewat akal budi, maka bahasanya pun bukan bahasa

sehari-hari. Ciri bahasa filsafat teknis, langsung menjelaskan secara distingtif,

lugas dan dengan penggolongan kategori yang tepat. Di sinilah kerap terjadi

kesulitan dalam memahami filsafat. Sedangkan bahasa sastra berperan hendak

menciptakan kembali dengan indah realitas yang ada maka bahasanya berciri

emotif, puitis, dan imajinatif.

2. Kajian Teori dan Pengembangan Hipotesis

Page 46: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

2.1 Hubungan antara Filsafat dan SastraTitik temu yang pertama adalah sastra itu bisa menjadi bahan baku

untuk filsafat. Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas hidup tadi bisa dijalani melalui dua bahan pokok (Atmosuwito, 1980:127) Bahan pokok yang pertama, berfilsafat memakai temuan-temuan llmu empiris Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku linguistik. Strukturalisme memakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua, orang bisa berffilsafat dengan memakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan seniman. Disinilah refleksi filsafat sebenarnya menemukan sumber air jemih untuk digarap. Maka, yang menjadi tantangan adalah bagaimana otah kehidupan sebagaimana dihayati dan dituliskan dengan bahasa puitis, imajinatif oleh sang seniman dalam sastra dieksplisitkan secara sistematis dan terinci. Di sinilah hubungan erat antara filsafat dan sastra. Tantangan ini mendesak kiranya di tanah air kita ini: pengkajian paham manusia dan nilai hidupnya sebagaimana dipaparkan oleh buku sastra atau pengarang tertentu.

Titik temu yang kedua terletak pada pendapat agak aprion mengenai

filsafat. Seringkali dikatakan bahwa filsafat itu sulit, abstrak atau serius. Di sinilah

kiranya sastra bisa turun tangan membantu filsafat untuk menjadi corongnya Lewat

bahasa sastra yang lebih komunikatif, segar dan hidup, filsafat bisa dibantu

menyuarakan refleksinya atas pengalaman menghayati hidup dalam makna dan

nilainya. Pada kenyataannya, sudah cukup banyak contoh mengenai sastra sebagai

corong filsafat, meskipun produk sastranya disebut sastra serius, karena berisi

refleksi filsafat.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Sinopsis Novel Sanu Infinita Kembar

Cerita ini terjadi dalam tahun 1964-1965 ketika udara penuh dengan tempik sorak gegap gempita pihak komunis dan Lekra mengganyang orang-orang dianggap kontra-revolusioner, penganut-penganut humanisme universal dan Manifes Kebudayaan, dengan insinuasi-insinuasi dan fitnahan-fitnahan yang menimbulkan kegelisahan, ketakutan dan saling curiga dalam masyarakat. Bahkan hal ini dapat terjadi antara orang tua dan anak dan antara suami dan istri.

Hal ini dapat dilihat dan percakapan antara Sanu dan Raswan:"Raswan, namaku terdaftarjuga, " ujarSanu melemparkan koran

Page 47: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

mingguan itu kepada Raswan."Kan masih berani tinggal di Jakarta? " tanya Raswan."Kan? " tanya Sanu kaget."Sore ini aku akan ke Sumatra. ""Lho!""Perhatikan nama kita beserta alamat lengkap ditulis disana.

Ini memudahkan pihak penguasa untuk menangkap kua, " kata Raswan. “itu tindakan orang penakut, Raswan”. I.ari dari penangkapan bukan berarti penakut. Itu namanya

hijrah. Nabi Muhammadjuga hijrah, dari Mekah ke Madinah, " kata Raswan. "Aku akan menempuh cara yang digunakan Pangeran Diponegoro, " kata Sanu.'Cara apa ilu? " tanya Raswan.Menggunakan ilmu hilang. He, untuk mengetahui Sejarah Indonesia, kita cukup membaca riwayat hidup Diponegoro, " ujar Sanu.Wah. kamu memangsudah kerasukan filsafat Ralph Waldo

Emerson, Sanu.Kurasa Emerson betul. Untuk mengetahui sejarah Eropa cukup

dengan membaca biograji Napoleon. Untuk mengetahui sejarah Islam, cukup mebaca riwayat hidup Muhammad. "

(hal.1)

Harian Rakyat dengan ruangan kebudayaannya, Bintang Timur dengan ruangan yang dijendrali Pramudya Ananta Toer, dengan gencar melontarkan tuduhan-tuduhan refosioner, anti-Nasakom, antek kapitalis, agen CIA, penghianat bangsa, dan memuat orang yang harus diganyang dan dibabat, lengkap dengan alamat-alamatnya. dengan maksud untuk mengintimidasi lawan-lawan demi mematangkan situasi kekuasaan. Pihak kiri mengerahkan rapat-rapat raksasa untuk memperlihatkan bahkan tidak segan-segan mengatur demonstrasi masa mendatangi kedutaan-ia merusak hubungan baik dengan negara-negara bersahabat. Bentrokan fisik pun iifotndan sepeni yang terjadi di Bandar Betsi Dal am keadaan teror semacam itu, reaksi orang. Ada yang buru-buru masuk partai berkuasa, ada yang meluluhkan Eiassa dan tidak menjadi siapa-siapa, tanpa ideologi tanpa idealisme, dalam usaha dan bencana dihancurkan sebagai unsur kontra-revolusioner. Ada yang ke luar kota, menyembunyikan diri mencari selamat bahkan ada yang berusaha ke luar negeri . Ada

Page 48: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

yang berlatih bela diri, ada yang kembali ke agama sebagai pegangan, panik oleh serangan dan fitnahan, mohon perlindungan Tuhan dan ada yang menuntut ilmu kebatinan untuk membuat dirinya kebal atau bisa menghilang. lnilah masanya ketika budayawan dan seniman yang tidak mau berpolitik diseret ke bulan-bulanan politik. Konsentrasi jiwa seniman masa itu terlukis dengan baik dalam novel ini.

Cuplikan dibawah ini memberikan gambaran mengenai keadaan tersebut;"Melawan politik tidak bisa dengan ilmu mistik, kata Raswan. "Kau salah duga. Aku bukan orang politik. Aku tidak punya massa. Dengan tuduhan bahwa kita orang-orang kontra-revolusioner, itu bahwa politik menghasut massa untuk menangkap kita. Nama dan alamat kita jelas tercantum. Danjika kita sudah dikepung dan diserbu massa, kita bukan lagi berhadapan dengan politik. Kita harus menyelamatkan harga diri kita sebagai manusia, agar tidak tertangkap dan mati konyol. Ketika itu tidak satu orang pun bisa kita percaya untuk mendapatkan pertolongan . Kita harus berteriak kepada Tuhan, seorang diri , seperti halnya Diponegoro yang memiliki ilmu hilang".

(hal. 2)

Sanu adalah seniman yang memilih mistik untuk melepaskan diri dari cengkraman politik. Sebagai pelukis dan pengarang ia kehilangan gerak. Lukisan-lukisannya yang rada abstrak dituduh lukisan burjuis dan karangannya yang sudah naik pers setselnya dilebur, karena namanya dimuat dalam surat kabar kini sebagai seorang yang anti-revolusioner. Penerbit ketakutan untuk mencetaknya. Tawaran seorang diplomat untuk mengirimnya ke Paman Sam, ditolaknya dengan tegas: diantara dua adikuasa ia memilih jadi nasionalis

Sanu menuntut ilmu kebatinan, khususnya ilmu untuk menghilangkan diri, hingga selamat dari sergapan musuh. Sanu akan hijrah ke luar atmosfir, menurut istilahnya sendiri. Dalam dirinya Sanu menemukan dua kesadaran yang senantiasa bertentangan, yakni suara Aku-ego dan suara Aku-Tuhan dan itulah yang merupakan infinita Sanu, dua hakekat dalam satu jasad. Dengan bicara tentang pengalaman empiris menembus atmosfir dan stratosfir, untuk bertemu Tuhan, adanya diri ganda manusia, nampak pencarian jati diri dalam hubungannya dengan lingkungan, Tuhan dan semesta. Sanu merenung dan mencari jawaban atas segala: apakah penguasa, apakah massa, apakah kebenaran, apakah moral, apakah fungsi ruang dan waktu, apakah hakekat Ada, Gerak, Situasi. Ia mendalami seluk beluk pemikiran, dan praktek-praktek kebatinan, lengkap dengan peristilahan-peristilahannya. Ia berspekulasi mengenai planit-planit di angkasa dan harmom dalam semesta. Cahaya menyinari Muhammad. Dan cahaya

Page 49: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

inilah awal mula penciptaan Allah. Dan banyak sekali spekulasi-spekulasi mistik dan mengalani tingkat-tingkat ilmulyaqin, ainulyaqin untuk sampai kepada haqqulyakin. Sanu telah menimba ilmu pengetahuan dan filsuf-filsuf dan pemimpin-pemimpin rohani seperti Anstoteles, Plato, Sokrates Descartes, Pascal, Bergson, Kant, Emerson, Buddha. Kong Fu Tse, Lao Tse, Al-Hallaj, Yesus, Muhammad, Nietzshe, Machiavelli, Karl Marx, Hegel, tapi juga dan tokoh-tokoh tindakan, seperti Napoleon, Caesar, Jefferson, dan Lincoln.

Sebagaimana Danarto sampai kepada Adam Ma'rifat, demikian pula Sanu sampai kepada Manusia Total: "Manusia yang menjaga keseimbangan antara din pertama dan din ksdua Seluruh manifestasi diri pertama adalah infinita-ego, yang lawannya adalah infinita-kreaof Karena itu, diri kedua infinita kembar itu, dengan kreatifitasnya menjadikan ia dinamis. Dan dinamika kreatif hanya ada pada pemilik status quo perimbangan, yaitu Manusia Total." ,M 6)

Pada suatu kesempatan kepala Sanu mengangguk-angguk beberapa kali dan sempat aietahui oleh temannya Awin. Dia bertanya:

"Kau tadi menggeleng, lalu diam, lain mengangguk, itu apa sih maksudnya? "

"Kami sedang bercakap-cakap, "jawab Sanu. Kami itu siapa? "

"Aku dan aku ". Aku ini sebagai diri kembar. Karena kembar, bisa dilahikan kerjasama, bukannya konfrontasi antara aku dan aku itu". Itu kejawen!" tudingAwin.Santi kalau aku keluarkan semua literaturku, kau kaget. "

(hal. 55)

Boleh jadi pengalaman-pengalaman irrasional yang dialami Sanu menimbulkan sinis pada pembaca yang tidak mempunyai atau telah kehilangan indra keenamnya, apabila kita memperhatikan gejala-gejala ajaib yang terjadi sekitar kita, maka apa yang Sanu pada dinnya, bukan hal-hal yang aneh bahkan mustahil. Membaca cerita ini kita masuk ke dunia mimpi yang mencekam tapi mengasyikkan, di mana kepala adalah kaki, kanan, atas adalah bawah, timur adalah barat, dunia sungsang sumbalit di mana kita -aian dengan rasio di tengah kebalauan yang mokal-mokal. Kita bertemu pikiran-pikiran dan pemandangan-pemandangan yang membedah kenyataan untuk sampai kepada kebenaran-kebenaran hakiki.

Ilmu psikologi, khususnya psikiatri, mempunyai nama-nama untuk gejala-gejala yang dialami Sanu, seperti halusinasi, paranoia, schizophrenia, delirium, dan

Page 50: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

sebagainya, semuanya merupakan penyakit-penyakit kejiwaan yang tidak ada hubungannya dengan alam gaib. Hanya karena saraf tidak berfungsi dengan baik, maka bermacam pendengaran, penglihatan, dan penciuman bisa terjadi, yang sebenarnya objeknya tidak ada. Tapi di samping psikologi dan psikiatri telah berkembang pula ilmu yang disebut parapsikologi yang menyelidiki gejala-gejala luar indrawi, bukan sebagai gejala-gejala penyakit, tapi sungguh-sungguh berasal dari kemampuan pengindraan yang saking halusnya bisa berhubungan dengan dunia gaib di luar diri. Nama lain adalah spritualisme, tapi perbedaan di antara keduanya ialah bahwa parapsikologi mencoba dengan cara ilmiah menganalisa gejala-gejala indrawi, sedangkan spritualisme menerima dunia gaib begitu saja.

Dalam membaca pengalaman Sanu yang diceritakan oleh Busye ini, kita berbentur pada pertanyaan apakah Sanu sedang mengalami proses penggilaan, ataukah ia sedang menghayati proses pewalian yang sampai kepada hakikat kebenaran yang paling akhir? Apapun asal-usulnya pengalaman Sanu, sebagaimana Busye menceritakannya, sungguh sangat menarik, karena diceritakan dengan cara yang sangat masuk akal, seolah-olah dialami oleh pengarangnya sendiri. Kelebihan pengarang dari pemakai bahasa biasa adalah bahwa pengarang dapat menggerakkan gerak batin yang paling halus dan paling dalam berupa perasaan dan pikiran yang menyertai gerak fisik yang paling kecil dan paling halus dalam kata-kata. Dan pengarang di sini membuktikan kemampuan itu. Ia melukiskan pengalaman orang bermeditasi untuk mendapat kekuatan menembus alam atmosfir dan startosfir, menguak perbatasan hidup dan mati menjalin pengalaman nyata dan rohani, di mana alam nyata dan alam barzah berbaur, pengarang hidup dalam kesemestaan, bukan sebagai pasien jiwa, tapi sebagai manusia pilihan. Tanggapan mistik dan peristilahan mistik dikuasai dengan cekaman yang kuat, bahkan ditambah dengan konsep dan peristilahan fisika dan metafisika ( hal. 37-38).

3.2 Sanu Infinita Kembar: Novel Mistik-Falsafati karya Motinggo BusyePengarang melalui tokoh utamanya, Sanu, berpendapat bahwa dalam diri

manusia senantiasa terjadi perbutan kekuasaan, coup d’etat, sampai dia menemukan ajalnya. Dengan kata lain, dalam satu diri manusia terdapat kekuasaan, yaitu kekuasaan kembar. Kekuasaan kembar dua ini, secara terus menerus berperang dalam dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang kongkrit, Kekuasaan Pertama selalu melakukan revolusi. Dan sebagaimana skala makro sebuah revolusi, maka peristiwa mi meniumbulkan korban-korban. Dan yang dikorbankan adalah manusianya sendiri Sebaliknya, Kekuasaan Kedua melakukan evolusi, dan

Page 51: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

kecenderungannya adalah merawat dan membangun puing-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan Pertama bertindak sentralistis dan sama sekali tidak kreatif. Inilah Ego Sedangkan Kekuasaan Kedua bertindak harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala perhitungan kosmis dan supranatural yang tak pemah dipahami Karena itu selalu dilawan oieh Kekuasaan Pertama. Inilah Kreator. Dan oleh karena itu sifatnya alamiah, adalah sebenarnya, Ulahiah. Ego tidak pemah mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa, karena ia mengira dirinyalah penguasa tunggal, dan karena itu dia mengira dirinyalah "Tuhan". Tetapi Kreator sepenuhnya mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa Dan dia sendiri secara sadar memikul Tuhan kepadanya. Bahkan dia mengalami kenikmatan ketika Tuhan hadir dalam dirinya. Berbeda dengan Kekuasaan Pertama yang ingin merebut Kekuasaan Kedua secara revolusioner, Kekuasaan Kedua justru menyatakan perebutan kekuasaan atas kekuasaan pertama, bukanlah untuk menjadi pernguasa otoriter. Yang direbutnya bukanlah wilayah Kekuasaan Pertama, tetapi sekedar mengarahkan tindak revolusioner Kekuasaan Pertama tadi. Dengan kata lain, dia mengenal batas wilayah itu, karenanya dia sekedar menjaga status quo atas Kekuasaan Kembar itu.

Blaise Pascal dengan tepat menyebut Dua Kekuasaan ini sebagai "Dua Infinita", tetapi tokoh Sanu dalam cerita ini bukan penjelmaan dari infinita-infinita Pascal, juga bukan diilhami oleh falsafat Kejawen yang yang cenderung lebih dekat pada Pascal dan Sufisme murni. Sanu bukan Pascalis, bukan pula Sufis. Sanu mengakui terminologi "dua infinita" karena dia mengaku membaca karya Pascal itu, sebagaimana dia memahami sufisme dan kejawen. Tetapi yang dicarinya bukanlah usaha perebutan kekuasaan, di mana kemudian Kekuasaan Kedua menaklukkan Kekuasaan Pertama. Tidak. Yang dicari Sanu adalah harmoni Kekuasaan Kembar itu. Dan tugas maksimumnya hanya memelihara status quo, sehingga muncullah idealismenya tentang perikehidupan manusia ini, yaitu harmoni.

Berikut ini beberapa cuplikan penting yang menyiratkan hubungan antara filsafat, mistik, dan karya sastra yang berkenaan dengan manusia total, ketuhanan, politik dan internasionalisme, dan filsafat guru.

3.2 Manusia Total dan Prinsip Ketuhanan

Page 52: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Berikut ini adalah buah pikiran Sanu mengenai eksistensi manusia, dalam hal ini, manusia sebagai manusia total. Manusia total, menurut Sanu, berbeda dengan kesadaran total.

"Jadi kauyakini betul bahwa kau tidak akan keterusan menyebul Aku Allah sebagaimana AI Hallaj, alau keterlanjuran mengira Tuhan sudah mati seperti Sang Uebermensch-nya Nietzsche? "

(ha 16)

Dalam kesempatan Iain, Sanu menggolongkan manusia ke dalam tiga jenis

manusia dengan serba-serbinya, seperti kutipan di bawah ini yang dikemukakan

kepada isrinya: "Hari ini aku mendapatkan uang 100.000,-, tapi telah aku

berikan kepada siapapun yang membutuhkan sebanyak 70.000,-rupiah.

Sedangkan hakku, hakkau, dan hak Aldo dan bayi kita sekedar yang 30.000,-

saja. Jangan bilang aku tolol. Aku kira, dunia ini memang terdiri dari 3 jenis

manusia. Jenis pertama, orang awam termasuk yang misldn dan tolol, dan

mereka itu jumlahnya 40% dari penduduk bumi. Yang 30% lagi orang kaya,

termasuk yang loba dan gila harta dan juga orang-orang kaya yang memiliki

cinta kasih. Dan yang 30% lagi adaiah orang-orang berilmu yang cendekia,

yang ilmunya ada yang digunakan untuk kebaikan sesama atau menghancurkan

sesamanya. Beberapa saat yang lalu aku berperan sebagai orang kaya yang

yang memiliki cinta kasih, yang tidak pernah mengukur cinta kasihnya dengan

jumlah nominal."

"Tujuhpuluh ribu rupiah itu disawer agar disebut dermawan? " tanya istrinya.

(ha!80)

3.3 Politik dan InternasionalismePada kesempatan lain Sanu menafsirkan Kekuasaan Pertama, ego sebagai kediktatoran, sedang Kekuasaan Kedua sebaliknya. la juga berpendapat bahwa filosofis politik itu adaiah main otak seperti halnya orang yang sedang bermain catur. "Ego itu selalu warnanya kediktatoran, " kata Sanu.

Lalu Sanu cuci muka ke kamar mandi. Tanpa ganti pakaian diapergi dengan tidak perlu memikirkan lebih dulu tujuan. Dia menganggap, berfikir

Page 53: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

sekarang ini adaiah penyerahan terhadap kediktatoran ego. Tanpa berfikir, sempurnalah kemerdekaan diri.

(hal. 10)

"Politik itu ilmu main olak. ( '.aturjuga ilmu main otak. Jangan main rasa. Tapi minum luak bagi orang Halak ilu main rasa. Ah kau mengaku dulu ahli sejarah dan antropologi, kok bisa cengeng begini? ""' Karena aku dilahirkan bukan sebagai produk politik Aku lahir sebagai

produk budaya. Jika bung tuduh aku cengeng, apa boleh buat.

(hal 12)

Berkenaan dengan konsep intenasionalisme, Sanu bependapat bahwa bentuk intemasionalisme adalah buruk, apakah ttu Marxisme, Kapitalisme ataupun Liberalisme. Sanu hanya ingin berpegang teguh pada nasionalisme yang berbudaya Indonesia. Berikut ini adalah percakapan antara Lewis agen CIA dan Sanu:

"Saya tahu keadaan negeri kami ini akan bertambah mencengkeram lagi. Tapi saya tidak menyukai pelarian alas nama apa pun. Saya akan menjadi seorang nasionalis dengan orientasi budaya Indonesia. Saya tidak mempercayai lagi makna intenasionalisme, apakah itu Marxisme ataupun Kapitalisme dan Liberalisme. Saya sudah melihat kebenaran falsafat Sukarno, bahwa dunia dewasa ini hanya terdiri dari dua kekuatan: Eksploitor dan yang dieksploitir. Apakah eksploitor itu Komunis atau Kapitalis, keduanya sama, bentuknya intemasionalisme. Atas kepungan dua raksasa ini, pilihan politik nasionalisme untuk sementara waktu bisa saya terima."

(hal.25)

3.4 Guru versi SanuDalam kesempatan lain Sanu juga berfilsafat tentang guru. Guru, menurut

Sanu, adalah Infinita-kedua alias Kekuasaan Kedua. Ini berarti bahwa setiap manusia adalah gum, minimal bagi dirinya sendiri. Kutipan di bawah ini menarik untuk disimak:

"Guruku adalah Infinita-keclua. Din yang aku lupakan sejak aku menganggap intelekku ini Tuhan-kedua, yang mengira egoku kebenaran. Kami setelah guru itu aku temukan, aku akan belajar. Belajar bertindak yang benar, termasuk belajar ilmu menghilang. "

(hal. 7)

Page 54: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

"Kabarnya kau sedang mencari guru tasawuf, " kata Abah mertua. "Betul. Tapi ternyata dia ada dalam diri soya. Dialah Pangeran Bumi mewakili Tuhan, yang tidak kelihatan dan tak tampak oleh saya selama 27 tahum. Ah, saya akan pergi dulu. " "Mukamu masih pucat," ujarAbah mertua.

(hal. 29)

4. KesimpulanSebagaimana diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu, filsafat dan sastra

mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya baik filsafat maupun sastra sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini. Dan seiain itu filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas kehidupan.

Adapun perbedaan dari keduanya diantaranya metodologinya. Sastra, secara metodologis, merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana manusia berada, hidup bergulat di dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul sebagai refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup yang sudah dirinci, actiah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi.

Hubungan antara filsafat dan sastra pada dasarnya adalah sastra itu bisa menjadi bahan saKu untuk filsafat. Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas hidup tadi bisa dijalani melalui dua bahan pokok. Bahan pokok yang pertama, berfilsafat memakai temuan-temuan ilmu empiris. Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku linguistik. Strukturalisme narakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua, orang bisa berfilsafat dengan manakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan seniman.

Karya sastra merupakan corong atau sarana penting untuk mengenal manusia dan jamannya. Pengenalan itu akan menjadi bahan apresiasi bagi pembaca dalam menghadapi berbagai macam masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu, manfaat pembinaan dan pengembangan apresiasi satra sangat meyakinkan. Membina dan mengembangkan apresiasi sastra berarti membina dan mngembangkan kesusastraan itu sendiri dan kebudayaan pada umumnya. Pemahaman karya satra yang baik dapat membuat pembaca lebih matang dan bijaksana dalam melaksanakan, membina serta mengembangkan kehidupan ini, terutama pembangunan nasional.

Novel Sanu Infinita Kembar adalah karya sastra yang sangat menarik, bersifat mistis dan filosofis. Dengan kepiawaian sang penulis, novel ini

Page 55: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

menceritakan suatu eksistensi seorang manusia, Sanu, yang senantiasa mengalami pergolakan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam diri manusia terdapat dua kekuasaan, yaitu kekuasaan kembar. Kekuasaan pertama selalu melakukan revolusi, dan yang kedua melakukan evolusi, dan kecenderungannya adalah merawat dan membangun puing-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan yang pertama sentralistis, ego, sama sekali tidak kreatif, sedangkan yang kedua bertindak harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala.

Sanu meninggalkan Sanu, lalu ketemu massa yang bikin kudeta, hingga Sanu pun ngilu. Sanu mencari Sanu, bertemu dengan suara bisikan pilihan dan tindakan, untuk menjadi Sanu! Sanu terus mengembara, ingat dan lupa selalu diburu suara mendenging dan menggila! Lalu Sanu bangkit, merindukan hilang untuk menemukan rasa: aman dan seimbang.

Daftar Pustaka

Atmosuwito, Subijantoro, 1987, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra,

Bandung: C.V. Sinar Baru

Busye, Motinggo, 1985 , Sanu Infinita Kembar, Jakarta: PT. Gunung Agung.

Sugihastuti, 2002, Teori dan Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sutrisno, Mudji, 1995, Filsafat, Sastra dan Budaya, Jakarta: Obor.

Aliran Romantisme Puisi Khalil MathranMaftuhah

Page 56: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Universitas Islam Attahiriyah JakartaFak. Agama Islam

Abstraksi

Khalil Mathran merupakan salah seorang penyair yang menggabungkan dua aliran antara Arab klasik dengan Barat. Ia menggunakan model Barat dalam hal isi dan judul sya’ir, sementara tetap memelihara tradisi Arab dalam hal uslub (gaya bahasa). Sejak pertama kali bersekolah, Khalil sebetulnya telah menerima penggabungan dua unsur kebudayaan dalam pelajaran sastranya antara Arab dan Eropa khususnya aliran Romantisme. Unsur arab terlihat sangat dominan dalam aspek bahasa dan kaidah-kaidah bahasa. Apabila diperhatikan dari beberapa sya’ir yang dibuat oleh Khalil, dipastikan ia menggunakan lafadz-lafadz romantisme di dalamnya. Karakteristik Romantisme dalam puisi Khalil serupa dengan karakteristik Romantisme secara umum dari aspek perasaan, imajinasi, lafadz, dan tema.

Kata Kunci: aliran, romantisme, puisi

1. Latar Belakang

Jika kita berbicara tentang sastra Arab, pada waktu yang bersamaan kita juga

berbicara tentang sya’ir Arab. Sya’ir bagi bangsa Arab merupakan hal yang penting

dan menjadi kebiasaan bagi mereka, bahkan sya’ir adalah sesuatu yang tertanan

dalam jiwa mereka. Sya’ir menjadi alat untuk mengungkapkan perasaan, aspek

kecerdasan jiwa yang luar biasa, dan ujung tombak aktifitas jiwa. Ahmad al-

Iskandariy dan Mushtofa ‘Anani menyatakan bahwa “Sya’ir merupakan ungkapan

yang fashih, terukur, bersajak, dan bertujuan sebagai ungkapan biasa tentang

imajinasi yang tinggi”. (Ahmad al-Iskandariy dan Mushtofa ‘Anani, t.t.:42)

Sya’ir Arab mengalami kebangkitan modernnya ketika paruh kedua abad 19

masehi. Pada masa itu terjadi hubungan sangat erat dan pengaruh yang sangat kuat

antara sya’ir Arab dengan sya’ir Barat, terutama sya’ir Perancis dan Inggris. Kondisi

ini terjadi karena banyak para pemuda Arab yang dikirim belajar ke negara-negara

Eropa, kehadiran para pengajar Eropa untuk mengajar di sekolah-sekolah Arab, dan

tersebar luasnya terjemahan-terjemahan sastra Barat.

Oleh karena itu, pada masa ini, terdapat banyak aliran sastra Arab, ditambah

dengan beragamnya cara para penyair Arab dalam mengungkapkan sya’ir-sya’ir

mereka, yang semua itu mencerminkan dinamika kebangkitan sastra Arab. Secara

Page 57: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

garis besar, terdapat 3 aliran sastra modern, yaitu sastra yang tetap mempertahankan

model lama dalam uslub (gaya bahasa) maupun tema, sastra yang membatasi diri

hanya pada sastra Arab klasik, dan sastra yang menggabungkan sastra Arab klasik

dengan sastra Barat.

Khalil Mathran merupakan salah seorang penyair yang menggabungkan dua

aliran antara Arab klasik dengan Barat. Ia menggunakan model Barat dalam hal isi

dan judul sya’ir, sementara tetap memelihara tradisi Arab dalam hal uslub (gaya

bahasa). Dan yang terpenting adalah, ia dianggap sebagai pionir aliran Romantisme

dalam sastra Arab modern.

1.2 Sejarah Hidup

Khalil dilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik

yang dikenal sebagai keluarga Mathran. Jadi, Khalil Mathran merupakan nama bagi

Khalil yang berasal dari keluarga besar Mathran. Ayah Khalil berasal dari

Ghasasanah, kota kecil di wilayah Syam, (Sa’id Husain Manshur, 1977:3) sedangkan

ibunya merupakan orang Libanon asli yang memiliki asal-usul dari Palestina. (Syauqi

Dhoyif, 1969:121).

Khalil tumbuh dalam keluarga yang tergolong taat pada agama dan tradisi.

Hal ini dibuktikan dengan dikirimnya Khalil untuk bersekolah dasar di Zahlah,

sebuah sekolah yang mengajarkan tradisi-tradisi Timur. Kemudian, setelah tamat,

Khalil melanjutkan pendidikannya di sekolah Keuskupan Katolik Roma di Beirut. Di

sekolah tersebut, ia belajar Bahasa dan Sastra Arab, baik ushul maupun furu’, pada

dua orang guru, yakni Khalil al-Yazij dan Ibrahim al-Yazij, juga Bahasa dan Sastra

Perancis pada guru Perancis. Dari sini, dimulailah aktifitas Khalil sebagai seorang

sastrawan.

Hal yang paling menolong Khalil, pada saat itu, untuk kemudian tumbuh

menjadi seorang sastrawan arab yang terkenal adalah lingkungan internal dan

eksternal sekolahnya. Di luar sekolah, banyak terdapat perkumpulan dan klub sastra,

serta percetakan dan surat kabar yang mencerminkan kebebasan dalam hal

pemberitaan dan keinginan memperbaiki kondisi negara. Sementara di dalam sekolah

Page 58: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

terdapat banyak periwayatan sastra yang menggambarkan kesedihan serta perayaan-

perayaan sastra. (Sa’id Husain Manshur, 1977:4).

Setelah lulus, Khalil lebih banyak memperhatikan dan bergabung dengan

peristiwa-peristiwa politik dan sosial di Beirut sebagaimana para budayawan pada

masa itu. Dia kemudian menentang keras politik pemerintahan Usmani yang

menguasai negaranya dan dianggapnya tidak adil. Akibatnya, Khalil mengalami

berbagai kekerasan dan diburu oleh mata-mata Sultan Abdul Hamid sepanjang

hidupnya. Selanjutnya, atas saran keluarganya, Khalil pindah ke Perancis pada tahun

1890 demi keselamatan dirinya. Di sana, ia menetap dan mendalami sastra Perancis,

dan banyak dipengaruhi oleh aliran romantisme. Di sana pula, ia bergabung dengan

sebuah kelompok yang beranggotakan para pemuda Turki, yang merupakan bagian

dari suatu partai yang didirikan di Turki untuk menentang kekuasaan Abdul Hamid.

(Syauqi Dhoyif, 1969:122). Karena khawatir dengan keselamatannya, Khalil berfikir

untuk pindah ke Amerika Selatan dimana banyak terdapat kawan-kawannya di sana,

dan untuk mempersiapkannya ia belajar bahasa Spanyol. Tetapi, Khalil pergi ke

Iskandariyah (Mesir) pada tahun 1892 dan menetap di sana sampai wafatnya tahun

1949 tanpa menikah. (M.M. Badawi, 1975: 69)

Sepanjang hidupnya yang berpindah-pindah, Khalil tidak hanya merupakan

seorang penyair dan sastrawan Arab. Ia juga memiliki aktifitas lain sebagai wartawan,

pedagang, penterjemah, penulis dan kritikus. Kehidupannya di Mesir dimulai sebagai

wartawan di koran “al-Ahram”. Kemudian ia menerbitkan majalah sastra dua

mingguan “al-Mishriyyah” tahun 1900 M selama tiga tahun, dan koran “al-Jawaib

al-Mishriyyah” tahun 1902 M sampai habisnya tahun 1907 M karena masalah

finansial. Setelah itu Khalil beralih menjadi pedagang sampai kebangkrutannya tahun

1912, dan beralih menjadi sekretaris di sebuah organisasi pertanian dan anggota

bagian perencanaan sebuah bank di Mesir. Bersamaan dengan itu, ia menekuni

kembali kegiatannya di bidang sastra sebagai penulis, penyair, penterjemah, dan

ketua perkumpulan teater nasional. Ia pernah menterjemahkan beberpa naskah teater

seperti ‘Athil dan Tajir al-Bunduqiyah karya Shakespear dan Sayid Likurniy, (Abu

‘Aush Ahmad dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif, 1983:293) beberapa buku filsafat akhlak,

Page 59: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

ekonomi, sejarah dunia, dan pertanian. Ia juga menulis tentang sejarah, sosial, dan

ekonomi. (M.M. Badawi, 1975: 69)

2. Hasil dan Pembahasan

2.1 Karakteristik Sastra Khalil

Sejak pertama kali bersekolah, Khalil sebetulnya telah menerima

penggabungan dua unsur kebudayaan dalam pelajaran sastranya antara Arab dan

Eropa khususnya aliran Romantisme. Unsur arab terlihat sangat dominan dalam aspek

bahasa dan kaidah-kaidah bahasa. Dalam karya-karya sastranya, Khalil sangat kuat

menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab Fusha, bukan ‘Amiyah, dengan bentuk,

gaya bahasa dan susunan yang sesuai.

Isi syairnya sendiri merupakan syair kehidupan, kenyataan, dan khayal sekaligus.

Kesatuan qasidah (syair yang terdiri dari 7 atau 10 bait) menjadi satu keunggulan dalam

syairnya yang mencerminkan aliran seni baru pada masa itu. Qasidah, baginya, merupakan

aktifitas seni yang sempurna dan kesatuannya memelihara sistematika manthiq (berfikir),

hubungan makna serta rangkaian jiwa. Di dalamnya ia banyak menggunakan perasaan hati

yang dalam beberapa sisi menyerupai aliran Romantisme Barat. Ia juga memasukan unsur

cerita, sebagaimana yang terdapat dalam syair Barat, ke dalam syair Arab. Pembaharuannya

dalam syair Arab dapat dilihat dari ucapannya: “Bahasa bukan sekedar penggambaran dan

pikiran. Alur bangsa Arab (dahulu) dalam syair tidak harus menjadi alur kita sekarang. Bagi

mereka jamannya, dan bagi kita jaman kita. Bagi mereka sastra, kebiasaan, kebutuhan dan

ilmu mereka, dan bagi kita sastra, kebiasaan, kebutuhan dan ilmu kita. Oleh karena itu syair

kita harus mencerminkan gambaran dan perasaan kita, bukan gambaran dan perasaan

mereka.” (Sa’id Husain Manshur, 1977:154).

Pengaruh Romantisme dalam sya’ir Khalil Mathran tampak sejak kemunculan

karya pertamanya. Dalam qasidahnya “1806-1890”, dia menggambarkan gerakan

tentara dalam perang Yana: (Salma Khadra Jayyusi, 1977: 55)

مهاد فوق سرن مهادا # ومضوا الوادى وسال بهم الجبال مشتالحادى الفناء ولكن # عيس كأنهم متطوعين بهم يحدى

Page 60: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Dalam sya’ir di atas, Khalil menggunakan perasaan yang dalam ketika

mengungkapkan para tentara yang berjalan secara tertib, tenang, dan patuh kepada

komandan mereka sekakan-akan mereka adalah gunung yang berjalan, lembah yang

mengalir, dan barisan unta yang digiring menuju kematian.

Sentuhan Romantisme dapat dijumpai juga dalam qasidahnya “Fi Tasybi’

Janazah” yang ditulis tahun 1894. Dalam qasidah ini diceritakan seorang pemuda

yang bunuh diri karena cintanya. (Sa’id Husain Manshur, 1977:183)

اللوا يحمل # قبلنا مضى الذى فالشجاعنوا الذى # والبطئ اقتفى الذى والجرئ

Khalil menggambarkan pemuda yang bunuh diri disebabkan cinta tersebut

sebagai orang yang syahid dan mengganggapnya bagian dari korban masyarakat.

Dengan penempatan sang pemuda sebagai syahid di sini, Khalil bermaksud

mengungkapkan perasaannya yang tajam dan dalam. Selanjutnya, dia

menggambarkan keikutsertaan keluarga syahid yang mengiringi jenazah dengan

kalimat: (Sa’id Husain Manshur, 1977:183)

فمن شهيدا هكذا قضى # من ثوى به قبرا الغيث برد فدفناههوا أهلنا

Dari dua sya’ir di atas, Khalil melihat bahwa cinta merupakan sesuatu yang

suci dan fitrah, sehingga siapa saja yang bunuh diri disebabkan cinta dianggapnya

sebagai seorang pemberani dan syahid. Keberanian di sini berasal dari orang-orang

yang membawa bendera dan misi cinta meski harus mengantarkannya kepada

kematian.

Kecenderungan unsur kesedihan dalam aliran Romantisme sangat kuat juga

dalam karya-karya Khalil Mathran yang menggambarkan perasaan. Oleh karena itu,

sya’irnya penuh dengan kata-kata seperti al-shababah (kerinduan dan kecintaan yang

meluap), al-ka-abah (kesedihan yang mendalam), al-‘abarat (air mata), al-qalaq

(kegelisahan), dan al-kurbah (kesusahan). Hal ini misalnya dapat dijumpai dalam

qasidahnya “al-Janin al-Syahid”. Qasidah ini menceritakan kisah seorang wanita yang

datang ke Kairo dengan maksud mencukupi kebutuhan kedua orangtuanya yang

sudah tua dengan bekerja di kedai minuman keras. Tetapi, ia jatuh menjadi mangsa

Page 61: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

seorang pemuda yang memperdayanya dan meninggalkannya dalam keadaan hamil.

Dalam qasidahnya, Khalil menggambarkan wanita itu berbisik kepada janinnya

sebelum ia membuangnya (menggugurkannya) dengan bahasa yang sangat pilu: (Abu

‘Aush Ahmad dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif, 1983:296)

لتصرعا السموم تسقيك # وأمك تودّعا حتى سلمت وما تموت بما ثقيل عيش من # لتخلص مودعا كنت به جوف من وتنفيك

وعىوالذل والفقر واألألم الحزن من

أمى ذنب إغفر ربى # فقل السنى عالم فى الله وجه تلق فإنمحسنا

لنا بتعذيبه فعاقبه # علينا جنى أبى ولكن شيئا اقترفت فماتبلى وال تبتليه نارا وأمطره

Identitas lain dari aliran Romantisme Barat yang nyata dalam sya’ir Khalil

adalah desa sebagai representasi hidup sederhana. Dalam sya’ir-syai’r Khalil, desa

tampaknya lebih disukai daripada kota. Sebagai tempat yang dapat menjauhkannya

dari manusia dan hiruk pikuk masyarakat, desa menjadi dekat dengan jiwanya. Hal ini

dapat dilihat dalam qasidahnya berjudul “Ta’ziyah”: (Sa’id Husain Manshur,

1977:222).

يضير ما القرى من ونزر # ن المد من يجئ ما الضير غالبوسرور وراحة لتقوى # ين مقيم حشد كل عن بعدا إن

"ثبير" الجبال فى هان إذن # س النا من قرب المقام أعز لو الح وال ناره زكت "موسى" # ما الجماهير "الطور" فى أتى او

نورDiantara karya-karya tulisnya yang sudah terbit antara lain “Diwan”,

kumpulan sajaknya yang terdiri dari 4 jilid, dan “Mir’ah al-Ayyam”, kumpulan

tulisan sastra dan sosialnya dalam majalah ”al-Mishriyyah”. Terjemahan dua

Page 62: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

sajaknya, Mawar Yang Mati dan Nero, dimuat dalam buku ”Puisi Arab Modern”.

Nero adalah sajak dengan satu tema terpanjang yang belum pernah ada dalam sejarah

persajakan Arab sampai saat itu. Sajak itu berupa sajak epik yang terdiri dari 400

baris, bermantra tunggal, dan menggunakan sajak (rima) tunggal pula. Puisi-puisi

Mathran juga diterbitkan dalam berbagai majalah, seperti Faji’ah fi al-Hazl (bencana

di Hazl) dan al-Narjisah (pohon bunga Narsis) dalam majalah “Anis al-Jalis”, dan

Banafsajah fi ‘Urwah (bunga Banafsajah di ‘Urwah) dalam majalah “Apollo”.

2.2 Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Unsur Romantisme Khalil Terhadap Para Penyair Arab

Apabila diperhatikan dari beberapa sya’ir yang dibuat oleh Khalil di atas,

dipastikan ia menggunakan lafadz-lafadz romantisme di dalamnya. Penggunaan

unsur-unsur Romantisme dalam sya’irnya diakui oleh banyak tokoh sangat

mempengaruhi para sastrawan Arab pada masanya dan masa sesudahnya.

Sebagaimana yang ditulis oleh Abd al-Qadir dalam bukunya “al-Ittijah al-Wijdani Fi

Syi’ri al-Hadits”, “Mathran memiliki andil dari sisi ini dalam aspek kosa kata, gaya

bahasa, dan bentuk qasidah. Ia menyebarkan unsur Romantisme yang dapat merubah

sya’ir Arab ke tataran baru”. (Abu ‘Aush Ahmad dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif,

1983:301)

Banyak penyair yang secara terang-terangan menyatakan pengaruh Khalil

Mathran pada karya-karya sastranya. Khalil Syaibub, Zaki Abu Syadi, dan Ibrahim

Naji menuliskan pengaruh nyata Khalil dalam Muqaddimah buku-buku mereka.

(Anwar al-jundi, Adhwa ‘ala al-Adab al-‘Arabi al-Mu’ashir, 1968:146)

Sya’ir Syaibub mirip dengan sya’ir Khalil Mathran dari aspek tema/judul,

ungkapan perasaan, penggambaran kondisi jiwa, dan pembentukan sya’ir. (Sa’id

Husain Manshur, 1977:422). Abu Syadi mengungkapkan kekagumannya terhadap

unsur Romantisme dalam sya’ir-sya’ir Khalil, serta mengakui bahwa kebebasan

Khalil dalam mengekspresikan isi syai’rnya merupakan bentuk Romantisme yang

sempurna. Adapun Naji mengakui pengaruh Khalil Mathran dan dampaknya terhadap

sya’ir-sya’irnya. (Sa’id Husain Manshur,1977:426-427)

Page 63: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Terdapat juga Najib Jamaluddin dalam bukunya “Khalil Mathran Sya’ir

al-‘Ashr” dan Mandur dalam bukunya “Muhadharat ‘an Khalil Mathran” yang

menyatakan bahwa Khalil Mathran merupakan pemilik dan tokoh aliran pembaharuan

dalam sastra Arab modern. Bahkan Thaha Husein mengambarkan Khalil Mathran

sebagai tokoh pembuka jalan bagi para penyair Arab modern dan guru seluruh

penyair Arab kontemporer.

Di sisi lain, Mahmud Thaha juga dipengaruhi Khalil Mathran, terutama dalam

tahap awal kehidupan sastranya. Hal ini tampak dari Diwannya yang berjudul “al-

Malah al-Ta-ih” yang menggambarkan unsur-unsur Romantisme di dalamnya.

Penggambaran Thaha mengenai kondisi jiwa, perasaan, ketiadaan di sekeliling

fenomena-fenomena yang tampak, personifikasi seseorang, penciptaan diri yang

hidup dalam alam semesta agar bersekutu dengan perasaan dan kesedihan, merupakan

hal-hal yang didapatkan dalam karya-karya Khalil. (Sa’id Husain Manshur,1977:426-

427)

Banyak pula para kritikus sastra yang berterimakasih terhadap pengaruh

imajinasi, cara ungkapan, dan kesatuan bentuk dalam qasidah dari Khalil Mathran.

(Anwar al-jundi, 1968:147). Meski tidak sedikit pula yang mengingkari pengaruh

Khalil Mathran terhadap sastra Arab modern.

3. Kesimpulan

Khalil Mathran merupakan salah seorang penyair yang beraliran Romantisme

dan pembaharu dalam sya’ir (puisi) Arab. Bahkan, ia dianggap sebagai pemimpin

aliran pembaharuan dalam puisi Arab modern.

Dilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab

Katolik dan wafat tahun 1949 di Mesir. Sehingga, ia diberi gelar sebagai penyair dua

wilayah, Mesir dan Libanon.

Khalil besar di lingkungan ilmiah, terutama tatkala ia belajar di Sekolah

Keuskupan Katolik Roma di Beirut. Di sana ia bahasa dan sastra Arab, serta bahasa

dan sastra Perancis. Oleh karenanya, ia sudah menggabungkan unsur budaya Arab

dengan unsur budaya Barat sejak awal karya-karya puisinya.

Page 64: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Aliran Romantisme yang tumbuh pertama kali di daratan Eropa, unsur-

unsurnya banyak digunakan Khalil dalam qasidahnya. Karakteristik Romantisme

dalam puisi Khalil serupa dengan karakteristik Romantisme secara umum dari aspek

perasaan, imajinasi, lafadz, dan tema, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat

menyangkal kecenderungan Romantisme dalam karya-karya puisi Khalil. Kekuatan

Khalil dalam kecenderungan Romantisme ini karena ia menggunakan perasaan yang

sangat dalam dan imajinasi yang sangat tinggi dalam mengungkapkan pikiran dan

perasaan.

Sebagai seorang penyair pembaharu awal, Khalil banyak mempengaruhi para

penyair lain yang hidup satu masa dengannya maupun sesudahnya. Banyak para

sastrawan yang mengaku dipengaruhi oleh Khalil Mathran, antara lain Ahmad Zaki

Abu Syadi, Mukhtar al-Wakil, Shalih Jaudat, Ibrahim Naji, Ali Mahmud Thaha,

Hasan Kamil al-Sirafi, Muhammad Abd al-Mu’ti al-Hamshariy, Khalil Syaibub, Ilyas

Abu Shabaka, Adib Muzhar, Bashari al-Huri, Abu al-Qasim al-Shabi, dan Bashir al-

Tijani. Najib Jamaluddin dalam bukunya “Khalil Mathran Sya’ir al-‘Ashr” dan

Mandur dalam bukunya “Muhadharat ‘an Khalil Mathran” menyatakan bahwa

Khalil Mathran merupakan pemilik dan tokoh aliran pembaharuan dalam sastra Arab

modern. Bahkan Thaha Husein mengambarkan Khalil Mathran sebagai tokoh

pembuka jalan bagi para penyair Arab modern dan guru seluruh penyair Arab

kontemporer.

Daftar Pustaka

Al-Iskandariy, Ahmad dan ‘Anani, Mushtofa, t.t., al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa

Tarikhihi, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. Ke-18.

Ahmad, Abu ‘Aush dan ‘Abd al-Lathif, al-Farabi, 1983, al-Harakat al-Fikriyah wa

al-Adabiyah fi al-‘alam al-‘Arabi al-Hadits, Maroko: Dar al-Tsaqafah, Cet.

Ke-2.

Al-jundi , Anwar, 1968, Adhwa ‘ala al-Adab al-‘Arabi al-Mu’ashir, Kairo: Dar al-

Ma’arif, Cet. Ke-6.

Badawi, M.M., 1975, A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry, Cambridge:

Cambridge University Press.

Page 65: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1112/1/Isi... · Web viewDilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat

LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008

ISSN: 1693-0487

Dhoyif, Syauqi, 1969, al-Adab al-Arabi al-Mu’ashir fi Mishr, Kairo: Dar al-Ma’arif,

Cet. Ke-6.

Jayyusi, Salma Khadra, 1977, Trends and Movements in Modern Arabic Poetry,

Leiden: EJ Brill.

Manshur, Sa’id Husain, 1977, al-Tajdid fi syi’ri Khalil Mathran, Iskandariah: al-

Haiah al-Mishriyah al-‘Amah li Kitab, Cet. Ke 2.