99
UNIVERSITAS INDONESIA UJI DIAGNOSTIK THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY FOR EPILEPSY VERSI INDONESIA PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN GANGGUAN DEPRESI MAYOR TESIS IZATI RAHMI 0806485032 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JAKARTA DESEMBER 2013 Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

UNIVERSITAS INDONESIA UJI DIAGNOSTIK THE NEUROLOGICAL …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367175-SP-Izati Rahmi.pdf · universitas indonesia . uji diagnostik . the neurological disorders

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    UJI DIAGNOSTIK

    THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY

    FOR EPILEPSY VERSI INDONESIA

    PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN

    GANGGUAN DEPRESI MAYOR

    TESIS

    IZATI RAHMI

    0806485032

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI

    JAKARTA

    DESEMBER 2013

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • i

    UNIVERSITAS INDONESIA

    UJI DIAGNOSTIK

    THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY FOR

    EPILEPSY VERSI INDONESIA

    PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN

    GANGGUAN DEPRESI MAYOR

    TESIS

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SPESIALIS-1 NEUROLOGI

    IZATI RAHMI

    0806485032

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI

    JAKARTA

    DESEMBER 2013

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • ii

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • iii

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • iv

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan

    rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam

    selalu saya panjatkan kepada junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW.

    Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

    untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter

    Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari

    bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan

    sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

    tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :

    1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,

    Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh

    jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada

    saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM.

    2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya

    menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,

    dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk

    mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.

    3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati,SpS(K), yang telah

    memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama

    saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya

    ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan

    Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar

    lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana

    dan prasarana selama proses pendidikan saya.

    4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi,SpS(K),

    M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid,SpS(K); terima

    kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam

    pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • vi

    Anindhita,SpS(K) terima kasih untuk arahan, bantuan, dan bimbingan

    dalam pengerjaan tesis ini.

    5. DR. dr. Yetty Ramli,SpS(K) selaku dosen pembimbing akademik yang

    selalu mengingatkan dan memberikan dorongan untuk dapat menjalankan

    dan melaksanakan semua tugas-tugas selama pendidikan di neurologi, dan

    seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, atas bimbingan dan

    dukungan yang diberikan untuk memahami segala seluk beluk penyakit

    saraf dan pemahaman terhadap kondisi pasien yang komprehensif. Semua

    itu kelak akan menjadi bekal saya dalam pelayanan terhadap masyarakat

    dan memajukan bidang Neurologi.

    6. Para pembimbing, dr. Diatri Nari Lastri,SpS(K), terima kasih sedalam-

    dalamnya atas kesempatan melaksanakan penelitian ini dan kesediaan

    untuk membimbing dan saran-saran yang diberikan dalam mengarahkan

    saya pada penyusunan tesis ini. dr. Astri Budikayanti,SpS terima kasih

    banyak dan penghargaan yang tidak terhingga atas waktu, perhatian,

    kesabaran, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada saya hingga dapat

    melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Dr.dr. Herqutanto,

    MPH, MARS selaku pembimbing statistik, terima kasih dan rasa hormat

    atas waktu dan pikiran yang telah diberikan dalam membantu saya selama

    proses penelitian.

    7. dr. Zakiah Syeban,SpS(K); DR.dr. Yetty Ramli,SpS(K) dan dr. Adre

    Mayza,SpS(K) selaku penguji yang telah memberikan saran dan

    pemikiran dalam tiap tahap ujian tesis ini. dr. Pukovisa

    Prawiroharjo,SpS selaku moderator yang juga banyak memberikan

    banyak masukan.

    8. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga saya haturkan

    kepada guru-guru saya: Dr. dr. Siti Airiza Achmad, SpS(K); dr. Silvia

    F. Lumempouw, SpS(K); dr. Salim Haris, SpS(K), FICA; dr. Adre

    Maya, SpS(K); dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K); dr. Mursyid Bustami,

    SpS-KIC; dr. Fitri Octaviania, SpS(K), Mpd. Ked; dr. Eka

    Musridharta, SpS-KIC; dr. Amanda Tiksnadi, SpS; dr. Taufik

    Mesiano, SpS; dr. Ahmad Yanuar, SpS; dr. Nurul Komari, SpS; dr.

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • vii

    Rakhmat Hidayat; SpS, dan dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS. Terima

    kasih atas segala bimbingan selama menjalani pendidikan.

    9. Kepada dr. Fitri Octaviana,SpS(K), MPd.Ked terima kasih banyak atas

    saran dan masukannya, dan kepada perawat di poliklinik epilepsi dan

    ruang EEG Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Zr. Eni, Zr. Renita, Zr.

    Rika dan Bapak Wahyu terima kasih banyak atas bantuan dan

    kerjasamanya. Kepada pegawai neurologi yang sangat banyak membantu

    saya dalam menjalani pendidikan selama di neurologi, bu Ning, mbak

    Diana, mbak Rini, mbak Wiwied, mbak Wiwi, mbak Ade, mbak Dini, mas

    Anto, pak Edi dan Bu Kamtinah terima kasih yang sebesar-besarnya.

    10. Para pasien rawat jalan poliklinik neurologi-epilepsi Rumah Sakit

    CiptoMangunkusumo, terima kasih tidak terhingga atas kesediaannya

    meluangkan waktu berpartisipasi dalam penelitian ini dan atas pelajaran

    hidup yang amat berharga yang saya dapatkan.

    11. Rekan-rekan satu angkatan, dr. Sri Utami,SpS, dr. Dian Cahyani, SpS,

    dr. Winnugroho Wiratman, SpS, dr. Linda Suryakusuma, SpS, dr.

    Aldi Novriansyah, dr. Uly Indrasari, dr. Asri Saraswati, dr. Karolina

    Margaretha, dukungan dan kerjasamanya selama ini, dan tak lupa terima

    kasih sebesar-besarnya kepada dr. Sekar Sunan atas ide penelitian yang

    sangat menarik ini. Terima kasih juga buat teman lama dr. Rahmat Syah,

    SpS dan juga buat sahabatku dr. Liesya Hartiansyah. Tim OSCE

    Yogyakarta, dr. Uly Indrasari, terima kasih banyak untuk bimbingan,

    kerjasama dan jembatan-jembatan keledainya itu, dr. Aldy Novriansyah,

    dr. Asri Saraswati, dr. Yusi Amalia, dr. Marlon Tua, dr. Shinta

    Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak

    atas bantuan, kerjasama dan waktu-waktu kebersamaan yang luar biasa,

    menegangkan dan juga menyenangkan selama menghadapi persiapan dan

    ujian OSCE serta ujian mental di Yogyakarta. Rekan-rekan dan senior

    yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis ini dr. Cut Antara

    Keumala, dr. Donna Octaviani, dr. Mery Krismato, dan dr. Allan

    terima kasih untuk sama-sama saling membantu dan mengingatkan, dan

    seluruh rekan–rekan junior dan senior kerukunan PPDS Neurologi, terima

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • viii

    kasih untuk persahabatan, kebersamaan serta bantuannya. Semoga

    persahabatan dan persaudaraan senantiasa terjalin dalam hubungan

    kesejawatan sepanjang hidup kita.

    12. Kedua orang tua saya, dr.H. Zulfarman, Mkes dan dr. Hj. Anna Murty

    Z, tiada kalimat yang cukup untuk melukiskan betapa besarnya cinta kasih

    dan dukungan yang telah kalian berikan kepada saya hingga detik ini. Doa,

    pengorbanan, bimbingan, dorongan dan teladan yang diberikan sejak kecil

    membuat saya bisa melangkah sejauh ini. Kepada mertua saya drs.H.

    Mahferi Junas dan Hj. Sylvia Nirwani, terima kasih dan salam hormat

    atas segala dukungan yang diberikan selama ini.

    13. Suami tercinta Ferdi Mirza Octavian, ST,MM putri tersayang dan

    belahan jiwa Farah Aqila Putri; terima kasih atas segala pengorbanan,

    cinta kasih, kesabaran, pengertian dan dukungan selama menempuh masa

    pendidikan ini. Puji syukur selalu saya panjatkan kepada Allah atas

    keluarga yang sangat menyayangi dan mendukung saya setiap waktu. Adik

    saya tersayang dr. Diana Rahmi, MKes, dan kakak saya Hecky Firman,

    ST, MM terima kasih banyak atas dukungannya yang tiada henti, nasehat

    dan kesabarannya dan semangat. Juga kepada adik ipar saya dr. Eldy M

    Noor, drg. Yuri Deswita, Vira Nisfisari, SPd,MH dan Muhammad

    Firnanda,SE yang juga selalu memberikan dorongan dan semangat untuk

    menyelesaikan tesis ini.

    14. Sahabat setia saya dr. Yetty Rahmawati yang selalu sabar menyediakan

    waktu dan tak bosan memberikan nasehat dan dorongan selama saya

    menjalani pendidikan di neurologi.

    Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu mnyelesaikan

    pendidikan Spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima

    kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan

    pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dengan segala kekurangannya dapat

    membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.

    Jakarta, 23 Desember 2013

    Penulis

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • ix

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : Izati Rahmi

    Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

    Judul : Uji diagnostik The Neurological Disorders Depression

    Inventory for-Epilepsy (NDDI-E) versi Indonesia pada

    pasien epilepsi dewasa dengan gangguan depresi mayor

    Latar belakang. Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatri yang sering

    terjadi pada pasien epilepsi. Prevalensinya adalah 20-80%. Depresi bukan

    merupakan suatu pemeriksaan yang rutin dilakukan di poliklinik neurologi karena

    membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga banyak pasien yang tidak

    terdiagnosis dan akhirnya tidak terobati, untuk itu diperlukan pemeriksaan yang

    singkat. The Neurological Disorders Depression Inventory for-Epilepsi (NDDI-E)

    merupakan pemeriksaan skrining depresi yang terdiri dari 6-aitem.

    Tujuan. Menentukan akurasi dan titik potong NDDI-E versi Indonesia sebagai

    skrining depresi pada pasien epilepsi dewasa.

    Metode. Penelitian uji diagnostik yang dilakukan di poliklinik epilepsi RSCM.

    Pemeriksaan dilakukan pada semua pasien epilepsi yang memenuhi kriteria

    inklusi. Pasien mengisi sendiri formulir NDDI-E tanpa bantuan orang lain.

    Kemudian dilakukan pemeriksaan the International Neuropsychiatric Interview

    Mini ICD-10 (MINI-ICD10) sebagai standar baku.

    Hasil. Dari 105 orang subyek penelitian terdapat 23 orang mengalami gangguan

    depresi mayor berdasarkan MINI-ICD 10. Didapatkan kurva Receiver Operating

    Characteristic (ROC) yang mendekati 100%, titik potong 11, dengan Sensitifitas

    91,3% Spesifisitas 89% PPV 70% dan NPV 97,3%. Secara statistik NDDI-E versi

    Indonesia masuk dalam klasifikasi yang kuat, karena nilai Area Under the Curve

    (AUC) 97,5% dengan interval kepercayaan (95%CI 95%-99%).

    Kesimpulan. NDDI-E versi Indonesia memiliki nilai akurasi yang tinggi untuk

    menentukan gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa pada titik

    potong 11.

    Kata Kunci. Epilepsi, gangguan depresi mayor, NDDI-E versi Indonesia.

    x

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    ABSTRACT

    Name : Izati Rahmi

    Program Studi : Neurology Specialization Educational Programme

    Judul : Diagnostic test study of Indonesian version of The

    Neurological Disorders Depression Inventory for epilepsy

    in adult epilepsy patients with major depression disorders

    Background. Depression is a common psychiatric disorder in epilepsy. The

    prevalence is 20-80%. The depression is not a routinely assessed in neurology

    clinics, because the assestment takes a long time. So, many patients are under

    diagnosed and untreated. The Neurological Disorders Depression Inventory for-

    Epilepsy (NDDI-E) is a depression screening examination consist of only 6-aitem.

    Purpose. To determine the accuracy and cut-off point of NDDI-E Indonesian

    version as a screening depression examination for adult epilepsy patients.

    Method. Diagnostic test study was conducted at epilepsy clinic on RSCM. All the

    epilepsy patient who met the inclusion criteria was examined. The patient took the

    NDDI-E Indonesian version as a self assesment. Then there were assest with used

    the International Neuropsychiatric Interview Mini ICD-10 (MINI-ICD10) as a

    gold standar.

    Results. From the 105 subjects, there were 23 people suffered from major

    depression by MINI-ICD10. Receiver Operating Characteristic (ROC) curve

    obtained which is close to 100%, cut-off point at 11, with Sensitivity 91.3%

    Specificity 89% PPV 70% and NPV of 97.3%. It was statistically classified as

    strong because the value of Area Under the Curve (AUC) is 97.5% with a

    confidence interval (95% CI 95% -99%).

    Conclusion. NDDI-E Indonesian version has a high accuracy to determine major

    depressive disorder in adult epilepsy patients with the cut-off point at 11.

    Keywords. Epilepsy, major depressive disorder, NDDI-E Indonesian version.

    xi

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL.......................................................................................

    i

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii

    KATA PENGANTAR .................................................................................... v

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................... ix

    ABSTRAK........................................................................................................ x

    ABSTRACT..................................................................................................... xi

    DAFTAR ISI…………….……………………………………………........... xii

    DAFTAR TABEL………..………………………………………….............. xiv

    DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... xv

    DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi

    DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii

    BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………................ 1

    1.1 Latar Belakang masalah ....................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3

    1.3 Hipotesa Penelitian................................................................ 3

    1.4 Tujuan penelitian .................................................................. 4

    1.5 Manfaat penelitian ................................................................ 4

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5

    2.1 Epilepsi.................................................................................. 5

    2.1.1 Definisi Epilepsi........................................................ 5

    2.1.2 Klasifikasi Epilepsi ................................................... 5

    2.1.3 Patofisiologi Epilepsi................................................. 7

    2.1.4 Gejala psikiatri pada epilepsi .................................... 8

    2.1.4.1. Fenomena Psikiatri pre-iktal ........................ 9

    2.1.4.2. Fenomena Psikiatri iktal .............................. 9

    2.1.4.3. Fenomena Psikiatri post-iktal ...................... 9

    2.1.4.4. Fenomena Psikiatri inter-iktal ..................... 10

    2.2 Depresi .................................................................................. 10

    2.2.1 Definisi Depresi ........................................................ 10

    2.2.2 Klasifikasi Depresi .................................................... 11

    2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR ............... 11

    2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10 ....................... 14

    2.2.2.3. Perbandingan depresi berdasarkan DSM –

    IV dan ICD-10 ............................................

    16

    2.3 Depresi pada epilepsi............................................................. 18

    2.3.1 Epidemiologi Depresi pada Epilepsi ........................ 18

    2.3.2 Patofisiologi Depresi pada Epilepsi .......................... 21

    2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada pasien ……........ 21

    2.3.2.2. Faktor Psikososial pada epilepsi dengan

    depresi….......................................................

    31

    2.3.2.3. Faktor lain yang mempengaruhi depresi

    pada Epilepsi ...............................................

    32

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    2.4 Instrumen pemeriksaan gangguan depresi mayor pada

    epilepsi ..................................................................................

    34

    2.4.1 The Mini International Neuropsychiatric Interview

    ICD 10 (MINI ICD 10) .............................................

    34

    2.4.2 The Neurological Disorder Depression Inventory

    for Epilepsy (NDDI-E)..............................................

    35

    2.4.2.1. Sejarah NDDI-E .......................................... 36

    2.4.2.2. Validitas dan Reabilitas NDDI-E untuk

    diagnosis Depresi Mayor pada epilepsi .......

    37

    2.4.2.3. Penelitian mengenai depresi mayor pada

    pasien epilepsi menggunakan NDDI-E .....

    37

    2.5 Uji Diagnostik....................................................................... 41

    2.5.1 Langkah-langkah Uji Diagnostik............................ 41

    2.5.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) 43

    2.6 Kerangka teori ...................................................................... 45

    2.5 Kerangka konsep…............................................................... 46

    BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 47

    3.1

    3.2

    3.3

    3.4

    3.5

    3.6

    3.7

    3.8

    3.9

    3.10

    3.11

    3.12

    3.13

    Desain Penelitian…………………………………………...

    Tempat dan Waktu Penelitian...............................................

    Populasi Penelitian................................................................

    Kriteria Inklusi.......................................................................

    Kriteria Eksklusi ...................................................................

    Estimasi besar sampel ...........................................................

    Sampel dan pemilihan sampel ..............................................

    Ijin subyek penelitian ...........................................................

    Cara Kerja..............................................................................

    Jenis variabel ........................................................................

    Batasan operasional...............................................................

    Pengolahan dan Analisa Data................................................

    Kerangka operasional ...........................................................

    47

    47

    47

    47

    47

    48

    48

    48

    48

    49

    49

    51

    53

    BAB 4 HASIL PENELITIAN……………………………………………. 54

    4.1

    4.2

    4.3

    Karakteristik Demografis Subyek Penelitian…....................

    Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under

    the Curve (AUC)...................................................................

    Penentuan titik potong ......................................……………

    54

    55

    56

    BAB 5 PEMBAHASAN………………………………………….............. 59

    5.1

    5.2

    5.3

    Karakteristik Demografis Subyek Penelitian…....................

    Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under

    the Curve (AUC)...................................................................

    Penentuan titik potong ......................................……………

    59

    62

    62

    BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN…………………......……………. 65

    6.1

    6.2

    Kesimpulan…………..………………………….……….....

    Saran…………………………………………..……………

    65

    65

    DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 66

    LAMPIRAN..................................................................................................... 72

    xi

    xiii

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe banfkitan epilepsi ................. 5

    Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi ...... 6

    Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresi mayor berdasarkan DSM-IV ....... 11

    Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-

    IV ................................................................................................

    12

    Tabel 2.5. Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor episode tunggal

    berdasarkan DSM-IV...................................................................

    13

    Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ-III ................................... 15

    Tabel 2.7. Gangguan depresi mayor berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV .... 17

    Tabel 2.8. Efek psikotropik positif dan negatif obat anti epilepsi ............... 33

    Tabel 2.9. The Neurological Depression Disorders Inventory for Epilepsy

    (NDDI-E) ....................................................................................

    38

    Tabel 2.10. NDDI-E versi Indonesia ........................................................... 41

    Tabel 2.11. Tabel Uji Diagnostik 2x2 ......................................................... 43

    Tabel 4.1. Sebaran karakteristik subyek berdasarkan gangguan depresi

    mayor ..........................................................................................

    56

    Tabel 4.2. Tabel AUC ................................................................................. 55

    Tabel 4.3. Tabel koordinat kurva ................................................................ 56

    Tabel 4.4. Tabel Uji Diagnostik gangguan depresi mayor dengan NDDI-E

    versi Indonesia berdasarkan MINI-ICD 10..................................

    57

    Tabel 4.5. Kurva ROC dan efisiensi statistik NDDI-E versi Indonesia

    untuk diagnostik depresi mayor berdasarkan MINI ICD 10

    versi Indonesia ............................................................................

    58

    xiv

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1. Korteks limbik ....................................................................... 22

    Gambar 2.2.Sirkuit Papez ........................................................................... 22

    Gambar 2.3. Mekanisme terjadinya depresi ............................................... 30

    Gambar 4.1. Kurva ROC ............................................................................ 55

    Gambar 4.2. Grafik titik potong sensitifitas dan spesifisitas ...................... 57

    xv

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. The Neurological Depression Disorders Inventory for

    Epilepsy (NDDI-E) versi Indonesia ......................................

    72

    Lampiran 2. Lembar informasi subyek penelitian ..................................... 73

    Lampiran 3. Formulir persetujuan ............................................................. 74

    Lampiran 4. Daftar pertanyaan pasien ....................................................... 75

    Lampiran 5. Formulir Pengisian pasien ..................................................... 76

    Lampiran 6. Lembar Kuesioner MINI-ICD 10 .......................................... 77

    Lampiran 7. Anggaran Penelitian .............................................................. 78

    Lampiran 8. Jadwal Penelitian ................................................................... 79

    Lampiran 9. Keterangan lolos kaji etik ...................................................... 80

    xvi

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    DAFTAR SINGKATAN

    NDDI-E : The Neurological Disorders Depression Inventory for

    Epilepsi

    WHO : World Health Organization

    PPV : positive predictive value

    NPV : negative predictive value

    ILAE : International League Against Epilepsi

    DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

    Text Revision

    ICD-10 : International Classification of Dissease

    PPDGJ III : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

    di Indonesia III

    BSIS : Beck Suicide Intent Scale

    QOLIE 31 : Quality of life 31

    HPA axis : Hypotalamic pituitary adrenal axis

    5-HT1A : 5-Hydroxytryptamine 1A

    5-HT2A : 5-Hydroxytryptamine 1A

    5-HIAA : hydroxyindolacetic acid).

    EEG : Elektroencephalograph

    LC : locus cerulues

    MHPG : 3-methoxy- 4-hydroxy -phenylglycol

    CRH : corticotrophin-releasing hormone

    fMRI : functional Magnetic Ressonance Imaging

    GABA : Gamma-aminobutyric-acid

    NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

    AMPA : α-amino-3 hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid

    L-AP4 : L-2 amino-4 phosphorobutyrate

    ACPD : trans-1-aminocyclopentane-1, 3-dicarboxylic acid

    CSF : Cerebro spinal fluid

    BDNF : brain-derived neurotrophic factor

    ACTH : adrenocorticotropic hormone

    DST : dexamethasone suppression test

    MTS : sklerosis temporal mesial

    MRS : magnetic resonance spectroscopy

    TLE : Temporal Lobe Epilepsi

    PET : Positron Emission Tomography

    SPECT :Single Photon Emission Computed Tomography

    PVN : paraventricular nucleus

    IL-1β : Interleukin 1β

    TNFα : Tumor necrosing factor α

    OAE : obat antiepilepsi

    PB : Phenobarbital

    PRM : pirimidone

    TPM : topiramate

    LEV : levetiracetam

    xvii

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • Universitas Indonesia

    ZNS : zonisamide

    LTG : lamotrigine

    MINI : Mini International Neuropsychiatric Interview

    SCID : Structural Clinical Interview for DSM-IV

    CIDI : Composite International Diagnostic Interview

    BDI : Beck Depression Inventory

    CES-D : Center for Epidemiological Studies Depression

    xviii

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 1 Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar belakang masalah

    Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan

    epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.1,2,3

    Sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik

    otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.2,3

    Manifetasi klinik

    ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara, berupa gangguan perilaku yang

    stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik,

    autonom ataupun psikis.1,2,3

    Penegakkan diagnosis menjadi sulit jika ditemukan

    adanya perubahan perilaku antar kejang atau gejala komorbid psikiatri seperti:

    depresi, ansietas, psikosis, gangguan obsesif-konpulsif, gangguan atensi,

    gangguan kepribadian menjadi lebih agresif dan keinginan bunuh diri.4 Walaupun

    perubahan prilaku antar kejang sering terjadi ringan dan bersifat reversibel,

    beberapa pasien dengan epilepsi refrakter gejalanya bisa menetap sehingga dapat

    menurunkan kualitas hidup pasien.2,5,6

    Terdapat beberapa gejala komorbid yang sering terjadi pada pasien

    epilepsi. dibandingkan populasi umum, antara lain depresi (11-80%), gangguan

    atensi dan hiperaktif (12-37%), ansietas (15-25%), gangguan panik (4,9-21%),

    dan psikosis (2-9%).7

    Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) atau juga biasa

    disebut depresi mayor, merupakan satu atau lebih episode depresi mayor yang

    dialami sekurang-kurangnya 2 minggu, terdapat suasasana perasaan yang

    terdepresi atau kehilangan minat atau kesenangan terhadap aktifitas yang biasa

    dilakukan. Terdapat minimal empat gejala tambahan dari beberapa gejala berikut,

    yaitu perubahan nafsu makan, pola tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan

    energi, perasaan bersalah atau tidak berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi

    atau untuk membuat keputusan; pemikiran berulang tentang kematian atau

    ide/rencana/percobaan untuk bunuh diri.8

    Beberapa penelitian tentang gangguan psikiatri pada epilepsi telah

    dilakukan dengan hasil yang cukup bervariasi. Diantaranya Gilliam (2006),

    melaporkan gangguan depresi terjadi lebih dari 30% pada komunitas epilepsi,

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 2

    Universitas Indonesia

    menurut Hamed SA 20-80%, dan beberapa penelitian lainnya dengan rentang

    persentase yang hampir sama. 9,10,11

    Diagnosis depresi mayor pada klinik non-psikiatrik mendapat cukup

    banyak perhatian beberapa tahun terakhir. WHO dan beberapa badan kesehatan

    nasional dan internasional telah memiliki guideline untuk diagnosis dan

    pengobatan depresi mayor. Berdasarkan beberapa bukti yang ada, menunjukkan

    bahwa penilaian depresi mayor bukan pemeriksaan rutin pada klinik-klinik

    neurologi, dan fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang

    mengalami depresi mayor akhirnya tidak diobati. Disini terdapat kesempatan

    besar untuk meningkatkan kualitas perawatan untuk pasien epilepsi.10

    Depresi tidak hanya memberikan efek negatif pada kesehatan pasien,

    tetapi juga berpotensi untuk menyebabkan hal-hal yang mengancam nyawa, yang

    berhubungan dengan bunuh diri. Dari penelitian yang dilakukan Isometsa dkk

    dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang

    tidak mendapatkan pengobatan atau telah mendapatkan pengobatan namun tidak

    adekuat untuk depresinya. Danish juga menyebutkan bahwa pasien epilepsi

    memiliki risiko bunuh diri sampai 3kali lipat dibandingkan populasi umum. Dan

    dari penelitain lain, Doris mengatakan bahwa tingkat gagasan bunuh diri pada

    depresi mayor adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity

    Survey, probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri

    sekitar 34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan

    gagasan bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah

    26%.9,12,13,14,15

    Deteksi depresi pada pasien epilepsi ini cukup sulit dilakukan pada poli

    rawat jalan, mengingat waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan depresi

    memerlukan waktu yang cukup lama (15-20 menit), sehingga pemeriksaan

    seringkali tidak dilakukan dan diagnosisnya menjadi terlewatkan, karena itu

    diperlukan pemeriksaan yang lebih singkat dan sederhana. Salah satu instrumen

    yang dapat digunakan untuk mendeteksi depresi pada epilepsi adalah The

    Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Instrumen

    ini terdiri dari 6-aitem kuesioner, dapat digunakan dengan cepat dan dapat

    diandalkan untuk mendeteksi depresi mayor pada klinik rawat jalan. NDDI-E

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 3

    Universitas Indonesia

    sudah divalidasi dan diuji diagnostik di beberapa negara seperti Spanyol, Jerman,

    Korea, Jepang, Brazil dan Italia. 12

    Termasuk di Indonesia oleh Rahmi (2013).

    Deteksi depresi mayor meningkat hampir 10 kali lipat dengan

    menggunakan instrumen NDDI-E ini. Meskipun NDDI-E tidak dimaksudkan

    untuk menggantikan evaluasi definitif, seperti wawancara psikiatri yang

    terstruktur, pemeriksaan ini dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien yang

    mungkin berisiko dan sebagai alat untuk evaluasi depresi pada pasien epilepsi di

    poli rawat jalan. Hal ini sangat membantu pada poli rawat jalan dimana

    keterbatasan waktu seringkali membatasi identifikasi depresi. 12

    Terdapat perbedaan nilai cut-off point untuk diagnosis gangguan depresi

    mayor di berbagai negara, karena itu dirasa sangat penting untuk melakukan uji

    diagnostik NDDI-E di Indonesia untuk mendapatkan sensitivitas, spesifisitas,

    positif prediktif value dan negatif prediktif value sesuai dengan nilai cut-off point

    pada populasi pasien epilepsi di Indonesia, untuk menilai apakah pemeriksaan ini

    memiliki tingkat akurasi yang hampir sama atau lebih baik dibandingkan

    pemeriksaan standar yang biasa dilakukan yaitu MINI-ICD 10 sehingga mampu

    diterapkan pada populasi pasien epilepsi di Indonesia.

    1.2. Rumusan masalah

    Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat

    dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

    a. Seberapakah keakuratan NDDI-E versi Indonesia untuk mendeteksi

    gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa?

    b. Berapakah cut-off point NDDI-E versi Indonesia untuk gangguan depresi

    mayor?

    I.3. Hipotesa penelitian

    NDDI-E memiliki sensitivitas yang lebih baik dan spesifisitas yang sama

    dibandingkan pemeriksaan MINI-ICD 10.

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 4

    Universitas Indonesia

    1.3 Tujuan penelitian

    1.3.1 Tujuan umum

    Mendapatkan instrumen NDDI-E dalam bahasa Indonesia yang akurat

    untuk mendeteksi gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa.

    1.3.2 Tujuan khusus

    a. Mendapatkan nilai Sensitivitas, Spesifisitas, positive predictive value

    (PPV) dan negative predictive value (NPV) NDDI-E dalam bahasa

    Indonesia untuk mendeteksi depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa.

    b. Mendapatkan cut-off point skor NDDI-E untuk gangguan depresi mayor

    pada pasien epilepsi dewasa.

    1.4. Manfaat penelitian

    1.4.1 Bidang penelitian

    Hasil penelitian dapat dipakai sebagai instrumen pemeriksaan deteksi

    depresi mayor yang lebih sederhana, lebih mudah dan membutuhkan

    waku yang cukup singkat terhadap pasien epilepsi dewasa.

    1.4.2 Bidang pendidikan

    Penelitian ini merupakan sarana dalam melatih berpikir dan melakukan

    penelitian dengan mengikuti aturan yang sesuai dengan metodologi

    penelitian.

    1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan suatu

    instrumen yang lebih sederhana untuk mendeteksi terjadinya gangguan

    depresi mayor pada pasien epilepsi di poliklinik rawat jalan, yang dapat

    dilakukan oleh ahli saraf maupun dokter umum.

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 5

    Universitas Indonesia

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. EPILEPSI

    2.1.1. Definisi Epilepsi

    Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan

    epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. 1,2,3

    Sedangkan yang dimaksud dengan sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang

    disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari

    sekelompok neuron.2,3

    Manifetasi klinis ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara

    berupa gangguan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan

    kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom ataupun psikis.1,2,3

    2.1.2. Klasifikasi Epilepsi

    Klasifikasi epilepsi yang ditetapkan oleh International League Against

    Epilepsy (ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis

    sawan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

    Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi : 3,16,17,18

    1. Bangkitan parsial/fokal 1.1. Bangkitan parsial sederhana

    1.1.1. Dengan gejala motorik 1.1.2. Dengan gejala somato-sensorik 1.1.3. Dengan gejala otonom 1.1.4. Dengan gejala psikis

    1.2. Bangkitan parsial kompleks 1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran 1.2.2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

    1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum 1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum 1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum.

    2. Bangkitan umum 2.1. Lena (absence)

    2.1.1. Tipikal lena 2.1.2. Atipikal lena

    2.2. Mioklonik 2.3. Klonik 2.4. Tonik 2.5. Tonik-klonik 2.6. Atonik/astatik 3. Bangkitan yang tidak tergolongkan

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 6

    Universitas Indonesia

    Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :3,16,17,18

    1. Fokal/partial (localized related) 1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

    1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentro-temporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)

    1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital 1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)

    1.2. Simtomatik 1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak (Kojenikow’s

    syndrome)

    1.2.2. Syndrome dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatam, hiperventilasi, reflex epilepsy, stimulasi fungsi kortikal

    tinggi, membaca)

    1.2.3. Epilepsi lobus temporal 1.2.4. Epilepsi lobus frontal 1.2.5. Epilepsi lobus parietal 1.2.6. Epilepsi lobus oksipital

    1.3. Kriptogenik 2. Epilepsi umum

    2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) 2.1.1. Kejang neonatus familial benigna 2.1.2. Kejang neonatus benigna 2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi 2.1.4. Epilepsi lena pada anak 2.1.5. Epilepsi lena pada remaja 2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga. 2.1.8. Epilepsi umum idiopatik yang lain yang tidak termasuk salah satu diatas. 2.1.9. Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik.

    2.2. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia) 2.2.1. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam) 2.2.2. Sindrom Lennox-Gestaut 2.2.3. Epilepsi mioklonik astatik 2.2.4. Epilepsi mioklonik lena.

    2.3. Simtomatik 2.3.1. Etiologi non spesifik

    2.3.1.1. Ensefalopati mioklonik dini. 2.3.1.2. Ensefalopati pada infantile dini dengan burst supresi 2.3.1.3. Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk diatas

    2.3.2. Sindrom spesifik 2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

    3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1. Bangkitan umum dan fokal

    3.1.1. Bangkitan neonatal 3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam 3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat ( Sindrom Landau-Kleffner) 3.1.5. Epilepsy yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.

    3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Sindrom khusus

    4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 4.1.1. Kejang demam 4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated) 4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, toksis, alkohol,

    obat-obatan, eklamsia, hipeglikemi non-ketotik

    4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsy reflektorik)

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 7

    Universitas Indonesia

    2.1.1. Patofisiologi Epilepsi

    Terdapat beberapa hal yang diketahui dapat memicu terjadinya epilpesi,

    yaitu peningkatan eksitabilitas membrane neuron, gangguan mekanisme inhibisi

    dan peningkatan sinkronisasi pada sekelompok neuron sehingga terjadi cetusan

    yang mendadak dan berlebihan. Sinkronisasi adalah pengaturan respon neural

    secara tepat sehingga dihasilkan keluaran yang efektif, dan eksitabilitas adalah

    kemampuan neuron untuk melepaskan muatan setelah diberi rangsangan.1

    Sementara itu dari sudut pandang biologi molekuler sawan epilepsi disebabkan

    oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan

    inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmitter dari

    presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor

    NMDA atau AMPA di post-sinaptik.18

    Neurotransmitter merupakan substansi

    yang dilepaskan oleh saraf presinaps ke dalam sinaps kemudian substansi ini

    terikat kepada reseptor yang spesifik pada paska sinaps. Neurotransmitter utama

    di otak adalah glutamat, gamma-amino-butyric acid (GABA), asetilkolin,

    norepinefrin, dopamin, serotonin dan histamin. Neurotransmitter inhibitor utama

    adalah GABA, sedangkan neurotransmiter eksitatorik utama adalah glutamat.

    Sel neuron normalnya memiliki potensial membran yang merupakan hasil

    dari beda potensial ion-ion di dalam dan luar sel, yang dapat berpindah melalui

    kanal ion. Bagian luar membran didominasi oleh ion Na+ dan Cl

    -, sedangkan

    intrasel didominasi oleh K+. Dua macam reseptor yang dapat mengaktifkan kanal

    ion, yaitu alpha-amino-2,3-dihydro-5-methyl-3-oxo-4-isoxazolepropanoic acid

    (AMPA), reseptor kainat, N-methyl-D-Aspartat (NMDA) serta reseptor γ-

    amynobutyric acid (GABAa) yang langsung berhubungan dengan kanal ion, serta

    reseptor metobotropik yang berfungsi sebagai second messenger untuk

    mengaktifkan kanal ion adalah reseptor GABAb, peptida, katekolamin, dan

    glutamat.

    Ikatan neurotransmitter pada reseptor yang mencapai ambang rangsang

    tertentu menyebabkan terbukanya kanal Na+, Na

    + masuk ke intrasel sehingga

    muatan intrasel berkurang kenegatifannya (depolarisasi). Pada saat yang

    bersamaan, kanal K+ juga terbuka dan K

    + keluar ke ekstrasel secara lambat

    sehingga muatan intrasel menjadi kembali negatif dibandingkan saat istirahat

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 8

    Universitas Indonesia

    (hiperpolarisasi). Selain itu depolarisasi juga menyebabkan terbukanya kanal Ca++,

    Ca++

    masuk intrasel dan menghasilkan depolarisasi yang lebih lama, juga disertai

    hiperpolarisasi yang lebih lama.19

    Pada saat terjadi depolarisasi, muncul potensial

    aksi di paska sinaps, sedangkan pada saat hiperpolarisasi terjadi mekanisme

    inhibisi yang diakibatkan karena menurunnya kemampuan eksitasi membran.

    Penjumlahan dari kedua keadaan ini pada dendrit dan badan sel akan mengalami

    sinkronisasi ke seluruh permukaan neuron, dan jika sudah mencapai ambang

    potensialnya, akan dihantarkan sepanjang akson menuju organ target atau dendrit

    lainnya. Hal-hal yang menyebabkan kanal Na+ dan Ca

    ++ terbuka dan terjadi

    depolarisasi membran disebut sebagai kemampuan eksitasi, sedangkan terbukanya

    kanal K+ dan Cl

    - sehingga terjadi hiperpolarisasi yang disebut sebagai

    kemampuan inhibisi. 21

    Proses patofisiologi yang mendasari terjadinya bangkitan dapat berupa

    gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmiter

    eksitatorik yang berlebihan atau kurangnya inhibitorik. Perubahan ini tidak hanya

    melibatkan satu neuron, tapi akan melibatkan neuron yang lebih jauh melalui

    mekanisme sinaps, sehingga aktivitas epileptik dapat terjadi pada sekelompok

    neuron yang kemudian menyebar ke seluruh permukaan melalui serabut

    talamokortikal. 22

    2.1.4. Gejala Psikiatri pada Epilepsi

    Gejala psikiatri pada epilepsi diklasifikasikan berdasarkan hubungannya

    dengan terjadinya kejang. Hal ini dibagi atas 2 kelompok besar : interiktal dan

    peri-iktal. Gejala interiktal tidak tergantung pada waktu terjadinya kejang. Peri-

    iktal berhubungan dengan terjadinya kejang dan dibagi lagi atas gejala yang

    mendahului kejang (pre-iktal), mengikuti kejang (post-iktal), atau yang yang

    merupakan ekspresi dari kejang itu sendiri (iktal).23

    Pengertian pre-iktal adalah periode dimana terjadi perubahan klinis yang

    subjektif maupun objektif yang timbul pada saat akan terjadinya serangan

    epilepsi, tetapi bukan merupakan bagian dari serangan. Iktal adalah periode

    terjadinya kejang. Post-iktal adalah periode dimana terjadi abnormalitas klinis

    yang sementara pada sistem saraf pusat yang muncul pada saat tanda klinis kejang

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 9

    Universitas Indonesia

    berakhir, dapat terjadi dalam waktu beberapa menit sampai jam. Interiktal adalah

    periode antara terjadinya kejang. Aura adalah fenomena iktal yang subjektif yang

    dapat mendahului kejang yang terlihat, atau bila berdiri sendiri dapat berupa

    kejang parsial sederhana sensorik.24

    2.1.4.1. Fenomena psikiatri pre-iktal

    Gejala psikiatri pre-iktal dapat mendahului kejang beberapa jam samapi 3

    hari sebelumnya. Hal ini dapat meningkatkan kewaspadaan pasien dan anggota

    keluarga lainnya, namun prevalensi secara aktual masih belum dapat diketahui

    secara pasti. Pada satu studi yang dilakukan oleh Mula dkk yang mengidentifikasi

    pre-iktal dysphoric like symptoms, terjadi pada 9 dari 143 pasien epilepsi (Mula

    2008), studi lain yang dilakukan oleh Blanchet dan Frommer yang menilai

    karakteristik klinis gejala psikiatri pre-iktal pada pasien dengan epilepsi,

    mengatakan bahwa terjadi peningkatan suasana hati yang menuju ke keadaan

    disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) 3 hari sebelum kejang pada

    sebagian pasien. Perubahan mood ini lebih ditekankan pada 24 jam sebelum

    kejang. 23

    2.1.4.2. Fenomena psikiatri iktal

    Ekspresi klasik dari gejala iktal psikitari adalah “aura”, berupa perasaan

    takut, sedih, atau euphoria. Dari satu penelitian dikatakan bahwa 25% aura terdiri

    dari gejala psikiatri, 60% terdiri dari iktal ketakutan atau panik dan 15% gejala

    mood. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mintzer dan Lopez melaporkan bahwa

    dari 12 pasien dengan TLE, 8 orang diantaranya mengalami dengan gangguan

    depresi. Gejala depresi iktal adalah gejala iktal yang cukup sering terjadi;

    durasinya singkat, berulang, terjadi diluar konteks, dan berhubungan dengan

    fenomena iktal lainnya.gejala yang paling sering muncul adalah perasaan

    anhedonia, resah dan ide untuk bunuh diri. 23

    2.1.4.3. Fenomena psikiatri post-iktal

    Periode post-iktal terbagi atas 2 fase : fase segera (immediate) dan fase

    tertunda (delayed). Fase postiktal yang segera merupakan periode yang mengikuti

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 10

    Universitas Indonesia

    kejang dan biasanya berlangsung beberapa menit sampai 2 jam tetapi dapat juga

    terjadi sampai 48 bahkan 72 jam. Gangguan kognitif dan sakit kepala merupakan

    gejala pada periode post-iktal yang segera. Gejala psikiatri post-iktal terjadi pada

    fase tertunda, dimana terjadi setelah bebas gejala selam 8 jam sampai 7 hari

    setelah kejang. Biasanya postiktal periode tertunda akan berakhir antara 12 jam

    sampai 7 hari.

    Fenomena psikiatri post-iktal dapat berupa : Gejala psikiatri post-iktal

    berat yang menyerupai depresi, ansietas, atau episode psikotik. Prevalensi pasien

    dengan Post-iktal depressive episode telah dilaporkan pada studi Kanner dkk pada

    tahun 2004, pada 18 pasien yang mengalami gejala depresi post-iktal pada

    periode kurang dari 24 jam; gambaran ini menyerupai gejala Major depressive

    Episode. Pada studi lain yang dilakukan di pusat epilepsi Rush, dapat

    diidentifikasi 20 pasien dengan episode depresi post iktal paling kurang 24 jam

    mengalami episode yang menyerupai depresi mayor.23

    2.1.4.4. Gejala interiktal

    Gangguan suasana perasaan depresi merupakan salah satu gangguan

    neuropsikiatri yang paling sering muncul pada pasien epilepsi, selanjutnya akan

    dibahas lebih lanjut tentang depresi yang terjadi pada pasien epilepsi. 23

    2.2. DEPRESI

    2.2.1. Definisi Depresi

    Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan suasana perasaan yang

    terjadi sebagai kelanjutan dari keadaan normal ke bentuk patologis dan pada

    beberapa pasien gejalanya bisa berupa psikotik. Gejala ringan dapat merupakan

    perluasan kesedihan yang normal, sedangkan gejala berat dikaitkan dengan

    sindrom yang jelas (gangguan mood).25

    Sindrom klinis ini berkaitan dengan

    penurunan atau hambatan dalam alam perasaan, alam pikiran, dan tingkah laku

    motorik yang berupa suasana perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan

    minat atau gairah untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari disertai

    gejala-gejala gangguan fungsional yang berkaitan dengan suasana sedih, misalnya

    gangguan tidur, makan, aktifitas seksual dan lain-lain. 26,27

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 11

    Universitas Indonesia

    Gangguan depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling

    sering terjadi. Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3–8%

    dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20–50 tahun. World Health

    Organization (WHO) menyatakan bahwa gangguan depresif berada pada urutan

    ke-4 penyakit di dunia. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10-25% dan

    pada laki-laki 5-12%. 28,29

    Perkembangan klasifikasi gangguan depesif makin berkembang dari tahun

    ke tahun. Dari masa Hippocrates (460-370 SM) sampai disusunnya DSM IV edisi

    terbaru yang pada awalnya dirancang sesuai dengan ICD-10. Pada dasarnya ICD-

    10 dan DSM IV memiliki orientasi yang sama, meskipun berbeda, terutama pada

    terminologi, dapat digunakan secara bergantian dalam praktek sehari-hari.

    Dikenal istilah “Episode depresif” pada ICD-10 dan “Episode Depresi Mayor”

    pada DSM-IV. 30

    2.2.2. Klasifikasi Depresi

    2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR

    Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Text

    Revision (DSM-IV-TR) dikenal istilah gangguan depresi mayor (Major

    depression disorder) yang merupakan bagian dari gangguan mood, dan

    merupakan salah satu bagian dari gangguan depresif, seperti klasifikasi DSM-IV-

    TR dibawah ini :

    Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresif berdasarkan DSM-IV-TR

    8,25

    296.xx.Gangguan Depresi Mayor

    2x. Episode tunggal

    3x. Berulang

    300.4 Gangguan Distimia

    Khususnya : early onset / late onset

    Khususnya : dengan gambaran yang atypical

    311. Gangguan Depresif yang tidak spesifik

    Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) atau juga biasa

    disebut depresi klinis, depresi mayor, depresi unipolar, didefinisikan sebagai satu

    atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manik, campuran

    atau hipomanik. Suatu episode depresi mayor harus dialami sekurang-kurangnya 2

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 12

    Universitas Indonesia

    minggu, terdapat suasana perasaan yang terdepresi atau kehilangan minat atau

    kesenangan terhadap aktifitas yang biasa dilakukan. Juga terdapat minimal empat

    gejala tambahan dari beberapa gejala berikut, yaitu perubahan nafsu makan, pola

    tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan energi, perasaan bersalah atau tidak

    berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi atau untuk membuat keputusan;

    pemikiran berulang tentang kematian atau ide/rencana/percobaan untuk bunuh

    diri. Gejala ini menetap, hampir setiap hari dalam 2 minggu berturut-turut. 8 Untuk

    menegakkan diagnosis satu episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV dapat

    dilihat pada tabel berikut.

    Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV 8

    A. Lima atau lebih gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan

    menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling kurang satu gejala dari salah

    satu (1) mood terdepresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan

    1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya perasaan sedih atau kosong) maupun

    pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya tampak sedih)

    2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan baik

    oleh laporan subjektif maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).

    3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan berat badan (misalnya peubahan berat badan 5% sebulan) atau penurunan atau

    peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.

    4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari 5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain,

    bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya kegelisahan atau menjadi lamban)

    6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari 7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai

    (yang dapat berupa waham) hampir setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri

    sendiri atau bersalah karena sakit)

    8. Penurunan kemampuan untuk berfikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif maupun yang diamati orang lain).

    9. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau percobaan bunuh diri

    atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.

    B. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode campuran C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi

    sosial, pekerjaan atau fungsi bidang penting lainnya.

    D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat, pengobatan), atau suatu kondisi medis umum (misalnya hipotiroidisme)

    E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka, yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih lama, lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan

    fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak berharga, ide bunuh diri,

    gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

    Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

    Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 355.

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 13

    Universitas Indonesia

    Sedangkan untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi mayor episode

    tunggal berdasarkan DSM-IV-TR, setelah memenuhi kriteria episode depresi

    mayor diatas, harus dapat memenuhi kriteria pada tabel berikut.

    Tabel 2.5. Kriteria diagnostik Gangguan Depresif Mayor episode tunggal

    berdasarkan DSM-IV-TR:

    A. Adanya suatu episode depresif mayor tunggal B. Episode depresif mayor tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak

    bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan waham atau

    gangguan psikotik yang tak tergolongkan

    C. Tidak pernah terdapat suatu episode manik, episode campuran atau episode hipomanik. (Catatan : penyingkiran ini tidak berlaku jika semua episode mirip manik, mirip campuran atau

    mirip hipomanik adalah diinduksi oleh zat atau pengobatan atau oleh efek fisiologis langsung

    dari suatu kondisi medis umum.)

    Jika kriteria lengkap memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dan atau

    gambaran sekarang:

    Ringan, sedang, berat tanpa ciri psikotik, berat dengan ciri psikotik

    Kronis

    Dengan ciri katatonik

    Dengan ciri melankolik

    Dengan ciri atipikal

    Dengan onset postpartum

    Jika kriteria lengkap tidak memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dari

    Gangguan Depresif Mayor sekarang atau gambaran dari episode paling akhir

    Dalam partial Remission, full remission

    Kronis

    Dengan ciri katatonik

    Dengan ciri melankolik

    Dengan ciri atipikal

    Dengan onset postpartum

    Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

    Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 375.

    Disamping depresi mayor juga dikenal istilah depresi minor dan distimia,

    merupakan gangguan afektif yang cukup sering terjadi. Keduanya dapat

    meningkatkan kemungkinan terjadinya episode depresi mayor. Depresi minor

    adalah gangguan mood yang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan depresi

    mayor, paling kurang terdapat dua gejala depresi yang terjadi selama minimal 2

    minggu. Walaupun namanya minor namun dampaknya cukup mempengaruhi

    kehidupan dan fungsi sosial yang nantinya akan menurunkan kualitas hidup.

    Depresi ini sering terlewatkan sehingga tidak tertangani. Gejala depresi minor

    yang menetap dan berlangsung lama dikenal dengan “distimia”. Distimia

    berdasarkan DSM-IV terdiri dari minimal 2 gejala depresi yang menetap dan

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 14

    Universitas Indonesia

    berlangsung lama, paling kurang 2 tahun, biasanya tanpa perbaikan atau terdapat

    perbaikan hanya pada waktu yang singkat (beberapa hari atau minggu), pada

    sebagian besar waktunya pasien akan terlihat murung, sedih, lelah, anhedonia,

    perasaan tidak mampu, sering menuntut dan mengeluh, merendahkan diri dan

    pada saat yang sama mencela orang lain. Pasien dengan distimia sangat tidak

    ramah dan hubungan dengan orang lain tidak stabil dan tidak empati.31

    Berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV, untuk membedakan kesedihan yang

    normal dan patologis dinilai dari intensitas minimum (yang diukur dengan jumlah

    gejala) dan minimum waktu gejala tersebut. Sedangkan pengaruh gangguan mood

    dengan fungsi sosial tidak cukup akurat. Pendekatan secara kualitatif tersebut

    bersifat cukup subjektif dan hanya sebagian saja yang dapat dikomunikasikan

    dengan objektif. Untuk itu terdapat guideline untuk membedakan kesedihan yang

    normal dan mood yang terdepresif, pada mood yang terdepresif terjadi : a) tidak

    berhubungan dengan suatu peristiwa merugikan yang nyata dan bila memang

    terdapat “kehilangan” biasanya akan dilebih-lebihkan; b) sangat menyakitkan,

    mendalam, dan menetap, menolak semua upaya untuk mengatasinya; c)

    berhubungan dengan perasaan tidak berharga, rendahnya percaya diri; d) sering

    berhubungan dengan waktu dan hubungan interpersonal dan fungsi sosial; e)

    berhubungan dengan perasaan bersalah dan keinginan untuk mati; f) bila cukup

    berat terdapat gangguan vegetatif somatik dan ide-ide delusional; g) lebih sering

    berhubungan dengan disregulasi hormonal.30

    Sedangkan pada kesedihan yang

    fisiologis atau ketidak-bahagiaan yang dapat terjadi pada semua orang dari waktu

    ke waktu, penyebabnya biasanya jelas, reaksinya tidak dapat dimengerti dan akan

    terjadi perbaikan setelah penyebabnya hilang.

    2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10

    Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

    Indonesia III (PPDGJ-III) yang disusun berdasarkan ICD-10, dikenal istilah

    gangguan depresif yang merupakan bagian dari Gangguan Suasana Perasaan

    (Mood [afektif])(F30-F39).

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 15

    Universitas Indonesia

    Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ III 32

    F 32. Episode Depresif

    F32.0 Episode depresif ringan

    .00 Tanpa gejala somatik

    .01 Dengan gejala somatik

    F 32.1 Episode depresif sedang

    .10 Tanpa gejala somatik

    .11 Dengan gejala somatik

    F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

    F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

    F 32.8 Episode depresif lainnya

    F 32.9 Episode depresif yang tak tergolongkan (YTT)

    Pada tiga variasi episode depresif yang khas yang tercantum diatas : ringan

    (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3), individu biasanya menderita

    suasana perasaan yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan

    berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan

    berkurangnya aktifitas. Biasanya rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.

    Gejala lazim lainnya adalah :

    a. Konsentrasi dan perhatian yang berkurang

    b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

    c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada

    episode tipe ringan sekalipun)

    d. Padangan masa depan yang suram dan pesimistis

    e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

    f. Tidur terganggu

    g. Nafsu makan berkurang

    Untuk episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya

    diperlukan waktu sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis,

    akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejalanya berat dan

    berlangsung cepat.32

    Pada episode depresif ringan terdapat suasana perasaan yang depresif,

    kehilangan minat dan kesenangan, dan mudah lelah yang biasanya dipandang

    sebagai gejala depresi yang paling khas; dan sekurang-kurangnya dua dari itu,

    ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lain yang dicantumkan diatas, harus ada

    untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.

    Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.32

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 16

    Universitas Indonesia

    Pada episode deresif sedang,sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga

    gejala paling khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan (F32.0),

    ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya.

    Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila

    secara keseluruhan ada cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode

    berlangsung minimal 2 minggu.32

    Pada episode depresif berat, semua gejala khas yang ditemukan pada

    episode depresif ringan dan sedang (F32.0, F32.1) harus ada, ditambah sekurang-

    kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintesinsitas

    berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok,

    maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak

    gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam

    subkategori episode berat masih dapat dibenarkan. Episode deresif biasanya

    seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala

    amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk

    menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.32

    2.2.2.3. Perbandingan depresif berdasarkan DSM-IV-TR dan ICD-10

    Terdapatnya klasifikasi dan kriteria yang berbeda untuk depresi antara

    ICD-10 yang dipergunakan pada PPDGJ III dan DSM-IV-TR. Namun pada

    dasarnya prinsip klasifikasi keduanya sama, berikut perbandingan antara kriteria

    depresi pada ICD-10 dan DSM-IV-TR.

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 17

    Universitas Indonesia

    Tabel 2.7. Gangguan Depresif berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV

    F32 Episode depresif (tunggal) 296.2x Gangguan Depresi Mayor

    episode tunggal

    F32.0 episode depresi ringan

    .00 tanpa gejala somatik

    .01 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis

    F32.1 episode depresi sedang

    .10 tanpa gejala somatik

    .11 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis

    F32.2 episode depresi berat tanpa gejala psikotik

    F32.3 episode depresi berat dengan gejala psikotik

    F32.8 episode depresi lainnya dengan gambaran katatonik

    /atypical

    F32.9 episode depresi yang tidak spesifik .20 Tidak spesifik

    F33 Gangguan depresi berulang 296.3x Gangguan depresi mayor berulang

    F33.0 gambaran gangguan depresi berulang,

    episode ringan

    .00 tanpa gejala somati

    .01 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis

    F33.1 gangguan depresi berulang,

    episode sedang

    .10 tanpa gejala somatik

    .11 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis

    F33.2 gangguan depresi berulang,

    episode berat tanpa gejala psikotik

    F33.3 gangguan depresi berulang,

    episode berat dengan gejala psikotik

    F33.4 gangguan depresi berulang, dalam remisi

    F33.8 gambaran gangguan depresi berulang lainnya dengan katatonik/atypical

    F33.9 gangguan depresi berulang, unspecified .30 Unspecified

    F34 gangguan mood (affective) menetap

    F34.0 Siklotimia 301.13 gangguan siklotimia

    F34.1 Distimia 300.4 gangguan distimia

    F34.8 gangguan mood menetap lainnya 300.4 gangguan distimia dengan gambaran

    atipikal

    F34.9 gangguan mood (afektif) menetap,

    Unspecified

    F38 gangguan mood (affective) lainnya

    F38.0 gangguan mood (afektif) tunggal lainnya

    .00 episode afektif campuran 296.0x gangguan Bipolar I, episode tunggal

    .01 ringan

    . .02 sedang

    .03 berat tanpa gejala psikotik

    .04 berat dengan gejala psikotik

    F38.1 gangguan mood (afektif) berulang lainnya

    .10 gangguang depresi berulang singkat Lihat Appendix B: gangguan depresi

    berulang singkat

    F38.8 gangguan mood (afektif) spesifik lainnya

    F39 gangguan mood (afektif) tidak spesifik 296.90 gangguan mood NOS

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 18

    Universitas Indonesia

    Pada tabel diatas episode depresif dan gangguan depresi mayor ditentukan

    berdasarkan tingkat keparahannya (ringan, sedang dan berat) dan frekuensinya

    (tunggal atau berulang). Selain itu kedua sistem klasifikasi ini memiliki dua fitur

    dasar untuk mengidentifikasi episode depresif : a) jumlah minimum gejala khas

    dan berhubungan; b) durasi waktu minimal gejala selama 2 minggu.31

    Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala

    klinis yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Bila

    manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan

    suasana perasaan (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dengan

    mudah dapat ditegakkan. Tetapi, bila gejala depresi muncul dalam keluhan

    psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit

    kepala yang terus-menerus, adanya depresi yang melatar belakangi sering tidak

    terdiagnosis.28

    2.3. DEPRESI PADA EPILEPSI

    2.3.1. Epidemiologi Depresi pada Epilepsi

    Depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi dan

    merupakan gangguan mental yang paling umum terjadi pada penderita epilepsi.

    Depresi pada epilepsi seringkali tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Baik yang

    timbul pada saat awitan epilepsi maupun selama rangkaian epilepsi. Beberapa

    penelitian tentang gangguan psikiatri pada epilepsi telah dilakukan. Diantaranya

    Gilliam (2006), dalam penelitiannya menyatakan bahwa depresi merupakan

    kelainan komorbiditas umum pada epilepsi dengan prevalensi gangguan depresi

    dilaporkan lebih dari 30% pada komunitas epilepsi, dan 20-55% pada klinik

    epilepsi.10,11

    Menurut Hamed SA, depresi merupakan gangguan psikiatri yang

    paling sering terjadi pada pasien epilepsi, dengan angka prevalensi 20-80%,

    dibanding 1½-19% pada populasi umum.5

    Depresi merupakan penyakit kronik

    yang mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi. Perkiraan prevalensi

    depresi pada penderita epilepsi bervariasi antara 11%- 62% (Barry dkk, 2000),

    sedangkan menurut Jackson dkk (2005) prevalensinya berkisar antara 50-55%.

    Laporan lain menyebutkan gejala depresi pada penderita epilepsi berkisar antara

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 19

    Universitas Indonesia

    40-60% (Jones dkk, 2005), sementara itu Baki dkk (2004) melaporkan prevalensi

    depresi pada remaja penderita epilepsi terus meningkat dengan rentang 34-78%.9

    Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat depresi mayor

    berhubungan dengan peningkatan risiko untuk berkembangnya kejang yang tidak

    terprovokasi (unprovoked seizure). Pada penelitian awal yang bersifat kasus

    kontrol untuk melihat terjadinya depresi sebelum timbulnya epilepsi, Forsgren dan

    Nystrom (1990) menemukan bahwa riwayat depresi berhubungan dengan

    meningkatnya risiko terjadinya epilepsi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan

    oleh Hesdofffer (2000) menunjukkan bahwa riwayat depresi, berdasarkan kriteria

    Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), meningkatkan

    risiko terjadinya kejang tanpa provokasi (unprovoked seizure). Pada pasien

    dewasa dengan usia lebih tua yang berada di Rochester Minnesota, riwayat

    depresi berhubungan bermakna dengan 6 kali peningkatan risiko terjadinya kejang

    pertama yang idiopatik/kriptogenik tanpa provokasi. Pada penelitian kasus kontrol

    lebih lanjut pada populasi di Iceland Hesdorffer dkk menyatakan bahwa riwayat

    depresi mayor berdasarkan kriteria DSM-IV berhubungan dengan 1,7 kali

    peningkatan risiko terjadinya epilepsi. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh

    penelitian Nilsson dkk (2003).33

    Dari segi psikiatri, gangguan psikologik yang terjadi pada sekitar 30%

    pasien epilepsi, mempunyai beberapa penyebab, termasuk kerusakan otak, faktor

    psikososial dan efek obat anti kejang. Sekitar 20% pasien epilepsi, termasuk anak-

    anak, menderita ansietas ringan dan kadang-kadang terdapat gejala depresi. Angka

    bunuh diri meningkat tiga kali dan angka keinginan bunuh diri juga meninggi.34

    Depresi berpotensi untuk menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa,

    berhubungan dengan kebiasaan bunuh diri bila dibandingkan dengan populasi

    umum. Berdasarkan penelitian yang dilakuakn Isometsa dkk (1994) di Finlandia

    dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang

    mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat atau tidak mendapatkan pengobatan

    sama sekali untuk depresinya. Nielson dkk (2002) juga mengatakan bahwa depresi

    pada epilepsi merupakan faktor risiko bunuh diri dan perkiraan risiko relatif

    bunuh diri adalah 16 kali untuk epilepsi dengan awitan lebih muda dari 18 tahun

    dibandingkan setelah 29 tahun. Risiko bunuh diri pada pasien epilepsi dengan

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 20

    Universitas Indonesia

    depresi juga dilaporkan oleh Jakson dkk dan Danish juga menyebutkan bahwa

    pasien epilepsi memiliki risiko bunuh diri sampai 3 kali lipat dibandingkan

    populasi umum. Dari beberapa penelitain lain, seperti Doris yang melakukan

    penelitian di RSUD Haji Adam Malik Medan mengatakan bahwa tingkat gagasan

    bunuh diri pada depresi mayor berdasarkan skor BSIS (Beck Suicide Intent Scale)

    adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity Survey,

    probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri sekitar

    34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan gagasan

    bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah 26%.

    Komorbiditas epilepsi dengan depresi menimbulkan berbagai konsekuensi baik

    berkaitan dengan risiko bunuh diri maupun kualitas hidup penderita. 9,12,13,14

    Herman dkk mendapatkan prevalensi depresi mayor pada epilepsi berkisar

    antara 8-48% dengan rata-rata 30%, dan juga menunjukkan bahwa beratnya

    depresi akan menurunkan kualitas hidup penderita epilepsi. Penelitian yang

    dilakukan Martinovic dkk (2006) menyimpulkan bahwa nilai total QOLIE 31

    (quality of life, 31) berkorelasi secara signifikan dengan perbaikan suasana

    perasaan dan status bebas sawan. Djibuti dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa

    kualitas hidup yang buruk bermakna secara signifikan dengan kenaikan frekuensi

    sawan. Depresi juga dapat memperburuk medikasi pada epilepsi.9

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Souza dkk.(2005) bahwa 63,4%

    depresi pada penderita epilepsi berhubungan dengan jenis sawannya. Dari

    penelitian oleh Lazuardi (1994) di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta di

    dijumpai data sebagai berikut, 64% penderita epilepsi merasa malu bahwa dirinya

    menderita epilepsi dan 42% mengalami depresi. Sementara itu Marpaung (2003)

    menemukan bahwa pasien epilepsi 70,5% mengalami depresi terutama pada

    epilepsi umum dengan bangkitan tonik klonik (82,4%) dan kelompok epilepsi

    parsial sederhana (58,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Gribz dkk (2005)

    menunjukkan bahwa dari 49,2% pasien epilepsi yang mengalami depresi 37,4%

    depresi berat dan 11,8% depresi sedang. Ia juga mengemukakan bahwa kejang

    parsial \kompleks, absans dari epilepsi umum dengan sawan tonik klonik sebagai

    faktor risiko terjadinya depresi.9

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 21

    Universitas Indonesia

    Penelitian untuk menilai hubungan antara frekuensi kejang dengan depresi

    telah banyak dilakukan. Pada studi epidemiologi Jacoby dkk menulis bahwa

    depresi terjadi pada 4% pasien yang telah bebas kejang dan 10% pada pasien

    dengan frekuensi kejang satu kali tiap bulannya dan 21% pada pasien dengan

    kejang yang lebih dari itu. O’Donoghue dkk juga mengatakan bahwa pasien

    dengan kejang yang tidak terkendali meningkatkan kemungkinan terjadinya

    depresi hampir 33%.35

    Penelitian lain yang dilakukan oleh Victoroff dkk pada 60 pasien dengan

    intractable complex partial seizure, menyatakan bahwa 58% pernah didiagnosis

    depresi selama hidupnya. Jones dkk, menyatakan 19% pasien dengan epilepsi

    mengalami depresi mayor, dari penelitian Ring dkk dikatakan 21% epilepsi lobus

    temporal mengalami depresi mayor.35

    Hubungan antara kejang, timbulnya gejala psikiatri, dan lobus mediobasal

    temporal yang menyebabkan banyak perubahan perilaku merupakan sesuatu hal

    yang kompleks dan masih terus menjadi bahan penelitian para ahli. Studi dengan

    stimulasi dan ablasi pada manusia dan hewan menunjukkan adanya hubungan

    struktur limbik temporal dengan perilaku emosional. Sebagai contoh stimulasi

    temporal limbik pada manusia menimbulkan gejala psikis aura dan automatisme,

    stimulasi dan ablasi amigdala pada hewan menghasilkan agresi dan plasiditas.

    Juga timbulnya fenomena kindling pada kucing ketika struktur limbik nya

    diangkat. Secara garis besar gangguan psikiatri pada epilepsi dapat disebabkan

    oleh berbagai faktor biopsikososial.36,37,38,39

    2.3.2. Patofisiologi Depresi pada pasien epilepsi

    2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada epilepsi

    Beberapa alasan dapat menjelaskan hubungan yang bidireksional antara

    epilepsi dan depresi, termasuk perkembangan epilepsi yang diikuti oleh upaya

    bunuh diri. Hubungan yang bidireksional ini tidak berarti kausalitas, tetapi bahwa

    mekanisme patogenesis umum yang berhubungan dengan kedua kondisi tersebut,

    dimana ganggauan salah satunya akan menfasilitasi terjadinya keadaan lainnya.

    Penelitian terbaru Andres Kanner dkk, meyatakan bahwa terdapat

    beberapa mekanisme patogenesis neurobiologi gangguan depresi pada epilepsi.

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 22

    Universitas Indonesia

    Terdapat empat kategori yang memilki dampak hipereksitabiliti di korteks dan

    proses epileptogenik, yaitu :39

    1. abnormalitas fungsi dan struktur kortikal dan subkortikal

    2. abnormalitas neurotransmitter

    3. abnormalitas endokrin

    4. abnormalitas immunologis.

    2.3.2.1.1. Abnormalitas struktur dan fungsi kortikal dan subkortikal

    A. Perubahan struktur pada pasien epilepsi dengan depresi

    Gambar 2.1. Korteks Limbik

    (Dikutip dari “Duus Topical Diagnosis in Neurology : Anatomy, Physiology, Sign,

    Symtoms)

    Gambar 2.2. Sirkuit papez (hipokampus-forniks-korpus mamilare-nukleus anterior

    talami-girus cinguli -cingulum-hipokampus)

    (Dikutip dari “Duus Topical Diagnosis in Neurology : Anatomy, Physiology, Sign,

    Symtoms)

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 23

    Universitas Indonesia

    Peranan Lobus temporal pada epilepsi dengan depresi

    Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan epilepsi lobus temporal

    lebih cenderung mengalami depresi dibandingkan kelompok lain, tetapi beberapa

    percobaan lain gagal mengkonfirmasi kebenaran pengamatan ini. Secara umum,

    pasien dengan kompleks parsial seizure, atau sklerosis di temporal mesial akan

    lebih banyak mengalami gejala depresi. Menariknya, beberapa studi literatur dari

    bagian psikiatri menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara berkurangnya

    volume hipokampus dengan gangguan suasana perasaan (mood). Pada tahun

    1996, Sheline dkk menemukan bahwa volume hipokampus lebih kecil, bilateral,

    pada 10 orang pasien dengan riwayat depresi mayor, dibandingkan dengan

    volume hipokampus pada 10 orang pasien dengan umur, jenis kelamin, dan tinggi

    yang sama pada pasien sehat.35

    Atrofi hipokampus pada depresi mayor primer memiliki 2 mekanisme

    patogenesis : (1) perubahan faktor neurotropik hasil dari gangguan mood dan (2)

    paparan glukokortikoid yang tinggi.41

    Stress akut dan kronik akan menurunkan level brain-derived neurotrophic

    factor (BDNF) para girus dentata, pada lapisan sel piramidal hipokampus,

    amigdala dan neokorteks, dimana dapat menyebabkan perubahan struktur

    hipokampus. Perubahan diperantarai oleh glukokortikoid dan dapat dibalikkan

    (overturned) dengan terapi antidepresan. Pemberian antidepresan jangka panjang

    akan meningkatkan ekpresi BDNF dan juga melindungi stress yang menyebabkan

    menurunnya level BDNF. Hal ini menjadi dasar bahwa obat-obat antidepresan

    dapat meningkatkan level BDNF hipokampus pada manusia. Data ini

    menunjukkan antidepresan akan merangsang peningkatan regulasi BDNF yang

    diperkirakan akan memperbaiki kerusakan neuron hipokampus dan melindungi

    neuron tersebut dari kerusakan lebih lanjut.41

    Paparan glukokortikoid yang tinggi ini akan memediasi atrofi hipokampus

    berdasarkan aktivasi yang berlebihan dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis

    (HPA aksis) yang ditemukan pada sebagian besar pasien dengan depresi

    mengakibatkan gangguan dexamethasone suppression pada adrenocorticotropic

    hormone (ACTH) dan kortisol. Perubahan ini akan pulih dengan pengobatan

    antidepresan. Pada studi eksperimental pada tikus dan monyet, peningkatan

    konsentrasi kortikosteroid yang lama akan menyebabkan kerusakan neuron

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 24

    Universitas Indonesia

    hipokampus, terutama neuron piramidal CA3, kemungkinan berkurangnya cabang

    dendrit dan dendritik spines yang termasuk pada input sinaptik glutamatergik.

    Hiperkortisolemia juga akan mengganggu perkembangan sel neuron yang baru

    pada girus dentata hipokampus pasien dewasa. Efek yang merusak dari paparan

    glukokortikoid yang lama dapat menyebabkan awal atrofi yang sementara dan

    reversibel pada pohon dendritik CA3 dan meningkatkan kerentanan yang pada

    akhirnya menyebabkan kematian sel pada kondisi yang ekstrem dan lama.41

    Abnormalitas struktur mesial temporal adalah kelainan yang paling sering

    ditemukan pada pasien epilepsi dengan komorbid depresi. Pada tiga studi pasien

    dengan TLE, nilai tertinggi depresi berhubungan dengan gambaran sklerosis

    temporal mesial (MTS), penurunan perfusi lobus temporal dan frontal. 41

    Literatur yang lebih lama mencoba menetapkan efek “lateralitas” depresi,

    yang berarti bahwa pasien dengan epilepsi lobus temporal kanan atau kiri lebih

    banyak berkembang menjadi gangguan mood. Banyak penulis telah berusaha

    mengkonfirmasi hipotesis, dengan hasil yang sangat beragam dan secara

    keseluruhan terdapat ketidakseimbangan antara otak kanan maupun kiri. Hipotesis

    lateralisasi yang modern berhubungan dengan konektifitas lobus mesial temporal

    dan pengamatan bahwa epilepsi lobus temporal yang kronik dan aktif, yang

    mungkin saja berhubungan dengan hipoaktifitas dan disfungsi anatomi

    berhubungan dengan jauhnya daerah dari fokus epileptiform primer. Dalam hal

    ini, epilepsi lobus temporal dapat meyebabkan penurunan aktifitas pada lobus

    frontal dan juga hipoaktifitas, dan dikenal sebagai hipofrontality, dan

    berhubungan dengan depresi endogen. Beberapa studi yang menggunakan teknik

    neuroimaging atau pemeriksaan neurofisiologi menyatakan bahwa terdapat

    hubungan antar disfungsi lobus frontal, depresi dan epilepsi lobus temporal.35

    Peranan Lobus frontal terhadapdepresipada epilepsi

    Perubahan struktur ditemukan pada orbitofrontal dan korteks prefrontal

    dan girus singuli, pada white matter, termasuk volume korteks orbitofrontal yang

    lebih kecil pada dewasa muda dan geriatri dengan gangguan depresi mayor.

    Sebagai catatan, besarnya perubahan volume prefrontal berhubungan dengan

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 25

    Universitas Indonesia

    beratnya depresi, pada pasien usi tua, dan dengan depresi minor memiliki

    perubahan yang lebih sedikit dibandingkan depresi mayor.41

    Studi neuropatologi juga mengdokumentasikan bahwaterjadi perubahan

    struktur korteks lobus frontal pada pasien depresi. Raj-kowska dkk menemukan

    bahwa terjadi ketebalan kortikal, ukuran neuron, dan densitas neuronal lapisan II,

    III dan IV dari regio rostral orbitofrontal pada otak pasien depresi. Pada korteks

    orbitofrontal bagian kaudal, terdapat pengurangan yang bermakna pada densitas

    glial lapisan kortikal V dan VI yang juga berhubungan dengan penurunan ukuran

    neuronal. Akhirnya, pada korteks prefrontal dorsolateral, terdapat penurunan

    densitas neuronal dan glial dan ukuran di semua lapisan kortikal. 41

    B. Perubahan fungsi pada pasien epilepsi dengan depresi .

    Keterlibatan lobus frontal pada depresi primer terlihat pada neuroimaging

    fungsional (PET, SPECT) dan studi neurofisiologi.Salah satunyaadalah pada

    gangguan fungsi eksekutifdan lebih nyata pada gangguan depresi yang berat.

    Gangguan pada pemeriksaan neurofisiologi ini berhubungan dengan penurunan

    aliran darah pada korteks mesial prefrontal. Selanjutnya, pada pemeriksaan fungsi

    eksekutif, korteks singuli dan striatum tidak aktif pada pasien dengan depresi

    mayor. Gangguan fungsi pada struktur lobus frontalis terjadi pada TLE dan

    khususnya pada TLE dengan komorbid depresi, dimana ditemukan penurunan

    metabolisme inferofrontal bilateral. Sebagai catatan, korteks frontal inferior

    adalah sasaran utama neuron dopaminergik mesolimbik dan memberikan asupan

    kepada neuron serotonergik pada nukleus dorsal rafe. 41

    2. 3. 1. 1. Abnormalitas Neurotransmitter

    Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang

    menyebabkan berkurangnya monoamin seperti reserpin dapat menyebabkan

    depresi. Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya

    ketersediaan neurotransmiter monoamin terutama norepinefrin dan serotonin

    dapat menyebakan depresi.Teori ini diperkuat lagi dengan ditemukannya obat-

    obat seperti antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja

    Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

  • 26

    Universitas Indonesia

    meningkatkan dalam jangka pendek monoamin di sinaps.Peningkatan monoamin

    ini berkaitan dengan terjadinya perbaikan depresi.28,42

    Gamma-aminobutyric-acid (GABA)

    GABA memiliki efek inhibisi terhadap monoamine, terutama pada sistem

    mesokorteks, dan mesolimbik. Pada penderita depresi terjadi penurunan GABA

    terlihat pada plasma dan cairan serebro spinal. Stressor kronik dapat mengurangi

    kadar GABA.28

    Pada epilepsi GABA juga dikenal sebagai neurotran