Upload
habib-husnan
View
136
Download
5
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
Kritik Ayat Al-Quran Tentang Kapitalisme dan Sosialisme
A. Pengertian Kapitalisme
"Capital may be most briefly described as wealth used in producing more wealth and
capitalism is the system directing that process" is the definition of capitalism given by
Encyclopedia Britannica. The term is of socialistic origin. It gained currency towards
the second half of the nineteenth century. It denotes the world wide process of
organizing production or trade on individualistic basis. Men with the help of previously
accumulated wealth, but more often utilizing money borrowed on interest, seek profit
and fortune for themselves by employing the mass of human labour for wages.1
Kapitalisme atau Kapitalis adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal
bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip
tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan
bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-
kepentingan pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki
definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan
kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga
abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana
sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu
yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama
barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke
barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus
mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan
juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.2
1 Syaikh Mahmud Ahmed, Economics of Islam, (New Delhi: Idaroh Adabiyat Delli, 1980), hal.1 2 (Id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme)
B. Ayat-Ayat Kapitalisme
Surah Al-Hasyr ayat 7:
Artinya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.3
Kata kunci:
Harta rampasan=
Anak yatim =
Orang miskin =
Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7:
Allah berfirman: Apa saja dari harta fai’i, yakni harta rampasan, yang dikembalikan,
yakni diserahkan Allah pada RasulNya, dari harta benda yang berasal dari penduduk negeri
dimana dan kapan pun maka semuanya adalah milik Allah. Dialah yang berwenang dalam
membaginya. Dia telah menetapkan bahwa harta rampasan itu menjadi milik Rasul atau
3 Al-Qur’an, surah 59: 7
pemimpin yang tertinggi umat setelah wafatnya Rasul SAW. Para kerabat Rasul , anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan ibn as-sabil, yakni orang yang terlantar pada perjalanan.
Pada masa sekarang hubungan antara daerah ke daerah lain sudah lancar dan mudah,
dapatlah orang yang kehabisan belanja meminta belanjanya kekampungnya. Oleh karena itu pada
dewasa ini boleh dikatakan tak ada lagi ibnu sabil. Demikianlah keadaan ibnu sabil, apabila kita
artikan dengan orang yang didalam perantauan yang kehabisan belanja yang tak mudah
mendatangkan belanja dari kampungnya.4
Pada masa Rasul SAW. Harta fai’i itu dibagi menjadi dua puluh lima bagian, dua puluh
menjadi milik Rasul SAW. Beliau salurkan sesuai dengan kebijaksanaan beliau, baik untuk diri
dan keluarga yang beliau tanggung ataupun selain mereka. Sedangkan, lima bagian sisanya itu
dibagikan sebagaimana pembagian harta ghanimah. Menurut pandangan imam Syafi’i
dibagikan kepada orang mujahidin dan mujtahidin yang selalu membela negara. Menurut
pendapat yang lain, disalurkan untuk masyarakat umum berdasarkan prioritas kepentingan dan
kebutuhan. Adapun bagian Rasul dari ghanimah, ulama sepakat bahwa ia dibagikan untuk
kepentingan kaum muslimin.5
Allah Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ Rasûlih min ahl al-qurâ (apa saja harta
rampasan [fai’] yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota).
Secara bahasa, kata afâ’a berarti radda (mengembalikan). Dengan kata tersebut seolah ingin
dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan Allah SWT. Sebagai sarana bagi
hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta itu digunakan tidak pada fungsinya atau
dikuasai oleh orang kafir yang menggunakannya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal
diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang membelanjakannya untuk
kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.
Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fai’ itu. Allah SWT. berfirman: fa li Allâh
wa li al-Rasûl wa li dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîna wa ibn al-sabîl (maka adalah
untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan).6
4 T.M. Hasby Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang), hal.53, vol.105M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 530, vol. 1
6 alasyjaaripb.wordpress.com/.../pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-... 10.28 / 7-6-12
Surah Al-Muthaffifin ayat 1-3:
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.7
Kata kunci
Orang-orang curang =
Takaran[ timbangan] =
Mengurangi =
Tafsir Surah Al-Muthaffifin ayat 1-3:
Kata () wail, pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa arab sebagai doa
jatuhnya siksaan. Tetapi, Al-Qur’an menggunakan dalam arti ancaman jatuhnya siksaan, atau
dalam arti satu lembah yang sangat curam di neraka.
Kata al-muthaffifin terambil dari kata thaffa/meloncati, seperti meloncati pagar, atau
hampir seperti gelas yang tidak penuh tetapi mendekati hampir penuh. Bisa juga kata tersebut
diambil dari kata ath-thafaf, yakni yang bertengkar dalam penakaran dan penimbangan akibat
adanya kecurangan. Apapun makna kebahasaan itu, yang jelas ayat di atas menerangkan apa
yang dimaksud dengan kata tersebut. Kecelakaan, kebinasaan, dan kerugian akan dialami oleh
yang melakukan kecurangan dalam interaksi, ini adalah pangkal kecelakaan dunia dan kerugian
akhirat. Kecelakaan akhirat apabila dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia maka suatu hari
7 Al-Qur’an, surah 83: 1-3
nanti akan menuntut pahala-pahala kebajikan yang pernah dilakukan yang mencuranginya itu,
diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangannya itu.8
“Kecurangan dalam ayat ini diberi pengertian yang lebih luas. Kata itu meliputi
pengertian mengurangi ukuran atau timbangan, tetapi yang tercakup lebih dari itu. Dua ayat
berikutnya dapat memberi penjelasan bahwa yang tercela itu ialah jiwa yang tidak adil atau
terlalu sedikit memberi dan terlalu banyak meminta. Yang demikian itu dapat dilihat dalam
hubungan dagang.
Orang yang menuntut melebihi ukuran untuk keuntungannya sendiri daripada yang ia
inginkan untuk mengalah kepadanya. Dalam soal-soal keluarga atau masyarakat seorang atau
kelompok meminta keistimewaan, penghargaan atau pelayanan, dari pihaknya sendiri tidak mau
memberikan hal yang sama.
Yang demikian ini lebih buruk lagi dari sifat serakah yang berat sebelah, sebab yang
demikian itu berarti ketidak adilan ganda. Tetapi yang paling buruk dari semua itu adalah agama
dalam kehidupan rohani, dengan muka apa ia memohonkan karunia atau cinta kasih dari Allah
jika dia sendiri enggan memberikan kepada sesamanya? Ada suatu pernyataan yang sudah
menjadi pedoman hidup “berbuatlah seperti yang kau inginkan daripada orang lain berbuat
kepadamu”. Tetapi dalam ayat ini dinyatakan lebih lengkap. Kita harus memberikan sepenuhnya
apa yang layak dari pihak kita, baik dengan harapan atau keinginan mendapat perhatian dari
pihaknya atau tidak.9
Asbabun Nuzul Surah Al-Muthaffifin ayat 1-3:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasul SAW sampai ke Madinah,
diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk orang-orang yang paling curang dalam takaran
dan timbangan. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. 83: 1,2,3) sebagai ancaman kepada orang-
orang yang curang dalam menimbang suatu benda. Setelah ayat ini turun maka orang-orang
Madinah termasuk orang yang jujur dalam menimbang dan menakar.10
Pada saat Rasul SAW Masuk ke kota Madinah, beliau mengetahui penduduknya terdiri
dari orang-orang yang curang dalam menggunakan takaran/timbangan/ukuran diperdagangan.
8 M.Quraish Shihab, op.cit, hal.1429 Abdullah Yusuf Ali, Qur’an dan Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal.157910 K.H.Q. Shaleh,dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV.Diponegoro, 1985), hal.577
Karena itu Allah SWT menurunkan ayat ke-1,2,3 dari surah Al-Muthaffifin sebagai ancaman
bagi mereka. Setelah turun ayat ini, maka orang-orang Madinah segera mengubah sikapnya,
sehingga menjadi orang-orang yang jujur dalam suatu perdagangan jual-beli, (HR.Nasai dan
Ibnu Majah dengan isnad yang shahih dari Ibnu Abbas).11
Imam An-Nasai dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang berkata, “ketika Nabi SAW. Baru saja tiba di Madinah, orang-orang disana masih
sangat terbiasa mengurang-ngurangi timbangan dalam jual-beli. Allah lantas menurunkan ayat,
celakalah bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang, setelah turunnya ayat
ini, mereka selalu menepati takaran dan timbangan.12
Surah Al-An’am ayat 141:
Dan Dialah yang menjadikan tanaman yang berjunjung/merambat dan
yang tidak berjunjung/merambat, pohon kurma,tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang
bermcam-macam itu) bila ia berubah, dan tunaikanlah haknya dihari
memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu
11 A.Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.88212 Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal.619
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan.13
Kata Kunci
= Mengadakan makhluk hidup dan mengasuhnya, juga mengadakan segala
sesuatu yang menjadi sempurna secara berangsur-angsur. Seperti mengadakan awan,
perkampungan.
= Taman-taman dan kebun anggur yang lebat pohonnya. Karena kebun seperti itu
menutupi tanah dibawahnya yang membuatnya tidak kelihatan.
= Tanaman-tanaman yang dicagak pada tiang-tiang penyangga. Yaitu
junjungan-junjungan yang dibuat dari kayu dan bambu, yang diatasnya diletakkan batang
tanaman-tanaman itu hingga seperti atap rumah.
= Tanaman yang batangnya tidak diletakkan diatas junjungan.
Maksudnya, bahwa kebun itu ada dua macam. Yaitu kebun-kebun yang memakai
junjungan-junjungan, seperti pohon anggur dan kebun yang tidak memakai junjungan,
kebun-kebun yang berisi bermacam-macam pohon yang batangnya tumbuh lurus, tidak
merambat ke pohon lainnya.
= (Huruf hamzah dan kaf memakai dhammah): sesuatu yang dimakan.
= Maksudnya serupa warna, bentuk dan rasanya jika dilihat dengan mata.
= Tidak sama rasanya.14
Tafsir Surah Al-An’am ayat 141:
Adapun tujuan ayat 141 ini adalah untuk menggambarkan betapa besar nikmat Allah
serta untuk melarang segala yang mengantar kepada melupakan nikmat-nikmatNya. Karena itu,
ayat yang lalu (ayat 99 pada surat yang sama) ditutup dengan menyatakan: Perhatikanlah
buahnya diwaktu pohonnya berbuah, dan perhatikan juga kematangannya, sedang di ayat 141
menyatakan: “Makanlah dari buahnya bila ia berbuah.”
Allah jugalah yang menciptakan buah-buahan seperti zaitun dan delima yang serupa
dalam beberapa segi seperti bentuk dan warnanya, padahal semua tumbuh di atas tanah yang
13 Al-Qur’an, surah, 6: 14114 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993), hal.82-83
sama dan di siram dengan air yang sama. Makanlah sebagian buahnya yang bermacam-macam
itu bila ia berbuah, dan tunaikanlah dari sebahagian yang lain haknya dihari memetik hasilnya
dengan bersedekah kepada yang butuh dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam segala hal,
yakni jangan menggunakan sesuatu atau memberi maupun menerima sesuatu yang bukan pada
tempatnya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai, yakni tidak merestui dan melimpahkan anugrah
kepada orang-orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal karena tidak ada kebajikan dalam
pemborosan, apapun pemborosan itu, tidak juga di benarkan pemborosan walau dalam kebajikan.
“Jangan membasuh wajah dalam berwudhu lebih dari tiga kali, walau anda berwudhu ditengah
sungai yang mengalir”. Demikian sabda Nabi SAW.
Perintah makan dalam firmanNya: Makanlah sebahagian buahnya bila ia berbuah
bermakna izin memakannya, bukan anjuran apalagi kewajiban. Sedang, kata idza bila yang
mengandung makna waktu, disamping menunjukan bahwa buah tersebut tidak selalu ada
sepanjang tahun, juga untuk mengisyaratkan bolehnya memakan buah itu sebelum ditunaikan
haknya.
Disisi lain, masih menurut Ibnu Asyur, kewajiban menyisihkan sebagian harta untuk fakir
miskin merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung fakir miskin dari
kalangan kaum muslimin yang ketika itu cukup banyak karena yang memeluk Islam sering kali
diusir oleh keluarganya atau tuan-tuan mereka tanpa diberi hak-haknya. Bahwa perintah
memungut zakat dalam fimanNya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. At-Taubah [9]: 103), perintah ini boleh jadi
dalam konteks menyebut kadarnya atau berfungsi menguatkan perintah-perintah sebelumnya.
Kata hashaad (memetik) dijadikan sebagai waktu penunaian kewajiban atau tuntutan
memberi kepada orang lain karena biasanya memetik hasil tanaman bertujuan untuk
menghimpun dan menyisihkannya untuk masa datang atau untuk menjualnya. Alhasil, pemetikan
bukan bertujuan memenuhi kepentingan mendesak untuk dimakan oleh pemilik dan keluarganya
pada hari-hari terjadinya pemetikan itu.
Dahulu, mayoritas ulama membatasi jenis-jenis tertentu dari tumbuhan dan buah-buahan
yang wajib dizakati. Imam Malik berpendapat bahwa yang wajib dizakati hanya yang dapat
disimpan dan yang merupakan bahan makanan pokok. Imam Syafi’i dalam hal ini berpendapat
serupa dan menambah satu syarat yaitu kering, karena itu buah zaitun menurutnya tidak wajib
dizakati. “sayur mayur tidak wajib dizakati.” Demikian Al Qurtubi ketika menafsirkan ayat ini.15
Dalam ayat ini kata yang digunakan adalah kata “ishraaf” yang berarti bersalah atau
tersalah. Dalam ilmu fiqh “ishraaf” bermakna mubazir atau boros. Menurut Sufyan, ishraaf itu
ialah segala sesuatu yang dibelanjakan pada jalan tidak menaati Allah, walaupun yang
dibelanjakan itu sedikit sekali.16
Asbabun Nuzul Surah Al-An’am, ayat 141:
Pada waktu itu sering terjadi penghambur-hamburan hasil panen. Mereka suka berfoya-
foya, tetapi enggan untuk membayar zakat. Kehidupan yang seperti ini sudah menjada kebiasaan
di kalangan mereka. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-141 sebagai
teguran atas kebiasaan mereka tersebut. Disamping itu sebagai perintah kepada mereka untuk
mengeluarkan zakat dari hasil panennya, serta larangan hidup berfoya-foya, menghambur-
hamburkan harta kekayaan yang tidak berguna.
(HR. Ibn Jarir dari Abi Aliyah).
Ayat ke-141 berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas yang memetik kurma
sebagai hasil panen. Setelah itu dia mengadakan pesta pora, sehingga di hari petangnya semua
hasil panen itu ludes, dan habis sama sekali. Dirumahnya tidak ada sebiji buah kurma pun. Ayat
ini di turunkan sebagai teguran dan larangan terhadap perbuatan berfoya-foya serta kewajiban
membayar zakat dari hasil panen.
(HR. Ibn Jarir dari Ibn Jurair).17
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abul ‘Aliyah, katanya, “Dahulu, selain zakat, mereka juga
mendermakan sesuatu, kemudian mereka berlebih-lebihan. Maka turunlah ayat ini. Ia juga
meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini turun tentang Tsabit bin Qais bin Syammas, yang
pada waktu kebun kurmanya panen ia memberi makan kepada orang-orang hingga sore harinya
ia tidak kebagian sebuah pun.18
15 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal.696-699, vol.316 Syaikh H.Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.418 17 A.Mudjab Mahalli, op.cit, hal.38818 Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 245
C. Pengertian Sosialisme
Dalam kehidupan sehari-hari istilah sosialisme digunakan dalam banyak arti. Istilah
sosialisme selain bisa digunakan untuk menunjukkan sistem ekonomi, juga bisa
digunakan untuk menunjukkan aliran falsafah, ideology, cita-cita, ajaran-ajaran ataupun
gerakan.19 Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Sosialisme adalah ajaran atau
paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industri, dan
perusahaan menjadi milik negara.20
19 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.6120 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga , (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal.1085
D. Ayat-Ayat Sosialisme:
Surah Al A’raf ayat 32:
32. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang
baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.21 "Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat
itu bagi orang-orang yang mengetahui”.22
Kata Kunci:
Mengharamkan =
Perhiasan =
Rezeki yang baik =
Menjelaskan =
21 Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini
oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata
untuk orang-orang yang beriman saja.
22 Al-Qur’an, surah, 7: 32
Tafsir Surah Al-A’raf ayat 32:
Allah mengeluarkan perhiasan yang dimaksud ialah, Allah telah menciptakan bahan-
bahan dan mengajarkan cara-cara pembuatannya dengan hal yang telah Allah titipkan pada fitrah
mereka, berupa menyukai pada perlengkapan hidup dan cenderung pandai memakainya. Karena
Allah telah menciptakan manusia dengan bakat menampakkan tanda-tanda kekuasaan Allah pada
seluruh yang Dia ciptakan dialam yang mereka tempati, karena sesuatu yang Allah titipkan
kepada naluri mereka, berupa kecenderungan dan untuk melakukan penyelidikan dalam
membuka hal-hal yang masih majhul dan mempelajari perkara-perkara yang masih tersembunyi.
Kesimpulannya bahwa agama tidak mengharamkan kedua naluri itu, kecuali apabila
kemudian menjadi penghalang terhadap kesempurnaan pemberian ruhani dan akhlak. Bahwa
agama tidak menganggap meninggalkan perhiasan dan rizki yang baik-baik sebagai pendekatan
kepada Allah Ta’ala, sebagaimana yang telah berlaku pada penyembah berhala, seperti orang-
orang Brahma dan lainnya, yang kemudian diikuti pula dalam hal ini oleh sebagian orang
Islam.23
Asbabun Nuzul Surah Al-A’raf ayat 32:
Pada zaman Jahiliah ada seorang perempuan tawaf (berkeliling Ka’bah) di Baitullah
dengan telanjang, hanya mengenakan celana dalam. Didalam tawafnya dia berteriak-teriak.
“Pada hari ini aku halalkan seluruh tubuh, kecuali yang aku tutupi (kemaluan) ini. Ketika itu
orang-orang musyrik biasa melakukan tawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang bulat.
Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-31 sebagai ketegasan perintah memakai
pakaian (menutup aurat) apabila mendatangi masjid-masjid. Sebab masjid merupakan tempat
suci. Sebab itu bagi mereka yang masuk ke dalam masjid harus suci dan sopan.
Orang-orang kafir Quraisy pada waktu itu biasa melakukan tawaf dengan telanjang bulat.
Mereka beranggapan, bahwa orang-orang yang tawaf dilarang memakai pakaian. Sehubungan
dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-32 sebagai sanggahan terhadap anggapan mereka.
23 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993), hal.238-239, vol.8
Allah SWT malah memerintahkan agar mereka mengenakan pakaian apabila bertawaf Allah
SWT hanya melarang barang yang keji.24
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa pada zaman Jahiliah, seorang wanita
bertawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang, hanya kemaluannya yang ditutupi dengan secarik
kain. Sambil berthawaf ia bersyair, “Hari ini sebagian atau seluruhnya kelihatan, dan bagian
yang kelihatan tidak aku halalkan:
Maka turunlah ayat, “… Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap memasuki masjid,
…”. Dan turun pula ayat, “Katakanlah Muhammad, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah…..”.25
Surah Al-Maidah ayat 87:
87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.26
Kata Kunci:
Yang diharamkan=
Apa-apa yang baik=
Apa yang dihalalkan Allah=
Tafsir Surah Al-Maidah ayat 87:
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah memuji kaum Nasrani bahwa mereka adalah orang yang
paling dekat kecintaannya kepada kaum muslimin. Disebutkan, bahwa salah satu sebabnya
karena diantara mereka terdapat para Pendeta dan Rahib. Namun kemudian kaum mu’minin
mengira, bahwa dalam hal ini terdapat dorongan untuk melakukan kerahibannya. Sebab itu,
Allah melenyapkan dugaan-dugaan seperti ini dengan larangan yang jelas.
24 A.Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.396-39725 Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 246-24726 Al-Qur’an, Surah, 5:87
Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Madawaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
ayat “ ” diturunkan
mengenai sebagian sahabat yang mengatakan, bahwa kami memutuskan segala ingatan yang
meninggalkan segala kesenangan dunia dan berjalan dimuka bumi untuk beribadah,
sebagaimana dilakukan oleh para rahib. Setelah berita itu sampai kepada Nabi SAW. Beliau
mengutus kepada mereka untuk menanyakan hal itu. Mereka menjawab, “iya”. Maka Nabi SAW
bersabda : “akan tetapi saya menjalankan puasa, juga berbuka, juga melaksanakan shalat, juga
tidur, dan saya mengawini wanita. Sebab itu, barang siapa yang mengikuti sunnahku, maka dia
termasuk ummatku; dan barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka dia tidak termasuk
ummatku.”
Kalimat berarti perkara yang dinikmati oleh diri dan cenderung oleh hati.
Seperti terlalu kenyang, mencurahkan perhatian didalam hidup untuk bersenang-senang
dengannya, atau hal yang membuat kalian lalai terhadap perkara-perkara bermanfaat seperti ilmu
dan amal-amal lain yang berguna bagi diri dan warga Negara kalian.
Kemudian Allah memberi alasan terhadap larangan itu dengan alasan yang membuat
seseorang tidak mau melakukannya Allah tidak menyukai orang
yang melanggar atas syariat, meskipun ia bermaksud beribadah kepadaNya dan mengharamkan
segala yang baik yang telah dihalalkanNya. Baik pengharaman itu disertai keharusan dengan
sumpah dan nazar atau tidak, semuanya tidak boleh dilakukan.
Pengharaman hal yang baik-baik dan perhiasan serta penyiksaan diri termasuk
peribadatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Yunani kuno. Kemudian, hal
ini ditiru oleh ahli-ahli kitab terutama kaum-kaum Nasrani.27
Asbabun Nuzul Surah Al-Maidah ayat 87:
Pada suatu waktu datang seorang lelaki kepada Rasullulah SAW seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, apabila aku makan daging syahwatku akan timbul lebih ganas pada wanita. Oleh
sebab itu aku mengharamkan atas diriku makan daging”.
Pada suatu kelompok para sahabat Nabi SAW, yang diantaranya terdapat Utsman bin
Madh’un, mengharamkan menggauli istri dan mengharamkan makan daging atas diri mereka
27 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993), hal. 11-14, juz.7,8,9.
masing-masing. Mereka mengambil pisau ingin memotong alat vitalnya (zakar) agar syahwat
terhadap wanita terputus, sehingga dengan demikian bisa menyibukan diri dengan beribadah
kepada Allah SWT.
Imam suddi berpendapat, bahwa para sahabat yang mengharamkan barang halal itu
adalah terdiri dari sepuluh orang, yang diantaranya Ibn Madh’un dan Ali bin Abi Thalib.
Menurut Ikrimah dalam riwayatnya menegaskan, bahwa mereka itu adalah Ibnu Mad’un, Ali bin
Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Miqdad bin Aswad, dan Salim budak Abi Hudzaifah Yang
dimerdekakan. Sedangkan menurut pendapat Mujahid dalam sebuah riwayatnya menegaskan,
bahwa di antara mereka adalah Ibn Madh’un, dan Abdilah bin Umar bin Khatab.
Ayat ke 87 diturunkan Berkenaan dengan para sahabat Nabi SAW yang telah bersepakat
untuk mengebiri diri (melakukan steril) dan akan menjauhi persenggaman dengan istri, tidak
akan makan daging, dan tidak akan memakan sesuatu kecuali sekedar penguat badan saja, serta
tidak mengenakan pakaian awam. Mereka bertekad mengadakan dakwah keliling keseluruh
dunia sebagaimana yang dilakukun para Rahib (Pendeta Nasrani).
Pada suatu waktu Abdillah bin Rawahah kedatangan sanak keluarga yang bertemu
padanya. Ketika itu dia sedang berada di rumah Rasulullah SAW. Ketika dia tiba dirumah,
didapati tamu-tamu itu belum dijamu makan karena menunggu kedatangan Abdillah bin Rawah.
Rasulullah SAW bersabda: ”sesungguhnya bagi dirimu ada hak, bagi matamu ada hak.
Oleh sebab itu kamu harus makan, tidur, dan shalat malam. Jangan kamu meninggalkan
Sunnahku”. Mereka Mengemukakan alasan ingin melakukan dakwah keseluruh dunia
sebagaimana yang dilakukan oleh Rahib.28
Surah Al-Qashash ayat 77:
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
28 A.Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.339-341
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
Kata Kunci Surah Al-Qashash ayat 77:
Dan carilah =
Bahagianmu dari (kenikmatan) =
Kerusakan = Tafsir Surah Al-Qashash ayat 77:
Beberapa orang dari kaum Nabi Musa As. Itu melanjutkan nasehatnya kepada Qarun
bahwa nasehat itu bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan melarang
memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu dalam batas yang
dibenarkan Allah untuk memperoleh harta dan hiasan dunia dan carilah secara bersungguh-
sungguh pada yakni harta melalui apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari hasil
usahamu itu menuju kebahagiaan negeri akhirat, dengan menginfakkan dan menggunakan sesuai
petunjuk Allah dan dalam saat yang sama janganlah melupakan yakni mengabaikan
kebahagiaanmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak, sebagaimana
Allah berbuat baik kepadamu dengan aneka nikmatnya, dan janganlah engkau berbuat kerusakan
dalam bentuk apapun dibagian manapun bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang membuat kerusakan.
Agaknya ada beberapa catatan penting yang perlu digaris bawahi tentang ayat ini, agar
kita tidak terjerumus dalam kekeliruan dan kebinasaan atau kerusakan. Yaitu:
1) Dalam Pandangan Islam, hidup didunia dan diakhirat merupakan suatu kesatuan,
dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai/memetik.
2) Mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai
sarana mencapai tujuan.
3) Untuk menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang
kebahagiaan akhirat, bahkan menekannya dengan perintah untuk bersungguh-
sungguh dengan sekuat tenaga berupaya meraihnya. Sedangkan perintahnya
menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif yakni, jangan lupakan.29
29 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 405-408, vol.10
Janganlah engkau lupa bahagian engkau diatas dunia, artinya janganlah kamu lupa
mencari penghidupan didunia, karena mengutamakan kampong akhirat seperti shalat, puasa.
Ayat ini menyuruh kita supaya berusaha mencari rezeki untuk keperluan hidup didunia, tetapi
jangan juga lupa kampung akhirat Karena mencari penghidupan didunia. Oleh sebab itu, salah
sekali perbuatan seseorang yang hanya mengerjakan shalat tanpa berusaha mencari rezeki.
Begitu juga sebaliknya.30
Surah An-Nur ayat 33:
30 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1957), hal.581
33. dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki
yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka,31 jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.32 dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu
untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
itu.33
Kata Kunci:
Karunia =
Harta =
dan janganlah kamu paksa =
Pelacuran =
Keuntungan =
Tafsir Surah An-Nur ayat 33:
Perkawinan secara Islam memerlukan seperangkat mas kawin untuk istri. Jika pihak laki-
laki tidak mampu melakukan itu, ia harus menunggu dan tetap menjaga kehormatan dirinya. Tak
31 Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, Yaitu seorang hamba boleh
meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan Perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang
ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima Perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup
melunasi Perjanjian itu dengan harta yang halal.
32 Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.
33 Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh
tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi.
ada alasan buat dia untuk mengatakan bahwa dia harus menyalurkan hasrat alaminya, didalam
atau diluar perkawinan. Hasrat demikian harus dalam perkawinan.
Tatkala perbudakan masih dipandang sah, yang sekarang disebut “white slave traffic”
dilakukan oleh orang-orang jahat semacam Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin kaum
munafik di Madinah. Yang demikian ini mutlak dikutuk. Bangsa kulit putih dewasa ini telah
menghapus perbudakan yang biasa. “white slave traffic” adalah perdagangan anak-anak dan
perempuan bangsa kulit putih untuk dijual antara lain dijadikan sebagai pelacur, masih tetap
merupakan masalah sosialis yang besar pada Negara-negara tertentu dan bangsa-bangsa tertentu.
Dalam ayat ini mutlak dikutuk. Perdagangan yang tercela ini sudah tak terbayangkan.34
Ayat ini antara lain mengandung anjuran kawin dan membantu laki-laki yang belum
beristri dan perempuan-perempuan yang belum bersuami agar mereka cepat-cepat kawin,
termasuk juga budak-budak sahaya yang layak dan cukup usia dan hendaklah dibantu mereka
dalam resepsi perkawinan. Dan janganlah sekali-sekali kemiskinan dijadikan sebagai penghalang
dalam perkawinan.35
Asbabun Nuzul Surah An-Nur ayat 33:
Didalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay menyuruh jariahnya
melacur dan meminta bagian dari hasilnya, adapun riwayat yang lain dikemukakan bahwa
masihkah jariah itu seorang Anshar, mengadu kepada Rasul bahwa ia dipaksa tuannya untuk
melacur. Berkatalah salah seorang diantara keduanya: “Sekiranya perbuatan itu baik, engkau
telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu. Dan sekiranya perbuatan itu tidak baik, sudah
sepantasnyalah aku meninggalkannya.”36
Imam Muslim telah mengetengahkan sebuah hadist melalui jalur Abu Sufyan yang ia
terimam dari Jabir Ibnu Abdullah ra, yang telah menceritakan tersebutlah bahwa Abdullah bin
Ubay pernah mengatakan kepada seorang budak wanitanya “pergilah kamu melacurkan diri
untuk mendapatkan sesuatu buat kami”. Maka Allah menurunkan firmanNya “Dan janganlah
kalian paksakan budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran. . . . .” QS, An-Nur (24)
ayat 33.37
34 Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 894, juz 16-2435 Ibnu Katsir, Terjemahan singkat tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT.Bina Ilmu), hal.469, juz.536 K.H.Q. Shaleh,dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV.Diponegoro, 1985), hal.357-35837 Imam Jalaluddin Al-Mahalli,dkk, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1990), hal. 1499
Surah An-Nisa ayat 6:
6. dan ujilah38 anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa
(di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu).39
Kata Kunci:
= mereka sudah bisa mulai mentasarrufkan harta
= Melebihi batas membelanjakan harta
= Bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu
Tafsir Surah An-Nisa ayat 6:
38 Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.39 Al-Qur’an, Surah, 4: 6
Menguji anak yatim itu dengan cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri.
Apabila ia mempergunakannya dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yang dimaksud
dewasa disini adalah apabila ia telah mengerti dengan baik cara menggunakan harta dan
membelanjakannya. Yang dimaksud mencapai nikah ialah jika umur anak telah mencapai batas
nikah yakni ketika mencapai umur baligh. Dan keinginan itu takkan terealisasikan kecuali
dengan harta. Karena itulah memberikan harta kepada yang memang haknya hukumnya wajib,
kecuali jika anak yatim itu safih, sekalipun ia mencapai umur baligh dan dikhawatirkan akan
menyianyiakan harta miliknya.
Jangan kamu memakan harta anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dalam
membelanjakannya dan jangan pula kamu tergesa-gesa menyusul kedewasaan mereka dalam
mempergunakan harta tersebut. Sebagian wali yang rusak tanggungannya terburu-buru
menggasak harta anak yatim dengan membelanjakannya dengan manfaat tertentu, sedangkan
anak yatim tidak mendapat bagian. Tujuan mereka agar tidak menyianyiakan kesempatan ini,
mumpung anak-anak yatim belum dewasa dan mengambil harta dari tangannya.
Barang siapa diantara kalian yang berkecukupan tidak membutuhkan sesuatupun dari
harta anak yatim yang berada dalam kekuasaannya, hendaknya mencegah diri dari memakan
harta tersebut. Dan barang siapa miskin hingga terpaksa menggunakan harta anak yatim yang
telah menyita sebagian waktunya guna mengembangkan hartanya, hendaknya ia memakan harta
itu dengan cara yang baik.
Jika kamu wahai para wali dan orang-orang yang diberi wasiat menyerahkan harta yang
dititipkan kepada kalian kepada anak yatim, maka adakalanya kesaksian dalam serah terima dan
pembebasan tanggunganmu atas harta tersebut, agar kelak tidak terjadi persengketaan diantara
kalian yang bersangkutan.
Cukuplah Allah sebagai pengawas kalian. Dialah yang akan menghisab hal yang
tersimpan dalam diri kalian dan hal yang kalian tampakkan.40
Daftar Pustaka
(Id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme)
alasyjaaripb.wordpress.com/.../pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-... 10.28 / 7-6-12
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga , (Jakarta: Balai Pustaka, 2001)
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1957),
40 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993), hal.332-341, jus.4,5,6
A.Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Peywwrsada, 2002),
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an dan Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal.
894, juz 16-24
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993),
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993),
vol.8
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993),
juz.7,8,9.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1993),
jus.4,5,6
Ibnu Katsir, Terjemahan singkat tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT.Bina Ilmu),juz.5
Imam Jalaluddin Al-Mahalli,dkk, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1990),
Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2008),
K.H.Q. Shaleh,dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV.Diponegoro, 1985),
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol.3
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),vol.10
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),vol. 1
Syaikh Mahmud Ahmed, Economics of Islam, (New Delhi: Idaroh Adabiyat Delli, 1980)
Syaikh H.Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006),
T.M. Hasby Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang) vol.10