Upload
angga-chaerullah
View
123
Download
21
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas prasyarat memasuki klinik anestesi, membahas mengenai STATICS, ISOAPME, dan kategori farmakologi anestesi dasar
Citation preview
1. STATICS
S = Scope, Laringoscop dan Stetoskop
T = Tubes, Pipa Endotrakeal
A = Air Way, Pipa oroparing/Nosoparing, Ambubag
T = Tape, Plester
I = Indroducer, Stilet , Mandrin
C = Conektor/sambungan-sambungan
S = Suction, Penghisap Lendir
a. Laringoskop
- Blade lengkung (macintos) biasa digunakan laringoscop dewasa
- Blade lurus, laringoskopi dengan blode lurus (misalnya blade magill).
Biasanya digunakan pada bayi dan anak.
b. Pipa Endotrakeal
Terbuat dari karet atau plastik, pipa plastik yang sekali pakai
untuk operasi tertentu, misalnya didaerah kepala dan leher dibutuhkan
pipa yang tidak bisa tertekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran balon (cuff) pada ujung distal . pada anak-
anak pipa endotrakeal tanpa balon. Ukuran laki-laki dewasa berkisar 8,0-
9,0 mm, wanita 7,5-8,5 mm. untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk
20-23 cm.
c. Pipa orofaring/nasoparing
Alat ini dugunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah.
·Plester, untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
·Stilet atau forcep intubasi
Digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal sebagai alat
bantu saat insersi pipa. Forcep intubasi (magill/digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui
orofaring
·Alat penghisap (suction ).digunakan untuk membersihkan jalan napas
I : iv line
S : saction
O : oksigen
A : Air way
P : pharmachology
M : monitoring
E : Equipment
OBAT PREMEDIKASI
a. Sulfas atropin 0,25 mg/cc: Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan
utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun
tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah
melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya
laringospasme yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan belladona) dalam dosis
terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi
kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi
regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan
suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung
khususnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg
dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau
intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk
anak-anak.
b. Midazolam 5 mg/cc: Benzodiazepin
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk
premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan
diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya
cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan
perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan,
dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit
setelah penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan
umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan
pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.
Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut
nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
c. Ondansentron 4 mg
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk
pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping
berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis
dewasa 2-4 mg.
d. Cimetidin 300 mg: Histamin H2 reseptor antagonis
Obat ini melawan kemampuan histamine dalam meningkatkan
sekresi cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan
disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral 300 mg 1-1,5 jam pra
induksi dapat meningkatkan pH cairan lambung diatas 2,5 sebanyak
lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan
dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai.
OBAT INDUKSI
a. Ketamine
Disebut sebagai obat anestesi disosiatif karena mengakibatkan
gangguan fungsi dan elektrofisiologi antara thalamo-neurokortikal dan
system limbic. Dengan demikian setiap rangsangan yang diterima
diinterpretasikan sebagai hal lain. Setelah pemberian IV, ketamin secara
cepat akan didistribusikan ke jaringan yang perfusinya tinggi, kemudian
mengalami redistribusi ke jaringan lemak dan otot. Metabolism secara
cepat terjadi di hepar.
Dosis induksi 0.5-1.5 mg/kgBB IV perlahan (1-2 menit) kemudian
dilanjutkan dosis maintenance setengahnya tiap 5-10 menit tergantung
respon pasien. Setelah induksi intramuscular 5-10 kgBB IM pembedahan
dimulai dalam 5-10 menit.
b. Recofol 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.
Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut
dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan
oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang
efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit
infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang
berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance
anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa
dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus
intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian
harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di
bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih
rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat
MAINTAINANCE
a. N2O
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai
240°C (NH4 NO3 2H2O + N2O)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu
anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi
setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10
menit.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek
analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi
80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi,
emboli udara dan timpanoplasti.
b. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening
tak berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian
halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-
oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi
untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah
dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan
pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi
perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks
baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien
menggigil.
INTUBASI
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya
anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena,
intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya
disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan.
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas
agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian
ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan
intubasi endotrakheal (Anonim, 1986) :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
g. Obat.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele
tahun 2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi
dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer
Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mentalsymphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang
menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa
prosedur yang telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,
oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa
menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram),
sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan
laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,
lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal
dilakukan selama 2 menit.Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri
dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop
dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun
laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis
diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan
kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati
pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta
untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi
atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan
tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan
ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan
stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi
intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke
daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan
intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.
OBAT MUSCLE RELAXANT
A. Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi
dan pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan
memfasilitas intubasi.
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot
rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum
operasi untuk mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat
ke dalam tubuh.
B. Farmakologi Obat Pelumpuh Otot
Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum
inhalasi, blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan
relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol
ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada
prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada
neuromuscular junction.
1. Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular
junction. membran selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah
celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi
mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-
gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel
penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan
asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps
dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus
di membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan
daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan
yang berlipat-lipat.
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda.
Pada neuromuscular junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein,
yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε. Hanya kedua sub unit α
identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat
pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor
akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin hanya
menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan
masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang
diduduki asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk
mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium
akan terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma.
Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk
berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua
pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa
lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah
tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung tegangan.
Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan
kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
2. Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi
dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila di
administrasikan intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat
dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular.
Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan
menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan
efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan
konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada
pasien dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di
plasma menurun dengan efek klinis yang juga melemah. Banyak obat
pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk
eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang
tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant memiliki
plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah
berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens.
Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang.
Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun
menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang
memanjang.
3. Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik.
Dosis terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis,
ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot
wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding
abdomen dan diafragma.
a. Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma
adalah bagian tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga
biasanya paling terakhir lumpuh.
b. Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine,
sedangkan hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium,
takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium.
c. Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan
pengeluaran histamin sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang.
Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan riwayat atopi.
4. Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi
(kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat
menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor
asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini
tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya
tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan
depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini
menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah
tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah
kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai
repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi
selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa lama
depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan
ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan
phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot
nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan
kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan
reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat
pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase,
maka ia akan berdifusi menjauh dari neuromuscular junction dan
dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase.
Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik
oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari
blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada
redistribusinya, metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen
pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan
cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan
fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah
suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil
kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase
menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.
obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of
action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin
memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat
efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan
yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,
seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada
kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat.
Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase
abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.
Interaksi obat dengan Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase
I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu
dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan
semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan
depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase, sedangkan dengan pelumpuh otot
nondepolarisasi, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi
merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi,
karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi
oleh suksinilkolin sebagian dicegah.
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek,
banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan
pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang
dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada
anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih
dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek
samping dari suksinilkolin adalah nyeri otot pasca pemberian,
peningkatan tekanan intraocular, peningkatan tekakan
intracranial, peningkatan tekakanan intragastrik, peningkatan
kadar kalium plasma, aritmia jantung, salivasi, alergi dan
anafilaksis.
2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai
kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki
efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan
harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk
relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis
rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB
intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal
dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah
metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian
berulang. Dosisnya 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi.
Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap
10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-
8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu
ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
Dapat menyebabkan Histamine release pada dosis diatas 0,5
mg/kg.
c. Vekuronium
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang
berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat. Zat anestetik
ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna. Untuk metabolisme dan eksresi tergantung dari eksresi
empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat
memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi
metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi
polineuropati. Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi
kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot
memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot
memperpanjang penggunaan.
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01
mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit. Umur tidak
mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post
partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Sediaan 10 mg
serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d. Rekuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih
cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,
sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan
efek kerja yang lebih lama.
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan
hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di
ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 –
0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan.
Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1
mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara
dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6
menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12
mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium
(0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum
suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
D. Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal adalah nondepolarisasi, onset cepat,
duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat
diantagoniskan dengan obat tertentu, tidak menginduksi pengeluaran
histamine, poten, sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati
dan metabolit tidak memiliki aksi farmakologi.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot:
1. Ultra-short acting, contoh: suxamethonium
2. Short duration, contoh: mivacurium
3. Intermediate duration, contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium,
cisatracurium
4. Long duration, contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium,
pipecuronium.
Pelumpuh otot yang disarankan:
1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila
dikontraindikasikan dapat dipakai rocuronium
2. Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau
penyakit jantung parah)-vecuronium
3. Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium
ataumivacurium
4. Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5. Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
E. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan
adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4
mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang
hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar
pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi,
keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan
pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg
sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).
EMERGENCY DRUGS
Sodium Bikarbonat
Indikasi: Manajemen asidosis metabolic. Berperan sebagai agen alkalis
dengan melepaskan ion bikarbonat.
Rute dan Dosis: Untuk asidosis metabolic, dosis harus ditentukan
berdasarkan penilaian lab. Dewasa/oral: 20-36 meq/hari dalam dosis
yang terbagi, deasa dan anak>12 tahun: 2-5 meq/kg sebagai 4-8 jam
infuse atau bolus. Untuk CPR, IV dewasa 1 meq/kg dapat diulang 0,5
meq/kg q 10 menit. IV untuk neonatal dan anak 1 meq/kg dapat diulang q
10 menit.
Norepinefrin
Indikasi: memproduksi stimulasi vasokonstriksi dan miokardial, yang
dibutuhkan setelah penggantian cairan dalam penanganan shock.
Meningkatkan tekanan darah, meningkatkan pengeluaran jantung.
Dilepaskan dari medulla kelenjar adrenal sebagai hormone kedalam
darah, tapi juga merupakan neurotransmitter dalam system saraf pusat
dan system saraf simpatis dimana dilepaskan dari neuron noradrenergic
saat transmisi sinapsis. Reseptor alfa-adrenergis yang terstimulasi
terletak dalam pembuluh darah menyebabkan konstriksi pembuluh
darah. Dosis umum dewasa untuk hipotensi adalah dosis awal 2-4
mcg/menit dan dosis maintenance 1-12 mcg/menit.
Dopamine
Dopamin adalah salah satu dari agen inotropik untuk pengukuran
standard untuk memperbaiki tekanan darah, pengeluaran jantung dan
pengeluaran urine dalam penanganan shock yang tidak berespon
terhadap penggantian cairan. Dosis umum dewasa untuk oliguri non-
obstruktif: dosis awal: 1-5 mcg/kg/menit dengan infuse IV kontinyu.
Titrasi sampai respons yang diinginkan. Dosis umum dewasa untuk syok:
dosis awal 1-5 mcg/kg/menit dengan infuse IV kontinyu.
Dobutamine
Dobutamin digunakan sebagai manajemen jangka pendek gagal jantung
peneurunan kontraktilitas dar penyakit atau prosedur jantung.
Dobutamine bekerja dengan menstimulasi reseptor adrenergic beta
(miokardial). Dosis umum dewasa adalah 2.5-15 mcg/kg/menit.
1. Epinephrin
Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi,
reaksi atau syok anfilaktik, hipotensi.
Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan
intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena.
Untuk reaksi reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc
dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau
hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1
mg = 1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1
μg/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis
dapat mencapai 2-10 μg/mnt
Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan
meningkatkan aliran darah ke otak dan jantung
2. Lidokain (lignocaine, xylocaine)
Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain
VF, VT, Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal,
konsekutif/salvo dan R on T
Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit
sampai dosis total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis
drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam dapat diberikan intratrakeal atau
transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan
irama idioventrikuler
3. Sulfas Atropin
Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan
memperbaiki sistim konduksi AtrioVentrikuler
Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A)
selain AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian
atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark miokard),
keracunan organopospat (atropinisasi)
Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe
2 atau derajat III.
Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total
0,03-0,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5
menit maksimal 3 mg. dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal
dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena diencerkan menjadi 10 cc
4. Dopamin
Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas
miokard, curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan
2 ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes
mikro/menit untuk orang dewasa
5. Magnesium Sulfat
Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada
ventrikel takikardi, keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi
preeklamsia
Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose
5% diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam
6. Morfin
Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah
cardiac arrest.
Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit
7. Kortikosteroid
Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi
dan untuk mengurangi edema cerebri
8. Natrium bikarbonat (Nabic)
Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi
spontan yang timbul pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis
metabolik karena hipoksia (kelas III) dan overdosis antidepresi
trisiklik.
Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.
Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.
9. Kalsium gluconat/Kalsium klorida
Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi
membran sel otot jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan
untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi akibat darah
donor yang disimpan lama
Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan
menggunakan drip
Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk
Kalsium klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk
diberikan 1 ampul Kalsium gluconat
10. Furosemide
Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak
Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah
hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia
Dosis 20 – 40 mg intra vena
11. Diazepam
Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah
dan tetanus
Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15
menit.
A. Pengertian Syok
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi
sirkulasiyang menyebabkan ketidak cukupan perfusi jaringan dan oksigenasi
jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis.Berdasarkan
penelitiab Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaansyok dan
homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigenke
jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada
systemperedaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah
yang cukup keseluruh bagian tubuh, terutama ke alat tubuh yang penting.
cedera pada jantungatau pembuluh darah, atau berkurangnya jumlah darah
yang mengalir, bisamenyebabkan syok. Syok bisa disebabkan oleh :
1. Perdarahan (syok hipovolemik)
2. Dehidrasi (syok hipovolemik)
3. Serangan jantung (syok kardiogenik)
4. Gagal jantung (syok kardiogenik)
5. Trauma atau cedera berat
6. Infeksi (syok septic)
7. reaksi alergi (syok anafilatik)
8. Cedera tulang belakang (syok neurogenik)
Tanda dan gejala syok:
Gangguan perfusi organ dan oksigenasi jaringan
Kulit dingin
Urine berkurang
Kesadaran menurun
Tekanan darah turun, nadi meningkat
DERAJAT SHOCK (HEMORAGIK)
Derajat I : darah hilang < 15 % EBV
Derajat II : darah hilang 15 – 30 % EBV
Derajat III : darah hilang 30 – 40 % EBV
Derajat IV : darah hilang > 40 % EBV
TRAUMA SCORE