36
1. STATICS S = Scope, Laringoscop dan Stetoskop T = Tubes, Pipa Endotrakeal A = Air Way, Pipa oroparing/Nosoparing, Ambubag T = Tape, Plester I = Indroducer, Stilet , Mandrin C = Conektor/sambungan-sambungan S = Suction, Penghisap Lendir a. Laringoskop - Blade lengkung (macintos) biasa digunakan laringoscop dewasa

Tugas Pembekalan Anestesi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas prasyarat memasuki klinik anestesi, membahas mengenai STATICS, ISOAPME, dan kategori farmakologi anestesi dasar

Citation preview

Page 1: Tugas Pembekalan Anestesi

1. STATICS

S = Scope, Laringoscop dan Stetoskop

T = Tubes, Pipa Endotrakeal

A = Air Way, Pipa oroparing/Nosoparing, Ambubag

T = Tape, Plester

I = Indroducer, Stilet , Mandrin

C = Conektor/sambungan-sambungan

S = Suction, Penghisap Lendir

a. Laringoskop

- Blade lengkung (macintos) biasa digunakan laringoscop dewasa

Page 2: Tugas Pembekalan Anestesi

- Blade lurus, laringoskopi dengan blode lurus (misalnya blade magill).

Biasanya digunakan pada bayi dan anak.

b. Pipa Endotrakeal

Terbuat dari karet atau plastik, pipa plastik yang sekali pakai

untuk operasi tertentu, misalnya didaerah kepala dan leher dibutuhkan

pipa yang tidak bisa tertekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.

Untuk mencegah kebocoran balon (cuff) pada ujung distal . pada anak-

anak pipa endotrakeal tanpa balon. Ukuran laki-laki dewasa berkisar 8,0-

9,0 mm, wanita 7,5-8,5 mm. untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk

20-23 cm.

Page 3: Tugas Pembekalan Anestesi

c. Pipa orofaring/nasoparing

Alat ini dugunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena

jatuhnya lidah.

·Plester, untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi

Page 4: Tugas Pembekalan Anestesi

·Stilet atau forcep intubasi

Digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal sebagai alat

bantu saat insersi pipa. Forcep intubasi (magill/digunakan untuk

memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui

orofaring

·Alat penghisap (suction ).digunakan untuk membersihkan jalan napas

Page 5: Tugas Pembekalan Anestesi

I : iv line

S : saction

O : oksigen

A : Air way

P : pharmachology

M : monitoring

E : Equipment

OBAT PREMEDIKASI

a. Sulfas atropin 0,25 mg/cc: Antikolinergik

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan

utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun

tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah

Page 6: Tugas Pembekalan Anestesi

melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya

laringospasme yang berkaitan dengan anestesi umum.

Setelah penggunaan obat ini (golongan belladona) dalam dosis

terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi

kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi

regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan

suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung

khususnya fibrilasi aurikuler.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg

dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau

intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk

anak-anak.

b. Midazolam 5 mg/cc: Benzodiazepin

Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk

premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan

diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya

cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan

perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan,

dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit

setelah penyuntikan.

Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan

umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan

pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.

Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut

nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.

Page 7: Tugas Pembekalan Anestesi

c. Ondansentron 4 mg

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk

pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping

berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis

dewasa 2-4 mg.

d. Cimetidin 300 mg: Histamin H2 reseptor antagonis

Obat ini melawan kemampuan histamine dalam meningkatkan

sekresi cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan

disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral 300 mg 1-1,5 jam pra

induksi dapat meningkatkan pH cairan lambung diatas 2,5 sebanyak

lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan

dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai.

OBAT INDUKSI

a. Ketamine

Disebut sebagai obat anestesi disosiatif karena mengakibatkan

gangguan fungsi dan elektrofisiologi antara thalamo-neurokortikal dan

system limbic. Dengan demikian setiap rangsangan yang diterima

diinterpretasikan sebagai hal lain. Setelah pemberian IV, ketamin secara

cepat akan didistribusikan ke jaringan yang perfusinya tinggi, kemudian

mengalami redistribusi ke jaringan lemak dan otot. Metabolism secara

cepat terjadi di hepar.

Dosis induksi 0.5-1.5 mg/kgBB IV perlahan (1-2 menit) kemudian

dilanjutkan dosis maintenance setengahnya tiap 5-10 menit tergantung

respon pasien. Setelah induksi intramuscular 5-10 kgBB IM pembedahan

dimulai dalam 5-10 menit.

Page 8: Tugas Pembekalan Anestesi

b. Recofol 80 mg (Profofol)

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan

karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.

Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang

bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut

dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan

oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang

efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit

infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang

berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance

anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa

dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus

intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian

harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di

bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih

rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat

MAINTAINANCE

a. N2O

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen

monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai

240°C (NH4 NO3  2H2O + N2O)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak

iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian

anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat

anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan

Page 9: Tugas Pembekalan Anestesi

untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi

jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu

anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi

setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,

sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk

menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10

menit.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi

N2O : O2yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek

analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi

80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila

digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi,

emboli udara dan timpanoplasti.

b. Halothane (Fluothane)

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening

tak berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian

halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-

oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi

untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah

dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan

pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan

respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan,

menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi

perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks

baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien

menggigil.

INTUBASI

Page 10: Tugas Pembekalan Anestesi

Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat

pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya

anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena,

intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya

disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan.

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS.

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas

agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian

ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan

intubasi endotrakheal (Anonim, 1986) :

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan

tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

g. Obat.

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele

tahun 2002 antara lain :

Page 11: Tugas Pembekalan Anestesi

a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan

oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan

pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.

b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan

karbondioksida di arteri.

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau

sebagai bronchial toilet.

d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang

gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi

dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak

memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus

dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.

b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra

servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer

Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :

a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.

b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak

antara mentalsymphisis dengan lower alveolar margin yang melebar

memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.

Page 12: Tugas Pembekalan Anestesi

c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.

Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang

menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.

e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena

fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.

f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan

fleksi leher.

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa

prosedur yang telah ditetapkan antara lain :

a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,

oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa

menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram),

sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan

laringoskop berada dalam satu garis lurus.

b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,

lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal

dilakukan selama 2 menit.Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri

dan balon dengan tangan kanan.

c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop

dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun

laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat

dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis

Page 13: Tugas Pembekalan Anestesi

diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak

keputihan berbentuk huruf V.

d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan

kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati

pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta

untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat

tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi

atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan

tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun

laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan

ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan

stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada

ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi

intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas

kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara

wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih

berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit

sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke

daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan

mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),

kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan

nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan

intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

f. Ventilasi.

OBAT MUSCLE RELAXANT

A. Pengertian

Page 14: Tugas Pembekalan Anestesi

Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi

dan pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan

memfasilitas intubasi.

Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot

rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum

operasi untuk mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat

ke dalam tubuh.

B. Farmakologi Obat Pelumpuh Otot

Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum

inhalasi, blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan

relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol

ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada

prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada

neuromuscular junction.

1. Fisiologi Transmisi Saraf Otot

Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular

junction. membran selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah

celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi

mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-

gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel

penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan

asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps

dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus

di membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan

daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan

yang berlipat-lipat.

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda.

Pada neuromuscular junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein,

Page 15: Tugas Pembekalan Anestesi

yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε. Hanya kedua sub unit α

identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat

pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor

akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin hanya

menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan

masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang

diduduki asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk

mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium.

Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium

akan terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma.

Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk

berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua

pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa

lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah

tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung tegangan.

Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan

kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.

2. Farmakokinetik Pelumpuh Otot

Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi

dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila di

administrasikan intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat

dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular.

Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan

menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan

efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan

konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada

pasien dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di

plasma menurun dengan efek klinis yang juga melemah. Banyak obat

pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk

Page 16: Tugas Pembekalan Anestesi

eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang

tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi

farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant memiliki

plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan

memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah

berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens.

Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang.

Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun

menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang

memanjang.

3. Farmakodinamik Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik.

Dosis terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis,

ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot

wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding

abdomen dan diafragma.

a. Respirasi

Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma

adalah bagian tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga

biasanya paling terakhir lumpuh.

b. Efek kardiovaskular

Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine,

sedangkan hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium,

takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium.

c. Pengeluaran histamin

Page 17: Tugas Pembekalan Anestesi

D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan

pengeluaran histamin sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang.

Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan riwayat atopi.

4. Obat Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot

depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi

(kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat

menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor

asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini

tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya

tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan

depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini

menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah

tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah

kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai

repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi

selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor

asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa lama

depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan

ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan

phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot

nondepolarisasi.

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor

asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan

kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan

reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat

pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase,

maka ia akan berdifusi menjauh dari neuromuscular junction dan

Page 18: Tugas Pembekalan Anestesi

dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase.

Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik

oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari

blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada

redistribusinya, metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen

pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).

1. Pelumpuh Otot Depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di

celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan

cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan

fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah

suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil

kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase

menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)

dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.

a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.

obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of

action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin

memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh

pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat

efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan

yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan

memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,

seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.

Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada

kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat.

Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase

abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.

Page 19: Tugas Pembekalan Anestesi

Interaksi obat dengan Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase

I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu

dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan

semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan

depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat

pseudokolinesterase, sedangkan dengan pelumpuh otot

nondepolarisasi, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi

merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi,

karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi

oleh suksinilkolin sebagian dicegah.

Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek,

banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan

pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang

dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.

Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada

anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih

dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek

samping dari suksinilkolin adalah nyeri otot pasca pemberian,

peningkatan tekanan intraocular, peningkatan tekakan

intracranial, peningkatan tekakanan intragastrik, peningkatan

kadar kalium plasma, aritmia jantung, salivasi, alergi dan

anafilaksis.

2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi

a. Pavulon

Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai

kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki

efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan

harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk

Page 20: Tugas Pembekalan Anestesi

relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis

rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB

intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.

b. Atracurium

Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal

dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah

metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi

hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian

berulang. Dosisnya 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi.

Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap

10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.

Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-

8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu

ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.

Dapat menyebabkan Histamine release pada dosis diatas 0,5

mg/kg.

c. Vekuronium

Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang

berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat. Zat anestetik

ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan

tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang

bermakna. Untuk metabolisme dan eksresi tergantung dari eksresi

empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat

memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi

metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi

polineuropati. Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi

kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot

memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot

memperpanjang penggunaan.

Page 21: Tugas Pembekalan Anestesi

Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01

mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit. Umur tidak

mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post

partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Sediaan 10 mg

serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.

d. Rekuronium

Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih

cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,

sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan

efek kerja yang lebih lama.

Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak

terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan

hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di

ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.

Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 –

0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan.

Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1

mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara

dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6

menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12

mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.

Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.

Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium

(0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum

suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.

D. Pemilihan Pelumpuh Otot

Page 22: Tugas Pembekalan Anestesi

Karakteristik pelumpuh otot ideal adalah nondepolarisasi, onset cepat,

duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat

diantagoniskan dengan obat tertentu, tidak menginduksi pengeluaran

histamine, poten, sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati

dan metabolit tidak memiliki aksi farmakologi.

Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot:

1. Ultra-short acting, contoh: suxamethonium

2. Short duration, contoh: mivacurium

3. Intermediate duration, contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium,

cisatracurium

4. Long duration, contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium,

pipecuronium.

Pelumpuh otot yang disarankan:

1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila

dikontraindikasikan dapat dipakai rocuronium

2. Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau

penyakit jantung parah)-vecuronium

3. Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium

ataumivacurium

4. Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium

5. Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin

Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :

1. Cegukan (hiccup)

Page 23: Tugas Pembekalan Anestesi

2. Dinding perut kaku

3. Ada tahanan pada inflasi paru.

E. Penawar Pelumpuh Otot

Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga

asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan

adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4

mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang

hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar

pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi,

keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan

pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti

atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg

sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).

EMERGENCY DRUGS

Sodium Bikarbonat

Indikasi: Manajemen asidosis metabolic. Berperan sebagai agen alkalis

dengan melepaskan ion bikarbonat.

Rute dan Dosis: Untuk asidosis metabolic, dosis harus ditentukan

berdasarkan penilaian lab. Dewasa/oral: 20-36 meq/hari dalam dosis

yang terbagi, deasa dan anak>12 tahun: 2-5 meq/kg sebagai 4-8 jam

infuse atau bolus. Untuk CPR, IV dewasa 1 meq/kg dapat diulang 0,5

meq/kg q 10 menit. IV untuk neonatal dan anak 1 meq/kg dapat diulang q

10 menit.

Norepinefrin

Page 24: Tugas Pembekalan Anestesi

Indikasi: memproduksi stimulasi vasokonstriksi dan miokardial, yang

dibutuhkan setelah penggantian cairan dalam penanganan shock.

Meningkatkan tekanan darah, meningkatkan pengeluaran jantung.

Dilepaskan dari medulla kelenjar adrenal sebagai hormone kedalam

darah, tapi juga merupakan neurotransmitter dalam system saraf pusat

dan system saraf simpatis dimana dilepaskan dari neuron noradrenergic

saat transmisi sinapsis. Reseptor alfa-adrenergis yang terstimulasi

terletak dalam pembuluh darah menyebabkan konstriksi pembuluh

darah. Dosis umum dewasa untuk hipotensi adalah dosis awal 2-4

mcg/menit dan dosis maintenance 1-12 mcg/menit.

Dopamine

Dopamin adalah salah satu dari agen inotropik untuk pengukuran

standard untuk memperbaiki tekanan darah, pengeluaran jantung dan

pengeluaran urine dalam penanganan shock yang tidak berespon

terhadap penggantian cairan. Dosis umum dewasa untuk oliguri non-

obstruktif: dosis awal: 1-5 mcg/kg/menit dengan infuse IV kontinyu.

Titrasi sampai respons yang diinginkan. Dosis umum dewasa untuk syok:

dosis awal 1-5 mcg/kg/menit dengan infuse IV kontinyu.

Dobutamine

Dobutamin digunakan sebagai manajemen jangka pendek gagal jantung

peneurunan kontraktilitas dar penyakit atau prosedur jantung.

Dobutamine bekerja dengan menstimulasi reseptor adrenergic beta

(miokardial). Dosis umum dewasa adalah 2.5-15 mcg/kg/menit.

Page 25: Tugas Pembekalan Anestesi

1. Epinephrin

Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi,

reaksi atau syok anfilaktik, hipotensi.

Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan

intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena.

Untuk reaksi reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc

dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau

hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1

mg = 1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1

μg/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis

dapat mencapai 2-10 μg/mnt

Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan

meningkatkan aliran darah ke otak dan jantung

2. Lidokain (lignocaine, xylocaine)

Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain

VF, VT, Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal,

konsekutif/salvo dan R on T

Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit

sampai dosis total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis

drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam dapat diberikan intratrakeal atau

transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena

Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan

irama idioventrikuler

3. Sulfas Atropin

Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan

memperbaiki sistim konduksi AtrioVentrikuler

Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A)

selain AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian

Page 26: Tugas Pembekalan Anestesi

atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark miokard),

keracunan organopospat (atropinisasi)

Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe

2 atau derajat III.

Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total

0,03-0,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5

menit maksimal 3 mg. dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal

dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena diencerkan menjadi 10 cc

4. Dopamin

Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas

miokard, curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat

Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan

2 ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes

mikro/menit untuk orang dewasa

5. Magnesium Sulfat

Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada

ventrikel takikardi, keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi

preeklamsia

Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose

5% diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam

6. Morfin

 Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah

cardiac arrest.

Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit

7. Kortikosteroid

Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi

dan untuk mengurangi edema cerebri

Page 27: Tugas Pembekalan Anestesi

8. Natrium bikarbonat (Nabic)

Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi

spontan yang timbul pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis

metabolik karena hipoksia (kelas III) dan overdosis antidepresi

trisiklik.

Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.

Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.

9. Kalsium gluconat/Kalsium klorida

 Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi

membran sel otot jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan

untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi akibat darah

donor yang disimpan lama

Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan

menggunakan drip

Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk

Kalsium klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk

diberikan 1 ampul Kalsium gluconat

10. Furosemide

Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak

Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah

hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia

Dosis 20 – 40 mg intra vena

11. Diazepam

Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah

dan tetanus

Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan

Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15

menit.

Page 28: Tugas Pembekalan Anestesi

 

A. Pengertian Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi

sirkulasiyang menyebabkan ketidak cukupan perfusi jaringan dan oksigenasi

jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis.Berdasarkan

penelitiab Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaansyok dan

homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigenke

jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada

systemperedaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah

yang cukup keseluruh bagian tubuh, terutama ke alat tubuh yang penting.

cedera pada jantungatau pembuluh darah, atau berkurangnya jumlah darah

yang mengalir, bisamenyebabkan syok. Syok bisa disebabkan oleh :

1. Perdarahan (syok hipovolemik)

2. Dehidrasi (syok hipovolemik)

3. Serangan jantung (syok kardiogenik)

4. Gagal jantung (syok kardiogenik)

5. Trauma atau cedera berat

6. Infeksi (syok septic)

7. reaksi alergi (syok anafilatik)

8. Cedera tulang belakang (syok neurogenik)

Tanda dan gejala syok:

Gangguan perfusi organ dan oksigenasi jaringan

Kulit dingin

Urine berkurang

Kesadaran menurun

Tekanan darah turun, nadi meningkat

DERAJAT SHOCK (HEMORAGIK)

Derajat I : darah hilang < 15 % EBV

Page 29: Tugas Pembekalan Anestesi

Derajat II : darah hilang 15 – 30 % EBV

Derajat III : darah hilang 30 – 40 % EBV

Derajat IV : darah hilang > 40 % EBV

TRAUMA SCORE

Page 30: Tugas Pembekalan Anestesi