26
Husain Heriyanto Page 1 KEBERHASILAN REPUBLIK ISLAM IRAN MENGINTEGRASIKAN SOFT SCIENCES DENGAN HARD SCIENCES Relevansi Untuk Dunia Kontemporer 1 Husain Heriyanto 2 Abstract Under the spirit and values of 1979 Islamic revolution, Iran has been a leading nation in both soft sciences and hard sciences. By the term ‘soft sciences’, it means any kind of human knowledge dealing with the meanings and employing qualitative methods such as religion, philosophy, ‘irfan, arts, and other human sciences. By the term ‘hard sciences’, it covers scientific knowledge dealing with the facts or numbers and employing quantitative methods such as mathematics, astronomy, physics, chemistry, biology, and medicine along with all their branches and applications in technology. Today, Iran is not only the land of philosophy (especially Islamic philosophy) and religious studies, but it is also one important center of excellence for science and technology in the world. Iran is the fastest growing country for science (Royal Society’s report in 2011). Nonetheless, the greater and more important role and contribution of Islamic Republic of Iran for contemporary world is its potential for establishing the integration of soft sciences and hard sciences. This capacity is very crucial and urgent for saving humanity and civilization from secularism and alienation as well as saving the earth from destruction and annihilation. One acute problem of modern thought is the divorce and conflict between soft sciences and hard sciences, between religion and science, between human and nature, and between ethics and technology. It is a result of secularism and materialism embedded in modern scientific enterprises. The emergence of Islamic Republic of Iran as a giant nation in religion, philosophy, science, and technology on the basis of Islamic world view is the best answer against secularism and materialism. Hence, the Islamic Republic of Iran has been and must be a model for Islamic world and any humanity-loving country across the world. The Islamic republic is a reality of what Muslim thinkers long thought about the idea of the development of science that is integrated with Islamic teachings and values. The existence of the Islamic Republic of Iran is a synthesis of spirituality and intellectuality based on Islamic realism. Pengantar Tema paper yang saya presentasikan dalam seminar Pekan Budaya Iran ini adalah salah satu butir jawaban saya terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Gholam-Ali 1 Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Internasional The Role and Contribution of Iranian Scholars for Islamic Civilization dalam rangkaian Pekan Budaya Republik Islam Iran yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, 8 Maret 2012. 2 Penulis adalah kandidat doktor filsafat dari Universitas Indonesia; dosen filsafat di Program Pascasarjana Universitas Indonesia; direktur Avicenna Center for Religion and Science Studies (ACRoSS); dan deputi direktur Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta periode 2003-2009.

The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 1

KEBERHASILAN REPUBLIK ISLAM IRAN MENGINTEGRASIKAN

SOFT SCIENCES DENGAN HARD SCIENCES

Relevansi Untuk Dunia Kontemporer1

Husain Heriyanto2

Abstract

Under the spirit and values of 1979 Islamic revolution, Iran has been a leading nation in both soft

sciences and hard sciences. By the term ‘soft sciences’, it means any kind of human knowledge

dealing with the meanings and employing qualitative methods such as religion, philosophy, ‘irfan,

arts, and other human sciences. By the term ‘hard sciences’, it covers scientific knowledge dealing

with the facts or numbers and employing quantitative methods such as mathematics, astronomy,

physics, chemistry, biology, and medicine along with all their branches and applications in

technology. Today, Iran is not only the land of philosophy (especially Islamic philosophy) and

religious studies, but it is also one important center of excellence for science and technology in the

world. Iran is the fastest growing country for science (Royal Society’s report in 2011).

Nonetheless, the greater and more important role and contribution of Islamic Republic of Iran for

contemporary world is its potential for establishing the integration of soft sciences and hard

sciences. This capacity is very crucial and urgent for saving humanity and civilization from secularism

and alienation as well as saving the earth from destruction and annihilation. One acute problem of

modern thought is the divorce and conflict between soft sciences and hard sciences, between

religion and science, between human and nature, and between ethics and technology. It is a result

of secularism and materialism embedded in modern scientific enterprises. The emergence of Islamic

Republic of Iran as a giant nation in religion, philosophy, science, and technology on the basis of

Islamic world view is the best answer against secularism and materialism.

Hence, the Islamic Republic of Iran has been and must be a model for Islamic world and any

humanity-loving country across the world. The Islamic republic is a reality of what Muslim thinkers

long thought about the idea of the development of science that is integrated with Islamic teachings

and values. The existence of the Islamic Republic of Iran is a synthesis of spirituality and

intellectuality based on Islamic realism.

Pengantar

Tema paper yang saya presentasikan dalam seminar Pekan Budaya Iran ini adalah

salah satu butir jawaban saya terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Gholam-Ali

1 Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Internasional The Role and Contribution of Iranian Scholars for

Islamic Civilization dalam rangkaian Pekan Budaya Republik Islam Iran yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, 8 Maret 2012. 2 Penulis adalah kandidat doktor filsafat dari Universitas Indonesia; dosen filsafat di Program Pascasarjana

Universitas Indonesia; direktur Avicenna Center for Religion and Science Studies (ACRoSS); dan deputi direktur Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta periode 2003-2009.

Page 2: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 2

Haddad Adel dalam sebuah pertemuan di Teheran awal tahun ini. Penasehat senior

pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dan Ketua Parlemen Iran 2004-2008 ini,

bertanya kepada 14 peserta seminar riset dan workshop “Intellectuality and Spirituality:

Islam and Contemporary Issues”3 tentang pandangan mereka terhadap Republik Islam Iran.

Sebagai salah seorang peserta seminar, ketika itu saya menjawab bahwa di samping

keberhasilan membangun republik yang mandiri dalam bidang budaya, politik, dan ekonomi

atas dasar prinsip-prinsip Islam, Iran juga berhasil membangun tradisi sains modern yang

unik dengan kemampuan mengintegrasikan rumpun ilmu pengetahuan kemanusiaan (soft

sciences) dan rumpun ilmu pengetahuan alam (hard sciences). Paper ini akan menguraikan

keberhasilan Iran dalam mengembangkan kedua rumpun ilmu pengetahuan ini atas dasar

pandangan-dunia Islam serta relevansi keberhasilan integrasi keduanya untuk dunia

kontemporer dan dunia Islam khususnya.

1. Pengertian Soft Sciences dan Hard Sciences

Mari kita mulai pembahasan ini dengan penjelasan pengertian ‘soft sciences’ dan

‘hard sciences’. Pembagian ilmu pengetahuan ke dalam dua jenis ini sebetulnya tidak baku

dalam studi akademis filsafat sains atau epistemologi. Dalam studi filsafat sains dikenal

pembagian sains, dilihat dari subyek kajiannya baik yang murni maupun terapan, ke dalam

empat kelompok utama, yaitu ilmu-ilmu formal (seperti matematika, logika, komputer),

ilmu-ilmu alam (natural sciences seperti fisika, kimia, biologi), ilmu-ilmu sosial (social

sciences seperti sosiologi, politik, antropologi sosial, psikologi sosial, ekonomi), ilmu-ilmu

humaniora (human sciences seperti filsafat, sejarah, sastra, antropologi budaya, psikologi

kognitif).

Keragaman sains ini juga dicirikan dengan perbedaan metodologi di antara mereka.

Ilmu-ilmu alam sepenuhnya bergantung pada metode eksperimen yang empiris (indrawi)

dengan tujuan utama mencari penjelasan (eksplanasi) sebab akibat fenomena-fenomena

alam. Sedangkan ilmu-ilmu sosial menggunakan metode observasi yang empiris-reflektif

dengan tujuan pokok memahami (understanding) fenomena-fenomena sosial. Sementara

itu, ilmu-ilmu humaniora lebih mengandalkan metode rasional-reflektif dan intuitif dengan

3 Seminar riset itu diselenggarakan oleh Al-Mustafa International University – Tehran dan berlangsung dari

tanggal 16 Desember 2011 hingga 11 Januari 2012 yang diikuti oleh 14 peserta dari berbagai negara (Indonesia, Pakistan, Iran, Jepang, Rusia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris).

Page 3: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 3

tujuan untuk memahami, menafsirkan dan memaknai fenomena-fenomena dan nilai-nilai

kemanusiaan dengan catatan bahwa filsafat –sebagai ilmu induk- mencari pemahaman yang

holistik dan radikal (mendasar) terhadap realitas secara umum.

Dalam diskursus publik, penggolongan ilmu-ilmu seperti di muka mungkin dianggap

rumit dan tidak mudah dimengerti. Kecuali itu, para sarjana filsafat sains sendiri kerap tidak

sepakat mengenai metode dan cara penggolongan ilmu-ilmu tersebut. Misalnya, sebagian

sarjana melakukan klasifikasi ilmu-ilmu lebih berdasarkan metode yang digunakan, alih-alih

subyek kajiannya, sehingga lahir kategori ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu rasional.4 Ada

juga yang membagi ilmu-ilmu secara sederhana ke dalam dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu

alam dan ilmu-ilmu sosial.5

Nah, salah satu kategorisasi yang populer dan kini banyak digunakan dalam wacana

akademis yang lintas disiplin ilmu, tidak terbatas pada kalangan sarjana filsafat, adalah

penggolongan ilmu-ilmu ke dalam dua kelompok, yaitu soft sciences (ilmu-ilmu lunak) dan

hard sciences (ilmu-ilmu keras); selanjutnya demi konsistensi pengertian, dalam paper ini

tetap digunakan istilah ‘soft sciences’ dan ‘hard sciences’ karena istilah ‘ilmu-ilmu lunak’ dan

‘ilmu-ilmu keras’ belum baku digunakan di percakapan akademis di tanah air. Istilah ‘soft’

(lunak) digunakan untuk menunjukkan penerapan metodologi yang lentur (tidak rigid)

melainkan bervariasi dan plural sedangkan istilah ‘hard’ (keras) menggambarkan rigiditas

atau kekakuan metodologi, yang biasanya dikenal dengan scientific method (metode ilmiah)

Soft sciences adalah rumpun ilmu-ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang

berhubungan langsung dengan eksistensi dan nilai kemanusiaan melalui penggunaan

metode yang plural dan berjenjang (empiris, rasional, intuitif) baik yang bersifat teoritis

murni (pure sciences) atau terapan (applied sciences). Oleh karena subyek dan obyek studi

adalah sama-sama manusia maka soft sciences merupakan ilmu-ilmu yang langsung terkait

dengan upaya pengenalan diri sendiri sebagai manusia, yakni pemahaman tentang kodrat,

4 Baca diantaranya Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science

(Chicago: Chicago Univ. Press, 2003); Roger Trigg, Rationality & Science: Can Science Explain Everything? (Oxford: Oxford Univ. Press, 1999); atau Janet A. Kourany (ed.), Scientific Knowledge: Basic Issues in the Philosophy of Science (California: Wadsworth Pub. Co, 1987 5 Baca Roger Trogg, Understanding Social Sciences (Oxford: Blackwell, 2001); Stephen Cole, Making Science:

Between Nature and Society (Massachusetts:Harvard Univ. Press, 1995); atau Alexander Rosenberg, Philosophy of Social Science, (Colorado:Westview Press, 1995).

Page 4: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 4

tujuan hidup, dan nilai-nilai yang melekat pada manusia. Jenis ilmu ini juga dengan

sendirinya menyelami makna eksistensi manusia sekaligus makna eksistensi (realitas) itu

sendiri secara umum.

Hard sciences adalah rumpun ilmu-ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang

tak berhubungan langsung dengan eksistensi dan nilai kemanusiaan melalui penggunaan

metode yang umumnya empiris-induktif. Oleh karena obyek kajian bukanlah faktisitas

manusia maka terdapat jarak antara subyek dan obyek, yang pada gilirannya ilmu-ilmu ini

bersifat instrumental, mekanis, dan kuantitatif. Penguasaan ilmu-ilmu ini tidak langsung

menyentuh pemahaman tentang makna keberadaan manusia dengan segenap atribut khas

kemanusiaannya melainkan lebih kepada pemahaman tentang dan penguasaan terhadap

alam.

Ilmu-ilmu yang tergolong soft sciences adalah agama (ilmu-ilmu keagamaan), filsafat,

tasawuf (‘irfan; sebagai suatu disiplin spiritual), sastra, seni, etika, psikologi, antropologi,

sejarah, sosiologi, dan kebudayaan pada umumnya. Ilmu-ilmu ini meliputi baik ilmu murni

(seperti teologi dalam agama atau psikologi kognitif dalam psikologi) maupun ilmu terapan

(seperti fiqh dalam agama atau psikologi klinis dalam psikologi). Sedangkan ilmu-ilmu yang

tergolong hard sciences adalah astronomi, fisika, kimia, biologi, matematika, komputer,

kedokteran, dan berbagai teknologi yang merupakan terapan dari disiplin-disiplin ilmu

tersebut seperti teknologi dirgantara, teknologi nuklir, petrokimia, nanoteknologi, rekayasa

genetika, teknologi semi konduktor, teknologi sel punca, farmasi, dan beragam teknologi

dan industri pada umumnya.

Tabel 1 berikut memetakan ciri-ciri soft sciences and hard sciences untuk

mempermudah pemahaman mengenai perbedaan antara kedua rumpun ilmu ini.

Tabel 1. Perbedaan Soft Sciences dan Hard Sciences

Soft Sciences Hard Sciences

Tujuan Memahami dan menafsir makna Deskripsi dan eksplanasi fakta

Ciri-ciri Bermuatan nilai, organis, kualitatif Instrumental, mekanis, kuantitatif

Metode Rasional, intuitif, empiris Rasional berbasis empiris

Contoh Agama, filsafat, ‘irfan, seni, sastra, Matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi

etika, sejarah, antropologi kedokteran, ilmu-ilmu teknik dan rekayasa

Page 5: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 5

2. Iran: Tanah Kelahiran para Filsuf, Sufi, Teolog, dan Sastrawan Islam

Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa Iran adalah tanah kelahiran para

‘ulama, filsuf, sufi, teolog, penyair, seniman, dan pemikir-budayawan Islam pada umumnya.

Sejak fajar peradaban Islam menyingsing pada abad ke-8 M hingga abad ke-21 M sekarang

Iran melahirkan para pemikir dan sarjana yang berpengaruh dan berkontribusi signifikan

dalam pengembangan soft sciences yang berbasiskan pada pandangan-dunia Islam.

Mengingat ruang yang terbatas, paper ini akan mendeskripsikan secara ringkas sumbangan

para sarjana Iran terhadap peradaban Islam baik pada era keemasan Islam klasik maupun

zaman sekarang. Yang dimaksudkan dengan sarjana Iran adalah mereka yang lahir di negeri

Iran sekarang atau termasuk wilayah kebudayaan Persia seperti kawasan Transoksania

(sekarang Uzbekistan) dan Balkh (sekarang Afghanistan).

Sumbangan Iran terhadap pemikiran Islam bersifat lintas mazhab karena banyak

ulama dan pemikir mereka yang menjadi tokoh berpengaruh dalam mazhab Syi‘ah dan

Sunni. Sejumlah teolog kelahiran Iran seperti al-Raghib al-Isfahani, al-Ghazali, al-Syahrastani,

dan Fakhr al-Din al-Razi adalah tokoh-tokoh pemikir Sunni. Raghib al-Isfahani (w. 1058 M),

yang lahir di kota budaya Isfahan, adalah pemikir sistem etika yang, menurut penelitian

Yasien Mohamed (2006)6, berpengaruh besar terhadap teori etika al-Ghazali. Sedangkan al-

Ghazali (w. 1111 M) sendiri, kelahiran Thus-Khurasan, boleh dikatakan teolog-sufi-pemikir

agama yang paling berpengaruh di dunia Sunni terutama di kalangan penganut mazhab fiqh

Syafi‘i dan kalam Asy‘ariyah hingga sekarang termasuk di Indonesia. Sementara al-

Syahrastani (w. 1153 M) dan Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210 M) merupakan teolog-teolog

Sunni, sebagaimana halnya al-Ghazali, yang dikenal pertentangannya yang sengit terhadap

beberapa gagasan filosofis Ibn Sina seperti ajaran tentang keazalian alam semesta.

Sumbangan pemikir Iran kepada mazhab Sunni juga meliputi ilmu-ilmu Islam lainnya.

Dua sarjana hadis terkemuka yang dianggap paling otoritatif (al-shahihain) dalam dunia

Sunni, yaitu al-Bukhari (w. 870 M) dan Muslim (w. 875 M), adalah kelahiran Iran tepatnya

masing-masing di kota Bukhara dan Nisyapur. Empat sarjana peneliti dan pengoleksi hadis

lain yang terkemuka, yakni Ibn Majah (w. 886 M), Abu Daud (w. 888 M), al-Tirmidzi (w. 892

M), dan al-Nasa’i (w. 915 M), adalah juga kelahiran Iran atau setidaknya hidup di daerah

6 Baca Yasien Mohamed, The Path to Virtue: The Ethical Philosophy of al-Raghib al-Isfahani (Kuala Lumpur:

ISTAC, 2006).

Page 6: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 6

kebudayaan Persia. Koleksi buku hadis dari keenam tokoh inilah yang menjadi rujukan

utama dan standar dalam mazhab Sunni, dikenal dengan al-Kutub al-Sittah (Kitab Yang

Enam)7. Jadi, kaum Sunni menggunakan “Kitab Yang Enam” karya sarjana-sarjana Iran ini

sebagai acuan induk kedua dalam sistem kajian tekstual agama Islam setelah al-Qur’an.

Sementara itu, Iran terus memasok para pemikirnya untuk pengembangan ilmu-ilmu

Islam di dunia Syi‘ah sejak awal Islam hingga hari ini. Meskipun Iran tidah identik dengan

Syi‘ah dan sebaliknya Syi‘ah, tentu saja, juga tidak terbatas pada Iran, namun keduanya

terpaut erat dan saling memberi. Dengan infrastruktur tradisi intelektual kebudayaan Persia

yang sudah mapan sejak periode pra-Islam, Iran menjadi lahan subur bagi pengembangan

ilmu-ilmu Islam; dan sebaliknya, Islam khususnya mazhab Syi‘ah memberi pencerahan

spiritual dan intelektual kepada Iran dan membentuk wajah negara Persia ini sebagaimana

yang kita kenal hari ini.

Tak lama setelah rakyat Persia memeluk Islam pada abad pertama hijriah (abad ke-7

M), didirikanlah kota Qum sebagai salah satu pusat keilmuan di penghujung abad itu.8 Para

pelajar Iran banyak yang mereguk hikmah dan ilmu-ilmu Islam di bawah bimbingan keluarga

Nabi SAW khususnya Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Ja‘far Shadiq di Madinah, lalu

Imam Musa al-Kazhim di Baghdad dan Imam ‘Ali al-Ridha di Khurasan. Menarik dicatat

bahwa ketika Imam ‘Ali al-Ridha berkunjung ke kota-kota Ahwaz, Syiraz, Nisyapur, dan Merv

di wilayah Khurasan, Iran bagian timur, beliau disambut hangat oleh rakyat dan ‘ulama

setempat yang hendak memetik ilmu dan keagungan ajaran Islam langsung dari sumbernya

yang agung, sang cucu Nabi SAW. Imam ‘Ali al-Ridha wafat pada 817 M dan dimakamkan di

Thus (sekarang Masyhad), yang lalu menjadi kota suci dan pusat keilmuan Islam. Kisah ini

merupakan sebuah episode yang menunjukkan bagaimana Syi‘ah sejak awal diterima

dengan antusias di Iran dan lalu para ‘ulama dan sarjana mereka mengembangkan ajaran

Islam ini sedemikian sehingga pada abad ke-16 M, Syi‘ah menjadi mazhab resmi negara Iran.

Atas dasar itu, tokoh-tokoh ‘ulama dan sarjana Syi‘ah banyak muncul dari Iran selain

tentunya juga dari Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Dalam bidang teologi, seorang sahabat

7 Kitab Yang Enam itu adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, Sunan

Abu Daud, dan Shahih al-Nasa’i 8 Baca ‘Allamah Tabataba’i, Shi‘a, edisi bahasa Inggirs terjemahan Seyyed Hossein Nasr (Qum: Ansariyan

Publications, 2001), hal, 60.

Page 7: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 7

Imam ‘Ali al-Ridha, yaitu Fadhl ibn Syadzan al-Nisyaburi, merupakan teolog (mutakallim)

Syi‘ah awal; dia lahir dan wafat di Nisyapur. Beliau juga seorang faqih dan ahli hadis.

Menurut Murtadha Muthahhari (2002), dalam tradisi Syi‘ah seorang teolog biasanya juga

ahli hadis dan sebaliknya, bahkan tak jarang adalah juga filsuf; fenomena ini sulit ditemukan

di dunia Sunni yang biasanya terjadi perselisihan tajam antara ‘Ahli Hadis’ dan ‘Ahli Kalam’

sebagaimana juga antara ‘Ahli Kalam’ dan ‘Filsuf’.9

Keluarga Naubakhti melahirkan sejumlah teolog Syi‘ah seperti Fadhl ibn Abi Sahl ibn

al-Naubakht (yang juga penerjemah bahasa Persia – Arab di perpustakaan Bayt al-Hikmah

pada abad ke-8 M), Ishaq ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht, Isma‘il ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn al-

Naubakht, ‘Ali ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht, dan Abu Sahl Isma‘il ibn ‘Ali ibn Ishaq

ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht. Sedangkan Ibn Qubbah al-Razi dan Abu ‘Ali ibn Miskawayh

(penulis kitab terkenal Tahdzib al-Akhlaq) adalah juga dua tokoh teolog Syi‘ah pada abad ke-

9 dan 11 M.10 Adapun teolog Syi‘ah termasyhur dan sangat berpengaruh adalah Nashir al-

Din al-Thusi (w. 1274 M). Teolog kelahiran Thus, Khurasan ini adalah juga filsuf, astronom

dan matematikawan yang ulung. Al-Thusi membangun sistematika teologi filosofis untuk

pertama kalinya dalam sejarah peradaban Islam melalui karyanya Tajrid al-I‘tiqad

(Pensucian Keyakinan). Menurut Seyyed Hossein Nasr (1968)11, karya teologi-filosofis

tersebut menjadi salah satu rujuan utama para ulama Syi‘ah hingga sekarang. Muthahhari

menulis, “setelah penerbitan Tajrid, seluruh teolog (mutakallimin) – termasuk Mu‘tazilah

dan Asy‘ari- mengikuti jalan yang sama, yakni mulai menggunakan metode filosofis untuk

memecahkan persoalan-persoalan teologis”.12

Sumbangan Iran untuk ilmu hadis di dunia Syi‘ah persis sebagaimana yang terjadi di

dunia Sunni. Jika ‘Kitab Yang Enam’ (al-Kutub al-Sittah) merupakan rujukan standar hadis

dalam mazhab Sunni, maka ‘Kitab Yang Empat’ adalah rujukan standar hadis dalam Syi‘ah.

Empat kitab rujukan tersebut adalah al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, al-Tahdzib al-

Ahkam, dan al-Istibshar, yang berturut-turut ditulis oleh Tsiqat al-Islam Muhammad ibn

Ya’qub al-Kulayni al-Razi (w. 940 M), Syaikh Shaduq Muhammad ibn Babawayh al-Qummi

9 Baca Murtadha Muthahhari, Understanding Islamic Sciences (London: ICAS Press, 2002), hal. 75.

10 Ibid., hal. 78.

11 Baca Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge-Massachusetts: Harvard University

Press) 12

Muthahhari, Op.cit., hal. 72.

Page 8: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 8

(w. 991 M), Syaikh Abu Ja‘far al-Thusi (w. 1068 M), dan juga Syaikh al-Thusi.13 Syaikh al-

Thusi, yang juga ahli fiqh melalui salah satu karyanya yang masih dipelajari hingga kini Al-

Nihaya, adalah pembangun pusat studi Islam di Najaf, Irak setelah beliau meninggalkan kota

kelahirannya Thus, Khurasan.14

Untuk disiplin ilmu-ilmu yang tergolong soft sciences lainnya seperti filsafat, tasawuf

(‘irfan), dan sastra, sumbangan para sarjana Iran sangatlah menonjol dan signifikan, baik

pada masa peradaban Islam klasik maupun era kontemporer. Kalau kita membaca buku-

buku filsafat Islam entah aliran peripatetik (masysya‘iyyin), iluminasionis (isyraqiyyin), dan

filsafat transendental (hikmah muta‘aliyyah) maka filsuf-filsuf Iran bukan saja tokoh-tokoh

terkemuka, tetapi juga pendiri aliran-aliran filsafat Islam ini.15 Abu ‘Ali al-Husain Ibn Sina (w.

1037 M), kelahiran Bukhara dan wafat di Hamadan, adalah filsuf terkemuka yang

membangun aliran peripatetik bersama-sama dengan Abu Nashr al-Farabi (w. 950 M). Al-

Farabi sendiri lahir di wilayah Transoksania dan berdarah campuran Persia dan Turki, namun

dia dibesarkan di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad dan Isma’il ibn Ahmad, sebuah

dinasti Samaniyyah rumpun Persia.16

Sementara itu, pendiri aliran iluminasionis adalah Syihab al-Din Suhrawardi (w.

1191). Filsuf yang dijuluki Syaikh al-Isyraq ini lahir di Suhraward, Iran barat laut.17 Sedangkan

pendiri hikmah muta‘aliyyah (kerap diterjemahkan oleh Penerbit Mizan sebagai ‘filsafat

hikmah’) adalah Muhammad ibn Ibrahim Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1640), yang lebih dikenal

dengan nama Mulla Shadra. Tokoh filsafat hikmah ini, yang lahir di Syiraz, dianggap oleh

para sarjana filsafat Islam telah berhasil mensintesiskan aliran peripatetik, iluminasionis,

13

Baca ‘Allamah Tabataba’i, A Shi‘ite Anthology (terjemahan William C. Chittick), dalam ‘Allamah Tabataba’i, A Series of Islam and Shi‘a (Qum: Ansariyan Publications, 2005), hal. 410. 14

Muthahhari, Op.cit., hal. 149. 15

Sejumlah sarjana bahkan berargumen bahwa filsafat tidaklah berasal dari Yunani melainkan dari Timur, khususnya Iran. Dari sinilah filsafat lalu menyebar ke Asia Kecil dan Mediterania, Yunani, Ionia, Suriah, dan Libanon. Baca Sayyid Muhammad Khamenei, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Tehran: SIPRiN, 2004). 16

Baca Osman Bakar, Al-Farabi: Life, Works and Significance (Kuala Lumpur: Akademi Sains Islam Malaysia, 1987). 17

Hossein Ziai, Shihab al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist School, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy, Part I (London and New York: Routledge, 1996), hal. 434.

Page 9: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 9

‘irfan, dan kalam yang bersumberkan teks-teks al-Qur’an dan Hadis ke dalam satu mazhab

filsafat yang lebih mendasar dan holistik.18

Persis seperti dalam filsafat, para sarjana atau pencari kearifan Iran juga

mendominasi tradisi tasawuf atau yang lebih dikenal di Iran sebagai ‘irfan. Sejak awal

peradaban Islam hingga hari ini, para ‘urafa (sufi) asal Iran selalu hadir dalam pembahasan

dan studi tasawuf. Tokoh sufi yang paling kita kenal di Indonesia dan sangat berpengaruh di

dunia Sunni, yaitu Imam al-Ghazali, sebagaimana telah disebutkan di muka, adalah pemikir

Iran kelahiran Thus-Khurasan. Sejumlah sufi besar Iran/Persia masa lalu yang karya-karyanya

masih dipelajari hingga kini baik di dunia Islam ataupun dunia non-Islam, secara kronologis,

dapat kita sebutkan, yakni: Ibrahim ibn Adham (w. 778), Fudayl ibn ‘Iyad (w. 803), Bayazid

al-Bastami (w. 875), Bisyr al-Hafi (w. 842), Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 922), Abu ‘Ali al-

Rudbari (w. 934), Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w. 988), Abu Fadhl ibn al-Hasan al-Sarakhsi

(w. 997), Shaykh Abu al-Hasan al-Kharaqani (w. 1034), Abu Sa‘id ibn Abi al-Khayr (w. 1048),

Abu al-Qasim Qusyairi al-Khurasani (w. 1074), Abu ‘Ali al-Daqqaq al-Nisyaburi (w. 1015), ‘Ali

‘Utsman al-Hujwiri (w. 1071), Khwajah ‘Abdullah al-Anshari (w. 1089), Abu Hamid al-Ghazali

(w. 1111), ‘Ayn al-Qudhat al-Hamadani (w. 1132), Hakim Sana’i (w. 1131), Ahmad Jami (w.

1141), Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 1134), Syaikh Najm al-Din Kubra (w. 1221), Syaikh

Farid al-Din al-‘Aththar (w. 1221), Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar al-Suhrawardi (w. 1234),

Mawlana Jalal al-Din Rumi (w. 1273), Fakhr al-Din al-‘Iraqi al-Hamadani (w. 1289), Sa‘di

Syirazi (w. 1292), ‘Ala al-Dawla Simnani (w. 1336), ‘Abd al-Razzaq Kasyani (w. 1339), Hafiz

Syirazi (w. 1389), Syaikh Mahmud Syabistari (w. 1337), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385), ‘Abd

al-Karim al-Jili (w. 1410), Syah Ni‘matullah Wali (w. 1431), Sa‘in al-Din ‘Ali Tarakeh Isfahani,

Muhammad Lahiji Nurbakhsyi (w. 1507), dan Abd al-Rahman Jami (w. 1492).19

Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa sebagian besar tokoh sufi yang digolongkan

sebagai ‘Sufi Baghdad’ pun sebetulnya berasal dari Persia, misalnya Abu al-Qasim al-Junayd

18

Seyyed Hossein Nasr, Mulla Sadra: His Teachings, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy, Part I (London and New York: Routledge, 1996), hal. 644-645. 19

Tokoh-tokoh sufi Iran ini dirangkum dari bacaan terhadap dua volume buku The Heritage of Sufism (Volume I): Classical Persian Sufims from its Origins to Rumi (700 – 1300) dan The Heritage of Sufism (Volume II): The Legacy of Medieval Persian Sufism (1150 – 1500), yang keduanya diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999).

Page 10: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 10

al-Baghdadi (w. 910), Abu al-Husayn al-Nuri (w. 908), dan Abu Bakr al-Syibli (w. 945).20

Sementara itu, Michel Chodkiewicz menerangkan bahwa sekalipun sufi besar Syaikh al-

Akbar Ibn al-‘Arabi tidak tergolong sufi Persia, namun adalah para sufi Persia yang

menyebarluaskan doktrin sufi Ibn ‘Arabi ke berbagai belahan dunia. Menurutnya, tidak ada

wilayah yang lebih aktif menekuni dan mengembangkan studi tentang Ibn ‘Arabi daripada

Persia. Dia mencontohkan bagaimana seorang pemimpin Revolusi Islam Iran, Imam

Khomeini, yang juga seorang guru fiqh, filsafat dan ‘irfan, menulis tiga karya mengenai Ibn

‘Arabi, yaitu Syarh Du‘a al-Sahar (Beirut, 1982), Mishbah al-Hidayah (Beirut, 1983), dan

Ta‘liqat ‘ala Syarh Fushush al-Hikam (Qum, 1986).21

Dalam bidang sastra, Iran pun memperkaya khasanah peradaban Islam melalui

karya-karya sastra yang bercita rasa estetis yang tinggi dan memiliki nilai edukasi moral

keagamaan yang dalam. Hal itu disebabkan fakta bahwa banyak penyair Iran adalah para

sufi yang hendak mengekspresikan pengalaman religiusitasnya melalui syair yang indah

sekaligus padat makna. Kita sebutkan saja di sini sejumlah penyair Iran yang karya-karyanya

(umumnya ditulis dalam bahasa Persia) telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia

termasuk bahasa Indonesia. Mungkin karya Rumi, Matsnawi-yi ma‘nawi bersama lima buku

lainnya dan sekitar seratus ghazal (kumpulan bait-bait puisi yang biasanya terdiri dari

delapan baris dan berirama sama di akhir setiap baris dalam satu bait), adalah karya sastra

sufi yang paling populer di dunia dan juga Indonesia melalui penerbitan buku dan ghazal

yang utuh, penggalan-penggalan puisi Rumi atau berupa komentar terhadap syair-syair

Rumi.

Sebelum Rumi, ada Hakim Sana’i dengan karyanya Hadiqa al-Haqiqa (Taman

Kebenaran) dan Farid al-Din ‘Aththar dengan Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung).

Selanjutnya, Sa‘id Nafisi mengatakan bahwa sebelum Sana’i, ‘Aththar, dan Rumi, telah

muncul Abu Sa‘id ibn Abi al-Khayr sebagai penyair sufi pertama yang mempengaruhi

20

Seyyed Hossein Nasr, The Rise and Development of Persian Sufism, dalam The Heritage of Sufism (Volume I): Classical Persian Sufims from its Origins to Rumi (700 – 1300), yang diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 3. 21

Michel Chodkiewicz, The Futuhat Makkiya and Its Commentators: Some Unresolved Enigmas, dalam The Heritage of Sufism (Volume II): The Legacy of Medieval Persian Sufism (1150 – 1500), yang diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 219 – 232.

Page 11: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 11

pekembangan literatur dan sastra Persia.22 Di luar empat penyair-sufi ini, kita juga mengenal

Sa‘di Syirazi dengan dua karya epik moralnya Bustan (Taman) dan Gulistan (Taman Mawar);

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutip sebuah penggalan puisi Gulistan dan

mengukirnya di pintu masuk Aula PBB. Kita juga mengenal Omar Khayyam, astronom-

matematikawan yang juga penyair dengan syair-syair empat baris yang disebut ruba‘iyyat

dan quatrain. Ada pula Mahmud Syabistari dengan Gulsyan-e Raz (Taman Rahasia); juga

Jami dengan puisi-puisi sufistik yang mendalam. Sementara itu, Seyyed Hossein Nasr

berpandangan bahwa Hafiz adalah penyair-sufi yang terbesar dari seluruh penyair

berbahasa Persia.23

Soft Sciences dalam Zaman Kontemporer

Saya hendak mengakhiri ulasan mengenai prestasi dan kontribusi sarjana Iran era

klasik dalam soft sciences terhadap peradaban Islam dan dunia pada umumnya dengan

membuat sejumlah deskripsi singkat tentang peran dan sumbangan mereka dalam zaman

modern. Dalam konteks ilmu-ilmu keagamaan Islam, Iran terus melahirkan sejumlah ‘ulama

dan sarjana agama yang kreatif dan produktif mengembangkan ilmu-ilmu Islam melalui

pendidikan, penelitian, penerbitan buku-buku bermutu dan pengembangan pusat-pusat

studi Islam secara tradisional melalui madrasah-madrasah (hawzah ilmiah) yang tersebar di

seluruh negeri dan juga secara modern melalui lembaga-lembaga pendidikan dan riset di

berbagai perguruan tinggi. Imam Khomeini (w. 1989), ‘Allamah Tabataba’i (w. 1981),

Murtadha Muthahhari (w. 1979), Ayatollah Jawadi Amuli, Ayatollah Muhammad Taqi

Misbah Yazdi, dan Ayatollah Ja‘far Subhani adalah beberapa contoh ‘ulama kontemporer

Iran yang kehidupan dan buah penanya berpengaruh luas di seluruh dunia; karya-karya

mereka menjadi referensi studi-studi Islam di berbagai perguruan tinggi di dunia Islam dan

Barat.24

22

Dikutip oleh Terry Graham, Abu Sa’id ibn Abi al-Khayr and the School of Khurasan, dalam dalam The Heritage of Sufism (Volume I): Classical Persian Sufims from its Origins to Rumi (700 – 1300), yang diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 103. 23

Seyyed Hossein Nasr (1999), Op.cit., hal. 1. 24

Muhammad Fanaei Esykevari dalam bukunya Faylsufan Ma‘ashir Islami (Filsuf-filsuf Islam Kontemporer) menyebutkan 16 tokoh ‘ulama sekaligus filsuf-teolog-‘urafa Iran kontemporer, yaitu (berdasarkan urutan yang dibuat penulis), Imam Khomeini, ‘Allamah Tabataba’i, Ayatollah Syahid Murtadha Muthahhari, Dr. Mehdi Ha’iri Yazdi, Ayatollah Sayyid Jalaluddin Asytiyani, Ayatollah Syahid Muhammad Baqir Shadr, ‘Allamah Muhammad

Page 12: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 12

Dalam studi filsafat dan tasawuf, posisi Iran sebagai ladang kelahiran para filsuf dan

‘urafa semakin mencolok pasca Ibn Rusyd. Ketika filsafat redup dan lenyap di sebagian besar

dunia Islam setelah kemenangan kaum teolog ortodoks yang memusuhi filsafat, Iran justru

terus bersinar melahirkan sejumlah pemikir dan pencinta ilmu dan hikmah yang kian

mengukuhkan otentisitas dan jati diri sebagai pemikir Islam. “Filsafat Islam pasca Ibn Rusyd

justru semakin berkarakter Islam dengan kelahiran Nashir al-Din al-Thusi, Suhrawardi, Quthb

al-Din Syirazi, Mir Damad, dan Mulla Shadra”, kata Seyyed Hossein Nasr.25

Al-Thusi berhasil menghidupkan kembali filsafat peripatetik Ibn Sina yang

mengandalkan kekuatan analisis logis dan diskursif, sebuah kecakapan yang sangat berguna

bagi pengembangan tradisi dan budaya ilmiah. Syaikh al-Isyraq Suhrawardi menyuguhkan

integrasi dua kebijaksanaan, yaitu hikmah bahtsiyyah (filsafat diskursif melalui pemikiran

dan analisis logis) dan hikmah dzauqiyyah (filsafat intuitif melalui pensucian jiwa). Filsafat

iluminasi ini dianggap lebih religius dan dekat dengan spiritualitas karena pensucian jiwa

(tazkiyah al-nafs) menjadi metodologi yang terintegrasi dalam memecahkan problem-

problem filosofis. Sedangkan filsafat Mulla Shadra (al-hikmah al-muta‘aliyyah), yang

mensintesiskan metode burhan filsafat dan kasyf ‘irfan seraya menyimak makna al-Qur’an

dan Hadis, merupakan lompatan besar dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, yang

membuat filsafat Islam semakin berbeda dan jauh meninggalkan filsafat Yunani. Seyyed

Hossein Nasr menjuluki Mulla Shadra sebagai metafisikawan Muslim terbesar26 sedangkan

Henry Corbin menyebut kehadiran pemikiran Mulla Shadra sebagai sebuah revolusi dalam

sejarah metafisika.27

Mungkin perlu disebutkan di sini bahwa ketika mayoritas dunia Islam hari ini

mengalami krisis identitas menghadapi dominasi pemikiran dan budaya Barat modern

sedemikian sehingga banyak kaum intelektual Muslim yang rendah diri di hadapan filsafat

Taqi Ja‘fari, Ayatollah Sayyid Ridha Shadr, Ayatollah Hasan Zadeh Amuli, Ayatollah Jawadi Amuli, Ayatollah Muhammad Taqi Misbah, Ayatollah Ja‘far Subhani, Ayatollah Syeikh Yahya Anshari Syirazi, Ayatollah Agha Sayyid Ridah Syirazi, Ayatollah Sayyid Husayn Mushthafawi, dan Ayatollah Muhammad Gilani (Qum: The High Association of Islamic Philosophy, 2010). 25

Baca Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (New York: SUNY Press, 2006). 26

S.H. Nasr menyebutkan hal ini dalam sejumlah karyanya, diantaranya Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), hal. 19), Mulla Sadra and His Teachings dalam History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996, hal. 646), dan Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (New York: SUNY Press, 2006, hal. 223). 27

Sebagaimana dikutip oleh S.H. Nasr (1978), hal. 90.

Page 13: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 13

dan pemikiran Barat, para ‘ulama dan intelektual Iran justru aktif menawarkan filsafat dan

pemikiran Islam kepada kaum sarjana dunia Islam dan Barat. Kita masih ingat bagaimana

Imam Khomeini pada tahun 1988 berkirim surat kepada Mikhail Gorbachev, Presiden Uni

Soviet ketika itu, yang isinya mengundang kaum intelektual Uni Soviet dan siapa saja yang

berminat untuk mempelajari Islam melalui telaah karya-karya Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla

Shadra, dan Ibn ‘Arabi.

Kini telah banyak sarjana Barat yang tidak saja belajar filsafat Islam di Qum,

Masyhad, dan Teheran, tetapi mereka juga memperkenalkan pemikiran Ibn Sina,

Suhrawardi, Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra kepada dunia Barat sendiri. Sebagai contoh, Henry

Corbin, filsuf Perancis yang pertama kali menerjemahkan Being and Time karya Heidegger

ke dalam bahasa Perancis, memperkenalkan Mulla Shadra ke Eropa dengan menerjemahkan

karya metafisika Shadra Kitab Al-Masya‘ir menjadi Le Livre des Penetrations Metaphysiques

(Paris, 1964)28 setelah dia bersama Seyyed Hossein Nasr belajar kepada ‘Allamah Tabataba`i.

Berbagai penelitian, seminar, konperensi, dan penerbitan buku dan jurnal mengenai filsafat

Islam juga telah mengisi ruang-ruang intelektual Barat. Salah satu jurnal yang mengkaji

filsafat Mulla Shadra adalah Transcendent Philosophy yang diterbitkan oleh Institute of

Islamic Studies (IIS), London sejak tahun 2000.

3. Prestasi dan Kontribusi Iran dalam Hard Sciences

Negara manakah yang tingkat perkembangan sains dan teknologinya paling tinggi

dalam lima belas tahun terakhir ini? Mungkin banyak orang yang kaget jika mereka

mendapatkan jawaban bahwa Iran adalah negara yang paling pesat dalam memajukan dan

mengembangkan pelbagai jenis sains dan teknologi yang tergolong kelompok hard sciences.

Bagaimana mungkin negeri mullah, yang kerap dipersepsikan secara salah oleh media massa

Barat, yang dikuasai oleh Zionis, sebagai negara reaksioner bisa tampil mengejutkan dunia

ilmiah dengan produktivitas karya ilmiah yang tumbuh 18 kali lipat terhitung dari tahun

28

Dinukil dari Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), hal. 17.

Page 14: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 14

1996 hingga 2008?29 Mengapa sebuah negeri, yang diisolasi secara politik serta diboikot dan

dikenakan sanksi ekonomi selama 30 tahun oleh kekuatan adidaya Amerika Serikat dan

aliansinya negara-nagara Eropa, bisa melahirkan output ilmiah meningkat 11 kali lebih cepat

dari rata-rata dunia dan tercepat dari negara manapun (Deborah MacKenzie, New Scientist

Magazine, 2010)?

Sejumlah pusat studi perkembangan ilmiah internasional yang terdaftar dalam

database Web of Science melaporkan ‘revolusi ilmiah’ Iran tersebut. Sebuah perusahaan

analisis data di Montreal-Kanada, Science-Metrix, dalam laporan tahun 2010 menempatkan

Iran sebagai negara teratas dalam tingkat pertumbuhan saintifik dengan produktivitas

publikasi ilmiah 11 kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan dunia pada tahun 2009. Total

output ilmiah Iran pertahun sudah melewati prestasi ilmiah negara-negara Swedia, Swiss,

Israel, Belgia, Denmark, Finlandia, Austria, dan Norwegia. Diperkirakan pada tahun 2017

total output ilmiah Iran akan melampaui Kanada dan sejumlah negara maju lainnya. Penulis

laporan tersebut, Eric Archambault, berkata, “Iran sedang menunjukkan pertumbuhan

tercepat di dunia dalam sains”.30

Archambault menjelaskan bahwa publikasi Iran sangat melimpah pada bidang-

bidang sains dan teknologi nuklir, fisika partikel, dan kimia anorganik dengan kecepatan 250

kali dari pertumbuhan rata-rata dunia. Capaian ilmiah Iran juga berkembang pesat dalam

kedokteran, pertanian, dirgantara (aerospace), komputer, nanoteknologi, rekayasa genetika,

sel punca (stem cell), dan teknologi kloning. Dipaparkan dalam laporan itu bahwa salah satu

prestasi ilmiah mutakhir Iran, yang memperoleh perhatian dunia, adalah peluncuran satelit

Kavoshgar-3 (Explorer-3) ke ruang angkasa yang membawa hewan untuk percobaan, yaitu

seekor tikus, dua kura-kura dan pelbagai cacing. Iran juga adalah negara Timur Tengah

pertama yang memproduksi hewan transgenik dan telah menjadi salah satu dari sedikit

negara di dunia yang menguasai teknologi kloning sebagai bagian dari riset kedokteran dan

penggunaan hewan klon untuk memproduksi antibodi manusia terhadap penyakit. Iran

telah sukses mengklon seekor kambing bernama ‘Royana’, seekor domba bernama ‘Hanna’,

dan dua ekor sapi dengan nama ‘Bonyana’ dan ‘Tamina’.

29

Lihat: http://www.newscientist.com/article/dn18546-iran-showing-fastest-scientific-growth-of-any-country.html 30

Baca laporan pusat analisis data santifik ini pada : http://www.science-metrix.com/30years-Paper.pdf

Page 15: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 15

Laporan Royal Society Inggris31, sebuah komunitas ilmiah dunia yang terkenal,

menyebutkan bahwa sejumlah negara berkembang seperti Iran, China, Brazil, Turki, dan

India telah menjadi rival bagi superpower sains selama ini, yaitu Amerika Serikat, Eropa

Barat, dan Jepang. Dengan tajuk Knowledge, Networks and Nations: Global Scientific

Collaboration in the 21st Century, laporan itu mengungkap hasil penelitian Royal Society

terhadap produktivitas negara-negara dunia sejak 1993 hingga 2008 dalam publikasi ilmiah

dan anggaran belanja mereka untuk riset dan pengembangan sains. Hasilnya cukup

mengejutkan bahwa Iran ternyata adalah negara yang paling cepat perkembangannya

dalam sains (Iran is the fastest growing country for science). Pada tahun 1996, Iran

melahirkan 736 paper ilmiah, tetapi pada 2008 ia memproduksi 13.238 kertas kerja ilmiah

(yang berarti melonjak 18 kali lipat).

Dalam alokasi anggaran untuk sains, Teheran telah mencanangkan sebuah agenda

‘revolusi saintifik’ melalui apa yang disebutnya Comprehensive Plan for Science (Rencana

Menyeluruh untuk Sains), yaitu sebuah kebijakan dan program yang terkoordinasi dan

dinamis untuk perencanaan evolusi strategis sistem sains, teknologi, dan inovasi,

berdasarkan nilai-nilai Islam/Iran.32 Salah satu butir rencana itu adalah peningkatan tajam

anggaran riset dan pengembangan sains sebesar 4 persen GDP pada tahun 2030 dari hanya

0,59 persen GDP pada tahun 2006. Sebagai perbandingan, Uni Eropa menginvestasikan 1,8

persen GDP untuk riset dan pengembangan sains.

Menanggapi perkembangan baru tersebut, Sir Chris Llewellyn Smith, pimpinan

penasehat Royal Society dan juga profesor asal Oxford University, berkomentar,

Dunia ilmiah sedang berubah dan para pemain baru dengan cepat sedang muncul.

Sejumlah negara berkembang telah menjadi tantangan bagi negara-negara yang

selama ini superpower dalam sains. Dan secara kolektif, kehadiran pemain baru itu

memiliki dampak besar. Kita harus terbuka pada sains. Kita tidak boleh puas dengan

apa yang telah kita capai dan itu (perkembangan baru itu) adalah sebuah kolaborasi

win-win bagi kita. Sains sedang tumbuh di mana saja.33

31

Lihat Mirror News 29 Maret 2011 pada http://www.mirror.co.uk/news/uk-news/china-and-iran-challenging-science-superpowers-119034 32

Dikutip dari ulasan Press TV dengan tajuk A Review of Iran's Scientific Achievement in 1390 (2011 M) pada

edisi 27 Maret 2012. 33

Komentar Sir Chris Llewellyn Smith ini juga bisa dibaca pada laporan Financial Times kolom Science pada 28 Maret 2011: http://www.ft.com/cms/s/2/a8f6695e-5953-11e0-bc39-00144feab49a.html#axzz1HyjSRv9x

Page 16: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 16

Menurut The Institute for Scientific Information (ISN), para peneliti dan saintis Iran

telah menerbitkan total 60.979 paper ilmiah pada jurnal-jurnal internasional utama selama

19 tahun (1990-2008). Namun, tahun-tahun sesudah itu, Iran dengan sangat cepat

melipatgandakan penerbitan karya-karya ilmiahnya sebagaimana yang terangkum dalam

Tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Jumlah artikel ilmiah saintis Iran pada jurnal-jurnal internasional utama

Tahun 1990–2008 2009 2010 2011

Total artikel 60.979 15.000 18.600 33.000

Mungkin ada baiknya kita menengok prestasi dan kontribusi Iran dalam beberapa

bidang sains dan teknologi. Selama ini dunia hanya heboh dengan program nuklir Iran, yang

memang mengalami kemajuan signifikan. Dengan usaha dan jerih payah para sarjana Iran

sendiri, yang memperoleh dukungan moral dan dana dari rakyat dan pemerintah Iran,

negeri republik Islam ini telah bisa melakukan sebuah proses penting dalam teknologi nuklir,

yaitu pengayaan uranium hingga 20 persen, yang berguna untuk keperluan riset-riset medis

dan pembuatan isotop-isotop. Kini Iran sudah sepenuhnya menguasai siklus pembuatan

bahan bakar nuklir. Iran tercatat sebagai negara ke-14 dalam teknologi energi nuklir, negara

ke-7 dalam kemampuan memproduksi uranium hexafluoride (UF6), dan negara ke-6 yang

telah mampu merancang dan peralatan fusi nuklir.34

Keberhasilan Iran dalam penguasaan teknologi energi nuklir tentu saja didukung oleh

penguasaan terhadap ilmu-ilmu dasar seperti sains fisika dan material. Seorang saintis Iran,

Ali Javan, berhasil menemukan laser gas pertama pada tahun 1960, dengan meneruskan

studi optik yang diwariskan oleh Ibn al-Haitsam, ilmuwan Muslim Iran abad 11 M lalu.35 Kini

Iran telah memproduksi pelbagai jenis laser untuk memenuhi kebutuhan medis dan industri.

Salah satu terapan sains fisika dan material yang kini mendapat perhatian besar adalah

nanoteknologi. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Abdolreza Simchi, saintis nanoteknologi

Iran yang mendapat penghargaan sebagai Distinguished Researcher (Peneliti Terkemuka)

oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad, nanoteknologi adalah sebuah disiplin baru dan

34

Lihat "Iran, 7th in UF6 production – IAEO official" Payvand.com. Retrieved 21 October 2011. 35

Untuk mengetahui karya dan sumbangan Ibn al-Haitsam untuk sains fisika dan optik, bisa baca, diantaranya Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, karya Husain Heriyanto (Jakarta: Mizan, 2011), hal. 143 – 153.

Page 17: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 17

interdisipliner di mana saintis dapat merekayasa atom dan molekul dalam skala nano, yakni

50 ribu lebih halus dari sehelai rambut manusia. Jika pada tahun 2000, Iran masih

bertengger pada posisi ke-59 dan pada tahun 2007 menempati urutan ke-25, maka pada

tahun 2011 melompat pada ranking ke-12 di dunia dalam penguasaan nanoteknologi. Dr.

Simchi juga menjelaskan bahwa Syarif University of Technology, Teheran telah mendirikan

pusat studi dan riset The Institute for Nanoscience dan Nanotechnology (INST).36

Iran juga mengembangkan sains komputer dan robotika. Sebuah pusat riset Ultra

Fast Microprocessor Research Center di Amirkabir University of Technology, Teheran telah

meluncurkan superkomputer pertama pada tahun 2001. Kapasitas superkomputer ini terus

ditingkatkan sehingga pada tahun 2007 ia mampu memproses 860 milyar operasi per detik,

dan pada tahun 2011 sudah melesat menjadi 34.000 milyar operasi per detik.

Superkomputer yang sama juga telah diproduksi oleh Isfahan University of Technology

dengan kapasitas 34.000 milyar operasi per detik dan kapasitas Graphic Processing Units

(GPU) mencapai 32 milyar operasi per 100 detik. Superkomputer ini termasuk 500

superkomputer yang ada di dunia. Iran juga terlibat dalam riset dan pengembangan

komputer masa depan, yaitu komputer kuantum. Karena sistem operasinya bekerja atas

dasar koneksi antar atom dan partikel-partikel subatom (ion, foton, elektron), maka

komputer kuantum ini dapat bekerja jauh lebih cepat daripada superkomputer tercepat

sekarang.37

Matematika dan logika merupakan ilmu dasar komputer, dan dalam hal ini, seorang

sarjana matematika Iran, Lotfi A. Zadeh, telah mengembangkan suatu logika baru yang

berbeda dengan logika tradisional sebagaimana yang diperkenalkan oleh Aristoteles

berabad-abad lalu. Zadeh mengajukan teori baru apa yang disebut ‘fuzzy set theory’ (teori

himpunan fuzzy), yang menjadi basis perumusan fuzzy logic (logika fuzzy). Dalam orasi

ilmiahnya yang berjudul The Birth and Evolution of Fuzzy Logic pada acara penerimaan

penghargaan Honda Prize oleh Honda Foundation pada tahun 1989 berkat teori barunya

yang sangat berguna itu, dia berkata,

36

Lihat : http://en.nano.ir/ dan http://www.sciencedirect.com/science/journal/10263098/18/3 37

Lihat Beck, Jonathan. "Report says Iran has built a supercomputer | Iranian – Iran News | Jerusalem Post". Fr.jpost.com; "Iran unveils indigenous supercomputers". Payvand.com. Retrieved 21 October 2011, dan http://www.berr.gov.uk/files/file11959.pdf

Page 18: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 18

Tidak seperti sistem logika tradisional, fuzzy logic bertujuan untuk menyediakan

sebuah model modus-modus penalaran yang bersifat aproksimasi ketimbang eksak.

Dalam perspektif ini, fuzzy logic menjadi penting mengingat bahwa hampir seluruh

penalaran manusia – dan khususnya penalaran akal sehat (common sense reasoning) –

pada dasarnya bersifat aproksimasi. Pada hari ini, setelah 25 tahun saya mengajukan

teori ini, kita telah menyaksikan berbagai penerapan fuzzy logic dalam berbagai disiplin

seperti taksonomi, topologi, linguistik, teori automata, logika, teori kontrol, teori

permainan, teori informasi, psikologi, pengenalan pola, kedokteran, hukum, ekonomi,

manajemen, kecerdasan buatan (artifical intelligence), analisis keputusan, dan teori

sistem.38

Terakhir, sebagai negeri yang mewarisi Ibn Sina dan Zakariya al-Razi, Iran memiliki

perkembangan ilmu kedokteran yang cukup pesat setelah revolusi Islam 1979. Didorong

oleh banyaknya korban luka dan cacat dalam perang Iran-Irak 1980-1988 akibat invasi

Saddam al-Takrit, termasuk para korban serangan kimia pasukan Saddam, ahli bedah Iran

menemukan teknik pembedahan syaraf otak yang berhasil menurunkan secara tajam resiko

kematian para korban dan teknik itu telah menjadi prosedur standar di dunia medis

sekarang. Transplantasi sejumlah organ vital seperti ginjal, jantung, liver, dan paru-paru

telah rutin dilakukan oleh para dokter Iran sejak dasawarsa 1990. Pada tahun 2009, Iran

berhasil mengembangkan paru-paru buatan, yang menempatkan Iran menjadi negara ke-6

yang menguasai teknologi ini. Disiplin ilmu baru neuroscience juga tengah berkembang di

Iran. Iran telah membangun sejumlah pusat studi dan penelitian tentang neuroscience,

termasuk pembukaan program PhD khusus bidang cognitive and computational

neuroscience.

Bioteknologi, salah satu bidang yang terkait erat dengan kedokteran, pun mengalami

kemajuan pesat di Iran. Pada tahun 2006, ahli bioteknologi Iran telah memproduksi dan

mengirimkan CinnoVex ke pasar internasional, yang menjadikan Iran sebagai produsen

ketiga produk bioteknologi tersebut. Menurut David Morrison dan Ali Khademhosseini (dari

Harvard-MIT dan Cambridge University), penelitian sel punca (stem cell) Iran menempati

posisi 10 teratas dunia dan merupakan negara ke-2 yang paling maju dalam transplantasi sel

38

Lotfi A. Zadeh, The Birth and Evolution of Fuzzy Logic (a lecture presented on the occasion of the award of the 1989 Honda Prize, Tokyo, Japan), (lalu diterbitkan oleh Journal of the Japan Society for Fuzzy Logic and System, Tokyo, 1990), hal. 95 – 105.

Page 19: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 19

punca.39 Iran menginvestasikan 2,5 milyar dolar AS (setara dengan 22,5 Rp trilyun) khusus

untuk riset sel punca ini selama lima tahun (2008-2013).40 Dalam hal penyediaan obat-

obatan, Iran telah memproduksi 97 persen dari kebutuhannya.41 Pada awal tahun 2012, Iran

berhasil memproduksi 15 obat anti-kanker monoklon, yang selama ini hanya bisa diproduksi

dua atau tiga perusahaan farmasi Barat.42

Menuju Kebangkitan Sains Peradaban Islam Kedua?

Menyimak prestasi saintifik Iran yang gemilang pasca revolusi Islam termasuk

bagaimana hanya dalam 30 tahun Iran sudah bisa mensejajarkan dirinya dengan negara-

negara maju dalam penguasaan sains dan teknologi, sungguh beralasan jika kita katakan

bahwa Iran telah melakukan sebuah ‘revolusi saintifik’, sebagai revolusi kedua setelah

revolusi sosio-politik tahun 1979. Atau pernyataan yang lebih tepat adalah bahwa Iran telah

melakukan revolusi saintifik sebagai bagian dari revolusi kebudayaan yang dimulai pada

tahun 1979.

Perkembangan sains dan teknologi Iran yang sangat pesat dalam tiga dasawarsa

terakhir ini mengingatkan kita pada era keemasan kebangkitan sains dalam peradaban Islam

masa klasik dari abad ke-8 hingga abad ke-14 M. Pada kurun waktu enam abad ini,

peradaban Islam merupakan pusat peradaban dunia dengan kemajuan yang tinggi dalam

sains (hard sciences) sebagaimana juga filsafat, ‘irfan dan sastra Islam (soft sciences).

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terhadap prestasi dan kontribusi peradaban Islam

dalam lima bidang sains, yaitu matematika, astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran, saya

menemukan bahwa hampir semua tokoh sarjana dan ilmuwan Muslim yang penting dan

berpengaruh ternyata berasal dari Iran atau berlatar belakang Persia.43 Matematikawan

Muslim utama asal Iran yang dimaksud adalah al-Khawarizmi (w. 850), sang penemu ilmu

aljabar; Abu al-Wafa‘ al-Buzjani (w. 998), sang pengembang trigonometri; dan Umar

Khayyam (w. 1124), sang perintis geometri analitik. Dalam astronomi, tokoh utama mereka

adalah al-Fazari (w. 777), al-Farghani (w. 870), Umar Khayyam (w. 1124) – pembuat kalender

39

Lihat http://isg-mit.org/projects-storage/StemCell/stem_cell_iran.pdf 40

Lihat http://www.payvand.com/news/08/nov/1059.htm 41

Diperoleh dari sebuah ulasan di Press TV, 22 May 2012 42

Lihat "Fars News Agency :: Ahmadinejad Stresses Iran's Growing Medical Tourism Industry". English.farsnews.com. 2012-01-17. 43

Baca selengkapnya Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011).

Page 20: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 20

surya Jalali yang terpakai di Iran hingga kini-, Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274) – pendiri

observatorium Maragha-, dan Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311). Satu-satunya astronom

utama Muslim yang bukan kelahiran Iran adalah al-Battani (w. 929), yang berasal dari

Harran, Suriah.

Dalam fisika, para sarjana Iran juga mendominasi, sebut saja Abu ‘Ali al-Hasan Ibn-al-

Haitsam (w. 1039), peletak dasar ilmu optik; dan Abu al-Raihan al-Biruni (w. 1050), ilmuwan

jenius yang menguasai matematika (penemu Dalil Sinus), astronomi (penulis ensiklopedi

astronom Muslim Al-Qanun al-Mas‘udi), fisika (pencetus ide gravitasi; penghitung pertama

keliling bumi dengan ketepatan 99,62 persen), tokoh eksperimentalis, dan sejarawan-

sosiolog yang terkenal dengan karyanya, Kitab Tarikh al-Hind atau Al-Biruni’s India, yang

menguraikan doktrin agama Hindu, sains dan adat istiadat India. Ada pula fisikawan Abu al-

Hasan ‘Ali ibn Yunus (penemu teori bandul), Kamal al-Din la-Farisi (penemu teori pelangi),

dan al-Khazini (penemu tekanan udara).

Sementara dalam ilmu kimia dan kedokteran, sarjana Muslim asal Iran sepenuhnya

juga mengisi kekayaan peradaban Islam. Tokoh kimia, Jabir ibn Hayyan (721-815), kelahiran

Thus-Khurasan, dinobatkan oleh sejarawan Will Durrant sebagai Bapak Kimia (the Father of

Chemistry). Uniknya, Jabir yang adalah murid Imam Ja‘far al-Shadiq (Imam keenam mazhab

Syi‘ah), juga aktif dalam tasawuf dan metafisika. Ada pula Zakariyya al-Razi (w. 925), yang

lebih tersohor sebagai dokter klinis, banyak memberi sumbangan yang sangat berarti bagi

kemajuan ilmu kimia khususnya kimia analitis. Terakhir, di dunia kedokteran, kita mungkin

sudah mengenal Abu ‘Ali ibn Sina (w. 1037), yang makamnya di Hamadan sempat saya

kunjungi tahun 2009, sebagai filsuf yang juga dokter termasyhur sedemikian sehingga

dijuluki sebagai Father of Doctors (Bapak Para Dokter) atau Medicorum Principal (Raja Diraja

Dokter). Karya masterpiece-nya dalam kedokteran adalah Al-Qanun fi al-Thibb (Konstitusi

Ilmu Kedokteran) merupakan karya ilmiah yang paling banyak dibaca dan diterjemahkan ke

bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa pada masa Renaisans. Sejarawan sains, George

Sarton, menulis,

Prestasi medis Ibn Sina sedemikian lengkap sehingga mengecilkan sumbangan yang

lainnya dari seluruh dunia. Karya ilmiah Ibn Sina, The Canon of Medicine, merupakan

Page 21: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 21

referensi dasar dan utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu yang lebih panjang

dibanding dengan buku-buku lainnya yang pernah ditulis.44

4. Kontribusi Unik Iran: Integrasi Soft Sciences dan Hard Sciences

Uraian pada bagian dua dan tiga di muka, menggambarkan prestasi dan kontribusi

para cendekiawan Iran dalam pengembangan soft sciences dan hard sciences, baik pada

masa peradaban Islam klasik maupun era modern. Kegemilangan prestasi dalam masing-

masing sains adalah satu hal, sedangkan kemampuan mengintegrasikan kedua rumpun

besar sains – soft sciences dan hard sciences- adalah hal lain. Kontribusi suatu bangsa atau

umat dalam salah satu sains, katakanlah sumbangan Yunani untuk filsafat atau Inggris untuk

fisika atau Perancis untuk sosiologi atau Jepang untuk teknologi, adalah suatu hal yang

sudah biasa dan jamak. Bahkan, ada sejumlah negara yang mampu mengembangkan

pelbagai sains itu secara terpisah seperti Jerman dan Amerika Serikat yang melahirkan

sarjana-sarjana dalam filsafat, sains alam, sains sosial, dan teknologi. Akan tetapi sangat sulit

ditemukan sebuah negara atau umat yang mampu mengintegrasikan pelbagai jenis sains itu

dalam sebuah bingkai metafisika dan kosmologi yang utuh (paradigma holistik).

Kenyataannya, yang terjadi dalam dunia modern adalah konflik epistemologis dan

etis yang tak berkesudahan antara rumpun soft sciences dan hard sciences, seperti

pertikaian antara agama dan sains, filsafat dan sains, hermeneutika dan sains, etika dan

sains, atau etika dan teknologi. Bahkan terjadi pula konflik laten sesama soft sciences seperti

agama dan filsafat, agama dan tasawuf, agama dan sastra, atau filsafat dan tasawuf. Konflik-

konflik ini secara teoritis tak terhindarkan karena paradigma masing-masing sains itu tidak

saja saling terpisah tetapi saling bertolak belakang. Contohnya, sains alam modern

umumnya dikembangkan di bawah pengaruh paradigma empirisme atau positivisme yang

hanya mengakui pengetahuan yang bersumber pengalaman empiris/indrawi dan

menganggap pengetahuan di luar pengalaman empiris sebagai hal yang ilutif dan subyektif

belaka. Tentunya pandangan seperti ini mendorong para saintis melecehkan pengetahuan

lainnya seperti agama, metafisika, etika, dan ilmu-ilmu kemanusiaan umumnya. Salah satu

efek dari pandangan ini adalah munculnya doktrin ‘sains bebas nilai’ bahwa sains sama

sekali tidak berurusan dengan nilai dan makna; dan hal ini telah menjadi rukum iman bagi

44

Ibid., hal. 200.

Page 22: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 22

kebanyakan saintis modern atau orang-orang yang menganut positivisme. Itulah sebabnya,

mengapa materialisme, ateisme, dan pengingaran moralitas tumbuh berkembang

bersamaan dengan perkembangan sains di dunia Barat modern.

Dari sekian banyak sarjana dan cendekiawan yang mencermati isu ini, saya akan

mengutip tiga tokoh representatif yang menyuarakan krisis paradigma sains modern dan

efeknya yang sangat berbahaya bagi kelangsungan peradaban manusia. Filsuf A.N.

Whitehead (w. 1947), yang juga ahli matematika dan sains, menuliskan karakter sains

modern sebagai berikut, “Dalam pandangan sains modern, alam adalah sesuatu yang mati,

sepi, tidak bersuara, tidak berbau, tidak berwarna; ia hanya kumpulan materi yang tidak

bertujuan dan tidak bermakna.”45 Ludwig von Bertalanffy menulis,

Pengetahuan kita tentang fisika sungguh mengagumkan. Sains biologi kita juga telah

memadai untuk pengembangan bioteknologi dan kedokteran modern. Akan tetapi,

yang tidak ada pada kita adalah pengetahuan yang memadai tentang manusia dan

kebudayaan. Oleh karena itu, capaian yang tinggi dalam fisika memungkinkan kita

lebih efektif melakukan kehancuran dan kerusakan di muka bumi melalui perang

berteknologi tinggi alih-alih membangun keadilan dan kesetaraan. Kecanggihan

bioteknologi dan kedokteran kita tidak mampu menghilangkan kelaparan, kemiskinan,

dan ketidakadilan yang makin menyolok di dunia modern. 46

Sementara seorang saintis nuklir Iran, Mehdi Golshani, profesor fisika di Syarif

University of Technology dan juga pendiri the Institute for Humanities and Cultural Studies,

menulis,

Tidak ada keraguan bahwa sains dan teknologi telah mendatangkan keberkahan bagi

umat manusia, tetapi utopia yang dijanjikan – sains dapat membawa kesejahteraan

dan kebahagiaan untuk umat manusia – tidaklah terwujud. Sebaliknya, sains

melahirkan peralatan dan senjata pemusnah massal dan kerusakan lingkungan; sains

merusak keseimbangan aspek-aspek spiritual dan material kehidupan dan

kemanusiaan. Konsekuensi destruktif sains ini disebabkan oleh pemisahan antara fakta

dan nilai; sains dianggap tidak terkait dengan masalah-masalah kemiskinan,

ketidakadilan, kehampaan moral, dan kekerasan.47

Dengan demikian, pencapaian yang tinggi dalam sains dan teknologi bukanlah

kondisi yang memadai (sufficient condition) untuk perkembangan sebuah bangsa menuju

45

Whitehead, Science and the Modern World (New York: The Free Press, Macmillan, Co. 1967), hal. 54. 46

Ludwig von Bertalanffy, General System Theory (Middlesex: Penguin Books, 1973), hal. 51. 47

Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science (Tehran: IHCS, 2004), hal. 102.

Page 23: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 23

peradaban yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab. Hal itu juga berlaku pada

bangsa/umat yang mungkin memiliki warisan kebudayaan religius dan spiritual yang kaya

tetapi lemah dalam tradisi intelektual dan saintifik, maka bangsa/umat ini pun sulit

menggapai peradaban yang tinggi. Sejarah umat manusia dan bangsa-bangsa telah diisi

dengan pertarungan panjang – yang sebetulnya tak perlu- antara kearifan perennial dengan

pengetahuan kontemporer, antara spiritualitas dan materialitas, antara spiritualitas dan

intelektualitas, antara yang universal dan yang partikular, antara yang sakral dan yang

profan. Dunia modern, yang dibentuk terutama oleh positivisme sains dan sekulerisme sejak

tiga abad terakhir, yang kita saksikan hari ini sarat dengan konflik, kemunafikan, dan

pengoyakan nilai-nilai suci kemanusiaan sedemikian sehingga seakan telah mengubur

harapan dan visi untuk membangun peradaban yang manusiawi dan kemanusiaan yang

beradab atas dasar kebenaran, keadilan, dan kearifan.

Dalam konteks seperti itulah, saya mencoba mengangkat peran dan kontribusi apa

yang bisa ditawarkan oleh Republik Islam Iran48 kepada dunia modern. Saya sudah

memaparkan prestasi ilmiah Iran dalam kedua bidang, yaitu soft sciences (agama, filsafat,

‘irfan, sastra, kebudayaan) dan hard sciences (matematika, ilmu-ilmu alam, komputer,

teknologi) secara terpisah pada pembahasan di muka. Mungkin capaian Iran dalam soft

sciences dianggap sebagai hal yang lumrah mengingat revolusi 1979 berkarakter agama dan

sosial budaya. Namun, prestasi Iran yang gemilang dalam hard sciences mungkin

mengejutkan banyak orang. Hal itu bisa dipahami mengingat konstelasi politik internasional,

yang dihegemoni oleh negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat, selalu membuat

pelbagai hambatan dan kesulitan yang tiada henti terhadap republik Islam. Oleh karena itu,

kisah bagaimana Republik Islam Iran yang tak hanya bisa bertahan menghadapi permusuhan

sengit 33 tahun oleh adidaya AS dan konco-konconya tetapi juga malah mampu menyaingi

mereka yang arogan dan imperialistik itu dalam kemajuan dan perkembangan saintifik,

merupakan narasi menarik yang perlu pembahasan sendiri.

Akan tetapi, dalam pandangan saya, ada peran dan kontribusi Republik Islam Iran

yang lebih penting, urgen, dan unik, yaitu kemampuannya memajukan dan

mengembangkan hard sciences dalam kerangka kerja pandangan-dunia Islam. Seperti yang

48

Setiap penggunaan kata ‘Iran’ dalam pengertian kontemporer hendaknya dipahami sebagai sebuah identitas ‘Republik Islam Iran’.

Page 24: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 24

saya katakan, kemajuan saintifik per se adalah satu hal, sedangkan kemajuan saintifik yang

terintegrasi dalam bingkai paradigma yang berbasiskan filsafat dan teologi Islam adalah hal

yang lain. Yang pertama, yakni kemajuan sains tanpa nilai, telah dilakukan oleh negara-

negara Barat, dan kita sudah membahas efek-efeknya yang sangat berbahaya bagi

kemanusiaan dan peradaban. Sedangkan yang kedua merupakan sesuatu yang selama ini

adalah cita-cita sejumlah pemikir Muslim yang menghendaki kemajuan sains berdasarkan

prinsip-prinsip Islam, dan sejauh ini cita-cita itu hanya hadir dalam buku-buku dan seminar-

seminar mengenai dialog dan integrasi agama dan sains, relasi etika dan sains, atau

humanisasi sains. Sangat sulit bagi kita untuk menemukan sebuah wilayah atau negara yang

mampu mendemonstrasikan hubungan yang sinergis antara ajaran Islam dan sains atau

secara umum antara agama dan sains. Republik Islam Iran adalah sebuah perkecualian

karena ia telah bisa menjadi sebuah model untuk dunia Islam dan dunia kontemporer pada

umumnya bagaimana membangun tradisi agama yang melahirkan kreativitas dan kemajuan

saintifik dan sebaliknya mengelola perkembangan saintifik yang melayani agama dan

kemanusiaan.

Tentu saja, kiprah Republik Islam Iran sebagai model integrasi soft sciences dan hard

sciences masih jauh dari kondisi ideal dan sempurna. Secara de facto, Iran masih dalam

proses pembentukan dan penyempurnaan diri. Di sela-sela seminar Intellectuality and

Spirituality: Islam and Contemporary Issues oleh Universitas Internasional Al-Mushthafa,

saya berkesempatan mengunjungi sebuah seminar nasional di Universitas Syahid Behesyti,

di Teheran dengan tema ‘Ulume Insani (Ilmu-ilmu Kemanusiaan). Menurut Profesor

Hamidreza Ayatollahy49, Ketua Pengarah seminar tersebut, seminar bertujuan untuk

mencari rumusan dan kerangka kerja mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan

dengan prinsip-prinsip Islam. Selama ini, ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, politik,

dan ekonomi berakar pada pandangan-dunia dan filsafat Barat, yang banyak tidak sesuai

dengan ajaran Islam. Filsafat dan pemikiran Islam mencoba membangun ilmu-ilmu

sosial/humaniora yang berbasiskan pandangan-dunia Islam. Ini adalah sebuah contoh di

lapangan bagaimana Iran selalu aktif dalam proses pembenahan diri menjadi model untuk

49

Atas dasar undangan Prof. Dr. Hamidreza Ayatollahy, saya bisa menghadiri seminar ‘Ulmue Insani tersebut di sebuah perguruan tinggi penting di Teheran dengan lokasi yang sangat indah di kaki pebukitan.

Page 25: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 25

umat Islam dan dunia umumnya bagaimana membangun paradigma yang holistik dan

integral antara prinsip-prinsip Islam dengan semua disiplin ilmu.

Meskipun demikian, secara epistemologis dan aksiologis, isu integrasi soft sciences

dan hard sciences telah berhasil ditunjukkan oleh Republik Islam Iran. Kita masih ingat hari-

hari pertama berdirinya republik Islam bagaimana pemimpin revolusi dan pendiri republik,

Imam Khomeini, mengangkat dan mendukung kaum intelektual dan teknokrat seperti

Mehdi Bazargan dan Abolhasan Bani Sadr mengelola pemerintahan serta menunjuk Syahid

Murtadha Muthahhari, ‘ulama intelektual yang menulis buku-buku filsafat, memimpin

Dewan Revolusi Islam. Hari ini republik Islam dipimpin oleh Ayatollah ‘Ali Khamenei, seorang

‘ulama mujtahid yang menyukai syair-syair filsuf Iqbal, dan Presiden Mahmoud

Ahmadinejad, mantan seorang dosen dan walikota Teheran. Kedua pemimpin ini

mendorong para pelajar untuk mengusai sains dan teknologi karena Islam dan untuk Islam.

Republik Islam pun tidak segan-segan menginvestasikan anggaran negara sebesar mungkin

untuk kemajuan dan perkembangan sains demi kebangkitan umat Islam.

Isu integrasi soft sciences dan hard sciences ini adalah sebuah problem yang riel dan

teramat penting untuk dunia modern, bukan retorika ideologis dan semacamnya. Mereka,

yang mengetahui jantung pemikiran modern dan filsafat yang melambari perkembangan

sains modern dengan segala problemanya yang akut, sangat paham dengan apa yang saya

katakan ini.50 Eksistensi Republik Islam Iran adalah sebuah realitas yang mematahkan

argumen sekulerisme bahwa agama harus dipisahkan dan diasingkan dari urusan sosial dan

negara. Kemajuan Republik Islam Iran dalam sains dan teknologi yang diinspirasi dan

dimotivasi oleh ajaran dan pemikiran Islam telah mengungkapkan karakter Islam yang

sesungguhnya sebagai agama yang mampu membangun tradisi intelektualitas dan ilmiah

demi kemanusiaan dan peradaban. Kebangkitan sebuah republik Islam di dunia modern

adalah premis mayor; prestasi saintifik yang gemilang atas dasar pandangan-dunia Islam

adalah premis minor, untuk sebuah kesimpulan bahwa pesan-pesan Islam untuk kehidupan

yang lebih manusiawi dan kemanusiaan yang lebih beradab telah berada pada jalur yang

menjanjikan akan lahirnya kembali peradaban Islam dalam tempo yang tak lama lagi.

50

Baca karya-karya Fritjof Capra, RD Laing, Seyyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Morris Berman, Ashley Montague, Schumacher, Roger Garaudy, Arnold Toynbee, Tu Wei-Ming, atau Daisaku Ikeda, yang mengkritik tajam sekulerisme dan materialisme yang bersembunyi di balik sains modern yang telah mengasingkan manusia dari Tuhan, alam, sesama, dan diri sendiri.

Page 26: The Integration of Soft Sciences and Hard Sciences

Husain Heriyanto Page 26

5. Penutup (Rangkuman)

Saya hendak mengakhiri tulisan ini dengan merangkum poin-poin penting yang

perlu ditegaskan kembali dalam bentuk beberapa pernyataan, yakni:

1. Konflik laten dan berkepanjangan antara soft sciences dan hard sciences, khususnya

antara agama dan sains, yang telah menjadi karakter sains modern yang sekuler

merupakan problem akut yang mengancam kelangsungan peradaban manusia.

2. Integrasi soft sciences dengan hard sciences atau secara sederhana antara agama

dan sains adalah sebuah kebutuhan mendesak dunia kontemporer untuk

membangun peradaban yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab.

3. Republik Islam Iran, yang terus aktif dalam proses pembenahan diri, adalah sebuah

model yang layak dikembangkan di dunia Islam dan dunia pada umumnya

bagaimana menjalankan tradisi agama dan spiritualitas yang bersinergi dengan

tradisi intelektual dan ilmiah.