Upload
vokhuong
View
228
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 27
Sekilas Pandang:
BPJS Ketenagakerjaan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 28
SECTION I:
Mengenal Lebih Dekat Sistem Jaminan Sosial
Nasional Indonesia
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 29
BAB I
Perjalanan Panjang Sistem Jaminan Sosial Indonesia
A. Latar Belakang Berdirinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Menjadikan Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan merupakan amanat
yang harus diwujudkan bersama. Hal ini tercantum secara jelas di dalam Pasal 5
ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2) dimana pelaksanaan jaminan social yang baik merupakan harapan yang
sangat besar guna berkembangnya Negara kita menjadi lebih baik.
Selain merupakan amanah yang wajib dipenuhi, pentingnya penerapan
jaminan social sebagai perlindungan bagi kesejahteraan warganya juga diatur
didalam deklarasi PBB tentang HAM pada tahun 1948 dan Konvensi ILO No.102
Tahun 1952.
Demi mewujudkan amanah tersebut, maka pada tahun 1951 Pemerintah
membentuk Undang-Undang nomor 33 Tahun 1947 jo. Undang-Undang No. 2
Tahun 1951 tentang kecelakaan kerja. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan
Negara, maka pemerintah mulai mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan
perlindungan social yaitu dengan disahkannya Peraturan Menteri Perburuhan
(PMP) No.48 Tahun 1952 jo. PMP No. 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan Bantuan
Untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, PMP No.15 Tahun 1956 tentang
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 30
Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), dan diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja.1
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut
landasan hokum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun
1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha
swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP Nomor 34
Tahun 1977 tentang Pembentukan Wadah Penyelenggara ASTEK yaitu Perum
Astek.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP
Nomor 36 Tahun 1995 ditetapkannya PT Jamsostek memberikan dasar untuk
memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan
memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga
sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko
social.2
Selanjutnya, muncul TAP MPR No.X/MPR/2001 tentang Laporan
Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada sidang tahunan
MPRRI Tahun 2001 yang menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk
Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu.
Menanggapi mandat tersebut, pada tahun 2004, Pemerintah menetapkan
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) sebagai wujud komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial
Nasional yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka terbentuklah BPJS yang
1 http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/i.php?mid=2&id=9 diakses pada tanggal 16 Januari 2015 pukul
19:16 WIB. 2 Ibid.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 31
mulai berlaku mulai Januari 2014 dan menjanjikan kesejahteraan kesehatan bagi
masyarakat Indonesia. BPJS merupakan lembaga baru yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia yang bersifat nirlaba
berdasarkan Undang-Undang SJSN. Berdasarkan Undang-Undang BPJS, BPJS akan
menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga
asuransi jaminan kesehatan PT Askes dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan
PT Jamsostek.3
B. Transformasi PT. Jamsostek (Persero)
Dengan telah disahkan dan diundangkannya Undang-Undang No.24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), pada tanggal
25 November 2011, maka PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero)
ditransformasikan menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
UU BPJS menentukan bahwa PT. Askes (Persero) dinyatakan bubar
tanpa likuidasi pada saat mulai beroperasinya BPJS Kesehatan pada tanggal 1
Januari 2014. Hal yang serupa terjadi pada PT. Jamsostek (Persero). Sebagai badan
yang memberikan jaminan sosial kepada para tenaga kerja di Indonesia dan
bertransformasi terlebih dahulu, PT. Jamsostek telah berkontribusi besar dalam
melayani tenaga kerja di Indonesiayang menjadi peserta meskipun saat ini telah
berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Program yang akan dijalankan oleh BPJS
ketenagakerjaan akan bertambah namun tidak merubah maupun menghapus
program yang dijalankan sebelumnya, yaitu:
a. Jaminan Kecelakaan Kerja
b. Jaminan Kematian;dan
c. Jaminan Hari Tua
BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu selama 1,5 tahun untuk
menyesuaikan penyelenggaraan ketiga program tersebut dengan ketentuan UU SJSN
dan menambahkan program jaminan pensiun ke dalam pengelolaannya sehingga
selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah
3 Ridwan Max Sijabat, Askes, Jamsostek asked to prepare transformation, The Jakarta Post (dalam bahasa inggris),
diakses 16 Januari 2015 pukul 10:54 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 32
menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian,
Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun sesuai dengan yang diamanahkan UU
SJSN untuk seluruh pekerja kecuali Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, dan
POLRI.
Memang, dari sudut pandang eksternal, proses transformasi PT
Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan terkesan sangat sederhana,
hanya mengganti badan hukum dari PT (Persero) menjadi Badan Publlik. Namun,
sejatinya pekerjaan bukanlah sebuah pekerjaan ringan. Bapak Amri Yusuf, selaku
Direktur Umum dan SDM PT Jamsostek (Persero) menyatakan bahwa transformasi
jenis ini belum pernah terjadi di negara manapun. Yang pernah terjadi hanya
peningkatan status, seperti Perum menjadi Persero.4
Kepala Bidang Pemasaran PT. Jamsostek, A. Fauzan S.E., mengatakan
bahwa dalam transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan, terdapat
lima perubahan yang mendasar, yaitu:
1. Perubahan badan hukum organisasi dari BUMN menjadi badan hukum publik.
Pada masa ini, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) juga harus
mempersiapkan:5
a. Pengalihan program jaminan kesehatan Jamsostek kepada BPJS Kesehatan.
b. Pengalihan aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban program jaminan
pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Kesehatan.
c. Penyiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan berupa pembangunan sistem
dan prosedur bagi penyelenggara program jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun dan jamiann kematian, serta sosialisasi program
kepada publik.
d. Pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT
Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
2. Perubahan perlakuan keuangan pada badan penyelenggara, baik dalam hal
pemisahan asset badan penyelenggara dan peserta maupun sistem pelaporan
keuangan.
4 Sambutlah Jamsostek Baru, Majalah Warta Jams Edisi 1, hlm.5.
5 Pasal 56 dan Pasal 61 Undang-Undang No.24 Tahun 2011.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 33
3. Perubahan cakupan kepesertaan wakil dari tenaga kerja formal menjadi
perlindungan untuk seluruh tenaga kerja.
4. Perubahan pengalihan wewenang pelaksanaan inspeksi kepatuhan kepesertaan
dalam sistem penegakan hukum (law enforcement) dari Kementerian Tenaga
Kerja kepada Badan Penyelenggara yang dalam hal ini adalah BPJS
Ketenagakerjaan.
5. Perubahan manfaat dari Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK),
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK),
menjadi JHT, Jk, JKK, dan Pensiun.
Sementara itu, Dirut PT. Jamsostek, Elvyn G Masassya, mengatakan,
dalam mentransformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan dilakukan
melalui beberapa tahap yaitu:6
1. Tahap rekonsilidasi yakni membangun kepercayaan dari seluruh stake holder.
Dalam tahap ini yang dilakukan adalah mengawal regulasi, mereview teknis
operasional dan sosialisasi masive.
2. Tahap fit-in infrastructure yakni bagaimana membangun landasan yang kokoh
sebagai BPJS. Yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah peningkatam
kepesertaan, pelayanan, penguatan data base dan TI, peningkatan investasi,
keuangan dan peningkatan kualitas SDM.
3. Tahap sustainabillity total benefit and services, yakni pertumbuhan agresif,
harmonisasi manfaat dan pelayanan prima. Yang dilakukan dalam tahap ini
adalah peningkatan pangsa pasar melalui value chain, implementasi total benefit 6 Selamat Tinggal Jamsostek, Selamat Datang BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 31 Desember 2013. Diakses dari
http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/selamat-tingggal-jamsostek-selamat-datang-bpjs-ketenagakerjaan/47229 pada tanggal 19 Januari 2015 pukul 16:32 WIB
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 34
yang berkelanjutan, service excellence, operational excelence dan e-registrasi, e-payment,
dan e-claim.
Tranformasi yang terjadi meliputi perubahan sifat, organ dan prinsip
pengelolaan, atau dengan kata lain berkaitan dengan perubahan struktur dan budaya
organisasi.7
1. Transformasi Sifat
Transformasi dari PT (Persero) menjadi badan hukum publik sangat mendasar,
karena menyangkut perubahan sifat dari pro laba melayani pemegang saham
menuju nir laba melayani kepentingan publik yang lebih luas untuk
melaksanakan misi yang ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-
undangan pelaksanaannya. Dengan kata lain BPJS pada dasarnya
menyelenggarakan program yang merupakan program Negara yang bertujuan
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan
bahwa jaminan sosial termasuk salah satu pelayanan yang termasuk dalam
pelayanan publik. Sehubungan dengan itu, dalam penyelenggaraannya
berpedoman pada asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan
hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan
perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan
khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, dan kecepatan, kemudahan, dan
keterjangkauan.
Selain itu secara khusus BPJS menyelenggarakan SJSN, menurut Pasal 2 UU
BPJS berdasarkan asas kemanusiaan yang terkait dengan penghargaan terhadap
martabat manusia. Manfaat yaitu asas yang bersifat operasional yang
menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif, sedangkan asas yang
bersifat idiil yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai badan hukum publik pembentukan BPJS berdasarkan UU BPJS. Fungsi,
tugas, wewenang, hak dan kewajibannya juga diatur dalam UU BPJS. UU BPJS 7 Diakses dari http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/257 pada tanggal 19 Januari 2015 pukul 17:08
WIB
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 35
menentukan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini berbeda
dengan Direksi PT (Persero) yang bertanggung jawab kepada Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
2. Transformasi Organ dan Prinsip Pengelolaan
Organ BPJS menurut UU BPJS sangat berbeda jika dibandingkan dengan PT
(Persero) yang tunduk kepada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan
peraturan pelaksanaannya, serta tunduk juga pada UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
Organ BPJS ditentukan dalam UU BPJS. Terdiri atas Dewan Pengawas dan
Direksi yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jumlah anggota Dewan
Pengawas dan anggota Direksi, serta mekanisme seleksinya ditentukan dalam
UU BPJS. Sedangkan organ PT (Persero) terdiri atas Direksi, Komisaris dan
Dewan Pengawas yang di angkat dan diberhentikan oleh RUPS yang mekanisme
seleksinya ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.
Tugas dan wewenang Dewan Pengawas dan Direksi BPJS diatur dalam UU
BPJS, sedangkan tugas dan wewenang Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Prinsip pengelolaan BPJS dilaksanakan berdasarkan 9 prinsip penyelenggaraan
jaminan sosial, yaitu kegotongroyongan, nir laba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Sedangkan
pengelolaan PT (persero) mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan
Terbatas yang pada intinya memaksimalkan kembalian (return) bagi pemegang
saham.
C. Tentang BPJS
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS adalah suatu badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Tujuan didirikannya
BPJS, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 UU BPJS adalah untuk mewujudkan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 36
terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 4 UU BPJS, prinsip yang tumbuh di
dalam proses penyelenggaraan BPJS adalah sebagai berikut:
a. Kegotongroyongan;
Merupakan prinsip kebersamaan antara peserta dalam menanggung beban biaya
jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar
iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.8
b. Nirlaba;
Merupakan prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil
pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh
peserta.
c. Keterbukaan;
Merupakan prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan
jelas bagi setiap peserta.
d. Kehati-hatian;
Merupakan prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
e. Akuntabilitas;
Merupakan prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan.
f. Portabilitas;
Merupakan prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta
berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
g. Kepesertaan bersifat wajib;
Merupakan prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta
Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
h. Dana amanat;
8 http://www.jamkesindonesia.com/topik/detail/asas--tujuan-dan-prinsip tanggal 10 Januari 2015 pukul 16:03 WIB
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 37
Merupakan dana dan hasil pengembangan yang merupakan dana titipan dari
peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta Jaminan
Sosial.
i. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.
Berdasarkan ruang lingkupnya, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9 UU SJSN
mengatur bahwa BPJS terbagi menjadi dua jenis yang masing-masing mempunyai
fungsinya sendiri. Bagian-bagian tersebut adalah:
a. BPJS Kesehatan yang berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan. Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
b. BPJS Ketenagakerjaan yang bertugas untuk menyelenggarakan program:
1) Jaminan kecelakaan kerja;
Diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asurasi sosial dengan
tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan
santunan uang tunai apabila seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja
atau menderita penyakit akibat kerja.
2) Jaminan hari tua;
Diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau
tabungan wajib, dnegan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang
tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau
meninggal dunia.
3) Jaminan pensiun;
Diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
4) Jaminan kematian.
Diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dengan
tujuan untuk memberikan santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli
waris peserta yang meninggal dunia.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 38
Dalam melaksanakan fungsi yang ada, Pasal 10 UU BPJS mengatur tugas
apa saja yang dimiliki BPJS, yaitu:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. Menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;
e. Mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan
g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial
kepada Peserta dan masyarakat.
Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas-tugas yang ada BPJS berwenang
untuk:
a. Menagih pembayaran iuran;
b. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka
panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabillitas, kehati-hatian,
keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi
kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran
fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. Mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemebri Kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya;
g. Melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 39
Terkait hak BPJS, diatur dalam Pasal 12 yaitu:
a. Memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber
dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan
Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.
Dalam melaksanakan tugas yang diamanahkan, Pasal 13 mengatur
bahwa BPJS berkewajiban untuk:
a. Memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta;
b. Mengembangkan dana jaminan sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya
kepentingan peserta;
c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai
kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. Memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan Undnag-Undnag
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e. Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan kewajiban untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku;
f. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan
hak dan memenuhi kewajibannya;
g. Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1(satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak pensiun 1(satu) kali
dalam 1 (satu) tahun;
i. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazin
dan berlaku umum;
j. Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akutansi yang berlaku dalam
penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
k. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara
berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 40
BAB II
BPJS Ketenagakerjaan:
Sistem Baru untuk Indonesia Yang Baru
A. Tentang BPJS Ketenagakerjaan
Setelah diundangkannya UU BPJS, demi mengatur perwujudan
komitmen pemerintah atas kesejahteraan rakyatnya, maka pada tanggal 27
Desember 2013 disahkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang
Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, yang khusus mengatur teknis
pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan.
Perbedaan mendasar antara jaminan sosial yang dikelola BPJS
Ketenagakerjaan dengan jaminan sosial yang dikelola PT. Jamsostek (Persero)
adalah target peserta jaminan sosial. BPJS Ketenagakerjaan mewajibkan seluruh
pekerja untuk mendaftarkan diri menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, tidak hanya
pekerja dari sektor formal namun juga dari sektor informal. Pasal 3 Perpres No.109
Tahun 2013 tentang Pentahapan Kepesertaan Program Jaminan sosial menjelaskan
bahwa peserta program jaminan sosial terdiri atas peserta penerima upah dan peserta
bukan penerima upah, yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 4 bahwa yang
termasuk peserta penerima upah adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja
penyelenggara negara dan pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain
penyelenggara negara. Sedangkan Pasal 7 menjelaskan bahwa yang termasuk peserta
bukan penerima upah adalah pemberi kerja, pekerja diluar hubungan kerja atau
peserta mandiri, dan pekerja yang bukan menerima gaji atau upah.
Perbedaan lain antara jaminan sosial yang dikelola BPJS
Ketenagakerjaan dengan jaminan sosial yang dikelola PT. Jamsostek (Persero)
adalah program yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Pada dasarnya, Pasal 62
ayat 2a UU BPJS mengatur bahwa BPJS Ketenagakerjaan menerima pengalihan aset
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 41
lembaga PT Jamsostek (Persero) dan aset tiga program Jamsostek selain aset JPK
Jamsostek.
Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 64 huruf (b) PP No. 109 Tahun
2013 tentang menjelaskan lebih lanjut bahwa tiga aset Program Jamsostek lainnya,
yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian
dialihkan menjadi aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pemisahan
pengelolaan aset ketiga program tersebut langsung diberlakukan sejak pengalihan,
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Aset program jaminan kecelakaan kerja Jamsostek dialihkan menjadi aset Dana
Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja;
2. Aset program jaminan hari tua Jamsostek dialihkan menjadi aset Dana Jaminan
Sosial Hari Tua;
3. Aset program jaminan kematian Jamsostek dialihkan menjadi aset Dana
Jaminan Sosial Kematian.
4. Aset dan likuiditas dana peningkatan kesejahteraan peserta yang bersumber dari
alokasi laba PT Jamsostek (Persore) beralih menjadi aset dan liabilitas BPJS
Ketenagakerjaan.
Jumlah aset program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan paling sedikit
sebesar jumlah liabilitas kepada peserta pada saat pengalihan aset PT Jamsotek
(Persero) menjadi Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Berikut adalah milestone
perkembangan BPJS Ketenagakerjaan:
1 Januari 2014
Pada saat PT Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari
2014, terjadi serangkaian peristiwa sebagai berikut:9
1. PT Jamsostek dinyatakan bubar tanpa likuidasi dimana semua aset dan
liabilitas, serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) dialihkan kepada
BPJS Ketenagakerjaan.
9 Asih Eka Putri, Seri Buku Saku 2: Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Friedrich-Ebert-Stifung Kantor
Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2014, hlm.17-18.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 42
2. Semua pegawai PT Jamsostek (Persero) menjadi
pegawai BPJS Ketenagakerjaan.
3. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
selaku Rapat Umum Pemegang Saham mengesahkan
laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek
(Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan
publik.
4. Menteri keuangan mengesahkan laporan posisi
keuangan pembuka BPJS Jamsostek dan laporan posisi
keuangan pembuka Dana Jaminan Ketenagakerjaan.
5. BPJS Ketenagakerjaan melanjutkan
penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian, dan jaminan hari tua yang selama
ini telah diselenggarakan oleh PT Jamsostek, termasuk
menerima peserta baru sampai dengan 30 Juni 2015.
1 Juli 2015
BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian dan jaminan hari tua, serta program jaminan pensiun sesuai dengan
ketentuan UU SJSN bagi peserta selain peserta program yang dikelola oleh PT Asabri
(Persero) dan PT Taspen (Persero)
31 Desember 2029
PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero) mengalihkan kepesertaan Pegawai
Negeri Sipil, Prajurit TNI, dan Anggota Polri ke BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Ketenagakerjaan menyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kematian dan jaminan hari tua, serta jaminan pensiun sesuai dengan ketentuan UU
SJSN bagi seluruh pekerja di Indonesia.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 43
B. Spirit BPJS Ketenagakerjaan
Kebijakan pemerintah mengubah PT. Jamsostek (Persero) menjadi BPJS
ketenagakerjaan adalah semata-mata didasari oleh keinginan untuk menyediakan
mekanisme atau sistem jaminan/perlindungan sosial bagi masyarakatnya apabila
dihadapkan pada resiko-resiko dalam kehidupan sosial dan memberikan rasa aman
dan nyaman terhadap para tenaga kerja yang ada di Indonesia dalam menjalankan
tugas. Selama kurang lebih 4 (empat) dekade sistem Jaminan Sosial dijalankan di
Indonesia, pelaksanaannya dinilai belum optimal. Jaminan social dinilai baru
mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh
perlindungan yang memadai. Selain itu ada beberapa kendala yang menyertai
implementasi jaminan sosial di Indonesia, yaitu:
1. Indonesia memiliki populasi penduduk yang besar.
2. Pendataan kependudukan yang belum terpadu.
3. Mekanisme sensus maupun pendataan yang masih belum sempurna.
4. Sistem pencatatan dan perhitungan pendapatan maupun pajak yang belum
comprehensive.
5. Keterbatasan alokasi dana APBN.
Dalam rangka penguatan sistem jaminan nasional, Mukul G Asher
(2010), selaku Guru Besar Lee Kuan Yew School of Public Policy, National
University of Singapore menjelaskan bahwa ada 4 hal yang harus menjadi prioritas:10
1. Modernisasi dan profesionalisasi lembaga penyelenggara jaminan sosial.
2. Reformasi sistemik dan parametik terhadap beberapa komponen dari sistem
jaminan sosial yang ada. Misalnya, memperpanjang usia pensiun dan
memperketat penarikan dana pensiun dengan memperpanjang batas waktu
penarikan tunai yang diperbolehkan sebelum pensiun (pre-retirement withdrawal).
3. Memperkenalkan atau memperluas transfer pendapatan pensiun yang tidak
hanya tergantung pada hubungan pasar tenaga kerja formal atau sepenuhnya
tergantung kontribusi para peserta.
4. Inisiatif-inisiatif lain yang memungkinkan untuk ditempuh sehingga dengan
mendorong lembaga penyelenggara pensiun swasta dan pemilik tabungan
10
Irwan Nur Iswan, Memperkuat Sistem Jaminan Sosial di Indonesia, Warta Jams Edisi 2, 2013.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 44
pensiun individual untuk memperluas sumber pendanaan pensiunnya serta
membagi resikonya. Atas dengan cara menghubungkan tabungan pensiun
dengan harapan hal ini dapat membantu penguatan financial inclusion and social
cohesion.memberikan kontribusi pada penguatan sistem jaminan sosial.
Misalnya
Menyadari akan pentingnya jaminan sosial di Indonesia, secara bertahap
dan setelah melewati proses yang panjang, seiring dengan lahirnya Undang-Undang
No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-
Undang No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai
bentuk perwujudan atas mandat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, sistem jaminan sosial nasional secara perlahan mulai
menampakan percepatan dan perbaikan.
Tujuan besar dari SJSN sebenarnya adalah mensikronisasikan
penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan social yang dilaksanakan oleh beberapa
penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas, yang dalam hal
ini adalah seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, serta memberikan manfaat yang
lebih besar bagi setiap peserta.
Pemikiran mendasar yang melandasi penyusunan SJSN bagi
penyelenggaraan jaminan social untuk seluruh warga Negara adalah sebagai
berikut:11
1. Penyelenggaraan SJSN berlandaskan kepada hak asasi manusia dan hak
konstitusional setiap orang.
2. Penyelenggaraan SJSN adalah wujud tanggung jawab Negara dalam
pembangunan perekonomian nasional dan kesejahteraan social.
3. Program jaminan social ditujukan untuk memungkinkan setiap orang mampu
mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.
4. Penyelenggaraan SJSN berdasarkan asas kemanusiaan dan berkaitan dnegan
penghargaan terhadap martabat manusia.
11
Asih Eka Putri, Op.CIt, hlm.11.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 45
5. SJSN bertujuan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi
setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Arah Pembangunan SJSN dimuat dalam UU No.17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2005. Dari Undang-
Undang tersebut dapat dilihat mimpi dan harapan pemerintah dalam membangun
kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui SJSN. Sesuai dengan spiritnya yaitu
untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, SJSN diharapkan
dapat memenuhi hak-hak rakyat akan pelayanan social dasar dilaksanakan dengan
penyediaan, penataan dan pengembangan Sistem Perlindungan Sosial Nasional
(SPSN). Dengan adanya SJSN yang telah disempurnakan bersama SPSN yang
didukung oleh peraturan perundang-undangan, pendanaan dan Nomor Induk
Kependudukan diharapkan dapat memberi perlindungan penuh kepada masyarakat
luas secara bertahap. Jaminan Sosial juga diselenggarakan untuk kelompok
masyarakat yang kurang beruntung termasuk masyarakat miskin, masyarakat yang
tinggal di wilayah terpencil, tertinggal dan wilayah bencana.
Dengan sistem dan juga tujuan yang baik tentunya bukan hal yang sulit
untuk mewujudkan semua harapan pemerintah untuk memperbaiki negeri. Dengan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 46
semua tujuan tersebut diharapkan bahwa akan terbentuk manusia dengan kualitas
yang baik sehingga dapat dijadikan asset dimana dari tingginya kualitas sumber daya
manusia tentu akan berakibat pada meningkatnya produtivitas tenaga kerja dan
berujung pada baiknya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Guna memperlancar pelaksanaan SJSN, berdirilah BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan telah berhasil memberikan angin baru dan juga harapan
rakyat Indonesia tentang semakin baiknya kesejahteraan yang akan mereka dapat.
Hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, ada beberapa kebijakan baru yang
belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Kebijakan tersebut adalah berupa
kebijakan dasar BPJS dengan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia untuk
menjadi anggota BPJS. Ada perbedaan antara BPJS Kesehatan dengan BPJS
Ketenagakerjaan. Target BPJS Kesehatan adalah untuk seluruh warga Indonesia
tanpa terkecuali, sedangkan target BPJS Ketenagakerjaan adalah seluruh pekerja di
Indonesia, baik yang bekerja di sektor formal maupun di sektor Informal, termasuk
pula tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.
C. Manfaat BPJS Ketenagakerjaan
Tidak dapat dipungkiri, disamping berbagai tujuan dan harapan yang
ingin dicapai oleh BPJS yang akan berpengaruh juga kepada tingkat kehidupan
masyarakat menuju ke arah yang lebih baik, ternyata program Jaminan Sosial dapat
dikatakan melindungi pendapat dan asset keluarga dan menjamin terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak. Bagaimana caranya?12
Program jaminan kesehatan mengambil alih beban dan tanggung jawab
keluarga terhadap biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan untuk mengobati
penyakit yang dialami oleh peserta atau keluarganya. Biaya pelayanan kesehatan,
terutama perawatan di rumah sakit atau pengobatan jangka panjang seringkali
melampaui jumlah pendapatan rutin, sehingga tagihan rumah sakit harus dibiayai
dari penjualan asset atau pengeluaran tabungan. Program jaminan kesehatan
mengatasi resiko ini.
12
Asih Eka Putri, Op.CIt, hlm.35-36.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 47
BPJS Ketenagakerjaan juga tidak kalah penting. BPJS ketenagakerjaan
memiliki fungsi dan peran memberikan perlindungan ataupun manfaat kepada
pekerja yang menjadi peserta. Manfaat pelayanan tersebut terintegrasi pada program-
program jaminan sosial yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan.
Program jaminan kecelakaan menggantikan kehilangan pendapatan
selama pekerja tidak mampu bekerja pasca kecelakaan kerja. Jika pekerja tidak
mampu bekerja selamanya karena cacat tetap totl, atau jika pekerja meninggal dunia,
program jaminan kecelakaan kerja memberi pengganti pendapatan yanghilang
berupa uang pensiun/uang santunan. Program jaminan kecelakaan kerja membiayai
pelayanan kesehatan untuk pengobatan dan oemulihan pasca kecelakaan kerja.
Program jaminan kecelakaan kerja membiayai pelatihan kerja bagi para penyandang
cacat pasca kecelakaan kerja.
Program jaminan kematian mendanai santunan yang diperuntukkan
untuk membiayai penguburan dan memberikan santunan kepada ahli waris.
Program jaminan hari tua memberikan sejumlah dana yang dapat
digunakan untuk membiayai kebutuhan di masa awal pensiun.
Program jaminan pensiun memberikan keberlangsungan pendapatan
kepada pekerja dan keluarganya di masa purna bakti. Program pensiun memberikan
keberlangsungan pendapatan pasca pekerja meninggal dunia kepada janda/duda.
Manfaat pensiun terus berlanjut pasca wafatnya janda/duda pekerja dengan
memberikan pensiun kepada anak yatim piatunya sepanjang anak-anak tersebut
berusia dalam batasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
D. Proses dan Tahapan Kepesertaan
Proses kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan diatur secara khusus di dalam
Bab V mengenai Kepesertaan dan Iuran UU No.40 Tahun 2004 tentang BPJS
sebagaimana digambarkan dalam flow process dibawah ini:
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 48
Pendaftaran
Pemberi kerja secara bertahap wajib untuk mendaftarkan dirinya dan juga
seluruh pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Bagi fakir miskin dan orang kurang mampu akan digolongkan sebagai penerima
bantuan iuran yang akan didaftarkan sebagai peserta jaminan sosial oleh pemerintah.
Hal ini berlaku pula dengan proses pendaftaran kepesertaan BPJS
Ketenagakerjaan. Dikarenakan peserta BPJS Ketenagakerjaan dibagi menjadi 3
(dua) jenis, yaitu:
1. Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara;
2. Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara;
3. Bukan penerima upah.
Maka teknis pendaftarannya pun dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut:
1. Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara
Pemberi kerja secara bertahap wajib untuk mendaftarkan dirinya dan
juga seluruh pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja, program
jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan jaminan kematian secara
bertahap kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Pendaftaran bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja
penyelenggara negara (CPNS, TNI, Polri, Pejabat Negara, Prajurit Siswa TNI,
dan Peserta Didik Polri) dilakukan untuk program jaminan kecelakaan kerja
dan jaminan kematian paling lambat tanggal 1 Juli 2015, sedangkan pendaftaran
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
dilakukan untuk program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun paling
lambat tahun 2029.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 49
2. Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara
Penahapan kepesertaan untuk pekerja yang bekerja pada pemberi kerja
selain penyelenggara negara dikelompokkan berdasarkan skala usaha yang
terdiri atas usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. Pemberi kerja mulai
tanggal 1 Juli 2015 wajib untuk mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS
Ketenagakerjaan untuk mengikuti program yang ada secara bertahap
disesuaikan dengan skala usaha yang dimiliki, yaitu:
a. Usaha besar dan usaha menengah wajib mengikuti program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan
program jaminan kematian.
b. Usaha kecil wajib mengikuti program jaminan kecelakaan kerja, program
jaminan hari tua, dan program jaminan kematian.
c. Usaha mikro wajib mengikuti program jaminan kecelakaan kerja dan
program jaminan kematian.
Dalam hal usaha bergerak di bidang jasa konstruksi yang
mempekerjakan tenaga harian lepas, borongan, dan/atau musiman maka wajib
untuk mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian.
3. Peserta Bukan Penerima Upah
Yang dimaksud dengan peserta bukan penerima upah adalah:
a. Pemberi kerja;
b. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri;
c. Pekerja yang tidak termasuk dalam poin b yang bukan menerima gaji atau
upah.
Bagi pemberi kerja selain wajib untuk mengikuti program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan program jaminan kematian paling lambat
tanggal 1 Juli 2015 juga dapat mengikuti program jaminan pensiun. Bagi pekerja di
luar hubungan kerja atau pekerja mandiri dan pekerja yang tidak bukan menerima
gaji atau upah wajib untuk mengikuti program jaminan kecelakaan kerja dan
program jaminan kematian paling lambat tanggal 1 Juli 2015 dapat mengikuti
program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 50
Pemberian Nomor Identitas Tunggal
Setelah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, maka BPJS
Ketenagakerjaan akan memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta
dan anggota keluarganya. Nomor identitas tunggal adalah nomor yang diberikan
secara khusus oleh BPJS kepada setiap peserta untuk menjamin tertib administrasi
ata shak dan kewajiban setiap peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua
program Jaminan Sosial.
Sudah menjadi kewajiban bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan
informasi tentang hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki oleh peserta. Selain itu,
peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program
jaminan sosial yang diikuti.
Pembayaran Iuran
Besarnya iuran guna jaminan sosial ditentukan berdasarkan presentase dari
upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Dalam suatu hubungan industrial itu
sendiri, pengusaha memiliki kewajiban untuk memungut iuran dari pekerjanya lalu
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut
kepada BPJS Ketenagakerjaan secara berkala.
1. Program Jaminan Hari Tua13
Program Jaminan Hari Tua ditujukan sebagai pengganti terputusnya
penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan
diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari Tua
memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat
tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu.
Besar iuran Jaminan Hari Tua:
a. Ditanggung Perusahaan = 3,7 %
b. Ditanggung Tenaga Kerja = 2%
2. Program Jaminan Kecelakaan Kerja14
13
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/i.php?mid=3&id=15 diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 13:20 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 51
Program Jaminan Kecelakaan Kerja memberikan kompensasi dan rehabilitasi
bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan pada saat dimulai berangkat
bekerja sampai tiba kembali dirumah atau menderita penyakit akibat hubungan
kerja. Iuran untuk program JKK ini sepenuhnya dibayarkan oleh perusahaan.
Rincian besarnya iuran berdasarkan kelompok usaha sebagaimana tercantum
pada iuran.
a. Biaya Transport (Maksimum)
- Darat/Sungai/Danau Rp750.000,00
- Laut Rp1.000.000,00
- Udara Rp2.000.000,00
b. Sementara tidak mampu bekerja
- Empat (4) bulan pertama 100% x upah sebulan
- Empat (4) bulan kedua 75% x upah sebulan
- Seterusnya 50% x upah sebulan
c. Biaya pengobatan/perawatan
Rp 20.000.000,00 (Maksimum) dan Pergantian Gigi Tiruan
Rp2.000.000,00 (Maksimum).
d. Santunan Cacat
- Sebagian-tetap %tabel x 80 bulan upah
- Total-tetap:
Sekaligus 70% x 80 bulan upah
Berkala (24 bulan) Rp200.000,00 per bulan
- Kurang fungsi % kurang fungsi x % tabel x 80 bulan
upah
e. Santunan Kematian
- Sekaligus 60% x 80 bulan upah
- Berkala (24 bulan) Rp200.000,00 per bulan
- Biaya Pemakaman Rp2.000.000,00
14
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/ajaxcontent.php?mid=3&id=17 diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 13:36 WIB
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 52
f. Biaya rehabilitasi diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan
harga yang ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi RS Umum Pemerintah dan
ditambah 40% dari harga tersebut, serta biaya rehabilitasi medik
maksimum sebesar Rp2.000.000,00.
- Prothese/alat oengganti anggota badan
- Alat bantu/othose (kursi roda)
g. Penyakit akibat kerja, besarnya santunan dan biaya pengobatan/biaya
perawatan sama dengan poin b dan poin c.
3. Program Jaminan Kematian15
Program Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahlli waris dari
peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang meninggal bukan karena
kecelakaan kerja. Jaminan Kematian diperlukan sebagai upaya meringankan
beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa
uang. Pengusaha wajib menanggung iuran Program Jaminan Kematian sebesar
0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan adalah Rp21.000.000,00 yang
terdiri dari santunan kematian sebesar Rp14.200.000,00, biaya pemakaman
Rp2.000.000,00 dan santunan berkala.
4. Program Jaminan Pensiun
Program Jaminan Pensiun adalah pembayaran berkala panjang sebagai
substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia
tua (pensiun), mengalami cacat total permanen, atau meninggal dunia. Besar
iuran program ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
5. Sektor Informal16
Pekerja yang termasuk di dalam sektor informal, bertanggung jawab atas
dirinya sendiri dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja sektor
informal dapat mengikuti program Jaminan Sosial secara bertahap dengan
memilih program sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Besaran iuran
adalah sebagai berikut:
15
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/ajaxcontent.php?mid=3&id=18 diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 13:58 WIB. 16
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/ajaxcontent.php?mid=3&id=58 diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 14:58 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 53
a. Jaminan Kecelakaan Kerja 1%
b. Jaminan Hari Tua 2% (Minimal)
c. Jaminan Kematian 0,3%
6. Sektor Konstruksi17
Sektor konstruksi adalah program jaminan sosial bagi tenaga kerja
harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu pada sektor jasa
konstruksi yang diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-
196/Men/1999 tanggal 29 September 1999. Iuran jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor dan besarannya
ditetapkan sebagai berikut:
a. Pekerjaan konstruksi sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
sebesar 0,24% dari nilai kontrak kerja konstruksi.
b. Pekerjaan konstruksi diatas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebesar penetapan poin a
ditambah 0,19% dari selisih nilai, yakni nilai kontrak kerja konstruksi
dikurangi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c. Pekerjaan konstruksi diatas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar penetapan
poin b ditambah 0,15% dari selisih nilai, yakni nilai kontrak kerja konstruksi
dikurangi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
d. Pekerjaan konstruksi diatas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai
dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar penetapan poin c
ditambah 0,12% dari selisih nilai, yakni nilai kontrak kerja konstruksi
dikurangi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
e. Pekerjaan konstruksi diatas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar
penetapan poin d ditambah 0,10% dari selisih nilai Kontrak Kerja
Konstruksi dikurangi RP5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
17
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/ajaxcontent.php?mid=3&id=70 diakses pada tangal 27 Januari 2015 pukul 15:03 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 54
BAB III
Perubahan yang Bukan Tanpa Halangan
A. Tantangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Pembentukan SJSN dilakukan bukan tanpa masalah. Dengan adanya
banyak pembaharuan dan juga sistem yang berbeda dibanding sistem yang pernah
ada, dalam perjalannya SJSN menghadapi banyak tantangan.
Dari segi regulasi, sampai saat ini belum ada harmonisasi peraturan
perundang-undangan antara Undang-Undang yang mengatur mengenai Jaminan
Sosial, Jamsostek, Kesejateraan Sosial, Ketenagakerjaan, Dana Pensiun, dan
Otonomi Daerah. Tidak singkronnya peraturan perundang-undangan tersebut
tentunya kana mengakibatkan banyak sekali kendala terkait dengan implementasi
SJSN dikemudian hari. Selain itu, belum ada tindak lanjut dari pemerintah untuk
membentuk Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan program SJSN.
Peraturan lanjutan memang sudah diterbitkan, yaitu Perpres No.109 Tahun 2013
tentang Pentahapan Kepesertaan Program Jaminan sosial akan tetapi Peratran
tersebut tidak menjelaskan petunjuk pelaksanaan program SJSN. Untuk BPJS
Ketenagakerjaan misalnya, belum ada Peraturan Lanjutan yang mengatur mengenai
iuran bagi fakir miskin dan tidak mampu, jenis dan besarnya manfaat serta besarnya
iuran seluruh program Jaminan yang menjadi ruang lingkup BPJS Ketenagakerjaan,
serta pengelolaan Dana Jaminan Sosial.
Dari segi kepesertaan, baik dari setor formal dan sector informal, cakupan
kepesertaan dinilai belum optimal karena rendahnya tingkat kesadaran masyarakat
akan pentingnya jaminan social ditambah dengan lemahnya penerapan penegakan
hukum yang ada.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 55
B. Kendala dan Resiko
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, tentunya diperlukan suatu
perangkat perundang-undangan khusus untuk mengatur teknis pelaksanaan sehingga
konflik yang terjadi dapat diminimalisir. Kendala pertama yang dihadapi BPJS
ketenagakerjaan adalah minimnya kepesertaan. Bapak Abdul Latief Alqaf, Kepala
Biro 5DM BPJS menjelaskan bahwa sejak diluncurkan awal 2014 lalu, nyatanya
partisipasi BPJS Ketenagakerjaan baru mencapai 12-13 juta peserta. Rinciannya, 12
juta berasal dari kapalngan pekerja sektor formal, dan 1 juta peserta berasal dari
kalangan pekerja informal. Tingkat kepesertaan tersebut baru mencapai sekitar 30
persen dari total pekerja di Indonesia yang jumlahnya mencapai 120 juta jiwa.18
Kendala lain yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan adalah kenyataan
bahwa ternyata dalam pelaksanaannya masih banyak perusahan yang tidak
melaporakan gaji karyawannya secara benar, atau tidak mengikutsertakan seluruh
karyawannya menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan.
Kendala-kendala yang ada tidak dapat dilepaskan dari masih rendahnya
kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya BPJS Ketenagakerjaan
yang menyebabkan adanya salah persepsi mengenai eksistensi BPJS
Ketenagakerjaan itu sendiri. Timbul kekhawatiran yang besar dikalangan pengusaha
mengenai kemungkinan bahwa akan ada biaya besar yang harus dikeluarkan untuk
membayar kewajiban BPJS Ketenagakerjaan. Alasannya, alih-alih menjadi
substitusi, keikutsertaan wajib akan menjadi sia-sia apabila manfaat yang ditawarkan
BPJS ketenagakerjaan justru tidak lebih baik dibandingkan dengan yang ditawarkan
perusahaan, sedangkan tambahan biaya yang dikeluarkan tersebut akan berpengaruh
pada kestabilan bisnis perusahaan.
Kekhawatiran yang ada bukan tanpa alasan. Pasalnya, besar prosentase
iuran program jaminan sosial yang ada pun belum ditetapkan secara pasti oleh
pemerintah. Program Jaminan Pensiun misalnya, program ini akan resmi
dilaksanakan pada bulan Juli 2015, akan tetapi sampai saat ini belum ada peraturan
18 Sindo, Implementasi BPJS Ketenagakerjaan Sudah Baik, Partisipasi Harus Digenjot, http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=5406 diakses pada tanggal 28 Januari 2015 pukul 7:30 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 56
lanjutan yang mengatur mengenai teknis dan besarnya iuran yang harus dikeluarkan
perusahaan.
Bagai dua sisi mata uang, disatu sisi sebagai warga negara yang baik
tentunya masyarakat, khususnya pengusaha, harus dapat mendukung seluruh
kebijakan yang ditetapkan pemerintah, karena ujungnya pun untuk kesejahteraan
bersama. Akan tetapi di sisi lain, pemerintah belum menyiapkan peraturan
perundang-undangan serta sistem yang baik sehingga hal tersebut dapat
menimbulkan potensi konfllik yang sangat tinggi dalam hubungan industrial
Indonesia.
Tindakan perusahaan untuk mengulur atau menunda kewajibannya untuk
mendaftarkan karyawannya dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan berpengaruh
besar dalam pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan itu sendiri. Masalahnya, sistem
jaminan sosial yang dijalankan BJPS ketenagakerjaan diwujudkan oleh adanya iuran
peserta dan anggaran pemerintah untuk menjamin manfaat bagi peserta.
Iuran yang dibayarkan oleh peserta adalah tulang punggung pendanaan BPJS
Ketenagakerjaan. Iuran peserta menjadi
bagian terbesar dari dana jaminan sosial
yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Peserta bergotong royong membayar
iuran jaminan sosial. Peserta yang
berpenghasilan lebih tinggi akan
membayar iuran yang lebih besar
daripada peserta yang berpenghasilan
lebih rendah. Bagi pekerja yang menerima
upah, besaran iuran dihitung proporsional
terhadap upah/gaji. Bagi pekerja yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan
nominal bertingkat-tingkat sesuai pendapatan.
Dana jaminan sosial sebesar-besarnya dipergunakan oleh membiayai
manfaat jaminan sosial, dan hanya sebagian kecil digunakan untuk membiayai
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 57
administrasi penyelenggaraan jaminan sosial. Biaya admnistrasi paling tinggi 10%
dari pendapatan iuran BPJS Ketenagakerjaan.19
Dengan terhambatnya cash flow jaminan sosial karena keengganan
pengusaha untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan, maka dipastikan sistem
BPJS Ketenagakerjaan tidak akan berjalan dengan baik. BPJS Ketenagakerjaan tidak
akan mendapat masukan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan dari program
jaminan sosial bagi pekerja yang berpenghasilan lebih rendah.
Terlihat, kekhawatiran pengusaha akan berdampak sistemik terhadap
pelaksanaan sistem jaminan sosial di Indonesia, khususnya bagi program jaminan
sosial yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Dengan adanya dampak tersebut
tentunya tujuan mulia BPJS Ketenagakerjaan untuk mensejahterakan seluruh tenaga
kerja di Indonesia tidak akan tercapai.
Proses pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan memang dapat dikatakan jauh
dari kata sempurna. Dalam prosesnya, masih banyak hal yang harus diperbaiki.
Akan tetapi, mengingat tujuannya yang mulia, tentunya sebagai warga negara yang
baik, semua pihak harus dapat menjadi bagian dari proses perbaikan Indonesia
dengan cara mendukung dan mengawal pelaksanaan sistem jaminan sosial yang ada.
Sebelum era SJSN, penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang
Ketenagakerjaan diselenggarakan secara terpisah berdasarkan profesi, sehingga
peraturan perundang-undangan yang mengatur pun terpisah. Dengan berlakunya
UU SJSN dan UU BPJS, pengaturan Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan yang
masuk dalam katagori manfaat dasar diatur secara integral tanpa membedakan
profesi. Sedangkan untuk kategori manfaat tambahan Jaminan Sosial Bidang
Ketenagakerjaan, akan diatur secara terpisah dengan memperhatikan harmonisasi
antar peraturan perundang-undangan terkait. Hal tersebut menjadi landasan dalam
penyusunan peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS, termasuk yang terkair
dengan Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan.
19
Asih Eka Putri, Op.CIt, hlm.32-33.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 58
BAB IV
Responsibilitas BPJS Ketenagakerjaan terhadap Program Bawaan
PT. Jamsostek (Persero)
Berkembangnya jaman dan berubahnya situasi di negara kita mengakibatkan tuntutan akan
kesejahteraan rakyat menjadi semakin tinggi. Berdasarkan UUD NKRI 1945 yang
mengamanahkan akan terjaminnya kesejahteraan rakyat, pemerintah terus melakukan
perbaikan sistem Jaminan Sosial di Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang,
pada tahun 2004 lalu pemerintah telah secara resmi melakukan perbaikan kembali atas
sistem Jaminan Sosial Negara melalui pengesahan Undang-Undang No.40 tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dengan berlakunya UU SJSN, terjadi
perubahan signifikan di dalam struktur kelembagaan Jaminan Sosial, yaitu meleburnya PT.
Jamsostek menjadi Badan Penjamin Jaminan Sosial (BPJS) yang kemudian terbagi kembali
menjadi dua jenis, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan meleburnya
PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan maka segala tanggung jawab secara otomatis
akan berpindah ke tangan BPJS Ketenagakerjaan, termasuk tanggung jawab untuk
menyelenggarakan program-program Jaminan Sosial yang sebelumnya diselenggarakan
oleh PT. Jamsostek, yaitu:
1. Program Jaminan Hari Tua
2. Program Kecelakaan Kerja; dan
3. Program Jaminan Kematian.
Adanya transformasi dan perubahan kelembagaan bukanlah suatu alasan atas berkurangnya
benefit dan juga penurunan tingkat kualitas program Jaminan Sosial yang dirasakan
masyarakat. Sehingga berdasarkan hal tersebut, ditambah dengan berubahnya keadaan dan
spirit negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui kualitas Jaminan Sosial
yang baik, maka tentunya harus dilaksanakan perubahan sistem dan teknis program ke arah
yang lebih baik.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 59
Menyadari betapa pentingnya hal tersebut, BPJS Ketenagakerjaan menambahkan program
Jaminan Pensiun ke dalam daftar program yang diampunya, dan menerapkan kebijakan
agar seluruh pekerja wajib terdaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan paling lambat
pada 1 Juli 2015 mendatang.
Secara teori, segala kebijakan yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan merupakan
kebijakan yang sangat baik mengingat sampai saat ini tingkat kesejahteraan pekerja di
Indonesia masing sangat rendah dimana tidak ada kesadaran baik dari pihak pengusaha
sebagai pemberi kerja dan pekerja untuk tergabung dalam lembaga Jaminan Sosial. Akan
tetapi di sisi lain, ternyata masih banyak kendala yang menghadang implementasi
kebijakan-kebijakan tersebut. Untuk mengetahui halangan-halangan apa saja yang timbul,
ada perlunya bagi kita untuk dapat memahami seperti apa program yang ditawarkan BPJS
Ketenagakerjaan. Berikut adalah penjelasan singkat terkait program-program Jaminan
Sosial yang diampu oleh BPJS Ketenagakerjaan beserta halangan dan tantangan yang
dihadapinya.
A. Program Jaminan Hari Tua
Merencanakan kehidupan di hari tua, seyogyanya dilakukan setiap orang. Sebab di masa
saat kita tak lagi produktif, kita akan tetap memiliki kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi. Oleh karena itu, mempersiapkan hari tua sejak masih muda merupakan suatu hal
yang bijak untuk dilakukan.
Menyadari betapa pentingnya kesejahteraan rakyat Indonesia di hari tua, maka BPJS
Ketenagakerjaan kembali menyelenggarakan program Jaminan Hari Tua yang sebelumnya
diampu oleh PT. Jamsostek.
Program Jaminan Hari Tua adalah program jangka panjang yang diberikan secara sekaligus
sebelum peserta memasuki masa pensiun,bisa diterimakan kepada Janda/duda, anak atau
ahli waris peserta yang sah apabila peserta meninggal dunia. Tujuan diselenggarakannya
program ini adalah untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap resiko-resiko
sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga
kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya resiko-resiko sosial dengan pembiayaan yang
terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja. Program Jaminan Hari Tua diharapkan dapat
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 60
memberi kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat tenaga kerja
mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu.
UU SJSN menjelaskan bahwa Program Jaminan Hari Tua diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib dengan rincian sebagai berikut:
Prinsip asuransi sosial didasarkan pada mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran
antara pekerja dan pemberi kerja.
Prinsip tabungan wajib didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua
berasal dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya.
Manfaat program jaminan hari tua dibayarkan sekaligus saat peserta memasuki usia
pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap, berupa uang tunai yang
merupakan seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil
pengembangannya.
Ketentuan pembayaran iuran Jaminan Hari Tua diatur didalam Pasal 36 UU SJSN, yaitu:
1. Bagi pekerja penerima upah, iuran proporsional terhadap upah atau penghasilan dan
iuran ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja, dengan komposisi sebagai
berikut:
- Ditanggung perusahaan: 3,7%
- Ditanggung Tenaga Kerja: 2%
2. Bagi pekerja tidak menerima upah, besar iuran dalam jumlah nominal dan ditetapkan
oleh Pemerintah.
Jaminan Hari Tua akan dikembalikan/dibayarkan sebesar iuran yang terkumpul ditambah
dengan hasil pengembangannya, apabila tenaga kerja:
1. Mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap.
2. Mengalami PHK setelah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa
tunggu 1 bulan.
3. Pergi keluar negeri tidak kembali lagi, atau menjadi PNS/POLRI/ABRI.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 61
B. Program Jaminan Kecelakaan Kerja
Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik tahun 2014, jumlah
angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta jiwa,
bertambah sebanyak 5,2 juta orang dibandingkan dnegan angkatan kerja pada bulan
Agustus 2013 yang sebesar 120,2 juta jiwa atau bertambah sebanyak 1,7 juta jiwa
dibanding bulan Februari 2013. Selain itu, jumlah penduduk yang bekerja di
Indonesia pada Februari 2014 mencapai 118,2 juta jiwa, bertambah sebanyak 5,4
juta jiwa dibandingkan dengan bulan Agustus 2013 yang berjumlah 112,8 juta jiwa
atau bertambah 1,7 juta jiwa dibanding keadaan bulan Februari 2013.20
Besarnya jumlah pekerja di Indonesia sayangnya tidak selaras dengan tingkat
kesejahteraan, khususnya jaminan keamanan dan kenyamanan kerja bagi para
pekerja. Dari data statistik kecelakaan kerja yang dikeluarkan PT. Jamsostek
(Persero), sepanjang 2012 telah terjadi 103.074 kasus kecelakaan kerja. Dengan
demikian maka rata-rata terjadi 382 kasus kecelakaan kerja setiap harinya. Tingginya
tingkat kecelakaan kerja menunjukkan bahwa masalah keselamatan kerja belum
mendapat perhatian baik dari pihak pekerja, pengusaha, dan juga pemerintah.
Menyadari pentingnya menjaga keselamatan dan menciptakan suasana kerja yang
nyaman dan aman, maka Pada Tahun 1992 Pemerintah membuat kebijakan pertama
terkait Jaminan Kecelakaan Kerja melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Berdasarkan UU Jamsostek, yang dimaksud dengan kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termausk penyakit yang
timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam
perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui
jalan yang biasa atau wajar dilalui. Oleh karena itu, pekerja yang tertimpa
kecelakaan kerja berhak untuk menerima Jaminan Kecelakaan Kerja yang meliputi:
1. Biaya pengangkutan;
2. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan;
3. Biaya rehabilitasi; dan
4. Santunan berupa uang.
20
Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, No.38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 62
Berikut ini adalah kriteria ruang lingkup kecelakaan kerja:
1. Pada Waktu Kerja
a. Termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju
tempat kerja atau pulang dari tempat kerja ke rumah melalui jalan yang biasa
ditempuh dan wajar;
b. Pada waktu melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas, kewajiban dan
tanggung jawab sehari-hari yang diberikan oleh perusahana di tempat kerja
maupun di luar tempat kerja selama waktu kerja;
c. Kecelakaan yang terjadi di luar jam kerja tetapi masih dalam wkatu kerja,
seperti jam istirahat;
d. Kecelakaan yang terjadi dalam tugas ke luar kota/ negeri, yaitu selama
perjalanan dari rumah/ tempat kerja menuju ke tempat dan perjalanan pulang
kembali sesuai dengan surat tugas yang diberikan dan selama menjalankan
tugas/pekerjaan di tempat tujuan. Semua kecelakaan yang terjadi di tempat
penugasan/pekerjaan di tempat tujuan. Semua kecelakaan yang terjadi di
tempat penugasan/pekerjaan merupakan kecelakaan kerja. Di luar itu,
termasuk pula selama yang bersangkutan berangkat dari tempat penginapan/
pemondokan menuju ke tempat kerja sampai pulang kembali, kecuali dapat
dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi di luar pengertian tersebut ada
hubungannya dengan tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan.
e. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan kerja lembur yang harus
dibuktikan dengan surat perintah lembur; dan
f. Perkelahian di tempat kerja juga dianggap kecelakaan kerja.
2. Di Luar Waktu Kerja
a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melaksanakan kegiatan olah raga yang
harus dibuktikan dengan surat tugas dari perusahaan;
b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu mengikuti pendidikan yang merupakan
tugas dari perusahaan dan harus dibuktikan dengan s urat tugas;
c. Kecelakaan yang terjadi di sebuah perkemahan yang berada di lokasi kerja
(base camp) di luar jam kerja dan di luar waktu kerja (tidur, istirahat) serta
yang bersangkutan bebas dari setiap urusan pekerjaan. Jika kecelakaan terjadi
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 63
di luar radius Hak Pengelolaan Hutan/ areal/ lokasi radius hak pengelolaan
Hutan/areal/lokasi harus ada surat tugas.
3. Meninggal Mendadak
Meninggal mendadak dapat dikategorikan akibat kecelakana dalam hubungan
kerja akibat tenaga kerja karena suatu alasan baik di lokasi kerja maupun dalam
perjalan ke dan dari lokasi kerja, tanpa sempat mengalami rawat inap atau
mengalami rawat inap, tetapi tidak melebihi 24 jam terhitung sejak pada jam
ditangani dokter/para medis, langsung meninggal dunia.
4. Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dianggap sebagai kecelakaan kerja
dan bisa terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses dalam jangka waktu
tertentu.
a. Jenis dan persyaratan penyakit akibat kerja sesuai dengan ketentuan dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. KEP-
116/MEN/1977 beserta lampirannya;
b. Tata cara diagnosis dan pelaporan penyakit akibat kerja berpedoman pada
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KPTS/333/MEN/1989.
5. Cacat Akibat Kecelakaan Kerja
Cacat akibat kecelakaan kerja adalah hilangnya anggota badan sehingga tidak
dapat dipergunakan sama sekali atau tidak dapat dipergunakan secara sempurna
untuk melakukan pekerjaan:
a. Cacat anatomi yakni hilangnya anggota badan atau sebagian dari anggota
badan;
b. Cacat fungsi yakni hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan.
Sementara itu yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai kecelakaan kerja adalah:
1. Kecelakaan yang terjadi pada wkatu cuti, yakni yang bersangkutan sedang bebas
dari urusan pekerjaan yang menjaid tugas dan tanggung jawabnya. Jika yang
bersangkutan mendapat panggilan atau tugas dari perusahaan, maka dalam
perjalanan untuk memenuhi panggilan tersebut, yang bersangkutan sudah
dijamin oleh Asuransi Kecelakaan Kerja.
2. Kecelakaan yang terjadi di perkemahan yang tidak berada di lokasi/tempat kerja.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 64
3. Kecelakaan yang terjadi dalam rangka melakukan kegiatan yang bukan
merupakan tugas dari atasan/ untuk kepentingan perusahaan;
4. Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan meninggalkan tempat
kerja untuk kepentingan pribadi.
Terkait dengan perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja, perhitungan
dilakukan oleh PT. Jamsostek. Bilamana perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan
Kerja tidak sesuai, maka pegawai pebgawas ketenagakerjaan yang menetapkannya
sesuai peraturan perundnag-undangan yang berlaku. Adapan peraturan yang
melaksanakan penerapan perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja adalah
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 609
Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja.
Dalam perjalanannya, dengan berubahnya sistem jaminan sosial Indonesia dengan
berlakunya UU SJSN tahun 2004, maka terjadi transformasi PT. Jamsostek (Persero)
menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Terkait dengan transformasi ini, berdasarkan UU
BPJS, Jaminan Kecelakaan Kerja kembali menjadi concern pemerintah. Jaminan
Kecelakaan Kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan pronsip asuransi
sosial dan diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta memperoleh
manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang pekerja
mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja. Selain itu,
besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah sebesar presentase tertentu dari
upah atau penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja.
Dalam halaman resmi BPJS Ketenagakerjaan dikatakan bahwa Jaminan Kecelakaan
Kerja memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan pada saat dimulai berangkat bekerja hingga tiba kembali dirumah atau
menderita penyakit akibat hubungan kerja.
Iuran untuk program ini sepenuhnya dibayarkan oleh perusahaan. Perincian
besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha, yaitu:21
1. Kelompok I: 0,24% dari upah sebulan;
21
http://www.bpjs.info/program/Jaminan_Kecelakaan_Kerja-20/ diakses pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 10:24 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 65
2. Kelompok II: 0,54% dari upah sebulan;
3. Kelompok II: 0,89% dari upah sebulan;
4. Kelompok IV: 1,27% dari upah sebulan;
5. Kelompok V: 1,74% dari upah sebulan.
Adapun peentuan Kelompok I hingga Kelompok V ditentukan bidang usahanya
dalam lampiran PP No.14 Tahun 1993 tentang ______. Penentuan kelompok ini
didasarkan pada tinggi-rendahnya resiko yang kemungkinan akan muncul dalam
bidang usaha yang dijalani, yaitu:
1. Kelompok I
Terdapat 19 jenis usaha, antara lain usaha peternakan,pabrik sabun, perusahaan
perak, penyiaran radio serta hotel dan rumah makan. Pada dasarnya meliputi
industri, perdagangan, perbankan dan peternakan.
2. Kelompok II
Terdapat 29 jenis usaha, meliputi pertanian, pabrikan perfilman dan jasa hiburan.
3. Kelompok III
Terdapat 99 jenis usaha meliputi pelayaran, kehuutanan, industri percetakan,
industri minyak nabati, perusahaan air dan perhotelan.
4. Kelompok IV
Terdapat 13 jenis usaha antara lain reparasi kendaraan bermotor dan perusahaan
kereta api.
5. Kelompok V
Terdapat 28 jenis usaha anatara lain pabrik bahan peledak, pertambangan
minyak mentah dan gas bumi, penebangan pohon, penangkapan ikan serta
pengangkutan barang-barang dan penumpang di laut dan udara.
Dengan demikian, pada dasarnya Jaminan Kecelakaan Kerja yang diselenggarakan
oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan penyelenggaraan Jaminan Kecelakaan
Kerja yang diatur dalam UU SJSN sampai dengan beroperasinya BPJS
Ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli 2015. Ketentuan tersebut antara lain mengatur
bahwa peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat
berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan
manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 66
Selain itu, manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan
sekalligus kepada hali waris yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai
dengan tingkat kecacatan.
C. Program Jaminan Kematian
Kematian muda atau kematian dini pada umumnya menimbulkan kerugian financial
bagi mereka yang ditinggalkan. Kerugian ini dapat berupa kehilangan mata
pencaharian atau penghasilan dari yang meninggal, dan kerugian yang diakibatkan
oleh biaya perawatan selama yang bersangkutan sakit serta biaya pemakaman. Oleh
karen aitu, dalam Program Jaminan Sosial pemerintah mengadakan program
Jaminan Kematian.22
Jaminan kematian adalah jaminan yang diberikan kepada ahli waris/keluarga
tenaga kerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja guna meringankan keluarga
dalam bentuk santunan kematian dan biaya pemakaman. Undang-Udang Jamsostek
mengatur bahwa pengusaha wajib menanggung iuran Program Jaminan Kematiann
sebesar 0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan adalah Rp 12 juta yang
terdiri dari uang santunan kematian sejumlah Rp 10 juta dan biaya pemakaman
sejumlah Rp 2 juta serta santunan berkala, dengan rincian sebagai berikut:
1. Santunan kematian : Rp14.200.000,00
2. Biaya pemakaman : Rp2.000.000,00
3. Santunan berkala : Rp 200.000,00 setiap bulan selama paling lama 24 bulan.
Dengan diberlakukannya UU BPJS dan beralihnya pertanggung jawaban atas
program Jaminan Kematian kepada BPJS Ketenagakerjaan, sampai saat ini
pengaturan mengenai program ini tetap berpaku pada ketentuan yang ada
sebelumnya hingga diterbitkan peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut.
D. Program Jaminan Sosial dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional
Dengan beralihnya tanggung jawab untuk melaksanakan program Jaminan Sosial
yang ada ke tangan BPJS Ketenagakerjaan, maka tentunya BPJS Ketenagakerjaan
22
Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hlm.122.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 67
berkewajiban untuk menentukan kebijakan-kebijakan baru terkait program-program
yang ada disesuaikan dengan visi dan misi organisasi serta kondisi negara saat ini,
terlebih dengan adanya Undang-Undang yang mengamanatkan agar seluruh tenaga
kerja wajib untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tanggal 1
Juli 2015. Amanah yang ada tentunya tidak hanya berdampak pada BPJS
Ketenagakerjaan sebagai badan penyelenggara akan tetapi juga kepada seluruh
lapisan pelaku usaha, termasuk pengusaha sebagai pemberi kerja. Dengan adanya
ketentuan tersebut, mau tak mau pengusaha harus menyesuaikan segala kebijakan
yang ada dengan keadaan perekonomian dan pasar sehingga stabillitas bisnis
perusahaan dapat tetap terkendali.
Sampai saat ini, pengaturan dan teknis pelaksanaan program Jaminan Sosial yang
dikelola PT. Jamsostek (Persero) yaitu Program Jaminan Hari Tua, Program
Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Program Jaminan Kematian tetap berpaku pada
Undang-Undang Jamsostek dan segala peraturan pelaksana turunannya karena
berdasarkan UU SJSN, BPJS Ketenagakerjaan akan mulai beroperasi paling lambat
pada tanggal 1 Juli 2015. Namun pada saat mulai beroperasinya BPJS
Ketenagakerjaan, UU Jamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Akan
tetapi, sampai saat ini tidak ada kejelasan mengenai penetapan kecelakaan kerja
karena di dalam UU BPJS belum diatur mengenai penetapan kecelakaan kerja.
Terkait dengan Program Jaminan Hari Tua misalnya. UU SJSN mendelegasikan 2 aspek
teknis penyelenggaraan program Jaminan Hari Tua untuk diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Kedua aspek teknis tersebut adalah iuran dan manfaat. Ketentuan tentang
iuran Jaminan Hari Tua yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah mencakup:
1. Presentase upah untuk penetapan besaran nominal iuran bagi peserta penerima
upah.
2. Jumlah nominal iuran jaminan hari tua bagi peserta yang tidak menerima upah.
Sedangkan ketentuan tentang manfaat Jaminan Hari Tua yang didelegasikan untuk diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah mencakup:
1. Pembayaran manfaat sebagian
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 68
2. Ahli waris penerima manfaat.
Lalu terkait dengan Program Kecelakaan Kerja, dengan beroperasinya program
Kecelakaan Kerja BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Juli 2015 maka pengaturan
Jaminan Kecelakaan Kerja dalam UU Jamsostek tetap berlaku, termasuk dengan
peraturan pelaksana di bawahnya, yakni Kepmenakertrans Nomor 609 Tahun 2012
tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja.
Hingga saat ini, menunggu waktu pelaksanaan wajib terdaftar BPJS Ketenagakerjaan bagi
pekerja swasta yang akan dilaksanakan bulan Juli 2015 esok, belum ada peraturan
pemerintah yang dimaksud guna mendukung pelaksanaan program Jaminan Sosial yang
ada. Tentunya hal ini patut menjadi perhatian karena dengan adanya ketidakpastian akan
menimbulkan potensi konflik hubungan industrial yang cukup tinggi. Pada saat-saat seperti
ini, dituntut profesionalisme organisasi dan lembaga terkait: BPJS Ketenagakerjaan sebagai
lembaga penyelenggara untuk dengan segera membuat peraturan pelaksana yang baru, dan
juga pengusaha untuk dapat terus memberikan gambaran kondisi di lapangan dan
mengawal proses pembuatan kebijakan agar tetap relevan dengan situasi yang ada.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 69
BAB V
Implementasi Sistem Jaminan Sosial di Berbagai Negara
Penyelenggaraan jaminan sosial di berbagai negara sangat bergantung dari
latar belakang sistem politik, sosial, dan ekonomi suatu negara. Namun demikian, ada pola-
pola umum yang dapat diamati karena sesungguhnya ada prinsip universal yang berlaku di
dunia. Di sebagian besar negara yang telah menyelenggarakan jaminan sosial, baik sebagai
suplemen atau komplemen (pelengkap) asuransi wajib dikelola secara nirlaba. Coheur
(2008) menjelaskan bahwa penyelenggaraan skema tersebut mempunyai karakter:
1. Solidaritas sosial dengan membayar kontribusi/iuran;
2. Tidak ada pemegang saham dan tidak ada laba yang dibagikan sebagai deviden. Seluruh
dana yang terkumpul dikelola dan diinvestasi tetapi seluruh hasil investasi digunakan
untuk melayani peserta atau diinvestasikan kembali;
3. Manajemen yang bebas dari keterikatan dengan lembaga lain, demokratik, dan
participatory.
4. Otonomi manajemen. Bentuk organisasi ini sudah lama dikenal di Eropa sejak abad
pertengahan dengan istilah “mutual benefit societies”.
Dalam asuransi sosial, prinsip utamanya bukan full risk-
transfer dalam setting bisnis spekulasi bagi pemegang saham atau pengusaha tetapi solidaritas
sosial (gotong royong) menyediakan manfaat maksimal bagi peserta. Manajemennya
menggunakan prinsip asuransi. Karena tujuan utamanya solidaritas sosial, maka
mekanisme ini disebut asuransi sosial. Prinsip lanjutannya adalah nirlaba. Karena ciri
utama asuransi sosial adalah kewajiban berkontribusi bagi yang memiliki penghasilan diatas
batas tertentu (dalam hukum perpajakan dikenal PTKP, penghasilan tidak kena pajak),
maka pengelolaannya tidak bisa disamakan dengan asuransi komersial yang bersifat
sukarela. Dalam asuransi sosial, premi (iuran/kontribusi) ditetapkan oleh undang-undang
atau peraturan pemerintah, bukan oleh asuradur. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika
asuradur tidak menanggung risiko. Siapa yang harus menangggung jika ada defisit?. Dalam
konsep asuransi sosial, tidak ada pemegang saham yang akan mendapat dividen jika ada
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 70
laba dan harus menanggung kerugian jika terjadi risiko yang lebih besar (defisit). Pemegang
sahamnya adalah seluruh peserta. Maka jika ada surplus atau laba, surplus itu harus
dikembalikan kepada peserta (members) dalam bentuk manfaat yang baik atau diivestasikan
lagi untuk kepentingan peserta di masa datang. Atau skema manfaat diubah dengan
meningkatkan manfaat atau mengurangi iuran. Jika ada “kerugian” atau defisit karena
klaim lebih besar dari yang diperhitungkan, maka pemegang saham (peserta) harus
menanggung bersama. Biasanya dilakukan dengan menaikan iuran di kemudian hari dalam
sistem Bismark (asuransi sosial). Prinsip tersebut sama dengan prinsip anggaran belanja
negara. Jika ada surplus, maka surplus diluncurkan untuk tahun berikutnya dan jika ada
defisit maka dicari sumber tambahan, apakah menjual aset negara atau menaikan pajak
dalam sistem Beveridge, semua dijamin Pemerintah (Henke and Schreyogg, 2005). Dengan
prinsip yang sama, di banyak negara Pemerintah membayar, menanggung sebagian
dana atau memberi subsidi. Selain dana dari Pemerintah untuk biaya operasional, subsidi
iuran bagi penduduk di sektor formal atau informal, Pemerintah juga membayar iuran
penuh bagi penduduk di bawah garis pendapatan tertentu. Hal ini merupakan praktik yang
lazim.23
Konsep “iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu dibayar
Pemerintah” dalam UU SJSN merupakan implementasi dari praktik lazim tersebut. Hal ini
sering tidak difahami oleh banyak kalangan di Indonesia sehingga kritik tentang Askeskin
bukan asuransi sering kita dengar. Dengan prinsip tersebut diatas, maka sering terjadi
bahwa Jaminan Sosial dikelola oleh pemerintah atau badan khusus yang dibentuk oleh
pemerintah secara nasional sebagai single payer. Bentuk NHI sebagai pembayar tunggal
terakhir dapat diamati di Afrika Selatan. Pertimbangan Afrika Selatan memiliki pembayar
tunggal adalah untuk meminimalkan biaya administrasi, biaya transaksi iuran maupun
pembayaran, mempunyai kekuatan monopsoni, memaksimalkan subsidi silang antar
penduduk di seluruh negeri, dan menjamin bahwa amanat konstitusi untuk memenuhi hak
sehat seluruh rakyat terpenuhi. Seperti halnya yang diingankan UU SJSN di Indonesia,
JKN di Afrika Selatan merupakan sub-sistem dari Sistem Jaminan Sosial untuk Seluruh
Rakyat, social security for all (PAU, 2007). Kekuatan monopsoni adalah kekuatan badan
23
ISSA, 2007. World Social Security Forum 29th Issa General Assembly. Developments And Trends
Supporting Dynamic Social Security: Geneva.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 71
Jaminan Sosial sebagai pembayar tunggal menetapkan tarif yang untuk fasilitas kesehatan
publik maupun swasta sehingga dengan sendirinya pembayar tunggal akan mampu
mengendalikan biaya kesehatan. Tidak ada alasan fasilitas swasta tidak mau menerima
pembayaran, karena biaya untuk seluruh penduduk hanya dibayar oleh badan Jaminan
Sosial tersebut. Kemampuan monopsoni dalam menekan biaya kesehatan dapat diamati
antara lain di Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Muangtai, Inggris, Kanada, Australia dan
Malaysia. Mereka yang ingin tahu lebih banyak sesungguhnya dapat mencari sumber dari
ISSA (International Social Security Association) yang didirikan tahun 1927 yang memiliki
anggota 350 organisasi penyelenggara jaminan sosial dari 150 negara.24
Pengelolaan Jaminan Sosial secara nasional dengan pembayar tunggal
semakin banyak, meskipun juga semakin kontroversial. Swedia di tahun 2005 juga
melakukan perubahan struktural dengan membentuk satu badan khusus publik Social
Insurance Agency yang menggantikan The National Social Insurance Office. Reformasi ini
memisahkan pengelolaan badan khusus nirlaba dari pengelolaan langsung oleh Pemerintah
(office). Pada tahun 1998, di Australia mempunyai Centrelink yang merupakan sebuah
badan publik nirlaba yang bekerja mirip badan hukum privat dengan tujuan meningkatkan
efisiensi dan efektifitas. Centrelink meningkatkan efisiensi dan koordinasi dari lima badan
(agencies) lain di bawah the Department of Social Services yaitu Health Insurance Commission;
Child Support Agency; Health Services Australia; Commonwealth Rehabilitation
Services; dan Australian Hearing. Di Slowakia tahun 2004 juga membentuk the Slovakian Social
Insurance Agency yang mengelola asuransi sosial jaminan bagi tenaga kerja yang terkena
PHK. Sebelumnya program ini dikelola oleh pemerintah yaitu the National Labour Office.
China tahun 2005 menggabungkan penyelenggaraan asuransi sosial dan bantuan sosial
(mirip juga dengan yang diatur UU SJSN) ke dalam satu struktur badan publik (public
enterprises). Tahun 2006 Turki menggabungkan tiga penyelenggara (organisasi) the Pension
Fund for Civil Sercants (semacam Taspen di Indonesia), the Social Insurance Institution for
Workers (semacam Jamsostek), dan the Social Insurance Organisastion for the Self-
Employed (semacam program Jamkesmas) untuk efisiensi, kemudahan dan efektifitas. Selain
itu, Turki juga mendirikan sebuah badan Universal Sicknes Insurance Scheme yang
24
ISSA, 2008. ISSA Annual Review 2007-2008. P1: Geneva.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 72
menggabungkan berbagai badan penyelenggara yang sebelimnya dibentuk. Hal itu untuk
memudahkan bagi penduduk, penyeragaman, efisiensi dan efektifitas. Di Prancis, The
FrenchSocial Scheme for the Self-Employed (Régime social des independents (RSI)) juga
menggabungkan (merger) berbagai skema asuransi sosial dengan memulai administrasi
bersama untuk efisiensi dan kemudahan bagi peserta. Hanya saja di Indonesia, penyatuan
keempat BUMN menjadi satu badan publik nirlaba mendapat tantangan berat.25
Jaminan sosial merupakan komitmen dan piranti negara dalam
mewujudkan keadilan sosial melalui mekanisme income transfer atau redistribusi
pendapatan (Spicker, 1995). Misalnya, sejalan dengan kebijakan full-employment, warga
negara yang belum (anak-anak), tidak dapat (cacat, masa tua), sedang tidak (temporary
unemployed) bekerja mendapat social benefits dari pemerintah. Dalam literatur maupun
praktik di negara maju dan berkembang, jaminan sosial ini umumnya diselenggarakan
secara terstandar melalui mekanisme dan sistem jaminan sosial nasional di bawah otoritas
Ministry of Social Welfare (atau yang sejenis). Di negara-negara Skandinavia (Denmark,
Swedia dan Norwegia), Eropa Barat, Australia, New Zealand, dan AS sistem jaminan sosial
merupakan cerminan dari komitmen negara menjalankan sistem welfare state (negara
berperan besar dalam menjalankan usaha kesejahteraan sosial) dengan segala varian dan
modelnya. Pembangunan ekonomi dan sosial yang kuat serta sistem perpajakan yang
menjangkau hampir semua warga negara, transparan, dan accountable memungkinkan
negara-negara ini menjalankan sistem jaminan sosial yang bersifat (mendekati model)
universal dan institusional (Cheyne et al.1998; Pierson,1991).
Di Selandia Baru, misalnya, penerapan jaminan sosial dipelopori oleh
Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi Perdana Menteri
tahun 1935. Savage kemudian mengintegrasikan jaminan sosial ini dengan sistem negara
kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Menurut Bassett, Sinclair dan Stenson (1995),
penerapan sistem jaminan sosial di Selandia Baru telah mampu mengeluarkan negara ini
dari krisis ekonomi serius tahun 1930an dan menjadikannya salah satu negara termakmur di
dunia dengan kesenjangan sosial yang relatif kecil.
25
Praktik Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional di Berbagai Negara dari http://teddhymalmsteen.blogspot.com/2014/04/praktik-penyelenggaraan-jaminan.html tanggal 2 Maret pukul 14:42 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 73
Secara lebih rinci, praktik beberapa penyelenggaraan jaminan sosial di
beberapa negara disajikan berikut ini.
A. Sistem Jaminan Sosial di Jerman
Jerman yang berpenghuni sekitar 82 juta orang jauh mendahului negara anggota Uni
Eropa lainnya sebagai negara yang paling padat penduduknya. Masyarakatnya ditandai
oleh keanakeragaman gaya hidup dan ciri etnobudaya. Bentuk-bentuk kehidupan
bersama telah menjadi lebih beragam, sedangkan ruang gerak bagi individu diperluas.
Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang merupakan tulang
punggung dari sebuah jaminan sosial modern. Kesejahteraan untuk semua dan keadilan
sosial, itulah sasaran yang dituju Ludwig Erhard, Menteri Federal Urusan Ekonomi pada
waktu ekonomi pasaran berorientasi sosial diterapkan di Jerman pada akhir tahun 1950-
an. Tata ekonomi “model Jerman” menjadi kisah sukses, dan dicontoh banyak negara.
Salah satu pilar utama sukses itu ialah sistem jaminan sosial paripurna. Jaringan sosial di
Jerman termasuk yang paling rapat di dunia: 26,7 persen pendapatan nasional bruto
dipergunakan untuk belanja negara di bidang sosial. Untuk perbandingan, Amerika
Serikat menginvestasikan 15,9 persen di bidang itu, negara anggota OECD rata-rata 20,5
persen. Di Jerman, sistem lengkap yang mencakup asuransi kesehatan, purnakarya,
kecelakaan, perawatan dan pengangguran melindungi warga terhadap dampak finansial
dari risiko yang dapat mengancam eksistensi. Jaringan sosial itu juga meliputi tunjangan
yang dibiayai oleh pajak, seperti dana pengimbang untuk keluarga (tunjangan anak,
potongan pajak) atau tunjangan yang menutup pengeluaran untuk kebutuhan pokok
purnakaryawan atau orang cacat tetap. Menurut pengertian yang berlaku, Jerman adalah
negara sosial yang memprioritaskan jaminan sosial bagi semua warganya.
Sistem yang berciri negara kesejahteraan telah dikenal di Jerman sejak zaman
industrialisasi. Pada akhir abad ke-19, Kanselir “Reich”, Otto von Bismarck,
mengembangkan struktur dasar asuransi sosial yang dikelola oleh negara. Di bawah
bimbingannya lahir undang-undang mengenai asuransi kecelakaan kerja dan asuransi
kesehatan, serta untuk jaminan terhadap keadaan tidak sanggup bekerja akibat cacat, dan
jaminan hari tua. Ketika itu hanya 10 persen di antara penduduk Jerman mendapat
keuntungan dari legislasi di bidang sosial, sekarang hampir 90 persen menikmati
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 74
perlindungannya. Selama beberapa dasawarsa berikutnya, jaringan sosial diperluas dan
sekaligus dijadikan lebih spesifik. Pada tahun 1927 misalnya ditambahkan asuransi
terhadap akibat finansial dari pengangguran, dan pada tahun 1995 jenis asuransi wajib
bertambah dengan asuransi perawatan. Kini abad ke-21 menuntut diadakannya
reorientasi yang bersifat mendasar dan struktural pada semua sistem itu, khususnya
dalam hal kesinambungannya. Faktor-faktor seperti meningkatnya jumlah orang lanjut
usia yang disertai angka kelahiran yang relatif rendah, begitu juga perkembangan di
pasaran kerja telah membawa sistem jaminan sosial ke batas kemampuannya. Dengan
mengadakan pembaruan secara menyeluruh, lembaga-lembaga politik berupaya
menghadapi tantangan itu dan mengamankan jaringan sosial bagi generasi mendatang
pula secara solider.
Selain itu, sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang
memiliki upah dibawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi sosial
wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli asuransi
kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil, ia harus
seterusnya membeli asuransi dari perusahaan swasta. Akibatnya, banyak orang yang
berpenghasilan diatas batas tersebut pun, memilih ikut asuransi sosial. Pada saat ini
99,8% penduduk memiliki asuransi kesehatan dan hanya 8,9% yang mengambil asuransi
kesehatan swasta. Sebagian kecil penduduk (seperti militer dan penduduk sangat miskin)
mendapat jaminan sosial melalui program khusus.26
Undang-undang pertama mengenai asuransi wajib untuk jaminan hari tua telah
dikeluarkan pada tahun 1889. Sementara ini sekitar 80% penduduk yang bekerja adalah
anggota asuransi- wajib purnakarya. Di samping iuran yang dibayar pekerja dan
pengusaha, sistem ini dibiayai pula oleh subsidi dari Federasi. Sejak tahun 2002, uang
purnakarya dari asuransi wajib dilengkapi dengan asuransi hari tua privat yang terjamin
oleh modal dan didukung oleh negara. Jaminan hari tua untuk pegawai negeri dan
penyandang profesi bebas ditanggung oleh dana pensiun dan asuransi lain.
Dengan adanya asuransi pelengkap “Riester-Rente”, serta “Rürup-Rente” untuk
penyandang profesi mandiri, telah tercipta model yang memungkinkan pengumpulan
26
Grebe, A. Social Security System in Germany. Presentasi. Di depan Delegasi Indonesia di Jerman, Juni
2003
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 75
dana purnakarya pribadi yang terjamin oleh modal dan mendapat keringanan pajak.
Begitu juga diberi subsidi untuk pemilikan tempat tinggal di masa purnakarya melalui
undang-undang khusus. Pembaruan tersebut mencakup pula kenaikan usia masuk masa
purnakarya dari 65 menjadi 67 tahun. Mulai tahun 2012 sampai tahun 2035, batas usia
itu akan dinaikkan sebanyak satu bulan per tahun.27
B. Sistem Jaminan Sosial di Korea Selatan
Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia,
Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi
kesehatan wajib di tahun 1976 setalah selama 13 tahun gagal mengembangkan
asuransi kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja
yang memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh
penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih dari
300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu
penyelenggara yaitu National Healt Insurance Corporatin (NHIC). NHIC adalah suatu
lembaga semi pemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh
penduduk.28 Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru dilaksanakan pada tahun
1988 dengan kewajiban pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur untuk
jaminan pensiiun. Baru pada tahun 2003 seluruh pemberi kerja dengan satu atau
lebbih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National Pension
Corporation (NPC). Kedua lembaga NHIC dan NPC berada dibawah pengawasan
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan dan bukan badan usaha yang di
Indonesia kita kenal sebagai BUMN.
Berbeda dengan NHIC yang mengelola seluruh penduduk, kecuali militer
aktif dan penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC
hanya mengelola pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk
27
http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/main-content-08/reformasi-lain-lain-demi-jaminan-sosial.html diakses pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 12:23 WIB. 28
Park, Natonal Health Insurance in Korea, Research Division, NHIC. Memeograph presented for an Indonesian Delegate,2002.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 76
pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola
secara terpisah dari NPC.29
Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal
ditetapkan sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi
kerja. Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkat-tingkat penghasilan
untuk masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-
tiap kelompok penghasilan. Sedangkan iuran untuk program pensiun kini sebesar 9%
dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masing-
masing sebesar 4,5%. Pada tahap awal iuran besarnya hanya 3%, kemudian secara
bertahap ditingkatkan sehingga kini mencapai 9%. Selain pekerja, NPC juga
melayani penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja sektor
informal, mendaftar diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, akan tetapi juga akan
ditingkatkan sehingga tahun 2005 akan mengiur sebesar 9%.
C. Sistem Jaminan Sosial di Perancis
Di Prancis, jaminan sosial atau “securite sociale” menunjuk pada
asuransi sosial, seperti asuransi kesehatan dan hari tua. Selain itu, negara ini juga
memiliki apa yang disebut “protection social” yang meliputi bantuan sosial
(tunjangan pendapatan dan pelayanan bagi orang sakit, penyandang cacat, orang
lanjut usia berdasarkan kriteria pendapatan rendah), pelayanan sosial (pelayanan
kesejahteraan sosial yang diberikan tanpa melihat kriteria pendapatan), serta sistem
“jaminan tingkat pendapatan minimum” guna menunjang kemandirian.
Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad
dengan diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan
pada tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada
saat ini sistem Jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai badan
penyelenggara yang terdiri dari berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri,
pekerja swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan sosial
mencakup program jaminan kesehatan (CNAM), jaminan pensiun atau hari tua
29
Ha-Young and Hun-Sang,National Pension Scheme in Korea. Makalah disajikan dalam ISSA Training, Bali,2003.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 77
(CNAV), jaminan pembiayaan keluarga (CNAF) dan jaminan perlindungan PHK
(ARE). Program tersebuut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan iuran
dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi yang
disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan
tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor.
Berbeda dengan program jaminan sosial di banyak negara lain, di
Perancis pembiyaan jaminan sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja.
Untuk program kesehatan, kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar
2,45% dari upah sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk
program pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar
8,2%. Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja mengiur
sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.
Tekait dengan jaminan pensiun, Undang-undang pertama mengenai
pensiun bagi pekerja dan petani, yang disetujui tahun 1901, tidak pernah diterapkan
hingga dikeluarkannya undang-undang baru pada 1930.
D. Sistem Jaminan Sosial di China
Di China, menjadi miskin adalah sebuah aib. Kebudayaan China
memiliki pandangan bahwa menjadi miskin adalah memalukan, berbeda dengan
masyarakat pada kebudayaan lain yang tidak merasa malu dengan status miskinnya.
Kemiskinan di China terjadi akibat ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara
kawasan pesisir sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan kawasan pedalaman
yang penduduknya merupakan petani miskin. China merupakan suatu negara yang
masih berada dalam tahap awal pembangunan nasional. China secara serius mulai
membangun Sistem Jaminan Sosial yang disebut National Social Security Fund (NSSF)
untuk warganegaranya pada tahun 1997 dengan mengikuti pola lima pilar dari Bank
Dunia, yaitu:
1. Non-contributory poverty alleviation
2. Government run basic pension (state)
3. Individual account pension (occupational)
4. Voluntary employee/individual saving (private)
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 78
5. Informal sources of support including housing and health care
Kita pantas belajar dari China karena China merupakan negara yang
terbagi ke dalam 48 provinsi, NSSF baru mulai dibangun pada tahun 1997, dan
penduduknya mencapai sekitar 1,3 miliar. Luan Jianzhang, Wakil Dirjen Badan
Riset Departemen Internasional Komite Sentral Partai Komunis China menyatakan
bahwa pada tahun 2012 tak kurang 128 juta dari sekitar 1,34 miliar penduduk China
hidup di bawah garis kemiskinan (Setiawan 2012). Angka kemiskinan ini menurun
dibandingkan pada tahun 2001 yang mencapai 212 juta. Selain itu, keadaan yang
tidak menyenangkan menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang cukup tinggi di
China, untuk itu pada tahun 2002, untuk memotong kesenjangan sosial yang
semakin tajam, dibuat serangkaian kebijakan mengangkat perekonomian pedesaan
dan meniadakan pajak yang ditarik dari petani. Petani menjadi sasaran empuk pajak,
pada tahun 2004 petani membayar pajak pertanian sebesar 2,8 miliar dollar AS
kepada negara. Perolehan pajak tersebut digunakan oleh Pemerintah China untuk
membangun industri di perkotaan. Selain itu, pemerintah juga menerapkan sistem
jaminan sosial yang baru dan mengalami banyak perubahan.30
Dana NSSF berasal dari kontribusi peserta dan pemberi kerja serta
subsidi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sampai dengan tahun 2005 telah
dilaksanakan di beberapa kota dan dua provinsi ternyata mampu mengcover 150 juta
penduduk dengan nilai kepesertaan ekuivalen dengan Rp220 triliun atau Rp1,4 juta
per kapita. Dapatlah dibayangkan bilamana 48 provinsi di China bergabung, tentu
akan menghasilkan ketersediaan dana Jaminan Sosial yang luar biasa besar.
Kepesertaan sistem jaminan sosial di China meliputi tenga kerja yang
menerima upah secara regular pada sektor formal yaitu pada program hari tua, sakit
dan persalinan, kecelakaan, dan sementara tidak bekerja. Serta tenaga kerja usaha
mandiri (TKUM) pada program hari tua dan kecelakaan. Sedangkan bantuan
keluarga kepesertaannya secara universal. Sementara itu, di Indonesia program hari
tua, sakit, dan kecelakaan kepesertaannya secara TKUR. Untuk bantuan keluarga
sama seperti di China berlaku kepesertaan secara universal. Di China bentuk badan
30
Guidi, Chen dan Wu Chuntao, China Undercover: Rahasia di Balik Kemajuan China, Jakarta: Ufuk Press, 2007, hlm.45.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 79
hukum BJPS pada dasarnya sama dengan Indonesia yaitu BJPS per kepesertaan
seperti Lembaga Asuransi Sosial (LAS) dan Jamsostek. Namun demikian, bentuk
BJPS di China adalah badan hukum publik yang semi otonom, berbeda dengan
Jamsostek di Indonesia yang merupakan BUMN Persero.
Program sakit dan persalinan baik di Indonesia maupun di China
kepesertaannya bersifat opsi. Sementara itu, program asuransi pengangguran di
China berdasarkan UU tahun 1999 tentang jaminan sosial. Tujuan penyelenggaraan
asuransi pengangguran di China adalah untuk mengantisipasi tingginya PHK
sebelum usia pensiun sebagai konsekuensi penerapan ekonomi pasar sejak tahun
2000.31
Berikut iuran sistem Jaminan Sosial dari presentase upah di China
berdasarkan data yang dikeluarkan oleh US Social Security Administration (2009):
Program Presentase Upah
Hari Tua, Cacat, dan Ahli Waris Perusahaan : 20,00
Tenaga Kerja : 8,00
Sakit dan Persalinan Perusahaan : 6,00
Tenaga Kerja : 2,00
Kecelakaan Perusahaan : 1,00
Sementara Tak Bekerja Perusahaan : 2,00
Tenaga Kerja : 1,00
Bantuan Keluarga APBN
Pada tahun 2011 Kementrian Sumber Tenaga dan Jaminan Sosial
China dan Bank rakyat China bersama-sama menghidupkan penggunaan kartu
jaminan sosial dengan fungsi moneter. Masyarakat dapat menikmati jaminan sosial
dan layanan moneter seperti menabung, kartu kredit, transfer rekening, dan
konsusmsi melalui kartu jaminan sosial. Program ini dalam rangka memudahkan
rakyat, menguntungkan rakyat, dan mensejahterakan rakyat.
31
Perbandingan Pembangunan Sosial Indonesia dan China dari https://ekazunilusi.wordpress.com/2013/02/27/my-sunsets/ , diakses pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 20:16 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 80
E. Sistem Jaminan Sosial di Norwegia
Bersama dengan negara-negara Skandinavia lainnya, Denmark dan
Swedia, Norwegia adalah salah satu negara yang masih percaya pada mekanisme
negara kesejahteraan (welfare state). Selama ini negara-negara tersebut selalu berada
dalam peringkat atas HDI. Peringkat tinggi yang dicapai negara-negara Skandinavia
tersebut sebenarnya tak terlalu mengherankan apabila dilihat dari aspek kemampuan
ekonomi negara dan mapannya sistem pengelolaan jaminan sosial lewat
model welfare state.
Dengan sistem ini maka dimaksudkan bahwa negara memiliki tujuan
untuk memastikan bahwa seluruh warga negara mendapatkan keamanan ekonomi
dan keamanan sosial (social and economic safety). Negara juga menjamin bahwa semua
warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan
pelayanan kesehatan, tanpa memperhatikan kelas sosial atau pendapatan
ekonominya (Ellingson, Mac Donald-2000).
Norwegia mulai menerapkan sistem kesejahteraan ini pada tahun 1909
dalam sektor kesehatan, dimana warga negara yang memiliki pendapatan rendah
akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis ketika mereka sakit. Sistem ini
dimapankan pada periode pasca Perang Dunia II di Norwegia, dan juga di berbagai
negara Eropa, sebagai respon dari krisis kapitalisme pada tahun 1930-an. Pasar
kapitalisme dianggap bermasalah dalam mewujudkan kesejahteraan, sehingga
intervensi negara dalam ekonomi dianggap penting.
Semua warga negara Norwegia dan individu yang berkerja di Norwegia
secara otomatis memenuhi syarat menjadi anggota Skema Asuransi Nasional, yang
merupakan skema asuransi pemerintah yang memberikan dana pensiun (misalnya
untuk usia lanjut, penyandang cacat) serta manfaat yang berhubungan dengan
kecelakaan kerja, kecelakaan umum dan penyakit, kehamilan, kelahiran, orang tua
tunggal dan pemakaman. Bersama dengan skema asuransi untuk uang saku keluarga
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 81
dan manfaat uang tunai bagi orang tua dengan anak kecil (kontantstøtte), Skema
Asuransi Nasional terdiri dari skema asuransi umum yang paling penting di
Norwegia.
Pada akhir tahun 1999, sekitar 1,1 juta orang mendapatkan dana dari
asuransi nasional sebagai sumber pendapatan, termasuk sekitar 900.000 usia
pensiun. Pada tahun 1999, total pengeluaran pensiun mencapai 162 juta NOK, atau
sama dengan 13,6% GDP dan sekitar 34,3% anggaran nasional. Skema Asuransi
Nasional didanai oleh biaya keanggotaan dari para pegawai, wiraswasta dan pihak
terasuransi lainnya, kontribusi perusahaan dan dana pemerintah.
Layanan umum pertama kali muncul pada tahun 1700. Sebelumnya,
keluarga, gereja atau individu bertanggung jawab merawat orang miskin, orang sakit
atau para lanjut usia. Perluasan layanan sosial dan asuransi nasional berhubungan
erat dengan proses industrialisasi. Industri membawa penyakit baru, memicu tingkat
mobilitias yang lebih tinggi sehingga melemahkan ikatan keluarga. Dan pada saat
yang bersamaan memberikan dasar ekonomi untuk reformasi sosial. Asuransi
Kecelakaan Norwegia untuk Pekerja Pabrik tahun 1895 secara perlahan-lahan
diperbaiki untuk mencakup profesi lainnya, diikuti dengan pengenalan tunjangan
saat sakit, tunjangan hari tua (1936), tunjangan pengangguran (1939), tunjangan
cacat tubuh (1960) dan tunjangan bagi janda dan orang tua tunggal wanita (1964).
Pada tahun 1967, tunjangan sosial yang diperkenalkan sebelum Perang Dunia II
digabungkan dengan Skema Asuransi Nasional. Pembayaran dari skema tersebut
ditentukan oleh jumlah poin pensiun yang diraih tiap individu.
Norwegia merupakan negara makmur dan salah satu terkaya di dunia.
Pada tahun 2003, untuk tiga tahun berturut-turut, Norwegia menduduki peringkat
teratas kondisi kehidupan nasional menurut UNDP Human Development Index.
Rata-rata usia kehidupan di Norwegia adalah 78,7 tahun (2001). Secara
umum masyarakat memiliki kondisi kesehatan yang sangat baik dengan angka
kematian balita yang sangat rendah. Hampir seluruh masyarakat menyelesaikan
pendidikan sekolah menengah dan memiliki kecakapan menulis serta membaca.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 82
Angka kemiskinan relatif rendah dibanding dengan negara OECD lainnya dan
kondisi kemiskinan yang sangat memprihatinkan tidak dijumpai di Norwegia.
Angka produksi domestik kotor (GDP) per kapita sangat tinggi dengan
tingkat kesejahteraan yang merata. Disamping itu, kesetaraan jender juga diakui
pada seluruh lapisan masyarakat. Untuk menjaga kesejahteraan masyarakatnya,
Norwegia telah menerapkan layanan kesehatan umum yang didanai oleh pajak dan
skema asuransi nasional, dan berlaku untuk semua warga negara dan penduduk.
Baik konsumsi publik dan pribadi meningkat tajam sejak tahun 1900,
dan tingkat kesejahteraan pada beberapa dekade terakhir dikarenakan penemuan dan
eksploitasi minyak lepas pantai dan gas alam di Laut Utara. Dibawah tekanan
modernisasi dan urbanisasi yang meningkat, pola kehidupan tradisional yang stabil
telah digantikan dengan mobilitas yang tinggi, dimana orang lebih banyak bergerak
dan berganti pekerjaan.
F. Sistem Jaminan Sosial di Amerika Serikat
Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14
Agustus 1935 yang pada awalnya dikenal dengan nama OASDI program (Old-Age,
Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang jaminan sosial tersebut
disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di Amerika di awal tahun 1930an.
Awalnya, UU Jaminan Sosial Amerika tidak mencakup asuransi sosial kesehatan
(Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk
30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan
OASDHI (H diantara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program OASDI,
tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana
peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris
peserta yang memenuhi syarat menerima manfaat jika peserta meninggal, dan
apabila peserta menderita cacat. Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika
diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan
dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan. Namun demikian, pilihan tersebut
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 83
tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program sukarela
tidak efektif. Sebenarnya Amerika termasuk terbelakang dalam mengembangkan
jaminan sosialnya dibandingkan dengan Jerman dan Inggris (Rejda, 1988). Pada
prinsipnya, sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan dengan satu undang-
undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah (Social Security
Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial Amerika bersifat
monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan kesehatan. Hanya saja,
jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk penduduk berusia 65 tahun keatas
atau yang menderita cacat tetap atau penderita sakit ginjal yang mematikan. Seluruh
penduduk, apakah ia pegawai swasta maupun pegawai pemerintah harus masuk
program jaminan sosial sehingga perpindahan pekerja dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain atau dari satu negara bagian ke negara bagian lain tidak menjadi
masalah. Untuk itu, setiap penduduk harus memiliki nomor jaminan sosial (9 digit)
yang berlaku untuk segala macam urusan seperti sebagai nomor pajak, kartu SIM,
bersekolah, menjadi nasabah bank, dan berbagai urusan kehidupan lainnya.
Manfaat yang diberikan berupa jaminan pensiun yang dibayarkan
menurut sistem pay as you go dimana iuran dibayarkan oleh tenaga kerja yang aktif
bekerja dan pemberi kerja, sedangkan manfaat bagi pensiunan dibayarkan dari iuran
tenaga kerja pada tahun yang sama. Artinya, pensiun bagi penduduk Amerika
dibayar oleh tenaga kerja yang masih aktif, bukan dari tabungan pensiunan pada
masa lalu. Begitu juga untuk jaminan cacad, pensiun ahli waris, dan Medicare.
Jaminan pensiun diberikan berkaitan dengan tingkat penghasilan penduduk terakhir
dan lamanya seorang penduduk mengiur. Besarnya pensiun yang menjadi hak setiap
penduduk dapat dilihat dari Web yang setiap orang dapat menghitung atau melihat
haknya setiap saat. Program Medicare hanya diberikan kepada seluruh penduduk
yang mencapai usia 66 tahun atau lebih atau penduduk yang lebih muda akan tetapi
menderita cacad tetap atau menderita penyakit ginjal yang memerlukan hemodialisa
atau transplantasi. Jaminan kesehatan yang diberikan kepada pensiunan terbatas
pada jaminan rawat inap di rumah sakit dan jaminan perawatan jangka panjang.
Program ini disebut Medicare Part A yang menjadi hak semua lansia. Sedangkan
untuk jaminan rawat jalan, penduduk lansia harus membeli asuransi kesehatan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 84
swasta dengan 75% premi disubsidi Medicare. Program rawat jalan ini bersifat
sukarela dengan insentif premi dari Medicare. Untuk mendapatkan hak jaminan
sosial, setiap orang harus memenuhi kualifikasi masa iuran dan besarnya iuran yang
dikonversi dalam sistem poin. Program Kecelakaan kerja dikelola tersendiri oleh
masing-masing negara bagian dengan peraturan negara bagian.
Iuran untuk program jaminan sosial dikumpulkan bersamaan dengan
pembayaran pajak secara umum dan karenanya disebut social security tax. Hanya
saja dana dana jaminan sosial tidak masuk ke kas negara akan tetapi masuk kedalam
tiga jenis Dana (trust fund) yaitu Dana Jaminan Hari Tua dan Ahli Waris (old-age
and Survivors Insurance, OASI), Dana Asuransi Disabilitas (SSDI), dan Dana
Medicare. Besarnya iuran tenaga kerja adalah 7,65% dan pemberi kerja juga mengiur
sebesar 7,65% untuk program OASI dan masing-masing 0,9% untuk program SSDI,
serta masing-masing 1,45% untuk program Medicare. Total iuran pekerja menjadi
15,3% dari upah dengan maksimum upah sebesar US$ 62.500 setahun yang setiap
tahun dinaikan sesuai dengan indeks yang telah disusun oleh badan penyelenggara
(SSA) yang berada di bawah Departemen Pelayanan Sosial.32
G. Sistem Jaminan Sosial di Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia
berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem
jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah
memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee
provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai
negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi
EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai
pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah.
Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun
cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena
pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan
32
Butler, RJ, 1999. The Economics of Social Insurance and Employee Benefits. Kluwer Academic Publlisher, Boston, USA, 1999.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 85
langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif gratis, maka
pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan
sosial di Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh negara, tidak ada risiko
biaya kesehatan yang berarti bagi semua penduduk Malaysia yang sakit ringan
maupun berat.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun
demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi
peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka
yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan
pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF
secara sukarela.
Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok
penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF
dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah naungan
Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas
wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas
khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi. Penyelenggaraan
pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh kementrian keuangan
karena program tersebut merupakan program tunjangan pegawai (employment
benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program jaminan kecelakaan kerja dan
pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam bahasa Malaysia disebut
Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO).
Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas:
(1) Peserta dapat menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil
seluruhnya (lump-sum) untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan
sebagian dalam bentuk anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil
pengembangannya saja tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola
CPF.
(2) Peserta dapat menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal
dunia (oleh ahli warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 86
(3) Peserta juga dapat menarik dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia
50 tahun, atau memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang
ditanggung pemerintah.
(4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000,
tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia.
Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah
dari tahun ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut
ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat
kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali
seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta sampai
ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun.33
Berikut adalah tabel perkembangan tingkat iuran dana provident fund di Malaysia
berdasarkan CPF, Malaysia, tahun 1998.
Tahun Iuran Tenaga
Kerja
Iuran Pemberi Kerja Total
1952 – Juni 1975 5% 5% 10%
Juli 1975 – Nop 80 6% 7% 13%
Des 80 – Des 92 9% 11% 20%
Jan 93 – Des 95 10% 12% 22%
Jam 96 – 98 11% 12% 23%
H. Sistem Jaminan Sosial Thailand
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi
pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang diatur
oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah Thailand
mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai
enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola
oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang
33
Kertonegoro,S., 1998. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-Negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 87
mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang.
Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi
kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan
kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja
dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO
adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi
peserta. Pegawai pemerintah mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran belanja
negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung meliputi
jaminan kesehatan, pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki masa
pensiun. Untuk pekerja sektor informal dan kelompok penduduk lain yang belum
termasuk peserta SSO atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan program
National Health Security yang dikenal dengan kebijakan ’30 Baht’. Dalam program
ini, seluruh penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja swasta
diwajibkan mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan berobat jika
mereka sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah kemudian
membayar rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala per tahun.
Penduduk yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp 6.000) sekali
berobat atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu sudah termasuk
segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan.
Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal
meliputi jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama
menderita cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan
jaminan hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya,
sedangkan anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program ’30 Baht’.
Manfaat program jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin
pelayanan kesehatan, baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang
waktu cacad dan jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai
pemerintah memang menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah
mendapat jaminan hari tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif.
Untuk jaminan kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 88
saja pegawai, pasangan dan anaknya, orang tua pegawaipun dijamin. Jaminan yang
diberikan komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila mereka
memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan. Tentu
saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan dan di kelas perawatan
di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri.
Besarnya iuran untuk prgram jaminan sosial pegawai swasta ditanggung
bersama antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem
jaminan sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja
swasta dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing
program yang total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi
kerja masing-masing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain itu,
pemberi kerja masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan
kerja yang besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat risiko masing-
masing usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan untuk jaminan sosial
ini ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah dan pegawai sektor
informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung anggaran belanja
pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan sosial di Thailand adalah
bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan diturunkan dari tadinya 4,5%
(masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing pihak mengiur 1%) karena telah
terjadi akumulasi dana yang besar karena penyelenggaraan yang bersifat nirlaba dan
setiap dana yang tidak digunakan diakumulasi. Gambaran lengkap iuran terlihat
pada tabel berikut.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 89
Iuran Jaminan Sosial Pegawai Swasta di Thailand (Dalam % Upah), 2003
(Sumber: SSO, Thailand, 2003)
Bentuk Jaminan Iuran Pekerja Iuran Pemberi Kerja Iuran Pemerintah
Kesehatan dan Persalinan 1% 1% 1%
Cacat/Invalid dan
kematian
1,5% 1,5% 1,5%
Santunan Anak 2% 2% 1%
Hari Tua 3% 3%
TOTAL 7,5% 7,5% 3,5%
I. Sistem Jaminan Sosial di Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosial (JS) sejak
tahun 1948 akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan
pada tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan
sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian,
UU tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen
UU tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut
mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok
pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program
JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan
lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993
pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian
juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut dikenal dengan
Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5
juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta
tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). Khusu pegawai
negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut
sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu
di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 90
Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang
dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai
pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan
pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial
menurut defisini universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut
menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas,
kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain
pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum.34
Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina mengeluarkan Undang-
Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang memisahkan program
asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS) menjadi satu dibawah
pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan
publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001). PhilHealth bukanlah suatu badan usaha
yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN.
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah:
1. Uang tunai selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4
(empat) hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri.
2. Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang
tunai sebesar antara P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta).
3. Uang tunai yang dibayarkan secara lump-sum atau bulanan bagi peserta yang
menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan oleh
kecelakaan kerja.
4. Jaminan hari tua (baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki
masa pensiun (60 tahun).
5. Peserta berhak mendapatkan jaminan kematian berupa uang tunai atau bulanan
yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
6. Jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila terjadi kecelakaan kerja.
Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan manfaat
program yang lain.
34
Kertonegoro,S., Op.Cit.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 91
Untuk setiap manfaat yang berhak diterima, peserta harus memenuhi
persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying conditions). Selain manfaat definitif,
peserta juga dapat diberikan fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang
tunai yang mendesak dengan bunga 6% setahun untuk pinjaman di bawah P15.000
dan 8% setahun untuk pinjaman lebih dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan
(tidak termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar
bersama antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah untuk
perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan
kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan
yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk tenaga
kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan yang dinyatakan
oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar P1.000.
Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja membayar
sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000
sebulan. Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok
upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi
kesehatan adalah 2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat
jalan tidak dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9% (tanpa kecelakaan
kerja) dan 11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran
lebih tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9% dari pekerja.35
Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang
kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk
Filipina). Anggota Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai
pemerintah, 9% penduduk tidak mampu, 11% peserta sukarela (informal), dan 2%
adalah peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak
peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta
dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan
pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini
diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin,
35
Ibid
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 92
karena diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang
tidak menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari
gaji yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian,
iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung bersama antara
pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan bagi sektor informal,
iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi penduduk miskin, iuran
ditanggung pemerintah pusat dan daerah.36 Pada tahun 2003, PhilHealth menerima
banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk memperluas jaminan dengan
mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan menambahkan iuran guna
memperluas jaminan tersebut.37 Berikut adalah tabel Kompilasi Iuran Sistem
Jaminan Sosial di Filipina berdasarkan GGIS Filipina, tahun 2002.
Program Iuran Tenaga Kerja Iuran Pemberi Kerja Total
Jaminan Sosial, SSS 5,04% 3,36% 8,4%
Kecelakaan Kerja - 1% 1,0%
Jaminan Sosial, GSIS 9% 12% 21,0%
Kesehatan, PhilHealth 1,25% 1,25% 2,5%
Total:
Swasta
Pemerintah
6,29%
10,25%
5,61%
12%
11,9%
22,5%
J. Sistem Jaminan Sosial di Australia
Sistem jaminan sosial di Australia dimulai dengan sistem negara
kesejahteraan dimana negara menanggung segala beban sosial seperti bantuan sosial
bagi lansia (semacam uang pensiun). Sejak didirikannya Australia tahun 1901,
Australia menjalankan sistem jaminan sosialnya melalui program bantuan sosial
(pilar pertama dalam sistem Australia). Sampai dengan awal tahun 70-an, penduduk
yang memasuki usia pensiun dan memiliki penghasilan dan aset di bawah jumlah
36
Ibid 37
Dueckue, P., 2003. Phil Health Today. Presentation on the Social Health Insurance Meeting, Bangkok.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 93
tertentu mendapat uang pensiun otomatis dari pemerintah. Karena sifatnya bantuan
sosial, maka tidak semua penduduk berhak mendapatkan dana pemerintah yang
dikumpulkan dari pajak umum (general tax revenue). Oleh karenanya pemerintah
mengembangkan instrumen seleksi, means test untuk menentukan siapa-siapa yang
berhak mendapatkan bantuan sosial hari tua. Sedangkan jaminan kesehatan sudah
menjadi hak setiap penduduk yang pendanaanya dibiayai dari dana pajak. Baru pada
tahun 1973 dirasakan perlunya mengembangkan asuransi kesehatan wajib dan pada
tahun 1983 dirasakan perlunya asuransi hari tua wajib. Praktek jaminan sosial
dengan sistem asuransi wajib atau asuransi sosial baru diterapkan sepenuhnya sejak
tahun 1992 yang pada waktu itu, sekitar 40% pekerja memiliki asuransi hari tua.
Pada tahun 2001, dengan program asuransi sosial, maka sudah 97% pekerja tetap
telah menjadi peserta. Pada tahun 2001, 65% penduduk lansia menerima pensiun
(Aged Pension) dari sistem asuransi wajib yang dikenal dengan superannuation.
Pengelolaan jaminan sosial wajib berada di bawah Menteri Keuangan
dan Administrasi, kecuali untuk angkatan bersenjata yang berada di bawah
koordinasi Departemen Urusan Veteran. Penyelenggaraan sehari-hari jaminan sosial
tambahan (non kesehatan) dikelola oleh lembaga swasta pengelola dana yang berada
di bawah pengawasan Departemen Keuangan. Sedangkan untuk asuransi kesehatan
program jaminan sosial kesehatan (Medicare) dikelola oleh Health Insurance
Commissioner (HIC), suatu lembaga Negara yang bersifat independen akan tetapi di
bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Orang Tua. Program
asuransi kesehatan tidak membedakan kelompok pekerjaan karena semua pegawai
swasta atau pemerintah menjadi peserta Medicare yang dikelola HIC. Pegawai
swasta yang ingin mendapatkan pelayanan lebih baik dapat membeli asuransi
tambahan pada asuransi kesehatan swasta dibawah koordinasi Medibank Private
Insurance (MPI).
Besarnya iuran untuk proteksi pilar pertama yang berbentuk bantuan
sosial tidak diperhitungkan terpisah karena dibiayai oleh pajak umum. Sedangkan
besarnya iruan untuk asuransi hari tua wajib adalah sebesar 9% dari upah (sebelum
tahun 2003, besarnya 8% dari upah) sedangkan untuk HIC besarnya iuran adalah
2,5% dari upah. Namun perlu disadari bahwa iuran untuk Medicare tersebut
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 94
sebenarnya merupakan tambahan dari biaya kesehatan yang dibiayai dari anggaran
pemerintah federal dan negara bagian.
K. Sistem Jaminan Sosial di Singapura
Di Singapura, penyelenggaraan jaminan sosial diselenggarakan oleh
CPF (Central Provident Fund). Pada dasarnya, CPF adalah skema tabungan wajib
yang diperkenalkan pada tahun 1955 untuk membantu menutup biaya hidup bagi
penduduk Singapura setelah pensiun / penghentian pekerjaan. Uang yang disimpan
dalam Rekening Biasa CPF dapat digunakan untuk membantu membayar untuk
kepemilikan rumah, pendidikan dan investasi. Rekening Khusus dimaksudkan untuk
usia tua dan kontinjensi tujuan dan pensiun untuk membeli produk-produk
keuangan yang terkait dengan. Sebagian dari yang dikenal sebagai Medisave CPF
juga dapat digunakan untuk membantu membayar biaya perawatan rumah sakit dan
asuransi kesehatan (yang dikenal sebagai MediShield).
Dalam perkembangannya, kini CPF memberi jaminan untuk
pensiun/jaminan hari tua, perumahan dan kesehatan (medisave), perlindungan
keluarga (family protection) dan upaya peningkatan asset keluarga (asset enhancement).
CPF skema yang berlaku untuk semua orang Singapura dan Singapura Permanent
penduduk; asing yang berada di Work Pass tidak diharuskan untuk memberikan
kontribusi dana ini. Namun, ketika seorang asing mengambil tempat tinggal
permanen di Singapura, orang asing akan diharapkan untuk berkontribusi pada
skema CPF.
Nilai dana yang dimiliki setiap anggota EPF atau CPF adalah sesuai
dengan jumlah tabungan wajib ditambah hasil pengembangannya, yang selalu lebih
besar dibanding kalau dana itu disimpan sebagai deposito pribadi di bank. Hasil
pengembangan CPF adalah sebesar 2,5 persen pertahun, sementara bunga deposito
hanya 1 persen. Dengan demikian, meskipun bersifat wajib, peserta dapat menarik
manfaat yang besar dari kepesertaannya dalam CPF, oleh karena hasil
pengembangan dana CPF lebih besar dari bunga deposito. Kenyataan ini dijamin
dengan Undang Undang, sehingga tidak ada keraguan bagi peserta CPF.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 95
Adapun sumber pembiayaan sistem jaminan sosial adalah dari iuran
peserta dan pemberi kerja yang ditetapkan berdasar persentase upah/gaji. Setiap
bulan, pemberi kerja dan pekerja (hanya warga negara Singapura dan PRs)
berkontribusi pada CPF. Bentuk kontribusi beragam. Pemberi kerja akan
membayarkan bagi pekerjanya yang berpenghasilan diatas $50 perbulan. Bagi
pekerja yang memperoleh lebih besar dari $500 perbulan, baik pemberi kerja dan
pekerja diharuskan berkontribusi pada rekening CPF pekerja.
Besarnya kontribusi mempertimbangkan pendapatan per bulan,
kelompok usia, bidang pekerjaan dan lama menetap bagi PRs serta disesuaikan tiap
tahun berdasarkan kondisi ekonomi domestik. Kontribusi bervariasi dari minimal
3,75% sampai 20% dari pendapatan per bulan bagi pekerja, sementara pemberi kerja
berkontribusi antara 2,625% sampai 14,5% dari pendapatan per bulan pekerja.
Pendapatan pekerja yang diwajibkan dikenakan kontribusi dibatasi sampai $4.500.
Setiap rekening memperoleh tingkat bunga sebesar minimum 2,5% per
tahun untuk OA, sampai 4% per tahun untuk SA dan MA, tergantung pada tingkat
bunga domestik, dan ditinjau setiap triwulan. Sejak tahun 1986, besaran kontribusi
relatif stabil pada kisaran 30-40% dari pendapatan pekerja. Pada tahun 2003 terjadi
perubahan besaran iuran CPF dari 36 persen menjadi 33 persen, untuk memberi
peluang ekonomi Singapura lebih kompetitif. Selain dari itu, di Singapura ada batas
maksimum upah/gaji untuk penetapan iuran, yang dipatok maksimum gaji 5.500
dolar Singapura. Adapun akumulasi dana yang berhasil dikumpulkan, pada tahun
2004 CPF telah mencapai 100 milliar dollar Singapura. Dana inilah yang ikut
mendorong investasi di berbagai proyek, dari lapangan terbang, jalan tol,
perumahan, industri, bursa saham, sampai ke obligasi pemerintah.38
38
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F4597/SJSN%20dan%20Pertumbuhan-Plt.htm diakses pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 23:00 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 96
BAB VI
Melihat untuk Mempelajari, Bukan Meniru:
Kebijakan Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Selalu Sama
Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di
dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsip-
prinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme asuransi
sosial dan tabungan sosial, namun dalam penyelenggaraannya terdapat variasi yang luas.
Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di berbagai
negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan budaya
penduduk di negara tersebut. Variasi tersbeut tidak lepas dari sejarah berkembangnya suatu
sistem jaminan sosial di negara tersbeuut. Masing-maisng sistem memiliki kelebihan dan
kelemahan, oleh karenanya berbagai contoh tersebut perlu dipelajari sebagai rujukan bagi
penyusunan SJSN.
Menurut sejarah, dasar-dasar konsep international jaminan sosial dituangkan
dalam Deklarasi Philadelphia tahun 1944, yaitu piagam baru ILO pada masa sesudah
perang. Tetapi tugas pendefinisian institusi jaminan sosial yang sebenarnya dilakukan
dalam Konvensi ILO tentang Norma-Norma Minimum Jaminan Sosial tahun 1952. Perlu
diperhatikan bahwa, meskipun terjadi perkembangan yang luar biasa pada tahun-tahun
selanjutnya, definisi yang tercantum dalam dokumen itu tetap menjadi acuan sampai hari
ini bagi siapapun yang mengahadapi tugas berat untuk menjelaskan institusi tersebut dan
fungsi-fungsinya. Bagi banyak orang, pendekatan pragmatis untuk menjelaskan apa yang
ada di bawah lingkup jaminan sosial adalah satu-satunya yang bisa diterima.
Secara mengejutkan, kelahiran program jaminan sosial ternyata banyak
ditentukan oleh adanya political-will yang kuat, yang datangnya justru dari penyelenggara
negara. Lebih bersifat top-down dibanding bottom-up. Beberapa contoh, dalam hal ini
dapat dikemukakan.
Jerman, barangkali tidak akan menjadi model penyelenggaraan program
Jaminan Sosial, seandainya Kanselir Jerman, Otto Van Bismark (1883) tidak
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 97
mengintrodusir sistem jaminan sosialnya, yang kemudian dikenal dengan “Bismarck
Model”. Model ini, sebagaimana kita ketahui, kemudian banyak dicontoh oleh negara lain,
baik di Eropa maupun di belahan dunia lain. Sudah tentu dengan mempertimbangkan
filosofi dan kondisi setiap negara masing-masing. Namun, ada prinsip-prinsip universal
yang ternyata diberlakukan, antara lain prinsip “nirlaba” dan kegotongroyongan/solidaritas
sosial.
Inggris, dikenal dengan “Beveridge” modelnya yang diambil dari nama menteri
urusan Jaminan Sosial Inggris setelah perang dunia II, yang kemudian juga diperkenalkan
sebagai model negara kesejahteraan (welfare-state model). Sedangkan di Korea, Presiden
Korea Selatan, Syngman Rhee, memberlakukan jaminan kesehatan secara bertahap bagi
rakyatnya melalui Dekrit Presiden, dan mencapai universal coverage dalam waktu 12 tahun
(1976-1988). Mulai dari kelompok tenaga kerja dengan jumlah 400 orang kemudian
menurun dan akhirnya bagi kelompok nonformal. Demikian pula Amerika Serikat, dimana
program jaminan sosial diprakarsai oleh Presiden Roosevelt, sebagai bagian dari kebijakan
the new deal, dengan menerbitkan Social Security Act (1935), ketika Amerika Serikat justru
sedang dilanda depresi ekonomi yang hebat.39
Sejalan dengan perkembangan, pada tahun 1980an, pendukung aliran
neoliberalisme membuat struktur asuransi sosial di Amerika Latin diganti, bukan
diperbaiki, dengan pengaturan swasta yang digunakan oleh skema pensiun di chile. Kira-
kira pada waktu yang bersamaan, komunis yang berkuasa di Eropa Tengah dan Timur
tumbang dan sebagian besar pemimpin-pemimpin barunya tidak mengalami kesulitan untuk
mengganti satu dogma politik dengan dogma yang lain; keputusan mereka bergabung
dengan neoliberalisme juga membuat mereka mendapatkan bantuan internasional untuk
melakukan perbaikan-perbaikan tertentu.
Tahap penting selanjutnya dalam sistem jaminan sosial di dunia adalah pada
awal tahun 2000 ketika terjadi kehancuran pasar uang dunia. Kejadian tersebut
memperlihatkan irasionalitas keyakinan bahwa negara-negara maju dapat menciptakan
suatu bentuk jaminan sosial yang lebih baik bagi setiap orang, menandai berhentinya
ekspansi pesat doktrin neooliberal. Mengingat betapa pentingnya peran jaminan sosial
39
Sulastomo, 2011, Sistem Jaminan Sosial Nasional Mewujudkan Amanat Konstitusi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 73.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 98
dalam kondisi perekonomian dunia yang buruk pada masa itu, Bank Dunia membuat
laporan terkait skema asuransi masa tua yang biasanya dibiayai oleh sebuat sistem
kontribusi yang terdiri dari dua atau tiga pihak atas dasar pay-as-you-go. Laporan ini
menganjurkan pemerintah agar mengganti skema tersebuut dengan sebuah sistem tiga pilar
sebagai berikut:
1. Sistem keanggotaan wajib yang dibiayai pajak dan dikelola secara terbuka, yang
memberikan jaminan pensiun menurut cara yang sudah teruji, dalam jumlah minimum
atau tarif rata;
2. Sistem yang sepenuhnya didanai dari tabungan wajib dan teratur, dikelola secara swasta,
yang memberi akses kepada rencana simpanan pribadi atau pekerjaan;
3. Rencana tabungan sukarela yang sepenuhnya didanai secara pribadi atau pekerjaan.
Laporan ini tertutama ditujukan bagi negara-negara berkembang, yang
memuat campur tangan penting Bank Dunia yang pengalamannya tercermin di dalam
laporan tersebut. Dalam pelaksanaannya, ternyata 3 pillar ini tidak dapat diterapkan di
banyak negara. Bagi negara industri Eropa Barat, penggunaan keseluruhan rencana tersebut
sama sekali tidak mungkin secara politis. Meski tetap berada di dalam batas-batas hubngan
yang sudah terjalin antar berbagai organisasi di dalam lingkungan PBB, pada waktunya,
ILO mengenmbangkan jawabannya sendiri terhadap tantangan pensiun yang diajukan oleh
Bank Dunia.
Jawaban itu diawali dengan dasar pemikiran bahwa tujuan perbaikan pensiun
adalah memberikan pertanggungan penuh dengan pengaturan yang baik, juga untuk
mencegah kemiskinan di masa tua dan menyediakan pensiun yang teratur, terjamin, dan
dapat diandalkan bagi mereka yang berpenghasilan rata-rata. Salah satu prinsip dasar
pensiun jaminan sosial adalah bahwa penghasilan pensiun bagi pekerja harus bisa
diperkirakan dan dijamin dimana hal ini tidak bisa diperoleh melalui skema kontribusi
tertentu. Bagaimanapun, mengingat perlunya menghindari konflik antara prinsip-prinsip
normatif dan keinginan untuk mengembangkan hubungan yang lebih langsung antara
kontribusi dan tunjangan, rancangan ILO yang pertama terdiri dari pendanaan penghasilan
pensiun melalui berbagai sumber, khususnya gabungan antara skema tunjangan tertentu
dan kontribusi tertentu, seperti yang diperlihatkan pada skema dibawah ini:
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 99
1. Sebuah dasar terendah antikemiskinan yang sudah teruji dan didanai dari penghasilan
umum, yang mampu memberikan dukungan penghasilan bagi mereka yang tidak
mempunyai kekayaan lain;
2. Sebuah dasar kedua berupa tunjangan tertentu Pay-as-you-go, yang wajib dan dikelola
secara terbuka, yang mampu memberikan penghasilan pengganti yang cukup tetapi
teratur untuk semua orang yang sudah memberikan kontribusi pada skema ni;
3. Sebuah dasar kontribusi tertentu, yang wajb sampai batas yang ditentukan dan bisa
dikelola secara swasta, yang mampu memberikan tunjangan pensiun; dan
4. Sebuah kontribusi tertentu yang bersifat sukarela dan dikelola secara swasta tanpa batas
tertinggi.
Struktur seperti itu memberi peluang untuk menghilangkan resiko yang
diwariskan di dalam skema pensiun, baik resiko politis yang diasosiasikan dengan
pengelolaan terbuka skema tunjangan tertentu maupun resiko pasar yang dikaitkan dengan
skema kontribusi tertentu, tetapi pada saat yang sama memberikan penghasilan pokok
pensiun yang terjamin bagi sebagian besar pekerja yang memiliki pendapatan rata-rata. Dari
keadaan yang ada dapat disimpulkan bahwa:
“Tidak ada satu rancanganpun yang cocok untuk semua negara dan semua
keadaan. Pertanyaan tentang rancangan apa yang paling tepat harus
mempertimbangkan faktor-faktor lain, terutama konteks sejarah dan sosial serta
kebutuhan untuk menyediakan pertanggungan yang universal dan pengaturan
yang baik.” (Gillion, 2000, hlm.63)
Hal itu tampaknya mengakhiri invasi Bank Dunia ke sektor jaminan sosial,
namun ini masih lebih jauh dari akhir pengaruh ideologi neoliberal terhadap sektor jaminan
sosial, khususnya pada skema pensiun pekerja. Contoh pertama datang dari Swiss yang
akibat jatuhnya pasar uang selama 2001 dan 2002, untuk pertama kalinya dalam sejarah
dan apensiun wajb berada di bawah tingkat cadangan modal yang sudah ditentukan.
Karenanya pemerintah melakukan campur tangan dan meminta dana tersbeut diturunkan
dari tingkat bunga tahunan pada tabungan perseorangan dari 4% menjadi 2%, begitu juga
tingkat konversi modal terhadap pensiun. Langkah ini mengakibatkan pengurangan rata-
rata 20% pada tingkat pensiun yang berlaku menurut skema itu. Ketika 2 tahun kemudian,
yaitu 2005, pendapatan investasi kembali 11% dan pemerintah menolak mengganti tingkat
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 100
yang sudah ditentukan dengan alasan perlu memperhatikan kinerja rata-rata lima tahun,
beberapa surat kabar nasional membicarakannya sebagai “penundaan abad ini”. Tentu saja,
pertimbangan ekonomi jangka pendek yang diilhami oleh cara berpikir neoliberal
bertentangan dengan pemikiran jangka panjang menyangkut kesenggupan pengembalian
dana, dan pertantangan seperti ini akan membayangi negosiasi-negosiasi di masa yang akan
datang.
Perubahan yang lebih dramatis bisa diperhatikan pada perkembangan pensiun
di Inggris. Berdasarkan survei yang dilakukan selama 2004, negara tersbeut menjadi saksi
berakhirnya skema tunjangan di perusahaan-perusahaan besar di sektor swasta. Satu per
satu, perusahaan-perusahaan itu menutup skema gaji terakhir mereka untuk karyawan baru
dan menggantinya dengan skema kontribusi yang baru serta modern, atau dengan
memanfaatkan undang-undang pensiun stakeholder tahun 2001 yang memberi
pertanggungan bagi karyawan di perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki pengaturan
pensiun.40
Hingga saat ini, setidaknya ada empat model negara kesejahteraan yang
masih beroperasi, yaitu:41
1. Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya,
baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai The Scandinavian Welfare
States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia. Sebagai contoh
negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang
memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara
kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan
lebih maju daripada model di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas,
namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni
pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan
40
Vladimir Rys, Reinventing Social Security Worldwide: Back To Essentials, The Policy Press, University of Bristol, 2010, hlm.70-78. 41
Suharto, Edi. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, LSP Press, Bandung, 2005.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 101
oleh negara diberikan tertuama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan
kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria
ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan
oleh Otto Von Bismarck dari Jerman.
3. Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi Amerika, Inggris,
Australia, dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan
terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups),
seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak
kaya. Ada 3 elemen yang menandai model ini di Inggris:
a. Jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum;
b. Perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan
c. Pemberian pelayanan sebaik mungkin.
Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak
warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di
Inggris, jumlah tanggungan dan elayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek
daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan
secara ketat, temporer dan efisien.
4. Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (Spanyol, Italia, Chile,
Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka, Indonesia). Model ini ditandai oleh
pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program
kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial, dan minimal dan
umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta
yang mampu membayar premi.
Di Indonesia, program jaminan sosial juga diinisiasi oleh pemerintah. Baik
Askes bagi PNS/ Pensiunan PNS/TNI/Polri maupun Jamsostek dan juga Jamkesmas,
merupakan implementasi kebijakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Demikian juga SJSN, sebagai upaya perluasan cakupan kepesertaan dan peningkatan
kualitas manfaat (benefit package) jaminan sosial.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 102
Meskipun tidak mudah dan sering menimbulkan kritik bahkan kontroversi dan
krisis, penyelenggaraan program jaminan sosial dinilai merupakan salah satu program yang
strategis, baik dalam mewujudkan kesejahteraan maupun perekonomian. Sebab, setiap
program jaminan sosial juga merupakan pemupukan dana/tabungan nasional yang ternyata
sangat bermakna bagi perekonomian sebuah negara.42
42
Sulastomo, Op.Cit.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 103
SECTION II:
Implementasi Program Jaminan Pensiun:
Tantangan & Kendala
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 104
BAB I
1 Juli 2015 Program Jaminan Pensiun Efektif Berlaku:
Cukup Siapkah Kita?
A. Program Jaminan Pensiun di Dunia
Secara umum reformasi jaminan sosial, khususnya jaminan pensiun di
negara-negara berkembang dimulai sejak akhir abad 20, hanya negara-negara
Amerika Latin seperti Peru, Mexico, Argentina,m Bolivia, Salvador, Uruguay, dan
Columbia yang memulainya lebih awal. Di Indonesia sendiri tuntutan reformasi
jaminan sosial muncul setelah krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1997-1998.
Bank dunia pun telah menerbitkan dua literature penting berkenaan dengan model
program pensiiun yang digunakan sebagai rujukan dalam melakukan reformasi
jaminan sosial oleh banyak negara. Buku pertama berjudul “Averting The Old Age
Crisis” diterbitkan pada tahun 1994 yang menawarkan dan merekomendasikan
model pensiun multi pillar kepada seluruh negara di dunia. Buku kedua diterbitkan
tahun 2005 dengan judul “Old-Age Income Support in the 21st Century: an international
perspective on pension reform system dan reform.” Buku ini menjadi bahan diskusi yang
sangat popular diantara para akademisi.
Bank Dunia melalui bukunya yang berjudul “Averting The Old Age Crisis”
(1994) dan“Old-Age Income Support in the 21st Century: an international perspective on
pension reform system dan reform.” (2005), menawarkan dan merekomendasikan model
pensiun multi pillar kepada seluruh negara di dunia. Dalam buku pertama, Bank
Dunia menganjurkan pemerintah untuk mengganti skema yang ada dengan sistem
tiga pilar yang memisahkan aspek tabungan, redistribusi dan asuransi sosial dan
pengelolaannya dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda dan menekankan
pengelolaan oleh pihak swasta. Berikut tiga pillar menurut Bank Dunia:
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 105
1. Sistem kepesertaan wajib yang dibiayai oleh pajak yang dikelola oleh
pemerintah. Memberikan jamiann perlindungan pensiun dalam jumlah yang
minimum.
2. Sistem kepesertaa wajib yang dibiayai oleh tabungan wajib yang dikelola
swasta. Memberikan jaminan perlindungan pensiun dan jamiann hari tua
pribadi.
3. Sistem kepesertaan sukarela yang dibiayai secara pribadi yang dikelola oleh
swasta. Memberikan manfaat perlindungan pensiun dan jamian hari tua yang
lebih baik yang tentu saja dnegan pembiayaan yang lebih besar.
Sistem tiga pilar seperti diatas bertujuan untuk mendiversikan risiko yang
akan dihadapi peserta, pekerja, dan pemberi kerja dapat memilih program pensiun
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka masing-masing dan menekankan
peranan swasta dalam pengelolaan program jaminan sosial.
Kemudian tahun 2005, Bank Dunia merevisi dan melengkapi sistem tiga pilar
tersebut menjadi sistem multi pilar yang lebih fleksibel sebagai respon terhadap
kebutuhan dan kondisi yang berbeda dari setiap negara. Berikut multi pillar menurut
Bank Dunia:
1. Non Contibutory “Zero Pillar”
Sosial pensiun yang dibiayai dan dikelola oleh pemeirntah untuk pengentasan
kemiskinan dan memberikan perlindungan minimal bagi penduduk usia
lanjut.
2. A Mandatory “First Pillar”
Pembiayaan melalui tebungan wajib untuk perlindungan pensiun dengan
manfaat pasti yang bisanya menggunakan sistem pas-as-you-go (PYAG).
3. A Mandatory “Second Pillar”
Pembiayaan melalui tabungan wajib untuk jaminan hari tua dengan iuran
pasti.
4. A Voluntary “Thrid Pillar”
Pillar ini memungkinkan bentuk perlindungan yang bervariasi dalam
pembiayaan maupun pemberian manfaat hari tua dan pensiun.
5. A Non Financial “Fourth Pillar”
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 106
Memberikan perlindungan informal, bantuan financial maupun non-finansial,
termasuk akses terhadap kesehatan dan perumahan.
Berikut adalah sedikit informasi terkait dengan sistem jaminan pensiun yang
diselenggarakan negara lain.
1. Negara Jerman
Sistem Jaminan Pensiun di Jerman mengalami perombakan besar.
Asuransi Purnakarya yang diatur oleh undang-undang tetap menjadi sumber
pendapatan utama di hari tua, namun persiapan dana purnakarya oleh
perusahaan atau perorangan semakin penting. Asuransi Punakarya adalah
lembaga yang oleh undang-undang Jerman diberikan amanah untuk mengatur
program Jaminan Hari Tua. Pembiayaannya didasarkan atas pola pembagian
antarpeserta, yaitu iuran yang dibayar setiap bulan oleh para pekerja dan majikan
dipakai untuk membayar uang purnakarya secara teratur kepada peserta asuransi
yang sudah mencapai usia pensiun. Dengan menyetor iuran selama masa kerja
aktif, peserta asuransi memperoleh hak penerimaan uang purnakarya atas nama
sendiri. Dana untuk membayar uang purnakarya itu di masa depan harus
dikumpulkan dari iuran generasi berikutnya. Di samping itu sistem jaminan hari
tua didukung oleh tiang kedua dan ketiga berupa dan apersiapan hari tua yang
disediakan oleh perusahaan atau yang dikumpulkan secara perseorangan. Dengan
persayaratan tertentu jenis dana itu mendapat subsidi dari negara.
Di dalam sistem pembiayaan dari asuransi wajib purnakarya, berlaku
perjanjian antar generasi dimana berdasarkan pol apembagian diantara peserta
asuransi, orang-orang yang bekerja sekarang membayar uang purnakarya bagi
generasi pensiunan melalui iuran yang mereka setor, dengan mengharapkan
bahwa generasi penerus nantinya akan membayar uang purnakarya bagi mereka
pula.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 107
2. Negara Jepang43
Setiap orang yang tinggal di Jepang termasuk warga asing, yang berusia
antara 20 hingga 59 tahun diwajibkan oleh Undang-undang untuk mendaftarkan
diri dalam program Pensiun Nasional dan membayar premi asuransi pension.
Program pensiun untuk publik diatur sedemikian rupa sehingga setiap generasi
yang ada dalam masyarakat secara keseluruhan dapat memberikan dukungan
santunan terhadap satu sama lain. Dalam program pensiun untuk publik, selain
ditawarkan program Pensiun untuk Kaum Lanjut Usia (Rourei Nenkin) terdapat
juga program Pensiun untuk Kaum Cacat (Shougai Nenkin) dan Pensiun untuk
Keluarga Almarhum (Izoku Nenkin) apabila hal-hal yang tidak diinginkan ini
terjadi. Dalam program Pensiun Nasional, pemerintah menanggung pembayaran
sebagian dana pensiun yang akan diterima.
- Keanggotaan Program Pensiun Nasional dan Prosedur Pendaftaran
Keanggotaan program Pensiun Nasional terbagi atas 3 Kategori dan prosedur
pendaftaran adalah seperti yang dijelaskan berikut ini :
a. Anggota tertanggung asuransi Kategori 1
Mereka yang tinggal di Jepang, berusia antara 20 hingga 59 tahun dan
tidak termasuk anggota tertanggung asuransi Kategori 2 atau Kategori 3.
(1) Jika Anda adalah warga asing yang termasuk dalam asuransi
Kategori 1, setelah menyelesaikan pembuatan Kartu Penduduk
(Juminhyou) di kantor Kotamadya/Kota/Desa maka Anda
diharapkan untuk melakukan prosedur pendaftaran di loket Pensiun
Nasional di kantor Kotamadya/Kota/Desa tersebut.
(2) Meskipun Anda memperoleh kewarganegaraan Jepang atau
mengalami naturalisasi, Anda tetap perlu melakukan prosedur
pendaftaran.
(3) Diharapkan untuk membayar premi asuransi sesuai dengan slip
pembayaran yang dikirimkan oleh The Japan Pension Service (JPS).
b. Anggota tertanggung asuransi Kategori 2
43
http://www.nenkin.go.jp/n/data/english/0000004250.pdf diakses pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 17:50 WIB.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 108
Mereka yang mendaftar dalam program Pensiun Kesejahteraan (Kousei
Nenkin), dll. di perusahaan, di pabrik, dll. dimana mereka bekerja.
(1) Karena prosedur pendaftaran dilakukan oleh pemilik usaha atau
pabrik, maka Anda sendiri tidak harus melakukan prosedur apapun.
Untuk keterangan yang lebih terperinci, harap tanyakan kepada pihak
perusahaan atau pabrik dimana Anda bekerja.
(2) Premi asuransi akan diambilkan dari gaji Anda dan pemilik usaha
yang akan melakukan pembayaran.
c. Anggota tertanggung asuransi Kategori 3
Pasangan Suami/Isteri (tanggungan pasangan Suami/Isteri) yang berusia
antara 20 hingga 59 tahun yang menjadi tanggungan daripada anggota
tertanggung asuransi Kategori 2.
(1) Prosedur pendaftaran dilengkapi melalui perusahaan tempat bekerja
anggota tertanggung asuransi Kategori 2. Untuk keterangan yang
terperinci, harap tanyakan kepada pihak perusahaan atau pabrik
dimana pasangan Anda bekerja.
(2) Tidak ada tanggungan pembayaran premi pensiun. Anggota
tertanggung asuransi Kategori 2 akan menanggung secara
keseluruhan.
- Buku Pedoman Pensiun
Buku pedoman ini diperlukan sebagai tanda bukti diri ketika peserta
menerima uang pensiun atau saat berkonsultasi. Karena buku pedoman
tersebut berlaku hingga akhir masa keanggotaan maka harus disimpan di
tempat yang aman. Jika buku pedoman ini hilang, maka anggota tertanggung
asuransi Kategori 1 harus melakukan prosedur permohonan ke JPS Branch
Office atau kantor Kotamadya/Kota/Daerah tempat tinggalnya. Untuk
anggota tertanggung asuransi Kategori 2, harus melakukan prosedur ke JPS
Branch Office atau melalui pemilik usaha tempatnya bekerja, sedangkan
untuk anggota tertanggung asuransi Kategori 3, harus melakukan prosedur
permohonan melalui pemilik usaha tempatnya bekerja.
- Premi Asuransi Perbulan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 109
Untuk bulan April 2013 hingga bulan Maret 2014 premi asuransi untuk
program pensiun nasional perbulan adalah sebesar 15,040 Yen. Premi untuk
setiap bulannya harus dilunasi sebelum akhir bulan berikutnya. Premi dapat
dibayarkan secara tunai ke lembaga-lembaga keuangan yang ada seperti di
Bank, Kantor Pos maupun toko-toko 24 jam (convenience store) yang
melayani pembayaran tersebut. Selain itu juga, pembayaran dapat dilakukan
melalui fasilitas Internet atau transfer otomatis dari rekening bank peserta.
Ada juga program prabayar dimana bila peserta membayar premi di muka
untuk suatu periode tertentu di masa mendatang, maka peserta tersebut dapat
memperoleh diskon (potongan) premi. Selain itu, pembayaran di muka
dengan cara transfer otomatis dari rekening Bank akan memperoleh diskon
premi lebih banyak dibandingkan dengan pembayaran di muka dengan uang
tunai.
- Jaminan Pensiun Bagi Peserta Kurang Mampu
Bagi peserta yang kesulitan untuk membayar premi asuransi karena berbagai
alasan seperti penghasilan yang kecil, dapat mengajukan permohonan
pembebasan pembayaran premi ke kantor Kotamadya/Kota/Desa setempat.
Apabila penghasilan peserta tahun sebelumnya diperiksa dan diakui oleh JPS
Branch Office maka peserta akan memperoleh pembebasan pembayaran
seluruh atau sebagian dari harga premi asuransi. Jenis Sistem Pembebasan
Premi, jumlah premi asuransi maupun jumlah dana pensiun pokok bagi
Kaum Lanjut Usia yang dikenakan selama periode pembebasan premi
dibandingkan dengan periode pembayaran penuh premi, dll adalah sebagai
berikut:
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 110
Jenis Sistem Pembebasan Premi Jumlah Premi
Asuransi
Jumlah Dana
Pensiun Pokok
Kaum Lanjut Usia
Pembebasan Penuh 0 Yen 4/8
Pembayaran seperempat (3/4 dari
preminya dibebaskan)
3,760 Yen 5/8
Pembayaran setengah (1/2 dari preminya
dibebaskan)
7,520 Yen 6/8
Pembayaran tiga-perempat (1/4 dari
preminya dibebaskan)
11,280 Yen 7/8
Penundaan pembayaran premi bagi kaum
usia muda
0 Yen 0
Sistem pembayaran khusus bagi pelajar 0 Yen 0
Keterangan:
a. Untuk pembayaran seperempat (1/4), pembayaran setengah (1/2) maupun
pembayaran tiga perempat (3/4) dari premi, jika peserta gagal membayar
sebagian dari premi-premi tersebut maka sistem pembebasan sebagian akan
tidak berlaku dan peserta dianggap tidak melakukan pembayaran premi.
Bila hal ini terjadi, peserta harus berhati-hati karena selain tidak akan
dimasukkan dalam perhitungan pensiun pokok Kaum Lanjut Usia di masa
depan, tetapi juga ada kemungkinan peserta tersebut tidak dapat menerima
dana pensiun pokok bagi Kaum Cacat ataupun dana pensiun pokok bagi
Keluarga Almarhum bila hal-hal yang tidak diinginkan ini terjadi.
b. Sistem Penundaan Pembayaran untuk Kaum Muda Usia (Jakunensha
Noufu Yuuyo Seido) dapat digunakan oleh mereka yang berusia di bawah
30 tahun.
c. Sistem Pembayaran Khusus bagi Pelajar (Gakusei Noufu Tokurei Seido)
dapat digunakan oleh pelajar. Kecuali untuk sebagian sekolah, institusi-
institusi pendidikan luar negeri yang berdiri di Jepang, sistem ini tidak
dapat digunakan. Pelajar yang menjalani pendidikan untuk jangka pendek
juga tidak memenuhi syarat.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 111
- Tambahan Pembayaran Premi
Mengenai periode otorisasi dimana Peserta diizinkan memperoleh
pembebasan penuh maupun pembayaran sebagian premi, dalam waktu 10
tahun peserta juga dapat membayar premi pensiun (pembayaran tambahan).
Jika peserta tersebut menambah pembayaran, maka perhitungan dana
pensiun pokok bagi Kaum Lanjut Usia di masa depan akan sama dengan
kasus perhitungan bila premi asuransi dibayar penuh. Namun demikian,
apabila pembayaran tambahan premi dilakukan sejak anggaran ketiga,
dihitung dari tahun anggaran berikutnya sesudah tahun anggaran dimana
otorisasi izin periode pembebasan pembayaran diterima, maka pada rata-rata
premi pensiun saat itu akan ada jumlah tambahan tertentu.
- Jumlah Dana Pensiun Yang Disediakan Oleh Program Pensiun Nasional
a. Pensiun Pokok bagi Kaum Lanjut Usia (Rourei Kiso Nenkin)
Dana pensiun diberikan kepada mereka yang telah memenuhi
persyaratan seperti telah membayar premi selama 25 tahun atau lebih,
dan telah mencapai usia 65 tahun.
Jumlah dana pensiun : 786,500 Yen (jumlah dana pensiun tahun
anggaran 2013 bila telah membayar premi pensiun selama 40 tahun).
b. Pensiun Pokok bagi Kaum Cacat (Shougai Kiso Nenkin)
Dana pensiun diberikan kepada mereka yang menderita sakit pada hari
pemeriksaan pertama atau mengalami cedera yang mengakibatkan cacat
tingkat 1 atau tingkat 2 selama dia menjadi anggota program Pensiun
Nasional.
Jumlah dana pensiun : 983,100 Yen (jumlah dana pensiun untuk cacat
tingkat 1 tahun anggaran 2013) atau 786,500 Yen (jumlah dana pensiun
untuk cacat tingkat 2 tahun anggaran 2013).
c. Pensiun Pokok bagi Keluarga Almarhum (Izoku Kiso Nenkin)
Jika seorang anggota program Pensiun Nasional meninggal dunia, maka
keluarga yang disantuninya (isteri yang mempunyai anak, atau anak-
anaknya) akan menerima dana Pensiun pokok bagi Keluarga Almarhum.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 112
Jumlah dana pensiun : 1,012,800 Yen (jumlah dana pensiun tahun
anggaran 2013 yang diberikan kepada isteri dengan satu anak)
(1) Untuk sebagian periode dimana seseorang yang mengalami
naturalisasi (melepaskan kewarganegaraannya untuk mendapatkan
kewarganegaraan Jepang) sebelum umur 65 tahun, atau seseorang
yang mendapat izin tinggal permanen, dll. tetapi tidak berdomisili di
Jepang, sejak 1 April 1961 hingga satu hari sebelum hari
pemerolehan kewarganegaraan Jepang sepanjang masa usia 20
hingga 59 tahun akan termasuk dalam periode berhak menerima
pembayaran pensiun 25 tahun, (atau disebut periode yang dapat
digabungkan). Gabungan periode ini akan dimasukkan dalam
perhitungan saat mempertimbangkan apakah gabungan periode ini
memenuhi atau tidak memenuhi syarat periode untuk penerimaan
pensiun pokok bagi kaum lanjut usia, tetapi periode ini tidak akan
dijadikan sebagai dasar perhitungan jumlah dana pensiun pokok bagi
kaum lanjut usia tersebut.
(2) Untuk menerima dana Pensiun Pokok bagi Kaum Cacat dan
Pensiun Pokok bagi Keluarga Almarhum ada persyaratan
pembayaran lunas sejumlah premi tertentu, dan bila tidak memenuhi
syarat tsb, maka tidak dapat menerima dana pensiun tersebut.
- Pembayaran Dana Pensiun Sekaligus Karena Pengunduran Diri
Jika warga asing, yang telah memenuhi pembayaran dengan jumlah total
periode pembayaran premi dll. (kecuali periode untuk Asuransi Kategori 2
dan Kategori 3) selama 6 bulan atau lebih, tetapi tidak memenuhi syarat
periode penerimaan pensiun pokok bagi Kaum Lanjut Usia tidak lagi
mempunyai alamat di Jepang, maka dia berhak menerima dana pensiun
selama 2 tahun dengan mengajukan permohonan pengunduran diri. Jumlah
dana tsb. ditentukan menurut jumlah bulan terpenuhinya pembayaran premi
seperti yang diuraikan di sebelah kanan (jika pembayaran bulanan terakhir
pada tahun 2013).
Total periode pembayaran premi yang dipenuhi dihitung dengan cara berikut:
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 113
Total Periode Pembayaran Premi Yang
Dipenuhi
Jumlah Yang diberikan
6 – 11 Bulan 44.940 Yen
12 – 17 Bulan 89.880 Yen
18 – 23 Bulan 134.820 Yen
24 – 29 Bulan 179.760 Yen
30 – 35 Bulan 224.700 Yen
36 Bulan atau lebih 269.640 Yen
3. Negara Korea Selatan
Terkait dengan program jaminan pensiun,manfaat program jaminan
pensiun di Korea Selatan bervariasi sesuai dengan lamanya mengiur yang diatur
dengan formula tertentu dengan maksimum pensiun sebesar 60% dari upah
terakhir untuk yang sudah mengiur selama 40 tahun. Selain pensiun karena
mancapai usia pensiun, NPC juga membayarkan pensiun cacat, pensiun ahli
waris, dan pembayaran lumpsum bagi peserta yang belum memilki masa
kualifikasi pensiun (10 tahun).
4. Negara China
Program pensiun di China memberikan manfaat berkala seumur hidup
dengan kepesertaan wajib bagi setiap perusahaan yang mempekerjakan 1
orang. Iuran program hari tua di China ditetapkan maksimal 20% dari upah yang
menjadi beban perusahaan, kemudian pekerja diwajibkan mengikuti program
tabungan wajib dengan iuran 8% upah.
Jumlah bulan pembayaran penuh + (jumlah bulan pembayaran 1/4)
1/4 + (jumlah bulan pembayaran 1/2) 1/2 + (jumlah bulan
pembayaran 3/4) 3/4
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 114
5. Negara Amerika Serikat
Pada prinsipnya, sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan
dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah
(Social Security Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial
Amerika bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan
kesehatan. Hanya saja, jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk
penduduk berusia 65 tahun keatas atau yang menderita cacat tetap atau penderita
sakit ginjal yang mematikan. Seluruh penduduk, apakah ia pegawai swasta
maupun pegawai pemerintah harus masuk program jaminan sosial sehingga
perpindahan pekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain atau dari satu negara
bagian ke negara bagian lain tidak menjadi masalah. Untuk itu, setiap penduduk
harus memiliki nomor jaminan sosial (9 digit) yang berlaku untuk segala macam
urusan seperti sebagai nomor pajak, kartu SIM, bersekolah, menjadi nasabah
bank, dan berbagai urusan kehidupan lainnya.
Manfaat yang diberikan berupa jaminan pensiun yang dibayarkan
menurut sistem pay as you go dimana iuran dibayarkan oleh tenaga kerja yang
aktif bekerja dan pemberi kerja, sedangkan manfaat bagi pensiunan dibayarkan
dari iuran tenaga kerja pada tahun yang sama. Artinya, pensiun bagi penduduk
Amerika dibayar oleh tenaga kerja yang masih aktif, bukan dari tabungan
pensiunan pada masa lalu. Begitu juga untuk jaminan cacad, pensiun ahli waris,
dan Medicare. Jaminan pensiun diberikan berkaitan dengan tingkat penghasilan
penduduk terakhir dan lamanya seorang penduduk mengiur. Besarnya pensiun
yang menjadi hak setiap penduduk dapat dilihat dari Web yang setiap orang dapat
menghitung atau melihat haknya setiap saat.
B. Mengenal Perjalanan Dana Pensiun di Indonesia
Dana pensiun merupakan lembaga yang berasal dari sitem hukum Anglo
Saxon. Ia berkembang di Indonesia seiring dengan berkembangnya bisnis dari Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Pada saat itu timbul pemikiran untuk membentu
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 115
tabungan jangka panjang karyawan yang hasilnya akan dinikmati setelah pensiun.
Penyelenggaraannya dilakukan dalam suatu program, yaitu program pensiun.
Dana Pensiun, menurut sistem hukum Anglo Saxon, adalah dana yang
sengaja dihimpun secara khusus dengan tujuan untuk memberikan manfaat kepada
karyawan pada saat mereka mencapai usia pensiun, meninggal dunia atau cacat.44
Dana tersebut kemudian dikelola oleh suatu lembaga yang disebut trust,
sedangkan pengelolanya disebut trustee. Namun konsep trust ini tidak dikenal dalam
sistem hukum Indonesia. Maka bentuk ini kemudian diadaptasi sehingga menjadi
dana pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun.
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun, industri Dana Pensiun terus tumbuh dan menunjukkan perannya dalam
perekonomian Indonesia. Indikator pertumbuhan industri Dana Pensiun dapat
terlihat dari pertumbuhan aset, investasi, dan peserta yang terus bertambah.
Sepanjang 20 tahun ini, pemerintah terus berupaya untuk menumbuhkan industri
dana pensiun, antara lain melalui penyusunan dan penyempurnaan berbagai
pertumbuhan tersbeut, aset Dana Pensiun juga terus tumbuh dan berkembang.
Namun demikian, peningkatan jumlah aset Dana Pensiiun masih belum mencapai
hasi yang signifikan bila dibandingkan dnegan GDP Indonesia. Hal ini terlihat dari
presentase aset Dana Pensiun terhadap GDP yang rata-rata hanya sekitar 2% sejak
tahun 1997 sampai dengan 2011.
Sebagai gambaran, di negara-negara maju seperti Inggris, Kanada, dan
Amerika Serikat aset Dana Penisun di tiga negara tersbeut memiliki proporsi yang
sangat besar terhadap GDP, yaitu 88,68%; 64,66%; dan 72,67%. Namun tidak
seperti di Indonesia, di negara-negara tersebut, Dana Pensiun sebagai suatu lembaga
keuangan telah cukup lama berorientasi dan dikenal oleh warganya. Sementara itu di
negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, proporsi aset Dana Penisun
di kedua negara tersbeut terhadap GDPnya mencapai lebih dari 50%. Berbeda
dengan Indonesia, di negara-negara tersbeut, program pensiiun merupakan program
yang bersifat wajib dan harus diikuti oleh semua warganya.
44
A. Setiadi, Dana Pensiun Sebagai Badan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm.4.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 116
Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun,
dana pensiun adalah suatu badan hukum yang dibentuk untuk mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun, definisi tersebuut terdapat
dua unsur penting, yaitu:
1. Dana pensiun menurut undang-undang adalah suatu badan hukum.
2. Dana pensiun menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
Terdapat 3 (tiga) jenis Dana Pensiun, yaitu:45
1. Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK)
Yaitu Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan
karyawan, selaku sendiri, untuk menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat
Pasti (PPMP) atau Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP), bagi kepentingan
sebagian atau seluruh karyawan sebagai peserta, dan yang menimbulkan
kewajiban terhadap pemberi kerja. Hal ini terdapat dalam pasal 1 angka 2
Undang-Undang No.11 Tahun 1992.
2. Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
menjelaskan bahwa Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) adalah Dana
Pensiun yang dibentuk oleh Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa untuk
menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) bagi perorangan, baik
karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari Dana Pensiun Pemberi
Kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
3. Dana Pensiun Berdasarkan Keuntungan (DPBK)
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
menjelaskan bahwa Dana Pensiun Berdasarkan Keuntungan (DPBK) adalah
Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran
Pasti, dengan iuran hanya dari pemberi kerja yang didasarkan pada rumus yang
dikaitkan dengan keuntungan pemberi kerja.
45
Iman Sjahputra Tunggal, Tanya Jawab Aspek Hukum Dana Pensiun di Indonesia, Jakarta: Harvarindo, 1999, hlm.5.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 117
Dalam memilih program pensiun haruslah sesuai dengan kondisi dan
kemampuan perusahaan dan calon peserta. Ada 2 (dua) bentuk program pensiun,
yaitu:
1. Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.11 Tahun 1992 mengatur bahwa dalam
program ini manfata pensiun yang ditetapkan lebih dahulu dengan besarnya gaji.
Iuran tersebut dapat diubah-ubah berdasarkan perhitungan aktuaria dan hasil
pengelolaan dananya. Namun demikian bagian iuran karyawan tetap diambil
tetap, sedangkan iuran perusahaan saja yang berubah-ubah.
2. Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP)
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 mengatur bahwa dalam
program ini kewajiban membayar iuran dari pemberi kerja ataupun peserta telah
ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan kemampuan masing-masing pihak. Hal
ini mengandung pengertian bahwa bagaimanapun keadaan perusahaan, maka
iuran harus tetap dibayarkan pada Dana Pensiun sebesar yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Berikut akan diuraikan perbedaan antara Program Pensiun Manfaat Pasti
(PPMP) dan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) dari beberapa aspek, yaitu:46
Program Pensiun Manfaat Pasti
(PPMP)
Program Pensiun Iuran Pasti
(PPIP)
Manfaat Pensiun
Ada kepastian besarnya manfaat
pensiun yang akan diperoleh
semenjak permulaan program.
Tidak ada kepastian manfaat
pensiun yang akan diperoleh
(tergantung akumulasi dana).
Iuran
Besar iuran tidak pasti dan harus
dihitung aktuaris.
Besar iuran menyangkut
kemampuan dan persetujuan
semua pihak.
Dana Awal
46
Ibid, hlm.15.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 118
Tidak diperlukan dana awal dan
harus dihitung aktuaris.
Tidak diperlukan dana awal.
Investasi
Ada target manfaat. Lebih berani dalam berinvestasi.
Kegagalan Investasi
Resiko ada pada pemberi kerja. Resiko ada pada peserta.
Penyelenggara
Hanya dapat dilaksanakan oleh
DPPK.
Dapat dilakukan baik oleh DPPK
maupun DPLK (yang didirikan
oleh bank atau perusahaan asuransi
jiwa).
Pengendalian Dana
Pengendalian dana secara
kelompok.
Pengendalian perseorangan
(personal account).
Besarnya Iuran
Besarnya iuran dibatasi
Kekayaan
Dibatasi Tidak dibatasi
Besarnya Manfaat Pensiun
Dibatasi Tidak dibatasi
Penarikan Dana
Dilarang, kecuali pada saat
pensiun.
Diperbolehkan sebatas iuran
sendiri.
Program pensiun manfaat pasti yang selama ini telah berkembang di
sejumlah negara industri dirasakan sudah tidak menarik lagi bagi banyak negara,
khususnya negara berkembang. Secara global, keberadaan program pensiiun manfaat
pasti kini sudah bergeser dan digantikan dengan program pensiiun iuran pasti.
Pergeseran program pensiun ini tidak hanya terjadi di negara-negara Asia, tetapi juga
terjadi di negara maju lainnya, seperti negara-negara di Eropa dan Amerika. Bahkan
beberapa negara di kawasan Eropa Tengah dan Timur serta Asia telah terjadi
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 119
reformasi pensiun yang fundamental, seperti adanya program pensiun iuran pasti
yang bersifat wajib dan diikuti oleh semua warga. Diperkirakan, tingkat
pertumbuhan aset Dana Pensiiun di kawasan Eropa Tengah dan Timir tersebut
mencapai 19% per tahun. Sedangkan di kawasan Asia, tingkat pertumbuhan tersebut
diperkirakan mencapai 17% per tahun.
C. Program Baru Jaminan Pensiun dalam Tataran Sistem Jaminan Sosial Nasional
Dalam rangka memenuhi amanat yang dibebankan oleh UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan negara yang sejahteran dengan
sistem jaminan sosial yang baik, maka melalui pengesahan UU SJSN telah
ditetapkan bahwa Program Pensiun yang selama ini menjadi tanggung jawab dari
PT. Taspen akan beralih menjadi tanggung jawab BPJS Ketenagakerjaan. Lebih dari
itu, cakupan penerima jaminan pensiun pun diperluas: seluruh pekerja, meliputi
pekerja/buruh tetap, pekerja/buruh tidak tetap, dan pekerja mandiri atau pekerja
yang berusaha sendiri.
Dalam kerangka program pensiun, jaminan pensiun berdasarkan UU
SJSN diatur sebagai berikut:
1. Diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
tabungan wajib;
2. Program ini berbentuk program pensiun manfaat pasti;
3. Iuran ditanggung bersama pemberi kerja dan pekerja;
4. BPJS melakukan penarikan iuran dan pembayaran manfaat pensiun.
Dalam penjelasan umum UU SJSN disebutkan bahwa dengan adanya
penyelenggaraan sistem jaminan sosial, termasuk penyelenggaraan program jaminan
sosial, termasuk penyelenggaraan program Jaminan Pensiun, diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap penduduk bila terjadi hal-
hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena
memasuki usia lanjut atau pensiun.
Dari perspektif Bank Dunia, penerapan Program Jaminan Pensiun di
Indonesia telah mengikuti model mutli pillar Bank Dunia, yakni pillar pertama
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 120
melalui Jaminan Pensiun dengan manfaat pasti dan pilar ke dua melalui Jaminan
Hari Tua dengan iuran pasti. Kedua program ini harus dilihat sebagai satu kesatuan
dalam perlindungan hari tua, Program Jaminan Pensiun memberikan jaminan
oenghasilan bulanan seumur hidup, dan jaminan hari tua memberikan likuiditas sata
pensiiun dengan membayarkan manfaatnya secara sekaligus.
Namun pemilihan sistem Pay As You Go (PAYG) dianggap terlalu
rentan untuk digunakan di masyarakat yang menuju ageing population. Jika manfaat
program terlalu besar maka tingkat iuran juga akna tinggi, sehingga hal ini akan
menimbulkan sejumlah persoalan dan penolakan terhadap sistem ini, diantaranya
adalah:
- Tingginya tingkat iuran dari upah akan langsung mengurangi penghasilan tenaga
kerja sehingga selanjkutnya mungkin mereka akan menuntut upah yang lebih
tinggi.
- Biaya tenaga kerja merupakan penentu penting investasi asing langsung, sehingga
akan mengurangi minat investasi.
- Nilai manfaat program yang besar dapat menyisihkan program pensiun swasta
dan produk asuransi swasta lainnya.
D. Babak Baru Program Jaminan Pensiun Oleh BPJS Ketenagakerjaan
Wacana akan diterapkannya Program Jaminan Pensiun oleh BPJS
Ketenagakerjaan bulan Juli mendatangkan merupakan sebuah kabar gembira bagi
para pekerja swasta, khususnya pekerja yang tidak mendapat fasilitas jaminan
pensiun dari perusahaannya dan pekerja sektor informal.
Program Jaminan Pensiun yang diampu oleh BPJS Ketenagakerjaan
dibagi menjadi dua berdasarkan masa kerja peserta, yaitu Jaminan Pensiun bagi
pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 15 tahun dan Jaminan Pensiun bagi
pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari 15 tahun. Pembedaan fasilitas yang
ada mempertimbangkan beberapa aspek intuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak, antara lain, pada saat peserta kehilangan atau berkurang pekerjaannya
karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 121
Senyatanya Jaminan Pensiun dikatakan hanya berfokus pada perusahaan
besar, sedangkan perusahaan kelas menengah kebawah belum diperlukan
keikutsertaan Jaminan Pensiun. Meski demikian, implementasi Jaminan Pensiun
tetap wajib bersifat menyeluruh kepada semua perusahaan meski hal itu
dilaksanakan secara bertahap.
Kebijakan ini merupakan angin segar bagi pekerja lantaran timbulnya
kekhawatiran bahwa pekerja tidak dapat mengelola dana jaminan hari tua yang
dimilikinya sehingga adanya income lain setiap bulan dengan nominal terukur di hari
tua dari jaminan pensiun menjadi sebuah solusi.
Ditengah kegembiraan para pekerja, timbul kekhawatiran dari sisi
pengusaha. Bukan tanpa alasan, masalahnya walau akan efektif dilaksanakan pada
bulan Juli 2015, sampai saat ini belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang berisi
teknis pelaksanaan Program Jaminan Pensiun. RPP Jaminan Pensiun yang
digadang-gadang akan selesai pada bulan Agustus 2014 pun hingga saat ini belum
selesai digodok. Seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) seperti Pemerintah
melalui OJK, dan BPJS Ketenagakerjaan, serta Apindo, Asosiasi DPLK, Asosiasi
Dppk, dan Serikat Pekerja terus melaukan koordinasi dan harmonisasi terhadap
berbagai peraturan yang ada agar tidak saling tumpang tindih, tidak merugikan iklim
industri yang telah berkembang di Indonesia, dan yang terpenting tidak mengurangi
manfaat maksimum pekerja/karyawan terkait dengan asa pensiunnya. Sampai saat
ini, belum ditemukan titik temu win-win solution yang mengakomodir kepentingan
semua pihak.
RPP Jaminan Pensiun adalah dasar dari kekhawatiran Pengusaha
lantaran isinya yang menimbulkan multi tafsir dan kesalahpahaman. Berdasarkan
kegelisahan yang ada, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melalui Apindo
Training Center melakukan riset terkait pelaksanaan Program Jaminan Pensiun
yang akan dilaksanakan pada bulan Juli mendatang. Dengan berdasar pada data,
survey, regulasi, dan analisis ditemukan beberapa hal yang menjadi penghalang bagi
Program Jaminan Pensiun untuk dapat dilaksanakan. Hal-hal tersebut adalah:
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 122
1. Review Premi pada RPP Jaminan Pensiun
Hingga saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hal teknis
Program Jaminan Pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan
belum tuntas, padahal pelaksanaan program jaminan pensiun itu sendiri akan
efektif dilaksanakan mulai tanggal 1 Juli 2015.
Perdebatan terkait besaran premi hingga kini menjadi salah satu persoalan
mendasar belum selesainya PP tersebut. Pasalnya, usulan DJSN untuk besar
premi sebesar 8% untuk tahap awal dan sebesar 15% untuk 15 tahun kedepan.
Perhitungan ini didasari oleh salah satu klausa terkait besaran premi yang ada
di dalam RPP yang menyatakan bahwa setiap tiga tahun sekali besaran premi
akan dievaluasi dan mengalami kenaikan secara bertahap, ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa tidak diatur dasar perhitungan dan kondisi-kondisi
serta komponen penentu besarnya prosentase iuran, tentu besar kemungkinan
besar iuran dapat meningkat sewaktu-waktu tanpa adanya kapasitas
pengusaha untuk turut menentukan besarnya prosentase iuran. Hal ini akan
membuat kestabilan bisnis menjadi sulit manakala kondisi perekonomian dan
tingkat inflasi sedang tidak bersahabat ditambah dengan meningkatnya
prosentase iuran jaminan pensiun yang harus dikeluarkan perusahaan.
Pada dasarnya tentu besaran premi tidak akan memberatkan perusahaan
skala sedang hingga besar, akan tetapi perusahaan dengan skala kecil dan
mikro tentu akan sulit untuk menyesuaikan dengan kebijakan yang ada.
Selain itu, besaran premi Program Jaminan Pensiun dinilai terlalu berat
mengingat pertumbuhan ekonomi negara yang sedang tidak dapat dibilang
berkembang dan baik, dan juga tuntutan lainnya yang akan berpengaruh
kepada keadaan bisnis seperti melonjaknya upah minimum dan juga
meningkatnya harga-harga bahan pokok.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 123
2. Skema Jaminan Pensiun
Manfaat jaminan pensiun dibagi dalam beberapa jenis dilihat dari status dan
alasan pensiunnya, yaitu:
a. Pensiun hari tua;
Manfaat pensiun hari tua diterima oleh peserta yang telah memasuki masa
pensiun yaitu 56 tahun, akan tetapi apabila yang bersangkutan tetap
dipekerjakan pada usia tersebut maka pekerja dapat memilih untuk
menerima manfaat pensiun pada saat berusia 56 tahun atau pada saat
berhenti bekerja.
b. Pensiun cacat;
Manfaat pensiun cacat diterima oleh peserta yang mengalami cacat total
tetap sebelum mencapai usai pensiun.
c. Pensiun janda atau duda;
Manfaat pensiun janda atau duda diterima oleh janda atau duda ahlli waris
peserta atau pensiunan hari tua atau pensiunan cacat yang meninggal.
d. Pensiun anak;
Manfaat pensiun anak diterima oleh anak ahli waris dari peserta atau
pensiunan hari tua atau pensiunan cacat yang meninggal dan tidak
memiliki janda atau duda, atau diterima oleh anak ahli waris dari
pensiunan janda atau duda yang meninggal dunia.
e. Pensiun orang tua bagi peserta lajang.
Manfaat pensiun orang tua diterima oleh orang tua ahli waris peserta
lajang yang meninggal dunia.
Bagi Peserta yang menerima manfaat pensiun hari tua, terdapat dua sistem
manfaat yang diberikan dilihat dari jangka waktu iuran peserta, sebagaimana
berikut:
1. Manfaat Berkala, dibayarkan kepada peserta secara bulanan apabila
peserta telah mencapai usia pensiun dan memiliki masa iur paling sedikit
180 (seratus delapan puluh) bulan.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 124
2. Manfaat sekaligus, dibayarkan kepada peserta apabila peserta telah
mencapai usia pensiun akan tetappi memiliki masa iur kurang dari 180
(seratus delapan puluh) bulan.
Dari jenis manfaat yang ada maka dapat dilihat bahwa bagi peserta yang
memiliki mas iur kurang dari 180 bulan atau 15 tahun, pada saat memasuki
usia pensiun akan mendapatkan jaminan pensiun secara sekaligus, sedangkan
bagi peserta yang memiliki masa iur paling sedikit 180 bulan atau 15 tahun,
pada saat memasuki masa pensiun akan mendapatkan jaminan pensiun setiap
bulannya secara berkala dengan nominal yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Konsep Jaminan Pensiun sebagaimana dijelaskan diatas dinilai tidak rasional,
pasalnya sistem manfaat pasti dapat menimbulkan risiko finansial yang cukup
besar bagi perusahaan dan pemerintah karena beberapa alasan. Pertama,
dengan sistem tersebut nantinya akan ada beban yang harus ditunggung
pengusaha setiap kali karyawan purna tugas, yaitu perusahaan harus merekrut
beberapa pegawai baru untuk menanggung biaya pensiun pekerja lama.
Kedua, dengan sistem manfaat pasti maka perusahaan harus memberikan
kontribusi tambahan ke Program Jaminan Pensiun apabila program ini
mengalami masalah defisit finansial yang cukup serius. Di dalam Program
Jaminan Pensiun, kemungkinan timbulnya defisit cukup besar karena manfaat
pensiun yang akan diberikan program ini cukup besar, yaitu minimum senilai
70% dari upah minimum regional (UMR) daerah setempat. Karena masih
banyak pekerja Indonesia, terutama mereka yang bekerja di sektor informal,
yang mempunyai pendapatan dibawah UMR, sebagian besar pekerja ini akan
menerima pensiun dalam jumlah tersebut diatas. Dengan adanya jumlah
kewajiban yang cukup besar, maka kemungkinan Program Jaminan Pensiun
mengalami masalah keuangan di masa depan akan cukup besar pula.
Selain itu, karena besar manfaat Program Jaminan Pensiun akan ditentukan
oleh nilai UMR, maka akan muncul kemungkinan permintaan dari pekerja dan
serikat pekerja kepada pemerintah dan pengusaha untuk menaikkan jumlah
UMR agar pekerja dapat memperoleh jumlah manfaat pensiun lebih besar.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 125
Apabila pemerintah memenuhi permintaan pekerja tersebut, maka pemerintah
harus menanggung kewajiban pembayaran pensiun yang lebih besar di masa
mendatang. Hal ini akan lebih membahayakan posisi dan kesinambungan
fiskal pemerintah di masa depan.
Beban fiskal yang harus ditanggung pemerintah untuk membiayai program
jaminan pensiun ini akan menggerus kekuatan fiskal. Sebab, porsi pekerja
formal di Indonesia masih dibawah pekerja informal. Padahal seharusnya BPJS
Ketenagakerjaan lebih banyak ditanggung pekerja sebuah perusahaan formal
dan tergabung dengan Jamsostek.
Tidak hapir pikir mengapa jenis manfaat pasti masih digunakan oleh
pemerintah di tengah banyaknya hasil temuan riset yang membuktikan bahwa
jaminan pensiun iuran pasti lebih membawa manfaat, baik untuk pekerja
secara pribadi maupun untuk perekonomian negara.
Salah satu contohnya adalah, program iuran pasti merupakan individual
account, karenanya dana yang terdapat dalam account tersebut dapat dengan
mudah dipindahkan dari satu pemberi kerja ke pemberi kerja lainnya. Pada
program manfaat pasti, perubahan pekerjaan dapat menurunkan manfaat
pensiun. Hal itu terjadi karena biasanya rumusan pensiun itu ditujuan bagi
pekerja yang bekerja selama mungkin dengan perusahaan. Ini adalah salah satu
motif utama program pensiun manfaat pasti dalam mempertahankan pekerja
selama mungkin sehingga untuk itulah ia perlu diberi penghargaan. Namun
kondisi yang terjadi tidaklah demikian. Saat ini, mobilitas pekerjaan semakin
meningkat. Karen aitu, penurunan manfaat akibat perpindahan pekerjaan ini
jelas sangat merugikan bagi pekerja. Akibatnya program pensiun iuran pasti
menjadi lebih menguntungkan bagi pekerja yang mobile.
Dari sisi pemberi kerja, pola pendanaan dalam program pensiun iuran pasti
lebih mudah untuk diperhitungkan. Hal tersebut disebabkan karena risiko
adanya dan atambahan yang harus disetor oleh pemberi kerja sebagai akibat
kerugian investasi atau adanya pensiunan yang hidup ebih lama dari yang
diasumsikan dalam tabel mortalita, dapat dihindari oleh pemberi kerja.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 126
Saat ini pun, tren pengelolaan perusahaan juga tengah mengalami pergeseran,
yaitu dari skala besar menjadi skala kecil. Dengan kondisi perusahaan berskala
kecil itu, program iuran pasti memang sesuai dengan dibandingkan dengan
program pensiun iuran pasti di negara-negara Asia pada umumnya memiliki
perusahaan berskala kecil, lebih berkembang daripada program pensiun
manfaat pasti.47
Selain itu, RPP Jaminan Pensiun juga kurang memperhatikan fakta bahwa
penduduk Indonesia akan menua secara drastis dalam beberapa dekade
mendatang. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia usia 55 tahun ke atas
akan meningkat dari 10% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2000
(kira-kira 23 juta orang) menjaid sekitar 30% dari seluruh penduduk Indonesia
pada tahun 2050 (kira-kira 100 juta orang). Pada saat yang sama, penduduk
Indonesia berusia 65 tahun ke atas akan meningkat dengan drastis, yaitu dari
10 juta penduduk pada tahun 2000 (4,5% dari seluruh penduduk Indonesia)
menjadi 60,5 juta penduduk pada tahun 2050 (sekitar 18% dari seluruh
penduduk Indonesia). Dengan peningkatan jumlah penduduk seperti ini,
kelompok penduduk lanjut usia di Indonesia akan semakin menjadi beban yang
besar untuk keluarga Indonesia, juga bagi para pembayar pajak, pada tahun
2050.48
Kombinasi faktor usia yang cukup rendah (55 tahun), jumlah waktu kerja yang
relatif singkat untuk berhak mendapat pensiun penuh (15 tahun) dan populasi
yang menua dengan cukup drastis, merupakan situasi yang kurang
menguntungkan program pensiun publik manapun, dan dikhawatirkan
Program Jaminan Pensiun akan mengalami nasib sama dengan program
pensiun publik lainnya di dunia, yaitu secara finansial menjadi tidak
berkesinambungan. Usaha-usaha untuk memperbaiki masalah ini, misalnya
dengan menaikkan iuran atau mengurangi besar manfaat program, hanyalah
47
Laporan tahunan Dana Pensiun: edisi khusus 20 tahun Undang-Undang Dana Pensiun http://www.bapepam.go.id/dana_pensiun/publikasi_dp/annual_report_dp/Laptah2011/Lap-Tahunan-Dapen-2011.pdf diakses pada tanggal 23 April 2015 pukul 19:43 WIB. 48
Alex Arifianto, Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis Atas Rancangan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, 2004, hlm.30.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 127
merupakan perbaikan sementara yang hanya akan membuat program Jaminan
Pensiun semakin kurang diminati peserta. Pada kahirnya program ini akan
bangkrut dan menjadi kewajiban finansial yang besar bagi pemerintah dan
perusahaan, serta menyebabkan hilangnya pendapatan hari tua pekerja.
Pengalaman dari negara berkembang lain, misalnya contohnya Filipina,
menunjukkan bahwa jumlah kewajiban dana jaminan sosial untuk pensiun
dapat sangat besar. Di Filipina, jumlah pensiunan baru yang berhak menerima
pensiun meningkat lebih dari dua kali lipat selama tahun 1990an. Akibatnya,
nilai dana jaminan sosial pemerintah Filipina menurun secara drastis, sehingga
diramalkan bahwa dana tersebut akan habis dipergunakan (dengan kata lain
bangkrut) untuk membayar pensiun peserta pada tahun 2015. Apabila ini
terjadi, program jaminan sosial di Filipina akan mengalami masalah keuangan
cukup serius. Diramalkan bahwa kenaikan kewajiban pensiun ini telah
menaikkan nilai hutang pemerintah di masa depan sebesar US$ 21 milyar
(sekitar Rp200 trilyun) (Capulong). Kita dapat melihat bahwa apabila situasi
yang sama terjadi di Indonesia yang mempunyai penduduk tiga kali lebih besar
daripada Filipina, pemerintah (dan pada akhirnya seluruh rakyat Indonesia)
harus membayar hutang baru dalam jumlah cukup besar, diperkirakan empat
kali lebih besar daripada hutang program jaminan sosial pensiun di Filipina
(sekitar US$ 63 milyar atau Rp598 trilyun. Saat ini Indonesia sudah
mempunyai hutang publik yang jumlahnya cukup besar, yaitu diperkirakan
sekitar US$ 136 milyar atau Rp1,292 trilyun pada bulan Maret 2004) (“Central
Bank”), maka negara ini tidak akan sanggup menanggung hutang baru sebesar
Rp598 trilyun, di atas hutang yang sudah ada sekarang.49
Dengan besarnya perbandingan akan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan
dibanding dengan manfaat sesungguhnya, skema yang ditawarkan Jaminan
Pensiun menjadi riskan untuk dilakukan.
49
Ibid.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 128
3. Review Kepesertaan
a. Sektor Informal
Hakikatnya, peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah seluruh pekerja penerima
upah, baik yang bekerja pada sektor formal maupun informal, sehingga
dapat diasumsikan bahwa hal yang sama akan berlaku pula pada ketentuan
Program Jaminan Pensiun yang diadakan BPJS Ketenagkerjaan. Akan
tetapi RPP Jaminan Pensiun menjelaskan bahwa peserta Program Jaminan
Pensiun adalah:
1. Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara; dan
2. Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara.
Dengan demikian maka dipertanyakan posisi pekerja informal dalam
program ini. Padahal kebutuhan pekerja sebenarnya sama saja, mereka
memerlukan jaminan penghasilan ketika memasuki usia tidak produktif. Hal
ini cukup mengherankan mengingat pada kenyataannya pekerja sektor
informal justru lebih banyak dibandingkan dnegan sektor formal. Mengingat
perubahan struktur demografi Indonesia yang menunjukkan jumlah usia
produktif yang terus meningkat dan jika pemeirntah gagal menyediakan
lapangan kerja yang cukup besar, maka akan semakin banyak tenaga kerja
masuk ke dalam sektor informal.
Bilamana pekerja informal tidak tercakup, maka tentunya ketentuan dalam
program Jaminan Pensiun tidak sejalan dengan spirit BPJS Ketenagakerjaan
yang ingin mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia melalui SJSN.
b. Pendaftaran Kepesertaan
Program Jaminan Pensiun, pemberi kerja berkewajiban untuk mendaftarkan
seluruh pekerjanya sebagai peserta sesuai dengan penahapan kepesertaan.
Dalam hal pemberi kerja nyata-nyata lalai untuk mendaftarkan pekerjanya,
maka pekerja yang bersangkutan dapat mendaftarkan dirinya sendiri kepada
BPJS Ketenagakerjaan dengan catatan bahwa kepesertaannya akan menjadi
efektif setalah iurannya dibayar lunas oleh pemberi kerja. Sementara terkait
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 129
dengan tata cara pendaftaran lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan
Menteri.
Ketentuan telah mengatur wajibnya pemberi kerja untuk mendaftarkan
seluruh pekerjanya, akan tetapi tidak diatur secara rigit apa saja resiko yang
dapat terjadi dan juga sanksi yang dijatuhkan kepada pengusaha yang lalai
untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Jaminan Pensiun.
Lemahnya Law Enforcement dalam Program Jaminan Pensiun dari aparat
pemerintah terkait dengan bidang ketenagakerjaan maupun aparat penegak
hukum lainnya, ditambah lagi sosialisasi yang kurang gencar akan
mengakibatkan rendahnya partisipasi perusahaan dan pekerja dalam
Program Jaminan Pensiun.
Di pihak lain, kurangnya kesadaran untuk mengikuti Program Jaminan
Pensiun sangat umum terjadi pada pekerja dan pemberi kerja. Mengapa
sejumlah pekerja dan pemberi kerja menolak berpartisipasi pada sistem
pensiun? Dari sisi pemberi kerja, mereka tidak mendaftarkan tenaga kerja
dan menolak berpartisipasi untuk menghindari besarnya iuran bagi
pekerjanya. Dari sisi pekerja, sejumpah pekerja tidak menyadari pentingnya
menjadi peserta jaminan sosial. Biasanya mereka lebih memilih untuk
mendapatkan uang tunai secara langsung. Terutama bagi pekerja dengan
upah rendah akan menolak menjadi peserta jamiann sosial karena adanya
pemotongan upah untuk iuran Jaminan Pensiun. Pengurangan jumlah upah
setiap bulannya dianggap menjadi beban bagi mereka.
c. Masa Iur
Tidak habis permasalahan yang ada, dalam sistem Jaminan Pensiun
diterapkan adanya pilihan bagi peserta yang memasuki usia pensiun dengan
masa iur kurang dari 15 tahun, yaitu untuk menerima manfaat langsung
atau melanjutkan iuran hingga 15 tahun untuk mendapat manfaat berkala,
maka timbullah suatu pertanyaan: pilihan tersebut ditentukan di awal
pendaftaran atau di akhir kepesertaan?
Bilamana pilihan ditentukan di awal, akan ada banyak kemungkinan yang
tidak diinginkan kedepannya seperti ternyata pekerja yang bersangkutan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 130
tidak dapat mengiur setelah usia pensiunnya karena alasan tertentu sehingga
tidak dapat mendapat manfaat berkala sebagaimana yang ia inginkan.
Apakah pekerja dapat mengubah pilihannya sewaktu-waktu? Karena harus
diakui bahwa apapun pilihan yang diambil oleh pekerja jaminan pensiun
dengan masa iur kurang dari 15 tahun akan mempengaruhi stabilitas cash
flow program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan. Adanya pilihan yang
ditentukan mendadak untuk tiba-tiba memilih menggunakan manfaat
sekaligus atau manfaat berkala tentu akan mempengaruhi avalaibilitas dana
yang miliki BPJS Ketenagakerjaan.
Permasalahan lain terkait kepesertaan Jaminan Pensiun adalah adanya
kebijakan dalam UU SJSN (Pasal 41) yang membatasi penerima manfaat
pensiun berkala hanya bagi peserta yang telah membayar iuran 15 tahun
atau lebih. Apabila usia pensiun ditetapkan 60 tahun, maka peserta yang
berusia 45 tahun atau lebih pada saat implementasinya tidak akan menerima
manfaat pensiun berkala, tetapi hanya menerima pengembalian iurannya
beserta hasil pengembangannya. Tidak jelas akhiran “nya” dari kata
“iurannya”, apakah termasuk iuran pemberi kerja atau tidak. Pembatasan
masa iiuran 15 tahun dapat mempengaruhi tingkat partisipasi peserta
kelompok ini dan menjadi rancu dengan progran Jaminan Hari Tua yang
ada (yang juga merupakan pengembalian iuran beserta hasil
pengembangannya). Selain itu, kelompok pekerja yang pada saat
diberlakukan Jaminan Pensiun pada Juli 2015 berusia 45 tahun atau lebih
dan yang telah menjadi peserta jaminan kesehatan nasional, mungkin akan
menghadapi kesulitan untuk dapat terus membayar iuran jaminan kesehatan
nasional karena tidak menerima manfaat pensiun akibat adanya pembatasan
15 tahun masa iuran tersebut.50
Menurut sensus penduduk 2010, BPS edisi 40, bulan September 2013,
terdapat lebih kurang 18 juta penduduk yang berusia 60 tahun ke atas dan
lebih kurang 34 juta penduduk berusia antara 45-59 tahun. Dari total 52 juta
penduduk ini, hanya ada sekitar 2 juta orang yang memiliki program
50
Steven Tanner, Dayamandiri Dharmakonsilindo, SJSN: Jaminan Pensiun Sebuah Catatan, hlm.15.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 131
pensiun (pensiunan PNS, BUMN, Swasta), sisanya tidak akan memperoleh
manfaat pensiun berkala.
Dengan adanya pembatasan 15 tahun masa iuran ini, berarti peserta
pertama yang akan menerima manfaat pensiun baru terjadi pada Juli 2030.
Selama 15 tahun penundaan, BPJS Ketenagakerjaan semata-mata hanya
mengumpulkan iuran dan sama sekali tidak memberi nilai tambah kepada
peserta atau penduduk secara keseluruhan.51
4. Mekanisme Overlap
a. Overlap DPLK/DPPK Dengan Program Jaminan Pensiun
Pelaksanaan program pensiun yang bersifat wajib, secara otomatis akan
mempengaruhi struktur dan tingkat biaya bagi pemberi kerja. Adanya
tambahan biaya tersebut dapat menyebabkan pemberi kerja bereaksi
dengan menata ulang program kesejahteraan yang disediakan bagi
karyawannya untuk meminimalisir biaya yang dikeluarkan untuk program
tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 mengenai Dana
Pensiun, Indonesia mengenal 3 jenis Dana Pensiun akan tetapi hanya 2
jenis yang berlaku, yaitu:
1. Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK)
Dana pensiun yang dibentuk dan dikelola oleh perusahaan pemberi
kerja dan memberi program pensiun manfaat pasti dan iuran yang
pasti bagi seluruh karyawan.
2. Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)
Dana pensiun yang didirikan oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa
bagi masyarakat umum, baik karyawan maupun pekerja mandiri.
Dengan adanya peraturan yang mengatur mengenai jaminan pensiun,
maka tidak sedikit perusahaan yang telah memberikan fasilitas jaminan
51
Ibid.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 132
pensiun kepada karyawannya, baik melalui DPPK ataupun DPLK.
Dengan hadirnya Program Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan
yang mewajibkan seluruh pekerja untuk terdaftar, maka muncul suatu
pertanyaan: bagaimana nasib perusahaan yang telah memiliki program
dana pensiunnya sendiri? Hingga saat ini BPJS Ketenagakerjaan belum
dapat memberikan jawabannya akan pertanyaan tersebut, dan sampai saat
ini pun belum ada peraturan yang mengatur lebih lanjut terkait sinkronisasi
Program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan dengan DPPK/DPLK.
Jikalau memang tidak ada sinkronisasi diantara dua lembaga tersebut
maka tentunya perusahaan diwajibkan untuk double membayar iuran: iuran
BPJS Ketenagakerjaan dan iuran DPPK/DPLK. Karenanya, sinkronisasi
terhadap pengaturan sistem pensiun secara menyeluruh merupakan suatu
keharusan agar program yang dijalankan berdampak positif bagi
masyarakat.
b. Overlap Program Jaminan Pensiun dengan Program Wajib Lainnya
Terdapat beberapa program kesejahteraan pekerja di Indonesia yang
sifatnya wajib yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berbeda dan dianggap saling tumpang tindih. Program-program wajib ini
adalah Jaminan Hari Tua (JHT) dan ketentuan pesangon sesuai Undang-
Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebenaranya, JHT
dan Pesangon dapat dianggap sebagai sistem yang berada pada lapisan
second-tier, dan Jaminan Pensiun berada pada lapisan first-tier sebagai
manfaat dasar yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak.
Beberapa pihak beragumen bahwa Jaminan Hari Tua dan Pesangon tidak
dapat dicampuradukkan dengan Jaminan Pensiun, karena imbalan
Jaminan Hari Tua dan Pesangon dibayarkan sekaligus. Sementara pihak
lain berpendapat, walaupun pembayaran Jaminan Hari Tua dan Pesangon
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 133
dilakukan secara sekaligus, keduanya harus diperhitungkan sebagai bagian
dari Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP).52
5. Risk & Impact
Dengan Peraturan Pemerintah yang tak kunjung keluar, RPP yang isinya
tidak kunjung selesai digodok, serta sosialisasi yang sangat minim, tentunya
menjadi riskan bagi Pengusaha untuk dapat menjalankan Program Jaminan
Pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan tanggal 1 Juli 2015
mendatang. Walaupun niat dan spritinya baik, akan tetapi apabila tidak ada
kesiapan dari segi sistem dan regulasi yang kuat maka tentunya pelaksanaan
program apapun, dengan spirit apapun, akan gagal dan tidak akan
tersampaikan maksud baik yang dimaksud.
Berikut adalah resiko-resiko yang mungkin timbul dalam jalannya
pelaksanaan Program Jaminan Pensiun:
1. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya terkait overlap antara Jaminan
Pensiun yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan program
pensiun yang diselenggarakan oleh DPPK/DPLK, dimana sampai
sekarang belum ada peraturan yang mengatur sedikitpun hal terkait
harmonisasi penyelenggaraan Program Pensiun Wajib oleh BPJS
Ketenagakerjaan dengan DPPK/DPLK, akan memunculkan
kemungkinan bahwa perusahaan harus membayar premi ganda untuk
masing-maisng program yang perusahaan ikuti, baik kepada BPJS
Ketenagakerjaan dan kepada DPPK/DPLK, sehingga akan
menimbulkan lonjakan pengeluaran yang besar dari segi employee
cost.
2. Tingginya tingkat resistensi atas pelaksanaan Jaminan Pensiun,
khususnya dari pihak pemberi kerja akan menimbulkan gejolak dalam
hubungan industrial, atau bahkan akan berakibat pada merosotnya
keadaan ekonomi di Indonesia. Apabila dilaksanakan pun, dengan
sistem yang keadaan masih seperti saat ini dimana sistem Jaminan
52
Ibid, hlm.17.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 134
Pensiun cukup buruk dan tidak ada regulasi sebagai payung yang
memuat kepentingan para stakeholder secara seimbang akan
memunculkan gejolak pula: akan banyak perusahaan yang karena
beratnya biaya iur dan juga melakukan double cost kepesertaan akan
memilih untuk memotong employee cost yang tinggi dengan
mengurangi jumlah karyawannya sceara besar-besaran, atau jika tidak,
mau tidak mau, tidak dapat dihindari, keadaan bisnis perusahaan akan
terganggu dan hal tersebut akan berpengaruh pada keadaan
perekonomian negara.
3. Telah diatur bahwa ada sanksi pidana bagi pelaku usaha yang tidak
memberikan Program Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan
kepada karyawannya. Sayangnya, dari hasil terkahir RPP terkait
Jaminan Pensiun yang ada, sanksi tersebut seperti macan tak bertaring
karena tidak dijelaskan sanksi konkrit bagi pihak yang tidak
memberikan Program Jaminan Pensiun kepada karyawannya. Jikalau
memang ada, maka secara terpaksa, baik perusahaan dengan skala
besar sampai usaha skala mikro akan menjalankan peraturan yang
sama dengan standar yang sama. Tentu dapat dibayangkan apa yang
akan terjadi kemudian: tingkat pengangguran meingkat tajam dan
perekonomian negara akan jatuh bebas.
6. Pentahapan Implementasi
Berdasarkan hasil riset dan pertimbangan-pertimbangan yang ada, ada
beberapa opsi yang dapat dilakukan agar Program Jaminan Pensiun yang
diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dapat berjalan dengan efektif dan
tepat sasaran sesuai dnegan spiritnya. Opsi-opsi tersebut adalah:
1. Pentahapan atas implementasi Jaminan Pensiun paling lambat pada
tahun 2019.
Pelaksanaan Jaminan Pensiun pada tanggal 1 Juli 2015 mendatang
merupakan program prematur dimana baik tidak ada kesiapan baik
dari sistem ataupun dari pihak penyelenggaranya. Sehingga dengan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 135
menunda waktu pelaksanaan Program Jaminan Pensiun hingga tahun
2019 sebagaimana telah ditetapkan pada awalnya, akan memberikan
sedikit waktu bagi Pemerintah untuk mempersiapkan dan
mematangkan sistem pelaksanaan, serta bagi Pengusaha sebagai pihak
yang akan turut mengiur untuk mempersiapkan perusahaannya agar
ketika nanyi program berlangsung tidak akan mempengaruhi keadaan
bisnis yang telah berkembang.
2. Pentahapan terkait dengan besar kecilnya perusahaan sebagai peserta
Jaminan Pensiun.
Sistem Jaminan Pensiun saat ini yang mewajibkan seluruh perusahaan
baik dengan skala besar hingga skala mikro, serta menyamaratakan
besar premi yang harus dibayar adalah kebijakan yang tidak dewasa.
Mengingat Indonesia sebagai negara besar yang sedang berkembang
dengan beragamnya jenis usaha, rumitnya hubungan industrial yang
ada, dan fokus pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian
negara, seharusnya Program Jaminan Pensiun dilaksanakan secara
bertahap dimana dilaksanakan terlebih dahulu kepada Perusahaan
dengan skala menengah-besar, lalu dilanjutkan dengan pelaksanaan
oleh usaha skala kecil-mikro setelah pelaksanaan Program Jaminan
Pensiun oleh perusahaan sedang-besar telah berjalan dengan baik.
3. Pentahapan terkait kriteria perusahaan yang akan menjadi anggota
Jaminan Pensiun.
Besarnya kemungkinan doble cost yang akan dikeluarkan perusahaan
yang menjadi peserta dana pensiun DPLK/DPPK apabila Program
Pensiun BPJS Ketenagakerjaan dilaksanakan akan benar-benar
mempengaruhi stabilitas bisnis perusahaan, bahkan negara. Oleh
karena itu, seharusnya program jaminan pensiun dapat diliaksanakan
khusus perusahaan-perusahaan yang bukan merupakan peserta dana
pensiun DPLK/DPPK sehingga tidak ada perusahaan yang double
cost.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 136
Agar tujuan mulia penyelenggaraan program jaminan penisun SJSN
tercapai secara optimal, maka implementasinya harus disikapi secara beojaksana
dengan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan nasional lainnya. Slaah
satunya adalah dengan memperhatikan sistem penyelenggaraan program pensiun
yang telah ada saat ini yang didasarkan pada UU Dana Penisun.
Pelaksanaan program jaminan pensiun SJSN yang bersifat wajib, secara
otomatis akan mempengaruhi sturktur dan tingkat biaya bagi pemberi kerja.
Walaupun di sisi lain program ini juga akna membangun kekuatan ekonomi nasional
dan hasil pemupukan dananya. Adanya tambahan biaya tersbeut dapat
menyebabkan pemberi kerja bereaksi dengan menata ulang program kesejahteraan
yang disediakan bagi karyawannya untuk meminimalisir biaya yang dikeluarkan
untuk program tersebut.
Dalam konteks tersebut, bagi pemberi kerja yang sebelumnya telah
memiliki program pensiun sukarela akan sangat mungkin mengakhiri program
pensiunnya demi memenuhi kewajiban mengikuti program pensiun SJSN. Padahal,
bisa jadi program pensiun yang dimiliki saat ini memberikan manfaat pensiun yang
lebih baik bagi karyawannya.
Karenanya, harmonisasi terhadap pengaturan sistem pensiun secara
menyeluruh merupakan suatu keharusan agar program yang dijalankan berdampak
positif bagi seluruh masyarakat.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 137
OPPORTUNITY
Saat ini Indonesia telah mencapai tahap yang sangat penting di dalam usaha untuk
memberikan manfaat jaminan sosial kepada seluruh pekerjanya dan dalam mereformasi
sistem jaminan nasionalnya sehingga sistem tersebut dapat bekerja lebih baik untuk pekerja
yang menjadi peserta sistem tersebut. Akan tetapi sistem jaminan sosial yang ada, terlebih
sistem jaminan pensiun yang rencananya akan dilaksanakan efektif pada tanggal 1 Juli
mendatang dinilai masih jauh dari kata siap, baik dari segi kesiapan mental penanggung
jawab dan pihak-pihak terkait, segi regulasi, dan juga kemantapan sistem yang akan
dilaksanakan.
Berkaca pada kenyataan yang ada, karena masih banyak sistem dari jaminan pensiun yang
harus dibenahi bersama, Apindo menilai bahwa masa berlaku program jaminan pensiun
harus ditunda demi kemaslahatan bersama. Pasalnya, ketidaksiapan program jaminan
pensiun ini akan berdampak sistemik dan domino yang berujung pada memburuknya
kesinambungan fiskal pemerintah. Program ini pun juga tidak mempertimbangkan proyeksi
penuaan penduduk Indonesia dalam waktu dekat yang akan menambah beban fiskal
pemerintah, dan juga tidak mempertimbangkan kemungkinan tata kelola program yang
lemah. Faktor-faktor tersebut akan membahayakan prospek hari tua pekerja, dan
kemungkinan akan membawa mereka ke jurang kemiskinan pada saat mereka mencapai
usia pensiun.
Sistem Jaminan Pensiun seharusnya berfungsi secara berkelanjutan sebagai tabungan,
redistribusi, dan instrumen asuransi. Disamping itu, seharusnya sistem jaminan pensiun
yang spiritnya adalah sebagai dasar dari penghasilan rakyat di usia tidak produktif
seharusnya tidak pula membebankan pihak lain, yang dalam hal ini adalah perusahaan.
Spirit yang baik dan konsep perbaikan yaitu memperluas jangkauan sistem pensiun, baik
kepada pekerja sektor formal maupun sektor informal di Indonesia, seharusnya juga
diimbangi oleh tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mereformasi sistem tersebut
dengan mengembangkan kompetensi dan mengundang partisipasi sektor swasta untuk ikut
membantu pengadaan jaminan pensiun. Apabila hal tersebut dapat terlaksana dengan baik,
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 138
kita patut berharap bahwa bangsa Indonesia akan menjadi sebah bangsa yang bahagia dan
sejahtera sepertu yang telah dicita-citakan oleh para pendiri negara pada saat negara ini
diproklamasikan.
Note : fakta fakta tentang jaminan pensiun dan penutup
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 139
INITIATIVES DAN ACTION PLANS
A. Initiatives
Melihat perkembangan dan juga pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan terhadap situasi
ketenagakerjaan dan bisnis yang ada di lapangan, dapat dilihat bahwa permasalahan
inti yang ada adalah tidak adanya sistem yang baik dalam pelaksanaan BPJS
Ketenagakerjaan sehingga hal tersebut berpengaruh kepada kondisi hubungan
industrial dan stabilitas bisnis yang ada di perusahaan.
Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi pelaksaan BPJS Ketenagakerjaan dengan
keadaan hubungan industrial di Indonesia sehingga tujuan BPJS Ketenagakerjaan
dapat tercapai tanpa berpengaruh kepada kondisi hubungan industrial dan stabilitas
bisnis.
B. Action Plans
1. Menunda masa pelaksanaan Program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan
pada tanggal 1 Juli mendatang.
2. Melakukan harmonisasi dan merumuskan bersama isi RPP Jaminan Pensiun
bersama seluruh pihak terkait agar isinya mengakomodir kepentingan seluruh
pihak.
3. Melakukan sosialisasi segala hal yang dibutuhkan guna kelancaran pelaksanaan
Program Jaminan Pensiun baik oleh BPJS Ketenagakerjaan, Pengusaha, ataupun
pihak-pihak lain yang terkait. Dengan adanya sosialisasi diharapkan semua aspek
masyarakat dapat mengerti dan memahami tujuan besar BPJS Ketenagakerjaan
serta manfaat yang menyertainya sehingga timbul perasaan tulus untuk
mendukung dan berjuang keberlangsungan sistem jaminan sosial tersebut.
4. Menyamakan persepsi seluruh lapisan masyarakat terkait dengan pentingnya
jaminan sosial bagi rakyat dan negara Indonesia sehingga tingkat konflik dapat
terminimalisir.
5. Mengawal dan mengontrol pelaksanaan sistem jaminan pensiun yang diampu
oleh BJPS Ketenagakerjaan, dari tahap perancangan hingga tahap implementasi.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 140
6. Berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan terkait update sistem jaminan sosial
dan juga perkembangan bisnis serta hubungan industrial yang ada di lapangan.
7. Melakukan benchmark dan sharing dengan perusahaan lain terkait dengan
pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan di perusahaan.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 141
ANALISA PELAKSANAAN JAMINAN PENSIUN
INDONESIA
A. Latar belakang
Undang-undang No. 40 Tahun 2004 merupakan payung hukum atas pelaksanaan sistem
perlindungan sosial di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut mencantumkan struktur
dasar sistem jaminan sosial yang telah direformasi, namun tidak secara spesifik menetapkan
besarnya manfaat dan tingkat konstribusi untuk masing-masing jenis jaminan. BPJS
Ketenagakerjaan yang lahir atas dasar Undang-undang No. 24 Tahun 2012 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, mencantumkan lima program yang empat diantaranya
merupakan lanjutan dari program Jamsostek, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Hari Tua, Jaminan Kesehatan, Jaminan Kematian, dan salah satunya yang merupakan
program baru yaitu Jaminan Pensiun.
Jaminan pensiun sendiri akan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2015 dan merupakan
program wajib untuk seluruh pekerja di Indonesia dengan membayar iuran setiap bulannya
dan pada akhirnya akan mengubah paradigm masyarakat bahwa pekerja dalam sektor
formal dan informal akan mendapatkan perlindungan berupa dana pensiun. Rancangan
Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar atas pelaksanaan jaminan pensiun ini belum
mencapai kata final, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi semua kalangan.
Apindo Training Center dibawah DPN Apindo sangat concern mengenai hal ini membuat
kajian mengenai implementasi jaminan pensiun di Perusahaan. mendasar pada diskusi-
diskusi terbatas yang membahas mengenai jaminan pensiun ini ternyata banyak perusahaan
yang belum terlalu concern mengenai program ini. Sehingga kami membuat survey dengan
tujuan memetakan seberapa banyak perusahaan dan pekerja yang sudah mengetahui
mengenai jaminan pensiun ini dan memahami dengan lebih dalam atas pelaksanaan
jaminan pensiun.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 142
B. Tujuan
Concern DPN Apindo atas pelaksanaan jaminan pensiun yang meliputi pada tahapan
sosialisasi program jaminan pensiun, manfaat jaminan pensiun dan implikasi terhadap
premi, overlap, beban cost, dan skema jaminan pensiun 15 tahun mendatang membuat
Apindo Training Center dibawah DPN Apindo mengkaji berdasarkan data survey. Data
survey ini ditujukan kepada seluruh Perusahaan dan Pekerja yang berada di 100 Perusahaan
tersebar di beberapa kawasan industry. Tujuan ini dimaksudkan mendapatkan pemetaan
atas pemahaman perusahaan beserta pekerjanya mengenai concern atas pelaksanaan
program jaminan pensiun ini.
Survey ini dibuat dengan metode pembagian kuisioner berdasarkan atas asumsi kajian
Apindo Training Center atas pemahaman dan pengertian yang didapatkan para Perusahaan
dan Pekerjanya mengenai program jaminan pensiun, dimulai dari beban iuran, kepesertaan,
pentahapan, skema, dampaknya dan sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan
itu sendiri.
C. Sasaran
Survey ini kami lakukan di berbagai Perusahaan yang terdapat di kawasan industry
Jabodetabek. Survey ini ditujukan kepada Perusahaan sebagai pemberi kerja dan Pekerja
yang mana beberapa diantaranya belum terlalu concern terhadap program jaminan pensiun.
D. Program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan
Jaminan pensiun merupakan program baru yang mengubah paradigma masyarakat
Indonesia mengenai perlindungan terhadap masa tuanya, bahwa setiap warga negara akan
berhak mendapatkan jaminan pensiun. Program ini memberikan jaminan pendapatan
perbulan seumur hidup untuk para pekerja di sektor formal maupun informal, sehingga
karyawan swasta akan turut serta mendapatkan jaminan perlindungan tersebut. Besarnya
manfaat yang akan didapatkan tergantung dari iuran yang akan di bebankan dari potongan
gaji para pekerja dan iuran dari perusahaan. hasil survey mengenai program jaminan
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 143
pensiun ini, dasarnya baik Perusahaan maupun pekerja mendukung adanya pelaksanaan
jaminan pensiun ini. Menjelang pelaksanaan jaminan pensiun ini, apabila kita telaah lebih
jauh ada beberapa problem yang harus dipahami dengan baik oleh Perusahaan dan pekerja
itu sendiri. Beberapa problem tersebut terletak pada ;
a. Premi
b. Skema jaminan pensiun
c. Review kepesertaan
d. Mekanisme overlap
e. Risk dan impact
f. Pentahapan
mendasar atas big problem mengenai jaminan pensiun ini menjadi acuan kami dalam
kuisioner yang kami buat.
1. Iuran
Berdasarkan amanat undang-undang SJSN bahwa program jaminan pensiun ini
akan dikenakan iuran yang menjadi tanggungan bersama antara Perusahaan,
Pekerja, dan Pemerintah. Dalam RPP yang hingga saat ini belum mencapai kata
final, iuran tersebut akan dibebankan kepada Perusaaan dan Pekerja sebesar 8%
dengan pembagian sebesar 5% yang akan ditanggung oleh Perusahaan dan 3% yang
akan ditanggung oleh Pekerja.
Menurut kami, program jaminan pensiun yang merupakan program dasar sosial
yang diperuntukkan bagi warga negara Indonesia harus dilaksanakan secara
bertahap dan penuh dengan kehati-hatian, program tersebut selayaknya harus
terjangkau dengan anggaran dana negara dan tidak mengganggu ketersedianya
lapangan kerja dan industry dana serta daya saing perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Prasarana yang diperlukan juga harus disiapkan sebelum program
dimulai. Diperlukan adanya transparansi, akuntabilitas, dan sistem administrasi
yang efisien agar sistem ini dapat berhasil.
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 144
Besarnya iuran yang merupakan perhitungan dari presentase upah pun harus
dibatasi. Iuran tersebut harus terjangkau dan tidak membuat beberapa perusahaan
harus melakukan pengurangan karyawan karena tidak sanggup bayar. Berdasarkan
hasil pengolahan data kami, perusahaan beserta pekerja menolak dengan adanya
iuran jaminan pensiun yang dimulai dari angka 8%, penolakan ini pun di dukung
oleh aktuaris yang menganggap iuran ini terlampau besar dan akan menimbulkan
unfunded di kemudian hari. Aktuaris berpendapat, program yang baru akan
dilaksanakan ini dan belum ada jaminan keberhasilan dari Pemerintah sendiri
seharusnya diujicobakan terlebih dahulu dengan presentase angka yang lebih rendah,
yang kemudian akan disempurnakan menjadi lebih baik mengikuti angka fluktuasi
atas indeks perekonomian.
Diagram diatas tersebut menunjukkan penolakan terhadap premi yang dibebankan
kepada Perusahaan sebesar 5% dan pekerja sebesar 3%. Perbedaan pendapat
mengenai perhitungan iuran ini sebenarnya terjadi dalam level Pemerintahan.
Beberapa usulan yang didasarkan dari survey kami bahwa iuran dimulai dari angka
5% dengan pembagian 3:2. Usulan dari Heru Juwanto, selaku Direktur Pengawasan
Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) iuran jaminan pensiun dimulai dari
4%, sedangkan Isa Rachmatarwata, Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa
Keuangan dan Pasar Modal Kemkeu menyatakan, pihaknya mengusulkan iuran
pensiun mulai dari 3 persen. Setiap dua tahun atau tiga tahun sekali iurannya
bertambah sebesar 0,2 persen atau 0,3 persen.
4%
37%
34%
15% 8% 2%
Perusahaan keberatan membayar iuran 5% dari 8% usulan yang telah
ditetapkan
STS TS S SS SSS abstain
Figure 1
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 145
Perhitungan beban iuran yang akan diambil dari besaran upah para pekerjanya harus
sesuai dengan perhitungan yang matang dan harus dilihat dari besaran atas dan
besaran bawah atas upah itu sendiri. Rancangan Pemerintah terhadap skema iuran
yang akan dihitung dari besaran PTKP dari para pekerja sendiri banyak menuai
protes, ada pendapat mengatakan bahwa PTKP yang menjadi dasar perhitungan
terhadap iuran jaminan pensiun akan mengalami kenaikan setiap tahunnya
berdasarkan hasil perhitungan Direktorat Pajak, hal ini akan berpengaruh dengan
iuran premi jaminan pensiun. Dengan demikian, iuran akan mengalami kenaikan.
Kenaikan iuran sendiri sebenarnya sudah direncanakan juga yang akan mengalami
kenaikan setiap empat tahun sekali. Kenaikan ini dihitung berdasarkan inflasi yang
akan mengalami kenaikan atau penurunan setiap tahunnya. Akan tetapi,
berdasarkan survey kami yang terlihat dalam diagram dibawah ini, pengusaha dan
pekerja menolak dengan adanya kenaikan iuran ini. Penolakan ini dilandasi dengan
beban bayar yang akan semakin tinggi dan dikhawatirkan akan membawa dampak
pada beban cost perusahaan. Pada dasarnya kenaikan premi ini berpengaruh pada
indeks inflasi yang akan berubah secara periodik dan perubahan ini harus pula
diimbangi dengan penyelarasan dalam beberapa komponen iuran dan upah.
Dampak yang terjadi apabila kenaikan iuran ini tidak diselaraskan dengan upah
minimum adalah pekerja atau buruh setiap tahunnya akan mengajukan kenaikan
upah yang cukup tinggi. Disamping itu, kenaikan UMP ini akan minumbulkan efek
buruk bagi perekonomian Indonesia.
30%
51%
8% 2% 4% 5%
Perusahaan yakin, employee cost tidak terganggu dengan program
jaminan pensiun
STY TY Y SY SYS abstain
Figure 2
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 146
2. Skema Jaminan Pensiun
Berbicara mengenai skema jaminan pensiun yang berlandaskan atas dasar manfaat
pasti, ternyata banyak orang belum mengetahui perbedaan dari manfaat pasti dan
iuran pasti itu sendiri. Manfaat pasti sendiri merupakan rumus manfaat pensiun
sudah ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun, sedangkan besar iuran pensiun
ditetapkan berdasarkan perhitungan aktuaria, kecuali iuran peserta yang ditetapkan
dalam Peraturan Dana Pensiun atau Besar iuran adalah perkiraan kebutuhan dana
yang harus disisihkan sekarang untuk merealisasikan pembayaran manfaat pensiun.
Sedangkan iuran pasti adalah Besar iuran baik dari Pemberi Kerja maupun peserta
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. Manfaat pensiun tergantung akumulasi
iuran dan hasil pengembangannya. Hal ini dilihat dari survey yang kami lakukan
dengan hasil ;
Skema manfaat pasti dan iuran pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Kelebihan dan Kekurangan itu adalah ;
Program Pensiun Manfaat Pasti (defined benefit)
Kelebihan Kekurangan
Besar manfaat pensiun mudah dihitung
Lebih memberikan kepastian kepada
Beban biaya mudah berfluktuasi
Nilai hak peserta sebelum pensiun
2% 14%
55%
13%
7% 9%
Perusahaan menggunakan skema jaminan pensiun manfaat pasti
Program Jaminan Pensiun
STS TS S SS SSS abstain
Figure 3
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 147
peserta
Lebih mudah memberikan penghargaan
untuk masa kerja lalu
tidak mudah ditentukan
Program Pensiun Iuran Pasti (defined contribution)
Kelebihan Kekurangan
Beban biaya stabil dan mudah
diperkirakan
Nilai hak peserta setiap saat mudah
ditetapkan
Risiko investasi dan mortalitas
ditanggung oleh peserta.
Besar manfaat pensiun tidak mudah
ditentukan
Lebih sulit memperkirakan besar
penghargaan untuk masa kerja
lampau
Negara berkembang dan negara maju saat ini telah menggunakan skema jaminan
pensiun berlandaskan iuran pasti, sedangkan Indonesia memilih menggunakan
skema manfaat pasti. Skema manfaat pasti berlandaskan atas spirit dimana setiap
pekerja pada masa tuanya nanti akan mendapatkan manfaat yang sama, hal ini
berlandaskan atas asas gotong royong. Simulasi dalam skema manfaat pensiun ini
pun dihitung berdasarkan dari rata-rata presentase manfaat yang dibebankan pada
upah mereka. Sedangkan pada skema iuran pasti, beberapa pekerja yang hanya
dibayar dengan upah kecil, manfaat pada masa tuanya nanti akan kecil, berbeda
dengan pekerja dengan upah besar yang akan mendapatkan manfaat yang juga akan
besar. Kelebihan yang ada dalam skema manfaat pasti memang terbaik akan tetapi
apabila kita kaji dengan baik dengan penggunaan skema manfaat pasti akan banyak
timbul problem didalamnya terutama adanya kemungkinan defisit yang sangat besar
sebanyak 70% dari upah minimum yang harus dikeluarkan. Dampak tersebut juga
akan berimbas pada upah minimum, Indonesia termasuk negara yang terus
mengalami kenaikan upah setiap tahunnya, tuntutan dari buruh yang terus menerus
merasa upah minimum belum terlalu tinggi, membuat Pengusaha sudah kewalahan,
dengan pengaturan jaminan pensiun yang minimal adalah 70% dari upah minimum
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 148
akan menjadi celah bagi para pekerja untuk menuntut kenaikan upah yang lebih
tinggi setiap tahunnya. Dengan adanya kenaikan upah yang sangat tinggi, maka
jaminan pensiun yang akan didapatkannya akan semakin besar. Mengacu pada
Negara Filiphina, cadangan jaminan pensiunnya akan diperkirakan habis di tahun
2015 ini. Efek ini diakibatkan karena kenaikan jumlah pensiun yang meningkat dua
kali lipat sehingga menyebabkan nilai jaminan Pemerinah menjadi turun dratis.
Analisa mengenai pendanaan dan skema jaminan pensiun harus dimulai dengan
memproyeksikan seluruh populasi dan angkatan kerja. Analisis ini setidaknya harus
dilakukan untuk rentang waktu selama 75 tahun karena karakteristik demografi
penduduk Indonesia sendiri akan berubah secara signifikan selama rentang waktu
tersebut. Populasi akan menua sehingga proporsi penduduk usia tua dibanding
penduduk usia produktif dan anak-anak akan semakin tinggi. Iuran yang dibayarkan
oleh para pekerja juga digunakan untuk membiayai manfaat jaminan pensiun bagi
penduduk usia tua, dengan demikian maka proporsi jumlah penduduk usia tua
terhadap pekerja akan memiliki dampak yang signifikan terhadap pendanaan
program Jaminan Pensiun. Usia pensiun adalah variable kunci dalam setiap
rancangan skema pensiun. Usia pensiun juga menentukan rentang waktu
pembayaran iuran program pensiun oleh pekerja dan rentang waktu untuk penerima
manfaat pensiun. Penetapan usia pensiun pun haruslah dengan analisa yang matang.
3. Kepesertaan
factor penting dalam program jaminan pensiun adalah pengaturan mengenai
kepesertaan, siapa yang akan menjadi peserta dan berapa usia maksimum dalam
kepesertaan. Penetapan usia peserta dana pensiun ini merupakan kunci dari
pengendalian biaya dan tingkat iuran yang diperlukan agar program ini dapat
berlangsung jangka panjang. Tahun pertama program berjalan ini, usia pensiun
ditetapkan di usia 56 tahun yang kemudian akan dilakukan penambahan secara
periodic setiap tiga tahun sekali, sehingga di tahun 2042 usia pensiun akan mencapai
usia 65 tahun. Penetapan usia pensiun ini juga apakah akan berlaku surut atau
kepesertaan yang belum secara pasti menetapkan usia pensiun yang akan menjadi
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 149
13%
43%
34%
4% 5% 1%
Perusahaan setuju, karyawan yang masuk per 1 Juli 2015 sebagai
peserta jaminan pensiun
STS TS S SS SSS abstain
acuan dan perlindungan bagi para pekerja, membuat Perusahaan sebagai pemberi
kerja enggan mendaftarkan pekerjanya per 1 juli 2015 ini kedalam sistem program
jaminan pensiun ini. Penolakan ini bukan tidak berdasar, belum adanya sosialisasi
mengenai jaminan pensiun ini membuat beberapa perusahaan masih bingung dalam
penentuan usia pensiun bagi para pekerjanya.
Kebingungan ini serta merta membuat Perusahaan belum mensosialisasikan dengan
baik mengenai program ini kepada para pekerjanya.
4. Harmonisasi
Harmonisasi dengan program yang telah ada harus dilakukan untuk menghindari
duplikasi manfaat dan untuk mengontrol biaya. Program-program yang telah ada
untuk sektor formal dan PNS perlu disesuaikan pada saat program SJSN dimulai.
Penyesuaian juga harus dilakukan terhadap program pesangon berdasarkan Undang-
Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan program Jaminan Hari
Tua. Disadari atau tidak, mengubah suatu Undang-undang tidaklah mudah, harus
ada upaya lebih untuk mengakomodasikan harmonisasi antara JP, Pesangon dan
JHT dalam Rancangan Peraturan Pemerintah. Namun, perlu dipertimbangkan lagi
apakah pengaturan dalam RPP yang tingkatnya lebih bawah dari undang-undang,
memiliki dasar hukum yang kuat ?
Kita anggap bahwa saat ini program-program ini akan berjalan, ada tidaknya
jaminan pensiun, perusahaan tetap berkewajiban membayar pesangon bagi
pekerjanya, yang akan terjadi adalah beban employe cost disuatu perusahaan akan
Figure 4
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 150
meningkat dratis, sehingga dengan pemikiran seperti itu suatu Perusahaan harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian agar total beban yang dikeluarkan tidak
bertambah secara berlebihan dengan adanya tambahan iuran Jaminan Pensiun ini.
Dari hasil survey yang kami lakukan, perusahaan menuntut dengan diberlakukannya
program jaminan pensiun ini seharusnya JHT dan Pesangon dapat dihapuskan,
karena menurut mereka dua hal ini merupakan item yang sama. Perusahaan
menganggap uang pesangon merupakan tabungan untuk para pekerjanya. Apabila
perhitungan Jaminan Pensiun diperhitungkan dengan masa iur selama 15 tahun,
maka JP akan tidak ada bedanya dengan JHT.
Figure 5
Perbedaan atau persamaan yang terdapat antara Jaminan Pensiun, Jaminan Hari
Tua dan Pesangon membutuhkan diskusi lebih lanjut dan harus segera diputuskan.
Dalam hal pembebanan iuran pun, harmonisasi perlu dilakukan mengingat adanya
kemungkinan overlap dan pembebanan biaya double bagi perusahaan yang telah
memiliki jaminan pensiun sendiri. Apindo Training Center dengan perundingan
beberpa tim ahli, mengajukan suatu win-win solution dengan tujuan agar program
ini tetap terlaksana dengan baik dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Solusi tersebut berupa pembagian besaran iuran bagi Perusahaan yang sudah
mempunyai dana pensiun sendiri dan bagi Perusahaan yang belum memiliki dana
15%
26%
38%
9% 8% 4%
Perusahaan setuju Program Jaminan Pensiun menggantikan
JHT dan Pesangon
STS TS S SS SSS abstain
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 151
pensiun sama sekali, maka diwajibkan turut serta dalam program jaminan pensiun
ini.
5. Pentahapan
pentahapan atas implementasi jaminan pensiun bagi perusahaan yang akan menjadi
peserta jaminan pensiun ini akan mulai dilakukan per 1 juli 2015. Pentahapan
kepesertaan ini akan dimulai pada Perusahaan yang bergerak di sektor formal,
kemudian akan diikuti oleh perusahaan yang bergerak di sektor informal.
Pentahapan dilakukan hingga tahun 2019. Beberapa perusahaan besar menyetujui
jika pentahapan ini dilakukan pada tahun 2019 dengan alasan bahwa program ini
masih belum jelas dan akan membawa dampak resiko yang cukup besar terhadap
beban cost Perusahaan mereka.
Pemerintah cenderung mendahulukan pentahapan bagi sektor formal, dikarenakan
pentahapan pada sektor informal membutuhkan waktu yang sangat panjang.
E. Action Plan Jaminan Pensiun
Berlandaskan data yang berhasil dikumpulkan oleh Apindo Training Center mengenai
pemahaman dari Perusahaan dan Pekerja mengenai Jaminan Pensiun ini, terdapat
beberapa hal yang harus dipahami dengan baik dan menjadi acuan dalam penyusunan
rekomendasi yang akan dilakukan dalam konvensi jaminan pensiun yang akan
dilaksanakan di Bandung. Acuan analisa yang harus digaris bawahi dengan sangat baik
adalah ;
9% 16%
50%
11%
10% 4%
Perusahaan setuju pendaftaran Program Jaminan Pensiun dilakukan
mengikuti perintah DJSN hingga tahun 2019
STS TS S SS SSS abstain
Figure 6
[The 3rd Industrial Relations Convention 2015 – Jaminan Pensiun] 00125042015A
Strategic Studies Yang Dilakukan Oleh ATC Pusat Studi Apindo-DPN APINDO 2015 152
1. Sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan di setiap Perusahaan
mengenai jaminan pensiun ini belum dilakukan
2. Iuran yang belum mencapai kata sepakat
3. Skema jaminan pensiun yang harus dikaitkan dengan implikasi cadangan 15 tahun
yang akan datang.
4. Kesiapan Pemerintah dan Perusahaan atas dampak employee cost bagi Perusahaan
yang telah mengikuti DPLK/ DPPK.
5. Pentahapan atas implementasi jaminan pensiun per tanggal 1 juli 2015
6. Aturan Dana Pensiun di dalam PKB/PP dengan adanya Jaminan Pensiun,
implikasi dan dampaknya dibandingkan dengan UUTK terkait dengan uang
pensiun karyawan ( yang dibandingkan dengan UUTK)
7. Sinkronasi dan harmonisasi undang-undang terkait pelaksanaan Jaminan Pensiun.
Demikianlah hasil penyajian data berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Apindo
Training Center dan menjadi bagian dari langkah positif untuk merancang dan
merumuskan program jaminan pensiun yang harmonis.