21
1 Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground pada Konflik di Republik Demokratik Kongo (Studi Kasus Rehabilitasi Remaja Pasca Perang di Republik Demokratik Kongo) Amalia Hasanah Ismail 1 Aswin Baharuddin 2 Darwis 3 Abstract This research aims to analyze peace building strategy of the Search for Common Ground in Postwar Juvenile’s Rehabilitation in Democratic Republic of Congo are through formal and non formal education, the platform for juvenile to have voice in society, and through action or dialogue so that they can become Agent of Change in their communities. The Implementation of the Search for Common Ground program has a supporting factor such as the condition of juvenile who have creative and innovative minds, can be mobilized and mutually influence each other, as well as a good relationship with the military in the Democratic Republic of Congo. The inhibiting factors are the postwar trauma experienced by the community, the lack of funding, and lack of work management in Search for Common Ground. Spesifically, this research found that SFCG implement strategy as a part to build culture of peace in Kongo Key Words: Peacebuilding, Culture of Peace, Conflict Transformation, International Non Governmental Organization PENDAHULUAN Dalam studi Ilmu Hubungan Internasional, berbagai macam isu kontemporer telah berkembang di dunia baik itu isu gender, ketahanan pangan, maupun lingkungan hidup. Di samping banyaknya isu global kontemporer yang berkembang tersebut, isu mengenai konflik hingga saat ini masih tetap menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan oleh banyak orang. Konflik kekerasaan yang terjadi selama ini tidak dipungkiri telah memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan banyak orang. Kerugian akibat konflik kekerasaan bukan hanya dari segi materil seperti kerusakan infrastruktur, tapi juga kerugian karena banyaknya korban jiwa yang meninggal termasuk anak-anak dan remaja. 1 Alumni Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin 2 Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin 3 Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin

Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

1

Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground pada Konflik di

Republik Demokratik Kongo (Studi Kasus Rehabilitasi Remaja Pasca

Perang di Republik Demokratik Kongo)

Amalia Hasanah Ismail1 Aswin Baharuddin2 Darwis3

Abstract

This research aims to analyze peace building strategy of the Search for Common Ground in Postwar Juvenile’s Rehabilitation in Democratic Republic of Congo are through formal and non formal education, the platform for juvenile to have voice in society, and through action or dialogue so that they can become Agent of Change in their communities. The Implementation of the Search for Common Ground program has a supporting factor such as the condition of juvenile who have creative and innovative minds, can be mobilized and mutually influence each other, as well as a good relationship with the military in the Democratic Republic of Congo. The inhibiting factors are the postwar trauma experienced by the community, the lack of funding, and lack of work management in Search for Common Ground. Spesifically, this research found that SFCG implement strategy as a part to build culture of peace in Kongo

Key Words: Peacebuilding, Culture of Peace, Conflict Transformation, International Non Governmental Organization

PENDAHULUAN

Dalam studi Ilmu Hubungan Internasional, berbagai macam isu

kontemporer telah berkembang di dunia baik itu isu gender, ketahanan pangan,

maupun lingkungan hidup. Di samping banyaknya isu global kontemporer yang

berkembang tersebut, isu mengenai konflik hingga saat ini masih tetap menjadi

salah satu topik yang sering diperbincangkan oleh banyak orang. Konflik

kekerasaan yang terjadi selama ini tidak dipungkiri telah memberikan pengaruh

yang besar bagi kehidupan banyak orang. Kerugian akibat konflik kekerasaan

bukan hanya dari segi materil seperti kerusakan infrastruktur, tapi juga kerugian

karena banyaknya korban jiwa yang meninggal termasuk anak-anak dan remaja.

1 Alumni Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin 2 Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin 3 Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin

Page 2: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground
Page 3: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

91 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

91

Salah satu konflik yang menyita perhatian masyarakat Internasional bahkan

hingga saat ini yaitu konflik yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (RDK).

Pasca kemerdekaannya, Negara ini selalu berada dalam situasi konflik baik itu

konflik etnis maupun konflik politik. Konflik tersebut tercatat memakan korban

jiwa hingga enam juta jiwa yang diakibatkan oleh pertempuran maupun penyakit

dan kekurangan gizi (bbc.com, 2017). Konflik kekerasaan yang terjadi di RDK

menjadi sangat kompleks karena banyaknya pihak yang terlibat dalam konflik

tersebut mulai dari masyarakat sipil, kelompok pemberontak, dan Negara-negara

tetangga RDK seperti Rwanda dan Burundi. Kondisi ini mengakibatkan kekerasan

yang terjadi semakin besar dan juga penyelesaian konflik menjadi sulit untuk

dilaksanakan.

Para ahli memperkirakan bahwa 1,6 juta orang meninggal tiap tahun

diantaranya kaum remaja akibat kekerasaan seperti pembunuhan maupun perang

(advocatesforyouth.org, 2008). Lebih lanjut, remaja merupakan salah satu pihak

yang mengalami kerugian dari pertempuran yang terjadi. Tercatat lebih dari

300.000 orang anak laki-laki menjadi tentara anak di seluruh dunia. Lain halnya

dengan para gadis dan anak perempuan yang sangat rentan terhadap pemerkosaan

dan budak seks dari para militan yang terlibat konflik. Bukan hanya itu, konflik

kekerasan juga mempengaruhi kaum muda dengan mengganggu aktivitas sekolah,

layanan kesehatan dasar, bahkan menimbulkan trauma psikologis terhadap

masyarakat (advocatesforyouth.org, 2008).

Tahun 2014, UNDP menyebutkan jumlah generasi muda mencapai angka

terbesar dari yang pernah ada. Lebih dari 60 % dari populasi di beberapa Negara

dimana program UNDP dilaksanakan merupakan kaum muda berumur 15-24 tahun

(undp.org, 2014). Populasi kaum muda dan remaja yang besar ini dianggap oleh

banyak pihak sebagai kekuatan positif yang besar dalam meningkatkan ekonomi

maupun sosial sehingga kaum muda tersebut diharapkan menjadi agen perdamaian

(Agent of Peace). Di RDK sendiri, populasi yang berumur di bawah 25 tahun

mencapai 65% sehingga membuat Negara ini disebut sebagai Negara muda (SFCG,

2015). Banyak pihak yang menganggap anak-anak dan remaja di RDK sebagai

korban kekerasan maupun pelaku kekerasan dan bukan sebagai agen perubahan

yang positif.

Page 4: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 92

92

Salah satu INGO yang melaksanakan misi perdamaian di RDK yaitu Search

for Common Ground (SFCG). SFCG merupakan sebuah lembaga nirlaba yang

bergerak di bidang transformasi konflik. INGO yang dibentuk pada tahun 1982 dan

berkantor pusat di Washington DC ini telah beroperasi di lebih dari 30 negara

termasuk Negara di Asia, Eropa, Amerika, dan Timur Tengah (sfcg.org, 2016).

SFCG yang telah mengupayakan penyelesaian konflik di berbagai Negara ini

menganggap bahwa berbagai upaya mediasi dan diplomasi seperti penandatangan

perjanjian damai tidak cukup untuk menghentikan pertempuran ataupun perang

yang terjadi.

SFCG memiliki tujuan yaitu untuk mengubah konflik agar tidak berujung

pada kekerasaan melainkan pada upaya kerjasama atau dengan kata lain mengubah

konflik dari yang destruktifmenjadi konstruktif. INGO ini menganggap bahwa

dalam menyelesaian konflik hingga ke akarnya dibutuhkan waktu dan komitmen

jangka panjang dan tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak

utamanya masyarakat sipil di Negara yang terlibat konflik (sfcg.org, 2016). Dalam

mencapai tujuannya, SFCG menjalankan beberapa program dengan berbagai

sasaran termasuk remaja. Kondisi RDK yang memiliki populasi remaja hingga

mencapai 65% dari total penduduk dan potensi besarnya untuk menjadi agen

perdamaian menjadi latar belakang mengapa SFCG menjalankan berbagai program

terkait remaja dengan berbagai macam metode seperti media, seni, dialog, dan

program pelatihan yang berdasarkan pada dasar peacebuilding di seluruh dunia

(sfcg.org, 2010).

SFCG melihat bahwa untuk mewujudkan perdamaian, generasi muda

memegang peranan yang sangat penting sehingga diperlukan rehabilitasi sejak dini

mengenai konflik. Berdasarkan latar beakang tersebut, maka penelitian ini, penulis

mengangkat dua rumusan masalah, yaitu: 1). Bagaimana strategi SFCG dalam

merehabilitasi remaja pasca perang di Republik Demokratik Kongo? dan 2).

Apakah faktor penghambat dan pendukung Search for Common Ground dalam

merehabilitasi remaja pasca perang di Republik Demokratik Kongo?

Page 5: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

93 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

93

Konsep

Penelitian ini menggunakan dua konsep yaitu konsep Peacebuilding dan

International Non Governmental Organization. Istilah peacebuilding dapat

ditelusuri melalui karya Johan Galtung, dimana karya Galtung ini berisi tentang

penciptaan struktur pembangunan perdamaian untuk mempromosikan perdamaian

berkelanjutan dengan mengatasi akar permasalahan dari konflik kekerasaan yang

terjadi serta mendukung masyarakat sipil agar memiliki kemampuan dalam

mengelola perdamian dan meresolusi konflik yang terjadi (UN Peacebuilding: An

Orientation, 2010).

Boutros Ghali menjelaskan bahwa peacebuilding merupakan suatu tindakan

untuk mengindentifikasi dan mendukung struktur agar dapat memperkuat

perdamaian sehingga kemungkinan konflik terulang kembali dapat dihindarkan.

Hal ini didasari oleh pendapat yang dikemukakan Paul Collier dalam studinya yang

menyebutkan bahwa kemungkinan suatu konflik terulang kembali (relapse) yang

sempat dihentikan melalui kesepakatan damai jauh lebih besar dibanding terjadinya

sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah mengalami konflik

bersenjata (Sukma, 2009). Republik Demokratik Kongo sebagai salah satu Negara

yang telah mengalami beberapa kali perang sipil dan konflik berkepanjangan perlu

mendapat perhatian lebih oleh masyarakat Internasional agar konflik di negara

Afrika Tengah tersebut tidak terulang kembali.

Dalam mewujudkan proses peacebuilding, terdapat tiga dimensi utama yang

masing-masing menjelaskan streategi dan teknik yang berbeda. Ketiga dimensi

tersebut adalah sebagai berikut (Schilling, 2012:23): 1) dimensi struktural yang

berfokus pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya sebagai aspek yang

menyebabkan adanya konflik kekerasan, 2) dimensi relasional yang berpusat pada

proses rekonsiliasi, pembangunan kepercayaan, dan visi masa depan serta fokusnya

terletak pada usaha untuk mengurangi dampak negatif dari konflik seperti

kekerasan yang berujung pada perang melalui perbaikan dan transformasi

hubungan yang rusak. 3) Dimensi personal yang berfokus pada keinginan untuk

berubah pada tingkatan individu melalui aspek psikologi dan emosional dari

konflik.

Page 6: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 94

94

Konsep kedua yaitu International Non Governmental Organization yang

menjelaskan tentang aktor yang terlibat dalam penelitian penulis yaitu Search for

Common Ground. Menurut Bank Dunia (World Bank), INGO didefinisikan sebagai

organisasi swasta yang aktivitasnya berupaya untuk meringankan penderitaan,

mempromosikan kepentingan kaum miskin, melindungi lingkungan, menyediakan

layanan dasar sosial, dan melakukan pemberdayaan masyarakat di negara-negara

berkembang. Menurut Welch, INGO berfungsi sebagai penghubung antara dunia

pemerintahan yang kompleks dan asing dengan ranah kelompok sosial dan ekonomi

yang dekat dan dikenal oleh masyarakat. Selain itu, Lewis menyatakan bahwa

INGO saat ini diakui sebagai pelaku utama sektor ketiga dalam lingkup

pembangunan, hak asasi manusia, lingkungan dan area lainnya dalam aksi publik

(Tamsyah, 2014).

Perkembangan INGO dimulai pada tahun 1846 yaitu ketika salah satu

INGO yang dikenal dengan nama World’s Evangelical Alliance (Perhimpunan

Penginjil Sedunia) dibentuk (Triwah, Non Government Organization, 2016).

Beberapa INGO lainnya kemudian terbentuk pada pertengahan abad ke-19 yaitu

pada sekitar tahun 1860. Perkembangan INGO yang semakin banyak, tepatnya

setelah PD I dan PD II juga seiring dengan perkembangan IGO (Intergovernmental

Organization) yang ditujukan agar kerjasama antar negara dapat terjalin. Pertikaian

antar negara dan juga perdebatan ideologi serta kepentingan hingga saat ini masih

menjadi faktor penghambat dalam pencapaian keberhasilan INGO. Meskipun

perkembangan INGO seringkali dikatakan lambat dan kurang terarah, namun

beberapa INGO juga tidak dapat dipungkiri telah membawa manfaat dalam

menanggulangi berbagai masalah umat manusia dan lingkungan hidup.

Perkembangan INGO menurut Korten, terbagi ke dalam tiga generasi yang

berhubungan dengan strategi program pembangunan (Korten, 1987:147-149).

Dalam INGO generasi pertama, isu yang menjadi fokus utama yaitu mengenai

bantuan kemanusiaan dan kesejahteraan. Kondisi negara yang terlibat perang pasca

PD I membawa kerugian yang amat besar dengan sulitnya untuk memenuhi

kebutuhan dasar seperti pendistribusian makanan, penyediaan tempat tinggal, dan

penyediaan tim medis bagi korban yang terluka. Namun, upaya yang dilakukan

INGO dalam generasi pertama ini dianggap masih memiliki banyak kekurangan

Page 7: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

95 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

95

utamanya karena tidak terumuskannya dampak jangka panjang dari perang yang

terjadi yaitu berupa kemiskinan dan pembangunan.

Selanjutnya INGO generasi kedua yang muncul pada tahun 1970an.

Berbeda dengan generasi pertama yang mengfokuskan kerja organisasi melalui

upaya penyediaan kebutuhan dasar, pada generasi kedua, upaya INGO lebih

difokuskan pada pembangunan masyarakat seperti pembinaan pencegahan

penyakit, praktek dalam bidang pertanian, dan kegiatan pengembangan masyarakat

lainnya. Generasi terakhir INGO yaitu berfokus pada upaya INGO dalam

memfasilitasi pembangunan berkelanjutan melalui disfungsi aspek-aspek

kebijakan. Dalam generasi terakhir ini, upaya INGO meliputi mobilisasi grassroot

dan advokasi kebijakan.

Pembahasan A. Strategi SFCG dalam merehabilitasi remaja pasca perang di Republik

Demokratik Kongo

Dalam mencapai tujuannya untuk transformasi konflik di RDK, SFCG

menyusun beberapa strategi yang kemudian diturunkan ke dalam beberapa program

salah satunya program terkait remaja. Strategi-strategi tersebut antara lain:

melakukan rehabilitasi remaja melalui pendidikan, membuka ruang dialog dan

pemberdayaan remaja, serta membangun jejaring komunikasi antar remaja.

Sebagai salah satu INGO, SFCG memiliki peran penting di dunia utamanya

ketika kita berbicara mengenai konflik dan resolusi konflik. SFGC merupakan

INGO yang bergerak dalam transformasi konflik dimana program yang

dilaksanakannya meliputi strategi-strategi yang mendukung agar suatu konflik

dapat diselesaikan atau bahkan dihindari melalui cara-cara yang konstruktif dan

telah membuat INGO ini menjadi salah satu dari seratus INGO paling berpengaruh

di dunia berdasarkan The Global Journal (The Global Journal, 2012).

Konflik yang terjadi di RDK merupakan salah satu konflik terpanjang di

dunia karena melibatkan berbagai aktor yang bukannya menyelesaikan

permasalahan atau perselisihan yang terjadi disana, tetapi justru menyebabkan

konflik tersebut menjadi semakin kompleks. Banyaknya permasalahan politik

Page 8: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 96

96

hingga etnis menyebabkan konflik semakin luas sehingga memicu terjadinya

kekerasan yang pada akhirnya memberikan kerugian bagi banyak pihak, mulai dari

kerusakan berbagai infrastruktur hingga banyaknya korban jiwa yang sebagian

besar wanita dan anak-anak. Kondisi tersebut sangat disayangkan melihat bahwa

sebenarnya kekerasan yang timbul akibat konflik tersebut dapat dihindari. Hal ini

sesuai dengan penjelasan konflik yang disebutkan Wirawan dalam bukunya konflik

dan managemen konflik yang menjelaskan bahwa konflik terbagi menjadi dua jenis

yaitu konflik destruktif yang terjadi karena keinginan untuk mengalahkan satu sama

lain (win lose solution) dan biasanya melibatkan kekerasan serta konflik konstruktif

yang penyelesaiannya melibatkan metode-metode nonviolence dimana contoh yang

paling umum yaitu melalui mediasi dan negosiasi sehingga kekerasan dapat sebisa

mungkin diminimalisir atau bahkan ditiadakan.

Namun, penyelesaian konflik melalui mediasi ataupun negosiasi tidak

memberikan perubahan secara nyata dalam menghilangkan konflik kekerasan di

suatu negara. Dapat dilihat dari konflik kekerasan yang terjadi di RDK dimana telah

dilakukan beberapa kali upaya resolusi konflik melalui penandatanganan perjanjian

damai pada 1999 di Zambia, kemudian KTT yang dilaksanakan di Ibukota Uganda,

pada November 2012 yang dihadiri oleh beberapa pemimpin Negara lain di Afrika

seperti Uganda, Kenya, dan Tanzania (voaindonesia.com, 2012) serta

penandatanganan perjanjian damai dilaksanakan dan dihadiri oleh 11 negara di

Afrika antara lain: Presiden RDK, Afrika Selatan, Rwanda, Tanzania, Kongo, dan

Sudan Selatan serta wakil dari Uganda, Angola, Zambia, Burundi, dan Republik

Afrika Tengah yang dilaksanakan pada Februari 2013. Dari beberapa upaya

diplomatik yang telah dilakukan, terbukti bahwa konflik kekerasan masih terus

terulang di negara Afrika tengah tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari

Paul Collier yang menyatakan bahwa kemungkinan suatu konflik terulang kembali

(relapse) yang sempat dihentikan melalui kesepakatan damai jauh lebih besar

dibanding terjadinya sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah

mengalami konflik bersenjata (Sukma, 2009). Jadi, berdasarkan pernyataan Paul

tersebut, RDK memiliki peluang untuk terus berkonflik jika dilihat dari sejarah

panjang negara tersebut yang telah mengalami ketidakstabilan pasca kemerdekaan

dari Belgia pada 1960.

Page 9: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

97 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

97

Perdamaian di RDK dengan kondisi negara tersebut yang rawan konflik

kekerasan bukannya menjadi hal yang tidak mungkin terjadi. Melalui resolusi

konflik yang diperkenalkan oleh Johan Galtung, khususnya pada tahapan terakhir

yaitu peacebuilding, perdamaian bukan hal yang mustahil di RDK. Galtung

menawarkan penyelesaian konflik dengan mengatasi akar permasalahan dari suatu

negara yang mengalami konflik kekerasan serta mendukung warga sipil agar

memiliki kemampuan dalam mengelola dan meresolusi konflik yang terjadi.

Dengan kata lain, peacebuilding menjelaskan tentang perlunya suatu negara

utamanya yang terlibat konflik kekerasan yang berkepanjangan untuk melakukan

suatu perubahan sosial yang disebutkan oleh Lederach sebagai transformasi

konflik.

Berdasarkan penjelasan mengenai peacebuilding tersebut, dapat dilihat

bahwa kondisi negara RDK belum sampai pada kondisi yang stabil baik dari segi

ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Dibutuhkan perubahan secara

menyeluruh untuk dapat menciptakan sebuah kondisi yang damai sehingga

banyaknya jumlah remaja di RDK yaitu 65% dari total penduduk menjadi

kesempatan yang besar dan menjanjikan bagi perubahan tersebut.

Sebagai INGO yang berfokus dalam upaya transformasi konflik, SFCG

melihat peluang yang besar dari banyaknya populasi remaja di RDK. Remaja

memegang peranan penting dalam kemajuan suatu negara sebagai generasi penerus

sehingga untuk melakukan transformasi konflik yang dimulai dari pembentukan

dan pengembangan skill dari masyarakat sipil suatu negara, remaja menjadi objek

yang sebaiknya diutamakan. SFCG kemudian menggunakan 3 (tiga) strategi yang

diimplementasikan dalam bentuk program di RDK dengan keterlibatan remaja agar

mereka dapat secara aktif terlibat dalam proses perdamaian di negaranya. Strategi

tersebut antara lain (sfcg.org, 2015):

1. Melakukan rehabilitasi melalui pendidikan formal dan non formal

Program SFCG dibentuk dengan tujuan agar konflik kekerasan dapat

dihindari dengan mengubah konflik destruktif menjadi konstruktif. Dalam rangka

untuk mencapai tujuannya itu, SFCG memulai perubahan dengan mengubah pola

pikir tiap individu yang menjadi objeknya dalam hal ini pemuda dan remaja.

Page 10: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 98

98

Diharapkan melalui bantuan berupa implementasi program terkait remaja yang

dibentuk oleh SFCG, remaja tersebut dapat mengelola dampak konflik terhadap

kehidupan mereka.

Strategi SFCG yang pertama yaitu melalui pendidikan baik secara formal

maupun non formal. SFCG menyebutkan strategi melalui pendidikan formal dan

non formal ini sebagai strategi education. Pendidikan formal sebagaimana yang

telah diketahui yaitu pendidikan yang diperoleh dari badan pendidikan dalam hal

ini sekolah, yang telah memiliki standar terstruktur seperti kurikulum yang telah

diakui oleh otoritas pendidikan nasional suatu negara(youngadulllt.eu, 2017).

Sedangkan pendidikan non formal yaitu pendidikan yang diperoleh diluar dari

pendidikan formal dengan tujuan untuk lebih mengembangkan keterampilan,

pengetahuan dan sikap dari objek didik. Pendidikan non formal dapat diikuti oleh

semua kelompok usia melalui metode seperti kursus, workshop, dan seminar.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, konflik yang terjadi di

RDK membawa dampak negatif bagi berlangsungnya pendidikan formal di sana

seperti rusaknya beberapa sarana pendidikan, sehingga untuk mengatasinya SFCG

mengoptimalkan pendidikan luar sekolah atau dalam hal ini tergolong sebagai

pendidikan non-formal. Melihat kondisi RDK sebagai negara yang rawan konflik,

SFCG melihat bahwa pemahaman remaja sebagai generasi penerus terkait

perdamaian dan mengelolaan konflik merupakan hal yang penting untuk dilakukan.

Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam situasi konflik yang

melibatkan kekerasan akan berdampak secara langsung dari sikapnya dalam

mengatasi konflik yang juga akan dihadapinya dengan menggunakan kekerasan.

Sehingga, berdasarkan hal ini, SFCG membentuk suatu program yang disebut

dengan Cultural Space yang dilaksanakan di Baraka. Program ini merupakan salah

satu program yang unik di RDK dimana para pemuda dan remaja dari berbagai etnis

dikumpulkan dalam satu tempat sehingga diharapkan dapat menjalin berbagai

interaksi termasuk bermain dan belajar bersama.

Cultural Space berkontribusi untuk membangun kemampuan remaja,

memberdayakan mereka untuk dapat menyelesaikan masalah dengan kemampuan

sendiri, mengajarkan mereka berbagai keterampilan sosial serta kemampuan dasar

Page 11: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

99 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

99

lainnya berupa membaca, menulis, skill komputer, serta kemampuan dalam

berbahasa inggris sebagai bahasa kedua mereka. Kembalinya pengungsi RDK dari

Tanzania yang kemudian mengajarkan remaja membaca dan menulis dalam bahasa

Inggris di Cultural Space menjadi salah satu contoh bahwa program ini dapat

menjadi peluang yang besar untuk saling berinteraksi dan memahami satu sama

lain.

Pemberdayaan remaja melalui Cultural Space di Baraka ini termasuk salah

satu upaya peacebuilding. Dimensi personal dalam peacebuilding menjelaskan

tentang perlunya perubahan dalam tingkat individu dalam kasus ini yaitu remaja di

RDK. Pasca konflik tentunya memberikan efek yang bermacam-macam pada

remaja salah satunya disebutkan dalam dimensi personal peacebuilding yang

menjelaskan bahwa pasca mengalami kekerasan, seorang individu cenderung

rentan, tidak berdaya, dan tidak terkendali sehingga perbaikan dalam tingkat

individu memastikan remaja dalam penanganan yang tepat.

Dalam dimensi personal peacebuilding juga disebutkan bahwa invididu

yang sempat mengalami kekerasan apabila diabaikan dan tidak ditangani dengan

baik maka akan berpotensi melakukan kekerasan di masa depan. Sehingga Cultural

Space sebagai sarana pendidikan non formal yang juga memberikan pemahaman

pada remaja dalam menghadapi konflik secara konstruktif merupakan salah satu

upaya yang tepat dalam menangani hal ini.

2. Membuka ruang dialog dan pemberdayaan remaja

Strategi kedua yang digunakan SFCG yaitu menciptakan kesempatan bagi

pemuda dan remaja agar dapat menyampaikan opininya dan berpartisipasi dalam

dialog nasional mengenai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Dalam

sebuah studi yang dilakukan oleh ahli S.P.R.L pada tahun 2008 menunjukkan

sekitar 84% populasi di RDK tidak mengetahui dengan baik tindakan pemerintah

dan 57% tidak mengetahui bagaimana cara agar pemerintah dalam hal ini pejabat

elit dapat mendengar aspirasi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa di RDK masih

belum terjadi proses demokrasi yang baik.

Page 12: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 100

100

Melalui strategi yang oleh SFCG sebut dengan istilah voice ini, remaja

memberikan kesempatan bagi warga sipil di RDK untuk dapat didengar dan

menyuarakan opini mereka. Program SFCG ini diturunkan dalam bentuk program

yang menyebarkan opini serta sikap remaja dan pemuda dalam berbagai isu seperti

hak asasi anak, demobilisasi mantan kombatan, dan konflik antar etnis. Sehingga

dalam strategi ini, pemuda dan remaja dapat menyerukan hak, melakukan advokasi,

dan melakukan dialog nasional. Dalam strategi voice ini, SFCG menggunakan

metode-metode yang inovatif melalui radio, musik dan teater agar dapat dijangkau

oleh banyak orang (Gratton, 2010). Salah satu contoh program SFCG yang

menggunakan strategi ini yaitu Sisi Watoto (We Are the Children). Sisi Watoto

merupakan suatu program SFCG yang berusaha untuk memfasilitasi anak-anak dan

remaja agar dapat mendiskusikan resiko dan dampak terjadinya perang terhadap

kehidupan mereka (sfcg.org, 2016).

Program Sisi Watoto ini merupakan salah satu program SFCG yang cukup

memberikan pengaruh terhadap remaja di RDK karena lebih dari 95% remaja

mendengarkan program radio tersebut(sfcg.org, 2009). Pendengar remaja dengan

jumlah yang banyak tersebut dianggap sebagai suatu keberhasilan dari program Sisi

Watoto dimana konten yang dibawakan oleh program radio ini kebanyakan

ditujukan kepada remaja agar mereka dapat memahami resiko konflik dan

mengetahui metode resolusi konflik secara koperatif.

Selain itu, melalui strategi ini aspirasi remaja juga dapat disebarkan dengan

mudah dan tentunya menjangkau banyak remaja lainnya sehingga sangat mudah

bagi mereka untuk melakukan kampanye terkait isu di lingkungan mereka. Melalui

Sisi Watoto ini, kebebasan remaja dan pemuda untuk dapat menyuarakan opini dan

memberikan pengaruh dalam komunitasnya dapat lebih teraktualisasi secara

demokratis. Keberhasilan program Sisi Watoto dapat dilihat dari pencapaiannya

dalam memenangkan hadiah pertama pada kompetisi UNICEF dan OneWorld

terkait program radio untuk anak pada Mei 2004(globalgiving.org, 2004).

Page 13: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

101 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

101

3. Membangun jejaring komunikasi antara remaja untuk bertukar

pikiran

Strategi terakhir yaitu membangun jejaring komunikasi antara remaja untuk

bertukar pikiran dengan tujuan agar tercipta sikap toleransi diantara remaja tersebut.

Salah satu program SFCG yang menggunakan strategi ini yaitu Génération Grands

Lacs (GGL). Program ini merupakan salah satu program radio antara RDK,

Rwanda, dan Burundi dimana dalam programnya, topik yang dibahas meliputi hal-

hal umum tentang ketiga negara seperti bidang politik, pemerintahan, maupun

fenomena sosial. Ketiga wartawan dari negara yang berbeda tersebut melakukan

kolaborasi dan membahas topik yang berbeda tiap minggunya. Pertukaran

informasi tersebut disiarkan secara langsung sehingga memungkinkanwarga dari

ketiga negara dapat menghubungi program radio dan mengajukan pertanyaan serta

memberi komentar.

Remaja yang berasal dari tiga negara yang pernah terlibat konflik ini

diharapkan mampu menjadi mediator dalam proses pemahaman konflik bukan

hanya bagi remaja tapi bagi seluruh warga sipil ketiga negara yang mendengar

program tersebut. Melalui program ini, diharapkan remaja dapat mentransformasi

hubungan yang sempat rusak dengan cara membangun komunikasi efektif melalui

dialog di segala lapisan masyarakat juga meningkatkan kesadaran pada peran tiap

individu utamanya remaja dalam suatu konflik sehingga dapat saling memahami

satu sama lain dengan baik.

Remaja yang berasal dari ketiga negara yang berbeda ini dianggap sebagai

aktor yang dapat membangun hubungan yang harmonis antara negara yang sempat

terlibat konflik tersebut. Keterlibatan mereka dalam program GGL ini merupakan

salah satu bentuk aksi nyata bahwa remaja dapat menjadi perwakilan dari

komunitasnya dalam melaksanakan dialog serta dapat mengembangkan skill

mereka dalam meresolusi konflik dengan menyampaiankan pesan-pesan

perdamaian melalui radio sehingga SFCG menyebut strategi ini dengan istilah

action.

Page 14: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 102

102

B. Faktor Pendukung dan Penghambat Transformasi Konflik oleh SFCG

di Republik Demokratik Kongo

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan manusia.

Namun, permasalahan yang muncul kemudian yaitu kekerasan yang diakibatkan

dari konflik tersebut yang muncul karena ketidakmampuan pihak yang terlibat

konflik untuk mengelola konflik tersebut menjadi sesuatu yang bersifat koperatif.

Dengan terwujudnya hal itu, perdamaian di suatu negara dapat terwujudkan. SFCG

sebagai salah satu INGO yang bergerak dalam transformasi konflik menggunakan

berbagai macam strategi untuk mewujudkan keadaan tersebut. Dalam kasus di

RDK, SFCG yang telah melakukan program terkait remaja tersebut memiliki faktor

pendukung dan faktor penghambat dalam pengimplementasian programnya.

1. Faktor Pendukung

Beberapa faktor pendukung dimiliki oleh SFCG selama menjalankan

programnya dalam merehabilitasi remaja pasca perang di RDK seperti kondisi

remaja yang kreatif dan bervisi, kondisi remaja yang mudah digerakkan dan saling

mempengaruhi, serta adanya dukungan dari militer RDK dalam mempromosikan

perdamaian dan anti kekerasan. Penjelasan mengenai masing-masing faktor

pendukung tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Remaja memiliki pemikiran yang kreatif dan bervisi serta memiliki

keoptimisan untuk melihat perubahan di masa depan.

Sebagai negara yang sedang mengupayakan sustainable peace (perdamaian

berkelanjutan), RDK memiliki peluang yang besar jika dilihat dari jumlah

remaja yang mencapai 65% dari total penduduk disana. Banyaknya generasi

muda yang dimiliki oleh RDK dapat menjadi kekuatan dalam memajukan

negaranya dalam beberapa tahun ke depan. Terjadinya konflik kekerasan

yang berkepanjangan memberikan keinginan yang kuat bagi remaja tersebut

untuk mewujudkan suatu perubahan. Remaja dipercaya oleh banyak pihak

sebagai agent of peace karena pemikirannya yang kreatif dan memiliki

keoptimisan dalam melakukan perubahan.

Page 15: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

103 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

103

Bagi SFCG, kondisi ini merupakan peluang dalam proses implementasi

programnya. Beberapa program SFCG dapat digolongkan sebagai program

yang inovatif seperti pembuatan program radio, acara televisi, pembuatan

komik terkait perdamaian, dan sebagainya. Melalui program inovatif

tersebut, remaja yang dipercaya memiliki pemikiran yang kreatif dan

inovatif tersebut dapat dengan mudah dilibatkan dan diajak dalam

menjalankan program SFCG.

b. Remaja dapat digerakkan dan dapat saling mempengaruhi satu dengan

lainnya sehingga memiliki peranan dalam mempengaruhi komunitasnya.

Dapat dilihat dari kesuksesan dari salah satu program radio SFCG yaitu Sisi

Watoto yang pendengarnya mencapai 95% remaja. Pendengar tersebut

mengikuti program Sisi Watoto karena pengaruh dari remaja lain dalam

komunitasnya. Dengan kata lain, jumlah remaja di RDK sebanyak 65% dari

total penduduk menjadi peluang yang besar bagi SFCG karena remaja

dipercaya dapat dengan mudah saling mempengaruhi satu sama lain

sehingga perubahan struktur sosial maupun transformasi konflik dapat

terjadi.

c. Keterlibatan pihak Militer dalam mempromosikan perdamaian

Sebagai aktor internasional yang menjalankan program di suatu negara,

dukungan dari pihak militer merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh

SFCG. Di RDK sendiri, dukungan dari pihak militer tersebut telah menjadi

faktor pendukung dalam kerja-kerja SFCG. INGO tersebut memiliki

hubungan yang baik dengan tentara Kongo yang dikenal dengan FARDC.

Keterlibatan FARDC dengan turut mempromosikan aksi non kekerasan

merupakan suatu pencapaian yang luar biasa bagi SFCG dalam menjalankan

program di RDK.

Berdasarkan dari data yang disebutkan SFCG, sebanyak 77% polisi RDK

memiliki tingkat pemahaman yang tinggi dalam tugasnya untuk melindungi

warga negara setelah diberikan pelatihan dari SFCG. Sebaliknya, sebanyak

25% polisi RDK tidak memiliki pemahaman tersebut. Keterlibatan FARDC

Page 16: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 104

104

dalam mempromosikan aksi damai dan anti kekerasan menjadi salah satu

faktor penentu dalam kelancaran rehabilitasi remaja pasca perang di RDK.

2. Faktor Penghambat

Selain faktor pendukung, SFCG juga mengalami beberapa hambatan dalam

pengimplementasian programnya dalam merehabilitasi remaja pasca perang di

RDK. Faktor penghambat tersebut meliputi: adanya trauma masyarakat terhadap

konflik, kurangnya partisipasi remaja perempuan di RDK, kurangnya pendanaan,

dan kurangnya managemen kerja dalam internal SFCG.

a. Trauma masyarakat terhadap konflik

Konflik kekerasan yang telah lama dialami oleh warga RDK tentu saja

memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis warga negara RDK.

Adanya kekerasan yang memakan banyak korban jiwa tersebut memberikan

ketakutan terhadap warga sipil apabila konflik terulang kembali. Konflik

kekerasan tersebut juga semakin diperparah dengan banyaknya kelompok-

kelompok yang kemudian juga ikut terlibat dalam konflik. Akibatnya,

ancaman konflik yang terjadi tersebut menjadi semakin tidak terprediksi

oleh warga sipil sehingga perang menjadi trauma tersendiri bagi mereka.

b. Kurangnya partisipasi remaja perempuan di RDK

Membangun dan memajukan suatu negara untuk mencapai kedamaian

dimulai dari pembentukan dan pembinaan remaja secara merata. Namun,

hal ini menjadi faktor penghambat bagi SFCG dalam mencapai tujuannya

tersebut karena intensitas keterlibatan remaja perempuan dalam berbagai

kegiatan di negara tersebut kurang. Hal tersebut diakibatkan oleh pola pikir

tradisional yang masih memandang bahwa remaja perempuan memiliki

tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan remaja laki-laki salah

satunya seperti mengurus rumah. Sehingga hal ini kemudian berdampak

pada tingkat pendidikan yang diperoleh oleh anak perempuan di RDK.

Page 17: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

105 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

105

c. Kurangnya Pendanaan

Hambatan SFCG lainnya yaitu kurangnya pendanaan dalam

pengimplementasian program. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam BAB

II, sebagian besar kerja-kerja dari INGO bergantung pada pendanaan dari

donor dan untuk kasus SFCG, beberapa program terkait remaja diantaranya

mendapatkan dana hibah dari UNHCR. Program Culture Space di Baraka

merupakan salah satu contoh program yang mengalami hambatan dalam

pengimplementasiannya karena lambatnya respon dari UNHCR terkait

pendanaan Culture Space tersebut. Beberapa akibat dari kurangnya

pendanaan ini yaitu kurangnya sarana pendidikan berupa ruang belajar serta

kurangnya stok buku Perancis di perpustakaan (satu-satunya perpustakaan

di Baraka).

Beberapa permasalahan teknis tersebut disebabkan oleh kurangnya

pendanaan SFCG dalam menjalankan programnya. Meskipun terdapat dana

hibah dari donor, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa donor tersebut juga

memiliki regulasinya masing-masing yang tidak selamanya mendukung

program SFCG. Banyaknya program-program jangka panjang yang

ditawarkan oleh SFCG dalam menjalankan tujuannya untuk

mentransformasi konflik menjadi sulit terlaksana akibat dari kurangnya

pendanaan sehingga seringkali program tersebut tidak berjalan dengan

lancar.

d. Rendahnya kemampuan managemen kerja di internal SCFG

Faktor penghambat terakhir yang dihadapi SFCG yaitu rendahnya

kemampuan managemen kerja SFCG. Hal tersebut dilihat dari tidak

lancarnya salah satu kegiatan program DJD dimana dalam

pengimplementasiannya tidak terkoordinir dengan baik karena hanya

dilakukan oleh satu staf saja. Kegiatan tersebut juga terlaksana tanpa target

bulanan yang jelas. Menurut dari koordinator program DJD tersebut, ia

tidak memiliki waktu yang cukup dalam merencanakan program sehingga

dapat dilihat bahwa kurangnya perencanaan dengan staf terbatas menjadi

Page 18: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 106

106

faktor penghambat yang sangat berdampak terhadap kelancaran program

DJD.

KESIMPULAN

Search for Common Ground (SFCG) merupakan salah satu INGO yang

bergerak dalam transformasi konflik. INGO ini berupaya untuk mengubah cara

dunia memandang dan meresolusi konflik melalui metode yang konstruktif.Dalam

mencapai tujuannya untuk mentransformasi konflik di RDK dengan melibatkan

remaja di sana, SFCG menggunakan 3 (tiga) strategi yaitu:

1. Melakukan rehabilitasi melalui pendidikan formal dan non formal

Strategi ini meliputi pendidikan formal dan non formal dimana fokus dari

SFCG yaitu pengembangan melalui pendidikan secara non formal. Salah satu

bentuk implementasi program yang menggunakan strategi ini yaitu Cultural Space

di Baraka dimana program ini berupa pembentukan suatu ruang budaya agar remaja

di sana dengan berbagai etnis berbeda dapat berkumpul dan melakukan interaksi.

Program ini bertujuan agar remaja dapat belajar untuk saling memahami dan

toleransi terhadap orang lain sehingga perdamaian dapat dibangun dari hubungan

yang harmonis tersebut.

2. Membuka ruang dialog dan pemberdayaan remaja

Melalui strategi ini, diharapkan remaja dapat menyuarakan opini dalam

komunitasnya. Adanya ketimpangan dan tidak demokratisnya pemerintah di RDK

membuat strategi ini menjadi kesempatan yang besar. Strategi yang termasuk dalam

kategori ini berupa program radio, musik, dan teater. Salah satu contoh program

SFCG yang menggunakan strategi ini yaitu Sisi Watoto (We Are the Children).

Program ini memfasilitasi remaja agar dapat mendiskusikan resiko dan dampak dari

perang terhadap kehidupan mereka dan bagaimana cara untuk mengolah konflik

kekerasan tersebut. Program Sisi Watoto ini merupakan salah satu program SFCG

yang cukup memberikan pengaruh terhadap remaja di RDK karena lebih dari 95%

remaja mendengarkan program radio tersebut.

Page 19: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

107 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

107

3. Membangun jejaring komunikasi antara remaja untuk bertukar pikiran

Strategi terakhir yaitu memciptakan kesempatan bagi remaja untuk

melakukan action dalam komunitasnya. Program yang diimplementasikan dengan

menggunakan metode ini yaitu Génération Grands Lacs (GGL). Dimana

melibatkan tiga remaja yang merupakan wartawan dari negara yang berbeda yaitu

RDK, Burundi, dan Rwanda berkolaborasi untuk membuat sebuah program radio

dengan topik umum terkait bidang ekonomi, politik, maupun budaya masing-

masing negara. Adanya dialog antar negara ini diharapkan dapat memberikan efek

positif berupa sikap saling memahami dan toleransi satu sama lain.

4. Dalam pengimplementasian program-programnya, SFCG tentunya memiliki

faktor pendukung dan penghambat, antara lain:

a. Faktor Pendukung

1. Pemuda memiliki pemikiran yang kreatif dan bervisi serta memiliki

keoptimisan untuk melihat perubahan di masa depan.

2. Pemuda dapat digerakkan dan dapat saling mempengaruhi satu

dengan lainnya sehingga memiliki peranan dalam mempengaruhi

komunitasnya

3. Keterlibatan pihak Militer dalam mempromosikan perdamaian

B Faktor Penghambat

1. Konflik kekerasan yang berkepanjangan telah menyebarkan

ketakutan akan adanya ancaman dari grup-grup yang bertikai di

wilayah konflik (adanya ketidaknyamanan)

2. Kurangnya partisipasi remaja perempuan di RDK

3. Kurangnya Pendanaan

4. Kurangnya Managemen kerja di SCFG

Page 20: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

Amalia Hasanah Ismail -Strategi Transformasi Konflik…| 108

108

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alger, C. F. (2007). Peace Studies as Transdiciplinary Project. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Cromwell, M., & Vogele, W. B. (2009). Nonviolenct Action, Trust, and Building a Culture of Peace. Joseph de Rivera.

Galtung, J. (1980). Violent, Peace, and Peace Research. Oslo: International Peace Research Institute.

Galtung, J., & Weber, C. (2007). Handbook of Peace and Conflict Studies. New York: Routledge.

Gratton, M. (2010, 9 30). Children and Youth Program Review Summer 2010. George Mason University: Institute for Conflict Analysisand Resolution.

Hennida, C. (2015). Rezim dan Organisasi Internasional. Malang: Intrans Publishing.

Hermawan, Y. P. (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. In Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional (p. 80). Bandung: Graha Ilmu.

Latief, A., & Jamaan, A. (2013). Konflik di Republik Demokratik Kongo. Efektifitas United Nations Mission Organization in The Democratic of The Congo.

Mansbach, R. W. (2012). Pengantar Politik Global. Nusamedia

Miall, H. (1998). Contemporary Conflict Resolution. UK: Cambridge Politics Press.

Newman, E., Paris, R., & Richmond, O. P. (2009). New Perspectives on Liberal Peacebuilding. New York: United Nation University Press.

Plano, J. C., & Olton, R. (2011). Kamus Hubungan Internasional. Bandung.

Schilling, K. (2012). Peacebuilding and Conflict Transformation: A Source Book. Cameroon: Youth Department of The Presbyterian.

Sukma, R. (2009). Peacebuilding: Arti Penting dan Tujuan. Jakarta: FGD Propatria.

Wirawan. (2009). Konflik dan Managemen Konflik. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.

Jurnal

Alger, C. F. (2011). Peace Studies as Transdiciplinary Project. Reading Bricks Foundation in Peace and Conflict Studies.

Bustin, E. (2016). Rememberence of Sins Past: Unraveling the Murder of Patrice Lumumba. ORF Issue Brief.

Page 21: Strategi Transformasi Konflik Search for Common Ground

109 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 4 NO 2

109

Conley, M. (2004). UNESCO and Education for Cultureof Peace. A Transdiciplinary Approach Education and Peace, 11-14.

Firlianita, A. (2014). Peacemaking, Peacekeeping, Peacebuilding, dan Peacesettlement.

Morton, B. (2015). An Overview of International NGOs in Development Cooperation. UNDP : Working with Civil Society in Foreign Aid.

Mostashari, A. (2005). An Introduction to Non Governmental Organization.

Rivera, J. D. (2009). Handbook on Building Culture of Peace. 2.

Smith, A., & Ellison, C. S. (2012). Youth, Education, and Peacebuilding. 10.

Tamsyah, I. (2014, 11 11). Aktor Baru dalam Hubungan Internasional: International Non Governmental Organization (INGOs).

Sumber Internet

Adams, D. (2005, 12). Definition of Culture of Peace. Retrieved from http://www.culture-of-peace.info/copoj/definition.html

advocatesforyouth.org. (2008). The Development of The Global Youth Agenda. Retrieved from Advocates For Youth: http://www.advocatesforyouth.org/publications/publications-a-z/455- youth-and-the-state-of-the-world

amnesty.org. (2017). Democratic Republic of The Congo 2016/2017. Retrieved from https://www.amnesty.org/en/countries/africa/democratic-republic-of- the-congo/report-democratic-republic-of-the-congo/

ayakumar, K. (2016). Conflict in The Republic Democratic of Congo. Retrieved from http://www.transconflict.com/gcct/gcct-members/africa/middle- africa/democratic-republic-of-congo/conflict-in-drc/

bbc.com. (2012, 11 20). Q&A DR Congo Conflict. Retrieved from http://www.bbc.com/news/world-africa-11108589

bbc.com. (2017, Juli 13). DR Congo Country Profile. Retrieved from http://www.bbc.com/news/world-africa-13283212