Upload
fad-lee-noegraha
View
71
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Staphylococcus Aureus
Citation preview
1
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
MIKROBIOLOGI
OLEH
NECEL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2009
FKUNMUL
2
BAB I
PENDAHULUAN
Stafilokokus adalah parasit manusia yang terdapat dimana-mana. Sumber
utama infeksi adalah lesi manusia, benda yang terkontaminasi bakteri dari lesi itu,
dan saluran pernafasan serta kulit manusia. Penyebaran infeksi melalui kontak
langsung bertambah penting di rumah sakit, karena sebagian besar karyawan dan
penderita mengandung stafilokokus yang resisten terhadap antibiotika pada hidung
atau kulit mereka. Kebersihan, higiene, dan penanganan lesi secara aseptik dapat
mengendalikan penyebaran bakteri dari lesi, tetapi hanya ada sedikit cara untuk
mencegah penyebaran stafilokokus dari para pembawa bakteri. Aerosol (misalnya
glikol) dan penyinaran ultraungu terhadap udara tidak banyak berguna (Jawetz et
al,1996).
Di rumah sakit, daerah yang paling tinggi risikonya terhadap infeksi
stafilokokus adalah kamar perawatan bayi baru lahir, unit perawatan intensif (ICU),
kamar bedah, dan bagian kemoterapi kanker. S.aureus patogen epidemik masuk
secara besar-besaran ke daerah-daerah ini dan dapat mengakibatkan penyakit klinis
yang berbahaya. Karyawan dengan lesi stafilokokus aktif dan pembawa bakteri
mungkin harus dilarang memasuki daerah ini. Pada orang-orang ini, pemakaian
antiseptik topikal (misalnya krim klorheksidin atau basitrasin) di hidung atau daerah
perineal dapat mengurangi penyebaran organisme yang berbahaya ini. Rifampin yang
3
diberikan bersama obat antistafilokokus oral lain kadang-kadang dapat menekan
keadaan pembawa dalam jangka panjang dan mungkin dapat menyembuhkan
pembawa bakteri di hidung; bentuk terapi ini biasanya dicadangkan untuk pembawa
stafilokokus yang sulit diatasi dengan cara lain, karena stafilokokus cepat menjadi
resisten terhadap rifampin. Antiseptik, seperti heksaklorofen, dapat dipergunakan
pada kulit bayi baru lahir untuk menghilangkan pembentukan koloni stafilokokus,
tetapi sifat toksisitasnya membuat antiseptik ini tidak digunakan secara luas (Jawetz
et al,1996).
4
BAB II
MORFOLOGI dan STRUKTUR
Infeksi oleh jenis kuman ini yang terutama menimbulkan penyakit pada
manusia. Setiap jaringan ataupun alat tubuh dapat diinfeksi olehnya dan
menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas, yaitu peradangan,
nekrosis, dan pembentukan abses. Infeksinya dapat berupa furunkel yang ringan pada
kulit sampai berupa suatu piemia yang fatal. Kecuali impetigo, umumnya kuman ini
menimbulkan penyakit yang bersifat sporadik bukan epidemic (Arif et al, 2000).
MORFOLOGI dan IDENTIFIKASI
Kuman ini berbentuk sferis, bila menggerombol dalam susunan yang tidak
teratur mungkin sisinya agak rata karena tertekan. Diameter kuman anatara 0,8-1,0
mikron. Pada sediaan langsung yang berasal dari nanah dapat terlihat sendiri,
berpasangan, menggerombol, dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek.
Susunan gerombolan yang tidak teratur biasanya ditemukan pada sediaan yang dibuat
5
dari pembenihan padat, sedangkan dari pembenihan kalbu biasanya ditemukan
tersendiri atau tersusun sebagai rantai pendek (Arif et al, 2000).
Kuman ini tidak bergerak, tidak berspora dan positif Gram. Hanya kadang-
kadang yang negatif Gram dapat ditemukan pada bagian tengah gerombolan kuman,
pada kuman yang telah difagositosis dan pada biakan tua yang hampir mati (Arif et
al, 2000).
PERTUMBUHAN dan PEMBENIHAN
Jenis-jenis Staphylococcus di laboratorium tumbuh dengan baik dalam
kaldu biasa pada suhu 37oC. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 15
oC dan
40oC, sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 35
oC. Pertumbuhan terbaik dan
khas ialah pada suasana aerob; kuman ini pun bersifat anaerob fakultatif dan dapat
tumbuh dalam udara yang hanya mengandung hidrogen dan pH optimum untuk
pertumbuhannya ialah 7,4. Pada lempeng agar, koloninya berbentuk bulat, diameter
1-2 mm, cembung, buram, mengkilat, dan konsistensinya lunak. Warna khas ialah
kuning keemasan, hanya intensitas warnanya dapat bervariasi. Pada lempeng agar
darah umumnya koloni lebih besar dan pada varietas tertentu koloninya dikelilingi
oleh zona hemolisis. Untuk mengasingkan kuman dari tinja, dipergunakan lempeng
agar yang mengandung NaCl sampai 10% sebagai penghambat terhadap kuman jenis
lain dan manitol untuk dapat mengetahui patogenitasnya (Arif et al, 2000).
6
Koloni yang masih sangat muda tidak berwarna, tetapi dalam
pertumbuhannya berbentuk pigmen yang larut dalam alkohol, eter, khloroform, dan
benzol. Pigmen ini termasuk dalam golongan lipokhrom dan akan tetap dalam koloni,
tidak meresap ke dalam pembenihan, tepai larut dalam eksudat jaringan sehingga
nanah berwarna sedikit kuning keemasan yang dapat merupakan petunjuk tentang
adanya infeksi oleh kuman ini. Atas dasar pigmen yang dibuatnya, Stafilokokus
dibagi dalam beberapa spesies. Yang berwarna kuning keemasan dinamakan
Staphylococcus aureus, yang putih Staphylococcus albus dan yang kuning dinamakan
Staphylococcus citreus. Dalam suasana anaerob pada lempeng agar biasa pada suhu
37oC tidak dibentuk pigmen, pada lempeng agar darah pada suhu 37
oC pembentukan
pigmennya kurang subur. Tetapi bila koloni tersebut dipindahkan pada agar biasa
atau pembenihan Loeffler, dieram pada suhu kamar, maka pembentukan pigmennya
sangat baik. Virulensi ada hubungannnya dengan kemampuannya membentuk
koagulosa tetapi tidak bertalian dengan warna koloni (Arif et al, 2000).
DAYA TAHAN KUMAN
Diantara semua kuman yang tidak membentuk spora, maka Staphylococcus
aureus termasuk jenis kuman yang paling kuat daya tahannya. Pada agar miring dapat
tetap hidup sampai berbulan-bulan, baik dalam lemari es maupun pada suhu kamar.
Dalam keadaan kering pada benang, kertas, kain, dan dalam nanah dapat tetap hidup
selama 6-14 minggu (Arif et al, 2000).
7
Dalam berbagai zat kimia daya tahannya adalah sebagai berikut :
Tinc. jodii 2% ............................................... 1 menit
H2O2 3% 3 menit
HgCl2 1% ...................................................... 10 menit
Fenol 2% ...................................................... 15 menit
Alkohol 50-70% ........................................... 1 jam
Suatu jenis Staphylococcus aureus yang tahan selama 5 menit tetapi mati
dalam waktu 10 menit dalam fenol 1/90, oleh Food and Drug Administration (FDA)
USA, dipakai sebagai kuman tes standar untuk menilai antiseptikum lainnya, di
dalam tes Fenol Koefisien (Arif et al, 2000).
STRUKTUR ANTIGEN
Kuman Stafilokokus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat
antigenik. Bahan-bahan ekstraseluler yang dibuat oleh kuman ini kebanyakan juga
bersifat antigenik (Arif et al, 2000).
Polisakarida yang ditemukan pada jenis virulen disebut polisakarida A, dan
yang ditemukan pada jenis yang tidak patogen disebut polisakarida B. Polisakarida A
merupakan komponen dinding sel yang dapat dipindahkan dengan memakai asam
kompleks peptidoglikan asam teikhoat dan dapat menghambat fagositose.
Bakteriofage terutama menyerang bagian ini (Arif et al, 2000).
8
Antigen protein A terletak di luar antigen polisakarida, kedua-duanya
bersama-sama membentuk dinding sel kuman (Arif et al, 2000).
TIP BAKTERIOFAGA
Faga dapat diasingkan dari alam. Sebagian besar jenis Stafilokokus bersifat
lisogenik, yang berarti bahwa mereka mengandung faga yang tidak berpengaruh
terhadap diri mereka sendiri, tetapi dapat menyebabkan lisis pada beberapa anggota
ari spesies yang sama. Parker membagi Stafilokokus dalam 4 grup litik dan satu grup
tambahan:
Tabel 18.1 Grup litik dari tipe faga staphylococcus
Grup Litik Faga dalam grup
I 29 52 52A 79 80
II 3A 3B 3C 55 71
III 6 7 42E 47 53 54 75 77 83A
IV 42D
Lain-lain 81 187
(Arif et al, 2000).
Jenis yang hanya dilisis oleh faga 81 dan 187 tidak dapat dimasukkan ke
dalam salah satu dari 4 grup terdahulu. Jenis yang hanya dilisis oleh faga 42D sering
ditemukan di dalam susu tetapi jarang ditemukan pada manusia dan hubungannya
9
dengan keracunan makanan menguatkan dugaan bahwa jenis ini primer berasal dari
hewan. Enterotoksin terutama dibuat oleh grup litik III dan IV (Arif et al, 2000).
Infeksi di rumah sakit terutama disebabkan oleh grup litik I, yaitu jenis yang
dilisis oleh faga 52, 52A, 80 dan 81. Dalam grup litik II terdapat jenis yang hanya
dilisis oleh faga 71, jenis ini secara khas berhubungan dengan penyakit kulit yang
bersifat vesikel, misalnya impetigo oleh Stafilokokus dan pemphigus pada neonates
(Arif et al, 2000).
METABOLIT KUMAN
Staphylococcus aureus membuat 3 macam metabolisme, yaitu metabolit
yang bersifat :
1. Nontoksin
2. Eksotoksin
3. Enterotoksin
METABOLIT NON TOKSIN
Yang termasuk metabolit nontoksin ialah antigen permukaan, koagulasa,
hialuronidasa, fibrinolisin, gelatinasa, proteasa, lipasa, tributirinasa, fosfatasa dan
katalasa.
10
a. Antigen permukaan
Antigen ini berfungsi antara lain mencegah serangan oleh faga, mencegah reaksi
koagulosa dan mencegah fagositosis.
b. Koagulasa (Stafilokoagulosa)
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat karena faktor
koagulasa-reaktif di dalam serum. Faktor ini bereaksi dengan koagulasa dan
menghasilkan suatu esterase yang dapat membangkitkan penggumpalan, sehingga
terjadi deposit fibrin pada permukaan sel kuman yang dapat menghambat
fagositosis.
c. Hialuronidasa
Enzim ini tertuma dihasilkan oleh jenis koagulasa positif. Penyebaran kuman
dipermudah dengan adanya enzim ini, oleh karena itu enzim ini juga disebut
sebagai spreading factor.
d. Stafilokokus atau fibrinolisin
Enzim ini dapat melisiskan bekuan darah dalam pembuluh darah yang sedang
meradang, sehingga bagian-bagian dari bekuan yang penuh kuman terlepas dan
menyebabkan terjadinya lesi metastatik di lain tempat.
e. Gelatinasa dan proteasa
Gelatinasa adalah suatu enzim yang dapat mencairkan gelatin. Protease dapat
melunakkan serum yang telah diinspirasikan (diuapkan airnya) dan menyebabkan
nekrosis jaringan termasuk jaringan tulang.
11
f. Lipasa dan tributirinasa
Lipasa terutama dihasilkan oleh jenis koagulasa positif, tetapi tidak mempunyai
peranan yang khas. Tributirinasa atau egg-yolk factor merupakan suatu lipase-like
enzyme yang menyebabkan terbentuknya fatty droplets dalam suatu pembenihan
kaldu yang mengandung glukosa dan kuning telur.
g. Fosfatase, lisosin, dan penisilinasa
Ada korelasi antara aktivitas asam fosfatase, patogenitas kuman dan pembentukan
koagulasa, tetapi pemeriksaan asam fosfatase jauh lebih sulit untuk dilakukan dan
kurang khas jika hendak dipakai sebagai petunjuk virulensi. Lisosim dibuat oleh
sebagian besar jenis koagulasa positif dan penting untuk menentukan patogenitas
kuman. Penisilinasa dibuat oleh beberapa jenis Stafilokokus, terutama dari grup.
h. Katalasa
Enzim ini dibuat oleh Stafilokokus dan Mikrokokus, sedangkan Pneumokokus
dan Streptokokus tidak. Adanya enzim ini dapat diketahui jika koloni
Stafilokokus berumur 24 jam dituangi H2O2 3% dan timbul gelembung-
gelembung udara.
(Arif et al, 2000).
EKSOTOKSIN
Terdiri dari :
a. Alfa hemolisin
12
b. Beta hemolisin
c. Delta hemolisin
d. Leukosidin
e. Sitotoksin
f. Toksin eksfoliatif
a. Alfa hemolisin
Toksin ini dibuat oleh Stafilokokus virulen dari jenis human dan bersifat :
- Melisiskan sel darah merah kelinci, kambing, domba, dan sapi.
- Tidak melisiskan sel darah merah manusia.
- Menyebabkan nekrosis pada kulit manusia dan hewan.
- Dalam dosis yang cukup besar dapat membunuh manusia dan hewan.
- Menghancurkan sel darah putih kelinci.
- Tidak menghancurkan sel darah putih manusia
- Menghancurkan trombosit kelinci
- Bersifat sitotoksik terhadap biakan jaringan mamalia
(Arif et al, 2000).
Semua sifat tersebut di atas dapat dinetralkan oleh IgG, tetapi tidak oleh IgA atau
IgM. Semua efek tersebut diatas terjadi karena pelepasan anion dengan fospolipid
yang terdapat dalam membran sel kuman. Setelah diolah dengan formalin toksin
ini dapat dipakai sebagai toksoid (Arif et al, 2000).
13
Kemampuan untuk membuat toksin ini dapat dipindahkan dengan bakteriofaga
L2043, namun jenis yang menerimanya tidak selalu menghasilkan toksin yang
sama kuatnya seperti yang dihasilkan oleh jenis asalnya (Arif et al, 2000).
b. Beta hemolisin
Toksin ini terutama dihasilkan oleh jenis yang berasal dari hewan. Dapat
menyebabkan terjadinya hot-cold lysis pada sel darah merah domba dan sapi.
Dalam hal ini lisis baru terjadi setelah pengeraman 1 jam pada suhu 10oC. Toksin
ini dapat dibuat toksoid.
c. Delta hemolisin
Toksin ini dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efeknya
terhadap sel darah merah domba kurang. Jika toksin pekat disuntikkan pada
kelinci secara intravena, maka akan terjadi kerusakan ginjal yang akut berakibat
fatal.
d. Leukosidin
Toksin ini dapat merusak sel darah putih beberapa macam binatang dan ada 3 tipe
yang berbeda :
- Alfa hemolisin
- Yang identik dengan Delta hemolisin, bersifat termostabil dan menyebabkan
perubahan morfologik sel darah putih dari semua tipe kecuali yang berasal
dari domba.
14
- Yang terdapat pada 40-50% jenis Stafilokokus dan hanya merusak sel darah
putih manusia dan kelinci tanpa aktivitas hemolitik.
e. Sitotoksin
Toksin ini mempengaruhi arah gerak sel darah putih dan bersifat termostabil.
Toksin ini dibuat dalam suasana di mana :
- Kompleks antigen zat anti menghasilkan suatu kompleks trimolekuler dari
komplemen yang terdiri dari C5, C6 dan C7.
- Streptokinase merubah plasminogen menjadi plasmin yang kemudian bereaksi
dengan C3 sehingga menjadi C3 yang aktif.
Pada penyakit granulomatosa septik kronik yang bersifat herediter sering
ditemukan sebagai penyebabnya kuman Stafilokokus dan pada penyakit ini sel
darah putih dapat melakukan fagositosis tetapi tidak dapat menghancurkan
kumannya.
f. Toksin eksfoliatif
Toksin ini dihasilkan oleh Stafilokokus grup II dan merupakan suatu protein
ekstraseluler yang tahan panas tetapi tidak tahan asam. Toksin ini dianggap
sebagai penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSS), yang antara lain
meliputi dermatitis eksfoliativa pada neonatus (Ritters disease),impetigo bulosa,
Staphylococcal scarlatiniform rash dan toksin epidermal nekrolisis pada orang
dewasa.
(Arif et al, 2000).
15
BAKTERIOSIN
Toksin ini dihasilkan oleh Stafilokokus grup II dan merupakan suatu protein
ekstraseluler yang dapat membunuh kuman positif Gram, yaitu dengan cara
menghambat sintesis protein dan DNA tanpa menyebabkan lisis kuman (Arif et al,
2000).
ENTEROTOKSIN
Toksin ini dibuat jika kuman ditanam dalam perbenihan semisolid dengan
konsentrasi CO2 30%. Toksin ini terdiri dari protein yang bersifat :
- Nonhemolitik
- Nondermonekrotik
- Nonparalitik
- Termostabil, dalam air mendidih tahan selama 30 menit.
- Tahan terhadap pepsin dan tripsin
(Arif et al, 2000).
Toksin ini penyebab keracunan mekanan, terutama terdiri dari hidrat arang
dan protein. Masa tunas antara 2-6 jam dengan gejala yang timbul secara mendadak,
yaitu mual, muntah-muntah dan diare. Kadang-kadang dapat terjadi kolaps sehingga
dikira kolera (Arif et al, 2000).
Penyembuhan biasanya terjadi setelah 24-48 jam dan jarang berakibat fatal.
Efek muntah terjadi karena toksin merangsang pusat muntah di susunan syaraf pusat.
16
Salmonella dan clotsridium dapat menimbulkan keracunan makanan dengan gejala
yang serupa (Arif et al, 2000).
Belum ditemukan suatu cara yang mudah yang dapat menyatakan bahwa
suatu menyatakan bahwa suatu perbenihan kuman Stafilokokus mengandung
enterotoksin, yang jelas ada hubungan antara pembentukan enterotoksin dan
koagulosa. Staphylococcus aureus yang membentuk enterotoksin adalah koagulasa
positif , tetapi tidak semua jenis koagulosa positif dapat membentuk enterotoksin.
Jika dari setiap gram makanan yang tersangka dapat ditemukan ratusan, ribuan
kuman Stafilokokus atau lebih, maka hal ini dapat merupakan suatu bukti dari dugaan
bahwa makanan tersebut memang menyebabkan keracunan makanan. Namun perlu
diingat bahwa enterotoksin bersifat termostabil, sehingga jika makanan yang
tersangka telah dipanaskan mungkin tidak dapat ditemukan kuman lagi, meskipun di
dalamnya terkandung jumlah besar enterotoksin (Arif et al, 2000).
17
BAB III
PATOGENESIS
Stafilokokus, khususnya S epidermidis adalah anggota flora normal pada
kulit manusia, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. 40-50% manusia
merupakan pembawa S aureus dalam hidungnya. Stafilokokus juga biasa ditemukan
di pakaian, kasur, dan benda lainnya yang biasa dipakai manusia. Kemampuan
patogenik strain S aureus tertentu merupakan gabungan faktor-faktor ekstraseluler,
toksin-toksin, serta sifat-sifat invasif strain itu. Pada satu akhir spektrum penyakit
adalah keracunan makanan oleh stafilokokus, akibat termakannya enterotoksin yang
sudah terbentuk; sedangkan bentuk akhir lainnya adalah bakteremia stafilokokus dan
abses yang tersebar di seluruh organ. Peran serta potensial berbagai zat ekstraseluler
pada patogenesis ternyata dari sifat kerja masing-masing faktor. (Jawetz, 1995)
Staphylococcus aureus yang patogen dan invasif cenderung menghasilkan
koagulase dan pigmen kuning, dan bersifat hemolitik. Stafilokokus yang non patogen
dan tidak invasif seperti Staphylococcus epidermidis, cenderung bersifat koagulase
negatif dan tidak hemolitik. Organisme ini jarang menyebabkan pus tetapi dapat
menginfeksi prostesis ortopedik atau kardiovaskuler. (Jawetz, 1995)
Prototipe lesi stafilokokus adalah furunkel atau abses setempat lainnya.
Kelompok S aureus yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan nekrosis
jaringan (faktor demonekrotik). Koagulase dihasilkan dan mengkoagulase fibrin di
18
sekitar lesi dan di dalam pembuluh limfe, mengakibatkan pembentukan dinding yang
membatasi proses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan kemudian jaringan
fibrosis. Di tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan nekrotik (dibantu oleh
hipersensivitas tipe lambat) dan abses mengarah pada daerah yang daya tahannya
paling kecil. Setelah cairan di tengah jaringan nekrotik mengalir keluar, rongga secara
pelan-pelan diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh. (Jawetz, 1995)
Pernanahan foka (abses) adalah sifat khas infeksi stafilokokus. Dari setiap
fokus, organisme menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah ke bagian tubuh
lainnya. Pernanahan dalam vena, yang disertai trombosis, sering terjadi pada
penyebaran tersebut. Pada osteomyelitis, fokus primer pertumbuhan S aureus secara
khas terjadi di pembuluh-pembuluh darah terminal pada metafisis tulang panjang,
mengakibatkan nekrosis tulang dan pernanahan menahun. S aureus dapat
menyebabkan pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis atau sepsis dengan
pernanahan pada bagian tubuh mana saja. Stafilokokus yang daya invasinya rendah
berperan pada banyak infeksi kulit (misalnya acne, epiderma, atau impitigo). Kokus
anaerob (peptostreptococcus) berperan dalam infeksi anaerobik campuran.
Stafilokokus juga menyebabkan penyakit melalui kerja toksin, tanpa memperlihatkan
infeksi invasif. Bula eksoliatifsindroma lepuh kulitdisebabkan oleh pembentukan
toksin eksoliatif. Sindroma syok toksin berhubungan dengan toksin sindroma syok
toksik-I (TSST-I). (Jawetz, 1995)
19
BAB IV
DIAGNOSIS LABORATORIUM
A. Bahan Pemeriksaan :
Bahan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dengan cara swabbing, atau langsung
dari darah, pus, sputum, atau liquor serebrospinalis (Arif et al, 2000).
B. Pemeriksaan Langsung :
Biasanya kuman dapat terlihat jelas, terutama jika bahan pemeriksaan berasal dari
pus sputum. Dari sediaan langsung kita tidak dapat membedakan apakah yang
kita lihat tersebut Staphylococcus aureus atau Staphylococcus apidermidis. Pada
sediaan langsung dari nanah, kuman terlihat tersusun tersendiri, berpasangan,
bergerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek (Arif et al, 2000).
C. Perbenihan :
Bahan yang ditanam pada lempeng agar darah akan menghasilkan koloni yang
khas setelah pengeraman selama 18 jam pada suhu 37C, tetapi hemolisis dan
pembentukan pigmen baru terlihat setelah beberapa hari dibiarkan pada suhu
kamar. Jika bahan pemeriksaan mengandung bermacam macam kuman, dapat
dipakai suatu perbernihan yang mengandung NaCl 10%. Pada umumnya
Stafilokokus yang berasal dari manusia tidak patogen terhadap hewan. Pada suatu
20
perbenihan yang mengandung telurit, Stafilokokus koagulasi positif membentuk
koloni yang berwarna hitam karena dapat mereduksi telurit (Arif et al, 2000).
D. Tes Koagulasi :
Ada 2 cara tes koagulasi yaitu cara slide test dan cara tube test. Pada slide test
yang dicari ialah bound coagulase atau clumping factor. Cara ini tidak dianjurkan
untuk pemeriksaan rutin, karena banyak factor yang dapat mempengaruhinya,
antara lain diperlukan plasma manusia yang masih segar. Pemakaiannya terutama
untuk pemeriksaan Stafilokokus dalam jumlah yang besar, misalnya untuk
screening test. Pada tube test yang dicari ialah adanya koagulasi bebas dan cukup
dipergunakan plasma kelinci. Hasilnya positif kuat jika tabung tes dibalik,
gumpalan plasma tidak terlepas dan tetap melekat pada dinding tabung (Arif et al,
2000).
E. Penentuan Tipe Bakteriofaga (lisotopi) :
Cara ini penting untuk menetukan tipe Stafilokokus yang diasingkan dari
lingkungan rumah sakit. Perlu diketahui bahwa 70-80% flora Stafilokokus di
rumah sakit tahan terhadap penisilin. Selain itu, dengan lisotopi dapat pula
ditentukan apakah suatu jenis berasal dari hewan atau dari manusia (Arif et al,
2000).
F. Tes Kepekaan :
Tes pengenceran mikro kaldu atau tes kepekaan lempeng difusi sebaiknya
dilakukan secara rutin pada isolat stafilokokus dari infeksi yang bermakna secara
klinik. Resistensi terhadap penisilin G dapat diperkirakan melalui tes positif untuk
21
-laktamase; kurang lebih 90% S aureus menghasilkan -laktamase. Resistensi
terhadap nafsilin (dan oksasilin san metisilin) terjadi pada 10-20% S aureus dan
kurang lebih 75% isolat S epidermidis. Resisitensi nafsilin berkolerasi dengan
adanya mecA, suatu gen yang menyandi protein terikat penisilin yang tidak
dipengaruhi obat ini. Gen dapat dideteksi dengan menggunakan reaksi rantai
polimerase, tetapi hal ini tidak berguna karena stafilokokus yang tumbuh pada
agar Mueller-Hinton mengandung 4% NaCl dan 6g/mL oksasilin yang secara
khas merupakan mecA positif dan resisten oksasilin (Jawetz et al,1996).
22
BAB V
PENGOBATAN dan TERAPI
Sebagan besar orang memiliki stafilokokus pada kulit dan dan hidung atau
tenggorokan. Biarpun kulit dapat dibersihkan dari stafilokokus (misalnya pada
eksema), dengan cepat akan terjadi reinfeksi melalui droplet. Organisme patogen
sering menyebar dari satu lesi (seperti furunkel) dan menyebar ke daerah kulit lainnya
melalui jari dan pakaian. Oleh karenanya, antisepsis lokal yang cermat sangat penting
untuk mengendalikan furunkulosis yang berulang. (Jawetz, 1995)
Infeksi ganda yang berat pada kulit (jerawat, furunkulosis) paling sering
terjadi pada para remaja. Infeksi kulit yang serupa terjadi pada penderita yang
memperoleh kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama, menunjukkan peranan
hormon dalam patogenesis infeksi kulit oleh stafilokokus. Pada jerawat, enzim lipase
dari stafilokokus dan korinobakteria melepaskan asam-asam lemak dan menyebabkan
iritasi jaringan. Tetrasiklin dipergunakan untuk pengobatan jangka panjang. (Jawetz,
1995)
Abses dan lesi bernanah diobati dengan drainase, yaitu tindakan yang sangat
penting, dan antimikroba. Banyak obat antimikroba memiliki efek terhadap
stafilokokus in vitro. Namun, sangat sukar membasmi stafilokokus patogen pada
23
orang-orang yang terinfeksi bakteri ini, karena organisme ini cepat menjadi resisten
terhadap kebanyakan obat antimikroba, dan obat-obat itu tidak dapat bekerja pada
bagian sentral lesi nekrotik yang bernanah. (Jawetz, 1995)
Baktertemia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi hebat lain yang
disebabkan oleh S aureus memerlukan terapi intravena yang lama dengan penisilin
yang resisten terhadap -laktamase. Vankosimin sering dicadangkan untuk
stafilokokus yang resisten terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S aureus
yang tidak menghasilkan -Laktamase, penisilin G merupakan obat pilihan, tetapi
hanya sedikit strain S aureus yang peka terhadap penisilin G. (Jawetz, 1995)
Pada infeksi klinis, strain S aureus yang resisten terhadap penisilin G selalu
menghasilkan penisilinase. Sekarang bakteri ini merupakan 70-90% isolat S aureus
dalam masyarakat USA. Bakteri ini biasanya peka terhadap penisilin yang resisten
terhadap -laktamase, sefalosporoin, atau vankomisin. Resistensi terhadap nafsilin
tidak bergantung pada pembentukan -laktamase, dan insidensi klinisnya sangat
bervariasi di berbagai negara dan pada waktu yang berbeda. Pengaruh seleksi obat
antimikroba yang resisten terhadap -laktamase mungkin bukan merupakan satu-
satunya faktor yang menentukan timbulnya resistensi terhadap obat ini. (Jawetz,
1995)
Karena sering timbul strain yang resisten terhadap obat, isolat stafilokokus
yang penting sebaiknya di periksa kepekaannya terhadap obat anti mikroba untuk
membantu pemilihan obat sistemik. Resistensi terhadap obat golongan eritromisin
cenderung timbul demikian cepat sehingga obat ini sebaiknya tidak digunakan
24
sebagai obat tunggal dalam infeksi menahun. Resistensi obat (terhadap penisilin,
tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dan sebagainya) yang ditentukan oleh
plasmid, dapat dipindah-pindahkan diantara stafilokokus dengan transduksi atau
mungkin dengan konjugasi. (Jawetz, 1995)
Di antara kokus gram-positif, enterokokus yang terendah sensitifitasnya.
Hampir semua infeksi oleh stafilokokus disebabkan oleh kuman penghasil
penisilinase dan karena itu harus diobati dengan penisilin yang tahan penisilinase.
Stafilokokus yang resiten terhadap metisilin (methicilin-resistant S. aureus = MRSA)
harus dibasmi dengan vankomisin atau siprofloksasin. Gonokokus yang dahulu
sensitif terhadap penisilin G, juga sudah banyak yang resisten, obat terpilih sekarang
adalah seftriakson. Meningokokus cukup sensitif terhadap penisilin G. Singkatnya
dapat dilihat pada tabel berikut. (Bagian Farmakologi FKUI, 2001)
Tabel 1. PILIHAN ANTIMIKROBA BERDASARKAN EDUCATED GUESS
Jenis Infeksi Penyebab Tersering
(khususnya S. aureus)
Pilihan antimikroba
I. Saluran Nafas
Otitis media dan
sinusitis
Strain pneumoniae, H.
influenzae
S. aureus, kuman anaerob
Amoksisilin/ampisilin,
eritromisin
Amoksisilin-asam klavulanat
Pneumonia bakterial S. aureus Kloksasilin, sefalosporin
generasi I
25
II. Kardiovaskular
Endokarditis Stafilokokus
Stafilokokus yang toleran
terhadap metisilin
Kloksasilin + gentamisin
Vankomisin
III. Kulit, otot, tulang
Impetigo, furunkel,
selulitis
Str. Pyogenes, S. aureus Kloksasilin/eritromisin,
sefalosporin generasi I
Osteomyelitis akut S. aureus Kloksasilin
IV. SSP
Meningitis bakterial
anak/ dewasa
Str. Pneumoniae,
stafilokokus, H. influenzae
Ampisilin + kloramfenikol
(sebagai terapi awal)
Abses otak Streptokokus, S. aureus,
Enterobacterriaceae,
berbagai kuman anaerob
Penisilin G + kloramfenikol/
metronidazol + sefalosporin
generasi III
V. Sepsis
Anak < 5 tahun Str. Pneumoniae, H.
influenzae, S. aureus
Kloksasilin/ampisilin +
kloramfenikol atau ampisilin +
kloramfenikol
Anak > 5 tahun dan
dewasa
Kuman enterik gram negatif,
S. aureus, streptokokus
Kloksasilin/ sefalosporin
generasi I + aminoglikosida
atau sefalosporon generasi
III/ampisilin-sulbaktam
dengan atau tanpa
aminoglikosida
(Bagian Farmakologi FKUI, 2001)
26
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi FKUI. (2001). FARMAKOLOGI dan TERAPI (4 ed.). Jakarta:
Gaya Baru.
Jawetz, M. A. (1995). Mikrobiologi Kedokteran (20 ed.). (I. Setiawan, Ed., & R. M.
Edi Nugroho, Trans.) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapiusn FK UI.
27
Trims 4 downloading.
See the next chapter of necel publication
Made under authority of Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman`s student
For further information please visit:
necel.wordpress.com
Copyright necel 2009 Free to distributed and copied as if nothing of part of this document isn`t deleted or changed.