12
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014 ISSN 2302-2612 59 ASPEK MUTU DAN TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP SURIMI IKAN BELUT Rini Rahayu Sihmawati & Mokhamad Nasir Salasa UNTAG Surabaya [email protected] ABSTRACT The research goal is know the quality aspect and consumer like of fish surimi according to chemistry test and organoleptic test. This research uses experiment method and group random design in factorial term. Factor one( I) is the adding of tapioca flour( T) with the level of 1 %, 5%, 10%. Factor two ( II) is sugar adding ( G) with the level 1%, 2.5%,4%, 5.5% three times repetition. Chemistry parameter (proximat) with protein test. fat and ash level. While organoleptic parameter for taste test, texture, flavor,colour. The research result shows that each factor shows that there is significant influence to the protein , fat , ash level. There is a significant interaction influence of protein and ash level. While the fat has no significant influence and protein level tends to have linear decrease with more sugar and flour adding. For fat level tends to decrease linier with more tapioca flour but with more sugar , the fat also increases. While the ash tends ro increase liniarly with the adding of tapioca flour and sugar. The best composition in this research match with the chemistry test shows the treatment of T1G1 and T3G1. While the organoleptic test which has been done to the panelis , the best treatment is T3G4 if it is compared to the other treatments , like category 60% in taste , very like 40% in the texture, like 60% in the flavor and like 67% in colour. Kata kunci: perikanan, surimi, ikan belut, tepung tapioka PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daerah perairan yang cukup luas, hampir 66 % wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan konsumsi ikan di Indonesia adalah 30,17 kg per kapita dalam 1 tahun. Sektor perikanan Indonesia pada era globalisasi ini memiliki prospek pengembangan yang sangat potensial. Hal ini dapat dilihat dari industri pangan hasil perikanan yang semakin berkembang dan beragam jenisnya. Salah satu bahan pangan perikanan yang pada saat ini sedang berkembang di Indonesia adalah surimi (Santoso, 2008). Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton pertahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Di samping itu juga terdapat potensi perikanan lain yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu (a) perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta ha memiliki potensi produksi 0,9 juta ton per tahun; (b) budidaya laut yang meliputi budidaya ikan, budidaya moluska dan budidaya rumput laut; (c) budidaya air payau dengan potensi lahan pengembangan sekitar 913.000 ha; (d) budidaya air tawar meliputi budidaya di perairan umum, budidaya di kolam air tawar dan budidaya mina padi di sawah; serta (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, pangan, pakan dan produk-produk non-konsumsi (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

sihmawai

  • Upload
    rahmi93

  • View
    218

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

belut,surimi

Citation preview

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 59

ASPEK MUTU DAN TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN

TERHADAP SURIMI IKAN BELUT Rini Rahayu Sihmawati & Mokhamad Nasir Salasa

UNTAG Surabaya

[email protected]

ABSTRACT

The research goal is know the quality aspect and consumer like of fish surimi

according to chemistry test and organoleptic test. This research uses experiment method

and group random design in factorial term. Factor one( I) is the adding of tapioca flour(

T) with the level of 1 %, 5%, 10%. Factor two ( II) is sugar adding ( G) with the level 1%,

2.5%,4%, 5.5% three times repetition. Chemistry parameter (proximat) with protein test.

fat and ash level. While organoleptic parameter for taste test, texture, flavor,colour.

The research result shows that each factor shows that there is significant influence

to the protein , fat , ash level. There is a significant interaction influence of protein and ash

level. While the fat has no significant influence and protein level tends to have linear

decrease with more sugar and flour adding. For fat level tends to decrease linier with

more tapioca flour but with more sugar , the fat also increases. While the ash tends ro

increase liniarly with the adding of tapioca flour and sugar.

The best composition in this research match with the chemistry test shows the

treatment of T1G1 and T3G1. While the organoleptic test which has been done to the

panelis , the best treatment is T3G4 if it is compared to the other treatments , like category

60% in taste , very like 40% in the texture, like 60% in the flavor and like 67% in colour.

Kata kunci: perikanan, surimi, ikan belut, tepung tapioka

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daerah perairan yang cukup

luas, hampir 66 % wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kementerian

Kelautan dan Perikanan konsumsi ikan di Indonesia adalah 30,17 kg per kapita dalam 1

tahun. Sektor perikanan Indonesia pada era globalisasi ini memiliki prospek

pengembangan yang sangat potensial. Hal ini dapat dilihat dari industri pangan hasil

perikanan yang semakin berkembang dan beragam jenisnya. Salah satu bahan pangan

perikanan yang pada saat ini sedang berkembang di Indonesia adalah surimi (Santoso,

2008).

Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun

yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dengan

jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton pertahun atau sekitar 80 persen

dari potensi lestari. Di samping itu juga terdapat potensi perikanan lain yang berpeluang

untuk dikembangkan, yaitu (a) perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta ha

memiliki potensi produksi 0,9 juta ton per tahun; (b) budidaya laut yang meliputi budidaya

ikan, budidaya moluska dan budidaya rumput laut; (c) budidaya air payau dengan potensi

lahan pengembangan sekitar 913.000 ha; (d) budidaya air tawar meliputi budidaya di

perairan umum, budidaya di kolam air tawar dan budidaya mina padi di sawah; serta (e)

bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, pangan, pakan dan

produk-produk non-konsumsi (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 60

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daerah perairan yang cukup

luas, hampir 66 % wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kementerian

Kelautan dan Perikanan konsumsi ikan di Indonesia adalah 30,17 kg per kapita dalam 1

tahun.

Belut (Monopterus albus zuiew) merupakan salah satu jenis ikan tawar yang

memiliki tubuh seperti ular. Hidupnya di sungai, sawah, danau atau kolam yang dangkal

serta berlumpur.Meskipun belut mempunyai cita rasa yang khas, masih jarang orang mau

mengkonsumsi belut. Padahal kandungan nutrisi dalam belut cukup tinggi. Kandungan

nutrisi dalam belut sawah adalah 66,7 % protein, 10,74% lemak dan nilai pH sekitar 6,9.

Berdasarkan data di atas menunjukkan belut sawah merupakan salah satu hasil perairan

yang bergizi tinggi. Tingkat konsumsi belut di Indonesia masih sangat rendah

dibandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Cina, Taiwan dan Jepang. Dalam forum

international, belut merupakan sumber protein hewani yang sangat di anjurkan untuk

dikonsumsi untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan oleh tubuh (Sarwono,1983).

Ikan merupakan sumber daya laut yang ketersediaannya cukup melimpah di

Indonesia. Ragam olahan ikan seperti ikan asap, ikan asin, bakso ikan, nugget ikan, sosis

ikan dan lain-lain sudah bukan hal yang asing lagi dalam menu makan sehari-hari. Seperti

diketahui bahwa ikan mengandung gizi yang cukup tinggi terutama protein dan omega 3

yang sangat penting untuk kesehatan dan kecerdasan anak.

Untuk lebih meningkatkan ketertarikan masyarakat, terhadap konsumsi hasil olahan

ikan maka perlu terus dilakukan diversifikasi olahan ikan dengan menghadirkan produk –

produk yang lebih inovatif sehingga mampu meningkatkan selera konsumsi terhadap

produk olahan ikan. Salah satunya yakni dilakukan usaha restrukturisasi daging. Dalam

restrukturisasi daging ikan diharapkan menghasilkan produk yang mudah disayat, dapat

dipanaskan kembali, berpenampilan menarik, fleksibel dalam penggunaannya serta

berkualitas makan tinggi.

Salah satu aplikasi restrukturisasi daging ikan adalah proses pembuatan surimi. Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk

menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang

diperlukan untuk mengawetkannya. Surimi adalah protein miofibril ikan yang telah

distabilkan dan diproduksi melalui tahapan proses secara kontinyu yang meliputi

penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air,

penambahan cryoprotectant, dilanjutkan dengan atau tanpa perlakuan, sehingga

mempunyai kemampuan fungsional terutama dalam membentuk gel dan mengikat air

(Matsumoto, 1992).Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air

yang diberi bahan anti-denaturasi, lalu dibekukan. Surimi merupakan produk antara atau

bahan-bahan baku dasar dalam pembutan komaboko (produk gel ikan), sosis, fish nugget,

ikan dan lain-lain.

Komaboko dibuat dengan surimi dengan cara menambahkan pati kemudian

dimasak (dikukus) hingga terbentuk gel ikan (kue ikan). Keuntungan menggunakan surimi

bila dibandingkan dengan ikan segar dalam pembuatan komaboko adalah dapat menjaga

mutu agar seragam dan mempercepat pengolahan (Anonim, 2011).

Surimi adalah produk olahan hasil perikanan setengah jadi (Intermediate Product),

yaitu pengolahan daging ikan menjadi gel ikan yang dapat digunakan untuk menjadi

produk lain seperti empek, empek, otak-otak, bakso dan kripik ikan. Gel ini merupakan

produk pasta daging ikan giling dengan proses pencetakan dan pemanasan (Okada, 1992).

Santoso et al. (2008) mengatakan surimi merupakan salah satu jenis produk

perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia. Surimi sangat potensial untuk

dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air

tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 61

untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai

bentuk dan ukuran .Beberapa keunggulan lain yang dimiliki surimi adalah sebagai berikut:

Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang

digunakan (nonekonomis) sebagai bahan baku.

Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang

tinggi.

Variasi produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif bentuk

dan kualitas rasa, dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi

pengolahan dan bumbu (seasoning).

Secara teknis, semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Tetapi, idealnya ikan yang

akan dijadikan surimi berdaging putih, tidak berbau lumpur atau berbau amis menyengat,

dan yang terpenting mempunyai kemampuan membentuk gel sehingga tekstur surimi akan

elastis. Untuk mendapatkan surimi yang berkualitas tinggi, harus digunakan bahan mentah

ikan yang masih segar. Pembekuan ikan akan menurunkan kualitas surimi.

Surimi yang dibuat dari jenis ikan berdaging merah warnanya lebih gelap dan

kemampuannya dalam membentuk gel lebih rendah dibanding ikan berdaging putih,

seperti tenggiri atau remang. Selain itu bau dan rasanya khas, sehingga hanya dapat

digunakan untuk membuat produk yang warnanya tidak harus putih. Masalah lain yang

dihadapi dalam pembuatan surimi dari ikan berdaging merah antara lain penyiangannya

lebih sukar dan daging merah mengandung lemak lebih banyak dibanding daging putih,

surimi dan produk surimi lebih cepat tengik dan penanganan limbah lebih

sulit(Anggawati,2002).

Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat

menunjang kemampuan dalam pembentukan gel dan mencegah denaturasi protein akibat

pembekuan. Pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan protein akibat

pembekuan. Pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan sifat hidrofilik daging

ikan. Selama pencucian, daging ikan dibersihkan dari darah, pigmen, lemak, lendir, dan

protein yang larut air.

Dengan cara ini warna dan bau daging menjadi lebih baik, disamping kandungan

aktomiosinnya meningkat, sehingga secara nyata dapat memperbaiki sifat elastisitas

produk yang dihasilkan (Anonim, 2011).

Anggawati (2002) menambahkan, pada industri surimi dibutuhkan bahan baku ikan

yang melimpah dengan harga yang murah. Sebagai bahan baku dapat juga digunakan ikan

air tawar yang suplai dan kesegaran mutunya lebih terjamin. Hanya saja dalam pengolahan

surimi ikan air tawar diperlukan bahan pembantu pembentukan gel seperti pati dan protein

karena sifat fungsional protein ikan air tawar lebih rendah dibanding ikan air laut. Suatu

produk yang mendapat hak paten dan dapat digunakan untuk membantu pembentukan gel

adalah AMP 600. Bahan protein alami ini dapat ditambahkan sebanyak 0,5 - 1%.

Dikatakan bahwa protein alami ini dapat menghambat enzim protease yang dapat merusak

tekstur surimi.

Penambahan pati pada pembuatan surimi/gel ikan bertujuan untuk memperkuat ashi

( kandungan gizi) terutama pada daging ikan yang memiliki ashi lemah. Pati berperan

sebagai pengisi gel protein yang sederhana tidak berinteraksi langsung dengan matrik

protein maupun mempengaruhi formasi protein (Takinawa, 1971).

Komponen daging yang berperan dalam produk pembuatan surimi adalah protein,

khususnya protein yang besifat larut dalam garam, terutama aktin dan miosin yang

merupakan komponen utama dari protein ikan yang larut garam (protein miofibrilar) dan

berperan penting dalam membentuk karakteristik utama surimi, yaitu kemampuan untuk

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 62

membentuk gel yang kokoh tetap elastis pada suhu yang relatif rendah (sekitar

40oC).Fungsi protein adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging dan sebagai

emulsifier (Nurfianti,2007).

Kualitas surimi dapat dilihat dari kecemerlangan (mengkilap) warna, rasa,

kesegaran, bau dan elastisitas teksturnya. Umumnya surimi mengandung 16% protein,

75% air, 6, 75% karbohidrat dan 1% lemak (Anggawati, 2002).

Surimi dapat dipasarkan dalam keadaan beku. Surimi atau daging lumat merupakan

produk setengah jadi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis produk, seperti bakso, sosis,

nugget, burger, sate lilit, otak-otak, dan pempek. Di Jepang, surimi diolah

menjadikamaboko, chikuwa,hanpen,dan fishham. Selain itu surimi juga dapat digunakan

untuk produksi surimi based products seperti produk analog udang dan daging kepiting

(Irianto, 2007).

Tabel 1. Syarat Mutu Surimi Beku Berdasarkan Standar SNI 10-2694-1992

Jenis Uji Satuan Persyaratan mutu 1. Organoleptik 7

2. Cemaran mikroba

ALT,maks

Escherichia coli

Coliform

Salmonella*)

Vibrio cholerae*)

Koloni/g

AMP/g

Per 25 g

Per 25 g

5 x 105

<3

3

Negatif

Negatif

3. Cemaran Kimia

Abu total, maks

Lemak, maks

Protein

% b/b

% b/b

% b/b

1

0,5

15

4. Fisika

Suhu pusat, maks

Uji lipat,min

Elastisitas, min

0C

g/cm2

-18 0C

Grade A

300

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui komposisi optimal daging ikan belut,

pati tapioka dan gula untuk di olah menjadi surimi, Sedangkan manfaat dari penelitian ini

adalah mengolah daging belut menjadi surimi yang selama ini kurang dimaksimalkan

keberadaannya serta menjadikan diversifikasi produk olahan daging belut, sehingga bisa

menambah nilai ekonomis.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Rekayasa Pangan Universitas 17 Agustus

1945 Surabaya. Bahan utama yang digunakan adalah belut sawah yang masih segar dan

dewasa, tepung tapioka, gula, garam dan bahan tambahan bumbu-bumbu ( bawang putih,

merica dan kunyit).

Metode Penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok ( RAK) dengan kombinasi antara penambahan tepung tapioka

dan gula. Faktor 1 (T) adalah penambahan tepung tapioka T1 : 1 %; T2 : 5 %; T3: 10 %.

Faktor II adalah penambahan gula ( G), G1 : 1 %; G2 : 2,5 %; G3: 4%;G4 : 5,5%.

Sedangkan diagram alir pelaksanaan dapat di lihat pada gambar 1.

Parameter yang diuji adalah sifat kimiawi ( uji proksimat), serta uji organoleptik

Hedonic Scale Scoring ( aroma, rasa, tekstur, warna) ( Lardmon, 1978).

Proses pembuatan surimi dari ikan belut adalah sebagai berikut :

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 63

a. Ikan belut yang sudah dibersihkan di buat fillet, dipotong kecil-kecil kemudian

dicuci bersih dan dibekukan selama 12 jam. Kemudian digiling beku dan dicuci

dengan air dingin sebanyak 3 kali, kemudian dilakukan pemerasan dengan kain

saring steril.

b. Pencampuran bahan utama yaitu daging belut yang sudah disaring, tepung tapioka

dan gula sesuai dengan perlakuan serta bumbu-bumbu tambahan (garam dapur 1%

b/b, bumbu-bumbu 0,5% b/b) yang semuanya dilakukan dalam warring blender

agar diperoleh tekstur halus dan homogen.

c. Pencetakan dan pemasakan. Pencetakan dilakukan agar mendapatkan bentuk yang

seragam, kemudian dilakukan perebusan dalam air dengan suhu 900C dengan

waktu sekitar 30 menit dan ditandai dengan tekstur yang kenyal, padat dan sedikit

mengalami penyusutan. Surimi ikan belut siap dikonsumsi. Sedangkan diagram

proses pembuatannya dapat di lihat pada gambar 1.

Gambar 1. Proses Pembuatan Surimi Ikan Belut

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 64

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar protein

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan penambahan

tepung tapioka dan gula memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein,

hal ini dapat dilihat bahwa Frasio >F.01 (P< 0.01). Selanjutnya untuk mengetahui

perlakuan mana saja yang berbeda dilakukan uji BNT dengan hasil seperti terlihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Nilai BNT

Perlakuan Notasi T3G4 12.778 a

T3G3 14.308 b

T2G4 15.456 c

T3G2 15.538 c

T2G3 15.713 cd

T3G1 16.413 cde

T2G2 16.652 de

T2G1 17.063 e

T1G4 17.067 e

T1G3 20.449 f

T1G2 21.636 g

T1G1 23.042 h

*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan.

Dengan melihat hasil uji BNT di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi

perlakuan T1G1 menunjukkan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan lainnya dan

menghasilkan protein yang paling tinggi dan terendah T3G4. Menurut Winarno (1984),

tepung tapioka dan gula adalah dua senyawa karbohidrat yang bisa bereaksi dan memecah

rantai protein. Sedangkan hubungan antara protein dan konsentrasi tepung dapat di lihat

pada Gambar 2. Sedangkan hubungan antara protein dan konsentrasi gula dapat dil lihat

pada Gambar 3.

Gambar 2. Hubungan antara penambahan tepung dengan kadar protein

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 65

Dari Gambar 2 dapat di lihat bahwa perlakuan G4 menurun lebih mendatar

dibandingkan yang lainnya, sedangkan pada Gambar 3. terlihat garis T2 agak lebih

mendatar dibandingkan garis lainnya.

Gambar 3. Hubungan antara penambahan gula dan kadar protein

Kadar Lemak

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka

maupun penambahan gula memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak

surimi ikan belut, hal ini dapat dilihat Frasio > 0.01, namun tidak terdapat interaksi yang

nyata antar masing-masing faktor terhadap kadar lemak. Penelusuran lebih lanjut dapat

melalui uji BNT sebagai berikut :

Tabel 4. Nilai BNT Penambahan Tepung

Perlakuan Notasi

T1G 0,396 a

T2G 0,287 b

T3G 0,233 b

*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan.

Tabel 5. Nilai BNT Penambahan Gula

Perlakuan Notasi

G1T 0,174 a

G2T 0,229 ab

G3T 0,345 b

G4T 0,473 c

*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan.

Dari uji BNT didapatkan adanya perbedaan yang nyata antara T1dengan T2 , T3.

Dengan kata lain perlakuan T2 dan T3, menunjukkan performansi yang lebih baik di

banding T1. Sedangkan kadar lemak yang lebih rendah didapatkan pada G1, dibandingkan

G2, G3 dan G4. Rendahnya kadar lemak pada penambahan tepung 10% (T3) diduga karena

banyaknya air yang tertarik oleh fraksi tepung untuk membuat gel, dimana air yang

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 66

tersuspensi akan dilepas kembali setelah proses gelatinasi selesai, sehingga peluang

terhidrolisanya lemak lebih besar, sehingga kadar lemak cenderung menurun.

Sebaliknya semakin tinggi penambahan gula, kadar lemak semakin tinggi, hal ini

disebabkan sebagian besar air yang terlepas setelah gelatinasi akan dipakai untuk

melarutkan gula, sehingga peluang terjadinya hidrolisis lemak menjadi semakin kecil.

Untuk mengetahui hubungan antara kadar lemak dengan penambahan tepung dapat di lihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan antara kadar lemak dan tingkat penambahan tepung

Kadar Abu

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang sangat nyata

antar masing-masing faktor terhadap kadar abu. Adanya interaksi menunjukkan respon

kadar abu terhadap peningkatan taraf masing-masing faktor adalah tidak homogen. Untuk

mengetahui perlakuan mana saja yang berbeda dilakukan uji BNT, yang dapat di lihat pada

Tabel 6 .

Tabel 6. Nilai BNT

Perlakuan Notasi

T1G1 1.306 a

T2G1 1.362 ab

T1G2 1.375 abc

T3G1 1.399 abc

T1G3 1.429 bcd

T2G2 1.463 cd

T2G2 1.512 d

T2G3 1.631 e

T1G4 1.648 e

T2G4 1.696 ef

T3G2 1.717 ef

T3G4 1.766 f

*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan

Dari hasil uji BNT dapat disimpulkan bahwa perlakuan T1G1,T2G1, T1G2 dan T3G1

menghasilkan abu yang rendah dibanding perlakuan lainnya, sedangkan kadar abu yang

tinggi diperoleh dari T3G4. Hal ini disebabkan banyaknya senyawa karbon yang diubah

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 67

menjadi abu, dimana tepung tapioka dan gula merupakan senyawa yang banyak

karbonnya. Kadar abu suatu bahan berhubungan dengan mineral suatu bahan. Ada

kecenderungan semakin banyak tepung tapioka dan gula ditambahkan, semakin tinggi

kadar abunya.

Kajian Organoleptik

Rasa

Penilaian terhadap surimi ikan belut dari 15 orang panelis menunjukkan bahwa

sebagian panelis memberikan penilaian suka terhadap T3G4 sebesar 60 %. Kesukaan ini

disebabkan adanya penambahan tepung tapioka dan gula yang lebih banyak sehingga

menghasilkan surimi lebih gurih. Selain itu kategori sangat suka terlihat pada perlakuan

T3G1

yaitu sebesar 33 %. Tingkat kesukaan ini selain disebabkan adanya proporsi tepung tapioka

dan gula, juga disebabkan adanya penambahan bumbu-bumbu yang diberikan, karena

yang diujikan adalah surimi yang telah di beri bumbu, karena bumbu akan meingkatkan

cita rasa.

Gambar 5. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Rasa

Kekenyalan

Sebagian panelis menyatakan sangat suka pada perlakuan T1G1 sebanyak 53%,

disusul oleh perlakuan T3G3 dan T3G4 sebanyak 40 %. Banyaknya panelis yang

memberikan penilaian sangat suka terhadap tekstur T1G1 disebabkan karena komposisi

tepung tapioka dan gula yang diberikan ideal untuk proses gelatinasi. Penambahan tepung

dan gula dalam taraf rendah tentunya mempengaruhi kekenyalan surimi, dimana semakin

tinggi penambahan tepung maupun gula akan membuka peluang terserapnya air sehingga

proses gelatinasi tidak tercukupi (Winarno, 1984).

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 68

0

10

20

30

40

50

60

S TS TS AS S S S

t1g1

t1g2

t1g3

t1g4

t2g1

t2g2

t2g3

t2g4

t3g1

t3g2

t3g3

t3g4

Gambar 6. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Kekenyalan

Aroma

Tingkat kesukaan dari 15 panelis terhadap aroma surimi ikan belut sangat

bervariasi, sebagaimana terlihat histogram dibawah ini.Untuk kategori suka panelis

memilih T3G4 sebanyak 60%. Pemilihan ini disebabkan komposisi tepung dan gula

dengan perlakuan tertinggi, sehingga daging belutnya lebih tidak berasa menyengat, selain

itu penambahan bumbu-bumbu juga lebih meningkatkan aroma yang khas pada surimi.

0

10

20

30

40

50

60

70

S T S T S AS S S S

t1g1

t1g2

t1g3

t1g4

t2g1

t2g2

t2g3

t2g4

t3g1

t3g2

t3g3

t3g4

Gambar 7. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma

Warna

Tingkat kesukaan panelis terhadap warna dari surimi ikan belut tentunya sangat

bervariasi. Untuk kategori nilai suka diberikan pada perlakuan T1G4 yaitu sebesar 67 %.,

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 69

sedangkan yang memberikan penilaian sangat suka pada T1G1. Hal ini bisa dimakluni

sebab proporsi tepung dan gula yang sedikit sehingga reaksi pencoklatannya yang

berlebihan bisa dihindari. Gambaran yang lebih jelas tentang respon kesukaan terhadap

warna dapat dilihat pada Gambar 8.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

S TS TS AS S S S

t1g1

t1g2

t1g3

t1g4

t2g1

t2g2

t2g3

t2g4

t3g1

t3g2

t3g3

t3g4

Gambar 8. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma

KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung

tapioka dan gula dapat mempengaruhi mutu surimi ikan belut, baik kimia maupun

organoleptik.

1. Berdasarkan hasil uji kimia, kombinasi penambahan tepung tapioka dan gula

menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kadar protein , kadar lemak

dan kadar abu. Pengaruh interaksi yang sangat nyata antar taraf masing-masing

faktor terdapat pada kadar protein dan kadar lemak, sedangkan kadar lemak

interaksinya tidak nyata. Dimana semakin banyak tepung tapioka dan gula, kadar

protein semakin menurun. Kadar lemak cenderung menurun dengan semakin

banyak penambahan tepung, sebaliknya cenderung meningkat dengan

meningkatnya penambahan gula. Sedangkan untuk kadar abu menunjukkan

kecenderungan menurun secara linier dengan semakin meningkatnya penambahan

tepung tapioka dan gula.

2. Berdasarkan uji organoleptik, kombinasi perlakuan yang terbaik dari 15 orang

panelis didapat pada perlakuan T3G4, yaitu dengan tingkat kesukaan rasa 60%

(suka) kekenyalan 40%(sangat suka), aroma 60 % (suka). Sedangkan untuk warna

penilaian terbaik pada perlakuan T1G4 sebesar 67% (suka).

Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014

ISSN 2302-2612 70

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Surimi dan Kamaboko, http://www.surimi-dan-kamaboko.pdf. Diakses

pada 2 Desember 2011

Anggawati. A. M. 2002. Kumpulan Hasil-Hasil Penilitian Pasca Panen Perikanan. Pusat

Riset Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Departemen Kelautan Dan

Perikanan. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi perikanan. Departemen Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta

Irianto. H. E. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.Badan Riset

Kelautan Dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta

Lardmond, E. 1986. Metoda Pengujian Bahan Pangan Secara Sensoris. Terj. Oleh :

Susrini

Idris. PS Teknologi Hasil Ternak. Fak. Peternakan Unibraw Malang.

Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. Dalam: Lanier

TC, Lee CM (eds.). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Nurfianti D. 2007. Pembuatan Kitosan Sebagai Pembentiukan Gel Dan Pengawet Bakso

Ikan Kurisi [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor

Okada,M. 1992. History of Surimi Technology in Japan. Dalam : T.C Lanier and C.M.

Lee(ed). Surimi Tecnology. Marcel Dekker Inc. New York..

Santoso J, Pradianti OS, Poernomo D. 2008. Perubahan sifat fisiko-kimia surimi ikan

kerot-kerot Pomadasys hasta) selama penyimpanan beku. Jurnal Ilmu

dan Teknologi Pangan. 6(1): 75-92.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Surimi Beku. SNI 01-2693-1992.

Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Sudarmaji, S. Bambang, H dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian,

Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Jogyakarta.

Sarwono, B. 1983. Budidaya Belut dan Sidat. PT. Panebar Swadaya. Jakarta.

Trisnawati. R. 2007. Pemanfaatan surimi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dalam

pembuatan empek-empek [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Takinawa, E. 1971. Marine Product in Japan. Kosheisha Koseikaku C0.Ltd. Tokyo.

Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.