Upload
rahmi93
View
218
Download
4
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
belut,surimi
Citation preview
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 59
ASPEK MUTU DAN TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN
TERHADAP SURIMI IKAN BELUT Rini Rahayu Sihmawati & Mokhamad Nasir Salasa
UNTAG Surabaya
ABSTRACT
The research goal is know the quality aspect and consumer like of fish surimi
according to chemistry test and organoleptic test. This research uses experiment method
and group random design in factorial term. Factor one( I) is the adding of tapioca flour(
T) with the level of 1 %, 5%, 10%. Factor two ( II) is sugar adding ( G) with the level 1%,
2.5%,4%, 5.5% three times repetition. Chemistry parameter (proximat) with protein test.
fat and ash level. While organoleptic parameter for taste test, texture, flavor,colour.
The research result shows that each factor shows that there is significant influence
to the protein , fat , ash level. There is a significant interaction influence of protein and ash
level. While the fat has no significant influence and protein level tends to have linear
decrease with more sugar and flour adding. For fat level tends to decrease linier with
more tapioca flour but with more sugar , the fat also increases. While the ash tends ro
increase liniarly with the adding of tapioca flour and sugar.
The best composition in this research match with the chemistry test shows the
treatment of T1G1 and T3G1. While the organoleptic test which has been done to the
panelis , the best treatment is T3G4 if it is compared to the other treatments , like category
60% in taste , very like 40% in the texture, like 60% in the flavor and like 67% in colour.
Kata kunci: perikanan, surimi, ikan belut, tepung tapioka
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daerah perairan yang cukup
luas, hampir 66 % wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kementerian
Kelautan dan Perikanan konsumsi ikan di Indonesia adalah 30,17 kg per kapita dalam 1
tahun. Sektor perikanan Indonesia pada era globalisasi ini memiliki prospek
pengembangan yang sangat potensial. Hal ini dapat dilihat dari industri pangan hasil
perikanan yang semakin berkembang dan beragam jenisnya. Salah satu bahan pangan
perikanan yang pada saat ini sedang berkembang di Indonesia adalah surimi (Santoso,
2008).
Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun
yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dengan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton pertahun atau sekitar 80 persen
dari potensi lestari. Di samping itu juga terdapat potensi perikanan lain yang berpeluang
untuk dikembangkan, yaitu (a) perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta ha
memiliki potensi produksi 0,9 juta ton per tahun; (b) budidaya laut yang meliputi budidaya
ikan, budidaya moluska dan budidaya rumput laut; (c) budidaya air payau dengan potensi
lahan pengembangan sekitar 913.000 ha; (d) budidaya air tawar meliputi budidaya di
perairan umum, budidaya di kolam air tawar dan budidaya mina padi di sawah; serta (e)
bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, pangan, pakan dan
produk-produk non-konsumsi (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 60
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daerah perairan yang cukup
luas, hampir 66 % wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kementerian
Kelautan dan Perikanan konsumsi ikan di Indonesia adalah 30,17 kg per kapita dalam 1
tahun.
Belut (Monopterus albus zuiew) merupakan salah satu jenis ikan tawar yang
memiliki tubuh seperti ular. Hidupnya di sungai, sawah, danau atau kolam yang dangkal
serta berlumpur.Meskipun belut mempunyai cita rasa yang khas, masih jarang orang mau
mengkonsumsi belut. Padahal kandungan nutrisi dalam belut cukup tinggi. Kandungan
nutrisi dalam belut sawah adalah 66,7 % protein, 10,74% lemak dan nilai pH sekitar 6,9.
Berdasarkan data di atas menunjukkan belut sawah merupakan salah satu hasil perairan
yang bergizi tinggi. Tingkat konsumsi belut di Indonesia masih sangat rendah
dibandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Cina, Taiwan dan Jepang. Dalam forum
international, belut merupakan sumber protein hewani yang sangat di anjurkan untuk
dikonsumsi untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan oleh tubuh (Sarwono,1983).
Ikan merupakan sumber daya laut yang ketersediaannya cukup melimpah di
Indonesia. Ragam olahan ikan seperti ikan asap, ikan asin, bakso ikan, nugget ikan, sosis
ikan dan lain-lain sudah bukan hal yang asing lagi dalam menu makan sehari-hari. Seperti
diketahui bahwa ikan mengandung gizi yang cukup tinggi terutama protein dan omega 3
yang sangat penting untuk kesehatan dan kecerdasan anak.
Untuk lebih meningkatkan ketertarikan masyarakat, terhadap konsumsi hasil olahan
ikan maka perlu terus dilakukan diversifikasi olahan ikan dengan menghadirkan produk –
produk yang lebih inovatif sehingga mampu meningkatkan selera konsumsi terhadap
produk olahan ikan. Salah satunya yakni dilakukan usaha restrukturisasi daging. Dalam
restrukturisasi daging ikan diharapkan menghasilkan produk yang mudah disayat, dapat
dipanaskan kembali, berpenampilan menarik, fleksibel dalam penggunaannya serta
berkualitas makan tinggi.
Salah satu aplikasi restrukturisasi daging ikan adalah proses pembuatan surimi. Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk
menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang
diperlukan untuk mengawetkannya. Surimi adalah protein miofibril ikan yang telah
distabilkan dan diproduksi melalui tahapan proses secara kontinyu yang meliputi
penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air,
penambahan cryoprotectant, dilanjutkan dengan atau tanpa perlakuan, sehingga
mempunyai kemampuan fungsional terutama dalam membentuk gel dan mengikat air
(Matsumoto, 1992).Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air
yang diberi bahan anti-denaturasi, lalu dibekukan. Surimi merupakan produk antara atau
bahan-bahan baku dasar dalam pembutan komaboko (produk gel ikan), sosis, fish nugget,
ikan dan lain-lain.
Komaboko dibuat dengan surimi dengan cara menambahkan pati kemudian
dimasak (dikukus) hingga terbentuk gel ikan (kue ikan). Keuntungan menggunakan surimi
bila dibandingkan dengan ikan segar dalam pembuatan komaboko adalah dapat menjaga
mutu agar seragam dan mempercepat pengolahan (Anonim, 2011).
Surimi adalah produk olahan hasil perikanan setengah jadi (Intermediate Product),
yaitu pengolahan daging ikan menjadi gel ikan yang dapat digunakan untuk menjadi
produk lain seperti empek, empek, otak-otak, bakso dan kripik ikan. Gel ini merupakan
produk pasta daging ikan giling dengan proses pencetakan dan pemanasan (Okada, 1992).
Santoso et al. (2008) mengatakan surimi merupakan salah satu jenis produk
perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia. Surimi sangat potensial untuk
dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air
tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 61
untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai
bentuk dan ukuran .Beberapa keunggulan lain yang dimiliki surimi adalah sebagai berikut:
Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang
digunakan (nonekonomis) sebagai bahan baku.
Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang
tinggi.
Variasi produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif bentuk
dan kualitas rasa, dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi
pengolahan dan bumbu (seasoning).
Secara teknis, semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Tetapi, idealnya ikan yang
akan dijadikan surimi berdaging putih, tidak berbau lumpur atau berbau amis menyengat,
dan yang terpenting mempunyai kemampuan membentuk gel sehingga tekstur surimi akan
elastis. Untuk mendapatkan surimi yang berkualitas tinggi, harus digunakan bahan mentah
ikan yang masih segar. Pembekuan ikan akan menurunkan kualitas surimi.
Surimi yang dibuat dari jenis ikan berdaging merah warnanya lebih gelap dan
kemampuannya dalam membentuk gel lebih rendah dibanding ikan berdaging putih,
seperti tenggiri atau remang. Selain itu bau dan rasanya khas, sehingga hanya dapat
digunakan untuk membuat produk yang warnanya tidak harus putih. Masalah lain yang
dihadapi dalam pembuatan surimi dari ikan berdaging merah antara lain penyiangannya
lebih sukar dan daging merah mengandung lemak lebih banyak dibanding daging putih,
surimi dan produk surimi lebih cepat tengik dan penanganan limbah lebih
sulit(Anggawati,2002).
Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat
menunjang kemampuan dalam pembentukan gel dan mencegah denaturasi protein akibat
pembekuan. Pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan protein akibat
pembekuan. Pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan sifat hidrofilik daging
ikan. Selama pencucian, daging ikan dibersihkan dari darah, pigmen, lemak, lendir, dan
protein yang larut air.
Dengan cara ini warna dan bau daging menjadi lebih baik, disamping kandungan
aktomiosinnya meningkat, sehingga secara nyata dapat memperbaiki sifat elastisitas
produk yang dihasilkan (Anonim, 2011).
Anggawati (2002) menambahkan, pada industri surimi dibutuhkan bahan baku ikan
yang melimpah dengan harga yang murah. Sebagai bahan baku dapat juga digunakan ikan
air tawar yang suplai dan kesegaran mutunya lebih terjamin. Hanya saja dalam pengolahan
surimi ikan air tawar diperlukan bahan pembantu pembentukan gel seperti pati dan protein
karena sifat fungsional protein ikan air tawar lebih rendah dibanding ikan air laut. Suatu
produk yang mendapat hak paten dan dapat digunakan untuk membantu pembentukan gel
adalah AMP 600. Bahan protein alami ini dapat ditambahkan sebanyak 0,5 - 1%.
Dikatakan bahwa protein alami ini dapat menghambat enzim protease yang dapat merusak
tekstur surimi.
Penambahan pati pada pembuatan surimi/gel ikan bertujuan untuk memperkuat ashi
( kandungan gizi) terutama pada daging ikan yang memiliki ashi lemah. Pati berperan
sebagai pengisi gel protein yang sederhana tidak berinteraksi langsung dengan matrik
protein maupun mempengaruhi formasi protein (Takinawa, 1971).
Komponen daging yang berperan dalam produk pembuatan surimi adalah protein,
khususnya protein yang besifat larut dalam garam, terutama aktin dan miosin yang
merupakan komponen utama dari protein ikan yang larut garam (protein miofibrilar) dan
berperan penting dalam membentuk karakteristik utama surimi, yaitu kemampuan untuk
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 62
membentuk gel yang kokoh tetap elastis pada suhu yang relatif rendah (sekitar
40oC).Fungsi protein adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging dan sebagai
emulsifier (Nurfianti,2007).
Kualitas surimi dapat dilihat dari kecemerlangan (mengkilap) warna, rasa,
kesegaran, bau dan elastisitas teksturnya. Umumnya surimi mengandung 16% protein,
75% air, 6, 75% karbohidrat dan 1% lemak (Anggawati, 2002).
Surimi dapat dipasarkan dalam keadaan beku. Surimi atau daging lumat merupakan
produk setengah jadi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis produk, seperti bakso, sosis,
nugget, burger, sate lilit, otak-otak, dan pempek. Di Jepang, surimi diolah
menjadikamaboko, chikuwa,hanpen,dan fishham. Selain itu surimi juga dapat digunakan
untuk produksi surimi based products seperti produk analog udang dan daging kepiting
(Irianto, 2007).
Tabel 1. Syarat Mutu Surimi Beku Berdasarkan Standar SNI 10-2694-1992
Jenis Uji Satuan Persyaratan mutu 1. Organoleptik 7
2. Cemaran mikroba
ALT,maks
Escherichia coli
Coliform
Salmonella*)
Vibrio cholerae*)
Koloni/g
AMP/g
Per 25 g
Per 25 g
5 x 105
<3
3
Negatif
Negatif
3. Cemaran Kimia
Abu total, maks
Lemak, maks
Protein
% b/b
% b/b
% b/b
1
0,5
15
4. Fisika
Suhu pusat, maks
Uji lipat,min
Elastisitas, min
0C
g/cm2
-18 0C
Grade A
300
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui komposisi optimal daging ikan belut,
pati tapioka dan gula untuk di olah menjadi surimi, Sedangkan manfaat dari penelitian ini
adalah mengolah daging belut menjadi surimi yang selama ini kurang dimaksimalkan
keberadaannya serta menjadikan diversifikasi produk olahan daging belut, sehingga bisa
menambah nilai ekonomis.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Rekayasa Pangan Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya. Bahan utama yang digunakan adalah belut sawah yang masih segar dan
dewasa, tepung tapioka, gula, garam dan bahan tambahan bumbu-bumbu ( bawang putih,
merica dan kunyit).
Metode Penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok ( RAK) dengan kombinasi antara penambahan tepung tapioka
dan gula. Faktor 1 (T) adalah penambahan tepung tapioka T1 : 1 %; T2 : 5 %; T3: 10 %.
Faktor II adalah penambahan gula ( G), G1 : 1 %; G2 : 2,5 %; G3: 4%;G4 : 5,5%.
Sedangkan diagram alir pelaksanaan dapat di lihat pada gambar 1.
Parameter yang diuji adalah sifat kimiawi ( uji proksimat), serta uji organoleptik
Hedonic Scale Scoring ( aroma, rasa, tekstur, warna) ( Lardmon, 1978).
Proses pembuatan surimi dari ikan belut adalah sebagai berikut :
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 63
a. Ikan belut yang sudah dibersihkan di buat fillet, dipotong kecil-kecil kemudian
dicuci bersih dan dibekukan selama 12 jam. Kemudian digiling beku dan dicuci
dengan air dingin sebanyak 3 kali, kemudian dilakukan pemerasan dengan kain
saring steril.
b. Pencampuran bahan utama yaitu daging belut yang sudah disaring, tepung tapioka
dan gula sesuai dengan perlakuan serta bumbu-bumbu tambahan (garam dapur 1%
b/b, bumbu-bumbu 0,5% b/b) yang semuanya dilakukan dalam warring blender
agar diperoleh tekstur halus dan homogen.
c. Pencetakan dan pemasakan. Pencetakan dilakukan agar mendapatkan bentuk yang
seragam, kemudian dilakukan perebusan dalam air dengan suhu 900C dengan
waktu sekitar 30 menit dan ditandai dengan tekstur yang kenyal, padat dan sedikit
mengalami penyusutan. Surimi ikan belut siap dikonsumsi. Sedangkan diagram
proses pembuatannya dapat di lihat pada gambar 1.
Gambar 1. Proses Pembuatan Surimi Ikan Belut
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 64
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar protein
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan penambahan
tepung tapioka dan gula memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein,
hal ini dapat dilihat bahwa Frasio >F.01 (P< 0.01). Selanjutnya untuk mengetahui
perlakuan mana saja yang berbeda dilakukan uji BNT dengan hasil seperti terlihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Nilai BNT
Perlakuan Notasi T3G4 12.778 a
T3G3 14.308 b
T2G4 15.456 c
T3G2 15.538 c
T2G3 15.713 cd
T3G1 16.413 cde
T2G2 16.652 de
T2G1 17.063 e
T1G4 17.067 e
T1G3 20.449 f
T1G2 21.636 g
T1G1 23.042 h
*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan.
Dengan melihat hasil uji BNT di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi
perlakuan T1G1 menunjukkan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan lainnya dan
menghasilkan protein yang paling tinggi dan terendah T3G4. Menurut Winarno (1984),
tepung tapioka dan gula adalah dua senyawa karbohidrat yang bisa bereaksi dan memecah
rantai protein. Sedangkan hubungan antara protein dan konsentrasi tepung dapat di lihat
pada Gambar 2. Sedangkan hubungan antara protein dan konsentrasi gula dapat dil lihat
pada Gambar 3.
Gambar 2. Hubungan antara penambahan tepung dengan kadar protein
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 65
Dari Gambar 2 dapat di lihat bahwa perlakuan G4 menurun lebih mendatar
dibandingkan yang lainnya, sedangkan pada Gambar 3. terlihat garis T2 agak lebih
mendatar dibandingkan garis lainnya.
Gambar 3. Hubungan antara penambahan gula dan kadar protein
Kadar Lemak
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka
maupun penambahan gula memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak
surimi ikan belut, hal ini dapat dilihat Frasio > 0.01, namun tidak terdapat interaksi yang
nyata antar masing-masing faktor terhadap kadar lemak. Penelusuran lebih lanjut dapat
melalui uji BNT sebagai berikut :
Tabel 4. Nilai BNT Penambahan Tepung
Perlakuan Notasi
T1G 0,396 a
T2G 0,287 b
T3G 0,233 b
*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan.
Tabel 5. Nilai BNT Penambahan Gula
Perlakuan Notasi
G1T 0,174 a
G2T 0,229 ab
G3T 0,345 b
G4T 0,473 c
*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan.
Dari uji BNT didapatkan adanya perbedaan yang nyata antara T1dengan T2 , T3.
Dengan kata lain perlakuan T2 dan T3, menunjukkan performansi yang lebih baik di
banding T1. Sedangkan kadar lemak yang lebih rendah didapatkan pada G1, dibandingkan
G2, G3 dan G4. Rendahnya kadar lemak pada penambahan tepung 10% (T3) diduga karena
banyaknya air yang tertarik oleh fraksi tepung untuk membuat gel, dimana air yang
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 66
tersuspensi akan dilepas kembali setelah proses gelatinasi selesai, sehingga peluang
terhidrolisanya lemak lebih besar, sehingga kadar lemak cenderung menurun.
Sebaliknya semakin tinggi penambahan gula, kadar lemak semakin tinggi, hal ini
disebabkan sebagian besar air yang terlepas setelah gelatinasi akan dipakai untuk
melarutkan gula, sehingga peluang terjadinya hidrolisis lemak menjadi semakin kecil.
Untuk mengetahui hubungan antara kadar lemak dengan penambahan tepung dapat di lihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan antara kadar lemak dan tingkat penambahan tepung
Kadar Abu
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang sangat nyata
antar masing-masing faktor terhadap kadar abu. Adanya interaksi menunjukkan respon
kadar abu terhadap peningkatan taraf masing-masing faktor adalah tidak homogen. Untuk
mengetahui perlakuan mana saja yang berbeda dilakukan uji BNT, yang dapat di lihat pada
Tabel 6 .
Tabel 6. Nilai BNT
Perlakuan Notasi
T1G1 1.306 a
T2G1 1.362 ab
T1G2 1.375 abc
T3G1 1.399 abc
T1G3 1.429 bcd
T2G2 1.463 cd
T2G2 1.512 d
T2G3 1.631 e
T1G4 1.648 e
T2G4 1.696 ef
T3G2 1.717 ef
T3G4 1.766 f
*) Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan
Dari hasil uji BNT dapat disimpulkan bahwa perlakuan T1G1,T2G1, T1G2 dan T3G1
menghasilkan abu yang rendah dibanding perlakuan lainnya, sedangkan kadar abu yang
tinggi diperoleh dari T3G4. Hal ini disebabkan banyaknya senyawa karbon yang diubah
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 67
menjadi abu, dimana tepung tapioka dan gula merupakan senyawa yang banyak
karbonnya. Kadar abu suatu bahan berhubungan dengan mineral suatu bahan. Ada
kecenderungan semakin banyak tepung tapioka dan gula ditambahkan, semakin tinggi
kadar abunya.
Kajian Organoleptik
Rasa
Penilaian terhadap surimi ikan belut dari 15 orang panelis menunjukkan bahwa
sebagian panelis memberikan penilaian suka terhadap T3G4 sebesar 60 %. Kesukaan ini
disebabkan adanya penambahan tepung tapioka dan gula yang lebih banyak sehingga
menghasilkan surimi lebih gurih. Selain itu kategori sangat suka terlihat pada perlakuan
T3G1
yaitu sebesar 33 %. Tingkat kesukaan ini selain disebabkan adanya proporsi tepung tapioka
dan gula, juga disebabkan adanya penambahan bumbu-bumbu yang diberikan, karena
yang diujikan adalah surimi yang telah di beri bumbu, karena bumbu akan meingkatkan
cita rasa.
Gambar 5. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Rasa
Kekenyalan
Sebagian panelis menyatakan sangat suka pada perlakuan T1G1 sebanyak 53%,
disusul oleh perlakuan T3G3 dan T3G4 sebanyak 40 %. Banyaknya panelis yang
memberikan penilaian sangat suka terhadap tekstur T1G1 disebabkan karena komposisi
tepung tapioka dan gula yang diberikan ideal untuk proses gelatinasi. Penambahan tepung
dan gula dalam taraf rendah tentunya mempengaruhi kekenyalan surimi, dimana semakin
tinggi penambahan tepung maupun gula akan membuka peluang terserapnya air sehingga
proses gelatinasi tidak tercukupi (Winarno, 1984).
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 68
0
10
20
30
40
50
60
S TS TS AS S S S
t1g1
t1g2
t1g3
t1g4
t2g1
t2g2
t2g3
t2g4
t3g1
t3g2
t3g3
t3g4
Gambar 6. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Kekenyalan
Aroma
Tingkat kesukaan dari 15 panelis terhadap aroma surimi ikan belut sangat
bervariasi, sebagaimana terlihat histogram dibawah ini.Untuk kategori suka panelis
memilih T3G4 sebanyak 60%. Pemilihan ini disebabkan komposisi tepung dan gula
dengan perlakuan tertinggi, sehingga daging belutnya lebih tidak berasa menyengat, selain
itu penambahan bumbu-bumbu juga lebih meningkatkan aroma yang khas pada surimi.
0
10
20
30
40
50
60
70
S T S T S AS S S S
t1g1
t1g2
t1g3
t1g4
t2g1
t2g2
t2g3
t2g4
t3g1
t3g2
t3g3
t3g4
Gambar 7. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma
Warna
Tingkat kesukaan panelis terhadap warna dari surimi ikan belut tentunya sangat
bervariasi. Untuk kategori nilai suka diberikan pada perlakuan T1G4 yaitu sebesar 67 %.,
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 69
sedangkan yang memberikan penilaian sangat suka pada T1G1. Hal ini bisa dimakluni
sebab proporsi tepung dan gula yang sedikit sehingga reaksi pencoklatannya yang
berlebihan bisa dihindari. Gambaran yang lebih jelas tentang respon kesukaan terhadap
warna dapat dilihat pada Gambar 8.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
S TS TS AS S S S
t1g1
t1g2
t1g3
t1g4
t2g1
t2g2
t2g3
t2g4
t3g1
t3g2
t3g3
t3g4
Gambar 8. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung
tapioka dan gula dapat mempengaruhi mutu surimi ikan belut, baik kimia maupun
organoleptik.
1. Berdasarkan hasil uji kimia, kombinasi penambahan tepung tapioka dan gula
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kadar protein , kadar lemak
dan kadar abu. Pengaruh interaksi yang sangat nyata antar taraf masing-masing
faktor terdapat pada kadar protein dan kadar lemak, sedangkan kadar lemak
interaksinya tidak nyata. Dimana semakin banyak tepung tapioka dan gula, kadar
protein semakin menurun. Kadar lemak cenderung menurun dengan semakin
banyak penambahan tepung, sebaliknya cenderung meningkat dengan
meningkatnya penambahan gula. Sedangkan untuk kadar abu menunjukkan
kecenderungan menurun secara linier dengan semakin meningkatnya penambahan
tepung tapioka dan gula.
2. Berdasarkan uji organoleptik, kombinasi perlakuan yang terbaik dari 15 orang
panelis didapat pada perlakuan T3G4, yaitu dengan tingkat kesukaan rasa 60%
(suka) kekenyalan 40%(sangat suka), aroma 60 % (suka). Sedangkan untuk warna
penilaian terbaik pada perlakuan T1G4 sebesar 67% (suka).
Jurnal Agroknow Vol.2 No. 1 Februari 2014
ISSN 2302-2612 70
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Surimi dan Kamaboko, http://www.surimi-dan-kamaboko.pdf. Diakses
pada 2 Desember 2011
Anggawati. A. M. 2002. Kumpulan Hasil-Hasil Penilitian Pasca Panen Perikanan. Pusat
Riset Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Departemen Kelautan Dan
Perikanan. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta
Irianto. H. E. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.Badan Riset
Kelautan Dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta
Lardmond, E. 1986. Metoda Pengujian Bahan Pangan Secara Sensoris. Terj. Oleh :
Susrini
Idris. PS Teknologi Hasil Ternak. Fak. Peternakan Unibraw Malang.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. Dalam: Lanier
TC, Lee CM (eds.). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Nurfianti D. 2007. Pembuatan Kitosan Sebagai Pembentiukan Gel Dan Pengawet Bakso
Ikan Kurisi [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor
Okada,M. 1992. History of Surimi Technology in Japan. Dalam : T.C Lanier and C.M.
Lee(ed). Surimi Tecnology. Marcel Dekker Inc. New York..
Santoso J, Pradianti OS, Poernomo D. 2008. Perubahan sifat fisiko-kimia surimi ikan
kerot-kerot Pomadasys hasta) selama penyimpanan beku. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Pangan. 6(1): 75-92.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Surimi Beku. SNI 01-2693-1992.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Sudarmaji, S. Bambang, H dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian,
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Jogyakarta.
Sarwono, B. 1983. Budidaya Belut dan Sidat. PT. Panebar Swadaya. Jakarta.
Trisnawati. R. 2007. Pemanfaatan surimi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dalam
pembuatan empek-empek [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Takinawa, E. 1971. Marine Product in Japan. Kosheisha Koseikaku C0.Ltd. Tokyo.
Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.