66
1 RGPCVCNCMUCPCCP CPGUVGUK WPVWM VKPFCMCP ANTERIOR CERVICAL DISSECTION FUSSION RCFC RCUKGP FGPICP HTCMVWT MQORTGUK XGTVGDTC UGTXKMCNKU 7 ANESTHETIC MANAGEMENT FOR ANTERIOR CERVICAL DISSECTION FUSION PROCEDURE IN PATIENT WITH COMPRESSION FRACTURE OF THE 5 TH CERVICAL SPINE Ciwu Dctcvjc Uw{cuc,+. C0 Jkogpftc Ycticjcfkdtcvc,,+ * Rumah Sakit Kasih Ibu, Denpasar – Bali ** Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung Abstract Trauma is still the most cause of death in the world. In America more than 90,000 people die because of trauma, mostly traffic accident and violence. Around 20% of the victim had multiple trauma and spinal cord injury. Around 55 % patient of spine injury was located at cervical part and 5% of patient with head injury should have spine injury. A male, 21 years old, with spinal cord injury incomplete lesion Frankle C because of compression fracture of the 5 th cervical spine undergone ACDF (Anterior Cervical Dissection Fusion) procedure. Seven days before enter the hospital, the patient has fell down from the roof. He was unable to move his hands and legs. The procedure was perform in general anesthesia, using ETT No 7,5, controlled ventilation. In line position while performed laringoscopy intubations. Fentanyl 100 μg intravenous, lidocain 1,5 mg/Kg 3 minutes before intubations has used as premedications. Induction of anesthesia was performed with propofol 100mg and atracurium 0,5mg/Kg for intubations facilitation. Maintenance of anesthesia was used O 2 , N 2 O, Isoflurane and Propofol 100 mg/hour. During the operation, haemodynamic remain stable, systolic blood pressure 90 – 125 mmHg, diastolic blood pressure 42-78 mmHg, heart rate 62-82 bpm and SaO 2 99 %. The patient was extubated in the operating theatre after the end of surgery. Post operative patient was transferred to the NCCU. Anatomic structure of the cervical spine are thin, these make them vulnerable to injury. The spinal cord is vulnerable also when fracture of the spine occur. Spinal cord and the neuronal tissue may injure from stretching, compression and laceration. Physical disruption of spinal cord can cause the complete and irreversible loss of function. The main principle in manage spine fracture do not worsen the existing spinal cord injury by protecting the spinal cord mechanically and chemically. Maintain the spinal cord blood flow and prevent the edema may improve the patient outcome. Early assessment for spine fracture including airway, breathing and circulation must be done, and resuscitation performed simultaneously. Excessive extension or axial traction must be avoided. Stabilization of the spine can be done by cervical collar or manual in line position during intubations. Prevent the spinal shock complication and further spinal cord injury. Use the anesthetic agent which has the spinal cord protection effect. Key Word: Anesthesia, Cervical Spine Fracture, Spinal Cord Injury, Spinal Cord Protection JNI 2012; 1 (1):1-9 Cduvtcm Kasus trauma masih merupakan penyebab kematian terbesar di dunia. Di Amerika lebih dari 90.000 orang meninggal setiap tahunnya karena kasus trauma, yang paling sering karena kecelakaan kendaraan bermotor dan kasus kekerasan. Diperkirakan 20% dari korban tersebut mengalami trauma multipel dan juga mengalami cedera medula spinalis. Sekitar 55% cedera pada tulang belakang terjadi pada daerah servikal dan diperkirakan 5% dari penderita cedera kepala juga mengalami cedera pada tulang belakang. Seorang laki-laki 21 tahun akan dilakukan operasi Anterior Cervical Dissection Fussion (ACDF) karena mengalami cedera medula spinalis lesi inkomplit Frankle C karena fraktur kompresi vertebra servikalis 5. Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit penderita jatuh dari atap rumah. Keluhan utama

RGPCVCNCMUCPCCPCPGUVGUKWPVWMVKPFCMCPANTERIOR …inasnacc.org/images/Volume01no01Januari2012/Volume1Nomor1Januari... · Eritrosit 4 710 / mm3 PPT 13,4 Hematokrit 40 % APTT 24,3 Trombosit

Embed Size (px)

Citation preview

1

RGPCVCNCMUCPCCP"CPGUVGUK"WPVWM"VKPFCMCP"ANTERIOR CERVICAL DISSECTION FUSSION""RCFC"RCUKGP""FGPICP"HTCMVWT"MQORTGUK"XGTVGDTC"UGTXKMCNKU"7"""ANESTHETIC MANAGEMENT FOR ANTERIOR CERVICAL DISSECTION FUSION PROCEDURE IN PATIENT WITH COMPRESSION FRACTURE OF THE 5TH CERVICAL SPINE "Ciwu"Dctcvjc"Uw{cuc,+."C0"Jkogpftc"Ycticjcfkdtcvc,,+"* Rumah Sakit Kasih Ibu, Denpasar – Bali ** Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung Abstract Trauma is still the most cause of death in the world. In America more than 90,000 people die because of trauma, mostly traffic accident and violence. Around 20% of the victim had multiple trauma and spinal cord injury. Around 55 % patient of spine injury was located at cervical part and 5% of patient with head injury should have spine injury. A male, 21 years old, with spinal cord injury incomplete lesion Frankle C because of compression fracture of the 5th cervical spine undergone ACDF (Anterior Cervical Dissection Fusion) procedure. Seven days before enter the hospital, the patient has fell down from the roof. He was unable to move his hands and legs. The procedure was perform in general anesthesia, using ETT No 7,5, controlled ventilation. In line position while performed laringoscopy intubations. Fentanyl 100 µg intravenous, lidocain 1,5 mg/Kg 3 minutes before intubations has used as premedications. Induction of anesthesia was performed with propofol 100mg and atracurium 0,5mg/Kg for intubations facilitation. Maintenance of anesthesia was used O2, N2O, Isoflurane and Propofol 100 mg/hour. During the operation, haemodynamic remain stable, systolic blood pressure 90 – 125 mmHg, diastolic blood pressure 42-78 mmHg, heart rate 62-82 bpm and SaO2 99 %. The patient was extubated in the operating theatre after the end of surgery. Post operative patient was transferred to the NCCU. Anatomic structure of the cervical spine are thin, these make them vulnerable to injury. The spinal cord is vulnerable also when fracture of the spine occur. Spinal cord and the neuronal tissue may injure from stretching, compression and laceration. Physical disruption of spinal cord can cause the complete and irreversible loss of function. The main principle in manage spine fracture do not worsen the existing spinal cord injury by protecting the spinal cord mechanically and chemically. Maintain the spinal cord blood flow and prevent the edema may improve the patient outcome. Early assessment for spine fracture including airway, breathing and circulation must be done, and resuscitation performed simultaneously. Excessive extension or axial traction must be avoided. Stabilization of the spine can be done by cervical collar or manual in line position during intubations. Prevent the spinal shock complication and further spinal cord injury. Use the anesthetic agent which has the spinal cord protection effect. Key Word: Anesthesia, Cervical Spine Fracture, Spinal Cord Injury, Spinal Cord Protection

JNI 2012; 1 (1):1-9 "Cduvtcm"Kasus trauma masih merupakan penyebab kematian terbesar di dunia. Di Amerika lebih dari 90.000 orang meninggal setiap tahunnya karena kasus trauma, yang paling sering karena kecelakaan kendaraan bermotor dan kasus kekerasan. Diperkirakan 20% dari korban tersebut mengalami trauma multipel dan juga mengalami cedera medula spinalis. Sekitar 55% cedera pada tulang belakang terjadi pada daerah servikal dan diperkirakan 5% dari penderita cedera kepala juga mengalami cedera pada tulang belakang. Seorang laki-laki 21 tahun akan dilakukan operasi Anterior Cervical Dissection Fussion (ACDF) karena mengalami cedera medula spinalis lesi inkomplit Frankle C karena fraktur kompresi vertebra servikalis 5. Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit penderita jatuh dari atap rumah. Keluhan utama

2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

yang dirasakan tangan dan kaki tidak dapat digerakan. Operasi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan pipa endrotrakeal no 7,5, dengan ventilasi kendali. In line position saat melakukan laringoskopi intubasi. Premedikasi dengan fentanyl 100 �g, lidokain 1,5 mg/KgBB 3 menit sebelum intubasi, induksi dengan propofol 100 mg. Fasilitas intubasi menggunakan atrakurium 0,5 mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi dengan O2, N2O, Isofluran serta propofol kontinyu 100 mg /jam. Selama operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistolik 90-125 mmHg, tekanan darah diastolik 42-78 mmHg, laju nadi 62-82 x/mnt dan SpO2 99%. Ekstubasi dilakukan di kamar operasi segera setelah operasi selesai. Post operasi pasien dirawat di NCCU. Struktur anatomi tulang servikal yang tipis sangat memudahkan terjadinya fraktur, sehingga medula spinalis pun sangat mudah mengalami cedera. Jaringan saraf dapat mengalami cedera akibat peregangan, kompresi maupun laserasi. Disrupsi fisikal pada medula spinalis dapat menyebabkan kehilangan fungsi secara komplit dan irreversibel. Prinsip utama penatalaksanaan penderita dengan cedera medula spinalis pada fraktur tulang belakang adalah tidak memperburuk cedera medula spinalis yang sudah terjadi serta melakukan proteksi terhadap medula spinalis baik secara mekanik maupun kimiawi. Mempertahankan aliran darah medula spinalis dan mencegah edema pada medula spinalis merupakan salah satu prinsip penting dalam proteksi medula spinalis dan memperbaiki outcome pasien. Assesmen awal terhadap pasien yang mengalami fraktur tulang servikal selalu dimulai dari airway, breathing, circulation dan kemudian resusitasi dilakukan secara simultan. Ekstensi dan traksi axial yang berlebihan harus dihindari. Stabilisasi dapat dilakukan dengan pemasangan servikal collar atau manual in line pada saat laringoskopi intubasi. Perhatikan komplikasi syok spinal dan cedera medula spinalis. Pemilihan obat-obat anestesi yang memiliki efek proteksi terhadap medula spinalis. Kata Kunci : Anestesi, Cedera Medula Spinalis, Fraktur Servikal, Proteksi Medula Spinalis

LPK"4234="3"*3+<3/;" I." Pendahuluan Fraktur tulang leher hampir selalu menyertai pasien dengan kasus trauma, terlebih pada pasien dengan trauma multipel. Lebih dari 90.000 orang di Ameri-ka meninggal karena kasus trauma setiap tahunnya. Kejadian yang paling sering adalah dari kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan.1 Diperkirakan 20% dari pasien yang mengalami trauma multipel juga mengalami trauma kolumna spinalis. Tingkat keparahan trauma spinalis berva-riasi; trauma spinal merupakan komponen utama pada trauma multipel, atau jika tidak begitu parah mungkin mempunyai pengaruh besar pada pena-nganan secara keseluruhan. Sangatlah penting dalam pengelolaan pasien dengan trauma multipel adalah rehabilitasi jangka panjang. Kemungkinan terjadinya trauma tulang leher (cervical spine) harus dipertimbangkan pada seseorang yang mengalami trauma pada wajah dan kepala, khusus-nya jika terjadi penurunan kesadaran sampai tidak sadar akibat trauma. Cedera kolumna vertebralis dengan atau tanpa defisit neurologis harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita dengan cedera multipel. Setiap cedera diatas klavikula harus dicurigai adanya cedera tulang leher. Sekitar 15% penderita yang mengalami cedera seperti diatas akan mengalami cedera pada tulang leher. Sekitar 55% cedera tulang belakang terjadi pada daerah servikal, 15% pada daerah torakal, 15% pada daerah torakolumbal dan 15% pada daerah lumbosakral. Sekitar 5% dari penderita yang mengalami cedera kepala juga menderita cedera tulang belakang, dimana 25% penderita cedera

tulang belakang menderita sedikitnya cedera kepala ringan.

Namun pada pasien yang pada dasarnya memiliki abnormalitas pada tulang leher seperti spondilitis ankilosis dan anomali kongenital, mempunyai resiko trauma leher yang serius pada kejadian trauma yang berat. Pengetahuan tentang mekanisme trauma sangat membantu dalam mempertimbang-kan adanya kemungkinan trauma spinal seperti pada fraktur tulang leher, fraktur tulang leher dan lain-lain.2,3

II. Kasus

Pasien laki-laki, umur 21 tahun, dengan berat badan 52 kg, didiagnosis mendapatkan Spinal Cord Injury Incomplete Lesion Frankle C e.c Fracture compresi Vertebrae Cervical 5. Akan dilakukan ACDF (Anterior Cervical Dissection Fussion)

Tujuh hari sebelum masuk RS, pasien terjatuh dari atap rumahnya saat sedang memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Pasien merasa tidak nyaman di leher, mulai sulit menggerakan kaki dan tangan. Pasien kemudian mendatangi dukun pijat untuk dilakukan pijat, namun tidak ada perubahan kondisi. Keadaan semakin memburuk, kaki sama sekali tidak bisa digerakan dan tangan semakin hari semakin terasa berat.

Riwayat Asthma (-), Allergi (-), Hipertensi (-)

3Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sadar, tampak lemah Survei Primer

Jalan nafas Bebas, oksigenasi 3 L/mnt O2 nasal kanul

Respirasi Nafas spontan 18-20 x/mnt, gerakan dinding dada simetris (+) Pola nafas Torakoabdominal, vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

Sirkulasi Tekanan Darah 125/70 mmHg, laju nadi 90 x/mnt, regular Bising (-), sianosis (-), ekstremitas hangat Temperatur : 37o C

disabilitas Tingkat kesadaran : GCS = E4 M6 V5 = 15 Pupil isokor bulat 3 mm. Reflek cahaya +/ +. Papil edema (-) Motorik 3 / 3 / 0 / 0, Reflek Fisiologis (+) Defisit neurologis (-)

Survei Sekunder

Kepala Thyromental distance 4,5 cm. Lecet (-) Gerakan kepala 150 ke kanan, kiri, atas dan bawah

Leher Terpasang Neck Collar, JVP tidak meningkat

Thorak Bentuk dan gerakan dada simetris Jejas (-),

Abdomen Supel, Bising Usus (+), Ektremitas Deformitas (-),hangat (+), Capilary

refill <2 detik Motorik 3 / 3 0 / 0

Pemeriksaan Laboratorium (26 Feb 2011)

Haemoglobin 13,3 gr/ dL BUN 48 mg / dL Leukosit 20 000 / mm3 Creatinin 0,34 mg / dL Eritrosit 4 710 / mm3 PPT 13,4 Hematokrit 40 % APTT 24,3 Trombosit 436 000 / mm3 INR 1,13 Gula darah 118 mg / dL Natrium 134 mEq / L Kalium 3,9 mEq / L

Thorak Foto

Pare : Corakan bronkhovaskular normal, kedua sudut costofrenicus tajam

Jantung : Kardiomegali, CTR > 0,56 Kesan : Kardiomegali tanpa bendungan paru Tak tampak Tb primer aktif Tak tampak fraktur costa, scapula dan

klavikula

CT- Scan Kepala

Fraktur kominutif vertebra servikalis 5 dan lamina kanan yang mengalami pergeseran dan menye-babkan penyempitan kanalis spinalis dan listesis ke posterior vertebra servikalis 5-6.

Penilaian Spinal Cord Injury Incomplete Lesion Frankle C e.c Fraktur Kompresi Vertebra Servikal 5

Pengelolaan Anestesi

Teknik pengelolaan anestesi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan pipa endotrakheal No 7,5, ventilasi kendali. In line position pada saat melakukan intubasi. Premedikasi menggunakan fentanyl 100 µg, induksi dengan propofol 100 mg. Lidokain 1,5 mg /KgBB diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas intubasi dengan atrakurium 0,5 mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi dengan O2 + N2O + Isofluran. Propofol diberikan kontinyu 100 mg perjam.

Prosedur Operasi

Operasi dilakukan dengan teknik Anterior Cervical Disection Fussion (ACDF). Pada saat oprasi ditemukan fraktur vertebral body vertebra servi-kalis 5 dengan listesis ke posterior vertebra C 5-6. Kemudian dilakukan disektomi vertebra C 4-5 dan vertebra C 5-6 dan korpektomi dan bone graft pada vertebra C 5.

Selama operasi hemodinamik relatif stabil. Tekanan darah sistolik berkisar antara 90-125 mmHg, Tekanan darah diastolik berkisar antara 42-78 mmHg, Laju nadi 62-82 x/menit, dan saturasi oksigen (SpO2) 99%. Ekstubasi dilakukan di kamar operasi.

Pascabedah Pasacabedah pasien di rawat di Neuro Critical Care Unit (NCCU).

Penatalaksanaan Anestesi untuk Tindakan Anterior Cervical Dissection Fussion pada Pasien dengan Fraktur Kompresi Vertebra Servikalis 5

4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

CATATAN HARIAN PASIEN DI NEURO CRITICAL CARE UNIT

Tgl /jam Klinis Intake Lab/ Penunjang Terapi Masalah Ket

25/03/2011 Hari 0

KU : Tersedasi, post intubasi A : Clear, terpasang nasal kanul O2 3 L/mnt B : Spontan, laju nafas 20 x/mnt C : TD 140 / 96 , N 54 x/mnt, SaO2 99% D : GCS tdk dpt dinilai Pupil isokor 3 mm, RC +/+ E : Belum dapat dinilai Kepala : Terpasang Collar neck Thx : Vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/- S 1-2 murni, bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), edema (-)

Ass : Post Op ACDF, e.c Spinal Cord Injury Incomplete Lesion Frankle C e.c Fracture Compresi Vertebrae Cervical 5

NaCl 0,9% 1000mL RL 500mL Sadar penuh

Hb : 13,2 L : 19 HT : 41 RBC : 4,69 Trombosit: 266

Head up 30 0 O2 3 L / mnt nasal Ceftriaxon 2x1 gr Ranitidin 2x 1 amp Tramadol 2 x 100 mg Dexamethason 4 x 10 mg Parasetamol 500 mg k/p

Kekuatan extremitas masih belum dapat pulih

Tidak lagi di pasang traksi. Rawat NCCU, tanpa suport ventilasi mekanik

26/03/2011 Hari 1

KU : Sadar, sesak nafas (-), panas (-) A : Clear, terpasang nasal kanul O2 3 L/mnt B : Spontan, RR 16 x/mnt C : TD 132 / 96 , N 50-70 1/mnt, SaO2 99% D: GCS = E4M6V5 = 15 Pupil isokor 3mm, reflek cahaya +/+ Kepala : Terpasang Collar neck Thx : Vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/- S 1-2 murni, bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), oedem (-) Motorik 444 / 444 333 / 333 Ass : Post Op ACDF, e.c Spinal Cord Injury Incomplete Lesion Frankle C e.c Fracture Compresi Vertebrae Cervical 5

NaCl 0,9% 1000mL RL 500mL Aminovel 600 500 mL

Head up 30 0 O2 3 L / mnt nasal Ceftriaxon 2x1 gr Ranitidin 2x 1 amp Tramadol 2 x 100 mg Dexamethason 4 x 10 mg Parasetamol 500 mg k/p Rencana pindah ke ruangan

Kekuatan motorik ada perbaikan

A = Airway B = Breathing C = Circulation D = Disability E = Environment III. Pembahasan

Untuk beberapa alasan, vertebra servikalis mudah terkena cedera. Kanalis servikalis lebar pada daerah servikal atas, dari foramen magnum sampai bagian bawah vertebra servikalis ke-2 (C2). Meskipun demikian kurang lebih 1/3 kasus dengan cedera vertebra servikalis bagian atas meninggal ditempat kejadian karena kuadriplegia tinggi. Kebanyakan penderita yang selamat dengan cedera pada tingkat ini adalah yang dalam keadaan neurologis yang

masih baik pada saat tiba di rumah sakit. Trauma pada vertebra servikalis ke-3 (C3) atau tingkat dibawahnya, mempunyai insidens lebih tinggi untuk mengalami defisit neurologis.2,3

Terdapat banyak perubahan anatomik, kimia dan vascular yang terjadi sebagai respon terhadap trauma tumpul pada medulla spinalis. Dalam waktu 3-5 jam setelah trauma, terjadi pembengkakan lokal pada medulla spinalis sehubungan dengan disrupsi pembuluh darah dan endothelial tight junction. Hal

5Jurnal Neuroanestesia Indonesia

ini menimbulkan perdarahan lokal dan kebocoran albumin, neurotransmitter, kalsium ekstraseluler, laktat dan prostaglandin. Terjadi penurunan aliran darah lokal yang dimulai dari regio sentral medulla spinalis dan menyebar ke daerah di sekitar sub-stansia alba (centripetal decrease in blood flow). Kemudian menyebabkan perburukan edema setelah 2-3 hari pertama dan terjadi nekrosis sentral kavitari setelah 1 minggu. Level trauma dapat meningkat sampai dua level vertebra sebagai respon dari kejadian sekunder ini. Penyembuhan edema yang diikuti oleh atropi medulla spinalis terjadi dalam minggu pertama setelah trauma. Pengobatan klinis dan eksperimental ditujukan un-tuk menghambat kaskade dari kejadian sekunder ini. Obat penghambat kanal kalsium, diuretik, korti-kosteroid, dan obat untuk radikal bebas mungkin membantu, namun masih dalam perdebatan.4

Trauma pada Tulang Leher

Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari mekanisme cedera sebagai berikut : (1) pembebanan aksial (axial loading), (2) fleksi, (3) ekstensi, (4) rotasi, (5) lateral bending dan (6) distraksi.2,3,4

Trauma Saraf Jaringan saraf dapat mengalami trauma oleh karena peregangan, kompresi atau laserasi. Disrupsi fisikal dari medulla spinalis menyebabkan kehilangan fungsi secara komplit dan ireversibel. Namun pemeriksaan autopsi dari medulla spinalis pasien sering intak secara struktural namun untuk menunjukkan degenerasi fibrous dan kistik sebagai stadium akhir dari perubahan iskemia pada perco-baan test drop-weight. Hal pertama yang ditemu-kan adalah perdarahan pada substansia grisea pada sentral medulla spinalis yang mana dapat berga-bung dan membentuk hematomielia sentral dike-lilingi oleh oedema dan meningkatkan tekanan in-terstisial dan iskemia lokal sebagai bukti adanya penurunan tekanan oksigen yang berat dan pening-katan konsentrasi laktat.2

Fase iskemia kedua dapat segera terjadi dan dapat muncul lebih dari 24 jam, meliputi substansia grisea dan substansia alba dan menyebar ke proksimal maupun distal dari tempat trauma. Mekanisme dari trauma vaskuler sekunder ini dapat disebabkan oleh konsentrasi tinggi dari epinefrin dan amin vasoaktif lokal. Dalam hal trauma vaskuler Diffus Axonal Injury (DAI) akan terjadi pada kehilangan fungsi secara permanen sehubung-an dengan keterbatasan kemampuan dari pemulihan axon sentral.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa efek dari trau-ma berhubungan secara langsung dengan besarnya

tekanan dan lamanya paparan. Karena tekanan langsung tidak dapat diubah, kita hanya dapat mencegah tekanan selanjutnya, pertama dengan im-mobilisasi area yang tidak stabil dan dengan meng-hilangkan kompresi yang berkelanjutan dengan re-duksi awal dan displacement fraksi tulang dan diskus.2

Assesmen Klinis Assesmen pasien, khususnya dengan kemungkinan trauma spinal dimulai setelah assesmen secara umum dan tindakan resusitasi telah dilakukan. Pasien harus memiliki airway yang intak, venti-lasi dan sirkulasi yang adekuat dan kontrol terhadap perdarahan. Latar belakang tentang mekanisme trauma sangat membantu dalam antisipasi tipe trau-ma. Informasi penting lainnya mengenai riwayat adanya abnormalitas neurologik. Keterangan dari penderita sendiri, saksi-saksi dan primary care tentang adanya kelemahan selintas atau persisten atau adanya perubahan sensorik atau hilangnya fungsi vesika urinaria akibat trauma, juga sangat membantu.2

Pada pemeriksaan, setiap adanya tanda yang menunjukkan trauma kepala atau trauma wajah seperti luka memar, laserasi atau abrasi menunjuk-kan adanya trauma langsung. Yang penting khusus-nya adanya asimetri posisi kepala dan nyeri tekan sepanjang muskulus sternokleidomastoideus. Pada pasien dengan trauma pada medulla spinalis cervi-calis, tangan mungkin menunjukkan posisi tertentu (tipikal) dari abduksi bahu dan fleksi siku pada quadriplegic C5. Tanda lain yang jelas dari hilang-nya fungsi neurologik adalah adanya bentuk paradoksikal dari pernafasan. Priapismus pada pasien laki-laki dengan trauma medulla cervikalis mengindikasikan hilangnya simpatetik outflow pada torakolumbal. Eksaminasi dari tubuh dapat menunjukkan luka memar atau abrasi dari dari bahu, area periskapular atau pantat yang mengindikasikan rotatori atau tekanan fleksi pada vertebra.2

Pemeriksaan neurologik yang detail selanjutnya harus dilakukan dicatat dan kemudian dilakukan pemeriksaan serial. Pasien yang memakai cervical collar dan manual traksi, harus dilakukan log rolled secara hati-hati untuk pemeriksaan pada nyeri punggung, malalignment dari procesus spinosus atau boggy gap pada ligament supraspinosus, yang menunjukkan adanya disrupsi kolumna posterior.2

Penanganan segera pasien dengan cedera medula spinalis adalah preservasi fungsi medula spinalis termasuk memelihara deliveri oksigen, stabilisasi tulang belakang dan menurunkan edema pada medula spinalis serta mencegah proses biokimia sekunder yang memperberat cedera yang telah terjadi.2

Penatalaksanaan Anestesi untuk Tindakan Anterior Cervical DissectionFussion pada Pasien Dengan Fraktur Kompresi Vertebra Servikalis 5

6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Pemeriksaan Radiologik 1. Rontgen

Pada pasien dengan multiple trauma, pemeriksaan yang diperlukan adalah foto vertebra cervical lateral dan foto anteroposterior dari dada dan pelvis. Sebagai tambahan pada konfigurasi dan alignment dari korpus vertebra, alignment umum dari facet, korpus vertebra posterior dan jarak interspinosus, adalah hal spesifik yang diamati pada foto.2

1.1. Vertebra Servikalis Harus dilakukan pemeriksaan foto lateral vertebra servikal pada seluruh kasus yang dicurigai mengalami cedera servikal, setelah identifikasi dan kontrol gangguan yang mengancam jiwa. Bila ketujuh vertebra servikal tidak tampak dengan pemeriksaan foto lateral maka perlu dilakukan swimmers view untuk melihat vertebra servikal bawah dan torakal atas. Untuk menilai vertebra servikal secara adekuat terutama pada penderita dengan keluhan nyeri di servikal atas, atau pada pasien yang dicurigai adanya cedera pada C1 dan C2, pemeriksaan foto rontgen buka mulut (open mouth odontoid view) untuk processus odontoid dan artikulasi antara C1 dan C2 harus dilakukan. Foto servikal AP membantu mengidentifikasi adanya dislokasi facet unilateral dimana tidak tampak pada foto lateral. Kombinasi anatara foto lateral dan foto AP dan buka mulut dapat meningkatkan sensitivitas untuk identifikasi fraktur sebesar 92 %.2,3

1.2. Swimmers View

Foto ini membantu untuk visualisasi cervicothoraxic junction tetapi sulit untuk interpretasi dan dapat memperlihatkan hanya gross malalignment.

1.3. Oblique dan Pillar View’s Foto ini digunakan untuk melihat facet dan massa lateral, dan dapat dilakukan dengan pergerakan yang sangat minimal dari pasien. Namun kadang-kadang jika foto rutin negatif dan dicurigai ada trauma ligamen pada vertebra servikal, foto fleksi dan ekstensi diindikasikan. Prosedur ini harus dilakukan secara aktif pada pasien yang sadar dan dengan supervisi medis.

2. Tomografi

Prosedur ini membantu menunjukkan secara detail dan menbantu untuk menunjukkan area yang sulit (contoh cervicothoraxic junction). Prosedur ini harus selalu dikerjakan dalam dua plana (AP dan lateral) dan dibutuhkan untuk memiringkan pasien.2,3

3. CT (Computed Tomografi)

CT adalah suatu prosedur yang dangat berguna, membutuhkan sedikit manipulasi pada transfer

pasien, yang dapat dikerjakan pada papan spine spine board atau pemindah pasien patient mobilizer. Secara rutin rekonstruksi koronal dan sagital dikerjakan.2,3 4. Mielografi Mielografi diindikasikan hanya pada keadaan berikut : 1. Adanya trauma saraf yang tidak dapat

dijelaskan berdasarkan foto rontgen maupun CT

2. Kehilangan fungsi neurologik secara progresif dimana tidak ada pendesakan pada kanal saraf, menunjukkan adanya iskhemia.

3. Adanya kebutuhan untuk mengetahui apakah ada kemungkinan defek dorsal atau avulsi akar saraf.

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Prosedur ini memberikan pencitraan yang lebih jelas pada trauma akut medulla spinalis dan juga pada perubahan lanjut, seperti timbulnya traumatic syringomyelia. Rizzollo dkk belakangan ini menekankan kegunaan prosedur ini pada pasien yang tidak sadar dan tidak kooperatif. 2,3

Klasifikasi Tingkat Keparahan Cedera Medula Spinalis Beberapa klnisi telah sejak lama berusaha mencoba mengklasifikasikan tingkat keparahan cedera me-dulla spinalis, salah satunya oleh Stokes Manville sebelum perang dunia ke-2, yang kemudian dipopulerkan oleh Frankle pada tahun 1970 an, yang mengklasifikasikan pasien menjadi 5 kategori: A (no function) ; B (Sensory only) ; C (Some sensory and motor preservation) ; D (Usefull motor function) ; E (Normal). 7

ASIA (American Spinal Injury Association) kemu-dian membuat klasifikasi yang mirip dengan klasi-fikasi Frankle, namun dengan beberapa modifikasi.7

Asia Impairment Scale A Complete : no motor or sensory function

preserved in the sacral segments S4-S5 B Incomplete : Sensory but not motor function is

preserved below the neurological level and includes the sacral segments S4-S5

C Incomplete : Motor function is preserved below the neurological level, and more than half of the key muscles below the neurological level have a grade less than 3

D Incomplete : Motor function is preserved below the neurological level, and at least half of the key muscles below the neurological level have a grade of 3 or more

E Normal : Motor and sensory function are normal

Clinical Syndrome Central CordBrown - SequardAnterior CordConus MedullarisCauda Equina

7Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Pengelolaan

1. Prahospital

Pasien dengan trauma multiple dan pasien dengan trauma medulla spinalis. Khususnya trauma medulla spinalis yang diikuti dengan kehilangan fungsi neurologik, harus ditangani pusat kesehatan tersier level 1. Jika pasien secara fisiologis stabil dan pasien dapat ditransport.2,3,5

2. Prioritas

Adanya trauma medulla spinalis, walaupun serius dan beresiko untuk timbulnya disabilitas dikemu-dian hari, tidak merubah prioritas yaitu memastikan jalan nafas terjaga clear, ventilasi yang adekuat dan sirkulasi yang adekuat. 2,3,5,6

3. Strategi Neuroprotektif

3.1. Spinal Alignment

Penelitian menunjukkan bahwa pergeseran segment tulang yang cedera memperburuk trauma pada medula spinalis. Jadi strategi neuroprotektif yang penting adalah mengilangkan kompresi pada medula spinalis, mencegah iskemia dan mencegah perburukan lebih lanjut dengan melakukan imobili-sasi tulang belakang yang efektif. Kegagalan mela-kukan imobilisasi dapat mengakibatkan kehilangan fungsi neurologik bahkan peningkatan level cedera neurologis.2,3,9

3.2. Surgical reduction

Untuk trauma/dislokasi yang tidak dapat lakukan reduksi dengan traksi. Decompresi bedah sebelum 2 jam pasca cedera dapat meningkatkan kemungkinan penyembuhan.2,3,9

3.3. Terapi Fisiologis

Pendinginan tampaknya efektif dalam penanganan cedera medula spinalis terutama untuk mencegah secondary spinal cord injury akibat hipertermia. Beberapa menganjurkan hipertensi sebagai terapi untuk meningkatkan perfusi setelah trauma. Larutan yang mengandung glukosa harus dihin-darkan karena dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan memperburuk luaran neurologik.2,3,9

3.4. Terapi Farmakologik

Pemberian kortikosteroid segera setelah trauma tampaknya menjadi standar penanganan. Penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat menstabilisasi struktur membran dan menjaga blood-spinal cord barrier, meningkatkan spinal cord blood flow, mencegah konsentrasi elektrolit pada tempat

trauma, menghambat pelepasan endorphin, membu-ang radikal bebas serta membatasi respon inflamasi.2,3,9

Manitol 0,25-1g/Kg dapat digunakan untuk menga-tasi edema pada medula spinalis. Hipertonik saline dapat meningkatkan deliveri metil-prednisolon dan mencegah imunosupresi.

4. Imobilisasi

Perlu perhatian khusus dalam melakukan imobi-lisasi bagi penderita yang gelisah dan agitasi. Kea-daan ini disebabkan karena nyeri, bingung yang berhubungan dengan hipoksia atau hipotensi, alkohol atau obat-obatan atau kelainan kepribadian. Dapat diberikan sedatif jika diperlukan, bahkan obat pelumpuh otot, dengan catatan perlu proteksi dan kontrol airway serta ventilasi. Pengunaan sedatif atau pelumpuh otot memerlukan pertim-bangan klinis yang tepat, dianjurkan untuk menggunakan obat dengan masa kerja pendek, serta reversibel.

Perfusi yang adekuat dengan oksigenasi darah yang baik, dapat mengurangi trauma medulla spinalis dan karenanya suplementasi oksigen pada trauma medulla spinalis diberikan dengan sungkup muka untuk menjaga PO2 arterial paling tidak 100 mmHg. Pengukuran yang lain yang perlu diperhati-kan adalah menjaga tekanan darah sistolik paling tidak 100 mmHg. Hal lain yang harus diperhatikan pada unit gawat darurat adalah pemasangan kateter intravena, nasogastrik tube dan folley kateter. 2,3,5,6,9

5. Cairan Intravena

Cairan intravena dibatasi penggunaannya hanya untuk pemeliharaan cairan saja, kecuali bila ada syok. Sebagai akibat hilangnya tonus simpatis jantung, penderita yang mengalami kuadriplegi tidak akan mengalami takikardi bahkan menjadi bradikardi. Penderita yang mengalami syok hipovolemik biasanya takikardi, sedangkan yang mengalami syok neurogenik akan mengalami bradikardi. Bila tekanan darah tidak membaik setelah pemberian cairan, indikasi penggunaan vasopressor dapat dipertimbangkan. Penggunaan kateter Schwann Ganz akan membantu penderita cedera medulla spinalis yang keadaan volume cairannya tidak jelas. Kateter urine dipasang untuk monitor hasil urine dan mencegah terjadinya distensi kandung kencing. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan isi lambung serta menurunkan resiko terjadinya aspirasi.6,9

6. Transfer

Penderita fraktur yang tidak stabil atau tercatat mengalami defisit neurologis harus ditransfer ke perawatan definitif. Harus dilakukan stabilisasi

Penatalaksanaan Anestesi untuk Tindakan Anterior Cervical DissectionFussion pada Pasien dengan Fraktur Kompresi Vertebra Servikalis 5

8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

keadaan penderita dan dilakukan fiksasi dengan menggunakan bidai, backboard atau kolar servikal semirigid. Perlu diingat trauma servikal letak tinggi akan menyebabkan gangguan fungsi respirasi secara total atau parsial. Bila pernafasan tidak adekuat, maka perlu dilakukan intubasi sebelum transfer penderita.3,5,9

Pengelolaan Komplikasi Trauma Medula Spinalis

1. Syok Neurogenik

Pasien dengan syok neurogenik, khususnya pasien dengan trauma diatas level T6, akan mengalami hipotensi dan bradikardi atau kombinasi keduanya dari (1) hilangnya thoracic sympathetic outflow, vasodilatasi dan pengumpulan darah dan (2) relatif predominan dari stimulasi vagal pada jantung. Jika tidak ada hipovolemia yang menyertai, pasien diberikan infus kristaloid pemeliharaan. Jika perfusi jaringan tidak adekuat dan atau respon terhhadap infus tidak memuaskan, pasien harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya perdarahan, yang tersembunyi. Kateter sentral diindikasikan dan monitoring MAP digunakan untuk menilai resusitasi cairan. Pemberian kristaloid secara ekstrim untuk memelihara tekanan darah harus dihindarkan dan koloid diberikan untuk ekspansi volume dan dapat diulang. Dalam keadaan tekanan perfusi yang tetap rendah, namun resusitasi cairan yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian vasopressor dosis rendah.2,5,6,9

2. Respiratorik

Komplikasi respiratori setelah trauma pada vertebra servikalis terjadi pada 60 % pasien. Salah satu penyebab utamanya adalah trauma medulla spinalis yang parah. Komplikasi respiratorik sangat mungkin terjadi pada trauma medulla spinalis servikalis dimana pasien kehilangan fungsi interkostal dan fungsi muskulus abdominal yang diperlukan untuk menimbulkan reflek batuk yang kuat. Nervus phrenikus terpengauh pada lesi diatas C5. Pada lesi dibawah C5 dengan fungsi diafragma dan muskulus assesorius dan pada keadaan dimana tidak terdapat trauma paru-paru atau penyakit yang mendasari, sebagian besar pasien dapat melakukan ventilasi dengan baik. Terdapat suatu tendensi, walaupun dengan penanganan yang baik, terjadi perburukan fungsi ventilasi pada hari ketiga atau keempat karena kelelahan dan retensi secret, intubasi dan ventilasi segera dibutuhkan. Selama pasien diventilasi, posisi vertebra servikal dapat dipertahankan dengan traksi, memberikan kesempatan terapi pada thorak. Jika respirasi telah distabilisasi dan dapat dilakukan weaning, tidak

menguntungkan jika melakukan immobilisasi vertebra servikal dengan halo vest. Halo vest membatasi akses pada dada dan meningkatkan kekakuan dinding dada. Namun posisi tegak dan semitegak membantu ekskursi diafragma dan meningkatkan FRC.2,5,6,9

3. Kardiak

Trauma medulla spinalis akut biasanya ber-hubungan dengan oedem pulmonum. Biasanya segera muncul, mungkin terjadi karena simpatetik outflow yang massif, meningkatkan afterload dan merupakan predisposisi terhadap disritmia. Tanda yang menetap pada trauma medulla spinalis akut diatas level T6 adalah hipotensi dan bradikardi, walaupun setelah pemberian cairan yang cukup dan koloid untuk mengisi kapasitansi vena. Masalah ini dapat respon dengan pemberian atropin (0,2-0,4 mg); jika hipotensi hipotensi masih timbul, vasopresor mungkin diperlukan.2,5,6,9

Pengelolaan Anestesi Intraoperatif

Anestesi umum adalah teknik pilihan untuk pasien dengan trauma multipel. Anestesi regional mungkin dapat digunakan karena minimal manipulasi pada fungsi kardiopulmonal pasien dan tidak ada manipulasi pada jalan nafas. Namun pada pasien dengan trauma serius terdapat keuntungan pada penggunaan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dan juga karena kurangnya kooperasi pasien saat terlentang di meja operasi pada operasi yang lama. Blokade simpatis pada spinal dan epidural anestesia mengganggu kompensasi homeostatik pada perdarahan. Karenanya, anestesi regional berguna pada trauma ekstremitas yang terisolasi, sebagai contoh blok pleksus brakhialis untuk fraktur ekstremitas atas.1,2,8,9

Anestesi umum dapat dilaksanakan secara aman pada pasien dengan trauma multipel dengan memilih obat yang mendepresi kardiovaskuler secara minimal dan hipertensi intrakranial yang minimal. Dosis kecil obat dan obat yang bersifat lipofilik yang besar seperti thiopental, etomidate dan sufentanil dapat dititrasi untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan tanpa menimbulkan hipotensi yang hebat. Walaupun data farmakokinetik selama syok hemoragik sangat terbatas, secara klinis pasien tampaknya dapat mencapai efek obat yang diinginkan dari dosis kecil obat yang disuntikkan. Reduksi volume darah mungkin menyebabkan peningkatan konsentrasi obat pada tempat kerjanya di otak, dan reduksi aliran darah hepar dapat memperpanjang klirens obat. Namun dosis normal pelumpuh otot,

9Jurnal Neuroanestesia Indonesia

dibutuhkan untuk mencapai paralisis cepat, kondisi yang diperlukan untuk intubasi endotrakheal.1,8,9

Cedera otak sering menyertai, dengan peningkatan tekanan intrakranial jika terdapat perdarahan intrakranial atau edema. Tekanan intrakranial di-kontrol dengan kombinasi restriksi cairan (kecuali bila ada syok hipovolemik), diuretik (manitol 0,5 gr /KgBB), barbiturat dan deliberate hypocapnea (PaCO2 26-30 mmHg). Selanjutnya intubasi endo-trakeal dibutuhkan untuk mencegah aspirasi. Hiper-tensi dan takikardi selama intubasi dapat dikurangi dengan lidokain atau fentanil intravena. Intubasi sadar awake intubation dapat mencetuskan peningkatan tekanan intrakranial.1,8,9

Obat Anestesi yang Direkomendasikan

1. Obat Pelumpuh Otot

Suxamethonium dapat dipilih karena onset yang cepat dan eleminasi yang cepat pula. Efek terhadap tekanan intravaskuler dan intrakranial tidak signi-fikan. Harus dihindarkan jika ada denervasi otot yang signifikan untuk lebih dari 2 hari dan jika ada luka bakar. Vekuronium berguna karena memiliki efek samping yang lebih kecil. Vekuronium memi-liki onset yang cepat jika digunakan pada dosis lebih dari 0,25 mg / KgBB.1,8,9

2. Anestetik dan Amnesik

Midazolam dapat menyebabkan amnesia yang baik. Tiopenton dapat bekerja dengan baik namun harus diberikan dalam dosis kecil karena efek vasodilatasi perifer dan depresi miokardium. Ketamin menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, karenanya dikontraindikasikan. N2O mendepresi miokardium dan mengurangi ketersediaan pasokan oksigen. Jangan digunakan jika terdapat pneumotorak, pneumocepalus atau kontusio paru. Propofol tidak memiliki keuntungan yang signifikan dibandingkan tiopenton. Halotan dan isofluran merupakan agen yang baik, namun tidak dapat diberikan sampai volume darah cukup. Sevofluran dapat menjadi pilihan.1,8,9

3. Narkotik

Fentanil ditoleransi dengan baik walaupun dapat menyebabkan vasodilatasi. Sufentanil dan alfentanil tidak memiliki keuntungan khusus. Morphin dapat menyebabkan hipotensi.1,8,9

IV." Simpulan Asessmen awal terhadap pasien dengan trauma multiple khususnya dengan trauma tulang leher adalah tetap penanganan airway, breathing, dan circulation. Resusitasi kemudian dilakukan secara simultan. Fraktur tulang leher harus selalu dianggap

ada pada trauma, sampai dibuktikan tidak ada dengan pemeriksaan radiologi. Ekstensi kepala dan traksi aksial yang berlebihan harus dihindarkan, dan imobilisasi manual dari leher dan kepala oleh asis-ten harus dilakukan untuk stabilisasi tulang leher selama dilakukan intubasi endotrakheal. Cedera kepala biasanya selalu menyertai pada trauma yang menyebabkan fraktur tulang leher. Harus diper-hatikan komplikasi yang biasanya menyertai pada fraktur tulang leher, seperti syok neurogenik, trauma medulla spinalis dan komplikasi kardiak. Prinsip penanganan anestesi dimulai dari preo-peratif, durante dan post operatif. Penanganan bantuan hidup dasar, pemilihan agen anestesi untuk operatif dan stabilisasi post operatif.

Daftar Pustaka 1. John K, Christopher MG. Anesthesia for

Trauma. Dalam: Miller RD, eds. Anesthesia. 5th ed. USA: Churchil Livingstone; 2000, 2157 - 72.

2. Johnson GE. Spine Injury. Dalam: Hall JB, Schimdt GA, Wood LH. eds. Principles of Critical Care. 2nd ed. USA: McGraw-Hill; 1998, 1375 – 85.

3. Komisi Trauma IKABI. Cedera Tulang Belakang dan Medula Spinalis. Dalam: Advance Trauma Life Support Program Untuk Dokter (terjemahan). Edisi ke-6. American College of Surgeons; 1997, 237-66.

4. Chris AL Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE Jr, Mc Bride DQ et all. Cervical Spinal Cord Injury. Dalam: Frederick SB, Sue DY. eds. Current Critical Care Diagnosis and Treatment. 2nd ed. USA: McGraw-Hill; 2002 , 741-47.

5. Riwanto, Soenarjo. Penanganan Penderita Gawat Darurat. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000 , 10-46.

6. Warren RL. Special Considerations in Trauma Patients. Dalam: Hurford WE, Bigatelo LM, Haspel KL, Hess DR, Warren RL et al, eds. Critical Care Handbook of the Massachusets General Hospital. 3rd ed. USA : Lipincott Williams & Wilkins; 2000, 569-80.

7. Bainton C. Anesthesia for Trauma and Emergencies. Dalam: Healy TE, Cohen PJ. eds. A Practice of Anesthesia. 6th ed. London : Little Brown and C;, 1995, 1005-20.

8. Young W. Spinal Cord Injury Levels & Classification. Rutgers University, Piscataway; 2002.

9. Stier GR, Giffin JP, Cole DJ, Onestis, Fried E.et al. Spinal Cord: Injury and Procedures. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 216-55

Penatalaksanaan Anestesi untuk Tindakan Anterior Cervical DissectionFussion pada Pasien dengan Fraktur Kompresi Vertebra Servikalis 5

10

OCPCLGOGP"RGTKQRGTCVKH"EPIDURAL"HEMORRHAGE"CMKDCV"EGFGTC"QVCM"VTCWOCVKM"" PERIOPERATIVE MANAGEMENT OF EPIDURAL HEMORRHAGE DUE TO TRAUMATIC BRAIN INJURY K"Rwvw"Rtcocpc"Uwctlc{c,+.""C0"Jkogpftc"Ycticjcfkdtcvc,,+"

*) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah / Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar **) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Hasan Sadikin / Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung Abstract""Epidural hemorrhages (EDH) are bleeding in epidural space, usually occur in the middle cranial fossa via laceration of the middle meningeal artery, although they can also occur in the anterior and posterior fossae. They are usually lenticular shaped and are bounded by suture lines where the pericranial layer of dura attaches to the skull. Classically patients suffered from EDH experience a lucid interval which is a period of intact consciousness prior to deterioration. Clinical symptom of intracranial hematoma such as EDH, mainly depend on volume and rate the hematoma formed. If the intracranial hematoma formed rapidly, there will be a sudden rise on ICP which led to neurologic deterioration that could be deleterious. Perioperative management of intracranial hematoma such as EDH is to maintain brain perfusion and oxygenation, control the ICP, and surgical decompression in some cases. We are discussing perioperative management of two cases suffered from EDH due to traumatic brain injury who underwent emergency craniotomy for clott evacuation. These are important injuries to identify;if detected early they are usually associated with good outcome and have a mortality of less than 10%. Early bleeding control and hematoma evacuation are very important to patient safety and avoid any permanent neurologic injury.

Keywords: EDH, Perioperative Management, Traumatic Brain Injury

JNI 2012; 1 (1):10-15 Cduvtcm"Epidural hemorrhage (EDH) adalah perdarahan yang terjadi pada ruang epidural, biasanya terjadi pada fossa kranii media karena adanya laserasi arteri meningea media, walaupun bisa juga terjadi pada fossa anterior ataupun posterior. Bentuknya biasanya lentikuler dan dibatasi oleh garis sutura di mana lapisan perikranial dura melekat ke kranium. Secara klasik, pasien EDH memiliki lucid interval, yakni periode adanya kesadaran yang jernih sebelum terjadinya penurunan kesadaran. Gejala klinis sebagai akibat dari hematoma intrakranial seperti EDH, terutama tergantung pada besarnya volume dan kecepatan hematoma ini terbentuk. Bila hematoma terbentuk dengan cepat, terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang akan menimbulkan perburukan neurologis sampai dapat mengancam kehidupan. Pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera otak traumatik yang mengalami EDH bertujuan mempertahankan perfusi dan oksigenasi otak, mengendalikan TIK serta dekompresi dan evakuasi perdarahan dengan pembedahan pada sebagian kasus. Kami membahas manajemen perioperatif pada 2 orang pasien, seorang anak dan seorang remaja yang mengalami EDH karena cedera otak traumatik yang menjalani kraniotomi emergensi untuk evakuasi perdarahannya. EDH sangat penting untuk cepat didiagnosa, karena bila terdeteksi segera dan dilakukan evakuasi perdarahan, biasanya hasilnya baik dengan mortalitas kurang dari 10%. Evakuasi dan kontrol perdarahan segera sangat penting untuk keselamatan pasien dan menghindari cedera neurologis yang permanen. Kata kunci: Cedera Otak Traumatik, EDH, Manajemen Perioperatif

LPK"4234="3"*3+<32/37

11Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I. Pendahuluan Cedera otak traumatik relatif sering terjadi, mengakibatkan lebih dari 1 juta admisi pada unit gawat darurat di seluruh dunia. Kerusakan akibat cedera otak traumatik, amat bervariasi, dari cedera kepala ringan sampai cedera berat dan kematian. Cedera otak traumatik dapat terjadi sebagai cedera tunggal, maupun sebagai bagian dari trauma multipel. Penyebab utama cedera otak traumatik adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, olah raga maupun perkelahian. Pengelolaan segera cedera otak traumatik difokuskan pada pencegahan cedera sekunder, dengan mencegah terjadinya hipoksia dan hipoperfusi yang secara bermakna meningkat-kan morbiditas dan mortalitas.1, 2

Epidural hemorrhage (EDH) adalah perdarahan yang terjadi pada ruang epidural, biasanya terjadi pada fossa kranii media karena adanya laserasi arteri meningea media, walaupun bisa juga terjadi pada fossa anterior ataupun posterior. Bentuknya biasanya lentikuler dan dibatasi oleh garis sutura di mana lapisan perikranial dura melekat ke kranium. EDH seringkali terjadi bersama fraktur tulang kranium. Secara klasik, pasien EDH memiliki lucid interval, yakni periode adanya kesadaran yang jernih sebelum terjadinya perburukan kesadaran, walau hanya setengah dari pasien yang menjalani operasi kraniotomi karena EDH menunjukkan gejala ini. EDH sangat penting untuk cepat di-diagnosa; karena bila terdeteksi segera dan dilaku-kan evakuasi dan kontrol perdarahan segera, biasa-nya hasilnya baik dengan mortalitas kurang dari 10%.2, 3

Gejala klinis sebagai akibat dari hematoma intrakranial seperti EDH, terutama tergantung pada kecepatan hematoma ini terbentuk. Bila hematoma terbentuk dengan cepat seperti pada akut EDH (akibat cedera kepala), subdural, ataupun hematoma intraserebral, akan terjadi gangguan neurologis dengan cepat dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang mengancam kehidupan. Sasaran dari teknik anestesi yang dilakukan adalah mengendali-kan TIK serta mempertahankan oksigenasi dan perfusi otak, diikuti dengan dekompresi dengan pembedahan. Waktu sangatlah penting pada pem-bedahan EDH, evakuasi dan kontrol perdarahan dalam waktu yang singkat sangat essensial untuk menghindari cedera neurologis yang permanen.

II. Kasus 1 Seorang anak perempuan usia 6 tahun, berat badan 20 kg, datang ke unit gawat darurat 1 jam setelah kena pukul palu pada kepalanya, didiagnosa mengalami EDH dan menjalani kraniektomi emer-gensi untuk evakuasi perdarahan dan elevasi fraktur depresif.

Anamnesa

Pasien datang dengan luka di kepala dan sakit kepala yang bertambah berat dengan progresif setelah kepalanya terpukul oleh palu. Riwayat pingsan tidak ada, sejak 2 jam setelah kejadian, pasien mulai mengalami muntah yang proyektil dan bertambah gelisah. Pasien makan minum terakhir 4 jam sebelum masuk rumah sakit.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan kesadaran GCS E3V5M6 dengan pupil bulat isokor, dan refleks cahaya yang normal. Respirasi, jalan nafas tidak ada sumbatan, frekuensi 12 kali/menit, suara nafas bronkhovesikuler. Tekanan darah 120/78 mmHg, dengan laju nadi 86 kali/menit. Pada auskultasi bunyi jantung normal, tidak didapatkan adanya murmur. Pada regio temporo parietal kiri didapatkan cefal hematoma.

Pemeriksaan Penunjang

Pada CT (Computed Tomografi) scan kepala didapatkan adanya fraktur depresif pada daerah fronto-temporal kiri, EDH di fronto-temporal kiri, dengan midline shift 4,5 mm yang disertai adanya edema serebri. Pada pemeriksaan darah segera di dapatkan hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 32,4%, trombosit 443 x 103, waktu perdarahan 1 menit dan waktu pembekuan 8 menit.

Manajemen Anestesi Di ruang operasi, pasien telah terpasang infus, monitor pra induksi meliputi ECG, tekanan darah non invasif, pulse oxymetri. Posisi pasien bagian kepala ditinggikan 20° untuk membantu drainase vena serebral. Kateter urine di pasang untuk menilai produksi urine dan status cairan. Pasien tidak diberikan premedikasi.

Setelah diberikan pre-oksigenasi, induksi anestesi dilakukan dengan propofol 100 mg, fentanyl 50 µg, dan pelumpuh otot rocuronium 20 mg. Setelah onset pelumpuh otot tercapai, dilakukan intubasi

Manajemen Perioperatif Epidural HemorrhageAkibat Cedera Otak Traumatik

12 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

orotrakhea dengan sellick maneuver. Dipasang pipa endotrakhea non kinking nomer 5,5 dan difiksasi dengan baik. Anestesi dilanjutkan dengan 1.5 volume % sevoflurane dalam campuran oksigen dan udara luar, pemberian tambahan fentanyl, pelumpuh otot rocuronium dan dilakukan ventilasi kendali. SpO2 dijaga berkisar 99-100 %, tekanan darah stabil pada 95/55 -110/60 mmHg dan nadi berkisar 70 sampai 92 kali/menit.

Dilakukan kraniotomi dan evakuasi EDH serta elevasi dari fraktur depresinya. Pembedahan ber-langsung selama 3 jam dengan perdarahan sekitar 75 ml dengan lama anestesi berlangsung 3 jam 45 menit. Pasien dibangunkan dan dilakukan ekstubasi di ruang operasi.

Pasca Anestesi

Pasca anestesia pasien diobservasi di ruang pulih anestesi selama 4 jam. Analgesia pasca operasi dilakukan dengan pemberian metamizole 350 mg dan fentanyl 150 µg diberikan dalam drip 24 jam. Analgesia pasca operasi cukup adekuat, pasien tenang, tidak banyak banyak menangis untuk mencegah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat dipindahkan dari ruang pulih anestesi GCS pasien E4V5M6. Perawatan pasca operasi dilakukan di ruang perawatan biasa. Setelah dirawat di ruangan selama 4 hari, pasien diijinkan pulang.

Kasus 2

Seorang laki-laki usia 16 tahun, datang sadar ke unit gawat darurat rumah sakit Sanglah dengan sakit kepala yang bertambah berat, setelah meng-alami kecelakaan lalu-lintas dan menjalani emer-gensi kraniotomi karena EDH.

Anamnesa

Pasien laki-laki usia 16 tahun, datang sadar dengan sakit kepala yang bertambah berat, setelah meng-alami kecelakaan lalu-lintas menabrak sesama sepe-da motor 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien sempat tidak sadar, mengalami amnesia, tidak dapat mengingat dengan jelas bagaimana kecelakaannya terjadi dan sejak 1 jam pasca masuk rumah sakit mengalami muntah yang proyektil. Makan-minum terakhir 7 jam sebelum masuk rumah sakit.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan didapatkan pasien berat badan 41 kg, tinggi badan 151 cm dengan GCS E4V5M6, cervical spine baik, dengan pupil bulat isokor dan refleks cahaya yang normal. Respirasi, jalan nafas tidak ada sumbatan, frekuensi 12 kali/menit, suara nafas bronkhovesikuler dengan tekanan darah 120/90 mmHg, laju nadi 72x/ menit dan tampak cefal hematoma pada daerah frontal kanan.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan CT scan kepala didapatkan adanya fraktur depresif tulang frontal kanan, EDH pada daerah frontal kanan, ukuran 3,49 cm x 6,6 cm yang tampak pada 7 irisan gambaran scan, dengan midline shift + 5,3 mm. Pasien diputuskan untuk menjalani tindakan kraniotomi emergensi untuk evakuasi EDH.

Manajemen Anestesi

Di ruang operasi posisi pasien bagian kepala ditinggikan 20° untuk membantu drainase vena serebral. Pasien telah dipasang infus. Monitor pra induksi meliputi ECG, tekanan darah non invasif, pulse oxymetri. Kateter urine di pasang untuk menilai produksi urine dan status cairan. Pasien tidak diberikan premedikasi.

Setelah dilakukan pre-oksigenasi, induksi anestesia dengan propofol 150 mg, fentanyl 150 µg, dan pelumpuh otot vecuronium 6 mg. Dilakukan intubasi orotrakhea. Anestesia dilanjutkan dengan 1.5% sevofluran dalam campuran oksigen dan udara luar, pemberian tambahan fentanyl, pelumpuh otot vecuronium dan dilakukan ventilasi kendali. SpO2 dijaga berkisar 99-100%, dengan tekanan darah stabil pada 95/55 -120/80 mmHg.

Dilakukan kraniotomi dan evakuasi perdarahan, elevasi dari fraktur depresinya serta pemasangan mini plate pada daerah frakturnya. Pembedahan berlangsung selama 2 jam 30 menit dan lama anes-tesi berlangsung 3 jam 10 menit. Pasien dibangun-kan secara perlahan dan setelah pasien membuka mata dilakukan ekstubasi di ruang operasi.

Pasca Anestesi

Analgesia pasca operasi dilakukan dengan pemberian metamizole 3 x 1g dan fentanyl 350 µg diberikan dalam infus kontinyu 24 jam. Pasca anestesi pasien dirawat di ruang pulih anestesi. Pada saat dipindahkan dari ruang pulih anestesi pasien sadar baik, GCS E4V5M6. Perawatan pasca operasi dilakukan di ruang perawatan biasa.

13Jurnal Neuroanestesia Indonesia

III. Pembahasan Evaluasi awal pasien cedera otak traumatik meliputi evaluasi trauma sistemik seperti mengikuti protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS). Protokol ini menekankan pemeriksaan sistematis untuk cedera trauma, dimana jalan nafas, ventilasi dan sirkulasi harus dinilai terlebih dahulu. Penilaian pada sistem sirkulasi harus meliputi semua tempat perdarahan eksternal termasuk luka terbuka pada kepala, dan segera dilakukan upaya untuk kontrol perdarahan. Setelah evaluasi trauma awal dan pasien berada dalam kondisi hemodinamik stabil, dapat dilanjutkan dengan evaluasi yang terfokus pada cedera kepalanya. Sangat penting untuk men-dapatkan keseluruhan gambaran mekanisme trauma yang terjadi, karena dapat memperkirakan beratnya cedera otak traumatik yang terjadi. Setelah anamnesa yang memadai, dilakukan penilaian status neurologis. Bagian pertama dari evaluasi neurologis adalah penilaian Glasgow Coma Scale (GCS). Walau penilaian GCS sudah merupakan bagian dari evaluasi trauma awal, harus dilakukan berulang untuk menilai adanya penurunan status neurologis. Sangat penting untuk dipahami bahwa penilaian GCS adalah pemeriksaan penyaring (screening exam) dan tidak menggantikan penilaian status neurologis secara menyeluruh.4-7

Evaluasi neurologis pada pasien cedera kepala didasarkan pada penilaian kesadaran dengan GCS. Skala GCS meliputi penilaian tiga fungsi, yakni respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Berdasarkan penilaian GCS ini, tingkatan cedera kepala diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala sedang (9-12) ataupun cedera kepala berat (8 kebawah). Berdasarkan definisi, koma adalah pasien dengan GCS 8 ke bawah. Pemeriksaan neurologis lain yang penting pada pasien cedera kepala adalah penilaian ukuran pupil dan reaktifitas pupil terhadap cahaya, respon refleksinya, adanya asimetri ataupun flaksiditas pada ekstremitas, maupun postur deserebrasi (ekstensi lengan yang rigid) ataupun dekortikasi (fleksi lengan yang rigid).

Setelah dilakukan resusitasi, stabilisasi dan penilaian neurologis, pemeriksaan untuk diagnostik dapat dilakukan. Harus dilakukan rontgent lateral C-spine dan thoraks. Foto rontgent polos kepala sekarang jarang dilakukan untuk cedera kepala tertutup (closed head injury), tetapi masih penting pada evaluasi trauma tembus kepala. CT (computed tomography) scan, sekarang merupakan pemerik-saan diagnostik terpilih pada evaluasi cedera otak traumatik karena cepat, relatif sudah tersedia di banyak rumah sakit, dapat mengidentifikasi seba-

gian besar fraktur pada tengkorak dan secara akurat dapat menunjukkan lokasi perdarahan akut yang terjadi. CT scan standar untuk evaluasi cedera otak traumatik adalah scan tanpa kontras. "

Perdarahan ekstraaksial pada CT scan dapat berupa epidural, sub-dural ataupun sub-arakhnoid. Perda-rahan epidural lokasinya antara tabula interna tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini biasanya bentuknya bikonveks, karena batas luarnya mengikuti bentuk tabula interna tulang tengkorak, dan batas dalamnya adalah lokasi di mana dura melekat secara kuat pada tengkorak. Perdarahan epidural, sebagian besar berasal dari perdarahan arteri pada dura, dan hanya 10 % dari perdarahan epidural ini berasal dari perdarahan vena. Perdarahan epidural dapat membesar dengan cepat, terutama yang berdasar dari perdarahan arterial. Perdarahan epidural ini dibatasi oleh garis sutura intra-kranial. Epidural hemorrhage biasanya terjadi akibat laserasi arteri meningea media sepanjang perjalanannya dari memasuki rongga kranium sam-pai cabang-cabangnya pada dura supratentorial. Ruang epidural ini biasanya hanya ruang potensial, tetapi sangat mudah terisi oleh perdarahan dan dibatasi hanya oleh perlekatan dura sepanjang garis sutura. EDH jarang terjadi pada usia lanjut karena dura seringkali melekat kuat pada lapisan dalam kranium.

Fraktur tulang tengkorak seringkali terjadi bersama cedera otak traumatik. Makin berat cedera otak traumatiknya, makin besar kemungkinan terjadi fraktur tulang tengkorak. Kejadian fraktur tulang tengkorak pada cedera otak traumatik adalah sekitar 3 % dari pasien yang masuk ruang gawat darurat, 65% dari pasien yang masuk ruang rawat intensif neuro, dan 80% dari pasien cedera otak traumatik yang meninggal. Fraktur tulang tengkorak adalah masalah yang penting, sebab memiliki insiden perdarahan intrakranial yang lebih besar dibanding pasien cedera otak traumatik yang tidak mengalami fraktur. Fraktur tulang tengkorak juga berkaitan dengan komplikasi cedera otak traumatik, seperti menjadi sumber infeksi. Rhinorrhea likuor cerebrospinalis terjadi akibat adanya fraktur lamina cribriformis, dan otorrhea terjadi akibat fraktur pada mastoid ataupun tulang temporal. Fraktur depresif mengakibatkan resiko terjadinya kejang jangka panjang pasca trauma sebesar 31%.3, 4

Tindakan operasi pada cedera otak traumatik diindikasikan bila terjadi efek massa yang ber-makna. Secara tradisional hal ini didefinisikan bila ada pergeseran garis tengah (midline shift) 5 mm atau lebih. Midline shift ini diukur pada CT-scan aksial dengan melihat pergeseran septum pellucidum dari garis tengah setinggi level foramen

Manajemen Perioperatif Epidural HemorrhageAkibat Cedera Otak Traumatik

14 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Monroe. EDH dengan volume lebih dari 30 cc harus dievakuasi, walaupun pasiennya asimp-tomatik. Pasien EDH dengan GCS kurang dari 9, disertai dengan pupil yang dilatasi harus dilakukan tidakan evakuasi perdarahan dan dekompresi segera. Perdarahan akut pada EDH (maupun SDH) dapat dievakuasi dengan kraniotomi ataupun kraniektomi.4, 7

Peningkatan TIK hampir selalu terjadi pada pasien cedera kepala yang memerlukan tindakan operasi, dan induksi anestesia terbaik dilakukan dengan obat induksi yang menurunkan TIK. Propofol (1,5-3 mg/kg) + fentanyl (2-5 µg/kg) sangat memuaskan. Apabila didapatkan adanya hemodinamik yang tidak stabil, dapat digunakan etomidate (0,1-0,4 mg/kg). Obat pelumpuh otot non-depolarisasi rocu-ronium (0,9 mg/kg) ataupun vecuronium (0,1 mg/kg) diberikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakea. Suksinil kholin dapat meningkat TIK sesaat, tetapi masih digunakan pada manajemen jalan nafas emergensi. Pemberian pelumpuh otot non depolarisasi dosis defasikulasi untuk men-cegah fasikulasi dapat mencegah kenaikan TIK akibat fasikulasi. Untuk mencegah kenaikan teka-nan datarah dan TIK akibat intubasi endotrakea, dapat diberikan bolus lidokain 1-2 mg intravena atau tambahan fentanyl 1-2 menit sebelum laring-oskopi. Sebelum induksi harus dipastikan pasien mendapat hidrasi yang memadai dan dalam keadaan euvolumia sebelum induksi.4, 8

Trauma medula spinalis servikal sering menyertai cedera otak traumatik dan kemungkinan tindakan intubasi bisa memperburuknya adalah perhatian utama pada saat dilakukan tindakan intubasi baik untuk jalan nafas darurat maupun pada tindakan anestesi. Kejadian fraktur servikal berkisar 8-10% dari pasien dengan cedera otak traumatik dengan GCS ≤ 8. Angka insiden ini menunjukkan tehnik intubasi dengan “hipnosis-pelumpuh otot-laring-oskopi direk” pada pasien cedera otak traumatik memiliki resiko terjadinya cedera medula spinalis cervikal. Walaupun beberapa literatur menunjukkan adanya resiko, teknik induksi cepat (rapid sequence induction) tidak meningkatkan resiko terjadinya cedera neurologis. Pada saat dilakukan induksi dengan teknik hipnosis-pelumpuh otot, dilakukan juga penekanan pada kartilago krikoid dan stabilisasi aksial segaris (in-line axial stabilization). Sebelumnya traksi segaris (in-line traction) lebih sering digunakan, kemudian ditambahkan stabili-sasi karena adanya resiko tertarik (overdistraction) yang potensial akan menyebabkan terjadinya cedera medula spinalis cervikal. Penelitian klinis menun-jukkan bahwa intubasi oral dengan anestesi dan pelumpuh otot relatif aman pada cedera otak

traumatik bila disertai dengan stabilisasi segaris (in-line stabilization) dan occiput pasien ditahan dengan baik. Walaupun bila stabilisasi segaris dilaku-kan dengan baik, akan membuat laring-oskopi direk sedikit lebih sulit, tetapi akan menurunkan derajat ekstensi atlanto-oksipital yang diperlukan untuk mendapatkan visualisasi glotis.9

Otak yang dalam keadaan cedera sangat rentan terhadap keadaan yang tidak menguntungkan walaupun ringan seperti hipotensi yang ringan sampai sedang dan hipoksia yang berlangsung tidak lama. Hal ini disebabkan adanya bagian otak yang memiliki CBF yang relatif rendah pada periode pasca cedera otak, dimana autoregulasinya masih terganggu karena adanya cedera. Sebagian besar pasien cedera otak traumatik yang meninggal menunjukkan perubahan patologis yang konsisten dengan iskemia dan terdapat cukup bukti bahwa CBF yang rendah pasca cedera otak berkaitan dengan prognosis yang buruk, sehingga mempertahankan CBF adalah salah satu target utama pada stabilisasi hemodinamik pasca cedera otak traumatik. Penelitian yang dilakukan di Universitas Edinburgh, yang menilai keadekuatan perfusi serebral dengan SjvO2 (Saturasi O2 bulbus jugularis) dan TCD (Trans Cranial Doppler) mendapatkan bahwa perfusi serebral mulai menu-run dibawah CPP (CPP=MAP-ICP) 70 mmHg. Penelitian oleh Robertson dan rekannya yang membandingkan pasien cedera otak traumatik yang dirawat di ruang intensif yang dirawat dengan target CPP 70 mmHg dan 50 mmHg mendapatkan kelompok pasien dengan CPP 70 mmHg walaupun kondisi serebralnya menjadi lebih baik dibanding kelompok 50 mmHg, tetapi memiliki komplikasi dan morbiditas kardiovaskuler yang lebih tinggi. Sehingga banyak kelompok menggunakan 60 mmHg sebagai target CPP sebagai target minimum manajemen CPP. Brain Trauma Foundation merekomendasikan target nilai CPP berada dalam rentang 50-70 mmHg.9

Manajemen pemulihan anestesia ditentukan oleh keadaan pasien preoperatif dan perjalanan operasi-nya. Karena kondisi pasien secara neurologis baik sebelum operasi dan operasi evakuasi perdarahan dan elevasi tulang akibat fraktur depres-nya berjalan lancar, pasien dibangunkan dan diekstubasi di kamar operasi.

Cedera otak traumatik walaupun ringan seringkali berkaitan dengan sindrom pasca cedera otak (post-concussive syndrome). Sindrom ini memiliki tiga kelompok gejala, yakni masalah kognitif (seperti perhatian yang menurun, sulit berkonsentrasi), gejala somatik (seperti sakit kepala, tinnitus, sensitif terhadap cahaya) dan masalah afektif

15Jurnal Neuroanestesia Indonesia

(seperti depresi dan irritabel). Post-concussive sindrom ini terjadi pada 80-100 % penderita yang mengalami cedera otak ringan. Sindrom ini disertai dengan menurunnya hasil tes kognitif, dengan menurunnya kemampuan dan kecepatan mengolah informasi, serta penurunan kemampuan memori dan perhatian. Pada bulan ke-tiga pasca cedera otak traumatik, biasanya sindrom ini telah pulih pada dua pertiga pasien.2, 4

IV. Simpulan Waktu sangatlah penting pada penangan pasien cedera kepala dengan EDH karena perdarahannya dapat membesar dengan cepat. Evakuasi dan kontrol perdarahan dengan segera sangat penting untuk keselamatan pasien dan menghindari cedera neurologis yang permanen. Mencegah terjadinya kenaikan TIK dan menjaga oksigenasi dan perfusi otak adalah sangat esensial dalam melakukan anestesi pada pasien dengan cedera kepala traumatik.

Daftar Pustaka 1. Zitnay GA, Zitnay KM, Povlishock JT, Hall

ED, Marion DW, Trudel T, et al. Traumatic brain injury research priorities: The conemaugh international brain injury symposium. J Neurotrauma. 2008;25:1135-52.

2. Hawthorne G, Gruen RL, Kaye AH. Traumatic brain injury and long-term quality of life: Findings from an australian study. J Neurotrauma. 2009;26:1623-33.

3. Lu J, Marmarou A, Choi S, Maas A, Murray G, Steyerberg EW. Mortality from traumatic brain injury. Acta Neurochir [Suppl]. 2005;95:281-5.

4. Baron EM, Jallo JI. TBI; Pathology, pathophysiology, acute care and surgical management, critical care principles, and outcome. Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editors. Brain injury medicine, principle and practice. New York: Demos; 2007, 265-82.

5. Greve MW, Zink BJ. Pathophysiology of traumatic brain injury. Mount Sinai Journal of Medicine 2009;76:97-104.

6. Kochanek PM, Clark RSB, Jenkins LW. TBI: Pathobiology. Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editors. Brain injury medicine : principles and practice. New York,: Demos Medical Publishing; 2007, 81-96.

7. Woods M. Aspects of perioperative neuroscience practice. Dalam: Smith B,

Rawling P, Wicker P, Jones C, editors. Core topics in operating department Anaesthesia and critical care. Cambridge: Cambridge University Press; 2007, 61-76.

8. Steinberg GF, Dodd RL, Sakamoto GT, Shuer LM, Chang SD, Laws ER, et al. Intracranial neurosurgery. Dalam: Jaffe RA, Samuels SI, editors. Anesthesiologist's manual of surgical procedures. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2009.

9. Drummond JC, Patel PM. Neurosurgical anesthesia. Dalam: Miller RD, Eriksson LI, Fleischer LA, P.Wiener-Kronish J, Young WL, editors. Miller's anesthesia. 7 ed: Churchill-Livingstone-Elsevier; 2009.

Manajemen Perioperatif Epidural HemorrhageAkibat Cedera Otak Traumatik

16

CPGUVGUKC"WPVWM"MTCPKQVQOK"VWOQT"UWRTCVGPVQTKCN"""ANESTHESIA FOR CRANIOTOMY SUPRATENTORIAL TUMOR "Fkcpc"Ej0"Ncngpqj",+."Jgtocpwu"L0"Ncngpqj.,+"Pcpe{"Octictkvc"Tgjcvvc,,+"*) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi / RS. Prof. R.D. Kandou, Manado **) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Abstract The common supratentorial tumors in adults are glioma (36%), meningioma (32.1%), and adenoma pituitary (8.4%). Approximately half of these tumors are malignant. The majority of them (> 80%) are supratentorial. For the entire primary tumor, the average age when a brain tumor was detected is 57 years old. The exact number of metastatic brain tumor incidence is unknown, but it is assumed quite low. The existence of metastatic tumor of the central nervous system (SSP) is found at the autopsy of around 25% of patients who died of cancer. There are five sources of malignancy which often cause metastasis to the brain, namely breast cancer, colorectal cancer, lung cancer, and melanoma. In six percent of patients, these complications appeared within a year after the primary tumor is detected. These five cancers frequently cause the brain metastases in approximately 37.000 cases in the United States. It is reported the successful handling of anesthesia on a woman 56 years old, weighing 65 kg. This patient was diagnosed with Space Occupying Lession (SOL) right DD / Meningioma. Craniotomy surgery was performed for tumor expenditure. At the time she entered the operating room, her blood pressure was 176/100 mmHg, pulse rate beats / minute, respiratory rate 20 times / minute, body temperature of 37o C, and GCS E4V5M6. She was induced with Fentanyl 100 mg, 100 mg Propofol; intubation facilities are Rocuronium 40 mg, Lidocaine 70 mg, maintenance with Inhalan Sevoflurane and Oxygen, along with continuous Propofol, the addition of Fentanyl and intermittent Rocuronium. Infusion was attached in two pathways.The surgery lasted seven hours and twenty minutes. With nasal cannula and oxygen 3 liters / minute attached, the patient was transferred to ICU. She was treated for one day in ICU, before moved into a ward. After stay in the ward for five days, she was discharged and became an outpatient of neurosurgeon. Anesthesia for supratentorial tumor requires an understanding of pathophysiology of intracranial pressure (ICP) suppression locally and entirely; setting up and maintenance of intracerebral perfusion; how to avoid secondary effects of a systemic effect on the brain. Accurate and structured perioperative preparation is critical for handling of anesthesia for supratentorial tumors, which includes the preparation of the patient pre-surgery, completeness preparation of drugs, devices, and monitoring, as well as planning the implementation of the anesthesia until post-surgery tendance. Keywords: Anesthesia, non-pharmacological neuroprotection, pharmacological neuroprotection, Supratentorial tumors.

JNI 2012; 1 (1):16-24

Cduvtcm Tumor supratentorial tersering pada orang dewasa adalah glioma (36%), meningioma (32.1%), dan adenoma pituitary (8.4%). Sekitar separuh dari tumor tersebut adalah ganas. Mayoritas tumor tumor tersebut (>80%) adalah supratentorial. Untuk seluruh tumor primer, rata-rata usia terdeteksi adanya tumor otak adalah 57 tahun. Angka pasti insidens metastase tumor otak tidak diketahui namun diperkirakan cukup rendah. Dari sekitar 25% pasien yang meninggal karena kanker, ditemukan adanya metastase dari tumor sistem saraf pusat (SSP) pada otopsi. Ada lima sumber keganasan yang sering metastase ke otak yaitu kanker payudara, kanker kolorektal, kanker paru, dan melanoma. Enam persen dari pasien dengan komplikasi tersebut muncul dalam 1 tahun setelah terdeteksi adanya tumor primer. Lima jenis kanker tersebut yang sering menyebabkan metastase otak pada sekitar 37.000 kasus di Amerika Serikat.

17Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Dilaporkan keberhasilan penanganan anestesi pada seorang pasien, wanita 56 tahun, dengan berat badan 65 kg. Pasien tersebut didiagnosis sebagai Space Occupaying Lession (SOL) kanan DD/ Meningioma. Pasien dilakukan operasi kraniotomi untuk pengeluaran tumor. Tekanan darah saat masuk kamar operasi 176/100 mmHg, laju nadi 98 kali / menit, laju napas 20 kali / menit, suhu badan 370 C, dan GCS E4V5M6. Pasien diinduksi dengan Fentanyl 100 µg, Propofol 100 mg, fasilitas intubasi dengan Rocuronium 40 mg, Lidokain 70 mg, dan pemeliharaan dengan Sevofluran dan Oksigen serta Propofol kontinyu, dan penambahan fentanyl dan rokuronium intermiten. Infus terpasang dua jalur. Operasi berlangsung selama tujuh jam dua puluh menit. Dengan terpasang nasal kanul dan oksigen 3 liter / menit, pasien dipindahkan ke ICU. Pasien dirawat selama satu hari di ICU, kemudian dipindahkan ke ruangan. Setelah lima hari pasien dirawat di ruangan kemudian pasien dipulangkan dan rawat jalan dengan dokter bedah saraf. Anestesi untuk tumor supratentorial membutuhkan suatu pengertian mengenai patofisiologi dari penekanan tekanan intrakranial (TIK) lokal maupun secara keseluruhan; pengaturan dan pemeliharaan perfusi intraserebral; bagaimana menghindari akibat pengaruh sekunder dari sistemik terhadap otak. Persiapan perioperatif yang cermat dan terstruktur sangat penting pada penanganan anestesi untuk tumor supratentorial, yang meliputi persiapan pasien preoperasi, persiapan kelengkapan obat, alat, dan monitoring, serta perencanaan pelaksanaan anestesi sampai dengan pananganan pasca operasi.

Mcvc" mwpek: anestesi, neuroproteksi farmakologik, neuroproteksi non farmakologik, tumor supratentorial.

LPK"4234="3"*3+<38/46"

I." Pendahuluan Menurut the Central Brain Tumor Registry of the United States (CBTRUS), sekitar 51.410 kasus baru tumor otak dan tumor sistem saraf pusat primer nonmaligna dan maligna terdiagnosa di Amerika Serikat pada tahun 2007. Diperkirakan tumor tersebut yang menyebabkan kematian sekitar 12.740 setiap tahunnya. Tumor tersering pada orang dewasa adalah glioma (36%), meningioma (32,1%), dan adenoma pituitary (8,4%). Sekitar separuh dari tumor tersebut adalah ganas. Mayoritas tumor tersebut (>80%) terletak di supratentorial. Untuk seluruh tumor primer, rata-rata usia terdeteksi adanya tumor otak adalah 57 tahun. Dari tahun 1985 hingga 1999, insidens dari tumor otak primer hanya 1,1% per tahun. Angka pasti insidens metastase tumor otak tidak diketahui namun diperkirakan cukup rendah. Dari sekitar 25% pasien yang meninggal karena kanker, ditemukan adanya metastase tumor di sistem saraf pusat (SSP) pada otopsi. Ada lima sumber keganasan yang sering metastase ke otak yaitu kanker payudara, kanker kolorektal, kanker paru, dan melanoma. Enam persen dari pasien dengan komplikasi tersebut muncul dalam 1 tahun setelah terdeteksi adanya tumor primer. Lima kanker tersebut yang sering menyebabkan metastase otak pada sekitar 37.000 kasus di Amerika Serikat. Sebaliknya, 10% dari pasien dengan kanker paru datang ke dokter dengan keluhan-keluhan akibat metastase ke otak.1

Sekitar 35.000 kasus baru tumor otak didiagnose setiap tahunnya di Amerika Serikat. Pada orang dewasa, 85% dari tumor otak adalah primer (9% dari seluruh tumor primer); 60% adalah tumor

primer dan supratentorial (sekitar 35% glioma dan sekitar 15% adalah meningioma; sedangkan 8% adalah adenoma pituitari). Sekitar 12% dari tumor -tumor itu adalah metastase. Insidensnya meningkat sesuai dengan pertambahan usia, dan hampir mendekati seperenam dari pasien-pasien dengan kanker berkembang menjadi metastase ke otak yang kebanyakan bergejala dan membawa pasien untuk memeriksakan dirinya ke dokter namun pada tahap yang sudah lanjut sehingga angka harapan hidup lebih sedikit.2

II. Kasus Dilaporkan keberhasilan penanganan anestesi pada seorang pasien, wanita 56 tahun, dengan berat badan 65 kg. Pasien tersebut didiagnosis adanya Space Occupaying Lession (SOL) kanan DD/ Meningioma. Pasien dilakukan operasi kraniotomi untuk pengeluaran tumor.

Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah saat masuk kamar operasi 176/100 mmHg, laju nadi 82 kali / menit, laju napas 20 kali / menit, suhu badan 370 C, dan GCS E4V5M6.

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil lab : Darah, EKG, Thorak Foto dalam batas normal.

Pengelolaan Anestesi

Pasien diinduksi dengan Fentanyl 100 µg, Propofol 100 mg, fasilitas intubasi dengan Rocuronium 40 mg, Lidokain 70 mg, dan pemeliharaan dengan

Anestesia untuk Kraniotomi Tumor Supratentorial

18 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Sevofluran dan Oksigen serta Propofol kontinyu, dan penambahan fentanyl dan rokuronium inter-miten. Infus terpasang dua jalur, tangan kiri (terpasang NaCl 0,9% dan Hes steril 6%) serta kaki kiri (terpasang RL). Sampai dengan 15 menit pertama sesudah intubasi, tensi stabil berkisar 120-135/75-89 mmHg, kemudian pasien diposisikan. Insisi dilakukan 20 menit setelah intubasi. Selama pembedahan berlangsung perdarahan sekitar 1000 mL. Pasien diberi transfusi whole blood (WB) 600 mL, koloid 500 mL, dan total cairan kristaloid selama pembedahan 2500 mL. Pembedahan ber-langsung selama 7 jam 20 menit dan obat pelumpuh otot dihentikan 30 menit sebelum pembedahan berakhir demikian pula penambahan fentanyl. Pada akhir operasi pasien mendapat reversal sebelum diekstubasi dengan Neostigmin dan Sulfas Atropin.

Pengelolaan Pascabedah Dengan terpasang nasal kanul dan oksigen 3 liter / menit, pasien dipindahkan ke ICU. Pasien dirawat selama satu hari di ICU, kemudian dipindahkan ke ruangan. Selama lima hari pasien dirawat di ruangan kemudian pasien dipulangkan dan berobat rawat jalan dengan dokter bedah saraf.

III. Pembahasan Hal – hal yang perlu diperhatikan pada anestesi pasien dengan tumor supratentorial Pada bedah otak pasien–pasien dengan tumor supratentorial, permasalahan yang dihadapi berkait-an dengan penekanan tumor secara lokal maupun secara keseluruhan, sedangkan untuk pembedahnya kesulitan muncul selama menjelajah lapangan pembedahan karena otak biasanya cenderung rusak akibat retraksi dan mobilisasi. Sehingga masalah khusus meliputi perdarahan intraoperatif dan kejang.3 Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memonitor fungsi otak dan lingkungan serta apakah bertujuan untuk pemulihan kesadaran yang cepat atau apakah direncanakan untuk sedasi dan ventilasi pascabedah. Akhirnya yang tidak boleh dilupakan adalah berbagai kondisi seperti ada tidaknya penyakit paru atau penyakit jantung, atau pada keadaan metastase, ada tidaknya fenomena paraneoplastik dan efek kemoterapi atau radio-terapi. Konsep ini dapat diringkaskan sebagai berikut :1,4

Tabel 1. Konsep Anestesi

Tujuan anestesi:

Untuk memelihara otak terhadap akibat sekunder

Faktor risiko untuk anestesi:

Hipoksemia, hiperkapnia, anemia, hipotensi

Aksi anestesi: Mempertahankan autoregulasi serebral dan respons CO2. Memaksimalkan elastisitas otak untuk mengurangi penekanan akibat retraktor.

Efek volume dari tumor intrakranial

Efek intrakranial dari volume tumor adalah tidak hanya karena massa tumor itu sendiri namun juga karena edema otak vasogenik di sekelilingnya. Seperti edema, kebanyakan terlihat pada computed tomography (CT)-scan preoperatif atau gambaran magnetik resonansi, kelihatannya merupakan hasil dari faktor sekresi yang meningkatkan per-meabilitas vaskular dalam otak yang berdekatan.4

Edema peritumoral terutama terlihat pada tumor-tumor yang cepat pertumbuhannya, umumnya berespons dengan baik terhadap terapi kortikosteroid, dan dapat tetap ada ataupun rebound sesudah pembedahan untuk eksisi tumor. Jadi daerah sekitar tumor yang besar mengalami iskemia yang diakibatkan oleh penekanan (cerebral blood flow [CBF] dalam jaringan peritumor mungkin berkurang sampai sepertiga dibanding dalam jaringan normal). Terapi dengan steroid seperti deksametason biasanya menghasilkan pengurangan edema sekitar otak secara dramatik. Penanganan preoperatif dan pemulihan pascabedah dari edema vasogenik peritumoral merupakan indikasi yang baik untuk pemberian steroid.1

Sawar darah otak (Blood-Brain Barrier /BBB) dan edema

BBB juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi patologik intrakranial. Normalnya BBB tidak permeabel terhadap molekul besar atau polar dan bervariasi permeabilitasnya terhadap ion-ion dan non elektrolit–non elektrolit hidrofilik kecil. Jadi setiap kali ada bagian BBB yang terputus akan memungkinkan air, elektrolit, dan molekul hidrofi-lik besar memasuki jaringan otak perivaskular, yang menyebabkan edema otak vasogenik. Kebocoran dan yang selanjutnya menyebabkan terjadinya edema otak, secara langsung berbanding dengan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure [CPP])2. Edema vasogenik harus dibeda-kan dari edema osmotik (yang disebabkan oleh menurunnya osmolalitas serum) dan edema sitotoksik (sekunder karena iskemia). Osmolalitas darah merupakan penentu penting untuk terbentuk-nya suatu edema serebral karena pada perbedaan tekanan 19 mm Hg yang melintasi BBB dibangkit-kan untuk setiap miliosmol. Berlawanan dengan hal tersebut, tekanan onkotik hanya sedikit berperan 1,2. Dengan teknik Neuroimaging terlihat terputusnya BBB pada kebanyakan tumor. Pendekatan terbaru dilakukan untuk memperbaiki pelepasan obat ke tumor otak. Pada masa mendatang, terlihat kemungkinan bahwa ada terapi baru untuk mening-katkan permeabilitas BBB (disrupsi BBB osmotik, kemoterapi intraarterial) yang dapat memperbaiki penanganan perioperatif.4

19Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Perfusi Intraserebral dan Aliran Darah Serebral / Cerebral Blood Flow (CBF)

CBF ditentukan pada setingkat arteriol serebral. CBF tergantung pada gradien tekanan yang melintasi dinding pembuluh darah (yang ditentukan dari nilai CPP dan nilai tekanan karbon dioksida (PaCO2)) yang tergantung pada ventilasi. Autoregu-lasi CBF, untuk mempertahankan homeostasis tekanan intrakranial (TIK), mempertahankan CBF tetap konstan, dalam menghadapi perubahan dalam CPP atau tekanan rerata arteri / mean arterial pressure (MAP). Hal tersebut juga dipengaruhi perubahan dalam tonus vasomotor serebral (cerebrovascular resistance [CVR]). Autoregulasi merupakan fungsi normal untuk nilai CPP sekitar 50 – 70 mmHg dan ini digagalkan oleh berbagai kondisi patologik intrakranial (misalnya darah dalam liquor cerebro spinal/LCS, trauma, tumor) maupun ekstrakranial (misalnya hipertensi sistemik kronik). Hal tersebut juga dipengaruhi oleh obat–obatan yang digunakan dalam anestesi.1,2

Ketika CPP tidak adekuat, perfusi jaringan akan berkurang ketika batas bawah autoregulasi kurang dari 50 mm Hg (jika autoregulasi intak). Iskemia terjadi pada kadar CBF kurang dari 20 mL/100 g/menit kecuali CPP diperbaiki (melalui pening-katan MAP atau atau pengurangan TIK) atau kebutuhan metabolik serebral dikurangi (melalui anestesi yang dalam atau hipotermia). Pengurangan PaCO2 akan menyebabkan vasokontriksi, yang akan mengurangi CBF, Cerebral Blood Volume (CBV), dan selanjutnya TIK. Sebaliknya, hiperkap-nia akan meningkatkan TIK dan harus dicegah selama periode perioperatif:1,2,4

Nitrous Oxide (N2O)

Karena terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia di rumah sakit daerah (tidak tersedianya udara pada mesin anestesi di kamar operasi), maka pemeliharaan anestesi pada pasien ini dilakukan dengan O2, Sevofluran tidak lebih dari 2 volume % (kurang dari 2 MAC), dan N2O (perbandingan O2: N2O = 4 : 1). Pemberian N2O bukan dimaksudkan untuk mendapatkan efek analgetik karena untuk analgetik selama operasi pada pasien ini digunakan fentanyl intermitten. Pemberian N2O dimaksudkan agar pemberian Oksigen tidak murni 100% karena O2 100% merupakan vasokonstriktor kuat dan pada pemberian jangka panjang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya intoksikasi. N2O merupa-kan serebrostimulan, meningkatkan CBF, CMR, dan terkadang TIK. Efek tersebut tidak semuanya selalu terjadi pada otak, namun terbatas pada daerah otak tertentu (ganglia basalis, talamus, dan insula), yang akan mengubah distribusi CBF regional. Pada substitusi dari suatu konsentrasi obat

anestesi inhalasi yang setara, N2O meningkatkan CBF. Vasodilatasi serebral dapat dikendalikan dengan hipokapnia atau dengan penambahan anestetik intravena.1 Sehingga pada kasus ini, pemberian N2O diiringi dengan pemeliharaan propofol intravena dan hiperventilasi ringan.1

Opioid

Opioid dihubungkan dengan peningkatan sementara TIK, terutama penggunaan sufentanil atau alfentanil. Mekanisme yang mendasari peningkatan sementara TIK berupa refleks vasodilatasi serebral sesudah pengurangan MAP dan selanjutnya CPP, sekalipun efek vasodilator serebral hanya sedikit. Efek sensitivitas efek obat intraserebral ini menunjukkan pengaruh lingkungan intrakranial maupun ekstrakranial dan pentingnya memperta-hankan keadaan normovolemia untuk memperta-hankan stabilitas TIK. Umumnya, opioid hanya sedikit mengurangi CMR dan tidak mempengaruhi flow-metabolism coupling, autoregulasi, ataupun sensitivitas CO2 terhadap pembuluh darah serebral.1 Pada kasus ini digunakan Fentanyl.

Obat – obat Intravena

Obat anestesi intravena mengurangi CMR, CBF, CBV dan TIK, menyebabkan pengurangan otak yang tegang, sebagaimana didiskusikan di atas. Vasokonstriksi serebral tergantung pada intak atau tidaknya flow-metabolism coupling. Sebagai-mana autoregulasi, flow-metabolism coupling diga-galkan oleh adanya kontusio otak dan kondisi patologik intraserebral lainnya.1 Pada pasien ini sejak induksi digunakan propofol intravena begitu juga pemeliharaan disamping sevofluran, juga digunakan propofol intermitten sambil memantau lapangan pembedahan untuk kemungkinan peningkatan penggunaan propofol tunggal dengan keperluan atau tidaknya penghentian sevofluran bila terjadi otak yang tegang. Namun selama operasi berlangsung, lapangan pembedahan terlihat jelas, tidak diperlukan tarikan retraktor yang cukup kuat, dan informasi dari sejawat bedah saraf bahwa lapangan pembedahan cukup jelas, terjangkau, dan relaks.

Hiperventilasi

Hiperventilasi menghasilkan suatu keadaan hipokapnia dan selanjutnya terjadilah vaso-konstriksi serebral. Pada keadaan autoregulasi yang masih utuh, CBF berhubungan secara linear dengan PaCO2 antara 20-70 mm Hg. Sensitivitas pembuluh darah serebral terhadap CO2 dihilangkan atau digagalkan oleh adanya cedera kepala atau adanya berbagai kondisi patologik intraserebral, juga melalui inspirasi konsentrasi tinggi anestetika inhalasi, atau kususnya jika pembuluh darah

Anestesia untuk Kraniotomi Tumor Supratentorial

20 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

tersebutnya sebelumnya sudah dilatasi karena pengaruh N2O. Efek pengurangan CBF, CBV, dan TIK oleh hipokapnia bersifat akut dan kelihatannya kurang dari 24 jam.6,7 Suatu nilai khusus adalah untuk mencapai PaCO2 antara 30 sampai 35 mm Hg; analisis gas darah arterial adalah lebih tinggi dari endtidal CO2 (etco2) dan harus digunakan sebagai variabel kontrol karena kemungkinan besarnya gradien CO2 arterioalveolar pada pasien-pasien bedah saraf. Efektivitas dari hiperventilasi (PaCO2 antara 25± 2 mm Hg) untuk mengendalikan otak yang menonjol pada pasien yang sebelumnya mendapatkan baik isofluran maupun propofol.1,6,7

Pada kasus ini dilakukan hiperventilasi ringan dan sekali lagi karena keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia, yaitu tidak tersedianya kapnograf, maka hiper-ventilasi ringan dilakukan dengan perkiraan berdasarkan volume tidal 8 mL/kg BB dengan laju napas 12–14 kali /menit.

Diuretik

Pada kasus ini pasien diberikan mannitol 20 menit sebelum dura dibuka. Penggunaan diuretik osmotik seperti mannitol dan hyperosmotic saline akan meningkatkan osmolalitas darah secara akut, sehingga mengurangi kandungan air otak. Dosis pemberian mannitol adalah 0.5 sampai 1 g/kg (150–400 mL 20% Mannitol) intravena, terbagi antara dosis pemberian yang lebih cepat pre-kraniotomi dan infus yang lebih lambat, sampai diseksi otak lengkap.1,2 Pada pasien ini mannitol diberikan dengan dosis 0,5 g/kg BB (digunakan 150 mL Mannitol 20%).

Management Anestesi

a. Penilaian preoperatif

Penentuan strategi anestesi untuk memberikan intervensi bedah saraf tergantung pada pengetahuan mengenai neurologik dan keadaan umum pasien, perencanaan intervensi, serta integrasi holistik dari faktor–faktor tersebut. Perencanaan penanganan pasien dan perencanaan intervensi harus didis-kusikan sebelumnya dengan ahli bedah saraf yang terkait.1,2, 7

Status Neurologik Pasien

Tujuan utama dalam menilai status neurologik pasien adalah untuk memperkirakan berapa banyak peningkatan TIK, perluasan komplains intrakranial dan autoregulasi, serta berapa banyak pemeliharaan homeostatik untuk TIK dan CBF tetap dipertahan-kan sebelum iskemik otak dan terjadinya kegagalan neurologik. Tujuannya adalah untuk menilai sebe-rapa banyak kerusakan neurologik yang reversibel

dan yang permanen telah terjadi. Khususnya yang harus diperhatikan adalah anamnesa pasien, peme-riksaan fisik, serta pengujian teknis seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Pengujian mini-mum idealnya harus meliputi status neurologik mini-mental, membandingkan kemampuan pasien mengikuti perintah, tingkat kesadaran pasien, ada tidaknya defisit kemampuan bicara pasien, dan nilai GCS. Penjelasan mengenai obat–obatan apa saja yang sudah didapat penting diperoleh karena obat– obatan ini juga dapat mempengaruhi komplains intrakranial, perfusi, dan pemeliharaan, sebagai-mana modifikasi farmakokinetik dan dinamik dari berbagai obat–obat anestetik.1,2

CT-scan atau MRI dari pasien harus dapat menggambarkan ukuran dan lokalisasi tumor serta tanda–tanda peningkatan TIK. Peningkatan TIK termasuk pelebaran ventrikel oleh massa tumor, perluasan ventrikel lateral yang terjadi akibat hidrosefalus obstruktif, dan pergeseran midline (midline shift > 5 mm). Ada tidaknya tanda – tanda seperti itu mengingatkan bahwa kurva volume – TIK mendekati dekompensasi (“dasar” dari kurva hiperbolik TIK-volume), dengan sedikit peningka-tan volume intrakranial yang menyebabkan dispro-porsi peningkatan TIK dengan bengkak otak.8

Keadaan Umum Pasien

Fungsi kardiovaskular dan respirasi sangat penting karena perfusi dan oksigenasi otak tertutama ditentukan kedua hal tersebut sehingga sebelum operasi fungsinya harus dioptimalkan. Bebe-rapa kondisi patologik intrakranial akan mengubah fungsi kardiovaskular (misalnya efek peningkatan TIK pada konduksi jantung). Operasi supratentorial (terutama meningioma, metastase) dapat dihubung-kan dengan kehilangan darah yang bermakna, hipovolemia, dan hipotensi yang dapat memper-buruk kondisi neurologik. 1,2,9

Sistem lain yang terkait adalah sistem renal (misalnya pemberian diuretik yang selanjutnya akan menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit plasma, diabetes insipidus, serta berkurangnya asupan cairan yang menyebabkan dehidrasi), sistem endokrin (yang berubah bila ada proses penyakit intrakranial, seperti adenoma pituitari, atau melalui terapi obat-obatan, seperti efek dari glukokortikoid terhadap hiperglikemia dan iskemik serebral), dan pengaruhnya terhadap sistem traktus gastrointestinal 1,5,9

21Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Tabel 2. Evaluasi Neurologik Preoperatif

Anamnesa Kejang (jenis, frekuensi, terapi)

Peningkatan TIK : nyeri kepala, mual, muntah, penglihatan menurun

Penurunan tingkat kesadaran, somnolen

Tanda – tanda neurologik fokal: hemiparesis, defisit sensorik, defisit nervus kranialis dll

Sindroma Paraneoplastik, termasuk adanya trombosis

Pemeriksaan fisik Status mental Papill edema (peningkatan TIK)

Tanda – tanda respons Cushing : bradikardi, hipertensi

Ukuran Pupil, defisit pusat bicara(speech)

Glasgow Coma Scale (GCS) score, tanda – tanda fokal

Medikasi Steroid Obat–obat antiepileptic Pemeriksaan Radiologik (Computed Tomography [CT] atau Magnetic Resonance Imaging [MRI])

Ukuran dan lokasi tumor: daerah silent atau eloquent, pembuluh darah besar di dekatnya dll.

Efek massa Intrakranial: midline shift,

berkurangnya ukuran ventrikel, hernia lobus temporalis

Efek massa Intrakranial : hidrosefalus, ruang LCS sekitar batang otak

Lain - lain: edema, keterlibatan batang otak, pneumosefalus (craniotomi berulang)

Evaluasi Status Hidrasi Demam; infeksi Lamanya tirah baring Asupan cairan Diuretik Inappropriate secretion of antidiuretic hormoneDiagnosis kerja Neurologik Jenis jaringan tumor

Perencanaan Intervensi Selama Pembedahan Dalam perencanaan intervensi selama pembedahan, penting untuk memastikan ukuran dan posisi tumor, diagnosis jaringan, pendekatan pembedahan, struk-tur yang berdekatan dengan kemungkinan terlibat selama pembedahan, serta apakah tumor tersebut dapat diangkat secara radikal.8 Pendekatan pem-bedahan akan menentukan bagaimana posisi pasien. Pendekatan untuk massa supratentorial biasanya adalah kraniotomi pterional, temporal atau frontal. Pada pendekatan bifrontal, sinus venosus sagitalis

akan dilintasi, sehingga meningkatkan resiko terjadinya perdarahan dan emboli udara vena.1,7,8

Meningioma dapat tumbuh cukup besar, terutama pada lokasi tertentu seperti pada regio frontal. Biasanya kesulitan oprasi meningioma dalam lokasi tersebut karena struktur di sekitarnya ataupun kesulitan aksesnya. Beberapa prosedur biasanya disertai dengan perdarahan signifikan.1,8

Reseksi tumor otak dapat menimbulkan berbagai sekuele neurologik, tergantung ukuran dan tempat jaringan tumor dikeluarkan. Awake craniotomy telah diusulkan sebagai pendekatan untuk pembeda-han yang cukup memenuhi kriteria memuaskan pada pembedahan radikal sedangkan kerusakan daerah eloquent otak hanya minimal. Yang paling penting pada awake craniotomy adalah memperta-hankan kenyamanan pasien, analgesia, mobilitas, dan kooperatif yang adekwat selama operasi, dengan tetap mempertahankan keamanan dan menjamin pemeliharaan fungsi-fungsi vital. 3,10,11

Penentuan Pelaksanaan Anestesi

Sesudah memutuskan faktor-faktor resiko, hal-hal berikut harus ditentukan :

Akses Vaskular: Pertimbangkan risiko perdarahan dan emboli udara vena, keperluan untuk monitoring metabolik dan hemodinamik, serta kebutuhan untuk infus obat-obatan vasoaktif atau obat-obatan lainnya.

Terapi Cairan : Bertujuan untuk normovolemia dan normotensi, hindari cairan-cairan yang hipo-osmolar (larutan Ringer Lactat), dan hindari larutan yang mengandung glukosa untuk mencegah hiperglikemia, yang akan mengeksaserbasi cedera otak iskemik.

Rejimen Anestetik: Gunakan rejimen anestesi inhalasi pada prosedur pembedahan untuk menghindari iskemia, dan keperluan relaksasi otak, juga digunakan anestesi total intravena pada prosedur yang lebih kompleks dengan antisipasi permasalahan TIK, adanya risiko tinggi iskemik serebral , serta perlunya relaksasi otak maksimal.

Rejimen Ventilasi: Target tindakan adalah hipokapnia ringan, hiperoksia ringan, dan menurunkan tekanan intratorakal (untuk memperbaiki aliran balik vena serebral).1

Monitoring Ekstrakranial: Pemantauan fungsi kardiovaskular dan renal (untuk mengantisipasi penanganan emboli udara vena).1

Monitoring Intrakranial: Pemantauan faktor intrakranial secara menyeluruh dan spesifik,

Anestesia untuk Kraniotomi Tumor Supratentorial

22 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

misalnya neurofisiologik (EEG, evoked potential), metabolik (misalnya oksigenasi bulbus vena jugularis, oksimetri transkranial), serta fungsional (ultrasonography [USG] transkranial).1, 8,12

Persiapan Preoperatif

Premedikasi

Pemberian sedasi dapat menyebabkan risiko hiper-kapnia, hipoksemia, dan obstruksi parsial jalan napas awal, sehingga dapat memperparah peningkatan TIK. Sekalipun demikian, hindari stress (akan meningkatkan CMR, CBF) dan hipertensi (akan meningkatkan CBF, yang juga dapat menimbulkan edema vasogenik dengan kegagalan autoregulasi). Pasien tidak boleh dibiar-kan tanpa pengawasan, kalau perlu diberikan bantuan ventilasi. Sekalipun demikian, pada pasien tumor tanpa disertai gejala peningkatan TIK secara klinik (tidak ada pergeseran dll), dapat diberikan benzodiazepin dosis kecil untuk mengurangi kadar kecemasan.1,7 Pada pasien ini tidak diberikan benzodiazepin karena sejak pasien dibawa masuk ke kamar operasi suasana diusaha-kan senyaman mungkin untuk pasien, ruangan cukup tenang, dan pasien diajak berbincang ringan untuk mengurangi kecemasan.

Steroid harus diteruskan sampai pagi hari menjelang operasi (metilprednisolon atau deksa-metason). Pada pasien ini Dexametason diteruskan sampai pagi hari sebelum dioperasi. Penghambat Histamine (H2 blockers) dan obat prokinetik lambung (gastric prokinetic agents) harus diberikan untuk mengantisipasi kemungkinan pemanjangan pengosongan lambung dan peningkatan sekresi asam lambung yang berhubungan dengan peningkatan TIK dan terapi steroid, terutama pada pasien dengan kelumpuhan nervus kranialis (IX, X) baik disertai maupun tidak dengan kegagalan refleks menelan. Pada pasien ini juga diberikan Ranitidin 50 mg dan Ondansetron 4 mg intravena di kamar operasi beberapa menit sebelum induksi dimulai.

Akses Vaskular Dua jalur intravena perifer yang besar biasanya dipasang selama kraniotomi penuh; satu jalur saja cukup bila hanya akan dilakukan biopsi stereo-taktik. Akses vena sentral diindikasikan bila secara klinis ada risiko untuk terjadinya emboli udara vena, ataupun untuk mengantisipasi kemungkinan perdarahan (misalnya, tumor vaskular yang besar, atau tumor yang dekat dengan arteri atau sinus vena yang besar, ataupun reseksi tulang yang luas), bila terbukti ada gangguan kardiovaskular mayor (dengan restriksi fungsi miokard berat, kateterisasi arteri pulmonar atau ekokardiografi transesofageal/

transesophageal echocardiography [TEE] harus dipertimbangkan untuk diberikan), dan jika obat vasoaktif akan diberikan secara infus kontinyu.1 Pada pasien ini dipasang dua jalur intravena perifer dengan needle nomor 18 pada kaki dan tangan, namun tidak dilakukan pemasangan kateter vena sentral. Idealnya, untuk mengantisipasi kemungkin-an perdarahan maka seharusnya dilakukan pemasangan kateter vena sentral tersebut. Namun sekali lagi karena keterbatasan sarana dan prasarana. Khususnya berkaitan dengan status pasien yang dirawat dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JamKesMas) maka tidak tersedia sarana kateter vena sentral untuk pasien tersebut.

Monitoring

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, monitoring hemodinamik ketat merupakan hal yang penting selama bedah saraf. Hal ini meliputi monitoring ketat tekanan darah arterial beat-to-beat dan ECG untuk mendiagnosis ada tidaknya iskemik miokard dan aritmia. Juga pemantauan pulse oximetry (untuk deteksi ada tidaknya hipoksia sistemik), etCO2 (sebagai suatu trend monitor untuk PaCO2 dan untuk membantu mendeteksi adanya emboli udara vena), juga monitoring temperatur (misalnya esofageal atau kandung kemih) merupa-kan monitoring standar. Pemasangan kateter kandung kemih untuk monitor pengeluaran urin.1,9

Monitoring TIK preoperatif untuk operasi tumor supratentorial biasanya jarang digunakan saat ini karena pengaruh kortikosteroid telah dapat menu-runkan TIK sebelum dioperasi serta kemampuan teknik anestesi modern untuk mengontrol TIK selama induksi. Selama intraoperatif, sekali dura dibuka, maka TIK sama dengan 0 (dan MAP = CPP), menyebabkan monitoring TIK jarang digunakan. Monitoring TIK post operatif dapat membantu untuk membedakan/differential diag-nosis pada pasien-pasien yang tidak dapat di-bangunkan dari anestesi sesudah operasi. Untuk semua penggunaan tersebut, melihat bentuk kurva TIK adalah penting untuk memastikan bahwa pengukuran tekanan dapat dilakukan.1,2,4

Induksi Anestesi Obat – obatan dan Tujuan Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan selama induksi anestesi untuk bedah saraf supratentorial adalah kontrol ventilasi (hindari hiperkapnia dan hipoksemia, penetapan awal hiperventilasi ringan), kendali simpatik dan tekanan darah (misalnya dengan kedalaman anestesi yang adekuat, pemberi-an antinosiseptif untuk mencegah perburukan SSP), serta pencegahan obstruksi vena-vena kranialis (po-sisi kepala). Tiopental atau propofol dapat diberi-kan pada permulaan, dan opioid bersama-sama dengan hiperventilasi gentle, diberikan sebelum intubasi.

23Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Tabel 3. Saran induksi anestesi untuk operasi intra kranial

1. Ansiolisis yang adekuat di kamar operasi. Loading (5 to 7 mL/kg of NaCl 0.9%). Pasang monitor EKG, capnometer, pulse oximeter, dan tekanan darah noninvasif. Pasang jalur vena dan arteri dengan anestesi lokal.

2. Induksi anestesi umum : Fentanyl 1 to 2 µg/kg atau sufentanil atau remifentanil. Preoksigenasi dan minta pasien melakukan hiperventilasi. Propofol 1,25-2,5 mg/kg atau tiopenton 3 - 6 mg/kg untuk induksi. Pelumpuh otot Nondepolarisasi: vecuronium, rocuronium, atau cisatracurium. Ventilasi kendali dengan target PaCO2 35 mm Hg Propofol 50 -150 µg/kg/min atau isofluran 0,5% - 1,5% (atau sevofluran atau desfluran) untuk analgesia fentanyl, (atau alfentanil, sufentanil, atau remifentanil) 1 - 2 µg/kg/jam (atau bolus).

3. Intubasi.

4. Anestesi lokal atau remifentanil interavena 0,5 - 1 µg/kg untuk pemasangan skull-pin atau insisi kulit.

5. Posisi head-up adekuat, tidak ada kompresi vena jugular.

6. Relaksasi otak : bila perlu Mannitol 0,5 -0,75 g/kg.

Insersi drain lumbar. Normovolemia dengan NaCl 0,9% atau starch 6%, jangan RL.

Pelumpuh Otot Pelumpuh otot nondepolar hanya memiliki sedikit efek terhadap hemodinamik intraserebral. Sehingga dipertimbangkan pemberian suksinilkolin hanya untuk pasien-pasien dengan kemungkinan kesulitan intubasi atau ketika induksi dengan cara rapid-sequence induction mutlak diperlukan. Suksinil dapat menyebabkan peningkatan sementara pada CMR, CBF, dan TIK, sekalipun beberapa pening-katan tersebut biasanya dapat dikendalikan dengan hiperventilasi atau dengan mendalamkan anestesi dan merupakan konsekuensi terutama pada pasien-pasien yang sebelumnya sudah menga-lami peningkatan TIK.1,2

Memposisikan Pasien

Pemasangan pin holder merupakan stimulus nosiseptik terkuat. Hal tersebut harus dibarengi dengan blokade nyeri yang adekuat dengan mendalamkan anestesi dan pemberian analgesia kuat (bolus remifentanil 0,25 - 1 µg/kg, fentanyl 1 - 3 µg/kg atau alfentanil 10 - 20 µg/kg) atau anestesia (misalnya bolus tiopental intravena 1 mg/kg atau propofol 0,5 mg/kg), terutama yang lebih dipilih adalah penggunaannya bersamaan dengan infiltrasi anestetik lokal pada tempat penusukan pin untuk mencegah perburukan SSP yang tidak diinginkan dan aktivasi hemodinamik. Sebagai alternatif, kendali hemodinamik dapat dicapai dengan obat – obat antihipertensi seperti esmolol (1 mg/kg) dan labetalol (0,5-1 mg/kg). Insersi pin juga dapat menimbulkan emboli udara vena. 1,2 ,13

Posisi pasien harus diamati secara cermat oleh seorang akhli anestesi dan ahli bedah, dan posisi yang berlebihan harus dihindari. Perhatian khusus harus ditujukan untuk memberi bantalan atau melindungi dan memfiksasi daerah yang kemung-kinan terkena cedera karena tekanan, abrasi, atau pergerakan, seperti jatuhnya ekstremitas. Posisi kepala sedikit head-up akan membantu drainase vena. Pipa endotrakeal harus difiksasi dan diberi packing. 1

Pemeliharaan Anestesi

Tujuan

Tujuan utama anestesi selama pembedahan supratentorial adalah yang pertema untuk mengen-dalikan otak yang tegang melalui pengendalian pada CBF dan CMR (disebut konsep penarikan otak kimiawi/chemical brain retractor concept) dan yang kedua adalah neuroproteksi melalui pemeli-haraan lingkungan intrakranial secara optimal.

Pilihan Teknik

Terdapat kontroversi selama ini mengenai penggunaan obat-obat intravena dibanding inhalasi untuk prosedur-prosedur intrakranial. Sejauh ini, tidak ada penelitian yang membandingkan obat intravena dengan inhalasi berdasarkan neuro-anestesi yang dapat menunjukkan perbedaan hasil yang bermakna.1

Saat ini, pilihan utama untuk tetap menggunakan teknik anestesi inhalasi cukup berhasil. Dengan teknik ini kondisi pulih sadar dapat dicapai dengan cepat. Sampai saat ini belum ada anestetika inhalasi yang betul-betul ideal untuk neuroanestesi.

Tabel 4. Konsep Retraktor Otak Secara Kimia

Hiperosmolaritas ringan (gunakan NaCl 0.9% [304 mOsm/kg] sebagai infus dasar; berikan mannitol 20% [1245 mOsm/kg] 0,5 – 0,75 g/kg atau hypertonic saline [7,5%, 2498 mOsm/kg] 2 - 4 mL/kg sebelum pengeluaran flap kranium)

Obat anestesi intravena (propofol), kedalaman anestesiayang adekuat

Hiperventilasi ringan, hiperoksigenasi ringan

Hipertensi ringan terkendali :MAP dipertahankan sekitar 100 mm Hg untuk mengurangi CBV dan TIK

Normovolemia; tidak boleh berikan vasodilators Hiperoksia ringan

• Posisi Head-up untuk memberikan drainase vena

serebral yang bebas hambatan; tidak boleh ada penekanan pada vena jugularis

• Positive end-expiratory pressure minimal

• Kedalaman anestesi yang adekuat atau pelumpuh otot untuk mencegah bucking terhadap ventilator

• Drainase lumbar • Hindari retraktor otak

CBV = Cerebral Blood Volume TIK = Tekanan Intrakranial

Anestesia untuk Kraniotomi Tumor Supratentorial

24 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

IV. Simpulan Anestesi untuk tumor supratentorial membutuhkan suatu pengertian mengenai patofisiologi dari penekanan tekanan intrakranial (TIK) lokal maupun secara keseluruhan; pengaturan dan pemeliharaan perfusi intraserebral; bagaimana menghindari akibat pengaruh sekunder dari sistemik terhadap otak.

Persiapan perioperatif yang cermat dan terstruktur sangat penting pada penanganan anestesi untuk tumor supratentorial, yang meliputi persiapan pasien preoperasi, persiapan kelengkapan obat, alat, dan monitoring, serta perencanaan pelaksanaan anestesi sampai dengan pananganan pasca operasi.

Daftar Pustaka 1. Bruder N, Ravussin P. Supratentorial Masses:

Anesthetic Consideration. Dalam: Cottrell JE, Young WL (Eds). Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. USA: Mosby Elsevier; 2010: 218 – 41.

2. Bruder N, Ravussin P. Anesthesia for Supratentorial Tumors. Dalam: Newfield P, Cottrell JE (Eds). Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins;2007,111-32.

3. Zorzi F, Saltarini M, Bonassin P, Vecil Angelis DP, Monte AD. Anesthetic Management in Awake Craniotomy. Review. Signa Vitae, 2008; 3 (1) : 528 – 32. Available in http://www.signavitae.com

4. Meyer FB, Bates LM, Goerrs SJ, Friedman JA.

Windschitl WL, Duffy JR, et.al.. Awake Craniotomy for Aggressive Resection of Primary Gliomas Located in Eloquent Brain. Original Article. Mayo Clin Proc, 2001 ; 76 : 677 – 87.

5. Smith M, Hirsch NP. Pituitary Disease and Anaesthetic. Br J of Anaesth, 2000 ; 85 (1) : 3 – 14.

6. Gelb AB, Craen RA, Rao GSU, Reddy KRM, Megyesis, Mohanti D, et.al. Does Hyperventilation Improve Operating Condition

During Supratentorial Craniotomy? A Multicenter Randomized Crossover Trial. Neurosurgical Anaesthiology. Anaesth Analg 2008 ; 106 (2) : 585 – 94.

7. Rao GSU. Anaesthetic Management of Supratentorial Intracranial Tumours. The Indian Anaesthetist’s Forum. Oct, 2005; 2 : 1 – 9. Available in http://www.theiaforum.org

8. Sabbagh AJ, Al-Yamani M., Bunyan RF,

Takrouri MSM, Radwa SM et.al.. Neuroanesthesia Management of Neurosurgery of Brain Stem Tumor requiring Neurophysiology Monitoring in an iMRI OT Setting. Technical Report. Saudi J. Anaesth, 2009; 3 (2) : 91 – 3. Available from http://www.saudija.org on August 29, 2011.

9. Sivanaser V, Manninen P. Preoperative Assessment of Adult Patients for Intracranial Surgery. Review Article. Hindawi Publishing corporation. Anesthesiology research and practice. 2010 ; 2010 : 1 – 11.

10. Grady K, Raphae J. Intrathecal Drug Delivery for the Management of Pain and Spascifity in Adults; Recommendations for Best Clinical Practice. The British Pain Society. September, 2008 : 1 – 40.

11. Ture H, Sayin M, Karlikaya G, Bingol CA,

Aykac B, Ture U et.al. The Analgesic Effect of Gabapentin as a Prophylactic Anticonvulsant Drug on Postcraniotomy Pain : A Prospective Randomized Study. Neurosurgical Anaesthesiology and Neuroscience , 2009 ; 109 (5) : 1625 – 32.

12. Black P. Management of Malignant Glioma : role of Surgery in Relation to Multimodality Therapy. Journal of Neurovirology, 1998; 4 : 227 – 36. Available from http://www.jneuroviral.com on August 27, 2011.

13. Tankisi A., Cold GZ. Optimal Reverse Trendelenburg Position in Patients Undergoing Craniotomy for Cerebral Tumors. J Neurosurg, 2007 ; 106 : 239 – 44.

25

MGDGTJCUKNCP"TGUWUKVCUK"LCPVWPI"RCTW"QVCM"*TLRQ+"FGPICP"RQUKUK"VGNWPIMWR"RCFC"RCUKGP"RGFKCVTKM"UCCV"RGPICPIMCVCP"VWOQT"KPHTCVGPVQTKCN"" SUCCESSFULLY OF CARDIO PULMONARY CEREBRAL RESUSCITATION (CPCR) IN PRONE POSITION ON PEDIATRIC PATIENT DURING INFRATENTORIAL TUMOR SURGERY

O"Fyk"Ucvtk{cpvq,+."Vcvcpi"Dkutk,,+"

*) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Eka Hospital Pekanbaru Riau. **) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Abstract Infratentorial tumor is more frequent in children, with sign and symptom of ataxia, cranial nerve disorder, vomiting, headache, decrease of consciousness level and hydrocephalus. Infratentorial tumor usually requires surgical removal. Case report of a 3 year old boy with infratentorial tumor, which depressed the 4th ventricle, undergone craniotomy tumor removal with prone position. When tumor was removed, massive bleeding occurred and caused sudden change in hemodynamic and cardiac arrest. The operation and anesthetic agents were discontinued, followed by Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation (CPCR) in prone position with resuscitation drugs (i.e adrenalin and sulfas atropin), as well as blood and fluids to replace the intravascular volume. After approximately 10 minutes of CPCR, hemodynamic was stable. Operation was continued to close operation wound. Post operation, patient was admitted to ICU and being treated with mechanical ventilation under sedation with continues propofol and vecuronium. On the 3rd day, re-operation was conducted to establish the previous operation as planned. The patient was admitted to the ICU post operatively. During management in ICU, hemodynamic was stable and the patient woke up on the 4th day with motoric squele on his left body side. In conducting an infratentorial tumor removal, an anesthesiologist should be aware for the risk of massive bleeding durante operation which could manipulate hemodynamic. There for special preparation and tight monitoring are required during the operation. In this case, CPCR can be done in limited position (prone position). Keyword: Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation, Infratentorial Tumor, Prone Position

JNI 2012; 1 (1):25-31 Cduvtcm"Tumor infratentorial merupakan tumor yang paling sering ditemukan pada anak-anak dengan gejala klinis antara lain ataksia, kelainan saraf kranial, muntah, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan hidrosefalus. Umumnya tumor infratentorial memerlukan tindakan bedah. Kasus seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor infratentorial yang mendesak ventrikel IV, dilakukan tindakan craniotomy tumor removal dengan posisi telungkup. Saat tumor diangkat terjadi perdarahan dan menyebabkan perubahan hemodinamik sampai henti jantung yang berlangsung sangat cepat, kemudian operasi dan seluruh obat anestesi dihentikan, dilakukan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) dalam posisi telungkup dengan pemberian obat resusitasi (adrenalin dan sulfas atropin), dan melakukan pengisian intravaskuler volume (pemberian cairan dan darah), setelah dilakukan RJPO selama 10 menit hemodinamik kembali stabil. Tindakan operasi dilanjutkan untuk menutup luka operasi. Post operasi pasien di rawat di ICU dengan ventilasi mekanik (propofol dan vecuronium kontinu), pada hari ke 3 dilakukan operasi kembali untuk menyempurnakan operasi yang telah dilakukan. Post operasi pasien dirawat kembali di ICU, selama perawatan hemodinamik stabil, hari ke 4 pasien sadar dengan sequele motorik pada sisi tubuh sebelah kiri. Pada operasi pengangkatan tumor infratentorial, salah satu risiko yang dapat terjadi yaitu perdarahan masif selama operasi yang dapat mempengaruhi hemodinamik. Diperlukan persiapan dan pengawasan ketat selama operasi. Pada kasus ini, RJPO tetap dapat dilakukan pada posisi yang terbatas (posisi telungkup).

Kata Kunci: Posisi Telungkup, Resusitasi Jantung Paru Otak, Tumor Infratentorial.

LPK"4234="3"*3+<47/53"

26 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I." Pendahuluan Tumor infratentorial (dibawah tentorium cerebral) atau tumor fossa posterior adalah tumor otak yang berada dalam atau dekat dengan dasar tengkorak di fossa posterior yang merupakan tempat yang sempit dalam tengkorak, berisi batang otak dan otak kecil/serebelum. Batang otang terdiri dari midbrain, pons, dan medulla oblongata. Serebelum adalah bagian otak yang bertanggung jawab terhadap pergerakan seseorang. Jika suatu tumor tumbuh di daerah ini maka akan menyebabkan penghambatan aliran cairan spinal dan menyebabkan peningkatan tekanan kranial dan medula spinalis. Kebanyakan tumor infratentorial merupakan kanker otak primer.1-9.

Tumor fossa posterior lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu 54% - 70%, sedangkan pada dewasa sekitar 15% sampai 20%, dan sampai saat ini belum dapat diketahui penyebab dan faktor resiko yang berhubungan dengan tumor ini. Tumor fossa posterior seperti medulloblastoma, pineoblastoma, ependymomas, primitive neuroecto-dermal tumors (PNETs), dan astrocy-tomas di cerebellum dan di batang otak, sering terjadi pada anak-anak.1-9.

Gejala awal dari tumor infratentorial ini seperti ataxia atau berjalan yang tidak terkoordinasi dengan baik, mengantuk, sakit kepala, mual muntah. Gejala juga dapat terjadi karena tumor merusak/mendesak struktur lokal seperti saraf kranial, antara lain berupa dilatasi pupil, deviasi mata, kelemahan saraf wajah, hilangnya pendengaran, hilangnya sensasi pada bagian dari wajah, gangguan rasa kecap, sulit berjalan dan gangguan pada lapang penglihatan.1-9.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada riwayat dan pemeriksaan fisik yang di ikuti dengan pemeriksaan radiologi Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan dengan MRI merupakan pemeriksaan terbaik untuk melihat daerah fossa posterior.

Tindakan pembedahan merupakan terapi utama pada tumor fossa posterior, walau tumor ini bersifat jinak. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tumor dapat menekan struktur sekitarnya, dan menimbulkan akibat seperti hidrosefalus dan penurunan kesadaran. Tidak ada terapi medikamentosa untuk tumor ini, tetapi pemberian diuretika dan kortikosteroid sebelum pembedahan hanya berguna untuk mengurangi edema sekitar tumor.

Operasi fossa posterior dapat dilaksanakan dengan suatu posisi tertentu seperti posisi duduk (sitting position), posisi telungkup (prone position), posisi lateral decubitus, posisi park bench (semi prone), posisi terlentang (supine position) dengan berbagai akibat yang terjadi karena posisi tersebut, seperti resiko emboli udara vena (Venous Air Embolism/VAE) dan sumbatan aliran vena jugular.

Pada tindakan pembedahan yang dekat dengan nucleus di batang otak dapat mengakibatkan gangguan autonomik yang hebat. Adanya refleks vagal yang jelas dapat menjadi tanda operasi dekat nukleus batang otak, dan kadang-kadang dapat terjadi asistol. Ini sering diikuti dengan suatu refleks simpatik yang pada keadaan hemodinamik tertentu dapat menyebabkan bradikardi hebat dan hipotensi sampai ke takikardi dan hipertensi pada kondisi selanjutnya. Selain reflek vagal dapat juga terjadi asistole, hal ini dapat disebabkan karena tindakan operasi ataupun hipovolume akibat perdarahanan masif, maka tindakan resusitasi jantung paru otak (RJPO) harus segera dilakukan yaitu dengan pengisian kembali volume cairan intravaskuler, dan tindakan RJPO dapat dilakukan secara posisi telungkup, dengan memberi ganjal yang ditempatkan tepat di depan dada pasien. Tindakan RJPO terlungkup mempunyai beberapa keuntungan seperti kejadian fraktur iga yang dapat mencederai jantung jarang terjadi, lidah jatuh ke depan karena gravitasi sehinggan jalan napas terbuka secara spontan. 10,11,12.

Teknik anestesi yang baik untuk operasi pengangkatan tumor infratentorial adalah dengan mempertahankan Cerebral Prefusion Pressure (CPP) yang baik, relaksasi otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik (tekanan darah atau irama), dengan persiapan dan monitoring yang baik selama perioperatif. Brain protection atau proteksi otak merupakan serangkaian tindakan yang penting dan menjadi perhatian setiap anestesiologist, juga harus selalu dilakukan pada setiap operasi bedah saraf, yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Prinsip proteksi otak adalah meningkatkan pasokan oksigen, menurunkan metabolisme otak dan menghentikan proses yang dimulai akibat adanya iskemia, yaitu dengan Basic Methodes / metode dasar ; jalan nafas bebas dan lancar, oksigenasi adekuat, cegah hiperkarbia, pengendalian tekanan intrakranial, tekanan darah, tekanan perfusi otak, kejang; farmakologi; hipotermi; dan kombinasi hipotermia dengan farmakologi. Proteksi otak harus dilakukan pada seluruh periode perioperatif. 1-9.

27Jurnal Neuroanestesia Indonesia

II. KASUS Seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor infratentorial telah dilakukan tindakan craniotomy tumor removal pada tanggal 18 Februari 2011.

Pasien dirujukan dari rumah sakit lain ke Eka Hospital Pekanbaru dengan penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum dirujuk, dari rujukan pasien langsung dirawat di PICU dan di rencanakan operasi esok harinya. Tiga minggu sebelumnya pasien telah dilakukan pemasangan VP-shunt karena hidrosefalus karena tumor infratentorial. Sebelum dilakukan operasi pemasangan VP-shunt pasien mengeluh sakit kepala yang hilang timbul, mual dan muntah, dan kalau berjalan sempoyongan.

Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak sakit berat, berat badan 15 kg. Kesadaran: GCS = E3M4V2. Mata : pupil bulat isokor, ukuran OD 3mm OS 3mm, Reflek cahaya kanan dan kiri baik. Respirasi : jalan napas tidak ada sumbatan/patent, spontan, frekuensi nafas 11kali/menit dan pada auskultasi suara nafas bronkhovesikuler, ditemukan ronki pada kedua lapang paru juga lendir di jalan nafas. Sirkulasi : tekanan darah 112/71 mmHg, laju nadi 95kali/ menit, dan auskultasi bunyi jantung normal tidak ditemukan murmur. Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah tampak hemiparese kiri, untuk sensibilitas sulit dinilai.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah didapatkan kadar hemoglobin 10.6g/dL, hematokrit 33.1%, hitung leukosit 10.600/mm3 dan trombosit 387.000/mm3, Na 134mmol/L, Kalium 2 mmol/L, Chlorida 96 mmol/L, Calsium 8.52 mg/dL, Magnesium 1.36mg/dL, Glukosa 100 mg/dL, PT 11.8 detik, INR 1.03 detik, aPTT 36,5 detik, Analisa Gas Darah : PH 7.55, PO2 257.1mmHg, PCO2 41.1mmHg, TCO2 36.1mEq/L HCO3 34.9mEq/L BE 11.4mEq/L, SaO2 99.9%. Secara klinik tidak didapat kelainan karena langsung ke OK untuk operasi.

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan foto thoraks didapatkan kesan jantung dalam batas normal dan paru bronkopneumoni dupleks. Kesimpulan hasil MSCt: massa solid, hipointens (T1 flair) di fossa posterior, ukuran 6,7cm x 4,7cm x 4,8cm dengan permukaan massa yang iregular. Pada T2 flair tampak edema sekitar massa. Post kontrast; massa tampak mengalami penguatan nyata, tidak homogen dengan area hipointens ditengahnya. Masa berasal dari

hemiserebellum kiri yang meluas ke sekitarnya. Ke anteromedial massa mendesak ventrikel IV sehingga menyempit. Deviasi struktur garis tengah kekanan. Ventrikel lateral kanan dan kiri, Ventrikel III mulai melebar. Suspek medulo-blastoma.

Status fisik ASA 3 dengan penurunan kesadaran dan bronkhopneumonia dupleks, hipokalemi, hiponatremi ringan. Sikap: prinsip setuju untuk tindakan anestesi, siapkan ijin anestesi, sedia darah PRC 400cc atau sesuai dari operator, siapkan alat dan bahan pemasangan Central Venous Catheter (CVC) serta surat ijin untuk pemasangan CVC tersebut, Koreksi Kalium 10mEq dalam NaCl 0,9% 100cc habis dalam 5 jam, Post operasi pasien ke ICU dengan pemasangan ventilator.

Manajemen Anestesia

Pra Anestesi

Direncanakan anestesi umum dengan pemilihan obat induksi dengan propofol, fentanil, intubasi difasilitasi pelumpuh otot vecuronium. Rumatan dengan Isofluran, Oksigen, Air, vecuronium. Cairan intravena dengan Ringer laktat, NaCl 0,9%, Koloid dan persiapan packed red cell (PRC). Pemasangan CVC dilakukan setelah induksi.

Di kamar operasi :

• Pasien tiba di kamar operasi pukul 13.30 wib, pasien telah terpasang infus dengan cairan RL pada tangan kanan dengan IV kateter no.24. Dipasang monitor EKG, non invasif blood presurre/tensimeter kontinyu, pulse oksimetri, kateter urin sudah terpasang. Tanda vital awal tekanan darah 119/72mmHg, laju nadi 80x/mnt, saturasi O2 100% dengan udara ruangan.

• Dilakukan induksi dengan propofol 30mg, fentanil 50mcg, fasilitasi intubasi dengan vecuronium 2mg setelah onsetnya tercapai, maka dilakukan laringoskopi dan intubasi dengan pipa endotrakheal non kinking no.4,5 balon pada sudut kanan bibir dengan kedalaman 15cm. Lalu ETT dihubungkan ke ventilator dengan modus Pressure Control Ventilation (PCV). Lalu dipasang mayo dan difiksasi.

• Mata diberi salep, dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis.

• Dipasang CVC di vena jugularis kiri. Kemudian dihubungkan dengan transfusi set serta cairan NaCl 0,9% 500cc.

• Pasien diposisikan telungkup, dengan diberi ganjalan bantal di depan dada dan pinggul sehingga perut dapat bebas saat dilakukan

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) denganPosisi Telungkup pada Pasien Pediatrik saat Pengangkatan

Tumor Infratentorial

28 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

ventilasi kontrol. Kepala diposisikan sedikit fleksi dan disesuaikan dengan operator, kepala bertumpu pada donat. Mata diposisikan jangan sampai tertekan dan ETT jangan sampai tertekuk.

• Lima menit sebelum pemasangan pin diberikan fentanyl 20mcg,

• Sebelum dilakukan insisi kulit juga diberikan fentanyl 20mcg

• Rumatan anestesi dengan Isofluran : 0,8Vol%, O2 : 0,5L/menit, Air : 0,5L/menit, ventilasi kontrol dengan vecuronium 1mg/jam dengan menggunakan syring pump.

• Selama 2 jam, operasi berlangsung baik dengan hemodinamik dan respirasi stabil.

• Jam 15.45; Saat tumor akan diangkat sedikit demi sedikit, mulai terjadi perdarahan yang berlangsung terus menerus hingga 1500mL dan terjadi perubahan hemodinamik yaitu tekanan darah mulai menurun, operator diberi tahu mengenai kondisi pasien dan perdarahan yang terjadi.

• Jam 16.30 terjadi henti jantung yang berlangsung sangat cepat, dan pada saat itu kegiatan operasi dan seluruh obat anestesi di hentikan, nafas dikontrol secara manual dengan O2 4L, bersamaan dilakukan RJPO dalam posisi pasien masih tetap telungkup, diberikan sulfas atropine total 1mg karena tidak berespon di tambahkan adrenalin dengan total pemberian 16mg bersamaan itu dilakukan juga pengisian volume intravaskuler dengan pemberian kritaloid 2000cc dan koloid (gelofusin) 1000cc serta Packed Red Cell / PRC atau sel darah merah 400cc. Setelah dilakukan RJPO selama 10 menit hemodinamik kembali stabil. Tindakan operasi segera dilanjutkan untuk menutup luka operasi dengan jahitan situasi.

Post operasi

• pasien di rawat di ICU untuk mengistirahatkan otak dengan mengontrol pernapasan dengan ventilasi mekanik modus PCV untuk itu diberi propofol 20mg/jam dan vecuronium 1mg/30menit, analgetik morfin 40mcg/ kgbb/jam, support diberikan dopamine 10mcg/kgbb/menit. Pemeriksaan laboraturium darah rutin, AGD, GDS, PT/aPTTdan elektrolit, kemudian bila dari hasil laboraturium tidak sesuai rentang nilai normal dilakukan koreksi.

• Setelah 6 jam vecuronium dihentikan namun propofol dan morfin tetap diberikan. Ketika napas sudah mulai ada maka modus ventilator di ubah menjadi SIMV-PC. Topangan

dopamin diturunkan bertahap sesuai dengan kondisi hemodinamik.

• Pada hari ke 3 dilakukan operasi wound closer, untuk menyempurnakan operasi yang telah dilakukan.

• Post operasi pasien dirawat kembali di ICU, selama perawatan hemodinamik stabil, hari ke 4 pasien sadar, dengan sequele motorik pada sisi tubuh sebelah kiri. Pasien dipindahkan ke ruang HCU dan dirawat selama 5 hari, kemudian dipindah rawat ke ruang perawatan.

• Diruangan perawatan pasien dirawat selama 8 hari, dan karena alasan finansial pasien pulang atas permintaan sendiri. Pasien dipulangkan dengan kondisi saat itu kesadaran kompos mentis, GCS: E4M6V5, dengan kesan hemiparese sinistra. Pemeriksaan darah rutin Hb:12.2g/dL, Lekosit:16500 /µL, Hematokrit: 36.90%, Trombosit: 875000 µL, Na: 136 nmol/L, K:4,7nmol/L, Cl:96 nmol/L.

• Hasil PA : 23/feb/2011 adalah : Histologi sesuai dengan Mixed germ cell tumor, dominasi yolk sac tumor dengan fokus karsinoma embrional

III. Pembahasan Tumor fossa posterior atau tumor infratentorial merupakan tumor yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Perkembangan tumor ini dapat menekan struktur sekitarnya dan menimbulkan gejala seperti hidrosefalus dan penurunan kesadaran serta kematian akibat herniasi batang otak. Pembedahan merupakan terapi utama pada tumor fossa posterior, walau tumor ini bersifat jinak dan menjadi tantangan tersendiri bagi anestesiologist, manajemen anestesi adalah menurunkan tekanan intrakranial dan melakukan proteksi otak.

Gambar 1. Fossa Posterior

29Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Persiapan anestesi yang baik pada setiap operasi sangat diperlukan. Persiapan meliputi kondisi pasien, tehnik anestesi yang akan dilaksanakan serta persiapan alat yang akan dipakai dengan tujuan mencegah hal-hal dikhawatirkan terjadi, juga melakukan tindakan segera bila komplikasi dari tindakan itu terjadi. Pada kasus ini persiapan yang dilakukan adalah pemasangan CVC, sebagai akses mengukur kecukupan volume intravaskuler, juga sebagai akses pemberian cairan atau darah. Arteri line tidak dipasang karena tidak memungkinkan untuk itu, walau diketahui bahwa pemasangan arteri line ini sangat penting karena dapat mengetahui perubahan hemodinamik denyut per denyut, untuk menggantikan itu digunakan monitor hemodinamik yang non invasif (NIBP) secara kontinyu setiap 2,5 menit.

Gambar 2. Massa berasal dari hemiserebellum kiri

yang meluas kesekitar. Ke anteromedial massa mendesak ventrikel IV sehingga menyempit

Posisi pasien telungkup harus diberi ganjalan bantal tepat di depan dada dan pinggul sehingga perut dapat bebas saat dilakukan ventilasi kontrol. Kepala diposisikan sedikit fleksi dan disesuaikan dengan operator, kepala bertumpu pada donat namun tetap harus diperhatikan aliran darah vena jugularis jangan sampai terjadi sumbatan, bila terjadi maka akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial. Mata diposisikan jangan sampai tertekan, karena operasi ini memerlukan waktu yang relatif lama, maka bila hal ini terjadi dapat menimbulkan kebutaan karena terjadi oklusi dari arteri retina sentralis dan ischaemic optic neuropathy. Pipa endotrakheal jangan sampai tertekuk karena bila hal ini terjadi maka akan terjadi gangguan ventilasi dan terjadi peningkatan PaCO2 sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, selain itu tehnik anestesi yang dipakai harus bersifat proteksi otak yaitu dengan metode dasar: jalan napas yang terjaga patensinya, ventilasi kendali dan sirkulasi yang stabil dengan tercapainya normotensi, normovolum, isoosmolar dan normoglikemi. Penggunaan obat-obatan yang dapat menekan CMRO2 dan mencegah peningkatan cerebral blood flow (CBF) seperti propofol, fentanyl, vekuronium, isofluran O2 dan Air, tidak menggunakan N2O. karena tidak terpasangnya termometer selama operasi berlangsung untuk pengukuran suhu inti tubuh, maka metode hipotermi ringan (34-35oC) tidak dapat dilakukan dengan baik.

Pemberian analgetik fentanyl sebelum pemasangan pin dan insisi kulit bertujuan mencegah terjadinya lonjakan hemodinamik yang dapat mengganggu sirkulasi darah otak dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi.

Grafik 1 : Monitoring hemodinamik dan saturasi selama operasi

Saat tumor diangkat sedikit demi sedikit, mulai terjadi perdarahan yang berlangsung terus menerus hingga 1500mL dan terjadi perubahan hemodinamik yaitu tekanan darah mulai menurun, saat ini operator diberi tahu mengenai kondisi pasien dan perdarahan yang terjadi. Ketika terjadi henti jantung, segala kegiatan operasi dan seluruh obat anestesi di hentikan, nafas dikontrol secara manual dengan O2 4L, diikuti dengan tindakan

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) denganPosisi Telungkup pada Pasien Pediatrik saat Pengangkatan

Tumor Infratentorial

30 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

RJPO dengan posisi tetap telungkup dan pengisian volume intravaskuler.

Gangguan Kardio-respirasi dapat terjadi karena adanya penekanan pada batang otak. Perdarahan yang terjadi pada saat pengangkatan tumor ini dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang sangat cepat hingga dapat terjadi henti jantung. Hal ini

menjadi tantangan tersendiri bagi anestesiologist Bila hal ini terjadi tindakan RJPO harus segera dilakukan. Seperti pada kasus ini, henti jantung terjadi kemungkinan karena penekanan pada daerah batang otak saat melakukan pengangkatan tumor atau/dan dapat terjadi karena perdarahan yang masif yang menimbulkan hipovolume intravaskuler dengan akibatnya henti jantung.

Gambar 3. PALS (Pulseless Arrest Algorithm).

31Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Tatalaksana resusitasi yang dilakukan pada kasus ini sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan AHA13 2010, dengan melakukan pijat jantung paru, walau dengan posisi telungkup dan pemberian epineprin serta sulfas atropine, juga melakukan resusitasi cairan dengan kristaloid, koloid dan darah, segera sebagai pengganti perdarahan yang masif dan bersifat akut. Posisi terlentang tidak dapat dilakukan karena daerah operasi masih terbuka atau belum dilakukan penutupan kulit, selain itu kepala pasien masih terfiksasi dengan pin.

IV. Simpulan Salah satu risiko yang akan terjadi pada operasi pengangkatan tumor infratentorial, yaitu perdarahan yang masif selama operasi yang dapat mempengaruhi hemodinamik, sehingga persiapan dan pengawasan yang ketat selama operasi sangat diperlukan. Proteksi otak harus selalu dilakukan pada setiap operasi bedah saraf. Bila terjadi perubahan hemodinamik bahkan henti jantung, tindakan RJPO tetap harus dilakukan walau pasien masih pada posisi telungkup.

Daftar Pustaka. 1. Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman E.

Neuroanestesi. Edisi-2. Bandung: Saga Olahcitra; September 1997.

2. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Edisi-2. Bandung: Saga Olahcitra; Januari 2011

3. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for Neurosurgery. Dalam: Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006, 91-116.

4. Duffy C. Anesthesia for Posterior Fossa Surgery. Dalam: Matta BF, Menon DK. Turner JM, editor. Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care. London: Greenwich Medical Media Ltd ; 2000, 267-80.

5. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for Posterior Fossa Surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell J, editor. Handbook of Neuroanesthesia, 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 133-42.

6. Al-Shatoury HAH , Galhom AA, Engelhard HH. Posterior Fossa Tumors. From http:emedicine.medscape.com /article/249495.

7. Craen RA, Pellerin H. Anesthesia for Fossa Posterior Lesion. Dalam: Gupta AK, Gelb

AW, editor. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2008, 119-24.

8. Matta BF, Menon DK. Turner JM. Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care. London: Greenwich Medical Media Ltd; 2000.

9. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and Co-Existing Disease, 4th edition, Philadelphia: Churchill livingstone Pennsyslvania; 2002, 145-53.

10. Cave DM, Chair, Gazmuri RJ, Otto CW, Vinay MN, Cheng Adam. CPR Techniques and Devices. In Supplement to Circulation. From http://circ.ahajournals.org /cgi/content/full/ 122/18_suppl_3/S720.

11. Yien HW. Is the Upside-down Position Better in Cardiopulmonary Resuscitation? J Chin Med Assoc. Taiwan: Elsevier; May 2006, 69 (5): 199-201.

12. Wei J, Tung D, Sue SH, Wu SV, Chuang YC, Chang CY. Cardiopulmonary Resuscitation in Prone Position: A Simplified Method for Outpatients. J Chin Med Assoc. Taiwan: Elsevier; May 2006, 69 (5): 202-06.

13. Kleinman ME, Chameides L, Schexnayder SM, Samson RA, Hazinski MF, Atkins DL, et al. Pediatric Advanced Life Support:2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122:S876-S908.

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) denganPosisi Telungkup pada Pasien Pediatrik saat Pengangkatan

Tumor Infratentorial

32

CPGUVGUKC"WPVWM"QRGTCUK"U[TKPIQO[GNKC"E4/9"FGPICP"RGP[WNKV"QDGUKVCU""FCP""FKCDGVGU"OGNNKVWU"VKRG"KK" ANESTHESIA FOR C2-7 SYRINGOMYELIA SURGERY WITH COMORBID OBESITY AND DIABETES MELLITUS TYPE II Dgvv{"Tqqukcvk,)."Dcodcpi"L"Qgvqtq,,) *) Rumah Sakit Karya Medika I, Cibitung Bekasi **) Rumah Sakit Mayapada, Tangerang "Abstract Syringomyelia refers to the cystic cavitation of the spinal cord. Two main forms of syringomyelia have been described: communicating syringomyelia and non communicating syringomyelia. In communicating syringomyelia, there is primary dilatation of the central canal that is often associated with abnormalities at the foramen magnum such as tonsillar herniation (Chiari malformation) and basal arachnoiditis. In non communicating syringomyelia, a cyst arieses within the cord substance itself and does not communicate with the central canal or subarachnoid space. This patients is clasified as communicating syringomyelia due to Chiari malformation. Obesity and diabetes mellitus type II as comorbid in this case. The surgery was done under general anesthesia, prone position uneventfull. Keywords: Anesthesia, Arnold Chiari Malformation, diabetes mellitus, obesity, syringomielya

JNI 2012; 1 (1):32-38

"Cduvtcm"Syringomyelia adalah kista pada medulla spinalis. Ada dua bentuk utama dari syringomyelia yaitu communicating syringomyelia dan non communicating syringomyelia. Communicating syringomyelia adalah dilatasi primer dari kanalis sentralis dan sering berhubungan dengan abnormalitas pada foramen magnum, misal herniasi tonsillar (Chiari Malformasi) dan arachnoiditis basal. Non communicating syringomyelia, kista berasal dari medulla spinalis dan tidak berhubungan dengan kanalis sentralis atau ruang subarachnoid. Pasien ini termasuk golongan communicating syringomyelia karena adanya Chiari malformasi. Obesitas dan diabetes mellitus tipe II sebagai comorbid. Operasi dilakukan dengan anestesi umum dalam posisi prone.

Kata Kunci: Anestesia, Arnold Chiari Malformasi, diabetes mellitus, obesitas, syringomielia.

LPK"4234="3"*3+<54/5:"

I." Pendahuluan Syringomyelia adalah kista pada medulla spinalis, dan disebut juga syrinx. Kista ini dapat meluas dalam waktu yang lama dan merusak medulla spinalis. Kerusakan akan menyebabkan nyeri, paralysis, lemah, kaku pada punggung, bahu dan ekstremitas. Syringomyelia bisa juga menyebabkan hilangnya kemampuan ekstremitas untuk mera-sakan panas atau dingin terutama pada tangan, gangguan pada umumnya kehilangan sensasi nyeri dan temperatur sepanjang punggung dan tangan.1

Gejala ini bervariasi tergantung dari perluasan kista. Di Amerika diperkirakan 40.000 penduduk menderita syringomielia, yang gejala-gejalanya mulai tampak pada dewasa muda. Gejala cenderung berkembang lambat, tapi bisa terjadi secara tiba-

tiba, misal karena batuk, tegang/straining atau myelopati.1

II." Laporan Kasus Seorang laki-laki 45 tahun datang dengan keluhan kesemutan kedua lengan, Berat Badan 100kg, tinggi badan 170 cm.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : GCS: 15 Tanda-tanda vital : tekanan darah 137/75 mmHg,

laju jantung 70x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 36,8o C.

Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin 15,7 gr%, hematokrit 47%, leukosit 18.300/mm3, trombosit

33Jurnal Neuroanestesia Indonesia

240.000/mm3, ureum 45 mg/dl, kreatinin 1,3 mg/dl, gula darah puasa pada awalnya 353 mg/dl dan sudah diberi insulin, sewaktu akan operasi gula darah puasa 131mg/dl, AST 23 unit/l, ACT 125 unit/l, Natrium 137 mEq/l, kalium 4,9 mEq/l, khlorida 101 mEq/l, kalsium 8,7 mEq/l.

Foto Thorax : Bronkhopneumonia dupleks, DD/ Bronkhitis, jantung dalam batas normal.

Elektrokardiografi : Infark miokard inferior lama. Sinus rithme.

M.R.I non kontras : Kesan : Suspek Arnold Chiari

malformasi disertai syringomyelia.

Tidak tampak infark/pendarahan/masa intrakranial, sinusitis ringan maksilaris ethmoidalis bilateral.

M.R.I. Cervical dengan kontras : Masa fusiform kistik intra meduller spinalis setinggi C2 – C7 disertai herniasi serebellar tonsil. Kesan: Arnold Chiari tipe I disertai syringomyelia.

Gambar MRI dengan kontras

Tindakan : suboccipital dekompresi syringomiostomi C2 – C7

Penatalaksanaan anestesi:

Koinduksi: midazolam 5 mg intravena dan fentanyl 50 mcg intravena. Induksi: propofol 180 mg intravena. Intubasi: ETT nomor 8 (non kinking) difasilitasi vecuronium 10 mg intravena ditambah fentanyl 150 mcg intravena

Pemeliharaan:

Dexmedetomidine : 0,2 mcg/kg BB/jam Fentanyl : 1 mcg/kg BB/jam Vecuronium : 0,06 mg/kg BB/jam

Propofol : 3-5 mg/kg BB/jam Semua dilakukan dengan pompa semprit. Sevofluran 1-3 Volume %, O2 : air =1 l/menit ; 1 l/menit

Ventilator diatur dengan TV 700 cc, RR:12 kali/ menit , I : E = 1:2. End tidal CO2 + 31 mmHg.

Pasien mempunyai diabetes mellitus, waktu induksi gula darah 131 mg/dl dan selama operasi gula darah terkontrol dengan insulin pada pompa semprit.

Operasi berlangsung selama 240 menit dan pembiusan selama 335 menit. Selama operasi menggunakan vecuronium 32 mg, propofol 1500 mg, dexmedetomidine 100 mcg, fentanyl 500 mcg. Selama operasi kardiovaskular relatif stabil, tekanan darah sekitar 90/50-130/70 mmHg, laju nadi sekitar 60-90 kali/menit, saturasi sekitar 99-100 %. Jumlah cairan yang masuk ringer asetat 500 ml, ringer fundin 2000 ml, gelofusin 500 ml, total cairan 3000 ml, jumlah pendarahan sekitar 200 ml, jumlah urine 1000 ml.

Post operasi pasien masuk ICU dengan pernafasan masih memakai ETT/T piece. Di ICU selama dua hari dengan kardiovaskular stabil.

III." Pembahasan

Gejala-gejala dari syringomyelia yaitu nyeri punggung, sakit kepala, stiffness/kaku, lemah atau nyeri pada punggung, bahu, lengan atau kaki. Hilangnya kemampuan untuk merasakan panas atau dingin, pada eksremitas terutama pada tangan. Syringomyelia merupakan gangguan karena adanya kista pada medulla spinalis. Kista ini disebut juga sebagai syrinx. Meluas dalam waktu yang lama dan merusak pusat medulla spinalis. Karena medulla spinalis berhubungan dengan otak juga saraf-saraf pada ekstremitas maka kerusakan pada medulla spinalis akan menyebabkan gejala-gejala seperti tersebut di atas. Gejala-gejala lainnya yaitu mempengaruhi pengeluaran keringat, gangguan fungsi seksual dan kontrol terhadap vesika urinaria dan usus.1

Ada dua bentuk utama dari syringomyelia yaitu communicating syringomyelia dan non communi-cating syringomyelia. Communicating syringo-

Anestesia untuk Operasi Syringomyelia C2-7 denganPenyulit Obesitas dan Diabetes Mellitus Tipe II

34 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

myelia adalah dilatasi primer dari kanalis sentralis dan sering berhubungan dengan abnormalitas pada foramen magnum, misal herniasi tonsillar (Chiari Malformasi) dan arachnoiditis basal. Non commu-nicating syringomyelia, kista pada medulla spinalis dan tidak berhubungan dengan kanalis sentralis atau non subarachnoid.2

Pada pasien dengan post traumatik syringomielia, pada permulaan gejalanya berupa nyeri terutama waktu batuk, bersin, kemudian paresthesia mati rasa, hilangnya rasa sakit atau panas, parese sampai atrofi. Dengan syringo-peritoneal shunting dari cairan serebrospinalis akan membantu menghilang-kan nyeri.3,4

Arnold Chiari Malformasi Tipe 1 adalah malformasi kongenital umumnya asimptomatik selama masa kanak-kanak, sering manifes dengan sakit kepala dan gejala serebelar (herniasi dari tonsil serebelar), gejala-gejalanya sakit kepala dan diperburuk dengan valsava manuver (misalnya membuka mulut lebar-lebar, tertawa, berteriak, batuk, bersin, tegang) gejala lain yang mungkin ditemukan tinitus, pusing, vertigo, nausea, nystagmus, nyeri fasial, kelemahan otot, membu-ruknya refleks muntah, sleep apnea, disfagia, memburuknya koordinasi, pupil dilatasi, di-sautonom, takikardi, sinkope.5

Gangguan aliran cairan serebrospinalis bisa menyebabkan bentuk syrinx akhirnya menjadi syringomielia. Gejala medula spinalis misalnya tangan lemah, hilangnya sensorik, pada kasus berat bisa terjadi paralisis. Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan neurologis dan MRI. Kriteria radiografik untuk diagnosis kongenital Chiari malformasi adalah herniasi ke bawah dari tonsil serebelar lebih dari 5 mm di bawah foramen magnum.5

Pada kongenital yang akan berkembang kemudian sebagai syringomyelia yang kadang-kadang tidak terdeteksi. Pada salah satu kasus, keadaanya tidak aktif dan tidak terdeteksi beberapa bulan atau tahun sampai timbul gejala-gejala yang cukup menggang-gu, sehingga mencari pengobatan. Tapi beberapa orang dengan syringomyelia tidak terdiagnosis sampai usia pertengahan.6,7

Arnold Chiari malformasi ini paling banyak menyebabkan syringomyelia yaitu kelainan anato-mik, dimana bagian bawah dari serebellum menon-jol ke cervical atau bagian leher dari kanalis spinalis. Syrinx akan berkembang pada regio cervi-cal dari medulla spinalis. Syrinx ini disebut juga sebagai communicating syringomyelia. Gejala-gejalanya akan tampak pada usia antara 25 – 40

tahun. Akan memburuk bila ada ketegangan atau kelelahan, atau beberapa aktifitas yang menyebab-kan tekanan cairan serebro spinalis mengalami fluktuasi yang tiba-tiba. Tetapi pada beberapa pasien stabil dalam waktu yang lama. Pada bebera-pa pasien juga ada gangguan berupa hidrosefalus dimana cairan serebro spinalis akan menumpuk di kepala. Pada arachnoiditis (membran arachnoid yang menutupi medulla spinalis mengalami peradangan) bisa menyebabkan hidrosefalus. Pada beberapa kasus syringomyelia adalah familial tetapi jarang.3

Sejumlah kondisi medis yang menyebabkan obstruksi aliran cairan serebro spinalis yang normal akan mempengaruhi medulla spinalis, yaitu berupa kista yang berisi cairan serebro spinalis. Perbedaan tekanan sepanjang kollumna vertebralis menyebab-kan cairan masuk ke dalam kista. Ini di percaya dengan pergerakan yang kontinyu cairan, sehingga kista membesar dan kemudian merusak medulla spinalis dan saraf-saraf penghubungnya.3

Pada pasien ini penyebabnya adalah kongenital karena adanya Arnold Chiari malformasi dan gejala-gejala yang tampaknya timbul setelah dewasa.

Posisi pasien selama operasi tengkurap dengan kepala dipasang pin. Kemungkinan tekanan pada mata, pipi, bibir bisa disingkirkan. Tekanan pada dada, genetalia sudah dicegah dengan diberi tempat untuk pergerakan dada dan genetalia sudah diberi bantalan lunak, walaupun pada pengaturan pada posisi tengkurap agak sulit karena pasien obesitas dengan berat badan100 kg.

Diabetes Mellitus

Pada dewasa, normal sel β pulau langerhans pankreas akan mengeluarkan 50 unit insulin perhari, kecepatan sekresi insulin primer ditentukan oleh kadar glukosa plasma. Insulin paling penting sebagai hormon anabolik dan mempunyai efek metabolik yang multipel yaitu meningkatkan glukosa dan kalium masuk ke dalam lemak dan sel otot, meningkatkan sintesa glikogen, protein, dan asam lemak. Menurunkan glikogenolisis, glukoneo-genesis, ketogenesis, lipolisis dan katabolisme protein.6

Pada diabetes mellitus yang khas adalah adanya perburukan dari metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh defisiensi yang absolut atau relatif dari insulin atau insulin yang tidak respon akan menyebabkan hiperglikemi dan glukosuria. Diagno-sis ini berdasarkan pada glukosa plasma puasa > 140 mg/dl. Atau glukosa darah 126 mg/dl.6

35Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Nilai glukosa darah 12-15 % lebih rendah daripada glukosa plasma. Diabetes mellitus dibagi menjadi empat tipe:6

1. Tipe 1: defisiensi absolut insulin sekunder diperantarai imun atau idiopatik

2. Tipe II: timbul waktu dewasa, sekunder terhadap resistensi-relatif defisiensi

3. Tipe III: tipe spesifik dari diabetes mellitus sekunder terhadap defek genetik

4. Tipe IV: gestasional

Akhir-akhir ini American Diabetes Association (ADA) dan World Health Organization (WHO) telah mempublikasikan kriteria diagnostik untuk diabetes mellitus yang baru yaitu tipe 1: destruksi sel beta pankreas, tipe 2 defek sekresi insulin biasanya resisten terhadap insulin ini untuk mengganti istilah yang salah tentang insulin dependent dan non insulin dependent.7

Diagnosis DM menurut ADA yaitu pada individu asimptomatik nilai plasma glukosa sewaktu > 11,1 mmol/L atau jika glukosa plasma puasa > 7 mmol/L (6,1 mmol/L glukosa darah). Tes diulang di hari lain dan diagnosis akan dibuat bila nilai tetap di atas limit ini. Bila glukosa plasma puasa 6,1-7 mmol/L ( 5,6 – 6,1 mmol/L glukosa darah) disebut glukosa darah puasa terganggu.7

Pasien dengan DM yang mengalami pembedahan mempunyai resiko tinggi terjadinya komplikasi perioperatif. Terutama lebih besar resiko terhadap infeksi, metabolik, elektrolit, renal dan jantung selama dan sesudah pembedahan. Tujuan primer dari perawatan perioperatif pasien DM yang mengalami pembedahan ialah aman dan hasilnya efektif tanpa komplikasi. Tahapannya meliputi evaluasi perioperatif, rencana tatalaksana DM sela-ma pembedahan dan perawatan post operatif. Waktu pembedahan juga penting terutama bila ada penyakit penyerta misal jantung, ginjal, atau problem infeksi. Komunikasi dan koordinasi antara ahli endokrin spesialis penyakit dalam dan tim bedah (ahli bedah dan ahli anestesi) penting untuk mendapatkan hasil yang baik.8

Komplikasi DM ada yang akut dan kronis. Komplikasi akut yaitu diabetik ketoasidosis, koma non ketotik hiperosmoler, hipoglikemia. Kompli-kasi kronis berupa hipertensi, penyakit arteri koroner, infark miokard, gagal jantung kongestif, disfungsi dias-tolik, penyakit pembuluh darah serebral dan perifer, neuropati perifer dan otonom dan gagal ginjal.6

Pada neuropati otonom diabetes bisa membatasi kemampuan jantung untuk mengkompensasi peru-bahan volume intravaskular sehingga cenderung kardiovaskular menjadi tidak stabil. Misal terjadi

hipotensi post induksi bahkan bisa terjadi serangan jantung mendadak. Pasien diabetes secara rutin dievaluasi pre operatif terhadap adekuasi sendi temporomandibular dan mobilitas dari vertebra servikal untuk antisipasi terhadap kesulitan intubasi. Masalah ini bisa terjadi kurang lebih 30% dari tipe I DM.6

Kadar HbA1c bisa membantu mengidentifikasi pasien-pasien yang mempunyai risiko besar terhadap perioperatif hiperglikemia, yang akan meningkatkan komplikasi dan memperburuk hasil keluaran. Morbiditas perioperatif dari pasien diabetes berhubungan kerusakan organ vital preoperatif walaupun 1/3-1/2 dari pasien-pasien tipe II DM tidak menyadari akan hal ini. Diperlukan pemeriksaan paru, kardiovaskular, ginjal. Foto thoraks preoperatif pada pasien DM diperlukan untuk melihat apakah ada pembesaran jantung, pelebaran pembuluh darah paru atau efusi pleura. Pada EKG preoperasi pasien DM insidensi meningkat ST segmen dan gelombang T segmen. Iskemik miokard dibuktikan dengan EKG walaupun tidak ada riwayat iskemik (silent miocard ischemic dan infarction).6

Pasien diabetes dengan hipertensi mempunyai kemungkinan 50% disertai neuropati diabetes otonom. Gejala klinik neuropati diabetes otonom:6

• Hipertensi • Iskemia miokard tanpa nyeri • Hipotensi ortostatik • Kekurangan dari variabilitas denyut jantung • Penurunan respon laju jantung terhadap atropin

dan propanolol • Takikardi saat istirahat • Early satiety • Neurogenik bladder • Banyak keringat • Impotensi

Tidak berfungsinya refleks dari sistem saraf otonom akan meningkat pada umur tua, DM > 10 tahun, penyakit arteri koronaria atau blokade beta adrenergik.6

Insiden neuropati diabetes otonom akan meningkat bila bersama-sama digunakan angiotensin converting enzym inhibitor atau angiotensin receptor blokers. Selain itu disfungsi otonom menyebabkan lambatnya pengosongan lambung (gastrofaresis).6

Premedikasi dengan antasid dan metoklopramid hati-hati terutama pada pasien DM obesitas dengan gejala-gejala dari disfungsi kardio otonom. Meski-pun demikian disfungsi otonom dapat mem-pengaruhi traktus gastrointestinal tanpa beberapa gejala dari jantung.6

Anestesia untuk Operasi Syringomyelia C2-7 denganPenyulit Obesitas dan Diabetes Mellitus Tipe II

36 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Disfungsi ginjal manifestasi pertama kali berupa proteinuria selanjutnya baru terjadi kenaikan serum kreatinin. Pasien tipe I DM paling banyak terjadi gagal ginjal pada usia 30 tahun. Tingginya insidensi infeksi berhubungan sistem imun maka harus benar-benar aseptik pada pemasangan kateter IV dan monitor yang invasif.6

Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan glikosilasi dari jaringan protein dan terbatasnya mobilitas sendi. Pasien DM secara rutin akan dinilai pada preoperasi: adekuwasi sendi temporomandibular dan mobilitas dari vertebra servikal untuk mengantisipasi kesulitan intubasi dan terjadi kira-kira 30% dari tipe I DM.6

Pada foto thoraks pasien ini ditemukan kelainan bronkhopneumonia dupleks dengan DD bronkhitis. Jantung dalam batas normal. EKG ditemukan infark miokard inferior dan normal sinus ritme. Ini sesuai dengan penderita tipe II DM.

Tujuan primer pengaturan gula darah intraoperatif adalah menghindari hipoglikemia walaupun usaha untuk memelihara euglikemia tidak bijaksana tapi tidak dapat diterima bila kehilangan kontrol terhadap gula darah karena bila > 180- mg/dl juga membawa risiko. Hiperglikemia dihubungkan dengan hiperosmolar, infeksi dan penyembuhan luka yang kurang baik. Yang lebih penting tejadinya perburukan status neurologik setelah iskemia serebri. Dan hasil yang kurang baik sesudah operasi jantung atau sesudah infark miokard.6

Jika tidak hiperglikemia diterapi dulu secara agresif pada tipe I pasien DM, mungkin akan kehilangan kontrol metabolisme terutama pada operasi besar atau sepsis.6

Pada pasien ini sewaktu akan induksi kadar gula darah 131 mg/dl. Selama operasi tiap jam dicek kadar gula darah dan kadar gula darah tersebut dipertahankan dengan insulin dengan pompa semprit. Relatif tidak ada kenaikan gula darah yang berarti selama operasi.

Meskipun demikian, sebagai catatan bahwa ketergantungan otak sebagai suplai energi sehingga penting bahwa hipoglikemia harus dihindari.

Monitoring ketat kadar gula darah harus dilakukan pada post operatif. Pada pasien ini selanjutnya dilakukan secara skala sliding di ICU dan diper-tahankan di bawah 200 mg/dl.

Obesitas

Klasifikasi overweight dan obesitas menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh)

Overweight bila IMT > 24 kg/m2

Obesitas bila IMT > 30 kg/m2 Ekstrim obesitas (morbid obesitas) bila IMT > 40 kg/m2

Risiko kesehatan akan meningkat sesuai dengan derajat obesitas dan dengan distribusi abdominal yang tinggi.6,11,12 Juga berdasarkan ukuran pinggang, bila laki-laki > 40 inchi dan bila perempuan > 35 inchi.13

IMT: berat (kg) [tinggi (meter)]2

Pada pasien ini tinggi badan 170 cm, berat badan 100 kg IMT: 100 = 100 = 34,6 kg/m2

(1,7)2 2,89

Pada pasien ini termasuk obesitas karena IMTnya mencapai > 30 kg/m2.

Jaringan adiposa yang berlebihan pada thoraks akan mengurangi elastisitas dinding thoraks walaupun elastisitas paru tetap normal. Bila massa abdomen meningkat akan menekan diafragma ke kranial akan mempengaruhi volume paru sehingga terjadi penyakit paru restriktif. Pengurangan volume paru akan lebih jelas dengan posisi supine dan Trelendenburg. Khusus kapasitas residual fungsio-nal bisa turun di bawah closing capacity bila ini terjadi maka beberapa alveoli akan menutup selama volume ventilasi tidal normal, bisa menyebabkan gangguan ventilasi/perfusi yang tidak cocok.6

Sindroma hipoventilasi obesitas (dulu Pickwickian syndrome) adalah komplikasi yang ekstrim dari obesitas yaitu: hiperkapnia, sianosis yang disebab-kan oleh polisitemia, gagal jantung kanan dan somnolen. Pada pasien obese ternyata mempunyai blunted respiratory drive dan pada waktu tidur mengorok keras serta obstruksi saluran nafas bagian atas (obstuctive sleep apnea syndrome [OSAS]). Pasien sering melaporkan adanya mulut kering, bangun sebentar dikarenakan henti nafas sejenak (apneu pause). 6

Obstuctive Sleep Apneoea Syndome (OSAS) yaitu episode apnea sekunder terhadap faring yang kolaps terjadi selama tidur. Insiden OSAS meningkat karena obesitas dan umur yang meningkat.12

Gambarannya berupa:12

• Frekuensi apnea atau hipopnea selama tidur, > 5x/jam atau > 30x/malam. Disini secara klinik signifikan episode apnea > 10 penghentian aliran udara walaupun secara kontinyu ada usaha untuk melawan henti nafas.

37Jurnal Neuroanestesia Indonesia

• Ngorok • Somnolen pada siang hari karena dihubungkan

dengan turunnya konsentrasi dan sakit kepala di pagi hari.

• Perubahan patologik: hipoksemia (menyebabkan sekunder polisitemia), hiperkapnia, vasokon-striksi sistemik atau vasokontriksi pulmoner (menyebabkan gagal ventrikel kanan)

OSAS dihubungkan juga kenaikan komplikasi perioperatif yaitu hipertensi, hipoksia, aritmia, infark miokard, edema paru dan stroke. Kesulitan pengaturan jalan nafas selama induksi dan obstruksi jalan nafas bagian atas selama masa pemulihan harus diantisipasi. Keadaan ini lebih mudah terjadi selama post operasi bila pasien diberikan opioid atau sedatif dan bila ditempatkan dengan posisi supine akan membuat jalan nafas bagian atas lebih mudah obstruksi. Untuk pasien yang sudah diketahui atau suspek OSAS post operatif harus dipertimbangkan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) sampai dokter ahli anestesinya yakin pasien dapat memproteksi jalan nafasnya sendiri dengan adanya nafas spontan tanpa adanya obstruksi.6

Kerja jantung juga akan meningkat yaitu cardiac output dan volume darah akan meningkat untuk tambahan perfusi simpanan lemak. Kenaikan pada cardiac output (0,1 l/m/kg dari jaringan lemak) dicapai dengan kenaikan pada stroke volume untuk melawan laju jantung dan sering menyebabkan hipertensi arterial dan hipertrofi ventrikel kiri. 6,13

Kenaikan pada aliran darah ke parui dan vasokonstriksi arteri pulmonalis dari persisten hipoksi dapat menyebabkan hipertensi pulmonalis dan cor pulmonale. 6

Obesitas secara proporsional menyebabkan kenaikan konsumsi O2 dan produksi CO2 sekunder terhadap metabolisme lemak.13

Obesitas juga dihubungkan dengan patofisiologi gastrointestinal yaitu meliputi hernia hiatal, reflux gastroesofageal, pengosongan gaster yang lambat, hiperasiditas cairan gaster dan kenaikan risiko terhadap Ca gaster.6,12,13

Infiltrasi lemak pada hepar bisa juga terjadi, diketahui dengan tes fungsi hati yang abnormal. Tapi perluasan infiltrasi tidak berkorelasi dengan derajat abnormalitas tes fungsi hati.6,12

Pada pasien obese akan meningkatkan risiko aspirasi pneumoni. Maka rutin diberikan H2 antagonis dan metoclopramid. Hindari pemberian obat-obatan yang mendepresi respirasi pada pasien hipoksia, hiperkapnia, OSAS. Pada injeksi IM

sering tidak dilakukan karena tebalnya jaringan lemak. Evaluasi preoperatif dari pasien dengan obese yang ekstrim dan akan dilakukan operasi besar diusahakan menentukan cadangan cardio pulmoner dengan foto thoraks, EKG, analisa gas darah, tes fungsi paru.6

Gejala fisik klasik dari gagal jantung (misal edema sakral) mungkin sulit diidentifikasi. Tekanan darah harus dilakukan dengan cuff yang sesuai. Pada foto thoraks pasien ini ditemukan kelainan bronkho-pneumonia dupleks dengan DD bronkhitis. Jantung dalam batas normal. EKG ditemukan infark miokard inferior dan normal sinus ritme. Tekanan darah sekitar 137/75 mmHg (masih dalam batas normal). Akses intra vena dan intra arterial dicek ulang untuk antisipasi dalam kesulitan teknik. 6

Pada pasien obese sering sulit waktu intubasi karena terbatasnya pergerakan dari sendi tempo-romandibular dan atlantooksipital, jalan nafas bagian atas yang sempit dan jarak antara mandibula dan jaringan lemak pada sternum yang pendek.6

Pada pasien ini juga ada gangguan pada akses intra vena setelah posisi prone namun dapat diatasi.

Karena risiko aspirasi maka pada pasien obesitas intubasinya lebih cepat (pada anestesi umum). Ventilasi terkontrol dengan volume tidal lebih besar sehingga memberikan oksigenasi yang lebih baik daripada nafas spontan. Bila ada kesulitan intubasi maka intubasi bisa dengan keadaan sadar dan diintubasi dengan fiberoptik bronkhoskop sangat dianjurkan.6

Kemungkinan suara nafas sulit untuk didengar. Memerlukan deteksi volume tidal akhir CO2 bahkan ventilasi kontrol memerlukan relatif konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi untuk mencegah hipoksia terutama pada litotomi, Trendelenburg atau posisi prone. Pada obesitas yang ekstrim penambahan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) akan memperburuk hipertensi paru.6

Pada pasien ini posisi prone ventilasi kontrol dengan TV (tidal volume) 700. Laju nafas: 12 x/menit. I:E = 1:2. O2:R = 1 l/m: 1 l/m. Sevoflurane 1-3 vol %. ET CO2 + 31. Saturasi sekitar 99-100%. Tidak ada masalah pada pernafasan.

Kegagalan pernafasan adalah problem utama dari pasien obese ekstrim. Risiko dari postoperasi hipoksi dapat meningkat dari hipoksia preoperasi dan dari bidang bedah terutama bila dengan insisi vertikal. Ekstubasi harus ditunda sampai efek dari NMBA sudah hilang dan pasien sepenuhnya sadar. Pada pasien obese harus tetap diintubasi sampai

Anestesia untuk Operasi Syringomyelia C2-7 dengan Penyulit Obesitas dan Diabetes Mellitus Tipe II

38 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

tidak ada keraguan akan kelancaran jalan nafas dan volume tidal yang teratur. Ini tidak berarti bahwa semua pasien obese harus tetap di ventilator sepanjang malam di ICU. Jika pasien di ekstubasi di ruang operasi, oksigen harus diberikan selama transport hingga ruang pemulihan. Posisi duduk berdiri 450 akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi dan oksigenasi. Risiko hipoksia memanjang sampai beberapa hari postoperasi sehingga pemberian oksigen harus secara rutin diberikan. Komplikasi postoperasi yang umum pada pasien obese adalah infeksi luka operasi, trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru.6,12

Pada pasien ini postoperasi dimasukkan ke ICU dengan pernafasan spontan T Piece.Dirawat selama 2 hari di ICU tanpa masalah pernafasan.

Prinsip-prinsip proteksi medula spinalis adalah medula spinalis dalam satu garis lurus, pembedahan, terapi fisiologik (hipotermi sedang, hipertensi, hindari cairan yang mengandung glukosa), farmakologik (kortikosteroid, mannitol, saline hipertonik), dan zat farmakologik lain (ganglioside, tirilazad, naloxone, thyrotropin releasing hormon, dan nimodipin).

IV."Simpulan 1. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip proteksi

medula spinalis, pengelolaan untuk syringomyelia dapat dilaksanakan dengan lancar.

2. Pemahaman patofisiologi obesitas membantu mengatasi masalah perioperatif.

Daftar Pustaka 1. Syringomielia Fact Sheet. National Institute

of Neurological Disorder and Stroke. 2011

2. Stier GR, Gabriel CL, Cole DJ. Neurosurgical Diseases and Trauma of the Spine and Spinal Cord: Anesthetic Considerations. Dalam: Cottrell JE, Young WL. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed; Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010. 343-87

3. Caplan LR, Norohna AB, Amico LL. Syringomyelia and arachnoiditis. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1999; 53:106-13.

4. McLean DR, Miller J DR, Allen PBR, Ezzedin SA. Post traumatic syringomyelia. Journal of Neurosurgery 1973; 39: 485-92.

5. Dantu P, Pasuluri S. Arnold Chiari malformation type I with syringomielia a serial imaging study. International Journal of Biological & Medical Research 2011, 2(4): 1181-3.

6. Morgan GE Jr, Mikhail MS, Muray MJ. Anesthesia for patients with endocrine disease. Dalam: Clinical Anesthesiology. 4th ed; New York: Mc Graw Hill; 2007, 802-15.

7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic management of patients with diabetes mellitus. Br. J Anaesth 2000;85;80-90.

8. Schiff RL, Wels GA. Perioperative evalution and management of the patient with endocrine dysfunction. Medical clinics of North America 2003; 87: 1-15.

9. Seyoum B, Berhanu P. Profile of diabetic ketoacidosis in a predominantly african american urban patient population. Ethmicity & Disease 2007; 17.

10. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hiperglycemic hyperosmolar syndrome 2002; 15(1): 28-36.

11. Candiotti K, Sharma S, Shankar R. Obesity, obstuctive sleep apnoea and diabetes mellitus: anaesthetic implications. Br. J Anaesth 2009; 103:123-130.

12. Lotia S, Bellany MC. Anesthesia and morbid obesity. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2008; 5: 151-6.

13. Dise KR. Anesthetic challenges of obesity. Journal of Lancester General Health 2011.

39

OCPCLGOGP"CPGUVGUKC"RCFC"CPCM"FGPICP"PCUQHTQPVCN"OGPKPIQGPEGRJCNQEGNG"FCP"HYDROCEPHALUS NON-COMMUNICANT "ANESTHESIA MANAGEMENT FOR A CHILD WITH MENINGOENCEPHALOCELE AND HYDROCEPHALUS NON COMMUNICANT "Gthrtkpuk"Yqjqp."Dcodcpi"Jctklqpq."Ukvk"Ejcupcm"Ucngj"

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD.Dr.Soetomo, Surabaya

Abstract Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with nasofrontal meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision, increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brain prolapse, and risk of infection of the central nervous system. In this report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with nasofrontal meningoencephalocele and hydrocephalus non communican, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Because of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the preoperative visit, time of induction, maintenance of anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include ventilation, intubation and securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal and nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of bloodloss and prevention of hypothermia.

Key words : Anesthesia, Difficult ventilation, Difficult intubation, Nasofrontal Meningoencephalocele, Pediatrics.

JNI 2012; 1 (1):39-43

Cduvtcm"Meningoencephalocele adalah defek kongenital yang sangat jarang, tapi insidennya tinggi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Penderita dengan nasofrontal meningoencephalocele memerlukan koreksi pembedahan sedini mungkin karena adanya kelainan bentuk wajah, gangguan pandangan, bertambahnya ukuran meningoencephalocele disebabkan bertambahnya prolaps cerebri dan risiko infeksi. Dalam laporan ini kami presentasikan kasus seorang bayi 9 bulan dengan meningoencephalocele naso-orbital dan hydrocephalus non communican yang menjalani operasi VP shunt dan eksisi cele. Adanya massa tersebut, baik meningoencephalocele nasofrontal atau frontoethmoidal maupun occipital, menimbulkan kesulitan bagi ahli anestesi mulai saat induksi, pemeliharaan anestesi dan pasca operasinya. Menjadi tantangan bagi ahli anestesi dalam pengelo-laan meningoencephalocele, dimana sebagian besar penderitanya adalah anak-anak yang mempu-nyai kesulitan tersendiri, termasuk mengamankan jalan nafas dengan intubasi dan adanya massa yang akan mempersulit ventilasi saat induksi, adanya massa pada nasofrontal serta nasoethmoidal yang berhubungan dengan komplikasinya dan penilaian yang tepat terhadap perdarahan dan hipotermia.

Kata kunci : Anestesia, Intubasi sulit, Nasofrontal Meningoencephalocele, Pediatri, Ventilasi sulit.

LPK"4234="3"*3+<5;/65" I. Pendahuluan

Meningoencephalocele adalah kelainan kongenital yang banyak didapat di Asia Tenggara. Meningo-cele frontoethmoid adalah jenis yang paling banyak ditemukan dan membutuhkan tindakan pembedah-

an. Di Asia Tenggara (Thailand, Burma dan Cambodia) dan sebagian di India, Russia dan Afrika Tengah, kejadian tertinggi didapatkan 1 penderita dari 3500 kelahiran hidup, dimana ini lebih tinggi daripada di Australia, Amerika Utara, Jepang, Hong Kong dan Eropa Barat dimana

40 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

kejadianya 1 dari 35.000 kelahiran hidup. Lokasi di frontoethmoid adalah jenis meningoencephalocele anterior yang paling sering.1

Bayi dengan meningoencephalocele awalnya nor-mal saat lahir secara neurologis. Bentuk cephalo-cele muncul sebagai nodul subkutan nonkistik yang kecil dan sering tanpa keluhan klinis yang berarti. Lesi ini seperti kantong dan ukurannya bervariasi.2 Penderita dengan mening-oencephalocele anterior memerlukan koreksi pembedahan sedini mungkin karena adanya kelainan bentuk wajah, gangguan visual, bertambahnya ukuran meningoencephalo-cele yang di-sebabkan bertambahnya prolaps cerebri dan risiko infeksi sistem saraf pusat.1

Problem mata dapat dijumpai seperti bertambahnya jarak intercanthus dan interpupil, penurunan visual dan gangguang drainase kelenjar lacrimalis. Serta dapat disertai kelainan neurologis yang lain seperti retardasi mental, hydrocephalus atau epilepsi. 3

Menjadi tantangan bagi ahli anestesi dalam penge-lolaan meningoencephalocele nasoorbital, termasuk mengamankan jalan nafas dengan intubasi dan adanya massa yang akan mempersulit ventilasi saat induksi, serta dengan adanya massa pada naso-frontal atau nasoethmoidal yang berhubungan dengan komplikasinya dan penilaian yang tepat terhadap perdarahan dan hipotermia. 4.5

II. Kasus Seorang bayi perempuan usia 9 bulan dengan berat badan 7,3 kilogram, dengan diagnosa meningo-encephalocele nasofrontal dan hidrocephalus non-communican dijadwalkan untuk operasi eksisi cele dan VP (ventriculo-peritoneal) shunt. Dari anam-nesa didapatkan terdapat massa di hidung sejak lahir, dengan ukuran awal sebesar kacang dan makin lama makin bertambah besar, saat ini massa sebesar telur. Tidak ada defisit neurologis dan gangguan pertumbuhan.

Pemeriksaan Fisik :

Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan kongenital lainnya, pemeriksaan jantung dan sistem pernapasan dalam batas normal. Jalan nafas bebas dengan laju nafas 24 kali per menit, simetris, suara nafas simetris dan tidak terdengar suara ronki maupun wheezing. Nadi 118 kali per menit, regular dan suhu badan 37oC. Penderita sadar dan aktif dengan gerak tangis kuat, dan panjang FOC (Fronto-Occipito Circumference) 48 cm. Didapat-kan hipertelorisme karena massa nasoorbital dan pupil isokor. Ukuran massa sekitar 8x7x5 centimeter.

Pemeriksaan Laboratorium

Dari hasil laboratorium, hemoglobin 11,3 mg/dl, hematokrit 34,3 dan hasil pengukuran laboratorium lainnya dalam batas normal.

Gambar 1. Pre-operative, naso-frontal meningoencephalocele

41Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Gambar 2. CT scan

Tidak didapatkan kelainan neurologis. CT scan menunjukkan meningoencephalocele frontoethmoid dan hidrocephalus non-communican.

Pembedahan meliputi 2 prosedur, yaitu VP (Ventriculo-Peritoneal) shunt dan eksisi cele, sehingga membutuhkan waktu pembedahan yang lama dan persiapan yang baik terutama untuk penderita pediatri.

Persiapan Prabedah Penderita dipuasakan 4 jam sebelum pembedahan untuk tidak minum air putih dan 6 jam untuk tidak makan makanan padat dan susu. Selama puasa dijadwalkan untuk pemberian infus pemeliharaan dengan Dextrose 5% 0,225 Normal Saline, tetapi penderita tidak dapat dipasang infus sampai penderita dibawa ke ruang operasi. Satu kantong darah PRC (packed red cells) disiapkan bila terjadi perdarahan. Obat-obatan darurat disiapkan di ruang operasi. Monitor dengan elektroda elektrokar-diografi, tekanan darah, suhu rectal, dan pulse oxymetri dan stetoskop precordial dipasang sebelum mulai induksi dan alat suction menyala dan siap digunakan. Matras penghangat digunakan untuk menjaga suhu penderita juga dengan membungkus ekstremitasnya dengan under-pad, serta disiapkan menghangatkan cairan infus yang akan diberikan selama operasi.

Pengelolaan Anestesi Penderita diinduksi dengan halotan insuflasi dengan masker O2 100% pada posisi supine, dan kemudian diinfus dengan kateter infus ukuran 24 gauge dilanjutkan cairan pemeliharaan dengan Dextrose 5% 0.225 normal saline. Sulfas atropin 0.1 mili-gram diberikan sebagai premedikasi dan setelah mencapai tahap kedalaman anestesia, penderita diintubasi dengan endotracheal tube tanpa balon

ukuran 4.0 dan kemudian diperiksa suara nafas simetris. Dipastikan kedalaman tube dengan benar dan fiksasi dengan baik pada kedalaman 12 cm dengan plester ketat, setelah itu dilakukan insersi tampon. Penderita diposisikan dengan hati-hati dan kerjasama dengan tim bedah saraf untuk mencegah tube terekstubasi.

Kontrol ventilasi dilakukan manual dengan Jackson Rees dan maintenance anestesia dengan Isofluran 1-1.5% dengan O2 100%. Selama operasi untuk analgetik diberikan Fentanyl total 20 microgram dan Morphin 1 miligram, dan pelumpuh otot digunakan Vecuronium 0.5 miligram.

Gambar 3. Hemodinamik penderita durante operasi

Selama operasi, hemodinamik penderita stabil, tekanan darah sistole 70-80 mmHg dan diastole 20-35 mmHg, nadi 120-135 kali per menit, dan suhu 37.3 – 37.9 oC. Perdarahan total sekitar 125 cc dan diganti dengan 125 cc packed red cell dan cairan pemeliharaan dengan Normal Saline 300 cc dan Dextrose 5% in 0.225 Normal Saline 100 cc. Operasi berlangsung sekitar 7 jam. Setelah operasi dilakukan ekstubasi endotrakheal dan diberikan Metamizole 150 mg untuk analgetik pasca operasi. Ekstubasi dilakukan setelah dihentikan pemberian Isofluran dan refleks-refleks jalan nafas telah kembali. Penderita selanjutnya diobservasi di ruang pulih sadar dan kemudian dipindah untuk observasi di unit perawatan intermediate dengan tidak ada tanda-tanda distres nafas. Penderita membaik dengan cepat dan keluar dari rumah sakit pada lima belas hari kemudian.

III.Pembahasan Optimalisasi preoperatif yang baik sangat diper-lukan untuk meminimalisasi risiko dan mening-katkan keselamatan penderita. Pada kasus ini, masalah preoperatif yang penting adalah massa yang besar dan lunak di hidung atas sampai diantara mata penderita yang membuat kesulitan ventilasi dan intubasi. Pengelolaan jalan nafas pada penderita dengan kelainan kraniofacial memberikan tantangan bagi ahli anestesi, sehingga harus

Manajemen Anestesia pada Anak denganNasofrontalMeningoencephalocele

dan Hydrocephalus Non-Communicant

42 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

direncanakan dengan baik termasuk pengetahuan bagaimana anatomi yang ada akan mempengaruhi saat diberikan ventilasi dengan masker dan intubasi endotrakhea.5 Penderita anak mempunyai volume cadangan yang rendah, sehingga kegagalan intubasi dapat menyebabkan hipoksemia, bradikardi dan bahkan cardiac arrest. Maka diperlukan juga persiapan untuk resusitasi.6 Persiapan alat dan tim yang baik harus disiapkan dengan lengkap. Berbagai macam jenis dan ukuran masker disiapkan dan dipilih yang tepat dan lunak terhadap kulit dan memberi penekanan yang lembut dan hindari trauma pada cele atau kantong.7 Karena adanya massa cele, masker tidak dapat ditempatkan ke hidung penderita seperti biasa. Beberapa teknik dapat digunakan untuk mempertahankan ventilasi yang tepat, diantaranya dengan menggunakan masker dengan cara dibalik atau dipilih masker yang besar sehingga cele dapat ikut masuk didalam masker. Alat bantu seperti orofaring tube harus siap bila diperlukan sewaktu-waktu, juga sumber oksi-gen tambahan melalui naso gastric tube yang dimasukkan ke faring melalui hidung dapat digunakan.

Pemilihan agent untuk induksi dengan halotan dan intubasi non-apnea tepat untuk kasus ini karena ada dugaan kesulitan ventilasi dan intubasi pada penderita tersebut. Pipa endotrakheal tanpa cuff yang non-kinked dan fiksasi yang kuat diperlukan karena area pembedahan di wajah penderita.

Anestesia umum dipilih pada pembedahan ini dan harus dipertahankan anestesia dan analgesia yang adekuat, monitoring ketat respirasi dan kondisi hemodinamik, antisipasi pada setiap masalah yang timbul selama operasi sampai pasca operasi. Selama operasi dilakukan kontrol ventilasi untuk mempertahankan pO2 dan pCO2 yang normal. Status kardiovaskular dan temperatur dimonitor sepanjang operasi, dengan menggunakan tekanan darah, EKG dan suhu rektal secara kontinyu. Karena penderita adalah pediatri yang lebih rentan dan membutuhkan monitoring akurat mengenai perdarahan dan pencegahan hipotermia selama operasi. Menggunakan lampu penghangat inftra merah saat tahap persiapan dan selimut penghangat selama operasi membantu dalam mempertahankan suhu tubuh.4 Halotan insuflasi dan teknik intubasi nonapnea yang dipilih untuk induksi seharusnya memberikan pengaruh minimal pada gangguan hemodinamik. Diperlukan perhatian lebih terhadap perdarahan, mempertahankan suhu tubuh dan komplikasi yang menyertai serta hati-hati meng-amankan posisi pipa endotrakheal. Merupakan tantangan anestesi yang utama dalam pengelolaan meningoncephalocode adalah pengelolaan jalan

nafas, menjaga pipa endotrakheal, penilaian status volume dan pencegahan hipotermi.5,8,9,10 Maka monitoring intensif diperlukan selama operasi untuk estimasi perdarahan dan cairan penggantian-nya. Obat-obat da-rurat harus ditempatkan di tempat yang mudah dijangkau untuk memper-tahankan stabilitas hemo-dinamik selama dan pasca operasi. Nyeri harus dikontrol dengan mengguna-kan analgesik yang tepat.

IV. Simpulan Anestesia pada penderita dengan meningocele dan hidrocefalus non communican memerlukan banyak perhatian khusus sejak preoperatif, induksi, durante operasi dan pasca operasi. Optimalisasi dan persiapan perioperatif yang baik dapat menurunkan risiko dan memperbaiki kondisi penderita serta merupakan strategi terbaik bagi pengelolaan penderita. Pengelolaan kasus meningoencepha-locele termasuk juga mencari kelainan kongenital yang lain, pengelolaan jalan nafas yang baik dan perawatan intraoperatif termasuk penempatan posisi yang tepat dan penggantian cairan perdara-han. Walaupun ahli anestesi bertanggung jawab akan kondisi penderita selama perioperatif, tetapi juga diperlukan kerjasama dengan bagian lain untuk penatalaksanaan penderita dan perhatian khusus terhadap masalah yang mungkin terjadi.

Daftar Pustaka 1. Pinzer T, Lauer G, Gollogly J, Schackert G. A

complex therapy for treatment of frontoethmoidal meningoencephalocele in a developing third world country: neurosurgical aspects. Journal of Neurosergery: Pediatrics. 2006 May;104(5):326-31.

2. Quezado Z, Finkel JC. Airway Management in Neonates with Occipital Encephalocele : Easy Does It. Anesth Analg 2008 October;107(4):1446.

3. Creighton RE, Relton JES, Meridy HW. Anaesthesia for Occipital Encephalocele. Canada Anaesthesia Society Journal. 1974 July;21(4):403-6.

4. Mahajan C, Rath GP. Anaesthetic management in a child with frontonasal encephalocele. Journal of Anaesthetic Clinical Pharmacology. 2010;26(4):570-1.

5. Towfighi J, Sarnat HB. Cephaloceles. Neurology Medlink. 1995 October [updated 2010 Des 12]. Available from : http://www.medlink.com/medlinkcontent.asp

43Jurnal Neuroanestesia Indonesia

6. Singh KV. Giant Occipital Meningoencephalocele : Anaesthetic Implications. The Internet Journal of Anaesthesiology. 2007;13(2). Available from : http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_anesthesiology/volume_13_number_2_1/article_printable/giant_occipital_meningoencephalocele_anaesthetic_implications.html

7. Ahmed N, Ahmed M, Mendolkar S, Mahaldar AMG. Lateral Thoracic Meningocele : Anesthetic Implications. Al Ameen Journal Med Sci. 2008;1(2):136-8.

8. Goel V, Dogra N, Khandelwal M, Chaudhri RS. Management of neonatal giant occipital encephalocele: Anaesthetic challenge. Indian Journal of Anaesthesia. 2010;54(5):477-8.

9. Gordon G. Nasal Encephalocele. Pediatric Anesthesiology – Neonatal Emergencies. 2004 February[cited 2004 Feb 19]. Available from : http://metrohealthanesthesia.com/edu/ped/PBLDNeonate1.htm

10. David DJ. New perspectives in the management of severe cranio-facial deformity. Annuals of the Royal College of Surgeons of England. 1984;66:270-9.

Manajemen Anestesia pada Anak denganNasofrontalMeningoencephalocele

dan Hydrocephalus Non-Communicant

44

CPGUVGUKC"WPVWM"EQTRWU"ECNNQUQVQO[""ANESTHESIA FOR CORPUS CALLOSOTOMY Dcodcpi"Jctklqpq."Ukvk"Ejcupcm"Ucngj"Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif. RSUD.Dr.Soetomo dan Fak. Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya"

"Abstract Corpus callosotomy is most often performed for children with “drop attacks”, or atonic seizure, in which a sudden loss of muscle tone cuases the child fall to the floor. It also performed in people with uncontrolled generalized tonic-clonic, or grand mal, or with massive jerking movement. A 2.5 year-old boys for corpus callosotomy indicated for the treatment of intractable epilepsi. With chief complaint frequent seizure since 4 month old and frequent convulsion 8–10 time per day. Preparing pre operative must be complete including Electroencephalogram and Magnetic Resonance Image (MRI) for detection focal epilepsi. Post operative periode in ICU and than go to ward two day latter. Intensity of seizure decreased more than pre operative condition. Management this patient need serious attention, special cases for children anesthesia and neuroanesthesia. It also need to special prepare for this patient, until to found good outcome.

Keywords: Corpus Callosotomy, Epilepsi, Pediatric Anesthesia.

JNI 2012; 1 (1):44-50 "

Cduvtcm"Corpus Callosotomy sering dilakukan pada anak-anak dengan ”drop attacks” atau atonic seizure, pada anak tersebut secara tiba-tiba tonus otot hilang/ lemas, yang akan menyebabkan anak jatuh kelantai saat berjalan. Juga dilakukan pada seseorang dengan kejang tonic-klonic menyeluruh yang tidak terkontrol dengan terapi obat-obatan, atau Grandmal epilepsi, atau dengan “massive jerking movement”. Seorang anak laki-laki, umur 2,5 tahun, dengan keluhan utama: kejang, 8–10 kali setiap hari, sejak penderita umur 4 bulan. Sudah mendapat terapi dari poliklinik syaraf, kejang hanya berkurang. Dipersiapkan operasi dengan pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan EEG dan MRI. Dilakukan Corpus Callosotomy, post operasi dirawat di ICU selama 2 hari, kemudian pindah ruangan, dan selanjutnya pulang. Intensitas kejang berkurang. Penanganan pada penderita ini terdapat masalah khusus yaitu masalah anestesia pada anak-anak dan masalah neuroanestesia. Memerlukan persiapan operasi yang khusus sehingga dapat menentukan fokus epilepsI dengan tepat dan terapi operasi yang tepat pula.

Kata kunci: Anestesia anak, Corpus Callosotomy, epilepsi. "

LPK"4234="3"*3+<66/72""

I." Pendahuluan Corpus Callosotomy sering dilakukan pada anak-anak dengan “drop attacks” atau atonic seizure, pada anak tersebut secara tiba-tiba tonus otot hilang/lemas yang akan menyebabkan anak jatuh waktu berjalan. Juga dilakukan pada seseorang dengan kejang tonic-klonik menyeluruh yang tidak dapat dikontrol dengan pemberian obat-obatan, atau grand mal epilepsi, atau dengan massive jerking movement.1

Corpus Callosotomy pertama kali dilaporkan pada tahun 1940, oleh Van Wagenen dan Herren, yang mengerjakan 10 penderita untuk operasi dari

Februari sampai Mei, dan kasusnya di tindak lanjuti sampai Juli 1939. Dari pengamatan Van Wagenen, penderita setelah dilakukan corpus callosotomy, kejang general pasien menjadi berkurang dan tidak parah, dan terjadi peningkatan kesadaran.2 Pada tahun 1960, Bogen membuat serangkaian artikel tentang hasil klinis dan neuropsychologi dari tindakan corpus callosotomy.2 Pada tahun 1970, Luessenhop dan kawan-kawan melaporkan seke-lompok pasien yang diterapi dengan corpus callosotomy, sebagai alternatif terapi dari hemis-pherectomy.2

Di Amerika Serikat terdapat 20.000-70.000 orang penduduk sebagai calon bermacam-macam operasi

45Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Epilepsi, dan sekitar 5000 orang per tahun yang dilakukan operasi epilepsi. Antara tahun 1985–1990, lebih dari 800 tindakan corpus callosotomy dilakukan dan terus meningkat sejak itu. Tindakan Corpus callosotomy memerlukan team khusus dan tempat khusus yang merupakan central therapy Epilepsi.1

II." Kasus Seorang anak laki-laki usia 2,5 tahun, berat badan 17 kg, dengan keluhan utama (hetero anamnesa orang tua): setiap hari sering kejang sampai 8–10 kali, kejang diderita sejak umur 4 bulan. Keluhan lain: kaki sering kram bila dibuat berjalan sehingga penderita terjatuh. Sudah berobat jalan ke Poliklinik Syaraf, mendapat terapi syrup Depakene. Saat ini pasien kejang 4–5 kali sehari, kejang berupa kepala dan badan merunduk mendadak sampai penderita jatuh.

Riwayat perkembangan anak: mengangkat kepala umur 3 bulan, tengkurap umur 6 bulan, berjalan usia 2 tahun, sampai saat ini belum pandai bicara.

Pemeriksaan Fisik:

Pemeriksaan kedua paru dalam keadaan normal, pernafasan 24 kali per menit. Sistem sirkulasi; suara jantung normal, tekanan darah 110/60, nadi 100 /menit, suhu 36,8 ⁰ C, kesadaran: GCS 4,5,6. Terdapat gerakan involunter. Pemeriksaan sistem gastro intestinal dan ekstrimitas tidak ada kelainan.

Pemeriksaan Laboratorium:

Hb ; 11,6 gr%, Leukosit : 9500, Thrombosit : 177.000, Hct : 35,3%, BUN: 12,1, Ser.Creatinin: 0,31, Glukosa : 101, PPT 11,2/ 12,8, APTT : 28,1/ 28,7, SGOT : 26, SGPT : 9, Serum Albumin: 3,8; Na : 139, K: 3,4, Cl : 111, Ca: 1,14, Thorax foto: dalam batas normal.

Pemeriksaan MRI:

Kesimpulan: sangat menyokong plexus choroid carcinoma pada ventricle lateral kanan dan kiri, disertai metastase melalui CSF ke cortex frontal, temporal, parietal dan occipital lobe, disertai non communicating hydrocephalus. Multiple cortical lesion (Bilateral Hemispheric Cor-tical Dysplasia). Pemeriksaan EEG:

EEG pada perekaman saat ini abnormal, mengindi-kasikan adanya gangguan fungsional berat yang berpotensi epileptogenik di regio frontal kanan dan disertai adanya potensial epileptogenicity di regio temporal bilateral serta adanya encephalopathy difus derajat sedang. Bilateral temporal dan frontal epilepsi zone.

Hasil konsultasi ke Bagian Anak:

Saat ini dibidang kami didapatkan anak dengan Multiple Tube Sclerosis, terapi konservatif. Diagnosa :

- Intractable Epilepsi. - Bihemispheric lesion.

Rencana Operasi: Corpus Callosotomy.

Prosedur Anestesia:

Dipastikan infus berjalan lancar. Dipasang monitor: stetoskop precordial, ECG, tekanan darah non invasif, tekanan darah arterial (setelah induksi), saturasi oksigen. Premedikasi: Midazolam 2 mg, Sulfas Atropin 0,125 mg, intravena sebelum masuk kamar operasi. Posisi slight head up, pre oksigenasi selama 5 menit dengan oksigen 8 liter per menit. Induksi: Propofol 20 mg dan 10 mg waktu akan intubasi, Atracurium 15 mg, Fentanyl 25 µgr, Lidocain 20 mg. Intubasi dengan pipa endotrakheal no. 5, dengan cuff, dipasang tampon mulut. Rumatan anestesi dengan Isofluran dan O2 (50%) dan N2 O (50%), dengan kontrol pernafasan. Analisa gas darah selama operasi: pH : 7,384 ; Pa CO2 :34.3 ; Pa O2 : 95,8 ; BE : -4,6; SpO2 : 98,4 ; Hb: 10,6 ; Hct : 32%. Diberikan Mannitol 20% dengan dosis: 0,5 gr/ kg BB dalam waktu 15 menit, sebelum membuka duramater. Durante operasi ditambahkan bolus Fentanyl 10 µgr dan Atracurium 5 mg. Monitoring selama operasi tekanan darah arteri berkisar antara: 90 / 60 sampai 115/78 dengan nadi antara: 90–115 kali per menit. Operasi berlangsung kurang lebih 2 jam. Selama operasi perdarahan berkisar 150 ml dan produksi urine: 250 ml. Cairan masuk: pre operasi NaCl 0,9% : 250 ml dan durante operasi 400 ml, darah PRC : 100 ml. Setelah tulang dibuka otak tampak slack brain.

Prosedur Pembedahan:

Koagulasi corpus callosum dan dideseksi hingga ke batas ependyma, sehingga tampak ependyma. Dideseksi kearah anterior hingga tampak fornix dan Commissura anterior. Kemudian deseksi dilanjut-kan ke arah posterior hingga tampak trigonum posterior horn dari ventrikel. kemudian deseksi dilanjutkan ke inferior. Identifikasi Splenium dan subarachnoid di bawahnya. Dilakukan biopsi lesi fokal. Rawat perdarahan, tutup duramater, tutup tulang dan jahit kulit. Post operasi :

46 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Kondisi stabil dan sadar dan dapat diperintah, kemudian dilakukan ekstubasi. Post operasi hari pertama di ICU: Nafas spontan, fungsi respirasi dan hemodinamik dalam keadaan stabil normal, kesadaran: sadar baik, lemah, tidak terjadi kejang. Post operasi hari kedua di ICU: Nafas spontan, Fungsi respirasi dan hemodinamik dalam keadaan stabil dan normal, kesadaran: sadar baik ,nangis kuat, terdapat kejang 5 kali dalam 24 jam,dengan intensitas yang berkurang. Terapi yang diberikan : - Antibiotik (Novelmycin). - Obat anti epilepsi (Syrup Depakene 3 x 5 cc) - Anti emetic. - H2 blocker antagonis. - Dexametason. - Analgetik. Hari ke tiga pindah keruangan intermediat dan kemudian pindah keruangan.

III." Pembahasan Tindakan Corpus Callosotomy adalah salah satu cara untuk terapi epilepsi. Karena penyakit dasarnya epilepsi, maka kita perlu mengetahui garis besar epilepsi dan segala permasalahannya.

Definisi Epilepsi

Kejang epilepsi adalah manifestasi klinis dari aktivitas abnormal yang berlebihan dan atau hypersynchronous neuron di kortex serebral. Ciri dari kejang ini merefleksikan fungsi dari area cortical dimana kegiatan abnormal ini berlangsung dan bagaimana proses penyebarannya. Kejang epilepsi dapat berkorelasi dengan elektropsikologi yang dapat dicatat pada kulit kepala dengan menggunakan electroencephalogram (EEG).3

Epilepsi adalah gangguan khronis yang disebabkan oleh berbagai proses patologis di otak dan ditandai oleh serangan epilepsi. Epilepsi merupakan gejala yang ditandai dengan gangguan paroksismal fungsi otak sementara, yang berkembang tiba-tiba, ber-henti secara spontan dan menunjukkan kecen-derungan terus kambuh. Pada wanita hamil juga bisa terjadi serangan epilepsi, insiden muncul pada kisaran 0,3-0,6% pada wanita hamil.5

Insidens epilepsi muncul pada kisaran 0,5% sampai 2% dari total populasi, sedangkan sebanyak 25% - 30% dari penderita epilepsi mengalami kejang lebih dari satu kali dalam satu bulan.3

Klasifikasi Kejang Epilepsi

A. Kejang partial Salah satu jenis kejang epilepsi yakni kejang partial. Kejang partial ini meliputi 3 macam, simple partial (partial sederhana), complex partial (partial kompleks) dan convulsive. Kejang simple partial dapat berkembang menjadi kejang complex partial.3

B. Kejang general

Pada rekaman EEG dapat terlihat keterlibatan secara simultan dari kedua belahan otak dan kesadaran mulai terganggu.3 Kejang ini meliputi: 1. Inhibitory atau non convulsive, seperti

atonic atau absence seizure (Petit mal). 2. Excitatory atau convulsive, yang menghasil-

kan myoclonic, tonic atau clonic seizure.

C. Kejang yang tidak terklasifikasi Jenis kejang yang tidak diketahui penyebab dan letak fokusnya.3

Mekanisme terjadinya Epilepsi

Mekanisme terjadinya epilepsi sangat bervariasi dan termasuk kelainan dalam regulasi sirkuit saraf serta keseimbangan eksitasi dan inhibisi saraf. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya epilepsi dapat berupa genetik, lingkungan atau fisiologis.

Masalah yang terkait antara lain:

• Kelainan psikiatrik. • Rare syndrome: tuberous sclerosis, neurofibro-

matosis, multiple endocrine adenomatosis. • Riwayat terjadinya trauma. • Sleep deprivation.3

Penanganan Epilepsi

Penanganan dengan medikamentosa: dengan peng-gunaan obat anti epilepsi yang banyak macamnya, obat yang diberikan dapat meliputi satu atau dua jenis obat anti epilepsi. Pemilihan obat tergantung pada pertimbangan farmakokinetik, toksisitas, efektivitas, klinis dan jenis epilepsi. Juga diper-timbangkan efek samping obat anti epilepsi yang tergantung pada dosis yang diberikan dan lamanya terapi.3

Penanganan dengan Operasi

Tindakan pembedahan dilakukan pada jenis epilepsi yang kejangnya tidak cukup dikendalikan dengan terapi obat, dan setidaknya telah meng-gunakan dua jenis obat anti epilepsi atau lebih, disebut intractable epilepsi.1

47Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Tindakan pembedahan juga dapat dilakukan pada epilepsi yang refrakter. Epilepsi disebut refrakter jika efek samping yang ditimbulkan oleh obat anti epilepsi tidak seimbang dengan tingkat kontrol kejang yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi pada 5% sampai 30% pasien epilepsi. Sedangkan sekitar 15% sampai 20% dari pasien yang memiliki intrac-table epilepsi termasuk calon pasien yang dapat mendapatkan tindakan operasi.3

Kejang epilepsi disebabkan karena tidak teraturnya penyebaran aktivitas listrik dari satu bagian otak ke bagian lain. Pada umumnya orang dengan epilepsi, ketidak teraturan dimulai dari titik fokus yang jelas yang dapat diidentifikasi dengan pengujian listrik (EEG). Pengobatan dengan bedah pada fokus kejang melibatkan penghapusan daerah otak dimana kejang berasal, biasanya dalam suatu bagian yang disebut temporal lobectomy. Pada kasus lain, mungkin terjadi tidak ditemukannya fokus asal kejang, atau mungkin terlalu banyak fokus kejang untuk dihapus secara satu persatu. Pasien inilah yang paling mungkin untuk dilakukan corpus callosotomy.1

Corpus callosotomy juga diindikasikan untuk pengobatan epilepsi yang intractable.5

Apa yang disebut Corpus Callosotomy ?

Corpus callosum adalah sebuah ikatan dari serat saraf yang terletak jauh didalam otak yang menghubungkan dua bagian hemisphere otak, yang memungkinkan pertukaran informasi antara dua hemisphere otak, tetapi juga berkontribusi pada penyebaran impuls kejang dari satu sisi otak ke sisi otak yang lain melalui corpus callosum. Hal ini dapat mengakibatkan penderita mengalami kejang secara keseluruhan, termasuk drop attack atau atonic seizure. 6,7

Corpus callosotomy merupakan operasi yang memotong corpus callosum, dengan sengaja meng-ganggu penyebaran impuls /kejang dari satu hemisphere otak ke hemisphere otak yang lainnya.

Kejang, umumnya tidak sepenuhnya berhenti setelah prosedur ini. Kejang terus berlangsung di sisi otak dimana focus kejang berasal. Namun, kejang biasanya menjadi berkurang, karena mereka tidak dapat menyebar ke sisi berlawanan dari otak, sehingga akan mengurangi frekuensi kejang secara signifikan.1,6

Tindakan Corpus Callosotomy memerlukan tindak-an membuka otak dengan menggunakan prosedur yang disebut kraniotomi. Setelah penderita dilaku-kan anestesia, ahli bedah membuat sayatan di kulit kepala dan membuka tulang tengkorak dan mem-

buka duramater. Hal ini akan membuat “jendela” dimana ahli bedah memasukkan instrument khusus untuk melepaskan / memotong corpus callosum. Ahli bedah memisahkan secara perlahan belahan otak untuk mengakses corpus callosum. Mengguna-kan microskop bedah untuk memberikan ahli bedah pandangan yang diperbesar dari struktur otak, sehingga tampak lebih jelas.6,7

Sebuah pendekatan alternatif lain dengan meng-gunakan Gamma Knife untuk mengikis secara noninvasif bagian dari corpus callosum tanpa melakukan operasi secara terbuka.7

Dalam beberapa kasus, corpus callosotomy dilaku-kan dalam dua tahap. Dalam operasi pertama, dua pertiga bagian depan dari corpus callosum dipotong, tetapi bagian belakang dicadangkan. Jika ternyata kejang masih belum terkontrol secara serius, maka bagian belakang juga dipotong pada operasi kedua.1,6,7

Persiapan Penderita Praoperasi

Diperlukan sebuah evaluasi lengkap, multidisiplin untuk menilai apakah penderita dapat dinyatakan sebagai calon operasi epilepsi pada umumnya, ataupun corpus callosotomy. Pemeriksaan noninva-sif dan invasif dibutuhkan untuk mengidentifikasi asal aktivitas kejang dan untuk mengevaluasi kelayakan melakukan operasi dengan aman dan resiko terjadinya cedera neurologis dan kognitif minimal. Kemajuan dalam teknik neuroimaging telah mengurangi kebutuhan evaluasi invasif.3

1. Evaluasi Noninvasif: termasuk riwayat terapi medis, penilaian frekuensi, keparahan dan jenis kejang, pemeriksaan fisik, dan pengujian psikososial dan neuropsikiatri. Surface electrode yang digunakan untuk memonitor aktivitas EEG juga dapat digabungkan dengan video kamera pemantauan kejang.

2. Radio Imaging. Dapat menambahkan data EEG. CT scan dan MRI dapat membantu mengidenti-fikasi area dari sklerosis dan low grade neoplasma intrakranial.

3. Functional Imaging dilakukan dengan langkah Positron Emission Tomography, Single Photon Emission CT scan, dan Functional MRI dan Spectroscopy untuk menilai aktifitas otak, aliran darah cerebral dan efek metabolic dari reseksi pada titik fokus kejang.

4. Pengujian dengan menggunakan Tiopental dapat dilakukan untuk membantu lokalisasi EEG untuk menentukan letak fokus kejang. Teknik ini dilakukan dengan membuat dan me-

Anestesia untuk Corpus Callosotomy

48 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

ningkatkan secara bertahap kandungan tio-pental dalam darah selama perekaman EEG. Hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas beta pada jaringan saraf yang berfungsi normal dan tidak termasuk dalam titik fokus kejang.

5. Injeksi Natrium Amytal Intra Carotid (WADA test) digunakan untuk menguji lateralisasi bahasa dan memori.

6. Evaluasi Invasif dilakukan dengan menyisipkan elektrode intrakranial. Elektrode epidural yang dimasukkan melalui multiple boor holes; grid subdural atau strip elektrode yang dimasukkan melalui full kraniotomi. Teknik stereotatik juga dapat digunakan. Elektrode ini dimasukkan beberapa minggu sebelum operasi definitif untuk memantau pasien dalam jangka waktu yang cukup. Perilaku pasien dan EEG terus dicatat dan ditampilkan pada monitor televisi di unit khusus.

7. Penempatan elektrode intrakranial atau grid biasanya dilakukan dibawah anestesi umum. Rencana anestesi harus mempertimbangkan kebutuhan pasien yang memiliki epilepsi dan tindakan pencegahan yang berlaku untuk kraniotomi apapun. Pemantauan non invasif rutin diperlukan juga dengan melakukan penambahan pengukuran tekanan darah pada intraarteri. Pasien-pasien yang mengalami masa-lah pascaoperasi edema otak, grid elektrode perlu diambil secepat mungkin karena adanya pengembangan hipertensi intrakranial.

Monitoring Khusus Epilepsi Selama Pembedahan

1. Electrocorticography (ECOG) dilakukan selama operasi setelah pembukaan dura dengan menem-patkan elektroda langsung pada korteks bagian atas area yang telah ditentukan untuk epilep-togenik serta pada korteks yang berdekatan. Re-kaman tambahan dapat diperoleh dari micro-electrode yang dimasukkan ke dalam korteks atau depth electrode dalam amygdale dan gyrus hipokampus.

2. Stimulasi titik pusat epileptogenik dapat dilakukan dengan cara farmakologik, jika infor-masi tidak cukup diperoleh untuk menentukan fokus kejang yang memadai dengan menggunakan ECOG rutin. Obat yang digunakan pada orang dewasa termasuk dosis kecil methohexital, 10 sampai 50 mg; tiopental, 25 sampai 50 mg; propofol, 10 sampai 20 mg atau etomidate, 2 sampai 4 mg. Jika pasien berada di bawah anestesi umum, obat-obat lain seperti

alfentanil, 20 sampai 50 mcg/kg, dapat digunakan.

3. Stimulasi listrik langsung dari korteks, secara langsung dapat memetakan daerah fungsi otak, seperti bicara, memori dan fungsi sensorik dan motorik. Hal ini memungkinkan daerah ini harus dipertahankan selama reseksi fokus kejang. Hanya pengujian motorik dapat dilakukan ketika pasien berada dibawah anestesia umum.

4. Prosedur yang dianjurkan pemantauan intrao-peratif dengan evoke potential dan electro-corticogram.5

Posisi Penderita Corpus Callosotomy

Corpus Callosotomy dilakukan dari Vertex kepala. Posisi terlentang banyak disukai ahli bedah, dan memerlukan retraksi lobus frontal. Penderita juga bisa diposisikan pada right lateral decubitus, dengan memposisikan kepala sehingga hemisphere kiri berada di superior dan hemisphere kanan di inferior. Mayfield head holder dipasang, posisi leher yang aman adalah posisi netral. Meja operasi dalam posisi tilt head up sekitar 15⁰.2

Persiapan Anestesia

Komunikasi antara semua anggota tim, termasuk ahli saraf, ahli bedah saraf, dan ahli anestesia, sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan pasien selama periode perioperatif.3

• Dilakukan penilaian epilepsi secara rutin dan spesifik.

• Dilakukan persiapan yang tepat dari pasien untuk teknik anestesia yang dipilih.

• Obat antikonvulsan yang diberikan sebelum operasi dikonsultasikan dengan ahli saraf dan ahli bedah.

• Premedikasi untuk tujuan sedasi jarang diperlukan karena pasien biasanya telah mendapatkan semua obat-obatan yang mungkin mempengaruhi EEG, seperti benzodiazepin.

Efek Antikonvulsan dari Obat Anestesia

Banyak laporan menggambarkan bagaimana obat anestesia dapat menunjukkan sifat konvulsan dan anti konvulsan secara paradoks dengan dosis yang berbeda, dibawah situasi fisiologis yang berbeda, dan dengan macam yang berbeda.

• Obat inhalasi Isofluran dan Desfluran adalah antikonvulsan yang efektif. Meskipun kontro-versial, sevofluran juga telah terbukti dapat menghasilkan aktivitas epileptiform. Nitrous oksida (N2O) tidak memiliki sifat antikonvulsan, juga tidak menghasilkan aktivitas kejang pada EEG.

49Jurnal Neuroanestesia Indonesia

• Barbiturat adalah antikonvulsan, tetapi ketika diberikan dalam dosis kecil tiopental dan methohexital mengaktifkan kegiatan epilep-tiform dari fokus kejang, seperti ditunjukkan oleh pemantauan EEG. Etomidat dan ketamin dapat mengaktifkan fokus epileptogenik. Benzo-diazepine antikonvulsan yang efektif. Propofol adalah suatu antikonvulsan, tetapi ada laporan kontroversial dapat menyebabkan kejang, dan kejang bisa terjadi setelah digunakan pada pasien yang memiliki dan tidak memiliki epilepsi.

• Opioid (fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl) dapat mengaktifkan kegiatan epileptiform dari fokus kejang pada pasien yang memiliki epilepsi.

• Obat anestesia lokal merupakan antikonvulsan tetapi dalam dosis rendah, pada konsentrasi serum yang lebih tinggi, dapat menghasilkan eksitasi sistem saraf pusat.

Interaksi Antara Obat Anestesi dan Obat Anti Epilepsi

Kebutuhan akan relaksan otot, opioid dan barbiturat meningkat pada pasien yang sering menggunakan antikonvulsan, terutama fenitoin dan penobarbital dalam waktu jangka panjang karena aktivitas enzym hati yang mempercepat biotransformasi hati.

Interaksi dengan neurotransmitter yang bersifat endogen dan perubahan dalam jumlah reseptor, termasuk opioid dapat terjadi.

Efektivitas Corpus Callosotomy

Untuk sementara ini corpus callosotomy tidak dapat dikatakan “menyembuhkan” kejang, tetapi dapat menurunkan serangan. Hanya sebagian kecil penderita menjadi bebas dari kejang. Serangan “drop attack” akan dihilangkan sama sekali pada sekitar 50–70 % pasien. Jenis lain dari kejang juga berkurang sebesar 50% atau lebih setelah melakukan tindakan operasi corpus callosotomy. Tindakan operasi tersebut, menurunkan resiko dari kecelakaan dan memperbaiki kualitas hidup.1,6,7

Resiko Corpus Callosotomy

Masalah yang serius jarang terjadi setelah Corpus Callosotomy, terdapat sedikit resiko infeksi atau perdarahan dari operasi, biasanya kurang dari 1%. Pemutusan dari dua hemisphere otak dapat menye-babkan beberapa gangguan neuropsikologi seperti penurunan spontanitas pidato/bicara (mungkin sulit untuk membuat kata yang tepat ke dalam pikiran) dan penurunan penggunaan tangan yang non dominan. Masalah-masalah ini biasanya membaik dari waktu ke waktu.1

Bisa terjadi juga resiko yang terkait dengan operasi adalah:2

• Reaksi allergi terhadap obat anestesia.

• Pembengkakan di otak. • Kurangnya kesadaran dari satu sisi tubuh. • Kehilangan koordinasi. • Masalah dengan pembicaraan, seperti gagap. • Peningkatan kejang partial (terjadi pada salah

satu sisi otak) • Stroke.6

Morbiditas yang serius atau kematian terjadi pada 1% atau kurang.1

Pada penelitian awal corpus callosotomy dilaporkan terjadi hidrocephalus sekitar 50% dan terjadi aseptic meningitis, dengan beberapa kematian.2

Komplikasi operasi yang lain, termasuk perdarahan yang berlebihan dari sinus sagitalis superior, edema cerebri lobus frontal, dan infark serebri yang disebabkan karena mengorbankan bridging vein utama.2 Kehilangan darah yang banyak pada anak-anak sangat penting diperhatikan, sehingga direko-mendasikan jangan memulai operasi sebelum dipastikan darah untuk transfusi ada di ruang operasi.2

Komplikasi paling berbahaya yang bisa terjadi pada corpus callosotomy adalah emboli udara, yang mungkin terjadi karena terbukanya sinus sagitalis superior selama tahap awal kraniotomi.7

Gejala-gejala berikut dapat merupakan efek samping setelah dilakukan corpus callosotomy, meskipun pada umumnya dapat hilang dengan sendirinya:

• Kulit kepala mati rasa. • Mual. • Merasa lelah dan depresi. • Sakit kepala. • Sulit berbicara, mengingat akan sesuatu atau

berkata-kata.

Perawatan Setelah Operasi Corpus Callosotomy

Penderita yang telah selesai operasi corpus callosotomy memerlukan perawatan / pemantauan di Intensive Care Unit. Selama perawatan dapat dipantau parameter neurologis yang belum stabil yang disebabkan oleh sindroma pemutusan. Penderita kadang-kadang tidak mengerti dengan kata-kata dan tidak merespons dengan cepat. Setelah operasi perlu dilakukan pemeriksaan CT Scanning untuk mengevaluasi hasil operasi. Pada post operasi hari kedua, status neurologis awal penderita mulai kembali. Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah metode yang sangat baik untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan operasi.2

Penderita tetap berada di rumah sakit selama sekitar satu minggu atau mungkin lebih tergantung pada ada tidaknya komplikasi yang terjadi selama

Anestesia untuk Corpus Callosotomy

50 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

operasi dan pada kesehatan penderita. Mungkin ada beberapa ketidak nyamanan setelah itu. Kodein dapat diberikan untuk mengatasi rasa sakit. Jika memungkinkan harus menghindari membungkuk, karena dapat menyebabkan sakit kepala pada minggu pertama atau lebih setelah prosedur. Melakukan tindakan kompres es mungkin berguna untuk nyeri dan gatal pada bagian jahitan kepala. Sekitar 6 - 8 minggu diperlukan untuk pemulihan di rumah sebelum penderita dapat melanjutkan aktivitas normal, termasuk bekerja ataupun sekolah. Mengangkat beban berat dan mengejan sedapat mungkin harus dihindari, karena dapat menyebab-kan sakit kepala dan mual. Diet kaya serat dapat membantu mencegah sembelit, yang mungkin terjadi setelah operasi. Penderita tetap mendapat obat anti kejang, bisa dalam jangka waktu pendek ataupun mungkin terus membutuhkan pengobatan.1

IV. Simpulan Penderita yang akan dilakukan corpus callosotomy harus melalui evaluasi praoperasi yang lengkap dan multi disiplin, termasuk koordinasi antara ahli syaraf, ahli bedah dan ahli anestesi, evaluasi pra-operasi pada umumnya dan evaluasi khusus dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Tomografi Emisi Positron (PET) dan Electro-encephalogram (EEG). Test tersebut akan memban-tu menentukan titik dimana kejang berasal dan bagaimana kejang dapat menyebar di otak. Hal ini juga membantu menentukan apakah corpus callo-sotomy merupakan pengobatan yang tepat. Moni-toring secara umum dan khusus untuk operasi epilepsi sangat dibutuhkan untuk keberhasilan yang optimal, termasuk Electrocorticography (ECOG) dan Evoke Potensial.

Test neuropsikologi mungkin dilakukan untuk memberikan dasar agar hasil operasi dapat di ukur, juga test Wada yang mungkin berguna untuk memprediksi hasil operasi.

Perawatan post operasi juga sangat diperlukan pada penderita corpus callosotomy, harus dipantau kondisi neurologis penderita dari waktu ke waktu dan evaluasi terhadap kejang yang timbul perlu diperhatikan. Pantangan yang harus dihindari oleh penderita dan diet yang harus dikonsumsi.

Penderita post operasi corpus callosotomy tetap dipertahankan dengan pemberian anti konvulsan yang sama seperti sebelum operasi. Intensitas kejang diharapkan akan menurun sebanyak 60-70% dari semula, terjadi pada lebih dari 80% penderita. Sekitar 10-15 % pasien post operasi tidak menda-patkan manfaat yang berharga dari corpus callosotomy.

Saran : Dilakukan pemeriksaan kadar serum dilantin/ phenitoin pra operasi dan post operasi untuk mendapatkan efek anti kejang yang optimal. Monitoring khusus selama operasi termasuk elec-trocorticography dan evoke potensial. Dilakukan pemeriksaan test psikoneurologis dan test Wada preoperasi dan postoperasi sehingga kita bisa menilai hasil dari operasi yang kita lakukan. Pemasangan monitor End tidal CO2 yang akurat.

Daftar Pustaka 1. Devinsky O. Corpus Callosotomy. Dalam: A

Guide to Understanding and Living with Epilepsy. Philadelphia: EA Davis; 1994. Tersedia dari: http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-Fi/Corpus-Callosotomy.html

2. Kramer DL. Epilepsy Surgery [referensi]. 2010 [diperbarui 24 Mei 2011; diunduh 3 Agustus 2011]. Tersedia dari: MedScape Reference. http://emedicine.medscape.com/article/251449-overview#showall

3. CNS Clinic. Epilepsy and Epilepsy Surgery [dokumen di internet]. 2010 [diunduh 3 Agustus 2011]. Tersedia dari : http://functionalneurosurgery.net/epilepsi.htm

4. Sarkar MS, Kumar T, Dewoolkar LV. Anestethic management of a pregnant woman with epilepsy and bad obstetrical history for emergency caesarian section [full paper]. 2007 [diunduh 3 Agustus 2011]; 13(2). Tersedia dari: Internet Journal of Anesthesiology. http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_anesthesiology/volume_13_number_2_1/article/anesthetic_management_of_a_pregnant_woman_with_epilepsi_and_bad_obstetrical_history_for_emergency_caesarean_section.html

5. Fukamachi K, Kurata J, Ozaki M. Anesthetic management of corpus callosotomy with electrophysiological monitoring : A case report [abstrak]. 2006 [diunduh 3 Agustus 2011]; 55(5):600-2. Tersedia dari: PubMedGov. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16715915

6. Glass J. Epilepsy and the Corpus Callosotomy [artikel]. 2009 [diunduh 3 Agustus 2011]. Tersedia dari: http://www.webmd.com/epilepsi/corpus-callosotomy

7. Childrens Hospital, St. Louis (BJC Health Care). Corpus Callosotomy [dokumen di internet]. 2009 [diunduh tanggal 3 Agustus 2011]. Tersedia dari: http://www.stlouischildrens.org/content/medservices/CorpusCallosotomy.htm

51 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

UVTCVGIK"WPVWM"OGPEGICJ"CURKTCUK"KUK"NCODWPI"RCFC"QRGTCUK"EGFGTC"QVCM"VTCWOCVKMC"GOGTIGPUK"

STRATEGY TO PREVENT GASTRIC CONTENT ASPIRATION IN EMERGENCY TRAUMATIC BRAIN INJURY SURGERY "

"Fgyk"[wnkcpvk"Dkutk."Vcvcpi"Dkutk"Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Hasan Sadikin Bandung

Abstract Management of an emergency patients has a particular challenge for an anesthesiologist. The risk of pulmonary aspiration from gastric content is very high in emergency cases. The incidence of gastric aspiration in emergency cases is approximately 0.7-4% which could lead to death. Gastrointestinal dysfunction frequently occurs in patients with traumatic brain injury (TBI). More than 50% patients with severe head injuries could not tolerate enteral feedings. This intolerance is manifested by vomiting, abdominal distention, delayed gastric emptying, esophageal reflux and decreased intestinal peristalsis, indicating that gastrointestinal dysfunction is a common phenomenon following TBI. Fasting is an effective manouver to reduce the incidence of gastric aspiration, but in emergency cases is rather difficult to establish that manouver. Several manouvers to reduce aspiration incidence are: a) to administer drugs prior to induction: histamine 2-reseptor antagonist (ranitidine, cimetidine), proton pump inhibitor (omeprazole), antacid (sodium citrate, magnesium trisilicate) and antiemetic (ondansentrone), b) head up position of 30-45o, c) rapid sequence induction with sellick manouver, d) insert naso or orogastric tube and aspirate gastric content. By using rapid sequence induction there would be not enough time to avoid the increase in blood pressure during laryngoscopy-intubation, whereas for patient with cerebral disorder including traumatic brain injury, increased blood pressure should be avoided because this will lead to increase intracranial pressure. Gastric content aspiration is one of anesthesia complication during perioperative periode especially in emergency cases. Adequate managment can reduce the incidency of aspiration.

Keywords: anesthesia, emergency surgery, gastric content aspiration, traumatic brain injury.

JNI 2012; 1 (1):51-58 Cduvtcm"Pengelolaan pasien emergensi memiliki tantangan tersendiri bagi anestesiologis. Resiko terjadinya aspirasi isi lambung sangat besar pada pasien emergensi. Angka kejadian aspirasi isi lambung pada pasien emergensi berkisar antara 0,7-4% yang dapat berakibat kematian. Disfungsi gastrointestinal sering terjadi pada pasien dengan cedera otak traumatika. Lebih dari 50% pasien dengan cedera kepala berat tidak mentoleransi enteral feeding. Intoleransi ini manifest dengan adanya muntah, distensi abdominal, pelambatan pengosongan lambung, refluks oesofageal dan penurunan peristaltik intestinal, yang menunjukkan bahwa disfungsi gastrointestinal adalah fenomena yang umum setelah cedera otak traumatika."Puasa merupakan pencegahan yang efektif untuk mengurangi terjadinya resiko aspirasi isi lambung, namun pada kasus emergensi sulit untuk dilaksanakan. Berbagai upaya yang dapat dilakukan pada pasien emergensi untuk mengurangi angka kejadian aspirasi adalah: a) pemberian obat-obatan tertentu sebelum dilakukannya anestesi: histamine 2-reseptor antagonis (ranitidine, cimetidine), proton pump inhibitor (omeprazole), antacid (sodium citrate, magnesium trisilicate) dan antiemetic (ondansentrone), b) posisi kepala yang lebih tinggi dari tubuh 30-45o, c) rapid sequence induction dengan sellick maneuver, d) pemasangan pipa naso atau orogastric dan aspirasi isi lambung. Rapid sequence induction tidak memberi kesempatan untuk mencegah kenaikan tekanan darah saat laringoskopi dan intubasi, padahal untuk pasien dengan kelainan serebral termasuk cedera otak traumatika, harus dihindari lonjakan tekanan darah yang akan meningkatkan tekanan intrakranial. Aspirasi isi lambung merupakan komplikasi anestesi yang mungkin terjadi pada periode perioperatif khususnya pada pasien emergensi. Pengelolaan yang adekuat mampu untuk mengurangi terjadinya resiko aspirasi.

Kata kunci: anestesia, aspirasi isi lambung, cedera otak traumatika, operasi emergensi. LPK"4234="3"*3+<73/7:"

51

52 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I. Pendahuluan

Aspirasi adalah kejadian masuknya material (par-tikel) atau cairan ke dalam jalan nafas dibawah pita suara. Kejadian aspirasi relatif jarang, akan tetapi merupakan komplikasi anestesi umum yang mengerikan, kejadiannya antara 1/3000 sampai 1/6000 tindakan anestesi. Kejadiannya meningkat menjadi 1/600 untuk tindakan anestesi umum pada dewasa.1 Laporan lain dari Swedia pada tahun 1986, yang melakukan penelitian pada 185.383 pasien yang dilakukan tindakan anestesi umum, menyebutkan bahwa kejadian aspirasi adalah 1/2131 kasus,2 dan 1/161 pada pasien yang dilakukan seksio sesarea.2,3

Kematian akibat aspirasi pertama kali dilaporkan pada tahun 1848 sebagai komplikasi dari anestesi umum oleh James Simpson. Pada tahun 1946, Mendelson mengidentifikasi aspirasi asam pada 66 dari 44.016 pasien obstetrik, yang diberikan anestesi dengan sungkup muka untuk persalinan. Confidential Enquiry into Maternal Death di England dan Wales pada tahun 1950 dan 1960 mencatat bahwa aspirasi adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu. 4

Mendelson juga melakukan percobaan pada kelinci dengan mengambil isi lambung dan dimasukkan kedalam paru-paru yang kemudian jaringan paru-paru kelinci tersebut diambil untuk dilihat secara histopatologi. Gambaran yang ditunjukkan adalah pneumonitis. Mendelson menyimpulkan bahwa aspirasi isi lambung dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru. Semenjak itulah pasien yang akan dilakukan anestesi untuk operasi elektif diharuskan untuk berpuasa.5

Kejadian aspirasi lebih besar kemungkinannya pada pasien emergensi bila dibandingkan dengan pasien elektif. Keadaan ini disebabkan pasien yang tidak dipuasakan, terlebih bila pasien disertai dengan faktor resiko terjadinya aspirasi. Pasien yang memi-liki resiko terjadinya aspirasi adalah a) kemung-kinan kesulitan pengelolaan jalan nafas b) pasien yang disertai dengan penyakit sertaan atau keadaan yang menyebabkan melambatnya pengosongan isi lambung seperti kehamilan, obesitas, diabetes insipidus, hernia, gastroesophageal reflux, ilius atau obstruksi usus, pasien emergensi dan enteral tube feeding. 1

Aspirasi paru dari isi lambung merupakan salah satu komplikasi anestesi yang ditakuti. Pencegahan aspirasi adalah mengetahui pasien yang berisiko terjadi aspirasi, puasa prabedah, terapi obat-obatan, dan teknik anestesi.2

Belum diketahui berapa jumlah kejadian aspirasi pada operasi kraniotomi untuk pasien dengan

cedera otak traumatika. Pasien cedera otak trauma-tika dengan cedera cervical spine, bila diperlukan membebaskan jalan nafas harus dijaga pasien dalan inline immobilization. Oleh karena intubasi dilaku-kan dengan menjaga jangan sampai kepala ekstensi, maka pada umumnya intubasi menjadi lebih sulit. Keadaan dimana pasien tidak dapat dengan cepat dilakukan intubasi, rentang waktu tersebut dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi cairan lambung. Disebabkan karena semua pasien dengan cedera otak traumatika beresiko untuk terjadinya aspirasi cairan lambung, maka dianjurkan melakukan teknik Rapid Sequence Induction (RSI) dan cricoid pressure. Akan tetapi, pasien cedera otak trauma-tika berat dapat disertai cedera cervikal sehingga tekanan kartilago krikoid yang tidak tepat dapat memperburuk pasien.4,6,7

II. Patofisiologi Aspirasi Isi Lambung

Konsekuensi pada paru akibat aspirasi isi lambung dibagi menjadi 3 bagian yaitu : a) yang berhu-bungan dengan partikel, b) berhubungan dengan asiditas, dan c) bakteri.2

2.1 Komplikasi yang berhubungan dengan Partikel

Aspirasi partikel dapat menyebabkan kematian secara cepat karena tertutupnya saluran pernafasan sehingga menyebabkan hipoksemia. Partikel terse-but harus segera dihilangkan dari trakhea, oksi-genasi, dan dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya. Bila terjadi aspirasi, tidak ada indikasi melakukan pembilasan jalan nafas, pem-berian steroid, atau antibiotika.2

2.2 Komplikasi yang berhubungan dengan asiditas

Keasaman dengan pH < 2.5 dengan jumlah volume 0,4 ml/kgbb (kira-kira 25 mL) sudah mampu menjadi ancaman terjadinya pneumonitis aspirasi. Schwartz dkk, melaporkan penelitian pada anjing bahwa aspirasi isi lambung dengan pH 5,9 sebanyak 2 ml/kgbb mampu menyebabkan hipoksia berat dan meningkatkan shunting paru. Bila terdapat partikel makanan, terjadi hiperkapnia, dan terjadi asidosis dan pneumonitis.2,8

Efek buruk dari aspirasi asam dapat terjadi dalam 2 fase: 1) kerusakan jaringan secara langsung dan segera dan 2) respons inflamasi. Luka bakar kimia terjadi dalam 5 detik dari central airway ke alveoli dan dalam 15 detik semua asam telah dinetralkan secara efektif. Deskuamasi lapisan sel superfisial dengan hilangnya sel yang bersilia dan tidak bersilia terjadi dalam 6 jam. Regenerasi terlihat setelah 3 hari dan pulih secara sempurna setelah 7 hari. Sel alveolar tipe II sangat sensitif terhadap asam hidroklorik dan degenerasi dalam 4 jam sete-lah aspirasi asam. Peningkatan lysophosphatitidyl

53Jurnal Neuroanestesia Indonesia

choline secara cepat setelah terpapar asam dapat menimbulkan peningkatan permeabilitas alveolar dan peningkatan air dalam paru.2

Fase kedua khas dengan pelepasan sitokin proinfla-matori seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin-8 (IL-8). Sitokin-sitokin ini men-triger ekspresi dari adhesi molekul L-selectin dan beta-2 integrins pada neutrofil, dan interceluler adhesion moleculs (ICAM) pada endotelium paru, dan menimbulkan respon inflamatori neutrofil.2

2.3 Komplikasi yang berhubungan dengan bakteri

Cairan lambung tidak steril dan infeksi paru disebabkan oleh bakteri anaerob. Campuran aerob-anaerob ditemukan pada hospital-acquired aspiration pneumonia.2

III. Efek Cedera Otak Traumatika pada Motilitas Gaster

Cedera otak traumatika dapat menyebabkan pening-katan tekanan intrakranial dan makin berat cedera otak, makin besar peningkatan katecholamine plasma. Peningkatan tekanan intrakranial dapat me-nimbulkan gastroparesis, motilitas gaster menurun yang dimulai dari beberapa detik-menit setelah terjadinya trauma. Katecholamine yang meningkat akan me-nimbulkan vaskonstriksi splanchnic yang menu-runkan aliran darah splanchnic dengan akibat moti-litas saluran cerna menurun. Penurunan motilitas ini akan menyebabkan akumulasi cairan lambung dan dapat terjadi aspirasi cairan lambung perioperatif.9-13

Cedera otak traumatika dapat menyebabkan bebe-rapa komplikasi fisiologik termasuk disfungsi gas-trointestinal. Secara spesifik, cedera otak trauma-tika dapat memicu peningkatan permeabilitas intestinal, yang dapat menyebabkan translokasi bakteri, sepsis, dan menimbulkan gagal organ multi-sistem. Akan tetapi, mekanisme pastinya belum jelas. 11

Efek fisiologik sistemik setelah cedera otak traumatika meningkat secara nyata termasuk disfungsi sistim otonom, inflamasi sistemik, dan disfungsi organ. Secara spesifik, disfungsi gastro-intestinal sering terlihat pada pasien cedera otak traumatika, termasuk abnormalitas motilitas dan perubahan mukosa yang dapat membawa kearah terjadinya ulserasi, inflamasi, dan peningkatan permeabilitas usus. Pada penelitian tikus menunjuk-kan adanya penumpulan vili intestinal dan pening-katan permeabilitas intestinal 6 jam setelah cedera otak traumatika. Hal yang sama, peneliti lain menunjukkan perubahan histopatologik dan pening-katan permeabilitas usus pada 2 jam setelah cedera

otak traumatika dan mencapai puncak pada 24 jam setelah cedera otak traumatika.10

Disfungsi gastrointestinal sering terjadi pada pasien dengan cedera otak traumatika. Lebih dari 50% pasien dengan cedera kepala berat tidak mentole-ransi enteral feeding. Intoleransi ini manifest dengan adanya muntah, distensi abdominal, pelam-batan pengosongan lambung, refluks oesofageal dan penurunan peristaltik intestinal, menunjukkan bahwa disfungsi gastrointestinal adalah fenomena yang umum setelah cedera otak traumatika. 9-13

IV. Pencegahan Aspirasi Isi Lambung

Kejadian aspirasi dapat berakibat fatal yaitu kematian. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui cara yang efektif untuk mengurangi angka kejadian aspirasi terutama pada pasien emergensi. Pencegahan aspirasi isi lambung dapat dilakukan dengan identifikasi faktor risiko, puasa prabedah, farmakoterapi, dan teknik anestesi. Fak-tor risiko adalah: 1) peningkatan tekanan gaster, 2) peningkatan tendensi regurgitasi, dan 3) tidak kompetennya laring. Tabel 1 menyimpulkan faktor-faktor risiko tersebut.2

Tabel 1. Faktor Risiko untuk Regurgitasi dan Aspirasi Paru

Peningkatan isi lambung

Peningkatan tendensi untuk

regurgitasi

Tidak kompetennya

laryng

Pengosongan lambung lambat Hipersekresi gaster Overfeeding Puasa tidak cukup

Penurunan tonus sphincter oesofagus bagian bawah Gastro-oesophageal reflux Striktur Oesophageal /carcinoma Zenker’s divertikulum Achalasia Usia sangat lanjut Diabetic autonomic neuropathi?

Anestesi Umum • Oprasi

emergensi • Anestetist tidak

berpengalaman • Oprasi malam

hari Cedera otak Infark/Perdarahan Otak Gangguan Neuromuskuler Multiple sclerosis • Parkinson • Guillain-barre Distropi Otot • Cerebral palsy • Cranial

neuropathies • Trauma, luka

bakar

Dikutip dari Engelhardt.2

Strategi untuk Mencegah Aspirasi Isi Lambung pada Operasi Cedera Otak Traumatika Emergensi

54 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Pada saat akan melakukan anestesi umum pada pasien emergensi, harus diperhatikan faktor predisposisi untuk terjadinya kejadian aspirasi. Faktor-faktor predisposisi ini dapat dilihat pada tabel.2 dibawah ini.

Tabel 2. Faktor predisposisi untuk aspirasi pada anestesi umum.

Faktor pasien

Peningkatan isi lambung

- obstruksi usus- tidak puasa - obat - pelambatan

pengosongan lambung

Tidak kompetennya LOS

- hiatus hernia- reflux gastro

oesophageal - hamil - morbid obesitas - penyakit

neuromuskular Penurunan reflex

laring - cedera otak- bulbar palsy

Jenis kelamin - laki-laki Umur - geriatri Faktor pembedah

Prosedur - emergensi- laparoskopi

Posisi - litotomi Faktor anestesi

Air way - intubasi sulit- insuflasi gas

Rumah anestesi - kedalam anestesi tidak adekuat

Dikutip dari King W.1

4.1 Puasa

Aspirasi cairan lambung dengan keasaman pH<2.5 dan 25 ml dapat menyebabkan pneumonitis aspi-rasi. Seorang pasien yang puasa mampu untuk menurunkan 50% dari cairan lambung. American Society of Anesthesiologists (ASA) menetapkan suatu panduan atau guideline sebagai protocol untuk puasa yaitu (lihat tabel 3)14:

1. Puasa 2 jam dari clear water (air, juice tanpa ampas, soft drink, teh dan kopi hitam). Pemberian clear water ini dapat diberikan 2 jam sebelum dilakukan anestesi umum, regi-onal anestesi ataupun sedasi (Monitored anesthesia care) sebanyak tidak lebih dari 100 ml atau 2 ml/kgBB untuk anak-anak.

2. Puasa 4 jam dari susu ibu. 3. Puasa 6 jam dari makanan padat, susu formula.

Pada neonates ataupun infant yang diberikan susu formula tetap dilakukan puasa selama 6 jam. Pada keadaan ini harus diperhatikan status cairan dari pasien.

American Society of Anesthesiologists lebih meng-anjurkan puasa pada pasien sebelum dilakukannya anestesi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa

puasa merupakan pencegahan aspirasi yang paling efektif. Pada pasien elektif memiliki waktu yang cukup untuk dilakukan untuk puasa sebelum di-lakukannya prosedur anestesi. Sedangkan pada pasien emergensi sangat sulit untuk dilakukan puasa sebelum dilakukannya anestesi karena me-miliki waktu yang terbatas.14,15

Tabel 3. Rekomendasi Puasa Prabedah

Makanan Lama Puasa (jam)Clear fluidsSusu Ibu Infant Formula Susu hewan Makanan Ringan

2 4 6 6 6

Dikutip dari ASA guideline.14

4.2 Farmakologik

Pada pasien emergensi yang memiliki waktu yang tidak cukup untuk berpuasa maka dipikirkan cara lain yaitu dengan pemberian obat-obatan sebelum dilakukan anestesi umum atau sedasi. Obat-obatan yang diberikan adalah:

a." Histamine-2 receptor antagonists

Obat yang termasuk kedalam golongan ini adalah cimetidine, ranitidine dan famotidine. Golongan obat ini memiliki efek untuk menurunkan volume cairan lambung dan keasaman cairan lambung. Mekanisme kerja dari obat ini adalah mengurangi jumlah sekresi cairan lambung. Tidak semua pasien dapat diberikan obat golongan ini, pada penderita atau riwayat asma tidak dapat diberikan. Dosis yang diberikan 4 mg/kgbb 1-2 jam sebelum dilaku-kan anestesi. Pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi dapat dilakukan dosis ulangan setelah 5-6 jam.14,16,17

b." Proton pump inhibitor

Omeprazole, esomeprazole, pantoprazole merupa-kan golongan proton pump inhibitor. Golongan ini sering dikombinasikan dengan golongan Hista-mine-2 antagonis yang bertujuan untuk mengurangi kejadian aspirasi karena emesis atau reflux. Omeprazole dan esmeprazole diberikan secara peroral dengan dosis 20 mg. Pemberian per oral ini memiliki efek yang cukup lama untuk menurunkan jumlah cairan lambung, minimal diberikan 3 jam sebelum dilakukannya induksi anestesi. Ome-prazole akan mempengaruhi sekresi dari diazepam, warfarin ataupun phenytoin. Pantoprazole diberikan secara intravena dengan dosis 40 mg. pemberian pantozole dikombinasikan dengan ranitidine 50 mg intravena yang diberikan 1 jam sebelum dilakukan-nya induksi anestesi yang berguna untuk meng-urangi volume cairan lambung dan meningkatkan pH. 14,16,17

55Jurnal Neuroanestesia Indonesia

c." Antiemetik

Antiemetik ini dapat digunakan dalam 2 fungsi yaitu sebagai antiemetik dan sebagai pencegahan aspirasi dengan cara meningkatkan pH cairan lambung. Ondansentron termasuk kedalam golong-an antiemetik yang diberikan secara intravena. Beberapa dekade menyatakan bahwa ondansentron memiliki efek yang cukup baik untuk menurunkan angka kejadian dari aspirasi pasien emergensi, tetapi ada beberapa penelitian yang membanding-kan antara pemberian ondansentron preoperatif dan postoperatif dimana hasil yang ditunjukkan adalah lebih efektif pemberian ondansentron pada post-operatif untuk mengurangi rasa mual. Pemberian ondansentron masih tetap direkomendasikan untuk mengurangi angka kejadian aspirasi yang diberikan secara intravena. Dosis yang diberikan adalah 4 mg dan dapat dilakukan dalam jangka waktu 4-8 jam. Antiemetik diberikan 30-1 jam sebelum dilakukan-nya induksi anestesi. 14,16,17 d." Stimulasi Gastrointestinal Metoklopramid merupakan obat yang berefek stimulasi gastrointestinal yang berfungsi untuk mengurangi jumlah cairan lambung. Metoklo-pramid bekerja mempercepat pengosongan lam-bung dan mengurangi sekresi cairan lambung. Metoklopramid tidak dapat diberikan pada semua pasien karena dapat menyebabkan atau mempro-pokasi terjadinya hipertensi krisis pada pasien dengan pheochromositoma. Pemberian secara intra-vena dengan cepat dapat menyebabkan kram pada abdomen, dan kontra indikasi bila diberikan pada ilius obstruksi total. Dosis yang diberikan adalah 10-20 mg atau 0,25 mg/kgbb diberikan selama 5 menit. Tidak diberikan bersama-sama dengan cimetidine karena dapat mengurangi absorbsi dan potensi dari metoclopramide. 14,16,17

e." Antasid

Sodium sitrat, magnesium trisilikat, bisitrat (sodium sitrat dan citric acid) atau polycitrat (sodium citrate, potassium citrate dan citric acid) termasuk kedalam antasid. Pemberian antasid memiliki tujuan untuk meningkatkan pH cairan lambung. Dosis yang diberikan 15-30 ml peroral, diberikan 15-30 ml sebelum dilakukannya induksi. 14,16,17

Tabel 4. Pencegahan farmakologik

Obat Rute Dosis Onset Lama kerja Asiditas Vol LOS

tonusCimetidin Po

Iv 300-800 mg

300 mg 1-2 jam 4-8 jam ↓↓↓ ↓↓ 0

Ranitidin Po Iv

150-300 mg 50 mg

1-2 jam 10-12 jam ↓↓↓ ↓↓ 0

Famotidin Po Iv

20-40 mg 20 mg

1-2 jam 10-12 jam ↓↓↓ ↓↓ 0

Nizatidin Po 250-300 mg 0,5-1 jam 10-12 jam ↓↓↓ ↓↓ 0 Antasid non partikel

Po 15-30 mL 5-10 menit 30-60 menit ↓↓↓ ↑ 0

Metoclo-pramid

Iv po

10 mg 10-15 mg

1-3 menit 1-2 jam 30-60 menit

0 ↓↓ ↑↑

LOS = Lower Oesophageal Sphincter Dikutip dari: Morgan. 17

4.3 Teknik Anestesi

Beberapa teknik anestesi yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya resiko aspirasi pada pasien emergensi diantaranya adalah posisi head up 30-45O, rapid sequence induction yang disertai dengan Sellick maneuver dan awake intubasi.

Pada pasien dengan peningkatan tekanan intra-kranial, rapid sequence induction dan awake intubasi hampir tidak mungkin dilakukan, karena akan meningkatkan tekanan darah, aliran darah otak, volume darah otak, tekanan intrakranial, iskemia otak, herniasi otak. Peningkatan aliran darah otak dapat menimbulkan bertambah beratnya hiperemia dan edema otak yang telah terjadi.6

Posisi Head Up 30-45O

Posisi Head Up 30-45O merupakan salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi. Dengan posisi ini diharapkan cairan lambung berada di bagian bawah antrum corpus dan pylorus, sehingga memudahkan untuk mengalir kedalam duodenum. Kompensasi dari posisi ini adalah sedikit hipotensi disebabkan darah lebih mengalir kebagian ekstremitas inferior.14,15

Gambar 1. Anatomi gaster dan saluran nafas atas Dikutip dari Soreide.15

Rapid Sequence Induction dengan Sellick Maneuver

Rapid sequence induction adalah suatu metode induksi anestesi pada pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi. Setelah hilangnya kesadaran kemudian diikuti dengan penekanan pada cricoid kemudian dilakukan intubasi dan pengembangan balon tanpa dilakukannya ventilasi terlebih dahulu. Intubasi dilakukan secepat dan seaman mungkin pada pasien emergensi.4,7

Sellick manouver tidak dapat dilakukan pada pasien dengan trauma leher (Tabel 5).

Strategi untuk Mencegah Aspirasi Isi Lambung pada OperasiCedera Otak Traumatika Emergensi

56 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Gambar 2 : Sellick’s manuver Dikutip dari: Hein C.7

Penekanan krikoid pertama kali dilakukan oleh Sellick pada tahun 1961 sebagai suatu metode untuk mengurangi risiko aspirasi selama induksi anestesi. Teknik Sellicks adalah memberikan tekan-an kebawah pada kartilago krikoidea, menekan oesophagus melawan corpus vertebra.7 Penekanan krikoid ini dimaksudkan untuk menutup bagian atas dari oesophagus. Penekanan yang dilakukan sekitar 20-30 newton setara dengan 2-3 kg. Tidak semua pasien dapat dilakukan sellick maneuver.7

Tabel 5. Kontra indikasi penekanan pada krikoid

Kemungkinan kontra indikasi cricoid pressure Trauma pada leher bagian depan • Landmark sulit didentifikasi Cedera Cervical Spine yang tidak stabil • Risiko pergerakan leher, tapi dapat dilakukan bila dapat

dilakukan teknik bi-manual. Pasien sedang muntah • Risiko ruptur oesofagus Jumlah penolong terbatas • Panduan dari The International Liaison Committee on

Resuscitation (ILCOR) guide-lines menyebutkan bahwa cricoid pressure dilkakukan bila ada 3 penolong. Bila hanya ada satu atau 2 orang maka prioritas utama adalah airway dan breathing.

Bila intubasi sulit • Dapat mengurangi pandangan saat laringoskopi, terutama

bila dilakukan dengan tidak tepat. Dikutip dari Hein C.7

4.4 Pengelolaan Jalan Nafas pada Cedera Otak Traumatika

Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dibagi atas cedera kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala sedang (GCS 9-12), dan cedera kepala berat (GCS 3-8). Pasien cedera kepala berat jelas memerlukan laringoskopi-intubasi saat pasien tiba di UGD rumah sakit. Apabila diperlukan tindakan anestesi untuk operasi kraniotomi, baik cedera kepala ringan, sedang, berat memerlukan pembebasan ja-lan nafas dengan melakukan intubasi endotra-kheal.6

Disebabkan karena kemungkinan terjadi cedera kolumna vertebralis atau medula spinalis, pengelo-laan jalan nafas pada pasien dengan cedera otak traumatika merupakan satu tantangan bagi anestetist. Targetnya adalah definitif airway untuk dapat memperbaiki oksigenasi dan ventilasi tanpa melakukan cedera pada medula spinalis. Pasien-pasien tersebut dalam keadaan tidak puasa dan pelambatan pengosongan isi lambung, sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung menjadi lebih besar.6

Metode optimal untuk intubasi trakhea bergantung pada kondisi pasien, level kooperativitas pasien, serta skill dan pengalaman anestetist. Kesulitan-kesulitan tersebut adalah karena: 1) Pasien dengan cedera kepala ringan dan sedang

yang memerlukan intubasi rakhea, mungkin masih sadar dan kuat untuk melawan tindakan intubasi yang tidak diberikan obat-obatan.

2) Adanya collar, akan mempersulit laringoskopi intubasi.

Hal-hal yang menyulitkan intubasi trakhea, ditambah dengan lambung penuh, memperbesar kemungkinan terjadinya aspirasi cairan lambung.

Tabel 6. Teknik intubasi yang disarankan

GCS Stabilitas hemodinamik

Hipnotik Urgensi Pelumpuh otot

3-8 Ya tidak

Lidokain 1,5 mg/kg -

Ya -

Succ. Cholin 1mg/kg -

9-12 Ya Tidak

Pentotal 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg + lidokain 1,5 mg/kg Etomidate 1-2 mg/kg

Ya Tidak Ya

Succ 1 mg/kg Vec 0,02 mg/kg Succ 1 mg/kg

13-15 Ya Tidak

Pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1,5-2 mg/kg + lidokain 1,5 mg/kg Etomidate 1-2 mg/kg

Ya Tidak Ya

Succ 1 mg/kg Vec 0,02 mg/kg Succ 1 mg/kg

Dikutip dari: Grady MS.4

Catatan : • Bila hemodinamik tidak stabil, gunakan etomidat. • Karena di Indonesia tidak ada succ cholin gunakan

vecuronium. • Dosis etomidate diatas dikutip langsung dari sumbernya

(Grady MS), tapi dosis induksi adalah 0,2-0,5 mg/kg. (Morgan)

• Dosis intubasi Vecuronium 0,12 mg/kg (Morgan)

Kartilago krikoid harus difiksasi antara jari dan ditekan kebawah dengan tenaga 20-30 newtons.

Kartilago krikoid terletak inferior dari prominens tiroid dan membran krikotiroid.

57Jurnal Neuroanestesia Indonesia

3.5 Terapi

Apabila sudah terjadi aspirasi pada pasien yang telah dianestesi, tindakan umum yang dilakukan adalah posisi kepala diturunkan 30o, pengisapan semua material dari oropharing, intubasi trakhea, pengisapan trakhea sebelum dilakukan ventilasi mekanik. Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial tidak boleh dilakukan penurunan posisi kepala karena akan meningkatan aliran darah otak, volume darah otak, edema otak bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial.

Dosis tinggi steroid intravena atau melalui nebulizer dalam usaha untuk mengurangi respons inflamasi telah dilakukan, akan tetapi, tidak menun-jukkan hasil yang menguntungkan. Pada pasien cedera otak atau sakit kritis lainnya pemberian kortikosteroid akan meningkatkan mortalitas. Pene-litian Corticosteroid After Significant Head Injury (CRASH) pada tahun 2004, yang membuka pemi-kiran bahwa penghambatan total dari neuroinfla-masi pascatrauma dengan pemberian dosis tinggi methylprednisolon menyebabkan peningkatan mor-talitas yang nyata setelah cedera kepala.18

Tidak ada penelitian kontrol untuk terapi antibiotik dalam pengobatan aspirasi paru. Akan tetapi, pada praktek klinis, antibiotika sering digunakan untuk pengobatan aspirasi pneumonia sebelum dilakukan isolasi kuman.

V. Simpulan

Pasien emergensi memiliki tantangan tersendiri bagi anestesiologis. Aspirasi paru merupakan suatu yang mungkin terjadi. Puasa merupakan pence-gahan yang paling efektif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi. Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko aspirasi adalah pemberian obat-obatan (histamine-2 receptor antagonists, proton pump inhibitor, antiemetic, metoclopramid) atau teknik anestesi (posisi head up 30-45o, rapid sequence induction dengan Sellick maneuver) dengan tetap memperhatikan jangan sampai terjadi lonjakan tekanan darah saat laringoskopi intubasi.

Daftar Pustaka

1. King W. Pulmonary aspiration of gastric content. Update in Anesthesia. www.anesthesiologist.org

2. Engelhardt T, Webster NR. Pulmonary aspiration of gastric contents in anaesthesia. Br J Anaesth 1999; 83:453-60.

3. O’Sullivan GM, Guyton TS. Aspiration: Risk, prophylaxis, and treatment. Dalam: Chesnut DH, ed. Obstetric Anesthesia Principles and Practice, 3rd ed. Philadelphia: Elsevier Mosby;2004,523-32.

4. Ellis DY, Harris T, Zideman D. Cricoid pressure in emergency department rapid sequence tracheal intubation: A risk-benefit analysis. Ann Emerg Med 2007.

5. Bisri DY, Redjeki IS. Mendelson syndrome. Anesthesia & Critical Care 2008;26(2):20-8.

6. Grady MS, Lam AM. Management of acute head injury: Initial resuscitation. Dalam: Lam AM. Anesthetic management of acute head injury. New York: McGraw-Hill;1995,88-96.

7. Hein C, Owen H. The effective application of cricoid pressure. Journal of Emergency Primary Health Care (JEPHC) 2005; 3: issue 1-2.

8. Green SM, Krauss B. Pulmonary aspiration risk during emergency department procedural sedation - An examination of the role of fasting and sedation depth. Academic emergency medicine 2002;9(1):35-42.

9. Hang CH, Shi JX, Li JS, Wu W, Li WQ, Yin HX. Levels of vasoactive intestinal peptide, cholecystokinin and calcitonin gene-related peptide in plasma and jejunum of rats following traumatic brain injury and underlying significance in gastrointestinal dysfunction. World J Gastroenterol 2004;10(6):875-80.

10. Wang YB, Liu J, Yang ZX. Effects of intestinal mucosal blood flow and motility on intestinal mucosa. World J Gastroenterol. 2011 Feb 7;17(5):657-61.

11. Bansal V, Costantini T, Kroll L, Peterson C, Loomis W, Eliceiri B, et al. Traumatic brain injury and intestinal dysfunction: Uncovering the Neuro-Enteric Axis. J Neurotrauma. 2009 August; 26(8): 1353–59.

12. de Lucena1 AF, Tibúrcio RV, Vasconcelos GC, Ximenes JDA, Filho GC, da Graça RV. Influence of acute brain injuries on gut motility. Rev Bras Ter Intensiva. 2011; 23(1):96-103.

Strategi untuk Mencegah Aspirasi Isi Lambung pada OperasiCedera Otak Traumatika Emergensi

58 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

13. Jin W, Ni H, Dai Y, Wang H, Lu T, Wu J, et al. Effects of tertbutylhydroquinone on intestinal inflammatory response and apoptosis following traumatic brain injury in mice. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation Volume 2010.

14. American Society of Anesthesiologist: Practice guideline for preoperative fasting and the use of pharmacologic agent to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective procedure. Anesthesiology 2011;114 : 495-511.

15. Soreide E, Eriksson LI, Hirlekar G, Eriksson H, Henneberg SW, Sandin R, Raeder J. Pre-operative fasting guidelines: an update. Acta Anesthesiol Scand 2005;49:1041-47.

16. Stoelting RK, Hillier SC. Histamine and Histamine Receptor Antagonists. Handbook of

Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2006,441-55.

17. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill ;2006, 276-88.

18. Bendo AA. Perioperative management of adult patients with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia; 2010, 317-25.

59

RGPIGNQNCCP"RGTKQRGTCVKH"UVTQMG"JGOQTCIKM""

PERIOPERATIVE MANAGEMENT OF HEMORRHAGIC STROKE ""

Fgyk"[wnkcpvk"Dkutk."Vcvcpi"Dkutk"Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung

Abstract Hemorrhagic stroke is devastating disease and only 30% patients survive in 6 months after event. The common cause of intracranial hemorrhage are subarachnoid hemorrhage (SAH) from aneurysm, bleeding from arteriovenous malformation (AVM) or intracerebral hemorrhage. Intracerebral hemorrhage common correlation with hypertension, anticoagulant therapy, or other coagulopathi, drug and alcohol addict, neoplasm, or amyloid angiopathi. Mortality in 30 days is 50%. Outcome for hemorrhagic stroke worst than ischemic stroke with mortality arround 10-30%. Hemorrhagic stroke typically presents with headache, nausea, and vomiting as well as seizure and focal neurological deficits. Neurological dysfunction variated between headache untill coma. Early treatment focused on: 1) hemodynamic and cardiac, 2) airway and ventilation, 3) neurological function evaluation and the needed intracranial pressure monitoring or ventricular drainage or both. Key word: intracranial hemorrhage, stroke hemorrhagic.

JNI 2012; 1 (1):59-66 "

Cduvtcm"Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid hemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alkohol, neoplasma, atau angiopati amiloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan adanya sakit kepala, mual, muntah, kejang dan defisit neurologik fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada : 1) pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya. Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan.

LPK"4234="3"*3+<7;/88"

I. Pendahuluan Stroke Hemoragik/Stroke Perdarahan atau Intracranial Hemorrhage (ICH) adalah perdarahan spontan non trauma kedalam parenkhim otak. Setiap tahunnya kira-kira 65.000 orang di USA menderita ICH dan merupakan 10-30% dari seluruh stroke yang berasal dari semua kelompok etnik. Stroke Hemoragik merupakan stroke yang paling fatal dan sedikit dapat diterapi serta menyebabkan disabilitas berat bagi yang bisa hidup. Pasien dengan ICH semuanya memerlukan penanganan di ICU dan pasien yang dikelola di neurointensive

care mortalitasnya lebih rendah daripada yang dikelola di ICU umum/General ICU.1,2

Stroke Hemoragik non trauma merupakan kondisi yang mengerikan dengan mortalitas 30 hari sekitar 35-52%. Pada tahun 2007 American Heart Association/ American Stroke Association, menye-butkan tidak ada terapi tunggal untuk ICH yang menunjukkan efektif dengan bukti kelas A. Sampai patofisiologi kondisi ini dimengerti dengan lebih baik, tidak mungkin untuk mengembangkan terapi yang efektif. 3

60 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Walaupun, seperti dibandingkan dengan stroke iskemik dan perdarahan subarachnoid, kemajuan pengelolaan ICH sangat lambat, hasil dari penelitian klinis dari recombinant factor VIIa (fVIIa) pada ICH akut telah menimbulkan gairah baru.4

Stroke Hemoragik merupakan tipe stroke yang mematikan. Mortalitas mencapai 50% dan untuk yang hidup sering terjadi disabilitas. Terapi yang efektif hanya dapat dikembangkan bila rangkaian kejadian patologik yang dimulai dengan perdarahan diketahui. Pada bulan November 2003, workshop oleh National Institutes of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) yang dilakukan di Washington untuk mendiskusikan prioritas penelitian tentang ICH dan telah difokuskan pada ICH non trauma.5

Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid hemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intra-serebral. Perdarahan intraserebral sering dihubung-kan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alkohol, neoplasma, atau angiopati amiloid. 1

Stroke hemoragik primernya disebabkan karena penyakit hipertensi serebrovaskuler, dan umumnya terjadi di daerah subkortikal. Cortical ICH kadang-kadang akibat dari amyloid angiopathi, yang kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. Stroke perdarahan merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Efek massa dari hematoma pasca ICH diperkirakan memegang peran utama pada patofisiologi ICH. Penelitian hewan coba menunjukkan proses patofisiologik yang paling penting adalah diseksi dari hematoma diikuti dengan neurotoksisitas dan edema serebral dari protein darah dan produknya. Pembesaran hematoma terjadi pada 40% pasien ICH dan secara nyata memperburuk prognosis.6

Pasien ICH lebih rentan terjadi kematian dan disabilitas fungsional jangka panjang dibandingkan dengan stroke iskemik, walaupun volume cedera jaringan sarafnya relatif hampir sama. Luaran yang buruk tersebut disebabkan berbagai faktor antara lain bertambahnya perdarahan, peningkatan tekanan intrakranial dengan akibat selanjutnya berupa herniasi otak, atau kemungkinan terjadinya kerusakan seluler yang berlangsung dalam beberapa jam atau hari (cedera sekunder) setelah terjadinya cedera primer) di jaringan perihematoma.

Walaupun penelitian hewan menunjukkan adanya iskemik penumbra sekeliling hematoma, tapi

penelitian klinis dan eksperimental yang lebih baru, gagal untuk menunjukkan konsistensi adanya iskemi neuron pada jaringan di perifer hematoma. Untuk alasan ini, mekanisme non-iskemik dari cedera neuron setelah ICH, seperti neurotoksisitas trombin dan inflamasi sekarang sedang diteliti.7

Stroke Hemoragik spontan merupakan salah satu komplikasi paling berat dari hipertensi kronis, yang dapat dikurangi secara drastis dengan pemberian obat antihipertensi. Terdapat kontroversi dalam hal terapi optimal ICH, yaitu terapi bedah atau non-bedah dan pengendalian tekanan darah menjadi sulit apabila telah terjadi ICH. Sebagai contoh, tingginya tekanan darah dapat menyebabkan penambahan besar dari ICH karena bertambahnya hematoma, dan penurunan tekanan darah secara dini dapat mengurangi proses ini. Namun, penurunan tekanan darah yang terlalau drastis dapat menimbulkan hipoperfusi terutama pada daerah yang berbatasan dengan perdarahan yang akan memperburuk luaran.

Penurunan kritis aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) selama penurunan tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) dapat dicegah dengan oleh keberadaan fungsi autoregulasi. Hanya beberapa penelitian klinis ICH menekankan konsep autoregulasi statik sebagai mekanisme proteksi otak intrinsik. Pada pasien dengan stroke iskemik, mekanisme autoregulasi memburuk pada hari pertama, terutama pada pasien dengan satus klinis yang buruk, perdarahan ventrikel, tekanan perfusi otak yang rendah, serta luaran klinis yang buruk.8

II. Patofisiologi Pada banyak penelitian hewan model ICH akut, telah ditunjukkan penurunan aliran darah otak secara global dan sekitar bekuan. Penyebab penurunan aliran darah otak tidak diketahui, namun dipostulatkan bahwa terjadi iskemi serebral akibat kompresi mekanik pada mikrovaskulatur sekitar hematoma. Akan tetapi, tidak semua data eks-perimen menyokong teori ini. Daerah hipoperfusi yang sama sekeliling hematoma telah ditunjukkan pada pasien dengan ICH akut. 9

Berdasarkan patologi dari pembuluh darah yang ruptur yang menimbulkan perdarahan, maka ICH diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder. Kebanyakan dari ICH primer akibat dari ruptur pembuluh darah sebagai konsekuensi dari cedera kronis pada pembuluh darah kecil oleh hipertensi yang menetap (hipertensi vaskulopati) atau deposisi protein yang abnormal (cerebral amyloid angiopathy). Penyebab sekunder dari ICH termasuk malformasi vaskuler, ruptur saccus aneurisma,

61Jurnal Neuroanestesia Indonesia

gangguan koagulasi, penggunaan antikoagulan dan obat trombolitik, perdarahan kedalam daerah infark, tumor otak, fokus infeksi, dan kecanduan obat (Tabel 1).4

Tabel 1: Penyebab dari ICH sekunder Aneurisma Arteriovenous malformation (AVM) Penggunaan anticoagulan dan trombolitik Angioma cavernosa Gangguan koagulasi Vaskulitis Susunan Saraf Pusat Kokain Fistula dural arteriovenosa Dural sinus thrombosis Infeksi neoplasma intrakranial Konversi hemorrhagik dari stroke iskemik

Dikutip dari: Rost N 4

Efek perusak dari ICH dapat dibagi dalam cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer adalah efek segera yaitu bertambahnya perdarahan dan peningkatan tekanan intrakranial, sedangkan cedera sekunder merupakan efek lanjutan yang dapat segera terjadi setelah ICH, misalnya edema yang terjadi sampai 2 minggu kemudian.5

Cedera Primer Sejauh ini, ICH telah diketahui mempunyai ciri-ciri khas. Telah terbukti bahwa pertambahan hematoma yang dini adalah sering terjadi pada pasien dengan fungsi koagulasi yang normal. Perdarahan yang masih terus berlangsung dapat ditunjukkan dengan CT kontras dan MRI. Pembesaran hematoma dihubungkan dengan luaran yang buruk. Berda-sarkan pada penelitian prospektif, pertambahan hematoma terjadi dalam beberapa jam pertama dari onset perdarahan (sampai 40% terjadi dalam 3 jam pertama) dan jarang setelah 24 jam. Prediktor penambahan perdarahan adalah volume darah saat kejadian pertama, bentuknya yang ireguler, penyakit hati, hipertensi, hiperglikemia, peminum alkohol, dan hipofibrinogenemia.6 Intervensi untuk mencegah pembesaran hematoma difokuskan pada pemberian obat untuk mengurangi perdarahan. Anjuran penggunaan antifibrinolitik (aminocaproic dan asam tranexamic) semakin berkurang disebabkan adanya efek menghambat pemecahan trombus namun tidak merangsang pembentukan bekuan darah. Selain dari itu, dari data yang tidak dipublikasikan memperlihatkan bahwapenggunaan antifibrinolitik tidak ada menguntungkan. Penelitian lain tentang epsilon-aminocaproic acid telah dihentikan karena tidak ada manfaatnya dan penelitinya menyimpulkan bahwa dibutuhkan terapi segera dengan dosis lebih besar.5

Cedera Sekunder

Hipertensi kronis merupakan faktor risiko yang poten untuk ICH dan hipertensi menimbulkan rebleeding, akan tetapi ada ketakutan bahwa terapi hipertensi akan menimbulkan terjadinya iskemia. Satu penelitian retrospektif menunjukkan luaran lebih baik bila tekanan darah rata-rata kurang dari 125 mmHg. Akan tetapi, penurunan tekanan darah yang cepat (sampai 60 mmHg) dalam 24 jam menyebabkan memburuknya luaran. Satu penelitian dengan menggunakan positron-emission tomo-graphy (PET) menemukan aliran darah otak perihematoma stabil selama penurunan tekanan arteri rata-rata 15-20% pada pasien yang hipertensi (tekanan arteri rata-rata >120 mmHg) dengan perdarahan yang kecil sampai sedang. Satu penelitian single photon emission CT (SPECT) menunjukkan bahwa aliran darah otak menurun bila penurunan tekanan darah > 20%. 5

Pembentukan edema otak setelah ICH dapat menimbulkan terjadinya herniasi yang berhubungan dengan kematian serta defisit neurologik berat. Walaupun mekanisme pembentukan edema setelah ICH tidak sepenuhnya dapat dipahami, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa lisisnya eritrosit dan toksisitas hemoglobin berperan terhadap kejadian edema yang berlangsung kemudian. Jadi, suatu suntikan Pack red cell (PRC) intraserebral pada nukleus caudatus pada tikus menyebabkan pembentukan edema otak 3 hari kemudian, bila sel-sel sudah lisis. Bila eritrosit sudah lisis sebelum disuntikan, edema otak terjadi dalam 24 jam.10

Hemolisat dari lisis eritrosit setelah perdarahan subarachnoid berperan pada terjadinya vasospasme serebral dan iskemia. Akan tetapi, apakah hemolisat yang menyebabkan vasospasme dan iskemia serebral setelah ICH belum diketahui. Tentu saja, apakah iskemia berperanan terhadap pembentukan edema otak masih kontroversi. Sebagai contoh, ditemukan bahwa tempat terjadi-nya hematoma dapat menentukan apakah aliran darah otak dipengaruhi atau tidak.10

Hemoglobin dan degradasi produknya (oxyhemo-globin, deoxyhemoglobin, atau methemoglobin) dapat mempunyai efek buruk pada otak. Oxyhemoglobin adalah suatu spasminogen setelah perdarahan subarachnoid. Satu suntikan intra-kortikal dari hemoglobin menyebabkan aktivitas spike fokal kronis dan gliosis pada tempat suntikan. Hemoglobin mengaktipkan lipid peroksidase dan membunuh sel neuron pada kultur. Sebagai tambahan, oxyhemoglobin dapat merangsang apop-tosis pada kultur sel endotel, dan adanya apoptosis telah ditemukan pada ICH. 10

Pengelolaan Perioperatif Stroke Hemoragik

62 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Walaupun infus hemolisat eritrosit ke intraserebral menimbulkan edema berat, aliran darah otak disekitarnya masih normal. Daripada akibat karena kerusakan iskemik, keadaan itu menggambarkan bahwa pembentukan edema berhubungan dengan kerusakan sawar darah otak berat akibat dari efek toksik eritrosit yang telah lisis. Kerusakan terjadi setelah eritrosit yang lisis baik secara buatan ataupun alamiah. Apakah iskemia berperan pada pembentukan edema otak setelah ICH masih kontroversial. Penelitian telah menunjukkan bahwa aliran darah otak menurun pada daerah yang berbatasan dengan hematoma. Aliran darah otak perihematoma menurun dibawah 25 ml/100 gr jaringan/menit, tapi penurunan berakhir < 10 menit dan kembali ke nilai normal dalam waktu 3 jam. Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan aliran darah otak sampai 50% terjadi sekitar hematoma hanya dalam jam pertama dan kembali ke level normal dalam 4 jam. Secara umum dikatakan bahwa ambang aliran darah otak untuk cedera iskemik adalah 15-20 mL/100 g jaringan/menit. Hasil ini menunjukkan bahwa level kritis dan lama hipoperfusi tidak terjadi setelah ICH eksperimental dan bahwa edema otak peri-hematoma tidak dihubungkan dengan iskemia serebral, setidaknya dengan ukuran hematoma pada penelitian tersebut. Baru-baru ini, satu penelitian dengan mengukur ATP dan phosphocreatine pada daerah edema perihematoma pada 1, 3, 5 dan 8 jam setelah ICH. Walaupun edema berat terjadi pada semua waktu, tapi level ATP masih dalam batas normal dan phosphocreatine otak meningkat, menunjukkan bahwa tidak terjadi defisit energi sekeliling hematoma. Yang menarik, penelitian lain pada canine dengan ICH menunjukkan bahwa iskemi penumbra tidak terjadi sekeliling bekuan.11-

14

Pada manusia, dilakukan penelitian aliran darah otak perihematoma dengan menggunakan SPECT. Daerah yang mengalami hipoperfusi dini ditemukan sekitar hematoma, yang resolusi dalam 48 jam. Disebabkan karena daerah aliran darah otak yang rendah berkorelasi dengan lingkaran edema perihematoma, mereka menduga bahwa cedera reperfusi mungkin berperanan pada pembentukan edema.10

Disfungsi mitokondria dan bukan iskemia yang menyebabkan metabolisme oksigen pada ICH berkurang.11,12

Patofisiologi ICH belum jelas dimengerti. Terdapat konsensus bahwa pembentukan massa intra-parenkhim akut (hematoma) menyebabkan kerusakan dan pergeseran jaringan. Sejumlah proses patofisiologik sekunder telah disangkutkan sebagai penyebab cedera termasuk adanya iskemia sekeliling hematoma dan berkembangnya edema

serebral, aktivasi proses apoptosis dan efek toksik dari komponen hematoma.

Peranan iskemia sebagai penyebab cedera sekunder telah diteliti dengan PET, disekitar hematoma sebagai daerah berkurangnya aliran darah otak, CMRO2, dan oxygen extraction fraction (OEF). Penemuan OEF sangat penting karena hal itu menunjukkan bahwa keadaan ini disebabkan oleh penurunan metabolisme dibandingkan dengan penurunan aliran darah otak seperti yang terlihat pada iskemia. Bila hal ini primernya akibat penurunan metabolisme, maka penurunan aliran darah otak adalah akibat penurunan kebutuhan bukan penurunan pasokan. Oxygen extraction fraction adalah esensial dalam membedakan dua keadaan; pada iskemia ada pengurangan pasokan oksigen bukan kebutuhan dan OEF tinggi, bila kebutuhan berkurang, seperti pada disfungsi mitokhondria, OEF akan normal atau berkurang. Sebagai tambahan, autoregulasi serebral masih intact sekeli-ling hematoma pada ICH akut, yang mendukung argumen bahwa iskemia bukan merupakan mekanisme dari cedera sekunder.11,15-17

Keadaan hemodinamik serebrovaskuler dan metabolik yang sama, yang terdiri dari aliran darah otak, CMRO2, dan OEF yang rendah terlihat pada cedera otak traumatika. Bukti dari gangguan fungsi respirasi mitokondria telah dilaporkan pada jaringan otak pasien dengan cedera otak traumatika akut yang menjalani tindakan pembedahan.11,18

Prognosis perdarahan intrakranial Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Prognosis berhubungan dengan besarnya hemato-ma. Kalkulasi volume hamatoma adalah berdasar-kan rumus : 4/3Л (A/2)(B/2)(C/2) atau yang lebih sederhana dengan rumus ABC/2 (cm3). Buruk bila ukurannya volume > 60 cm3 dan GCS < 9 (91% meninggal dalam 30 hari), bila volume > 30 cm3 hanya 1/70 yang selamat pada 30 hari. Adanya darah intraventrikuler memperburuk prognosis. Bila volume < 30 cm3 dan GCS 9 atau lebih tinggi keadaan lebih baik dan mortalitas pada 30 hari hanya 19%.

Sampai 50% kasus, perdarahan akan meluas kedalam ventrikel (intraventricular hemorrhage) dan dihubungkan dengan terjadinya hidrosefalus obstruktif dan memperburuk prognosis. Informasi penting tentang pronosis bergantung pada volume perdarahan, keadaan klinis, dan pelebaran ventrikel. Indikator lain yang memperburuk prognosis adalah usia > 79 tahun, suhu tubuh meningkat, ada hidro-sefalus, pupil non reaktif, adanya spot sign.

63Jurnal Neuroanestesia Indonesia

III. Penemuan Klinis dan Diagnosa Pasien dengan ICH khas dengan adanya nyeri kepala yang tiba-tiba disertai dengan mual, muntah, kekakuan leher, photophobia, kadang-kadang disertai dengan hilangnya kesadaran. Pada pemerik-saan, pasien mengalami penurunan kesadaran, meningismus, defisit neurologik fokal, atau perdarahan retina. Pasien umumnya dalam keadaan hipertensi dan mungkin disertai disritmi dan abnormalitas EKG.

Pertama kali pasien harus di CT-scan, kemudian lakukan lumbal puncture bila dengan CT-scan tidak terdiagnosa. Bila CT-scan atau lumbal puncture mendukung kearah ICH, lakukan angiografi serebral atau CT angiografi. 1

Tabel 2. Skor ICH. 4

Komponen Skor ICH Nilai

Penjumlahan Nilai dari setiap Komponen

Scoring Skor GCS 3-4 5-12 13-15 Volume ICH (cm3) >30 <30 IVH ya Tidak Lokasi ICH infratentorial ya tidak Umur >80 <80

2 1 0

1 0

1 0

1 0

1 0

0 1 2 3 4 5

ICH: Intracerebral Hemorrhage; Skor GCS: saat pertama kali diperiksa; Volume ICH: volume hematoma saat pertama kali di CT; IVH adanya intraventricular hemorrhage;

Dikutip dari: Rost N 4

Tabel 2. Hubungan Skor ICH dan Mortalitas 30 hari

Penjumlahan Nilai dari setiap Komponen Scoring

Mortalitas 30 hari (%)

0 1 2 3 4 5

0 13 26 72 97 100

Dikutip dari: Rost N 4

Abnormalitas jantung setelah perdarahan subarakhnoid dapat dibagi kedalam abnormalitas EKG, aritmi jantung, cedera miokardium, dan disfungsi ventrikel. Semua pasien dengan perdarahan subarakhnoid harus diperiksa EKG 12 lead tanpa memandang usia pasien saat masuk rumahsakit.1

Abnormalitas EKG

Empatpuluh persen sampai 70% pasien perdarahan subarakhnoid menunjukkan abnormalitas EKG, dan yang paling banyak (70%) adalah pemanjangan QT, diikuti dengan gelombang T yang inverted atau flat (55%), perubahan segmen ST (28%) dan gelombang U baru (15%). Perubahan EKG tidak memerlukan terapi spesifik. Pemantauan kardiovaskuler dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan untuk dapat mengidentifikasi penyebab atau kontributor tambahan pada perdarahan subarakhnoid.1

Aritmia Jantung

Aritmia Jantung berkontribusi pada kematian, dan paling banyak terjadi dalam minggu pertama. Terlihat pada 35-100% pasien berupa bradikardi, supraventrikular takikardi, atrial flutter, atrial fibrilasi, ectopic beat, ventricular takikardi, ventricular fibrilasi. Sampai 5% mengalami aritmi ventrikel yang mengancam nyawa. Aritmi harus ditangani dengan cepat berdasarkan panduan ACLS. Hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis harus dikoreksi. Obat yang memperpanjang QT interval harus dihentikan.1

Cedera dan Disfungsi Miokardium

Perdarahan subarakhnoid dapat menimbulkan cedera neurokardiogenik. Katekholamine dapat menyebabkan lesi subendokardial.1

IV. Penanganan Terapinya adalah penilaian yang cepat untuk mendeteksi kondisi-kondisi yang dapat diterapi yang menyerupai stroke hemoragik, bantuan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi, kendalikan kejang, CT-scan kepala tanpa kontras, terapi koagulopati, pertimbangkan pemberian recombinant activated factor VII (rFVIIa), dan rawat di neuro ICU.

a) Terapi kondisi yang menyerupai ICH: 1) Hipoglikemi dan abnormalitas metabolik

lainnya, temasuk kelainan homeostasis sodium dan kalsium. Terapi hipoglikemi dengan memberikan 25g glukosa intra-vena.

Pengelolaan Perioperatif Stroke Hemoragik

64 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

2) Meningitis, ensefalitis, sepsis, perdarahan subarakhnoid, syok.

3) Kecanduan opiat. Terapi dengan naloxon 1 mg intravena dan tiamine 100 mg intravena.

b) Bantu airway, breathing, sirkulasi (ABC) c) Koagulopati koreksi secepat mungkin dengan

memberikan fresh frozen plasma (FFP) 15 mL/kg intravena. Disebabkan karena memerlukan infus 1 L atau lebih FFP, status volume harus betul-betul dipantau. Koreksi koagulopati jangka panjang dapat dilakukan dengan memberikan vitamin K 5 mg perhari intramuskuler atau intravena selama 3 hari. Koreksi intravena lebih cepat akan tetapi ada risiko anapilaksis.

d) Kejang diterapi dengan lorazepam 2 mg intravena, fenitoin dengan dosis bolus 15 mg intravena yang diberikan > 20 menit dan dilanjutkan dengan infus 5-7 mg/kg/hari selama 1 bulan.

e) Pertahankan euvolemi dengan larutan isotonik. Cairan hipotonik dapat mengeksa-serbasi edema serebral, dan cairan yang mengandung glukosa jangan diberikan dengan pengecualian pasien yang hipoglikemi.

f) Terapi dengan menaikkan tekanan darah tidak bermanfaat. Pertimbangan tentang eksaserbasi perdarahan harus diimbangi dengan kemungkinan terjadinya iskemia karena obat antihipertensi menurunkan aliran darah otak dan memperburuk iskemia. Sama seperti pasien dengan stroke iskemik, pasien dengan stroke hemoragik terjadi peru-bahan autoregulasi dan memerlukan tekanan darah yang lebih tinggi untuk mempertahankan aliran darah otak yang adekuat. Pada umum-nya, bila tekanan arteri rata-rata 130 mmHg harus sudah diberikan antihipertensi, dan dapat digunakan labetalol atau enalapril untuk menurunkan tekanan darah sebesar 10-15%.

g) Satu penelitian Randomized Controlled Trial (RCT), yang membandingkan dengan plasebo, menunjukkan bahwa pemberian rFVIIa, 80-160 mcg/kg intravena, dalam 4 jam setelah timbul gejala stroke hemoragik menghambat pembesaran ICH dan menurunkan kejadian kematian dan disabilitas berat dalam 3 bulan. Kontraindikasi pemberian rFVIIa adalah penyakit thrombotik dan vaso-oklusif.

h) Pertahankan normotermi. i) Indikasi untuk pemasangan kateter intra-

ventrikel untuk pemantauan ICP dan terapi drainase cairan serebrospinal untuk perdarahan intraventrikular dan hidrosefalus.

j) Penelitian multipel pada pasien diatas 45 tahun gagal menunjukkan keuntungan dari kranio-

tomi untuk evakuasi ICH. Indikasi operasi adalah bila: 1) hematoma serebeler > 3 cm2 atau dihubungkan dengan perburukan neuro-logik, 2) hematoma kortikal besar yang mudah dicapai (<1 cm dari permukaan korteks), dan perburukan neurologik. Pasien yang lebih muda lebih menguntungkan untuk dilakukan operasi daripada pasien tua.

k) Lakukan terapi nutrisi dan untuk mencegah stress ulcer.

l) Kontraindikasi pemberian steroid. m) Tindakan critical care: mempertahankan

tekanan perfusi otak, terapi peningkatan tekanan intrakranial, terapi barbiturat, terapi komplikasi medikal.6

Pengelolaan Dini

Ruptur aneurisma menyebabkan darah masuk ke ruang subarakhnoid dengan sequele multipel yang terjadi dengan cepat. Perdarahan subarakhnoid menyebabkan pelepasan katekholamine dengan akibat terjadi hipertensi, disritmia, dan kemung-kinan kerusakan jantung. Perdarahan dapat menim-bulkan peningkatan tekanan intrakranial akibat volume darah itu sendiri, edema sekelilingnya, atau gangguan drainase ventrikel. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada : 1) pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutu-han pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.1,2

Pengendalian Hemodinamik

Kebanyakan pasien dengan ICH mengalami hipertensi. Disebabkan hipertensi dapat berperan dalam terjadinya re-bleeding, tekanan darah harus dipertahankan dalam rentang normotensi (ESA 2011, sistolik 135 mmHg) sampai aneurisma atau AVM diterapi. Normotensi adalah tekanan darah asal dari pasien tersebut, tapi pada umumnya adalah tekanan arteri rata-rata < 100 mmHg. Walaupun tekanan darah yang lebih tinggi dapat dipertim-bangkan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan vasospasme, risiko rebleeding dan keuntungannya dari hipertensi relatif harus dipertimbangkan dari individu ke individu lainnya.1

Beberapa pasien mengalami hipotensi yang mungkin disebabkan disfungsi miokardium, yang umumnya disebabkan karena perdarahan sub-arachnoid. Infark miokard sekunder dari penyakit jantung koroner sebagai tambahan dari adanya iskemia endokardium akibat meningkatnya katek-holamin setelah perdarahan subarakhnoid harus dipertimbangkan.1

65Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Rekomendasi dari American Heart Association/ American Stroke Association untuk pengelolaan Tekanan darah pada ICH Spontan adalah:

1). Bila tekanan sistolik > 200 mmHg atau tekanan arteri rata-rata > 150 mmHg, lakukan penurunan tekanan darah secara agresif dengan infus kontinu, dan ukur tekanan darah setiap 5 menit.

2). Bila tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan arteri rata-rata > 130 dan ada bukti atau suspek peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan monitor tekanan intrakranial dan penurunan tekanan darah menggunakan pemberian intermiten atau kontinu intravena untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 60-80 mmHg.

3). Bila tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan arteri rata-rata > 130 mmHg dan tidak ada bukti atau suspek peningkatan tekanan intrakranial, kemudian pertimbangkan penu-runan tekanan darah sedang (misalnya tekanan arteri rata-rata 110 mmHg atau target tekanan darah 160/90 mmHg) menggunakan pem-berian intermiten atau kontinu intravena untuk mengendalikan tekanan darah, dan periksa setiap 15 menit.

Tabel 3. Pengelolaan Tekanan Darah pada ICH (pemberian intravena)

Labetalol sampai 100 mg/jam dengan bolus intermiten 5-20 mg atau kontinu (2-8 mg/menit, maksimal 300 mg/hari).

Esmolol 250 ug/kg bolus, kemudian kontinu infus 25-300 ug/kg/menit.

Nitroprusside 0,1-10 ug/kg/menit (infus kontinu saja)

Nicardipin 5 mg/jam, dinaikkan 2,5 mg/jam setiap 15 menit untuk maksimal 15 mg/jam (infus kontinu)

Hydralazine 5-20mg q30 menit sebagai bolus atau 1,5-5,0 ug/kg/menit kontinu

Enalapril 1,25-5 mg intravena bolus q 6 jam (test dose pertama 0,625 mg untuk menghindari risiko penurunan tekanan darah yang curam)

Dikutip dari: Rost N 4

Pengelolaan Hipotensi 1). Phenylephrine 2-10 ug/kg/menit 2). Dopamine 2-20 ug/kg/menit 3). Norepinephrine 0,05-0,2 ug/kg/menit

IV. Simpulan

• ICH adalah penyakit yang dinamis dan memerlukan pemilaian yang berulang dan dilakukan tindakan untuk mengurangi volume hematoma atau mencegah penambahan volume.

• Penyebab morbiditas dan mortalitas: neuro-logik (iskemia akibat vasospasme dan pening-katan tekanan intrakranial), Kardio-pulmonal (aritmia, cedera miokardium, edema paru), dan gangguan elektrolit (hipomagnesemia, hipoka-lemia, dan hiponatremia).

• Pasien dengan ICH memerlukan perawatan ICU melalui kerjasama antara personil di emergensi, neurologist, bedah saraf, anestesi, intensivist.

• Sedasi dan managemen nyeri konsisten dengan status neurologik dan monitoring adalah kom-ponen kunci untuk kenyamanan, memperbaiki tekanan intrakranial dan hipertensi, dan kalau diintubasi, sinkron dengan ventilator.

Daftar Pustaka 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial

hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229-36.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral hemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450-58.

3. Powers WJ. Intracerebral hemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107-S110.

4. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010;143-56.

5. NINDS ICH Workshop Participant. Priorities for clinical research in intracerebral hemorrhage. Report from a national institute of neurological disorder and stroke workshop. Stroke 2005;36:e23-e41.

6. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic brain injury, stroke, and brain death. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, edisi-4, Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins;2007,414-38.

Pengelolaan Perioperatif Stroke Hemoragik

66 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

7. Carhuapoma JR, Wang PY, Beauchamp NJ, Keyl PM, Hanley DF, Barker PB. Diffusion-weighted MRI and proton MR spectroscopic imaging in the study of secondary neuronal injury after intracerebral hemorrhage. Stroke 2000;31:726-32.

8. Reinhard M, Neunhoeffer F, Gerds TA, Niessen WD, Buttler KJ, Timmer J, et al. Secondary decline of cerebral autoregulation is associated with worse outcome after intracerebral hemorrhage. Intensive Care Med DOI 10.1007/s00134-00901698-7.

9. Zazulia AR, Videen TO, Powers WJ. Transient focal increase in perihematomal glucose metabolism after acute human intracerebral hematoma. Stroke 2009;40:1638-43.

10. Xi G, Hua Y, Basin RR, Ennis SR, Keep RF, Hoff JT. Mechanism of edema formation after intracerebral hemorrhage. Effect of extravasated red blood cells on blood flow and blood-brain barriere integrity. Stroke 2001;32:2932-38.

11. Kim-Han JS, Kopp SJ, Dugan LL, Diringer MN. Perihematomal mitochondrial dysfunction after intracerebral hemorrhage. Stroke 2006;37:2457-62.

12. Thiex R, Tsirka SE. Brain edema after intracerebral hemorrhage: mechanism, treatment options, management strategies, and operative indications. Neurosurg Focus 2007;22(5):E6.

13. Belayev L, Saul I, Curbelo K, Busto R, Belayev A, Zhang Y, et al. Experimental intracerebral hemorrhage in the mouse. Histological, behavioral, and hemodynamic characterization of a double-injection model. Stroke 2003;34:2221-27.

14. Mayer SA, Lignelli A, Fink ME, Kessler D, Thomas CE, Swarup R, et al. Perilesional blood flow and edema formation in acute intracerebral hemorrhage. A SPECT study. Stroke 1998;29:1791-98.

15. Schellinger PD, Fiebach JB, Hoffmann K, Becker K, Orakcioglu B, Kollmar R, et al. Stroke MRI in intracerebral hemorrhage, Is there a perihemorrhagic penumbra? Stroke 2003;34:1674-80.

16. Kidwell CS, Saver JL, Mattielo J, Warach S, Liebeskind DS, Starkman S, et al. Diffusion-perfusion MR evaluation of perihematomal injury in hyperacute intracerebral hemorrhage. Neurology 2001;57:1611-17.

17. Wagner KR, Xi G, Hua Y, Kleinholz M, de Courten-Myers G, Myers RE, et al. Lobar intracerebral hemorrhage models in pigs. Rapid edema development in perihematomal white matters. Stroke 1996;27:490-97.

18. Zazulia AR, Diringer MN, Videen TO, Adams RE, Yundt K, Aiyagari V, et al. Hypoperfusion without ischemia surrounding acute intracerebral hemorrhage. Journal of Cerebral Blood Flow and Metabolism 2001;21:804-1.