26
Urban Informal Sector: A Case Study of Street Vendors in Kashmir IJMBS Vol. 3, Issue 1, Jan - March 2013 ISSN: 2230-9519 G. M. Bhat, Aasif Hussain Nengroo Dept. of Economics University of Kashmir, J&K, India Masalah : Terdapat peningkatan jumlah PKL di kota-kota besar seluruh dunia terutama di Negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Di India, jumlah PKL 3% dari jumlah pekerja non pertanian, dimana berarti bahwa terdapat 3,1 Juta PKL di India. Sedangkan, berbelanja dan pemasaran dalam pengertian tradisional India selalu informal, dimana dalam melakukan proses jual beli masih dilakukan secara tradisional. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kehidupan (karakteristik social ekonomi) PKL ini yang secara teratur menawarkan layanan mereka dari fajar hingga senja di lembah Kashmir. Untuk lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut: Untuk mempelajari karakteristik sosio-ekonomi PKL Untuk menganalisis penyebab munculnya PKL. Untuk menganalisis struktur harga dan tingkat pendapatan PKL. Untuk mempelajari kepuasan kerja dan kondisi kerja dari para PKL. Metodologi: Convenient Sampling digunakan untuk memilih sampel dari 200 PKL dari empat pasar utama Srinagar yaitu Lal Chowk-, LD-Market, Batmallo dan Hazratbal. Dari jumlah sampel tersebut, kemudian pemilihan anggota sampelnya dilakukan sesuai dengan proporsi pada tiap jenis dagangan. Pengumpulan data dilakukan dengam wawancara

Rangkuman Jurnal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal PKL

Citation preview

Page 1: Rangkuman Jurnal

Urban Informal Sector: A Case Study of Street Vendors in KashmirIJMBS Vol. 3, Issue 1, Jan - March 2013 ISSN: 2230-9519

G. M. Bhat, Aasif Hussain NengrooDept. of Economics University of Kashmir, J&K, India

Masalah : Terdapat peningkatan jumlah PKL di kota-kota besar seluruh dunia terutama di Negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Di India, jumlah PKL 3% dari jumlah pekerja non pertanian, dimana berarti bahwa terdapat 3,1 Juta PKL di India. Sedangkan, berbelanja dan pemasaran dalam pengertian tradisional India selalu informal, dimana dalam melakukan proses jual beli masih dilakukan secara tradisional. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kehidupan (karakteristik social ekonomi) PKL ini yang secara teratur menawarkan layanan mereka dari fajar hingga senja di lembah Kashmir. Untuk lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut:

Untuk mempelajari karakteristik sosio-ekonomi PKL Untuk menganalisis penyebab munculnya PKL. Untuk menganalisis struktur harga dan tingkat pendapatan PKL. Untuk mempelajari kepuasan kerja dan kondisi kerja dari para PKL.

Metodologi: Convenient Sampling digunakan untuk memilih sampel dari 200 PKL dari empat pasar utama Srinagar yaitu Lal Chowk-, LD-Market, Batmallo dan Hazratbal. Dari jumlah sampel tersebut, kemudian pemilihan anggota sampelnya dilakukan sesuai dengan proporsi pada tiap jenis dagangan. Pengumpulan data dilakukan dengam wawancara terstruktur. Teknik analisis yang digunakan adalah Statistik Deskriptif untuk menginterpretasikan hasil.

Hasil : Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berprofesi sebagai PKL berasal dari keluarga miskin dan buta huruf serta bekerja 7-10 jam sehari. Selain itu, sebagian besar PKL berada di kelompok usia 25-45 tahun. Namun sangat menarik untuk dicatat bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pendapatan laki-laki dan perempuan serta mayoritas dari mereka merasa puas dengan pekerjaan mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berjualan adalah bisnis yang menguntungkan dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian dengan cara yang besar selain menjadi bentuk wirausaha yang membawa ke angka pengangguran di negeri ini.

Page 2: Rangkuman Jurnal

Dynamics of Street vending Phenomenon in the Kisumu Municipality, KenyaInternational Journal of Arts and Commerce, Vol. 1 No. 4 September 2012Jacob Olang’o Onyango, Prof. Olima W.L.A., Dr. Leah Onyango

Masalah : Pedagang kaki lima adalah sub-sektor usaha informal yang beroperasi di ruang-ruang perkotaan yang diperuntukkan lainnya. Pedagang kaki lima dipercaya akan diserap oleh sektor modern seiring berjalannya waktu akan tetapi PKL justru berkembang sebagai pekerjaan alternatif untuk penduduk perkotaan yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan formal. Orang bermigrasi ke pusat-pusat kota, tidak tamat sekolah, dan pekerja yang di PHK bekerja sebagai pedagang kaki lima. PKL menyediakan barang dan jasa dengan harga murah bagi penduduk perkotaan. Kemampuan PKL dalam menyerap tenaga kerja diakui pada tahun 1970 ketika negara-negara berkembang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah serta pengangguran meningkat. Selama ini penelitian terkait PKL dengan penggunaan lahan perkotaan lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi negatif dari pemerintah setempat. Namun, masih sedikit penelitian terkait bagaimana PKL yang diintegrasikan dalam rencana perkotaan. Sedangkan di Kisumu, telah dijumpai adanya kompetisi antara PKL dengan pemerintah. Hal ini diawali dengan PKL yang menempati ruang publik kota sebagai area berjualan, namun pemerintah menganggap kegiatan ini merusak citra kota.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sifat dan pola aktivitas PKL. Populasi penelitian merupakan PKL di kawasan pusat bisnis, pelanggan membeli dari pedagang kaki lima dan Kisumu Kota administrator.

Metodologi: Populasi penelitian terdiri dari PKL menempati ruang kota di sepanjang jalan, taman dan halte bus/terminal, pembeli dagangan PKL, dan pejabat Otoritas Lokal. Populasi penelitian terdiri dari 2.146 PKL yang beroperasi di Kisumu Kota (KMC, 2010). Lokasi PKL yang dipilih adalah di sekitar Halte bus, pasar oile, Kenyatta Highway, Oginga Odinga Street, Ojino Okewi, Ang'awa, Miriu, Nyamlori dan Otieno Oyoo karena di lokasi-lokasi tersebut merupakan konsentrasi tertinggi PKL Kisumu Municipality. Selain itu, dilakukan pula wawancara untuk mengetahui pandangan Walikota, Sekretaris, Bendahara dan Perencana terhadap pola kegiatan PKL.Purposive sampling digunakan untuk sampel Pemerintah Kisumu Municipality. Sedangkan teknik multistage sampling digunakan untuk memilih anggota sampel (PKL). Yang kemudian dilakukan penyebaran kuesioner. Pelanggan yang berpartisipasi dalam penelitian ini ditunjuk oleh pedagang kaki lima yang menanggapi kuesioner. Analisis isi digunakan untuk analisis data kualitatif dari FGD dan wawancara melalui penciptaan tema, kategori dan pola. Data kuantitatif dianalisis menggunakan persentase, regresi logistik multinomial dan Pearson Chi square (χ2).

Page 3: Rangkuman Jurnal

Hasil:1. Sifat PKL

PKL menjual makanan, barang-barang pribadi, barang-barang rumah tangga, pemasok rumah tangga, hardware dan jasa dengan harga relatif lebih murah kepada pembeli. Di samping itu, terdapat PKL dengan jenis dagangan sejenis membentuk kluster dalam berjualan. PKL juga membayar retribusi kepada pemerintah meskipun keberadaan PKL ini illegal. Selain itu, peneliian ini juga menemukan bahwa pendapatan PKL cukup tinggi di atas garis kemiskinan yang telah ditetapkan Bank Dunia (1$ per hari). Pembeli dari PKL ini berasal dari masyarakat yang berpenghasilan rendah, sedang, maupun tinggi.

2. Pola PKLPKL keliling beroperasi dari Senin hingga Minggu, sementara pada Sabtu dan Minggu dijumpai PKL dengan jumlah tertinggi. Waktu yang paling ramai bagi PKL antara pukul 10 am dan 1pm, dan sekitar pukul 4pm hingga 8pm. Pola spasial menunjukkan bahwa PKL kebanyakan berlokasi di trotoar/ pedestrian, dekat bank, tempat usaha bisnis lainnya, atau rumah sakit. Selain itu, lokasi PKL juga cenderung dekat dengan supplier barang dagangan mereka. PKL lain ditemukan bahwa menjual jenis dagangan yang berbeda pada lokasi yang berbeda. PKl menentukan lokasi mereka sendiri tanpa pedoman apapun, oleh karena itu pola PKL terlihat tidak beraturan, sehingga pemerintah daerah memberikan persepsi yang buruk terhadap PKL.

3. PKL sebagai Mata PencaharianSebesar 51,6% dari responden PKL terpaksa menjadi PKL (jika ada pekerjaan lainnya, mereka ttidak akan memilih menjadi PKL). Faktor demografi seperti jenis kelami, pendidikan, dan tempat tinggal mempengaruhi secara signifikan orang untuk menjadi PKL. PKL kebanyakan berjenis kelamin perempuan, berlatar pendidikan yang rendah, serta tinggal di daerah perumahan dengan penghasilan rendah.

4. Faktor Penentu LOkasi PKL di CBDPKL memilih berlokasi dekat dengan kawasan bisnis, rumah sakit, taman, dan ruang terbuka lainnya yang dilalui oleh jalur pejalan kaki. Penentuan lokasi berdagang PKL dipengaruhi oleh daya tarik lokasi, aksesibilitas, jumlah pembeli, jumlah pesaing, temporary occupation (tempat berdagang sementara yang ditetapkan oleh pemerintah), kedekatan dengan supplier dan kedekatan dengan lokasi awal PKL berdagang.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah PKL mengidentifikasi lokasi berdagang mereka dengan sendirinya tanpa ada aturan. Lokasi PKL yang secara acak membuat pola lokasi PKL terlihat tidak beraturan di lingkungan perkotaan. Hal ini membuat Pemerintah Daerah melihat pedagang kaki lima sebagai kegiatan tidak teratur dan memberikan citra buruk ke kota. Rekomendasi dari penelitian ini adalah seharusnya Pemerintah mengatur lokasi PKL untuk diintegrasikan dalam penggunaan lahan perkotaan. Selain itu, perlunya mengubah persepsi negative dari pemerintah terkait kegiatan PKL melalui penelitian lanjutan yang menyoroti peran PKL dalam perekonomian kota.

Page 4: Rangkuman Jurnal

STREET VENDING AND THE USE OF URBAN PUBLIC SPACE IN KUMASI, GHANASolomon-Ayeh, Bettie Emefa; King, Rudith Sylvana and Decardi-Nelson, Isaac

Masalah dan Tujuan: Makalah ini mengkaji tentang ruang publik yang digunakan oleh PKL sebagai mata pencaharian mereka. Di setiap kota di dunia, ruang publik selalau menjadi tempat PKL untuk berjualan. Penelitian ini dilakukan di kota Kumasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini memakai cara pengamatan pribadi, FGD, dan survei lapangan dengan sampel 517 PKL. Penelitian ini menemukan bahwa penentuan lokasi PKL dipengaruhi oleh daya tarik pelanggan. Penelitian ini memberikan saran bahwa aktivitas spasial PKL harus dipahami dan dipertimbangkan kebutuhan ruangnya dalam perencanaan kota. Di rep. Ghana, ruang publik kota seperti ruang terbuka, cagar alam, menjadi aset mata pencaharian bagi PKL untuk tetap berjualan. Padahal di ruang publik tersebut tidak bertujuan untuk berjualan. PKL tidak menemukan tempat yang layak untuk berjualan. Keberadaan PKL di Kumasi terus bermunculan, meskipun telah banyak berdiri toko modern dan adanya peraturan pembatasan PKL. PKL di Kumasi menyebabkan kemacetan, mengganggu trotoar, dan lalu lintas kendaraan.

Metodologi:Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui observasi, FGD, survei lapangan, dan wawancara. Sumber sekunder meliputi buku, jurnal, dan laporan. Sampel yang digunakan meliputi PKL yang berada di klaster pertokoan, jalanan penghubung (gang, jalan kecil), dan di kawasan dengan ruang publik yang ramai. Di setiap tempat tersebut PKL didata terkait lokasi, jenis barang yang dijual, jenis struktur yang digunakan penjual dan sarana dagang yang dipakai. Selanjutnya disiapkan kuisioner dan diajukan ke PKL yang dijadikan sampel. Teknik sampel yang dipakai merupakan systematic random sampling . FGD dilakukan pada 2 asosiasi PKL dan disetiap asosiasi, dilakukan wawancara terhadap pihak eksukutifnya.

Hasil: PKL di Kumasi dikategorikan menjadi 2 kelompok utama, yakni yang PKL menetap, dan PKL bergerak. PKL menetap memakai trotoar, beranda toko, warung, meja, dan kadang menggelar di lantai. Lokasi keberadaan PKL menetap biasanya berkonsentrasi di daerah ramai atau kawasan perumahan. PKL bergerak memiliki lokasi tidak tetap dan bergerak di seluruh kota ataudi pusat kota untuk mencari pelanggan. PKL menetap biasanya menjajakan bahan makanan , buah-buahan dan sayuran , makanan yang dimasak dan berbagai barang-barang manufaktur , seperti alat tulis, jam tangan, dan elektronik. PKL bergerak memiliki dagangan umumnya berupa koran, air es, es krim, biskuit, pakaian bekas dan barang kebutuhan dapur. PKL jenis ini membawa barang di kepala, di tangan mereka atau di gerobak.

Page 5: Rangkuman Jurnal

PKL Kumasi umumnya memiliki pendidikan SD atau tidak tamat belajar. Hal ini berarti mereka tidak dapat meraih pekerjaan formal, sehingga mereka lari ke sektor informal. Penelitian ini memberikan saran kepada pemerintah untuk menjadikan PKL sebagai peluang ekonomi yang dapat diberikan program pelatihan ketrampilan. Keberadaan ruang publik di Kumasi selalu tidak menyediakan sarana atau tempat bagi PKL sehingga perlu adanya perencaan kota yang mengalokasikan ruang supaya memiliki ruang gerak yang layak dan tidak merambah ke ruang publik yang lain. Penelitian ini juga menyarankan kawasan perdagangan harus diintegrasikan dalam skema perencaanan kota.

Page 6: Rangkuman Jurnal

THE SPATIAL LOGIC OF STREET MARKETS: AN ANALYSIS OF SANTIAGO, CHILERodrigo Mora; Fransisco Mora; Carlos Rothman; Margarita Greene

Proceedings of the Ninth International Space Syntax SymposiumEdited by Y O Kim, H T Park and K W Seo, Seoul: Sejong University, 2013

Makalah ini berisi tentang cakupan karakteristik kota dari 331 PKL di Kota Santiago. Sampel yang digunakan adalah dalam radius 600 m ( setara 10 menit berjalan kaki) dari setiap PKL. Hasil penelitian ini menunjukkan bahawa 58 % dari luas kawasan perkotaan memiliki guna lahan berupa PKL. Penelitian ini juga menemukan bahwa PKL cenderung terletak di sepanjang pinggiran jalan. PKL merupakan wadah keberadaan semangat kewirausahaan di kalangan menengah ke bawah. PKL hadir untuk menggambarkan bahwa ada rasa ingin berinvestasi, etos kerja, dan keinginan memperbaiki status ekonomi pada diri pribadi.

Permasalah dalam penelitian ini adalah variabel apa yang menjelaskan lokasi PKL ? Penelitian ini mengukur grid jalanan dari 331 PKL yang berada di Kota Santiago. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa PKL di Santiago terletak di ruang kota sesuai dengan 2 pola logis yang jelas. Pertama, lokasi PKL terkait erat dengan tingkat sosial ekonomi penduduk yang mereka layani. Meskipun di banyak jurnal internasional menyebutkan bahwa PKL terus menerus dikaitkan dengan kehadiran masyarakat menengah kebawah, hingga saat ini belum terbukti adanya hubungan dalam hal tata ruang. Pola logis yang kedua, menunjukkan bahwa ada variabel lain yang penting untuk menentukan lokasi PKL, yakni kegiatan masyarakat yang berada di sekitar jalan yang digunakan PKL untuk berdagang.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan PKL memiliki sifat configurational pada jaringan jalan (jarak geometris dan topologi) lebih berkorelasi dari metrik properti untuk pola pergerakan direkam pada tingkat agregat untuk jaringan yang sama

Page 7: Rangkuman Jurnal

“Street Vendors : Urban Problemand Economic Potential”Harlan DimasPaper prepared for presentation at the First Indonesian Regional Science Association InternationalInstitute (1st IRSA-II)Bandung Institute of Technology (ITB)November 1-3, 2007, Bandung, West Java, Indonesia

Makalah ini berisi bahasan terkait fenomena PKL dan solusi untuk manajemen PKL. PKL merupakan masalah bagi lingkungan kota, terutama untuk jalan dan pengguna trotoar di indonesia. Masalah tersebut menyebabkan kemacetan lalu lintas. Pengaturan terhadap sektor informal dan perbaikan terhadap sampah dari PKL mampu membantu memperbaiki citra kota. Namun sekarang ada usaha perbaikan PKL yang mengarah ke masalah ekonomi.

PKL merupakan kepanjangan dari pedagang kaki lima, istilah ini berasal dari Belanda dimana PKL selalu memakai trotoar selebar 5 kaki / 5 meter (Amir Sidharta, Kompas, 8/2/06). PKL dibagi menjadi 2 yakni PKL dinamis dan PKL Statis (Bhowmik 2002). PKL Dinamis adalah PKL yang mendatangi pengunjung atau konsumennya, sedangkan PKL statis adalah yang mempunyai homebase. Kebanyakan orang berpendapat negatif tentang PKL karena PKL selalu mengganggu trotoar jalan dan jalan utama. PKL juga mengganggu pertokoan yang ada di pinggir jalan, karena PKL selalu berada di depan toko. Selain itu PKL juga merusak sistem pasar tradisional. Para PKL selalu menggelar lapak di depan pasar, sehingga pengunjung tidak masuk ke dalam pasar.

Dalam makalah ini mengapa harus mengatasi PKL ? karena PKL adalah kegiatan ekonomi sederhana yang memiliki potensi besar. PKL selalu melayani kebutuhan konsumen. PKL selalu menawarkan harga yang lebih murah dibanding toko legal karena PKL mengeluarkan modal yang sedikit pula, tidak harus membayar pegawai karena biasanya mempekerjakan keluarga sendiri. Penataan PKL berupa pembersihan dan penggusuran PKL dianggap kontra produktif karena menyebabkan kerugian di pihak PKL dan kerugian di pihak pemerintahan. Dalam menata PKL memerlukan cara-cara yang tepat untuk mengatur dan menatanya : 1. perubahan pola pikir.

Membuat kebijakan terhadap PKL harus sesuai dengan tindakan PKL sehingga para PKL mau untuk ditata dan diatur

2. faktor penting dari makroekonomi. Dengan adanya sistem ekonomi yang mapan, pekerjaan pada sektor informal akan berkurang. Sehingga membuat PKL juga akan berkurang.

3. Pengembangan ekonomi yang mengarah pada pengembangan pedesaan. Kebnyakan PKL merupakan masyarakat desa yang berpindah ke kota, jika pengembangan diarahkan ke kawasan desa, maka PKL juga akan berkurang.

4. pembiayaan mikro oleh bank komersial.

Page 8: Rangkuman Jurnal

Dengan adanya pembiayaan mikro dari bank komersial, mendorong masyarakat untuk menghasilkan usaha yang lebih mapan dari sekedar membuat dagangan informal yang meresahkan.

5. kemudahan dalam birokrasi ekonomi mikro. Hal yang menyebabkan PKL liar adalah birokrasi untuk izin usaha yang sulit. Bagi kalangan PKL biaya izin usaha merupakan biaya yang besar dan sia sia. Pada PKL hanya mampu mengusahakan modal usaha, namun tidak mampu untuk membayar izin usaha mikro nya.

6. faktor arsitektur PKL pada awalnya merupakan pedagang yang sah. Mereka berdagang di lingkungan kawasan perdagangan (pasar). Namun karena kawasan dagang yang direnovasi ulang, kmudian dibuat kios baru dan pedagang harus membeli dengan harga mahal ( mengejar balik modal pembuatan bangunan ), atau dengan harga sewa yang tinggi, mereka memilih untuk tidak kembali ke pasar, dan berjualan sebagai pedagang jalanan. Sehingga jika mampu mendesain ruang untuk PKL yang mudah dijangkau harganya, PKL jalanan akan berkurang.

7. kontribusi Perencana Kota Tren arsitektur perencana kota yang memaksimalkan ruang publik dan mengurangi ruang pribadi, menyebabkan harga tanah melambung tinggi. Hal ini menyebabkan PKL yang berpenghasilan rendah sangat susah untuk mendapatkan ruang. Padahal mereka juga membutuhkan ruang gerak. Perencana Kota mempunyai kontribusi untuk menciptakan ruang publik yang dapat dijamah PKL, namun tidak merugikan ruang publik kota.

Page 9: Rangkuman Jurnal

HUMAN DEVELOPMENT AND THE URBAN INFORMAL SECTOR IN BANDUNG, INDONESIA: THE POVERTY ISSUEEDI SUHARTOBandung School of Social WelfareNew Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (December, 2002): 115-133.

Isu yang paling mencolok dalam sektor informal adalah masalah kemiskinan. Sektor informal terus berputar pada kegiatan mata pencaharian yang lain. Indonesia memiliki salah satu perekonomian sektor informal terbesar di dunia. Meskipun memiliki angka yang besar, sektor ini memiliki produktivitas yang rendah. Penelitian ini mencoba mencocokkan temuan dengan ketersediaan data karakteristik sosial ekonomi PKL berdasarkan 3 perspektif pembangunan manusia. yang meliputi modal ekonomi, manusia dan sosial. Penelitian ini dilanjutkan dengan mengidentifikasi hubungan antara sektor informal perkotaan dan kemiskinan.

Penelitian ini dilakukan di Bandung, dalam waktu 5 bulan. Semenjak april hingga agustus 1999. Sampel lokasi yang dipilih adalah Cicadas, Simpang, alun lun, dan Cicaheum. Sampel ini mewakili PKL di tepi jalan, sekitar pasar umum, kawasan komersial, dan terminal. Sampel yang diambil memakai teknik cluster sampling multistage. Total sampel yang dipilih adalah 150 orang. Pengunpulan data menggunakan teknik kuesioner dan wawancara informal. Selain itu juga dilakukan observasi lapangan.

Hasil dari penelitian ini adalah, terdapat 3 kelompok PKL yang dikategorikan berdasarkan tingkat kemiskinannya: 1. PKL miskin (the poor)

PKL ini mendapatkan keuntungan kurang dari 10ribu, dimana dibawah garis kemiskinan (minimal berpendapatan 1$ per hari). Terdapat 24%PKL (pendapatan dari berdagang) dan 20% PKL (pendapatan rumah tangga) yang berada di kelompok ini.

2. PKL rentan (vulnerable)PKL yang termasuk dalam kelompok ini berpendapatan 10-30ribu per hari. Terdapat 60% PKL yang berada di dalam kelompok ini.

3. PKL mampu (better off)PKL yang termasuk dalam kelompok ini berpenghasilan lebih dari 30ribu per hari. Terdapat 16%PKL (pendapatan dari berdagang) dan 20% PKL (pendapatan rumah tangga) yang berada di kelompok ini.

Page 10: Rangkuman Jurnal

Sedangkan jika dilihat dari sisi human capitalnya, hampir semua PKL pernah menjalankan pendidikan formal. Pola yang mencolok terlihat bahwa PKL yang menjual barang non makanan mayoritas lulus SMA, PKL jasa mayoritas lulusan SMP, sedangkan PKL yang makanan mayoritas lulusan SD. Di sisi lain, sebesar 85% PKL memiliki hunian/ rumah yang dilengkapi dengan fasilitas air, toilet, listrik, dan berlantai permanen. Namun, PKL jasa memiliki rumah/hunian dengan kondisi yang lebih baik jika dibandingkan PKL dengan jenis dagangan lainnya.

Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa PKL yang berjualan, rata rata memiliki pendapatan yang rendah. Namun, meskipun sebagai masyarakat dengan pendapatan rendah, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendapatan mereka yang rendah ternyata masih dapat mengakses pelayanan kesehatan seperti dokter dan puskesmas serta fasilitas permukiman seperti air, toilet, dan listrik.

Page 11: Rangkuman Jurnal

Fenomena penolakan PKL di kota-kota Indonesia menunjukkan persepsi PKL sebagai 'keluar dari tempat' elemen perkotaan. Media telah terus-menerus berfokus pada fenomena ini dan menggambarkan penolakan PKL oleh pemerintah, "menuduh para pedagang melanggar ketertiban umum" (Saraswati, 2001), dan "sebagai sumber lalu lintas fi c kemacetan dan sampah yang menghambat pelaksanaan yang tepat perencanaan kota "(Tau fi qurrahman, 2003). Tindakan pemerintah daerah dalam mengatur keberadaan PKL pada dasarnya merupakan upaya mereka "untuk mengembalikan ketertiban dan kebersihan untuk daerah" ('Kota mengancam', 2000).

Ilustrasi ini jelas menunjukkan bagaimana PKL diposisikan sebagai 'keluar dari tempat' elemen di kota. Mereka dituding sebagai mengancam agar diberlakukan oleh pemerintah setempat. Mereka dianggap ancaman bagi upaya untuk menciptakan ketertiban dan untuk mencapai keselarasan dan kesempurnaan dalam lingkungan perkotaan.

Oleh karena itu, dari sudut pandang pemerintah, menghilangkan PKL dari daerah perkotaan telah menjadi "sebuah upaya positif untuk mengatur lingkungan" (Douglas, 1966, hlm. 2). Penghapusan PKL dianggap menjadi tanda kemajuan dalam lingkungan perkotaan (Bromley, 2000).

Sikap pemerintah daerah terhadap PKL kembali proyek-fl praktek perencanaan kota modern yang menekankan urutan spasial (Lo fl dan 1973). Hal ini sangat banyak refleksi dari pepatah terkenal Konstan Perin itu, "tempat untuk segala sesuatu dan segala sesuatu di tempatnya". Dalam kerangka perencanaan kota, di mana tujuannya adalah penataan ruang, tata PKL tidak memiliki tempat di kota. Kehadiran mereka di tempat umum menjadi pelanggaran zona fungsional yang telah ditentukan oleh otoritas perkotaan. Namun, prinsip-prinsip seperti tata ruang dalam perencanaan kota modern telah dikritik oleh banyak

Page 12: Rangkuman Jurnal

(termasuk Jacobs, 1961; Sennett, 1970), terutama untuk kegagalan mereka untuk mengakomodasi keragaman dan dinamika kehidupan perkotaan.

Jalan penjual di kota merupakan perwakilan dari kegiatan sebagian besar diprakarsai oleh akar rumput perkotaan dan sebagai produk dari kemiskinan. Ini telah memposisikan PKL sebagai 'kotoran' atau 'jahat' di kota (Geddes, 1979; Appadurai, 2003); "Orang miskin tentu peduli dari tempat" (Appadurai, 2003, hal. 48). Persepsi PKL sebagai 'keluar dari tempat' jauh terkait dengan konteks sosio-budaya (Douglas, 1966; Cresswell, 1996). Apa yang dianggap sebagai 'keluar dari tempat' mungkin berbeda di masyarakat yang berbeda atau kelompok orang yang berbeda. Maka penghakiman PKL sebagai 'keluar dari tempat' dibangun secara sosial.

Fenomena penolakan PKL di kota ini juga merupakan manifestasi dari pengucilan sosial di kota-kota. "Kota secara keseluruhan menyediakan kerangka kerja untuk diferensiasi sosial dan pemisahan ..." (Madanipour, 2004, hal. 270) dan dalam kerangka seperti PKL, yang relatif miskin, memiliki hak dan akses terbatas pada ruang-ruang kota-kota. The pengucilan sosial masyarakat miskin juga telah memberikan kontribusi terhadap munculnya ketidakteraturan di ruang publik, dengan kehadiran terus 'jalan kesalahan' (Ellickson, 1996). Dengan cara ini, kehadiran PKL sebagai wakil dari kemiskinan dan ketidaksopanan publik dianggap sebagai mencemari ruang kota dan dengan demikian perlu dibersihkan. Sikap terhadap PKL sebagai 'keluar dari tempat' elemen juga dapat dianggap sejajar dengan sikap umum terhadap elemen perkotaan lainnya yang menyampaikan gambar visual negatif. Ini termasuk kehadiran 'buang tempat' dalam berbagai bentuk di kota, dari tanah terlantar, kuburan, daerah padang gurun perkotaan dan pembuangan kota (Lynch, 1990). Tempat tersebut sering dianggap sebagai kotoran di kota, sebagai

Page 13: Rangkuman Jurnal

kejahatan kehidupan kota yang harus keluar dari pandangan (Geddes, 1979). Namun, dalam pengantarnya untuk Lynch (1990), Southworth menekankan bahwa sampah di kota ini tidak dapat dihindari. Ilustrasinya jelas menunjukkan bahwa kehadiran 'keluar dari tempat' di kota merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari di perkotaan yang tidak dapat diterima begitu saja.

Penilaian bahwa PKL adalah sesuatu 'dari tempat' sebagian besar ditentukan oleh perkotaan elit-kelompok dengan tanggung jawab terbesar untuk mengendalikan ruang kota. "Persepsi apa yang dianggap perilaku yang sesuai bervariasi antara kelompok sosial, tetapi mereka dalam posisi otoritas dapat label kelompok atau kegiatan tertentu sebagai menyimpang" (Nolan, 2003, hal. 311).

Cara bahwa pemerintah daerah berkaitan dengan PKL adalah untuk batas tertentu menunjukkan cara berurusan dengan kotoran seperti yang dijelaskan oleh Douglas (1966): "Pertama mereka dikenali dari tempat, ancaman terhadap ketertiban, dan dianggap sebagai objek dan penuh semangat mengusap "(hal. 197). Selanjutnya, niat untuk menyingkirkan para PKL juga menunjukkan otoritas '' zero toleransi 'terhadap segala sesuatu yang dianggap mengancam tatanan (Kelling & Coles, 1996). Melalui tindakan penghapusan upaya pemerintah untuk mencegah kemungkinan kerusakan lebih lanjut pada citra lingkungan perkotaan.

Dalam kegiatan sehari-hari mereka, para PKL menempati "konflik zona" di kota-kota, yang diklaim oleh kota pejabat sebagai ilegal (Cross, 1998b, hal. 17) atas nama estetika perkotaan dan ketertiban. PKL telah menjadi sektor yang rentan yang sering kehilangan pertempuran ruang di kota-kota modern (Post, 1995). Masalah PKL di kota mencerminkan sebuah konflik antara fi harapan resmi dari lingkungan perkotaan yang ideal dan PKL sebagai realitas kehidupan perkotaan. Mereka juga mencerminkan ketegangan antara kota yang ideal modern dan PKL

Page 14: Rangkuman Jurnal

sebagai wakil kekuasaan akar rumput lokal dan identitas. Untuk modernis dan otoriter, jalan penjual dianggap sebagai "manifestasi dari kedua kemiskinan dan keterbelakangan, dan penghapusan dipandang sebagai kemajuan menuju dunia baru yang berani maju kemakmuran universal" (Bromley, 2000, hal. 12). Namun demikian, ketegangan seperti akhirnya menimbulkan pertanyaan identitas tempat, di mana penghapusan PKL juga menyiratkan penghapusan karakter wilayah itu.

Kehadiran PKL sebagai 'keluar dari tempat' juga tampaknya terkait dengan alam sebagai elemen sementara di kota. PKL, dengan karakteristik mereka elemen sementara, tidak direncanakan dan tak terduga, dianggap sebagai mengganggu ketertiban lingkungan perkotaan. Oleh karena itu para PKL dengan alam sementara mereka rentan terhadap penggusuran.

Situasi paralel dapat diamati dalam kasus grafiti sebagai 'keluar dari tempat' elemen di ruang publik (Cresswell, 1996). Grafiti telah disebut sebagai "sampah, polusi, kecabulan, epidemi, penyakit, kanker, satu bentuk kekerasan, berbahaya, dan produk dari gila, ghetto, dan barbar" (hal. 37).

Grafiti adalah 'keluar dari tempat' karena tidak sesuai dengan harapan apa yang tepat dan apa yang tidak. Akibatnya, reaksi terhadap grafiti menunjukkan bahwa itu bukan milik di tempat umum, dan bahwa hal ini terkait dengan "tempat-lain lain konteks-mana baik agar berbeda dan lebih setuju untuk graf fi ti atau gangguan yang lebih menonjol" (Cresswell , 1996, hal. 37).

Namun, seperti PKL menghasilkan baik penilaian negatif dan positif, grafiti dapat juga memiliki posisi ambigu dalam ruang publik perkotaan (Barthel, 2002). Di satu sisi, itu dianggap mengancam estetika perkotaan yang ideal dan karena itu perlu dihapus dari kota. Di sisi lain, grafiti

Page 15: Rangkuman Jurnal

menawarkan kontribusi positif kepada masyarakat, menyatukan orang-orang muda dan memungkinkan mereka untuk memperoleh rasa kesadaran diri dan pemberdayaan. Creswell (1996) menjelaskan bahwa grafiti dapat dilihat baik sebagai kejahatan dan sebagai seni. Grafiti yang dianggap 'keluar dari tempat' di jalan-jalan umum bisa menjadi seni dalam konteks galeri; karena itu menjadi 'di tempat'. Ini telah berubah dari merusak pemandangan menjadi bagian berharga dari seni. Bahan fisik yang sama dari grafiti dapat menampilkan atribut yang berbeda ketika ada dalam konteks yang berbeda. Salah satu atribut yang membuat grafiti-sebagai-kejahatan yang berbeda dari grafiti-sebagai-art adalah sifat sementara dari grafiti. Grafiti di ruang publik relatif sementara karena dapat dibersihkan dari kapan saja. Sementara itu, kehadiran grafiti di sebuah galeri yang lebih permanen. Hal ini menunjukkan bahwa 'keluar dari tempat' ini terkait dengan sejauh mana sebuah benda permanen atau sementara. Objek yang lebih sementara adalah lebih rentan terhadap penolakan, seperti halnya untuk noda yang dapat dengan mudah dibersihkan kapan saja (Cousins, 1994). Kerentanan tersebut juga terjadi dalam kasus PKL, dan telah menghasilkan kecenderungan untuk menghilangkan mereka dari lingkungan perkotaan.

Namun demikian, ada pertanyaan apakah penghakiman umum PKL sebagai 'keluar dari tempat' bisa berlaku untuk semua situasi. Douglas (1966) berpendapat bahwa penentuan sesuatu yang 'keluar dari tempat' mungkin tidak mutlak, tapi banyak tergantung pada konteks itu ada. Nolan (2003) memperluas argumen ini dengan mengidentifikasi fakta bahwa sebuah objek atau kegiatan dapat dianggap sebagai 'keluar dari tempat' dan 'di tempat' pada waktu yang sama. Argumennya didasarkan pada pemeriksaan tentang berbagai kejadian kegiatan skateboarding di ruang publik, yang umumnya dianggap tidak pantas oleh banyak orang karena sering dianggap sebagai berbahaya dan merusak. Hal ini telah

Page 16: Rangkuman Jurnal

menjadi praktek umum untuk melarang pemain skateboard dari ruang publik. Nolan (2003) percaya bahwa sejauh mana skateboard adalah 'di tempat' atau 'keluar dari tempat' tidak begitu sederhana. Skateboarding mungkin terlihat lebih sah di lokasi tertentu daripada yang lain. Ada juga perbedaan antara 'baik' skateboard dan 'buruk' skateboard karena tidak semua skateboard properti dan kegiatan kerusakan menjadi berbahaya bagi orang lain. Oleh karena itu, ia menyarankan bahwa tidak masuk akal untuk memecahkan masalah skateboard dengan benar-benar melarang aktivitas ini dari ruang publik.

Dari studi aktivitas skateboard, Nolan (2003) menyimpulkan bahwa: suatu kegiatan kadang-kadang bisa baik dalam dan keluar dari tempat di ruang yang sama, dan bahwa aturan hitam dan putih hukum mungkin bukan cara yang paling efektif untuk mengelola skateboarding atau kegiatan lainnya. (Pp. 325-326)

Contoh dalam bagian ini menunjukkan bahwa menentukan apakah atau tidak ada sesuatu yang 'keluar dari tempat' di kota-kota bukanlah tugas yang mudah. Sebuah objek atau kegiatan dapat menjadi 'di tempat' dan 'keluar dari tempat' tergantung pada konteks. Dalam berurusan dengan 'keluar dari tempat', tampaknya bahwa generalisasi dalam menentukan apakah atau tidak suatu objek atau aktivitas 'keluar dari tempat' bisa menyesatkan.

Dalam kasus PKL di Jakarta, telah ada beberapa bukti bahwa persepsi PKL tidak sepenuhnya negatif. Sikap ambigu terhadap pedagang kaki lima (Bromley, 2000), seperti yang dibahas sebelumnya, telah menunjukkan ini.

Fakta ini menunjukkan beberapa kemungkinan bahwa PKL juga bisa menjadi 'di tempat' dalam situasi artikular, dan bahwa persepsi PKL sebagai 'keluar dari tempat' mungkin tidak mutlak. Hal ini menimbulkan

Page 17: Rangkuman Jurnal

pertanyaan lebih lanjut mengenai penilaian terhadap PKL sebagai 'keluar dari tempat', apakah kehadiran mereka sebagai 'keluar dari tempat' elemen di kota-kota dapat digeneralisasi.