17
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 8 Nomor 1 Halaman 1-227 Malang, April 2017 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 149 in accounting education. Textbook from Western that contains no values of Indonesia ideology are taught at various universities. Accounting rules, entirely oriented to foreign guidelines without consideration of the value of ideology. Contributions of this article can be used as a discourse and consideration for accounting faculty in internalize the values of Pancasila and for the curriculum formulator based KKNI to insert Pancasila values in various course in Accounting. Kata kunci: pancasila, pendidikan akuntansi, kurikulum QUO VADIS 1 PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI INDONESIA? Yuyung Rizka Aneswari 1) Lucy Sri Musmini 2) 1) STIE Kesuma Negara Blitar, Jl. Mastrip No. 59, Kepanjen Kidul, Blitar, Jawa Timur, 66111 2) Universitas Pendidikan Ganesha, Jl. Udayana No.11, Singaraja, Bali Surel: [email protected] 1 Quo Vadis artinya kemanakah perginya “Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu.” (Soekarno) Sebagai warga Negara Indonesia kita semua pasti sepakat bahwa Pancasila meru- pakan weltanschauung 2 bangsa ini yang se- harusnya menjadi rel atau penunjuk jalan seluruh praktik dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Semua pasti juga sepakat bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mengangkat de- rajat generasi dan sebagai peletakan dasar karakter utama akuntan yang beretika dan profesional. Dalam hal ini bahasan utama kita adalah mengenai pendidikan akuntansi. Terinspirasi dalam sebuah pelatihan Kuri- kulum akuntansi manajemen dan manaje- men keuangan berbasis Kerangka Kualifi- kasi Nasional Indonesia (KKNI) muncul se- buah fenomena yang menarik menurut kami untuk diangkat dalam sebuah artikel. Salah 2 Weltanschauung artinya adalah pandangan hidup dalam hal ini dapat dimaknai sebagai idiologi (yak- ni Pancasila) http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7045 Abstrak: Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi? Pene- litian ini bertujuan memberikan wacana untuk membangkitkan nilai Pancasila dalam proses pendidikan akuntansi. Penelitian menggunakan telaah deskripsi kritis. Hasil pembahasan menunjukkan nilai Pancasila mulai ditinggalkan dalam pendidikan akuntansi. Buku ajar dari Barat yang tidak mengandung nilai ideologi Indonesia banyak diajarkan di ber- bagai perguruan tinggi. Aturan akuntansi sepenuhnya berkiblat pada pedoman luar negeri tanpa pertimbangan nilai ideologi. Kontribusi artikel ini dapat dijadikan wacana dan pertimbangan bagi para dosen akuntansi dalam menginternalisasi nilai Pancasila dan menjadi wacana bagi para perumus kurikulum berbasis KKNI untuk memasukkan nilai Pancasila di dalam berbagai mata kuliah Akuntansi. Abstract: Quo Vadis Pancasila in an Accounting Education in Indo- nesia? This study aims to give a discourse to generate values of Pancasila in the process of accounting education. Research using critical description. Discussion of the results showed values of Pancasila becoming obsolete Tanggal Masuk 11 Januari 2017 Tanggal Revisi 06 April 2017 Tanggal Disetujui 30 April 2017

QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 8 Nomor 1 Halaman 1-227 Malang, April 2017 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

149

in accounting education. Textbook from Western that contains no values of Indonesia ideology are taught at various universities. Accounting rules, entirely oriented to foreign guidelines without consideration of the value of ideology. Contributions of this article can be used as a discourse and consideration for accounting faculty in internalize the values of Pancasila and for the curriculum formulator based KKNI to insert Pancasila values in various course in Accounting.

Kata kunci: pancasila, pendidikan akuntansi, kurikulum

QUO VADIS1 PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI INDONESIA?

Yuyung Rizka Aneswari1)

Lucy Sri Musmini2)

1)STIE Kesuma Negara Blitar, Jl. Mastrip No. 59, Kepanjen Kidul, Blitar, Jawa Timur, 661112)Universitas Pendidikan Ganesha, Jl. Udayana No.11, Singaraja, BaliSurel: [email protected]

1 Quo Vadis artinya kemanakah perginya

“Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah,

Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya

Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di

atas dasar Pancasila itu.”(Soekarno)

Sebagai warga Negara Indonesia kita semua pasti sepakat bahwa Pancasila meru-pakan weltanschauung2 bangsa ini yang se-harusnya menjadi rel atau penunjuk jalan seluruh praktik dalam pemerintahan dan

kehidupan masyarakat Indonesia. Semua pasti juga sepakat bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mengangkat de-rajat generasi dan sebagai peletakan dasar karakter utama akuntan yang beretika dan profesional. Dalam hal ini bahasan utama kita adalah mengenai pendidikan akuntansi. Terinspirasi dalam sebuah pelatihan Kuri-kulum akuntansi manajemen dan manaje-men keuangan berbasis Kerangka Kualifi-kasi Nasional Indonesia (KKNI) muncul se-buah fenomena yang menarik menurut kami untuk diangkat dalam sebuah artikel. Salah

2 Weltanschauung artinya adalah pandangan hidup dalam hal ini dapat dimaknai sebagai idiologi (yak-ni Pancasila)

http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7045

Abstrak: Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi? Pene- litian ini bertujuan memberikan wacana untuk membangkitkan nilai Pancasila dalam proses pendidikan akuntansi. Penelitian menggunakan telaah deskripsi kritis. Hasil pembahasan menunjukkan nilai Pancasila mulai ditinggalkan dalam pendidikan akuntansi. Buku ajar dari Barat yang tidak mengandung nilai ideologi Indonesia banyak diajarkan di ber- bagai perguruan tinggi. Aturan akuntansi sepenuhnya berkiblat pada pedoman luar negeri tanpa pertimbangan nilai ideologi. Kontribusi artikel ini dapat dijadikan wacana dan pertimbangan bagi para dosen akuntansi dalam menginternalisasi nilai Pancasila dan menjadi wacana bagi para perumus kurikulum berbasis KKNI untuk memasukkan nilai Pancasila di dalam berbagai mata kuliah Akuntansi.

Abstract: Quo Vadis Pancasila in an Accounting Education in Indo- nesia? This study aims to give a discourse to generate values of Pancasila in the process of accounting education. Research using critical description. Discussion of the results showed values of Pancasila becoming obsolete

Tanggal Masuk 11 Januari 2017Tanggal Revisi 06 April 2017 Tanggal Disetujui30 April 2017

Page 2: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

150 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

satu pengisi materi menyampaikan bahwa terdapat salah satu bahasan mengenai si-kap mahasiswa sebagai salah satu aspek penilaian. Sikap yang perlu dinilai sebetul-nya adalah sikap setia pada UUD 1945 dan Pancasila. Namun, sikap tersebut kemudian tidak dimasukkan dalam aspek penilaian sebab dianggap sulit dalam melakukan assessment-nya.

Hal ini merupakan ironi bahwa Pan-casila kemudian menjadi asing bagi bangsa sendiri. Berdasarkan argumentasi bahwa terdapat kesulitan dalam melakukan pe-nilaian sikap setia pada UUD 1945 dan Pan-casila, lantas menjadi bentuk rasionalisasi untuk tidak memasukkan aspek tersebut dalam penilaian. Pengalaman menarik juga dialami oleh salah satu tim peneliti ketika mempresentasikan penelitian mengenai per-pajakan yang dikaitkan dengan nilai Panca-sila dalam sebuah konferensi SSBRN di Bali pertengahan tahun 2016. Sebagian besar peserta tampak asing dengan bahasan Pan-casila ketika dijadikan sebagai alat analisis penelitian.

Indonesia merdeka sudah 72 tahun, tetapi tampaknya negeri ini belum berdaulat seutuhnya. Perlu kita sadari bersama bahwa sebetulnya dalam dunia pendidikan akun-tansi, kita ini masih dijajah. Jika kita cermati mengenai buku-buku yang dijadikan acuan mengajar di dalam penyelenggaraan penga-jaran, semua buku itu ditulis dan diterbitkan dari negara Barat yang basisnya jelas bukan Pancasila. Kita belum berdaulat dalam hal penyediaan buku sebagai bahan ajar un-tuk penyelenggaraan pengajaran akuntansi di Indonesia. Regulasi-regulasi yang dike-luarkan oleh IAI juga dirasa menunjukkan keterjajahan kita pada dunia Barat. Salah satunya adalah adopsi terhadap Intenation-al Financial Reports Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Yang perlu kita per-tanyakan adalah apakah adopsi IFRS sudah sesuai dengan kebutuhan kita? Mengingat negara kita pasti berbeda dengan negara lain dalam hal kondisi lingkungan, budaya, dan yang utama adalah ideologi yang dipegang.

Ludigdo (2013) membahas bagaimana di Indonesia kerusakan moral terjadi di ber-bagai segmen masyarakat mulai dari ma-syarakat kelas ekonomi bawah hingga pada pejabat di pemerintahan. Rendahnya moral dan didukung kontrol yang lemah memicu terjadinya kecurangan. Kecurangan terjadi

mulai dari kecurangan siswa SMA dalam Ujian Nasional hingga kecurangan yang ba-nyak terjadi di pemerintahan kita. Penelitian Ludigdo (2013) membuka mata kita bahwa pendidikan harus disepakati bersama se-bagai peletak dasar karakter bangsa. Pen-didikan yang didasarkan pada ideologi Pan-casila akan memperbaiki kerusakan moral generasi penerus Indonesia. Menyikapi hal ini dalam makalahnya Ludigdo (2013) me-ngajukan Pancasila sebagai alat perlawanan terhadap Fraud. Pancasila dalam setiap si-lanya memiliki pandangan moral yang luar biasa dan apabila diamalkan secara kon-sisten akan mampu menopang cita-cita per-adaban bangsa (Ludigdo, 2013). Penelitian Cahyanto & Parikesit (2011) mencoba me-mahami carut-marutnya bisnis secara global saat ini. Maka, Cahyanto & Parikesit (2011) memandang bahwa etika bisnis Pancasila dengan mengambil nilai gotong royong akan mampu menjadi penawarnya. Kamayanti (2014) menggunakan pendekatan dialogis berusaha melakukan integrasi Pancasila dalam pendidikan akuntansi. Kamayanti (2014) melihat bahwa pendidikan akuntansi terpenjara dalam objetivitas dan rasional-isme sebab begitu identiknya akuntansi de-ngan angka dan kuantifikasi. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa internalisasi nilai Pancasila dapat diterapkan melalui penanaman rasa cinta terhadap Pancasila dan sekaligus memberikan wacana bahwa proses untuk internalisasi Pancasila bu-kan hanya perlu kesadaran melainkan juga keinginan untuk memperbaiki pendidikan akuntansi di Indonesia.

Jika kita sebagai orang Indonesia tidak mau bergerak untuk mulai mengimplemen-tasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap nafas kehidupan, kita harus siap menerima fakta generasi penerus kita kelak hanya akan mengetahui Pancasila sebagai sebuah legenda. Perubahan itu harusnya diawali dari pendidikan dan pendidiknya. Untuk menciptakan akuntan yang profesional de-ngan jiwa Pancasila perlu aksi dari pendidik untuk mulai menginternalisasi Pancasila. Fokus penelitian ini adalah mengkritisi ke-tiadaan internalisasi Pancasila dalam proses pengajaran akuntansi. Tujuannya adalah untuk mencoba merangsang akademisi un-tuk kembali meresapi dan membangkitkan kembali nilai Pancasila untuk dimasukkan dalam proses pengajaran akuntansi.

Page 3: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 151

METODEPenelitian ini menggunakan deskripsi

kritis melalui telaah literatur, wawancara, dan pengamatan. Kritis sebenarnya hampir mirip dengan interpretif, tetapi pada para-digma kritis terdapat perwujudan evaluatif atas suatu makna yang sudah digali serta lebih kritis (Darmayasa & Aneswari, 2015). Paradigma kritis tidak sepenuhnya meneri-

ma makna yang diperolehnya. Namun, ada usaha untuk melakukan perubahan makna untuk menggeser adanya dominasi. Sepakat dengan Chua (1986) bahwa teori yang di-hasilkan dari paradigma kritis akan sangat besar manfaatnya dalam identifikasi serta untuk menekan adanya dominasi. Domi-nasi yang kita soroti adalah dominasi barat dalam pendidikan akuntansi, yang masuk

Tabel 1. Daftar Informan Penelitian

Sumber : Tim Peneliti

Page 4: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

152 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

melalui buku-buku bahan ajar akuntansi. Dominasi barat ini juga tampak dalam adop-si IFRS. Artinya bahwa melalui paradigma ini kami mencoba membebaskan pendidikan akuntansi di Indonesia dari hegemoni barat. Sebagaimana penjelasan Triyuwono (2011) bahwa paradigma kritis bertujuan untuk membebaskan (to emancipate) dan meng-ubah (to transform).

Proses pengumpulan data kami laku-kan dengan melakukan wawancara, ob-servasi, dan mengumpulkan berbagai lite-ratur yang berkaitan dengan Pancasila dan pe n didikan akuntansi. Kami melakukan pe ngamatan dengan mahasiswa semester 5 di sebuah perguruan tinggi melalui perta-nyaan yang diajukan di kelas sebagai bahan diskusi dalam salah satu mata kuliah dan peng amatan dalam kegiatan pelatihan Kuri-kulum Akuntansi Manajemen dan Manaje-men Keuangan berbasis Kerangka Kualifika-si Nasional Indonesia (KKNI) yang diseleng-garakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) pada 15-16 November 2016. Data lain kami amati me-lalui silabus yang digunakan oleh program Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK) salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur yang kami peroleh dari alumni PPAK terse-but sekaligus mewawancarai yang bersang-kutan. Susunan informan dalam penelitian kami ada pada Tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASANPosisi ideal Pancasila sebagai karak­

ter bangsa. Subbab ini menjabarkan makna dan posisi ideal Pancasila. Proses Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia oleh Latif (2015:5-34) digambarkan melalui tiga fase yaitu : (1) Fase Pembuahan, (2) Fase Perumusan, dan (3) Fase Pengesahan. Hing-ga fase pengesahan proses perumusan Pan-casila telah melibatkan banyak pihak dan golongan sehingga tidak berlebihan jika kita katakan Pancasila adalah karya bersama (Latif, 2015: 40). Proses tersebut digambar-kan dalam Tabel 2.

Pancasila adalah ideologi negara yang menjadi pedoman hidup “rumah Indonesia” untuk membangun komitmen bernegara bagi warga yang tinggal di dalamnya untuk hidup rukun serta sejahtera. Sila Pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini menekankan agama apa pun yang menjadi keyakinan penduduk Indonesia mengimani Tuhan yang sama dan Esa. Oleh karena itu, sila pertama Pancasila akan menjadi jalan

bagi bersatunya semua umat beragama un-tuk sama-sama dan bergotong royong se-bagai warga negara (Tanya, Parera, & Lena, 2015:4). Sila pertama ini memberikan pe-negasan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara urusan agama dan urusan bernegara. Nilai-nilai agama merupakan sumber etika dan spiri-tualitas yang sifatnya vertikal-transendental yang penting dan sebagai dasar etik ke-hidupan bernegara (Latif, 2015:42). Dengan demikian, agama diharapkan mampu me-miliki peran di masyarakat sebagai penguat etika sosial. Agama dan Pancasila meru-pakan dua hal yang saling menguatkan bagi kehidupan bernegara (Naim, 2015).

Sila Kedua adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini merupakan jalan gotong-royong seluruh penduduk Indonesia untuk menegakkan mekanisme tata kelola pemerintahan yang berkemanusiaan, bera-dab, dan berkeadilan (Tanya, Parera, & Lena, 2015:4). Berdasarkan Pancasila nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersum-ber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia dinggap sebagai landasan penting dalam etika-politik kehidu-pan bernegara yakni adil dan beradab (Latif, 2015:43). Dalam hubungan internasional Indonesia akan melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian dan keadilan sosial, lalu dalam hubungan internal bangsa Indonesia memuliakan hak-hak dasar warga negara.

Sila Ketiga adalah Persatuan Indone-sia. Sila ini memiliki makna sebagai jalan bagi penduduk Indonesia dengan segala ras, suku, dan agama untuk menjaga persa-tuan dan kesatuan (Tanya, Parera, & Lena, 2015:4). Nilai moral dalam sila ketiga ini bahwa aktualisasi nilai kemanusiaan harus mengakar kuat terlebih dahulu dalam ling-kup internal sebelum melangkah pada per-gaulan internasional (Latif, 2015:44). Kon-sepsi sila ketiga ini adalah slogan Bhinneka Tunggal Ika, yang menyatukan keberaga-man dan mengaktualisasikan keberagaman dalam persatuan.

Sila Keempat adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini menyi-ratkan makna pengelolaan negara berdasar-kan musyawarah mufakat (Tanya, Parera, & Lena, 2015:4). Berdasarkan sila keempat ini segala implementasi praktik bernegara harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat keijaksanaan (Latif, 2015: 45).

Page 5: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 153

Sila Kelima adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pada sila ini Pancasila mengandung makna bahwa sepatutnya warga negara baik yang miskin maupun yang kaya bergotong royong untuk saling berbagi dan mewujudkan keadilan so-sial (Tanya, Parera, & Lena, 2015:5). Pokok moral sila kelima ini adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu mem-peroleh makna yang utuh dengan syarat mampu mewujudkan keadilan sosial (Latif, 2015:45). Pada kehidupan ekonomi kesen-jangan sosial dan kompetisi ekonomi dil-etakkan dalam persaingan yang kooperatif yang berlandaskan asas kekeluargaan.

Bangsa Indonesia memiliki sistem nilai ideal yang tercakup dalam Pancasila. Sistem budaya etnik termasuk di dalamnya adalah kearifan lokal dan agama. Pancasila tidak hanya merupakan dasar negara tetapi seka-ligus sebagai kepribadian bangsa (Atmadja, 2013). Pancasila dipahami sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia. Ma-nusia Indonesia diibaratkan sebagai tubuh jasmaniah atau wadah sedangkan Pancasila diibaratkan sebagai simbol isi, jiwa, roh, nilai-nilai, kepribadian, kecerdasan ganda, dan kebijaksanaan orang Indonesia (Sukadi, 2013). Artinya bahwa masyarakat Indonesia merupakan satu kesatuan dengan Pancasi-

la. Pancasila bukanlah hasil budaya manu-sia biasa yang kemudian dijadikan ideologi atas kesepakatan saja.

Pancasila adalah suatu keutuhan yang menjadi cita-cita bersama sebagai bangsa. Pancasila merupakan memori kolektif bang-sa yang paling mendasar karena Pancasila adalah kelompok manusia dari berbagai suku bangsa dan adat istiadat dan berbagai pulau dan daerah memiliki perspektif hidup yang sama. Artinya bangsa ini tahu ke arah mana akan dituju dan tahu bagaimana arah itu dijabarkan dalam aturan sehingga ke-hidupan bersama dapat berlangsung dengan adil, tertib, serta sejahtera. Keadilan akan menjamin masyarakat bangsa yang ter-tib sehingga merupakan modal awal untuk menjadi bangsa yang berkembang, maju, serta sejahtera (Wardana, 2013).

Pancasila tidak bisa dipandang sepo-tong-sepotong dengan menitikberatkan pada satu sila saja. Pancasila baru dimengerti dengan jelas akan komitmen kita berbangsa yang merdeka kalau Pancasila benar-benar dipahami secara menyeluruh. Semua tujuan komitmen bangsa harus dilakukan atau di-laksanakan dengan didasari oleh Pancasila. Pemahaman Pancasila sebagai suatu keu-tuhan perlu mendapat penekanan agar ma-syarakat lebih memahami dan mencernanya sehingga Pancasila benar-benar menjadi

Tabel 2. Fase Proses Pancasila menjadi Ideologi Bangsa Indonesia

Sumber : Latif (2015: 5-34) (Diolah oleh Tim Peneliti)

Page 6: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

154 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

norma dasar kehidupan pribadi ataupun kehidupan bersama, baik dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara (Wardana, 2013).

Pancasila adalah karya bersama meski-pun tidak dapat dipungkiri terdapat individu yang memiliki peranan penting dan yang paling menonjol adalah Ir. Soekarno (Latif, 2015: 40). Pancasila adalah perwujudan budi, cipta, rasa, dan karsa manusia Indo-nesia seluruhnya dan seutuhnya. Selanjut-nya, dikembangkan dan diimplementasikan untuk mewujudkan hakikat, kodrat, dan fitrah sebagai makhluk rohaniah atau religi-us dan jasmaniah atau meterialistik, makh-luk individu dan sosial, maupun sebagai makhluk berpikir yang berbudaya (Sukadi, 2013). Pancasila akan selalu menjadi prinsip yang kekinian dan relevan bagi masyarakat Indonesia yang hidup bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam hal ini berma-syarakat dan bernegara secara Ekonomi (Nugroho, 2016: 498).

Usaha membumikan Pancasila dan mewujudkannya dari idealitas menuju reali-tas memerlukan kesadaran penuh dari se-luruh elemen mengenai semangat bernegara (Latif, 2015:611). Perlu disadari bahwa di dalam Pancasila terdapat beberapa fitrah dasar kehidupan berbangsa yang dapat di-implementasikan ke dalam realitas. Fitrah pertama adalah semangat ketaqwaan ke-pada Tuhan. Fitrah kedua adalah semangat kekeluargaan. Fitrah ketiga adalah sema-ngat keikhlasan. Fitrah keempat adalah sema ngat pengabdian dan tanggung jawab. Fitrah kelima adalah semangat menghasil-kan yang terbaik. Fitrah keenam adalah se-mangat keadilan dan kemanusiaan. Fitrah ketujuh adalah semangat kejuangan. Fitrah dasar tersebut harus dihidupkan untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpuru-kan moral (Nugroho, 2016:613) dan mem-bangkitkan dari koma dan ketertinggalan generasinya.

Pada tahap berikutnya Pancasila adalah sasaran pendidikan karakter bangsa dan telah menjadi landasan filosofis pendi-dikan karakter bangsa, yang digunakan un-tuk mewujudkan manusia yang Pancasilais (Atmadja, 2013). Pelembagaan nilai-nilai karakter bangsa sangat penting. Pendidi-kan merupakan prasyarat fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dalam hal ini pendidikan mengemban fungsi latensi terkait dengan penanaman nilai dan norma.

Menurut Atmadja (2013) Pancasila sebagai landasan dan sasaran pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dengan inkulkasi dan berbagai kegiatan lain yang menyertainya. Pendidikan karakter dengan inkulasi dapat dilakukan melalui sekolah dan agen-agen pendidikan lain seperti ke-luarga, masyarakat, dan media massa yang bersinergi satu dengan yang lain.

Desain induk pendidikan karakter yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari berbagai aspek ten-tang pendidikan karakter, antara lain adalah konfigurasi karakter ideal. Konfigurasi ka-rakter ideal itu berdasarkan empat proses psikososial yaitu olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa/karsa (Atmadja, 2013). Keempat proses psikososial itu memuat em-pat nilai inti yaitu jujur, cerdas, tangguh, dan peduli. Keempat nilai inti tersebut di-jabarkan lagi menjadi nilai-nilai yang lebih spesifik mencakup keseluruhan aspek ma-nusia (Perhatikan Gambar 1).

Ideologi Pancasila sebagai kepribadian bangsa harus terus dilembagakan melalui pendidikan karakter bangsa. Atmadja (2013) berargumentasi bahwa pendidikan karak ter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan mo-ral, dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta di-dik untuk memberi keputusan baik/buruk, memelihara yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hari.

Realitas Pancasila di mata mereka. Subbab ini membahas mengenai sudut pan-dang mahasiswa terhadap Pancasila serta sejauh mana mahasiswa menyadari pen-tingnya keberadaan Pancasila di dalam se-tiap segmen kehidupan terutama dalam pen-didikan. Melalui subbab ini kita dapat mena-kar kondisi ideal Pancasila diban dingkan dengan realitas sudut pandang mahasiswa dan akuntan pendidik dilihat dari proses mengajarnya. Takarannya adalah apakah terdapat jarak yang jauh antara idea litas dan realitasnya. Melalui sebuah diskusi dan me-lalui beberapa pertanyaan singkat diajukan sebagai bahan diskusi dengan mahasiswa Jurusan Akuntansi dalam kelas mata ku-liah Sistem Pengendalian Manajemen. Pada kelas tersebut Pancasila dijadikan sebagai bahasan utama.

Salah satu pendapat menarik perha-tian tim meneliti. Hal ini berkaitan dengan

Page 7: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 155

pencapaian laba yang selama ini menjadi fokus utama banyak perusahaan.

“Saya mencoba meresapi nilai sila yang pertama...bahwa sebe-tulnya laba atau harta itu tidak dibawa mati...Sehingga saya ti-dak setuju sama perusahaan-pe-rusahaan yang cari labanya tidak memedulikan kesejahteraan kar-yawannya atau malah menimbul-kan kerugian bagi umum. Laba jangan dijadikan satu-satunya sasaran utama pendapat saya...” (Puspitasari).

Praktik akuntansi dan bisnis selama ini dinilai sarat dengan sekularitas, terpisah dari urusan Tuhan atau agama. Mahasiswa ini mencoba memahami nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dari kacamata pemahaman-

nya. Ketika sila pertama dikaitkan dengan laba, ia memahami bahwa sebenarnya laba bukan untuk dijadikan tujuan satu-satu-nya perusahaan. Penting bagi perusahaan memerhatikan kesejahteraan karyawannya dan masyarakat yang ada di sekitar perusa-haan, sebab harta yang bermanfaat adalah harta yang membawa berkah untuk banyak pihak. Artinya, manusia bukanlah semata homo economicus, melainkan juga homo social dan homo religius. Manusia sebagai makhluk ekonomi harus dipandu oleh ni-lai-nilai agama dan sosial agar membentuk sistem ekonomi yang segaris dengan nilai tersebut (Marktanner & Wilson, 2015).

Pendapat dari mahasiswa lainnya me-ngarah pada pentingnya penanaman nilai Pancasila pada calon akuntan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

Gambar 1. Konfigurasi Karakter Berdasarkan Empat Proses PsikologisSumber: (Atmadja, 2013)

Page 8: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

156 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

“...penanaman nilai-nilai Pan-casila dalam mata kuliah akun-tansi tersebut akan menghasil-kan akuntan-akuntan yang me-nyadari jati dirinya sebagai bagian dari bangsa... dan akhirnya mere-ka bertindak sesuai dengan etika yang sebenarnya di dalamnya ter-dapat kesadaran sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri” (Putri Mei).

Profesi akuntan adalah bagian dari masyarakat yang memiliki peranan sangat penting untuk mengubah ekonomi ataupun sosial yang ada pada komunitasnya (Siraju-din, 2013). Berdasarkan sejarah akuntansi, profesi akuntan selalu bergantung pada teori ekonomi sebagai satu-satunya cara ra-sional mereka untuk mengukur dan menilai informasi akuntansi yang akan disampai-kan (Sudaryanti, Sukoharsono, Baridwan, & Mulawarman, 2015). Oleh karena itu, profesi akuntan tampak sangat terpengaruh de ngan teori ekonomi marginal yang mengu-tamakan kegunaan dan kepuasan pengguna laporan keuangan/investor yang dianggap berada pada prioritas yang krusial. Hal ini yang menegaskan bahwa akuntan hanyalah bagian dari mekanisme pasar sehingga se-gala informasi akuntansi yang diolah oleh akuntan harus dapat bersaing dengan infor-masi lainnya yang bermanfaat bagi partisi-pan pasar modal (Sudaryanti, Sukoharsono, Baridwan, & Mulawarman, 2015).

Apakah kita sebagai bangsa Indone-sia menginginkan mekanisme tersebut ber-langsung secara berkelanjutan? Jika tidak, maka nilai atau karateristik seperti apa yang kita percaya harus digunakan untuk me-mandu praktik akuntansi tertentu yang spe-sifik (Sudaryanti, Sukoharsono, Baridwan, & Mulawarman, 2015). Nilai atau karakteristik yang paling bisa dipercaya untuk bisa dija-dikan panduan seluruh praktik dalam eko-nomi, sosial, ataupun budaya oleh keseluru-han bangsa Indonesia adalah Pancasila.

Akuntan yang Pancasilais akan mem-buka kesadaran pribadinya bahwa me-reka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Pendapat mahasiswa kedua sebetulnya telah termaktub dalam IAI Mukaddimah atau pre-ambule tahun 1998 bahwa sebenarnya Pan-casila mendasari nilai dari pelatihan akun-tan Indonesia (Ludigdo & Kamayanti, 2012). Tertera jelas sebetulnya bagaimana Pan-casila seharusnya diimplementasikan dalam

praktik maupun pendidikan akuntansi. Oleh karena itu, kami mencoba mengamati silabus PPAK yang kami peroleh dari salah satu alumninya. Kami fokus mengamati si-labus mata kuliah Etika Profesi dan Tata Kelola Korporat secara eksplisit belum ter-tera pengembangan sikap berdasarkan nilai Pancasila maupun UUD 1945 dalam tujuan pembelajaran. Preambule IAI menunjukkan bahwa Pancasila seharusnya masuk dalam pendidikan akuntan. Meskipun tidak ter-tera secara eksplisit, tampaknya dosen pada PPAK yang kami amati menggunakan prin-sip substance over form. Artinya pada proses mengajarnya telah menerapkan penanaman nilai Pancasila melalui penanaman kode etik Akuntan.

Pada sisi lainnya, kami juga mewa-wancarai seorang alumni PPAK di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Be-liau mengutarakan pengalamannya menge-nai perilaku akuntan pada kutipan sebagai berikut.

“Kebanyakan di mata kuliah etika (dilakukan penanaman si-kap se bagai akuntan)… Di mat-kul manajemen stratejik juga kayaknya...sering ngasih moti-vasi and sharing-sharing tentang perilaku akuntan yang ujung-ujungnya kayaknya bapaknya (dosen pengajar) mau akuntan ini seperti ini. Kalo nda salah intinya bapaknya itu pernah bilang kalo jadi akuntan ya harus memenuhi kode etik” (Linda).

Dari pendapat tersebut kami simpul-kan bahwa terdapat usaha dari pendidik un-tuk menanamkan nilai-nilai yang baik me-ngenai akuntan yang ideal sesuai Kode Etik. Saat mahasiswa memperoleh gelar akuntan diharapkan mereka mampu berpraktik de-ngan bekal nilai-nilai etika kuat dan terin-ternalisasi dalam dirinya. Nilai yang terkan-dung dalam kode etik akuntan secara prak-tis juga terdapat kandungan nilai Pancasila. Namun, belum kami peroleh informasi me-ngenai apakah penanaman nilai tersebut ju-ga dimasukkan dalam penilaian oleh dosen PPAK.

Realitas posisi Pancasila dalam pen­didikan akuntansi Indonesia. Bagaimana penanaman pendidikan akuntansi di In-donesia pasti akan berpengaruh terhadap praktik para akuntan. Praktik akuntan di-katakan telah ada sejak jaman Hindia Be-

Page 9: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 157

landa tahun 1642 (Hasyir, 2006). Saat itu akuntan-akuntan Belanda mendirikan ber-bagai perusahaan dan pada abad 19 mulai dikenal kursus ajun akuntan di Jakarta. Setelah Indonesia merdeka Ikatan Akuntan Indonesia dibentuk tahun 1957 oleh sejum-lah lulusan FE UI dan lulusan Belanda. Pe-ran akuntan Indonesia semakin berkembang saat terbentuk pasar modal tahun 1977. Hal ini menyebabkan akuntansi keuangan men-jadi sangat penting.

Pada awal orde baru peran akun-tan dan IAI, dengan jumlah anggota 5.000 orang, berkembang pesat. Namun, saat ter-jadi krisis ekonomi dunia, karena adanya perubahan globalisasi, perkembangan peran akuntan di Indonesia tidak terlalu baik. Hal itu menyadarkan bangsa Indonesia tentang masalah lemahnya fundamental ekonomi nasional selama ini. Upaya reformasi eko-nomi yang dilakukan dengan bantuan IMF tidak juga menunjukkan perubahan pereko-nomian yang optimal.

Indonesia tergolong negara yang mem-punyai mekanisme sistem pengawasan yang lemah terhadap sistem keuangan sehingga saat itu sistem keuangan Indonesia mudah sekali disusupi kriminal. Indonesia juga di-anggap tidak kooperatif dalam pemberan-tasan kejahatan pencucian uang. Hal terse-but didukung dengan pernyataan BI tahun 2002 bahwa ada 40 laporan mengenai tran-saksi mencurigakan dari dua bank asing dan lima bank dalam negeri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa aturan pelaporan keuangan masih belum jelas sehingga ba-nyak muncul pemanfaatan celah-celah dari peraturan yang lemah untuk melakukan kecurangan.

Masyarakat menuding para akuntan Indonesia sebagai pihak yang turut bertang-gung jawab secara moral atas keterpurukan ekonomi yang terjadi selama ini. Sorotan perilaku etis akuntan disoroti banyak pihak. Penegakan kode etik akuntan Indonesia se-benarnya telah dilakukan IAI, tetapi masih saja terjadi banyak kasus pelanggaran etika.

Pelanggaran yang melibatkan akuntan yakni skandal terbesar sepanjang sejarah yakni skandal Enron dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Anderson. Kasus lain-nya di Indonesia yang melibatkan oknum lembaga penting pemerintahan antara lain tahun 2011 ada Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika tahun 2012 (Ludigdo, 2012). Selain itu, Bapepam LK telah mene-mukan banyak pelanggaran atas PSAK pada

laporan keuangan 2010, di mana mereka memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Kasus-kasus tersebut berimplikasi pada munculnya pertanyaan tentang inte-gritas dan profesionalisme akuntan dalam menjalankan tanggung jawab keprofesian-nya. Pembahasan di atas menunjukkan dia-baikannya moralitas profesi yang melibat-kan beberapa akuntan dan KAP pada kasus audit dan perpajakan.

Penelitian Maryani & Ludigdo (2001) memperlihatkan faktor pendidikan mem-punyai pengaruh besar terhadap perilaku etis akuntan. Esensi pendidikan menurut Maryani & Ludigdo (2001) bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi ha-rus mendidik mahasiswa agar memiliki ke-pribadian yang utuh sebagai manusia. Asas tunggal pengakuan dan penghormatan atas martabat manusia (human dignity), mengim-plikasikan hak tiap individu untuk menjadi dirinya sendiri secara utuh.

Ludigdo (2012) berpendapat bahwa tindakan adopsi penuh standar etika dari organisasi internasional, bukan keputusan yang baik untuk mengembangkan perilaku etis akuntan Indonesia, sebagaimana sering dilakukan oleh asosiasi profesi akuntan di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dike-mukakan gagasan tentang pemaknaan etika dengan cara pandang Pancasila yang dise-mangati dengan spirit ketuhanan.

Pendidikan akuntansi di Indonesia sejak lama tidak memiliki jiwa Pancasila di seluruh filosofi, konsep, teori, praktik, serta semua outcomes profesional akuntannya (Mulawarman, 2012). Akan tetapi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga tidak memberikan kepastian dan kewajiban pentingnya Pan-casila sebagai ruh pendidikan akuntansi. Sistem pendidikan akuntansi saat ini me-mang dibawa langsung dari barat tanpa melakukan penyesuaian yang signifikan dalam hal nilai-nilai yang ada di Indonesia sendiri.

Akuntansi dalam pendidikan akuntan-si di Indonesia lebih menekankan nilai-nilai sekularitas yang memiliki ciri utama self in-terest, mengutamakan bottom line laba, dan hanya mengakui sudut pandang materialis-tik. Pendidikan akuntansi diarahkan pada perangkap hegemoni pasar yang menyebab-kan peserta didik lebih memahami kepent-ingan ekonomi. Dari sisi metode pembelaja-ran yang digunakan lebih pada reproductive view of learning daripada constructive view of

Page 10: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

158 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

learning. Hal ini yang menyebabkan maha-siswa tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah kontekstual (Kamayanti, 2012; Mu-lawarman, 2012).

Indonesia (belum) merdeka? Subbab ini berusaha menjabarkan realita bahwa sebetulnya Indonesia masih terjajah dalam hal pendidikan. Dampak dari masih ter-jajahnya dalam hal pendidikan berakibat pada terjajahnya kita dalam banyak aspek kehidupan. Pembahasan dalam subbab ini terinspirasi oleh beberapa kutipan wawan-cara yang dilakukan terhadap beberapa to-koh pendidik dan pengamat Pancasila dalam film dokumenter3. Pada film dokumenter tersebut dijelaskan bahwa terdapat sebuah kutipan pidato Rektor UGM dalam Dies Na-talies UGM tahun 2013 yang menarik untuk kita resapi dan renungkan.

“....kita tidak berdaulat dalam teknologi, kita tidak berdaulat dalam bibit, kita tidak berdaulat dalam mesiu, kita tidak berdaulat dalam pangan, kita tidak berdaulat di dalam energi, kita tidak berdaulat dalam obat, kita tidak berdaulat dalam industri...Obat hanya peracik, industri ha-nya perakit... kita kehilangan banyak kedaulatan” (Nugroho & Nugraha, 2016).

Apa yang disampaikan dalam kutipan pidato tersebut kita sadari memang dialami oleh Indonesia. Bangsa ini sebenarnya mem-punyai potensi Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah, tetapi faktanya generasi penerus-nya tidak mampu mengolahnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita hanya menjadi negara outsourcing.

Kemudian pendapat menarik disam-paikan oleh Sri Edi Swasono (Ketua Majelis Luhur Taman Siswa). Beliau menanggapi pi-dato rektor UGM tersebut dalam penuturan sebagai berikut.

“Naah..saya menuding..apa yang kau ajarken kepada mahasiswamu? Kok mahasiswamu jadi kayak begi-ni dan tidak melihat bahwa seka-rang ini keadaannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

(UUD)... tidak melihat bahwa tan-pa kedaulatan itu memalukan... Kok tidak ada yang kerasa itu?” (Nugroho & Nugraha, 2016).

Apa yang salah dengan sistem pendi-dikan kita sehingga generasi muda tidak menjadi generasi pemikir atau pencipta melainkan hanya sebagai pengguna? Nilai luhur bangsa telah ditinggalkan dalam se-tiap pro ses pengajaran oleh pendidik. Tanpa terasa selama puluhan tahun kita mengge-ser ge nerasi kita menjadi generasi yang me-lupakan amanat konstitusi, yakni Ekonomi Pancasila. Kita perhatikan kutipan wawa-ncara yang disampaikan oleh Sri Edi Swa-sosno berikut.

“...menurut saya terjadi dengan apa yang disebut penjajahan aka-demis... Di Fakultas Ekonomi itu buku buku baru dari barat masih ditelan aja gitu...masih diajarken..Saya itu tiba tiba didikte... Harus pakek buku ini, saya menolak...dan amit amit dalam buku itu ti-dak ada kata cooperation..adanya competition...laaa bangsa kita kan dalam sila keempat kan kerja sama..bukan bersaing... buku itu isinya bersaing tidak ada kerja sama...Tidak ada perkataan the people...adanya capital...” (Nugro-ho & Nugraha, 2016)

Jika kita pahami, esensi Pancasila adalah tentang gotong royong dan tentang ekonomi kerakyatan (people based economy). Sebetulnya literatur-literatur yang sedang diajarkan tersebut berlawanan dengan prin-sip ekonomi yang menjadi amanat konstisusi sekaligus yang terkandung dalam Pancasila.

Kita melihat sebagai akademisi dan pendidik di tingkat perguruan tinggi, dosen dituntut untuk membuat rumusan Learning Outcome (LO) yang sesuai dengan masing-masing level pendidikan dalam KKNI. Na-mun, beberapa diskusi dilakukan dengan beberapa dosen akuntansi dan mereka me-miliki pendapat yang sama mengenai ke-sulitan mereka untuk melakukan assess-ment terhadap sikap pancasilais dan setia pada UUD 1945. Sebagaimana kutipan

3 Buku berjudul Polemik Ekonomi Pancasila Pemiki-ran dan Catatan 1965-1985 Karya Tarli Nugroho di dalamnya terdapat film dokumenter yang berjudul Menuju Ekonomi Pancasila. Pada film dokumenter

tersebut terdapat wawancara dengan tokoh-tokoh pemerhati ekonomi dan pendidikan berdasarkan Pancasila

Page 11: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 159

jawaban yang disampaikan oleh salah satu dosen yang menjadi pemateri dalam pelatih-an Kurikulum Akuntansi Manajemen dan Manajemen Keuangan berbasis KKNI yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) :

“...sikap setia pada UUD 1945 dan Pancasila tidak dimasukkan (ke dalam Learning Outcome)...karena assessment-nya gimana?” (Pema-teri 1).

Sebagai seorang pendidik di perguruan tinggi, sebagaimana pendapat Kamayanti (2014) saya sepakat bahwa sebenarnya pe-nilaian dalam setiap proses pembelajaran tidak bisa hanya objektif dan terpaku pada ang ka-angka sebagai nilai tanpa memasuk-kan unsur perasaan dan naluri dari pen-didiknya. Perumusan LO merupakan hal yang penting dan tidak dapat dibantahkan. Namun, bukan berarti akan menghalangi dosen dalam prosesnya menginternalisa-si nilai Pancasila di dalam setiap proses pengajarannya.

Pendidikan merupakan peletakan dasar karakter yang utama bagi profesionalisme akuntan. Perkembangan pesat dunia bisnis karena pengaruh globalisasi telah banyak mengubah sedikit atau banyak karakter ma-nusia yang terlibat di dalamnya tanpa ter-kecuali akuntan profesional. Perkembangan dunia akuntan saat ini menunjukkan degra-dasi etika akuntan yang dimanifestasikan dalam praktiknya.

Keprihatinan Sri Edi Swasono terha-dap masih terjajahnya pendidikan di Indo-nesia adalah karena banyaknya buku ajar yang berasal dari pengarang Barat. Pada praktiknya, akuntansi dapat dikatakan juga masih “terjajah”, misalnya dalam regulasi akuntansi yang dikeluarkan oleh IAI terma-suk adopsi IFRS. Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Cahyonowati & Ratmono (2012) menunjukkan bahwa adopsi IFRS yang dilakukan di Indonesia belum mampu meningkatkan kualitas informasi.

Dampak besar dari berkiblatnya IAI pada AICPA atau IASB sangat tampak dalam dunia pendidikan akuntansi, yakni dijadi-kannya badan asing seperti International Ac-counting Education Standard Board (IAESB) sebagai tolok ukur standar pendidikan. Apakah berlebihan jika kita menduga bahwa tanpa disadari perguruan tinggi, khususnya Jurusan Akuntansi, adalah cerminan neoko-lonialisme serta merupakan agen kolonial?

Berikut ini kutipan wawancara yang disam-paikan oleh Dr. Revrisond Baswir dalam film dokumenter:

“Kita Universitas berhentilah me-nyibukkan diri dengan embel-embel “World Class University”, Research University, whatever...! Bagi saya itu semua hanyalah cer-minan dari neokolonialisme! Dan jangan-jangan emang kenyata-annya seperti itu, bahwa pada dasarnya ya...perguruan tinggi di Indonesia ya... selama ini ber-peran sebagai pusat pengkaderan agen-agen kolonial” (Nugroho & Nugraha, 2016)

Baik AICPA maupun IASB adalah regu-lator di mana jajaran yang ada di badan tersebut merupakan The big four yang me-miliki ketergantungan tinggi terhadap peru-sahaan multinasional (Mulawarman, 2014). Tidak heran jika penanaman pendidikan akuntansi yang terjadi juga makin men-jauh dari nilai Pancasila. Jauh dari konsep demokrasi ekonomi, jauh dari nilai gotong royong maupun ekonomi kerakyatan. Ja-ngan heran pula jika hingga saat ini Indone-sia masih menjadi negara outsourcing bukan pencipta. Penanamannya adalah competition bukan people, sebagaimana banyak tertulis dalam buku-buku akuntansi baru karya penulis Barat yang digunakan sebagai ba-han ajar.

Pendidikan akuntansi berbasis Pan­casila untuk profesionalisme akuntan yang lebih baik. Ludigdo (2012) berpendapat bahwa Pancasila jika dipahami, dipercayai, dan diimplementasikan secara konsisten akan dapat menyokong berbagai pencapaian agung peradaban bangsa. Begitu pula pada pendidikan akuntansi perlu dilakukan inter-nalisasi jati diri nilai-nilai Pancasila. Ludig-do & Kamayanti (2012) telah mengkaji etika akuntan berbasis Pancasila yang kemudian diperdalam lagi oleh Ludigdo (2012) pada pi-dato pengukuhan guru besarnya.

Jati diri akuntan Indonesia sebagai bagian bangsa Indonesia yang meletakkan Tuhan sebagai sumber nilai dan sumber motivasi secara alamiah seharusnya tetap melekat pada diri akuntan dan organisasi profesi akuntan Indonesia (Ludigdo, 2012). Praktik profesi seharusnya tumbuh ber-dasar interaksinya dengan nilai-nilai dan as-pek-aspek lingkungan yang melingkupinya. Dalam konteks keIndonesiaan, pengembang-

Page 12: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

160 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

an etika profesi seharusnya juga terwarnai nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Merupakan suatu keniscayaan untuk mem-perkuat pembangunan komitmen etis akun-tan Indonesia berdasarkan spirit ketuhanan. Kehadiran Tuhan dan sifat-sifat ketuhanan diperlukan sehingga dapat merekonstruksi sikap dan perilaku etis akuntan Indonesia yang selama ini cenderung mengikuti cara pandang barat yang kapitalistis dan cende-rung mengejar sesuatu yang bersifat materi belaka (Sitorus, 2016).

Berdasarkan hasil kajian di atas, sistem pendidikan akuntansi diharapkan dapat mengadopsi pemikiran tersebut dalam mengembangkan ke arah mana seharusnya pendidikan akuntansi menuju agar dapat menghasilkan internalisasi nilai-nilai Pan-casila dalam pendidikan akuntansi di Indo-nesia. Sesuai dengan diskusi sebelumnya, pendidikan akuntansi selanjunya dapat me-miliki kepercayaan diri untuk menggunakan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembela-jarannya. Dengan demikian, manusia yang dihasilkan dari pendidikan akuntansi terse-but dapat lebih mengembangkan karakter bangsa ini mengarah lebih kuat dari saat ini, termasuk yang nantinya menjadi perofesio-nal di bidang akuntansi.

Banyak pertanyaan yang muncul di saat Pancasila sebagai ruh pendidikan akun-tansi Indonesia diterima oleh semua jenjang pendidikan akuntansi. Salah satunya men-genai penyampaiannya sendiri yang dilaku-kan oleh dosen. Namun, ternyata dosen merasa kesulitan dalam proses melakukan internalisasi nilai Pancasila selama proses perkuliahan. Salah satu informan kami me-nyampaikan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut.

“...mungkin akibat hegemoni yang ada di Indonesia dan buda-ya mengikut yang sudah matang pada sistem pendidikan di Indo-nesia...” (PDK)

Pendapat yang sama disampaikan oleh informan kami yang merupakan dosen seka-ligus praktisi. Meskipun demikian, beliau menyampaikannya dengan argumentasi ber-beda. Hal ini termuat dalam kutipan sebagai berikut.

“Kesulitan akuntan pendidik ter-kait dengan pengajaran menurut saya penyebab utamanya mereka

(akuntan pendidik) belum melalui proses penelitian terkait dengan akuntansi yang mengadopsi nilai-nilai Pancasila. Hasil penelitian-lah yang paling tepat digunakan sebagai bahan ajar. Jika kondi-sinya tidak pernah melakukan penelitian namun mencoba me-ngajarkan literatur asing ke dalam praktik akuntansi hanya akan menghasilkan sikap dari akuntan yang berdasarkan nilai-nilai Pan-casila bukan substansi akuntan-sinya” (PK).

Pendidikan Akuntansi di Indonesia saat ini tengah dikuasai oleh pengaruh barat. Se-bagaimana disampaikan oleh Dr. Revrisond Baswir yang merupakan Tim Ahli Pusat Stu-di Ekonomi Kerakyatan UGM dalam kutipan wawancara dalam film documenter (Nugroho & Nugraha, 2016). Kita dapat memperoleh penjelasan dari akademisi yang berasal dari Fakultas Sosial politik saat memperta-nyakan konsep politik demokrasi. Namun, berbeda jika kita bertanya pada akademisi dari Fakultas Ekonomi mengenai demokrasi ekonomi. Tidak ada yang paham mengenai konsep ini. Hal ini menjadi aneh sebab kita asing dengan konsep yang berasal dari ama-nat konstitusi negara kita sendiri.

Kesulitan dosen untuk menginternal-isasi nilai Pancasila menurut hasil wawan-cara karena kuatnya hegemoni pendidikan ala Barat yang diamini oleh hampir seluruh pendidik di seluruh Indonesia. Kesulitan melakukan internalisasi Pancasila juga dise-babkan oleh minimnya dosen yang melaku-kan penelitian dengan menggunakan Pan-casila, di mana sebetulnya hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai bahan ajar di kelas. Minimnya penelitian akuntansi dengan menggunakan Pancasila membuat dosen sendiri juga tak memahami nilai Pan-casila. Ketika mengajarkan literatur asing ke dalam mata kuliah yang diampu akan mela-hirkan akuntan yang ahli dalam bidangnya (secara subtansi keilmuan akuntansi me-mahami), tetapi tidak mampu menghasilkan sikap akuntan yang berdasarkan Pancasila.

Literatur atau buku-buku bahan ajar yang berasal dari luar juga merupakan salah satu hal yang menyulitkan bagi dosen un-tuk melakukan internalisasi nilai Pancasila. Hal ini diutarakan oleh salah satu informan pada pernyataan sebagai berikut:

Page 13: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 161

“Menurut saya kurang relevan karena tentunya realitas yang ada di sana sangat berbeda dengan re-alitas yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah penting kita sebagai pendidik menciptakan buku-buku yang bertajuk budaya Indonesia” (PDK).

Pendapat serupa disampaikan oleh salah satu pemateri yang berasal dari Uni-versitas Indonesia dalam pelatihan kuriku-lum berbasi KKNI di FEB UB. Beliau me-nyatakan bahwa terdapat perbedaan budaya antara perusahaan dalam dan luar negeri. Hal tersebut dijabarkan dalam kutipan beri-kut ini.

“Pada kasus-kasus yang ada di buku acuan akmen (Akuntansi Manajemen) itu coba kalau pake buku dari dosen dalam (dosen dari dalam negeri) kan bisa pake kasusnya ambil dari Jamu Djago misalnya...lebih mencerminkan praktiknya di kita... kalau kasus perusahaan luar kan jauh buda-yanya ama kita...” (Pemateri 2).

Buku-buku yang berasal dari luar nege-ri mayoritas digunakan sebagai pengantar dalam hampir semua mata kuliah akuntansi di Indonesia. Perlu diperhatikan pada ba-nyak hal terdapat celah yang menunjukkan realitas praktik di perusahaan luar negeri dan di Indonesia jauh berbeda. Perbedaan tersebut bisa berasal dari budaya organisasi sehingga dalam contoh soal berupa studi ka-sus sebenarnya buku dari luar negeri juga akan menunjukkan kondisi yang belum ten-tu sama dengan realitas yang ada di Indone-sia. Akan lebih tepat jika studi kasus yang diambil adalah kasus-kasus dari perusa-haan yang ada di Indonesia sendiri misalnya Perusahaan Nasional Jamu Djago.

Kamayanti (2012) berargumentasi bahwa perlu dicari jawaban atas pertanyaan bagaimana menginternalisasikan Pancasila untuk menghasilkan akuntan yang memiliki kesadaran utuh, kesadaran pancasilais? Pa-dahal, faktanya dalam ranah praktik akun-tan tampaknya nilai Pancasila tidak terlalu populer.

“Mengingat Pancasila adalah ideo-logi bangsa, pandangan hidup, dan sumber dari segala sumber hukum maka harus ada jembatan menuju tataran praktik. Jika kaji-

an yang ada hanya dalam tataran filosofi dan telaah literatur maka nilai Pancasila relatif kurang po-pular dalam praktik akuntan” (PK).

Pancasila tidak populer di kalangan praktisi akuntan karena selama ini pene-litian terkait Pancasila masih terlalu pada bahasan di langit. Pancasila dianggap be-lum membumi oleh praktisi sebab penelitian yang ada terkait Pancasila dengan Akun-tansi masih dalam tataran filosofi dan te-laah literatur sehingga akan menjadi tidak tersampaikan isinya di kalangan praktisi. Hal inilah yang menyebabkan nilai Pancasila tidak populer di kalangan praktisi, meski-pun pada dasarnya para praktisi memahami posisi Pancasila.

Sungguh menarik ketika memahami uraian salah satu informan kami yang me-nyatakan bahwa nilai Pancasila tidak terlalu populer di kalangan praktisi. Hal ini karena selama ini bahasan mengenai Pancasila ma-sih dalam tingkat tataran konsep, belum masuk pada tataran praksis. Oleh karena itu, memahami Pancasila dalam ranah prak-sis ibarat kita meraba bagian tubuh gajah dengan memejamkan mata. Tiap orang bisa saja akan menyimpulkan dengan salah tiap-tiap bagian tubuh gajah yang dirabanya.

Apakah hal itu menunjukkan bahwa proses pendidikan telah gagal membentuk karakter pancasilais sehingga sulit bagi praktisi untuk menerapkan nilai Pancasila ke dalam praktik? Atau selama proses pen-didikan memang tidak ditanamkan nilai Pancasila? Ungkapan Pancasila sebagai haluan yang kekinian kemudian menjadi sangat rapuh dan tidak relevan atau tidak memiliki unsur kekinian yang tepat (Nugro-ho, 2016:497).

“Praktik akuntan di Indonesia mengacu pada kode etik akun-tan, namun dalam praktik sering terjadi penyimpangan. Penyimpa-ngan yang terklasifikasi tolerable tidak mendapat sanksi dan cend-erung menjadi budaya. Akuntan akan lebih memilih taat pada kode etik daripada mengamalkan nilai Pancasila, karena sanksi hanya terkait pada ketidaktaatan pada kode etik. Berbeda halnya dengan kode etik yang sudah berlandas-kan nilai-nilai Pancasila” (PK).

Page 14: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

162 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

Beberapa penyimpangan dianggap sah atau bisa ditoleransi selama penyimpa-ngan tersebut bukanlah pelanggaran kode etik. Bahkan, penyimpangan yang pada level tolerable tersebut memiliki kecende-rungan untuk dilakukan secara berjamaah. Artinya, bukan hanya segelintir akuntan yang melakukan. Sejak terjadinya skandal Enron, Etika Akuntan menjadi sorotan pu-blik (Ludigdo & Kamayanti, 2012). Pancasila kemudian diyakini mampu menjadi dasar bagi pengembangan Kode Etik (Ludigdo & Kamayanti, 2012). Perumusan kode etik berbasiskan Pancasila ini dilakukan melalui pendekatan dari sudut pandang pemangku kepentingan untuk memberikan pendapat mengenai relevansi nilai Pancasila.

Karakter akuntan yang tidak Pancasi-lais menurut kami menjadi anggapan tidak kekiniannya nilai Pancasila apakah satu hal yang menjadikan akuntan seringkali ber-sikap mendua?. Mendua bermakna sikap akuntan yang di satu sisi menolak setiap perilaku moral hazard atau perilaku melang-gar etika akuntan tetapi di satu sisi terdapat dilema etis untuk melakukan rasionalisasi untuk menjustifikasi tindakannya.

Terdapat beberapa asumsi yang dike-mukakan sebagai landasan penelitian menurut Kamayanti (2012) berdasarkan pertanyaan mengenai bagaimana meng-hasilkan akuntan yang memiliki kesadaran pancasilais sebagaimana yang dijelaskan di paragraf di atas, yaitu (1) Pendidikan akun-tansi merupakan suatu sarana transfer nilai peradaban dan merupakan suatu alat untuk melakukan intervensi dengan cara yang pa-ling lembut, (2) Berbagai bentuk kesadaran secara simultan harus dibangkitkan untuk mendapatkan manusia yang utuh. Berdasar-kan hal tersebut kesadaran Pancasila harus ditransfer dalam pendidikan dan dilakukan secara simultan, seperti sebuah ledakan big bang yang memancarkan cinta Tuhan dalam satu energi masif.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan dialogis ber-kesadaran secara terus menerus dapat menjadi salah satu cara atau metode untuk melaksanakan proses pembelajaran akun-tansi agar dapat menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila pada pendidikan akuntansi di Indonesia.

Mulawarman (2012) mengemukakan bahwa pendidikan akuntansi masih berkib;at pada neoliberal melalui sistem pembelajaran

yang mengutamakan rasio dan self interest. Oleh karena itu, pendidikan akuntansi perlu dibebaskan melalui pembuatan penyaring konsep akuntabilitas san informasi ekonomi kerakyatan yang menggabungkan manusia sebagai manusia ekonomi sekaligus reli-gius (homo economicus-socius-religius) (Mu-lawarman, 2012). Masih berdasarkan Mula-warman (2012), konsekuensi logisnya adalah model pembelajaran harus mengutamakan materi akuntansi yang (1) mencerminkan situasi Indonesia bernilai adaptif-etis-kritis-intuitif-kreatif dan (2) Pendidikan harus di-jalankan dengan mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila.

Membebaskan penjajahan pendidikan akuntansi dari pengaruh barat dengan in­ternalisasi Pancasila. Pada saat disepakati bahwa Pancasila merupakan welstanchau-ung negeri ini, maka harus disepakati pula bahwa ideologi ini harus diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan masyara-kat Indonesia. Implementasi Pancasila dalam pendidikan merupakan hal yang sangat kru-sial, sebab pendidikan adalah peletak dasar karakter generasi penerus. Perlu dilakukan langkah nyata untuk membebaskan pendi-dikan akuntansi di Indonesia dari hegemoni barat melalui internalisasi nilai Pancasila.

Harapannya tidak lagi muncul perta-nyaan quo vadis nilai Pancasila di dalam pendidikan Akuntansi?. Jangan sampai Pancasila menjadi asing pada bangsa sen-diri. Tujuannya agar perguruan tinggi tidak lagi menjadi menara gading yang memiliki jarak yang mustahil terhubung antara ma-syarakat kecil dan para akademisi.

Usaha ini memerlukan kesadaran dan kemauan tinggi dari para pendidik (dosen) Akuntansi untuk mengarusutamakan im-plementasi nilai Pancasila di setiap proses mengajar di seluruh nilai mata kuliah (bu-kan hanya mata kuliah tertentu saja). Lang-kah yang dapat dilakukan dosen dalam menginternalisasi nilai Pancasila adalah melalui internalisasi nilai tersebut dalam si-labus dan proses pengajaran. Silabus yang sudah ada dalam mata kuliah akuntansi masih bisa digunakan, tetapi dosen perlu menambahkan literatur atau bahasan yang menghubungkan suatu subbab dalam ba-hasan dengan nilai Pancasila. Pada proses mengajar penekanannya tidak lagi pada ke-cerdasan intelektual, melainkan menekank-an dan menumbuhkan aspek rasa, mental, dan spiritual (Setiawan & Kamayanti, 2012).

Page 15: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 163

Aspek-aspek tersebut seperti rasa, mental dan spiritual kemudian diperkuat melalui internalisasi nilai Pancasila dalam berbagai mata kuliah di akuntansi. Inter-nalisasi nilai Pancasila dalam proses perku-liahan dapat dilakukan semua dosen ketika memberikan kuliah, 3 – 5 menit di awal, di tengah, ataupun di akhir perkuliahan de-ngan menyelipkan materi tindakan-tindakan dan nilai-nilai luhur Pancasila (Wardana, 2013). Materi kegiatan tersebut dapat beru-pa pengalaman pribadi, ajaran-ajaran aga-ma, atau keteladanan dalam tindakan yang berdasarkan Pancasila. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan tentang nilai-nilai Pancasila haruslah dilakukan seumur hidup dan secara terus menerus, baik me-lalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.

Sebagai contoh adalah internalisasi nilai Pancasila dalam suatu bahasan dalam mata kuliah akuntansi internasional peneliti memberikan bahan diskusi mengenai ke-sesuaian konvergensi IFRS dengan Pancas-ila dan Ideologi Indonesia. Pada mata kuliah Perpajakan peneliti memberikan edukasi mengenai kepatuhan pajak. Beberapa pene-litian menunjukkan Wajib Pajak (WP) lebih baik membayarkan zakat daripada mem-bayar pajak karena faktor ketidakpercayaan WP terhadap otoritas (Mustofa & Fata, 2015; Tolkah, 2012). Edukasi yang diberikan bah-wa pemotongan PPh melalui pembayaran za-kat di lembaga resmi akan dapat memotong kewajiban pajak yang ditunjukkan pada saat pelaporan SPT. Sesi dalam mata kuliah per-pajakan juga mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis bahwa beberapa kebijakan perpajakan tidak sesuai dengan keadilan so-sial. Misal kebijakan perpajakan penghasi-lan bagi Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) melalui PP nomor 46 tahun 2013 bahwa UMKM diberlakukan pajak peng-hasilan 1% dari omzet. Mahasiswa diminta untuk memberikan pendapatnya mengenai beberapa ketidakadilan yang dialami UMKM misal tidak adanya hak Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi UMKM sebagai biaya minimal untuk bertahan hidup (Aneswari, Darmayasa, & Yusdita, 2015).

Proses pengajaran juga menggunakan media lain seperti film dokumenter dalam

buku yang dikarang Tarli Nugroho yang berjudul Menuju Ekonomi Pancasila. Film pendek berjudul Big Hole menceritakan mengenai perilaku seorang karyawan yang melakukan kecurangan berupa pencurian uang perusahaan karena ada kesempatan (bukan karena keinginan). Namun, kese-rakahan kemudian tumbuh dalam dirinya yang tidak mampu berhenti untuk melaku-kan pencurian. Media lain juga digunakan seperti gambar-gambar, jurnal penelitian dan mahasiswa diberi proyek untuk turun ke usaha-usaha kecil untuk membantu pen-catatan keuangan mereka. Terinspirasi pula dari Ekasari (2014) proses pengajaran di-selingi dengan permainan penggunaan uang. Permainan ini merupakan bentuk simulasi apabila mahasiswa diberi uang maka digu-nakan untuk apa saja. Penanaman moral yang selanjutnya dengan memberikan per-mainan lagi dengan memberi makanan pada mahasiswa, kemudian mahasiswa diminta menceritakan pada pertemuan selanjutnya mengenai bagaimana cara mahasiswa terse-but bisa memakan makanan tersebut tanpa diketahui oleh siapa pun4.

SIMPULANPendidikan merupakan satu-satunya

cara untuk membangun karakter generasi penerus. Generasi penerus harus memi-liki karakter utuh sebagai manusia. Asas tunggal pengakuan dan penghormatan atas martabat manusia (human dignity) mengim-plikasikan hak tiap individu untuk menjadi dirinya sendiri secara utuh. Pendidikan Akuntansi yang sarat dengan nilai Pancasila tentu akan membentuk karakter generasi akuntan yang pancasilais.

Internalisasi Pancasila dalam pendidi-kan akuntansi merupakan suatu kebutuhan demi menghasilkan generasi akuntan yang berkarakter dan menyadari posisinya seba-gai bagian dari bangsa. Namun, dari sudut pandang akuntan pendidik sendiri banyak hal yang menjadi hambatan dalam mengin-ternalisasi nilai Pancasila. Penghambat utamanya berasal dari pendidik itu sendiri yang merasa kesulitan dalam melakukan penilaian sikap Pancasilais terhadap ma-hasiswa sehingga mereka berada pada zona nyaman untuk merasa tidak perlu menga-

4 Permainan ini terinspirasi dari kelas Profesor Iwan Triyuwono yang menanamkan nilai bahwa di dunia ini kita tidak dapat bersembunyi dari pengawasan Allah. Dimanapun kita berada semua tindakan

kita pasti diketahui olehNya (termasuk memakan makanan yang dijadikan simulasi dalam permain-an)

Page 16: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

164 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 149-165

jarkannya. Kendala lainnya adalah karena kiblat pendidikan akuntansi mengacu pada badan asing yang dinilai memiliki kepen-tingan terhadap perusahaan multinasional. Banyaknya penggunaan buku akuntansi dari penulis luar negeri juga menjadi ham-batan dalam penerapan nilai Pancasila.

Perguruan tinggi perlu mulai berbenah dengan konsep kurikulum mereka. Dengan Demikian, keprihatinan tokoh Sri Edi Swa-sono maupun Revrisond Baswir yang me-nyatakan bahwa bangsa ini tidak berdaulat dalam pendidikan dan hanya menjadi bang-sa outsourcing dapat dihentikan. Tidak ada lagi keprihatinan bahwa pendidikan di per-guruan tinggi dinilai hanya sebagai penga-deran agen neokolonialisme. Namun, sebagai wadah untuk menciptakan generasi kreatif, berjiwa utuh pancasilais dan menyadari dirinya sebagai bagian dari bangsa.

Pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu Tri Darma Perguruan Tinggi men-jadi kehilangan ruh Pancasilanya. Proses pendidikan merupakan bentuk dari indok-trinasi nilai Pancasila paling mudah apa-bila menyertakan cinta dari pendidiknya sehingga penananam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial akan lebih mudah dipahami mahasiswa.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa praktisi seperti Akuntan Publik ataupun akuntan perusahaan sebetulnya sangat pa-ham posisi Pancasila dalam profesinya. Ke-sulitan menerapkannya karena selama ini bahasan mengenai Pancasila belum jelas benang merahnya dengan ranah praksis mereka. Penelitian berkaitan Pancasila se-jauh ini masih sebatas tataran filosofi. Se-harusnya nilai Pancasila selalu menjaman dan sesuai untuk berbagai bidang manusia Indonesia yang bermasyarakat dan berneg-ara (Nugroho, 2016:498). Namun, Pancasila menjadi rapuh dan dipahami tidak mampu menjadi kekinian seutuhnya.

Berbagai regulasi yang dikeluarkan IAI juga sepenuhnya mengadopsi regulasi dari luar, tanpa ada penyesuaian dengan Indo-nesia. Penyimpangan yang dinilai masih dalam batas bukan pelanggaran kode etik dianggap sah dan dilakukan oleh banyak akuntan secara masif karena membudaya. Akuntan akan lebih memilih patuh pada kode etik dibandingkan dengan Pancasila. Namun, akan berbeda konsekuensinya jika kode etiknya berdasarkan Pancasila sebagai mana diusulkan oleh Ludigdo & Kamayanti

(2012) agar akuntan Indonesia tidak makin terasing dengan ideologi bangsanya sendiri.

Penelitian ini akan menjadi wacana baik bagi para akademisi maupun praktisi un-tuk menginternalisasi nilai Pancasila dalam setiap aspek bidang yang tengah dijalani. Penelitian ini perlu menggali lebih men-dalam sudut pandang Pancasila dari sudut mahasiswa serta dari sisi dosen dan prak-tisi. Penelitian selanjutnya perlu mengem-bangkan nilai Pancasila untuk diturunkan di bumi (pendidikan dan praktik akuntansi), agar lebih mudah dipahami oleh mahasiswa terutama oleh praktisi Akuntansi ketika ba-hasan Pancasila bukan hanya pada wilayah langit (tataran filosofis).

DAFTAR RUJUKANAneswari, Y.R., Darmayasa, I.N., & Yus-

dita, E.E. (2015). Perspektif Kritis Penerapan Pajak Penghasilan 1% pada UMKM. In Simposium Nasional Perpa-jakan 5 Fakultas Ekonomi - Universitas Trunojoyo Madura, 12 November 2015. Ma dura: Universitas Trunojoyo, 12 Nopember 2015.

Atmadja, N.B. (2013). (Re)Pancasila melalui Inkulkasi sebagai Strategi Pembangu-nan Karakter Bangsa. In Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh MPR RI kerjasama Universitas Pendidikan Ga-nesha. Singaraja.

Cahyanto, S.S., & Parikesit, B. (2011). Busi-ness Ethics Pancasila The New Rules for Business World with the Spirit of Gotong Royong. In ASEAN and East Asia Summits. Bandung.

Cahyonowati, N., & Ratmono, D. (2012). Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai Infor-masi Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 14(2), 105–115.

Chua, W.F. (1986). Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review, 61(4), 601–632.

Darmayasa, I.N., & Aneswari, Y.R. (2015). Penelitian Akuntansi Interpretif di In-donesia. Jurnal Akuntansi Multipara-digma, 6(3), 350–361. http://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.18202/385

Ekasari, K. (2014). Rehumanisasi Pendi-dikan Akuntansi Melalui Pendekatan Epistemologi 3ling. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(2), 273–286.

Hasyir, D.A. (2006). Dampak Era Globalisasi terhadap Perubahan Peran Akuntan dan Kurikulum Pendidikan Akuntansi. In Seminar dan Lokakarya Pengem-bangan Kurikulum Jurusan Akuntansi

Page 17: QUO VADIS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN AKUNTANSI DI …

Aneswari, Musmini, Quo Vadis Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi ... 165

Fakultas Ekonomi STIE Indonesia Mem-bangun. Bandung.

Kamayanti, A. (2012). Cinta: Tindakan Ber-kesadaran Akuntan (Pendekatan Dia-logis dalam Pendidikan Akuntansi. In Simposium Nasional Akuntansi XV. Banjarmasin.

Kamayanti, A. (2014). Integrasi Pancasila dalam Pendidikan Akuntansi melalui Pendekatan Dialogis. Jurnal Pendidi-kan Akuntansi, 147–159.

Latif, Y. (2015). Negara Paripurna Historisi-tas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pan-casila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ludigdo, U. (2012). Pidato Pengukuhan Guru Besar: Memaknai Etika Profesi Akuntan Indonesia dengan Pancasila. Malang.

Ludigdo, U. (2013). Nilai-nilai Luhur Pan-casila dalam Mencegah Terjadinya Ke-curangan. In Seminar Nasional 4 Pilar Kebangsaan dalam Mencegah Terjadin-ya Fraud di Lingkungan Pemerintahan Indonesia di Jurusan Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 Oktober 2013.

Ludigdo, U., & Kamayanti, A. (2012). Pan-casila as Accountant Ethics Imperial-ism Liberator. World Journal of Social Sciences, 2(6), 159–168.

Marktanner, M., & Wilson, M. (2015). Pan-casila : Roadblock or Pathway to Eco-nomic Development ?

Maryani, T., & Ludigdo, U. (2001). Survei atas Faktor-Faktor yang Mempenga-ruhi Sikap dan Perilaku Etis Akuntan-si. TEMA, 7 (1), 49-62.

Mulawarman, A.D. (2012). Menggugat Pendi-dikan Akuntansi Indonesia: Pro Neolib-eral atau Pancasila. In Konferensi Na-sional Pendidikan Akuntansi Indonesia. Malang.

Mulawarman, A.D. (2014). On Holistic Wis-dom Core Datum Accounting : Shifting From Accounting Income To Value Add-ed. The International Journal of Account-ing and Business Society, 22(1), 69–92.

Mustofa, & Fata, A.K. (2015). Zakat and Tax: From The Synergy To Optimization. Al-Ulum, 15(1), 43–56.

Naim, N. (2015). Islam dan Pancasila Rekon-struksi Pemikiran Nurcholish Madjid. Episteme, 10(2), 435–456.

Nugroho, T. (2016). Polemik Ekonomi Panca-sila Pemikiran dan Catatan 1965-1985. Yogyakarta: Mubyarto Institute.

Nugroho, T. (Producer), & Nugraha, D. (Direc-tor). (2016). Menuju Ekonomi Pancasila [Motion picture]. Indonesia: Mubyarto Institute.

Setiawan, A.R., & Kamayanti, A. (2012). Men-dobrak Reproduksi Dominasi Masku-linitas dalam Pendidikan Akuntansi : Internalisasi Pancasila dalam Pembela-jaran Accounting Fraud. In Konferensi Nasional Pendidikan Akuntansi Indone-sia. Malang.

Sirajudin. (2013). Interpretasi Pancasila dan Islam untuk Etika Profesi Akuntan In-donesia, Jurnal Akuntansi Multipara-digma, 4(3), 456-466.

Sitorus, J.H.E. (2016). Pancasila-based So-cial Responsibility Accounting. Proce-dia Social and Behavioral Sciences, 219, 700–709.

Sudaryanti, D., Sukoharsono, E. G., Barid-wan, Z., & Mulawarman, A. D. (2015). Critical Analysis on Accounting In-formation Based On Pancasila Val-ue. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 172, 533–539. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.399

Sukadi. (2013). Pengembangan dan Pelaksa-naan Strategi Pemasyarakatan Nilai-Ni-lai Pancasila dan Pilar-Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. In Sosialisa-si Empat Pilar Kebangsaan oleh MPR RI kerjasama Universitas Pendidikan Ga-nesha. Singaraja.

Tanya, B.L., Parera, T.Y., & Lena, S.F. (2015). Pancasila Bingkai Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Tolkah. (2012). Pembayaran Zakat Pada Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat Kaitannya dengan Pajak Peng-hasilan. Majalah Ilmiah Widya, 22–27.

Triyuwono, I. (2011). ”Sususaya” Melam-paui Paradigma-Paradigma Metodolo-gi Penelitian. In Pelatihan Penelitian Kualitatif Two Days Workshop Center of Training for Research and Publication (CRP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uni-versitas Brawijaya 2-3 Oktober 2015. Malang.

Wardana, I. (2013). Strategi Pemasyaraka-tan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Mem-bangun Karakter Bangsa. In Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh MPR RI kerjasama Universitas Pendidikan Ga-nesha. Singaraja.