37
ANALISIS KESTABILAN LERENG PADA TAMBANG BATUBARA DI PT. JORONG BARUTAMA GRESTON TANAH LAUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PROPOSAL SKRIPSI Oleh : RULLY RIYAN ROHMATILLAH 112.10.0011

Proposal Geoteknik Analisis Lereng

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kk

Citation preview

ANALISIS KESTABILAN LERENG PADA TAMBANG BATUBARA DI PT. JORONG BARUTAMA GRESTONTANAH LAUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

RULLY RIYAN ROHMATILLAH112.10.0011

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGANFAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”YOGYAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Judul

ANALISIS KESTABILAN LERENG PADA TAMBANG BATUBARA

PT JORONG BARUTAMA GRESTON, TANAH LAUT

KALIMANTAN SELATAN.

1,2. Latar Belakang Permasalahan

PT Jorong Barutama Greston dalam melakukan aktifitas penambangannya

menggunakan metode tambang terbuka secara mekanis dengan pembentukan

jenjang-jenjang. Pola yang demikian ini dapat mengakibatkan suatu masalah yaitu

keruntuhan pada jenjang itu sendiri, terutama pada batuan yang relatif tidak

kompak.

Pembuatan jenjang pada massa batuan akan merubah tegangan massa

batuan itu sendiri. Perubahan tegangan yang besar dapat menimbulkan longsor

dan memberikan gangguan terhadap tambang paling tidak dalam hal :

1. Dapat menimbulkan kehilangan nyawa manusia

2. Kerugian hilangnya harta benda yang dimiliki perusahaan ini.

3. Terganggunya kegiatan produksi (hilangnya waktu produksi).

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diperlukan suatu rancangan

lereng yang aman beserta analisis kestabilannya. Untuk mengatasi masalah ini

perlu dilakukan analisis kemantapan lereng untuk rancangan geometris jenjang

agar dapat memperkecil bahaya longsoran yang terjadi.

1.3. Perumusan Masalah

Sistem penambangan terbuka yang berjenjang biasanya akan

menimbulkan masalah. Salah satunya adalah keruntuhan pada jenjang itu sendiri.

Keruntuhan pada jenjang dapat disebabkan oleh tidak sesuainya parameter

geometri lereng terhadap kekuatan batuan tersebut. Sehingga parameter-parameter

dan faktor lain yang mempengaruhi kemantapan lereng perlu diketahui dan

disesuaikan dengan kekuatan batuan. Sehingga dihasilkan desain geometri jenjang

yang optimum dan aman.

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah geometri jenjang

hasil proses penambangan stabil atau tidak stabil dan menganalisa jenis

kelongsoran yang mungkin akan terjadi. Hal ini dapat diketahui setelah data-data

yang didapatkan dari penelitian telah dianalisis. Sehingga angka faktor keamanan

lereng dapat diketahui. Data-data yang diperlukan dalam penelitian antara lain:

- Peta Geologi

- Data litologi

- Data topografi

- Data-data Geoteknik, seperti ;

a. Kohesi pada bidang luncur

b. Kekuatan geser batuan

c. Tegangan total pada bidang geser

d. Tengangan air pori

e. Sudut geser dalam pada tegangan efektif

f. Bobot isi batuan

g. Tinggi lereng dan tinggi jenjang

h. Sudut kemiringan lereng

BAB II

ANALISIS MASALAH

2.1. Tinjauan Pustaka

Massa batuan adalah batuan in-situ yang mempunyai kecacatan struktural

berupa bidang diskontinuitas yaitu bidang atau celah yang menyebabkan batuan

bersifat tidak menerus antara lain berupa perlapisan, kekar, dan sesar. Kekuatan

pada massa batuan (jointed rock masses) dipengaruhi oleh faktor berikut :

1. Orientasi dan jarak kerapatan bidang diskontinu

2. Kondisi bidang diskontinu seperti ;

- Kemenerusan (persistence)

- Koefisien kekasaran kekar (JRC)

- Kekuatan bidang diskontinu (JCS)

- Lebar isian pada bidang diskontinu

- Kegelombangan atau kekasaran (roughness)

- Pelapukan pada batuan (weathering)

Pengaruh orientasi bidang diskontinu terhadap kekuatan massa batuan

sangat penting untuk diketahui, sebab dengan cara tersebut dapat dinilai

kemampuan massa batuan untuk menahan beban atau tegangan pada arah-arah

tertentu yang sesuai dengan kondisi dilapangan dan juga sebagai informasi

perancangan lereng tambang. Selain orientasi, jarak kerapatan kekar juga

berpengaruh terhadap kekuatan massa batuan. Apabila suatu batuan mempunyai

kekuatan tinggi tetapi jarak spasi antar kekar sangat dekat maka massa batuan

tersebut lemah.

Jarak kerapatan kekar dipengaruhi oleh luasan yang mempengaruhinya,

pada batuan di alam untuk luasan yang kecil jarang terdapat adanya kekar

sehingga batuan tersebut tidak mempunyai kerapatan kekar dan disebut dengan

batuan utuh. Akan tetapi bila cakupannya di perluas lagi maka dalam batuan

tersebut mulai didapati adanya kekar, dari yang kerapatan kekarnya jauh hingga

kerapatan kekar yang sangat dekat. Struktur ini terdapat pada batuan yang dekat

dengan permukaan maupun pada tempat yang dalam (lihat Gambar 2.1).

Efek ukuran pada batuan yang terkekarkan dengan kuat akan lebih jelas

daripada batuan dengan kekar sedikit, karena efek tersebut lebih dominan pada

tarikan yang rekahannya terbuka dibandingkan dengan rekahan yang tertutup.

Faktor penting lain yang mempengaruhi massa batuan adalah kemenerusan kekar.

Semua faktor tersebut terdapat dalam bidang diskontinu dan hal tersebut dapat

mempengaruhi kekuatan dari massa batuan yang terdapat di alam dan juga

dibidang pertambangan, adanya bidang diskontinu berpengaruh sekali terhadap

stabilitas lereng pada tambang terbuka maupun stabilitas terowongan pada

tambang dalam.

Kekuatan dan kondisi suatu massa batuan yang terdapat di alam dapat

diketahui dan dikelompokkan kedalam kelas-kelas massa batuan dari lemah

hingga sangat kuat. Kelas massa batuan tersebut didapatkan dari hasil

pengklasifikasian massa batuan dengan beberapa metode klasifikasi seperti RMR

dan GSI.

Gambar 2.1.

Ilustrasi Pengertian Efek Skala (Hoek & Brown, 1980)

2.1.1. Deskripsi Massa Batuan

Deskripsi massa batuan dapat digunakan untuk mengklasifikasikan massa batuan.

Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok untuk

mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau

kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan

dan modifikasi terhadap sistem klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan

untuk merancang kestabilan lereng. Parameter deskripsi massa batuan diantaranya

adalah orientasi, spasi/jarak, kemenerusan, JRC, JCS, lebar Isian, kekasaran, dan

tingkat pelapukan pada bidang diskontinu.

2.I.2. Spasi Antar Bidang Diskontinu

Spasi antar bidang diskontinu adalah jarak antara bidang-bidang lemah seperti

kekar, sesar dan bidafng perlapisan dalam massa batuan. Suatu rekahan yang

pararel disebut set dan set-set yang saling berpotongan disebut joint set sistem.

Klasifikasi spasi antar kekar menurut International Society of Rock Mechanics

(ISRM,1981) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1.Klasifikasi Spasi Antar Bidang Diskontinu (Bieniawski, 1989)

DESKRIPSI SPASI KEKAR KONDISI MASSA BATUAN

Sangat Lebar > 2 m Solid

Lebar 0,6 – 2 m Masif

Sedang 200 – 600 mm Bongkah

Rapat 60 – 200 mm Pecah

Sangat Rapat < 60 mm Hancur

2.1.3. Kemenerusan (Persistence)

Persistensi didefinisikan sifat kemenerusan dari bidang kekar yang didefinisikan

sebagai panjang dari diskontinuitas pada massa batuan dan dapat diukur

panjangnya. Persistensi ditentukan dengan mengamati dan mengukur panjang dari

bidang kekar di massa batuan. Klasifikasi persistensi kekar menurut ISRM dapat

dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2.Klasifikasi Persistensi Bidang Diskontinu (Bieniawski, 1989)

DESKRIPSIPANJANG

PERSISTENSI

Sangat rendah < 1 m

Rendah 1-3 m

Sedang 3-10 m

Tinggi 10-20 m

Sangat tinggi >20 m

2.1.4. Kegelombangan atau Kekasaran (Roughness)

Kekasaran merupakan parameter penting dari kondisi ketidakmenerusan.

Kekasaran didefinisikan sebagai tingkat kekasaran dipermukaan bidang kekar,

berfungsi sebagai pengunci antar blok atau mencegah pergeseran sepanjang

permukaan kekar.

Bidang struktur yang mempunyai permukaannya kasar apabila dikenai tegangan

geser akan menghasilkan nilai kohesi maupun sudut geser dalam yang lebih tinggi

dibandingkan dengan yang permukaannya halus (licin), untuk menentukan bentuk

kekasaran dapat memperkirakan secara visual dan mencocokkannya secara

langsung dengan penampang kekasaran pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.

Koefisien kekasaran kekar (JRC) merupakan indeks yang mewakili kekasaran

suatu kekasaran kekar. Menurut kajian, JRC mempunyai hubungan yang rapat

dengan kekuatan pada permukaan kekar. Nilai JRC yang tinggi bermakna

permukaan kekar tersebut semakin kasar. Semakin kasar suatu permukaan kekar,

semakin tinggi kekuatan permukaan kekar tersebut. Profil kekasaran dan nilai

rentang JRC dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2.

Profil Kekasaran dan Nilai Rentang JRC (Barton & Choubey, 1977)

Gambar 2.3.

Profil Bentuk Kekasaran (Barton & Choubey, 1977)

2.1.5. Kekuatan Bidang Diskontinu (JCS)

Suatu materi batuan yang mempunyai kekuatan tinggi tetapi dengan jarak

ketidakmenerusan yang sangat dekat maka massa batuannya tergolong lemah.

Nilai JCS diperkirakan berdasarkan metode yang diajukan oleh ISRM yaitu

dengan memperkirakan terlebih dahulu kekerasan Schmidt dan berat jenis

batuannya lalu diplot. Nilai JCS mungkin lebih kecil dari kuat tekan batuan utuh

(intact rock) karena telah dipengaruhi oleh alterasi kimia ataupun pelapukan.

2.1.6. Lebar Isian pada Bidang Diskontinu

Material pengisi didefinisikan sebagai isian pada celah antar bidang diskontinu

yang umumnya terdiri dari pasir, kalsit, lempung, lanau, breksi, kuarsa, dan pyrite.

Material pengisi ini akan mempengaruhi kuat geser bidang kekar.

Jika ketebalan material pengisi lebih besar dari amplitudo gelombang (undulation)

permukaan geser, maka karakteristik geser akan ditentukan oleh kekuatan material

pengisi. Isian mempunyai dua hal yang dapat berpengaruh :

a. Tergantung ketebalannya, isian menghambat penguncian yang diakibatkan

kekasaran rekahan.

b. Sifat isian itu sendiri yaitu kuat geser, permeabilitas, dan perilaku

deformasi. Sehingga perlu diketahui aspek berikut ini : jenis, ketebalan,

kesinambungan, dan hubungan satu sama lain

2.1.7. Pelapukan pada Batuan (Weathering)

Pelapukan dinding batuan, yaitu ketidakmenerusan permukaan yang terbentuk

pada batuan, oleh ISRM (1981) diklasifikasikan seperti pada Tabel 2.3. Untuk

memudahkan dalam pengukuran tingkat pelapukan pada batuan disingkat dengan

2 huruf.

Tabel 2.3.Tingkat Pelapukan (ISRM, 1981)

Kode Jenis Definisi

FR Fresh Tidak ada tanda-tanda pelapukan, warna

tidak berubah, batuan segar, kristalnya

terang.

SW Slightly Weathered Warna sedikit berubah, memperlihatkan

sedikit perubahan pada kekuatan batuan,

ketidak menerusan ternoda atau luntur dan

dapat terisi oleh isian tipis hasil dari iterasi

material. Lunturan tadi dapat meluas dari

permukaan ketidakmenerusan sampai

kedalam batuan dengan jarak sampai 20 %

dari pada spasi ketidakmenerusan.

MW Moderately Weathered Kelunturan meluas dari bidang

ketidakmenerusan lebih besar 20% daripada

spasi ketidakmenerusan. Ketidakmenerusan

dapat terisi oleh hasil iterasi material.

Mungkin dapat ditemukan batas butiran

yang terbuka. Kekuatan batuan telah terubah

oleh pelapukan.

HW Highly Weathered Batuan terlapukan meluas dan memiliki sifat

soil (material batuan yang gembur). Tekstur

asli batuan tetap terjaga, tetapi didapatkan

pemisahan batuan.

CW Completely Weathered batuan luntur dan dekomposisi seluruhnya,

dan dalam kondisi gembur. Kenampakan

luar adalah tanah (soil)

RS Residual Soil Tanah terbentuk pada pelapukan batuan

yang ekstrim

2.1.8. Kriteria Empiris

Pendekatan alternatif untuk memperkirakan kekuatan geser permukaan bidang

diskontinu yang kasar diajukan oleh Barton (1973, 1976, 1977, 1990) yang

berpendapat bahwa kriteria sederhana seperti Mohr-Coulomb ataupun Patton

(1966) tidak cukup untuk menggambarkan kekuatan geser batuan. Barton

menggunakan kekar buatan pada penelitiannya dan diperoleh persamaan:

..........................................................................

2.1

Keterangan :

JRC = Joint Roughness Coefficient atau koefisien kekasaran kekar

JCS = Joint Wall Compressive Strength

b = sudut geser dalam

Nilai JRC dapat ditentukan dengan dua cara, yang pertama yaitu dengan

memperkirakan secara visual dan mencocokkannya secara langsung dengan

penampang kekasaran. Kedua, yaitu metode pengukuran langsung di lapangan.

Analisis kestabilan ataupun perhitungan Faktor Keamanan lereng menggunakan

parameter-parameter yang ada pada kriteria Mohr – Coulomb, yaitu kohesi (c) dan

sudut geser dalam (). Oleh karena persamaan Barton tidak linier dan tidak

mengandung c dan, maka perlu dilakukan perkiraan terhadap parameter-

parameter tersebut ketika dibutuhkan untuk melakukan analisis kestabilan lereng.

Caranya yaitu dengan menarik garis lurus yang menyentuh garis non-linier pada

tegangan normal tertentu. Titik perpotongan garis linier dengan sumbu tegangan

geser disebut dengan kohesi seketika sedangkan kemiringannya disebut dengan

sudut geser dalam seketika. Penghitungan nilai i pada tegangan normal tertentu

dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan, dimana nilai dapat

dihitung menggunakan persamaan 2.2 (Hoek and Bawden, 1995).

... 2.2

Kohesi seketika dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.3 (Hoek and

Bawden, 1995):

ci = ..................................................................................................... 2.3

....................................................................................................

2.4

Dalam memilih nilai ci dan i, terlebih dahulu harus ditentukan tegangan normal

rata-rata yang bekerja pada bidang geser.

2.1.9. Klasifikasi Geological Strength Index (GSI, Hoek et al, 1995)

Hoek dan Brown (1980) mengusulkan metode untuk mendapatkan estimasi

kekuatan massa batuan terkekarkan (joint rock mass), berdasarkan pada penilaian

ikatan antar struktur pada massa batuan dan kondisi permukaan struktur geologi

tersebut, yang dikenal sebagai Original Hoek-Brown Criterion. Kriteria ini

dimulai dari kekuatan batuan utuh dan kemudian diperkenalkan faktor-faktor

untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan pada karakteristik pada bidang

diskontinu (joints) didalam massa batuan. Kriteria ini terus dikembangkan oleh

Hoek, dkk (1995) dimasukkan konsep Geological Strength Index (GSI) yang

memberikan estimasi pengurangan kekuatan massa batuan karena perbedaan

kondisi geologi.

Kekuatan massa batuan tidak hanya bergantung pada kekuatan batuan utuh saja,

namun juga tergantung pada kondisi struktur pada massa batuan tersebut. massa

batuan jika terdiri dari material yang berbentuk menyudut dengan permukaaan

struktur kasar akan lebih kuat dari pada material yang berbentuk bulat dan

permukaan struktur halus.

Nilai GSI diperoleh dari hasil deskripsi geologi dengan berdasarkan struktur dan

kondisi permukaan struktur. Nilai GSI dapat juga didekati dari nilai Rock Mass

Rating (RMR) yang diperoleh dari klasifikasi massa batuan menurut Bieniawski

(1989) dengan persamaan sebagai berikut.

GSI = RMR – 5..................................................................................... 2.5

GSI (Geological Strength Index) dilakukan untuk mengetahui kondisi batuan

sesuai dengan keadaan di lapangan. Untuk mendapatkan nilai GSI harus diketahui

terlebih dahulu nilai SR (Struktur Rating) atau dengan persamaan 2.6:

........................................................................ 2.6

Keterangan : SR = Struktur Rating.

Jv = Volumetric joint count, joint/m3.

Nilai SCR didapatkan dari pembobotan massa batuan yang didapat dari pemetaan

geoteknik berupa kekasaran (Roughness Rating), pelapukan (Weathering Rating),

dan lebar isian (Infilling Rating). Dengan persamaan 2.7 :

SCR = Rr+Rw+Rf ..................................................................................... 2.7

Keterangan : SCR = Surface Condition Rating.

Rr = Rougness Rating.

Rw = Weathering Rating.

Rf = Infilling Rating.

Nilai GSI didapatkan dari korelasi antara nilai SR dan pembobotan SCR seperti

terlihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7

Penentuan Nilai GSI (Hoke & Marinos, 2000)

2.1.10. Faktor Keamanan Lereng

Lereng merupakan suatu permukaan tanah atau batuan yang miring dan memiliki

suatu sudut tertentu terhadap bidang horisontal. Secara prinsip, pada suatu lereng

sebenarnya berlaku dua macam gaya, yaitu gaya penahan dan gaya penggerak.

Gaya penahan, yaitu gaya yang menahan massa dari pergerakan sedangkan gaya

penggerak adalah gaya yang menyebabkan massa bergerak. Lereng akan longsor

jika gaya penggeraknya lebih besar dari gaya penahan. Secara matematis

kemantapan suatu lereng dinyatakan dalam bentuk Faktor Keamanan (FK),

sebagai berikut:

……………………………………..... 2.8

Nilai faktor keamanan secara umum dapat dinyatakan sebagai berikut :

FK < 1 berarti lereng tersebut tidak stabil atau tidak mantap.

FK = 1 berarti lereng tersebut seimbang.

FK > 1 berarti lereng tersebut stabil atau mantap.

Perhitungan untuk mencari nilai faktor keamanan minimum menggunakan cara

iterasi, yaitu mencoba-coba dengan memasukan nilai faktor keamanan yang

diasumsikan untuk mendapatkan nilai faktor keamanan baru menggunakan

persamaan 2.23, demikian seterusnya sampai mendapatkan nilai faktor keamanan

minimum dengan faktor toleransi ≤ 0,001.

Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisis kemantapan suatu

lereng adalah:

a. Geometri lereng

Parameter yang diperhatikan adalah tinggi jenjang, lebar jenjang, sudut

jenjang tunggal, dan sudut lereng keseluruhan. Lereng yang terlalu tinggi akan

mengakibatkan kondisi yang tidak mantap dan cenderung lebih mudah

longsor, demikian juga untuk sudut lereng yang mempunyai kemiringan yang

besar akan menjadikan lereng kurang mantap.

b. Struktur batuan

Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kemantapan lereng adalah bidang-

bidang sesar, perlapisan dan rekahan. Struktur batuan tersebut merupakan

bidang lemah dan sekaligus sebagai tempat merembesnya air, sehingga batuan

relatif tidak stabil.

c. Sifat fisik dan mekanik batuan

Sifat fisik batuan yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah : bobot isi,

porositas, dan kandungan air, kuat tekan, kuat tarik, kuat geser dan sudut geser

dalam batuan.

d. Topografi daerah setempat

Faktor ini mempengaruhi laju erosi, pengendapan, dan arah aliran air

limpasan. Jika terdapat adanya genangan air, maka akan menyebabkan

kemantapan batuan dibawahnya menjadi berkurang.

e. Kondisi Hidrologi

Air tanah merupakan faktor yang penting dalam kestabilan lereng, air tanah

dapat mempengaruhi lereng dengan lima cara: mengurangi kekuatan,

merubah kandungan mineral melalui proses alterasi dan pelarutan, merubah

density, menimbulkan tekanan air pori dan menyebabkan erosi.

f. Iklim

Iklim berpengaruh terhadap kemantapan lereng karena iklim mempengaruhi

perubahan temperatur. Temperatur yang cepat berubah akan mempercepat

proses pelapukan batuan. Suatu cara yang umum untuk menyatakan

kemantapan suatu lereng adalah faktor keamanan atau faktor kemantapan.

Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya penahan yang menyebabkan

lereng tetap stabil dengan gaya yang menyebabkan lereng longsor. Secara

sistematis faktor keamanan suatu lereng dapat dinyatakan sebagai berikut :

Dimana :

F = Faktor keamanan lereng.

R = Gaya penahan, berupa resultan gaya-gaya yang membuat lereng tetap

stabil.

Fp = Gaya penggerak, berupa resultan gaya-gaya yang menyebabkan lereng longsor.

Pada keadaan, F > 1 = Lereng dalam keadaan mantap/stabil

F = 1 = Lereng dalam keadaan seimbang

F < 1 = Lereng dalam keadaan tidak mantap.

2.2. Metode Pengambilan Sample dan Data

2.2.1. Metode Pengambilan Sample

Sample yang akan digunakan untuk penelitian merupakan batuan in-situ untuk

memperoleh data diskontinuitas. Sedangkan untuk data pengujian geoteknik

menggunakan coring.

2.2.2. Metode Pengambilan Data

a). Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil

pengamatan di lapangan. Data primer yang didapatkan pada saat penelitian

adalah :

1) Geometri, arah dan kemiringan lereng.

2) Orientasi bidang diskontinu.

3) Kondisi bidang diskontinu.

4) Titik lokasi daerah penelitian.

5) Data-data yang berkaitan dengan kondisi dari daerah penelitian yaitu gambar

atau foto.

b). Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu

bisa menyalin atau mengutip dari data yang sudah ada. Data sekunder yang

didapatkan pada saat penelitian adalah :

1) Data geologi yaitu berupa peta topografi, geologi regional, geologi lokal,

litologi dan stratigrafi.

2) Data sifat fisik dan mekanik batuan berdasarkan hasil log bor Geoteknik PT.

Jorong Barutama Greston.

2.3. CARA PENDEKATAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

Adapun metodologi penelitian dibagi menjadi 2 yaitu cara penelitian dan

prosedur penelitian. Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah studi

literatur, penyelidikan lapangan, pengolahan data, serta pembuatan laporan.

1. Cara Penelitian

Cara penelitian yang dilakukan yaitu menghitung nilai karakteristik massa

batuan berdasarkan metode empiris yaitu dengan Hoek and Brown dari

pembobotan kondisi diskontinu.

2. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian yang dilakukan, meliputi:

1. Studi Literatur

Studi literatur bertujuan untuk mencari bahan-bahan yang berhubungan

dengan penelitian dari buku-buku dan laporan penelitian yang telah ada.

2. Pengambilan Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil

pengamatan di lapangan. Data primer yang didapatkan pada saat penelitian

adalah :

Geometri, arah dan kemiringan lereng.

Orientasi bidang diskontinu.

Kondisi bidang diskontinu.

Titik lokasi daerah penelitian.

Data-data yang berkaitan dengan kondisi dari daerah penelitian yaitu

gambar atau foto.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu

bisa menyalin atau mengutip dari data yang sudah ada. Data sekunder yang

didapatkan pada saat penelitian adalah :

a. Data geologi yaitu berupa peta topografi, geologi regional, geologi lokal,

litologi dan stratigrafi.

b. Data sifat fisik dan mekanik batuan berdasarkan hasil log bor Geoteknik

PT. Jorong Barutama Greston.

5. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer. Data primer

yang didapatkan dari lokasi penelitian selanjutnya akan diolah dan dianalisis.

6. Pembuatan Laporan

Laporan berupa hasil dari penelitian beserta pembahasan.

BAB III

ANALISIS PENYELESAIAN MASALAH

3.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut:

a. Analisa kelongsoran dengan metode stereografis.

b. Pengolahan data diskontinuitas menggunakan metode scanline, sehingga

didapatkan nilai frekuensi kekar, RQD, dan kualitas batuan.

c. Analisa kestabilan lereng dengan metode Hoek & Bray, dan dengan

menggunakan software slide.

3.2 Penyelesaian Masalah

Adanya proses pengalian menyebabkan terjadinya distribusi tegangan

yang baru yang berupa paksaan terhadap tegangan untuk mengalir di sekitar

lokasi penggalian. Pada batuan yang tidak kompak dengan adanya perubahan

tegangan yang besar dapat mengakibatkan kelongsoran. Sehingga diperlukan

analisis kemantapan lereng dengan cara membuat rancangan geometri jenjang

yang sesuai dengan karakteristik batuan itu sendiri.

Proses perancangan jenjang merupakan suatu proses melakukan analisis

kestabilan untuk mengestimasi sudut jenjang yang masih dapat ditambang,

memilih lebar jenjang, tinggi jenjang dengan mempertimbangkan peraturan-

peraturan yang berlaku.

Dalam menganalisa penyelesaian masalah sebelumnya beberapa hal yang perlu

diperhatikan adalah :

a. Pengukuran struktur geologi

Alat yang dipakai adalah kompas geologi.

b. Pengukuran kondisi air tanah

Alat yang dipakai adalah alat bor.

c. Pengukuran geometri lereng

Alat yang dipakai dalah kompas geologi dan alat ukur.

d. Pengamatan sifat fisik dan mekanik batuan

Alat yang dipakai adalah sarana laboratorium seperti neraca listrik,

desikator, pompa vacum, oven, alat bor inti, alat pemotong batu, gerenda,

jangka sorong, dial gauge, dan mesin kuat tekan uniaksial.

Kemudian setelah hasilnya dicapai dan permasalahan dapat diketahui

dengan ditentukannya jenis longsoran kemudian permasalahan yang timbul kita

analisa. Metode yang sesuai untuk menganalisis dalam penelitian ini penyusun

akan menggunakan metode Hoek dan Bray, karena metode ini merupakan metode

yang baik dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Metode Hoek dan Bray dapat digunakan untuk menganalisa keempat

macam longsoran pada lereng batuan.

1. Longsoran bidang

Dalam menganalisa, maka suatu lereng ditinjau dalam dua dimensi dengan

anggapan sebagai berikut :

a. semua syarat untuk terjadinya longsoran bidang terpenuhi.

b. terdapat regangan tarik tegak yang terisi air sampai kedalaman tertentu

(Zw), regangan tarik ini dapat terjadi pada muka lereng maupun di atas

lereng.

c. Tekanan air pori pada regangan tarik sepanjang bidang luncur tersebar

secara linier.

d. Semua gaya yang bekerja pada lereng melalui titik pusat massa batuan

yang akan longsor, sehingga tidak terjadi rotasi.

Faktor keamanan lereng dapat dihitung dengan persamaan :

F =

F =

Dimana :

F = faktor kestabilan lereng

C = kohesi pada bidang luncur

A = panjang bidang luncur (A)

p = sudut kemiringan bidang luncur (o)

= sudut geser dalam batuan (o)

W = berat massa batuan yang akan longsor (ton)

U = gaya angkat yang ditimbulkan oleh tekanan air disepanjang bidang

luncur (ton)

= (½) w. Zw. (H – Z) cosec p

V = gaya mendatar yang ditimbulkan oleh tekanan air pada regangan tarik

(ton)

= (½) w. Zw2

w = bobot isi air (ton/m3)

Zw = tinggi kolom iar yang mengisi regangan tarik (m)

Z = kedalaman regangan tarik (m)

H = tinggi lereng (m)

Jika terjadi getaran yang diakibatkan oleh adanya gempa, peledakan maupun

aktifitas manusia laninnya, maka persamaan diatas menjadi :

F =

Dimana :

= percepatan getaran pada arah mendatar

2. Longsoran baji

Dalam analisa menggunakan metode Hoek dan Bray, longsoran baji dapat

dianggap hanya akan terjadi pada garis perpotongan kedua bidang lemah.

Faktor keamanan lereng dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut :

F =

dimana :

Ca = kohesi bidang lemah I (ton/m3)

Cb = kohesi bidang lemah II (ton/m3)

a = sudut geser dalam, bidang lemah I (o)

b = sudut geser dalam, bidang lemah II (o)

= bobot isi batuan (ton/m3)

w = bobot isi air (ton/m3)

X =

Y =

A =

B =

Dimana a dan b adalah kemiringan (dip) dari bidang-bidang I dan II serta

5 adalah sudut penunjaman perpotongan bidang lemah I dan II.

Jika pada bidang I dan II tidak terdapat kohesi, serta kondisi lereng kering,

maka persamaan diatas menjadi :

F = A tan a + B tan b

Dimana A dan B adalah suatu faktor tanpa satuan yang besarnya tergantung

pada jurus (strike) dan kemiringan (dip) kedua bidang lemahnya. Bidang

lemah yang mempunyai kemiringan lebih kecil selalu dinamakan bidang

lemah I sedangkan bidang lemah yang satunya lagi dinamakan bidang lemah

II.

3. Longsoran guling

Dengan metode Hoek dan Bray terjadinya longsoran guling dapat dianalisa

dengan menggunakan model yang sederhana. Dengan menggunakan model

ini digunakan untuk menganalisa kasus-kasus yang sederhana. Sedangkan

untuk menganalisa lereng yang sebenarnya dilakukan analogi dengan

mempertimbangkan variabel-variabel yang ada dilapangan.

4. Longsoran busur

Khusus untuk longsoran ini tidak ditampilkan disini, karena batuan yang akan

dianalisa diharapkan dalam keadaan segar.

3.3. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan untuk menentukan kebijaksanaan perusahaan dalam

mempersiapkan perencanaan pembuatan jenjang yang aman dan optimum

pada daerah penambangan.

2. Sebagai bahan studi perbandingan bagi penelitian yang ada kaitannya dengan

permasalahan kemantapan lereng.

BAB IV

JADWAL PELAKSANAAN

Tabel 4.1

Rencana Kegiatan

No. Jenis KegiatanMaret April Mei

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Studi Literatur

2 Orientasi Lapangan

3 Pengambilan Data

S4 Akuisi Data

5 Pengolahan Data

6 Penyusunan Draft

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Abramson, L. W., Thomas S. L., Sunil S. and Gleen M. B., 2002, Slope Stability and Stabilization Methods 2nd edition, Jhon Whiley & Son, Inc., New York, USA.

2. Bieniawski Z. T, 1989, Engineering Rock Mass Clasifications, Jhon Whiley & Sons, Inc., Canada.

3. Brown E. T., 1981, “Rock characterization testing and monitoring”, ISRM Suggested Methods, Royal school of mines, London.

4. Hoek, E., and Bray, J. W., 1981, “Rock Slope Engineering”, Revised fourth edition, the Institution of Mining and Metalurgy, London and New York.

5. Kliche, C. A., 1999, Rock Slope Stability, Society for Mining, Metallurgy, and Exploration,inc.,USA.

6. Singgih, S., 2012, Using the Schmidt Hammer on Rock Mass Characteristic in Sedimentary Rock at Tutupan Coal Mine, Proceedings of International Symposium on Earth Scince and Technology, Institute of Technology Bandung.

7. Wyllie, D. C. and Christopher W. M., 2004, Rock Slope Engineering Civil and Mining 4th Edition, Spon Press, 270 Madison Avenue, New York, USA