Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROCEEDING
The 3rd International Conference On Melayu Identity (ICMI-3) “Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity”
Steering Commite: Prof. H. Yundi Fitrah, Drs., M.Hum., Ph.D.
Organizing Commite:
Ashady Mufsi Sadzali, S.S., M.A. Irhas Fansuri, S.Pd.,M.Hum. Rengki Afria, S.Pd., M.Hum. Sovia Wulandari, S.S., M.Pd.
Fatonah, S.S., M. I. Kom. Murfi Saputra, S.Pd., M.Hum. Denny Defrianti, S.Sos., M.Pd.
Friscilla Wulan Tersta, S.Pd.,M.Pd. Julisah Izar, S.PdI, M.Hum. Neldi Harianto, S.PdI, M.A Haidir Rahman, S.E. M.E.
Rahmat Nurmansyah, S.Hut.
Editor: Rengki Afria, S.Pd., M.Hum.
Asyhadi Mufsi Sadzali,S.S.,M.A.
Reviewer: Prof. H. Yundi Fitrah,M.Hum.,Drs., M.Hum., Ph.D.
Prof. Dr. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum. Hadianto,S.Pd., M.Ed., Ph.D.
Dr. Supian, S.Ag., M.Ag. Dr. Dra. Warni, M.Hum.
Published by:
Faculty of Humanities, Universitas Jambi Gedung G Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi
Jln Raya Jambi-Ma. Bulian Km.15 Mendalo Indah, Muaro Jambi Telp: (0741) 582965 Kode Pos: 36361
E-mail: [email protected] Website: icmi.fibculture.unja.ac.id
ISBN:
All Right Reserved ® No Part of This Publication May Be Reproduce Without Written Permission
of The Publisher Copy Right ©, 2018, Faculty of Humanities, Universitas Jambi
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
416
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
PENDIDIKAN PESANTREN DAN TRADISI KEILMUAN KLASIK:
SEBUAH KAJIAN KRITIS PESANTREN SALAFI DAN KHALAFI DALAM REKONSTRUKSI TRADISI KEILMUAN ISLAM
LUKMAN HAKIM DAN YUSDI ANRA
Fakultas Tarbiyah UIN STS Jambi; FKIP Universitas Jambi
Abstract
Pesantren is the product of social Indonesia culture, that’s before comes from Hindu-Buddha educational traditional, then, it’s changed to become the place of the process of Islamic scientific tradition and the central of the development of Islam. Pesantren is the place full of Islamic values, contributes the protection of islamic tradition that exist in Indonesia Social life. The focus of Pesantren Islamic traditional education is the growth of spirit of God One-ness the discipline of Islamic Moralit, studying scientifie Islamic tradition in Fiqh ( Islamic Law ) at ones as the realization of Indonesian Muslim behaviour in Indonesian social life.
Abstrak
Pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia, yang sebelumnya merupakan tradisi pendidikan agama Hindu-Buddha di Indonesia, Kemudian beralih fungsi menjadi tempat proses berlangsungnya pembelajaran ilmu ke Islaman tradisional dan sentral pengembangan agama Islam. Pesantren merupakan tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi oleh nilai-nilai agama. Pesantren memberikan andil dalam memelihara tradisi Islam yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Titik berat pendidikan pesantren adalah penanaman jiwa ketauhidan, kedisiplinan dalam berakhlaq, pemberian ilmu ke Islaman bertumpu pada ilmu Fiqh pada pengalamannya, serta pelajaran bahasa Arab sebagai modal dasar mempelajari kitab klasik.
Pesantren, Produk Kultural Sistem Pendidikan Islam
Pesantren dari Waktu ke Waktu
Pesantren atau yang lebih dikenal dengan sebutan pondok pesantren
memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Namun kehidupan pesantren
secara relative dapat dilacak asal usulnya dimulai pada akhir abad ke-19
atau awal abad ke-20. Dhofier ( 1982:23 ) dalam Tradisi Pesantren telah
membuat peta pesantren di Jawa dari abad ke-19 sampai abad ke-20
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
417
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
dengan Jawa Timur merupakan pemusatan pesantren terbesar disusul
Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Titik berat pendidikan di pesantren pada saat itu adalah penanaman
jiwa ketauhidan, kedisiplinsn dalam berakhlak, pemberian ilmu ke Islaman
yang bertumpu pada ilmu Fiqh sekaligus pengalamannya, serta pelajaran
bahasa Arab sebagai modal dasar mempelajari kitab-kitab klasik. Cikal
bakal pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan Islam di
Indonesia muncul pertama kali di pulau Jawa, didirikan oleh Syekh
Maulana Maghribi, yang juga dikenal sebagai Sunan Giri, wafat pada 12
Rabiul Awal 822 Hijriah bertepatan tanggal 8 April 1419. Sunan Giri
dikenal sebagai pendiri pesantren kemudian dikembangkan oleh Raden
Rahmat atau Sunan Ampel di Ampeldenta Surabaya, menyusul kemudian
lahirnya pesantren Demak oleh Raden Fatah, dan pesantren Tuban oleh
Sunan Bonang.
Secara historis, Steenbrink ( 1974:16 ) telah melakukan pengkajian
tentang pesantren. Dia menyatakan bahwa pesantren sejak zaman
kolonial Belanda hingga masa kemerdekaan tidak hanya dihormati sebagai
tempat belajar tetap bahkan merupakan tempat tinggal yang seluruhnya
dipenuhi nilai-nilai agama.
Kemampuan pesantren setelah abad ke 15 menempati posisi sebagai
lembaga pendidikan tradisional semakin mendapatkan pengukuhan dari
masyarakat. Pesantren memberikan andil dalam memelihara tradisi islam
yang hidup ditengah masyarakat, dan di antaranya telah menghasilkan
ulama dan tokoh masyarakat di Indonesia. Pesantren yang tumbuh dan
perkembang di tengah kehidupan masyarakat berfungsi memadukan
antara aqidah untuk menanamkan keimanan, mengkaji kitab untuk
memperdalam ilmu, dakwah untuk penyebaran ilmu, dan amal sebagai
realisasi tingkah laku dan perbuatan sesuai ajaran Islam.
Pada abad ke-20, Sebelum adanya tipe pendidikan barat
diperkenalkan di Indonesia, maka pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan tradisional yang ikut melahirkan masyarakat satu-
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
418
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
satunya lembaga pendidikan tradisional yang ikut melahirkan masyarakat
terpelajar di Jawa, yang memiliki mobilitas sosial sangat berarti. Posisi
pesantren merupakan agen Islamisasi di Jawa yang dipelopori oleh kyai
sebagai pimpinan pesantren. Pesantren sering kali berkembang lebih
cepat dari pada masyarakat sekitarnya.
Pesantren pada dasarnya merupakan produk budaya masyarakat
Indonesia yang sebelumnya merupakan tradisi pendidikan agama Hindu-
Buddha, kemudian beralih fungsi menjadi pusat berlangsungnya proses
pembelajaran ilmu ke Islaman dan sentral pengembangan agama Islam
dalam kehidupan masyarakat. Kyai sebagai pimpinan pesantren yang
ditaati dengan pesantrennya berfungsi sebagai sumber kekuatan dinamika
kehidupan beragama, yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda
sangat ditakuti aktivitasnya, karena dikhawatirkan mendorong perubahan
sosial-politik masyarakat Indonesia yang membahayakan pemerintah
kolonial Belanda. Pesantren telah sejak awal berfungsi sebagai pusat
pertahanan moral Islam dan sekaligus sebagai tempat training bagi santri
mempraktekan kehidupan beragama sebagaimana keinginan kyai.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama merupakan lanjutan
dari pendidikan awal dimasjid-masjid ataupun surau-surau tempat para
santri atau murid mempelajari agama dari seorang kyai.
Sejalan dengan perkembangan waktu, didaerah-daerah di Indonesia
terdapat dua tipe pesantren, yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi.
Tipe pertama adalah pesantren penganut paham ahl al-sunnah wa
al-jama’ah dengan madzab Syafi’i. Pesantren tipe ini mengajarkan kitab
kitab klasik karangan ulama bermadzab Syafi’i.
Tipe kedua adalah pesantren yang tidak terikat kepada salah satu
paham teologi dengan madzab tertentu. Pengajaran kitab-kitab klasik tak
terbatas hanya karangan ulama bermadzab Syafi’i, bahkan pesantren
bertipe ini seperti pondok modern Gontor Ponorogo tidak lagi
mengajarkan kitab-kitab klasik.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
419
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
Pesantren dan Tradisi Keilmuan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional warisan masa
lalu. Ilmu ke Islaman didalamnya merupakan warisan tradisi keilmuan
klasik pada masa perkembangan Islam yang secara kontekstual relevan
dengan realitas social pada masa itu, masa berkembangnya Islam ketika
terjadi kontak antara ulama Nusantara dengan Ulama Timur Tengah
sebagai bagian dari internalisasi Islam, dan terjadinya interaksi budaya
islam dengan budaya lokal. Kontak ulama dan interaksi budaya tersebut
sangat mempengaruhi tradisi keilmuan pesantren.
Sebagai lembaga yang memiliki ciri tersendiri, pesantren memiliki
tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi lembaga pendidikan lain.
Tradisi ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan
menampilkan diri berubah-ubah, namun beberapa ajaran inti tetap
merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke
Nusantara hingga sekarang.
Dalam wujudnya sekarang, Pesantren memiliki pengajaran kitab
yang disebut pengajaran “kitab Kuning”.
Asal mula tradisi keilmuan pesantren berawal dari ajaran Al-Quran
dan Hadist yang memberikan tekanan pentingnya arti ilmu bagi setiap
muslim. Atas dasar ajaran ini semenjak awal ulama berupaya
mengembangkan perangkat keilmuan sejak dini melalui sejarahnya yang
panjang, Sejak masa pertama Madinah dikenal orang-orang yang ahli
dalam penafsiran Al- Quran, seperti Abdullah Ibnu Abbas, ahli dalam
hukum agama Seperti Abdullah Ibnu Mas’ud, penghafal Al-Quran dan
pencatatnya seperti Zaid Ibnu Tsabit. Mereka adalah contoh orang-orang
yang memperlakukan Al-Quran sebagai objek ilmu. Pada waktu mereka
telah terbentuk tradisi keilmuan pada tahap awal.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
420
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
Sesudah Nabi Muhammad SAW wafat muncul sebuah kelompok Al-
Fuqoha Al-Sab’ah ( para ahli Fiqh yang tujuh ), yang merupakan ahli
terkemuka dalam hukum agama di Mekah dan Madinah. Mereka adalah
peletak dasar ilmu-ilmu ke Islaman yang kemudian menjadi tradisi
madzhab Fiqh. Tradisi keilmuan terus dikembangkan hingga abad ke-2
dan ke-3 Hijriah, bahkan selanjutnya para ahli ilmu ke Islaman mampu
menguasai Ilmu-ilmu utama dari peradaban Hellenis yang berada di Timur
Tengah. Mereka mengkondusifkan ilmu-ilmu tersebut dengan tolak ukur
kebenaran Al-Quran dan Hadist Nabi. Mereka memiliki reputasi keilmuan
yang tinggi, namun tetap sebagai Muslim yang taat kepada Allah.
Dalam Ensiklopedia Islam ( 1996:56\91 ) disebutkan mengenai
tradisi keilmuan Islam di Indonesia datang melalui 2 gelombang, yaitu
gelombang ilmu ke Islaman yang datang kekawasan Nusantara dalam
abad ke-13 M bersamaan dengan adanya Islam, dan gelombang ketika
para ulama Nusantara menuntut ilmu di semenanjung Arabia, terutama di
Mekah. Mereka kembali ketanah air dengan mendirikan pesantren-
pesantren.
Perwujudan ilmu ke Islaman gelombang pertama memasuki wilayah
Nusantara dalam bentuk tasawuf, yang ilmu-ilmunya tidak lepas dari ilmu
Syariah pada umumnya, sehingga tasawuf merupakan orientasi yang
menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan pesantren pada
masa itu. Kitab-kitab tasawif yang menggabungkan fiqh dengan
pengalaman akhlak menjadi pelajaran utama, seperti Bidayah Al-Hidayah
oleh Imam Ghazali merupakan karya fiqh sufistik yang paling menonjol
selama berabad-abad hingga kini. Di pesantren-pesantren dalam abad ke-
19 semakin banyak keluarga Muslim yang mengirim anak-anak mereka
belajar ke timur tengah , terutama setelah dibukanya terusan Suez pada
awal abad ke-19. Lahirnya beberapa ulama yang mendalami ilmu ke
Islaman terutama di mekah seperti Kyai H. Nawawi Banten, Kyai H.
Mahfuds Tremas, Kyai H. Abdul Ghani Bima, Kyai H. Arsyad Banjar,
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
421
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
Hadratus Syekh Kyai H. Hasyim Asy’ari Tebuireng dan Kyai H. Khalil
Bangkalan, Serta sederatan ulama lainnya.
Gelombang ke 2 dari sumber keilmuan yang diikuti tradisi keilmuan
di pesantren nampak dalam karya ulama seperti Sabil Al-Muhtadin oleh
Kyai H. Arsyad Banjar, Nur Al-Zhalam oleh Kyai Nawawi Banten.
Merekalah yang memperkenalkan pendalaman bahasa Arab beserta
cabang-cabang ilmunya dipesantren hingga munculnya kebangkitan ilmu-
ilmu ke Islaman yang telah tenggelam berabad-abad telah lalu.
Berbeda dengan ulama di Timur Tengah maka para ulama di
Indonesia yang berpegang pada syariah tersebut tetap berpegang pada
akhlak sufistik yang telah berkembang selama berabad-abad. Di
antarannya Kyai H. Bisri Syamsuri mengajarkan kitab fiqh sufistik Qathral
Al-Ghaits bahkan kitab akhlak seperti Durrah Al-Nashihin sangat banyak
diikuti dan dikembangkan. Ini merupakan penggabungan antara kedua
jenis perwujudan keilmuan yang telah sampai ke Indonesia melalui
perbedaan waktu sekitar 7 abad lamanya. Kitab-kitab fiqh yang mendalam
dengan penguasan alat-alat bantu tetap diajarkan dipesantren, seperti Al-
Muhadzdzab dan Fathul Al-Wahhab. Kitab fiqh yang sangat tua Tuhfah
merupakan salah satu pegangan utama yang tidak pernah berhenti
diajarkan oleh Kyai di pesantren. Penjagaan kualitas kitab fiqh dilakukan
oleh para Kyai sehingga tercapai standarisasi dalam penggunaan kitab
dasar fiqh, yaitu Taqrib yang sangat terkenal. Penguasaan ilmu ke
Islaman menuju pendalaman fiqh merupakan ciri khas pesantren di
Indonesia.
Alat bantu mengalamu perkembangan antara lain kitab tafsir Jalalain
dan Ibnu Katsir. Kitab-kitab Hadis tidak hanya Al-Buchari Al Muslim tetapi
juga berlanjut pada Syarh Al-Bukhari dan Syarh Al-Muslim dari Imam
Nawawi dan Khailani, bahkan kitab standar seperti Bulugh Al-Maram dan
Riyadh Al-Shalihim. Tradisi keilmuan di pesantren mempunyai asal-usul
yang kuat berasal dari perkembangan tasawuf masa lampau dan
pendalaman ilmu fiqh melalui penguasaan alat-alat bantunya. Kitab Siraj
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
422
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
Al-Thalilbin yang ditulis oleh Kyai H. Ihasan Jampes merupakan komentar
kitab Minhaj Al-Abidin karya Imam Ghazali. Kitab ini menampilkan
penguasaan mendalam atas ilmu ke Islaman, namun pada saat yang sama
menampilkan wajah sufistik dari seorang ilmuwan yang mengamalkan
syariat.
Kepimpinan Pesantren dan hubungan Emosional Kyai – Santri
Salah satu lembaga pendidikan yang telah mewariskan kekayaan
kehidupan intelektual dan kultural umat Islam di Indonesia adalah
pesantren yang merupakan pusat studi Islam dan sekaligus latihan bagi
pemantapan kehidupan beragama di bawah bimbingan Kyai yang biasanya
pemilik pesantren tersebut.
Para Kyai dalam upaya mendirikan pesantren mempunyai tujuan
melestarikan ajaran Islam tradisional, dalam arti Islam yang masih kuat
terikat dengan dasar-dasar pikiran Islam yang dikembangkan oleh ulama
dari abad ke-7 sampai abad ke-13, yang mereka sebut dengan ideologi
ahl-al sunnah wa al-jama’ah. Menurut Kyai H. Bisri Mustofa yang dikutib
oleh Dhofir menjelaskan bahwa ideologi tersebut patuh kepada : (1) salah
satu madzab 4 dalam soal soal hukum Islam, (2) ajaran Imam Abu Hasan
al-Asy-ari dan Abu Hasan al-Maturidi dalam soal tauhid (Prisma 2-2-81, 87
). Dhofir selanjutnya menambahkan para Kyai pada umumnya menganut
madzab Syafi’i. Keharusan menghormati kyai adalah mutlak. Seorang
santri yang melupakan hubungannya dengan Kyai dianggap durhaka,
karena Kyai mempunyai tingkat kesucian pemegang kunci penyalur ilmu
ke Islaman dari Tuhan. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi
mengutamakan beribadah sebagai pengabdian dan memuliakan guru
sebagai jalan untuk memperoleh ilmu ke Islaman yang hakiki. Dengan
demikian ilmu ke Islaman ini menetapkan pandangannya sendiri yang
bersifat khusus. Pesantren berdiri atas pendekatan ukhrowi pada
kehidupan yang ditandai oleh ketundukan mutlak kepada Kyai.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
423
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
Hubungan timbal-balik antara keikhlasan Kyai dan ketaatan santri
merupakan nilai esensial dari tradisi pesantren. Mengaji kitab merupakan
aktivitas sangat sentral dimana Kyai menanamkan keimanan dan
pandangan hidup kepada santrinya, dengan penekanan kepada
persamaan dan pandangan hidup kepada santrinya, dengan penekanan
kepada persamaan derajat antara manusia, bukan berdasarkan keturunan
ataupun kekayaan, sehingga menyebabkan ajaran Kyai mudah dipahami
dan diterima oleh santri, dan juga masyarakat setempat. Keilmuan hidup
manusia hanya dibedakan oleh ketaqwaannya kepada tuhan, siapa paling
bertaqwa dialah yang mulia hidupnya.
Kepemilikian pesantren biasanya bersifat turun-temurun, sehingga
seorang Kyai tidak hanya bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
proses pembelajaran dengan mengaji kitab, tetapi juga bertanggung
jawab terhadap kelangsungan kehidupan pesantren, dengan
mempersiapkan anak keturunannya yang diharapkan dapat melanjutkan
kehidupan pesantren. Apabila hal tersebut tidak memungkinkan, maka
biasanya di antara santrinya lah yang akan melanjutkan usaha Kyainya,
yang belum tentu pada pesantren tersebut, dengan mendirikan pesantren
lain. Karena itu, sebuah pesantren mungkin saja tidak berkelanjutan
adanya, karena ketiadaan di antara anak keturunannya yang dapat
menggantikan, namun santri-santrinya melanjutkan usahanya dengan
mendirikan pesantren-pesantren baru.
Kegiatan santri mendirikan pesantren setelah berhasil memperdalam
ilmu ke islaman dari kyainya merupakan salah satu tradisi untuk menjaga
agar kegiatan mengaji kitab di pesantren terus dapat berlanjut dari
generasi ke generasi. Hubungan antara santri dan Kyai terus berjalan
walaupun santri tersebut pada gilirannya telah berperan sebagai Kyai di
pesantren sendiri. Ikatan hubungan tersebut tidaklah terbatas pada
hubungan batin antara santri dengan Kyai, tetapi juga merupakan
hubungan intelektual yang oleh Dhofier disebut sanad sebagai transmusu
intelektual. Tradisi memiliki suatu sanad itu merupakan pancaran nilai-nilai
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
424
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
yang dipegang oleh kalangan pesantren, antara lain menjadi keharusan
mutlak bagi seorang santri menghormati Kyainya, tidak boleh terputus dan
harus dinyatakan dalam semua dimensi kehidupan santri, baik kehidupan
keagamaan, sosial, maupun pribadi.
Selanjutnya, pesantren memiliki ciri khas, Dhofier menyebutnya
sebagai elemen pesantren yang meliputi lima unsur, yaitu pondok, masjid,
santri, pengajaran kitab klasik, dan kyai. Secara lebih terperinci H.A Mukti
Ali (1991:6) dalam memahami metode memahami agama Islam telah
lebih dahulu memberikan gambaran ciri khas yang dimaksud Dhofier
tersebut dengan adanya: (1) hubungan akrab antara santri dengan kyai,
(2) ketaatan santri kepada kyai, (3) hidup hemat dan sederhana, (4)
semangat menolong diri sendiri, (5) persaudaraan dan saling membantu,
(6) kedisplinan, dan (7) tahan menderita dalam meraih tujuan.
Pesantren memiliki sub kultur dengan tiga elemen utama, yaitu pola
kepemimpinan, literature kitab kuning, dan sistem nilai tersendiri yang
terus dipelihara, yang terpisah dari masyarakat luas. Kepemimpinan kyai
merupakan hubungan pemimpin-pengikut yang didasarkan atas sistem
kepercayaan. Para santri menerima kepemimpinan kyai karena mereka
mempercayai konsep “barakah” berdasarkan doktrin emanasi dari para
kyai.
Kepemimpinan kyai terhadap santri adalah meletakkan kerangka
berpikir untuk melaksanakan kewajiban menjaga ilmu ke Islaman, yaitu
ilmu ke Islaman klasik ataupun kitab sesudahnya yang dituliskan
berdasarkan ilmu ke Islaman klasik. Pengertian kitab kuning nampaknya
bukan hanya kitab klasik yang ditulis pada masa klasik, tetapi juga kitab-
kitab sesudahnya yang dituliskan oleh para ulama melalui legitimasi kitab
klasik, seperti kitab Nuzhat al-Alibba fi Thabaqat al-Ubada ( Taman orang
pandai dalam tingkatan para Sastrawan ) karya Kyai Hasyim Asy’ari
ataupun Kitab Siraj al-Thalibin oleh kyai H. Ihsan Jampes juga dianggap
kitab kuning.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
425
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
Berdasarkan pada ketaatan ajaran Islam dalam praktek sehari-hari
tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan kyai dan literatur ilmu ke Islaman
universal yang digunakan oleh pesantren. Sistem nilai pesantren
mengambil kerangka berpikir “barakah” yang memancar dari sang kyai
kepada santrinya. Keyakinan bahwa bimbingan kyai atas santri merupakan
syarat untuk menguasai ilmu ke Islaman yang benar merupakan landasan
sistem nilai di pesantren.
Dalam proses pembelajaran, pesantren mempergunakan ilmu ke
Islaman klasik yang ditulis oleh ulama masa klasik. Ilmu ke Islaman ini
tetap dipertahankan dan diajarkan di pesantren-pesantren tradisional.
Pelestarian tradisi keilmuan Islam dilakukan oleh para kyai di pesantren.
Para kyai ini tidak dapat diwakilkan pada kelompok lain dalam masyarakat
muslim karena berkaitan dengan kepercayaan bahwa “Ulama adalah
pewaris Nabi”. Hanya merekalah penafsir sebenarnya terhadap sumber
dasar Islam, peran sebagai pemegang “kesahihan” akhir atas ajaran-
ajaran agama ini merupakan dasar kerangka berpikir, dimana ilmu ke
Islaman kyai diajarkan dari generasi ke generasi.
Kitab Kuning
Pesantren dianggap sebagai hasil kultural yang besar dari bangsa
Indonesia, karena memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh lembaga-
lembaga pendidikan tradisional di tempat lain. Bruinessen ( 1995:17 )
menjelaskan bahwa lahirnya pesantren adalah untuk menstransmisikan
ilmu ke Islaman tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab yang
ditulisakan berabad-abad lalu, yang dikenal sebagai kitab kuning. (Martin
Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat ).
Peran kitab-kitab Klasik yang lazim disebut kitab kuning memberikan
informasi kepada santri bukan hanya mengenai warisan yurisprodensi di
masa lampau atau untuk menuju jalan terang mencapai hakekat ‘ubudiyah
kepada Tuhan, tetapi juga mencapai peran-peran kehidupan di masa
depan bagi suatu masyarakat. Kitab kuning dipergunakan oleh kyai untuk
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity:
Preserving Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of
Humanities, Universitas Jambi 2018
426
Yusdi Anra dan Lukman Hakim: pendidikan Pesantren Dan Tradisi Keilmuan Klasik….
memberikan pembelajaran dalam rangka warisan masa lalu di satu sisi
dan legitimasi bagi para santri dalam kehidupan masyarakat di masa
depan pada sisi lain. Kedua sisi tersebut berproses saling terjalin dalam
upaya memelihara ilmu ke Islaman dan penerapannya dalam kehidupan
sosial pada saat yang bersamaan. Pengajaran kitab kuning dianggap
merupakan upaya memelihara keberlangsungan tradisi keilmuan yang
benar dalam rangka melestarikan ilmu ke Islaman sebagaimana yang
ditinggalkan kepada masyarakat. Karena itu, hanyalah para ulama
tersebut yang dianggap memiliki otoritas secara luas untuk mentafsirakan
dua sumber dasar Islam, Al- Qur’an dan Hadits Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen,Martin van,”Pesantren dan Kitab Kuning, Pemeliharaan dan
Kesinambungan Tradisi Pesantren”,Ulumul Qur’an vol III , no. 4, 1992.
Dhofier,Hj.Zamakhsyari, Tradisi pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,cet . I, Jakarta, LP3ES,1984.
Streenbrink,Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abab Ke-19,cet. I, Jakarta : Bulan Bintang ,1984.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
427
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
BUSINESS POTENTIAL AND LIFE SKILLS EDUCATION BASED ON ‘SUKU ANAK DALAM’ CULTURE/LIVELIHOODS
KASIONO
Universitas Batanghari
Abstract The life crisis that threatens the Suku Anak Dalam (SAD) / Orang Rimba cannot be avoided, along with the difficulty of getting food and clean water in the forest due to forest destruction and the widespread conversion of forests to plantations and Industrial Plantation Forests. Therefore, it is necessary to prepare for them alternative efforts for the future of their lives. From several studies it is known, even though there has been a shift, but in fulfilling the necessities of life for the Suku Anak Dalam (SAD) community until now they still have traditional livelihoods, namely: hunting and gathering, farming, fishing and selling honey and making crafts. This study aims to finding out (1): Culture related to the livelihood of the Suku Anak Dalam (SAD); (2) Business Potential based on the environment and culture of SAD, especially livelihoods; and (3) Life Skills Education based on culture needed by SAD. Based on this study, it was found that there were several businesses potential based on environment and SAD cultural / livelihood, namely as follows: (A). Agricultural Business, consisting of Wetland Agriculture and Dryland Agriculture; (B). Plantation business, consisting of tree plantations, fruit plantations, and secondary crops plantations; (C). Livestock business, consisting of 4-legged Animal Husbandry, Poultry Animal Husbandry (Broiler Poultry, and Laying Poultry), Reptile Farming, and Honey Beekeeping; (D). Fisheries Business, consisting of Pond Fisheries, Karamba Fisheries, and Ornamental Fishes; (E). Handicraft Business, consisting of Wood and Rattan Handicrafts, Leaves Made of Handicrafts, Grain Made Handicrafts, and Craft of traditional / cultural equipment; (F). Business Product Trading Business; and (G) Integrated / Mixed Agricultural Enterprises. In connection with the business potential, Life Skills Education (LSE) that can and needs to be given to SAD residents in facing their future is: (A). Agricultural Business Sector (a.1 Wetland Agriculture and a.2 Dryland Agriculture), (B). Plantation Business Sector (b.1 Hardwood Plantation, b.2 Fruit Plantation, b.3 Secondary Crops Plantation), (C). Livestock Business Sector ((c.1 4-legged Animal Husbandry, c.2 Poultry Animal Husbandry, (c.2.1 Broiler Poultry, c.2.2 Laying Poultry), c.3 Reptile Farming, c.4 Honey Beekeeping)); (D). Fisheries Business Sector, consisting of d.1 Pond Fisheries, d.2 Karamba Fisheries and d.3 Ornamental Fish; (E). Handicraft Business Sector (e.1 Wood and Rattan Craft, e. 2 Leaf Craft, e. 3 Grain Craft, e. 4 Craft custom / cultural equipment); (F). Business Products Trading Sector; and (G) Integrated / Mixed Agricultural Business Sector.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
428
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Keywords: Suku Anak Dalam (SAD), Business Potential, Life Skills Education (LSE), and Culture (Livelihood).
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
Krisis kehidupan yang mengancam Suku Anak Dalam (SAD) / Orang
Rimba tak bisa dihindari seiring dengan sulitnya mendapatkan sumber makanan
dan air bersih di hutan akibat kerusakan hutan dan meluasnya konversi hutan
menjadi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (Suci Varista Sury, 2015).
Hutan rimba belantara di Jambi itu kini sudah berubah fungsi menjadi
perkebunan sawit berskala nasional. Selama ini, mereka masih bertahan hidup
di pinggir hutan dengan menjual hasil hutan seperti rotan dan damar untuk
keperluan makan. Bisa juga hasil hutan itu mereka tukarkan langsung dengan
makanan ke masyarakat lain di perkampungan terdekat. Akan tetapi, saat ini
hasil hutan sudah tidak ada lagi (Bangun Santoso, 2015)
Kian kritis dan sempitnya hutan tempat Suku Anak Dalam biasa hidup
dan mencari makan akibat adanya aktivitas illegal logging, pembukaan lahan
perkebunan dan transmigrasi, menjadikan suku terasing di Jambi itu menjadi
pengemis. Menurut Direktur Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (Kopsad), Budi
Prihaspati, kritisnya hutan membuat kehidupan SAD terus terdesak, sehingga
untuk mempertahankan hidup mereka terpaksa menjadi pengemis. Bahkan aksi
minta-minta mereka juga mulai mengarah pada tindakan pemerasan, seperti
sering menghadang kendaraan dan memaksa meminta yang mereka inginkan
(www.antaranews.com). Dulu mereka hanya meminta makanan, baik berupa
jajanan maupun buah-buahan di kebun masyarakat di pedesaan-pedesaan.
Tetapi sekarang, anak-anaknya mulai mengemis uang ke masyarakat, ke
warung-warung penduduk, hingga menengadahkan tangan di pinggir-pinggir
jalan. Uniknya, mereka melakukan secara bergerombol, satu orang diberi yang
lain akan menuntut pula, tak akan beranjak pergi sebelum semuanya kebagian.
Dan mereka melakukannya seperti lagi main-main. Tanpa wajah memelas.
Seakan tak mengerti jika tindakan mereka itu adalah sangat memalukan, dan
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
429
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
merendahkan harga diri mereka. Di lain pihak, sifat mereka sangat anti dengan
mencuri. Tetapi ditakutkan sifat ini lama-lama juga akan tergerus dan memudar (www. kompasiana.com/.../orang-kubu-suku-anak-dalam-jadi-pengemis).
Selain itu, sebagian dari mereka terpaksa berpindah alias hijrah ke Kabupaten
Indragiri Hulu (Inhu) propinsi Riau karena kondisi dan tempat mereka tinggal
sudah jarang makanan dan mereka terancam kelaparan
(www/merdeka.com/reporter/Abdullah Sani | Rabu, 8 April 2015).
Lalu, bagaimana perhatian pemerintah ? Sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni, “... melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...” (UUD
1945, alenia 4), pemerintah pada dasarnya telah memberikan perhatian kepada
masyarakat terasing dalam aspek pembangunan sosial. Pemerintah berusaha
untuk meningkatkan dan memperbaiki kehidupan sosio ekonomi masyarakat
itu. Salah satu aspek utamanya adalah meningkatkan tahap kesejahteraan
mereka dengan cara memberikan pendidikan yang secukupnya kepada
masyarakat, memberikan layanan kesehatan, membangun sistem ekonomi, dan
sebagainya (Mahmud, 2010).
Namun apa yang telah dilakukan oleh pemerintah nampaknya belum
sepenuhnya berhasil. Upaya penyelamatan Orang Rimba / SAD di Provinsi
Jambi hingga kini masih dilema. Program-program pembangunan permukiman
untuk Orang Rimba / SAD yang selama ini dilakukan pemerintah untuk
menyelamatkan komunitas adat terpencil tersebut jarang berhasil.
Penyebabnya, karena Orang Rimba / SAD yang terbiasa hidup secara nomaden
atau berpindah-pindah di hutan tidak mau tinggal menetap di rumah-rumah
yang dibangun pemerintah (Radesman Saragih, www.beritasatu.com
/.../261790- dilema-penyelamatan-orang-rimba-di-ja...31 Mar 2015).
Boleh jadi, kegagalan tersebut karena program-program yang dilakukan
pemerintah selama ini bersifat top-down. Program-program pembangunan yang
bersifat top-down sering kali mengalami kegagalan sehingga mengakibatkan
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
430
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
terabaikannya kepentingan masyarakat terasing itu sendiri. Keadaan tersebut
dapat dilihat dalam program pelaksanaan pembangunan sosio-ekonomi
masyarakat SAD di Jambi, yakni banyak program yang dilaksanakan mengalami
kegagalan. Hal itu ditandai dengan perkampungan-perkampungan masyarakat
SAD yang dibangun pemerintah ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka kembali
lagi ke dalam hutan-hutan dan perkampungan tersebut telah dihuni oleh
masyarakat-masyarakat lain.
Kegagalan program pemerintah dalam membangun masyarakat terasing
secara umumnya di Indonesia dan masyarakat SAD secara khususnya bukanlah
permasalahan yang baru terjadi pada masa otonomi daerah masa ini saja,
tetapi permasalahan ini telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Pada
dasarnya pemerintah Indonesia telah melakukan program pembangunan
masyarakat ini sejak tahun 1968, ketika berdiri Orde Baru. Usaha yang
dilakukan Orde Baru (1968-1998) adalah mendirikan Departmen Sosial
(Depsos) yang bertujuan menangani masalah-masalah sosial seperti
kemiskinan, memelihara anak-anak yatim dan piatu, warga tua, dan masalah
sosial lainnya serta melaksanakan pembangunan masyarakat terasing
(Mahmud, 2010).
Mendidik dan memberdayakan Suku Anak Dalam, sungguh bukan
pekerjaan yang mudah. Bagaimana tidak, mereka sebelumnya adalah manusia
yang hidup dari alam. Boleh dikata, mereka hidup sekedar untuk bertahan
hidup. Mereka tidak mengenal pakaian, rumah, apalagi sekolah. Tiba-tiba
mereka diberi pilihan, untuk hidup sebagaimana layaknya saudara-saudara
mereka, di bagian lain tanah air (Indonesia) ini.
Pada dasarnya, masyarakat Suku Anak Dalam memiliki karakter yang amat
tidak acuh dan tertutup. Sikap ini menyebabkan pendekatan kepada mereka
menjadi sulit. Terkadang, mereka serta merta menolak. Sulitnya pendekatan
pada mereka, nampak misalnya setelah satu dasawarsa lebih upaya
pemberdayaan Suku Anak Dalam, hasil yang dicapai, harus diakui belum
maksimal. Dari sekitar empat ribu kepala keluarga, atau sekitar 17 ribu jiwa
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
431
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Suku Anak Dalam, yang tersebar di beberapa kabupaten di Jambi, baru sekitar
50 kepala keluarga yang telah bermukim secara tetap. Dan berdasarkan data di
Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun, bahwa untuk di kabupaten
Sarolangun, dari 1.697 jiwa, baru 339 orang yang sudah (mau) sekolah.
Namun Pemerintah Provinsi Jambi, sebagaimana pernah dikatakan Hasan
Basri Agus (Gubernur Jambi periode tahun 2011-2015), akan tetap membangun
permukiman Orang Rimba, kendati sebagian besar Orang Rimba hingga kini
masih memilih hidup nomaden di kawasan hutan. Pembangunan permukiman
bagi Orang Rimba tersebut merupakan solusi terbaik untuk menyelamatkan
mereka dari ancaman krisis kehidupan di tengah hutan menyusul terus
meningkatnya kerusakan maupun konversi hutan di daerah itu.
Menurut Hasan Basri Agus, Pemprov Jambi sudah membangun 62 unit
rumah untuk Orang Rimba di sekitar hutan di Kabupaten Bungo, Jambi.
Permukiman Orang Rimba tersebut dilengkapi sumur air dan listrik. Namun
Orang Rimba di daerah itu masih enggan menempati rumah tersebut. Karena
itu, berbagai upaya masih terus dilakukan agar Orang Rimba mau tinggal
menetap di rumah-rumah yang dibangun pemerintah tersebut. Salah satu di
antaranya adalah menyediakan areal pertanian untuk Orang Rimba. Pilihan
terbaik bagi Orang Rimba agar terhindar dari krisis pangan, air bersih dan
kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan hanya bermukim secara menetap
serta memiliki usaha ekonomi pertanian. Namun upaya memukimkan Orang
Rimba tidak bisa dipaksakan karena mereka memiliki tradisi hidup secara
nomaden di hutan. Pendekatan sosial-budaya harus tetap dilakukan untuk
menyadarkan Orang Rimba manfaat bermukim secara menetap bagi
kelangsungan hidup mereka. Pendekatan itu kini bisa dilakukan, misalnya
dengan memanfaatkan radio komunitas Orang Rimba, Radio Benur, yang
menjangkau daerah pedalaman hutan Jambi.
Dalam konteks krisis pangan, penyediaan lahan pertanian nampaknya
merupakan alternatif yang paling tepat. Mengapa pertanian ? Karena dengan
tersedianya lahan pertanian, mereka akan memiliki mata pencaharian tetap,
yakni bercocok tanam atau bertani. Dan yang paling penting dengan bercocok
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
432
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
tanam / bertani, mereka akan mampu mengatasi masalah krisis pangan. Karena
permasalahan krusial yang dihadapi SAD saat ini adalah krisis pangan, akibat
semakin menyempitnya kawasan hutan rimba yang menjadi sumber pangan
mereka.
Selain itu, pertanian juga bukan merupakan sesuatu yang asing bagi
masyarakat SAD, karena bertani atau bercocok tanam pada dasarnya
merupakan mata pencaharian yang sudah biasa mereka lakukan, meskipun
masih sangat tradisional. Menurut Retno Andini (Andini, 2005), juga Sindu
Galba, bahwa dalam pemenuhan kebutuhan hidup Suku Anak Dalam sampai
saat ini masih memiliki mata pencaharian yang bersifat tradisional, yaitu:
berburu dan meramu, bercocok tanam (berladang), menangkap ikan dan
menjual madu serta membuat kerajinan (Galba, 2010). Oleh karena itu, perlu
kiranya memberikan bekal kepada warga SAD berupa pendidikan yang berbasis
pada budaya mereka sendiri, khususnya mata pencaharian agar ke depan
masyarakat SAD dapat bertahan hidup meskipun lingkungan hutan tempat
mereka tinggal semakin menyempit dan tidak lagi menghasilkan bahan
makanan yang cukup. Permasalahannya adalah budaya, khususnya mata
pencaharian apa sajakah yang ada/eksis dalam masyarakat SAD ? Selain itu,
potensi usaha berbasis budaya/ mata pencaharian apa sajakah yang bisa
dikembangkan oleh masyarakat SAD ? Dan juga bekal pendidikan kecakapan
hidup (life skill) berbasis pada budaya khususnya mata pencaharian apa
sajakah yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat SAD ?
Tujuan Kajian
Mengacu pada permasalahan di atas, tujuan kajian ini adalah untuk
mengetahui: 1. Budaya yang tekait dengan mata pencaharian Suku Anak Dalam (SAD). 2. Potensi Usaha berbasis budaya khususnya mata pencaharian Orang Asli
SAD.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
433
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
3. Pendidikan Kecakapan Hidup (life skill) berbasis budaya yang dibutuhkan
SAD.
KAJIAN PUSTAKA Suku Anak Dalam (SAD)
Suku Anak Dalam (SAD) adalah sebutan untuk orang asli yang tinggal di
dalam hutan rimba Jambi. Sebutan lain untuk SAD adalah Orang Rimbo atau
Orang Kubu (Retno Handini, 2005; Sri Marmoah, 2010; Erwan Baharudin, 2010;
Suci Varista Sury, 2015). Sebutan Suku Anak Dalam merupakan sebutan yang
diciptakan oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial. Arti Suku
Anak Dalam memiliki arti orang yang bermukim di pedalaman dan terbelakang.
Sebutan Kubu bagi Suku Anak Dalam sendiri sesunguhnya memiliki arti yang
negatif. Kubu memiliki arti menjijikkan, kotor dan bodoh. Panggilan kubu bagi
suku anak dalam pertama kali terdapat di tulisan-tulisan pejabat kolonial.
Sebutan yang ketiga adalah Anak Rimba merupakan sebutan yang lahir dari
Suku Anak Dalam sendiri. Arti Anak Rimba adalah orang yang hidup dan
mengembangkan kebudayaan tidak terlepas dari hutan, tempat tinggal mereka.
Istilah Orang Rimba dipublikasikan oleh seorang peneliti Muntholib Soetomo
melalui disertasinya berjudul “Orang Rimbo: Kajian Struktural Fungsional
masyarakat terasing di Makekal, Provinsi Jambi”.
Berdasarkan sumber Wikipedia, Suku Anak Dalam (SAD) selain tinggal
dalam hutan rimba di Provinsi Jambi juga ada di wilayah Sumatera Selatan.
Namun mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi
sekitar 200.000 orang (https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kubu). Sedangkan
dari sensus yang dilakukan oleh KKI Warsi, populasi Orang Rimba di Jambi
mencapai 3.700 orang. Jumlah itu menyebar di 3 titik. Pertama, di kawasan
TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) yang membentang di Kabupaten
Sarolangun dan Batanghari berjumlah sekitar 1.700 orang. Kedua, Orang Rimba
yang menempati daerah lintas Sumatera berjumlah sekitar 1.500 orang. Dan
ketiga, kelompok Orang Rimba yang mendiami kawasan Taman Nasional Bukit
Tiga Puluh (TNBT) berjumlah sekitar 500 orang
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
434
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
(http://news.liputan6.com/read/ 2355588/ fakta-menarik-seputar-kehidupan-
suku-anak-dalam-di-jambi 2 Nov 2015). Sumber lain menyebutkan bahwa
jumlah keseluruhan komuniti Suku Anak Dalam (SAD) yang berada di dalam
dan di sekitar kawasan TNBD, tercatat sebanyak 1.524 orang.
(jejakdanpendapatsyamsulbahri. blog.com/.../masyarakat-suku-anak-dalam-
sad-dalam-...18 Okt 2013). Sedangkan berdasarkan data Dinas Pendidikan
Kabupaten Sarolangun, saat ini jumlah SAD di Kabupaten Sarolangun adalah
sebanyak 1.697 orang yang berasal dari 384 Kepala Keluarga (KK). (Dinas
Pendidikan Kabupaten Sarolangun, Bidang PAUD dan PNF, Oktober 2016).
Sebagaimana halnya orang asli di negara jiran manapun, SAD juga
banyak mengalami ketertinggalan/keterciciran dibandingkan dengan
masyarakat lain. Bukan hanya tertinggal dalam bidang pendidikan, tapi juga
pada aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pemerintahan. Dalam
bidang pendidikan, misalnya, sebagian besar masyarakat SAD masih buta
aksara. Hal ini terjadi karena mereka menolak untuk menerima pendidikan,
sebab diyakini bahwa pendidikan akan merubah adat (halom). Sedangkan pada
aspek ekonomi, rata-rata masyarakat SAD masih dalam taraf hidup miskin.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka masih bergantung pada alam,
hasil hutan, yaitu dengan cara berburu, menjual hasil hutan, berladang,
mencari jernang, rotan, dan damar. Dari mata pencaharian mereka ini belum
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Marmoah, 2010: 6). Dalam
aspek sosial budaya, keberadaan Orang Rimba atau SAD di Taman Nasional
Bukit Duabelas, Provinsi Jambi, saat ini semakin memprihatinkan dan terdesak.
Pilihan untuk hidup nomaden (berpindah-pindah) di hutan membuat kehidupan
mereka belakangan ini semakin terancam (viva.co.id, 13/3/2015).
Potensi Usaha
Jika diartikan secara umum, usaha merupakan setiap aktivitas yang
dilakukan manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Menurut Wasis
dan Sugeng Yuli Irianto, usaha pada umumnya merupakan upaya manusia
yang ditujukan untuk bisa mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan menurut
Nana Supriatna dkk, usaha merupakan aktivitas atau pun kegiatan ekonomi
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
435
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
yang dilaksanakan oleh manusia dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Dalam aktivitas ekonomi, usaha sering kali diartikan sebagai sebuah
bisnis. Dalam hal ini, usaha merupakan setiap upaya yang dilakukan untuk bisa
mendapatkan keuntungan. Orang-orang yang melakukan aktivitas usaha atau
pun bisnis biasanya disebut dengan istilah pebisnis atau pun pengusaha.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indoneia (KBBI) edisi online, usaha adalah
kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai
suatu maksud. Atau sebagai suatu kegiatan di bidang perdagangan (dengan
maksud mencari untung). Usaha juga diartikan sebagai pekerjaan (perbuatan,
prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu. (http://kbbi.web.id
/usaha) Misalnya: usaha perkemasan yaitu usaha pengangkutan barang-
barang dalam peti kemas; Usaha tani adalah kegiatan usaha yang dilakukan
dalam bidang pertanian; Usaha tani campuran yaitu kegiatan usaha pertanian
yang mengombinasikan pengusahaan ternak, tanaman, atau ikan (Usaha Tani
Terpadu).
Sedangkan potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan
untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya
(http://kbbi.web.id/usaha). Oleh karena itu, dari pengertian-pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa potensi usaha adalah suatu jenis pekerjaan yang
mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan.
Budaya
Kata Budaya (culture) berasal dari bahasa Sansakerta yaitu buddhayah
yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti akal atau budi.
Budaya diartikan sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan budi atau akal.
Menurut EB Tylor, Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, moral, hukum, kesenian, adat-istiadat serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota dari masyarakat. Kebudayaan
tersebut mencakup semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
436
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Soemardi, Kebudayaan adalah semua hasil rasa, karya dan cipta
masyarakat. Dalam hal ini, karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh
manusia untuk menguasai alam sekitarnya, sehingga kekuatan dan hasilnya
dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Pork dan Burgess
mengemukakan pengertian kebudayaan, Kebudayaan ialah sejumlah totalitas
dan organisasi serta warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang
bermakna dimana dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super-organic,
karena kebudayaan yang secara turun temurun dari generasi ke generasi tetap
hidup terus menerus. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian kebudayaan
diidentikkan dengan kesenian, kesenian yang dimaksud ini terutama seni tari
dan seni suara. Akan tetapi, jika istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu
sosial, maka dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan salah satu bagian
saja dari kebudayaan. Dari pengertian kebudayaan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa Kebudayaan adalah suatu hasil karya, rasa dan cipta dari
masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Kebudayaan berguna bagi manusia untuk melindungi diri terhadap alam,
mengatur hubungan yang terjadi antara manusia dan sebagai wadah dari
segenap perasaan manusia.
Kluckhohn (1953) dalam karyanya yang berjudul Universal
Categories of Culture, menyebutkan ada 7 unsur kebudayaan yang dianggap
sebagai cultural universals, yaitu : (1) Peralatan dan perlengkapan hidup
manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi dan sebagainya); (2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan
sebagainya); (3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem hukum,
organisasi politik, sistem perkawinan); (4) Bahasa (lisan maupun tertulis); (5)
Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan lain sebagainya); (6) Sistem
pengetahuan; dan (7) Religi (sistem kepercayaan).
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
437
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Dari uraian unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat divisualisasikan
dalam bagan 2.1 berikut.
Gambar 2.1.
Unsur-Unsur Budaya
(Sumber: Garna, 2008)
Mata Pencaharian
Sebagaimana disebutkan oleh Kluckhon (1953), bahwa salah satu unsur
budaya adalah mata pencaharian. Mata pencaharian merupakan aktivitas
manusia untuk memperoleh taraf hidup yang layak dimana antara daerah yang
satu dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan
penduduk dan keadaan demografinya (Daldjoeni, 1987:89). Mata pencaharian
dibedakan menjadi dua yaitu mata pencaharian pokok dan mata pencaharian
sampingan. Mata pencaharian pokok adalah keseluruhan kegiatan untuk
memanfaatkan sumber daya yang ada yang dilakukan sehari-hari dan
merupakan mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mata
pencaharian pokok di sini misalnya adalah sebagai bakul. Mata pencaharian
sampingan adalah mata pencaharian di luar mata pencaharian pokok (Susanto,
1993:183). Mata pencaharian adalah keseluruhan kegiatan untuk
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
438
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada pada
lingkungan fisik, sosial dan budaya yang terwujud sebagai kegiatan produksi,
distribusi dan konsumsi (Mulyadi, 1993:79). Sedangkan menurut Eko Sujatmiko
pengertian mata pencaharian adalah pekerjaan atau pencaharian utama yang
dikerjakan untuk biaya sehari-hari (Eko Sujatmiko: 2014).
Menurut penelitian Sindu Galba (2003), dalam mempertahankan hidupnya
SAD memanfaatkan apa yang tersedia di hutan, seperti: meramu, memburu,
dan membuka ladang dengan sistem berpindah-pindah. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan hidup Suku Anak Dalam
memiliki mata pencaharian yang bersifat tradisional, yaitu: berburu dan
meramu, bercocok tanam (berladang), menangkap ikan dan menjual madu
serta membuat kerajinan.
Namun, saat ini telah terjadi peralihan mata pencaharian di kalangan orang
rimba (Ningsih Susanti, 2013), Perubahan pola hidup tersebut terjadi karena
adanya interaksi antara Orang Rimba dengan masyarakat Melayu dan para
transmigran dari Jawa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani dan peladang (Novriyanti). Di luar itu, saat ini juga bisa kita lihat
beberapa jenis pekerjaan sudah mulai dilakukan oleh SAD, seperti membuat
kerajinan, bertani dan beternak lebah, dan ternyata mereka bisa. Bahkan sudah
ada yang berhasil menjadi anggota TNI.
Meskipun demikian mereka tetap mempertahankan mata pencaharian hidup
yang lama. Berdasarkan penelitiannya terhadap orang rimba Air Panas,
Sarolangun, Susanti menyatakan bahwa meskipun mereka telah melakukan
mata pencaharian baru namun tetap mempertahankan mata pencaharian hidup
yang lama. Hal ini dikarenakan Orang Rimba Air Panas meskipun telah
mengalami peralihan mata pencaharian hidup dari berburu meramu menjadi
berladang berpindah hingga bercocok tanam menetap mereka masih saja
melakukan berburu meramu serta memiliki kecenderungan untuk membuka
lahan jika tidak dibatasi oleh aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah desa
dan mereka sepakati dengan pemerintah desa. Lahan yang sudah dibuka
tersebut hendak mereka tanami dengan tanaman karet atau kelapa sawit. Meski
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
439
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
demikian Orang Rimba Air Panas masih berburu hewan buruan untuk dimakan
atau dijual yang uang hasil penjualan diberikan beras atau bahan pangan
lainnya. (Susanti: 2013).
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)
Menurut Indrajati Sidi (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk mampu menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif mencari serta
menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan
Slamet PH (2002), kecakapan hidup adalah pendidikan kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang
untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Sedangkan Brolin
(1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan
kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak
secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu
meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan
hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan
teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.
Kendall dan Marzano (1997) menegaskan bahwa kecakapan hidup (life
skills) telah menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dikuasai oleh
masyarakat, termasuk peserta didik, agar mereka mampu berperan aktif dalam
lapangan kerja yang ada serta mampu berkembang. Lebih lanjut dikemukakan
oleh Indrajati Sidi (2002) bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan
untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal
diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2)
kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill),
(4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill). Tiga kecakapan yang pertama
dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir
disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS,
antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial,
kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
440
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif. Hal yang terjadi adalah peleburan
kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan
individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat
kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas
kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.
Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan
sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta
didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan
yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi
peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang
dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas,
dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah,
dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di
masyarakat, dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Indrajati Sidi, 2002).
Dari uraian di atas maka dapat disarikan bahwa Pendidikan Kecakapan
Hidup (life skills) adalah pendidikan yang berupa kemampuan, kesanggupan
dan keterampilan (pengetahuan sebagai praksis dan kiat, bukan teori) yang
diperlukan oleh seseorang agar dapat menempuh kehidupan dengan sukses,
bahagia dan secara bermartabat, seperti kemampuan berfikir, berkomunikasi
secara efektif, membangun kerjasama, melaksanakan peran sebagai warga
negara yang bertanggungjawab dan kesiapan untuk terjun di dunia kerja.
PEMBAHASAN Budaya yang Terkait dengan Mata Pencaharian Suku Anak Dalam (SAD)
Sebagaimana telah diuraikan, menurut penelitian Sindu Galba (2003),
dalam mempertahankan hidupnya SAD memanfaatkan apa yang tersedia di
hutan, seperti: meramu, memburu, dan membuka ladang dengan sistem
berpindah-pindah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pemenuhan
kebutuhan hidup Suku Anak Dalam sampai saat ini masih memiliki mata
pencaharian yang bersifat tradisional, yaitu: berburu dan meramu, bercocok
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
441
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
tanam (berladang), menangkap ikan dan menjual madu serta membuat
kerajinan.
Meskipun saat ini telah terjadi peralihan mata pencaharian di kalangan
Orang Rimba / SAD, menurut Ningsih Susanti (2013), mereka tetap
mempertahankan mata pencaharian hidup yang lama. Walaupun sebagian
mereka telah mengalami peralihan mata pencaharian hidup dari berburu
meramu menjadi berladang berpindah hingga bercocok tanam menetap, tetapi
mereka masih saja melakukan berburu meramu serta memiliki kecenderungan
untukmembuka lahan. Mereka juga masih berburu hewan buruan untuk
dimakan atau dijual yang uang hasil penjualan diberikan beras atau bahan
pangan lainnya (Susanti: 2013).
Potensi Usaha Berbasis Budaya/Mata Pencaharian SAD
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa potensi usaha adalah suatu pekerjaan
yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Dari uraian sebelumnya,
dan melihat potensi lingkungan alam di mana SAD tinggal, dapat penulis
simpulkan ada beberapa potensi usaha berbasis lingkungan dan budaya/mata
pencaharian SAD, yakni sebagai berikut : ( A). Usaha Pertanian , terdiri atas
Pertanian Lahan Basah dan Pertanian Lahan Kering; (B). Usaha Perkebunan ,
terdiri atas Pekebunan Tanaman Keras, Perkebunan Buah, dan Perkebunan
Palawija; (C). Usaha Peternakan, terdiri atas Peternakan Hewan Berkaki 4,
Peternakan Hewan Unggas (Unggas Pedaging, dan Unggas Petelur), Peternakan
Reptil, dan Peternakan Lebah Madu; (D). Usaha Perikanan, terdiri atas
Perikanan Kolam, Perikanan Karamba, dan Ikan Hias; (E). Usaha Kerajinan
Tangan, terdiri atas Kerajinan Berbahan Kayu dan Rotan, Kerajinan Berbahan
Daun, Kerajinan Berbahan Biji-bijian, dan Kerajinan Perlengkapan adat /
budaya; (F). Usaha Perdagangan Hasil Usaha; dan (G) Usaha Pertanian
Terpadu / Campuran.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
442
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) Berbasis Budaya/ Mata
Pencaharian SAD
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang berupa
kemampuan, kesanggupan dan keterampilan (pengetahuan sebagai praksis dan
kiat, bukan teori) yang diperlukan oleh seseorang agar dapat menempuh
kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat, seperti
kemampuan berfikir, berkomunikasi secara efektif, membangun kerjasama,
melaksanakan peran sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan
kesiapan untuk terjun di dunia kerja.
Mengacu pada potensi usaha berbasis budaya/ mata pencaharian SAD
sebagaimana dipaparkan di atas, ada sejumlah Pendidikan Kecakapan Hidup /
Life Skill yang bisa dan perlu diberikan kepada warga SAD dalam menyongsong
masa depannya. Beberapa Pendidikan Kecakapan Hidup / Life Skill tersebut
adalah : (A). PKH Bidang Usaha Pertanian (a.1 Pertanian Lahan Basah dan a.2
Pertanian Lahan Kering), (B). PKH Bidang Usaha Perkebunan (b.1 Pekebunan
Tanaman Keras, b.2 Perkebunan Buah, b.3 Perkebunan Palawija), (C). PKH
Bidang Usaha Peternakan ((c.1 Peternakan Hewan Berkaki 4, c.2 Peternakan
Hewan Unggas, (c.2.1 Unggas Pedaging, c.2.2 Unggas Petelur), c.3 Peternakan
Reptil, c.4 Peternakan Lebah Madu)); (D).PKH Bidang Usaha Perikanan, terdiri
atas d.1 Perikanan Kolam, d.2 Perikanan Karamba dan d.3 Ikan Hias; (E). PKH
Bidang Usaha Kerajinan Tangan (e.1 Kerajinan Berbahan Kayu dan Rotan, e.2
Kerajinan Berbahan Daun, e.3 Kerajinan Berbahan Biji-bijian, e.4 Kerajinan
Perlengkapan adat / budaya); (F). PKH Bidang Usaha Perdagangan Hasil Usaha;
dan (G) PKH Bidang Usaha Pertanian Terpadu / Campuran.
Kesimpulan Budaya yang Terkait dengan Mata Pencaharian Suku Anak Dalam (SAD) Meskipun sudah terjadi pergeseran, namun dalam pemenuhan kebutuhan hidup
Suku Anak Dalam (SAD) sampai saat ini masih memiliki mata pencaharian yang
bersifat tradisional, yaitu: berburu dan meramu, bercocok tanam (berladang),
menangkap ikan dan menjual madu serta membuat kerajinan.
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
443
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Potensi Usaha Berbasis Budaya/Mata Pencaharian SAD Ada beberapa potensi usaha berbasis lingkungan dan budaya/mata pencaharian
SAD, yakni sebagai berikut : ( A). Usaha Pertanian , terdiri atas Pertanian Lahan
Basah dan Pertanian Lahan Kering; (B). Usaha Perkebunan , terdiri atas
Pekebunan Tanaman Keras, Perkebunan Buah, dan Perkebunan Palawija; (C).
Usaha Peternakan, terdiri atas Peternakan Hewan Berkaki 4, Peternakan Hewan
Unggas (Unggas Pedaging, dan Unggas Petelur), Peternakan Reptil, dan
Peternakan Lebah Madu; (D). Usaha Perikanan, terdiri atas Perikanan Kolam,
Perikanan Karamba, dan Ikan Hias; (E). Usaha Kerajinan Tangan, terdiri atas
Kerajinan Berbahan Kayu dan Rotan, Kerajinan Berbahan Daun, Kerajinan
Berbahan Biji-bijian, dan Kerajinan Perlengkapan adat / budaya; (F). Usaha
Perdagangan Hasil Usaha; dan (G) Usaha Pertanian Terpadu / Campuran.
Pendidikan Kecakapan Hidup Berbasis Budaya/Mata Pencaharian SAD
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang berupa
kemampuan, kesanggupan dan keterampilan (pengetahuan sebagai praksis dan
kiat, bukan teori) yang diperlukan oleh seseorang agar dapat menempuh
kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat, seperti
kemampuan berfikir, berkomunikasi secara efektif, membangun kerjasama,
melaksanakan peran sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan
kesiapan untuk terjun di dunia kerja.
Pendidikan Kecakapan Hidup / Life Skill yang bisa dan perlu diberikan kepada
warga SAD dalam menyongsong masa depannya tersebut adalah : (A). PKH
Bidang Usaha Pertanian (a.1 Pertanian Lahan Basah dan a.2 Pertanian Lahan
Kering), (B). PKH Bidang Usaha Perkebunan (b.1 Pekebunan Tanaman Keras,
b.2 Perkebunan Buah, b.3 Perkebunan Palawija), (C). PKH Bidang Usaha
Peternakan ((c.1 Peternakan Hewan Berkaki 4, c.2 Peternakan Hewan Unggas,
(c.2.1 Unggas Pedaging, c.2.2 Unggas Petelur), c.3 Peternakan Reptil, c.4
Peternakan Lebah Madu)); (D).PKH Bidang Usaha Perikanan, terdiri atas d.1
Perikanan Kolam, d.2 Perikanan Karamba dan d.3 Ikan Hias; (E). PKH Bidang
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
444
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
Usaha Kerajinan Tangan (e.1 Kerajinan Berbahan Kayu dan Rotan, e.2
Kerajinan Berbahan Daun, e.3 Kerajinan Berbahan Biji-bijian, e.4 Kerajinan
Perlengkapan adat / budaya); (F). PKH Bidang Usaha Perdagangan Hasil Usaha;
dan (G) PKH Bidang Usaha Pertanian Terpadu / Campuran.
Datar Rujukan : 1. Antaranews, 2006, Areal Hutan Menyempit, Suku Kubu Menjadi
Pengemis, Jambi, (ANTARA News) – www.antaranews.com/.../areal-hutan-menyempit-suku-kubu-menjadi-pengemis
2. Baharudin, Erwan, 2010, Pendidikan Suku Anak Dalam : Suatu Perubahan dari Paradigma Positivistik ke konstruktivisme, Jakarta: Forum Ilmiah Volume 7 Nomor 2, Mei 2010
3. Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun, Data Peserta Pendidikan Kesetaraan, Bidang PAUD dan PNF, Oktober 2016
4. Gatra.com, 2006, Hutan Kritis, Suku Anak Dalam Terpaksa Jadi Pengemis arsip.gatra.com/2006-12-04/artikel.php?id=99131 Jambi, 4 November 2006 10:02
5. Galba, Sindu . 2003. “Manusia dan Kebudayaan Orang Kubu” (Naskah Laporan Penelitian)
6. Handini, Retno, 2005, Foraging yang Memudar, Suku Anak Dalam Di Tengah Perubahan, Yogyakarta: Galang Press
7. Isnaeni, Nadya, 2015, 4 Aturan Hidup Suku Anak Dalam Jambi, Jakarta: Liputan6.com, -on 03 Nov 2015 at 22:55 WIB
8. KamusBesar Bahasa Indoneia (KBBI) edisi online,(http://kbbi.web.id/usaha)
9. Kompasiana, 2012, Orang Kubu (Suku Anak Dalam) Jadi Pengemis! www.kompasiana.com/ .../orang-kubu-suku-anak-dalam-jadi-pengemis_ 27 Oktober 2012 06:36:59
10. Marmoah, Sri, 2010, Strategi Pengelolaan Pendidikan Dalam Upaya Pemberdayaan Perempuan Dengan Pendekatan Pendidikan
Berbasis Budaya Lokal“ (Studi Kasus Perempuan Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, Bandung: UPI
11. Novriyanti, Diskursus Pembentukan Taman Nasional Bukit 12 Jambi: Penurunan Status Akses Ruang Hidup Orang Rimba, Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
12. Prasetijo,Adi,PerubahanbentukproduksiOrangRimba; Strategi Adaptasi..? etnobudaya.net/.../perubahan-bentuk-produksi-orang-rimba-strategi-ada...3 Sep 2008
13. Sani, Abdullah | Rabu, 8 April 2015, www/merdeka.com/reporter/ 14. Santoso, Bangun, 2015, Mengembara Keluar Hutan, 9 Orang Rimba
Jambi Jadi Pengemis, on 23 Apr 2015 at 23:00 WIB, Liputan6.com, Jambi
Proceeding The 3rd
International Conference on Melayu Identity: Preserving
Melayu Culture For Indonesian Integrity , Faculty of Humanities, Universitas
Jambi 2018
445
Kasiono: Business Potential And Life Skills Education Based On ‘Suku Anak Dalam’ …
15. Saragih, Radesman, Dilema Penyelamatan Orang Rimba di Jambi, www.beritasatu.com/.../261790-dilema-penyelamatan-orang-rimba-di-ja...31 Mar 2015 Selasa, 31 Maret 2015 | 18:19 Suara Pembaruan
16. Sury , Suci Varista, 2015, Nasib Kehidupan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi Seiring Perkembangan Zaman Berkaitan dengan Implementasi Nilai Pancasila dalam Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara , Yogyakarta: Teknik Lingkungan FTSP UII dalam www.academia.edu
17. Susanti, Ningsih, Peralihan Sistem Pertanian Orang Rimba ((Studi Kasus di Taman Nasional Bukit Dua Belas Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi), 2013