Proceeding of Indonesian Ornithological Seminar 2005

  • Upload
    funland

  • View
    320

  • Download
    13

Embed Size (px)

Citation preview

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

PROSIDING SEMINAR ORNITOLOGI INDONESIABogor, 2005

Editor: Yeni A. Mulyani Adam A. Supriatna Margaretha Rahayuningsih Wilson Novarino

PERHIMPUNAN ORNITOLOG INDONESIA-0-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Mendorong dan memfasilitasi para ornitolog muda; kontribusi nasional untuk pengembangan pengetahuan internasional

-1-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Kutipan yang disarankan: Yeni Mulyani, Adam A. Supriatna, Wilson Novarino, dan Margaretha Rahayuningsih (Editor). 2007. Prosiding Seminar Ornitologi Indonesia 2005. Indonesian Ornithologists Union (IdOU). Bogor, Indonesia

Kompilasi & Lay-out Adam A. Supriatna, Dwi Mulyawati

Foto Yus Rusila Noor dan PILI-NGO Movement Perhimpunan Ornitolog Indonesia atau Indonesian Ornithologists Union (IdOU) adalah organisasi non profit dan berbasis keanggotaan yang didirikan tanggal IdOU 23 Agustus 2004 di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tujuannya adalah memajukan ornitologi Indonesia dengan mempromosikan studi mengenai semua aspek burung Indonesia Informasi lebih jauh mengenai IdOU bisa menghubungi:Kukila Editorial Secretariat c/o PILI-NGO Movement, alamat: Jalan Tumenggung Wiradireja No. 216, Cimahpar, Bogor 16155, Indonesia or PO Box 146, Bogor 16001, Indonesia. Telp. +62 251 657002 Fax +62 251 657171. Email: [email protected] - Website: www.kukila2004.wordpress.com

-2-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Ucapan terimakasih Seminar ini bisa terlaksana berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh sebab itu, IdOU secara khusus berterimakasih kepada PILI-NGO Movement atas bantuan dana dan fasilitasi serta stafnya, terutama Drs. Iwan Setiawan (Direktur), dan Eka Muliawati Putri; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terutama Dr. Dedy Darnaedi, dan Dr. Dewi M. Prawiradilaga atas dukungan moral dan inisiasi awal pelaksanaan seminar; Center for International Forestry Research (CIFOR) yang sudah meminjamkan beberapa partisi untuk keperluan pemasangan poster peserta. Juga, Conservation and Research Training Center /The Nature Conservancy-Indonesia (attn: Bas van Helvoort) dan JICA - PHKA Gunung Halimun Salak National Park Management Project (attn: Kanerori Miura dan Hiroshi Kobayashi) layak mendapatkan ucapan terimakasih atas terselenggaranya acara seminar ini. IdOU berterimakasih kepada Saudara Wilson Novarino sebagai ketua penyelenggara seminar yang secara managerial banyak dibantu oleh Ibu Ani Siregar dan Ibu Jenni Shannaz serta dedikasi luar biasa dari para sukarelawan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga menjadi amal baik! Terima kasih juga disampaikan kepada Colin Trainor, John Riley, Vincent Nijman, dan Nick Brickel, serta Margaretha Rahayuningsih atas komentar dan masukan dalam penyuntingan beberapa makalah yang dicantumkan dalam prosiding ini. Semoga menjadi amal baik!

Adam A. Supriatna Direktur Perhimpunan Ornitolog Indonesia

-3-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Catatan Editor Prosiding ini tidak lengkap memuat semua makalah yang dipresentasikan pada hari seminar karena proses review dan editing yang diterapkan telah menghasilkan kompilasi makalah seperti yang sekarang tersaji. Editor pada dasarnya melihat potensi besar semua makalah riset di muat utuh namun karena dalam upaya klarifikasi dan verifikasi data dan informasi yang tersaji ada beberapa hambatan, seperti kesulitan komunikasi dengan penyaji sehingga tidak didapat respon yang memadai, maka dalam prosiding ini hanya ditampilkan abstraksi-nya saja. Ini semata-mata hanya masalah kesulitan komunikasi dan tenggat waktu yang ditetapkan menerbitkan prosiding ini. Selain proses editing, abstrak yang dimuat juga tidak diterjemahkan, baik itu yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris. Abstrak dimuat sesuai dengan bahasa yang digunakan ketika pertama kali abstrak-abstrak tersebut masuk ke meja panitia. Demikian disampaikan, selamat membaca.

Tim editor

-4-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

DAFTAR ISI JudulUcapan Terimakasih Catatan Editor Indonesian Ornithologists Union National Ornithological Seminar; Preliminary notes from the seminar (Mochamad Indrawan) Makalah utama More than 99 % type speciment of Indonesian birds held in meseum: Indonesian ornithological history (Prof S. Somadikarta, Pembicara kunci) Important Birds Areas (Rudyanto) Conservation model for endangered Species (K. Miura) Indonesian Bird Banding Schemes-IBBS (Yus Rusila Noor) Burung air Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinerea (Imannudin & Ani Mardiastuti) Beberapa aspek ekologi Ibis karau Pseudibis davisoni di sungai Mahakam Kalimantan Timur (Edy Sutrisno, Imanuddin & Reddy R.) Burung pemangsa (Raptor) 2001 2004 Records of Raptor Migration Sightings in Sumatera, Kalimantan, Java, Bali and Nusa Tenggara (Wishnu Sukmantoro) Intensive observation on breeding time of Elang Jawa Spizaetus Bartelsi (Stresemann, 1924) at Gunung Baud, Telaga Warna-Puncak, Bogor (Usep Suparman) Daerah jelajah anak Elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) dan interaksi dengan induknya (Dwi Mulyawati dan Usep Suparman) Keragaman burung Analisis Avifauna dan Degradasi Jenis Burung pada Hutan Tidak Terganggu dan Terganggu di Kawasan Taman Nasional Tanjung Putting. Kalimantan Tengah (Suharti, H. Rusmendro & Benny J.) Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Yang Berbeda Di TWA Dan CA Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat (Ady Kristanto, Wisnu W. & Hasmar R.) Variasi Warna Pada Dua spesies Burung Raja Udang [Ceyx spp.] (M. Nazri J. &. Anas S.) Ekologi burung Preferensi dan Interaksi Burung Rangkong Terhadap Ketersediaan Buah Ara (Ficus spp) di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung (Firdaus Rahman Affandi & Nurul. R. Winarni) Recent Conservation status of Red and Blue Lory Eos hystrio Talautensis in Indonesia (Asep Adhikerana) Fragmentasi Hutan Vs Burung Rangkong: Mampukah Burung Rangkong Bertahan Hidup? (Y. Hadiprakarsa & N. L. Winarni) Topik khusus Melestarikan Burung Bersama Pemangku Kebijakan (Noerdjito) Kurikulum Ornithologi, Perkembangan Ornithologi di Institut Pertanian Bogor (Ani Mardiastuti) Penangkaran Burung Ocehan Menuju Pemanfaatan Sumberdaya Burung Secara Lestari (Made S. Prana) Topik tambahan Bird Tour di Sulawesi* (Yunus Masala) Kukila, Journal of Indonesian Ornithologists* (Richard Noske) A Presentation from IdeaWild* (Walter D. Van Sickle) Presentasi poster Poster (6) 114-116

Hal.4 5 7-10

11-21 22-26 27 28 29-36 37-42

43-58 59 60-67

68 69-74 75-83 84-90 91 92-99

100 101-106 107-112 113

*

Penyampaian tidak dalam bentuk makalah hanya slide show dan talk show (guided discussion).

-5-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

English Summary

Indonesian Ornithologists Union National Ornithological Seminar(19 - 20 March 2005, Bogor, W. Jawa)

Preliminary notes from the seminar by Mochamad Indrawan

The seminar was opened with a key note speech by Soekarja Somadikarta, whom pointed out that between 1758 - 2004, as many as 4300 taxa of birds has been described from Indonesia. Having been studied by around 120 ornithologists of various nationalities, these new taxa are mostly described in the European languages of English, German, French, Italian and Dutch. For the record, Erwin Stressemann and Ernst Mayr alone shared between them descriptions of more than 400 new taxa. Of a particular challenge to the national ornithologists are the fact that more than 99% holotypes of Indonesian birds are now in the overseas museums. BirdLife's recent product, namely Directory of Indonesian IBA (Important Bird Area) is introduced by Rudyanto, as a mean of returning the knowledge to the contributors, vis a vis, national and international field ornithologists. The IBA publications has clearly played its contribution in formulating relevant conservation strategies at multiple levels of governance. It is appreciated that the amount of information resulting in Important Bird Areas and Red Data Books publication can not be achieved without the contribution from Indonesias field ornithologists, and therefore, this progressive, two-way accumulation of knowledge should be fostered. Biological data from two globally threatened storks are presented. Based on three seasons study (1998 2001), Imanudin and Ani Mardiastuti, presented breeding biology data on the Milky Stork in Rambut I., off the coast of Jakarta/ W. Jawa. Another study lasting for about a year (mainly between 2004 4) by Sutrisno, Imanudin and Rachmadi, yielded behavioural ecology data on the White-shouldered Ibis Pseudoibis davisonii between Long Iran and Long Bagun . Mahakam River, E. Kalimantan. With proper analysis and interpretation these data have good potentials for publication in international conservation journals. Even a carefully edited summary of each of these studies is likely to merit consideration in Kukila and or Storks, Ibises and Spoonbills Newsletter. One study, by Asep Adhikerana, Christian Mamengko, Wesley Pangemanan, and Michael Wangko, considered the recent conservation status of one of the most endangered parrots in the world, namely Eos histrio talautensis., the Red-and-Blue Lory of Karakelang I., Talaud Is. Sangihe Talaud Archipelago, Indonesia. Population estimates, corrected for detectability in different habitats were provided, i.e. 118,955; 27,063; and 59,959 for primary forests, secondary forests, and cash crop cultivations, respectively, thus making the total population estimate to be 159,505 birds. Roosting site characteristics, predominated by scattered emergents, particularly Pometia, were described and in average 251 roosts at any one tree have been estibated. The study also examined detailed harvest data, noting that in August Deember 2004 alone , a total of 295 birds have been taken out of Karakelang I. A conservation biology study by Yokie Hadiprakarsa and Nurul Winarni considered hornbill survival in a fragmented forest landscape in Lampung Province, southern Sumatera. The eight months study (January August 2003), covered 18 forest patches (out of 60 forest fragments in the province), and the nine hornbill species known for Sumatera. It turned that every patch has at least one hornbill. Large bodied and wide ranging species were found in most forest patches, excepting Helmeted Hornbill (Buceros vigil) and Great Pied Hornbill (Buceros bicornis). -6-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Smaller, territorial hornbills were sensitive to degree of isolation, although patch size did not impact their density. Were sizes of each forest patch treated independently, fragmentation did impact the hornbills distribution and density. However, if all the remaining natural forest patches were conserved and treated as a continuous habitat, with serious management practices the hornbills can have a better chance of survival across the landscape of forest patches. A behavioural ecology study of the Lampung hornbills, by Firdaus Rahman Adi, considered the hornbills utilization of figs in Way Canguk National Park. The four species of hornbills studied consumed eight species of figs at varying intensities. The size of the fig appeared to influence the numbers of hornbills coming to feed. Times are Indonesia;s shift toward regional autonomy. It is commendable, that a young ornithologist from a local university (Lampung) has been encouraged and managed to deliver this useful study, and present the results at a national seminar altogether. Indonesia housed now a strong and growing number of raptor specialists. Wishnu Sukmantoro shared his 2001 2004 raptor migration records from Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali and Nusa Tenggara, In all the sites monitored, Chinese Goshawk predominated (close to 80% of all sightings), followed by Oriental Honey-buzzard, and Japanese Sparrowhawk (the combined total making close to 20 % of all sightings). The raptor specialists in Jawa has also spent considerable effort studying and monitoring the endemic Javan Hawk Eagle Spizaetus bartelsii. A field study by Usep Suparman, from April December 2003 in Telaga Warna (Puncak highland, W. Jawa) yielded valuable reproductivebehaviour data of local pairs, encompassing territory establishment, mating and pairing, brood and incubation, to hatching and fledgling, with descriptions of young plumage, from the first till the 185th day. This field study at Telaga Warna was continued by Dwi Mulyawati and Usep Suparman, whom followed post-fledgling movements. The study, beginning when the fledgling was 9 months of age, lasted from Feb. July 2004, and showed that the fledgling home-range increased with maturity, whereas no significant interaction was noted between the bird and its parent, safe from feeding offers and occasional aggression by the parent. Two studies considered diversity measurements under variable conditions in moists forests in Tanjung Puting National Park, W. Kalimantan and Pangandaran Recreation Park/ Nature Reserve, W. Jawa. The study in Tanjung Putting by Suharti, Hasmar Rusmendro and Benny Jaya, revealed that the less disturbed forest showed higher values of species richness and Shannon Index (S= 131, H1 = 4.32; versus S= 63, H1 = 3..46 in more disturbed habiats) and that the difference is contributed by species richness more than evenness. The study in Pangandaran, by Ady Kristanto, Wisnu Wijatmoko, and Hasmar Rusmendro considered the impacts of observation times to detectability, across four different. In the relatively closed habitats (forest, forest edges, and beach vegetation), more birds are detected in the morning than those in the afternoon. In the more open habitat (grasslands), observation times did not appear to impact detectability. These studies conducted in Indonesias threatened parks is commendable for its choice of location and could be made even more productive were such studies considered angles of relevance to more urgent conservation priorities and strategies including (but not limited) to autecology of endangered species surviving in the parks. One study, by M. Nazri Janri and Anas Sahabila, considered morphological variations in Ceyx Kingfishers in West Sumatera based on mist-netted live individuals. Based on the specimen examinations (17 Red-backed Kingfisher Ceyx rufidorsa,, 1 Black-backed Kingfisher C. erithacus and 3 intermediary form) the study suggested three colour forms existed. The study using Microft Word colour chart as colour reference highlights the need for using standard colour swatch ( for instance, Smithe, F. B. 1975. Naturalists color guide. American Mus. Nat. -7-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Hist., New York; Munsell. 1977. Munsell color charts for plant tissues. Gretagmacbeth. New Windsor, New York. ), a simple tool which is (understandably) not readily accessible in Indonesias research institutions and yet vital in this case. A landscape model for conserving threatened species of Indonesian birds have been drawn from Gunung Halimun Salak Management Project (collaboration by Japan International Cooperation Agency, and Indonesian Directorate General of Nature Protection and Conservation. The projects Team Leader, Kanerori Miura related that while the project generated good ecological data from the park, a particular problem remained, and will need to be addressed by the project, namely increasing conflicts from the parks local community. Given the flourishing numbers of active field ornithologists in Indonesia, Neville Kemp has thought of formalizing the records by establishing Indonesian Club300, to be formatted after Europes Club300 (to be called IdOU300). IdOU300 can potentially serve as bird observation forum aiming to foster objective approaches in ornithological field research activities. Members of IdOU will be encouraged to submit their records to this forum, and the submitted records will be examined by a pre-determined committee, consisted of ornithological experts. The members of IdOU will then be recognized on various categories of merit, based on the amount and importance of their contributions. This initiative will provide an informal forum to promote wild bird observation, developing ornithological skills, and making available web-based data-base. This initiative is clearly beneficial to Indonesian ornithology, and the success of actual launching of this initiative will likely to depend on Neville Kemps leadership. Over the years, Indonesia has received bird banding research and training, including those collaborated with the then Royal Australasian Ornithologists Union/ Asian Wetland Bureau in the 1990s and more recently Yamashina Institute of Ornithology. Yus Rusila Noor emphasized that there is need for developing banding schemes in country, an Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS), which can be modelled after the existing schemes such Australian Bird Banding Scheme. The urgency relates to both needs of data, and to conducting banding in efficient and ethical manners. It is hoped that the Biological Research Center of the Indonesian Institute of Sciences can take a formal lead in developing a possible IBBS. Medium to longer term studies of birds has been initiated at IPB-Bogor Agricultural University, and led by Ani Mardiastuti, whom focused on behaviour ecology of the Milky Stork Mycteria cinerea colony in Rambut Island. IPB also hosted a number of studies on Green Peafowl Pavo muticus, the composite results of which have the potential to be written as scientific papers. The teaching and research capacity of Dept. of Natural Resources Conservation and Ecotourism is outlined, including the qualifications of three ornithological specialists. In many of the years the Dept. has been established, not many students has opted to study biology and conservation of birds, with 4 12 undergraduate students enrolling the course in every semester. Lack of standard names for Indonesian birds was highlighted by Mas Noerdjito, who is on the verge of producing a full list of Indonesian bird names. Soekarja Somadikarta, called for a more rigorous approach toward standardizing Indonesian bird names, using clear pre-defined outline and criteria, and further suggested Indonesian Ornithologists Union should help substantiating and formalizing the Indonesian bird names. The statistics and anatomy of Kukila- Bulletin of the Indonesian Ornithologists Union was presented by Richard Noske. Kukila has been contributed mostly by international ornithologists, and there is need to train Indonesian ornithologists to write for Kukila. The geographical regions of Papua, and , surprisingly, Jawa have been under represented in terms of number of articles. In terms of numbers of pages, annotated lists predominated, but in terms of numbers of articles, new -8-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

geographical records pre-dominated. Surprisingly, there are little published studies on behaviour, which is actually an easy subject to tackle. The role of PBI - Indonesian Ornithological Society, Kukilas previous host-organization was outlined by Made S. Prana, whom chaired the organization from 1998, succeeding Kamil Oesman, (whom passed away earlier in 2005). PBI has always been been caught at the controversies of bird keeping. On one hand it was involved in the flourishing of bird singing contests, and on the other hand, such contests are detested by Kamil Oesman, who progressively brought conservation perspectives to the organization. Subsequently, S. Prana has been working hard to revise the chapter, regulate the bird contests, and increased conservation perspective. While attempting to make careful and expert breeding benefit in situ species conservation measures, breeding is seen to remain an important role for PBI. In closing, Soekarja Somadikarta shared his happiness to see highly enthousastic seminar contribution by Indonesian younger ornithologists. Eventually he encouraged Indonesian ornithologists to read more intensively and wider, as well as to contribute to international scientific journals, and in such way becoming ornithological patriots of the country. Posters displayed during the seminar featured wide ranging subjects Population estimation of Green Peafowl, at Cikuray, W. Jawa (A. Koswara) Preparation of guidebooks for Moluccan Parrots (W.Widodo) Migratory shorebirds and seabirds (I.S. Suwelo) urban bird diversity in Padang (Jarullis, A. Salsabila & A. Bakar), urban bird diversity at Ancol Oceonarium, Jakarta (Danu, I.S. Suwelo & Rasidi) DNA isolates from Streptopelia bitorquata (A. Fathiah, Puspitaningrum & Paskal Sukandar) Dietary requirements of captive Red Lory Eos bornea (S. Paryanti) Conservation education in W. Jawa (BICONS)

-9-

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

MAKALAH UTAMA

Tinjauan sekilas sejarah ornitologi Indonesia: lebih dari 99% holotipe burung Indonesia disimpan di koleksi museum manca negaraS. SOMADIKARTA

Pengetahuan tentang avifauna Indonesia sebelum tahun 1758 Steinmann dapat mengidentifikasi sebanyak tidak kurang 12 jenis burung yang terdapat di beberapa Candi di Pulau Jawa. (Sumber: Steinmann, A. 1934. Welke dieren vindt men op de Boroboedoer en op enkele Hindoe-Javaansche bouwwerken afgebeeld? Trop. Natuur, 23: 8696)

Pauw (Merak); Relief Candi Borobudur, lk 800 M [dari Steinmann, 1934, Pl. 1h]

Pavo muticus Linnaeus, 1766 McKinnon & K. Phillips (1993: Pl. 15)

Disampaikan dalam bentuk slide show sebagai keynote speech pada seminar ornitologi Indonesia di Bogor (2005)

- 10 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Casuarius sp. Relief Candi Panataran, lk. 1100 M [dari Steinmann, 1934, Pl. IV b

Casuarius spp. Beehler et al. 1986 (Pl. 1). Birds of New Guinea.

Foto G.H. Rumphius (1627-1702) dan Ilustrasi bukunya tahun 1741 (dari) Wit, H.C.D. de (ed.) 1959. Rumphius memorial volume. Hollandia, Baarn.

- 11 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Bemmel tidak meragukan bahwa Rumphius (1627-1702) mencatat tidak kurang dari 50 spesies burung dari Maluku dan sekitarnya dalam naskah bukunya berjudul Amboinsch Dierboek. Catatan tentang burung Rumphius ini dibajak dan dijadikan dasar oleh F. Valentijn (1726) untuk menulis Bab tentang burung dalam bukunya Oud- en Nieuw Oost-Indien (Vol. 3) Keyakinan bahwa Valentijn telah membajak naskah Rumphius, dapat dibaca dalam buku Valentijn Oud- en Nieuw Oost-Indien (1726: hlm. 299) yang mengatakan bahwa ia (Valentijn) telah merasakan daging Kasuari pada tahun 1668. Sampai tahun 1685, Valentijn belum diberitakan bahwa ia sudah ada di Hindia Timur (East Indies). Bemmel, A.C.V. van. 1959. Rumphius as an ornithologist. (In) Wit, H.C.D. de. Rumphius memorial volume. Hollandia, Baarn: 37. Mungkin plagiarsm terbesar yang terungkap pada abad ke-18. Valentijn terbukti menjiplak naskah buku karya Rumphius.

Pengetahuan tentang avifauna Indonesia sesudah tahun 1758 Lebih dari 4300 taksa baru burung Indonesia yang ditemukan antara tahun 1758 2004 dipertelakan oleh lk. 120 ornitolog mancanegara

Year Language Dutch English French German Italian Total

< 1800 0 7 16 5 7 35

1801-1850 84 186 374 25 2 671

1851-1900 32 851 152 314 312 1661

1901-1950 4 1234 7 470 5 1720

1951-2000 0 209 0 20 0 229

>2001 0 6 0 0 0 6

Total 120 2493 549 834 326 4322

International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 16C Preservation and deposition of type specimens. Recognizing the name-bearing types are international standards of reference (see Article 72.10) authors should deposit type specimens in an institution that maintains a research collection, with proper facilities for - 12 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

preserving them and making them accessible for study (i.e. one which meets the criteria in Recommendation 72F) Type specimens of birds collected from the Indo-Australian Archipelago S. Somadikarta (ms)Dinopium javenense javense (Ljungh) (Check) Picus javenensis Ljungh, 1797. K. Vet. Akad. Nya Handl., 18: p. 134, Pl. 6. Holotype: ??, Java Dinopium (Picoides) erythronotus Rafinesque, 1814. Principes Fondamenteaux de Somiologie : p. 2 of cover. Holotype: MNHN Paris?, Java (Rafinesque, Bull. Sci. Soc. Philom. Paris, 3, 1803: p. 146) Picus tiga Horsfield, 1821. Trans. Linnean Soc., 13: p. 177. [0022] Syntypes: BM(NH) 1880.1.1.4761, ad. male (relaxed mount), Java, collected by T. Horsfield (?) between 1811 and 1817, another syntype in the collection; CMZC 26/Pic/11/b/5 -7, male, (male), female, Java (nos. 6-7), collected by T. Horsfield, date not recorded. There is another syntype in BM(NH). P. (Brachypternopicus) Rubropygialis Malherbe, 1845. Rev. Zool., 11, November: p. 400. [0023] The description was based on a single female specimen. Holotype: BM(NH) Old Velum Cat. 24.184c, ad. female (mounted), Bengal = "East Indies", see Whistler & Kinnear, J. Bombay Nat. Hist. Soc., 34, 1937: p. 294. Dinopium javense palmarum Stresemann, 1921. Arch. Naturgesch., 87, Abt. A (7): p. 93. [0044] The description was based on a serie of ten (5 males & 5 females) specimens collected from Sumatra. Holotype: ZSM 21.17, ad. male, Fort de Kock (= Bukittinggi), W Sumatra, col lected by W. Volz (No. 117), no date. Range: Sumatra, Rhio Archipelago, W and C Java - Malay Peninsula Peters Check-list, Vol. 6 (Peters 1948: 145) Reference(s): Warren (1966: 296), Benson (1999: 69)

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1701 1800 Carl LINNAEUS 1707, Rashult, Stenbrohult, Smaland, Sweden; 1778, Hammarby, Uppsala, Sweden Thomas HORSFIELD 1773, Bethlehem, PA, USA; 1859, London, UK Louis Thodor LESCHELNAULT de la TOUR 1773, Chalons-sur-Saane, France; 1826, Paris, France Sir Thomas Stamford Bingley RAFFLES 1781, at sea off Jamaica; 1826, Highwood Hill, Middlesex, UK Coenraad Jacob TEMMINCK 31 March 1778, Amsterdam, The Netherlands; 30 January 1858, Leiden, The Netherlands

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1801 1900 Bonaparte, Charles Lucien 24 May 1803, Plessis, France; 29 April 1857, Paris, France Wallace, Alfred Russel 8 January 1823, Usk, Wales, UK; 7 November 1913, Broadstone, near Wimborne, UK Salvadori, Conte Adlard Tommaso 30 September 1835, Porto S. Giorgio (Ascoli Piceno), Italy; 9 October 1923, Turin, Italy Finsch, Friedrich Hermann Otto 8 August 1839, Warmbrunn, Germany; 31 January 1917, Brunswick, Germany Adolf Bernhard MEYER 11 October 1840, Hamburg, Germany; 5 February 1911, Berlin, Germany Adolphe Guillaume VORDERMAN 12 December 1844, s Gravenhage (= The Hague, The Netherlands;

- 13 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

15 July 1902, Batavia (= Jakarta), Java, Indonesia Ernst Johann Otto HARTERT 28 October 1859, Hamburg, Germany; 11 November 1933, Berlin, Germany Erwin Friedrich Theodor STRESEMANN (> 200 taksa baru) 22 November 1889, Dresden, Germany; 20 November 1972, Berlin, Germany

Makam E. Hartert & E. Stresemann di Waldfriedhof Berlin-Dahlem (Foto: Dr. Ilse Kuehne) dan Adik (E. Mayr) & Kakak (E. Stresemann) di Oxford, UK (Intl. Orn. Congress ke-14) (Foto Eric Hosking dalam Proc. XIV IOC)

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1901 - 1913 (1) Ernst MAYR (> 200 taksa baru) 5 July 1904, Kempten, Bavaria, Germany; 3 February 2005, Bedford, MA, USA George Christoffel Alexander JUNGE 7 August 1905, Haarlem, The Netherlands; 3 February 1962, Leiden, The Netherlands Andries HOOGERWERF 29 August 1906, Vlaardingen, The Netherlands; 5 February 1977 Sidney Dillon RIPLEY 20 September 1913, New York, NY, USA; 12 March 2001, Washington, DC, USA

Beberapa nama author taksa baru yang lahir antara 1901 - 1926 (2) Charles Matthew Newton WHITE 30 August 1914, Preston, Lancashire, UK; 7 September 1978, Oxford, UK Karel Hendrik VOOUS 23 June 1920, Huizen, The Netherlands; 31 January 2001, Huizen, The Netherlands Gerlof Fakko MEES 16 June 1926, Velsen, NH, The Netherlands

Para penulis sejarah tentang ornitologi Indonesia Veth, H.J. 1879. Overzicht van hetgeen in het bijzonder door Nederland, gedaan is voor de kennis der fauna van Nederlandsch-Indie. Academisch Proefschrift, Rijksuniversiteit te Leiden. S.C. van Doesburgh, Leiden: viii + 204 pp. Sirks, M.J. 1915. Indisch Natuuronderzoek. Academisch Proefschrift, Rijksuniversiteit te Utrecht. Ellerman, Harms & Co., Amsterdam: xi + 303 pp. - 14 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Stresemann, E. 1951. Die Entwicklung der Ornithologie von Aristoteles bis zur Gegenwart. Verlag Hans Limberg, Aachen: xv + 431 pp. Stresemann, E. 1975. Ornithology: From Aristoteles to the present. Translated by H.J. & C. Epstein. Harvard Univ. Press, Cambridge. Junge, G.C.A. 1954. Ornithologisch onderzoek in de Indische archipel. Ardea, 41, Jubileumnummer: 301-366.

Sejarah ornitologi Pulau Sumatra dan pulau-pulau di sekitarnya:Sumatra: Marle, J.G. van & K.H. Voous. 1988. A chronological historical synopsis of ornithological exploration in Sumatra. (In) J.G. van Marle & K.H. Voous. The birds of Sumatra. B.O.U. Check-list No. 10. B.O.U., Tring: 44-49.

Sejarah ornitologi Pulau Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya:Jawa: Finsch, O. 1906. Zur Erforschungsgeschichte der Ornis Javas. J. Orn., 54: 301- 321. Kalimantan (Borneo): Salvadori, T. 1874. Notizie storiche intorno allornitologia di Borneo. (In) T. Salavadori. Catalogo sistematico degli uccelli di Borneo. Ann. Mus. Civ. Stor. Nat. Genova, 5: vii xii.

Sejarah ornitologi kawasan Wallacea: Bruce, M.D. 1986. A chronological historical synopsis of ornithological exploration in Wallacea. (In) C.M.N. White & M.D. Bruce. The birds of Wallacea (Sulawesi, The Moluccas & Lesser Sunda Islands, Indonesia). B.O.U. Check-list No. 7. B.O.U., London: 6875.

- 15 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Sejarah ornitologi kawasan Papua dan pulau-pulau di sekitarnya:Papua: Frith, C.B. 1979. Ornithological literature of the Papuan Subregion 1915 to 1976: an annotated bibliography. Bull. American Mus. Nat. Hist., 164, Art. 3: 379-465.

Salvadori, T. 1874. Catalogo sistematico degli uccelli di Borneo connote ed osservazioni di G. Doria ed O. Beccari intorno alle specie da essi racolte nel Ragiato di Sarawak (kiri), dan Salvadori. T. Ornitologia della Papuasia e delle Molucche. Parte Prima (1880), Parte Seconda (1881), & Parte Terza (1882) (kanan)

Perhimpunan burung di Indonesia Ornithologische Vereeniging in Nederlandsch Indie O.V.I.N.I. didirikan di Batavia, tanggal 24 Mei 1941 [O.V.I.N.I. tidak berumur panjang karena Balatentara Dai Nippon (Jepang) menduduki Hindia-Belanda pada tanggal 8 Maret 1942] Majalah Irena yang dikeluarkan oleh O.V.I.N.I. hanya terbit satu kali, yaitu Deel 1, No. 1 en 2, pada tanggal 1 November 1941PERHIMPUNAN BURUNG INDONESIA PBI = INDONESIAN ORNITHOLOGICAL SOCIETY - IOS (nama yang diberikan untuk dapat menampung semua aliran) didirikan tanggal 20 September 1973 di Jalan Teuku Umar No. 35, Jakarta oleh lk 50 orang dari berbagai golongan: (1) Penggemar, (2) Pencinta, (3) Ahli (Ornithologists), dan (4) Pedagang burung. Majalah Perhimpunan Burung Indonesia, KUKILA, Nomor 1 terbit dalam bulan Oktober 1975

KUKILA, Vol. 2, No. 1 dengan wajah dan ukuran lain, terbit pada bulan Mei tahun 1985, 10 tahun setelah kehadiran KUKILA No. 1 pada bulan Oktober 1975 (kiri) dan Wajah majalah KUKILA Vol. 12, Juli 2003 (Kanan)

Pada tahun 1998 PERHIMPUNAN BURUNG INDONESIA - PBI berubah nama dan tujuannya menjadi PELESTARI BURUNG INDONESIA (PBI), sehingga dengan demikian - 16 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Majalah KUKILA yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BURUNG INDONESIA kehilangan induknya. PERHIMPUNAN ORNITOLOG INDONESIA (POI) = INDONESIAN ORNITHOLOGISTS UNION (IdOU) didirikan atas prakarsa 36 orang dalam dan luar negeri yang menaruh minat terhadap perkembangan ornitologi Indonesia, pada hari Senin tanggal 23 Agustus 2004. POI IdOU akan tetap meneruskan mengelola KUKILA. Tiga perhimpunan ornitolog tertua di dunia Die Deutsche Ornithologen-Gesellschaft (DOG) tanggal didirikan: November 1850 Journal: Journal fr Ornithologie (1853) (2003 Vol. 144) Journal of Ornithology (2004)- The British Ornithologists Union (BOU) tanggal didirikan: 1858 Journal: Ibis, 2005 Vol. 147 dan The American Ornithologists Union (AOU) tanggal didirikan 28 September 1883 Journal: Auk, 2005 Vol. 122 Bangsa Indonesia yang mempertelakan taksa atau mengubah status taksa (kombinasi) baru (1967-2004). Hanya baru 4 bangsa Indonesia (3,3% dari 120 keseluruhan), yaitu: - Boeadi (1) - Mochamad Indrawan (1) - Dewi M. Prawiradilaga (1) - S. Somadikarta (8) International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 51G Citation of person making new combination. If it is desired to cite both the author of a species-group nominal taxon and the person who first transferred it to another genus, the name of the person forming new combination should follow the parentheses that enclose the name of the author of the species-group name (and the date, it stated; see Recommendation 22A.3) International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) 1999: Recommendation 51G & International Code of Botanical Nomenclature (ICBN) 1994: Art. 49. Example (ICZN): Limnatis nilotica (Savigny) Moquin-Tandon; Methiolopsis geniculata (Stl, 1878) Rehn, 1957. Example (ICBN): Medicago polymorpha var. orbicularis L. (1753) when raised to the rank of species becomes M. orbicularis (L.) Bartal. (1766).

- 17 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Boeadi p. 3: subspecies baru Zoothera erythronota kabaena Robinson-Dean et al., 2002 Holotype: MZB 30.363, ad. male, 4 km south of Tangkeno (517'27S, 1215433E), Kabaena Is., Sulawesi, Indonesia collected by Julia Robinson-Dean (bird # 6) by mist net on 4 September 2001. (lihat Robinson-Dean, J.R., K.R. Willmot, M.J. Catterall, D.J. Kelly, A. Wittington, B. Phalan, N.M. Marples, & [D.R.S.] Boeadi. 2002. A new subspecies of Redbacked Trush Zoothera erythronota kabaena subsp. nov. (Muscicapidae: Turdidae) from Kabaena island, Indonesia. Forktail, No. 18: 1-10. - Ninox burhani Indrawan & Somadikarta p. 162: spesies baru Holotype: MZB 30.365, ad. male, collected in scrubby forest below 100 m a.s.l., at Benteng village, Togian Island, Togian Archipelago, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia, by R.M. Hidayat with assistance of Burhan and Iling Taksir, on 8 April 2001 (Fig. 4) lihat Indrawan, M. & S. Somadikarta. 2004. A new hawk-owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bull. British Orn. Cl., 124 (3): 160-171

D.M. Prawiradilaga p. 60: mengubah status subspesies menjadi species Spizaetus floris (Hartert, 1898) Gjershaug et al. 2004 [Limnaetus limnaetus floris Hartert, 1898. Nov. Zool., 5 (1): p. 46.] --[Lectotype (designated by Hartert, 1925, Nov. Zool., 32: p. 266): AMNH 534896, male, S. Flores, collected by A. Everett in November 1896.] Lihat Gjershaug, J.O., K. Kvalov, N. Rov, D.M. Prawiradilaga, U. Suparman and Z. Rahman. 2004 (Aug.). The taxonomic status of Flores Hawk Eagle Spizaetus floris. Forktail, No. 20: 5562. S. Somadikarta (1) p. 4: mengubah status subspecies menjadi species Collocalia papuensis (Rand, 1941) Somadikarta, 1967 Collocalia whiteheadi papuensis Rand, 1941. American Mus. Novit., No. 1102: 10. Holotype: AMNH 305670, ad. male, 1800 alt., 15 km sw of Bernhard Camp on Idenburg River, Netherlands New Guinea (now West Irian), collected by Richard Archbold, A.L. Rand, and W.B. Richardson (Original No. 9049) on 20 January 1939. Lihat Somadikarta, S. 1967. A recharacterization of Collocalia papuensis Rand, the Three-toed Swiftlet. Proc. U.S. Natl. Mus., 124, Nr. 3629: 1-8. S. Somadikarta (2 & 3) p. 121 & 123: subspecies baru Hemiprocne longipennis mendeni Somadikarta, 1975 Holotype: MZB 18.143, ad. male, Peleng Island, lowland, collected by J.J. Menden on 31 July 1938. Hemiprocne longipennis dehaani Somadikarta, 1975Holotype: MZB 21.939, ad. female, Sanana, Sulabesi, Sula Islands, 1 m alt., collected by G.A.L. de Haan (Coll. No. 2127) on 29 January 1955. Lihat Somadikarta, S. 1975. On the two new subspecies of Crested Swift from Peleng Island and Sula Islands (Aves: Hemiprocnidae). Treubia, 28 (4): 119-127

- 18 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

S. Somadikarta (4) p. 36: mengubah status spesies menjadi subspesies Collocalia linchi dodgei (Richmond, 1905) Somadikarta, 1986 Collocalia dodgei Richmond, 1905. Smithsonian Misc. Coll. (Quart. Issue), 47: p. 431. Holotype: USNM 191.575, sex not indicated, Mt. Kinabalu, Borneo, collected by George A. Goss & H.D. Dodge, early 1904. Lihat Somadikarta, S. 1986. Collocalia linchi Horsfield & Moore a revision. Bull. British Orn. Cl., 106 (1): 32-40. S. Somadikarta (5 & 6) p. 37 & 38: subspesies baru Collocalia linchi ripleyi Somadikarta, 1986 Holotype: MZB 29.415, ad. male, Talang Padang (523'S, 10448'E), alt. 240 m, South Lampung, southern part of Sumatra, collected by S. Somadikarta (Field No. 19) on 1 October 1981. Collocalia linchi dedii Somadikarta, 1986 Holotype: MZB 28.079, ad. male, Ubud (830'S, 11516'E), alt. 180 m, Bali, collected by S. Somadikarta (Field No. 28) on 15 April 1976. Lihat Somadikarta, S. 1986. Collocalia linchi Horsfield & Moore a revision. Bull. British Orn. Cl., 106 (1): 32-40. S. Somadikarta (7) p. 261: subspesies baru Collocalia ocista gilliardi Somadikarta, 1994 Holotype: AMNH 190.163, ad. male, Hivaoa Is., Marquesas Islands, collected by E.H. Quayle & R.H. Beck on 26 January 1921. Lihat Somadikarta, S. 1994. The identity of the Marquesan Swuftlet Collocalia ocista Oberholser Bull. British Orn. Cl., 114 (4): 259-263. S. Somadikarta (8) (lihat M. Indrawan) p. 162: spesies baru Ninox burhani Indrawan & Somadikarta, 2004 Holotype: MZB 30.365, ad. male, collected in scrubby forest below 100 m a.s.l., at Benteng village, Togian Island, Togian Archipelago, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia, by R.M. Hidayat with assistance of Burhan and Iling Taksir, on 8 April 2001 (Fig. 4) Lihat Indrawan, M. & S. Somadikarta. 2004. A new hawk-owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bull. British Orn. Cl., 124 (3): 160-171.

Terimakasih.

- 19 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Le Rat de bibliothque Karl Spitzweg, vers 1850

GET AHEAD, READ!- 20 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Important Bird Areas; Kawasan prioritas untuk aksi konservasiRUDYANTOBirdLife International Asia Division Telp. 0251-657127 - Email: [email protected]

Pendahuluan Tantangan klasik dalam upaya pelstarian keanekaragaman hayati adalah minimnya sumberdaya yang tersedia, baik dalam bentuk dana maupun dalam bentuk sumberdaya manusia (kemampuan dan jumlah). Tantangan tersebut juga dihadapi oleh Indonesia yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang berlimpah. Dengan sumberdaya untuk aksi pelestarian alam yang terbatas, menentukan kawasan mana yang layak diberi prioritas adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan sering berujung pada perdebatan yang berkepanjangan. BirdLife International, yang merupakan sebuah kemitraan global yang beranggotakan lebih dari 120 organisasi pelestarian alam di dunia, menawarkan sebuah alat untuk penentuan prioritas tersebut dengan menggunakan burung sebagai indikator yang kemudian diberi nama Important Bird Areas (IBA). Burung Sebagai Indikator Penggunaan burung sebagai indikator untuk menentukan kawasan prioritas bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati karena burung memiliki atribut yang lengkap untuk dijadikan indikator, yaitu : 1. 2. 3. 4. Memiliki sebaran yang luas dan terdapat disemua macam habitat di bumi. Relatif mudah dikenali di lapangan. Peka terhadap perubahan lingkungan. Informasi tentang burung relatif sudah terdokumentasi dengan baik dan taksonomi burung bisa dikatakan sudah mantap.

Beberapa kajian yang dilakukan oleh BirdLife International antara lain Putting Biodiversity on the Map (Bibby dkk., 1992), Endemic Bird Areas of the World Priorities for Biodiversitry Conservation (Stattersfield dkk., 1998), Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book (BirdLife International, 2001) dan Saving Asias Thretened Birds: a guide for government and civil society (BirdLife International, 2003) menunjukan bahwa burung memang layak untuk dijadikan indikator untuk identifikasi kawasan yang penting bagi keanekaragaman hayati. Kajian-kajian tersebut juga menunjukan bahwa IBA tidak hanya penting bagi burung tetapi juga penting bagi macam keanekaragaman hayati lainnya. Kriteria Penentuan IBA Dalam melakukan identifikasi IBA, tentu saja tidak semua jenis burung yang digunakan sebagai indikator. IBA didefinisikan sebagai sebuah kawasan yang memenuhi paling tidak satu dari empat kriteria berikut : 1. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap dan/atau berkala, terdapat jenis burung yang secara global terancam punah. 2. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap, terdapat jenis burung yang memiliki sebaran terbatas. - 21 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

3. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap, terdapat jenis-jenis burung yang dikategorikan sebagai jenis burung yang mencirikan suatu bioma tertentu. 4. Di dalam kawasan tersebut, secara tetap dan/atau berkala, terdapat jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar. BirdLife International, yang telah ditunjuk oleh IUCN sebagai otoritas tunggal untuk membuat daftar jenis burung yang secara global terancam punah, secara berkala menerbitkan daftar yang dimaksud. Untuk Asia, daftar tersebut dimuat dalam Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book (BirdLife International, 2001) dan pembaruan dari daftar tersebut dilakukan secara berkala serta dapat dilihat dan diperoleh secara cuma-cuma di http://www.rdb.or.id. Yang dimaksud dengan burung sebaran terbatas adalah jenis burung yang diketahui memiliki daerah sebaran berbiak global tidak lebih dari 50.000 km2 (Stattersfield dkk., 1998). Jenis burung yang dari catatan-catatan dimasa lampau memiliki sebaran lebih dari 50.000 km2 tetapi kemudian karena suatu hal luas sebarannya menjadi tidak lebih dari 50.000 km2, tidak dikelompokan sebagai burung sebaran terbatas.Suatu jenis burung dikategorikan sebagai jenis burung yang mencirikan suatu bioma tertentu jika jenis burung tersebut menggunakan bioma yang dimaksud sebagai tempat utama hidupnya. Kata-kata hidup dalam kelompok besar yang dimaksud dalam kriteria ke-empat dapat bersifat kualitatif. Akan tetapi untuk menghindarkan polemik karena perbedaan cara pandang maka kuantifikasi besar dilakukan dengan mengacu pada kriteria RAMSAR. Dengan menggunakan kriteria RAMSAR tersebut maka suatu kawasan dikatakan sebagai IBA berdasarkan kriterion empat jika : 1. Di dalam kawasan tersebut terdapat jenis burung air atau burung laut yang jumlahnya paling tidak sama dengan 1% dari jumlah total jenis burung tersebut dalam populasi flyway. 2. Di dalam kawasan tersebut terdapat tidak kurang dari 20.000 individu burung air. 3. Kawasan tersebut merupakan leher botol (bottle neck) dari jalur migrasi burung dan jumlah individu burung yang melintasi bottle neck tersebut tidak kurang dari 5.000 ekor untuk bangau, 3.000 ekor untuk burung pemangsa (raptor) dan 2.000 ekor untuk jenisjenis burung jenjang. Semua kriteria untuk mengidentifikasi IBA sudah memperoleh pengakuan dari dan diadopsi oleh banyak pihak di dunia. Bisa dikatakan bahwa IBA sudah menjadi semacam currency global untuk menentukan kemana sumberdaya bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya disalurkan. Proses Identifikasi IBA Proses identifikasi IBA sebenarnya tidaklah rumit akan tetapi membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang tinggi. Seperti halnya dengan semua inisiatif BirdLife International lainnya, proses identifikasi IBA dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Dengan menggunakan informasi/pengetahuan yang dimilikinya serta kriteria identifikasi IBA, para pihak mengidentifikasi calon IBA yang kemudian dibahas kembali secara lebih mendalam akan kelayakan kawasan calon tersebut untuk disebut sebagai IBA. Aspek-aspek subjektif ditekan seminimal mungkin dan menggunakan hanya kriteria idenfikasi IBA sebagai acuan utama. Tantangan terbesar dalam identifikasi IBA adalah minimnya informasi untuk banyak kawasan calon IBA. Tantangan ini dirasa dengan sangat terutama di negara-negara di mana kegiatan pengamatan atau penelitian burung masih merupakan hal yang baru. Dalam banyak kasus, - 22 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

informasi yang diperlukan tidak tersedia di negara yang bersangkutan. Dalam kasus lain, informasi yang berhasil didapatkan, banyak yang ditulis dalam bahasa asing yang bagi kebanyakan peneliti di negara tersebut, sulit atau bahkan tidak dipahami. Proses mengumpulkan, ekstraksi, konfirmasi dan analisa data dan informasi yang tersedia memakan waktu yang tidak sedikit. Sebagai contoh, proses pembuatan IBA untuk Malaysia menghabiskan waktu 6 tahun, sedangkan IBA untuk Asia menghabiskan waktu 8 tahun. IBA di Asia Pada tahun 2004 yang lalu, BirdLife International menerbitkan direktori IBA untuk Asia. Pembuatan direktori yang menghabiskan waktu selama 8 tahun ini melibatkan seluruh jaringan BirdLife, individu dan kelompok-kelompok lokal di Asia. Dari pekerjaan tersebut, 2.293 IBA berhasil diidentifikasi untuk Asia yang luas cakupannya 2.331.560 km2 atau sekitar 7,6% dari luas total wilayah Asia. Persentase cakupan tersebut kurang lebih sama dengan IBA dari wilayah lain, Eropa dengan 7%; Afrika 7%; dan Timur Tengah 5%. Tidak kurang dari 82% IBA di Asia mendukung jenis-jenis burung yang secara global terancam punah, 41% mendukung jenis burung sebaran terbatas, 42% mendukung jenis burung karakteristik bioma dan 41% mendukung jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar. Berbicara mengenai perlindungan atau pelestarian kawasan IBA di Asia, 43% IBA termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam, 14% IBA sebagian termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam dan 43% IBA sama sekali berada di luar kawasan lindung/pelestarian alam. IBA di Indonesia Sebagai negara yang bisa dikatakan terkaya akan keanekaragaman hayati di Asia, saat ini Indonesia memiliki 227 IBA yang mencakup daerah seluas 255.571 km2 atau sekitar 17% dari total luas wilayah daratan Indonesia. Perlu dicatat bahwa IBA di Indonesia belum termasuk wilayah Papua dan angka luas daratan yang disebutkan di atas tidak termasuk Papua. Dari 227 IBA tersebut, 195 IBA mendukung jenis-jenis burung yang secara global terancam punah, 184 mendukung jenis burung sebaran terbatas, 81 mendukung jenis burung karakteristik bioma dan 23 mendukung jenis-jenis burung yang hidup dalam kelompok besar. Jika dilihat sebaran IBA di Indonesia, 40 IBA terdapat di Sumatera, 23 di Kalimantan, 53 di Jawa dan Bali, 43 di Nusa Tenggara, 32 di Sulawesi dan 36 di Maluku. Dari 227 IBA tersebut, 58 IBA termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam, 42 IBA sebagian termasuk dalam kawasan lindung/pelestarian alam dan 127 IBA sama sekali berada di luar kawasan lindung/pelestarian alam. Hasil kajian sementara dengan menggunakan komposisi jenis burung dan status keterancaman secara global jenis-jenis burung tersebut, terlihat ada beberapa IBA yang lebih menonjol nilai pentingnya dibandingkan dengan IBA lainnya. IBA tersebut adalah : 1. Sumatera: Gunung Leuser, Batang Gadis, Bukit Tigapuluh, Tesso Nilo, Berbak, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Sembilang, Tanjung Koyan dan Way Kambas. 2. Kalimantan: Danau Sentarum, Gunung Palung, Tanjung Puting, Ulu Barito, Lahan Basah Mahakam Tengah dan Kayan Mentarang. 3. Jawa dan Bali: Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun, Muara Gembong-Tanjung Sedari, Pegunungan Dieng, Meru Betiri, Gunung Raung dan Solo Delta.

- 23 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

4. Nusa Tenggara: Komodo, Mbeliling (Tanjung Kerita Mese), Ruteng, Wolotado, Teluk Kupang, Manupeu-Tanadaru, Laiwanggi-Wanggameti dan Gunung Mutis. 5. Sulawesi: Karakelang, Pegunungan Sahendaruman, Siau, Bogani Nani Wartabone, Lore Lindu, Gunung Lompobattang, Tanah Jampea dan Taliabu Utara. 6. Maluku: Wayabula, Lalobata, Manusela, Wai Bula, Pulau Damar dan Gunung Arnau. Perlu dicatat bahwa daftar di atas disusun berdasarkan data yang ada saat ini. Daftar tersebut bisa saja berubah jika ada data dan informasi baru dari IBA lainnya. Langkah ke depan 227 IBA telah diidentifikasi untuk Indonesia, lantas apa? Pertanyaan klasik tetapi masih sangat relevan tersebut layak untuk ditanggapi secara positif. Saat ini di Indonesia sedang bertumbuhan kelompok-kelompok pengamat dan/atau pelestari burung. Kelompok-kelompok tersebut merupakan energi besar yang seharusnya dimanfaatkan untuk pelestarian burung/keanekaragaman hayati di Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut dapat memainkan peran yang sangat besar dalam upaya pelestarian burung/keanekaragaman hayati di Indonesia. Di banyak negara banyak kelompok-kelompok seperti ini yang lantas menamakan dirinya sebagai Site Support Group (SSG) IBA. SSG tersebut terlibat secara aktif dalam aksi pelestarian alam secara nyata termasuk terlibat aktif dalam kegitan pemantauan IBA. Kelompok-kelompok ini juga bisa berperan aktif dalam mencari IBA baru yang belum teridentifikasi. Selain itu, kelompok-kelompok ini juga dapat memainkan peran dalam kegiatan penyadartahuan, promosi dan advokasi kawasan IBA. Penguatan kelembagaan SSG merupakan langkah logis yang harus dilakukan untuk menjamin baiknya mutu dan kinerja SSG. Penguatan kelembagaan ini dirasa penting karena kelompokkelompok tersebut tidak semua berada pada tataran kematangan yang sama. IBA sebagai kawasan bermain kelompok-kelompok tersebut, bisa pula dijadikan arena pelatihan bagi kelompokkelompok tersebut dalam upaya peningkatan kapasitas lembaga. IBA tidaklah sama dengan kawasan perlindungan atau pelestarian alam yang resmi. Oleh karenanya, upaya pelestarian alam di IBA tidaklah harus dengan menjadikan IBA sebagai kawasan perlindungan dan pelestarian alam. Upaya-upaya alernatif untuk pelestarian keanekaragaman hayati saat ini (pelestarian di luar kawasan lindung/pelestarian) telah banyak dilakukan dan upaya-upaya tersebut layak untuk mendapat dukungan. Dalam upaya-upaya tersebut, masyarakat lokal terlibat secara penuh dalam tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan aksi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penetapan sebuah kawasan menjadi kawasan perlindungan/pelestarian alam membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit dan bagi negara hal ini dapat dianggap sebagai beban. Upaya-upaya alternatif pelestarian dalam kawasan yang telah dikembangkan oleh kelompok-kelompok tersebut bisa dijadikan pilihan.

Daftar PustakaBibby, C.J., Collar, N.J., Crosby, M.J., Heath, M.F., Imboden, Ch., Jhonson, T.H., Stattersfield, A.J. and Thirgood, S.J. 1992. Putting Biodiversity on the Map: Priority Areas for Global Conservation. International Council for Bird Preservation. Cambridge, UK. BirdLife International. 2001. Threatened Birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book. BirdLife International. Cambridge, UK. BirdLife International. 2001. Saving Asias Thretened Birds: a guide for government and civil society. BirdLife International. Cambridge, UK.

- 24 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Holmes, D.A. and Rombang, W.M. 2001. Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife InternationalIndonesia Programme. Bogor, Indonesia. Holmes, D.A., Rombang, W.M. and Octaviani, D. 2001. Daerah Penting bagi Burung di Kalimantan. PKA/BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor, Indonesia. Rombang, W.M., Trainor, C. and Lesmana, D. 2002. Daerah Penting bagi Burung: Nusa Tenggara. PKA/BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor, Indonesia. Rombang, W.M. and Rudyanto. 1999. Daerah Penting bagi Burung di Jawa dan Bali. PKA/BirdLife InternationalIndonesia Programme. Bogor, Indonesia. Stattersfield A.J., Crosby, M.J., Long, A.J. and Wege, D.C. 1998. Endemic Bird Areas of the World Priorities for Biodiversitry Conservation. BirdLife International. Cambridge, UK.

- 25 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Conservation Model for Threatened Bird SpeciesKANENORI MIURAProject leader of Gunung Halimun-Salak National Park Management Project

Summary. Gunung Halimun-Salak National Park (GHSNP) Management Project was launched on February 2004. This five year project between the Ministry of Forestry Indonesia and Japan International Cooperation Project Agency (JICA) aims to materialize a model park management in GHSNP and disseminate its useful experiences to other national parks. Although GHSNP is located just 50 to 100 km south of Jakarta, it remains the largest primitive forest remaining in Java; Javan Gibbon, Javan Hawk-eagles, Leopards and many more rare and endangered species have homed in the forest. The park has already been said as one of the well managed national parks in this country. However, the area expansion took place in June 2003 has brought a number of hard issues to the park. One of the difficult issues is how to deal with more than 300 communities existing in the park. Because according to the general principle of the national parks in Indonesia, people may not allowed to cultivate as well as stay in the park. Should they be relocated or permitted to continue to stay? Whether can this project find good solutions for this issue? A new challenge has just begun.

Disampaikan tanpa makalah lengkap hanya dengan slide show

- 26 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS)YUS RUSILA NOOR Mengapa Burung di Cincin?

Pencicinan burung dilakukan untuk kepentingan memperoleh informasi berikut: Struktur morfologi dan morfometrik Dinamika populasi Pola pergerakan Pola penyebaran penyakit Kegiatan konservasi Kepentingan militer

Disampaikan dalam presentasi Slide show

- 27 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Sesi burung air

Breeding Biology of Milky Stork Mycteria cinereaIMANUDDIN1, ANI MARDIASTUTI21

Yayasan Konservasi Ragam Hayati Indonesia (BCI), Jl Paus no 8A KPP IPB Sindang Barang I, Bogor. E-mail: [email protected] atau [email protected] 2 Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan IPB. E-mail: [email protected]

Summary. The research was conducted from January until August in 1998, 2000, 2001 and 2002 in Pulau Rambut Wildlife Sanctuary, Jakarta. The data were collected directly by climbing the nest tree. Milky Stork nested on the trees in the middle of island, average height of trees were 21,17 m. Height of nests were 19,16 m. The nests (n=2) were made from 22 species of plants. Average eggs weight were 73.62g, with size 65.21 cm x 45.53 cm (n=104). Clutch size 1-4 (mean=2,74). The incubation takes 27-30 days (mean= 28,38; n=69). Egg hatched asynchronously with hatching interval 1-3 days (mean = 1,68). Chicks were semi altricial and DOCs weight were 54,45 g (n=46). Breeding success was 46%-49%.

Pendahuluan Bangau bluwok Mycteria cinerea adalah salah satu spesies burung langka dan dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1931 dan SK Mentan No 742/Kpts/Um/12/1978 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 (Noerdjito & Maryanto 2001). Dalam dokumen Bird to Watch II (Collar et al. 1994) spesies ini dimasukkan ke dalam kategori rentan (vulnerable) dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah semakin berkurangnya habitatnya di alam.Oleh konvensi perdagangan satwa liar dunia (Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora, CITES) burung ini dimasukkan ke dalam Appendix I yang berarti spesies ini tidak dapat diperdagangkan secara komersial di pasar internasional. Di dunia bangau bluwok tersebar mulai dari Thailand (Morioka & Yang. 1990) , Kamboja, Vietnam bagian Selatan, , Malaysia dan Indonesia (MacKinnon 1998, Hancock et al. 1992) dengan populasi total diperkirakan sebanyak 6000 ekor (Verheught 1987). Sebagian besar populasi tersebut (5900 ekor) menghuni kepulauan Indonesia (Verheught 1987) mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali (MacKinnon et al. 1998) dan Sumbawa (Monks et al. 2000). Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi (Silvius 1986, Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan, Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al.1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa. Pulau Rambut adalah sebuah pulau kecil dan tidak berpenduduk yang terletak di Teluk Jakarta pada koordinat 1063130 BT, 557 LS, berjarak 3 km dari pantai terdekat yaitu Pantai Tanjung Pasir, Tangerang. Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan - 28 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei 1970 dengan luas areal 45 ha. Pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia mengubah fungsi Pulau Rambut menjadi Suaka Margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 dengan luas 90 ha termasuk perairan di sekitarnya. Menurut Fitriana (1999) luas Pulau Rambut adalah 45,17 ha dan 13,26 ha (26%) dari luas tersebut adalah hutan mangrove. Berdasarkan analisis citra yang dilakukan oleh Fitriana (1999) luas hutan mangrove yang mengalami kerusakan pada tahun 1989 seluas 3,12 ha dan pada tahun 1996 bertambah menjadi 7,70 ha atau setengah dari luas hutan mangrove

Metode Penelitian Waktu berbiak Perhitungan waktu berbiak didasarkan pada kalender Julian bahwa tangal 1 Januari setara dengan tanggal 1 dan tanggal 31 Desember setara dengan tanggal 365. Jumlah telur yang diamati pada tahun 2001 sebanyak 64 butir dari 25 sarang dan pada tahun 2002 sebanyak 89 butir dari 32 sarang. Awal musim berbiak ditentukan berdasarkan waktu peletakan telur pertama kali (Perrins & Birkhead 1983) yang diketahui melalui pengamatan secara langsung terhadap induk yang berbiak dengan cara memanjat pohon sarang. Untuk mengetahui kaitannya dengan kondisi cuaca dilakukan pengukuran curah hujan dengan menggunakan penakar curah hujan tipe observatorium. Sarang Untuk mengetahui karakteristik sarang dilakukan pengukuran yang meliputi tinggi sarang dari permukaan tanah, jarak dari batang utama, tinggi pohon sarang dan jumlah sarang dalam satu pohon, selain itu dilakukan identifikasi terhadap jenis pohon sarang. Identifikasi bahan penyusun sarang dilakukan terhadap sarang yang sudah tidak terpakai lagi di akhir musim berbiak (n=2). Telur dan Kesuksesan Perkembangbiakan Kesuksesan perkembangbiakan didefinisikan sebagai persentase jumlah anakan yang dapat terbang terhadap jumlah telur yang dihasilkan dalam satu musim berbiak. Untuk mengetahui kesuksesan perkembangbiakan dilakukan pengamatan terhadap 64 butir telur pada tahun 2001 dan 89 butir telur pada tahun 2002. Untuk mengetahui bobot dan ukuran telur dilakukan pengukuran sebanyak 59 butir telur pada tahun 2001 dan 45 butir telur pada tahun 2002. Penandaan juga dilakukan pada cangkang telur dengan menggunakan spidol tahan air untuk mengetahui masa inkubasi masing-masing telur. Pengamatan dilakukan dengan cara memanjat pohon sarang dengan menggunakan peralatan panjat pohon. Perkembangbiakan dinilai sukses apabila anakan tetap hidup hingga berumur 50 hari atau mampu untuk terbang. Kegagalan perkembangbiakan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: (i) telur hancur sebelum menetas, (ii) telur tidak menetas atau busuk, (iii) telur ditinggalkan dan tidak dierami oleh kedua induk, dan (iv) anakan mati atau hilang. Hasil dan Pembahasan Waktu Berbiak Musim berbiak bangau bluwok berlangsung antara bulan Januari hingga Agustus dengan puncak musim berbiak terjadi pada bulan Maret. Hoogerwerf (1949) menyatakan bangau bluwok di Pulau Jawa meletakkan telur pada bulan Maret hingga Mei. Hancock et al. (1992) menyatakan bahwa musim berbiak bangau bluwok di Jawa Barat adalah pada bulan Maret sampai Agustus sedangkan di Sumatera berbiak pada bulan Juni hingga Agustus. Mardiastuti (1993) menyatakan pada tahun 1990 1991 bangau bluwok di Pulau Rambut berbiak antara bulan Januari hingga Juni.

- 29 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Salah satu faktor yang mendorong burung untuk melakukan perkembangbiakan ialah ketersediaan pakan yang cukup (Perrins & Birkhead 1983). Pakan yang berlimpah akan menjamin pemeliharaan anak berlangsung dengan baik. Mardiastuti (1992) menyatakan bahwa burung-burung air di Pulau Rambut berbiak bertepatan dengan musim penghujan. Datangnya musim penghujan mengakibatkan ketersediaan pakan didaerah lahan basah disekitar pantai utara Jawa cukup berlimpah. Pada musim penghujan daerah persawahan di sekitar Pulau Rambut menyediakan dataran lumpur yang cukup luas sebagai areal mencari makan (feeding ground). Menurut Imanuddin dan Mardiastuti (2001) selama musim berbiak bangau bluwok sering terlihat mencari pakan pada daerah persawahan yang baru diolah di sekitar pesisir Tangerang. Widodo & Hadi (1990) menyatakan bahwa daerah lahan basah di sekitar pantai Tangerang merupakan daerah yang penting bagi burung air untuk mencari makan.

600 jumlah sarang 500 400Curah hujan (mm)

25 curah hujan 20Jumlah sarang

15 300 10 200 100 0Agustus September Nopember Desember Januari Februari April Juni Februari April Oktober Maret Maret Januari Juni Mei Juli Mei

5

0

2001

2002

Gambar 1. Musim berbiak bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.

Pohon Sarang dan peletakan Sarang Bangau bluwok menggunakan daerah hutan campuran dan terkadang hutan bakau sebagai tempat berbiak. Pohon yang paling sering digunakan sebagai pohon sarang adalah pohon kepuh Sterculia foetida (Gambar 2). Kepuh merupakan pohon yang tinggi dan berukuran besar. Selain pohon tersebut bangau bluwok juga memakai kresek Ficus timorensis, bola-bola Xylocarpus granatum, sawo kecik Manilkara kauki, buta-buta Excoecaria agallocha, pohon ketapang Terminalia catappa, kedoya Dyxoxylum caulostachyum dan bakau Rhizophora mucronata. Penggunaan pohon-pohon ini diduga disebabkan semakin sedikitnya pohon kepuh yang tersedia sebagai pohon sarang. Sehingga mereka harus bersaing dalam menggunakan pohon sarang, akibatnya individu yang kalah bersaing harus menggunakan jenis pohon lain.

- 30 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Tabel 1. Karakteristik peletakan sarang bangau bluwok (tahun 1999 dan 2002 tidak tersedia)

Karakteristik Tinggi Pohon (m) Jarak Sarang dari Batang Utama (m) Tinggi sarang (m) Kerapatan Sarang per Pohon Rasio Tinggi Sarang terhadap Tinggi Pohon Rasio Jarak Sarang dari Batang Utama terhadap Jari-Jari Tajuk

1998 26 6,50 4,36 2,79

2000 25,38 3,38 4,65 3,51

2001 20,73 4,63 2,87 3,46 18,45 4,85 1,63 0,94 0,88 0,10 n.a

Rata-rata 21,17 5,98 3,32 4,35

24,6 6,60 3,27 0,63 0,94 0,16 0,55 0,22

24,17 6,39 2,25 1,76 0,89 0,19 0,40 0,30

19,16 6,98 2.69 1,69 0.84 0,16 0.48 0,27

Sawo kecik 13% Bola-bola 13%

1998

Kresek 25%

2000

Kepuh 74%

Kepuh 75%Bakau 10% Buta-buta 10% 2001Kedoya 11% Ketapang 11% 2002

Kresek 20%

Kepuh 60%

Kresek 11%

Kepuh 67%

Gambar 2. Jenis pohon yang digunakan untuk meletakkan sarang pada tahun 1998, 2000, 2001 dan 2002.

Sarang bangau bluwok diletakkan dalam suatu kelompok, dengan kerapatan rata-rata 3 sarang per pohon. Berdasarkan hasil pengamatan Hoogerwerf & Siccama (1937) di Pulau Dua, Jawa Barat, jumlah sarang bangau bluwok yang diletakkan dalam satu pohon dapat berkisar antara 4 - 5 sarang. Sarang bangau bluwok berbentuk platform datar seperti piring yang sangat lebar, tersusun dari ranting-ranting pohon yang masih segar. Berdasarkan pembagian tipe sarang menurut Collias & Collias (1984), sarang bangau bluwok termasuk ke dalam tipe sarang terbuka (open nest). Pada - 31 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

saat berbiak biasanya bangau bluwok menggunakan sarang baru yang disusun oleh kedua induk, namun terkadang pula mereka menggunakan sarang bekas dari musim berbiak yang sama dan telah ditinggalkan oleh burung pemiliknya. Sarang bekas tersebut selanjutnya akan diperbaiki dengan cara menambahkan ranting-ranting baru ke dalamnya. Bahan sarang bangau bluwok berasal dari 22 jenis tumbuhan (n=2). Sebagian besar terdiri dari ranting-ranting pohon dan tumbuhan bawah (98,33%), selain itu terdapat liana (0,61%) dan bambu (1,06%). Ranting yang diambil sebagian besar adalah ranting yang masih segar dan sisanya berasal dari ranting yang mati. Ranting yang masih segar cenderung lebih fleksibel untuk dijalin menjadi sarang jika dibandingkan ranting yang mati. Berat total satu buah sarang adalah 3937,25 g yang tersusun dari 425 batang ranting. Bahan penyusun sarang yang sering digunakan adalah jenis kingkit Triphasia trifolia dengan jumlah 26,11%. Jenis ini adalah kelompok tumbuhan perdu yang banyak tumbuh di Pulau Rambut, memiliki ranting yang lentur dan kuat. Selain itu kingkit memiliki ukuran ranting yang kecil sehingga mudah dijalin. Jenis kepuh meskipun digunakan sebagai pohon sarang tetapi rantingnya hanya sedikit dijadikan bahan penyusun sarang (1,41%). Telur Bentuk telur oval simetris dengan berat rata-rata ialah 73,62 5,88 g, panjang 65,21 2,51 mm dan lebar 45,53 1,42 mm (n=104, Tabel 2). Telur yang baru memiliki tekstur permukaan cangkang yang agak kasar dan berwarna putih kapur, selanjutnya pada saat telur akan menetas warna akan sedikit pudar, lebih pucat dan kotor.Tabel 2. Ukuran telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.

Tahun 2001 2002 Rata-rata

N 59 45 104

Berat s.d. (g) 73,92 5,84 73,23 5,99 73,62 5,88

Panjang s.d. (mm) 64,82 2,43 65,72 2,66 65,21 2,51

Lebar s.d. (mm) 45,63 1,41 45,41 1,44 45,53 1,42

Berdasarkan kriteria Hoogerwerf (1949) telur bangau bluwok termasuk kategori normal oval hingga oval memanjang. Telur diletakkan pada pagi hari antara 5 - 7 hari sejak dimulainya penyusunan sarang. Faaborg (1988) menyatakan peletakan telur pada pagi hari kemungkinan berkaitan dengan pembentukan dan pengerasan cangkang telur yang terjadi pada malam hari di saat burung sedang tidak aktif. Jumlah telur (clutch size) berkisar antara 1 4 butir (modus 3) setiap sarangnya (Gambar 3). Hoogerwerf (1949) menyatakan bahwa clutch size bangau bluwok adalah 3 namun terkadang dijumpai 4 butir. Welty (1982) dan Klomp (1970) menyatakan bahwa salah satu faktor 100.00 2001 yang menentukan clutch size adalah umur 90.00 2002 80.00 induk. Induk dewasa yang lebih muda 70.00 cenderung untuk memiliki clutch size yang 60.00 lebih sedikit dibandingkan dengan individu 50.00 yang lebih tua. 40.00Jumlah (%)

30.00 20.00 10.00 0.00 1 2 3 4 Clutch size

Gambar 3 (kiri). Clutch size Bangau bluwok di SM. Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.

- 32 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Masa inkubasi berkisar antara 2730 hari (Gambar 4) dengan rata-rata 28,3 hari (modus 28 hari sebanyak 29,9 %, n=65). Pengeraman dilakukan secara bergantian baik oleh induk jantan maupun induk betina. Telur menetas secara asynchronous; penetasan tipe ini dicirikan dengan ukuran anakan yang akan berbeda antara satu dengan lainnya. Interval penetasan telur berkisar antara 1 3 hari (Gambar 5) dengan rata-rata 1,7 hari (modus 1 hari sebanyak 55%, n=48). Perrins & Birkhead (1983) menyatakan penetasan asynchronous adalah suatu strategi untuk mengantisipasi ketersediaan jumlah makanan yang tak dapat diprediksi pada saat menetas hingga anakan mampu terbang. Dengan demikian apabila jumlah makanan yang tersedia di alam tidak memadai untuk membesarkan seluruh anakan, diharapkan masih ada satu anakan yang tetap bertahan hidup.

100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 27 28 29 30 Masa inkubasi (hari)

Gambar 4. Masa inkubasi telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut (data 2001 dan 2002 digabung)

100 90 80 70Jumlah (%)

Jumlah (%)

2001 2002

60 50 40 30 20 10 0 1 2 Interval (hari) 3

Gambar 5. Interval penetasan telur bangau bluwok di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2002.

- 33 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Anakan bangau bluwok termasuk ke dalam tipe semi altricial. Pada saat menetas mata anakan sudah terbuka, memiliki bulu natal (bulu pada saat menetas) berwarna putih kusam yang jarang, terlihat basah dan lengket, tubuh hampir seluruhnya berwarna merah kecuali paruh dan kelopak mata yang berwarna sedikit kuning. Berat rata-rata anakan pada saat pertama kali menetas adalah 54,45 4,31 g (n=46) sehingga rasio berat anakan terhadap berat telur adalah 0,76 (n=46). Fledging time anakan bangau bluwok ialah 50 hari yang ditandai dengan kemampuan terbang berkelepak (flapping) di sekitar sarang. Meskipun demikian induk tetap akan memilhara anakan hingga c. 90 hari. Kesuksesan Perkembangbiakan Kesuksesan perkembangbiakan bangau bluwok berkisar antara 46%-49%. Faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan perkembangbiakan ialah hembusan angin kencang yang bertiup selama musim berbiak. Angin yang bertiup kencang dapat merusak dan mengubah posisi sarang, akibatnya telur jatuh dan hancur. Tingginya jumlah telur yang hancur pada tahun 2001 disebabkan oleh seringnya Pulau Rambut dilanda oleh angin kencang jika dibandingkan pada tahun 2002. Faktor lain penyebab kegagalan perkembangbiakan ialah telur membusuk yang diduga berkaitan dengan tingginya curah hujan. Hujan yang berlangsung terus menerus menyebabkan suhu lingkungan menjadi rendah dan tubuh induk selalu basah sehingga mengganggu proses inkubasi. Cuaca yang buruk juga mengakibatkan induk sulit kembali setelah mencari makan, akibatnya proses pengeraman tidak berlangsung dengan normal.Tabel 3. Kesuksesan perkembangbiakan dan faktor penyebab kegagalan perkembangbiakan bangau bluwok (%) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada tahun 2001 dan 2003.

Faktor penyebab Telur tidak dierami Telur busuk Telur hancur oleh angin Anakan hilang/mati Kesuksesan penetasan Kesuksesan perkembangbiakan

2001 5,0 10,0 27,0 7,0 58,0 46,0

2002 5,0 12,0 11,0 22,0 72,0 49,0

Rata-rata 5,0 11,0 19,0 14,5 65,0 47,5

Perrins dan Middleton (1986) menyatakan salah satu faktor yang menentukan kesuksesan perkembangbiakan ialah kondisi cuaca. Pada kasus bangau putih (Ciconia ciconia) di Spanyol, kesusksesan perkembangbiakan menjadi rendah pada daerah dengan curah hjan yang tingggi. Kondisi cuaca yang buruk merupakan ancaman serius bagi burung bangau terutama pada saat berbiak karena dapat mengakibatklan hancurnya sarang, telur atau matinya anakan dan secara tidak langsung menyulitkan induk untuk mencari makan (del Hoyo et al. 1992). Kematian atau hilangnya anakan dapat terjadi sebagi akibat ukuran tubuh anakan yang terus membesar sehingga anakan berdesakan ddi dalam sarang, akibatnya anakan yang paling kecil jatuh dan mati. Penyebab lain kematian anakan ialah anakan tidak diberi makan atau ditinggalkan oleh induk (chick desertion) tanpa diketahui penyebabnya.

- 34 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Daftar PustakaAllport, G. A. & S.A.Wilson. 1986. Result of A Census of the Milky Stork Mycteria cinerea in West Java. ICBP. England. Collar, N. J. , M. J. Crosby & A. J. Stattesfield. Birds to Watch II. 1994The World List of Threatened Birds. BirdLife International. Cambridge. Collias, N. E. & E. C. Collias. 1984. Nest Building and Bird Behavior. Princeton University Press. New Jersey. Danielsen, F., H. Skov & U. Suwarman. 1991a. Breeding Colonies of Waterbirds Along the Coast of Jambi Province, Sumatra, August 1989. Kukila 5 (2): 135 137. Danielsen, F., A. Purwoko, M. J. Silvius, H. Skov & W., Verheught. 1991b. Breeding Colonies of Milky Stork in South Sumatra. Kukila 5(2): 133 135. Faaborg, J. 1988. Ornithology an Ecological Approach. Prentice Hall. New Jersey. Fitriana, N. 1999. Ekologi Lansekap Cagar Alam Pulau Rambut Jakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hancock, J. A., J. A. Kushlan & M. P. Kahl. 1992. Stork, Ibises and Spoonbills of the World. Academic Press. London. Hoogerwerf, A. & G. F. W. H. W. Rengers Hora Siccama. 1937. De Avifauna van Batavia en Omstreken. Ardea (26):118-119. Hoogerwerf, A. 1949. Bijdrage Tot de Oologie van Het Eiland Java. Buitenzorg. Indonesie. del Hoyo, J., A. Elliott & J. Sargatal. 1992. Handbook of The Birds of The World. Lynx Edicions. Barcelona. Klomp, H. 1970. The Determination of Clutch Size in Birds: A Review. Ardea 58 (1-2). MacKinnon, J., K. Phillips, & B. van Balen. 1998. Burung-Burung Di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Mardiastuti, A. 1992. Habitat and Nest Site Characteristics of Waterbirds in Pulau Rambut Nature Reserve, Jakarta Bay, Indonesia. Ph. D theses. Michigan State University. Michigan. Mardiastuti, A. 1993. Breeding Season of Waterbirds in Pulau Rambut. Media Konservasi IV (2):77-81. Monks, K. A., De Fretes, Y. & G. R. Lilley. 2000. Ekologi Nusatenggara dan Maluku. Prenhalindo. Jakarta. Morioka, H. & C. Yang. 1990. A Record of The Milky Stork for Thailand. Japanese Journal of Ornithology 38:149 150. Perrins, C. M. & T. R. Birkhead. 1983. Avian Ecology. Chapman and Hall. New York. Perrins, C. M. & A. L. A. Middleton. 1986. The Encyclopedia of Birds. Facts on File, Inc. New York. Silvius, M. J., & W. J. M. Verheught. 1989. The Status of Storks, Ibises and Spoonbills In Indonesia. Kukila 4 (34):119-132. Verheught., W. J. M. 1987. Conservation Status and Action Program for the Milky Stork. Colonial Waterbird 10 (2): 211-220. Welty, J. C. 1982. The Life of Birds. Saunders College Publishing. New York. Widodo, W. & D. S. Hadi. 1990. Feeding Ground Burung-Burung Air di Kawasan Hutan Bakau Teluk Naga, Tangerang, Jawa Barat: Sebuah Tinjauan. Media Konservasi III (1):47-52.

- 35 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Beberapa Aspek Ekologi Ibis karau Pseudibis davisoni di Sungai Mahakam Kalimantan TimurEDY SUTRISNO, IMANUDDIN & REDDY RACHMADYJl. Paus No 8A, KPP IPB I Sindangbarang Bogor 16617. E-mail : [email protected]

Summary. The research of White-shouldered Ibis was conducted from September until October 2001 and from September 2003 until August 2004. Data were collected through direct observation along Mahakam River, East Kalimantan from Long Iram to Long Bagun. White-shouldered Ibis were spotted resting (37.66%) and looking for food (28.04%). Breeding activities occured between October until January. The nest were placed at height 30.2 m (n=2) m, on banggris tree (Coompasia excelsa), nesting tree height 41.5 m (n=2). Incubation took 29-31 days, eggs hatched asynchronously and chicks were semi altricial. Fledging time was 36 days.

Pendahuluan Ibis Karau Pseudibis davisoni adalah salah satu jenis burung air dari keluarga Threskiornithidae yang populasinya terus menurun dan dalam Red Data Book termasuk dalam jenis critically endangered ( Birdlife Internasional 2001, Collar et. al. 1994). Ancaman utama yang dihadapi burung ini ialah tingginya laju fragmentasi dan degradasi habitat yang disebabkan oleh laju pertumbuhan manusia yang cepat, perluasan daerah perladangan, penebangan hutan, sistem irigasi buatan dan pestisida (Hancock et. al. 1992). Penyebaran Ibis karau di dunia meliputi Myanmar, China, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia Timur dan Indonesia (BirdLife International 2001; MacKinnon & Phillips 1993; Smythies 1981; Robson 2001; Hoyo et al. 1992; Hancock et al. 1992). Di Indonesia, Ibis karau menghuni daerah di sepanjang sungai Mahakam antara Long Iram dan Long Bagun (Kalimantan Timur), Purukcahu (Kalimantan Tengah) dan Sungai Barito (Kalimantan Selatan) (Hancock et al. 1992; Peterson 1991; Smythies 1981; Robson 2000; Perennou et al. 1984; Collar et al. 1994; Hoyo et al. 1992). Habitat utama Ibis karau ialah rawa, hutan sepanjang sungai, daerah riam dan hutan dataran rendah yang terbuka (Robson 2000; Sibuea et al. 1995). Provinsi Kalimantan Timur dipilih sebagai lokasi penelitian karena menurut data dan informasi yang ada, disini terdapat populasi Ibis karau terbesar di Indonesia. Szer dan Heijden (1997) memperkirakan jumlah total populasi Ibis karau di Kalimantan Timur berkisar antara 30 sampai 100 individu. Szer dan Heijden (1997) juga berpendapat bahwa Sungai Mahakam adalah habitat penting bagi populasi Ibis karau di Kalimantan. Hingga saat ini data mengenai Ibis karau di Indonesia yang tersedia hanya sedikit sekali. Tujuan penelitian ialah untuk menyediakan data dasar mengenai Ibis karau yang dapat dipergunakan nantinya sebagai acuan untuk kegiatan monitoring dan konservasi selanjutnya.

Metode Penelitian Distribusi dan Populasi Penelitian dilakukan pada tahun 2001 dan 2003 di sepanjang Sungai Mahakam antara Long Iram hingga Long Bagun beserta beberapa anak sungai yang mengalir ke dalamnya yaitu Sungai Pari, Sungai Maribo, Sungai Boh (Gambar 1). Selain itu juga dilakukan survey pada Sungai Kelay di daerah Berau. - 36 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan perahu (Howes & Bakewell, 1989). Metode yang digunakan adalah metode jalur dengan membagi Sungai Mahakam menjadi empat jalur, yaitu Datah bilang-Long Iram, Datah bilang-Long Bagun, Datah bilang-Sungai Pari, dan Datah bilangSungai Ratah. Jumlah populasi dihitung berdasarkan individu yang teramati dengan asumsi setiap individu dianggap berbeda dalam setiap perjumpaan. Disamping itu juga dilakukan wawancara dengan penduduk setempat mengenai keberadaan Ibis karau di lokasi lain.

Gambar 1. Lokasi peneliltian

Perilaku Pengamatan aktivitas harian dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling dengan interval pencatatan satu menit. Pengamatan dilakukan antara pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Total lama waktu pengamatan yang dilakukan adalah 3382 menit pengamatan. Data yang di catat meliputi lama waktu aktivitas, jenis aktivitas dan lokasi saat melakukan aktivitas. Pengamatan aktivitas harian dilakukan di dua titik pengamatan, yaitu di daerah Ratah dan di daerah pulau Bilung. Untuk mengetahui pertumbuhan anakan dilakukan pengamatan terhadap dua buah sarang pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Februari 2004. Habitat Analisis habitat dilakukan secara deskriptif berupa uraian dari pengamatan langsung dengan melihat tipe habitat yang dipergunakan. Penelitian mengenai penggunaan tipe habitat dilakukan bersamaan dengan penelitian mengenai perilaku harian

- 37 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Hasil dan Diskusi Distribusi dan Populasi Pada tahun 2001, total jumlah individu yang teramati dalam 21 kali perjumpaan adalah 53 individu (Min 1, Max 10). Lokasi perjumpaan pada tahun 2001 ialah di muara Sungai Medang, daerah muara Sungai Merah, Sungai Ratah, muara Sungai Pari dan di hilir Ujoh Halang (Gambar 2). Dari hasil pengamatan tahun 2003, dari 57 kali perjumpaan disimpulkan jumlah minimum individu Ibis karau di Sungai Mahakam adalah sebanyak 21 individu, yang terbagi dalam 5 kelompok, yaitu di daerah muara Sungai Merah sebanyak 3 individu, di daerah muara Sungai Ratah sebanyak 4 individu, di daerah Pulau Bilung sebanyak 9 individu, di hilir camp Kedawan sebanyak 2 individu dan di hilir Ujoh Halang sebanyak 3 individu. Dari dua data pengamatan tersebut, diduga terjadi penurunan populasi Ibis karau di sungai Mahakam. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah maksimum individu Ibis karau yang dapat di jumpai dalam satu kali pengamatan. Jumlah terbanyak dijumpainya Ibis karau dalam satu kali pengamatan pada pengamatan tahun 2001 dan tahun 2003 terdapat pada daerah yang sama, yaitu di daerah Pulau Bilung-di hilir Datah Bilang. Selain itu juga lokasi perjumpaan dengan Ibis karau semakin menyempit, yaitu tidak dijumpainya Ibis karau pada lokasi sekitar muara Sungai Medang pada pengamatan tahun 2003 yang pernah tercatat pada pengamatan tahun 2001. Dari hasil pengamatan tahun 2003 diketahui bahwa keberadaan Ibis karau di sungai Mahakam tidak dipengaruhi oleh musim, melainkan dipengaruhi oleh pasang surut air sungai.

Gambar 2. Lokasi Perjumpaan

- 38 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Perilaku Aktivitas Ibis karau yang teramati terdiri atas d aktivitas istirahat (37.66%), kemudian aktivitas makan (28.04%), perawatan diri (19.19%), lokomosi (14.05%) dan aktivitas sosial (1.07%) (Gambar 3).

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Persentase

37.66 28.04 14.05 1.07sia So l t Is t ha ra i i os m ko Lo iri D M an ak

19.19

an at aw er P

Tipe Aktivitas

Gambar 3. Persentase Tipe Aktivitas

Perilaku isitirahat Ibis karau dilakukan dengan posisi diam berdiri atau juga dengan posisi duduk seperti mengeram, khususnya jika aktivitas istirahat dilakukan di pulau kerikil. Selain khusus beristirahat, perilaku istirahat juga dilakukan di sela-sela aktivitas makan. Pakan utama Ibis karau adalah cacing tanah dari genus Pheretima sp. Aktivitas makan dilakukan dengan berjalan perlahan di sepanjang paparan lumpur. Ibis karau mencari makanannya di lumpur dengan cara menusuk-nusuk bagian lumpur tanpa mengeluarkan paruh dari dalam lumpur. Apabila mendapatkan mangsa, mangsa tersebut ditarik keluar dengan paruhnya sebelum dikonsumsi. Perilaku mengkonsumsi mangsa terdiri atas 3 cara, yaitu:1) mangsa langsung dimasukkan ke dalam mulut dengan terlebih dahulu melambungkan mangsa diantara kedua paruh dan dengan gerakan seperti mengangguk mangsa kembali ditangkap dan dimasukkan dalam mulut; 2) meletakkan terlebih dahulu mangsa diatas permukaan lumpur baru selanjutnya kembali diambil dengan paruh dan dimasukkan ke dalam mulut; 3) jika terdapat lumpur yang terbawa saat menarik mangsa dari dalam lumpur, Ibis karau membawa mangsa ke badan air dan mencelupkan paruh yang membawa mangsa ke dalam air sambil menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan untuk melepaskan lumpur yang menempel baru kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Ibis karau juga teramati mencari makan di pinggir pulau kerikil yang masih berair dengan cara berjalan perlahan dan memasukkan paruh di sela-sela kerikil atau membalikkan batu untuk mencari serangga air. Ibis karau juga mencari makan di atas pohon, dengan mematuk bagianbagian pohon yang sudah lapuk untuk mencari serangga. Aktivitas perawatan diri yang dilakukan dengan menyelisik bulu-bulu tubuh dan bulu-bulu terbang dengan menggunakan paruh atau kaki. Aktivitas berjemur biasanya dilakukan di pulau kerikil. Untuk menjaga kondisi bulu-bulu tubuh bagian depan dan bulu terbang bagian bawah Ibis karau memanfaatkan panas yang ada di bebatuan kerikil dengan membentangkan sayapnya saat - 39 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

berjemur. Ibis karau juga teramati melakukan aktivitas saling menyelisik dengan individu di dalam kelompoknya. Perkembangbiakan Pada tahun 2003 berhasil dijumpai 2 sarang aktif, yaitu di muara Sungai Merah dan Sungai Ratah. Sarang diletakkan pada pohon Banggris Koompassia exelsa pada ketinggian 30.2 m (n=2). Pohon banggris adalah pohon yang besar dengan tajuk kurang rapat. Tinggi pohon sarang 41.5 m (n=2). Dari pengamatan kedua sarang aktif tersebut diperkirakan bahwa masa pengeraman bagi Ibis Karau memerlukan waktu 29-31 hari dengan masa pemeliharaan anak sampai siap untuk terbang sekitar 36 hari. Telur menetas secara asynchronous dengan tipe anakan semi altricial. Kedua induk memelihara anakan secara bergantian. Anakan mendapatkan makan dari induk dengan mengambil langsung makanan dari paruh induk. Habitat Tipe habitat yang dipergunakan oleh Ibis karau di sungai Mahakam dapat dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu daerah paparan lumpur, pohon atau vegetasi sepanjang sungai, paparan pasir dan pulau kerikil Berdasarkan waktu pemanfaatan dalam aktivitas hariannya Ibis karau lebih banyak menggunakan pohon sebagai tempat melakukan aktivitasnya (Gambar 4) .

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Persentase

58.41

28.53 10.54 2.53 Paparan Lumpur Pohon Paparan Pasir Pulau Kerikil

Tipe Habitat

Gambar 4. Persentase Penggunaan Tipe Habitat

Ibis karau menggunakan pohon yang masih hidup dan pohon yang mati untuk beristirahat pada malam hari. Pohon terletak di dekat sungai, parit atau daerah yang tergenang. Pohon yang digunakan biasanya adalah jenis emergent atau pohon dengan penutupan tajuk rapat. Penggunaan pohon-pohon yang tinggi dan terlindung merupakan upaya Ibis karau untuk menghindari kemungkinan adanya predator. Pulau kerikil yang muncul saat air sungai surut lebih banyak digunakan untuk aktivitas berjemur. Meskipun demikian pada bagian tepi yang tergenang oleh air sungai, terkadang pula digunakan Ibis karau untuk mencari makan berupa ikan kecil.

- 40 -

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Daftar PustakaCollar, N. J., Crosby, M. I and Stattersfield, A. J. (1994). Birds to watch II:- The World List of Threatened Birds. BirdLife Conservation Series No. 4. BirdLife International, Cambridge. Hancock, 1. A., Kushlan, I A. dan Kahl, M. P. (1992). Storks, IbIses and Spoonbills of the world. Academic Press, London Howes, J. and Bakewell, D. (1989). ShorebIrd Studies Manual AWB Publication No. 55. Kuala Lumpur. Hoyo, del I., Elliott, A., and Sargatal, 3. eds. (1992). Handbook of the Birds of the World. Volume 1. Ostrich tc, ducks. Lynx Editions, Barcelona. MacKinnon, J. and Phillipps, K. (1993). A Field Guide to the birds of Borneo, Sumatra, Java & Bali the Greater sunda Island. Oxford University Press, Oxford. Perennou, C., Mundkur, T., Scott, D. A., Follested, A. dan Kvenild, L. (1994). The Asian Waterfowl Census 1987-91: Distribution and Status of Asian Watenfowl. AWB Publication No. 86. IWRB Publication No. 24. AWB, Kuala Lumpur, Malaysia and IWRB, Slimbridge, U.K. Peterson, S. (1991). A Record of WhIte-shouldered Ibis in East Kalimantan. Kukila 5(2):144-145. Robson, C. (2000). A Field Gulde to the birds of South-East Asia,Thailand, Peninsular Malaysla, Singapore, Myanmar, Laos, Vietnam, Cambodia. New Holland Publishers (uk) Ltd, London Capetown Sydney Auckland. Sibuea, T., Rusila Noor, Y., Silvius, M. I., dan Susmianto, A. (1995). Burung bangau, Pelatuk best dan Paruh sendok di Indonesia. Panduan untuk Jaringan Kerja. PHPA/Wetlands; International-Indonesia Programme, Bogor. Smythles, B. E. (1981). The Birds of Borneo. Third Edition Revised by Earl of Cran Brook. The Sabah society with The Malayan Nature Society. Szer, R. and Heljden, A. J. W. I V. D., (1997). An Overview of the Distribution, Status and Behavioral Ecology of White-shouldered Ibis in East Kalimantan, Indonesia. Kukila 9: 126140.

- 41 -

Sesi burung pemangsa

Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Pemantauan Migrasi Burung pemangsa tahun 2001 2004 di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Nusa TenggaraWISHNU SUKMANTORO Jaringan Penelitian & Konservasi Raptor Indonesia (RAIN)c/c. PILI-NGO Movement: Jalan Tumenggung Wiradireja No. 216, Cimahpar Bogor, Jawa Barat. Telp 0251-657002 Email: [email protected]

Abstrak Selama tahun 2001 2004, 47.753 catatan individu burung pemangsa (raptor) migran telah dihasilkan oleh sekitar 25 insitusi di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Di seluruh lokasi pemantauan, elang alap cina (Accipiter soloensis) tercatat dominan yaitu sekitar 80%, diikuti sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus orientalis) dan elang alap nipon (Accipiter gularis) yaitu kurang dari 20%. Sisanya adalah jenis alap-alap kawah (Falco peregrinus), elang baza (Aviceda leuphotes), Buteo buteo dan elang rawa (Circus sp.). Di Jawa, elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon, alap-alap kawah, elang buteo (Buteo buteo) dan alap-alap capung tercatat sejak tahun 2001 akhir tahun 2004. Di Bali dan Nusa Tenggara, beberapa pengamat mencatat elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon dan alap alap capung. Di Sumatera, beberapa raptor seperti elang alap cina, sikep madu asia, elang alap nipon, elang baza, elang paria dan alap alap kawah tercatat sejak tahun 2001. Di Kalimantan, dalam satu tahun pemantauan (2002 2003) mencatat elang alap cina, elang alap nipon, sikep madu asia, elang paria, elang tiram dan elang rawa. Analisa statistik dalam perbandingan spesies raptor migran tahun 2001 hanya dikhususkan di Pulau Jawa. Korelasi linear antara elang alap cina (Y), elang alap nipon (x1) dan sikep madu asia (x2) di Puncak Pass yaitu Y = 2,335 x1 + 7,954 x2 + 60,236 (sig (0,05) = 0,025 0,09; sig. anova = 0,008, R square = 45,2 %). Korelasi linear terbaik antara elang alap cina dengan elang alap ni