16
SIPENDIKUM 2018 394 PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL WORLD TRADE ORGANIZATION: SUATU TINJAUAN YURIDIS HUKUM Maslihati Nur Hidayati 1 Email: [email protected] Abstract The existence of the World Trade Organization (WTO) is expected to be instrumental in promoting economic development of countries in the world, particularly the developing country members. Various kinds of arrangements, principles and rules have been agreed among the members in order to harmonize all the existing rules applicable for international trade, which then is expected to create a multilateral trading system acceptable to all parties. One important principle in the WTO Agreement is the principle of special and differential treatment; i.e. different treatment for developing countries (and also the least developed countries) in their obligations to apply the WTO Agreement. Hopefully, the existence of this principle is not contrary to the multilateral trading system that should be always free and fair. Nevertheless, the application of this principle can become questionable if we compare it to the sense of justice in general. On the other hand, the usefulness of this principle depends on how each of developing and underdeveloped countries utilize it in order to facilitate the economic development of their country. This study will analyze how developing countries can take full advantage of the international trade arrangement and implement the principles and rules on special and differential treatment in the various rules in the field of international trade within the context of economic development. This can be crucial, considering that developing countries members is currently working hard to develop the economy, to reduce poverty and to align themselves with other countries in the world. This is the basic core of the existence of the WTO's multilateral trading system. Keywords: special and differential treatment, developing countries. Pendahuluan Seperti diketahui bersama, perdagangan internasional tidak saja baru dimulai ketika perundingan General Agreement on Tarrifs and Trade dimulai pada tahun 1947 yang lalu (dan untuk selanjutnya disebut dengan GATT 1947). Munculnya perdagangan yang bersifat lintas batas telah ada jauh sebelumnya. Seperti dikutip oleh Raj Bhala yang berasal dari essay pada zaman Roman (65-8 BC), bahwa ”Tuhan menciptakan lautan dalam rangka mendukung adanya interaksi dan memfasilitasi perdagangan bagi 1 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.

PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

  • Upload
    buianh

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

394

PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM SISTEM

PERDAGANGAN MULTILATERAL WORLD TRADE ORGANIZATION:

SUATU TINJAUAN YURIDIS HUKUM

Maslihati Nur Hidayati1

Email: [email protected]

Abstract

The existence of the World Trade Organization (WTO) is expected to be

instrumental in promoting economic development of countries in the world,

particularly the developing country members. Various kinds of

arrangements, principles and rules have been agreed among the members in

order to harmonize all the existing rules applicable for international trade,

which then is expected to create a multilateral trading system acceptable to

all parties. One important principle in the WTO Agreement is the principle

of special and differential treatment; i.e. different treatment for developing

countries (and also the least developed countries) in their obligations to

apply the WTO Agreement. Hopefully, the existence of this principle is not

contrary to the multilateral trading system that should be always free and

fair. Nevertheless, the application of this principle can become questionable

if we compare it to the sense of justice in general. On the other hand, the

usefulness of this principle depends on how each of developing and

underdeveloped countries utilize it in order to facilitate the economic

development of their country. This study will analyze how developing

countries can take full advantage of the international trade arrangement

and implement the principles and rules on special and differential treatment

in the various rules in the field of international trade within the context of

economic development. This can be crucial, considering that developing

countries members is currently working hard to develop the economy, to

reduce poverty and to align themselves with other countries in the world.

This is the basic core of the existence of the WTO's multilateral trading

system.

Keywords: special and differential treatment, developing countries.

Pendahuluan

Seperti diketahui bersama, perdagangan internasional tidak saja baru dimulai

ketika perundingan General Agreement on Tarrifs and Trade dimulai pada tahun 1947

yang lalu (dan untuk selanjutnya disebut dengan GATT 1947). Munculnya perdagangan

yang bersifat lintas batas telah ada jauh sebelumnya. Seperti dikutip oleh Raj Bhala

yang berasal dari essay pada zaman Roman (65-8 BC), bahwa ”Tuhan menciptakan

lautan dalam rangka mendukung adanya interaksi dan memfasilitasi perdagangan bagi

1 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.

Page 2: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

395

seluruh manusia di bumi. Dengan adanya laut pertukaran menjadi mungkin...manusia

akan buas dan miskin”.2

Dapat dikatakan bahwa hadirnya perdagangan internasional merupakan

pengejewantahan adanya doktrin ”universal economy”, dimana harapannya

perdagangan antar wilayah (region) adalah yang membawa kebermanfaatan dan bebas

dari intervensi.3 Selanjutnya di jelaskan bahwa hendaknya makna perdagangan

internasional ini dalam rangka memberikan nilai tambah (value added) bagi umat

manusia, tidak hanya merupakan aktivitas ekonomi semata akan tetapi ada nilai moral

didalamnya. Ditegaskan pula, bahwa produksi dalam negeri (domestic production)

dianggap lebih bermartabat dibandingkan perdagangan itu sendiri.4

Doktrin tersebut, pada akhirnya menghasilkan suatu aktivitas lintas batas yang

disebut dengan globalisasi ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan globalisasi seperti

yang dikutip oleh Peter van den Bossche mengenai konsep globalisasi sebagai berikut5:

“the closer integration of the countries and peoples of the world has been

brought about by the enermous redustion of costs of transportation and

communication, and the breaking down of artificial barriers to the flow of

goods, capital, knowledge and (to a lesser extent) people across border”

Sedangkan perdagangan yang terjadi antar wilayah/negara adalah sebagai akibat

dari adanya globalisasi itu sendiri. Berdasarkan semangat itulah, perjalanan perundingan

dalam bidang perdagangan internasional dimulai. Pada akhirnya, melahirkan satu

organisasi perdagangan dunia pada tahun 1994 yang lalu.

Keberadaan World Trade Organization (WTO) sebagai suatu organisasi

internasional, memiliki peran yang penting dalam lalu lintas perdagangan internasional,

khususnya dalam meningkatkan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.6

Lebih khusus keberadaan organisasi ini harus memastikan bahwa terpenuhinya semua

kebutuhan dan keuntungan atas kesempatan kesejahteraan yang semakin meningkat

dalam konteks sistem perdagangan multilateral khususnya bagi negara-negara

berkembang dimana sebagian besar negara-negara anggota WTO berada dalam kategori

ini, sebagaimana para anggota WTO menyatakan pada Doha Ministerial Declaration,

bahwa:7

"International trade can play a major role in the promotion of economic

development and the alleviation of poverty. We recognize the need for all our

peoples to benefit from the increased opportunities and welfare gains that the

2 Raj Bhala, International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practices, 3

rd ed, (San Francisco:

LexisNexis, 2008), hal. 3. 3 Ibid., hal. 4. Menurut data yang penulis dapat, ahli yang mengemukakan doktrin “universal economy”

ini dikemukakan oleh Seneca The Younger (4 BC-50 AD) dalam Naturale Quaestiones. 4 Ibid., hal ini dikemukakan oleh St. Aquinas dalam Summa Theologia.

5 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and

Materials, (New York: Cambridge University Press, 2005), hal.3. 6 Jane Kelsey, “World Trade And Small Nations In The South Pasific Region”, Kansas Journal Law &

Public Policy, Winter, 2005, hal. 247. 7 Lihat Pada Doha Ministerial Declaration.

Page 3: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

396

multilateral trading system generates. The majority of WTO members are

developing countries. We seek to place their needs and interests at the heart of

the Work Programme adopted in this Declaration. Recalling the Preamble to the

Marrakesh Agreement, we shall continue to make positive efforts designed to

ensure that developing countries, and especially the least-developed among

them, secure a share in the growth of world trade commensurate with the needs

of their economic development…..”..

Harapannya, setiap negara akan mendapatkan manfaat dari adanya

perdagangan internasional,8 tidak terkecuali Indonesia. Supachai Panitchpakdi

9, seperti

yang dikutip oleh Peter van den Bossche, menyatakan adanya perdagangan

internasional meningkatkan perdagangan diantara negara berkembang khususnya, dan

perdagangan dunia pada umumnya.10

Dapat dipahami, bahwa keberadaan negara yang memiliki kepentingan

ekonominya masing-masing menuntut untuk semakin meningkatkan interaksi antar

negara. Adapun yang menjadi tujuan dari proses interaksi ini pada umumnya adalah

agar masing-masing negara memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dalam

negeri bagi negaranya, hal ini mengingat bahwa keberadaan negara-negara di dunia

memiliki perbedaan kemampuan dari segi ekonomi maupun teknologinya.11

Globalisasi,

menurut penulis mengakibatkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku

ekonomi dunia. Kecenderungan manusia untuk tidak dapat lepas dari bantuan dan

pertolongan orang lain, dapat dilihat dalam interaksi kehidupan antar negara.

Perbedaan kemampuan ekonomi dan teknologi yang berbeda dari masing-

masing negara mengakibatkan adanya pengklasifikasian negara-negara. Pada umumnya,

keberadaan negara-negara di dunia dapat dikelompokkan dengan beberapa klasifikasi.

Klasifikasi yang pertama adalah klasifikasi negara maju, negara berkembang dan

negara-negara yang tergabung dalam Least Economic Development Country (LEDC)

atau yang biasa dikenal dengan negara-negara terbelakang.12

Pengklasifikasian negara-

negara tersebut sederhananya didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing

negara.13

Walaupun secara sedehana, atas pengkajian terhadap pembangunan ekonomi

8 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and

Materials, (New York: Cambridge University Press, 2005), hal. 19. 9 Merupakan Direktur Jenderal WTO periode 2002-2005 yang berasal dari Thailand.

10 Menyatakan sebagai berikut: ”Enhanced South-South activity offers a potentially great source of

expanded trade opprtunities in the coming trade. Between 1990 and 2001, South-South trade grew faster

than world trade with the share of intra-develboping country trade in world merchandise exports rising

from 6,5 % to 10,6 %”. Lihat selanjutnya dalam Peter Van Den Boscche, op.cit., hal. 9. 11

Michael J. Trebilcock dan Robert Howse, The Regulation of International Trade, (London: TJ

International Ltd, 1995), hal., 367. 12

. Lihat dalam http://www.data.world bank.org/region. Diakses pada 24 Maret 2014 pukul 04.30 WIB.

Lihat juga dalam E. Wayne Nafziger, The Economics of Developing Countries, (New Jersey: Prentice-

Hall Inc, 1990), hal. 20. 13

Andrew D Mitchell, A legal principle of special and differential treatment for WTO disputes, World

Trade Review, Cambridge University Press, 2013, hal. 447.

Page 4: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

397

atas suatu negara, klasifikasi negara dibedakan atas negara kaya dan negara miskin (rich

and poor countries).14

Kelemahan ekonomi yang dimiliki oleh negara berkembang dan negara

terbelakang menuntut negara-negara untuk terus melakukan aspek pembangunan bagi

negaranya.15

Salah satu caranya adalah dengan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan

perdagangan internasional,16

khususnya melalui keterlibatan aktif dalam sistem

perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia.

Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah kemampuan ekonomi yang

jauh lebih lemah dibandingkan dengan negara maju seringkali mengakibatkan negara

berkembang tidak memiliki posisi tawar atas kebijakan liberalisasi perdagangan yang

ada.17

Di sisi lain, bagi negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju,

menuntut adanya suatu sistem yang mampu memberikan perlakuan yang berbeda bagi

negara-negara anggota lainnya yang jauh lebih lemah sehingga mampu menutupi

perbedaan kemampuan yang dimiliki.18

Hal ini mengingat, negara berkembang selalu

dihadapkan pada persepsi mengenai ketidakmampuan melaksanakan beban dan

kewajiban yang timbul dari kebijakan-kebijakan perdagangan.19

Hal inilah yang menurut penulis, perlu diperhatikan oleh WTO sebagai

organisasi perdagangan dunia saat ini. Dimana tugas utama WTO saat ini adalah

sebagai organisasi perdagangan dunia yang bertujuan dalam rangka meningkatkan

perdagangan dunia melalui pengurangan hambatan baik yang bersifat tarif maupun non-

tarif. Selain itu, dengan kehadiran organisasi ini, diharapkan dapat menata sistem

perdagangan dunia yang efektif dan efisien bagi para pelaku ekonomi dunia.20

Disisi

lain, organisasi ini diharapkan dapat menjadi forum negosiasi masing-masing negara

anggotanya atas kepentingan ekonomi masing-masing.21

14

Ibid., pembahasan selanjutnya mengenai klasifiasi negara lihat pada bagian konsep. 15

Edward Kwakwa, “Reflections on Development, Developing Countries And The Progressive

Development Of International Trade And Intellectual Property Law”, Denver Journal of International

Law And Policy, 40Th

Anniversar"y Edition, 2012, hal. 222. 16

Sayera J Iqbal Qasim, “Collective Action In The WTO: A Developing Movement Toward Free Trade”,

University of Memphis Law Review, 2008, hal. 155. 17

Hikmahanto Juwana, Dalam Pidato Pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru

Besar Tetap dalam bidang Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 10

November 2001, hal. 13-14. Liberalisasi itu sendiri erat kaitannya dengan makna liberalism yang

dimaknai dengan pandangan yang beranggapan bahwa untuk mencapai kemajuan ekonomi, negara

sedapat mungkin tidak campur tangan dalam kehidupan ekonomi (lihat selanjutnya dalam Peter van den

Bossche, op.cit., hal. 17). 18

HS Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem,Forum dan Lembaga Internasional di Bidang

Perdagangan, (Jakarta: UI Press, 1996), hal., 230. 19

Ibid., hal., 346. 20

Ernst-Ulrich Petersman, International Trade Law and the GATT/WTO Disputes Settlement System,

(London: Kluwer Law International Ltd, 1997), hal.11. 21

Ibid., hal. 12. Dikemukakan sebagai berikut WTO adalah “As a global integration agreement, which

regulates international movements of goods, services, persons, capital and related payment in an

integrated manner, the WTO Agreement reduces the current frmentation of separate international

agreement and organizations for movements of goods, services, persons, capital and payment”.

Page 5: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

398

Keberadaan WTO dihadapkan pada tuntutan perlakuan yang sama diantara

seluruh negara anggotanya tanpa terkecuali. Prinsip non diskriminasi hadir sebagai

salah satu core principle yang mendasari seluruh perjanjian dan menjiwai seluruh

perundingan yang ada.22

Tanpa meniadakan kenyataan bahwa kemampuan masing-

masing negara memang dihadapkan pada kemampuan ekonomi yang berbeda, sehingga

akan selalu dihadapkan pada kemampuan yang berbeda dalam melaksanakan setiap

kewajiban sebagai hasil perundingan dari WTO Agreement itu sendiri.

Adanya kepentingan dan kebutuhan dari negara-negara berkembang, khususnya

negara-negara terbelakang, telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat besar melebihi

apa yang menjadi kegiatan dan perhatian WTO selama ini sejak tahun 2001 setelah

pertemuan tingkat menteri pada Doha Round. Pada pertemuan Doha itu sendiri, para

anggota WTO telah mengadopsi Decisions on Implementation Related Issues and

Concerns, berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh negara berkembang

dalam melaksanakan WTO Agreement yang merupakan hasil dari perundingan Uruguay

Round.23

Hal inilah yang selanjutnya mendasari berkembang salah satu prinsip penting

dalam keseluruhan perundingan perdagangan internasional yang terwadahi melalui

forum WTO, yaitu special and differential treatment (dan untuk selanjutnya disebut

sebagai perlakuan khusus dan berbeda). Harapannya, prinsip mengenai perlakuan

khusus dan berbeda ini hadir dalam rangka menjamin bahwa negara berkembang,

khususnya negara terbelakang, dapat tetap bergabung dalam sistem perdagangan

multilateral dan juga dapat meningkatkan peran mereka dalam perdagangan

internasional, WTO telah memberikan berbagai macam perlakuan khusus yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan mereka pada perdagangan

internasional24

. WTO Agreement telah memfasilitasi dengan adanya ketentuan

mengenai perlakuan khusus dan berbeda yang tersebar di berbagai perjanjian dalam

WTO Agreement.25

Metode

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan Black Letter.

Menurut Michael Salter dan Julie Mason dalam bukunya yang berjudul Writing Law

22

Bernard Hoekman, “Proposals For WTO Reform: A Systhesis And Assessment”, Minnesota Journal of

International Law, Summer, 2011, hal. 329. 23

http://www.unctad.org/dispute/courses, Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview,

hal. 30. 24

Douglas Ierley, “Defining The Factors That Influence Developing Country Compliance With And

Participation In The WTO Dispute Settlement System: Another Look At The Dispute Over Bananas”, Law

and Policy in International Business, 2002. 25

Nandang Sutrisno, ” Substantive Justice Formulated, Implemented, And Enforced as Formal and

Procedural Justice: A lesson From WTO Special And Differential Treatment Provisions For Developing

Countries”, Journal of Gender, Race and Justice, Spring 2010. hal. 678-679.

Page 6: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

399

Dissertations: An Introduction and Guide the Conduct of Legal Research bahwa

pendekatan black letter adalah cara khusus dalam menginterpretasikan apa yang

dianggap sebagai penelitian hukum, termasuk didalamnya bahan-bahan apa saja yang

dianggap relevan. Dengan kata lain, pendekatan ini bukan hanya sekedar membahas

mengenai perspektif saja, atau bahkan gaya dalam mengartikulasikan, tetapi merupakan

skema interpretatif terhadap semua kategori dari cara pandang dan asumsi yang ada,

memperhatikan bekerjanya dua hal tersebut (skema interpretatif dan asumsi) dan

membatasi maksud yang ada didalamnya.26

Dalam konteks yang lain, menurut penulis

pendekatan black letter ini adalah apa yang dianggap sebagai penelitian hukum

normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum untuk

memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta yang tersaji yang

dalam hal ini keberadaannya untuk mengubah keadaan dan menawarkan penyelesaian

yang berpotensi untuk menyelesaikan setiap masalah kemasyarakatan yang konkret27

.

Pilihan tersebut di atas penulis pilih dalam rangka memahami penerapan norma-norma

hukum yang terdapat dalam perjanjian WTO dengan terlebih dahulu mengungkapkan

latar belakang pentingnya perlakuan khusus dan berbeda dalam konteks perdagangan

internasional khususnya.

Dengan demikian, penelitian ini adalah penelitian doktrinal28

yaitu penelitian

untuk menemukan kaedah hukum, dalam hal ini, kaedah hukum tersebut adalah kaedah

yang akan menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis subyek hukum

dalam situasi kemasyarakatan tertentu berdasarkan kerangka tatanan hukum yang

berlaku dengan selalu mengacu kepada positivitas, koherensi, keadilan dan martabat

manusia29

. Dalam hal ini untuk mengetahui keberadaan prinsip perlakuan khusus dan

berbeda dalam sistem perdagangan multilateral WTO.

Pengumpulan Data

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma

hukum, dalam arti law as it is written in the books. Dengan demikian, objek yang

dianalisis adalah norma hukum yang terdapat dalam data sekunder yang dikumpulkan

dengan melakukan studi pustaka, yaitu mengkaji tentang perjanjian-perjanjian yang

26

Michael Salter dan Julie Mason, Writing law Dissertation: An Introduction and Guide to the Conduct

of Legal Research, (England: Pearson Longman, 2007), hal. 44-45. Dalam bukunya, Michael Salter dan

Julie Mason menjelaskan bahwa “A central goal of black letter analysis is to reveal the presence of series

of rules based upon a smaller number of general legal principles defining, for instance, the difference

between valid, voidable and void marriages. The central assumption is that the detailed rules give effect

to, and specify, certain underlying and more general legal principles, such that law can be interpreted as

a more or less rational and coherent system of rules”. Selanjutnya dijelaskan bahwa “…black letter

methodology requires student to rigorously exclude supposedly „external‟ factors, such as policy,

ideological and moral issues regarding same-sex relationships, forced marriages and property ownership

within cohabitation”. 27

Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing,

2006), hal. 162. 28

Ibid., hal. 163. 29

Ibid.,

Page 7: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

400

terangkum dalam WTO Agreement, khususnya yang pengaturan yang terdapat dalam

Agreement on Agriculture.

Adapun data sekunder yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Primary resources, seperti General Establishing of World Trade Organization

dan Agreement on Agriculture.

2. Secondary resources, seperti bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan

hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum mengenai

masalah ekonomi dan perdagangan internasional dalam WTO.

Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode interpretasi.30

Metode ini digunakan dengan melakukan cross-referencing terhadap semua kategori

bahan hukum yang ada, baik aturan, prinsip hukum, fakta hukum dan kasus-kasus yang

ada.31

Dengan metode ini, berusaha untuk menganalisis sumber hukum secara

mendalam dan menyeluruh. Pilihan atas metode tersebut agar dapat diperoleh gambaran

yang menyeluruh dari fenomena hukum yang dikaji. Sehingga dengan demikian

penelitian ini akan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam

penelitian ini.

Results

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa prinsip perlakuan khusus dan

berbeda merupakan upaya positif yang dilakukan terus menerus dalam rangka

mengintegrasikan negara-negara berkembang dan negara terbelakang dalam sistem

perdagangan dunia.32

Adapun yang menjadi inti dari perlakuan khusus dan berbeda ini

adalah negara berkembang dihadapkan pada penafsiran bahwa adanya persepsi

mengenai perbedaan kemampuan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang timbul

akibat dari perjanjian yang ada dalam WTO. Perbedaan kemampuan itu diakibatkan

karena adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki antara negara maju dan negara

berkembang serta negara terbelakang.33

Selanjutnya, dijelaskan bahwa perlakuan khusus dan berbeda ini dapat dibagi

dalam enam kategori, sebagai berikut:34

1. Ketentuan-ketentuan yang ditujukan dalam meningkatkan kesempatan

perdagangan bagi anggota yang berasal dari negara berkembang.

2. Ketentuan-ketentuan yang mengharuskan negara-negara anggota lainnya

melindungi kepentingan dari anggota yang berasal dari negara berkembang.

30

Michael Salter dan Julie Mason, op.cit., hal. 109. 31

Ibid., hal. 113. 32

Peter Van Den Bosche, op.cit., hal. 697. 33

Chiedu Osakwe, “Developing Countries and GATT/WTO Rules: Dynamic Transformations In Trade

Policy Behavior And Performance”, Minnesota Journal of International Las, Summer 2011, hal. 1. 34

Peter Van Den Bosce, op.cit., hal. 697.

Page 8: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

401

3. Ketentuan yang memperbolehkan fleksibilitas komitmen, atas tindakan dan

penggunaan instrument-instrumen kebijakan.

4. Periode waktu transisi.

5. Pendampingan teknis.

6. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan anggota yang berasal dari negara

terbelakang.

Ketentuan mengenai hal ini, karena adanya paradigma yang selalu berkembang

dalam perdagangan internasional, sebagai pertimbangan dengan tujuan diharapkan

adanya perkembangan ekonomi bagi negara-negara berkembang. Konsep mengenai

perlakuan khusus dan berbeda ini didasarkan pada konsep mengenai keadilan, yang

selalu dibenarkan atas suatu paradigma liberalisasi yang mengedepankan kebebasan dan

persamaan.35

Inti dasar dari ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda ini adalah

bahwa kebutuhan-kebutuhan negara berkembang secara substansi berbeda di

bandingkan dengan negara maju, dengan demikian keberadaan perlakuan khusus dan

berbeda ini pada hal-hal tertentu memperkenankan adanya sisi diskriminasi yang

sebenarnya ingin di hindari dalam sistem perdagangan multilateral di bawah WTO.36

Selanjutnya, bahwa perlakuan khusus dan berbeda ini memang mengakui adanya “gap”

dalam pembangunan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang (dan juga

negara terbelakang) sehingga membutuhkan adanya suatu kondisi yang khusus.37

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa aspek pembangunan ekonomi ini

selalu erat dalam kaitannya dengan meningkatkan standar hidup yang layak bagi seluruh

negara-negara di dunia, dimana hal ini telah di tegaskan dalam bagian pembukaan dari

General Agreement on Trade and Tariff 1947 (dan untuk selanjutnya disingkat dengan

GATT). Kemudian, untuk selanjutnya selalu diupayakan mengenai usaha-usaha positif

untuk memastikan bahwa negara berkembang, dan khususnya negara terbelakang, dapat

tumbuh dan merasakan manfaat positif dari adanya sistem perdagangan multilateral.38

Hal inilah yang mendasari adanya usaha-usaha terus menerus dalam

mengintegrasikan negara-negara berkembang dan negara terbelakang dalam sistem

perdagangan di bawah WTO melalui perlakuan khusus dan berbeda. Usaha-usaha

tersebut pada khususnya menerjemahkan lebih lanjut konteks “perlakuan” atau

treatment yang tidak hanya sebatas pada tataran “kewajiban untuk memperhatikan”

saja, tetapi diterjemahkan lebih lanjut dalam suatu keharusan yang wajib di taati atau

yang bersifat “mandatory” dan lebih jauh menerjemahkan perlakuan khusus dan

35

Andrew D Mitchell, “A legal principle of special and differential treatment for WTO disputes”, World

Trade Review, Cambridge University Press, 2013, hal. 447. 36

Ibid., hal. 446. 37

Andrea M Ewart, “Small Developing States In The WTO: A Procedural Approach To Special And

Differential Treatment Through Reforms To Dispute Settlement”, Syracuse Journal of International Law

and Commerce, 2007, hal. 1. 38

Uche Ewelukwa, Special And Differential Treatment In International Trade Law: A Concept In Search

Of Content, Nort Dakota Law Review, 2003, hal. 832.

Page 9: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

402

berbeda dalam suatu rules yang bersifat binding dan rigid dimana tidak ada

pengecualian bagi siapapun anggota WTO, harus mentaatinya.39

Melepaskan diri dari prinsip dasar non-discrimination yang menjiwai seluruh

perjanjian yang terangkum dalam WTO Agreement, keberadaan perlakuan khusus dan

berbeda ini hadir karena timbulnya perbedaan hak dan tanggung jawab yang

dimandatkan oleh perjanjian itu sendiri.40

Perbedaan tanggung jawab ini hadir karena

dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa akan selalu hadir perbedaan

persepsi dalam memikul tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban yang dimandatkan

oleh WTO Agreement. Dimana persepsi ini akan selalu hadir dalam konteks

kemampuan berbeda yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota WTO.41

Adapun pada dasarnya bukan karena adanya keuntungan yang terbagi rata bagi

negara berkembang dalam konteks perdagangan internasional, akan tetapi didasarkan

pada “perbedaan kondisi” dalam rangka menuju hidup yang lebih baik. Selanjutnya,

ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda ini dianggap sebagai legitimate

discrimination atau juga sebagai “illegitimate about tolerated discrimination”.42

Kemudian, apakah kewajiban yang dimiliki oleh negara berkembang sama halnya

dengan kewajiban yang harus dijalankan oleh negara-negara maju lainnya. Inilah yang

mendasari perkembangan dari sistem GATT itu sendiri, dimana adanya upaya berupa

keringanan dan pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang.43

Namun demikian, keberadaan pengaturan ini akan terasa keuntungannya bagi

negara berkembang, jika negara berkembang tersebut memanfaatkan perlakuan khusus

dan berbeda ini. Negara berkembang percaya bahwa efektifitas dari penerapan dan

penegakan perlakuan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara berkembang

dan dapat mengintegrasikan mereka ke dalam sistem perdagangan multilateral. Akan

tetapi, penerapan dan penegakan perlakuan ini dianggap belum dapat berlaku secara

efektif.44

WTO agreement sendiri telah memfasilitasi setidaknya 145 ketentuan

mengenai perlakuan khusus dan berbeda yang tersebar di seluruh perjanjian yang ada.45

Walaupun disisi lain, secara teoritis, dijelaskan bahwa eksistensi mengenai hal

ini dalam perjanjian WTO masih dipertanyakan. Dijelaskan bahwa eksistensi aturan ini

adalah tidak sejalan dengan kebenaran dasar mengenai filosofis dari suatu perjanjian,

yaitu liberalisme. Filosofi liberal dari WTO, sebagaimana yang direfleksikan dalam

prinsip Most-Favored Nation dan National Treatment yang mensyaratkan adanya

39

Chang-Fa Lo, op.cit., hal. 9. 40

Andrea M. Ewart, Esq, op.cit., hal. 35-40. 41

Ibid., 42

Nandang Sutrisno, op.cit., hal. 673. 43

Ibid., hal.675. 44

Andrea M Ewart, op.cit., hal. 7. 45

Andrea M Ewart, op.cit., hal.7. dengan tujuan sebagai berikut”… aim to increase the trade

opportunities of developing countries, commit to safeguard the interest of developing country members,

provide flexibility of commitments, actions and use of policy instruments, provide transtitional time

periods, promise technical assistance, and assist least-developed country members only.”

Page 10: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

403

perlakuan yang setara bagi semua negara anggota. Sedangkan dalam konsep ini

memerlukan perbedaan perlakuan dalam WTO agar adanya keuntungan bagi anggota

dari negara-negara berkembang. Selanjutnya, eksistensi mengenai aturan ini dalam

WTO Agreement adalah didasarkan pada basis rasional mengenai gagasan

pembangunan. Sehingga dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apakah

keberadaan aturan mengenai perlakuan khusus dan berbeda dalam WTO Agreement

telah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang direfleksikan dalam liberalisme

perdagangan internasional.46

Adapun yang menjadi pengertian perlakuan khusus dan berbeda dimaknai

sebagai berikut:47

“The term and special and differential treatment (S&D) refers to trade accords

which have been negotiated to grant developing country export preferential

access to markets of developed countries, and operationalise the notion that

developing countries taking part in trade negotiations have no obligation to

reciprocate fully the concessions they receive. (S&D) also implies longer

timeframes and lower levels of obligations for developing countries for

adherence to the rules. It is a fundamental cross cutting issue for develotping

countries in the Multilateral Trading System (MTS) and is an integral part of the

balance of rights and obligations in the Uruguay Round Agreements”

Hal yang harus dipastikan bahwa keberadaan perlakuan ini adalah dalam rangka

adanya keuntungan yang terbagi dalam kaitannya dengan adanya perbedaan posisi yang

dimiliki dan perhatian yang dimiliki oleh masing-masing negara berkembang.

Sebagaimana ditegaskan dalam bagian pembukaan GATT Ministerial Meeting tahun

1963 sebagai berikut: “in the trade negotiations every effort shall be made to reduce

barriers to exports of less developed countries, but that the developed countries cannot

expect to receive reciprocity rom the less developed countries”.48

Berdasarkan hal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa yang menjadi tujuan

penting keberadaan WTO adalah dalam rangka menciptakan standar hidup yang layak,

adanya hasil yang dicapai atas tiap pekerjaan yang dilakukan, adanya pembangunan

ekonomi yang berkelanjutan dan efektifitas atas permintaan, ekspansi atas hasil-hasil

produksi perdagangan, baik perdagangan barang maupun jasa, serta perlindungan atas

lingkungan dunia. Selain itu, dalam rangka pengurangan tarif dan hambatan lainnya

dalam perdagangan dunia dan untuk mengurangi diskriminasi karena adanya perbedaan

kemampuan antara masing-masing negara49

.

46

Nandang Sutrisno, op.cit., hal.678. 47

Ibid., hal.676. 48

Chang-fa Lo, “From S&D Treatment to S7D Agreement under the WTO: Developing Friendlier Global

Governance of Trade for Devloping Countries”, Asian Journal of WTO & International Health Law &

Policy, March, 2006, hal. 3. 49

Raj Bhala, International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practice, (New York: Matthew

Bender & Company, 2008), hal. 37.

Page 11: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

404

Seperti diketahui bersama, bahwa sebagian besar anggota WTO terdiri dari

negara-negara berkembang, sekurangnya 2/3 dari keseluruhan negara-negara anggota

WTO diklasifikasikan sebagai negara berkembang. Jika melihat kondisinya saat ini,

negara berkembang telah menjadi bagian dari keanggotaan WTO dan telah memainkan

peranan yang sangat penting dalam keorganisasian WTO itu sendiri50

.

Selain kategori negara berkembang, dalam keanggotaan WTO juga dikenal

dengan negara terbelakang atau yang biasa disebut dengan least-developed countries

(negara-negara terbelakang). Setidaknya ada 34 negara terbelakang51

yang telah menjadi

bagian dari keanggotaan WTO.52

WTO Agreement telah memfasilitasi keberadaan perlakuan khusus dan berbeda

yang tersebar dalam berbagai perjanjian yang ada, antara lain pada Agreement on

Textile, Agreements on Trade in Goods; the General Agreement on Trade in Services;

The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property; the Understanding

on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes; and perjanjian lainnya.

Terdapat 145 ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda ini, dimana 22

diantaranya dikhususnya bagi negara-negara anggota terbelakang.53

Berikut ini adalah daftar ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda

yang tersebar di berbagai perjanjian WTO yang ada:54

Perjanjian Jumlah

Berdasarkan

perjanjian

Agriculture and 19

Decision on NFIDCs

Application of SPS Measures 5

Textiles and Clothing 6

Technical Barriers to Trade 16

Trade-Related Investment Measures 4

Implementation of Article VI of

GATT 1994

1

50

Peter van den Bossche, op.cit., hal.14. Perkembangan yang sangat penting yang secara nyata terlihat

adalah ketika terjadi pertemuan tingkat Menteri di Doha Round pada November 2001 dan telah

direfleksikan melalui WTO Work Programme yang diadopsi di Doha. Lihat selanjutnya dalam

http://www.unctad.org/dispute/courses, Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview hal.

19. 51

Dalam situs resminya, WTO mengumumkan 34 negara yang tergolong sebagai Negara terbelakang per

Maret 2013. Akan tetapi, WTO tidak mengumumkan negara-negara mana saja yang dikategorikan

sebagai negara berkembang dan negara maju. Dipersilahkan kepada masing-masing negara anggota untuk

menilai dirinya berada pada kategori yang mana. Lihat selanjutnya dalam http://www.wto.org. 52

Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview, op.cit., 53

Lihat selanjutnya dalam Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in WTO

Agreement and Decisions, http://www.wto.org, Committee on Trade and Development on 25 October

2000, diakses pada 15 Januari 2014.

54

Ibid.,

Page 12: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

405

Implementation of Article VII of

GATT 1994 and Decision on Texts

Relating to Minimum Values and

Imports by Sole Agents, Sole

Distributors and Sole Concessionaires

10

Import Licensing Procedures 4

Subsidies and Countervailing

Measures

16

Safeguards 2

GATS 7

TRIPS 6

Understanding on Rules and

Procedures Governing the Settlement

of Disputes.

11

GATT 1994 Article XVIII 3

GATT 1994 Article XXXVI 8

GATT 1994 8

Article XXXVII

GATT 1994 7

Article XXXVIII

Enabling Clause 4

Decision on Measures in Favour of

Least-Developed Countries

7

Waiver preferential tariff treatment of

LDCs.

1

Total 145

Seperti yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa prinsip perlakuan

khusus dan berbeda adalah salah satu prinsip penting yang menaungi dalam perumusan

berbagai perjanjian WTO. Sebagai salah satu prinsip yang penting, hendaknya prinsip

ini dapat di wujudkan dalam berbagai perjanjian WTO yang ada dalam bentuk

pengaturan konkrit sehingga dapat memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara

peserta WTO untuk dapat mematuhinya.

Pada akhirnya, penerapan prinsip perlakuan khusus dan berbeda terbagi menjadi

6 (enam) kategori dasar, yaitu:55

1. Ketentuan-ketentuan yang bertujukan dalam rangka meningkatkan peluang

perdagangan bagi negara berkembang. Setidaknya terdapat 12 aturan dalam

55

WT/COMTD/W/77 dated 25 October 2000, Implementation On Special and Differential Treatment

Provisions In WTO Agreement And Decisions.

Page 13: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

406

perjanjian WTO mengenai hal ini, antara lain: GATT 1994 (Articles XXXVI-

XXXVIII); Agreement on Agricultur; Textiles and Clothing; the GATS; dan the

Enabling.

2. Ketentuan-ketentuan yang mengharuskan setiap negara anggota menjaga

kepentingan dari negara berkembang. Setidaknya, terdapat 49 ketentuan dalam

13 perjanjian WTO yang mengatur mengenai hal ini, antara lain: Part IV of

GATT 1994; Application of SPS Measures; Textiles and Clothing; Technical

Barriers to Trade; Implementation of Article VI of GATT 1994; Implementation

of Article VII of GATT 1994; Import Licensing Procedures; Subsidies and

Countervailing Measures; Safeguards; GATS; TRIPS; the Understanding on

Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes; the Decision on

Measures Concerning the Possible Negative Effects of the Reform Programme

on Least-Developed and Net Food-Importing Developing Countries dan the

Decision on texts relating to Decision on Texts Relating to Minimum Values

and Imports by Sole Agents, Sole Distributors and Sole Concessionaires.

3. Ketentuan mengenai fleksibilitas atas komitmen, tindakana-tindakan dan

penggunaan instrument kebijakan. Ketentuan ini berkaitan dengan tindakan-

tindakan dari negara berkembang yang mungkin saja akan diambil melalui

pembebasan dari disiplin lain yang berlaku bagi negara-negara anggota secara

umum, pengecualian atas komitmen yang berlaku bagi negara-negara anggota

secara umum, atau untuk mengurangi level komitmen bagi negara berkembang

yang mungkin saja diambil jika dibandingkan dengan anggota lainnya secara

umum. Setidaknya terdapat 30 aturan dalam 9 perjanjian WTO yang berbeda,

yaitu: : GATT 1994 (pasal XVIII and pasal XXXVI); the Agreement on

Agriculture; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures;

Subsidies and Countervailing Measures; GATS; Understanding on Rules and

Procedures Governing the Settlement of Disputes; GATT 1994 Article XVIII;

dan the Enabling Clause.

4. Ketentuan mengenai periode waktu transisi. Ketentuan ini berkaitan dengan

peniadaan keterikatan periode waktu transisi yang secara umum mengikat bagi

negara-negara anggota secara umum. Setidaknya terdapat 18 aturan dalam 8

perjanjian WTO mengenai hal ini, yaitu: Agriculture; Application of SPS

Measures; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures;

Implementation of Article VII of GATT 1994; Import Licensing Procedures;

Subsidies and Countervailing Measures; dan Safeguards.

5. Ketentuan mengenai pendampingan teknis. Menurut ketentuan ini, negara

berkembang (dan juga negara terbelakang) dimungkinkan mendapatkan

pendampingan teknis yang disediakan oleh WTO Secretariat dalam kaitannya

dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan WTO yang dianggap masih terlalu sulit

maupun dalam sengketa yang menghadapkan negara berkembang (dan negara

terbelakang) versus negara maju. setidaknya terdapat 14 aturan dalam 6

Page 14: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

407

perjanjian WTO dan satu putusan, yaitu: Application of SPS Measures;

Technical Barriers to Trade; Implementation of Article VII of GATT 1994;

GATS; TRIPS; Understanding on Rules and Procedures Governing the

Settlement of Disputes; and the Decision on NFIDCs.

6. Ketentuan yang dikhususkan bagi negara-negara anggota terbelakang (LDCs).

Ketentuan ini secara eksklusif diberikan kepada negara anggota WTO yang

termasuk dalam kategori negara terbelakang yang pada intinya dalam rangka

meningkatkan kesempatan perdagangan bagi negara terbelakang dan

pengurangan kemiskinan. Setidaknya terdapat 22 aturan dalam 7 perjanjian dan

3 putusan, yaitu: the Agriculture; Textiles and Clothing; Technical Barriers to

Trade; Trade-Related Investment Measures; GATS; TRIPS; Understanding on

Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes; the Enabling

Clause; the Decision on Measures in Favour of Least-Developed Countries; and

the Waiver for preferential market access for LDCs.

Dengan demikian, bahwa keberadaan prinsip perlakuan khusus dan berbeda

harus terintegrasi dalam setiap perundingan yang dilakukan oleh WTO dan harus

terakomodir dalam berbagai perjanjian yang dihasilkan oleh WTO dalam rangka

menjamin diakomodirnya kepentingan anggota negara berkembang dan negara

terbelakang.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, bahwa keberadaan prinsip perlakuan khusus dan berbeda adalah satu

prinsip penting dalam sistem perdagangan multilateral WTO. Keberadaan prinsip ini

harus mampu mengakomodir kondisi tidak berimbang yang di hadapi baik oleh anggota

negara berkembang dan negara terbelakang dari sisi ekonomi. Keberadaan prinsip ini

pada akhirnya harus membawa misi sistem perdagangan multilateral yaitu dalam

rangka menciptakan sistem perdagangan yang adil dan pengentasan kemiskinan. Pada

akhirnya, keberadaan prinsip ini harus dapat diimplementasikan dalam berbagai

pengaturan yang dihasilkan dalam setiap perundingan WTO sebagai bentuk jaminan

kepastian atas pelaksanaan jaminan kepentingan anggota negara berkembang dan

negara terbelakang.

Kedua, bahwa prinsip perlakuan khusus dan berbeda yang terbagi menjadi 6

kategori telah diimplementasi dalam berbagai perjanjian yang dihasilkan dalam setiap

perundingan WTO. Namun demikian, dalam perjalanan harus terus dilakukan

pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan prinsip ini dalam berbagai perjanjian yang

ada dalam rangka mencapai tujuan WTO sebagaimana di sebutkan dalam bagian

pembukaan dari Agreement Establishing of WTO.

Page 15: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

408

Daftar Pustaka

Agreement Between the World Intellectual Property Organization and the World Trade

Organization (1995); Understanding On Rules and Procedures Governing The

Settlement of Disputes; Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual

Property Rights (TRIPs Agreement) (1994): Provisions mentioned in the TRIPs

Agreement Rome Convention (1961), the Treaty on Intellectual Property in

Respect of Integrated Circuits (1989), the General Agreement on Tarrifs and

Trade 1994 (GATT 1994) and the WTO Dispute Settlement Understanding

(1994) (Geneva: WIPO Publication No.223 (E), 1996.

Annual Report World Trade Organization 2012.

Bossche, Peter Van den. 2005. The Law and Policy of the World Trade Organization.

New York: Cambridge University Press.

Brotosusilo, Agus. 2006. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi

Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui

UndangUndang Anti Dumping Dan Safeguard, (Ringkasan Disertasi Pada

Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006).

Bhala, Raj. 2008. International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practice.

New York: Matthew Bender & Company.

D, Andrew Mitchell, 2013. “A legal principle of special and differential treatment for

WTO disputes”, World Trade Review, Cambridge University Press.

E, Amy Sloan. 2003. Basic Legal Research: Tools and Strategies. New York: Aspen

Publishers.

Fa,Chang-Lo, 2006. “From S&D Treatment to S&D Agreement under the WTO:

Developing Friendlier Global Governance of Trade for Devloping Countries”,

Asian Journal of WTO & International Health Law & Policy, March.

Jane Kelsey, 2005. “World Trade And Small Nations In The South Pasific Region”,

Kansas Journal Law & Public Policy, Winter.

J, Sayera Iqbal Qasim, 2011, “Collective Action In The WTO: A Developing

Movement Toward Free Trade”, University of Memphis Law Review, 2008.

Hoekman, Bernard. “Proposals For WTO Reform: A Systhesis And Assessment”,

Minnesota Journal of International Law, Summer.

Ibrahim, Jhony. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing.

Ierley, Douglas. 2002. “Defining The Factors That Influence Developing Country

Compliance With And Participation In The WTO Dispute Settlement System:

Another Look At The Dispute Over Bananas”, Law and Policy in International

Business.

Juwana, Hikmahanto. 2001. Pidato Pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan

jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Hukum Internasional pada Fakultas

Hukum Universitas Indonesia Depok, 10 November 2001.

Page 16: PRINSIP PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA DALAM … · perdagangan multilateral WTO itu sendiri, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah

SIPENDIKUM 2018

409

Kartadjoemena, HS. 1996. GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga

Internasional di Bidang Perdagngan. Jakarta: UI Press.

M, Andrea Ewart, 2007, “Small Developing States In The WTO: A Procedural

Approach To Special And Differential Treatment Through Reforms To Dispute

Settlement”, Syracuse Journal of International Law and Commerce.

Osakwe, Chiedu. 2007. “Developing Countries and GATT/WTO Rules: Dynamic

Transformations In Trade Policy Behavior And Performance”, Minnesota Journal

of International Las, Summer 2011.

Salter, Michael dan Julie Mason. Writing law Dissertation: An Introduction and Guide

to the Conduct of Legal Research, (England: Pearson Longman..

Sutrisno, Nandang. 2010. ” Substantive Justice Formulated, Implemented, And

Enforced as Formal and Procedural Justice: A lesson From WTO Special And

Differential Treatment Provisions For Developing Countries”, Journal of Gender,

Race and Justice, Spring.

Trebilcock, Michael J. dan Robert Howse, 1995. The Regulation of International

Trade. London: TJ International Ltd.

Ulrich, Ernst Petersman, 1997. International Trade Law and the GATT/WTO Disputes

Settlement System. London: Kluwer Law International Ltd.

Wayne, E. Nafziger, 1990. The Economics of Developing Countries, New Jersey:

Prentice-Hall Inc.

Internet

“Cases on WTO”, <http://www.wto.org>.

Dispute Settlement Training Course Modules, 3.1 overview,

<http://www.unctad.org/dispute/courses>.