22
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol.VI No.2 Tahun 2016 179 POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG PARIAMAN: Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman Makmur Syarif Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract The purpose of this research is to determine factors that cause Poliandry cases, both lead some people to chooce and facilitate poliandry in Padang Pariaman. Qualitative research by using normative law or doctrinal law methods was used. data taken from interview to some informants was analyzed thematically based on the indicators of the study. The result of the study showed that some factors may facilitate people to have poliandry. They are the low educational level, the willingness to make the marital commitement, both the view of figh and positive law. The cases of Poliandry especially for write recorded marriage, and divorce are due to the the lack of comprehension on the a marriage legallity and illegallity beside the knowledge limitattion related with the ban in a marriage before a divorce formally or legally approved. It could be considered by the the office of religious court to educate its societies on the effect of Poliandry. Keywords: Poliandri, pencatatan nikah, perceraian, dan hukum perkawinan. A. Pendahuluan Hukum perkawinan (munakahat) dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu ketentuan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan rinci, baik dalam nash maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, (Anshori & Harahab, 2008). Undang-Undang Perkawinan Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

179

POLIANDRI PADA MASYARAKAT

KABUPATEN PADANG PARIAMAN:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

Makmur Syarif

Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

The purpose of this research is to determine factors that cause Poliandry

cases, both lead some people to chooce and facilitate poliandry in Padang

Pariaman. Qualitative research by using normative law or doctrinal law

methods was used. data taken from interview to some informants was

analyzed thematically based on the indicators of the study. The result of the

study showed that some factors may facilitate people to have poliandry. They

are the low educational level, the willingness to make the marital

commitement, both the view of figh and positive law. The cases of Poliandry

especially for write recorded marriage, and divorce are due to the the lack of

comprehension on the a marriage legallity and illegallity beside the

knowledge limitattion related with the ban in a marriage before a divorce

formally or legally approved. It could be considered by the the office of

religious court to educate its societies on the effect of Poliandry. Keywords: Poliandri, pencatatan nikah, perceraian, dan hukum perkawinan.

A. Pendahuluan

Hukum perkawinan (munakahat) dalam Islam mempunyai

kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu ketentuan tentang

perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan rinci, baik

dalam nash maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, (Anshori & Harahab, 2008). Undang-Undang Perkawinan

Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 menjelaskan bahwa

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Page 2: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

180

Maha Esa. Sedangkan dalam pasal 3 dijelaskan, “Pada asasnya

seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita

hanya boleh memiliki seorang suami. Sementara itu, Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 40 tentang larangan kawin menjelaskan:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan

seorang wanita karena keadaan tertentu: Pertama, karena wanita

yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

Kedua, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan

pria lain;

Ketentuan pasal ini tidak menutup peluang bagi suami untuk

beristeri lebih dari satu karena Indonesia menganut asas poligami

terbuka. Suami yang ingin memiliki dua isteri atau lebih harus

meminta “izin” dari pengadilan dan izin beristeri lebih dari seorang itu

dapat diterima apabila suami telah memenuhi ketentuan Pasal 4

Undang-Undang Perkawinan. Bagi suami yang ingin berpoligami

harus memenuhi persyaratan alternatif dan komulatif sehingga

perkawinan yang dijalani merupakan perkawinan yang sah, baik dalam

pandangan agama maupun pandangan hukum, (Maryani, 2016).

Sedangkan ketentuan bersuami satu orang bagi isteri, hal ini bukan

hanya sebuah peraturan perundang-undangan namun merupakan

ketentuan nash yang mewajibkan isteri hanya memiliki seorang suami,

(Sabiq, 1997). Kecuali apabila perkawinan itu telah disudahi (bercerai)

dan isteri telah menjalani masa iddah. Alasannya sebagaimana yang

dijelaskan dalam QS an-Nisa (4): 24.

Keenggangan beberapa kalangan untuk mencatatkan perkawinan

dinilai sebagai sebuah sikap yang “abai” kepada ketentuan perundang-

undangan. Di daerah Kabupaten Padang Pariaman, para pihak yang

melakukan perkawinan tidak tercatat cenderung menikah sesuka hati

mereka. Apabila salah satu pasangan (isteri) sudah ditinggal suaminya

dan tidak diketahui lagi keberadaannya, maka pihak keluarga akan

meminta isteri tersebut untuk menikah lagi dengan laki-laki lain atau

sebaliknya. Begitu juga ketika mantan suami/isteri yang telah berpisah

itu bertemu dengan laki-laki atau perempuan lain yang mereka sukai

Page 3: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

181

maka mereka akan menikah lagi tanpa mempedulikan pernikahan

pertama atau kedua itu sudah sah dimata hukum atau tidak. Atau

apabila suami yang membenci isterinya kemudian mengatakan,

“engkau sudah aku ceraikan tiga kali”, maka pernyataan itu sudah

dianggap sebagai “ucapan cerai” oleh pasangan suami isteri itu

sehingga mantan suami/mantan isteri berhak menikah lagi dengan

pasangan baru.

Kesalahan dalam memahami hakikat dan makna dari perkawinan

itu, baru diketahui oleh masing-masing pasangan pada saat mereka

membutuhkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari pemerintah, mengurus

akta kelahiran atau pada saat anak-anak sudah memasuki usia sekolah.

Umumnya mereka tidak mampu menunjukkan akta nikah atau akta

cerai sebagai persyaratan umum untuk melengkapi syarat administrasi.

Terdesaknya para pihak yang mencukupkan pernikahan mereka

dilakukan menurut ritual agama saja mengharuskan mereka untuk

berurusan ke Pengadilan Agama, baik untuk mengistbatkan nikah

mereka atau memperoleh akta cerai dari Pengadilan.

Para hakim di Pengadilan Agama Pariaman, tidak serta merta

mengistbatkan semua permohonan istbat nikah yang diajukan ke

Pengadilan Agama. Hanya perkawinan tidak tercatat yang mencukupi

rukun dan syarat pernikahan saja yang dapat diistbatkan nikahnya.

Pada umumnya, penyesalan para pihak baru muncul pada saat mereka

telah melakukan kekeliruan yang besar dalam perkawinan mereka.

Pada saat pembuktian di depan sidang pengadilan, hakim Pengadilan

Agama Pariaman menjumpai fakta bahwa banyak terjadi perkawinan

poliandri, perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari seorang

laki-laki, yang dilakukan masyarakat di wilayah hukumnya.

Terkuaknya fakta tersebut karena dampak dari perkawinan tidak

tercatat dan kesalahan penggunaan “stigma” yang dilakukan

masyarakat. Orang tua yang anak perempuannya ditinggalkan oleh

suaminya atau diceraikan suaminya kemudian menyarankan lagi

supaya anak perempuannya itu menikah lagi. Atau perempuan yang

ditinggal suaminya kemudian menjumpai laki-laki lain yang menarik

Page 4: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

182

hatinya untuk dinikahi, maka perempuan tersebut akan menikah lagi

tanpa mempersoalkan perkawinannya terdahulu. Sebab dalam

anggapannya perkawinannya terdahulu sudah berakhir.

Tindakan masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinan atau

perceraian, sedangkan perkawinan sudah dilakukan berkali-kali, secara

hokum belum dipandang sebagai perkawinan atau perceraian yang

sah. Begitu juga, perkawinan tidak dipandang sah apabila perkawinan

yang memiliki akta nikah, namun akta nikah itu dikeluarkan oleh

pejabat yang tidak ditunjuk undang-undang, misalnya akta nikah yang

sengaja dibuat-buat. Begitu juga, perceraian yang dilakukan secara siri

tanpa memiliki akta cerai kemudian perkawinan kedua dilangsungkan

kembali tanpa dibuktikan dengan akta cerai dengan suami pertama dan

akta nikah dengan suami kedua, maka hal ini yang dimaksud dengan

poliandri dalam penelitian ini (perempuan yang secara hukum belum

sah bercerai dengan suaminya kemudian melakukan pernikahan kedua,

ketiga dan keempat yang tidak tercatat).

Kondisi yang terjadi pada sebagian masyarakat Kabupaten

Padang Pariaman ini pada hakikatnya sama dengan konsep poliandri

secara sosiologis-antropologis, karena sama-sama merupakan

perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan dua/lebih

laki-laki dalam waktu bersamaan.

B. Metode Penelitian

Untuk menyelesaikan isu hukum dalam penelitian ini maka jenis

penelitian ini adalah “Metode Penelitian Hukum Normatif atau

Metode Penelitian Hukum Doktrinal”. Metode ini merupakan metode

kepustakaan Anglo-Amerika yang disebut dengan legal research. Tipe

utama dari Metode Penelitian Hukum Normatif ini adalah “penelitian

yang berupa usaha penemuan hukum inconcreto yang sesuai untuk

diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu,

(Soemitro, 1983). Pada penelitian ini diambil beberapa kasus pada

putusan pengadilan agama Kabupaten Padang Pariaman dengan ciri

Page 5: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

183

spesifik perkara istbat nikah yang berdampak pada munculnya praktek

poliandri liar (satu isteri dengan beberapa orang suami) di Kabupaten

Padang Pariaman.

1. Sumber Penelitian Hukum.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian hukum primer dan bahan-bahan hukum

sekunder. Sumber-sumber penelitian hukum ini yaitu: Pertama, bahan

hukum primer adalah perundang-undangan yang terdiri dari Undang-

Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, PP No.9/1975 tentang

Pelaksanaan UU No.1/1974, UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama

jo. UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama (One Roof System),

jo. UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Intruksi Presiden

No.1/1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam; Kedua, bahan-bahan

sekunder berupa semua publikasi tentang hukum (buku teks penulis dari

Eropa Kontinental, yaitu Belanda dan buku-buku penulis Anglo-

Amerika). Di samping buku teks bahan hukum sekunder dapat berupa

tulisan-tulisan tentang hukum seperti jurnal, artikel, karya ilmiah seperti

skripsi, tesis, disertasi, dan komentar atas putusan Pengadilan.

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti

semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah/ sebagai

inspirasi bagi penulis, (Soekanto, 2004). Dalam hal ini adalah putusan

pengadilan agama tentang perkawinan tidak tercatat; Ketiga,

wawancara, merupakan proses tanya jawab secara lisan dimana dua

orang atau lebih berhadapan secara fisik. Wawancara penting dilakukan

untuk menunjang pengumpulan informasi dalam penulisan, (Subagyo,

1991). Kegiatan wawancara (interview) ini dilakukan dengan

mempergunakan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan

sebelumnya yang disebut dengan interview guide, (Soemitro, 1983) .

Untuk menyelesaikan penulisan penelitian ini, maka wawancara

dilakukan kepada hakim yang menyidangkan perkara, petugas PPN-

KUA dan para pihak yang terlibat perkawinan poliandri liar.

Page 6: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

184

2. Karakteristik Penelitian Hukum

Data dan informasi lainnya diperoleh dengan beberapa metode,

yaitu: Pertama, induktif yaitu suatu metode dalam melakukan

penelitian yang diambil dari informasi khusus kemudian ditarik

generalisasi-generalisasi yang bersifat umum, (Hadi, 1985). Metode

induksi berangkat dari fakta (gejala) tertentu yang diabstraksikan

untuk mencari prinsip apa yang telah dikuasainya sehingga dapat

dibangun suatu hipotesis. Apabila gejala tersebut sudah dikumpulkan

barulah informasi tersebut dianalisis atau diolah. Dalam hal ini

penelitian beranjak dengan menelaah efektifitas aturan hukum dalam

kehidupan masyarakat, peranan lembaga (KUA, BP4 dan wali nagari)

menyikapi tentang banyaknya terjadi nikah siri dan perkawinan tidak

tercatat sehingga memunculkan persoalan sosial dan kasus hukum

baru; Kedua, deduktif yaitu suatu metode pembahasan yang bertitik

tolak dari keterangan-keterangan dan pengetahuan yang bersifat umum

kemudian diarahkan kepada hal-hal yang bersifat khusus. Secara

khusus karakteristik penelitian ini dimulai dengan memperhatikan

premis mayor. Premis mayor adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 2 dan 3 dan KHI Pasal 7 dan 40. Sedangkan premis

minornya adalah banyaknya terjadi pernikahan siri dan tidak tercatat

yang menimbulkan masalah sosial baru dan kasus hukum baru.

Sedangkan isu hukum yang menjadi topik pembicaraan adalah

poliandri liar dalam perkawinan tidak tercatat.

3. Teknik Analisis Data

Untuk menyelesaikan penelitian ini dilakukanlah analisis

kualitatif. Analisis kualitatif pada dasarnya menggunakan pemikiran

logis, analisa dengan logika, dengan induksi, deduksi dan analogi,

(Amirin, 1990). Analisis deskriptif kualitatif digunakan karena teori

masih menjadi alat penelitian sejak memilih dan menemukan

masalah, membangun hipotesis maupun melakukan pengamatan di

lapangan sampai dengan menguji data, (Bungin, 2007).

Page 7: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

185

4. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan yaitu: Pertama,

Pendekatan Undang-Undang (statute approach). Dilakukan dengan

menelaah Undang-Undang yang berkaitan dengan isu hukum yang

sedang diteliti. Dalam hal ini penulis menelaah Undang-Undang

Perkawinan Pasal 2 ayat 1 dan pasal 3, Kompilasi Hukum Islam Pasal

2 - 7, khususnya pasal 7 ayat 3 dan pasal 40; Kedua, Pendekatan kasus

(case approach). Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang sedang dihadapi yang

telah menjadi putusan pengadilan dan telah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Yang menjadi bahan pokok di dalam pendekatan kasus

adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan

untuk sampai kepada suatu putusan. Penelitian kasus ini bertujuan

untuk mengetahui faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya

perkawinan tidak tercatat dan terjadinya poliandri liar. Apabila pada

kenyataannya masih banyak pihak yang belum memahami tentang

perkawinan tercatat dan orang-orang yang boleh/tidak boleh dinikahi,

maka perlu dilakukan sosialisasi tentang undang-undang perkawinan

kepada masyarakat untuk menumbuhkan pengetahuan masyarakat

akan pentingnya pencatatan perkawinan.

C. Temuan Penelitian dan Pembahasan

Kasus poliandri di Kabupaten Padang Pariaman terungkap dalam

perkara yang diajukan sejumlah pemohon ke Pengadilan Agama

Pariaman. Beberapa kasus poliandri yang ditemukan di lapangan

dilakukan seorang isteri dengan beberapa orang laki-laki yang menjadi

suaminya. Kasus ini terungkap dari permohonan masyarakat ke

Pengadilan Agama Pariaman terkait soal istbat nikah/akta nikah

(persyaratan sah perkawinan pemohon I (suami) dengan pemohon II

(isteri). Istbat nikah tersebut dijadikan bukti sah/bukti otentik untuk:

mengurus kartu keluarga, mengurus akta kelahiran/kematian, dan

Page 8: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

186

pembagian harta bersama/warisan. Hal ini terlihat dalam beberapa

kasus yang diterima oleh panitera Pengadilan Agama Pariaman, yaitu:

1. Kasus No. 0019/Pdt.P/2015/PA.Prm, tanggal 9 Maret 2015

Kasus ini terjadi di Korong Paguah Dalam Nagari Kurai Taji

Kecamatan Nan Sabaris antara Suami sebagai pemohon I dan isteri

sebagai pemohon II. Antara pemohon I dan II telah melaksanakan

pernikahan tanggal 29 Agustus 2008 di rumah orang tua pemohon II

Yang bertindak sebagai wali nikah pemohon II adalah kakak kandung

pemohon II yang dihadiri 2 orang saksi. Pada saat pernikahan,

pemohon I berstatus duda cerai hidup yang diputus oleh Pengadilan

Agama Payakumbuh No.250/AC.2007/PA.Pyk tanggal 29 Oktober

2007 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Sedangkan pemohon II

berstatus janda cerai hidup yang diputus oleh Pengadilan Agama

Pariaman No, akta cerai 0244/AC/2014/PA.Prm tanggal 20 Mai 2014

dan dikaruniai satu orang anak.

Bukti nikah pemohon I dan II tidak ada karena tidak memiliki

Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Nan Sabaris. Pemohon I dan II sangat membutuhkan Penetapan

Pengesahan Akta Nikah dari Pengadilan Agama Pariaman guna

dijadikan alat bukti otentik untuk: Bukti nikah Pemohon I dan II; serta

untuk mengurus akta kelahiran anak pemohon I dan II.

Ketika pemohon I dan II menikah pada tanggal 29 Agustus

2008, pemohon II masih berstatus sebagai isteri suami pertama. Oleh

karena itu majelis Hakim menyatakan bahwa terdapat halangan

perkawinan antara pemohon I dan II. Majelis Hakim menyarankan dan

memberi nasehat agar pemohon I dan II mengulang nikah kembali di

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Nan Sabaris Padang

Pariaman. Atas saran dan nasehat dari majelis hakim pemohon I dan II

menyatakan secara lisan untuk mencabut perkaranya yang telah di

daftarkan. Kemudian pemohon I dan II mencabut perkara yang

sebelum tahapan persidangan memasuki tahap mengajukan

permohonan.

Page 9: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

187

Analisis Kasus:

Perkawinan yang dilakukan pemohon I dan II dipandang tidak

sah karena perkawinan itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama

Kecamatan Nan Sabaris, dengan sendirinya pemohon tidak memiliki

Kutipan Akta Nikah. Tindakan ini bertentangan dengan amanat

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa Perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya. Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di samping itu, pada saat pemohon II menikah dengan pemohon

I, pemohon II masih dalam ikatan perkawinan dengan suami pertama

dan belum menerima akta cerai dari Pengadilan Agama. Hal ini

merupakan salah satu larangan perkawinan yang dijelaskan dalam

Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu Pasal 9 bahwa, “Seorang

yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin

lagi.” Oleh karena itu, pemohon II merupakan orang-orang yang

secara hukum berada dalam posisi terlarang untuk dikawini.

Berkaitan dengan pemohon I dan II mencabut perkaranya, hal ini

dapat dibenarkan karena hal ini telah sesuai dengan maksud Pasal 271-

272 RV, meskipun ketentuan ini tidak berlaku lagi, namun untuk

kepentingan beracara dan ketertiban beracara maka ketentuan ini

masih diperlukan sehingga hakim mengabulkan pemohon I dan II

untuk mencabut perkaranya. Tujuannya supaya pemohon II dapat

mengurus terlebih dahulu akta cerai dengan suami pertama.

2. Kasus No. 0169/Pdt.P/2015/PA.Prm, tanggal 16 Noverber 2015

Perkara istbat nikah diajukan oleh pemohon I dan II tanggal 20

Oktober 2015. Pemohon I dan II telah melangsungkan pernikahan di

masjid Nurul Huda Durian Jantung Nagari III Koto Aur Malintang.

Yang bertindak sebagai wali Nikah pemohon II adalah ayah

kandungnya dengan 2 orang saksi. Pada saat melangsungkan

pernikahan, pemohon I berstatus duda cerai mati tanggal 25 Januari

Page 10: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

188

1990 berdasarkan surat keterangan kematian yang dikeluarkan wali

nagari III Koto Aur Malintang. Dari perkawinan pertama itu pemohon

I dikaruniai 2 orang anak.

Sedangkan pemohon II berstatus janda cerai hidup yang

dilakukan di bawah tangan (talak liar) pada tahun 1995. Namun

pemohon II telah bercerai secara resmi dengan suami I di Pengadilan

Agama Pariaman tanggal 14 Juli 2015 dengan bukti akta cerai nomor

278/AC/2015/PA.Prm tanggal 10 Agustus 2015 dan dikaruniai 4

orang anak.

Bukti nikah antara pemohon I dan II tidak ada karena pemohon

I dan II tidak pernah mendaftarkan perkawinan di Kantor Urusan

Agama Kecaman IV Koto Aur Malintang. Sedangkan saat ini

pemohon membutuhkan Penetapan Pengesahan Nikah dari Pengadilan

Agama Pariaman guna dijadikan bukti: Nikah antara pemohon I dan

II serta untuk mengurus akta kelahiran anak pemohon I dan II.

Pemohon I dan II tidak memiliki bukti nikah, maka Hakim

menyarankan untuk mengurus terlebih dahulu bukti nikahnya di

Kantor Urusan Agama di tempat perkawinan dilangsungkan. Sebelum

persidangan masuk ke pokok perkara, pemohon I dan II mencabut

perkaranya karena pada saat pernikahan yang terjadi antara pemohon I

dan II tanggal 4 Januari 1997, pemohon II masih berstatus istri dari

suami pertama dan belum pernah bercerai secara resmi di Pengadilan

Agama. Sedangkan pemohon II baru bercerai secara resmi di

Pengadilan Agama Pariaman tanggal 10 Agustus 2015. Oleh karena

itu perkawinan pemohon I dan II memiliki halangan perkawinan

secara hukum.

Analisis Kasus:

Perkawinan yang dilakukan pemohon I dan II dipandang tidak

sah karena perkawinan itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

Pernikahan pemohon I dan II tidak memiliki akta nikah karena tidak

mendaftarkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) III Koto

Aur Malintang. Tindakan ini bertentangan dengan amanat Undang-

Page 11: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

189

Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2

ayat (1) yang mengatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu. Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Hal yang perlu ditelaah dalam putusan ini adalah perkawinan

yang dilakukan pemohon dengan qadhi nikah yang tidak ditunjuk

langsung oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam

Undang-Undang NO. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,Talak

dan Rujuk. Pasal 1.(1) menjelaskan bahwa,”Nikah yang dilakukan

menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh

pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau

pegawai yang ditunjuk olehnya.”

Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b juga menjelaskan

tentang wali hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan

kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Di samping itu,

sesuai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan juga

menjelaskan, “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang

lain tidak dapat kawin lagi.” Oleh karena itu, perkawinan yang

dilakukan Pemohon memiliki cacat hukum karena tidak dilakukan

oleh wali hakim yang ditunjuk oleh Menteri Agama, tidak dicatatkan

dan secara hukum formal pemohon II merupakan perempuan yang

dilarang untuk dinikahi karena berada dalam ikatan perkawinan

dengan suami pertama yang belum diputus oleh Pengadilan. Inilah

alasan yang menjadikan perkawinan ini dipandang tidak sah dan

ditolak istbat nikahnya oleh hakim di Pengadilan.

Pada dasarnya hakim akan mengabulkan permohonan penetapan

istbat nikah pemohon apabila semua rukun dan syarat telah dipenuhi.

Page 12: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

190

Namun, pada kasus ini, meskipun kelihatannya perkawinan tidak

mendapat gangguan dari pihak III, tidak ada yang pindah agama dan

telah mu’asyarah bi ma’ruf, alasan hakim tidak mengabulkan

permohonan istbat nikah ini adalah pada saat pembuktian di depan

pengadilan, barulah diketahui bahwa pernikahan pemohon I dan II

dilakukan tanggal 4 Januari 1997, sedangkan akta cerai Pemohon II

(isteri) dengan suami pertama dikeluarkan oleh Pengadilan Agama

Pariaman tanggal 14 Januari 2015. Dengan itu, dapat dipahami, bahwa

pernikahan yang terjadi antara pemohon I dan II, tidak dapat

dibenarkan karena masih terikat dengan suami pertama.

Membaca telaah di atas ada beberapa masalah yang ditemukan

dalam putusan ini sehingga hakim menolak istbat nikah dan

perkawinan pemohon II disebut poliandri, yaitu: (a) Pernikahan

dilakukan oleh wali hakim yang tidak ditunjuk Menteri Agama; (b)

Pernikahan dilakukan pada saat pemohon II masih berstatus istri suami

pertama karena secara hukum formal Pemohon II belum memiliki akta

cerai, namun sudah menikah dengan pemohon I.

Terkait dengan pemohon I dan II mencabut perkaranya, hal ini

dapat dibenarkan karena hal ini telah sesuai dengan maksud Pasal 271-

272 RV, meskipun ketentuan ini tidak berlaku lagi, namun untuk

kepentingan beracara dan ketertiban beracara maka ketentuan ini

masih diperlukan sehingga hakim mengabulkan Pemohon I dan II

untuk mencabut perkaranya. Tujuannya supaya Pemohon II dapat

mengurus terlebih dahulu akta cerai dengan suami pertama.

3. Kasus No. 0195/Pdt.P/2015/PA.Prm, tanggal 16 Desember 2015

Pernikahan yang dilangsungkan antara suami sebagai pemohon I

dan isteri sebagai Pemohon II pada tanggal 20 Juli 2009 di Korong

Kampung Cubadak Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago. Yang

bertindak sebagai wali nikah pemohon II adalah ayah kandung

pemohon II dihadapan qadhi nikah yang bernama Tuanku Zuar dengan

menghadirkan 2 orang saksi. Pada saat pernikahan pemohon I

berstatus jejaka sedangkan pemohon II berstatus janda cerai hidup

Page 13: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

191

yang diputus oleh Pengadilan Agama Sijunjung tanggal 20 Desember

2011 dengan akta cerai nomor 2014/AC/2012/PA.Sjj dan dikarunia

anak perempuan tanggal 26 Januari 2016. Bukti pernikahan pemohon I

dan II tidak ada karena tidak pernah mendaftarkan perkawinan di

Kantor Urusan Agama Kecamatan Padang Sago. Pemohon I dan II

membutuhkan penetapan Akta Nikah dari Pengadilan Agama

Pariaman untuk bukti nikah pemohon I dan II dan untuk mengurus

akta kelahiran anak pemohon I dan II.

Analisis Kasus:

Perkawinan pemohon I dan II pada tanggal 20 Juli 2009

dipandang sah sesuai dengan kajian fikih, karena pernikahan

dilakukan oleh wali yang berhak, yaitu ayah kandung pemohon II, dan

menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki. Di samping itu, antara

pemohon I dan II tidak ada hubungan darah, sesusuan serta memenuhi

syarat.

Antara pemohon I dan II juga telah bergaul –mu’asyarah bil

ma’ruf dan telah dikaruniai seorang anak perempuan. Di samping itu,

selama masa perkawinan itu tidak seorangpun yang menggugat

perkawinan pemohon dan pemohon sama-sama beragama Islam.

Namun, hal yang perlu ditelaah dalam putusan ini adalah

perkawinan yang dilakukan Pemohon dengan qadhi nikah yang tidak

ditunjuk langsung oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dijelaskan

dalam Undang-Undang NO. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan

Nikah,Talak dan Rujuk. Pasal 1.(1) menjelaskan bahwa,”Nikah yang

dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi

oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau

pegawai yang ditunjuk olehnya.”

Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b juga menjelaskan

tentang wali hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan

kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Oleh karena itu,

perkawinan yang dilakukan pemohon memiliki cela dan cacat secara

Page 14: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

192

hukum karena tidak dilakukan oleh wali hakim yang ditunjuk oleh

Menteri Agama, tidak dicatatkan dan secara hukum formal pemohon II

merupakan perempuan yang dilarang untuk dinikahi karena berada

dalam ikatan perkawinan suami pertama yang belum diputus oleh

pengadilan. Inilah alasan yang menjadikan perkawinan ini dipandang

tidak sah dan ditolak istbat nikahnya oleh hakim di pengadilan.

Membaca telaah di atas ada beberapa masalah yang ditemukan

dalam putusan ini sehingga hakim menolak istbat nikah dan

perkawinan pemohon II disebut Poliandri: Pertama, pernikahan

dilakukan oleh wali hakim yang tidak ditunjuk Menteri Agama;

Kedua, pernikahan dilakukan pada saat Pemohon II masih berstatus

istri suami pertama karena secara hukum formal Pemohon II belum

memiliki akta cerai, namun sudah menikah dengan Pemohon I.

4. Kasus No. 0041/Pdt.P/2016/PA.Prm tanggal 14 Maret 2016

Kasus ini terjadi di Kecamatan Batang Anai Nagari Kasang

Dusun Tangah Korong Kasai antara suami sebagai pemohon I dan

isteri sebagai pemohon II. Antara pemohon I dan II telah

melaksanakan pernikahan di rumah Qadhi nikah Perumnas Palapa

Korong Pasa Usang pada tanggal 12 Desember 2012. Yang bertindak

sebagai wali nikah pemohon II adalah adik kandung pemohon II

dengan dihadiri dua orang saksi.

Pada saat pernikahan dilangsungkan pemohon I berstatus duda

karena cerai mati tanggal 7 Januari 2012 sedangkan pemohon II

berstatus janda dengan cerai hidup yang diputus oleh Pengadilan

Agama Pariaman tanggal 20 Februari 2013 dengan akta cerai tanggal

20 Maret 2016.

Selama masa pernikahan pemohon I dan II tidak ada pihak

ketiga yang menggangu gugat pernikahan pemohon I dan II dan belum

pernah bercerai. Hal yang rancu dalam pernikahan ini yaitu bahwa

bukti pernikahan pemohon I dan II tidak ada karena tidak pernah

mendaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batang Anai.

Sedangkan saat ini pemohon membutuhkan Penetapan Pengesahan

Page 15: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

193

Nikah dari Pengadilan Agama Pariaman guna dijadikan bukti otentik:

bukti nikah pemohon I dan II, mengurus kartu keluarga, mengurus

akta kelahiran anak-anak pemohon I dan II.

Analisis Kasus:

Perkawinan pemohon I dan II pada tanggal 12 Desember 2012

dipandang sah sesuai dengan kajian fikih munakahat, karena

pernikahan dilakukan oleh wali yang berhak, yaitu adik kandung

pemohon II karena ayah kandung pemohon II telah meninggal. Di

samping itu, antara pemohon I dan II tidak ada hubungan darah,

sesusuan serta memenuhi syarat pernikahan. Baik menurut ketentuan

hukum Islam maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Namun, hal yang perlu ditelaah dalam putusan ini adalah

perkawinan yang dilakukan pemohon dengan qadhi nikah yang tidak

ditunjuk langsung oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dijelaskan

dalam Undang-Undang NO. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan

Nikah,Talak dan Rujuk.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b juga menjelaskan

tentang wali hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan

kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Di samping itu,

sesuai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 9 Undang-Undang Perkawinan

juga menjelaskan, “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan

orang lain tidak dapat kawin lagi.” Oleh karena itu, perkawinan yang

dilakukan pemohon memiliki cela dan cacat dimata hukum karena

tidak dilakukan oleh wali hakim yang ditunjuk oleh Menteri Agama,

tidak dicatatkan, dan secara hukum formal pemohon II merupakan

perempuan yang dilarang untuk dinikahi karena berada dalam ikatan

pperkawinan suami pertama yang belum diputus oleh pengadilan

Dengan beberapa cacat yang dimiliki dalam perkawinan ini,

maka berakibat langsung pada penolakan hakim sehingga dalam amar

putusan ditulis, “Tidak Menerima Permohonan Pemohon I dan II.”

Page 16: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

194

Pada dasarnya hakim akan mengabulkan permohonan penetapan

istbat nikah pemohon apabila semua rukun dan syarat telah dipenuhi.

Alasan hakim tidak mengabulkan permohonan istbat nikah ini karena

saat pembuktian di depan pengadilan, diketahui kondisi pemohon II

masih dalam status perkawinan dengan suami pertamanya, sehingga

dalam hukum perdata Indonesia, pernikahan yang dilakukan pemohon

II adalah pernikahan dengan dua orang suami pada masa satu ikatan

perkawinan.

5. Kasus No. 0005/Pdt.P/2016/PA.Prm tanggal 27 Januari 2016

Kasus yang terjadi di Padang Kabau Mandahiling Nagari Gasan

Gadang Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman antara

suami sebagai pemohon I dan isteri sebagai pemohon II. Antara

pemohon I dan II telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 11

Januari 1992 di KUA Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam Propinsi

Kepulauan Riau. Yang bertindak sebagai wali nikah adalah ayah

kandung pemohom II dengan menghadirkan 2 orang saksi. Pada saat

pernikahan pemohon I berstatus jejaka dan pemohon II berstatus

gadis. Bukti pernikahan pemohon I dan II tidak ada karena pemohon

I dan II tidak mengambil buku nikah tersebut di Kantor Uusan Agama

Lubuk Baja Batam. Di KUA Lubuk Baja Batam data tentang

perkawinan pemohon I dan II tidak ditemukan. Kemudian pemohon I

dan II mengajukan permohonan pengesahan nikah bukti nikah antara

pemohon I dan II dan untuk mengurus akta kelahiran anak-anak

pemohon I dan II.

Namun, sebelum permohonan pemohon I dan II dibacakan,

pemohon I dan II mencabut perkaranya karena sebenarnya status

pemohon II sewaktu melangsungkan pernikahan adalah janda cerai

hidup. Sedangkan bukti cerai pemohon II dengan mantan suami

pemohon II belum ada.

Analisis Kasus:

Hal yang menarik dalam putusan ini adalah bukti pernikahan

pemohon I dan II tidak ada karena pemohon I dan II tidak mengambil

Page 17: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

195

buku nikah tersebut di Kantor Uusan Agama Lubuk Baja Batam. Pada

saat pemohon I menanyakan ke KUA Lubuk Baja Batam, ternyata

data tersebut tidak ditemukan lagi. Selain itu, pernikahan yang terjadi

antara pemohon I dan II, kondisi pemohon II masih berstatus isteri dari

suami pertamanya karena pada saat pernikahan dilakukan, pemohon II

belun memiliki akta cerai dari Pengadilan Agama. Oleh karena itulah

perkara ini dicabut karena pemohon II akan mengurus terlebih dahulu

akta cerainya dengan suami pertama. Setelah akta cerai dari suami

pertama diperoleh, barulah istbat nikah pemohon I dan II diajukan

kembali.

Dari ke 5 kasus di atas, telah terjadi: Pertama, pernikahan tidak

dicatatkan, yang dilakukan oleh qadhi desa (wali hakim yang tidak

ditunjuk oleh Menteri Agama); Kedua, perceraian tidak dilakukan

secara resmi di Pengadilan Agama; Ketiga, status nikah, cerai, bujang

dan gadis tidak jelas bahkan ada yang didustakan.

Dari beberapa poin di atas, telah terjadi poliandri, yaitu

pernikahan yang dilakukan oleh 1 orang isteri dengan beberapa orang

suami dalam 1 ikatan perkawinan. Penyebab terjadinya poliandri pada

beberapa kasus tersebut, disebabkan oleh: Pertama, status perkawinan

yang tidak jelas, yang dialami oleh sebagian masyarakat membawa

akibat terjadinya poliandri; Kedua, kurangnya pengetahuan

masyarakat mengenai pencatatan perkawinan; Ketiga, kurangnya

kesadaran hukum masyarakat disebabkan kekokohan menjalankan

tradisi (menikah dengan Qadhi desa dan tidak dicatatkan); Keempat,

lemahnya pengawasan aparat pemerintahan dalam hal ini, wali

Korong, wali nagari, camat dan khususnya pegawai KUA dalam

mengontrol dan mengawasi masyarakatnya, Kelima, terjadi pembiaran

yang dilakukan wali Korong, wali nagari, camat dan khususnya

pegawai KUA tentang perkawinan tidak tercatat; Keenam, kurangnya

kesadaran dan minat masyarakat untuk menerima penyuluhan hukum

sekalipun penyuluhan hukum itu diadakan di tingkat kecamatan.

Akibat dari perkawinan tidak dicatatkan dan tidak mempunyai

alat bukti resmi, masyarakat menjumpai kesulitan di dalam mengurus

Page 18: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

196

istbat nikah, akta nikah dan akta kelahiran anak. Semua hal ini

disebabkan kurangnya koordinasi dari pejabat pemerintah. Dari

beberapa kasus yang ditemui ini, tampaknya pelaku poliandri tidak

mengetahui tentang larangan perkawinan bagi isteri yang status

perceraiannya belum jelas.

6. Konsep Poliandri Secara Antropologi, Fikih dan Hukum

Positif.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan pandangan dalam memahami

hakikat poliandri, baik poliandri dalam kacamata sosiologis-

antropologis, fikih maupun hukum positif. Sebab ketiga-tiganya

merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan oleh seorang

perempuan dengan dua/lebih laki-laki pada waktu bersamaan. Namun,

kalau dilakukan telaah lebih mendalam kepada apa yang terjadi pada

sebagaian pelaku poliandri di Kabupaten Padang Pariaman, terdapat

tiga jenis poliandri: Pertama, poliandri yang dilakukan oleh

perempuan dimana perkawinan pertamanya sah dan dicatatkan, namun

ketika akan bercerai tidak dicatatkan. Kemudian, perkawinan kedua

juga tidak dicatatkan. Pada kondisi ini, pengadilan dapat

mengistbatkan perkawinan kedua, jika perkawinan kedua itu dilakukan

dengan melengkapi rukun dan syarat perkawinan di pengadilan agama.

Kedua, poliandri yang dilakukan oleh perempuan dimana

perkawinan pertama cerai dan perkawinan keduanya dilakukan dengan

melengkapi rukun dan syarat perkawinan yang sah secara hukum

agama, akan tetapi tidak dicatatkan. Pada kondisi ini pengadilan

agama dapat mengabulkan permohonan isbat nikah dengan cara

mengurus/mengistbatkan pernikahan pertama terlebih dahulu, lalu

memperoleh akta cerai dengan suami pertama dan barulah

memperoleh istbat nikah dengan suami kedua. Dalam kondisi ini,

poliandri terjadi pada perempuan yang dalam kacamata hukum Islam

masih terikat perkawinan dengan suami pertama, tetapi sudah menikah

lagi dengan suami kedua.

Page 19: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

197

Ketiga, poliandri yang dilakukan oleh perempuan yang mana

perkawinan pertama cerai dan perkawinan keduanya dilakukan tanpa

melengkapi rukun dan syarat perkawinan yang sah secara hukum

agama, dan juga tidak dicatatkan. Pada kondisi ini pengadilan agama

tidak mengabulkan permohonan isbat nikah disebabkan tidak

lengkapnya rukun dan syarat perkawinan itu. Pada kondisi ini

perempuan juga memiliki suami pada saat yang bersamaan.

Secara umum poliandri yang terjadi di Kabupaten Padang

Pariaman merupakan perkawinan/perceraian yang tidak tercatat.

Sehingga kitika mereka menikah yang kedua juga tidak tercatat,

akibatnya secara hukum mereka melakukan poliandri, memiliki dua

suami pada waktu yang bersamaan karena belum memiliki akta cerai

dari pengadilan dengan suami pertama. Senanda dengan itu poliandri

adalah sebuah system dimana seorang wanita mempunyai lelaki

sebagai suaminya pada waktu yang bersamaan, (Luintel, 2004).

Sementara itu, penelitian lain menemukan bahwa poliandri adalah

strategi untuk meningkatkan vitalitas reproduksi, (Starkweather &

Hames, 2012).

Munculnya poliandri tidak terlepas dari norma atau kaidah.

Norma atau kaidah bermula dari pandangan-pandangan mengenai apa

yang dianggap baik dan buruk, yang lazim disebut dengan nilai.

Norma atau kaidah timbul dari pola perilaku manusia sebagai suatu

abtraksi dari perilaku berulang-ulang yang nyata (Soekanto, 2004).

Menurut (Kansil & Kansil, 2011) dalam pergaulan hidup dibedakan 4

macam norma atau kaidah, yaitu: Pertama, norma agama, yaitu

peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan dan anjuran

yang berasal dari Tuhan; Kedua, norma kesusilaan, yaitu peraturan

hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Peraturan

itu berupa bisikan kalbu atau suara batin yang diakui dan diinsyafi

oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.

Ketiga, norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari

pergaulan segolongan manusia. Peraturan itu diikuti dan ditaati

sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia yang ada

Page 20: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

198

disekitarnya; Keempat, norma hukum, yaitu peraturan hidup yang

dibuat oleh badan resmi yang berkuasa yang harus dipatuhi oleh

anggota masyarakat yang memiliki sanksi dan bersifat memaksa.

7. Faktor yang Melanggengkan Poliandri di Kabupaten Padang

Pariaman.

Apabila membahas persoalan tentang faktor yang

“melanggengkan” suatu tindakan terlarang (poliandri) sehingga

dilakukan, berarti pada tindakan tersebut terdapat suatu pembiaran dan

ketidakpedulian sebagian masyarakat atas perilaku menyimpang

masyarakat tersebut. Dalam ilmu hukum kondisi ini berkaitan erat

dengan kesadaran hukum masyarakat yang sangat menentukan

terlaksana/tidaknya ketentuan hukum.

Terdapat beberapa hal yang “melanggengkan” poliandri di

Kabupaten Padang Pariaman yang dapat dirangkum, yaitu: Pertama,

rendahnya pendidikan pelaku poliandri dan kurang serius dalam

memperhatikan persoalan perkawinan, baik secara hukum fikih

maupun hukum positif; Kedua, terjadinya poliandri disebabkan juga

oleh kurangnya kesadaran pelaku poliandri tentang pencatatan

perkawinan dan perceraian di pengadilan serta kurangnya pemahaman

masyarakat tentang akibat hukum perkawinan tidak bercatat dan

perceraian di luar pengadilan; Ketiga, kurangnya pemahaman pelaku

poliandri tentang ketidak-sah-an perceraian di luar pengadilan serta

rendahnya pemahaman pelaku poliandri tentang larangan perkawinan

bagi perempuan khususnya dalam status sedang kawin (belum bercerai

secara resmi).

Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan tidak tercatat dan

perceraian yang dilakukan di luar pengadilan yaitu kesulitan dalam

pengurusan istbat nikah, pengurusan akta kelahiran anak, kesulitan

dalam memperoleh hak di hadapan hukum, memperoleh pekerjaan,

hak untuk bersekolah, kesehatan, harta bersama dan kewarisan seta

hak-hak lainnya. Sebagian anak yang lahir dalam perkawinan tidak

Page 21: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender

Vol.VI No.2 Tahun 2016

199

tercatat orang tuanya dan perkawinan itu tidak dapat dibuktikan ke-

sah-annya, maka anak yang lahir dalam ikatan tersebut dinasabkan

kepada ibu dan keluarga ibunya. Akibat lain, anak-anak akan

mengalami kegelisahan, perasaan malu dan tidak percaya diri yang

ditimbulkan dari hubungan nasab yang telah ditetapkan secara hukum

tersebut.

D. Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Disamping itu

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Oleh karena itu, perkawinan poliandri bukanlah

perkawinan yang sah, dan perbuatan melanggar hukum. Hal ini,

merupakan akibat dilangsungkannya perkawinan tidak tercatat.

Melihat kondisi itu, maka koordinasi antar berbagai pihak mutlak

diperlukan agar tidak terjadi poliandri dan kawin tidak bercatat.

Masyarakat harus punya kepedulian terhadap pentingnya kawin

bercatat di KUA dan perceraian di pengadilan dengan memiliki sikap

antusias untuk mengikuti penyuluhan hukum yang disampaikan di

kantor Kecamatan. Diperlukan rasa kepedulian antar sesama

masyarakat untuk saling mengawasi dan mengingatkan akan akibat

dan bahaya perkawinan dan perceraian tidak tercatat. Oleh karena itu

perlu ditingkatkan koordinasi secara terus menerus antara berbagai

pihak sehingga tercipta penegakan dan kepastian hukum yang lebih

terjamin dan terealisasi bagi masyarakat.

Page 22: POLIANDRI PADA MASYARAKAT KABUPATEN PADANG …

Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:

Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman

200

Referensi

Amirin, M. (1990). Tatang. Menyusun Rencana Penelitian.

Anshori, A. G., & Harahab, Y. (2008). Hukum Islam: dinamika dan

perkembangannya di Indonesia. Total Media.

Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,

Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya.

Hadi, S. (1985). Metodologi Research I dan II. Yogyakarta: Fakultas

Psikologi UGM.

Kansil, C. S., & Kansil, C. S. (2011). Pengantar ilmu hukum

Indonesia. Rineka Cipta.

Luintel, Y. R. (2004). GENDER RELATIONS IN POLYANDRY IN

NEPAL HIMALAYA. Contributions to Nepalese Studies,

31(1), 43–83.

Maryani, M. (2016). Perceraian Sirri Menurut Kompilasi Hukum

Islam (Studi Kasus di Desa Parit Kecamatan Sungai Gelam

Kabupaten Muaro Jambi). In Al-Risalah: Forum Kajian

Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 15).

Sabiq, S. (1997). Fikih Sunnah Jilid 6. Bandung: Al Ma’arif.

Soekanto, S. (2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Ed. 1 Cet. 5, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Soemitro, R. H. (1983). Metodologi Penelitian Hukum.

Starkweather, K. E., & Hames, R. (2012). A survey of non-classical

polyandry. Human Nature, 23(2), 149–172.

Subagyo, P. J. (1991). Metode Penelitian: dalam teori dan praktek.

Rineka Cipta.