Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Plagiarism Checker X - ReportOriginality Assessment
Overall Similarity: 0%Date: Dec 11, 2020
Statistics: 0 words Plagiarized / 6571 Total wordsRemarks: No similarity found, your document looks healthy.
EPIDEMI KORUPSI DALAM PALAGAN KEPENTINGAN IDEOLOGIS: Quo vadis Indonesia?
Valentinus Saeng STFT Widya Sasana, Malang Abstract Most people think until now that
the problem of corruption is rooted in subject’s incapacity to internalize ethical and moral
teachings. Analyzing critically re- lations and interactions between nations that is loaded
with universe of inter- est, public understanding of corruption must be changed. The issue
of corrup- tion goes beyond the ethical-moral and psychological sphere. The corruption
today has been transformed into an instrument of domination and of ideo- logical
struggle. It belongs integrally to neo-colonialism and neo-imperialism strategy of
domination and exploitation. Keywords: Korupsi, Ideologi, Logika Dominasi, Sosial Media,
Komunisme. Panggung Republik Indonesia terus disuguhi kisah tragis korupsi yang
dilakoni oleh kaum elit bangsa.1 Babak demi babak tampil di layar kaca dan halaman koran
dengan tokoh yang semakin beragam: mulai dari kalangan pengusaha hingga rakyat biasa,
dari komunitas cerdik pandai sampai mereka yang berkecimpung di partai, dari kalangan
eksekutif dan legislatif hingga yudikatif. Semua lembaga negara dan segenap strata sosial
telah terwakili sebagai pemeran dalam lakon korupsi yang dipentaskan di panggung
raksasa bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila. Yang
pasti: dalam setiap babak pasti terjadi kegaduhan hebat di seluruh Nusantara, karena ada
yang pro dan yang kontra seturut kepentingan masing-masing. 1 Kajian kritis ini
merupakan modifikasi dan elaborasi lebih lanjut dari karya tulis penulis yang berjudul
“Ketahanan Nasional dapat mencegah banalitas korupsi yang menjadi alat ideologi neo-
liberal-kapitalis” ketika mengikuti pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia (Lemhannas RI), PPRA XLIX 2013. Para pemain lakon korupsi itu ada yang
tersandung “dana anggaran siluman”, tertangkap karena “fulus pengemplang pajak”,
terjerat komisi “pengadaan Buku Suci”, korban “tawar menawar perkara di pengadil- an”,
terjebak dalam “alat simulator”, tersedak oleh “daging impor” serta tertimpa bangunan
“rumah atlet”, geger-gegeran antar-institusi penegak hukum akibat kasus “rekening gendut
berjumlah miliaran”, karir politik yang gembos sebab terlibat “pengaturan perkara dana
Bansos (Bantuan Sosial)” dan suguhan terakhir, ribut-ribut – adu mulut antar-pengikut
karena “kasus saham Freeport”. Jumlah pelakon dapat bertambah lagi kalau kasus yang
terjadi di lingkup Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia diikutsertakan. Secara
terang benderang praktik korupsi menggerogoti semua dimensi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hampir tiada wilayah kontak sosial atau ruang publik, terutama dalam relasi
dengan lembaga- lembaga negara dan pemerintahan mulai dari level terendah di daerah
terpencil hingga lembaga tertinggi di pusat pemerintahan terbebas dari perilaku korup.
Pertanyaan mendasar adalah apakah korupsi merupakan fenomena sosial yang sekedar
disebabkan oleh kekurangan pendidikan etika-moral? Atau persoalan korupsi yang begitu
menggurita memiliki dimensi politis- ideologis sehingga memerlukan penjelasan secara
berbeda? Tulisan ini mencoba menelisik fenomena korupsi dari sudut kritik ideologi. 1.
Korupsi sebagai Alat Dominasi Banyak analisa dipapar dan bertumpuk argumentasi
diumbar untuk menjelaskan mengapa korupsi semakin mengakar dan kesadaran moral
begitu memudar.2 Atas sikap biasa dan tanpa dosa kaum tersangka bermacam alasan
dikemukakan. Ada yang menyoroti dari aspek psikologi dan ada pula yang menyodorkan
unsur tradisi, tapi berujung pada lagu lama: koruptor sudah tidak lagi dihinggapi beban
hati karena nurani sudah mati. Namun kematian nurani bukanlah ratio essendi dari
fenomena tanpa rasa bersalah yang diekspresikan para pelaku, mengingat mereka adalah
orang yang peduli dan punya hati untuk anak dan istri, sahabat dan kerabat, keluarga dan
sanak-saudara; kematian nurani merupakan sebuah konsekuensi turunan atau hasil akhir.
Secara substansial akar dari epidemi korupsi yang terjadi di Indonesia lebih baik jika dicari
di 2 Beberapa buku yang mengupas masalah korupsi terutama dari perspektif etika dan
moral: Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi. Jakarta: Penerbit Kompas 2009; Kompas,
Jangan Bunuh KPK. Jakarta: Penerbit Kompas, 2009; Kompas, Surga Para Koruptor, Jakarta:
Penerbit Kompas, 2004. medan pertarungan atau palagan ideologi global kontemporer.
Asumsi penulis, kita mesti menempatkan persoalan korupsi dalam logika dominasi.3
Landasan teoretis untuk menganalisa penyakit korupsi yang begitu mewabah di seluruh
dunia dan terutama di Indonesia dalam konteks pertarungan ideologi dapat ditemukan
dalam pemikiran Herbert Marcuse. Ada dua hal dari pemikiran Marcuse yang dapat
dijadikan sebagai dasar argumentasi untuk meneropong persoalan korupsi, yaitu a)
keberadaan kebutuhan sejati (true need) dan kebutuh- an palsu (false need)4 dan b)
rekayasa masyarakat konsumen (consumer society) yang didesain dan dipaksakan oleh
kekuasaan status quo ke seluruh dunia.5 Kategori “sejati” dan “palsu” sama sekali tidak
terletak pada kualitas produk dan kelayakan untuk dikonsumsi, tetapi pada muatan nilai
yang dimasukkan secara sengaja di dalamnya oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan
dan kepentingan. Selain itu, politik rekayasa yang dilakukan oleh regim ideologi kapitalis
untuk menciptakan masyarakat konsumen global semakin memperkuat kecurigaan kita
bahwa epidemi korupsi di dunia dan Indonesia berada dalam konteks politik rekayasa
tersebut. Dengan kata lain, perilaku histeris massa ketika berada di depan produk, gaya
hidup konsumeristik dan hedonis bukanlah bawaan sejak lahir (innative), melainkan hasil
dari proses internalisasi yang dilakukan secara terprogram, kontinyu dan terpadu melalui
beragam aktivitas propaganda. Jadi, kebutuhan hidup pun dapat dialihfungsikan sebagai
instrumen dominasi dan eksploitasi oleh kekuasaan status quo lewat pembatinan aneka
doktrin dan nilai tertentu. Secara sosio-politik-ideologis, epidemi korupsi bertali-temali
dengan credo konsumerisme-hedonisme dan perilaku konsumtif-hedonis. Orang yang
korupsi merupakan pribadi yang tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Keinginan
dan kerakusannya sedemikian besar, sehingga ia terus berupaya menggarap dan melahap
apa saja yang ada di sekitarnya tanpa peduli dengan batasan nilai etis-moral dan logika
kepantasan. Ketidakacuhan terhadap sistem nilai menandakan bahwa subyek sudah tidak
mampu lagi membedakan secara kritis mana yang hakiki dan mana yang sampingan, yang
benar dan keliru, baik atau buruk, sejati dan palsu. Perilakunya telah menganut asas bebas
nilai dan ukuran tertinggi bagi dirinya adalah pemuasan tuntas-purna semua keinginan dan
kebutuhannya: Ego mensura! 3 Bdk. Paus Franciskus, Evangelii Gaudium, Milano: San Paolo,
2013, no. 60. 4 Lih. Herbert Marcuse, One-Dimensional Man, Boston: Beacon, 1991, 3-5. 5
Bdk. Id., Counterrevolution and Revolt, Boston: Beacon, 1972, 16. Bagaimana perilaku yang
hedonis-konsumeristik, individualis-egoistik dan rakus-korup mesti dijelaskan? Secara
rasional hedonisme-kon- sumerisme dan individualisme-egoisme yang disebarkan secara
masif melalui media sosial serta perilaku rakus-korup yang berulang-ulang dipertontonkan
kepada massa memiliki sasaran dan tujuan yang sangat jelas, yaitu menimbulkan kerusakan
tatanan rasio subyek, sehingga menghasilkan perilaku yang tidak kritis, apatis, egois,
individualis dan korup. Jikalau asumsi demikian dapat diterima, maka wabah korupsi yang
sedang terjadi merupakan konsekwensi dari infiltrasi ideologi besar dunia untuk
menjadikan Indonesia sebagai consumer state.6 2. Korupsi sebagai Produk Ideologi Kita
telah menelaah bahwa permasalahan korupsi di tanah air secara hakiki berada dalam
pusaran pertarungan ideologi global kontemporer yang saling berebut pengaruh untuk
mendominasi dan mengeksploitasi mensch lebensraum dan semua sumber daya yang
terkandung di dalamnya baik di ruang publik maupun privat, ruang teritorial atau
konseptual.7 Peralihan bentuk dan strategi dominasi dan eksploitasi disebabkan oleh ruang
yang semakin sempit untuk agresi dan okupansi wilayah, karena masyarakat dunia semakin
menghargai hak dan martabat manusia serta kedaulatan masing-masing negara. Agresi
dan okupansi suatu wilayah berdaulat tidak hanya akan me- nimbulkan perlawanan dari
penduduk lokal, tetapi juga memunculkan protes keras di dalam negeri agresor, embargo
ekonomi dan militer, pemutusan hubungan diplomatik oleh banyak negara. Contoh terbaru
(2014) dari reaksi berantai akibat agresi dan okupansi teritorial adalah embargo ekonomi,
pembekuan asset dan pengisolasian Rusia, karena merampas Crimea dari Ukrainia. Singkat
kata, agresi dan okupansi wilayah memunculkan lebih banyak beban dan lawan daripada
keuntungan dan persahabatan. Karena itu, untuk mempertahankan superioritas, dominasi
dan eksploitasi, suatu negara dan ideologinya harus menemukan cara baru yang lebih
manusiawi, familiar dan persuasif, namun bekerja secara efektif dan efisien. Dewasa ini kita
sedang menghadapi pola penaklukkan, penjajahan, penghisapan semua sumber daya alam
dan manusia, bentuk-bentuk pengontrolan serta sistem birokrasi dan administrasi gaya
baru, neokolonialisme, neoimperialisme dan neoeksploitasi. Peralihan cara dan 6 Bdk. Ibid.,
16. 7 Dr. Valentinus, Kritik Ideologi. Menyibak Selubung Ideologi Kapitalis dalam Imperium
Iklan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, 159. rupa kolonialisme, imperialisme, kontrol dan
eksploitasi dipermudah oleh kehadiran berbagai macam perangkat teknologi yang semakin
canggih. Karena itu, bukan tanpa alasan jika Herbert Marcuse menegaskan bahwa dunia
modern kontemporer telah berada dalam cengkraman administrasi totalitarian8 dan
dominasi teknologi9 yang sedang dilakukan oleh regim kolonialis global. Dominasi, kontrol
dan eksploitasi tidak lagi menampilkan diri dalam kehadiran tentara dan polisi asing yang
lengkap dengan alat pencabut nyawa. Kekuatan asing kini hadir secara halus dan samar
lewat konsep, gaya hidup, modal, barang kebutuhan, seni, standard hidup, cara kerja dan
lain sebagainya. Penguasaan, penjajahan dan penghisapan sumber- sumber alam dan
manusia kini hadir dalam sistem administrasi, birokrasi, investasi, standard nilai dan
perangkat normatif yang harus diadopsi dan diinstalkan ke dalam pikiran dan mental
subyek.10 Dominasi, kolonisasi, eksploitasi dan alienasi hadir secara ramah dan
tersembunyi. Namun demikian, kehadiran yang halus, familiar dan samar tersebut memiliki
daya paksa, daya kontrol, daya hancur dan daya keruk yang jauh lebih berbahaya dan
mematikan terhadap nalar dan relasi sosial daripada agresi dan okupansi territorial.
Bagaimana dominasi, imperialisasi, kolonialisasi, alienasi dan eksploitasi terhadap manusia
dilangsungkan? Pihak adidaya menjalankan aktivitas dehumanisasi dan pelemahan nalar
kritis subyek melalui propa- ganda yang agresif, massif dan sistematis di media komuniasi
massa dengan terus menerus mempromosikan konsumerisme, hedonisme dan
individualisme, mengintrodusir beragam prinsip teknologi dan gaya hidup yang seirama
dengannya.11 Dalam lingkup kebudayaan, penjajahan dan penguasaan terhadap nalar
kritis dilakukan dengan menyelenggarakan beraneka macam program bantuan, kerjasama,
supervisi, beasiswa, pinjaman, tukar-menukar pelajar/mahasiswa, pemberdayaan masya-
rakat dan kehadiran lembaga-lembaga asing.12 Dari segi relasi dan interaksi antarbangsa
dan negara, diterapkan beragam standard nilai, perangkat normatif dan persyaratan yang
wajib dipenuhi. Akibatnya, pikiran manusia Indonesia hanya membatinkan beragam konsep
tersebut 8 Lih. Herbert Marcuse, One-Dimensional Man, 85, 105. 9 Id., “From Ontology to
Technology” dalam S.E. Bronner & Douglas M.K. Kellner (Eds.), Critical Theory and Society.
A Reader, New York – London: Routledge, 1989, 121. 10 Dr. Valentinus, op cit., 162-163. 11
Bdk. Herbert Marcuse, Eros and Civilization. A Philosophical Inquiry into Freud, Boston:
Beacon Press, 1974, 44-45. 12 Bdk. Jürgen Habermas, Technik und Wissenschaft als
Ideologie, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1969, 48. yang justru mendeskreditkan budaya,
adat kebiasaan, kearifan lokal dan kepentingan nasional. Akibat langsung dari penumpulan
daya nalar dan penjajahan konseptual adalah kita tidak cerdas mencermati pola relasi dan
interaksi antarbangsa, mengidap mentalitas inlander dan mengagung-agungkan kehebatan
negeri lain. Yang memiriskan hati adalah anak-anak bangsa yang bekerja atau dipercaya
orang asing cenderung pongah ketika bergaul dan berhadapan dengan saudara sebangsa
serta bersikap acuh tak acuh terhadap budaya, tradisi, sistem nilai dan urusan dalam negeri.
Mereka menjadi lebih asing daripada orang asing sendiri. Lebih memalukan lagi, para kaki
tangan asing itu tidak sadar kalau mereka adalah kuli berdasi orang luar negeri, karena
pikirannya sudah dicuci serta dimanipulasi dengan prestise semu dan status sosial palsu.
Hasil penjajahan dan pumpulan nalar memperlihatkan diri dalam perbudakan yang
membahagiakan dan eksploitasi yang membangkitkan harga diri di antara anak-anak
negeri. Pertanyaan penting ialah ideologi macam apa yang memiliki kemampuan untuk
melakukan neokolonialisme, neoimperialisme, neo- eksploitasi, administrasi total-
autoritarian dan menciptakan kesadaran palsu yang menyenangkan di seluruh dunia dan
Indonesia? Setelah pertarungan ideologi yang berdarah-darah antara liberalisme-
kapitalisme dan marxisme-komunisme yang berakhir dengan keruntuhan tembok Berlin,
simbol regim ideologi marxis-komunis, maka secara politik dan ekonomis dunia global
berada dalam cengkeraman liberalisme dan kapitalisme. Meskipun demikian, dewasa ini
liberalisme dan kapitalisme tidak dapat menjadi penentu skala nilai bagi warga global
secara sepihak, mengingat masih banyak paham dan keyakinan lain, baik pada ranah sosio-
filosofis maupun ranah religius yang harus dihadapi. Secara konseptual liberalisme
merupakan sebuah doktrin filosofis, sosial, politik dan ekonomis yang mengajarkan dan
membela hak-hak asasi manusia dan kebebasan absolut setiap individu untuk melakukan
segala sesuatu yang dianggap bernilai dan berguna untuk aktualisasi diri. Secara historis
liberalisme berakar pada visi agama Kristen tentang kewajiban umat kristiani guna
mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Upaya perwujudan Kerajaan Allah tersebut
dilangsungkan dengan mengolah alam dan menyelaraskan pemanfaatannya demi kebaikan
dan keselamatan manusia.13 Jadi, dalam kristianisme ada keyakinan pada kemampuan
manusia dan semangat kemajuan. 13 Thomas P. Neill, Ph. D, The Rise and Decline of
Liberalism, Milwaukee: The Bruce Publishing Company, 1953, 33. Dalam keharusan manusia
untuk mengolah alam agar menjadi sumber-sumber penghidupan dan sarana keselamatan
secara implisit terkandung konsep tentang hak manusia atas semua sarana yang diperlukan
untuk mendapatkan keselamatan dan kebebasan untuk hidup sebagai manusia yang
bermartabat. Gagasan tentang hak, kebebasan dan martabat pribadi yang khas kristiani
tersebut kelak akan dikembangkan oleh banyak pemikir Barat baik yang teistik maupun
gnostik-ateistik dari abad-abad kemudian dan dirinci ke dalam berbagai jenis hak asasi.14
Jadi, hak dan martabat manusia lahir dari hakikatnya sebagai citra Allah sendiri. Dari sekian
jenis hak yang dirincikan, masyarakat abad pertengahan yang dimotori oleh kelas
menengah, menuntut hak pribadi atas tanah dan perlindungan terhadap kebebasan
pribadi.15 Setiap orang hendaklah diberi ruang dan peluang untuk memiliki tanah sebagai
sumber penghidupan bagi dirinya maupun keluarganya, mengolah dan me- manfaatkan
hasilnya bagi kelangsungan hidupnya. Tanpa memiliki tanah, maka kelestarian hidup
keluarga berada dalam ancaman maut. Singkat kata, kebebasan yang dituntut adalah
kebebasan untuk mewujudkan semua kemampuan individu dan penggunaan semua sarana
yang diperlukan untuk hidup sesuai dengan martabat pribadi sebagai citra Allah. Dalam
perspektif ini, kebebasan mediovale berciri positif.16 Dalam perkembangan berikut,
terutama di penghujung mediovale berkembang individualisme sebagai suatu konsekuensi
dari tuntutan individu untuk memberikan ruang kebebasan absolut baginya dalam upaya
mewujudkan diri tanpa harus terikat dengan ajaran gereja dan semua otoritas kekuasaan
masyarakat feudal. Individualisme absolut terutama bertumbuh di lingkungan masyarakat
kelas menengah yang anti-klerikal dan anti-aristokrat.17 Puncak dari gerakan
antiklerikalisme dan anti-aristokrat adalah reformasi Lutheran yang disusul oleh Kalvin dan
Zwingli yang melahirkan aliran-aliran Protestan. Gerakan reformasi yang didukung oleh
kekuasaan politik, terutama para raja dan tuan tanah untuk melepaskan diri dari kekuasaan
dan pengaruh Roma merupakan cikal bakal dari kapitalisme. Selama abad pertengahan
telah bermunculan kota-kota baru dengan pasar yang cukup hidup. Meskipun demikian,
kehadiran kota-kota baru itu dan pasar- pasarnya barulah benih dari kapitalisme.
Kapitalisme baru akan lahir 14 Ibid., 34 15 Ibid. 16 Ibid., 35. 17 Ibid., 38-39. beriringan
dengan kemunculan agama Protestan. Apa artinya? Selama masa Reformasi tanah milik
gereja yang sangat luas dibagi- bagikan oleh para pangeran dan dijadikan milik pribadi.
This freeing of the land from institutional ownership was like dynamiting a log jam on a
river. It removed one of the obstacles to the development of a market economy, which we
shall see later is an essential part of Liberalism, and putting additional vast amounts of land
under individual ownership was a big step in the direction of capitalistic agriculture – the
element from which came the first demands for fee trade.18 Secara sosial-politik,
liberalisme memahami masyarakat dan negara sebagai hasil kesepakatan antarindividu
yang berdiam di suatu wilayah dan terus berada dalam konflik dan pertarungan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan melestarikan eksistensi diri.19 Untuk mencegah konflik
dan perang, maka individu-individu sepakat menyerahkan sebagian dari hak-haknya
kepada sebuah lembaga untuk mengatur, menata, mengawasi, memerintah dan bahkan
menghukum bila terjadi pelanggaran atas kesepakatan. Lembaga tersebut adalah
negara.20 Meminjam istilah Hobbes, negara adalah Leviathan, mahakarya nalar yang lahir
dari kesadaran bellum omnes contra omnia yang disebabkan oleh kebebasan absolut
individu.21 Secara ekonomi, liberalisme mengedepankan tata niaga laissez-faire sebagai
wujud dari apresiasi terhadap kebebasan individu dan meng- hindari campur tangan
negara. Landasan argumentasinya adalah keidentikkan kepentingan pribadi dengan
kepentingan umum. Negara harus membiarkan kompetisi antarindividu untuk
mengembangkan usaha dan mendapatkan hasil, karena dengan cara itu kepentingan
umum akan terwujud secara alamiah. Wujud konkret dari sistem ekonomi liberal ialah
kapitalisme. Secara hurufiah kapitalis (Latin caput = kepala) mengacu pada upaya untuk
mempertahankan kepala atau secara simbolis melestarikan kehidupan individu sebagai
subyek yang bebas-merdeka, otonom dan unik dalam lingkungan masyarakat. Dalam
konteks ekonomi, kapitalisme merupakan doktrin tentang relasi dan interaksi serta praksis
ekonomi yang berkenaan dengan hak setiap orang dan kelompok untuk melakukan
aktivitas jual-beli atas hak milik dan hasil kerjanya di pasar bebas. Pasar harus bebas dari
segala aturan dan campur tangan negara, 18 Ibid., 43. 19 Bdk. Thomas Hobbes, Leviathan,
New York: Oxford University Press, 1996, 86-95. 20 Ibid. 21 Ibid. karena menjadi tolok ukur
bagi setiap produk22 dan kepentingan pasar menjadi hukum tertinggi.23 Ruang bagi
setiap orang dan kelompok untuk mengelola modal, melipatgandakan modal dan
keuntungan serta menginvestasikannya kembali harus diberi kebebasan maksimal.
Kapitalisme yakin bahwa harta-benda mempunyai nilai dan dapat diuangkan, semua relasi
dan interaksi antar-manusia selalu dilandasi dan diatur oleh pertimbangan modal serta
pelipatgandaannya. Jadi, modal adalah sebab, motiv dan tujuan dari setiap aktivitas kerja
manusia. Aktivitas melipatgandakan modal dan keuntungan menjadi mudah berkat alat-
alat teknis yang sanggup berproduksi dan menghasilkan produk tanpa batas. Akibatnya,
secara sosial masyarakat terbagi ke dalam dua kelas sosial yang saling berhadapan: kelas
pekerja dan kelas pengusaha,24 rakyat jelata dan kaum penguasa, dan secara ekonomis
ter- bentang jurang antara hasil produksi dan daya konsumsi. Bayang-bayang kehancuran
ekonomi berada di depan mata. Untuk mencegah kehancuran dunia industri, maka kaum
kapitalis mencari konsep baru, strategi baru dan format baru yang mampu memacu
permintaan dan konsumsi masyarakat serta pembukaan pasar-pasar baru di seluruh
dunia.25 Konsep baru ialah stimulasi dan manipulasi insting, meredam nalar, menciptakan
kebutuhan palsu.26 Strategi yang dilakukan ialah merayu, membuat ragu, membuat malu,
mendorong rasa tak percaya diri pada apa yang dimiliki dan sekaligus memberikan tip dan
terapi lewat produk- produk terberi. Singkat kata, kapitalisme menciptakan credo baru
berupa konsumerisme dan hedonisme dan memakai iklan sebagai medium pro- paganda
untuk menciptakan kebutuhan palsu, idola palsu, event-event palsu, kesenangan semu27 di
kalangan konsumen global guna men- ciptakan sebuah consumer society yang berskala
mondial.28 Peradaban kontemporer sedang berhadapan dengan penaklukan gaya baru
oleh para penganut setia neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Mereka mengalihkan
palagan dari ruang terbuka ke dunia maya, dari zona teritorial ke wilayah konseptual.29
Mesin perang masih diandalkan 22 Karl Marx, Grundrisse der Kritik der politischen
Ökonomie, Frankfurt: Europäische Verlagsanstalt – Wien: Europa Verlag, 1939, 1941, 302.
23 Valentinus Saeng, CP, Herbert Marcuse. Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global,
Jakarta: Gramedia, 2012, 130. 24 Marx-Engel, Werke, Bd. 3 (Deutsche Ideologie), Berlin:
Dietz, 1958, 76. 25 Analisa yang tajam dan rinci dalam Jean Baudrillard, The Consumer
Society, London: SAGE Publications, 1998. 26 Bdk. Herbert Marcuse, One-Dimensional Man,
3-5. 27 Lih. Jean Baudrillard, The Consumer Society, London: SAGE Publications, 1998,
125-126. 28 Herbert Marcuse, Conterrevolution and Revolt, 23. 29 Dr. Valentinus, op cit.,
124-126. namun skalanya kian berkurang karena merugikan. Sementara dominasi dan
eksploitasi gaya baru lebih menguntungkan, karena tidak membuat korban merasa gerah
dan marah; malah para korban semakin bergairah dan banyak tingkah. Prinsip hidup yang
digemborkan oleh regim lib- eral-kapitalis kepada para korban bermotto: consumo, ergo
sum – saya mengkonsumsi, maka saya ada.30 Neokolonialisme dan neo-imperialisme kini
membangkitkan gengsi dan harga diri, menyulap korban dari orang biasa menjadi selebriti
dunia. Itulah alienasi konsumsi,31 penjajahan yang membahagiakan. 3. Kehancuran
Tatanan Rasio Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio yang mengandung arti hancur,
busuk, lapuk, rusak. Terminologi korupsi digunakan baik pada ranah filsafat metafisik
(ontologi dan epistemologi) maupun ranah etika dan moral. Dalam pengertian metafisika,
istilah korupsi dikenakan pada ens materialis, ada material yang dapat dicerap oleh panca
indra dan menjadi asal muasal bagi semua pengetahuan indrawi. Secara filosofis dikatakan
bahwa korupsi merupakan ciri dasar semua ada fisik-indrawi. Sementara itu, dalam
khazanah etika dan moral, terminologi korupsi dipakai untuk menunjukkan kehancuran
tatanan akal budi, kelapukan kesadaran, ketumpulan nurani, corruptio mentis yang
dituangkan dalam sikap dan perilaku individu. Landasan epistemologis kehancuran rasio
bertumpu pada prinsip jiwa sebagai lentera badan. Meskipun kita tidak mengenal dualisme
jiwa badan, karena badan adalah badan yang menjiwa dan jiwa ialah jiwa yang membadan,
secara niscaya tetap berlaku distingsi yang bertumpu dan mengalir dari diferensi generis
dan diferensi spesifik. Manusia sui generis adalah binatang, kebinatangan yang mewujud
dalam badan dengan segala kebutuhannya. Namun ditinjau dari sudut spesies, manusia
adalah animal rationale, makhluk berbudi, binatang ber- kesadaran.32 Rasionalitas adalah
ciri khas, hakikat, tanda penunjuk dan sekaligus daya penggerak bagi seluruh aktivitas
badaniahnya. Karena itu, pada lingkup etis-moral, keputusan pribadi serta perwujudannya
dalam sikap hidup dan tingkah laku merupakan ekspresi, manifestasi, realisasi dari dan
eksekusi atas konsep, keyakinan, kesadaran dan kepercayaan terhadap suatu (sistem) nilai.
30 Ibid., 233. 31 Ibid., 241. 32 Bdk. Aristotele, Etica Nicomachea (I, 13), Milano: Biblioteca
Universale Rizzoli, 1996, 135- 141. Di dalam setiap keputusan dan tindakan konkret individu
diandaikan secara niscaya unsur penalaran, pengertian, pemahaman, pilihan dan
persetujuan, sehingga keputusan dan penerapannya dalam ruang hidup individual dan
ruang lingkup sosial memiliki bobot etis-moral. Memiliki bobot etis-moral berarti bahwa
sikap dan tindakan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan. Bobot moral dari suatu
keputusan dan pe- laksanaannya semakin bertambah manakala sifat dan ruang
cakupannya bersinggungan dengan institusi publik dan menyangkut kepentingan hidup
bersama. Adalah mustahil bahwa sebuah kebijakan publik dari lembaga pemerintahan
negara muncul begitu saja tanpa ada pertimbangan dan perhitungan. Justru karena
karakter dan sasarannya adalah publik, maka kita berkeyakinan bahwa keputusan dan
kebijakan apapun secara niscaya telah melewati beragam fase eksaminasi dubitativ
Cartesian33: perdebatan soal rasional - irasional, pertimbangan etis-moral baik – buruk,
perhitungan ekonomis untung – rugi dan penilaian manfaat berguna- mubazir. Dengan
demikian, keterlibatan seseorang dalam perbuatan korupsi merupakan sebuah keputusan
rasional, lahir dari niat jahat pribadi untuk berbuat melawan hati nurani dalam tata batin
dan norma hukum dalam realitas dan ranah sosial. Apa penyebab kerusakan rasio?
Kehancuran tatanan rasio koruptor merupakan kombinasi dari kekerdilan nurani subyek,
keburukan moral yang menggerogoti semesta relasi serta interaksi di lingkungan sosial dan
konsekwensi dari pusaran pertarungan ideologi global untuk memperebutkan hegemoni
dalam ruang kesadaran maupun ruang teritorial. Dalam lingkup subyek, kekerdilan nurani
merupakan konsekwensi dari cacat pusaka atau dalam bahasa religius, dosa asal yang
bersifat laten. Secara prinsipil dan eksistensial manusia membawa-serta dalam dirinya
kecenderungan untuk berbuat buruk, termasuk melakukan tindak korupsi. Karena itu,
setiap agama dan kebudayaan berupaya meminimalisir kecenderungan terhadap
keburukan melalui proses pendidikan budi pekerti guna mempertajam kesadaran nurani,
sehingga dalam hidup sehari-hari manusia mengutamakan kebajikan dan mampu
menghindarkan diri dari keburukan moral atau tindak kejahatan. Sayang sekali bahwa
dalam lingkup sosial Indonesia, pendidikan budi pekerti, budaya kebajikan, perilaku jujur,
adil dan terpuji kurang mendapat tempat, bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun.
Sekolah yang secara prinsipil dan praksis an sich harus menjadi ujung tombak, batu
penjuru dan kawah candradimuka dalam pendidikan etika dan moral, mengutamakan sikap
jujur, tekun, adil, obyektif, menghargai 33 Bdk. Descartes, Discorso sul metodo, (trad. Maria
Garin), Bari: Laterza, 1998, 25-27. kemajemukan, menanamkan rasa kemanusiaan malah
menjadi pelopor dalam bertindak curang, bersikap tidak adil, mendorong perilaku rasis dan
diskriminatif, turut memacu sikap yang antikemajemukan dan antikemanusiaan. Dunia
pendidikan di tanah air telah beralih fungsi dari laboratorium sosial yang pro kebajikan,
kejujuran, obyektivitas, keadilan, persamaan harkat dan martabat manusia tanpa
memandang suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) menjadi locus delicti dari
berbagai macam perbuatan buruk secara moral dan tindakan melawan hukum. Sejak usia
dini dunia pendidikan nasional telah menjejali kesadaran subyek bina dengan pola pikir
dan tata perilaku yang dikotomistis, rasis dan diskriminatif seperti terungkap dalam istilah
sekolah negeri dan sekolah swasta, kelompok mayoritas dan minoritas, pribumi dan non
pribumi, Jawa dan luar Jawa serta berbagai macam sebutan dan simbol. Dari sudut
pembatinan nilai-nilai etis-moral dan pembentukan karakter subyek bina, praksis yang
berlaku umum di sekolah dan kampus bukanlah penajaman kesadaran untuk bekerja keras,
bersikap tekun dan jujur. Sekolah dan kampus malah mendorong pelapukan kesadaran
dengan membiarkan nyonteks massal pada saat Ujian Nasional dan memperjual-belikan
ijasah. Staf pengajar pun banyak yang bermain nilai untuk mendapatkan uang dan
memfasilitasi bisnis skripsi, tesis dan disertasi, melakukan pungutan liar dan kongkalikong
dengan anggaran pendidikan. Semua kebejatan moral tersebut yang dipelopori oleh
mereka yang secara moral, sosial dan politis harus ditiru dan digugu terjadi secara
sistematis, terstruktur dan berskala nasional. Jadi, corruptio mentis manusia Indonesia telah
disemai sejak pendidikan di sekolah dasar. Dari situasi pendidikan yang serba korup itu,
jangan heran bila hasil akhir dari dunia pendidikan nasional yang sudah tidak
mengindahkan kerja keras, ketekunan, kejujuran, keadilan, obyektivitas, harkat dan
martabat pribadi, hak dan kewajiban adalah anak-anak bangsa yang dalam semua praksis
hidupnya menganut prinsip homo homini lupus dan pola relasi nepotis, kolusif, rasis,
diskriminatif, korup dan logika ekonomi- kekuasaan. Semesta relasi dan interaksi individu
selalu tunduk pada kepentingan kekuasaan dan uang, baik dalam artian penguasa yang
memegang otoritas maupun kelompok yang mempunyai daya tawar lebih kuat. Jadi,
praksis yang berlangsung di ruang publik Indonesia adalah penghilangan distingsi antara
yang rasional dan irrasional, baik dan buruk, adil dan durjana, halal dan haram. Demi
kekuasaan dan kesenangan, kekayaan dan kemapanan kaum penguasa, tuntutan iman dan
kepercayaan untuk berbuat kebajikan, kewajiban moral sosial untuk mengutamakan
kesejahteraan umum berlandaskan kemanusiaan, keadilan sosial dan keadaban dinetralisir
dan dibatalkan. Korupsi telah dikeluarkan dari larangan moral agama dan pantangan etika;
korupsi berada pada tataran estetika dan masuk dalam ranah sensualitas belaka. Sungguh,
bangsa Indonesia sedang mengalami senja kala roh kemanusiaan, mati suri aura keadaban,
kehilangan energi keadilan, kebijaksanaan dan kearifan yang menjadi sesanti dan intisari
Pancasila. 4. Banalitas Korupsi Dari wacana yang mengemuka dan tata laksana
pemerintahan negara yang sudah berjalan lama ternyata korupsi dianggap dan di- lakukan
oleh masyarakat dan pejabat sebagai bunga administrasi belaka. Berdasarkan data yang
dirilis oleh Transparancy International tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
menduduki peringkat 118 dari 197 negara yang disurvei.34 Dari indeks tersebut bisa
dikatakan bahwa korupsi telah menjadi penyakit akut dan bencana nasional. Keakutan dan
status bencana itu dikonfirmasi oleh praktik yang berlangsung dalam tata kelola
pemerintahan negara. Kita dapat dengan mudah melihat atau mengalami sendiri bahwa
mulai dari jalan raya hingga ruang-ruang kerja, uang siluman dan pungutan sudah biasa
berseliweran. Semua dipersepsi dan disikapi sebagai transaksi yang mentradisi dalam
logika relasi dan interaksi yang diatur dan dikelola seturut logika hukum penawaran dan
permintaan, produksi dan konsumsi, kebutuhan dan pemenuhan antara rakyat dan
pejabat.35 Korupsi seakan-akan menjadi menu harian yang wajib tersedia di atas meja
penguasa yang telah bersumpah untuk menjadi abdi negara dan melayani kepentingan
seluruh bangsa tanpa pilih kasih dan pandang bulu demi mewujudkan negara-bangsa yang
adil dan merata. Itulah paradoks Indonesia, bangsa yang secara tegas dan lugas
menempatkan iman kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa dalam credo ideologi
nasionalnya. Berdasarkan praksis yang berjalan dalam keseluruhan jalinan relasi dan
interaksi semua warga sebangsa, secara sosial korupsi tampak menciptakan zona aman
sebagai tempat perlindungan dari bahaya kelaparan, kemiskinan, kekurangan,
keterisolasian, ketertinggalan, stigma kampungan dan gagap ketenaran. Korupsi
menggemukkan badan, menambah pundi-pundi kekayaan, memperbanyak teman-rekan-
kenalan, membuat hidup keluarga serta kerabat serba aman, nyaman dan mapan. Buah-
buah korupsi berhasil menaikkan gengsi dan harga diri, membuat percaya diri tatkala
menjalin relasi dan berinteraksi, sehingga berhasil membuat pelaku masuk dalam kalangan
selebriti. 34 Lih. https://www.transparency.org/cpi2014/results. 35 Kompas. op cit., Bab I:
Surga Para Koruptor, Bab II: Bancakan Uang Rakyat di Senayan, 3-47, 48-56. Dari aspek
kesadaran moral, korupsi tidak lagi menimbulkan rasa bersalah yang membuat gundah
maupun rasa takut akan sumpah serapah rakyat yang marah. Ketika malam tiba, mata tetap
bisa terpejam tanpa beban pikiran, walaupun dinamika hidup harian sarat dengan
“transaksi” yang an sich bertentangan dengan hati nurani dan iman kepercayaan. Bahkan
dari kesan dan pesan yang diisyaratkan oleh bahasa badan para koruptor pesakitan,
terpancar rasa bangga karena menjadi aktor-aktris dadakan yang menghiasi pemberitaan
televisi dan koran. Kalaupun mereka menangis, tangisan itu bukanlah tanda penyesalan
atas kejahatan yang telah dilakukan, melainkan karena dijatuhi hukuman yang tidak sesuai
dengan kesepakatan yang telah dilakukan dan bayaran yang akan berikan. Manakala tindak
korupsi tak lagi mengusik nurani, ketidakwajaran dianggap sebagai kenormalan, deviasi
diperlakukan sebagai substansi dalam tata kelola negara, maka bangsa kita saat ini
berhadapan dengan, meminjam istilah Hannah Arendt, banalitas korupsi.36 Korupsi
menjadi banal justru karena sikap pelaku yang sama sekali tidak ragu dan ambigu dalam
melakukan sesuatu yang jelas keliru. Secara manusiawi pelaku korupsi bukanlah orang
yang bertingkah “aneh-aneh”, berkepribadian ganda atau munafik seperti yang kerap
dituduhkan. Koruptor merupakan pribadi yang berperilaku waras, selalu awas dan berpikir
cerdas, bersikap ramah dan bahkan rajin beribadah. Jika demikian, apa yang menjadi
penyebab mereka melakukan korupsi? Sikap wajar pelaku dalam melakukan tindak korupsi
berasal dari pola berpikir yang tidak kritis dan keyakinan moral yang bias atau paham
moral yang dualistik, di mana keyakinan moral dan kesadaran personal dalam ranah privat
dipisahkan secara definitif dari tanggung jawab sosial pelaku dalam ruang publik. Menurut
ukuran moral pribadi, seseorang dapat saja tidak setuju dan tidak nyaman dengan korupsi.
Tetapi, karena korupsi sudah menjadi kewajaran dalam administrasi dan birokrasi
pemerintahan, maka individu tersebut memaknai korupsi yang dilakukan sebagai wujud
dari loyalitas dan tanggung jawab pribadi terhadap sistem dan atasan yang telah
memberikan wewenang dan kepercayaan. Jadi, para koruptor adalah Eichmann
kontemporer. Tidak kritis bukan hanya mengacu pada kadar kemampuan nalar, tetapi
secara khusus pada kemandulan daya refleksi, kemampuan elaborasi, kedalaman konsepsi,
pemahaman tentang substansi yang berkembang dalam realitas terberi. Pelaku bekerja
semata-mata ber- dasarkan apa yang digariskan dan menurut kebiasaan yang dijalankan.
Dia memposisikan diri sekedar sebagai instrumen kerja yang bebas dari 36 Bdk. Hannah
Arend, Eichmann in Jerusalem. A Report on Banality of Evil, New York: Penguin Books, 1994,
152. kewajiban etis-moral, tanpa tanggung jawab dan tanpa kontribusi pribadi. Jangan
heran bila berkembang persepsi di kalangan elit politik dan pejabat negara bahwa korupsi
hanya sebuah arisan: arisan untuk berbagi dana anggaran negara dan berebut komisi dari
aneka macam kontrak karya di antara elit penguasa, arisan mengemplang pajak oleh
kalangan pengusaha dst.. Jadi, korupsi menjadi banal karena tiada hubungan antara
keyakinan moral pribadi dan tanggung jawab sosial dalam tugas teremban. 5. Quo vadis
Indonesia? Infiltrasi ideologi besar dunia terutama liberalisme dalam ranah politik dan
kapitalisme dalam sistem ekonomi nasional secara visual sulit dibantah dan justru sedang
menancapkan pengaruhnya dalam kesadaran, tingkah laku anak bangsa dan tata kelola
pemerintahan negara meskipun Indonesia menganut ideologi Pancasila. Penguasa liberal-
kapitalis global terus meneror benteng kesadaran individu yang telah dibangun melalui
pendidikan nilai yang bernuansa religius, kearifan lokal dan ideologi Pancasila yang
mengutamakan tenggang rasa, tolong menolong, gotong royong, hidup sederhana, rasa
senasib dan se- penanggungan, ikatan kekerabatan dan persaudaraan, sikap tahu batas
dan menghargai orangtua dan mereka yang dianggap bijaksana. Teror yang dilakukan
berupa konsep37 pemerintahan yang demo- kratis liberal, isu hak-hak asasi manusia,
kebebasan individu, pasar bebas, standard nilai, deregulasi aturan perundang-undangan
nasional yang dinilai proteksionis, nasionalis dan menghalangi kepentingan kaum kapitalis.
Dari segi peraturan, politik dan kebudayaan, regim liberal- kapitalis memaksakan perangkat
normatif yang pro pasar bebas, kebebasan pers secara absolut atas nama kebebasan
informasi, pertukaran pelajar dan budaya, bantuan beasiswa dan teknis, utang luar negeri,
kehadiran dan karya lembaga-lembaga swadaya masyarakat internasional dan terutama
film-film serta agresi iklan media sosial. Tampak sekali bahwa infiltrasi ideologi neoliberal-
kapitalis telah berhasil menerobos ke dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Keberhasilan itu tercemin pada perebutan pengaruh antara teknokrat plus
pemikir neoliberal dan kalangan yang menganut sistem ekonomi kerakyatan di jagat
perpolitikan nasional, eforia kebebasan yang diwujudkan dalam UUD Negara RI 1945 hasil
referendum serta aturan perundang-undangan turunannya sejak reformasi bergulir.
Infiltrasi ideologi liberal-kapitalis terdapat pada pasal 18 ayat 2, 5 dan 6 tentang 37 Bdk.
David McLellan, Ideology, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986, 65-79.
otonomi daerah dan wewenang pemerintah daerah menentukan kebijakan sendiri, pasal
20A ayat 1 tentang fungsi anggaran DPR, pasal 33 ayat 4 tentang demokrasi ekonomi.
Melihat keberhasilan kaum liberal-kapitalis mengubah haluan perpolitikan dan sistem
ekonomi nasional dalam UUD NRI 1945, apakah Indonesia masih berani mendakukan
Pancasila sebagai ideologi nasionalnya? Dalam praksis bermasyarakat pola hidup yang
konsumeristis dan hedonistis telah menjadi ciri khas warga sebangsa mulai dari kota
hingga pelosok Nusantara. Siang-malam pikiran, kesadaran dan panca indra warga
sebangsa terus menerus disuguhi dengan tontonan sinetron yang memamerkan
kemewahan, kemegahan, kekayaan, kegemerlapan. Pada saat bersamaan tontonan sinetron
demikian diselingi dengan tayangan iklan yang mengumbar ketidaknyamanan dan
ketakpercayaan diri.38 Sesaat kemudian, iklan-iklan itu menampilkan keajaiban atau
mukjijat dari yang mustahil menjadi nyata, from nothing to be something39 melalui
beragam tips dan produk. Dewa penyelamat dari rasa serba kurang adalah produk industri
kapitalis yang harus dibeli dan dikonsumsi. Hasil dari terapi produk adalah sensasi bak
selebriti yang mengaliri darah para korban dan terealisasi dalam cara berpakaian, cara
berjalan dan cara berdandan, merek pakaian dan merek kendaraan, vitamin yang di-
konsumsi dan hiburan yang dinikmati. Manusia Indonesia terus dipaksa oleh regim kapitalis
untuk menjadi konsumen yang tidak pernah puas. Tuntutan hidup dari hari ke hari
dikondisikan semakin tinggi, sementara gaji tidak sebanding dengan kebutuhan dan
permintaan anak dan isteri. Dalam situasi yang dilematis, opsi yang tersedia adalah atau
tetap berpegang teguh pada keyakinan moral pribadi yang mengutamakan kejujuran dan
tanggung jawab atau menenggelamkan diri dalam arus korupsi yang mengaliri semua
bentuk relasi dan interaksi dalam birokrasi. Propaganda konsumerisme dan hedonisme
lewat media massa berhasil merobohkan benteng moral-spiri- tual manusia Indonesia,
sehingga banyak yang memilih opsi ikut arus korupsi demi membahagiakan keluarga dan
sanak saudara. Korupsi menjadi modus vivendi manusia Indonesia. Lalu, Quo vadis
Indonesia? 6. Urgensi Pendidikan Kritis Internalisasi konsumerisme dan hedonisme sebagai
pola hidup dan pola tindak manusia Indonesia dalam hidup sehari-hari menandakan 38 Lih.
Jules Henry, Culture against Man, New York: Random House, 1963, 61-62. 39 Dr. Valentinus,
op cit., 186. 40 Analisa yang cukup detil dapat dibaca dalam karya Dr. Valentinus, Menyibak
Selubung Ideologi Kapitalis dalam Imperium Iklan…. bahwa infiltrasi ideologi liberal dan
kapitalis telah berhasil dengan baik. Rentetan kasus korupsi yang terungkap dan
melibatkan elit politik bangsa dan masivitas praktek korupsi dalam birokrasi memberikan
gambaran yang jelas bagaimana tatanan rasio kaum elit dan terpelajar telah dilumpuhkan
dan dikendalikan oleh paham lain yang secara hakiki bertentangan dengan nilai-nilai
rohani dan paham Pancasila. Menghancurkan sebuah bangsa di era kontemporer tidak
mesti dengan mengerahkan tentara dan senjata, tetapi cukup dengan menggunakan media
komunikasi massa, strategi propaganda iklan- pariwara, doktrin ideologis, hutang luar
negeri dan investasi modal. Lewat faktor-faktor tersebut satu negara mampu melakukan
dekonstruksi dan rekonstruksi pikiran dan kesadaran, gambaran diri dan masyarakat, pola
relasi dan interaksi suatu bangsa sesuai kepentingannya dan bahkan siapa yang menjadi
pemimpin negara. Regim liberal-kapitalis kontemporer sedang menggunakan strategi ini
untuk menghancurkan sistem nilai, kearifan lokal, ideologi dan iman kepercayaan bangsa
Indonesia. Asumsi tentang intervensi regim liberal-kapitalis dalam jagad kesadaran anak
bangsa melalui media propaganda pariwara di atas dijustifikasi oleh peningkatan jumlah
dana yang digunakan untuk iklan di media massa tanah air. Menurut data AB Nielsen
Indonesia, pada pertengahan pertama dari 2011, investasi di bidang periklanan bertumbuh
17% dengan total dana yang digunakan kurang lebih 33,4 triliun rupiah. Apakah investasi
yang menyedot dana demikian besar melulu investasi murni atau bersembunyi interes
global untuk menjadikan bangsa kita sebagai negara konsumen murni? Terlalu naif bila
dana puluhan triliun rupiah yang dihabiskan untuk iklan hanya bertujuan mempromosikan
produk-produk terbaru.40 Regim neoloberal-kapitalis menginginkan pembusukan
sistematis kondisi mental, rasional dan spiritual yang berisi sikap ulet dan tangguh manusia
Indonesia dalam merealisir keamanan yang mantap dan kesejahteraan yang adil dan
merata. Pola pikir, sikap dan tindak-tanduk manusia Indonesia yang biasa setia kawan,
tenggang rasa, ramah, polos, jujur, tahan banting, ulet berjuang diluluhlantakkan dan
digantikan dengan pola pikir, sikap dan gaya hidup yang egois, individualis, acuh tak acuh,
serba menghalalkan segala cara dan mudah menyerah. Jadi, dengan menyerang jantung
pertahanan individu, maka Indonesia akan ambruk dengan sendirinya. Apa yang harus
dilakukan untuk meminimalisir dan menetralisir pengaruh ideologi liberal-kapitalis? Dari
perspektif ketahanan mental- ideologis, bagaimana manusia Indonesia mampu menjadi
pribadi yang 41 Bdk. Lemhannas, Konsepsi Ketahanan Nasional, (Modul 06). Jakarta:
Lemhannas, 2013, 11. cerdas, bernas, awas, bebas, humanis, setia kawan dan mandiri?
Semua akan menjawab: “dengan pendidikan”. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa
pendidikan nasional telah menjadi medan perebutan kekuasaan dan tarik menarik
kepentingan dari berbagai kekuatan sentripugal di negeri ini. Slogan sapere aude diganti
dengan scientia potestas est, interest politik-ideologis-religius lebih dominan dalam dunia
pendidikan daripada kepentingan pencerdasan dan pemanusiaan anak bangsa. Lembaga
pendidikan dialihfungsikan dari instrumen humanisasi menjadi kuda troya untuk merebut
kekuasaan. Karena itu, kalau praksis yang berlangsung dalam dunia pendidikan masih tetap
seperti saat ini, maka niat melahirkan manusia Indonesia yang unggul, ulet, solider,
bermartabat, mandiri dan berkarakter hanya sebuah utopia. Salah satu upaya yang dapat
ditempuh adalah dekonstruksi pen- didikan nasional yang selalu afirmatif, diskriminatif,
parsial dan sarat dengan kepentingan yang berbau Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan
(SARA). Pemimpin negeri ini dan semua kelompok masyarakat harus mendorong dan
mendukung rekonstruksi pendidikan nasional yang mencerdaskan,
menumbuhkembangkan nalar dialektis-negatif-kritis, mengutamakan kejujuran dan
obyektivitas melampaui kepentingan ideologis apapun. Semua pihak harus legawa
menjadikan nalar sebagai pengadilan terakhir bagi perwujudan diri setiap orang dan
kebenaran sebagai penuntunnya. Berikanlah ruang bagi masing-masing orang untuk
belajar bahkan apabila melakukan kesalahan dan kegagalan, karena qui errat rogat - siapa
yang berbuat salah dan gagal akan terus belajar dan bertanya untuk mencapai kebenaran.
Aspek lain yang pelu dilakukan ialah semua pihak harus mengubah keyakinan mengenai
konsep ketahanan.41 Ketahanan sejati tidak terletak pada kemutakhiran senjata dan jumlah
tentara, tetapi bergantung pada kesadaran, mengacu pada aspek mental, rasional dan
spiritual. Ketahanan sejati berada dalam pikiran, kesadaran, hati sanubari setiap individu
yang bebas, bermartabat, mandiri dan berkarakter. Seseorang yang memiliki daya tahan
kokoh dan ulet akan senantiasa berpikir kritis, menghargai sesama, percaya diri, sarat
pertimbangan dan mandiri. Dia teguh dalam pendirian, lemah lembut dalam cara dan
selalu terbuka terhadap sesama. Ia adalah manusia yang berpikir global, bertindak lokal.
Kalau kita menginginkan warga negara yang tahan uji dan siap berkompetisi, maka semua
komponen bangsa harus mendidik manusia Indonesia menjadi individu yang berpikir
cerdas, berwawasan humanis, bersikap ksatria, terbuka terhadap perbedaan, berani
berdialog, mandiri dan bertanggung jawab terhadap hidupnya dan kelangsungan
bangsanya. Semangat pro patria akan tumbuh dan mekar dalam sanubari hanya ketika
setiap orang merasa dimanusiakan di tanah airnya oleh negara. Itulah rahasia umur
panjang sebuah peradaban. 7. Penutup Epidemi korupsi yang telah menjadi banal di
seluruh dunia dan In- donesia merupakan salah satu kesuksesan terbesar dari proyek
rekayasa regim liberal dan kapitalis kontemporer. Lihat yang sedang terjadi: warga dunia,
termasuk masyarakat Indonesia, menghidupi euforia bagai ratu dan raja sehari di mall dan
plaza untuk menghabiskan uang dan menguras tabungan. Kesadaran kritis telah
membusuk dan membeku di hadapan beragam produk yang dijejalkan ke dalam pikiran
dan panca indra. Kebusukan dan kehancuran tatanan rasio menampilkan diri dalam
kebusukan dan kehancuran sistem sosial yang mengatur dan menata jalinan relasi dan
interaksi manusia Indonesia. Korupsi pun mewabah karena pikiran dan kesadaran individu
telah dicuci dan direkonstruksi melalui bermacam propaganda di media massa untuk
menghabiskan semua produk industri kapitalis, walaupun terdapat kesenjangan antara gaji
bulanan dan tuntutan kebutuhan hidup harian atau ada jurang antara impian dan
kenyataan. Wabah korupsi hanya dapat dihadapi ketika manusia Indonesia menjadi pribadi
yang cerdas, kritis, awas, humanis, solider dan berkarakter. Namun, untuk menjadi anak
bangsa yang cerdas dan bernas, menghargai kemanusiaan, kemajemukan, keadilan,
kemandirian dan kebenaran, dekonstruksi pendidikan yang afirmatif, statis, diskriminatif,
parsial dan ritualis dan rekonstruksi pendidikan yang kritis, dialektis, dialogis, humanis dan
obyektif merupakan suatu keniscayaan. Dengan kata lain, salah satu sarana terbaik untuk
mengembalikan bangsa Indo- nesia sebagai tuan di rumah sendiri adalah pendidikan yang
memberi ruang bagi nalar kritis untuk berkembang dan menuntun langkah hidup bersama
sebagai negara-bangsa. Nalar kritis harus menjadi lentera kemanusiaan dan peradaban
kita. * Valentinus Saeng Dosen filsafat STFT Widya Sasana, Malang. Email:
[email protected]. BIBLIOGRAFI Arend, Hannah. Eichmann in Jerusalem. A Report on
Banality of Evil, New York: Penguin Books, 1994. Aristotele, Etica Nicomachea (I, 13), Milano:
Biblioteca Universale Rizzoli, 1996. Baudrillard, Jean. The Consumer Society, London: SAGE
Publications, 1998. Bronner, S.E. & Douglas M.K. Kellner (Eds.), Critical Theory and Society. A
Reader, New York – London: Descartes, Discorso sul metodo, (trad. Maria Garin), Bari:
Laterza, 1998. Dr. Valentinus, Kritik Ideologi. Menyibak Selubung Ideologi Kapitalis dalam
Imperium Iklan, Yogyakarta: Kanisius, 2011. Franciskus, Paus. Evangelii Gaudium, Milano:
San Paolo, 2013. Henry, Jules. Culture against Man, New York: Random House, 1963.
Habermas, Jürgen. Technik und Wissenschaft als Ideologie, Frankfurt am Main: Suhrkamp,
1969. Hobbes, Thomas. Leviathan, New York: Oxford University Press, 1996.
Https://www.transparency.org/cpi2014/results. Isra, Saldi. Kekuasaan dan Perilaku Korupsi.
Jakarta: Penerbit Kompas 2009. Kompas, Jangan Bunuh KPK. Jakarta: Penerbit Kompas,
2009. Kompas, Surga Para Koruptor, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004. Lemhannas, Konsepsi
Ketahanan Nasional, (Modul 06). Jakarta: Lemhannas, 2013. Marcuse, Herbert.
Counterrevolution and Revolt, Boston: Beacon, 1972. , “From Ontology to Technology”
dalam S.E. Bronner & Douglas M.K. Kellner (Eds.), Critical Theory and Society. A Reader,
New York – London: Routledge, 1989. , Eros and Civilization. A Philosophical Inquiry into
Freud, Boston: Beacon Press, 1974. ______________, One-Dimensional Man, Boston: Beacon,
1991. Marx-Engel, Werke, Bd. 3 (Deutsche Ideologie), Berlin: Dietz, 1958. Marx, Karl.
Grundrisse der Kritik der politischen Ökonomie, Frankfurt: Europäische Verlagsanstalt –
Wien: Europa Verlag, 1939, 1941. McLellan, David. Ideology, Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1986. Routledge, 1989. Neill, Thomas P. Ph. D, The Rise and Decline of
Liberalism, Milwaukee: The Bruce Publishing Company, 1953 Saeng, Valentinus. Herbert
Marcuse. Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Jakarta: Gramedia, 2012.
Sources