18
Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty “A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments, and whatever its particular designation.” Chapter One Pendahuluan

Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

“A treaty an international agreement concluded between States in written form and

governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or

more related instruments, and whatever its particular designation.”

Chapter One

Pendahuluan

Page 2: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

2 Chapter One – Pendahuluan

Kedudukan Hukum Internasional sampai saat ini masih terus

dipertanyakan kekuatan berlakunya. Masih banyak yang skeptis

tentang proses pembentukan, penafsiran, dan penerapan Hukum

Internasional pada tataran praktis. Sistem Hukum Internasional tidak

memiliki lembaga legislasi universal yang dapat melakukan proses

legislasi peraturan, tidak memiliki lembaga eksekutif yang akan

melaksanakan ataupun menegakkan hukum yang telah dibuat, serta

tidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan

perselisihan yang timbul.

Walaupun demikian, para pengacara internasional, diplomat,

pembuat kebijakan pemerintah, perwakilan organisasi internasional,

aktor non government organization, dan masih banyak pihak lain yang

terus menerus meminta agar Hukum Internasional mengadili,

mengatur, dan membatasi sebuah tindakan. Orang perorangan sering

mengandalkan Hukum Internasional untuk mengajukan gugatan baik

pada forum nasional maupun forum internasional. Pengadilan nasional

maupun internasional juga sering menerapkan Hukum Internasional

untuk memutuskan sebuah sengketa. Hal ini dapat disimpulkan bahwa

Hukum Internasional dibuat, diterapkan, ditafsirkan, dan terkadang

ditegakkan melalui berbagai macam proses dan cara.

Terdapat beberapa jalan untuk membentuk Hukum

Internasional. Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional

menyebutkan beberapa sumber Hukum Internasional yang dapat

digunakan untuk memutuskan kasus-kasus internasional. Isi Pasal

tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut:

(1) The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:

a. International conventions, whether general or particular, establising rules expressly recognized by the contesting states;

b. International customs, as evidence of a general practice accepted as law;

c. The general principles of law recognized by civilized nations;

Page 3: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 3

d. ….judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.

Walaupun Pasal ini sangat membantu, namun yang perlu

digarisbawahi bahwa ini hanya merupakan jalan awal untuk

menemukan Hukum Internasional. Ketentuan ini mengandung dua hal

penting, yaitu: pertama, menyarankan pada pengadilan ataupun

pembuat kebijakan lainnya untuk mencari Hukum Internasional dari

beberapa sumber yang disebutkan di atas; kedua, walaupun perjanjian

dan kebiasaan internasional terdapat pada urutan atas, namun semakin

hari peran keduanya mulai dibantu dengan meningkatnya aktivitas

organisasi internasional, lembaga regional, perusahaan multinasional,

dan NGO.

Urutan sumber hukum ini tidak lagi menggambarkan sebuah

hirarkhie formal, melainkan semata-mata sebagai sumber hukum bagi

Hakim Mahkamah Internasional dalam memutuskan sebuah perkara.

Bagi sebuah pengadilan yang sedang menghadapi kasus Hukum

Internasional, perjanjian internasional merupakan bentuk hukum yang

lebih diprioritaskan dengan beberapa alasan. Pertama, terlepas dari

masalah penafsiran, isi perjanjian akan lebih mudah untuk diputuskan;

Kedua, pada dasarnya perjanjian internasional merupakan gambaran

dari persetujuan sebuah negara yang terlibat untuk mengikatkan

dirinya; Ketiga, perjanjian internasional menjadi sumber hukum yang

cukup dikenal oleh pembuat kebijakan nasional dan para pengikutnya

dibandingkan dengan sumber Hukum Internasional lainnya, dan

keputusan yang didasarkan pada perjanjian internasional lebih mudah

diterima oleh para pihak yang terlibat.

Perjanjian internasional yang pada hakikatnya merupakan

sumber Hukum Internasional yang utama adalah instrumen-instrumen

yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau

subjek Hukum Internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama.

Page 4: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

4 Chapter One – Pendahuluan

Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut

merupakan dasar Hukum Internasional untuk mengatur kegiatan

negara-negara atau subjek Hukum Internasional lainnya di dunia ini.1

Dewasa ini dalam Hukum Internasional kecendrungan untuk

mengatur Hukum Internasional dalam bentuk perjanjian intenasional

baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasional

serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan

sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari

masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan

negara-negara. Untuk itu, buku ini akan mencoba memberikan

gambaran dan penjelasan yang cukup tentang perjanjian internasional

sebagai sumber Hukum Internasional.

A. Pengertian Hukum Perjanjian Internasional

Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian

internasional oleh para sarjana memberikan definisi masing-masing

sesuai dengan apa yang ditekankan dalam pengertian istilah itu, tetapi

dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik persamaan yang

menggambarkan ciri-ciri perjanjian internasional. Definisi perjanjian

Internasional diungkap oleh G. Schwarzenberger. “Treaties are

agreements between subject of International Law creating binding obligations in

International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting

parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties).”2

Dapat diartikan, bahwa perjanjian internasional, sebagai suatu

persetujuan antara subyek-subyek Hukum Internasional yang

menimbulkan kewajiban-kewajiban (obligations) yang mengikat dalam

Hukum Internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral

maupun multilateral. Sedangkan definisi lain dari perjanjian

1 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,

2003, Alumni, Bandung, Hlm. 82.

2 Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.

Page 5: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 5

internasional juga diungkapkan oleh Oppenheim-Lauterpacht :

“International treaties are agreements of contractual charter between states,

creating legal rights and obligations between the parties”3.

Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar

negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

Pendapat yang lebih luas lagi, yaitu definisi dari Mochtar

Kusumaatmadja bahwa : “Perjanjian internasional adalah suatu

perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa

yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.”4

Berdasarkan definisi tersebut bahwa subyek Hukum

Internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat

bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan

negara-negara. Dari definisi-definisi ini dapat ditarik persamaan

mengenai ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak yang

mengadakan perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak yang

dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional.

Untuk memulai mengkaji secara yuridis tentang perjanjian

internasional, kita tidak bisa terlepas dari 2 (dua) sumber hukum

perjanjian, yaitu Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.

Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional mulai berlaku

sejak 27 Januari 1980. Rancangan Konvensi ini dibuat oleh Komisi

Hukum Internasional yang memiliki penjelasan yang sangat berguna

dalam menafsirkan Konvensi. Sejak tahun 1969, banyak ketentuan

Konvensi dijadikan rujukan oleh para hakim dan dipraktikkan oleh

negara-negara.

Walaupun demikian, Konvensi hanya diterapkan terhadap

perjanjian yang dibuat setelah Konvensi tersebut berlaku, yaitu setelah

3 Oppenheim, L. International Law a Treaties, Vol. I., 7th edition, Edited by H. Lauterpacht,

Longmans Green and Co., London, 1952. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 2000.

Page 6: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

6 Chapter One – Pendahuluan

tanggal 27 Januari 1980.5 Sebagai sebuah konvensi, sepertinya nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya mulai sedikit terbatas. Faktanya,

konvensi tersebut merupakan kodifikasi terhadap hukum kebiasaan

yang terkait dengan perjanjian, walaupun ada beberapa ketentuan baru

yang merupakan progressive development dari hukum perjanjian

internasional.

Pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian

internasional (treaty) sebagai, “…an international agreement concluded between

States in written form and governed by international law, whether embodied in a

single instrument or in two or more related instruments, and whatever its particular

designation.”6

Pengertian ini tidak memasukkan perjanjian yang dibuat antar

negara yang diatur oleh hukum nasional dan perjanjian antar negara

yang memang tidak bertujuan untuk menciptakan hubungan hukum

sama sekali. Pengecualian terhadap kedua bentuk perjanjian ini

sebanarnya cukup kuno, namun menjadi lebih kontroversial ketika

pengecualian juga diberikan terhadap perjanjian yang tidak tertulis,

dan perjanjian yang dibuat antar organisasi internasional atau antara

negara dengan organisasi internasional. Perjanjian seperti inilah yang

lazimnya juga disebut traktar (treaty) ini dikecualikan dalam Konvensi

karena memang ada beberapa aspek pengaturannya yang berbeda.

Untuk mencegah terjadinya pro dan kontra yang berkepanjangan

tentang perjanjian yang dibuat diluar aturan Konvensi, akhirnya pada

tahun 1986 dibentuk sebuah Konvensi khusus tentang Hukum

Perjanjian Antara Negara dengan Organisasi Internasional dan Antar

Organisasi Internasional. Dengan beberapa pertimbangan, perjanjian

internasional yang dibuat oleh organisasi internasional akan lebih

5 Pasal 4 Konvensi Wina 1969. 6 Diterjemahkan secara harfiah bahwa perjanjian internasional adalah “sebuah persetujuan

yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal, atau dua, atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”

Page 7: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 7

relevan bila dibahas sebagai bagian dari Hukum Organisasi

Internasional daripada dalam pembahasan tentang Perjanjian

Internasional (Antar Negara), sedangkan perjanjian lisan sekarang

sudah sangat jarang dilakukan.

Definisi yang diberikan oleh Konvensi ini kemudian dijabarkan

dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri, yaitu:

“Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek Hukum Internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”7

Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat dengan

merujuk kepada Konvensi Wina tersebut, menyatakan bahwa yang

dimaksud Perjanjian Internasional adalah:

”Perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum

Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan

kewajiban di bidang hukum publik.”8

Dari pengertian atau definisi yang sudah diberikan di atas dapat

dilihat ada dua unsur pokok yang terdapat dalam suatu perjanjian

internasional, yaitu:

7 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3882

8 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4012

Page 8: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

8 Chapter One – Pendahuluan

a. Adanya subjek Hukum Internasional;

Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian

internasional jika pelaksana perjanjian internasional tersebut

adalah subjek Hukum Internasional yaitu antara negara,

negara dengan subjek hukum lain, dan antara subjek hukum

satu sama lainnya.

b. Adanya rejim Hukum Internasional;

Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian

internasional apabila perjanjian tersebut diatur oleh rejim

Hukum Internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur

oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk

dalam perjanjian internasional (treaty), walaupun salah satu

atau semua pihaknya adalah subjek Hukum Internasional.

Perjanjian internasional harus tunduk pada Hukum

Internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum

nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh

negara atau organisasi internasional namun apabila telah

tunduk pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih,

perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.

Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan

Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan

Organisasi Internasional atau antara Organisasi-organisasi

Internasional tidak memberikan pembedaan terhadap berbagai bentuk

perjanjian internasional. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian

menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut

memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun

demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan

kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian

internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi

perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan

Page 9: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 9

maksud para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para

pihak tersebut.

B. Istilah dan Bentuk Perjanjian Internasional

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional

diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention),

piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord,

modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya

mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.

Istilah yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya

tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya.

Suatau terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan

permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para

pihak pada perjanjian tersebut dan dampak politisnya terhadap

mereka. Selain itu, penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian

internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi

perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda

tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk

menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut

dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat

sebelumnya.9

Adapun istilah-istilah dan bentuk perjanjian internasional yang

sering dipraktekkan di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Traktat/Perjanjian Internasional (Treaty)

Istilah traktat dapat digunakan menurut pengertian umum

atau pengertian khusus. Pengertian umum adalah traktat

mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional.10

Sedangkan dalam arti khusus treaty merupakan perjanjian

9 Boer Mauna, Ibid. Hlm. 89. 10 T.O. Elias, The Modern Law of Treaties, 1974, Oceana Publications, INC., Dobbs Ferry, NY.

Hlm. 14.

Page 10: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

10 Chapter One – Pendahuluan

yang paling penting dan sangat formal dalam urutan

perjanjian. Umumnya, traktat digunakan untuk suatu

perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat

prinsipil. Bentuk perjanjian internasional yang mengatur

hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara

menyeluruh, yang umumnya bersifat multilateral. Arti

penting traktat menyebabkan perjanjian ini sering harus

diikuti dengan proses ratifikasi atau pengesahan. Traktat

juga harus melalui beberapa prosedur penting dalam

pembuatannya secara lengkap, dimulai dari perundingan,

penandatanganan, dan ratifikasi. Namun demikian, istilah

traktat juga terkadang digunakan juga untuk perjanjian

yang sifatnya tidak begitu penting, tergantung pada

kebiasaan negara yang membentuknya.

b. Konvensi (Convention)

Menurut pengertian umum, istilah Convention dapat

disamakan dengan pengertian umum terminologi traktat.

Dalam pengertian khusus, dikenal juga dengan istilah dalam

Bahasa Indonesia dengan Konvensi yang digunakan untuk

perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan

banyak pihak. Suatu perjanjian penting dan resmi yang

bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat “Law Making

Treaty” dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah

hukum bagi masyarakat internasional, sebagaimana yang

termuat dalam konvensi-konvensi hukum perang, hukum

perjanjian, dan hukum laut internasional. Konvensi biasanya

merupakan perjanjian-perjanjian sebagai pendahulu

perjanjian yang bersifat formil atau menjadi dasar dari

perjanjian-perjanjian. Konvensi juga merupakan perjanjian-

perjanjian internasional untuk mengatur hal-hal yang

berkenaan dengan kepentingan bersama negara-negara itu

yang berasal dari kepentingan-kepentingan hubungan

Page 11: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 11

politik maupun perniagaan; misalnya perjanjian tentang

international postage dan perlindungan bagi kawat-kawat

di dasar laut.11

c. Persetujuan (Agreement)

Dalam pengertian khusus, istilah persetujuan mengatur

materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibanding materi

yang diatur pada traktat. Suatu bentuk perjanjian

internasional yang isinya tidak termasuk materi seperti yang

dikategorikan dalam treaty atau convention. Umumnya

bersifat bilateral, namun tidak tertutup kemungkinan juga

dibuat bersifat multilateral. Umumnya digunakan pada

perjanjian yang mengatur materi kerjasama di bidang

ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu pengetahuan.

Persetujuan juga dapat digunakan pada perjanjian yang

menyangkut pencegahan pajak berganda, perlindungan

investasi atau penanaman modal atau bantuan keuangan.

d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)

Bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat

khas. Dalam prakteknya, kerjasama melalui MoU lebih

disukai karena dianggap sederhana dan dapat dibuat

sebagai persetujuan induk atau sebagai pelaksanaan

perjanjian yang mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap

sederhana maka umumnya MoU tidak perlu diratifikasi.

e. Pengaturan (Arrangement)

Bentuk perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari

suatu perjanjian internasional yang telah ada, atau sering

disebut implementing arrangement.

11 Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 1995, Hlm. 54.

Page 12: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

12 Chapter One – Pendahuluan

f. Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion

Suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga

pemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara dari

suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak dipakai untuk

merekam pembicaraan pada acara-acara kunjungan resmi

atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan

sementara sebagai bagian dari rangkaian putaran

perundingan mengenai suatu masalah.

g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes)

Instrumen diplomatic yang berisi pertukaran penyampaian

atau pemberitahuan resmi posisi Pemerintah masing-masing

yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah

tertentu. Exchange of Note dapat berupa sekedar

pelaksanaan tindak lanjut dari suatu persetujuan yang telah

dicapai; konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah

dicapai sebelumnya; kesepakatan tentang perbaikan dari

suatu perjanjian yang telah berlaku; atau suatu perjanjian

yang ditandatangani di tempat yang berbeda dan dalam

waktu yang tidak sama.

Istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter,

Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side

Letter, Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau Demarche juga

merupakan istilah-istilah yang dapat digunakan untuk mewakili

perjanjian internasional.

Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau isitlah

perjanjian internasional, namun praktek Indonesia pada umumnya

tanpa disengaja telah mengarah pada penggunaan istilah tertentu

untuk ruang lingkup materi tertentu. Misalnya lebih cenderung

menggunakan “Agreement” sebagai instrumen payung dan kemudian

Page 13: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 13

MOU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan ini

dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak

mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain

berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak

menyepakatinya.

Selain itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek

Indonesia bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian yang bersifat

teknis antar sektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian

payung, seperti Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik. Pendekatan

ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan

conveniences dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam

hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja

dibuat untuk masalah yang teknis dan konkrit tanpa adanya perjanjian

payung.

Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)

merupakan salah satu model dokumen yang memiliki sifat khas/typical.

Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law

system, yang berpandangan bahwa MOU adalah non-legally binding dan

perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain

termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan

yang dibuat antara negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat

seperti Treaties. Para ahli berpendapat bahwa istilah MOU digunakan

dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari

penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Adanya

pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara

akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen

tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak

Page 14: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

14 Chapter One – Pendahuluan

yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik

dan moral.12

Pada tataran praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri

masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum

pengertian ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat

meng-enforce isi MOU melalui jalur peradilan internasional atau jalur

kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian

internasional. Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara

common law, pengertian non-legally binding memiliki implikasi bahwa

dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh

pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya

belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa

atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional.

Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi concern

yang berarti bagi Indonesia.

Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai

bentuk yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam

hubungan perdata nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan

jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah

mulai menggunakan format MOU untuk merefleksikan jaminan

Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan

investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam ini masih menjadi

perdebatan.

Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang

digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka

otonomi daerah di Indonesia. Pengertian MOU oleh otonomi daerah

merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan

12 Damos Dumoli Agusman, Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori

dan Praktek di Indonesia Tentang Perjanjian Internasional, Refleksi Dinamika Hukum, 2008, dapat diakses di http://e-library.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65%3Aapa-perjanjian-internasional-itu&catid=45%3Ae-resources&Itemid=76&lang=en

Page 15: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 15

dituangkan dalam bentuk “Perjanjian Kerjasama” yang bersifat

mengikat.

Berdasarkan tahap pembuatan perjanjian yang dipraktikkan oleh

negara-negara selama ini, Mochtar Kusumaatmadja13 membagi bentuk

perjanjian internasional dalam 2 (dua) kelompok:

1. Perjanjian yang dibuat dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap perundingan,

penandatanganan, dan ratifikasi;

2. Perjanjian yang dibuat hanya melewati 2 (dua) tahap, yaitu tahap

perundingan dan tahap penandatanganan.

Klasifikasi perjanjian internasional dapat dibedakan dalam 2

(dua) golongan, yaitu:

1. Perjanjian Bilateral

Perjanjian bilateral adalah perjanjian antara dua negara yang

menjadi pihak-pihak dalam perjanjian. Perundingan biasanya

diadakan atas pernyataan salah satu pihak yang menyatakan

keinginannya untuk mengadakan perjanjian tentang hal-hal

tertentu. Perundingan pendahuluan ini dimaksudkan untuk

membuat rancangan perjanjian yang kemudian akan mereka

tandatangani. Biasanya pihak yang mengusulkan diadakannya

perjanjian tersebut mengajukan naskah rancangan perjanjian

yang diusulkan.

2. Perjanjian Multilateral

Perjanjian multilateral merupakan perjanjian yang diadakan

oleh tiga negara atau lebih, biasanya disetujui dalam

konferensi internasional yang diadakan khusus untuk

13 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid. Hlm. 116.

Page 16: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

16 Chapter One – Pendahuluan

keperluan itu atau bersangkutan dengan pertemuan suatu

organisasi internasional.

Mochtar14 juga mengklasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihak-

pihak yang mengadakan perjanjian yaitu:

1. Perjanjian antar negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek Hukum Internasional yang paling utama dan saling klasik.

2. Perjanjian antar negara dengan subyek Hukum Internasional lainnya seperti negara dengan organisasi internasional atau dengan vatikan.

3. Perjanjian antara subyek Hukum Internasional selain negara satu sama lain, misalnya negara-negara yang tergabung dalam ACP (African, Carriban and Pacific) dengan MEE.

Klasifikasi perjanjian dapat ditinjau dari perwakilan negara

dalam membentuk perjanjian internasional, yaitu:

1. Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta

dari perjanjian disebut “High Contracting State”. Dalam praktek

pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada

MENLU, atau Duta Besar dan dapat juga pejabat yang

ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers).

2. Perjanjian antar Pemerintah (inter-Government form). Perjanjian ini

juga sering ditunjuk MENLU atau Duta Besar atau wakil

berkuasa penuh. Pihak peserta perjanjian ini tetap disebut

“Contracting State” walaupun perjanjian itu dinamakan

perjanjian “inter-governmental”.

14 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid. Hlm. 11

Page 17: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

Chapter One – Pendahuluan 17

3. Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang

mewakilinya dapat ditunjuk MENLU, Duta Besar dan wakil

berkuasa penuh (full Powers).15

Pembagian perjanjian internasional juga dapat dilakukan dalam

hal akibat yang ditimbulkannya, yaitu:

1. Treaty Contract

Perjanjian yang seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam

hukum perdata hanya mengakibatkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian itu. Misalnya dalam perjanjian mengenai

kewarganegaraan ganda, perjanjian perbatasan, perjanjian

perdagangan, dan sebagainya.

2. Law Making Treaty

Law making treaty adalah perjanjian yang meletakkan

ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi

amsyarakat internasional secara keseluruhan. Contohnya

adalah Konvensi 1949 tentang Perlindungan Korban Perang,

Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, dan

lainnya.

Perbedaan antara treaty contract dan law making treaty dapat dilihat

dari kemungkinan para pihak untuk turut serta dalam perjanjian

tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty

contract yang diadakan antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian

tersebut di awalnya karena hanya mengatur kepentingan pihak

tersebut saja.

15 Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969.

Page 18: Chapter One - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2114/1/BAB I.pdftidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan ... terlepas dari masalah penafsiran

18 Chapter One – Pendahuluan

Sebaliknya law making treaty selalu terbuka bagi pihak lain yang

tadinya tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur ileh

perjanjian tersebut merupakan masalah-masalah umum mengenai

semua anggota masyarakat internasional.